Anda di halaman 1dari 11

1.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, Pengertian Hukum Acara Perdata adalah rangkaian


peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak dihadapan pengadilan dan
cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan
berjalannya peraturan hukum perdata.
2. Gugatan adalah suatu surat yang di ajukan oleh penguasa pada ketua pengadilan yang
berwenang, yang memuat tuntutan hak yang didalamnya mengandung suatu sengketa dan
merupakan landasan dasar pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian kebenaran suatu hak.
3. Dalam Herziene Indonesische Reglement (“HIR”) dikenal 2 (dua) macam bentuk surat
gugatan yaitu;
Gugatan Tertulis
Bentuk gugatan tertulis adalah yang paling diutamakan di hadapan pengadilan daripada bentuk
lainnya. Gugatan tertulis diatur dalam Pasal 118 ayat (1) HIR / Pasal 142 Rechtsreglement voor
de Buitengewesten (“RBg”) yang menyatakan bahwa gugatan perdata pada tingkat pertama
harus dimasukkan kepada Pengadilan Negeri dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh
penggugat atau kuasanya. Dengan demikian, yang berhak dan berwenang dalam mengajukan
surat gugatan adalah; (i) penggugat dan atau (ii) kuasanya.
Gugatan Lisan
Bagi mereka yang buta huruf dibuka kemungkinan untuk mengajukan gugatan secara lisan
kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang untuk mengadili suatu perkara perdata, karena
bentuk gugatan lisan diatur dalam Pasal 120 HIR (Pasal 144 RBg) yang berbunyi: “bilamana
penggugat buta huruf maka surat gugatannya dapat dimasukkan dengan lisan kepada Ketua
Pengadilan Negeri, yang mencatat gugatan atau menyuruh mencatatnya”. Ketentuan gugatan
lisan yang diatur HIR ini, selain untuk mengakomodir kepentingan penggugat buta huruf yang
jumlahnya masih sangat banyak di Indonesia pada masa pembentukan peraturan ini, juga
membantu rakyat kecil yang tidak mampu menunjuk jasa seorang advokat atau kuasa hukum
karena dapat memperoleh bantuan dari Ketua Pengadilan yang berwenang untuk mengadili suatu
perkara perdata untuk membuatkan gugatan yang diinginkannya.

Tempat Mengajukan Gugatan Secara garis besar pasal 118 HIR/142 RGB mengatur hal
tersebut yang mangatakan:
1. Gugatan perdata yang dalam tingkat pertama masuk wewenang Pengadilan Negeri, harus
diajukan dengan surat gugatan yang ditandatangani oleh Penggugat atau oleh orang yang
dikuasakan terletak tempat tinggal tergugat. Apa itu tempat tinggal? Pasal 17 BW
menyatakan, bahwa tempat tinggal seseorang adalah tempat dimana seseorang menempatkan
pusat kediamannya. Hal ini dapat dilihat dari KTP.
2. Jika tidak diketahui tempat tinggalnya, gugatan diajukan pada PENGADILAN NEGERI
tempat kediaman tergugat. Hal ini dapat dilihat dari rumah tempat kediamannya.
3. Apabila tergugat terdiri dari dua orang atau lebih, gugat diajukan pada tempat tinggal
salah seorang dari para tergugat, terserah pilihan dari penggugat.
4. Apabila tergugat ada dua, yaitu seorang yang berhutang dan penjaminnya, maka gugatan
diajukan kepada PENGADILAN NEGERI pihak yang berhutang, sehingga secara analogis
dengan ketentuan tersebut, apabila tempat tinggal tergugat dan turut tergugat berbeda,
gugatan harus diajukan di tempat tinggal tergugat.
5. Apabila tempat tinggal dan tempat kediaman tergugat tidak diketahui gugatan diajukan
kepada ketua PENGADILAN NEGERI tempat tinggal Penggugat.
