PERTEMUAN 5
Definisi Gugatan ialah Perkara perdata yang tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan
(damai), tidak boleh diselesaikan dengan cara main hakim sendiri (eigenrichting) tetapi harus
diselesaikan melalui pengadilan. Pihak yang merasa dirugikan hak perdatanya dapat mengajukan
perkaranya ke pengadilan untuk memperoleh penyelesaian sebagaimana mestinya, yakni
dengaan menyampaikan gugatan terhadap pihak dirasa merugikan.
Bentuk Gugatan :
Tertulis (Pasal 118 HIR/Pasal 142 Rbg)
Lisan (Pasal 120 HIR/Pasal 144 Rbg), mengenai gugatan lisan diterangkan dalam Pasal
120 HIR alah “bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya yang dapat
dimasukkannya dengan lisan kepada ketua pengadilan negeri yang mencatat gugatan.”Namun
dalam praktek peradilan sekarang, orang sudah tidak lazim lagi mengajukan gugatan secara lisan,
bahkan menurut Yurisprudensi MA tanggal 4-12-1975 Nomor 369 K/Sip/1973 orang yang
menerima kuasa tidak diperbolehkan mengajukan gugatan secara lisan.
Substansi dan Syarat Formil Surat Gugatan :
Syarat Formal
Pembuatan surat permohonan gugatan harus mencantumkan tempat dimana surat permohonan
gugatan dibuat. Yang dimaksud dengan tempat disini adalah tempat tinggal atau domisili
pembuat surat permohonan gugatan. Temppat disini kalau dibuat oleh penggugat sendiri maka
pencantuman tempat di dalam surat gugatan berdasarkan domisili penggugat masuk wilayah
kabupaten atau kota madya mana, sedangkan kalau dibuat oleh kuasa hukumnya, maka tempat
atau domisilinya mengikuti kuasa hukumnya. Khusus untuk tanggal dalam surat gugatan juga
harus dicantumkan dengan jelas, tanggal berapa pembuatannya karena berfungsi untuk
mengentahui kepastian tentang tanggal pembuatan surat gugatan.
2. Materai
Dalam surat permohonan gugatan dibubuhi materai sebesar Rp. 6000,- dan diatas materai diberi
tanggal, bulan, dan tahun sesuai dengan tanggal pembuatan surat permohonan, sedangkan tanda
tangannya harus dikenakan pada bagian materai tersebut ditempel di atas nama penggugat atau
kuasa hukumnya.
3. Tanda Tangan
Surat permohonan gugatan harus ditanda tangani oleh pihak penggugat atau kuasa hukumnya
yang telah diberi kuasa khusus untuk menangani perkaranya di persidangan pengadilan (Pasal
118 aya (1) dan Pasal 123 ayat (1) HIR). Surat gugatan yang tidak ditandatangani oleh penggugat
atau kuasa hukumnya akan dikembalikan oleh pengadilan karena surat gugatan yang tidak
ditandatangani oleh penggugat atau kuasa hukumnya secara yuridis belum sempurna.
Syarat Substansial
Surat gugatan harus disebutkan dengan jelas identitas para pihak yang bersengketa atau subjek
hukumnya yang menyangkut tentang nama lengkap, pekerjaan dan alamat tempat tinggal atau
domisili para pihak yang bersengketa secara detail yang berguna untuk menentukan kewenangan
relatif, yaitu pengadilan mana yang berhak menangani suatu perkara yang diajukan.
Identitas kuasa hukum atau pengacara umumnya hanya ditulis nama, pekerjaan/profesi, dan
alamat kantor dari kuasa hukum atau domisilinya.
Apabila penggugat atau tergugat menggunakan jasa pengacara atau kuasa hukumnya (advokad)
untuk mewakili penggugat atau tergugat di persidangan pengadilan, diperlukan adanya surat
kuasa khusus (Pasal 132 ayat (1) HIR jo. Pasal 147 ayat (1) RBg). Surat kuasa khusus tersebut
umumnya diberikan oleh penggugat atau tergugat kepada kuasa hukumnya dengan maksud agar
penerima kuasa dalam pelaksanaannya dapat bertindak untuk dan atas nama pemberik kuasa.
Surat kuasa khusus dapat dibuat dibawah tangan atau dibuat secara notariil di hadapan notaris.
Pemberian surat kuasa khusus tersebut dapat dengan hak substitusi atau dapat dilimpahkan
kepada orang lain baik sebagian maupun seluruhnya.
Sebelum menyusun gugatan, hal pertama yang harus dilakukan penggugat adalah
melakukan persiapan untuk menyusun gugatan dan kemudian mengajukan gugatan ke
pengadilan. Artinya sebelum sebuah gugatan disusun dan diajukan kepengadilan, maka
penggugat harus melakukan persiapan. Persiapan itu tergentung pula pada gugatan dalam bentuk
apa yang akan disusun.
