GUGATAN KONTENTIOSA
A.PENGERTIAN
Telah dijelaskan, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 (sebagaimana
diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999), dan sekarang diatur dalam Pasal 16 ayat (1)
UU No. 4 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 14 Tahun 1970. Selanjutnya hal itu
dalam UU No. 48 Tahun 2009 sebagai pengganti UU No. 4 Tahun 2004 diatur dalam
Pasal 25 ayat (2). Tugas dan kewenangan badan peradilan di bidang perdata adalah
menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan sengketa di antara para
pihak yang beperkara. Hal inilah yang menjadi tugas pokok peradilan. Wewenang
pengadilan menyelesaikan perkara diantara pihak yang bersengketa, disebut yurisdiksi
contentiosa dan gugatannya berbentuk gugatan contentiosa atau disebut juga
contentious. Dengan demikian yurisdiksi dan gugatan contentiosa, merupakan hal yang
berbeda atau berlawanan dengan yurisdiksi gugatan voluntair yang bersifat sepihak
(ex-parte), yaitu permasalahan yang diajukan untuk diselesaikan pengadilan tidak
mengandung sengketa (undisputed matters), tetapi semata-mata untuk kepentingan
pemohon.
Lain halnya dengan gugatan contentiosa, gugatannya mengandung sengketa di
antara dua pihak atau lebih. Permasalahan yang diajukan dan di minta untuk
diselesaikan dalam gugatan, merupakan sengketa atau perselisihan di antara para
pihak (between contending parties). Di masa yang lalu bentuk ini disebut contentiosa
rechtspraak. Artinya, penyelesaian sengketa di pengadilan melalui proses sanggah-
menyanggah dalam bentuk replik (jawaban dari suatu jawaban),. dan duplik (jawaban
kedua kali). Atau disebut juga op tegenspraak,yaitu proses peradilan sanggah-
menyanggah.
Perkataan contentiosa atau contentious, berasal dari bahasa Latin. Salah satu arti
perkataan itu, yang dekat kaitannya dengan penyelesaian sengketa perkara adalah
penuh semangat bertanding atau berpolemik.! Itu sebabnya
B. BENTUK GUGATAN
Bentuk gugatan perdata yang dibenarkan undang-undang dalam praktik, dapat dijelaskan
sebagai berikut.
1. Berbentuk Lisan
Bentuk gugatan lisan, diatur dalam Pasal 120 HIR (Pasal 144 RBG) yang
menegaskan:
Bilamana penggugat buta hurufmaka surat gugatannya dapat dimasukkan dengan lisan kepada
Ketua Pengadilan Negeri, yang mencatat gugatan itu atau menyuruh mencatatnya.
Pada saat undang-undang (HIR) ini dibuat tahun 1941 (St.1941,No 44), ketentuan Pasal 120
ini benar-benar realistis, mengakomodasi kepentingan anggota masyarakat buta huruf yang
sangat besar jumlahnya pada saat itu. Ketentuan ini sangat bermanfaat membantu masyarakat
buta huruf yang tidak mampu membuat dan memformulasi gugatan tertulis. Mereka dapat
mengajukan gugatan dengan lisan kepada Ketua PN, yang oleh undang-undang diwajibkan
untuk mencatat dan menyuruh catat gugat lisan, dan selanjutnya Ketua PN memformulasinya
dalam bentuk tertulis. Selain itu, ketentuan ini melepaskan rakyat kecil yang tidak mampu
menunjuk seorang kuasa atau pengacara,karena tanpa bantuan pengacara dapat memperoleh
bantuan pertolongan dari Ketua PN untuk membuat gugatan yang diinginkannya.
Tanpa mengurangi penjelasan di atas, ada pihak yang berpendapat, ketentuan ini tidak
relevan lagi. Bukankah tingkat kecerdasan masyarakat sudah jauh meningkat dibanding masa
lalu. Apalagi, perkembangan jumlah pengacara yang sudah mencapai kota kabupaten,
memperkuat alasan tentang tidak relevannya gugatan secara lisan.Namun
demikian,menerhatikan luasnya
9 Ibid.,hlm.128.
Fungsi Ketua PN
Ketua PN wajib memberi layanan,
pelayanan yang harus diberikan Ketua PN:
mencatat atau menyuruh catat gugatan yang disampaikan penggugat, dan
merumuskan sebaik mungkin gugatan itu dalam bentuk tertulis sesuai yang
diterangkan penggugat.
10
No.369 K/Sip/1973, 4-12-1975.
