Anda di halaman 1dari 114

RUANG LINGKUP PERMASALAHAN3

GUGATAN KONTENTIOSA

A.PENGERTIAN
Telah dijelaskan, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 (sebagaimana
diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999), dan sekarang diatur dalam Pasal 16 ayat (1)
UU No. 4 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 14 Tahun 1970. Selanjutnya hal itu
dalam UU No. 48 Tahun 2009 sebagai pengganti UU No. 4 Tahun 2004 diatur dalam
Pasal 25 ayat (2). Tugas dan kewenangan badan peradilan di bidang perdata adalah
menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan sengketa di antara para
pihak yang beperkara. Hal inilah yang menjadi tugas pokok peradilan. Wewenang
pengadilan menyelesaikan perkara diantara pihak yang bersengketa, disebut yurisdiksi
contentiosa dan gugatannya berbentuk gugatan contentiosa atau disebut juga
contentious. Dengan demikian yurisdiksi dan gugatan contentiosa, merupakan hal yang
berbeda atau berlawanan dengan yurisdiksi gugatan voluntair yang bersifat sepihak
(ex-parte), yaitu permasalahan yang diajukan untuk diselesaikan pengadilan tidak
mengandung sengketa (undisputed matters), tetapi semata-mata untuk kepentingan
pemohon.
Lain halnya dengan gugatan contentiosa, gugatannya mengandung sengketa di
antara dua pihak atau lebih. Permasalahan yang diajukan dan di minta untuk
diselesaikan dalam gugatan, merupakan sengketa atau perselisihan di antara para
pihak (between contending parties). Di masa yang lalu bentuk ini disebut contentiosa
rechtspraak. Artinya, penyelesaian sengketa di pengadilan melalui proses sanggah-
menyanggah dalam bentuk replik (jawaban dari suatu jawaban),. dan duplik (jawaban
kedua kali). Atau disebut juga op tegenspraak,yaitu proses peradilan sanggah-
menyanggah.
Perkataan contentiosa atau contentious, berasal dari bahasa Latin. Salah satu arti
perkataan itu, yang dekat kaitannya dengan penyelesaian sengketa perkara adalah
penuh semangat bertanding atau berpolemik.! Itu sebabnya

1 K. Prent. CM, dkk, Kamus Latin Indonesia,Kanisius,Jakarta,1969,hlm.188.

Hukum Acara Perdata


Scanned with CamScanner
penyelesaian perkara yang mengandung sengketa,disebut yurisdiksi contentiosa atau
contentious jurisdiction, yaitu kewenangan peradilan yang memeriksa perkara yang berkenaan
dengan masalah persengketaan (jurisdiction ofcourt that is concerned with contested matters)
antara pihak yang bersengketa (between contending parties).2
Gugatan contentiosa inilah yang dimaksud dengan gugatan perdata dalam praktik. Sedang
penggunaan gugatan contentiosa, lebih bercorak pengkajian teoretis untuk membedakannya
dengan gugatan voluntair. Dalam perundang-undángan, istilah yang dipergunakan adalah
gugatan perdata atau gugatan saja.
Pasal 118 ayat (1) HIR mempergunakan istilah gugatan perdata.3 Akan tetapi, dalam pasal-
pasal selanjutnya, disebut gugatan atau gugat saja (seperti dalam Pasal 119,120,dan
sebagainya.
Pasal 1 Rv menyebut gugatan (tiap-tiap proses perkara perdata.., dimulai dengan sesuatu
pemberitahuan gugatan ....).4 Namun jika pasal itu dibaca keseluruhan, yang dimaksud dengan
gugatan adalah gugatan perdata.
Prof. Sudikno Mertokusumo, juga mempergunakan istilah gugatan, berupa tuntutan
perdata (burgerlijke vordering) tentang hak yang mengandung sengketa dengan pihak lain'.
Begitu juga Prof. R. Subekti, mempergunakan sebutan gugatan, yang dituangkan dalam surat
gugatan. Dengan demikian setiap perkara perdata, diajukan ke PN dalam bentuk surat
gugatan.6 Begitu juga halnya dalam praktik peradilan. Selamanya dipergunakan istilah gugatan.
Penyebutan ini dianggap langsung membedakannya dengan permohonan yang bersifat
voluntair. Salah satu contoh Putusan MA yang mengatakan: selama proses perkara belum
diperiksa di persidangan, penggugat berhak mencabut gugatan tanpa persetujuan tergugat.?
Bertitik tolak dari penjelasan di atas, yang dimaksud dengan gugatan perdata adalah
gugatan contentiosa yang mengandung sengketa di antara pihak yang beperkara yang
pemeriksaan penyelesaiannya diberikan dan diajukan kepada pengadilan dengan posisi para
pihak:
yang mengajukan penyelesaian sengketa disebut dan bertindak sebagai penggugat (plaintiff=
planctus, the partywho institutes a legal actionor claim),8
2 Lihat Henry Campbell Black, Black's Law Dictionary, West Publishing, St Paul Minn, Fifth Edition, 1978,hlm.289.
3 Lihat R. Soesilo. RIB/HIR dengan Penjelasan, Politeia,Bogor,1985.
Lihat Himpunan Peraturan Perundang-undaugan RI. Jehtian Baru Van Hoeve, Jakarta, hlm.599.
Ibid.,hlm.34.
Ibid.,hlm.28.
No.1841 K/Pdu1984,23-11-1985 (belum dipublikasi)jo.PT Ujung Pandang No.361/1981,11-4. 1984 Pekan Baru
No.31/1981,23-3-1982.
8 Merriam Webster'S Dictionary ofLaw, Merriam Webster; Springfield Mássachussetts, hlm. 365.

Scanned with CamScanner


sedangkan yang ditarik sebagai pihak lawan dalam penyelesaian, disebut dan
berkedudukan sebagai tergugat(defendant, the party against whoma civil action is
brought)9
Dengan demikian, ciri yang melekat pada gugatan perdata:
permasalahan hukum yang diajukan ke pengadilan mengandung sengketa (disputes,
differences),
sengketa terjadi di antara para pihak, paling kurang di antara dua pihak,
berarti gugatan perdata bersifat partai (party), dengan komposisi, pihak yang
satu bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat dan pihak yang lain,
berkedudukan sebagai tergugat.

B. BENTUK GUGATAN
Bentuk gugatan perdata yang dibenarkan undang-undang dalam praktik, dapat dijelaskan
sebagai berikut.

1. Berbentuk Lisan
Bentuk gugatan lisan, diatur dalam Pasal 120 HIR (Pasal 144 RBG) yang
menegaskan:
Bilamana penggugat buta hurufmaka surat gugatannya dapat dimasukkan dengan lisan kepada
Ketua Pengadilan Negeri, yang mencatat gugatan itu atau menyuruh mencatatnya.

Pada saat undang-undang (HIR) ini dibuat tahun 1941 (St.1941,No 44), ketentuan Pasal 120
ini benar-benar realistis, mengakomodasi kepentingan anggota masyarakat buta huruf yang
sangat besar jumlahnya pada saat itu. Ketentuan ini sangat bermanfaat membantu masyarakat
buta huruf yang tidak mampu membuat dan memformulasi gugatan tertulis. Mereka dapat
mengajukan gugatan dengan lisan kepada Ketua PN, yang oleh undang-undang diwajibkan
untuk mencatat dan menyuruh catat gugat lisan, dan selanjutnya Ketua PN memformulasinya
dalam bentuk tertulis. Selain itu, ketentuan ini melepaskan rakyat kecil yang tidak mampu
menunjuk seorang kuasa atau pengacara,karena tanpa bantuan pengacara dapat memperoleh
bantuan pertolongan dari Ketua PN untuk membuat gugatan yang diinginkannya.
Tanpa mengurangi penjelasan di atas, ada pihak yang berpendapat, ketentuan ini tidak
relevan lagi. Bukankah tingkat kecerdasan masyarakat sudah jauh meningkat dibanding masa
lalu. Apalagi, perkembangan jumlah pengacara yang sudah mencapai kota kabupaten,
memperkuat alasan tentang tidak relevannya gugatan secara lisan.Namun
demikian,menerhatikan luasnya

9 Ibid.,hlm.128.

Hukum Acara Perdata


Scanned with CamScanner
Indonesia serta tingkat kecerdasan yang tidak merata terutama di pelosok pedesaan,
dihubungkan dengan mahalnya biaya jasa pengacara,ketentuan Pasal 120 HIR, dianggap masih
perlu dipertahankan dalam pembaruan hukum acara perdata yang akan datang.
Terlepas dari hal di atas, terdapat beberapa segi yang perlu dibicarakan mengenai pengajuan
gugatan secara lisan. Yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut.
a. Syarat Formil Gugatan Lisan
Penggugat tidak bisa membaca dan menulis. Dengan kata lain, penggugat buta aksara. Dalam
Pasal 120 HIR, hanya disebut buta aksara. Tidak termasuk orang yang buta hukum atau yang
kurang memahami hukum. Juga tidak disyaratkan orang yang tidak mampu secara finansial.
Tidak dimasukkan syarat kemampuan finansial sebagai syarat yang diakumulasi dengan buta
aksara, membuat ketentuan ini kurang adil. Alasannya orang yang kaya tetapi buta aksara, pada
dasarnya dapat membiayai pengacara, sehingga kurang layak mendapat bantuan dari Ketua PN.
b. Cara Pengajuan Gugatan Lisan
Pengajuan gugatan dilakukan dengan
diajukan dengan lisan,
kepada Ketua PN, dan
menjelaskan atau menerangkan isi dan maksud gugatan.
Pengajuan atau pemasukan gugatan secara lisan, disampaikan sendiri oleh penggugat.
Tidak boleh diwakilkan oleh kuasa atau pengacara yang ditunjuknya. Dengan menunjuk
pengacara sebagai kuasa yang akan mewakili kepentingannya, menurut hukum dianggap telah
melenyapkan syarat buta aksara. Kecuali yang ditunjuk sebagai kuasa terdiri dari anggota
keluarga yang juga buta aksara, pada diri kuasa dianggap melekat syarat tersebut. Mengenai
larangan ini, tertera juga dalam satu Putusan MA yang menegaskan,1° orang yang diberi kuasa,
tidak berhak mengajukan gugatan secara lisan:

Fungsi Ketua PN
Ketua PN wajib memberi layanan,
pelayanan yang harus diberikan Ketua PN:
mencatat atau menyuruh catat gugatan yang disampaikan penggugat, dan
merumuskan sebaik mungkin gugatan itu dalam bentuk tertulis sesuai yang
diterangkan penggugat.

10
No.369 K/Sip/1973, 4-12-1975.

Bab 3 Ruang Lingkup Permasalahan Gugatan Kontentiosa

Scanned with CamScanner


Sehubungan dengan kewajiban mencatat dan merumuskan gugatan sebaik mungkin, Ketua
PN perlu memerhatikan Putusan MA tentang ini yang menegaskan,"Adalah tugas HHakim
Pengadilan Negeri untuk menyempurnakan gugatan tulisan tersebut dengan jalan melengkapinya
dengan petitum, sehingga dapat mencapai apa sebetulnya yang dimaksud oleh penggugat.

2. Bentuk Tertulis
Gugatan yang paling diutamakan adalah gugatan dalam bentuk tertulis.Hal ini ditegaskan
dalam Pasal 118 ayat (1) HIR (Pasal 142 RBG). Menurut pasal ini, gugatan perdata harus
dimasukkan kepada PN dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat
atau kuasanya. Memerhatikan ketentuan ini,yang berhak dan berwenang membuat dan
mengajukan gugatan perdata adalah sebagai berikut.
a. Penggugat Sendiri
Surat gugatan dibuat dan ditandatangani oleh penggugat sendiri. Kebolehan penggugat
membuat, menandatangani, dan mengajukan sendiri gugatan ke PN, adalah karena HIR
maupun RBG, tidak menganut sistem Verplichte Procureur Stelling, yang mewajibkan
penggugat harus memberi kuasa kepada yang berpredikat pengacara atau advokat untuk
mewakilinya, sebagaimana hal itu dahulu dianut oleh Reglement op de Rechtvordering
(Rv).
Kebolehan ini dengan tegas disebut dalam Pasal 118 ayat (1) HIR, dengan demikian:
tidak ada keharusan atau kewajiban hukum bagi penggugat untuk menguasakan
atau memberi kuasa dalam pembuatan, penandatanganan, serta pengajuan
gugatan kepada seseorang yang berpredikat pengacara atau advokat;12
akan tetapi, hal itu tidak mengurangi haknya untuk menunjuk seseorang atau beberapa
orang kuasa, yang akan bertindak mengurus kepentingannya dalam pembuatan dan
pengajuan gugatan. 13
b. Kuasa
Selanjutnya, Pasal 118 ayat (1) HIR, memberi hak dan kewenangan kepada kuasa atau
wakilnya untuk membuat, menandatangani, mengajukan atau menyampaikan surat
gugatan kepada PN. Ketentuan ini,sejalan dengan yang digariskan pada Pasal 123
ayat(1)HIR yang mengatakan,baik penggugat dan tergugat (kedua belah pihak):

11 No.195 K/Sip/1955, 28-11-1956, Majalah Hukum 1957 No. 7-8, hlm. 29.
12 Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Jakarta, 1977,hlm.11.
13 Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia,Liberty, Yogyakarta, 1998, hlm. 11.

Hukum Acara Perdata


Scanned with CamScanner
dapat dibantu atau diwakili olch kuasa yang dikuasakan untuk melakukan
tindakan di depan pengadilan, dan
kuasa itu diberikan dengan surat kuasa khusus (special power ofattorney).
Supaya pémbuatan dan penandatanganan serta pengajuan surat gugatan
yang dilakukan kuasa sah dan tidak cacat hukum, harus ditempuh prosedur
berikut.
Sebelum membuat dan menandatangani surat gugatan, kuasa yang akan
bertindak mewakili penggugat, harus lebih dahulu diberi surat kuasa khusus.
Berdasarkan surat kuasa, kuasa bertindak membuat, menandatangani
dan mengajukan surat gugatan atas nama dan kepentingan penggugat
atau pemberi kuasa (lastgever, manddate).
Apabila kuasa atau penerima kuasa (lasthebber; mandataris), membuat,
menandatangani dan mengajukan gugatan sebelum mendapat kuasa atau
lebih dahulu membuat dan menandatangani gugatan daripada tanggal surat
kuasa:
gugatan yang dibuat dan ditandatangani kuasa itu, dianggap mengan-dung
cacat formil;
akibatnya, gugatan itu akan dinyatakan pengadilan tidak sah dan tidak dapat
diterima atas alasan, gugatan ditandatangani oleh orang yang tidak
berwenang (unauthorized) untuk itu, karena pada waktu kuasa
menandatangani gugatan, dia sendiri belum mempunyai surat kuasa.
Dari penjelasan di atas, jika yang bertindak membuat dan menandatangani surat gugatan
adalah kuasa maka sebelum itu dilakukannya, ia harus lebih dahulu mendapat kuasa yang
dituangkan dalam bentuk surat kuasa khusus dari penggugat. Paling tidak agar penandatanganan
surat gugatan sah dan tidak cacat, tanggal surat kuasa dengan tanggal penandatanganan surat
gugatan diberi dan dibuat pada hari dan tanggal yang sama.

C.FORMULASI SURAT GUGATAN


Yang dimaksud dengan formulasi surat gugatan adalah perumusan (formulation) surat
gugatan yang dianggap mémenuhi syarat formil menurut ketentuan hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sehubungan dengan itu, dalam uraian ini akan
dikemukakan berbagai ketentuan formil yang wajib terdapat dan tercantum dalam surat
gugatan. Syarat-syarat tersebut, akan ditampilkan secara berurutan sesuai dengan
sistematika yang lazim dan standar dalam praktik peradilan. Memang benar, apa yang
dikemukakan Prof. Soepomo. Pada dasarnya Pasal 118 dan Pasal 120 HIR, tidak
menetapkan syarat formulasi atau isi gugatan.14 Akan tetapi,sesuai dengan
perkembangan praktik, ada kecenderungan yang menuntut formulasi gugatan yang jelas
fundamentum

Bab 3 Ruang Lingkup Permasalahon Ca


Scanned with CamScanner
petendi (posita) dan petitum sesuai dengan sistem dagvaarding.Oleh karena
itu,tanpa mengurangi penjelasan Soepomo tersebut, akan diuraikan secara rinci
hal-hal yang harus dirumuskan dalam surat gugatan.
1.Ditujukan(Dialamatkan) kepada PN Sesuai dengan Kompetensi
Relatif
Surat gugatan,secara formil harus ditujukan dan dialamatkan kepada PN sesuai dengan
kompetensi relatif.Harus tegas dan jelas tertulis PN yang dituju,sesuai dengan patokan
kompetensi relatif yang diatur dalam Pasal 118 HIR(mengenai kompetensi relatif akan
dijelaskan lebih lanjut). Apabila surat gugatan salah alamat atau tidak sesuai dengan
kompetensi relatif:
mengakibatkan gugatan mengandung cacat formil, karena gugatan
disampaikan dan dialamatkan kepada PN yang berada di luar wilayah
hukum yang berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya;
dengan demikian, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijke
verklaard) atas alasan hakim tidak berwenang mengadili.
2. DiberiTanggal
Kctentuan undang-undang tidak menyebut surat gugatan harus mencantumkan
tanggal.Begitu juga halnya jika surat gugatan dikaitkan dengan pengertian akta sebagai
alat bukti, Pasal 1868 maupun Pasal 1874 KUH Perdata, tidak menyebut pencantuman
tanggal di dalamnya. Karena itu, jika bertitik tolak dari ketentuan Pasal 118 ayat(1) HIR
dihubungkan dengan pengertian akta sebagai alat bukti, pada dasarnya tidak mewajibkan
pencantuman tanggal sebagai syarat formil. Oleh karena itu, ditinjau dari segi hukum:
pencantuman tanggal, tidak imperatif dan bahkan tidak merupakan syarat
formil surat gugatan;
dengan demikian, kelalaian atas pencantuman tanggal, tidak mengakibatkan
surat gugatan mengandung cacat formil;
surat gugatan yang tidak mencantumkan tanggal,sah menurut hukum, sehingga
tidak dapat dijadikan dasar untuk menyatakan gugatan tidak dapat diterima.

Namun demikian, sebaiknya dicantumkan guna menjamin kepastian hukum atas

pembuatan dan penandatanganan surat gugatan, sehingga apabila timbul masalah

penandatanganan surat gugatan berhadapan dengan tanggal pembuatan dan

penandatanganan surat kuasa,segera dapat diselesaikan.Menghadapi surat gugatan

yang tidak mencantumkan tanggal, dapat diselesaikan berdasarkan pada tanggal register

perkara di kepaniteraan.Masalah ini perlu dipahami oleh semua


14Soepomo,Hulam Acara Perdata Pengadilan Negeri,Pradnya Paramita,Jakarta,1993,hlm.24.
Scanned with CamScanner
pihak, baik penggugat, tergugat, maupun pengadilan, agar dapat ditegakkan
kepastian hukum, apabila timbul masalah yang berkaitan langsung dengan surat
gugatan.
Jalan keluar yang paling tepat, pengadilan memérintahkan perbaikan gugatan
dengan cara mencantumkan tanggal. Hal itu dapat dilakukan panitera pada saat surat
gugatan diajukan atau oleh hakim dalam persidangan, terutama pada sidang pertama.
Perbaikan pencantuman tanggal surat gugatan, tidak bertentangan dengan hukum.
Perbaikan atau penambahan tanggal tersebut, tidak dapat dianggap dan dikualifikasi
mengubah materi gugatan.

3. Ditandatangani Penggugat atau Kuasa


Mengenai tanda tangan dengan tegas disebut sebagai syarat formil surat gugatan.
Pasal 118 ayat (1) HIR menyatakan:
gugatan perdata harus dimasukkan ke PN sesuai dengan kompetensi relatif,
dan
dibuat dalam bentuk surat permohonan (surat permintaan) yang ditanda-
tanġani oleh penggugat atau oleh wakilnya (kuasanya).
a. Tanda Tangan Ditulis dengan Tangan Sendiri
Yang dimaksud dengan tanda tangan (handtekening, signature), pada umumnya
merupakan tanda atau inisial nama yang dituliskan dengan tangan sendiri oleh
penanda tangan. Penandatanganan dapat dilakukan oleh penggugat sendiri atau
kuasanya, asal pada saat kuasa ditandatangani, lebih dahulu telah dibuat dan
diberikan surat kuasa khusus.
b. Cap Jempol Disamakan dengan Tanda Tangan Berdasarkan St 1919-776
Penggugat yang tidak dapat menulis, dapat mémbubuhkan cap jempol dį atas surat
gugatan sebagai pengganti tanda tangan.
Menurut St. 1919-776, cap jempol, berupa cap ibu jari tangan:
disamakan dengan tanda tangan (handtekening);
akan tetapi agar benar-benar sah sebagai tanda tangan, harus dipenuhi
syarat, cap jempol tersebut dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang (camat,
hakim, atáu panitera)
Mengenai penerapan legalisasi dalam praktik, pada dasarnya dianggap
sebagai syarat imperatifatas keabsahan cap jempol. Namun sifat imperatifnya
diperlunak atau dilenturkan (flexible). Apabila hakim menemukan cap jempol yang
belum dilegalisir dalam surat gugatan:
tidåk layak hakim langsung menyatakan gugatan cacat formil, atas alasan cap
jempol tidak dilegalisir;

Scanned with CamScanner


tetapi hakim menyuruh atau memerintahkan kepada yang bersangkutan untuk
melegalisirnya.
Penerapan yang seperti itu dapat dilihat dalam salah satu Putusan MAIs yang
mempertimbangkan:
Cap jempol yang tidak dilegalisir, tidak mengakibatkan surat gugatan batal demi hukum,
tetapi cukup diperbaiki dengan jalan menyuruh penggugat untuk melegalisir.
4. Identitas Para Pihak
Penyebutan identitas dalam surat gugatan, merupakan syarat formil keabsahan gugatan.
Surat gugatan yang tidak menyebut identitas para pihak, apalagi tidak menyebut identitas
tergugat,menyebabkan gugatan tidak sah dan dianggap tidak ada.Tentang penyebutan
identitas dalam gugatan, sangat sederhana sekali. Tidak seperti yang disyaratkan dalam
surat dakwaan perkara pidana yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) hurufa KUHAP
(meliputi nama lengkap,tempat lahir,umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka).
Tidak seluas itu syarat identitas yang harus disebut dalam surat gugatan. Bertitik tolak
dari ketentuan Pasal 118 ayat (1) HIR, identitas yang harus dicantumkan, cukup memadai
sebagai dasar untuk:
menyampaikan panggilan, atau
menyampaikan pemberitahuan.
Dengan demikian, oleh karena tujuan utama pencantuman identitas agar dapat disampaikan
panggilan dan pemberitahuan, identitas yang wajib disebut, cukup meliputi:
a. Nama Lengkap
1) Nama Terang dan Lengkap, Termasuk Gelar atau Alias (jika Ada) Maksud
mencantumkan ġelar atau alias, untuk membedakan orang tersebut dengan orang lain
yang kebetulan namanya sama pada lingkungan tempat tinggal.16
2)Kekeliruan Penyebutan Nama yang Serius
kekeliruan penulisan atau penyebutan nama Tergugat yang sangat serius
menyimpang dari yang semestinya,sehingga benar-benar mengubah
identitas,dianggap melanggar syarat formil yang mengakibatkan surat gugatan
cacat formil;

15 No.769 K/Sip/1976,24-8-1978.
16 Lihat Abdulkadir Muhammad,Hulkum Acara Perdata Indonesia,Citra Aditya Bakti,Bandung,1992. hlm.41.

Scanned with CamScanner


dalam hal yang seperti ini, timbul ketidakpastian mengenai orang atau
pihak yang beperkara, sehingga cukup dasar alasan untuk menyatakan
gugatan error in persona atau obscuur libel, dalam arti orang yang digugat
kabur atau tidak jelas. Oleh karena itu, gugatan dinyatakan tidak dapat
diterima.
3) Penulisan Nama Tidak Boleh Didekati secara Sempit atau Kaku (Strict Law),
tetapi Harus dengan Lentur (Flexible)
apabila kekeliruan itu sangát kecil dan tidak berarti dapat atau harus ditolerir,
misalnya, salah menulis a menjadi o, kekeliruan itu dikategorikan sebagai
kesalahan pengetikan (clerical error);
oleh karena itu, kesalahan dimaksud dapat diperbaiki oleh Penggugat dalam
persidangan melalui surat perbaikan atau perbaikan dilakukan dalam replik
(balasan atas jawaban tergugat). Bahkan hakim sendiri dapat memperbaiki
dalam berita acara persidangan maupun dalam putusan.
4) Penulisan Nama Perseroan Harus Lengkap dan Jelas
Sama halnya dengan penulisan nama orang, penulisan korporasi atau badan
hukum (legal entity), harus lengkap dan jelas sesuai dengan nama yang
sesungguhnya berdasarkan:
nama yang disebut dalam anggaran dasar atau yang tercantum pada papan
nama maupun yang tertulis pada surat-surat resmi perusahaan;
biasanya, selain ditulis nama lengkap perseroan, ditulis juga nama singkatan
sebagaimana yang disebut dalam anggaran dasar atau papan nama.
b. Alamat atau Tempat Tinggal
Identitas lain yang mutlak dicantumkan adalah mengenai alamat atau tempat
tinggal tergugat atau para pihak.
1) Yang Dimaksud dengan Alamat Menurut hukum sesuai dengan tata tertib
beracara, yang dimaksud dengan alamat, meliputi:
alamat kediaman pokok,
bisa juga alamat kediaman tambahan,
atau tempat tinggal riil.
Pokoknya didasarkan pada asas yang bersangkutan secara nyata bertempat
tinggal.
2) Sumber Keabsahan Alamat
Terdapat beberapa sumber dokumen atau akta yang dapat dijadikan sumber
alamat yang legal:

Scanned with CamScanner


bagi perorangan (physical person), dapat diambil dari KTP, NPWP
(Nomor Pokok Wajib Pajak), dan Kartu Rumah Tangga(KK);
bagi perseroan (legal entity),dapat diambil dari NPWP,Anggaran Dasar,
Izin Usaha atau dari Papan Nama.
Alamat yang diambil dari dokumen atau akta, sah menurut hukum.Oleh karena
itu,pencantuman alamat yang didasarkan dari sumber alamat itu, tidak dapat
diajukan bantahan.
3) Perubahan Alamat Tergugat Sesudah Gugatan Diajukan
Apabila terjadi perubahan alamat tergugat sesudah gugatan diajukan
penggugat,sehingga alamat yang disebut dalam gugatan berbeda dengan
tempat tinggal riil tergugat:
tidak mengakibatkan gugatan cacat formil, sehingga perubahan dan perbedaan
alamat itu, tidak memengaruhi keabsahan gugatan,
oleh karena itu, tergugat tidak dapat menjadikan hal itu sebagai dasar bantahan
atau eksepsi agar gugatan dinyatakan salah alamat, atau untuk dijadikan dasar
alasan menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Rasio yang terkandung dalam penerapan. yang dijelaskan di atas, untuk
menghindari tindakan sewenang-wenang dari tergugat. Sebab kalau perubahan
alamat sesudah gugatan diajukan dibenarkan mengakibatkan gugatan cacat
formil, perubahan itu akan dimanfaatkan tergugat yang beriktikad buruk untuk
melumpuhkan dan mempermainkan penggugat dan peradilan. Cara tergugat
memperolok peradilan, dengan jalan saat gugatan diajukan oleh penggugat ke
PN, buru-buru tergugat pindah tempat atau mengubah alamat. Demikian
seterusnya, sehingga jika hal itu dibenarkan mengakibatkan runtuh dan hancur
kepastian hukum. Dampak yang lebih jauh, mengakibatkan perkara tersebut
tidak dapat diselesaikan.
4) Tidak Diketahui Alamat Tempat Tinggal Tergugàt
Apabila alamat tergugat tidak diketahui, tidak menjadi hambatan bagi penggugat
untuk mengajukan gugatan. Pasal 390 ayat(3) HIR telah mengantisipasi
kemungkinan tersebut dalam bentuk pemanggilan umum oleh wali kota atau
bupati. Hukum dan undang-undang tidak boleh mematikan hak perdata
seseorang untuk menggugat orang lain,hanya atas alasan tidak diketahui tempat
tinggal tergugat. Penegakan hukum yang seperti itu,bertentangan dengan rasa
keadilan dan kepatutan.Sehubungan dengan itu,apabila penggugat dihadapkan
dengan permasalahan hukum yang seperti itu,dapat ditempuh cara perumusan
identitas alamat sebagai berikut:

Scanned with CamScanner


mencantumkan alamat atau tempat tinggal terakhir,
dalam penulisan identitas alamat, cukup atau dapat mencantumkan alamat
atau tempat tinggal terakhir, dengan kata-kata: terakhir bertempat tinggal atau
bertempat kediaman di ...,atau
dengan tegas menyebutkan, tidak diketahui alamat atau tempat tinggalnya.
Supaya cara ini benar-benar beralasan, pernyataan itu sebaiknya didukung
oleh surat keterangan kepala desa di tempat tergugat terakhir bertempat
tinggal. Oleh karena itu, apabila penggugat menghadapi kasus, tempat
tergugat tidak diketahui, sebaiknya diminta lebih dahulu surat keterangan
kepala desa tentang hal itu. Berdasarkan surat keterangan itu, penggugat
dapat merumuskan identitas alamat tempat tinggal yang berbunyi:alamat atau
tempat tinggal tergugat tidak diketahui berdasarkan surat keterangan kepala
desa Tanggal... Nomor....
Berdasarkan surat keterangan itu, pengadilan dapat langsung menempuh
proses pemeriksaan melalui panggilan umum berdasarkan Pasal 390 ayat
(3)HIR(lihat kembali pembahasan pemanggilan).
c. Penyebutan Identitas Lain, Tidak Imperatif
Tidak dilarang mencantumkan identitas tergugat yang lengkap, meliputi umur,
pekerjaan, agama, jenis kelamin, dan suku bangsa.17 Lebih lengkap tentunya
lebih baik dan lebih pasti. Akan tetapi, hal itu jangan diterapkan secara sempit,
yang menjadikan pencantuman identitas secara lengkap sebagai syarat formil.
Penerapan yang demikian merupakan pemerkosaan hukum bagi penggugat,
karena tidak mudah untuk mendapat identitas tergugat yang lengkap. Sangat sulit
bagi penggugat untuk mengetahui dan memperoleh data umur dan tanggal lahir.
Kecuali apabila yang digugat itu perseroan, perlu atau harus disebut kedudukan
atau jabatan orang yang bertindak mewakilinya. Biasanya yang mewakili itu
direktur. Memerhatikan kesulitan itu, tepat dan beralasan penggarisan undang-
undang dan praktik peradilan yang mencukupkan pencatuman identitas tergugat
atau para pihak sebatas penyebutan:
nama lengkap dengan jelas, ditambah alias (jika ada),
alamat tempat tinggal atau tempat kediaman pokok atau tambahan,
jabatan yang mewakili perseroan, apabila yang digugat atau penggugatnya
perseroan.
Penyebutan identitas yang demikian, sah menurut hukum, dengan ketentuan,
penyebutan identitas yang lengkap adalah lebih baik, namun tidak bersifat
imperatif.

17 Bandingkan Abdulkadir Muhammad,ibid.,hlm.41.

Scanned with CamScanner


5. Fundamentum Petendi
Fundamentum petendi,berarti dasar gugatan atau dasar tuntutan (grondslag van
de lis).18 Dalam praktik peradilan terdapat beberapa istilah yang akrab
digunakan, antara lain:
positum atau bentuk jamak disebut posita gugatan, dan
dalam bahasa Indonesia disebut dalil gugatan.
Posita atau dalil gugatan merupakan landasan pemeriksaan dan penyelesaian
perkara.Pemeriksaan dan penyclcsaian tidak boleh menyimpang dari dalil gugatan.
Juga sekaligus memikulkan beban wajib bukti kepada penggugat untuk membuktikan
dalil gugatan sesuai yang digariskan Pasal 1865 KUH Perdata dan Pasal 163 HIR, yang
menegaskan, setiap orang yang mendalilkan sesuatu hak, atau guna meneguhkan
haknya maupun membantah hak orang lain, diwajibkan membuktikan hak atau peristiwa
tersebut.
Mengenai perumusan fundamentum petendi atau dalil gugat, muncul dua
teori19:
1) Pertama,disebut substantierings theorie yang mengajarkan,dalil gugatan tidak
cukup hanya merumuskan peristiwa hukum yang menjadi dasar tuntutan, tetapi
juga harus menjelaskan fakta-fakta yang mendahului peristiwa hukum yang
menjadi penyebab timbulnya peristiwa hukum tersebut.
2) Kedua, teori individualisasi (individualisering theorie), yang menjelaskan
peristiwa atau kejadian hukum yang dikemukakan dalam gugatan, harus dengan
jelas memperlihatkan hubungan hukum (rechtsverhouding) yang menjadi dasar
tuntutan. Namun tidak perlu dikemukakan dasar dan sejarah terjadinya hubungan
hukum, karena hal itu dapat diajukan berikutnya dalam proses pemeriksaan
sidang pengadilan. Tentang hal itu Prof. Sudikno mengemukakan salah satu
Putusan MA yang menegaskan: perumusan kejadian materi secara singkat sudah
memenuhi syarat.20
a. Unsur Fundamentum Petendi
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman praktik peradilan, kedua teori di atas
digabung, tidak dipisah secara kaku dan sempit. Penggabungan kedua isi teori itu
dalam perumusan gugatan, untuk menghindari terjadinya perumusan dalil
gugatan yang kabur atau obsċuur libel (gugatan yang gelap).
Sehubungan dengan itu,fundamentum petendi yang dianggap lengkap
memenuhi syarat, memuat dua unsur:

18 Sudikno, op. cit., hlm.35.


19 lhid.
20 Ibid.,hlm.36;Putusan MA No.547 K/Sep/1971,15-3-1972.

