Anda di halaman 1dari 7

Nama : Indry Arsysta Madani

NPM :010119050
Kelas :AB(Semester 4)
Ujian Akhir semester Hukum Acara Peradilan Agama
1. A. Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut Pengadilan Agama adalah kekuasaan Pengadilan Agama yang
berhubungan dengan jenis perkara yang menjadi kewenangannya. Kompetensi absolut
adalah kewwnangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara menutut objek, materi
atau pokok sengketa.
Pasal 49 Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang
Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan perubahan kedua Undang-Undang Nomor 50 Tahun
2019 Tentang Pengadilan Agama serta asas personalitas keislaman menjadi dasar
kompetensi absolut Pengadilan Agama dalam menerima, memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara :
Perkawinan,Kewarisan,Wasiat,Hibah,Wakaf,Zakat,Infaq,Shadaqah,Ekonomi syari’ah.
Selain dari yang tersebut di atas Pengadilan Agama juga diberi kewenangan:
Memberi keterangan, pertimbangan, dan nasehat Hukum Islam kepada Institusi
Pemerintah didaerahnya apabila diminta.Pun demikian diberi tugas tambahan atau
yang didasarkan pada undang-undang seperti pengawasan pada advokad yang
beracara dilingkungan Pengadilan Agama, Pegawai Pencatat Akta Ikrar Wakaf, dan
lain-lain.
B. Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif Pengadilan Agama dalam artian sederhananya adalah kewenangan
Pengadilan Agama yang satu tingkat atau satu jenis berdasarkan wilayah.
Kewenangan relatif berhubungan dengan kewenangan pengadilan untuk mengadili
suatu perkara sesuai dengan wilayah hukumnya. Contoh Pengadilan Agama
Kabupaten Magetan dengan Pengadilan Agama Ngawi. Dalam hal ini antara
Pengadilan Agama Kabupaten Magetan dan Pengadilan Agama Ngawi adalah satu
jenis dalam satu lingkungan dan satu tingkatan yaitu tingkat pertama.
Kompetensi relatif yang berlaku pada setiap peradilan dilihat pada hukum acara yang
digunakan, dalam hal ini Pengadilan Agama dalam hukum acaranya adalah Hukum
Acara Perdata. Pasal 54 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama menerangkan bahwa dalam Peradilan Agama berlaku Hukum Acara Perdata
yang berlaku di Peradilan Umum. Untuk itu dasar kompetensi relatif Pengadilan
Agama adalah Pasal 118 Ayat 1 HIR atau Pasal 142 R.Bg jo Pasal 73 Undang Undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Pasal 118 Ayat 1 HIR menyatakan bahwa suatu gugatan itu harus diajukan sesuai
dengan daerah hukum tergugat berada. Namun dalam hal ini ada pengecualian
sebagaimana dalam Pasal 118 Ayat 2, 3, dan 4 yaitu
Apabila terdapat 2 tergugat maka gugatan boleh diajukan pada salah satu dari dua
daerah tergugat berada
2. Tahapan Hukum Acara peradilan Agama dalam persidangan
a. PEMBACAAN SURAT GUGATAN PENGGUGAT.
Sebelum surat gugatan dibacakan, jika perkara perceraian, hakim wajib menyatakan
sidang tertutup untuk umum, sementara perkara perdata umum sidangnya selalu
terbuka.
Surat Gugatan Penggugat yang diajukan ke Pengadilan Agama itu dibacakan oleh
Penggugat sendiri atau salah seorang majelis hakim, dan sebelum diberikan
kesempatan oleh mejelis hakim kepada tergugat memberikan tanggapan/jawabannya,
pihak penggugat punya hak untuk mengubah, mencabut atau mempertahankan isi
surat gugatannya tersebut. Abala Penggugat menyatakan tetap tidak ada perubahan
dan tambahan dalam gugatannya itu kemudian persidangan dilanjutkan ketahap
berikutnya.
b. JAWABAN TERGUGAT.
Setelah gugatan dibacakan, kemudian Tergugat diberi kesempatan mengajukan
jawabannya, baik ketika sidang hari itu juga atau sidang berikutnya. Jawaban tergugat
dapat dilakukan secara tertulis atau lisan ( Pasal 158 ayat (1) R.Bg). Pada tahap
jawaban ini, tergugat dapat pula mengajukan eksepsi (tangkisan) atau rekonpensi
(gugatan balik). Dan pihak tergugat tidak perlu membayar panjar biaya perkara.
REPLIK PENGGUGAT.
Setelah Tergugat menyampaikan jawabannya, kemudian si penggugat diberi
kesempatan untuk menanggapinya sesuai dengan pendapat penggugat. Pada tahap ini
mungkin penggugat tetap mempertahankan gugatannya atau bisa pula merubah sikap
dengan membenarkan jawaban/bantahan tergugat.
c. DUPLIK TERGUGAT.
Setelah penggugat menyampaikan repliknya, kemudian tergugat diberi kesempatan
untuk menanggapinya/menyampaikan dupliknya. Dalam tahap ini dapat
diulang-ulangi sampai ada titik temu antara penggugat dengan tergugat. Apabila acara
jawab menjawab dianggap cukup oleh hakim, dan masih ada hal-hal yang tidak
disepakati oleh kedua belah pihak, maka hal ini dilanjutkan dengan acara pembuktian.
d. PEMBUKTIAN.
Pada tahap ini, penggugat dan tergugat diberi kesempatan yang sama untuk
mengajukan bukti-bukti, baik berupa bukti surat maupun saksi-saksi secara bergantian
yang diatur oleh hakim.
e. KESIMPULAN PARA PIHAK.
Pada tahap ini, baik penggugat maupun tergugat diberi kesempatan yang sama untuk
mengajukan pendapat akhir yang merupakan kesimpulan hasil pemeriksaan selama
sidang berlangsung menurut pandangan masing-masing. Kesimpulan yang
disampaikan ini dapat berupa lisan dan dapat pula secara tertulis.
f. MUSYAWARAH MAJELIS HAKIM.
Rapat Permusyawaratan Majelis Hakim bersifat rahasi ( Pasal 19 ayat (3) UU No. 4
Tahun 2004. Dalam rapat permusyawaratan majelis hakim , semua hakim
menyampaikan pertimbangannya atau pendapatnya baik secara lisan maupun tertulis.
Jika terdapat perbedaan pendapat, maka diambil suara terbanyak, dan pendapat yang
berbeda tersebut dapat dimuat dalam putusan (dissenting opinion).
g. PUTUSAN HAKIM.
Setelah selesai musyawarah majelis hakim, sesuai dengan jadwal sidang, pada tahap
ini dibacakan putusan majelis hakim. Setelah dibacakan putusan tersebut, penggugat
dan tergugat berhak mengajukan upaya hukum banding dalam tenggang waktu 14 hari
setelah putusan diucapkan. Apabila penggugat/ tergugat tidak hadir saat dibacakan
putusan, maka Juru Sita Pengadilan Agama akan menyampaikan isi/amar putusan itu
kepada pihak yang tidak hadir, dan putusan baru berkekuatan hukum tetap setelah 14
hari amar putusan diterima oleh pihak yang tidak hadir itu.