2. Bentuk Tertulis
Gugatan yang paling diutamakan adalah gugatan dalam bentuk tertulis.Hal ini ditegaskan
dalam Pasal 118 ayat (1) HIR (Pasal 142 RBG). Menurut pasal ini, gugatan perdata harus
dimasukkan kepada PN dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat
atau kuasanya. Memerhatikan ketentuan ini,yang berhak dan berwenang membuat dan
mengajukan gugatan perdata adalah sebagai berikut.
a. Penggugat Sendiri
Surat gugatan dibuat dan ditandatangani oleh penggugat sendiri. Kebolehan penggugat
membuat, menandatangani, dan mengajukan sendiri gugatan ke PN, adalah karena HIR
maupun RBG, tidak menganut sistem Verplichte Procureur Stelling, yang mewajibkan
penggugat harus memberi kuasa kepada yang berpredikat pengacara atau advokat untuk
mewakilinya, sebagaimana hal itu dahulu dianut oleh Reglement op de Rechtvordering
(Rv).
Kebolehan ini dengan tegas disebut dalam Pasal 118 ayat (1) HIR, dengan demikian:
tidak ada keharusan atau kewajiban hukum bagi penggugat untuk menguasakan
atau memberi kuasa dalam pembuatan, penandatanganan, serta pengajuan
gugatan kepada seseorang yang berpredikat pengacara atau advokat;12
akan tetapi, hal itu tidak mengurangi haknya untuk menunjuk seseorang atau beberapa
orang kuasa, yang akan bertindak mengurus kepentingannya dalam pembuatan dan
pengajuan gugatan. 13
b. Kuasa
Selanjutnya, Pasal 118 ayat (1) HIR, memberi hak dan kewenangan kepada kuasa atau
wakilnya untuk membuat, menandatangani, mengajukan atau menyampaikan surat
gugatan kepada PN. Ketentuan ini,sejalan dengan yang digariskan pada Pasal 123
ayat(1)HIR yang mengatakan,baik penggugat dan tergugat (kedua belah pihak):
11 No.195 K/Sip/1955, 28-11-1956, Majalah Hukum 1957 No. 7-8, hlm. 29.
12 Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Jakarta, 1977,hlm.11.
13 Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia,Liberty, Yogyakarta, 1998, hlm. 11.
yang tidak mencantumkan tanggal, dapat diselesaikan berdasarkan pada tanggal register
15 No.769 K/Sip/1976,24-8-1978.
16 Lihat Abdulkadir Muhammad,Hulkum Acara Perdata Indonesia,Citra Aditya Bakti,Bandung,1992. hlm.41.
24 Undang-Undang tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah
25 Beberapa arisprudensi Pentara yang Penting, Edisi II, MA RI, Jakarta 1992.
26 SEMA No.09 Tahum 1976, 16 Desember 1976, Himpunan SEMA dan PERMA tahun 1951-
1997, MA Februari 1999,hlm、335.
27 MA No. 995 K/Sip/1975, 8-8-1975, Rangkuman Yurisprudensi MA, II, Hukum Perdata dan Acara Perdata,MA
R1,hlm.195.
28 MA No. 4 K/Sip 1958, 13-12-1958, ibid., hlm. 206.
29 MA No. 616 K/Sip/1973,5-6-1975,ibid.
30 MA No. 873 K/Sip/1975, 6-5-1977, ibid., hlm. 303.
6. Petitum Gugatan
Syarat formulasi gugatan yang lain, adalah petitum gugatan.Supaya gugatan sah,
dalam arti tidak mengandung cacat formil, harus mencantumkan petitum gugatan
yang berisi pokok tuntutan penggugat, berupa deskripsi yang jelas menyebut
satu per satu dalam akhir gugatan tentang hal-hal apa saja yang menjadi pokok
tuntutan penggugat yang harus dinyatakan dan dibebankan kepada tergugat.
Dengan kata lain petitum gugatan, berisi tuntutan atau permintaan kepada
pengadilan untuk dinyatakan dan ditetapkan sebagai hak penggugat atau
hukuman kepada tergugat atau kepada kedua belah pihak. Ada beberapa istilah
yang sama maknanya dengan petitum; seperti petita atau petitory maupun
conclusum. Akan tetapi, istilah yang baku dan paling sering dipergunakan dalam
praktik peradilan adalah petitum atau pokok tuntutan.