Scanned with CamScanner


1) Dasar Hukum(Rechtelijke Grond)
Memuat penegasan atau penjelasan mengenai hubungan hukum antara:
penggugat dengan materi dan atau objek yang disengketakan, dan
antara penggugat dengan Tergugat berkaitan dengan materi atau objek
sengketa.
2) Dasar Fakta (Feitelijke Grond)
Memuat penjelasan pernyataan mengenai:
fakta atau peristiwa yang berkaitan langsung dengan atau di sekitar
hubungan hukum yang terjadi antara penggugat dengan materi atau
objek perkara maupun dengan pihak tergugat,.
atau penjelasan fakta-fakta yang langsung berkaitan dengan dasar hukum
atau hubungan hukum yang didalilkan penggugat.
Berdasarkan penjelasan di atas, posita yang dianggap terhindar dan cacat obscuur
libel, adalah surat gugatan yang jelas sekaligus memuat penjelasan dan penegasan
dasar hukum-(rechtelijke grond) yang menjadi dasar hubungan hukum serta dasar
fakta atau peristiwa (feitelijke grond) yang terjadi di sekitar hubungan hukum dimaksud.
b. Dalil Gugat yang Dianggap Tidak Mempunyai Dasar Hukum Dalam uraian ini,
diperlihatkan beberapa masalah dalil gugatan yang dianggap tidak memenuhi atau
tidak memiliki landasan hukum.
1) Pembebasan Pemidanaan atas Laporan Tergugat, Tidak Dapat Dijadikan Dasar
Hukum Menuntut Ganti-Rugi
Penggugat dilaporkan tergugat melakukan tindak pidana. Berdasarkan
laporan itu dilakukan proses penyidikan sampai pemeriksaan pengadilan.
Térnyata pengadilan menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak, acquittal)
terhadapnya. Setelah putusan berkekuatan tetap, dia mengajukan gugatan
ganti rugi kepada pelapor.
Dalam kasus ini, MA menjatuhkan putusan dengan pertimbangan antara
lain:21
memang benar Tergugat I melaporkan penggugat melakukan tindak pidana
penipuan, dan berdasarkan laporan itu, penggugat telah diperiksa sampai
proses persidangan pengadilan. Selanjutnya pengadilan telah menjatuhkan
putusan yang menyatakan penggugat bebas;
akan tetapi,putusan bebas itu, tidak dapat dijadikan dasar alasan
menggugat pelapor melakukan Perbuatan Melawan Hukum yang

21 MANo.3133 K/Pdt/1983,29-1-1985,jo.PT Medan No.310/1982,16-3-1983,PT Tanjung Balai


No. 2/1980, 27-8-1980 (belum dipublikasi).

Rab 3 Ruang Linekup Perma


Scanned with CamScanner
dikuti dengan tuntutan ganti rugi, atas alasan di dalam negara
hukum,dibenarkan melaporkan tindak pidana yang dialami atau yang
diketahuinya,sedang masalah apakah tindak pidana yang dilaporkan
memcnuhi unsur delik, merupakan hak sepenuhnya dari pengadilan
untuk menilainya.Dengan demikian gugatan yang diajukan dianggap
tidak mempunyai dasar hukum.
Dalam kasus ini, fakta-fakta atau peristiwanya mempunyai dasar,Namun
demikian, oleh karena landasan dasar hukumnya tidak ada,gugatan
dianggap cacat formil, dan dinyatakan tidak dapat diterima.
Kasus yang sama dapat dilihat dalam Putusan MA yang lain,22 yang
menegaskan, gugatan wanprestasi yang didasarkan atas alasan telah
dilaporkan kepada polisi, tidak cukup menjadi dalil gugatan menuntut ganti
rugi kepada pelapor, karena setap orang berhak mengajukan laporan kepada
polisi atau kepada aparat penegak hukum.
Pendapat yang sama dikemukakan dalam putusan lain Putusan MA No. 2329
K/Pdt/1985, tanggal 18-12-1986) yang menegaskan, adalah hak setiap orang untuk
melaporkan terjadinya tindak pidana kepada penyidik, meskipun terjadi penahanan
berdasarkan laporan itu, tindakan itu dianggap sah menurut hukum, apabila
penahanan itu memenuhi syarat formil dan materiil yang diatur Pasal 20 jo. Pasal
21 ayat (4) KUHAP.Sedang mengenai pemberitaan pemeriksaan perkara di
pengadilan berdasarkan laporan itu, tidak bertentangan dengan hukum, karena
persidangan itu dilakukan sesuai dengan asas terbuka untuk umum sebagaimana
yang diatur Pasal 153 KUHAP. Dalam hal seperti ini, wartawan bebas
mempublikasikan proses persidangan.
2) Dalil Gugatan Berdasarkan Perjanjian Tidak Halal
Kasus ini berkenaan dengan perjanjian future commodity trading. MA
mempertimbangkan,2'
perjanjian future commodity trading, tidak dibenarkan dalam lalu lintas
perdagangan, karena sejak terjadi heboh perdagangan yang seperti itu
pada 1977, Departemen Perdagangan telah mengeluarkan instruksi
tanggal 18 Juli 1977 No.03/01/Ins/VI/1977,yang melarang bentuk dan
cara perdagangan dimaksud,
ternyata perjanjian account agreement yang diperbuat penggugat dan
tergugat adalah pada tanggal 21 Oktober, berarti perjanjian itu dibuat
22 MA No.1085 K/Pd/1984,17-10-1985,ja. PT Padang No.
175/1983,4-10-1983,PN Padang No 2368/1982,17-1-1983.
MA No.2472 K/Pd/1984,11-12-1985,jn.PT DKI No.336/1983,24-9-1983,PN Jak-Pus Na.
31/1/1982,10-2-1983.

Hukum Actra Perdatm

Scanned with CamScanner


sesudah larangan perdagangan semacam itu dilarang, sehingga dasar
kausa perjanjian tidak halal(ongeoorlofide oorzaak), berdasarkan Pasal
1337 KUH Perdata.
Contoh lain perjanjian yang tidak halal adalah milik beding, yaitu perjanjian
yang berisi syarat, apabila debitur melakukan wanprestasi, barang jaminan
atau agunan jatuh menjadi milik kreditur. Perjanjian milik beding dengan tegas
dilarang Pasal 12 UU No. 4 Tahun 1996. " yang menegaskan: Janji yang
memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki
objek Hak Tanggungan apabila debitur cedera janji, batal demi hukum.
Berdasarkan ketentuan ini, apabila gugatan yang diajukan bertitik tolak dari
dalil milik beding yang menuntut penyerahan hak pemilikan atas tanah
jaminan, gugatan tersebut dianggap tidak mempunyai dasar hukum atau
dasar dalil gugatan bertitik tolak dari larangan hukum atau undang-
undang.Sebenarnya musalah milik bedling sudah lama tidak dibenarkan
praktik peradilan. Hal itu ditegaskan oleh Z. Asikin Kusuma Atmadja dalam
catatan terhadap Putusan MA No.3438 K/Pdt/1985,tanggal 9 Desember 1987,
antara lain menyatakan:25
.. suatu perjanjian utang piutang dengan jaminan sebidang tanah, tidak dapat
dengan begitu saja menjadi perbuatan hukum jual beli tanah, manakala si
debitur tidak melunasi utangnya. Syarat yang dikenal dengan nama milik
beding ini sudah lama tidak diperkenankan, terutama dalam suasana hukum
adat.
3) Gugatan Tuntutan Ganti Rugi atas Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
Berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata Mengenai Kesalahan Hakim Dalam
Melaksanakan Fungsi Peradilan, Dianggap Tidak Mempumyai Dasar Hukum
Penegasan tentang ini, dijelaskan dalam SEMA26 antara lain menjelaskan:
pertanggungjawaban berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata mengenai
kesalahan hakim dalam melaksanakan fungsi peradilan atau apakah
dapat dipertanggungjawabkan secara perdata atas kesalahan yang
dilakukan hakim, tidak diatur dalam undang-undang. Oleh karena itu,
permasalahan ini perlu dikembangkan melalui yurisprudensi dan
pendekatan ilmu hukum;

24 Undang-Undang tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah
25 Beberapa arisprudensi Pentara yang Penting, Edisi II, MA RI, Jakarta 1992.
26 SEMA No.09 Tahum 1976, 16 Desember 1976, Himpunan SEMA dan PERMA tahun 1951-
1997, MA Februari 1999,hlm、335.

Scanned with CamScanner


dari scgi pendekatan ilmu hukum, pada dasarnya dan pada umumnya
ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, tidak dapat diterapkanterhadap hakim
yang salah dalam melaksanakan tugas bidang peradilan. Demikian juga
negara, tidak dapat diminta pertanggungjawaban atas kesalahan hakim
dalam melaksanakan fungsi peradilan;
dari segi pendekatan yurisprudensi, antara lain dapat dikemukakan
Putusan HIR,3 Desember 1971,M/1972,137 yang mengatakan,
terhadap putusan hakim, undang-undang telah menyediakan sarana
hukum(rechts middelen),schingga undang-undang secara tuntas telah
memberi perlindungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk
membela haknya (melalui banding, kasasi, dan peninjauan kembali)
untuk memperoleh putusan hakim yang tepat. Sehubungan dengan itu,
tidak dapat dibenarkan adanya kemungkinan bagi pihak yang telah
mempergunakan segala sarana hukum yang tersedia, namun tidak
berhasil dalam gugatan untuk menggugat negara berdasarkan Pasal
1365 KUH Perdata, karena hal seperti itu menjadikanputusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, menjadi sasaran
sengketa;
begitu juga dari segi pendekatan independensi peradilan (judicial
independency), the judges are acts committed in the exercise ofjudicial
function;
dalam SEMA tersebut, juga dikemukakan perbandingan hukum
(comperative law), dari beberapa negara, antara lain:
Pakistan menegaskan, In Pakistan no jugdge is liable in a civil action for
anything done in good faith,
Amerika Serikat menjelaskan, hakim mempunyai kekebalan (immunity),
terhadap gugatan ganti rugi walaupun terhadap tindakan yang dianggap
mengenai perbuatan tidak dengan iktikad baik atau secara korektif
sifatnya.
Malaysia;telah mengatur tentang hal ini dalam section 14 Courts of
Judicature Act 1969 yang berisi ketentuan antara lain, seorang hakim
tidak dapat dipertanggungjawabkan dan digugat dalam pengadilan
secara perdata atas suatu tindakan yang dilakukan dalam
melaksanakan fungsi peradilan tanpa mempersoalkan apakah tindakan
tersebut melampaui batas wewenang.
4) Dalil Gugatan yang Tidak Berdasarkan Sengkela, Dianggap Tidak
Mempunyai Dasar Hukum
Sebagai contoh dapat dikemukakan salah satu kasus. Penggugat sebagai
debitur mengajukan gugatan kepada kreditur yang berisi dalil agar kreditur

Scanned with CamScanner


5) memberi penetapan kepastian berapa jumlah utangnya atas alasan untuk
menghindari terjadinya pembayaran yang tidak diwajibkan (onverschuldige
betaling). Terhadap gugatan ini, MA mempertimbangkan:27
gugatan diajukan tanpa didasari adanya persengketaan mengenai jumlah
utang;
penggugat sebagai debitur, pada dasarnya dibebani kewajiban untuk
membayar utang dan tidak mempunyai hak terhadap kreditur;
untuk mengajukan gugatan dalam hubungan kewajiban hak antara kedua
belah pihak, baru dapat dibenarkan hukum apabila telah timbul atau telah
ada sesuatu hak yang dilanggar oleh pihak lain.
Suatu gugatan yang tidak didasarkan pada suatu sengketa seperti dalam kasus ini,
disebut juga tidak memenuhi syarat materiil gugatan. Hal itu dinyatakan dalam
putusan lain MA,28 yang menegaskan, syarat mutlak untuk menuntut seseorang di
depan pengadilan adanya perselisihan hukum (sengkcta hukum) antara kedua
pihak.
Tuntutan Ganti Rugi atas Sesuatu Hasil yang Tidak Dirinci Berdasarkan
Fakta,Dianggap Gugatan yang Tidak Mempunyai Dasar Hukum Tentang hal ini,
dapat dikemukakan putusan MA yang menegaskan,29 karena gugatan tidak
memberikan dasar dan alasan dalam arti gugatan tidak menjelaskan berapa hasil
sawah tersebut sehingga ia menuntut hasil sebanyak yang tersebut dalam petitum,
dianggap sebagai gugatan yang tidak jelas dasar hukumnya.
Akan tetapi penerapan tentang hal ini, tidak boleh terlampau ketat. Oleh karena itu, perlu
diperhatikan putusan MA. lain yang mempertimbangkan, bahwa dalil pokok adalah
mengenai tuntutan pembagian keuntungan perusahaan, tetapi ternyata keuntungan
tersebut tidak dirinci dalam gugatan sehingga tidak jelas dan tidak pasti berapa jumlah
keuntungan yang menjadi hak penggugat. Oleh karena itu gugatan mengandung cacat
formil, dan harus dinyatakan tidak dapat diterima. Namun demikian, meskipun hal itu tidak
dirinci dalam gugatan, akan tetapi dalam persidangan penggugat mampu merinci
ber arkan pembuktian, kelalaian perincian dalam surat gugatan dapat ditolerir, sehingga
das hilang cacat formilnya.30.

27 MA No. 995 K/Sip/1975, 8-8-1975, Rangkuman Yurisprudensi MA, II, Hukum Perdata dan Acara Perdata,MA
R1,hlm.195.
28 MA No. 4 K/Sip 1958, 13-12-1958, ibid., hlm. 206.
29 MA No. 616 K/Sip/1973,5-6-1975,ibid.
30 MA No. 873 K/Sip/1975, 6-5-1977, ibid., hlm. 303.

Scanned with CamScanner


6) Dalil Gugatan yang Mengandung Saling Pertentangan
Dalil gugatan yang di dalamnya terdapat pertentangan antara dalil yang satu
dengan dalil lain, dinyatakan sebagai gugatan yang tidak mempunyai
landasan dasar hukum yang jelas. Kasus yang demikian ditegaskan dalam
salah satu putusan MA3' yang mempertimbangkan bahwa dalil gugatan
menyatakan penggugat sebagai penyewa, dan dalam kedudukan dan
kapasitas yang demikian penggugat menggugat pemilik agar PN
menyatakan penggugat sebagai pemilik atas alasan kadaluarsa,oleh karena
itu berhak mengajukan hak pakai. Gugatan yang seperti ini tidak mempunyai
dasar hukum karena antara dalil yang satu dengan dalil lain saling
bertentangan.
7) Hak Atas Objek Gugatan Tidak Jelas
Dalil gugatan yang tidak 'menegaskan secara jelas dan pasti hak penggugat
atas objek yang disengketakan, dianggap tidak memenuhi syarat, dan
dinyatakan tidak sempurna. Sebagai contoh dapat dikemukakan salah satu
putusan MA.32 Dalam putusan ini dinyatakan antara lain, suatu gugatan
dianggap tidak memenuhi syarat dan tidak sempurna, apabila hak penggugat
atas tanah terperkara tidak jelas. Dalam hal yang seperti ini, tidak jelas
hubungan hukum penggugat dengan barang yang menjadi objek sengketa,
sedang seharusnya mesti jelas apakah sebagai pemilik, penyewa, atau
pemakai.
Demikian gambaran berbagai klasifikasi gugatan yang tidak mempunyai dasar
hukumnya. Namun perlu diingat, gambaran di atas belum meliputi segala
permasalahan, masih dapat lagi diperluas dengan berbagai masalah lain.

6. Petitum Gugatan
Syarat formulasi gugatan yang lain, adalah petitum gugatan.Supaya gugatan sah,
dalam arti tidak mengandung cacat formil, harus mencantumkan petitum gugatan
yang berisi pokok tuntutan penggugat, berupa deskripsi yang jelas menyebut
satu per satu dalam akhir gugatan tentang hal-hal apa saja yang menjadi pokok
tuntutan penggugat yang harus dinyatakan dan dibebankan kepada tergugat.
Dengan kata lain petitum gugatan, berisi tuntutan atau permintaan kepada
pengadilan untuk dinyatakan dan ditetapkan sebagai hak penggugat atau
hukuman kepada tergugat atau kepada kedua belah pihak. Ada beberapa istilah
yang sama maknanya dengan petitum; seperti petita atau petitory maupun
conclusum. Akan tetapi, istilah yang baku dan paling sering dipergunakan dalam
praktik peradilan adalah petitum atau pokok tuntutan.

31MA No.3097 K/Sip/1983,26-3-1987,Varia Peradilan,Tahun III,No.26,November


1987,hlm.74. 32
MA No. 565 K/Sip/1973, 21-8-1974, ibid., Rangkuman Yurisprudensi, hlm. 192.

Scanned with CamScanner


Untuk memperoleh pengertian yang memadai tentang ruang lingkup
petitum gugatan, pcrlu dijelaskan hal-hal berikut.
a.Bentuk Petitum
Macam-macam bentuk petitum adalah scbagai berikut.
1) Bentuk Tunggal
Petitum disebut berbentuk tunggal, apabila deskripsi yang menyebut satu
per satu pokok tuntutan, tidak diikuti dengan susunan deskripsi petitum lain
yang bersifat alternatifatau subsidair (subsidiary). Perlu diingat, bentuk
petitum tunggal tidak boleh hanya berbentuk compositur atau ex-aequo et
bono (mohon keadilan) saja. Tetapi harus berbentuk rincian satu per satu,
sesuai dengan yang dikehcndaki penggugat dikaitkan dengan dalil gugatan.
Petitum yang hanya mencantumkan mohon keadilan atau ex-aequo et bono:
tidak memenuhi syarat formil dan materiil petitum,
akibat hukumnya, gugatan dianggap mengandung cacat formil, sehingga
harus dinyatakan gugatan tidak dapat diterima.
2) Bentuk Alternatif
Petitum gugatan yang berbentuk alternatif dapat diklasifikasi:
a) Petitum primair dan subsidair sama-sama dirinci
Baik petitum primair maupun subsidair, sama-sama dirinci satu per satu
dengan rincian yang saling berbeda. Misalnya pada angka 1 dan 2
petitum primair, penggugat meminta agar dinyatakan sebagai pemilik
yang sah, dan menghukum tergugat untuk menyerahkan barang tersebut
kepadanya yang diikuti dengan tuntutan ganti rugi. Sedangkan pada
angka 1 dan 2 petitum subsider, penggugat meminta dinyatakan orang
yang berhak atau pemilik barang, dan meminta agar tergugat dihukum
untuk membayar harga barang. Pada contoh ini jelas dapat dilihat
perbedaan pokok tuntutan pada primair, (menghukum tergugat
menyerahkan barang). Sedangkan para subsidair meminta menghukum
tergugat membayar harga barang.
Penerapan yang ditegakkan menghadapi petitum primer dan subsider
yang masing-masing dirinci satu per satu:
mutlak diterapkan secara alternatif;
oleh karena itu, hakim dalam mengambil dan menjatuhkan
putusan, harus memilih apakah petitum primair atau subsidair
yang hendak dikabulkan,
dengan demikian, hakim dalam menghadapi gugatan yang
mengandung petitum primer dan subsider, tidak boleh mencam-
puradukkan dengan cara mengambil sebagian dari petitum
primer dan sebagian lagi dari subsider.

Scanned with CamScanner


b) Petitum primer dirinci, diikuti dengan petitum subsider berbentuk
compositur atau ex-aequo et bono (mohon keadilan):
dalam hal ini, sifat alternatifnya tidak mutlak (tidak absolut),
hakim bebas untuk mengambil seluruh dan sebagian petitum primer dan
mengesampingkan petitum ex aequo et bono (petitum subsidair),
bahkan hakim bebas dan berwenang menetapkan lain berdasarkan petitum
ex-aequo et bono dengan syarat:
harus berdasarkan kclayakan atau kepatutan (appropriateness),
dan
kelayakan atau kepatutan yang ditetapkan atau dikabulkan
itu,masih berada dalam kerangka jiwa petitum primer dan dalil
gugatan.
b. Berbagai Petitum yang Tidak Memenuhi Syarat
Supaya petitum tidak menimbulkan cacat formil gugatan, di bawah ini dikemukakan
secara ringkas berbagai hal yang menyebabkan petitum bertentangan dengan tata
tertib beracara.
1) Tidak Menyebut secara Tegas Apa yang Diminta atau Petitum Bersifat
Umum
Petitum yang memenuhi syarat, mesti bersifat tegas dan spesifik menyebut
apa yang diminta penggugat. Oleh karena itu, jika petitum sifatnya kabur
karena tidak jelas secara spesifik apa yang diminta, menyebabkan gugatan itu
obscuur libel, yang berakibat gugatan tidak dapat diterima. Demikian
ditegaskan dalam salah satu putusan MA,33 antara lain, menyatakan petitum
gugatan hanya meminta supaya:
menetapkan hak penggugat atas tanah, dan
menghukum tergugat supaya berhenti bertindak atas tempat tersebut, dan
menyerahkan kepada penggugat untukbebas bertindak di atas tempat
tersebut, dianggap merupakan petitum gugatan yang tidak jelas tentang
apa yang diminta. Akibatnya gugatan dinyatakan mengandung cacat formil
dalam bentuk obscuur libel.
Barangkali ada yang berpendapat, putusan MA di atas, dianggap terlampau
keras (strict law). Karena jika dicermati lebih teliti, ada hal-hal yang diminta
meskipun secara samar yaitu meminta agar penggugat ditetapkan (dinyatakan)
berhak atas tanah terperkara, yang diikuti dengan permintaan agar tergugat
menyerahkan tanah itu kepadanya.Namun terlepas dari itu, agar gugatan tidak
terjebak ke arah cacat formil obscuur libel,dituntut

33· MANo. 582 K/Sip/1973, 18-12-1975, ibid., hlm. 204.


Scanned with CamScanner
rumusan petitum yang tegas dan spesifik meminta apa yang dikehendaki
sesuai dengan dalil gugatan. Hal yang sama terjadi dalam putusan MA,34
yang menyatakan gugatan tidak sempurna, karena tidak menyebut dengan
jelas apa yang dituntut, sebab petitum hanya meminta agar dinyatakan sah
semua putusan Menteri Perhubungan Laut, tetapi tidak disebut putusan
yang mana, serta juga meminta agar semua perbuatan tergugat dinyatakan
melawan hukum terhadap penggugat tanpa menycbut perbuatan yang mana
yang dimaksud.
2) Petitum Tuntutan Ganti Rugi tetapi Tidak Dirinci dalam Gugatan Tidak
Memenuhi Syarat
Sebagai pedoman atas ketentuan ini, antara lain dapat dibaca dalam salah
satu putusan MA.35 Putusan ini bertitik tolak dari tuntutan ganti hasil tanah,
akan tetapi tuntutan ganti rugi yang diminta dalam petitum tidak dirinci dalam
gugatan, dan juga tidak dibuktikan penggugat dalam persidangan. Sekiranya
penggugat dapat membuktikan dalam persidangan, kelalaian merinci dalam
gugatan masih mungkin ditolerir bertitik tolak dari asas peradilan sederhana,
cepat, dan biaya ringan yang digariskan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang
No. 14 Tahun 1970 (sebagaimana telah diubah dengan UU No. 35 Tahun
1999), dan sekarang dalam Pasal 4 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004(sebagai
pengganti UU No. 14 Tahun 1970).
3). Petitum yang Bersifat Negatif,Tidak Dapat Dikabulkan
Petitum yang meminta agar peradilan menghukum tergugat supaya tidak mengambil
tindakan yang bersifat merusak bangunan adalah petitum yang bersifat negatif, oleh
karena itu tidak dapat dikabulkan. Demikian penegasan dalam salah satu putusán MA36
yang berpendapat, gugatan yang mengandung petitum yang bersifat negatif,dianggap
merupakan gugatan yang tidak jelas atau kabur (obscuur libel), yang berakibat gugatan
tidak dapat diterima.
4) Petitum Tidak Sejalan dengan Dalil Gugatan
Masalah lain yang harus diperhatikan, petitum gugatan harus sejalan dengan dalil
gugatan. Dengan demikian, petitum mesti bersesuaian atau konsisten dengan
dasar hukum dan fakta-fakta yang dikemukakan dalam posita. Tidak boleh terjadi
saling bertentangan atau kontroversi di antaranya. Apabila terjadi saling
bertentangan, mengakibatkan gugatan mengandung cacat formil, sehingġa
gugatan dianggap kabur (obscuur libel). Kejadian yang seperti ini, ditegaskan
dalam salah satu putusan, antara lain menyatakan:

34 MA No.492 K/Sip/1970, 21-11-1970, ibid., hlm.205.


35 MA No. 1186 K/Sip/1973, 4-5-1975,ibid.
36 MA No. 1380 K/Sip/1973,11-11-1975,ibid.

"Scanned with CamScanner


Petitum yang tidak sejalan dengan dalil gugatan mengandung cacat obscuur
libel, oleh karena itu gugatan dinyatakan tidak dapat diterima,37
c.Sepintas Penerapan Petitum
Dalam uraian ini akan dikemukakan tata cara dan tata tertib penerapan petitum
yang harus ditegakkan oleh pengadilan.
1)Petitum Primer Dikaitkan dengan Ex-Aequo Et Bono (Mohon Keadilan) Apabila
gugatan mengandung petitum subsider dengan bentuk ex-aequo et bono,penerapan
pengabulan petitum ex aequo et bono atau pengabulan gugatan, hendaklah mengacu
pada sistem berikut:
pada satu segi hakim tidak boleh melebihi materi pokok petitum primer,
sehingga putusan yang dijatuhkan tidak melanggar ultra petitum partium
yang digariskan Pasal 178 ayat (3) HIR;
pada segi lain, tidak boleh sampai berakibat merugikan tergugat melakukan
pembelaan kepentingannya.38
2) Berwenang Mengurangi Petitum
Hakim atau pengadilan tidak diwajibkan mengabulkan semua yang diminta dalam
petitum secara utuh dan menyeluruh.Pengadilan berwenang mengurangi petitum
gugatan. Salah satu contoh kasus pengurangan petitum, dapat dilihat dalam
putusan Pengadilan Tinggi Surabaya. Putusannya pada tingkat banding hanya
mengabulkan pembatalan sita eksekusi atas barang saja. Menurut pertimbangan
MA,3° pengabulan yang demikian tidak berarti menyimpang dari petitum. Sifat
pengabulan yang tidak mengabulkan seluruh apa yang diminta dalam petitum
adalah berbentuk mengurangi apa yang dituntut dalam petitum. Hakim atau
Pengadilan berwenang melakukan tindakan yang demikian, oleh karena itu,
tindakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum.
3) Tidak Dapat Mengabulkan yang Tidak Diminta dalam Petitum Pengadilan hanya
terbatas mengabulkan hal-hal yang diminta secara tegas dalam petitum
gugatan.Meskipun sesuatu hal atau hak dikemukakan dengan jelas dan tegas dalam
dalil gugatan, serta hal atau hak itu dapat dibuktikan penggugat dalam persidangan,
namun hal itu, tidak dapat dikabulkan apabila tidak diminta dalam petitum. Ketentuan ini
dapat dilihat dalam salah satu putusan yang mengatakan, bahwa sesuatu yang tidak
dituntut dalam petitum tidak dapat dipertimbangkan dalam putusan.40 Begitu juga
dalam putusan lain ditegaskan,mengabulkan bunga yang tidak diminta dalam
37 MA No.67 K/Sip/1975,13-5-1975.
38 MA No.803 K/Sip/1973, 5-6-1975, ibid., hlm,207. 39MANo.1722 K/Pdv1983,19-1-
1985,jo.PT Surabaya No.533/1902,25-10-1982,PN Surabaya No. 128/1979,18-9-1978.
40 MA No.330 K/Pdt/1986,14-5-1987.

Hukum Acnen D--,..

Scanned with CamScanner


petitum, dianggap melanggar asas ultra petitum partium yang digariskan
Pasal 178 ayat (3) HIR (mengabulkan melebihi dari apa yang dituntut).
Putusan yang demikian disebut mengandung ultra vires,yaitu melampaui
batas kewenangan mengadili (beyond their power).
Dalam kasus ini PT mengabulkan bunga sebesar 11/2 % per bulan. Pada
tingkat kasasi MA menegaskan, pengabulan itu tidak dapat dibenarkan,
karena melanggar Pasal 178 ayat (3) HIR atas alasan:
dalam petitum maupun dalam posita penggugat tidak ada menuntut
pembayaran bunga,
yang diminta dalam petitum adalah ganti rugi atas kemerosotan nilai rupiah.
Oleh karena itu, bunga yang dikabulkan PT harus dihapuskan.4
7. Perumusan Gugatan Asesor (Accesoir)
Yang dimaksud dengan gugatan asesor adalah gugatan tambahan (additional
claim) terhadap gugatan pokok. Tujuannya untuk melengkapi gugatan pokok agar
kepentingan penggugat lebih terjamin meliputi segala hal yang dibenarkan
hukum dan perundang-undangan.
a. Syarat Gugatan Asesor
Secara teori dan praktik, gugatan asesor:
tidak dapat berdiri sendiri, dan
oleh karena itu, kebolehan dan keberadaannya, hanya dapat ditempatkan dan
ditambahkan dalam gugatan pokok.
Tanpá landasan, gugatan asesor tidak dapat diajukan dan diminta.
Landasannya adalah gugatan pokok, dan dicantumkan dalam akhir uraian
gugatan pokok.
Bertitik tolak dari penjelasan di atas, hukum dan undang-undang memberi
hak kepada penggugat mengajukan rumusan tambahan, berupa gugatan
tambahan atau gugatan asesor; dengan syarat:
gugatan tambahan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dengan
gugatan pokok, dan sifat gugatan tambahan, tidak dapat berdiri sendiri di luar
gugatan pokok,
antara gugatan pokok dengan gugatan tambahan, harus saling mendukung, tidak
boleh saling bertentangan,
gugátan tambahan sangat erat kaitannya dengan gugatan pokok maupun dengan
kepentingan penggugat.

41 MA No.1567 K/Pdt/1983,25-9-1984,PT Jakarta No.578/1981, 18-2-1983,PN Jak-tim No.532/1979, 3-12-1980


(belum dipublikasi)

Bab 3 Ruang Lingkup Permasalahan Gugatan Kontentiosa


Scanned with CamScanner
b. Jenis Gugatan Asesor
Ditinjau dari segi ketentuan perundang-undangan dan praktik peradilan, terdapat
beberapa jenis gugatan asesor. Namun, yang dikemukakan di sini hanya melputi
jenis yang dianggap paling penting melindungi kepentingan penggugat.
1) Gugatan Provisi, Berdasarkan Pasal 180 Ayat (1)HIR
Pasal ini memberi hak kepada penggugat mengajukan gugatan tambahan
dalam gugatan pokok,berupa permintaan agar PN menjatuhkan putusan
provisi yang diambil sebelum perkara pokok diperiksa; mengenai hal. hal
yang berkenaan dengan tindakan sementara untuk ditaati tergugat sebelum
perkara pokok memperoleh kekuatan hukum tetap. Misalnya, menghentikan
tergugat meneruskan pembangunan, menjual barang objek perkara,
mencairkan rekening bank, dan sebagainya.
2) Gugatan Tambahan Penyitaan Berdasarkan Pasal 226 dan Pasal 227 HIR
Penyitaan atau beslag (seizure) merupakan tindakan yang dilakukan pengadilan
menempatkan harta kekayaan tergugat atau barang objek sengketa berada
dalam keadaan penyitaan untuk menjaga kemungkinan barang-barang itu
dihilangkan atau diasingkantergugat selama proses perkara berlangsung.
Tujuannya supaya gugatan penggugat tidak illusoir (tidak hampa), apabila dia
berada di pihak yang menang.
Ada beberapa macam sita yang dapat diajukan sebagai gugatan asesor:
consevatoir beslag(CB) atau sita jaminan berdasarkan Pasal 227 ayat
(1)HIR,
revindicatoir beslag (RB) atau sita pemilik berdasarkan Pasal 226 ayat
(1)HIR,
maritaal beslag (MB) atau sita harta bersama berdasarkan Pasal 186 KUH
Perdata dan Pasal 24 ayat (2) huruf c PP No. 9 Tahun 1975.
3) Gugatan Tambahan Permintaan Nafkah Berdasarkan Pasal 24 Ayat (2) Hurufa
PP No. 9 Tahun 1975

D. TATA CARA PEMERIKSAAN GUGAT KONTENTIOSA


Seperti telah dijelaskan, sistem pemeriksaan gugatan permohonan, bersifat ex-
parte.Proses pemeriksaan persidangan hanya sepihak yaitu pemohon sendiri.
Tidak ada pihak lain yang bertindak sebagai lawan untuk membantah dalil
permohonan. Tidak demikian halnya dalam gugatan contentiosa. Sistem dan
asas pemeriksaannya jauh berbeda, seperti yang akan dijelaskan di bawah ini.
1. Sistem Pemeriksaan secara Contradictoir
Mengenai sistem pemeriksaan digariskan dalam Pasal 125 dan Pasal 127 HIR.
Menurut ketentuan dimaksud,sistem dan proses pemeriksaan adalah sebagai
berikut.

Scanned with CamScanner


a. Dihadiri Kedua Belah Pihak secara In Person atau Kuasa
Untuk itu, para pihak dipanggil dengan resmi dan patut oleh juru sita menghadiri
persidangan yang telah ditentukan. Demikian prinsip umum yang harus ditegakkan agar
sesuai dengan asas due process oflaw. Namun ketentuan ini, dapat dikesampingkan
berdasarkan Pasal 125 ayat (1) dan Pasal 127 HIR, yang memberi kewenangan bagi
hakim melakukan proses pemeriksaan:
secara verstek (putusan di luar hadirnya tergugat) apabila tidak menghadiri
sidang tanpa alasan yang sah, padahal sudah dipanggil secara sah dan patut,
pemeriksaan tanpa bantahan apabila pada sidang berikut tidak hadir tanpa alasan yang
sah. Misalnya, persidangan diundurkan pada hari yang ditentukan oleh hakim. Ternyata
penggugat atau tergugat tidak hadir pada hari tersebut tanpa alasan yang sah. Dalam
kasus yang seperti ini, proses pemeriksaan dapat dilanjutkan untuk memeriksa pihak
yang hadir tanpa sanggahan (without defence) dari pihak yang tidak hadir.
b. Proses Pemeriksaun Berlangsung secara Op Tegenspruak
Sistem inilah yang dimaksud dengan proses contradictoir. Memberi hak dan
kesempatan (opportunity) kepada tergugat untuk membantah dalil penggugat.
Sebaliknya penggugat juga berhak untuk melawan bantahan tergugat. Proses dan
sistem yang seperti ini yang disebut kontradiktor yaitu pemeriksaan perkara
berlangsung dengan proses sanggah menyanggah baik dalam bentuk replik-duplik
maupun dalam bentuk konklusi. Akan tetapi seperti yang dijelaskan di atas, proses
kontradiktor dapat dikesampingkan baik melalui verstek atau tanpa bantahan, apabila
pihak yang bersangkutan tidak menghadiri persidangan yang ditentukan tanpa alasan
yang sah, padahal sudah dipanggil secara sah dan patut oleh juru sita. Namun tanpa
mengurangi pengecualian tersebut:
pada prinsipnya pemeriksaan tidak boleh dilakukan secara sepihak (ex-parte), hanya
pihak penggugat atau tergugat saja,
sistem pemeriksaan secara kontradiktor harus ditegakkan dan berlangsung sejak
permulaan sidang sampai putusan dijatuhkan, tanpa mengurangi kebolehan
mengucapkan putusan tanpa hadirnya salah satu pihak.