3. A. Cerai talak yaitu permohonan yang diajukan suami kepada pengadilan


agama untuk memperoleh izin menjatuhkan talak kepda istri.Nantinya isi amar
putusan hakim pengadilan agama adalah menetapkan memberi izin kepada
pemohon untuk menjatuhkan ikrar talak terhadap termohon di hadapan
pengadilan agama setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Apabila suami
tidak datang ke pengadilan Agama setelah putusan berkekuatan hukum tetatp
maka permohonan cerai talak batal demoi hukum.
B. Cerai gugat yaitu gugatan yang diajukan oleh istri terhadap suami. Nantinya isi
amar putusan hakim pengadilan agama adalah menjatuhakan talak I bin sughra dari
tergugat (nama istri) kepada penggugat (nama suami). Dalam cerai gugat suami tidak
mengucap ikrar talak di hadapan pengadilan agama karena yang menminta bercerai
pihak istri. Suami juga tidak wajib memberi nafkah idah dan mut’ah kepada istri.

4. 1. Gugatan Permohonan (Voluntair)


Gugatan voluntair adalah permasalahan perdata yang diajukandalam bentuk
permohonan. Sebagaimana sebutan voluntair dapat dilihat dalam penjelasan pasal 2
ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 (diubah dengan Undang-Undang No. 35
Tahun 1999) yang menyatakan:
“Penyelesaian setiap perkara yang diajukan kepada badan-badan perdilan
mengandung pengrtian di dalamnya penyelesaian masalah yang bersangkutan dengan
yuridiksi voluntair”
Ciri-ciri gugatan voluntair diantaranya adalah:
a. Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata.
b. Gugatan atau permohonan ini adalah tanpa sengketa.
c. Tidak ada pihak lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan. d. Para pihak
disebut Pemohon dan Termohon.
Contoh : Permohonan pengangkatan Anak
2. Gugatan (Contentius)
Gugatan contentious adalah suatu permasalahan perdata yang berbentuk gugatan.
Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 (diubah dengan
Undang-Undang No. 35 Tahun 1999), tugas dan wewenang peradilan selain menerima
gugatan voluntair namun juga menyelesaikan gugatan contentious.
Ciri-ciri gugatan contentious diantaranya adalah:
a.Masalah yang diajukan adalah penuntutan suatu hak atas sengketa antara seseorang
atau badan hukum dengan seseorang atau badan hukum yang lain.
b. Adanya suatu sengketa dalam gugatan ini.
c. Terdapat lawan atau pihak lain yang bisa ikut diseret dalam gugatan ini.
d. Para pihak disebut penggugat dan tergugat.
Contoh : Gugatan Hutang piutang pihak satu dengan pihak lainnya.