6. Kalau gugatan itu tentang benda tidak bergerak, dapat juga diajukan kepada  ketua
PENGADILAN NEGERI dimana barang tetap terletak. Jika benda tak bergerak tersebut
berada di beberapa wilayah PENGADILAN NEGERI, maka gugatan diajukan kepada ketua
salah satu PENGADILAN NEGERI, menurut pilihan Penggugat.
Selain itu terdapat ketentuan-ketentuan lain dalam BW dan RV yang merupakan pengecualian
dalam HIR/RBG, yang mengatur kemana mengajukan gugatan, yaitu:
1. Apabila dalam hal tergugat tidak cakap, gugatan diajukan kepada ketua PENGADILAN
NEGERI orang tuanya, walinya atau pengapunya. (pasal 21 BW)
2. Yang menyangkut Pegawai Negri, yang berwenang untuk mengadili adalah
PENGADILAN NEGERI di daerah mana ia bekerja. (pasal 20 BW)
3. Buruh yang menginap ditempat tinggal majikannya, yang berwenang mengadili adalah
Pengadilan Negeri tempat tinggal majikannya. (pasal 22 BW)
4. Tentang hal kepailitan yang berwenang untuk mengadili, adalah Pengadilan Negeri yang
menyatakan tergugat pailit. (Pasal 99 ayat (15) RV)
5. Tentang Penjaminan (vrijwaning) yang berwenang untuk mengadilinya adalah
Pengadilan Negeri yang pertama dimana pemeriksaan dilakukan. (pasal 99 ayat (14) RV).
Ketentuan tersebut berbeda dengan HIR/RBG dimana gugatan diajukan kepada pihak yang
berhutang.
Tahapan Dan Tatacara Mengajukan Gugatan Atau Permohonan:
1. Tahap Persiapan
Sebelum mengajukan permohonan atau gugatan ke pengadilan perlu diperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
 Pihak yang berpekara.
 Setiap orang yang mempunyai kepentingan dapat menjadi pihak dalam berpekara di
pengadilan.
 Pihak yang berpekara di pengadilan dapat menghadapi dan menghadiri pemeriksaan
persidangan sendiri atau mewakilkan kepada orang lain untuk menghadiri persidangan di
pengadilan
 Kewenangan Pengadilan
Kewenangan relative dan kewenangan absolut harus diperhatikan sebelum me,buat
permomohan atau gugatan yang di ajukan ke pengadilan.
2.Tahap pembuatan permohonan atau gugatan
Permohonan atau gugatan pada prinsipnya secara tertulis (pasal 18 HIR) namun para pihak
tidak bisa baca tulis (buta huruf) permohonan atau gugatan dapat dilimpahkan kepada hakim
untuk disusun permohonan gugatan keudian dibacakan dan diterangkan maksud dan isinya
kepada pihak kemudian ditandatangani olehketua pengadilan agama hakim yang ditunjuk
berdasarkan pasal 120 HIR.
Membuat permohonan pada dasarnya terdiri atas 3 (tiga) bagian adapun mengenai isi gugatan
atau permohonan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 maupun dalam HIR atau Rbg
tidak mengatur, karena itu diambil dari ketentuan pasal 8 No. 3 RV yang mengatakan bahwa
isi gugatan pada pokoknya memuat 3 (tiga) bagian yaitu:
 Identitas para pihak.
Identitas para phak meliputi nama, umur, pekerjaan, agama, kewarganegaraan.
 Posita (Uraian Perkara)
Berisi uraian kejadian atau fakta-fakta yang menjadi dasar adanya sengketa yang terjadi
dan hubungan hokum yang menjadi dasar gugtan.
 Petitium (Permohonan)
Petitium atau tuntutan berisi rincian apa saja yag diminta dan diharapkan penggugat
untuk dinyatakan dalam putusan atau penetapan para kepada para pih.ak terutama pihak
tergughat dalam putusan perkara.