2. Asas Pemeriksaan
Ada beberapa prinsip atau asas yang harus ditegakkan dan diterapkan dalam proses
pemeriksaan kontradiktor, antara lain sebagai berikut.
a. Mempertahankan Tata Hukum Perdata (Burgerlijke Rechtsorde)
Dalam penyelesaian perkara melalui proses perdata,hakim dalam melaksanakan fungsi
peradilan'yang diberikan undang-undang kepadanya, berperan dan bertugas untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice). Untuk mencapai
hal itu, hakim bertugas mempertahankan tata hukum perdata sésuai dengan kasus yang
disengketakan dengan acuan:

Bab 3 Ruang Lingkup Permasalahan Gugatan Kontentiosa

Scanned with CamScanner


menetapkan ketentuan pasal dan peraturan perundang-undangan
hukum materil mana yang tepat diterapkan dalam menyelesaikan
sengketa di antara para pihak.
Dalam mempertahankan tata hukum perdata dimaksud,pada prinsipnya:
sedapat mungkin berpatokan dan mengunggulkan (prevail)ketentuan
peraturan perundangan hukum positif yang ada,
akan tetapi tidak mengurangi kewenangan untuk mencari dan
menerapkan nilai-nilai perdata materiil yang hidup dalam kehidupan
masyarakat, sepanjang nilai-nilai itu sesuai dengan kepatutan (appro.
priateness) dan kemanusian,agar bisa diwujudkan penyelesaian
sengketa yang berwawasan dan bernuansa moral justice dan tidak
sekadar keadilan meiurut hukum (legal justice).
Berdasarkan penemuan ketentuan hukum materil itu, hakim menjadikannya
sebagai landasan dan alasan untuk menetapkan. Siapakah di antara pihak
yang beperkara yang lebih utama dan lebih sempurna memiliki kebenaran
berdasarkan sistem hukum pembuktian yang digariskan undang-undang.
b. Menyerahkan Sepenuhnya Kewajiban Mengemukakan Fakta dan Ke-benaran
kepada Para Pihak
Dalam mencari dan menemukan kebenaran, baik kebenaran formil maupun
kebenaran materiil, hakim terikat pada batasan-batasan:
menyerahkan sepenuhnya kepada kemampuan dan daya upaya para pihak
yang beperkara untuk membuktikan kebenaran masing-masing.
Berdasarkan kebenaran itulah hakim mempertimbangkan putusan. Tidak
boleh melampaui batas-batas fakta dan kebenaran yang dibuktikan para
pihak;
inisiatif untuk mengajukan fakta dan kebenaran berdasarkan pembuktian alat
bukti yang dibenarkan undang-undang, sepenuhnya berada di tangan para
pihak yang beperkara. Hal ini sesuai dengan patokan ajaran pembebanan
pembuktian yang digariskan Pasal 1865. KUH Perdata dan Pasal 163 HIR;

sehubungan dengan itu, pihak-pihak yang beperkara mempunyai pilihan dan

kebebasan menentukan sikap, apakah dalil gugatan atau dalil bantahan

akan dilawan atau tidak. Sekiranya pun tahu apa yang didalilkan dalam

gugatan adalah bohong dan dusta,pihak lawan bebas untuk membantah

atau mengakuinya. Sejalan dengan itu, tidak ada kewajiban hukum bagi

pihak yang beperkara untuk mengatakan dan menerangkan sesuatu hal

atau! peristiwa yang diperkirakan merugikan kedudukan dan

kepentingannya. Hakim tidak dapat memaksa para pihak untuk melakukan


atau menerangkan sesuatu.Namun apabila kepada salah satu pihak hakim

membebankan pembuktian,dan hal itu tidak dilaksanakan dan

dipenuhi,kelalaian atau

Scanned with CamScanner


keingkaran itu dapat dijadikan dasar penilaian yang merugikan pihak yang
bersangkutan.
c. Tugas Hakim Menemukan Kebenaran Formil
Seperti yang sudah dijelaskan, para pihak yang beperkara yang memikul beban
pembuktian (burden ofproof) untuk diajukan di depan persidangan mengenai
kebenaran yang seutuhnya. Akan tetapi, setelah hakim dalam persidangan
menampung dan menerima segala sesuatu kebenaran tersebut, dia harus
menetapkan kebenaran itu. Sejauh mana dan dalam bentuk serta wujud
kebenarán yang bagaimana yang harus ditemukan dan ditegakkan, para ahli
hukum dan praktik peradilan berpendapat:
cukup dalam bentuk kebenaran formil (formiele waarheid), yaitu cukup
sebatas kebenaran yang sesuai dengan formalitas yang diatur oleh hukum;
Hakim tidak dituntut mencari dan menemukan kebenaran materiil (materiele
waarheid) atau kebenaran hakiki (ultimate truth) berlandaskan keyakinan hati
nurani.
Akan tetapi, pengërtian kebenaran formil itu jangan ditafsirkan dan dimanipulasi
sebagai bentuk kebenaran yang setengah-setengah atau kebenaran yang diputar balik.
Namun, harus merupakan kebenaran yang diperoleh sebagai hasil penjabaran semua
fakta dan peristiwa yang terjadi dan diperoleh selama proses persidangan berlangsung.
Memang tidak diwajibkan mencari dan menyelidiki kebenaran dalam proses persidangan
secara kualitatif, karena hakim membatasi kewajiban itu hanya sampai pada pencarian
kebenaran kuantitatif. Olch karena itu, kebenaran yang dicari cukup bersifat relatif, akan
tetapi harus kebenaran yang utuh atau bulat yang saling berkaitan dengan kasus yang
terjadi di antara pihak yang beperkara.
Tanpa mengurangi penjelasan di atas, tidak ada larangan bagi pengadilan atau
hakim perdata untuk mencari dan menemukan kebenaran hakiki (kebenaran sejati).
Namun apabila kebenaran hakiki (materiil) tidak ditemukan dalam proses persidangan,
hukum membenarkan cukup menemukan dan mengambil putusan berdasarkan
kebenaran formil.42
d. Persidangan Terbuka untuk Umum
Sistem pemeriksaan yang dianut HIR atau RBG adalah proses acara pemeriksaan
secara lisan (oral hearing) atau mondelinge procedure. Tidak menganut beracara
secara tertulis (schriftelijke procedure) sebagaimana yang dulu diatur dalam
Rv(Rechtsvordering). Sistem pemeriksaan secara lisan, sangat erat kaitannya
dengan prinsip persidangan terbuka untuk umum. Sedangkan dalam proses yang

42 MA No. 3136 K/Pdt/1983, 6-3-1985,PT Semarang No. 100/1981, 30-11-1982, PN Semarang


No. 173/1978,3-9-1980.

Scanned with CamScanner


berlangsung secara tertulis, pada dasarnya tidak begitu kokoh mempertahankan prinsip
ini. Tujuan utama prinsip ini, untuk menjaga tegaknya peradilan yang fair atau fair trial,
yaitu peradilan yang bersih dan jujur.
Prinsip ini, menurut Pasal 17 ayat(1) UU No. 14 Tahun 1970,43 dan sekarang diatur
dalam Pasal 19 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 harus diterapkan dan dilaksanakan
dengan ancaman pelanggaran atasnya, mengakibatkan putusan batal demi hukum. Asas
ini dalam UU No.48 Tahun 2009 sebagi pengganti UU No. 4 Tahun 2004 dipancangkan
dalam Pasal 13. Penyimpangan asas ini menurut Pasal 17 ayat (1) UU No. 14 Tahun
1970, sekarang Pasal 19 ayat(2) UU No. 4 Tahun 2004 maupun berdasarkan Pasal 13
ayat (1) hanya dimungkinkan apabila undang-undang menentukan lain.Salah satu
ketentuan yang membolehkan pemeriksaan persidangan dengan pintu tertutup, diatur
dalam Pasal 33 PP No. 9 Tahun 1975 yang menegaskan, pemeriksaan gugatan
perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.44 Dalam kasus perceraian terjadi akibat
hukum yang bertolak belakang dengan prinsip sidang terbuka untuk umum.Dalam
pemeriksaan perceraian, apabila dilakukan terbuka untuk umum, mengakibatkan
pemeriksaan batal demi hukum.
Akan tetapi, meskipun dimungkinkan melakukan pemeriksaan secara tertutup, harus
tetap diperhatikan peringatan Pasal 18 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 sekarang
Pasal 20 UU No. 4 Tahun 2004 yang menegaskan:
Semua putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Oleh karena itu, meskipun dalam kasus tertentu dibolehkan pemeriksaan tertutup,
namun putusan harus diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum.
e. Audi Alteram Partem
Pemeriksaan persidangan harus mendengar kedua belah pihak secara seimbang.
Pengadilan atau majelis yang memimpin pemeriksaan persidangan, wajib memberi
kesempatan yang sama (to give the same opportunity to each party) untuk mengajukan
pembelaan kepentingan masing-masing, sesuai dengan acuan berikut:
mendapat kesempatan untuk mengajukan pembelaan,merupakan hak yang diberikan
hukum kepada para pihak. Oleh karena kesempatan mengajukan pembelaan
kepentingan dalam proses pemeriksaan adalah hak, pengadilan tidak boleh
mengesampingkannya tanpa alasan yang sah,

43 Sebagaimana diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999.


44 M. Yahya Harahap,Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,Sinar Grafika,Jakarta 2001,hlm.222.

Hukum Acara Perdata


Scanned with CamScanner
persidangan harus mendengarkan kedua belah pihak (must hear each party)
secara proporsional, jika hal itu mereka minta.
Seperti yang dijelaskan, mendapat kesempatan untuk mengajukan atau
mengemukakan pembelaan kepentingan, merupakan hak yang diberikan undang-
undang. Hak itu ditegaskan dalam Pasal 131 ayat (1) dan (2) HIR:
hakim memberi kesempatan kepada tergugat untuk menjawab gugatan,
sebaliknya kepada penggugat diberi kesempatan untuk didengar
keterangan-nya.
oleh karena mengajukan dan menyampaikan pembelaan kepentingan
merupakan hak:
tergantung dan terserah kepada pihak yang bersangkutan untuk mengé-
mukakan dan memanfaatkannya sesuai dengan kctentuan perundang-
undangan;
namun yang penting diperhatikan adalah kewajiban hakim untuk memberi
kesempatan yang wajar demi tegaknya asas audi alteram partem yang
digariskan Pasal 131 HIR.
f. Asas Imparsialitas
Asas impersialitas (impartiality) mengandung pengertian yang luas, meliputi
pengertian:
tidak memihak (impartial),
bersikap jujur atau adil (fair and just),
.tidak bersikap diskriminatif, tetapi menempatkan dan mendudukkan para pihak
yang beperkara dalam keadaan setara di depan hukum (equal before the law).
Memerhatikan pengertian asas imparsialitas dimaksud, pengadilan atau hakim tidak boleh
bersikap memihak atau menyebelah kepada salah satu pihak. Hakim tidak dibenarkan
menjadikan proses pemeriksaan persidangan hanya menguntungkan kepentingan salah satu
pihak. Jalannya proses pemeriksaan persidangan harus benar-benar mencerminkan fair trial
(peradilan yang jujur dan adil). Tidak memihak. Tidak diskriminatif, tetapi mendudukkan para
pihak dalam keadaan setara di depan hukum (equal before the law).
1). Asas Imparsialitas Ditegakkan Melalui Pasal 28 UU No. 14 Tahun 1970,
Sekarang dalam Pasal 29 UU No. 4 Tahun 2004 dan belakangan dalam Pasal 4, 4,
dan 5 UU No. 48 Tahun 2009 sebagai pengganti UU no. 4 Tahun 2004.
Untuk menjamin tegaknya asas imparsialitas dapat dipedomani ketentuan
Pásal 28 UU No. 14 Tahun 1970, sekarang Pasal 29 UU No. 4 Tahun 2004 a) .
Pihak yang diadili mempergunakan hak ingkar
Pasal 29 ayat (1) dan sekarang Pasal 17 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009
menegaskan, pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap

Bab 3 Ruang Lingkup Permusalahan Gugatan Kontentiosa

Scanned with CamScanner


hakim yang mengadili perkaranya.Yang dimaksud dengan hakingkar
adalah
hak scseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan
terbadap hakim yang mengadili perkaranya,
pengajuan hak tersebut disertai dengan alasan-alasan,
diajukan kcpada pengadilan,dan atas hal itu pengadilan
mengambil putusan apakah mengabulkan atau menolak
keberatan.
Hak ingkar yang diatur dalam Pasal 35 Rv jauh lebih rinci dibanding
dengan yang diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970
maupun Pasal 29 UU No.4 Tahun 2004.Ketentuan Pasal 35 Rvlebih
realistis dan dapat dipedomani meliputi alasan:
(1) hakim secara pribadi mempunyai kepentingan dalam perkara;
(2)hakim dengan salah satu pihak yang beperkara mempunyai
hubungan kekeluargaan sedarah atau semenda;
(3) hakim telah memberi nasihat tertulis dalam perkara itu;
(4) selama pemeriksaan berlangsung telah menerima suatu
pemberian;
(5) keluarga sedarah atau semenda mempunyai pokok perkara yang
sama dengan perkara yang diperiksa;
(6) jika hakim adalah wali, ahli waris, pengampu, atau penerima hibah
dari salah satu pihak;
(7) jika hakim seorang anggota pengurus yayasan, perikatan, atau
badan yang menjadi salah satu pihak yang beperkara;
(8) antara hakim terjadi permusuhan, penghinaan, atau ancaman
dengan salah satu pihak.
Agar hak ingkar yang diajukan dapat dipertimbangkan, pihak yang
mengajukan harus dapat memperlihatkan dan membuktikan sikap dan
tindakan imparsialitas yang bagaimana yang dilakukan hakim yang
bersangkutan. Alasan yang paling umum adalah benturan kepentingan
(conflict ofinterest) antara hakim dengan salah satu pihak yang beperkara.
Mengenai proses pengingkaran dapat dipcdomani Pasal 29 UU No. 4
Tahun 2004 dan Pasal 35 Rv:
diajukan kepada PN disertai alasan, paling lambat sebelum tahap replik-
duplik habis, kecuali alasan pengingkaran baru timbul kemudian;
akta pengingkaran atau penolakan ditandatangani pihak yang
bersangkutan atau kuasanya yang disampaikan kepada panitera untuk
disampaikan kepada KPN;
majelis yang memeriksa pengingkaran menyelidiki alasan-alasan
pengingkaran.Jika alasan itu terbukti dan benar,permohonan dikabulkan;

Hukum Acara Perdata

Scanned with CamScanner


putusan mengenai pengingkaran tidak dapat dimintakan banding
(Ps 44 Rv).
b) Wajib mengundurkan diri, sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat(2)
dun (3) UU No. 4 Tuhun 2004
Salah satu faktor yang dianggap undang-undang dapat merusak dan
memengaruhi penegakan asas imparsialitas atau fair trial dalam arti
luas adalah ikatan hubungan kekcluargaan baik sedarah maupun
semenda antara salah seorang hakim dengan hakim yang lain atau
dengan jaksa, penasihat hukum, atau panitera.
Kewajiban untuk mengundurkan diri dalam peristiwa yang disebut Pasal
29 ayat (2) dan (3) UU No. 4 Tahun 2004 adalah bersifat imperatif.
Pelanggaran atas ketentuan ini menurut ayat (5) mengakibatkan:
putusan yang dijatuhkan batal demi hukum (null and void, van
rechtswege nietig), átau dinyatakan tidak sah;
alasannya, karena putusan yang dijatuhkan melanggar asas imparsialitas.
2) Cakupan Asas Impersialitas yang Terkandung dalam Pengertian Non
Diskriminatif
Cakupan pengertian nondiskriminatif yang harus ditegakkan asas impar-
sialitas dalam proses persidangan, sama luasnya dengan perkembangan
pandangan yang terdapat dalam kajian sosiologis dan politis, yaitu meliputi
larangan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin (gender), suku (race),
agama (religion) dan status sosial ekonomi (social and economic status).
Sehubungan dengan itu, jenis atau bentuk perbedaan apa pun yang terdapat
di antara para pihak yang beperkara maka sesuai dengan asas imparsialitas,
hakim harus menempatkan dan memperlakukan mereka pada kedudukan
derajat kemanusiaan yang sama (in the same and equal human dignity).
3. Pengecualian terhadap Acara Pemeriksaan Contradictoir
Di atas sudah dijelaskan sistem pemeriksaan gugat contentiosa (gugatan perdata yang
bersifat partai) dilakukan secara contradictoir. Menurut ketentuan Pasal 125 dan Pasal
127 HIR, pemeriksaan yang sah secara formil, apabila dihadiri kedua belah pihak.
Selanjutnya proses pemeriksaan harus tunduk dan menaati asas-asas pemeriksaan
terbuka untuk umum, audi`alteram partem dan imparsialitas. Akan tetapi, dalam hal
tertentu diperbolehkan melakukan pemeriksaan secara ex-parte. Pemeriksaan hanya
dilakukan terhadap pihak yang hadir saja dengan jalan mengabaikan kepentingan yang
tidak hadir. Jadi dalam hal dan dengan alasan tertentu, prinsip pemeriksaan
contradictoir, dapat dikesampingkan:

Bab 3 Ruane Linokun Parw^Scanned with CamScanner


a. Dalam Proses Verstek (Default Process)
Proses pemeriksan dan putusan verstek (default judgmen) diatur dalam paa 125
ayat(1) HIR,yang memberi hak dan kewenangan bagi hakim:
antuk memerilksa dan menjatuhkan putusan di luar hadirnya tergugat;
emeriksaan dan putusan yang demikian disebut verstek (di luar hadinmya
tergugat),
syarat atas kebolehan verstek, apabila pada sidang pertama tergugat:
tidak hadir tanpa alasan yang sah (unreasonable default),
padahal tergugat telah dipanggil secara sab (oleh juru sita) dan patu
(antara panggilan dengan hari sidang paling sedikit 3 hari)
Dalam kasus yang seperti ini,Pasal 125 ayat (1) HIR memberi hak dan kewenangan
yang bersifat fakultatif kepada hakim untuk menjatuhkan putusan verstek's
(defaultjudgment).Mengenai verstek akan dibahas lebih lanjut dalam uraian tersendiri.
h. Salah Satu Pihak Tidak Hadir Pada Hari Sidang Kedua atau Sidang
Berikutnya
Peristiwa yang seperti ini dapat terjadi, apabila pada sidang pertama atau pada sidang
kedua dan ketiga para pihak datang menghadiri pemeriksaan. Akan tetapi, pada
penundaan hari persidangan yang ditentukan hakim, salah satu pihak tidak hadir tanpa
alasan yang sah. Dalam kasus yang seperti ini, Pasal 127 HIR memberi hak dan
kewenangan kepada hakim untuk melanjutkan pemeriksaan maupun menjatuhkan
putusan di luar hadirnya pihak tersebut, dan pemeriksaan atau putusan dianggap
dilakukan dan diambil secara op tegenspraak atau contradictoir.46 Misalnya tergugat
terdiri dari beberapa orang. Pada sidang pertama mereka semua hadir. Kemudian hakim
mengundurkan persidangan pada hari tertentu. Ternyata pada hari sidang pengunduran
tersebut,hanya satu orang pihak tergugat yang hadir, sedangkan yang lain tidak hadir
tanpa alasan yang sah. Dalam kasus yang demikian:
hakim berhak dan berwenang melanjutkan pemeriksaan tanpa hadimya
mereka,
pemeriksaan dilakukan antara penggugat dengan pihak tergugat
yanghadi saja tanpa jawaban dan pembelaan dari pihak yang tidak
hadir, dan

pemeriksaan tetap dianggap dan dinyatakan bersifat contradictoir atauo?

tegenspraak, oleh karena itu putusan yang dijatuhkan bukan verstelk,a

putusan contradictotr,sehingga upaya huu yang dapat diajukan adulih

banding, bukan verzet.47

4546 aya Harahap,Aukaum Acara Perdata Peradilan Indonesia,Zakir,Medan,1977, imn 8.


47 M.Yahya Harahap,Hukum Acara Perdata Peradilan Indonesia,hlm.97.
Scanned with CamScanner
E. PENGGUGURAN GUGATAN
Mengenai pengguguran gugatan diatur dalam Pasal 124 HIR yang berbunyi:
Jika penggugat tidak datang menghadap PN pada hari yang ditentukan itu,
meskipun ia dipanggil dengan pàtut, atau tidak pula menyuruh orang lain
menghadap mewakilinya maka surat gugatannya dianggap gugur dan
penggugat dihukum biaya perkara; akan tetapi penggugat berhak
memasukkan gugatannya sekali lagi, sesudah membayar lebih dahulu biaya
perkara yang tersebut tadi.”48
Memerhatikan ketentuan di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam pengguguran gugatan:

1. Syarat Pengguguran
Supaya pengguguran gugatan sah menurut hukum harus dipenuhi syarat
sebagai berikut.
a. Penggugat Telah Dipanggil secara Patut
Penggugat telah dipanggil secara patut apabila:
surat panggilan atau exploot telah dilakukan secara resmi oleh juru sita sesuai
dengan ketentuan undang-undang, untuk hadir atau menghadap pada hari
tanggal sidang yang ditentukan;
panggilan dilakukan dengan patut, yaitu antara hari panggilan dengan hari
persidangan tidak kurang dari tiga hari.
b. Penggugat Tidak Hadir Tanpa Alasan yang Sah (Unreasonable Default)
Syarat yang kedua,penggugat tidak hadir atau tidak menghadap persidangan
yang ditentukan tanpa alasan yang sah, dan juga tidak menyuruh kuasa atau
orang lain untuk mewakilinya. Jika ketidakhadiran berdasarkan alasan yang sah
(reasonable default), ketidakhadiran penggugat tidak dapat dijadikan alasan
untuk menggugurkan gugatan. Pengguguran yang demikian tidak sah dan
bertentangan dengan hukum.
2. Pengguguran Dilakukan Hakim secara Ex-Officio
Pasal 124 HIR memberi kewenangan secara ex officio kepada hakim untuk
menggugurkan gugatan, apabila terpenuhi syarat dan alasan untuk itu. Dengan
demikian kewenangan itu, dapat dilakukan hakim, meskipun tidak ada
permintaan dari pihak tergugat. Namun hal itu, tidak mengurangi hak tergugat
untuk mengajukan permintaan pengguguran. Malahan beralasan tergugat
mengajukannya, karena ketidakhadiran penggugat dianggap merupakan

48 R Soesilo, RIB/HIR dengan Penjelasan, Politeia, Bogor, 1985, hlm.82.

Bab 3 Ruang Lingkup Peranentahan Cuantan Knuanad


Scanned with CamScanner
tindakan sewenang-wenang kepada tergugal Sebab ketidakhadiran
in

asas pemeriksaan contradictoir.

3. Rasio Pengguguran Gugatan


aksud utama pelembagaan pengguguran gugatan dalam tata tertib beracara
adalah sebagai berikut.
a. Sebagai Hukuman kepada Penggugat
Pengguguran gugatan oleh hakim,merupakan hukuman kepada pengugat atas
kelalaian atau keingkarannya menghadiri atau menghadap di persidangan.
Sangat layak menghukum penggugat dengan jalan menggugurkan gugatan,
karena ketidakhadiran itu dianggap sebagai pernyataan pihak penggugat babwa
dia tidak berkepentingan lagi dalam perkara tersebut.
b. Membebaskan Tergugat dari Kesewenangan
Tujuan lain yang terkandung dalam pengguguran gugatan, membebaskan
tergugat dari tindakan kesewenangan penggugat. Dianggap sangat tragis
membolehkan penggugat berlarut-larut seċara berlanjut ingkar menghadin
sidang, yang mengakibatkan persidangan mengalami jalan buntu pada satu
segi, dan pada segi lain tergugat dengan patuh terus-menerus datang
menghadirinya, tetapi persidangan gagal disebabkan penggugat tidak hadir
tanpa alasan yang sah. Membiarkan hal seperti itu berlanjut, merupakan
penyiksaan yang menimbulkan kerugian moril dan materiil bagi tergugat.
Menghadapi keadaan yang demikian, sangat adil dan wajar membebaskan
tergugat dari belenggu perkara, dengan jalan menggugurkan gugatan
dimaksud. Memerhatikan rasio yang dikemukakan di atas, hakim harus tegas
menerapkan ketentuan Pasal 124 HIR, apabila keingkaran penggugat
menghadiri sidang benar-benar tanpa alasan yang sah. Atau apabila alasan
ketidakhadiran yang diajukan bohong. dibuat-buat atau artifisial (artificial).
4. Pengguguran pada Sidang Pertama
Kapan hakim secara ex-officio berwenang menggugurkan gugatan? Pasal 124
HIR tidak menegaskan hal itu.Pasal tersebut hanya mengatakan,kebolehan
menggugurkan gugatan, apabila penggugat tidak datang menghadap pada hani
sidang yang ditentukan.
a. Pengguguran pada Sidang Pertama
Secaratersirat, maknakalimatjika penggugatidak hadir menghadap persidangun
berdasarkan kaitan kalimat itu dengan panggilan.Berdasarkan tata tertib
beracara,relevansi atau urgensi panggilan adalab pada sidangpertama,karena

Scanned with CamScanner


proses sidang selanjutnya, tidak memerlukan panggilan, tetapi cukup melalui
pengumuman pengunduran di sidang pengadilan. Pendapat ini, sesuai dengan
pedoman yang digariskan MA,4° yang mengatakan: jika penggugat pada hari sidang
pertama tidak datang..., tetapi pada hari kedua ia datang dan pada hari ketiga
penggugat tidak hadir lagi, perkaranya tidak bisa digugurkan (Pasal 124 HIR/Pasal 148
RBG).
b. Makna Sidang Pertama
Yang dimaksud dengan sidang pertama dalam masalah ini, meliputi hari sidang yang
lain setelah pengunduran. Misalkan hari sidang pertama ditentukan 1 Maret 2002, untuk
itu penggugat telah dipanggil dengan patut. Ternyata tidak hadir memenuhi panggilan
tanpa alasan yang sah. Atau, ketidakhadirannya berdasarkan alasan yang sah.
Berdasarkan ketidakhadiran itu, hakim mengundurkan hari sidang pada tanggal 15
Maret 2002, dan memerintahkan juru sita menyampaikan panggilan. Namun, pada hari
sidangitu (15 Maret 2002) penggugat tidak hadir tanpa alasan yang sah. Dalam kasus
yang demikian: sidang pengunduran (15 Maret 2002) tersebut, dianggap dan
dikonstruksi
sebagai sidang pertama;
óleh karena itu, pada sidang pengunduran itu tetap melekat hak dan kewenangan hakim
secara ex-officio untuk menggugurkan gugatan penggugat.
Berdasarkan penjelasan di atas, péngertian sidang pertama dalam kaitannya dengan
pengguguran gugatan, tidak boleh ditafsirkan dan dikontruksi secara sempit (strict law), tetapi
harus diterapkan secara luas meliputi sidang pengunduran selanjutnya dengan syárat, asal
pada sidang sebelumnya penggugat tidak pernah hadir.
5. Pengguguran Tidak Imperatif,tetapi Fakultatif
Kewenangan pengguguran gugatan yang diatur dalam Pasal 124 HIR, sepintas lalu
bersifat imperatif. Seolah-olah pasal ini berisi perintah kepada hakim, harus atau wajib
menggugurkan gugatan apabila penggugat tidak datang menghadiri sidang pertama
tanpa alasan yang sah. Sepintas lalu memang demikian, jika an sich berpedoman
secara utuh kepada ketentuan Pasal 124 HIR. Menurut pasal ini, asal penggugat tidak
hadir tanpa alasan yang sah, gugatan harus digugurkan.
Ternyala sifat imperatif yang ada pada Pasal 124 HIR itu, dianulir oleh Pasal 126
HIR yang menegaskán:
sebelum menjatuhkan putusan pengguguran gugatan yang disebut dalam Pasal 124,PN
dapat memerintahkan supaya pihak yang tidak hadir

49 Pedoman Peluksunuan Tugas dan Administrasi Pengudilan, Buku II, MA RI, Jakarta, 1994,hlm.121.

Rah 3 Ruano Linokun Permascanned with CamScanner


dipanggiluntuk kedua kalinya supaya datang menghadap pada hari sidang
yang lain,
sedangkan kepada pihak yang hadir(dalam hal ini tergugat), pengunduran
sidang cukup diberitahukan oleh hakim dalam persidangan,dan
pemberitahuan itu oleh hukum dianggap berlaku sebagai panggilan.
Jadi bertitik tolak dari ketentuan Pasal 126 HIR,pengguguran gugatan
bukan bersifat imperatif,tetapi fakultatif.3 Dengan demikian penerapanya,
memberi kewenangan kepada hakim:
dapat menggugurkan gugatan secara langsung pada sidang pertama,atau
dapat mengundurkan sidang dengan jalan memerintahkan juru
sita,untuk memanggil penggugat untuk kedua kalinya.
Akan tetapi terlepas dari sifat fakultatif yang digariskan di atas, ditinjau dari segi
pendekatan rasio yang terkandung dalam pelembagaan pengguguran, dianggap lebih
tepat menerapkannya ke arah yang bersifat imperatif, demi untuk melindunigi
kepentingan tergugat pada satu segi, dan untuk edukasi bagi penggugat dan
masyarakat pada sisi lain.

6. Putusan Pengguguran Tidak Ne Bis In Idem


Perhatikan kembali ketentuan Pasal 124 HIR. Di dalamnya terdapat kalimat
yang berbunyi:
"... akan tetapi penggugat berhak memasukkan gugatannya sekali lagi,
sesudah membayar lebih dahulu biaya perkara tersebut.”
Berdasarkan kalimat itu, dapat dijelaskan hal-hal berikut.
a. Putusan Pengguguran Berdasarkan Alasan Formil
Putusan pengguguran gugatan, diambil dan dijatuhkan:
sebelum diperiksa materi pokok perkara,
oleh karena itu, putusan diambil berdasarkan alasan formil yaitu atas alasan
penggugat tidak hadir tanpa alasan yang sah (unreasonable defauli),

dengan demikian putusan pengguguran bukan putusan mengenai pokok

perkara, sehingga dalam putusan tidak melekat ne bis in idem yang digariskan

Pasal 1917 KUH Perdata.Berarti sekiranya pun putusan telab mempunyai

kekuatan hukum tetap (res judicata),pada putusan tidak melekat unsur ne bis in

idem.
b. Putusan Pengguguran Dijatuhkan secara Sederhana
Mengenai menjatuhkan putusan pengguguran gugatan,dapat berpedoman
kepada ketentuan Pasal 176 Rv:

50 Soepomo, op. cit.,hlm.33.


Scanned with CamScanner
dilakukan tanpa hadirnya penggugat, dalam sidang secara sederhana,
namun tetap dituangkan dalam bentuk putusan sebagaimana mestinya.
c. Putusan Pengguguran Diberitahukan kepada Penggugat
Menurut Pasal 276 Rv, untuk tegasnya kepastian hukum:
putusan pengguguran gugatan diberitahukan kepada penggugat,
pemberitahuan dilakukan oleh juru sita, sesuai dengan ketentuan Pasal 390 HIR.
Dengan adanya pemberitahuan, menjadi dasar bagi penggugat untuk
melakukan upaya hukum yang proporsional untuk itu.
d. Penggugat Berhak Mengajukan Kembali
Seperti yang telah dijelaskan di atas, dalam putusan pengguguran tidak melekat
unsur ne bis in idem sehingga putusan tersebut tidak termasuk putusan yang disebut
Pasal 1917 KUH Perdata. Oleh karena itu, sangat tepat ketentuan Pasal 124 HIR
yang memberi hak kepada Penggugat untuk mengajukan kembali gugatan itu
kepada PN untuk diproses sebagaimana mestinya.5' Terhadap pengajuan kembali,
tergugat tidak dapat mengajukan keberatan atau perlawanan.
e. Pengajuan Kembali dengan Membayar Biaya Perkara
Pengajuan kembali, dianggap sebagai perkara baru. Oleh karena itu, terhadap
pengajuan berlaku ketentuan Pasal 121 ayat(4) HIR:
harus lebih dahulu dibayar biaya perkara, sejumlah panjar perkara yang ditentukan
oleh panitera;
atas bukti pembayaran itu, baru dilakukan pendaftaran dalam register.
7. Pengguguran Gugatan Dibarengi Perintah Pengangkatan Sita Jaminan(CB)
Putusan pengguguran gugatan yang dijatuhkan pengadilan menimbulkan akibal
hukum terhadap semua tindakan hukum yang telah diambil pengadilan. Sekiranya
dalam perkara yang bersangkutan telah diletakkan sita jaminan terhadap milik
tergugat atau objek barang sengketa:
sita tersebut harus diangkat;
pengangkatan sita itu, dicantumkan dalam amar putusan yang berisi perintah
mengangkat sita;
namun, apabila penggugat mengajukan kembali perkara itu, dia berhak meminta lagi
agar sita diletakkan. Namun permintaan itu tidak dengan sendirinya dikabulkan,
tetapi harus berdasar pertimbangan baru lagi.52

51 Ibid.
52 Subekti, op.cit,hlm.56.

Scanned with CamScanner


F. PENCABUTAN GUGATAN
Salah satu permasalahan hukum yang mungkin timbul dalam proses beperkara di
depan pengadilan adalah pencabutan gugatan. Pihak penggugat mencabu gugatan
sewaktu atau selama proses pemeriksaan berlangsung. Alasan pencabutan sangat
bervariasi.Mungkin disebabkan gugatan yang diajukan tidak sempurna.Atau dasar
dalil gugatan tidak kuat atau barangkali dalil gugatan bertentangan dengan hukum
dan sebagainya.53
Schubungan dengan masalah pencabutan gugatan,dapat dijelaskan hal-hal
scbagai berikut.
1. Dapat Dipedomani Pasal 271-272 Rv, Berdasarkan Prinsip
Process Doelmatigheid
a. Pencabutan Gugatan Kebutuhan Praktik
Meskipun tidak dapat diajukan fakta dan data yang bercorak statistikal mengenai
jumlah pencabutan gugatan, hal itu tidak dapat mengurangi kebenaran tentang
terjadinya kasus pencabutan gugatan di pengadilan. Dengan demikian masalah
pencabutan gugatan, merupakan kebutuhan praktik yang memerlukan pedoman
dalam pelaksanaan penerapan.
b. HIR Maupun RBG Tidak Mengatur Pencabutan Gugatan
Satu sisi praktik peradilan dihadapkan pada permasalahan pencabutan gugatan.
Pada sisi lain HIR dan RBG tidak mengaturnya54 Mungkin kekosongan tersebut,
perlu dicari landasan pedoman hukum yang dapat dipertanggungjawabkan agar
penerapannya tidak mengurangi atau melanggar hak dan kepentingan para pihak,
terutama kepentingan tergugat. Sehubungan dengan itu, landasan pedoman hukum
yang dianggap valid terdiri dari:
1) Pasal 271 dan Pasal 272 Rv Berdasar Prinsip Process Doelmatigheid
Meskipun Rv(Reglement of de Rechtsvordering'= Reglemen Acara
Perdata) tidak berlaku, dalam masalah tertentu masih perlu dipedomani
sesuai dengan prinsip process doelmatigheid(kepentingan beracara)atau
process orde(ketertiban beracara); apabila tentang hal itu tidak diatur
dalam HIR dan RBG.
Banyak permasalahan hukum acara yang dipedomani dari Rv berdasarkan
asas process order, antara lain:
acara intervensi,meliputi penerapan voeging, tunseenkomst dan
vrijwaring,
kumulasi gugatan dan samenvoeging,
53 Abdulkadir, op cit, hlm. 72.
54 Ibid.,hlm.71. Scanned with CamScanner
action en desaveu,
eksekusi riil, dan sebagainya.
Penggunaan Pasal 271 dan 272 Rv sebagai pedoman, dikemukakan juga
dalam Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan.55
Dalam buku tersebut, secara tersirat MA mengajak pengadilan
menperġunakan Pasal 271 dan 272 Rv sebagai rujukan menyelesaikan
pencabutan gugatan.
2) Yurisprudensi
Selain ketentuan Pasal 271 dan 272 Rv,hakim dapat mempergunakan
yurisprudensi sebagai pedoman atau rujukan. Meskipun di Indonesia tidak
menganut sistem preseden, hal itu tidak melarang hakim mengikuti putusan
peradilan terdahulu (previous decision) secara liberal dan rasional.