5. Sita Marital merupakan sita yang diletakkan atas harta bersama suami istri,
baik itu harta yang ada dalam penguasaan suami atau istri. Sita Marital
diajukan di pengadilan pada saat proses perceraian berlangsung. Tujuan sita
marital berbeda dengan sita jaminan pada umumnya yaitu untuk menjamin
pembayaran debitur kepada kreditur. Adapun Sita Marital bertujuan untuk
membekukan “harta bersama” suami istri agar harta dimaksud tidak berpindah
kepada pihak ketiga selama proses perceraian atau selama proses pembagian
harta.
Sita marital bagi perceraian suami-istri yang beragama Islam/muslim diatur Pasal 78
huruf c UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU Peradilan Agama”) Jo.
Pasal 95 dan Pasal 136 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).
Sita marital dimohonkan oleh pihak istri terhadap harta perkawinan baik yang
bergerak atau tidak bergerak, sebagai jaminan untuk memperoleh bagiannya
sehubungan dengan gugatan perceraian, agar selama proses berlangsung barang
barang tersebut tidak dialihkan suami.
6. Berita Acara Persidangan pengadilan Agama merupakan akta otentik karena
dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu hakin dan Panitera/panitera
pengganti dan isinya adalah berupa hal ikhwal secara lengkap mengenai
pemeriksaan perkara dalam persidangan yang dijadikan pedoman hakim dalam
menyusun putusan berita acara harus ditandatangani ketua majelis dan
panitera sidang.
Isi dari berita acara :
a. Pengadilan yang memeriksa.
b. Hari, Tanggal,Bulan dan Tahun.
c. Identitas dan kedudukan pihak dalam perkara.
d. Susunan majelis hakim dan panitera sidang.
e. Pernyataan sidang dibuka dan terbuka untuk umum.
f. Keterangan kehadiran dan ketidakhadiran para pihak.
g. Upyaya mediasi dan mendamaikan.
h. Pernyataan sidang tertutup untuk umum.
i. Pembacaan surat gugatan.
j. Pemeriksaan pihak – pihak.
k. Pernyataan sidang terbuka untuk umum pada waktu penundaan sidang
terhadap sidang sebelumnya dinyatakan tertutup untuk umum.
l. Penundaan sidang pada hari , tanggal,bulan,tahun, jam, dengan penjelasan
perintah hadir tanpa di panggil melalui rellas dari/atau di panggil lagi melaluli
rellas.
m. Pernyataan sidang diskors untuk musyawarah majelis hakim.
n. Pernyataan sidang dibuka untuk membaca putusan.
o. Pernyataan sidang di tutup.
p. Penandatanganan oleh ketua dan panitera/panitera pengganti.

7. Pasal 60 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut menyatakan : “(1)


Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa
syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak
masing-masing telah dipenuhi.
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini ialah
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,
karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia

8. Sengekta syariah dapat terjadi anatara pebisnis dengan pebisnis , lemabaga


bank syariah denga nasabah , ataupun dengan beberapa lemabaga ekonomi
syaraih yang tidak sesuai dengan prinsip – prinsip ekonomi syariah .sengketa
ekonomi syariah adalah merupakan suatu pertentangan antara satu pihak atau
lebih pelaku kegiatan ekonomi, dimana kegiatan ekonomi tersebut
berlandaskan pada prinsip-prinsip syariah dan ajaran hukum ekonomi syariah
yang ditimbulkan oleh adanya perbedaan pendapat tentang suatu hal yang
dapat mengakibatkan adanya sanksi hukum terhadap salah satu pihak yang
bersangkutan. Dan terjadinya suatu sengketa tersebut karena salah satu pihak
melakukan wanprestasi dan atau melakukan perbuatan malawan hukum
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pihak yang lain. Wanprestasi
adalah kelalaian pihak debitor dalam memenuhi prestasi yang telah ditentukan
dalam perjanjian artinya sengkata ekonomi syariah dapat terjadi apabila
kegiatan ekonomi tersebut keluar dari ajlur prinsip – prinsip syariah .

Anda mungkin juga menyukai