3. Tahap pendaftaran pemohon atau gugatan.
Setelah permohonan atau gugatan dibuat kemudian didaftarkan di kepaniteraan
pengadilan yang berwenang memeriksa dengan membayar biaya panjar perkara. Dengan
membayar biaya panjar perkara maka penggugat atau pemohon mendapatkan nomor perkara
dan tinggal menunggu panggilan sidang.
Perkara yang telah terdaftar di pengadilan oleh panitera disampaikan kepada ketua
pengadilan untuk dapat menunjuk Majelis Hakim yang memeriksa, memutus, dan mengadili
perkara dengan suatu penetapan yang disebut Penetapan Majelis Hakim (PMH) yang terdiri
satu orang hakim sebagai ketua majelis dan dua orang hakim sebagai hakim anggota serta
panitera sidang. Apabila belum ditetapkan panitera yang ditunjuk, majelis hakim dapat
menunjuk panitera sidang sendiri.
4. Tahap Pemeriksaan Permohonan Atau Gugatan
Pada hari sidang telah ditentukan apabila satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir
maka persidangan ditunda dan menetapkan hari sidang berikutnya kepada yang hadir
diperintahkan menghadiri sidang berikutnya tanpa dipanggil dan yang tidak hadir dilakukan
pemanggilan sekali lagi. Dalam praktek pemanggilan pihak yang tidak hadir dilakukan
maksimal 3 (tiga) kali, apabila :
 Penggugat tidak hadir setelah pemanggilan maka kemudian gugatan dinyatakan gugur.
 Tergugat tidak hadir setelah pemanggilan maka kemudian pemeriksaan dilanjutkan
dengan putusan verstek atau putusan tanpa hadirnya pihak tergugat.
 Terdapat beberapa tergugat yang hadir dan ada yang tidak hadir setelah pemanggilan,
maka kemudian pemeriksaan tetap dilakukan dan kepada yang tidak hadir dianggap tidak
menggunakan haknya untuk membela diri.
 Penggugat dan tergugat hadir setelah pemanggilan, maka Pemeriksaan dilanjutkan sesuai
dengan hukum yang berlaku.
1. Jawaban tergugat dapat terdiri dan tiga macam yaitu:
 Eksepsi atau tangkisan yaitu jawaban yang tidak langsung mengenai
pokok perkara.
  Jawaban tergugat mengenai pokok perkara (verweer ten principale).
 Rekonvensi yaitu gugat balik atau gugat balas yang diajukan tergugat
kepada penggugat.
2. Intervensi adalah suatu perbuatan hukum oleh pihak ketiga yang mempunyai
kepentingan dalam gugatan tersebut dengan jalan melibatkan diri atau dilibatkan oleh salah
satu pihak dalam suatu perkara perdata yang sedang berlangsung. Pihak Intervensi tersebut
dapat berperan sebagai Penggugat Intervensi atau pun sebagai Tergugat Intervensi.
 Voeging (menyertai) adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk bergabung kepada
penggugat atau tergugat. Dalam hal ada permohonan voeging, Hakim memberi
kesempatan kepada para pihak untuk menanggapi, kemudian dijatuhkan putusan sela, dan
apabila dikabulkan, maka dalam putusan harus disebutkan kedudukan pihak ketiga
tersebut.
 Intervensi /tussenkomst (menengah) adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk ikut dalam
proses perkara tersebut, berdasarkan alasan ada kepentingannya yang terganggu.
Intervensi diajukan karena pihak ketiga yang merasa bahwa barang miliknya
disengketakan/diperebutkan oleh Penggugat dan Tergugat.
 Kemudian, permohonan intervensi dikabulkan atau ditolak dengan Putusan Sela. Apabila
permohonan intervensi dikabulkan, maka ada dua perkara yang diperiksa bersama-sama
yaitu gugatan asal dan gugatan intervensi.