2. Pencabutan Merupakan Hak Penggugat


Sama halnya dengan pengajuan gugatan, pencabutan gugatan merupakan hak
yang melekat pada diri penggugat. Satu sisi hukum memberi hak kepadanya
mengajukan gugatan, apabila hak dan kepentingannya dirugikan atau diperkosa
pihak lain. Pada sisi lain wajar dan layak pula memberi hak kepadanya untuk
mencabut gugatan apabila dianggapnya hak dan kepentingannya tidak dirugikan.
Akan tetapi, hukum perlu menjaga keseimbangan kepentingan dalam pencabutan
gugatan. Bukan hanya kepentingan penggugat yang perlu diperhatikan.
Kepentingan tergugat pun harus dilindungi. Sistem pencabutan gugatan yang
dianggap memberi keseimbangan kepada penggugat dan tergugat, berpedoman
pada cara penerapan sebagai berikut.
a. Pencabutan Mutlak Hak Penggugat Selama Pemeriksaan Belum Ber-langsung
Penerapan ini berpedoman kepada ketentuan Pasal 271 Rv alinea pertama,
menegaskan:
penggugat dapat mencabut perkaranya,
dengan syarat, asalkan hal itu dilakukan sebelum tergugat menyampaikan
jawaban.
Penyampaian jawaban dalam proses pemeriksaan perdata, berlangsung pada tahap sidang
pertama atau sidang kedua atau sidang berikutnya apabila pada sidang-sidang yang lalu diundur
tanpa menyampaikan jawaban dari pihak tergugat. Dalam hal yang seperti ini, meskipun para
pihak telah hadir dipersidangan, dianggap pemeriksaan belum berlangsung selama tergugat
belum

55 Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, op. cit.; hlm. 123 angka 23.

'Scanned with CamScanner


menyampaikan jawaban.Dalam keadaan yang demikian, hukum memberi bak
penuh kepada penggugat mencabut gugatan tanpa persetujuan pihak tergugat.
Memang hak mencabut yang paling murni dan mutlak, apabila proses
yang terjadi:
baru pada tahap pendaftaran dan pendistribusian kepada majelis, dan
proses belum berlanjut pada tahap pemanggilan.
Dalam tahap proses yang seperti ini,pencabutan gugatan benar-benar mulak
menjadi hak penuh penggugat.Akan tetapi, perluasan hak itu dapat meningkat sampai
tahap selama tergugat belum mengajukan jawaban,penggugat mutlak berhak mencabut
gugatan. Pendirian ini selain berpedoman kepada Pasal 271 Rv,juga didukung praktik
peradilan. Antara lain dapat dikemukakan salah satu putusan MA,56 yang menegaskan:
selama proses pemeriksaan perkara di persidangan belum berlangsung,
penggugat berhak mencabut gugatan tanpa persetujuan tergugat,
setelah'proses pemeriksaan berlangsung, pencabutan masih boleh dilakukan,
dengan syarat harus ada persetujuan pihak tergugat.
b. Atas Persetujuan Tergugat Apabila Pemeriksaan Telah Berlangsung
Penerapan ini berpedoman atau merujuk kepada alinea kedua Pasal 271 Rv yang
menegaskan, setelah ada jawaban maka pencabutan istansi hanya dapat terjadi dengan
persetujuan pihak lawan. 57
Ketentuan ini, bertujuan melindungi kepentingan tergugat. Apabila pencabutan
gugatan tidak dibatasi (unlimited), berarti hukum memberi pembenaran atau justifikasi
kepada penggugat bertindak sewenang-wenang kepada tergugat. Sebagai ilustrasi dapat
dilihat contoh berikut. A menggugat B. Proses pemeriksaan telah berlangsung sampai
pada tahap pembuktian. Berdasarkan alat bukti yang diajukan A, tidak mampu
membuktikan dalil gugatan sehingga A memperkirakan akan dikalahkan. Dalam proses
yang demikian A mencabut gugatan, sehingga sengketa tidak memperoleh
penyelesaian.Setelah gugatan dicabut,kembali A mengajukan ke PN.Setelah pemeriksaan
berlanjut, A mencabut lagi. Jika tindakan yang seperti ini dibenarkan tanpa persetujuan
tergugat, hukum telah berpihak menjustifikasi kezaliman yangdilakukan penggugat kepada
tergugat.Oleh karena itu, untuk menghindari kesewenangan dimaksud,pencabutan
gugatan yang sudah berlangsung pemeriksannya di sidang pengadilan, harus atas
persetujuan tergugat.

56 No.1841 /Pdv1984,23-11-1985,jo.PT Ujung Pandang No.3611983,11-4-1984,jo.PNpek Baru


No.31/1981,22-3-1982.
57 Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI, op. cit., hlm. 633.
Scanned with CamScanner
Syarat yang demikian tidak hanya ditegaskan dalam Pasal 271 Rv,tetapi juga dalam
Putusan MA No. 1841 K/Pdt/1984. Putusan ini selain memper-timbangkan kebolehan
pencabutan sebelum perkara diperiksa, sekaligus juga berisi penegasan, pencabutan
gugatan setelah pemeriksaan berlangsung, harus atas persetujuan tergugat. Penegasan
pertimbangan yang seperti itu, ditemukan juga dalam Putusan MA No. 1742 K/Pdt/1983.58
Dalam kasus ini, penggugat mencabut gugatan terhadap Tergugat I yang dituangkan dalam
surat tanggal 12-11-1980. Padahal pemeriksaan perkara sudah berjalan, dan Tergugat I
keberatan atas pencabutan. Pada tingkat kasasi MA mempertimbangkan, antara lain:
penggugat dengan surat tanggal 12-11-1981, mencabut gugatan terhadap tergugat
I, akan tetapi atas pencabutan itu Tergugat I keberatan sebagaimana hal itu
dituangkan dalam berita acara sidang halaman 12, tanggal 12-11-1980;
dengan demikian pencabutan tidak dapat dibenarkan,atas alasan pencabutan tidak
disetujui Tergugat I.
Memerhatikan pertimbangan MA di atas, bukan hanya pencabutan gugatan terhadap
semua tergugat yang harus mendapat persetujuan. Pencabutan gugatan terhadap seorang
tergugat pun mesti mendapat persetujuan dari tergugat yang bersangkutan.
3. Cara Pencabutan
Cara pencabutan, berpedoman kepada ketentuan Pasal 272 Rv sebagai rujukan.
Ajakan mempergunakan Pasal 272 Rv sebagai rujukan, bertujuan untuk memiliki
landasan penerapan yang sama antara pencari keadilan dengan peradilan. Bertitik
tolak dari ketentuan Pasal 272 Rv, terdapat beberapa hal yang perlu dijelaskan
dalam pelaksanaan pencabutan gugatan.
a. Yang Berhak Melakukan Pencabutan
Agar pencabutan gugatan sah menurut hukum, harus dilakukan oleh orang yang
berhak. Menurut Pasal 272 Rv yang berhak melakukan pencabutan adalah sebagai
berikut.
1) Penggugat Sendiri secara Pribadi
Menurut hukum, penggugat sendiri yang paling berhak melakukan pencabutan
karena dia sendiri yang paling mengetahui hak dan kepentingannya dalam
kasus perkara yang bersangkutan.
2) Kuasa yang Ditunjuk Penggugat
Pencabutan dapat juga dilakukan kuasa yang ditunjuk penggugat berdasarkan
surat kuasa khusus yang digariskan Pasal 123 HIR, dan SEMA

58 Tanggal 25-10-1984,jo.PT Medan No.570/1981,8-12-1982,jo.PN Medan


No.215/1980,15-7-1981.

Scanned with CamScanner


No.1 Tahun 1971,° dan di dalamnya dengan tegas diberi penugasan

untuk mencabut.Atau dapat juga dituangkan dalam surat kuasa

tersendini yang secarakhusus memberi pencgasan untuk melakukan

pencabutan gugatan.Pencabutan yang dilakukan kuasa yang tidak

diberi wewenang untuk itu oleh penggugat tidak sah (illega), dan

tindakan kuasa tersebut dapat dianggap menyalahgunakan

wewenang (abuse of authority) atau pelampauan batas

wewenang(exceeding is power).Tindakan kuasa yang demikian

dapat dikualifikasi perbuatan melawan hukum (onrechmalige dead)

berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata.


b. Pencabutan Gugatan yang Belum Diperiksa Dilakukan dengan Sural
Seperti yang dijelaskan terdahulu, pencabutan gugatan yang belum diperiksa
di sidang pengadilan, mutlak menjadi hak penggugat.60 Tidak diperlukan
syarat persetujuan dari tergugat. Sejalan dengan hak dimaksud, pencabutan
dapat dilakukan penggugat dengan cara berikut.
1) Pencabutan Dilakukan dengan Surat:
Ditujukan dan disampaikan kepada Ketua PN.
Berisi penegasan pencabutan gugatan. Pencabutan yang dilakukan
dengan lisan pada prinsipnya tidak sah dan harus ditolak.Akan tetapi dapat
juga dibenarkan dengan syarat.
Pencabutan dilakukan di depan Kętua PN atau panitera.
Atas pencabutan itu dibuat akta pencabutan yang ditandatangani
penggugat dan Ketua PN atau panitera.
Perlu dijelaskan, tujuan utama pencabutan harus berbentuk surat atauakta,
agar tercipta dan terbina kepastian hukum (legal certainty),dan sekaligus
menjadi bukti tentang kebenaran pencabutan.
2) Ketua PN Menyelesaikan Administrasi Yustisial atas Pencabutan:
a) dalam hal panggilan sidang belum disampaikan kepada tergugat, Ketua PN
cukup memerintahkan panitera mencorct perkara dari buku register;
b)apabila panggilan sidang sudah disampaikan kepada tergugat, tindakan
administrasi yustisial yang mesti diselesaikan Ketua PN atau majelis tersebut
adalah
memerintahkan juru sita menyampaikan pemberitahuan penca-
butan kepada tergugat;
pemberitahuan pencabutan dapat disampaikan pada hari sidang
yang ditentukan;

59 Tanggal 23 Januari 1971.


60 Soepomo, op cit.,hlm.27.

Scanned with CamScanner


memerintahkan panitera melakukan pencoretan perkara dari buku
register.
Kewajiban PN menyampaikan pemberitahuan pencabutan kepada tergugat,
merupakan pelaksanaan fungsi peradilan demi tegaknya kepastian dan
pclayanan hukum yang baik.
c. Pencabutan Gugatan yang Sudah Diperiksa Dilakukan dalam Sidang
Cara pencabutan gugatan yang sudah diperiksa perkaranya di sidang
pengadilan, merujuk kepada ketentuan Pasal 272 Rv sebagai pedoman dengan
modifikasi seperlunya.Acuan pedoman penerapan yang dapat diambil dari pasal
tersebut, antara lain sebagai berikut.
1) Pencabutan Dilakukan pada Sidang Apabila perkara telah diperiksa,
minimal pihak tergugat telah menyampaikan jawaban:
pencabutan mutlak mesti dilakukan dan disampaikan penggugat pada
sidang pengadilan;
penyampaian peņcabutan dilakukan pada sidang yang dihadiri tergugat.
Kalau begitu pencabutan hanya dapat dilakukan dan dibenarkan pada sidang
pengadilan yang memenuhi syarat contradictoir, yaitu harus dihadiri para
pihak. Tidak dibenarkan pencabutan dalam persidangan secara ex-parte
(tanpa dihadiri tergugat).
2) Meminta Persetujuan dari Tergugat
Mengenai hal ini sudah dijelaskan. Apabila pemeriksaan perkara sudah
berlangsung, pencabutan harus mendapat persetujuan tergugat.61 Oleh
karena itu, apabila ada pengajuan pencabutan gugatan di sidang pengadilan,
proses yang harus ditempuh majelis untuk menyelesaikannya adalah
sebagai berikut.
a) Majelis menanyakan pendapat tergugat
Menanyakan pendapat tergugat tentang hal ini tidak dapat ditunda.
Harus langsung pada saat itu juga. Namun jawaban tergugat tidak musti
diberikan pada saat itu. Kepadanya dapat diberi waktu untuk berpikir
dalam jangka waktu tertentu.
b) Tergugat menolak pencabutan
Jika tergugat menolak pencabutan gugatan yang dilakukan penggugat
maka
pengadilan atau Majelis harus tunduk menaati (comply) atas penolakan.
Terhadap penolakan tergugat, pengadilan atau Majelis tidak boleh
mengambil kebijaksanaan selain pada penolakan itu;

61 Ibid.

Scanned with CamScanner


atas penolakan tergugat, Majelis menyampaikan pernyataan
dala yang berlaku;
aemerintahkan panitera untuk mencatat penolakan dalam beris
acara sidang, sebagai bahan bukti otentik atas penolakan itu
Dengan demikian penolakan pencabutan tidak perlu dituangkan
dalana bentuk penetapan atau putusan sela.Cukup dituangkan
dalam beria acara sidang.
Tergugat menyetujui pencabutan
Apabila tergugat menyetujui pencabutan,tindak lanjut yang pertu
diselesaikan majelis adalah
menerbitkan putusan atau penetapan pencabutan.
Persetujuan pencabutan yang diberikan tergugat, selain dicatat
dalam berita acara dituangkan juga dalam bentuk putusan atan
penetapan. Mungkin lebih tepat berbentuk putusan atas alasan
apabila tergugat menyetujui pencabutan, penyelesaian gugatan
(perkara) menjadi:
bersifat final, dalam arti sengketa di antara penggugat dan
tergugat berakhir.
sifat final itu atas penyelesaian perkara berdasarkan kesepa-katan
(agreement) di depan sidang pengadilan, sehingga pencabutan
merupakan undang-undang bagi para pihak berdasarkan Pasal
1338 KUH Perdata. Sehubungan dengan alasan tersebut, bentuk
yang dianggap proporsional atas persetujuan adalah putusan
bukan penetapan.
memerintahkan pencoretan perkara dari register atas alasan
pencabutan.
Perintah pencoretan dari register, tidak hanya dimaksudkan
sebagai pengakhiran pemeriksaan perkara, tetapi juga untuk
ketertiban administrasi yustisial.
4. Akibat Hukum Pencabutan
Pasal 272 Rv mengatur akibat hukum pencabutan gugatan.Ketentuan pasal ini
dapat dijadikan pedoman dengan cara memodifkasi dengan kebutubhan
perkembangan.Akibat hukum pencabutan gugatan yang dianggap penting
diperhatikan, dapat dijelaskan hal-hal berikut:
a. Pencabutan.Mengakhiri Perkkara
iatas sudah dijelaskan pencabutan gugatan bersifat final
mengakhiripenyelesaian sengketa.Tidak menjadi soal apakah pencabutan
dilakukan terhadap gugatan

Scanned with CamScanner


Apalagi pencabutan di sidang yang mendapat persetujuan dari tergugai, semakin
kuat sifat finalnya. Karena dalam pencabutan yang mendapat persetujuan dari
tergugat, dapat dikonstruksi dan dianalogikan dengan penyelesaian perdamaian yang
disebut Pasai 130 HIR. *2 Oleh karena itu, dapat disimpulkan pencabutan gugatan
yang mendapat persetujuan dari teryugat; analog dengan putusan perdamaian yang
dijatuhkan PN berdasarkan Pasal 130 HIR.

b.Tertutup Segala Upaya Hukum bagi Para Pihak


Sudah dijelaskan di atas, putusan pencabutan gugatan adalah bersifat final dan analog
dengan putusan perdamaian berdasarkan Pasal 130 HIR. Konsekuensi hukum yang
harus ditegakkan di atas konstruksi tersebut:
putusan pencabutan gugatan mengikat (binding) sebagaimana layaknya
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (res judicata);
akibat lebih lanjut dari itu, tertutup hak para pihak untuk mengajukan segala
bentuk upaya hukum.
Dengan demikian terhadap putusan pencabutan gugatan yang dijatuhkan PN, tertutup
upaya perlawanan, banding, kasasi, maupun peninjauan kembali. Sangat ironi dan tidak masuk
akal sehat (common sense) apabila terhadap pencabutan gugatan yang dilakukan penggugat
sendiri dimentahkannya dengan cara mengajukan keberatan atau banding maupun kasasi
terhadapnya. Hal yang sama dianggap juga ironi dan kontroversi, apabila tergugat mengajukan
upaya hukum terhadap pencabutan gugatan yang disetujuinya secara tegas di depan sidang
pengadilan.
c. Para Pihak Kembali kepada Keadaan Semula
Salah satu akibat hukum yang disebut dalam Pasal 272 Rvadalah segala sesuatu di
antara kedua belah pihak dikembalikan kepada keadaan semula,atau restitutio in
integrum. Berarti, apabila terjadi pencabutan gugatan, timbul akibat:
demi hukum, para pihak kembali pada keadaan semula,sebagaimana halnya sebelum
gugatan diajukan;
seolah-olah di antara mereka tidak pernah terjadi sengketa.
Pengembalian kepada keadaan semula, meliputi segala sesuatu tindakan yang
telah diambil PN dalam proses pemeriksaan perkara, termasuk:
putusan provisi yang telah diambil yang melarang tergugat melakukan sesuatu;
peletakan sita yang dituangkan dalam penetapan dan berita acara sita.

62 Abdulkadir, op.cit.,hlm.71.

Bab 3 Ruang Lingkup Permasalahan Gugatan


Kontentiosa
Scanned with CamScanner
Semuanya harus dikcmbalikan kcpada keadaan semula. Pengembalian
kepada keadaan semula dapat dituangkan:

1) dalam bentuk penctapan, apabila pencabutan terjadi sebelum perkara


diperiksa.
Jadi,apabila pencabutan dilakukan dengan surat karena perkara belum
diperiksa atau panggilan belum disampaikan kepada tergugat, sita telah
diletakkan mendahului pemanggilan, pengangkatan sita, dituangkan dalam
bentuk surat penetapan.
2) dituangkan dalam amar putusan, apabila pencabutan terjadi atas
persetujuan tergugat di persidangan.
Seperi yang sudah dijelaskan, jika pencabutan terjadi di sidang pengadilan atas
persetujuan tergugat, pencabutan dituangkan dalam bentuk putusan. Maka
dalam rangka pengembalian kepada keadaan semula atas sita yang sudah
sempat diletakkan, pengangkatan sita itu ditegaskan dalam amar putusan.
d. Biaya Perkara Dibebankan kepada Penggugat
Akibat hukum ini, ditegaskan dalam Pasal 272 Rv, yang mengatakan, pihak yang
mencabut gugatan berkewajiban membayar biaya perkara. Ketentuan imi dianggap
adil dan wajar, dan dapat dipedomani dalam praktik. Bukankah yang mengajukan
gugatan adalah penggugat? Kemudian sebelum PN menjatuhkan putusan tentang
kebenaran dalil gugatan yang dikemukakannya, penggugat sendiri mencabutnya.
Atas peristiwa itu, beralasan untuk menghukum penggugat membayar biaya perkara.
Pembebanan kewajiban atas pemenuhan biaya perkara tersebut menurut yang
tersurat dan tersirat dalam Pasal 272 Rv adalah sebagai berikut.
1) Jika Panjar (Uang Muka) Biaya Cukup Kalau panjar biaya yang
dibayar penggugat kepada PN cukup, panjar itu ditetapkan untuk
melunasi kewajiban penggugat membayar biaya perkara
2) Panjar (Uang Muka) Biaya Tidak Cukup, Ketua PN Mengeluarkan
Sural Penetapan
Apabila panjar biaya yang diterima dari penggugat tidak cukup menutup biaya
yang telah ditetapkan dan dikeluarkan PN,penyelesaiannya menurut Pasal 272
Rv:
Ketua PN mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah
kepada penggugat untuk membayar kekurangan biaya perkara
sesuai dengan jumlah yang ditetapkan;
surat perintah (penetapan) tersebut:
mempunyai kekuatan eksekutorial (executorial kracho), oleh karena
itu,perintah pembayaran itu dapat dilaksanakan
segera;
Scanned with CamScanner
terhadap penetapan perintah pembayaran, tidak dapat diajukan
perlawanan.
Penetapan perintah pembayaran harus dianggap dan dinyatakan bersifat
final. Oleh karena itu, tidak dapat diajukan bantahan maupun upaya hukum
yang lain. Sekiranya penggugat berpendapat jumlah yang ditetapkan tidak
layak, satu-satunya jalan yang dapat ditempuhnya meminta perlindungan
hukum kepada Ketua PN atau MA melalui jalur fungsi pengawasan yang
dimiliki instansi tersebut berdasarkan Pasal 32 Undang-Undang No.14
Tahun 1985.63 Sebagaimana diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004.

5. Pengajuan Kembali Gugatan yang Telah Dicabut


Pasal 124 HIR masih tetap memberi hak kepada penggugat untuk mengajukan
kembali gugatan yang digugurkan sebagai perkara baru, dengan syarat dibebani
membayar biaya perkara. Bagaimanahalnya mengenai pencabutan gugatan?
Apakah penggugat masih berhak mengajukan kembali perkara tersebut ke PN
sebagai perkara baru?
Mengenai permasalahan ini, tidak dijumpai jawaban dan aturannya dalam Rv. Namun
demikian kckosongan hukum ini, perlu dipersoalkan, agar diperoleh pedoman penerapan yang
diperlukan untuk itu. Pedoman yang dianggap rasional dan praktis mengenai permasalahan
yang timbul dalam kasus pengajuan kembali gugatan yang telah dicabut adalah sebagai
berikut.
a. Yang Dicabut Tanpa Memerlukan Persetujuan Tergugat Dapat Diajukan
Kembali
Pada dasárnya, terhadap péncabutan gugatan yang belum diperiksa di
persidangan, tidak melekat persetujuan tergugat. Bahkan pencabutannya dapat
dilakukan di luar sidang melalui surat. Sekiranya pun pencabutan dilakukan di
sidang pengadilan yang dihadiri tergugat, pencabutan tidak memerlukan
persetujuan tergugat, karena berpedoman kepada ketentuan Pasal 271 Rv
maupun yurisprudensi, pencabutan gugatan yang belum diperiksa, tidak
memerlukan persetujuan dari tergugat. Berarti pencabutan terhadap gugatan
yang demikian benar-benar murni merupakan hak mutlak penggugat. Pada saat
gugatan dicabut, tergugat sendiri belum secara nyata berada dalam posisi yang
diserang hak dan kepentingannya. Berdasarkan kenyataan dan alasan yang
disebut di atas, dapat disimpulkan:
gugatan yang dicabut tanpa persetujuan tergugat dapat diajukan kembali
sebagai perkara baru;
óleh karena itu, PN wajib menerima dan mendaftarkannya setelah penggugat
membayar biaya perkara sesuai dengan kctentuan Pasal 121

63 UU tentang Mahkamah Agung, 30 Desember 1985.

Scanned with CamScanner


ayat(4)HIR,dan selanjutnya diperiksa dan diperluas melalui proses
persidangan.
b. Gugatan yang Dicabut atas Persetujuan Tergugat,Tidak Dapat Diajukan
Kembali
Berbeda halnya dengan gugatan yang dicabut atas persetujuan tergugat.Dalam
pencabutan itu melekat kesepakatan kedua belah pihak:
penggugat mengajukan penawaran (offer) pencabutan;
atas penawaran itu,tergugat menerima atau menyctujui(accept)pencabutan
Ditinjau dari ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata,pencabutan yang terjadi merupakan
kesepakatan bersama (mutual assent, overeenkomsi) dari kedua belah pihak. Pada sisi lain,
ditinjaudari ketentuan Pasal 130 HIR,kesepakatan pencabutan di depan pengadilan benar-
benar analog dengan putusan perdamaizn yang dijatuhkan hakim atas permintaan para pihak
yang beperkara. Bertitik tolak dari penjelasan di atas dapat disimpulkan:
1) pencabutan gugatan yang disetujui tergugat di depan pengadilan, dikonstruksi
sebagai kesepakatan berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata. dan analog
dengan putusan perdamaian yang digariskan Pasal 130 HIR;
2) dengan demikian pencabutan gugatan merupakan penyelesaian sengketa
yang mengikat (binding) dan bersifat final (mengakhiri)kepada pengguga dan
tergugat;
3) oleh karena penyelesaian sengketa dianggap telah final dan mengikat
sengketa yang terkandung dalam gugatan, tidak dapat diajukan kembali oleh
para pihak. Bukan pihak penggugat saja yang tidak dapat mengajukannya
kembali, tetapi juga pihak tergugat.

G. PERUBAHAN GUGATAN
Permasalahan selanjutnya mengenai gugatan adalah perubahan
gugatan.Apakah penggugat boleh melakukan perubahan gugatan? Pertanyaan
ini mengandung dua sisi kepentingan. Satu segi, dalam kenyataan praktik,
dibutuhkan peruhahan gugatan agar tidak mengalami cacat formilobscuur libel.
Pada segi lain membolehkan perubahan gugatan, dapat mendatangkan
kerugian kepada tergugat.Bahkan bisa menimbulkan proses pemeriksaan
terhambat yang dapat merugikan kepentingan tergugat.4
Sehubungan dengan itu, jika perubahan gugatan dibenarkan, perlu dilindungi
kepentingan para pihak secara seimbang dan proporsional,sehingss terbina suatu
kerangka tata tertib, bahwa kebolehan penggugat melakukan perubahan gugatan pada
satu segi,tidak merugikan kepentingan tergusat

64 Lihat,Sudikno Mertokusumo,op.cit.,hlm.77.

Scanned with CamScanner


membela diri pada segi lain. Keadaan yang seperti itulah yang dibahas pada
bagian ini, berisi penjelasan tentang ruang lingkup perubahan gugatan yang
dibenarkan hukum dengan mempergunakan Pasal 127 Rv dan praktik
peradilan sebagai sumber.

1. Pasal 127 Rv sebagai Rujukan Berdasarkan Kepentingan


Beracara
HIR maupun RBG sebagai peraturan perundang-undangan hukum acara
perdata di Indonesia, tidak mengatur perubahan gugatan.65 Oleh karena
itu,berdasarkan HIR atau RBG, tidak ada ketentuan mengenai pcrubahan
gugatan. Padahal berdasarkan kenyataan, perubahan gugatan merupakan
kebutuhan dalam proses penyelesaian perkara. Apalagi ditinjau dari asas
peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan, perubahan gugatan sangat
efektif dan efisien mempercepat pemeriksaan. Oleh karena itu, tepat yang
dikemukakan Soepomo,6 meskipun HIR tidak mengatur perubahan tuntutan, ini
tidak berarti bahwa perubahan tuntutan tidak diperbolehkan.
Jika praktik peradilan tidak membenarkan perubahan gugatan, proses
pemeriksáan tidak efektifdan tidak efisien. Untuk mengubah atau memperbaiki
kesalahan pengetikan (clerical error), terpaksa penggugat mencabut gugatan. Atau
untuk memperbaiki kesalahan perhitungan (error in computation), harus mencabut
gugatan serta mengajukan gugatan baru. Beruntung bagi penggugat jika pencabutan
disetujui tergugat. Penggugat akan bermasalah, apabila tergugat tidak menyetujui
pencabutan. Di dalam kondisi ini, terpaksa penggugat bertarung di sidang pengadilan
dengan gugatan yang mengandung kesalahan yang dapat merugikan dirinya.67
Memerhatikan akibat buruk yang timbul apabila perubahan gugatan tidak dibenarkan
atas alasan HIR dan RBG tidak mengaturnya, dianggap alasan yáng naif. Praktik peradilan
dapat berpaling kepada Pasal 127 Rv sebagai landasan rujukan berdasarkan prinsip demi
kepentingan beracara atau proċess doelmatigheid. Supomo telah memperlihatkan, bahwa
Landraad Purwórejo pada 1937 telah menjadikan Pasal 127 Rv tersebut sebagai pedoman
menyelesaikan perubahan tuņtutan. Dalam putusan yang dijatuhkannya 21 Juni 1937,
menyatakan "bahwa sifat hukum acara perdata bagi landraad yang tidak formalistis itu,
membolehkan perubahan tuntutan, asal saja hakim menjaga, bahwa tergugat tidak dirugikan
dalam haknya untuk membela diri”. 68

65 Lihat, Abdulkadir, op. çit., hlm.66.


66 Lihat,Abdulkadir, ibid., hlm. 26.
67 Lihat, Subekti, op. cit.,hlm.62.
68 Ibid., hlm.27.

Scanned with CamScanner


Berdasarkan penjelasan di atas,praktik hukum yang membcnarkan

perubahan gugatan,telah berlangsung lama dalam sejarah peradilan Indonesia,

sudah dikenal sejak masa penjajahan sampai sekarang, Kebolehan itu

ditegaskan juga oleh MA dalam buku II, antara lain menyatakan: perubahan atau

perobahan gugatan diperkenan-kan asal diajukan pada hari sidang pertama di

mana para pihak hadir, dan harus dinyatakan kepada pihak tergugat guna

pembelaan kepentingan.
dalam Rv sendiri,ketentuan mengenai perubahan gugatan, hanya terdini dari satu
pasal, yaitu Pasal 127 yang berbunyi,70 Penggugat berhak untuk mengubah atau
mengurangi tuntutannya sampai saat perkara diputus, tanpa boleh mengubah atau
menambah pokok gugatannya.
Dengan demikian, pembahasan selanjutnya mengenai perubahan gugatan,
hertitik tolak dari Pasal 127 Rv tersebut, dihubungkan dengan yurisprudensi
yang berkaitan dengannya.
2. Perubahan Gugatan Merupakan Hak
Menurut Pasal 127 Rv, perubahan gugatan merupakan hak yang diberikan
kepada penggugat. Berarti, hakim maupun tergugat tidak boleh menghalangi dan
melarangnya. Penggugat bebas mempergunakan hak itu, asalkan berada dalam
kerangka yang dibenarkan hukum. Dalam praktik sebagaimana yang tercermin
dalam putusan pengadilan, tidak tegas menyebut perubahan itu sebagai hak
penggugat. Tetapi menggunakan istilah lain, seperti diperbolehkan. Penggunaan
istilah ini dijumpai pada catatan Asikin Kusuma Atmadja, sehubungan dengan
Putusan MA No. 934 K/Pdt/1984,19 September 1985," antara lain mengatakan:
"Sesuai yurisprudensi perubahan gugatan tuntutan selama persidangan
diperbolehkan". Selain itu ada pula putusan yang memakai kata "mengizinkan".
Istilah ini ditemukan dalam salah satu putusan MA2 yang menyatakan antara
lain, yurisprudensi mengizinkan perubahan atau tambahan gugatan asalkan
tidak mengakibatkan perubahan posita gugatan.
Lain pula istilah yang dikemukakan MA dalam buku pedoman." Di situ
dipakai sebutan diperkenankan (perubahan dan atau penambahan gugatan
diperkenankan).

69 Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan, op, cit., hlm.123.


70 Lihat Himpunan Peraturun Perundang-undangan Indonesia, hlm. 618.
71 Ibid.,Beberapa Yurtsprudensi Perdata yang Penting, hlm. 10.
72
Perdata, hlm.196.
73 Pedoman Pelaksanaan Tigas dan Administrasi Pengadilan, op.clt.,hlm.123.