PERTEMUAN 6
Ekspsi dalam konteks hukum acara perdata bermakna tangkisan atau bantahan
(Objection). Bisa juga berarti pembelaan (Plea) yang diajukan tergugat terhadap materi gugatan
penggugat. Namun tangkisan atau bantahan yang diajukan dalam bentuk eksepsi ditujukan
kepada hal yang menyangkut syarat formalitas gugatan yaitu :
Jika gugatan yang diajukan mengandung cacat atau pelanggaran formil yang mengakibatkan
gugatan tidak sah yang karenanya gugatan tidak dapat diterima (inadmissible), dengan demikian
keberatan yang diajukan dalam bentuk eksepsi tidak ditujukan dan tidak menyinggung bantahan
terhadap pokok perkara (Verweer ten principale).
Cara pengajuan eksepsi diatur dalam beberapa pasal 125 ayat (2), Pasal 133, Pasal 134,
dan Pasal 136 HIR, cara pengajuan berkenaan dengan ketentuan kapan eksepsi disampaikan
dalam proses pemeriksaan berdasarkan pasal pasal tersebut terdapat perbedaan cara mengenai
saat pengajuan eksespsi, dikaitkan dengan jenis eksepsi yang bersangkutan.
Menurut R. Subekti, HIR sesungguhnya menghendaki jawaban tergugat dilakukan secara lisan,
karena pada waktu itu HIR dimaksudkan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk orang-Orang
Bumiputera yang dianggapnya bodoh., … Karena perkembangan hukum acara perdata dan
banyaknya perkara yang diajukan terutama di kota-kota besar lagi pula mengingat bahwa pada
dewasa ini banyak perkara yang dikuasakan kepada advokat dan pengacara setidak-tidaknya
dikuasakan kepada seorang ahli hukum, sekarang sudah lazim bahwa jawaban diajukan oleh
pihak tergugat secara tertulis, lalu dijawab kembali secara tertulis pula oleh pihak penggugat,
yaitu dengan mengajukanl replik. (R. Subekti, 1982:58-59). Selanjutnya replik ini dapat dijawab
kembali oleh pihak tergugat dengan duplik.
Jawaban tergugat dapat terdiri dan tiga macam yaitu:
Pasal 132 huruf (a) Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”) mendefinisikan rekonvensi
adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan
penggugat kepadanya. Gugatan rekonvensi tersebut diajukan tergugat kepada Pengadilan Negeri,
pada saat berlangsung proses pemeriksaan gugatan yang diajukan penggugat.
Gugatan rekonvensi dapat diajukan secara lisan, tetapi lebih baik apabila diajukan dalam bentuk
tertulis. Apapun bentuk pengajuannya baik secara lisan maupun tertulis, yang perlu diperhatikan
adalah gugatan rekonvensi harus memenuhi syarat formil gugatan.
Apabila unsur-unsur di atas tidak terpenuhi, gugatan rekonvensi dianggap tidak memenuhi syarat
dan harus dinyatakan tidak dapat diterima. Agar gugatan rekonvensi memenuhi syarat formil,
dalam gugatan harus disebutkan dengan jelas subjek atau orang yang ditarik sebagai tergugat
rekonvensi. Subjek yang dapat ditarik sebagai tergugat rekonvensi adalah penggugat konvensi.
Gugatan rekonvensi merupakan hak yang diberikan kepada tergugat untuk melawan gugatan
konvensi, maka pihak yang dapat ditarik sebagai tergugat hanya penggugat konvensi.
PERTEMUAN 7
Permohonan agar dilakukan sita jaminan, baik itu sita conservatoir atau sita revindicatoir, harus
dimusyawarahkan Majelis Hakim dengan seksama, apabila permohonan tersebut cukup
beralasan dan dapat dikabulkan maka Ketua Majelis membuat penetapan sita jaminan. Sita
jaminan dilakukan oleh Panitera / Jurusita yang bersangkutan dengan disertai dua orang pegawai
Pengadilan Negeri sebagai saksi.
Sebelum menetapkan permohonan sita jaminan Ketua Pengadilan / Majelis wajib terlebih dahulu
mendengar pihak tergugat.
Dalam mengabulkan permohonan sita jaminan, Hakim wajib memperhatikan :
1. Penyitaan hanya dilakukan terhadap barang milik tergugat (atau dalam hal sita revindicatoir
terhadap barang bergerak tertentu milik penggugat yang ada di tangan tergugat yang
dimaksud dalam surat gugat), setelah terlebih dahulu mendengar keterangan pihak tergugat
(lihat Pasal 227 ayat (2) HIR/Pasal 261 ayat (2) RBg.).