 Vrijwaring (ditarik sebagai penjamin) adalah penarikan pihak ketiga untuk bertanggung
jawab (untuk membebaskan Tergugat dari tanggung jawab kepada
Penggugat). Vrijwaring diajukan dengan sesuatu permohonan dalam proses pemeriksaan
perkara oleh Tergugat secara lisan atau tertulis.

3. Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan pembuktian adalah proses membuktikan 


dan meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil  yang dikemukakan oleh para pihak dalam
suatu persengketaan di muka persidangan.
Beban Pembuktian
Bahwa yang dibebani pembuktian adalah pihak-pihak yang berkepentingan dalam
suatu perkara. Pihak yang mengakui mempunyai suatu hak harus membuktikan akan hak
tersebut, sedangkan pihak yang membatah terhadap hak tersebut, juga harus membuktikan
bantahannya.
1. Surat, diatur dalam Pasal 165-169.
Surat-surat dapat dibagi dalam surat-surat akte dan surat-surat lain. Surat akte ialah
suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa,
karenanya suatu akte harus selalu ditandatangani.
Surat-surat akte dapat dibagi lagi atas akte resmi (authentiek) dan surat-surat akte di
bawah tangan (onderhands).
Suatu akte resmi (authentiek) ialah suatu akte yang dibuat oleh atau dihadapan seorang
pejabat umum yang menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akte
tesebut. Pejabat umum yang dimaksud adalah notaris, hakim, jurusita pada suatu pengadilan,
Pegawai Pencatatan Sipil (Ambtenaar Burgelijke Stand), dan sebagainya.
Suatu akte resmi (authentiek) mempunyai suatu kekuatan pembuktian
sempurna (volledig bewijs), artinya apabila suatu pihak mengajukan suatu akte resmi, hakim
harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan didalam akte itu, sungguh-
sungguh telah terjadi, sehingga hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian
lagi.
Sedangkan akte di bawah tangan (onderhands) ialah tiap akte yang tidak dibuat oleh
atau dengan perantara seorang pejabat umum. Misalnya, surat perjanjian jual-beli atau sewa
menyewa yang dibuat sendiri dan ditandatangani sendiri oleh kedua belah pihak yang
mengadakan perjanjian itu. Jika pihak yang menandatangani surat perjanjian itu mengakui
atau tidak menyangkal tandatangannya, yang berarti ia mengakui atau tidak menyangkal
kebenaran apa yang tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akte dibawah tangan tersebut
memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akte resmi.
Akan tetapi jika tanda tangan itu disangkal, maka pihak yang mengajukan surat
perjanjian tersebut diwajibkan untuk membuktikan kebenaran penandatanganan atau isi akte
tersebut.
Selanjutnya, terdapat tulisan-tulisan lain, artinya tulisan yang bukan akte seperti surat,
faktur, catatan yang dibuat oleh suatu pihak, dan sebagainya, yang kekuatan pembuktiannya
diserahkan kepada pertimbangan hakim. Hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak
mempercayai kebenarannya.
2. Saksi, diatur dalam Pasal 169-172.
Suatu kesaksian, harus mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata sendiri
atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi. Jadi, tidak boleh saksi itu hanya mendengar
saja tentang adanya peristiwa dari orang lain.
Selanjutnya, tidak boleh pula keterangan saksi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan
yang ditariknya dari peristiwa yang dilihat atau dialaminya, karena hakimlah yang berhak
menarik kesimpulan-kesimpulan itu.
Kesaksian bukanlah suatu alat pembuktian yang sempurna dan mengikat hakim, tetapi
terserah pada hakim untuk menerimanya atau tidak. Artinya, hakim leluasa untuk
mempercayai atau tidak mempercayai keterangan seorang saksi.
Hakim tidak boleh mendasarkan putusan tentang kalah menangnya suatu pihak atas
keterangannya satu saksi saja. Jadi kesaksian itu selalu harus ditambah dengan suatu alat
pembuktian lain. 