Scanned with CamScanner


a. Yang Tepat adalah Hak
Istilah hukum (legal term) yang tepat adalah hak. Hukum memberi hak kepada
penggugat. Hak itu tidak hanya terbatas untuk melakukan perubahan, tetapi
meliputi hak mengurangi tuntutan. Oleh karena itu, tidak tepat istilah yang
dipergunakan dalam putusan yang dikemukakan di atas. Mempergunakan
istilah diperbolehkan atau diizinkan maupun diperkenankan, memperlemah hak
yang diberikan Pasal 127 Rv kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan.
Seolah-olah penggugat harus mengemis meminta kepada hakim agar
diperbolehkan atau diizinkan maupun diperkenankan mengubah atau
memperbaiki gugatan.
b. Perubahan Diajukan, Bukan Dimohon
Oieh karena Pasal 127 Rv sendiri menegaskan melakukan perubahan gugatan
adalah hak penggugat, berarti menurut hukum:
penggugat berhak mengajukan perubahan gugatan kepada majelis hakim yang
memeriksa perkara;
bukan meminta atau memohon izin alau perkenaan untuk melakukan
perubahan gugatan.
Implikasi antara kedua sistem atau cara ini ditinjau dari segi formalitas sangat
berbeda. Pada sistem yang pertama, hakim tidak boleh mempersoalkan apakah boleh
atau tidak penggugat melakukan perubahan. Yang dapat dipersoalkan dan dinilai
hakim, apakah perubahan yang dilakukan dan diajukan bertentangan atau tidak
dengan hukum. Sebaliknya pada sistem yang kedua, terkesan dan tersirat, bahwa
tindakan perubahan itu secara formil tergantung pada perkenan hakim. Seolah-olah
hakim berwenang tidak memberi izin melakukan perubahan tanpa perlu lebih dahulu
menilai dan mempertimbangkan apákah perubahan itu secara substansial
bertentangan dengan hukum.
Kalau begitu, seharusnya praktik peradilan tidak perlu memperhalus istilah
hak yang disebut Pasal 127 Rv menjadi kebolehan atau diizinkan maupun
diperkenankan. Istilah ini bercorak otoriter dan mereduksi makna hak yang
diberikan hukum kepada penggugat.
3. Batas Waktu Pengajuan Perubahan Gugatan
Mengenai batas waktu pengajuan perubahan gugatan muncul dua versi.
a. Sampai Saat Perkara Diputus
Tenggang batas jangka waktu ini ditegaskan dalam rumusan Pasal 127 Rv yang
menyátakan, penggugat berhak mengubah atau mengurangi tuntutạn sampai saat
perkara diputus. Berarti, selama persidangan berlangsung, penggugat berhak
melakukan dan mengajukan perubahan gugatan. Jika tidak keliru, Asikin, mendukung
penerapan yang demikian. Pada catatan yang diberikan pada Putusan MA No.943
K/Sip/1987,19 September 1985, terdapat penegasan yang memperbolehkan
perubahan gugatan selama persidangan. Kita kurang

Bab 3 Ruang Lingkup Permasalahan Gugatan Kontentiosa


Scanned with CamScanner
sétuju dengan ketentuan batas jangka waktu ini. Pemberian hak melakukan
perubahan gugatan sepanjang atau selama proses pemeriksaan,apalagi sampai
putusan dijatuhkan; dianggap merupakan kesewenang-wenangan terhadap tergugat.
Dari segi lain, kebolehan yang demikian, secara nyata dan objektif dapat menghambat
penyelesaian perkara.Misalnya,pada saat putusan hendak dijatuhkan,penggugat
mendadak mengajukan perubahan gugat yang memerlukan pembelaan dari pihak
tergugat. Tindakan itu jelas menghambat penyelesaian serta mengandung
kesewenang-wenangan dari pihak penggugat. Oleh karena itu, sangat beralasan
memodifikasi ketentuan itu kearah jangka waktu yang layak dan realistik.
b. Batas Waktu Pengajuan pada Hari Sidang Pertama
Penggarisan batas jangka waktu pengajuan hanya boleh dilakukan pada hari sidang
pertama,ditegaskan dalam Buku Pedoman yang diterbitkan MA.74 Selain harus
diajukan pada hari sidang pertama, disyaratkan para pihak harus hadir. Ditinjau dari
segi hukum, perubahan gugatan bermaksud untuk memperbaiki dan
menyempurnakan gugatan. Oleh karena itu, dianggap tidak realistis membatasinya
hanya pada hari sidang pertama. Terkadang perbaikan atau perubahan itu, baru
disadari setelah tergugat menyampaikan jawaban. Oleh karena itu,pedoman batas
waktu yang digariskan MA itu, dianggap terlampau restriktif. Sangat menghambat hak
penggugat melakukan perubahan gugatan.
c. Sampai pada Tahap Replik-Duplik
Barangkali batas jangka waktu pengajuan perubahan yang dianggap layak dan
memadai menegakkan keseimbangan kepentingan para pihak adalah sampai tahap
replik-duplik berlangsung.Praktik peradilan cenderung menerapkannya.
Misalnya,dalam Putusan MA No.546 K/Sep/197075, menggariskan perubahan
gugatan tidak dapat dibenarkan ápabila tahap pemeriksaan sudah selesai,
konklusinya sudah dikemukakan dan kedua belah pihak telah memohon putusan.
Memerhatikan variabel batas jangka yang dikemukakan, terdapat dua
pembatasan yang saling bertolak belakang secara ekstrem:
batas jangka waktu yang ditentukan pada Pasal 127 Rv, dianggap terlampau leluasa
memberi hak kepada penggugat melakukan perubahan, mulai dari proses
persidangan sampai putusan belum dijatuhkan;
sebaliknya,pada batas waktu yang digariskan MA dalam Buku Pedoman,
dianggap terlampau resriktif atau sempit, hanya memberi hak pada hari sidang
pertama.

74 Ibid.,hlm.123.
75 Tanggal 14 Oktober 1970, Ranglauman Yurisprudensi MA RI,op.cit.hlm.200.
Scanned with CamScanner
Sehubungan dengan sifat ekstremnitas yang melekat pada kedua penggarisan itu,
dihubungkan dengan segala kelemahan yang terkandung di dalamnya, kurang tepat untuk
menerapkannya. Lebih baik menerapkan tenggang waktu yang bersifat moderat.
Membolehkan mengajukan perubahan tidak hanya terbatas pada sidang pertama, tidak
juga dibenarkan selama proses pemeriksaan berlangsung, tetapi dibolehkan sampai
proses pemeriksaan memasuki tahap replik dan duplik.

4. Syarat Perubahan Gugatan


Pasal 127 Rv, tidak menyebut syarat formil mengajukan perubahan gugatan. Meskipun
demikian ternyata praktik peradilan menentukan syarat formil keabsahan pengajuan
perubahan. MAdalam Buku Pedoman yang diterbitkannya, memuat persyaratan formil.
a. Pengajuan Perubahan pada Sidang yang Pertama Dihadiri Tergugat Syarat
formil ini, ditegaskan oleh MA dalam Buku Pedoman'6 yang menyatakan:
diajukan pada hari sidang pertama, dan
para pihak hadir.
Memerhatikan ketentuan ini, penggugat tidak dibenarkan mengajukan
perubahan gugatan:
di luar hari sidang, dan
juga pada sidang yang tidak dihadiri tergugat.
Syarat ini beralasan, demi melindungi kepentingan tergugat membela diri. Jika
perubahan dibenarkan di luar sidang dan di luar hadirnya tergugat; dianggap sangat
merugikan kepentingan tergugat.
b. Memberi Hak kepada Tergugat Menanggapi
Syarat formil ini pun digariskan oleh MA, yang menyatakan:
menanyakan kepada tergugat tentang perubahan itu,
serta memberi hak dan kesempatan untuk menanggapi dan membela
kepentingannya.
Prof. R. Subekti7 berpendapat, pemberian kesempatan kepada tergugat membela
diri tidak syarat formil. Pendapat itu disimpulkan dari kalimat yang menyatakan Dalam hal
perubahan atau penambahan gugatan ..., kepada pihak tergugat hendaknya diberikan
kesempatan yang seluas-luasnya untuk membela diri dengan sebaik-baiknya. Ia
mempergunakan kata hendaknya diberikan kesempatan. Bukan harus diberi kesempatan.
Akan tetapi, jika diperhatikan kalimat sebelumnya yang mengatakan bahwa tergugat
berhak membela diri,

76 Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan, op. cit., hlm. 123, angka 26.
77 Subekti,Hukum Acara Perdata,Bina Cipta, Jakarta, 1977, hlm. 67.

Bab 3 Ruang Lingkup Permacalahan Guaatan Kontonin-a


Scanned with CamScanner
berarti memberi kesempatan kepada tergugat menanggapi perubahan
adalah
syarat fomil.
Tanpa mengurangi pendapat tersebut, menanyakan pendapat yang diikuti
dengan memberi kesempatan kepada tergugat menanggapi perubahan adalah
syarat formil yang harus diterapkan hakim;
apabila hakim melanggar syarat ini, perubahan gugatan dianggap tidak sah, dan
yang dianggap sah adalah gugatan semula.
Oleh karena itu, dapat disetujui pertimbangan Putusan MA No. 843
K/ Sip/198478 yang dapat disadur:
perubahan gugatan tanpa mendengar pendapat tergugat; dianggap tidak sah;
dengan demikian, PN salah menerapkan hukum acara karena telah
membenarkan perubahan gugatan tanpa memberi kesempatan kepada
tergugat mengajukan pendapat dan persetujuannya atas perubahan tersebut;
oleh karena itu, perubahan gugatan dianggap tidak pernah ada (never existed);
c. Tidak Menghambat Acara Pemeriksaan
Syarat ini dikemukakan:Asikin dalam catatan: perkara No. 943 K/Pdt/1984.
Ditegaskan, kebolehan perubahan gugatan tidak menghambat acara pemeriksaan
perkara.
Syarat ini dapat disetujui, meskipun agak sulit mengonstruksikannya secara
konkrit. Akan tėtapi secara umum dapat dikemukakan, apabila perubahan itu
sedemikian rupa, sehingga hakim memperkirakan, secara objektif perubahan
mengakibatkan proses tahap replik-duplik yang sudah berlangsung terpaksa
diperpanjang, perubahan dikategorikan mempersulit dan menghambat jalannya
pemeriksaan. Akan tetapi perlu diingat, syarat ini harus diterapkan secara cermat
dan kasuistik.
5. Perubahan Gugatan Tidak Memerlukan Persetujuan Tergugat
a. Persetujuan Tergugat Tidak Syarat Formil
Kembali perhatikan catatan yang terdapat dalam putusan MA di atas. Terdapat
penegasan, perubahan gugatan tidak memerlukan persetujuan tergugat. Dengan
demikian,Pasal 127 Rv maupun praktik peradilan, tidak menjadikan faktor
persetujuan tergugat sebagai syarat formil keabsahan perubahan gugatan.
Seperti yang telah dijelaskan, memang disyaratkan memberitahu serta
'memberi kesempatan kepada tergugat untuk menjawab dan menanggapi
perubahan. Dalam tanggapan itu,tergugat dapat membuat pernyataan:
78 Tgl 19 September 1985,Pembinaan Wawasan Hukum Indonesia(PWHI),MARI,No.VII,1988,17
Maret,hlm.19.

Scanned with CamScanner


menyetujui perubahan, atau
menolak perubahan' yäng disertai dengan alasan.
Namun bagi hukum, sikap dan pendapat apa pun yang dikemukakan tergugat, tidak
menimbulkan masalah. Boleh menolak atau menyetujui. Penolakan atau persetujuan
tidak memengaruhi keabsahan pengajuan perubahan, asal hal itu diberitahukan
serta diberi kesempatan kepada tergugat untukmenanggapi.
b. Dibenarkan atau Tidak Perubahan, Sepenuhnya Wewenang Hakim
Pendapat dan tanggapan tergugat tidak dapat mambatalkan perubahan.
Kewenangan untuk menentukan apakah perubahan gugatan secara substansial
dapat dibenarkan atau tidak, sepenuhnya menjadi hak dan kewenangan hakim
untuk mempertimbangkan. Sudah tentu, salah satu dasar pertimbangan yang dinilai
hakim adalah pendapat yang diajukan tergugat.
6. Jangkauan Kebolehan Perubahan atau Pengurangan Gugatan
Menurut Pasal 127 Rv, batasan yang dapat dilakukan penggugat mengubah atau
mengurangi gugatan atau tuntutan, tidak boleh mengubah atau menambah pokok
gugatan. Sehubungan dengan itu akan dijelaskan beberapa aspek yang
berhubungan dengan jangkauan kebolehan perubahan atau penambahan gugatan.
a. Pengertian Pokok Gugatan
Bertitik tolak dari Pasal 127 Rv, dilarang atau tidak dibenarkan perubahan atau
pengurangan, apabila hal itu mengubah atau menambah pokok gugatan. Timbul
pertanyaan. Apa yang dimaksud dengan pokok gugatan?
Pasal 127 Rv, tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan kalimat itu. Padahal
kalimat itu merupakan batasan pokok perubahan, sehingga sangat penting dijelaskan
pengertian standar yang dapat dijadikan landasan uniformitas atas penerapannya. Untuk
memperoleh gambaran pengertian umum atas kalimat pokok gugatan, dikemukakan
beberapa pendapat tentang itu.
Subekti mengemukakan, yang dimaksud pokok gugatan adalah kejadian
materiil gugatan.7" Dengan demikian perubahan gugatan yang dibenarkan hukum
adalah perubahan yang ”tidak mengubah dan menyimpang dari kejadian materiil”.
Sebagai ilustrasi beliau mengemukakan perubahan yang dilarang. Misalnya,
berdasarkan keadaan yang sama dimohonkan pelaksanaan suatu hak yang lain.
Atau apabila pèrubahan mengemukakan keadaan baru sehingga terjadi perubahan
hubungan hukum lain dari yang semula.

79

Subekti, op.cit.,hlm.67..
Scanned with CamScanner
Menurut Soepomo,perkataan"pokok gugatan" berasal dari onderwerp van den
eis. Beliau mengakui perkataan ini, tidak terang artinya. Kita sependapat dengan
penegasan, sehingga perkataan itu dalam pengkajian yurisprudensi tergolong
penggarisan kabur (vague outline) atau mengandung pengertian luas (broad term).
Namun demikian, beliau mengemukakan, dalam praktik onderwerp memuat juga arti
middelen berupa hal-hal yang menjadi dasar tuntutan.80
Sementara,Subckti mengemukakan pengertian kejadian materiil gugatan, dan
Soepomo mengartikan hal-hal yang menjadi dasar tuntutan maka Sudikno
menjelaskan,8' menurut praktik selain"meliputi juga dasar tuntutan, termasuk
peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar tuntutan”. Sebagai ilustrasi beliau
mengemukakan contoh perubahan yang dilarang. Tuntutan semula agar perjanjian
dipenuhi, diubah menjadi perjanjian diputuskan.
Demikianlah,gambaran pengertian umum pokok gugatan.Meskipun diakui
pengertian yang dikemukakan kabur (kurang terang), namun sekadar pegangan
dalam praktik dapat dijadikan pedoman secara kasuistik. Sehubungan dengan itu,
pengertian pokok gugatan secara umum adalah materi pokok gugatan atau materi
pokok tuntutan, atau kejadian materiil gugatan. Oleh karena itu, batas umum
perubahan atau pengurangan gugatan, tidak boleh mengakibatkan terjadinya
perubahan kejadian materiil gugatan.
b. Pembatasan secara Kasuistik Berdasar Praktik Peradilan
Uraian berikut ini, memperlihatkan penerapan pembatasan perubahan gugatan
yang bersumber dari praktik peradilan. Bertitik tolak dari putusan pengadilan, dapat
dilihat penerapan yang bercorak variabel dan kasuistik.
1) Tidak Boleh Mengubah Materi Pokok Perkara
Salah satu variabel yang merupakan sisi lain (derivative) dari istilah pokok
perkara adalah istilah materi pokok perkara. Jadi, dilarang perubahan gugatan
atau tuntutan yang menimbulkan akibat terjadinya perubahan materi pokok
perkara. Penegasan ini, terdapat dalam Putusan MA No. 547 K/Sip/1973,82
yang menyatakan: perubahan gugatan mengenai materi pokok perkara adalah
perubahan tentang pokok gugatan, olehkarena itu harus ditolak.
Sebenarnya, hampir tidak ada perbedaan substansial antara pengertian pokok
gugatan dengan materi pokok gugatan.Kedua istilah dan pengertian itu,bersifat
saling dapat dipertukarkan (interchangeable).Arti materi pokok perkara sama
dengan materi pokok gugatan.
80 Soepomo,Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri,Pradnya Paramita,Jakarta,1993,hlm.26. 81
Ibid,hlm.77.
82 Tanggal 17-12-1975.

Scanned with CamScanner


2) Perubahan Gugatan yang Tidak Prinsipil Dapat Dibenarkan
Perubahan gugatan yang berkenaan dengan perbaikan hubungan darah antara
para tergugat dengan pewaris penggugat, dianggap tidak prinsipil, karena
pcrubahan itu, tidak berakibat menimbulkan perubahan posita gugatan. Pendapat
ini dikemukakan dalam Putusan MA No.1535 K/ Pdt/1983,83 antara lain dikatakan,
bahwa mengenai kalimat posita yang menyatakan Rukiah kawin dengan angku
penggugal, telah diakui penggugat sebagai kesalahan pengetikan (penulisan),yang
semestinya harus dibaca "angku gaek” para tergugat. Dengan demikian perbaikan
yang seperti itu, sama sekali tidak mengubah posita gugatan. Sebab pokok posita
gugatan adalah penguasaan objek perkara secara melawan hukum oleh para
tergugat, sedangkan yang diperbaiki, hanya mengenai hubungan darah sesuai
dengan proporsi yang sebenarnya, sehingga perubahan itu tidak mengubah materi
gugatan secara prinsipil. Oleh karena itu, perubahan yang dilakukan penggugat
tidak bertentangan dengan hukum.
3) Perubahan Nomor Surat Keputusan (SK)
Perubahan gugatan yang berkenaan dengan penyempurnaan nomor surat
keputusan (SK) Gubernur yang semula tidak disebut dalam gugatan, dianggap
tidak bertentangan dengan hukum. Menanggapi perubahan itu MA84
menyatakan, perubahan gugatan yang berkenaan dengan penyempurnaan
penyebutan nomor SK Gubernur atas tanah terperkara yang sebelumnya tidak
disebut dalam gugatan, tidak dianggap sebagai perubahan materi pokok
perkara.
Pertimbangan ini, dapat dibenarkan. Secara nyata pencantuman nomor SK,
tidak memengaruhi pokok gugatan. Pencantuman itu, tidak menimbulkan akibat
menyulitkan tergugat membela kepentingan satu segi, serta tidak menghambat
proses pemeriksaan pada sisi lain.
4) Perubahan Tanggal Tidak Dianggap Merugikan Kepentingan Tergugat Penggugat
mengajukan perubahan tanggal yang tertulis dalam gugatan dari 21 Mei 1969
menjadi 21 Mei 1968. Terhadap perubahan itu, MA.5 berpendapat:
perubahan itu dianggap tidak mengubah posita gugatan;
juga tidak menimbulkan kerugian terhadap kepentingan tergugat,
oleh karena itu, tindakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum acara
yang berlaku, bahkan sebaliknya sesuai dengan asas peradilan sederhana, cepat,
dan biaya ringan.

83 Tgl 10-9-1984,PT Padung No.207/1982, 5-1-1983,jo.PN Padang No.58/1980,14-9-1981.


84 MA No.484 K/Pdt/1983, 2-8-1984 (belum dipublikasi).
85 No. 823 K/Sip/1973, 29-1-1976, Rangkuman Yurisprudensi, op. cit. hlm. 196.

Scanned with CamScanner


Memerhatikan pertimbangan itu, perubahan tanggal disamakan dengan
perbaikan yang efektif dan efisien. Bahkan dianggap mendukung tegaknya
asas peradilan sederhana atau informal procedure yang digariskan Pasal 4
ayat (2) UU No.14 Tahun 1970 sekarang dalam Pasal 4 ayat(2) Uu No.4
Tahun 2004.Karena sekiranya untuk melakukan perbaikan tanggal tersebut
harus mclalui proses pencabutan gugatan terlebih dahulu, setelah itu
diajukan gugatan baru yang telah diperbaiki,hal itu menimbulkan sistem
beracara yang formalistik dan biaya mahal (expensive) serta buang waktu
(waste oftime).
5) Tidak Mengubah Posita Gugatan
Dilarang dan tidak dibenarkan perubahan mengakibatkan perubahan posita
gugatan.Larangan ini, dikemukakan dalam Putusan MA No. 1043
K/Sip/197186 yang menyatakan: "Yurisprudensi mengizinkan perubahan
gugatan atau tambahan asal hal itu tidak mengakibatkan perubahan posita,
dan pihak tergugat tidak dirugikan haknya untuk membela diri.”
Larangan yang sama dijumpai dalam catatan Putusan MA No.943 K/
Pdt/198587 yang menegaskan, bahwa ”Sesuai yurisprudensi perubahan
gugatan selama persidangan diperbolehkan asal tidak menyimpang dari
posita, dan tidak menghambat pemeriksaan di sidang...,”
Yang dimaksud dengan perubahan posita atau penyimpangan dari posita;
perubahan itu mengakibatkan terjadinya penggantian posita semula menjadi
posita baru atau posita lain. Misalnya, posita jual-beli, diubah menjadi sewa-
menyewa atau hibah.88
6) Pengurangan Gugatan Tidak Boleh Merugikan Tergugat
Pasal 127 Rv memberi hak kepada penggugat mengurangi gugatan atau
tuntutan. Dalam praktik peradilan, hal itu dibenarkan. Misalnya, dalam Putusan
MA No. 848 K/Pdt/1983,89 Ditegaskan, perubahan ganti rugi dari Rp13 juta
menjadi Rp4 Juta dapat dibenarkan, karena perubahan yang demikian tidak
mengenai materi pokok perkara. Malahan perubahan itu, bukan merugikan
bahkan menguntungkan tergugat.
Akan tetapi, tidak selamanya pengurangan gugatan menguntungkan
tergugat.Pada kasus tertentu, pengurangan itu dapat merugikan kepentingan
tergugat.Misalnya dalam perkara pembagian harta warisan, Penggugat
mendalilkan, harta peninggalan orang tua belum dibagi waris.Semula
penggugat memasukkan seluruh harta warisan, meliputi harta yang dikuasai
86 Tanggal 3-12-1974, ibid, Rangkuman Yurispridensi, hlm. 196. 87 MA No.943
K/Pdt/1985,19-9-1985,Beberapa Burisprudensi Perdata yang
Penting,op.cir.,hlnt.la. 88 Lihat Juga Putusan MA No.226 K/Sip/1973,27-11-
1975,bid,Rangkuman yurisprudensi.op.cil.hin 1196,yang mengatakan"Karena
perubahan yang diajukan pengugat mengenai gugatan, penubahan
harus ditolak”
89 Tanggal 2-8-1984,(belum dipublikasi.)

Scanned with CamScanner


dan yang berada ditangannya dengan yang dikuasai ahli waris yang lain. Pada
sidang pengadilan, penggugat mengurangi objek harta warisan yang digugat
dengan cara mengeluarkan harta yang dikuasainya dari gugatan, sehingga
harta yang menjadi objek gugatan hanya yang dikuasai oleh para tergugat.
Pengurangan gugatan ini, jelas merugikan tergugat.Tindakan pengurangan
gugatan yang demikian menurut putusan MA,9° tidak dapat dibenarkan; yang
mengatakan: "Perubahan gugatan berupa pencabutan kembali sebagian
barang-barang yang digugat, tidak dapat dibenarkan karena dalam perkara ini
pengurangan gugatan dapat merugikan tergugat, terutama dalam sengketa
warisan gono-gini.”

7. Perubahan Gugatan pada Tingkat Banding


a.Dapat Diajukan Perubahan Gugatan kepada PT sesuai Fungsinya Memeriksa
Fakta
Pada prinsipnya perubahan gugatan dilakukan pada peradilan tingkat pertama, yaitu
pada instansi PN. Oleh karena itu, tidak dapat dilakukan pada tingkat banding dalam
instansi PT. Akan tetapi, tanpa mengurángi prinsip tersebut, Asikin berpendapat,91
dimungkinkan mengajukan atau melakukan perubahan gugatan pada tingkat
banding. Beliau mengatakan: ”Demikian juga halnya Pengadilan Tinggi yang
berfungsi sebagai tingkat banding juga adalah peradilan yang memeriksa fakta-fakta.
Oleh karena itu, perubahan gugatan dapat juga diajukan dalam tingkat banding, asal
saja pihak tergugat diberi kesempatan mengemukakan pendapat dan membela diri”.
Memerhatikan pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan:
perubahan gugatan pada pemeriksaan tingkat banding dapat diajukan kepada PT;
syarat formil kebolehan itu, asal diberi kesempatan kepada tergugat mengemukakan
pendapat dan membela diri.
Pendapat ini bertitik tolak dari fungsi dan kapasitas PT sebagai peradilan yang
memeriksa fakta-fakta. Berdasarkan fungsi dan kapasitas itu, dapat diajukán
perubahan gugatan.
b.Pasal344 Rv Melarang Pengajuan Tuntutan Baru pada Tingkat Banding
Bagaimana menurut Pasal 127 Rv? Pasal ini tidak menyinggung tentang hal itu.
Namun,Pasal 127 Rv mengaitkan dirinya dengan ketentuan Pasal 344 Rv. Pasal ini
memuat ketentuan:

90 MA No 2 K/Sip/1959, 28-1-1959, Rangkuman Yurisprudensi, op. ci., hlm. 200.


91 Ibid., Catátan pada Putusan MA No. 943 K/Pdt/1985, 19-9-1985.

Scanned with CamScanner


1) Dilarang Mengajukan Tuntutan Baru pada Tingkat Banding
Yang dilarang adalah mengajukan tuntutan baru. Apakah sama tuntutan baru
dengan perubahan gugatan? Tidak persis sama. Secara teknis, selama
perubahan yang diajukan tidak merubah posita atau materi pokok perkara,
perubahan yang terjadi tidak dapat disebut mengajukan tuntutan baru.
Sebaliknya, apabila perubahan yang diajukan berakibat terjadi perubahan
materi pokok gugatan, perubahan itu dianggap pengajuan tuntutan baru. Jika
demikian halnya, yang dimaksud dengan tuntutan baru sama dengan posita
atau materi gugatan baru. Oleh karena itu, apa yang dilarang Pasal 344 Rv,
pada dasarnya tidak boleh mengajukan perubahan gugatan pada tingkat
banding;apabila hal itu mengakibatkan perubahan materi pokokperkara.
2) Boleh Mengajukan Tuntutan Baru secara Eksepsional antara lain
Tuntutan Uitvoerbaar Bij Voorraad
Pasal 344 Rv, memberi kemungkinan mengajukan tuntutan baru secara
eksepsional mengenai hal tertentu:
a) uang bunga, sewa, dan lain-lain akibat kebendaan yang sudah ada atau
timbul sejak putusan dalam tingkat pertama,
b) biaya, kerugian, dan bunga karena kerugian yang diderita, sejak putusan
itu,
c) tuntutan untuk dijalankan lebih dahulu (uitvoerbaar bijvoorraad)
Berdasarkan ketentuan ini, apabila gugatan semula tidak mencantumkan
petitum putusan dapat dijalankan lebih dahulu sesuai dengan ketentuan
Pasal 180 HIR, dan hal itu tidak diperbaiki pada tingkat pertama di PN maka
berdasarkan Pasal 344 Rv, memberi hak kepada penggugat untuk
mengajukannya pada tingkat banding kepada PT sebagai tuntutan baru.

H.PENGGABUNGAN GUGATAN
1. Pengertian dan Pengaturan
Secara teknis mengandung pengertian penggabungan beberapa gugatan dalam
satu gugatan. Disebut juga kumulasi gugatan atau samenvoeging van
vordering,92 yaitu penggabungan dari lebih satu tuntutan hukum ke dalam satu
gugatan. Pada prinsipnya, setiap gugatan harus berdiri sendiri,93 Masing-masing
gugatan diajukan dalam surat gugatan yang terpisah secara tersendiri, dan
diperiksa serta diputus dalam proses pemeriksaan dan putusan yang terpisah dan
berdiri sendiri. Akan tetapi dalåm hal dan batas-batas tertentu, dibolehkan

92 Soepomo,op.cit.,hlm.27.
93 Subekti, op. cit., hlm. 73.

Scanned with CamScanner


melakukan penggabungan gugatan dalam satu surat gugatan, apabila antara satu
gugatan dengan gugatan yang lain terdapat hubungan erat atau koneksitas.94
Hukum positiftidak mengatur penggabungan gugatan. Baik HIR maupun RBG,tidak
mengaturnya.Begitu juga Rv, tidak mengatur secara tegas, dan tidak pula melarang. Yang
dilarang Pasal 103 Rv,hanya terbatas pada penggabungan atau kumulasi gugatan antara
tuntutan hak menguasai (bezit) dengan tuntutan hak milik. Dengan demikian secara a
contrario (in the opposite sense), Rv membolehkan penggabungan gugatan.
Meskipun HIR dan RBG maupun Rv tidak mengatur, peradilan sudah lama
menerapkannya. Supomo menunjukkan salah satu Putusan Raud Justisie Jakarta pada
tanggal 20 Juni 1939 yang memperbolehkan penggabungan gugatan,asal antara gugatan-
gugatan itu, terdapat hubungan erat (innerlijke samenhang).95
Pendapat yang sama, ditegaskan dalam Putusan MANo.575 K/Pdt/198396
yang menjelaskan antara lain:
meskipun Pasal 393 ayat (1) HIR mengatakan hukum acara yang diperhatikan
hanya HIR, namun untuk mewujudkan tercapai process doelmatigheid,
dimungkinkan menerapkan lembaga dan ketentuan acara di luar yang diatur
dalam HIR, asal dalam penerapan itu berpedoman kepada ukuran:
benar-benar untuk memudahkan atau menyederhanakan proses pemeriksaan;
menghindari terjadinya putusan yang saling bertentangan.
berdasarkan alasan itu, boleh dilakukan penggabungan (samenvoeging)atau
kumulasi objektifmaupun subjektif, asal terdapat innerlijke samenhangen atau
koneksitas erat di antaranya. Ternyata dalam kasus ini, hal itu tidak terdapat,
karena utang yang terjadi adalah utang yang masing-masing berdiri scndiri,
sehingga tidak bisa dikumulasi.

2.Tujuan Penggabungan
Perhatikan kembali Putusan MA No. 575 K/Pdt/1983.Dalam pertimbangannya
secara tersirat dikemukakan manfaat dan tujuan penggabungan. Begitu juga dalam
Putusan MA No. 880 K/Sip/19707, terdapat pertimbangan mengenai manfaat dan
tujuan penggabungan. Antara lain dijelaskan, bahwa benar HIR dan RBG tidak
mengatur kumulasi gugatan. Akan tetapi kalau antara masing-

94 Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, op. cit., hlm. 125.
95 Ibid.,hlm.20.
96Tgl 20-6-1984,jo.PT Tanjumg Karang No.36/1982 gl.31-8-1983,jo.PN Tanjung Karang No.35/1981,
97 Tanggal 6-5-1975 Beberapa Yurisprudensi yang Penting, op. cit'; hlu. 197. tgl.24-3-1982.