2. Apabila yang disita adalah sebidang tanah, dengan atau tanpa rumah, maka berita acara
penyitaan harus didaftarkan sesuai ketentuan dalam Pasal 227 (3) jo Pasal 198 dan Pasal 199
HIR atau pasal 261 jo pasal 213 dan Pasal 214.
3. Dalam hal tanah yang disita sudah terdaftar / bersertifikat, penyitaan harus didaftarkan di
Badan Pertanahan Nasional. Dan dalam hal tanah yang disita belum terdaftar / belum
bersertifikat, penyitaan harus didaftarkan di Kelurahan. Tindakan tersita yang bertentangan
dengan larangan tersebut adalah batal demi hukum.
4. Barang yang disita ini, meskipun jelas adalah milik penggugat yang disita dengan sita
revindicatoir, harus tetap dipegang / dikuasai oleh tersita. Barang yang disita tidak dapat
dititipkan kepada Lurah atau kepada Penggugat atau membawa barang itu untuk di simpan di
gedung Pengadilan Negeri.
PERTEMUAN 8
Dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah para pihak menunjuk Mediator yang disepakati
atau setelah ditunjuk oleh Ketua Majelis Hakim, masing – masing pihak dapat menyerahkan
resume perkara kepada Hakim Mediator yang ditunjuk.
Proses Mediasi berlangsung paling lama 40 hari kerja sejak Mediator dipilih oleh para pihak atau
ditunjuk oleh Majelis Hakim.
Mediator wajib memperseiapkan jadwal pertemuan Mediasi kepada para pihak untuk disepakati.
Apabila dianggap perlu Mediator dapat melakukan “Kaukus”. Mediator berkewajiban
menyatakan mediasi telah Gagal jika salah satu pihak atau para pihak atau Kuasa Hukumnya
telah 2 kali berturut – turut tidak menghadiri pertemuan Mediasi sesuai jadwal yang telah
disepakati tanpa alasan setelah dipanggil secara patut.
PROSES PERSIDANGAN
PERTEMUAN 9
PEMBUKTIAN
Dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa pembuktian pada
umumnya diatur dalam Buku Empat tentang Pembuktian dan Daluarsa pasal 1865 “Setiap orang
yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya
itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian
yang dikemukakan itu.”
Yang mencari kebenaran dan menetapkan peristiwa adalah hakim lalu yang wajib
membuktikan atau mengajukan alat alat bukti adalah yang berkepentingan didalam perkara atau
sengketa, berkepentingan bahwa gugatannya dikabulkan atau ditolak.
Alat bukti ( bewijsmiddel ) memiliki macam-macam bentuk dan juga jenisnya, yang
memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan juga memberikan keterangan tentang masalah yang
diperkarakan di pengadilan. Berdasarkan keterangan dan penjelasan dari alat bukti itulah hakim
melakukan penilaian, pihak mana yang paling sempurna pembuktiannya.
Macam-Macam Alat Bukti
A. Alat bukti tertulis
Alat bukti tertulis yang berisi keterangan tentang suatu peristiwa, keadaan, atau hal-hal
tertentu. Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa macam alat bukti tertulis diantaranya
sebagai berikut.
Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat sebagai akta dan bukan akta,
sedangkan akta sendiri lebih lanjut dibagi menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan.
B. Alat bukti kesaksian
Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR dan 1902-1912 BW.
Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang
dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan
salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan.
C. Alat bukti persangkaan
“Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari satu
peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum”, pasal 1915
KUH Perdata.
D. Alat bukti pengakuan
Pengakuan (bekentenis confession) diatur dalam HIR pasal 174-176 dan KUH Perdata pasal
1923-1928. Pengakuan merupakan sebuah keterangan sepihak, karenanya tidak diperlukan
persetujuan dari pihak lawan.
E. Alat bukti sumpah
Sumpah sebagai alat bukti ialah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama
Tuhan, dengan tujuan agar orang yang memberi keterangan tersebut takut akan murka Tuhan
bilamana ia berbohong. Sumpah tersebut diikrarkan dengan lisan diucapkan di muka hakim
dalam persidangan dilaksanakan di hadapan pihak lawan dikarenakan tidak adanya alat bukti
lain.
F. Pemeriksaan setempat
Salah satu hal yang erat kaitannya dengan hukum pembuktian adalah pemeriksaan setempat,
namun secara formil ia tidak termasuk alat bukti dalam Pasal 1866 KUH Perdata. Sumber formil
dari pemeriksaan setempat ini adalah ada pada pasal 153 HIR
G. Saksi ahli/Pendapat ahli
Agar maksud pemeriksaan ahli tidak menyimpang dari yang semestinya, perlu dipahami
dengan tepat arti dari kata ahli tersebut