3. Persangkaan, diatur dalam Pasal 173.
Persangkan ialah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang
dan nyata. Dari peristiwa yang terang dan nyata ini ditarik kesimpulan bahwa suatu
peristiwa lain yang dibuktikan juga telah terjadi.
Pada pembuktian, ada dua macam persangkaan, yaitu persangkaan yang ditetapkan oleh
undang-undang sendiri (watterlijk vermoeden) dan persangkaan yang ditetapkan oleh
hakim (rechtelijk vermoeden).
Persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang (watterlijk vermoeden), pada
hakekatnya merupakan suatu pembebasan dari kewajiban membuktikan suatu hal untuk
keuntungan salah satu pihak yang berperkara.
Sedangkan persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden), terdapat
pada pemeriksaan suatu perkara, dimana tidak terdapat saksi-saksi yang dengan mata
kepalanya sendiri telah melihat peristiwa itu.
4. Pengakuan, diatur dalam Pasal 174-176.
Menurut undang-undang, suatu pengakuan di depan hakim, merupakan suatu
pembuktian yang sempurna tentang kebenaran hal atau peristiwa yang diakui. Ini berarti,
hakim terpaksa untuk menerima dan menganggap, suatu peristiwa yang telah diakui
memang benar-benar telah terjadi, meskipun sebetulnya ia sendiri tidak percaya bahwa
peristiwa itu sungguh-sungguh telah terjadi.
5. Sumpah, diatur dalam Pasal 177.
Menurut UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang
menentukan (decissoire eed) dan tambahan (supletoir eed).
Sumpah yang menentukan (decissoire eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh
salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri
perkara yang sedang diperiksa oleh hakim. Jika pihak lawan mengangkat sumpah yang
perumusannya disusun sendiri oleh pihak yang memerintahkan pengangkatan sumpah itu, ia
akan dimenangkan, sebaliknya, jika ia tidak berani dan menolak pengangkatan sumpah itu,
ia akan dikalahkan.
Sedangkan suatu sumpah tambahan, adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh
hakim pada salah satu pihak yang berperkara apabila hakim itu berpendapat bahwa di dalam
suatu perkara sudah terdapat suatu ”permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan
penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar
bukti-bukti yang telah ada tersebut. Hakim leluasa memutuskan, apakah ia akan
memerintahkan suatu sumpah tambahan atau tidak dan apakah suatu hal sudah merupakan
permulaan pembuktian.
Perbedaan sumpah tambahan dengan sumpah yang menentukan adalah, bahwa sumpah
yang menentukan datangnya belakangan yang diperintahkan oleh suatu pihak yang
berperkara kepada pihak lawannya, sedangkan sumpah tambahan diperintahkan oleh hakim
karena jabatannya, jadi atas kehendak hakim itu sendiri.

Jenis Putusan Hakim


Menurut Yahya Harahap dalam buku Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (hal. 873-887) jenis putusan
hakim dapat dibagi sebagai berikut:
1.    Dari aspek kehadiran para pihak
a.    Putusan Gugatan Gugur
Putusan ini dijatuhkan jika penggugat tidak datang pada hari sidang yang ditentukan, atau tidak
menyuruh wakilnya untuk menghadiri padahal telah dipanggil dengan patut. Hakim dapat
menjatuhkan putusan menggugurkan gugatan penggugat dan penggugat dihukum membayar
biaya perkara.
b.    Putusan Verstek
Hakim menjatuhkan putusan verstek apabila pada sidang pertama pihak tergugat tidak datang
menghadiri persidangan tanpa alasan yang sah, padahal sudah dipanggil oleh juru sita secara
patut.
c.    Putusan Contradictoir
Putusan ini ditinjau dari segi kehadiran para pihak pada saat putusan diucapkan. Terdapat dua
jenis putusan contradictoir.