Scanned with CamScanner


masing gugatan terdapat hubungan erat, penggabungan tiga, atau beberapa
perkara dapat dibenarkan untuk memudahkan proses dan menghindari terjadinya
kemungkinan putusan-putusan yang saling bertentangan.Penggabungan yang
seperti itu,dianggap bermanfaat ditinjau dari segi acara (procesuel doelmatig).
Memerhatikan putusan di atas, dapat dikemukakan manfaat dan tujuan
penggabungan:
a. Mewujudkan Peradilan Sederhana
Melalui sistem penggabungan beberapa gugatan dalam satu gugatan,dapat
dilaksanakan penyelesaian beberapa perkara melalui proses tunggal, dan
dipertimbangkan serta diputuskan dalam satu putusan. Sebaliknya, jika masing-
masing digugat secara terpisah dan berdiri sendiri, terpaksa ditempuh proses
penyelesaian terhadap masing-masing perkara.Sebagai contoh,gugatan
penggarapan atau penguasaan tanah yang dilakukan 20 orang. Melalui sistem
penggabungan, tercipta pelaksanaan penyelesaian yang bersifat sederhana,
cepat, dan biaya murah dengån jalan menggabungkan gugatan dan tuntutan
kepada masing-masing tergugat dalam satu gugatan, dan diperiksa secara
keseluruhan dalam satu proses yang sama. Sekiranya hukum acara tidak
membolehkan penggabungan, penggugat sebagai pemilik tanah harus
mengajukan sebanyak 20 gugatan yang masing-masing berdiri sendiri. Dalam
keadaan yang seperti itu, proses pemeriksaan memakan waktu dan biaya yang
mahal.
b. Menghindari Putusan yang Saling Bertentangan
Manfaat yang lain, melalui sistem penggabungan dapat dihindari munculnya putusan
yang saling bertentangan dalam kasus yang sama. Seperti contoh di atas. Apabila
gugatan digabung dalam satu gugatan, dapat dipastikan hanya ada putusan tunggal yang
benar-benar konsisten. Lain halnya,jika dipecah sebanyak 20 perkara. Kemungkinan
besar terjadi saling pertentangan. Kemungkinan saling bertentangan semakin besar
terjadi, apabila masing-masingperkara ditangani oleh majelis hakim yang berbeda. Bisa
terjadi, putusan majelis yang satu menyatakan tanah terperkara milik penggarap A.
Majelis yang lain menyatakan tanah terperkara milik penggugat atau penggarap C.
Oleh karcna itu, apabila terdapat koneksitas antara bcbcrapa gugatan, cara yang
efektif untuk menghindari terjadinya putusan yang saling bertentangan, dengan jalan
menempuh sistem kumulasi atau penggabungan gugatan. Bahkan Subekti
berpendapat,° untuk menghindari terjadinya putusan yang saling bertentangan mengenai
kasus yang memiliki koneksitas apabila pada PN tertentu terdapat dua atau beberapa
perkara yang saling berhubungan,serta

98 Soepomo, op. ciț,, hlm. 29.


99 Ibid.,hlm.74.

Scanned with CamScanner


para pihak yang terlibat sama, lebih tepat perkara itu digabung menjadi satu,
sehingga diperiksa oleh satu majelis saja.
3. Syarat Penggabungan
Sehubungan dengan penggabungan, perlu dikemukakan salah satu Putusan MA
No.2990 K/Pdt/1990, 23-5-1992 yang memberi gambaran acuan penerapan.
Putusan tersebut mengatakan,penggabungan gugatan yang terjadi dalam perkara
ini, dapat dibenarkan atas alasan:
Pertama, gugatan yang digabung sejenis yaitu para penggugat terdiri dari deposan
PT Bank Pasar Dwiwindu (sebagai tergugat), kasus di mana para deposan secara
kumulatif menuntut pengembalian deposito;
Kedua,penyeiesaian hukum dan kepentingan yang dituntut para Penggugat adalah
sama, menuntut pengembalian deposito;
Ketiga,hubungan hukum antara para penggugat dan tergugat adalah sama, yaitu
sebagai deposan berhadapan dengan tergugat sebagai penerima deposito;
Keempat, pembuktian adalah sama dan mudah, sehingga tidak mempersulit
pemeriksaan secara kumulasi.
Bertitik tolak dari pertimbangan putusan ini, dapat dikemukakan syarat pokok
kumulasi seperti dijelaskan berikut ini.
a. Terdapat Hubungan Erat
Menurut Soepomo ”antara gugatan-gugatan yang digabung itu harus ada hubungan
batin” (innerlijke samenhang).100. Dalam praktik, tidak mudah mengonstruksi
hubungan erat antara gugatan yang satu dengan yang lain. Sebagai contoh kasus
Putusan MA No. 1715 K/Pdt/1983.101 Pada gugatan pertama, penggugat
mengajukan posita mengenai jual beli saham PT PROSAM yaitu penggugat telah
membeli saham perseroan itu dari tergugat, sehingga penggugat satu-satunya
pemegang yang sah. Sehubungan dengan itu, dalam petitum gugatan, menuntut
agar penggugat dinyatakan pemegang saham, dan menyatakan saham atas nama
tergugat adalah milik penggugat. Pada gugatan kedua, diajukan posita perbuatan
melawan hukum (PMH). Para tergugat menghalangi penggugat atas pemilikan dan
penguasaan pelaksanaan proyek PT PROSAM,berupa pembangunan kompleks
perbelanjaan Pasar Atom Surabaya.
Dalam kasus ini MA berpendapat, kumulasi objektif yang diajukan penggugat,tidak
dapat dibenarkan atas alasan: antara gugatan yang satu dengan

100 Ibid.,hlm.28.
101 Tanggal 16-3-1985,jo.PT Surabaya No.861/1982,jo.PN Surabaya No.141/1979.

Scanned with CamScanner


yang lain adalah kasus yang berdiri sendiri. Antara keduanya tidak
terdapat
koneksitas atau hubungan erat.
Begitu juga dalam Putusan MA No.1518 K/Pdt/1983.102Meskipun sepintas lalu
tampak terdapat koneksitas, namun MA berpendapat, penggabungan tidak
memenuhi syarat. Kasusnya, antara Penggugat I dengan tergugat diadakan
perjanjian pinjam-meminjam pada 1967 dengan jangka waktu sampai 1968.
kemudian antara Penggugat II dengan Tergugat, juga diadakan perjanjian pinjam-
meminjam pada tahun 1967 untuk jangka waktu 6 bulan.
Dalam hal ini MA berpendapat, kumulasi subjektif atau kumulasi objektif yang
terjadi dalam perkara ini, tidak dapat dibenarkan atas alasan gugatan-gugatan yang
digabung, masing-masing berdiri sendiri.Seharusnya diajukan secara terpisah oleh
Penggugat I dan Penggugat II kepada Tergugat.
b. Terdapat Hubungan Hukum
Pada syarat yang pertama, terdapat hubungan erat antara gugatan yang satu
dengan yang lain. Sedangkan pada syarat yang kędua ini, terdapat hubungan
hukum antara para penggugat atau antara para tergugat.'Jika dalam kumulasi
subjektif yang diajukan beberapa orang sedangkan di antara mereka maupun
terhadap objek perkara sama sekali tidak ada hubungan hukum, gugatan wajib
diajukan secara terpisah dan sendiri-sendiri.103
Dalam hal ini pun tidak mudah menentukan apakah di antara para penggugat atau
tergugat terdapat hubungan hukum. Sebagai contoh, dapat dikemukakan putusan MA
No.1742 K/Pdt/1983.104 Gugatan diajukan kepada beberapa orang tergugat (Tergugat I
dan Tergugat II). Padahal antara Tergugat I dan Tergugat II, tidak ada hubungan hukum.
Dalam kasus ini MA mengatakan, oleh karena tidak ada hubungan hukum di antara
tergugat maka sesuai dengan Putusan 20-6-1979, No. 415 K/Sip/1975, gugatan tidak
dapat diajukan secara kumulasi, tetapi harus masing-masing berdiri sendiri terhadap para
tergugat.

4. Bentuk Penggabungan
Dalam teori dan praktik, dikenal dua bentuk penggabungan:
a. Kumulasi Subjektif
Pada bentuk ini, dalam satu surat gugatan terdapat:
beberapa orang penggugat, atau
beberapa orang tergugat.

102Tanggal 4-12-1984,jo.PT Banda Aceh No.153/1982,15-12-1982,jo,PN Lhokscumawe No.84/1981,


8-4-1982.
103 MA No. 2177 K/Pdt/1983, 14-11-1984.
104 Tanggal 25-10-1984,jo.PT Medan No.570/1981,8-12-1982,jo,PN Medan No.215/1980,15-7-1981.

Hukum Acara Perdata


Scanned with CamScanner
Dapat terjadi variabel sebagai berikut:
penggugat terdiri dari beberapa orang berhadapan dengan seorang tergugat saja.
Dalam hal ini, kumulasi subjektifnya terdapat pada pihak penggugat;
sebaliknya, penggugat satu orang, sedangkan tergugat terdiri dari beberapa
orang. Kumulasi subjektifyang terjadi dalam kasus ini, berada pada pihak
tergugat;
dapat juga terjadi bentuk kumulasi subjektif yang meliputi pihak penggugat
dan tergugat. Pada kumulasi yang seperti itu, penggugat terdiri dari
beberapa orang berhadapan dengan beberapa orang tergugat.
Namun agar kumulasi subjektif tidak bertentangan dengan hukum, perlu diingat kembali
Putusan MA No. 2177 K/Pdt/1983 dan No. 1742 K/Pdt/1983, yang menegaskan di antara
orang tersebut harus ada hubungan hukum. Penegasan yang sama terdapat dalam Putusan
MA No. 343 K/Sip/1975105 yang menyatakan, karena antara Tergugat I sampai dengan
Tergugat IX tidak ada hubungan antara satu dengan yang lain, tidak dapat digugat sekaligus
dalam satu surat gugatan. Seharusnya mereka digugat satu per satu secara terpisah. Oleh
karena itu, gugatan penggugat harus dinyatakan tidak dapat diterima. Begitu juga Putusan
MA No. 524 K/Sip/197416 menegaskan, gugatan yang diajukan kepada lebih dari seorang
tergugat, dan di antara mereka tidak ada hubungan hukum, tidak dapat dilakukan dalam satu
gugatan, tetapi masing-masing harus digugat secara tersendiri.
b. Kumulasi Objektif
Dalam bentuk ini, yang digabung adalah gugatan. Penggugat menggabung beberapa
gugatan dalam satu surat gugatan. Jadi yang menjadi faktor kumulasi adalah gugatan,
yaitu beberapa gugatan digabung dalam satu gugatan. Namun agar penggabungan
sah dan memenuhi syarat, di antara gugatan itu harus terdapat hubungan erat.
Sebagai contoh penggabungan gugatan yang tidak mempunyai hubungan erat, dapat
dikemukakan Putusan MA No. 1975 K/ Pdt/1984107. Dalam perkara ini, terjadi
penggabungan gugatan yang campur aduk antara kumulasi subjektif dan objektif,
karena digabung peristiwa dan kepentingan hukum yang saling berlainan dan berdiri
sendiri, sehingga tidak mungkin dilakukan proses penyelesaian yang tuntas.
Kasusnya adalah
Penggugat I menggugat Tergugat I dan II mengenai cidera janji (wanprestasi) atas
pembayaran jual beli cengkih;
Penggugat II, menggugat Tergugat II, III, dan IV mengenai Perbuatan Melawan
Hukum (PMH), sehubungan dengan jual beli rumah.

105TgL. 17-4-1977,Ranglauman Yurisprudensi,op.cit.,hlm.301.


106Tgl.27-6-1975,ibid.,hlm.190.
107 Tgl.29-4-1986,Varia Peradilan,No.14 November, 1986,hlm.38.

Scanned with CamScanner


Kumulasi objektif seperti ini tidak dibenarkan, karenaantara gugatan yang
pertama dan yang kedua saling terpisah dan berdiri sendiri. Apa yang ditegaskan
dalam putusan ini, telah dinyatakanjuga dalam Putusan MA No. 1652
K/Sip/1975;108 bahwa syarat materiil penggabungan objcktif adalah hubungan erat
antara gugatan yang satu dengan yang lain. Ukuran ini pula yang diperingatkan
putusan MA No.575 K/Pdt/1983109yang mengatakan, boleh melakukan
penggabungan (samenvoeging) baik dalam bentuk subjektif dan objektif, asal
terdapat hubungan erat (innerlijke samenhangen).Meskipun gugatan yang
digabung sejenis,yaitu terdiri dari beberapa utang piutang, akan tetapi ternyata dan
terbukti, masing-masing utang itu berdiri sendiri dan tidak terdapat hubungan erat
antara yang satu dengan yang lain, karena itu gugatan terhadapnya tidak bisa
digabung.
5. Beberapa Penggabungan yang Tidak Dibenarkan
Pada bagian ini, akan dijelaskan beberapa penggabungan yang tidak dapat
dibenarkan. Dengan kata lain, terdapat beberapa penggabungan yang dilarang oleh
hukum. Larangan itu, bersumber dari hasil pengamatan praktik peradilan.
a. Pemilik Objek Gugatan Berbeda
Penggugat mengajukan gugatan kumulasi terhadap beberapa objek, dan masing-
masing objek gugatan, dimiliki oleh pemilik yang berbeda atau berlainan.
Penggabungan yang demikian baik secara subjektif dan objektif, tidak dapat
dibenarkan. Sebagai contoh dapat dikemukakan Putusan MA No. 201 K/
Sip/1974.11° Objek tanah-tanah terperkara yang digugat terdiri dari tanah-tanah
yang berbeda pemiliknya (terdiri dari beberapa orang pemilik).Oleh karena itu, para
pemilik tersebut tidak dapat melakukan penggabungan gugatan terhadap tergugat.
Seharusnya, masing-masing pemilik mengajukan gugatan tersendiri dan berdiri
sendiri kepada tergugat. Secara objektif maupun subjektif, tidak terdapat hubungan
erat maupun hubungan hukum antara yang satu dengan yang lain, dengan
demikian penggabungan gugatan tidak dapat dibenarkan.
b. Gugatan yang Digabungkan Tunduk pada Hukum Acara yang Berbeda
Penggabungan gugatan bertitik tolak pada prinsip, perkara yang digabungkan
tunduk pada hukum acara yang sama. Tidak dibenarkan menggabungkan beberapa
gugatan yang tunduk kepada hukum acara yang berbeda. Meskipun antara
gugatan terdapat hubungan erat, faktor ini harus disingkirkan apabila masing-
masing gugatan tunduk kepada ketentuan hukum acara yang berbeda. Penerapan
yang demikian ditegaskan dalam Putusan MA No.677 K/Sip 1972.!"l

108 Tgl. 22-9-1976,Rangkuman.Yurisprudensi, op. cit.,hlm.301:


109-Tgl.20-6-1984.
110 Tgl 28-8-1976,Rangkuman Iurisprudensi, op cit., hlm.196.
111Tgl.28-8-1976;ibid.

Scanned with CamScanner


Dalam kasus ini, gugatan pertama terdiri dari permohonan pembatalan merek yang
tunduk kepada prosedur (hukum acara) yang diatur dalam Undang-Undang Merek
(dahulu Undang-Undang No. 2 Tahun 1961).112 Salah satu hal yang menyimpang
dari hukum acara biasa, adalah upaya hukum. Terhadap putusan tidak dapat
diajukan banding kepada Pengadilan Tinggi, tetapi langsung kasasi kepada MA.
Sedangkan gugatan yang kedua adalah Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata, putusan terhadapnya dapat diajukan banding
kepada Pengadilan Tinggi.
Selain itu, gugatan PMH atas pembatalan merek baru dapat diajukan setelah
putusan pembatalan memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Apalagi pada saat
sekarang, penggabungan antara pembatalan merek dengan gugatan PMH, semakin
tidak dapat dibenarkan, berdasarkan perbedaan yurisdiksi absolut. Berdasarkan
Pasal 57 ayat (2) Undang-Undang No. 15 Tahun 2001, gugatan pembatalan merek
menjadi yurisdiksi absolut Pengadilan Niaga, sedangkan sengketa PMH menjadi
kewenangan PN.
c. Gugatan Tunduk pada Kompetensi Absolut yang Berbeda
Telah disinġgung, jika terdiri dari beberapa gugatan, yang masing-masing tunduk
kepada kewenangan absolut yang berbeda, penggabungan tidak dapat dibenarkan.
Titik singgung yang paling mungkin terjadi dalam kasus yang seperti itu adalah
gugatan perdata TUN dengan gugatan perdata hak milik atau PMH. Bertitik tolak dari
ketentuan Pasal 10 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 (diubah dengan Undang-
Undang No. 35 Tahun 1999) sekarang diatur dalam Pasal 2 jo. Pasal 10 ayat (2) UU
No. 4 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 6 Tahun 1986 (tentang Peradilan TUN),
gugatan perdata TUN seċara absolut menjadi kewenangan Peradilan TUN
sedangkan sengketa hak milik dan PMH menjadi yurisdiksi absolut Peradilan Umum
(PN). Sehubungan dengan pembagian fungsi dan kewenangan absolut tersebut,
tidak dibenarkan melakukan penggabungan gugatan yang berbeda yurisdiksi
mengadilinya.
d. Gugatan Rekonvensi Tidak Ada Hubungan dengan Gugatan Konvensi Sesuai
dengan ketentuan Pasal 132a ayat (1) HIR, tergugat berhak mengajukan gugatan
rekonvensi, sehingga terjadi penggabungan antara konvensi dan rekonvensi. Akan
tetapi kebolehan yang seperti itu, tetap berpatokan pada syarat, terdapat hubungan
erat antara keduanya. Apabila tidak terdapat hubungan erat antara konvensi dengan
rekonvensi, penggabungan yang dilakukan tergugat melalui gugatan rekonvensi,
tidak dibenarkan. Jika secara nyata gugatan rekonvensi berdiri sendiri, harus
diajukan sebagai gugatan yang berdiri sendiri.

112Telah beberapa kali diubah.Mula-mula dengan UU No. 19 Tuhun 1992 Kemudian dengan UU No.
14 Tahun 1997, dan terakhir dengan UU No. 15 Tahun 2001, tanggal 1 Agustus 2001.

Scanned with CamScanner


Hal ini diperingatkan dalam putusan MA No. 677 K/Sip/1972 (13-12-1972).
Ditegaskan,tidaklayak menggabungkan perkara (gugatan) dengan cara perkara
yang diajukan, gugatan rekonvensi kepada gugatan konvensi,jika antara keduanya
tidak terdapat hubungan sama sekali.
6. Penggabungan Gugatan Cerai dengan Pembagian Harta
Bersama
Jika bertitik tolak dari Putusan MA No. 2205 K/Pdt/1981'13, tidak dibenarkan
menggabungkan gugatan perceraian dengan pembagian harta bersama.Menurut putusan
itu,hukum acara tidak membolehkan penggabungan antara gugatan cerai dengan
pembagian harta bersama. Alasan yang sering diajukan, antara kedua gugatan masing-
masing berdiri sendiri. Gugatan perceraian berada di depan, dan pembagian harta
bersama berada di belakang. Gugatan harta bersama berdasarkan hukum acara baru
dapat muncul setelah gugatan perceraian memperoleh putusan yang berkekuatan tetap.
Dengan demikian gugatan cerai adalah ”ibu” yang melahirkan gugatan pembagian harta,
oleh karena itu tidak boleh digabung.
Pendapat itu tidak realistis, dan sangat formalistis. Untuk melihat keburukan
pendapat ini, dapat diberikan contoh.'"4 Realita yang sering terjadi, gugatan perceraian
memakan waktu antara 5 sampai 7 tahun mulai dari tingkat pertama sampai kasasi.
Bahkan ada yang lebih dari itu. Oleh kerenatidak boleh digabung, berarti gugatan
pembagian harta bersama baru dapat diajukan setelah putusan cerai memperoleh
kekuatan hukum tetap. Bagaimana halnya, jika selama proses berlangsung harta
bersama telah habis dijual pihak tergugat, sehingga tidak ada lagi harta bersama yang
akan digugat. Untuk menghindari keadaan yang menyedihkan itu, sangat beralasan untuk
melakukan penggabungan. Antara gugatan cerai dengan pembagian harta bersama
benar-benar terdapat hubungan erat dan sekaligus dapat dicapai dan dituntaskan akibat
hukum yang sama terhadap penggugat dan tergugat. Penyelesaian dapat dilakukan
dengan sederhana, cepat, dan biaya murah jika keduanya digabung.
Memang benar, gugatan pembagian harta bersama dianggap asesor atas gugatan
cerai. Namun sifat asesornya dapat diterapkan dalam acuan. jika gugatan cerai
ditolak,dengan sendirinya menurut hukum penolakan itu meliputi gugatan pembagian
harta bersama. Sebaliknya,apabila gugatan cerai dikabulkan, sekaligus disclesaikan
pembagian harta bersama dalam satu putusan. Penerapan seperti itu, digariskan dalam
Pasal 86 Undang-Undang

113 Tgl. 30-6-1984, Varia Peradilan, Thn II, No. 23, Agustus 1987, hlm.68.
114Lihat,M Yahiya Harahap,Kedudukan Kewenangan dun searalperaditan Agama,Sinar Gnile Jakarta,2001,hlm.266.

Scanned with CamScanner


No.7 Tahun 1989,115 yang membolehkan secara tegas penggabungan gugatan
perceraian dengan pembagian harta bersama. Pasal 86 ayat (1) menegaskan:
Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama dapat
diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan
perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.
Selanjutnya penjelasan pasal itu menyatakan, maksud kebolehan penggabungan
itu, demi tercapainya prinsip peradilan sederhana,cepat,dan biaya ringan. Berdasarkan
ketentuan itu, bukan hanya gugatan harta bersama yang dapat digabung dengan
gugatan perceraian, tetapi meliputi penguasaan anak serta nafkah alimentasi istri dan
anak. Apabila penggugal tidak menggabungnya dalam gugatan, tergugat dapat
menggabungkannya melalui gugatan rekonvensi.116
Meskipun ketentuan ini hanya diperuntukkan bagi peradilan agama, jangkauan
penerapannya dapat diperluas menjadi pedoman bagi PN berdasarkan asas process
doelmatighcid. Menerapkan ketentuan itu di lingkungan Peradilan Umum (PN), tidak hanya
sekádar kepentingan beracara, tetapi sekaligus untuk memenuhi ketertiban umum (public
order) dan keadilan berdasarkan moral (moral justice).

I.PIHAK DALAM GUGATAN


1. Kekeliruan Pihak Menimbulkan Gugatan Error In Persona
Seperti yang telah dijelaskan, dalam gugatan perdata yang berbentuk contentiosa,
terlibat dua pihak. Pihak yang satu bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat.
Sedangkan yang satu lagi, ditarik dan berkedudukan sebagai tergugat. Sehubungan
dengan itu, yang bertindak sebagai penggugat, harus orang yang benar-benar memiliki
kedudukan dan kapasitas yang tepat menurut hukum. Begitu juga pihak yang ditarik
sebagai tergugat, harus orang yang tepat memiliki kedudukan dan kapasitas. Keliru
dan salah bertindak sebagai penggugat mengakibatkan gugatan mengandung cacat
formil. Demikian juga sebaliknya.Apabila orang yang ditarik sebagai tergugat keliru dan
salah, mengakibatkan gugatan mengandung cacat formil.
Cacat formil yang timbul atas kekeliruan atau kesalahan yang bertindak sebagai
penggugat maupun yang ditarik sebagai tergugat, dikualifikasi mengandung error in
persona. Error in persona yang mungkin timbul atas kesalahan dan kekeliruan yang
disebut di atas, dapat diklasifkasi sebagai berikut.

115 Undang-Undang tentang Peradilan Agama.


116 Ibid.,M.Yahya Harahap,Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, hlm. 269.

Scanned with CamScanner


a. Diskualifikasi in Person
Diskaualifkasi in Person terjadi, apabila yang bertindak sebagai penggugat
orang yang tidak memenuhi syarat (diskualifikasi), disebabkan penggugat
dalam kondisi berikut.
1) Tidak Mempunyai Hak untuk Menggugat Perkara yang Disengketakan
Misalnya orang yang tidak ikut dalam perjanjian bertindak sebagai
penggugat menuntut pembatalan perjanjian. Atau, ayah bertindak sebagai
penggugat menuntut perceraian perkawinan anaknya.Atau yang bukan
pemilik,menggugat pembayaran sewa atau harga barang.Gugatan yang
diajukan oleh orang yang tidak berhak atau tidak memiliki hak untuk itu,
merupakan gugatan yang mengandung cacat formil error in persona dalam
bentuk diskualifikasi in persona yaitu pihak yang bertindak sebagai
penggugat adalah orang yang tidak punya syarat untuk itu. Diskualifikasi in
person bisa juga terjadi apabila Anggaran Dasar suatu perkumpulan atau
perseroan menegaskan, yang berhak bertindak untuk dan atas nama
perkumpulan itu adalah pengurus secara kolektif. Dalam hal yang seperti
ini, apabila yang bertindak hanya seorang saja, dia berada di dalam posisi
diskualifikasi. Hal yang demikian ditegaskan dalam Putusan MANo. 3175
K/Pdt/1983.117 Menurut putusan ini,
Pasal 9 Anggaran Dasar menentukan yang berhak bertindak untuk dan atas
nama yayasan terdiri dari satuan kelompok pengurus secara bersama dan
serentak. Oleh karena itu, harus kelompok itu secara keseluruhan yang
tampil sebagai penggugat.
Dengan demikian jika seorang saja yang bertindak tanpa pelimpahan kuasa
dari yang selebihnya, berarti orang itu berada dalam keadaan diskualifikasi
in person.
2) Tidak Cakap Melakukan Tindakan Hukum
Orang yang berada di bawah umur atau perwalian, tidak cakap melakukan
tindakan hukum. Oleh karena itu, mereka tidak dapat bertindak sebagai
penggugat tanpa bantuan orang tua atau wali. Gugatan yang mereka ajukan
tanpa bantuan orang tua atau wali,mengandung cacat formil error in persona
dalam bentuk diskualifikasi karena yang bertindak sebagai penggugat orang yang
tidak memenuhi syarat.
b. Salah Sasaran Pihak yang Digugat
Bentuk lain error in persona yang mungkin terjadi adalah orang yang ditarik
sebagai tergugat keliru(gemis aanhoeda nigheid).Yang meminjam uang
adalah A, tetapi yang ditarik sebagai tergugat untuk melunasi pembayaran
adalah B.

117 Tanggal 17-1-1985.


Scanned with CamScanner
Gugatan yang demikian, salah dan keliru, karena tidak tepat orang didudukkan
sebagai tergugat. Dapat juga terjadi salah sasaran, apabila yang digugat anak di
bawah umur atau di bawah perwalian, tanpa mengikutsertakan orang tua atau
walinya. Mungkin saja yang ditarik sebagai tergugat, tidak mempunyai status legal
persona standi in judicio (yang sah mempunyai wewenang bertindak di pengadilan).
Perseroan Terbatas (PT) yang belum disahkan menurut Pasal 9 ayat(1)Undang-
Undang No.1 Tahun 1995, tidak dapat bertindak sebagai badan hukum. Apabila
perseroan yang belum mendapat pengesahan ditarik sebagai tergugat, gugatan salah
sasaran, karena perseroan tersebut belum memiliki kedudukan sebagai persona
standi in judicio. Yang harus ditarik sebagai tergugat adalah para pengurusnya.
c. Gugatan Kurang Pihak (Plurium Litis Consortium)
Bentuk error in persona yang lain disebut plurium litis consortium. Pihak yang
bertindak sebagai penggugat atau yang ditarik sebagai tergugat:
tidak lengkap,masih ada orang yang mesti ikut bertindak sebagai penggugat atau
ditarik tergugat;
oleh karena itu, gugatan mengandung error in persona dalam bentuk plurium litis
consortium, dalam arti gugatan yang diajukan kurang pihaknya.
Salah satu contoh kasus, pihak tergugat dianggap kurang, terjadi dalam Putusan MA.
No.186/R/Pdt/1984.118 Penggugat menuntut pengembalian sertifikat yang dijadikan jaminan
utang PT H.Y. Semula PT H. Y. meminjam uang dari BPD. Sebagai jaminannya, tanah
penggugat dalam kedudukannya sebagai pemegang saham PT H.Y. Kemudian (sejak 1
Januari 1980) penggugat tidak berkedudukan lagi sebagai pemegang saham PT H.Y, dan
meminta kembali sertifikat tanah miliknya. Untuk itu dia menggugat PT H.Y, dan pemegang
saham. Dalam kasus ini, MA berpendapat, agar tuntutan pembatalan jaminan dan
pengembalian sertifikat dapat diselesaikan secara hukum, harus diikutsertakan BPD sebagai
tergugat Oleh karena BPD tidak ikut digugat, gugatan mengandung cacat error in persona
dalam bentuk plurium litis consortium.
Begitu juga dalam Putusan MA No. 1125 K/Pdt/1984119 menyatakan, judex facti salah
menerapkan tata tertib beracara. Semestinya pihak ketiga yang bernama Oji sebagai sumber
perolehani hak Tergugat I, yang kemudian dipindahkan Tergugat I kepada Tergugat II, harus
ikut digugat sebagai Tergugat. Alasannya, dalam kasus ini, Oji mempunyai urgensi untuk
membuktikan

118Tanggal 18-12-1485,jo.PT Samarinda. No. 178/1983, 21-9-1984 jo. PN Samarinda No. 96/1982,
5-3-1983.
119Tanggal 18-9-1483,jo.PT Bandung No.454/1982,Tanggal 9-6-1983,jo.PN Bandung No. 6/1982, 25-
8-1982.

Scanned with CamScanner


hak Kepemiksamnya maupun asal usul fanah Sengketa 8erta dasar hukaun oi
menghibahkan kepada Tergugat I.

2. Akibat Hukum Kesalahan Pihak


Seperti yang dijelaskan terdahulu, kekeliruan pihak mengakibatkan gugatan
cacat error in persona (kekeliruan mengenai orang).Cacat yang ditimbulkan
kekeliruan itu, berbentuk diskualifikasi (salah orang yang bertindak sebagai
penggugat).Dapat juga berbentuk,salah pihak yang ditarik sebagai tergugat
(gemis aanhoedarmigheid) atau mungkin juga berbentuk plurium litis consortium
(kurang pihak dalam gugatan).
Bentuk kekeliruan apa pun yang terkandung dalam gugatan,sama-sama
mempunyai akibat hukum:
gugatan dianggap tidak memenuhi syarat formil, oleh karena itu gugatan
dikualifikasi mengandung cacat formil;
akibat lebih lanjut, gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet-
ontvankelijke verklaard).
Tindakan yang dianggap tepat dilakukan penggugat menghadapi putusan
yang menyatakan gugatan mengandung cacat error in persona:
memperbaiki atau menyempurnakan pihak yang dinyatakan cacat oleh
pengadilan;
jika cacat'yang terkandung dalam gugatan itu diskualifikasi, perbaikan dilakukan
dengan menempatkan orang yang tepat. Begitu juga apabila pihak yang ditarik
sebagai tergugat keliru orangnya diperbaiki dengan menarik orang yang tepat
sebagai tergugat. Jika putusan menyatakan gugatan kurang pihak, gugatan
harus diperbaiki dan disempurnakan dengan memasukkan orang yang
bersangkutan sebagai pihak penggugat atau tergugat.
Dengan perbaikan atau penyempurnaan itu, penggugat dapat mengajukan
kembali gugatan sebagai perkara baru. Cara ini yang dianggap paling efektif dan
efisien. Oleh karena itu,seandainya Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan
menyatakan gugatan mengandung error in persona:
kurang efektif dan efisien mengajukan upaya hukum (banding dan atau kasasi);
lebih tepat langsung melakukan perbaikan yang dilanjutkan dengan pengajuan
kembali sebagai perkara baru.
Sebab kalau diajukan banding maupun kasasi, dan ternyata putusan itu dikuatkan
oleh PT pada tingkat banding dan MA pada tingkat kasasi, dengan sendirinya hal itu
memperpanjang proses penyelesaian.

Scanned with CamScanner


3. Penerapan Pihak Dihubungkan dengan Kasus Perkara
Uraian berikut ini, berkenaan dengan penerapan pihak dalam gugatan. Seperti yang
dijelaskan di atas, penggugat sedapat mungkin menghindari kesalahan atau
kekeliruan mendudukkan pihak dalam gugatan, agår gugatan tidak mengandung
cacat error in persona. Pedoman umum menempatkan pihak yang tepat dalam
gugatan, berpatokan pada kasus perkara yang bersangkutan. Sehubungan dengan
itu, akan dikemukakan beberapa patokan yang perlu diperhatikan berdasar praktik
peradilan, seperti yang dijelaskan di bawah ini.
a. Pihak dalam Perkara yang Timbul dari Perjanjian
Yang sah sebagai pihak penggugat atau tergugat dalam perkara yang timbul dari
perjanjian, terbatas pada diri para pihak yang langsung terlibat dalam perjanjian
tersebut. Patokan itu, sesuai dengan asas yang ditegaskan dalam Pasal 1340 KUH
Perdata: persetujuan hanya mengikat atau berlaku antara pihak yang membuatnya.
Prinsip ini disebut juga contract partypada satu segi, dihubungkan dengan sifat hak
relatifyang melekat pada perjanjian pada sisi lain. Selanjutnya pasal ini menegaskan,
persetujuan tidak dapat menimbulkan kerugian kepada pihak ketiga. Sebaliknya,
pihak ketiga tidak dapat memperoleh manfaat dari perjanjian. Oleh karena itu, yang
dapat menjadi pihak penggugat maupun pihak tergugat dalam sengketa yang timbul
dari suatu perjanjian, hanya terbatas pada diri orang yang terlibat menjadi pihak
dalam perjanjian dimaksud. Pihak ketiga yang tidak ikut terlibat dalam perjanjian,
tidak dapat bertindak menuntut pembatalan atau mengajukan tuntutan wanprestasi.
Gugatan yang diajukan orang itu mengandung cacat diskualifikasi, karena yang
bertindak sebagai penggugat tidak punya hak untuk itu berdasarkan Pasal 1341
KUH Perdata. Sebaliknya, pihak ketiga tersebut tidak dapat dijadikan sebagai
tergugat,karena akan berakibat, orang yang ditarik sebagai tergugat salah sasaran
atau keliru orang yang digugat. Penerapan yang demikian ditegaskan dalam
Putusan. MA No.1270 K/Pdt/1991120 yang menyatakan, suatu perjanjian kerja sama
sesuai dengan ketentuan Pasal 1340 KUH Perdata, hanya mengikat kepada
mereka. Oleh karena itu gugatan yang menarik Tergugat I dan II yang tidak ikut
menandatangani perjanjian adalah keliru, dan harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Penerapan pembatasan yang dapat bertindak sebagai pihak dalam suatu
perjanjian, sangat rasional demi teġaknya ketertiban umum (public order). Akan
terjadi kekacauan dalam kehidupan masyarakat, apabila pihak ketiga dibenarkan
bertindak sebagai pihak dalam proses peradilan atas perjanjian yang dibuat oleh
pihak lain.
120 Tanggal 30-11-1993,Varia Peradilan,Tahun IX,No.97,Oktober 1993,hlm.36.