-      Pada saat putusan diucapkan para pihak hadir
-      Pada saat putusan diucapkan salah satu pihak tidak hadir

2.    Putusan ditinjau dari sifatnya


Putusan Deklarator
Putusan deklarator atau deklaratif (declatoir vonnis) adalah pernyataan hakim yang tertuang
dalam putusan yang dijatuhkannya. Pernyataan itu merupakan penjelasan atau penetapan tentang
sesuatu hak atau title maupun status dan pernyataan itu dicantumkan dalam amar atau diktum
putusan.
Putusan Constitutief
Putusan constitutief (constitutief vonnis) adalah putusan yang memastikan suatu keadaan hukum,
baik yang bersifat meniadakan suatu keadaan hukum maupun yang menimbulkan keadaan
hukum baru.
Putusan Condemnatoir
Putusan condemnatoir adalah putusan yang memuat amar yang menghukum salah satu pihak
yang berperkara. Putusan yang bersifat kondemnator merupakan bagian yang tidak terpisah dari
amar deklaratif atau konstitutif.
3.    Putusan ditinjau pada saat penjatuhannya
1. Putusan Sela, yaitu ptusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir dimana dimaksudkan
untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara.
2. Putusan Akhir, yaitu putusan yang bertujuan mengakhiri dan menyelesaikan suatu
perkara  yang sedang berlangsung  pada satu tingkat peradilan tertentu, yakni pengadilan
tingkat pertama, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung.
Banding
Adalah upaya hukum yang dilakukan apabila salah satu pihak tidak puas terhadap putusan
Pengadilan Negeri. Dasar hukumnya adalah UU No 4/2004 tentang Perubahan Atas Undang-
undang Pokok Kekuasaan dan UU No 20/1947 tentang Peradilan Ulangan. Permohonan banding
harus diajukan kepada panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan (pasal 7 UU No
20/1947).
Urutan banding menurut pasal 21 UU No 4/2004 jo. pasal 9 UU No 20/1947 mencabut ketentuan
pasal 188-194 HIR, yaitu:
1. ada pernyataan ingin banding
2. panitera membuat akta banding
3. dicatat dalam register induk perkara
4. pernyataan banding harus sudah diterima oleh terbanding paling lama 14 hari sesudah
pernyataan banding tersebut dibuat.
5. pembanding dapat membuat memori banding, terbanding dapat mengajukan kontra
memori banding.
Kasasi
Menurut pasal 29 dan 30 UU No 14/1985 jo. UU No 5/2004 kasasi adalah pembatalan putusan
atas penetapan pengadilan dari semua lingkungan peradilan dalam tingkat peradilan akhir.
Putusan yang diajukan dalam putusan kasasi adalah putusan banding. Alasan yang dipergunakan
dalam permohonan kasasi yang ditentukan dalam pasal 30 UU No 14/1985 jo. UU No 5/2004
adalah:
1. tidak berwenang (baik kewenangan absolut maupun relatif) untuk melampaui batas
wewenang;
2. salah menerapkan/melanggar hukum yang berlaku;
3. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang
mengancam kelalaian dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Peninjauan Kembali
Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan undang-undang, terhadap
putusan pengadilan yang telah berkekuatan huikum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali
kepada Mahkamah Agung dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang
berkempentingan. [pasal 66-77 UU no 14/1985 jo. UU no 5/2004]
Alasan-alasan peninjauan kembali menurut pasal 67 UU no 14/1985 jo. UU no 5/2004, yaitu:
a. ada novum atau bukti baru yang diketahui setelah perkaranya diputus yang didasarkan pada
bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana yang dinyatakan palsu;
b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang
pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemuksn;
c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut/lebih daripada yang dituntut;
d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-
sebabnya;
e. apabila dalam satu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim/suatu kekeliruan yang nyata.
Tenggang waktu pengajuan 180 hari setelah putusan berkekuatan hukum tetap. (pasal 69 UU
14/1985). Mahkamah Agung memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama
dan terakhir (pasal 70 UU no 14/1985).

Anda mungkin juga menyukai