Scanned with CamScanner


Selain itu,agar gugatan tidak mengandung cacat kurang pihak (plurium litis
consortium), semua orang yang ikut menjadi pihak dan menandatangani
perjanjian harus ikut ditarik sebagai tergugat atau semua harus ikut bertindak
sebagai penggugat Sikap ini antara lain dijelaskan dalam putusan MA No.
151/K/Sip/1975 (13-5-1975).Menurut putusan ini,karena yang berutang kepada
penggugat adalah dua orang, seharusnya gugatan ditujukan kepada kedua orang
tersebut.
b. Menarik Seluruh Penggarap, Apabila Penguasaan secara Kolektif Sebagai
gambaran, dapat dikemukakan Putusan MA No. 3189 K/Pdt/19832.
Ditegaskan,berdasarkan jawaban tergugat yang tidak disangkal penggugat dan
dikuatkan saksi-saksi, ternyata tanah sengketa digarap oleh3 (tiga) orang
bersaudara secara kolektif. Dalam kasus. yang demikian, meskipun mereka
bersaudara, ketiganya harus ditarik sebagai tergugat. Oleh karena yang ditarik
sebagai tergugat hanya satu orang, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima atas
alasan pihak yang ditarik sebagai tergugat tidak lengkap (plurium litis
consortium).
Berdasarkan teori dan praktik, bisa terjadi variabel penerapan menghadapi
kasus di atas:
jika ketiga bersaudara itu, menggarap tanah terperkara berdasarkan warisan dari
orang tua mereka, seorang saja yang ditarik sebagai pihak, dianggap sah
menurut hukum.Tidak harus ditarik ketiganya,karena untuk menyelesaikan
sengketa warisan dengan pihak ketiga, cukup satu orang saja ahli waris yang
digugat. Sebab masalah internal atas putusan itu merupakan penyelesaian di
antara para ahli waris;
jika para penggarap menguasai tanah secara terpisah dan individual, berarti
pemilik berhadapan secara terpisah antara masing-masing penggarap. Antara
mereka tidak terdapat hubungan hukum, oleh karena itu, gugatan tidak dapat
digabung dalam satu gugatan tetapi harus terpisah dan berdiri sendiri.
C.Pihak Ketiga dari Siapa Tanah Diperoleh Pembeli,Harus Ikut Ditarik sebagai
Tergugat
1) Prinsip Umum
Prinsip umum atau ketentuan umum yang diterapkan dalam kasus sengketa
tanah,mengharuskan menarik pihak ketiga sebagai tergugat, apabila tanah yang
disengketakan diperoleh tergugat dari pihak ketiga:
ketentuan ini pada dasarnya bersifat imperatif atau bersifat memaksa:

17-6-1978.
121 Tanggal 28-1-1985,jo,PT Semarang No.254/1980 12-11-1981.io.PN Klaten.No.1/1978,
Scanned with CamScanner
pelanggaranatasnya mengakibatkan gugatan cacat formil dalam bentuk
plurium litis consortium, yaitu yang ditarik sebagai pihak tergugat tidak
lengkap dan masih kurang.
Salah satu contoh Putusan MA yang berpegang secara tegas terhadap prinsip
umum tersebut, menyatakan:122
secara formil harus ikut digugat pihak ketiga dari siapa tanah terperkara
diperoleh tergugat;
tergugat memperoleh tanah sah berdasar Surat Penyerahan Tanah
(SPT)No.SHPT 554/1 2/58,16-12-1959 yang dikeluarkan Penguasa Perang
Daswati I SUMUT atas persil No.585,
semula yang memperoleh dari penguasa perang adalah J.B. dan mengalihkan
kepada B.S., kemudian tergugat memperolehnya dari B.S. dengan membayar
ganti rugi berdasarkan Surat Ganti Rugi 10-3-1972;
memerhatikan fakta-fakta tersebut MA berpendapat, supaya gugatan tidak
mengandung cacat plurium litis consortium, penggugat harus mėnarik J.B. dan
B.S. sebagai tergugat.
2) Pihak Ketiga yang Telah Diperiksa Sebagai Saksi, Tidak Perlu Ditarik Sebagai Pihak
Terhadap prinsip umum yang dikemukakan di atas, telah terjadi pelenturan
dalam praktik peradilan. Keharusan menarik pihak ketiga sebagai tergugat
dilenturkan dengan cara menjadikannya sebagai saksi. Dengan demikian.
meskipun pihak ketiga dari siapa objek tanah sengketa diperoleh tidak ditarik
sebagai tergugat, hal itu dapat ditolerir dengan syarat asal pihak ketiga itu
diperiksa sebagai saksi. Tidak menjadi soal pihak mana yang mengajukannya
sebagai saksi. Sebagai contoh Putusan MA No.1883 K/ Pdt/1984123 antara lain
mengatakan, pihak ketiga dari siapa tanah terperkara diperoleh, tidak perlu ikut
digugat, apabila orang itu telah diperiksa sebagai saksi. MA
mempertimbangkan, dalam kasus ini pihak ketiga dari siapa tanah terperkara
diperoleh tergugat, tidak mutlak ikut digugat. Meskipun terbukti tanah itu
diperoleh dari pihak ketiga (J. Rembay) atas dasar tukar-menukar, dan ternyata
J. Rembay telah diperiksa sebagai saksi, hal itu telah melepaskan kewajiban
hukum bagi penggugat untuk menarik dan mengikutsertakan J. Rembay
sebagai tergugat. Pendirian yang sama dinyatakan dalam Putusan MA
No.1826K/Pdt/1984.124 Menurut putusan

122 MA No. 2752K/Pdt1983, 12-12-1948, jo. PT Medan No. 30/1983,25-6-83, jo. PN Medan, No.
115/1982,12-1-1983.
123 Tanggal 17-10-1985, jo. PT Manado No. 155/1983, 8-11-1989 jo. PN Tondano, No. 118/1982, 25-1-1983.
124 Tanggal 21-11-1985,jo.Scmarang No.88/1982,27-10-1989,jo.PN Klaten No. 94/1979, 27-1-1987.

Scanned with CamScanner


ini, tidak selamanya harus ikut digugat pihak ketiga yang ada kaitannya
dengan kasus perkara yang disengketakan.Gugatan cukup ditujukan kepada
orang yang secara feitelijk atau orang yang sesungguhnya menguasai objek
sengketa.Lagi pula pihak ketiga itu telah diperiksa sebagai saksi,sehingga
keharusan itu tidak lagi bersifat mutlak.
3) Yang Lebih Baik, Menarik Sebagai Pihak
Untuk menghindari terjadinya kekurangan pihak dalam gugatan, lebih baik
menarik pihak ketiga yang bersangkutan sebagai pihak daripada
menjadikannya sebagai saksi. Dengan jalan menariknya sebagai tergugat,
memberi jaminan kepada penggugat bahwa gugatannya tidak mengandung
cacat plurium litis consortium. Apalagi jika diperkirakan,tanpa
mengikutsertakan pihak ketiga atau penjual sebagai pihak, tidak mungkin
dijatuhkan putusan yang tuntas, penggugat harus menarik pihak ketiga itu
sebagai tergugat. Contoh paling sederhana, penggugat menuntut dalam
gugatan agar jual beli yang dilakukan tergugat dengan pihak ketiga tidak sah,
oleh karena itu harus dibatalkan. Dalam kasus ini, pengadilan tidak mungkin
membatalkan jual beli antara tergugat dengan pihak ketiga tanpa
mengikutkan orang ketiga itu sebagai tergugat. Pendapat yang demikian
dikemukakan dalam Putusan MA No.1311 K/Pdt/1983.125 Ditegaskan,
meskipun dibenarkan penjual yang telah diperiksa sebagai saksi tidak perlu
ikut digugat sebagai pihak, namun yang paling tepat, penjual (pihak ketiga)
harus ikut ditarik sebagai pihak tergugat.
4) Penarikan Pihak Ketiga Disesuaikan dengan Kebutuhan Dalil Gugatan
Memerhatikan penjelasan di atas, penarikan pihak ketiga sebagai tergugat tidak
lagi dijadikan sebagai prinsip umum secara ketat, tetapi mengarah kepada
pelenturan yang bercorak kasuistik. Penerapannya digantungkan kepada
kebutuhan atau kepentingan dalil gugatan.Sebagai contoh putusan MA
No.1816K/Pdt/1989!26 menjelaskan:
ternyata penggugat telah menarik Mendagri sebagai Tergugat II,
dihubungkan dengan fungsinya sebagai instansi yang mengeluarkan SK
Pembatalan Sertifikat Hak Milik Penggugat. Dengan demikian telah
terpenuhi syarat formil pihak yang ditarik sebagai tergugat;
sedangkan mengenai keharusan menarik penjual sebagai tergugat
dalam perkara ini, tidak bersifat mutlak atas alasan, dasar dalil gugatan
yang diajukan penggugat, ditujukan kepada ketidakabsahan SK.
Mendagri No.550/DJA/1986.Oleh karena itu, ditinjau dari segi urgensi
gugatan, tidak mutlak menarik penjual sebagai pihak. Tanpa
125Tanggal 20-8-1984,jo.PT Manado No.113/1982,29-1-1982,jo.PN Pulau,No.21/1982, 19-2-
1982. 126 Tanggal 22-10-1982,Varia Peradilan, Tahun VIII, No. 94 Juli 1993, hlm. 58.

Scanned with CamScanner


mengikutsertakan penjual sebagai tergugat, tidak ada halangan untuk menilai
sah atau tidak SK Pembatalan Sertifikat yang dilakukan Mendagri.
d. Pihakdalam Gugatan Rekonvensi,Hanya Terbatas pada Diri Penggugat
Konvensi
Berdasarkan Pasal 132 a ayat (1) HIR, maupun Pasal 244 RBG, gugatan rekonvensi
ditujukan sebagai gugatan lawan (counter claim) kepada penggugat konvensi.
Sehubungan dengan itu, yang dapat dan yang boleh ditarik sebagai tergugat rekonvensi,
terbatas pada diri penggugat konvensi, mereka yang sama kedudukannya sebagai
tergugát konvensi, tidak dapat dijadikan tergugat rekonvensi. Penarikan dan penempatan
sesama tergugat konvensi sebagai tergugat rekonvensi, bertentangan dengan tata tertib
beracara, dan sekaligus mengacu proses pemeriksaan. Kekacauan yang demikian dapat
dilihat dalam putusan MA No. 636 K/Pdt/1984.127 Dalam kasus ini, Tergugat I konvensi,
mengajukan gugatan rekonvensi kepada Tergugat II konvensi. Dcmikian juga Tergugat II
Konvensi, mengájukan gugatan Rekonvensi kepada Tergugat I Konvensi, MA
berpendapat, cara yang demikian tidak dibenarkan hukum acara. Gugatan rekonvensi
hanya dapat diajukan kepada penggugat konvensi sebagai tergugat rekonvensi. Oleh
karena itu, Tergugat II harus dikeluarkan dari gugatan Rekonvensi Tergugat I Konvensi.
Demikian juga penempatan. Tergugat Ikonvensi harus pula dikeluarkan dari gugat
Rekonvensi yang diajukan Tergugat II konvensi.Dengan demikian yang tinggal sebagai
tergugat rekonvensi, hanya penggugat konvensi saja, dan menyatakan gugat
Rekonvensi kepada yang lain, tidak dapat diterima (niet-ontvankelijke verklaard).
Tanpa mengurangi penerapan di atas, dapat juga pengadilan langsung menyatakan
gugatan rekonvensi tidak dapat diterima secara keseluruhan, apabila tergugat rekonvensi yang
ditarik meliputi diri tergugat konvensi.Penerapan yang seperti itu terjadi dalam Putusan MA No.
3514 K/Pdt/1984.128 MA mengatakan, gugatan rekonvensi yang mengikutsertakan orang yang
tidak menjadi pihak penggugat dalam gugatan konvensi,bertentangan dengan undang-undang,
olch karena itu gugatan rekonvensi tidak dapat diterima. Atau alternatiflain, gugatan rekonvensi
hanya sah sepanjang diri penggugat konvensi.
e. Tidak Semua Ahli Wuris Jadi Pihak
Pada masa yang lalu, diterapkan pendapat yang sempit dan formalistis yang
menyatakan, apabila gugatan menyangkut keterlibatan ahli waris maka seluruh ahli
waris, harus ikut menjadi pihak, baik sebagai pihak penggugat atau tergugat.
127 Tanggal 17-12-1985,jo.PT Manado No.135/1983,6-9-1983,jo.PT Tondano No.8/1982,28-10-1982. 128 Tanggal 8-1-
1986,jo.PT Semarang No.93/1982, 8-9-1983,jo.PN Klaten No. 78/1980, 8-9-1980.

Bab 3 Ruang Lingkup Permasalahan Gugatan Kontentiosn

Scanned with CamScanner


Penerapan yang sempit ini, sangat merugikan pihak penggugat yang mengugut
barang atau tanah maupun utang yang ditinggalkan pewaris. Tidak mudah bagi
seorang penggugat mengetahui berapa ahli waris yang ditinggalkan pewaris.
Terutama pada saat sekarang. Sesuai dengan perkembangan proses vertikal dan
horizontal,ahli waris yang ditinggalkan pewaris tidak berdiam di suatu tempat yang
sama,tetapi menyebar di beberapa tempat yang berjauhan sehingga sulit bagi
penggugat untuk mengetahuinya dengan pasti.
Dalam keadaan yang seperti itu, jika hukum memaksakan harus menarik semua
ahli waris sebagai pihak, bisa mematikan hak perdata sescorang untuk menuntut haknya
dari ahli waris pewaris. Untuk menghindari terjadinya akibat buruk dimaksud, praktik
peradilan melenturkan penerapannya, dengan jalan mentolerir hanya menggugat satu
atau beberapa orang ahli waris. Pelenturan yang seperti itu ditegaskan dalam putusan
MA No.1218 K/Pdt/1983129 yang menyatakan, berdasarkan yurisprudensi, tidak
diharuskan semua ahli waris ditarik sebagai tergugat, cukup satu orang saja. Penerapan
yang demikian tidak berakibat gugatan mengandung cacat plurium litis consortium. .
Sehubungan dengan gugatan yang menyangkut ahli waris dapat
dikemukakan beberapa variabel sebagai berikut.
1) Tidak Diketahui secara Pasti Berapa Ahli Waris
Meskipun penggugat tidak mengetahui dengan pasti berapa orang ahli waris,
tidak menjadi halangan untuk mengajukan gugatan dengan cara menarik ahli
waris yang diketahui saja. Hal ini ditegaskan dalam Putusan MANo.1032
K/Sip/1979.130 Dalam kasus ini,peradilan banding berpendapat gugatan cacat
formil atas alasan, tidak jelas berapa keturunan pewaris, dan tidak jelas di mana
kedudukan penggugat dalam silsilah. Pada tingkat kasasi putusan itu dibatalkan
MA dengan pertimbangan, bahwa ternyata para tergugat tidak menyangkal para
penggugat adalah keturunan dan ahli waris dari pewaris.Berarti gugatan sudah
memenuhi syarat formil. Sekiranya kemudian hari masih ada ahli waris yang lain,
dia dapat menggugat dan menuntut bagiannya dari ahli waris yang bertindak
sebagai penggugat dalam perkara sekarang.
2)Cukup Seorang Ahli Waris sebagai Penggugat untuk Menggugat Harta Warisan yang Dikuasai Pihak
Ketiga Apabila harta warisan dikuasai pihak ketiga tanpa alasan yang sah, cukup
seorang ahli waris saja yang bertindak sebagai penggugat. Penerapan ini,
ditegaskan dalam Putusan MA No.64 K/Sip/1974.131 Pertimbangannya
129 Tanggal 22-8-1984, jo. PT DKI No. 104/1982, 39-1-1983, jo.PN JakTim No.50/1981,7-12-1981.
130 Tanggal 3-10-1973,Rangkuman Yurisprudensi, op. cit., hlm. 183.
131 Tanggal 1-5-1975, ibid.,hlm.86.

Scanned with CamScanner


menyatakan, meskipun tidak semua ahli waris turut menggugat, tidak
mengakibatkan gugatan cacat, apabila objek yang digugat harta warisan yang
dikuasai pihak ketiga tanpa alasan yang sah. Pendirian di atas merupakan
preseden dari puțusan terdahulu. Barangkali salah satu putusan yang dianggap
mendahuluinya adalah Putusan No.244K/Sip/1959132 antara lain menegaskan:
gugatan untuk menuntut penyerahan kembali harta warisan yang dikuasai pihak
ketiga tanpa hak, dianggap sah dan memenuhi syarat formil, meskipun tidak
seluruh ahli waris ikut serta sebagai pihak penggugat,
kebolehan seperti itu, sama sekali tidak menimbulkan kerugian bagi tergugat
untuk membela hak dan kepentingannya dalam proses persidangan.
3) Tidak Mesti Mengikutkan Janda Menuntut Harta Warisan yang Ada di Tangan Pihak Ketiga
Seperti yang telah dijelaskan di atas, seorang ahli waris saja, sudah cukup
menjadi pihak penggugat menuntut harta warisan yang dikuasai pihak ketiga
tanpa alasan yang sah. Konsisten dengan penerapan itu, meskipun salah
seorang dari ahli waris adalah janda pewaris, tidak mutlak harus ikut menjadi
penggugat. Setiap ahli waris bebas untuk bertindak menjadi pihak tanpa
memerlukan kuasa dari ahli waris yang lain. Begitu juga janda dalam
kedudukannya sebagai salah seorang ahli waris bersama anak-anaknya, dapat
bertindak sebagai penggugat baik sendirian maupun bersama-sama dengan
salah seorang ahli waris yang lain. Sikap ini, telah lama dianut praktik peradilan.
Salah satu putusan yang dianggap klasik tentang itu, adalah putusan MA
No.218 K/Sip/1960133 yang menyatakan, antara lain:
pendapat Pengadilan Tinggi yang mengharuskan janda mesti ikut sebagai pihak
untuk menuntut harta warisan yang ada di tangan pihak ketiga, dianggap
terlampau formalistis,
lagi pula, sekiranya demikian, hal itu setiap saat dapat memanggil janda
tersebut untuk disertakan sebagai salah satu pihak, apabila hal itu dibutuhkan.
4) Ahli Waris Tidak Boleh Menghalangi Ahli Waris Lain Mengajukan Gugatan Suka atau tidak suka,
ahli waris yang lain tidak berhak menghalangi ahli waris selebihnya mengajukan gugatan mengenai
harta warisan yang berada di tangan pihak ketiga. Penegasan ini dikemukakan dalam Putusan MA
No.161 K/Sip/1959.134 Menurut putusan ini, gugatan yang diajukan oleh

132 Tanggal 5-1-1959,ibidl.,hlm.182.


133 Tanggal 31-8-1960,ibid.,hlm.187.
134 Tanggal 20-6-1959, ibid.,hlm. 96.

Scanned with CamScanner


beberapa atau sebagian ahli waris terhadap pihak ketiga yang menduduki
tanah warisan tanpa hak,tidak boleh dihalangi ahli waris selebihnya.
5) Ahli Waris yang Telah Menolak Bagian Atas Harta Warisan,Tidak Berhak
sebagai Pihak Menuntut Harta Warisan
Menurut Putusan MA No.23 K/Sip/1973135 ahli waris yang menyatakan diri
menolak harta warisan, dan penolakan itu telah dikeluarkan penetapan oleh
PN, tidak ada keharusan ikut sebagai penggugat untuk menuntut harta
warisan.Bahkan kita berpendapat, bagi ahli waris yang telah menolak harta
warisan tidak berhak menuntut pembagian harta warisan maupun untuk
bertindak menuntut harta warisan yang ada di tangan pihak ketiga.Pendapat
itu didasarkan pada ketentuan Pasal 1058 KUH Perdata yang menjelaskan,
ahli waris yang menolak warisan, dianggap tidak pernah menjadi waris.
6). Sengketa Pembagian Harta Warisan
Berbeda dengan uraian terdahulu adalah sengketa mengenai pembagian
harta warisan di antara para ahli waris. Dalam kasus yang demikian, harus
seluruh ahli waris ikut terlibat sebagai pihak. Salah seorang di antaranya
dapat bertindak sebagai penggugat, dan'yang lain ditarik sebagai tergugat.
Bisa juga beberapa orang sebagai penggugat yang selebihnya sebagai
tergugat.
f. Yang Sah Bertindak Mewakili Perseroan Terbatas (PT)
Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang
perseroan (Perseroan Terbatas) adalah badan hukum (legal entity), yang berkuasa
mutlak atau persona standi in judicio (full authorized) betindak di depan
pengadilan. Sehubungan dengan melekatnya persona standi in judicio pada
perseroan, terdapat beberapa permasalahan yang perlu mendapat perhatian, agar
kehadirannya sebagai pihak dalam gugatan tidak mengandung cacat formil.
1) Persona Standi in Judicio Perseroan Baru Ada dan Sah Setelah Mendapat
Pengesahan Menteri
Semula hal ini ditegaskan dalam Pasal 38 KUHD.Agar PT dapat bertindak
sebagai badan hukum (legal entity, rechtspersoon),harus disahkan,
didaftarkan dan diumumkan dalam majalah resmi. Selanjutnya Pasal 39
KUHD mengatakan, selama hal itu belum dipenuhi, seluruh pengurus
bertanggung jawab secara pribadi terhadap pihak ketiga atas tindakan hukum
yang mereka lakukan. Selama belum dilakukan pengesahan:
belum melekat persona standi in judicio, dan
juga belum melekat pertanggungjawaban terbatas atau limited liability
pada perseroan.
135 Tanggal 30-10-1975, ibid.,hlm.84.

Scanned with CamScanner


Pada saat sekarang, prinsip hukum yang dijelaskan di atas, diatur dalam Pasal
7.ayat (6) Undang-Undang No.1 Tahun 1995.136 Perseroan memperoleh status
badan hukum (legal entity) setelah akta pendirian disahkan oleh Menteri.
Bertitik tolak dari ketentuan tersebut di atas, masih tetap relevan putusan-putusan
pengadilan yang menyatakan, keabsahan Perseroan Terbatas(PT) bertindak
sebagai pihak yang memiliki persona standi in judicio di depan pengadilan, setelah
mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman.137 Salah satu putusan lama
tentang itu, adalah No.244 K/Sip/1950.138 Ditegaskan, oleh karena yang jadi pihak
dalam kasus perkara yang terjadi adalah PT yang belum mendapat pengesahan
Menteri sebagai badan hukum, sedangkan pengesahan merupakan syarat mutlak
berdirinya PT sebagai badan hukum maka yang seharusnya digugat adalah
seluruh anggota pengurus yang ikut menandatangani perjanjian yang
disengketakan. Begitu juga dalam putusan MA No.1134 K/Sip/1972139
menyatakan, PT Darma Yasa belum merupakan suatu PT menurul undang-undang
karena belum ada pengesahan dari Departemen Kehakiman.
Tidak sah PT sebagai pihak apabila PT belum melekat tanggung jawab terbatas
(limited liability), dijelaskan juga dalam putusan lain. Misalnya dalam Putusan MA
No.196 K/Sip/1973140 menegaskan, suatu PT yang belum mendapat pengesahan,
tidak sah sebagai badan hukum, dan oleh karena yang menerima cek yang
disengketakan adalah tergugat dalam kedudukanya sebagai pengurus maka dia
yang bertanggung jawab atas penerimaan cek tersebut. Sama halnya dalam
Putusan MA No.1944 K/ Pdt/1999,141 antara lain menjelaskan:
dalam hal akta pendirian PT belum disahkan Menteri Kehakiman,PT yang
bersangkutan belum berstatus sebagai badan hukum, sehingga apabila PT
tersebut hendak dituntut, seluruh pengurus harus ikut digugat sebagai pihak,
karena yang menjadi pihak tergugat dalam perkara ini (No. 652/1983), hanya
Letjen. (Pur). Sugianto yang disebut sebagai Dirut PT Prima maka akta
perdamaian yang diterbitkan PN, tidak sah sehingga tidak dapat dijadikan
dasar melaksanakan eksekusi;

136 Undang-undang Perseroan Terbatas(UU PT)


137 Sekarang Menteri Kehakiman dan HAM
138Tanggal 17-3-1950,Chidir Ali,Himpunan Yurisprudensi Hukum Dagang di Indonesia,Badan Pranita, Jakarla 1985,hlm.115.
139 Tanggal 26-7-1974,Rangkuman Yurisprudensi, op. cit., hlm. 157. 140
Tanggal 28-11-1993,ibid., hlm. 156.
141 Tanggal 15-2-1992,jo.PT DKI,No.302/1990,14-11-1990,jo.PN Jak-Pus No.7/1989,19-9-1989.
Scanned with CamScanner
oleh karena tidak tepat kedudukan Letjen.(Pur).Sugianto mewakili PT
tersebut, telah terjadi error in persona dalam bentuk salah atau keliru orang
yang digugat maupun kurang pihak yang ditarik sebagai tergugat.
Tuntutan dalam kasus yang demikian tetap melekat terhadap diri pengurus yang
sudah berhenti. Menurut Putusan MA No.372 K/Pdt/1985 (17-5. 1986), selama
PT, belum mendapat pengesahan, statusnya belum sah sebagai badan hukum.
Dalam status yang demikian sekalian pengurus yang ada, merupakan subjek
(orang demi orang) yang masing-masing bertanggung jawab untuk keseluruhan
atas tindakan mereka kepada pihak ketiga. Ternyata hubungan hukum utang
diperbuat antara lain oleh Gunawan yang sekarang telah keluar dari PT, harus
tetap ikut bertanggung jawab atas pinjaman itu, oleh karena itu Gunawan harus
ikut digugat sebagai pihak.
2) Direktur yang Bertindak Tanpa Persetujuan Komisaris Menjadi Tanggung
Jawab Pribadi
Apabila dalam anggaran dasar ditentukan dalam melakukan tindakan tertentu
Direktur harus mendapat persetujuan komisaris, lantas direktur melanggar
ketentuan itu, tindakan hukum tersebut menjadi tanggung jawab pribadi direktur
yang bersangkutan. Oleh karena itu, yang sah bertindak atau ditarik sebagai
pihak dalam kasus yang demikian adalah direktur itu, bukan PT. Sebagai contoh
dapat dikemukakan putusan MA No.1944 K/ Pdt/1991.142 Dikatakan, seorang
direktur yang bertindak tanpa persetujuan komisaris, dibebankan kepada diri
pribadi direktur, bukan kepada PT.Atau apabila PT belum disahkan atau
perubahan pengurus belum disahkan maka yang menjadi pihak adalah seluruh
pengurus.
3) Yang Jadi Pihak adalah Perseroan apabila Telah Mendapat Pengesahan
Apabila telah mendapat pengesahan,perseroan memiliki legitimasi sebagai
badan hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (6) Undang-Undang No.1
Tahun 1995. Oleh karena itu apabila terjadi sengketa, yang dapat bertindak
sebagai tergugat adalahperseroan itu sendiri.Sedangkan direksi hanya
bertindak mewakili (representative) di depan pengadilan. Kedudukan dan
kapasitas direksi mewakili di depan pengadilan bersifat demi hukum (legally).
Itu sebabnya, kedudukan itu disebut perwakilan atau kuasa menurut hukum
(wettelijke vertegenwoordig) atau legal mandatory (legal representative)
berdasarkan Pasal 1 angka 4 dan Pasal 82 Undang-Undang No.1 Tahun
1995.Penerapan itu diikuti oleh putusan pengadilan.Misalnya

142 Tanggal 15-2-1992, Varia Peradilan, tahun VIII, No. 82 Juli 1992, hlm. 42.

Scanned with CamScanner


Putusan MA No.480 K/Sip/1973143 menegaskan, oleh karena persil tanah yang
diperkarakan tercatat atas nama PT Gunung Mas, bukan atas nama pribadi
direktur, yang harus ditarik sebagai tergugat adalah PT yang bersangkutan.
Penegasan yang sama terdapat dalam Putusan MA No.436 K/Sip/1973.144
Menurut putusan ini, apabila PT melakukan wanprestasi, yang harus dituntut
adalah PT.
g.Cabang atau Perwakilan Dapat Bertindak atau Ditarik sebagai Pihak Pada masa
yang lalu, cabang atau perwakilan perseroan baik domestik dan luar negeri, tidak
dapat bertindak sebagai persona standi in judicio. Oleh karena itu, yang dianggap sah
bertindak di depan pengadilan baik sebagai penggugat atau terguġat, hanya kantor
pusat (head office).
Penerapan sempit ini, tidak realistis. Tidak sesuai dengan asas peradilan sederhana,
cepat, dan biaya ringan. Bahkan sangat merugikan kepentingan pihak yang diperkosa
haknya. Misalkan A yang bertempat tinggal di Merauke hcndak menggugat PT BRI atas
tindakan yang dilakukan PT BRI Cabang Merauke. Jika yang harus ditarik sebagai tergugat
kantor pusat, sesuai dengan patokan actor sequitur forum rei yang digariskan Pasal 118 ayat
(1) HIR, A yang tinggal di Merauke, harus mengajukan gugatan di PN Jakarta Pusat sesuai
dengan alamat tempat kediaman PT BRI. Padahal di Merauke berdiri cabang BRI, sehingga
kalau dibolehkan menarik cabang atau perwakilan sebagai tergugat sangat mempermudah
proses serta sekaligus menghemat biaya yang akan dikeluarkan A.
Lebih tidak realistis lagi, jika perusahaan yang hendak digugat itu, berkantor
pusat di Tokyo atau New York. Berarti gugatan harus diajukan di pengadilan Tokyo
atau New York. Padahal perusahaan itu mempunyai cabang (branch) atau perwakilan
(representative) di Jakarta atau kota lain di Indonesia. Memerhatikan kesulitan yang
demikian, praktik peradilan melenturkan penerapannya. Mengizinkan cabang atau
perwakilan sebagai pihak, baik menjadi penggugat atau tergugat. Sedangkan yang
bertindak mewakilinya di depan pengadilan adalah kepala cabang atau kepala
perwakilan. Penerapan yang demikian ditegaskan dalam Putusan MA No.3562
K/Pdt/1984,145 antara lain dijelaskan:
pimpinan Cabang BNI Tebing Tinggi menurut hukum merupakan kuasa atau wakil,
dapat bertindak ke dalam dan keluar mewakili kepentingan BNI di daerahnya,

143 Tanggal 2-7-1974,Ranglauman Yurisprudensi, op cit., hlm. 185.


144 Tanggal 3-10-193,ibid.,hlm.157. 145 Tanggal 18-12-1985,jo.PT Medan
No.620/1983,15-12-1983,jo.PN T-TDeliNo.6/1983,30-5-1983.

Scanned with CamScanner


hal itu ternyata dari perjanjian kredit dan surat penyerahan kredit macet kepada
PUPN,hanya dilakukan Pimpinan Cabang BNI Tebing Tinggi tanpa memerlukan
perintah dan kuasa Direksi BNI Pusat, Jakarta;
oleh karena itu, Cabang BNI dapat digugat sebagai pihak di depan pengadilan
dan untuk itu Pimpinan Cabang bertindak mewakilinya.
Pendirian yang sama dijumpai juga dalam Peraturan MA No.558 K/1984/6 antara lain
mengatakan:
cabang perseroan dapat bertindak di depan pengadilan untuk dan atas nama
perseroan, tanpa memerlukan kuasa khusus dari direksi perseroan;
dengan dibenarkan oleh yurisprudensi menggugat cabang perseroan di tempat
mana cabang berada, dengan sendirinya pimpinan cabang sah mewakili
perseroan yang bersangkutan, tanpa surat kuasa khusus dari direksi kantor
pusat;
konsekuensi logis dari kewenangan itu, pimpinan cabang dapat menunjuk
seseorang kuasa untuk dan atas nama cabang perseroan yang dipimpinnya.
Mengenai tindakan hukum yang dilakukan pimpinan cabang yang sudah diberhentikan,
tidak dapat dituntut kepada cabang perseroan. Yang harus ditarik sebagai pihak adalah diri
pribadi yang bersangkutan. Sehubungan dengan itu, tepat sekali pertimbangan Putusan MA
No.1619 K/Pdt/1984.147 utang-piutang yang dibuat Penggugat dengan Tergugat I, terjadi
setelah Tergugat II Agus S.J. diberhentikan dari jabatannya sebagai kepala perwakilan PT
Semut Ireng Samarinda. Pemberhentian itu diumumkan dan diberitahu kepada instansi
penting di Kota Samarinda. Olėh karena itu, tindakan Tergugat I yang meminjam uang dari
Penggugat, merupakan tanggung jawab pribadi Tergugat I. Tidak mengikat kepada Tergugat
II/PT Semut Ireng, baik yang berkedudukan di Pusat maupun Perwakilan Samarinda. Oleh
karena barang jaminan yang diberikan Tergugat I kepada penggugat ternyata adalah milik
Tergugat II (PT Semut Ireng), jaminan itu tidak sah dan harus dikembalikan kepada Tergugat
II.
h. Persekutuan Komanditer (CV =Commanditaire Vennootshap) atau Persekutuan Firma,
Tidak Dapat Bertindak sebagai Persona Standiin Judicio

Pasal 16 dan 17 KUHD menjelaskan, persekutuan Firma adalah Perikatan yang diadakan

untuk menjalankan perusahaan dengan memakai nama bersama. Setiap sekutu mempunyai

wewenang untuk bertindak mengeluarkan dan menerima uang atas nama persekutuan dan

mengikat persekutuan dengan pihak ketiga,dan pihak ketiga dengan persekutuan apabila hal

itu dilakukanuntuk kepentingan


146 Tanggal 26-9-1985,Varia Peradilan,loc. cit.,Tahun III,Desember 1987,hlm.57.
147 Tanggal 26-9-1985,Varia Peradilan,loc cit.,Tahun II,Desember,1987 hlm.57.
Hukum Perdata
Acara Scanned with CamScanner
persekutuan. Setiap sekutu bertanggung jawab secara pribadi dan untuk seluruhnya
bagi perikatan persekutuan. Berarti semua harta kekayaan pribadi masing-masing
anggota, diperuntukkan untuk membayar utang persekutuan. Sama halnya dengan
CV, masing-masing persero pengurus bertanggung jawab secara tanggung renteng
(hoofdelijk aansprakelijk, severallyliable). Oleh karena itu, apa yang dilakukan masing-
masing persero pengurus, mengikat kepada persero pengurus yang lain (hoofdelijk
voor het geheel).148
Dengan demikian CV atau Firma belum merupakan badan hukum (legal entity).
Menurut Putusan MA No. 879 K/Sip/1974,149 CV dalam lalu lintas hukum, belum
merupakan subjek hukum yang tersendiri terlepas dari anggota persero pengurus,
sehingga tidak dapat melakukan perbuatan hukum tersendiri, oleh karena itu:
yang dapat melakukan perbuatan hukum adalah anggota pengurus;
sehubungan dengan itu, apabila CV bertindak mengajukan gugatan kepada pihak lain
atau jika ditarik sebagai tergugat, yang menggugat dan tergugat, bukan CV, tetapi
anggota persero pengurusnya.
Ketentuan ini berlaku juga terhadap persekutuan yang diatur Pasal 1618 KUH
Perdata yaitu persetujuan yang dibuat dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk
memasukkan sesuatu dalam persekutuan dengan maksud untuk membagi
keuntungan. Di sini pun yang dapat bertindak atau ditarik sebagai pihak adalah
anggota persekutuan apabila tidak ditentukan siapa yang menjadi pengurus. Akan
tetapi, jika telah ditentukan siapa pengurus berdasarkan Pasal 1637 KUH Perdata,
yang sah bertindak atau ditarik sebagai pihak adalah pengurus persekutuan.
Namun penempatan atau penarikan anggota pengurus sebagai pihak dalam
gugatan, tidak boleh ditujukan kepada atau atas nama pribadi, tetapi dalam
kedudukan dan kapasitasnya sebagai anggota pengurus. Hal ini diperingatkan
Putusan MA No. 495 K/Sip/1973150 yang menegaskan, bahwa kontrak yang terjadi
adalah dengan CV Palma maka gugatan yang diajukan Direktur CV atas nama
pribadi, harus dinyatakan tidak dapat diterima, atas alasan error in persona dalam
bentuk diskualifikasi in person.
1. Kedudukan Penanggung sebagai Pihak
Pasal 1820 KUH Perdata mengatur tentang penanggung (borgtocht,guarantor)
sebagai persetujuan yang dibuat pihak ketiga untuk kepentingan debitur, yaitu

148Lihat Putusan MA No. 760K/Sip/1973, 9-1-1974, Rangkuman Yurisprudensi, op cit., hlm.


156.
149
Tanggal 4-4-1976, Chidir Ali, op. cit., hlm. 73.
150 Tanggal 6-1-1976, Rangluman Yurisprudensi, op. cit., hlm. 194.

Scanned with CamScanner


penanggung berjanji akan memenuhi perikatan perjanjian utang, apabila
debitur tidak memenuhinya.Perjanjian penanggungan merupakan
perjanjian subsidiary yang persis sama dengan perjanjian pokok utang
antara debitur dengan kreditur.Dengan demikian kedudukan dan
kewajiban penanggung sama dengan debitur principal. Oleh karena itu
apabila debitur melakukan wanprestasi,berdasarkan Pasal 1831 KUH
Perdata,kreditur dapat menuntur pemenuhan kepada penanggung.
Sehubungan dengan itu,agar penempatan atau penarikan pihak dalam kasus
yang seperti ini tidak mengalami cacat formil berbentuk keliru yang digugat (gemis
aan hoedanigheid) atau kurang pihak (plurium litis consortium), siapa yang tepat
harus ditarik sebagai tergugat? Mengenai hal itu dapat diperhatikan penjelasan
berikut.
Dalam Hal Kedudukan Penanggung Murni Berdasarkan Perjanjian Pasal 1820
KUH Perdata,Gugatan Dapat Langsung kepada Penanggung
Kalau perjanjian borgtocht merupakan subsidiary dari perjanjian kredit antara
kreditur dengan debitur, apabila debitur wanprestasi, pihak kreditur dapat langsung
menarik penanggung sebagai tergugat tanpa mengikutsertakan debitur sebagai
pihak. Pendapat ini dikemukakan dalam salah satu Putusan MA
No.2757/Pdt/1983.151 Menurut putusan ini, peradilan tingkat banding dinyatakan
salah menerapkan hukum, yang berpendapat, dalam perjanjian borgtocht,penggugat
harus lebih dahulu menuntut pemenuhan pembayaran kepada debitur. Pendapat ini
keliru atas alasan, ciri persetujuan penanggungan yang diatur Pasal 1820 KUH
Perdata adalah
pernyataan dari penanggung, bahwa dia mengikat diri secara sukarela
melaksanakan pemenuhan prestasi kepada kreditur untuk dan atas nama debitur
apabila debitur melakukan wanprestasi.Hal inilah yang ditegaskan Tergugat II dan III
sebagaimana yang tercantum dalam pernyataan P4;
ciri kedua adalah sifat subsidiary yang membuat bentuk perjanjian menjadi
dua, tetapi saling bertindih.
bentuk pertama; perjanjian pokok antara debitur dengan kreditur,dan
bentuk kedua; sebagai perjanjian subsidiary berupa perjanjian jaminan
(borgtocht) antara penjamin dengan kreditur, di mana perjanjian subsidiary
tersebut identik dengan perjanjian pokok;

ciri subsidiary yang identik dengan perjanjian pokok,memberi hak opsi kepada

kreditur memilih siapa yang dituntutnya memenuhi pelaksanaan

prestasi.Kreditur dapat memilih debitur sebagai principal atau penjamin atau

serentak dan sekaligus debitur dan penjamin ditarik sebagai tergugal.


151 Tanggal 7-2-1985,jo.PT Palembang No.13/1983,15-6-1983,jo.PN PalembangNo.53/1982,12-11-
1982.
Scanned with CamScanner
Lebih lanjut dalam pertimbangan putusan dikatakan, jika diperhatikan surat gugatan
Penggugat telah menempatkan debitur sebagai Tergugat I,dan dalam petitum angka 3,
Penggugat meminta agar Tergugat I (debitur) ikut dinyatakan mclakukan wanprestasi.
Cuma dalam pelaksanaan pemenuhan prestasi, penggugat hanya langsung meminta
kepada Tergugat II dan III sebagai penjamin (borgtocht). Ternyata dalam persidangan,
Tergugat II dan III tidak mempergunakan hak untuk menuntut lebih dahulu debitur
(voorrecht van uitwining) yang digariskan Pasal 1831 KUH Perdata. Dengan demikian,
pada hakikatnya Tergugat II dan III menyiapkan diri untuk melaksanakan pemenuhan
pembayaran utang debitur principal. Seandainya mereka keberatan, tentu akan
mengajukan bantahan agar debitur principal yang lebih dahulu dibebani kewajiban
melaksanakan pemenuhan.
Berdasarkan alasan yang dikemukakan tersebut di atas dihubungkan dengan
hak regres (regresrecht, right ofrecourse) berdasarkan Pasal 1839 KUH Perdata
yaitu penanggung dapat menuntut kembali dari debitur principal atas pelaksanaan
pembayaran yang dilakukannya, semakin memperkuat alasan, hukum tidak
melarang kreditur langsung menuntut pemenuhan pembayaran utang kepada
penjamin (borgtocht).
Menghadapi kasus borgtocht, kemunġkinan akan berhadapan dengan hakim
yang bersikap formalistis. Secara sempit berpendapat, perjanjian jaminan
merupakan asesor dari perjanjian pokok, oleh karena itu agar gugatan tidak
mengandung cacat plurium litis consortium, harus ikut digugat debitur principal.
Sehubungan dengan itu agar gugatan terhindar dari bahaya pendekatan yang
bersifat formalistis, sebaiknya debitur principal ikut ditarik sebagai tergugat
bersama-sama dengan penjamin. Jika yang menjadi penjamin terdiri dari korporasi
(corporate guarantor) selain koperasinya ditarik sebagai tergugat, harus ikut debitur
principal ditarik sebagai tergugat.
j.Majikan atau Atasan Harus Ikut Ditarik sebagai Pihak atas Per-buatan Melawan
Hukum yang Dilakukan Bawahan
Pasal 1367 KUHPPerdata menggariskan prinsip pertanggungjawaban hukum atas
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh bawahan. Menurut prinsip ini,
majikan atau atasan bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul dari
perbuatan melawan hukum (PMH) yang dilakukan pegawai atau bawahan. Prinsip
ini dikenal juga dengan sebutan vicarious liability. Setiap kerugian yang dialami
pihak ketiga sebagai akibat PMH yang dilakukan oleh orang yang menjadi
tanggungannya,bertanggung jawab atas kerugian tersebut, meliputi: orang tua dan
wali bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh anak-anak yang
belum dewasa yang tinggal pada mereka di mana terhadap siapa mereka
melakukan kekuasaan sebagai orang tua atau wali;

Scanned with CamScanner


majikan dan mereka yang mengangkat orang lain sebagai wakil urusan
mereka,bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari PMH yang
dilakukan pegawai atau bawahan maupun wakil dimaksud;
guru sekolah dan kepala tukang bertanggung jawab atas kerugian yang
timbul dari PMH yang dilakukan murid dan tukang mereka, selama
orang. orang itu berada di bawah pengawasan mereka.
Supaya gugatan tuntutan ganti rugi yang timbul dari PMH yang dilakukan anak-anak
di bawah umur, atau pegawai dan bawahan, maupun murid dan tukang tidak
mengandung cacat kurang pihak (plurium litis consortium) atau diskualifikasi,orang tua
dan wali atau majikan maupun guru dan kepala tukang, harus ikut ditarik sebagai pihak
tergugat.
Ketentuan dan penerapan yang demikian, ditegaskan dalam Putusan MA No.2826
K/1984.152 Meskipun para Tergugat I sampai Tergugat XII dalam kedudukan mereka
sebagai pegawai Lembaga Pemasyarakatan,telah melakukan tindakan sesuai dengan
petunjuk pelaksanaan, namun mereka dalam menjalankan tugas sebagai pegawai negeri
tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah c.q.Departemen Kehakiman. Dengan
demikian kematian tahanan tersebut adalah akibat penganiayaan yang dilakukan
Tergugat I sampai Tergugat XII.Oleh karena itu, kematian itu merupakan PMH yang
dilakukan bawahan (pegawai) dalam menjalankan tugas yang pertanggungjawaban
perdatanya dibebankan kepada Departemen Kehakiman sesuai dengan prinsip vicarious
liability yang digariskan Pasal 1367 KUHP Perdata.
k. Pihak yang Jadi Penyebab Cekcok, Tidak Dapat Bertindak sebagai Penggugat
Menuntut Perceraian
Alasan perceraian yang dapat diajukan suami atau istri, diatur dalam penjelasan Pasal 39
ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 19 PP No.9 Tahun 1975. Alasan
yang diatur dalam huruf f, antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Dalam
kasus seperti itu, menurut putusan MA No.2571K/Pdt/1988153 suami atau istri atau pihak
yang menjadi penyebab timbulnya perselisihan dan pertengkaran, tidak berhak atau tidak
dapat bertindak sebagai penggugat menuntut perceraian berdasarkan Pasal 19 huruff
P.P. No. 9 Tahun 1975.
Pendapat yang dikemukakan dalam putusan itu,sesuai dengan yang digariskan
pada angka 2 SEMA(Surat Edaran Mahkamah Agung) No. 3 Tahun 1981!" yang
menegaskan, menyelidiki siapa penyebab perselisihan, merupakan hal

152 Tanggal 16-11-1989, Varia Peradilan, Tahun V No. 58, Juli 1990, hlm. 66.
153 Tanggal 31-5-1989, Vana Peradilan, Tahun V No. 53, Februari 1990, hlm. 52.
154 Himpunan SEMA dan PERMA, Februari 1999,hlm.434.

Scanned with CamScanner


yang menentukan bagi hakim untuk memberi keputusan, mengingat penyebab
perselisihan tidak mungkin dapat meminta cerai berdasarkan Pasal 19 huruff PP. No. 9
Tahun 1975. Dari satu segi, pendapat dan pendirian ini dapat dibenarkan. Apabila
kepada suami atau istri yang menjadi penyebab pertengkaran diberi hak bertindak
sebagai penggugat mengajukan gugatan perceraian, hal itu memberi peluang baginya
menuntut perceraian dengan cara merekayasa terjadinya pertengkaran.Padahal yang
tersembunyi dari pertengkaran yang diciptakannya itu dilatarbelakangi keinginan
hendak mengajukan gugatan perceraian. Untuk meredam niat buruk yang seperti itu,
cukup alasan untuk tidak memberi hak kepadanya bertindak mengajukan guġat
perceraian.
Akan tetapi sebaliknya, meskipun pada mulanya pertengkaran bersumber dari
rekayasa, namun akibatnyä,telah mencapai titik yang sangat menyengsara-kan bagi
suami-istri, sedangkan pihak yang lain tidak mau bertindak mengajukan gugatan,
apakah tidak terbuka hak bagi pihak yang menjadi sumber perseng-ketaan úntuk
mengajukan gugatan perceraian? Jika hukum tidak membolehkan, berarti hukum
membenarkan dan membiarkan perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus
dalam kehidupan suami-istri yang bersangkutan. Oleh karena itu, penerapan yang
digariskan dalam putusan dan SEMA dimaksud, harus secara kasuistik. Tidak bersikap
sempit (strict) dan apriori menggugur-kan hak pihak yang menjadi penyebab
perselisihan untuk mengajukan gugatan cerai. Harus dipertimbangkan dengan
saksama, sejauh mana harmonisasi dan disharmonisasi yang terjadi di antara suami-
istri. Jika tidak mungkin lagi diwu-judkan kerukunan yang harmonis pihak mana pun
yang mengajukan gugatan harus diterima dan dibenarkan. Apalagi jika putusan dan
SEMA itu didekati dari pandangan hukum Islam, pendapat dan pendirian itu sulit
dipertahankan. Ambil salah satu contoh putusan MA.155 Berdasarkan putusan ini,
perkawinan adalah ikatan yang tak boleh diputus (miitsaqan ghaliizhan) sebagaimana
yang dirumuskan dalam Pasal 2 KHI (Kompilasi Hukum Islam), oleh karena itu
perkawinan adalah perjanjian suci. Sehubungan dengan itu, pemecahan perkawinan
melalui perceraian, tidak boleh diukur kesalahan salah satu pihak. Jika berdasarkan
pembuktian, hakim yakin perkawinan itu telah pecah beran-takan, berarti pertautan hati
suami-istri sudah putus dan hancur, sehingga telah terpenuhi ketentuan Pasal 19 huruf
f PP No. 9 Tahun 1975.
Dalam hal seperti itu, hakim tidak patut menyatakan,pecahnya perkawinan
disebabkan tindakan dan kesalahan salah satu pihak. Mencari kesalahan salah satu
pihak dalam keadaan kehidupan rumah tangga yang secara nyata tidak rukun dan
tidak dapat didamaikan lagi, akan menimbulkan akibat buruk bagi suami-istri maupun
terhadap anak-anak yang lahir dari perkawinan.

155 No.38 K/AG/1990,5-10-1991,Varia Peradilan, tahun VII, No. 79 April 1992,hlm.117.

Scanned with CamScanner


l. Istri Kedua Tidak Berhak Menggugat Harta Bersama Suami dengan Istri
Pertama
Hukum mengenal dan membenarkan perkawinan serial. Suani atau istri yang telah
menjadi duda atau janda baik karena pisah mati maupun karena perceraian, dapat lagi
melangsungkan perkawinan berikutnya. Selain itu, hukum juga membenarkn
perkawinan poligami berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Baik
dalam perkawinan serial atau poligami, terbentuk harta bersama antara suami dengan
masing-masing istri, sehingga ditemui konsentrasi harta bersama yang terpisah antara
suami dengan istri pertama dan seterusnya. Apa yang menjadi harta bersama antara
suami dengan istri pertama maupun dengan istri kedua dan seterusnya, terpisah dan
berdiri sendiri menjadi hak mereka masing-masing. Oleh karena itu, istri pertama tidak
berhak menuntut pembagian harta bersama suami dengan istri kedua dan
sebaliknya.Contoh kasus dapat dikemukakan Putusan MA No. 741 K/Pdt/1985156
yang mengatakan, harta yang digugat oleh penggugat dalam kedudukannya sebagai
istri kedua adalah harta bersama almarhum suami dengan istri pertama. Oleh karena
itu, penggugat sebagai istri kedua tidak berhak bertindak menjadi penggugat untuk
menuntutnya, sebab harta tersebut merupakan hak istri pertama dengan anak.
anaknya.
Tampaknya putusan ini tidak dapat dipertahankan secara keseluruhan. Meskipun
harta yang digugat istri kedua harta bersama suami dengan istri pertama, terdapat
celah hukum yang memberi hak kepada istri kedua untuk menggugatnya. Bukankah
menurut hukum, pada masing-masing harta bersama suami dengan setiap istrinya
melekat setengah bagian hak mendiang suami dan yang setengah menjadi bagian istri
yang bersangkutan.Pada setengah bagian yang menjadi hak suami itu, melekat hak
semua ahli waris, termasuk istri pertama, kedua, dan seterusnya bersama-sama
dengan semua anak yang lahir dari semua istri. Memerhatikan konstruksi hukum atas
pembagian harta bersama dimaksud, istri kedua berkedudukan sębagai ahli waris
bersama-sama dengan seluruh ahli waris yang lain atas setengah bagian hak suami
dari harta bersama suami dengan istri pertama. Dalam kedudukan yang seperti itu, istri
kedua berhak mengajukan gugatan untuk dilakukan pembagian waris di antara seluruh
ahli waris atas harta peninggalan suami yang melekat pada harta bersana suami
dengan istri pertama.
m. Yang Harus Ditarik sebagai Pihak adalah Pemberi Kuasa
Pasal 1792 KUH Perdata menjelaskan, kuasa adalah persetujuan.Pemberi
kuasa melimpahkan kekuasaan (authority) kepada ponerina kuasa untuk

Scanned with CamScanner


melakukan atau menyelenggarakan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa.
Memerhatikan ketentuan tersebut, yang dapat ditarik sebagai tergugat atas sengketa
yang timbul dari perjanjian atau transaksi yang dibuat kuasa untuk dan atas nama
pemberi kuasa adalah
pemberi kuasa, bukan kuasa;
dengan syarat, apabila tindakan yang dilakukannya sesuai dengan fungsi dan
kewenangan yang diberikan kepadanya;
kuasa baru dapat'ditarik sebagai pihak tergugat, apabila tindakan yang dilakukannya
melampaui batas wewenang yang ditentukan dalam surat kuása.
Penerapan yang demikiaņ, ditegaskan dalam putusan MA No. 3556 K/
Pdt/1985.157 Menurut putusan ini gugatan seharusnya ditujukan kepada pemberi kuasa
yaitu pemilik tanah sengketa. Dalam kasus ini penerima kuasa,baru dapat ditarik
sebagai tergugat, apabila dia dalam melaksanakan tindakan, melampaui batas
wewenang yang ditentukan dalam surat kuasa. Secara yuridis pemberi kuasa wajib
melaksanakan tindakan dan perikatan yang dibuat kuasa dengan pihak ketiga, sesuai
dengan ketentuan Pasal 1807 KUH Perdata.
Bagaimana halnya kalau kuasa ikut digugat bersama-sama dengan pemberi kuasa?
Boleh saja, akan tetapi tindakan itu berlebihan. Secara formil, pengadilan akan
mengeluarkan kuasa itu sebagai pihak, dan menyatakan gugatan terhadapnya tidak
dapat diterima.
n. Penggantian Pihak karena Meninggal
Selama proses pemeriksaan berjalan, ada kemungkinan salah satu pihak meninggal
dunia. Apakah proses pemeriksaan dalam kasus yang seperti itu berakhir? Tidak!
Mcninggalnya salah satu pihak, tidak mengakhiri maupun menggugurkan gugatan.
Pemeriksaan berjalan terus, sampai sengketa dapat dituntaskan penyelesaiannya.
1) Tergugat Meninggal Dunia, Digantikan oleh Ahli Warisnya
Apabila pihak tergugat meninggal selama proses persidangan berlangsung apakah
peristiwa itu terjadi pada pemeriksaan tingkat pertama di PN, tingkat banding di PT, atau
pada tingkat kasasi di MA:
kedudukan tergugat digantikan oleh ahli warisnya;
peralihan penggantian itu berdasarkan titel umum, oleh karena itu terjadi dengan
sendirinya menurut hukum;
berarti penggantian kedudukan tersebut,tidak memerlukan persetujuan dari
penggugat, sebab tampilnya ahli waris menggantikan pewaris

157 Tanggal 11-5-1988,Varia Peradilan,Tahun III,No.36,September 1988,hlm.7.

Scanned with CamScanner


sebagai tergugat, bukan merupakan hak, tetapi kewajiban hukum bagi
ahli waris yang bersangkutan;
dengan demikian,penggugat tidak perlu memperbaiki atau
memper. barui (renewal) gugatan.
Akan tetapi,menurut Putusan MA No.332 K/Sip/1971138 agar kelaktidak
menimbulkan kesulitan pada saat pelaksanaan eksekusi, sejak semula perlu
ditentukan siapa-siapa saja ahli waris tergugat yang akan duduk menggantikan
posisinya sebagai tergugat.Jika tergugat terdiri dari beberapa orang, kemudian
salah satu di antaranya meninggal,kedudukan tergugat digantikan oleh ahli
warisnya terutama apabila perkara yang disengketakan bersumber dari
perjanjian para tergugat yang merupakan pihak penanda tangan perjanjian,
penyelesaian perkara tidak bisa dipisah dan dipecah. Tidak mungkin
mengeluarkan tergugat yang meninggal sebagai pihak.Cara itu akan
mengakibatkan gugatan kurang pihak (plurium litis consortium). Tidak ada cara
lain yang dapat ditempuh selain dengan jalan menempatkan ahli waris sebagai
pengganti. Sehubungan dengan itu, dalam putusan yang dijatuhkan pengadilan,
nama tergugat yang meninggal, digantikan oleh ahli waris.159
Akan tetapi, penggantian kedudukan itu hanya dapat berlangsung, apabila
penggugat tidak keberatan. Apabila penggugat keberatan, kematian tergugat
dapat dijadikan alasan untuk memperbaiki gugatan. Hal ini ditegaskan dalam
Putusan MA No. 429 K/Sip/1971160 yang menyatakan, dalam hal tergugat
meninggal dunia selama proses pemeriksaan masih berlangsung, apabila
penggugat tidak keberatan pemeriksaan perkara dapat dilanjutkan oleh ahli
waris tergugat. Ternyata dalam berita acara sidang penggugat tidak ada
menyatakan keberatan perkara diteruskan oleh ahli waris tergugat maka
putusan PT yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima atas alasan
pertimbangan,gugatan semestinya diperbaiki lebih dahulu dengan cara
mengajukan gugatan langsung kepada ahli waris, tidak dapat dibenarkan.
Putusan yang dijatuhkan mengikat kepada ahli waris, tidak menjadi soal apakah
penggantian mereka lakukan berdasarkan kewajiban hukum maupun secara
sukarela.Setiap ahli waris yang bertindak menggantikan kedudukan tergugat
yang meninggal selama proses berlangsung,dengan sendirinya terikat terhadap
putusan yang dijatuhkan. Ketentuan itu ditegaskan dalam putusan MA
No.27K/Sip/1975.16i Kasusnya,Tergugat I meninggal pada saat proses masih
berlangsung.Janda dan anak-anak Tergugat I, bertindak atas kehendak sendiri
menggantikan kedudukan Tergugat I maka putusan
158 Tanggal 10-7-1975, op cit., Rangkuman Yurisprudensi, hlm.178.
159 Lihat Putusan MA No. 495 K/SIP/1973, 29-12-1975, ibid., hlm. 179.
160 Tanggal 10-07-1971, ibid.,hlm. 179.
161 Tanggal 20-10-1975, ibid.,hlm.184.
Scanned with CamScanner
2) yang menyangkut diri Tergugat I dengan sendirinya berlaku dan mengikat
kepada janda dan anak Tergugat I.
Penggugat Meninggal Digantikan oleh Ahli Waris
Sebagai pedoman, dikemukakan Putusan MA No.431 K/Sip/1973.162
Dijelaskan, apabila penggugat meninggal selama proses masih berlangsung:
penggugat digantikan oleh ahli waris berdasarkan titel umum;
namun untuk itu, harus ada persetujuan seluruh ahli waris;
apabila tidak tercapai persetujuan dari seluruh ahli waris untuk melanjutkan
gugatan semula, gugatan harus dinyatakan gugur.
Sepanjang mengenai syarat harus mendapat persetujuan dari seluruh ahli waris
yang disebut dalam putusan ini, perlu dipermasalahkan. Syarat itu dianggap
sempit (strict) dan formalistis. Bahkan dianggap bertentangan dengan putusan
MA yang lain. Ambil contoh Putusan MA No. 516 K/ Sip/1973163 yang
menegaskan:
"Pertimbangan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena hanya seorang ahli
waris yang menggugat, tidak dapat dibenarkan karena menurut yurisprudensi
MA tidak diharuskan semua ahli waris menggugat.”
Putusan No.431 K/Sip/1973 ini, juga bertentangan dengan putusan MA No.84
K/Sip/1974 yang telah dikemukakan terdahulu. Dalam putusan ini ditegaskan
meskipun tidak semua ahli waris turut menggugat, tidak bérakibat gugatan batal
atau gugatan tidak sah. Sebab ternyata apa yang penggugat tuntut adalah harta
warisan yang telah dihibahkan kepada mereka pada saat penghibah masih
hidup. Memerhatikan putusan-putusan tersebut, persetujuan semua ahli waris
untuk bertindak menggantikan kedudukan pewaris yang meninggal sebagai
penggugat, harus diterapkan secara lentur (flexible) dan kasuistik (case bycase).
Misalnya dalam kasus yang diperkarakan menyangkut harta warisan yang
dikuasai pihak tergugat (pihak ketiga), cukup seorang ahli waris saja yang
tampil. Tidak mesti diminta persetujuan dari semua ahli waris.
Memang benar, perlaķuan penggantian oleh ahli waris terhadap kedudukan
penggugat, dan tergugat adalah berbeda. Pada penggantian tergugat oleh ahli
waris, karakternya merupakan kewajiban hukum sehingga tidak perlu
persetujuan dari seluruh ahli waris. Sedangkan penggantian penggugat, sifat
dan karakternya adalah hak yaitu ahli waris penggugat berhak untuk mengganti
kedudukannya apabila dia meninggal. Dalam hal yang demikian ahli waris
berhak untuk meneruskan, atau tidak meneruskan gugatan.

162 Tanggal 9-5-1974,ibid,hlm.188.


163 Tanggal 25-11-1975,ibid.

Scanned with CamScanner


Namun demikian menurut pendapat kita,seorang saja ahli waris yang
tampil untuk melanjutkan hak itu, dianggap telah memenuhi syarat.
0.Gugatan Harta Bersama terhadap Pihak Ketiga,Cukup Suami atau Istri Hampir
sama halnya dengan harta warisan yang berada di tangan pihak ketiga, dibenarkan
salah seorang ahli waris saja yang bertindak sebagai penggugat. Tidak mesti semua
ahli waris ikut sebagai pihak. Begitu juga halnya mengenai harta bersama yang
dimiliki suami dan istri. Cukup suami atau istri saja yang bertindak sebagai
penggugat untuk menggugat harta bersama yang berada di tangan atau
penguasaan pihak ketiga tanpa hak. Penerapan yang seperi itu ditegaskan dalam
Putusan MA No. 231 K/Sip/1956164 Dijelaskan, untuk menuntut kembali harta
bersama (gono-gini) dari tangan pihak ketiga yang menguasainya secara tidak sah,
tidak harus suami-istri yang bertindak sebagai penggugat, tetapi dapat diajukan oleh
suami atau istri sendiri. Dalamkasus yang seperti ini, selama tidak ada kepentingan
pihak tergugat terhadap suami-istri, cukup salah seorang saja dari mereka yang
menggugat, sudah memenuhi syarat formil.
Memang sebaiknya, suami-istri yang tampil bertindak sebagai penggugat Akan tetapi
sekiranya suami atau istri saja pun yang bertindak, yurisprudensi telah membenarkannya.
Namun apabila barang yang disengketakan dengan pihak ketiga milik pribadi suami atau
istri sesuai dengan ketentuan Pasal 35 ayat (2)Undang-Undang Ņo. 1 Tahun 1974, yang
dapat bertindak sebagai penggugat, hanya pemilik barang tersebut. Misalnya, harta yang
diperkarakan denganpihak ketiga harta pribadi istri maka yang dapat bertindak menuntut,
hanya istri saja. Suami tidak dapat bertindak untuk menuntut tanpa surat kuasa dari istri.
Cara inilah yang ditegaskan Putusan MA No. 904 K/Sip/1973.165 Pertimbangannya
menyatakan, untuk mempertahankan harta bersama (gono-gini) terhadap pihak ketiga,
hukum membenarkan salah satu dari suami atau istri yang bertindak sebagai penggugat
atau tergugat. Akan tetapi kalau yang disengketakan dengan pihak ketiga adalah harta
pribadi istri, suami baru dapat bertindak apabila ada surat kuasa dari istri. Tanpa surat
kuasa, suami tidak dapat bertindak atas nama istri atau sebaliknya.
p. Orang Asing Dapat Ditarik sebagai Tergugat
Dalam perjanjian dan transaksi yang berkala internasional, dengan sendirinya
melekat unsur asing (foreign element), Paling tidak pihak yang terlibat dalam
perjanjian adalah orang asing atau warga negara asing yang bertempat tinggal di
luar negeri. Apabila timbul sengketa yang bersumber dari perjanjian dengan

164 Tanggal 16-12-1957, ibid,hlm.182.


165 Tanggal 29-10-1975, ibid., hlm.186.

Scanned with CamScanner


sendirinya terkait di dalamnya unsur elemen asing.Pada prinsipnya sesuai dengan
doktrin territorial sovereigntyatau asas kedaulatan teritorial, hakim dan pengadilan
Indonesia hanya dapat menjangkau Wilayah Republik Indonesia. Hukum dan
pengadilan Indonesia, tidak dapat melampaui batas teritorial atau tidak dapat
melakukan kewenangan yang bersifat extra-territorial.
Akan tetapi, bertitik tolak dari Pasal 100 Rv, prinsip kedaulatan teritorial tersebut
dapat diatasi. Pasal itu berbunyi:
”Seorang asing bukan penduduk, bahkan tidak berdiam di Indonesia dapat digugat
di hadapan Hukum Indonesia untuk perikatan-perikatan yang dilakukan di Indonesia
atau di mana saja dengan warga negara Indonesia.”166
Bertitik tolak dari Pasal 100 Rvtersebut, jangkauan kewenangan Pengadilan Indonesia,
tidak terbatas hanya terhadap warga negara Indonesia (WNI) saja tetapi meliputi orang
asing atau warga negara asing (WNA):
yang jadi penduduk Indonesia;
bahkan yang tidak berdiam di Indonesia (bukan penduduk Indonesia).
Mereka dapat ditarik sebagai pihak tergugat di depan Pengadilan atau hakim
Indonesia dengan syarat, sengkéta yang timbul:
bersumber dari perjanjian atau perikatan yang dilakukan atau dibuat di Indonesia,
maupun
perjanjian yang dibuat di mana saja dengan warga negara Indonesia.
Menurut Asikin,167 ketentuan Pasal 100 Rv yang memberi hak menggugat
orang asing di depan pengadilan Indonesia, merupakan hak overdadig yaitu hak
melampaui batas teritorial. Tujuannya untuk melindungi kepentingan hukum WNI
terhadap WNA. Hak overdadig ini disebut evocatie yang berarti menghadapkan
orang asing di muka pengadilan negara lain.
Meskipun hal ini tidak diatur dalam HIR, namun ketentuan Pasal 100 Rv tersebut dapat
diterapkan berdasarkan prinsip kepentingan beracara atau process doelmatigheid yang
tersirat pada Pasal 193 HIR. Dengan demikian penerapannya dapat menjangkau:
1) Orang Asing Dapat Dipersamakan dengan Negara Asing
Penerapan Pasal 100 Rv dapat diperluas meliputi negara asing. Tidak hanya
terbatas pada órang asing atau WNA. Negara asing dapat juga ditarik sebagai
tergugat di depan pengadilan Indonesia.

166 limpunan Peraturan Perundang-undangan RI,hlm.615.


167 Catatan pada Putusan MA No.3221 K/Pdt/1985,Tanggal 27-10-1986, Beberapa Yurisprudensi Perdata yang Penting,
op. cit., hlm. 17.

Bab 3 Ruang Lingkup Permasalahan Gugatan Kontentiosa

Scanned with CamScanner


2) Negara Asing Dikaitkan dengan Imunitas Yurisdiksi

Bersamaan dengan prinsip pengadilan Indonesia tidak boleh


melanggar extra territorial,negara asing maupun WNA,memiliki
imunitas yurisdiksi Akan tetapi,jika hak imunitas (immunity right)
yang dimilikinya dikaidkan dengan ketentuan Pasal 100
Rv,penerapannya adalah sebagai berikut.
Sepanjang tindakan yang dilakukan negara asing itu, dalam rangka
melaksanakan fungsi sebagai penguasa, terhadapnya berlaku asas
imunitas.Olch karena itu, negara asing tersebut tidak tunduk kepada
pengadilan Indonesia (pengadilan asing),sehingga tidak dapat ditarik sebagai
tergugat.
Akan tetapi, apabila tindakan yang dilakukan negara asing itu mumi bidang
perdata dengan WNI, seperti transaksi dagang, hak imunitasnya gugur. Dalam
kasus yang demikian, negara asing dapat ditarik sebagai tergugat di depan
pengadilan Indonesia.
q.Eksekusi Putusan Pengadilan Indonesia terhadap WNA Terbentur pada Doktrin
Teritorial Sovereignty
Meskipun Pasal 100 Rv secara formil membolehkan WNA atau negara asing dapat
ditarik sebagai tergugat di depan Pengadilan Indonesia, namun putusan yang
dijatuhkan akan menghadapi permasalahan pengakuan dan pelaksanaan
(recognition and enforcement) di negara asing tersebut. Pengakuan dan
pelaksanaan eksekusi putusan itu di negara lain, terbentur pada doktrin territorial
sovereignty. Doktrin ini merupakan dasar aturan yang menegaskan:
'putusan pengadilan yang diambil di suatu negara, tidak secara langsung diakui
dan dilaksanakan di negara lain;
doktrin territorial sovereignty hanya dapat diatasi melalui asas reciprocity
enforcement, berdasarkan perjanjian (agreement) bantuan peradilan atau judicial
assistant secara bilateral atau multilateral.168
Prinsip kėdaúlatan teritorial (territorial sovereignty principal) tersebut, dikenal
juga dalam hukum Indonesia. Prinsip itu diatur dalam Pasal 436 RV yang
menegaskan:
putusan hakim atau pengadilan asing tidak dapat dieksekusi di Indonesia;
atas putusan hakim atau pengadilan asing, perkaranya dapat diajukan untuk
diperiksa dan diputus sebagai perkara baru di pengadilan Indonesia;
apabila putusan itu diajukan sebagai perkara baru di Pengadilan Indonesia,
putusan pengadilan asing itu oleh Pengadilan Indonesia:

168Bandingkan,Setiawan,Arieka Masalah Hulaum dan Hulaum Acara Perdata,Alumni,Bandung,1992,


hlm.396.
Scanned with CamScanner
dapat dijadikan sebagai fakta hukum,
dapat dijadikan sebagai bukti otentik, dan
dapat dianggap mengandung fakta yang benar.
Jadi putusan pengadilan asing di Indonesia tidak dapat langsung diakui eksekusi,
tetapi harus lebih dahulu diajukan sebagai perkara baru di Pengadilan Indonesia itu, baru
dapat dilaksanakan eksekusi.

Scanned with CamScanner

Anda mungkin juga menyukai