2. Asas Pemeriksaan
Ada beberapa prinsip atau asas yang harus ditegakkan dan diterapkan dalam proses
pemeriksaan kontradiktor, antara lain sebagai berikut.
a. Mempertahankan Tata Hukum Perdata (Burgerlijke Rechtsorde)
Dalam penyelesaian perkara melalui proses perdata,hakim dalam melaksanakan fungsi
peradilan'yang diberikan undang-undang kepadanya, berperan dan bertugas untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice). Untuk mencapai
hal itu, hakim bertugas mempertahankan tata hukum perdata sésuai dengan kasus yang
disengketakan dengan acuan:
akan dilawan atau tidak. Sekiranya pun tahu apa yang didalilkan dalam
atau mengakuinya. Sejalan dengan itu, tidak ada kewajiban hukum bagi
dipenuhi,kelalaian atau
1. Syarat Pengguguran
Supaya pengguguran gugatan sah menurut hukum harus dipenuhi syarat
sebagai berikut.
a. Penggugat Telah Dipanggil secara Patut
Penggugat telah dipanggil secara patut apabila:
surat panggilan atau exploot telah dilakukan secara resmi oleh juru sita sesuai
dengan ketentuan undang-undang, untuk hadir atau menghadap pada hari
tanggal sidang yang ditentukan;
panggilan dilakukan dengan patut, yaitu antara hari panggilan dengan hari
persidangan tidak kurang dari tiga hari.
b. Penggugat Tidak Hadir Tanpa Alasan yang Sah (Unreasonable Default)
Syarat yang kedua,penggugat tidak hadir atau tidak menghadap persidangan
yang ditentukan tanpa alasan yang sah, dan juga tidak menyuruh kuasa atau
orang lain untuk mewakilinya. Jika ketidakhadiran berdasarkan alasan yang sah
(reasonable default), ketidakhadiran penggugat tidak dapat dijadikan alasan
untuk menggugurkan gugatan. Pengguguran yang demikian tidak sah dan
bertentangan dengan hukum.
2. Pengguguran Dilakukan Hakim secara Ex-Officio
Pasal 124 HIR memberi kewenangan secara ex officio kepada hakim untuk
menggugurkan gugatan, apabila terpenuhi syarat dan alasan untuk itu. Dengan
demikian kewenangan itu, dapat dilakukan hakim, meskipun tidak ada
permintaan dari pihak tergugat. Namun hal itu, tidak mengurangi hak tergugat
untuk mengajukan permintaan pengguguran. Malahan beralasan tergugat
mengajukannya, karena ketidakhadiran penggugat dianggap merupakan
49 Pedoman Peluksunuan Tugas dan Administrasi Pengudilan, Buku II, MA RI, Jakarta, 1994,hlm.121.
perkara, sehingga dalam putusan tidak melekat ne bis in idem yang digariskan
kekuatan hukum tetap (res judicata),pada putusan tidak melekat unsur ne bis in
idem.
b. Putusan Pengguguran Dijatuhkan secara Sederhana
Mengenai menjatuhkan putusan pengguguran gugatan,dapat berpedoman
kepada ketentuan Pasal 176 Rv:
51 Ibid.
52 Subekti, op.cit,hlm.56.
55 Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, op. cit.; hlm. 123 angka 23.
diberi wewenang untuk itu oleh penggugat tidak sah (illega), dan
61 Ibid.
62 Abdulkadir, op.cit.,hlm.71.
G. PERUBAHAN GUGATAN
Permasalahan selanjutnya mengenai gugatan adalah perubahan
gugatan.Apakah penggugat boleh melakukan perubahan gugatan? Pertanyaan
ini mengandung dua sisi kepentingan. Satu segi, dalam kenyataan praktik,
dibutuhkan peruhahan gugatan agar tidak mengalami cacat formilobscuur libel.
Pada segi lain membolehkan perubahan gugatan, dapat mendatangkan
kerugian kepada tergugat.Bahkan bisa menimbulkan proses pemeriksaan
terhambat yang dapat merugikan kepentingan tergugat.4
Sehubungan dengan itu, jika perubahan gugatan dibenarkan, perlu dilindungi
kepentingan para pihak secara seimbang dan proporsional,sehingss terbina suatu
kerangka tata tertib, bahwa kebolehan penggugat melakukan perubahan gugatan pada
satu segi,tidak merugikan kepentingan tergusat
64 Lihat,Sudikno Mertokusumo,op.cit.,hlm.77.
ditegaskan juga oleh MA dalam buku II, antara lain menyatakan: perubahan atau
mana para pihak hadir, dan harus dinyatakan kepada pihak tergugat guna
pembelaan kepentingan.
dalam Rv sendiri,ketentuan mengenai perubahan gugatan, hanya terdini dari satu
pasal, yaitu Pasal 127 yang berbunyi,70 Penggugat berhak untuk mengubah atau
mengurangi tuntutannya sampai saat perkara diputus, tanpa boleh mengubah atau
menambah pokok gugatannya.
Dengan demikian, pembahasan selanjutnya mengenai perubahan gugatan,
hertitik tolak dari Pasal 127 Rv tersebut, dihubungkan dengan yurisprudensi
yang berkaitan dengannya.
2. Perubahan Gugatan Merupakan Hak
Menurut Pasal 127 Rv, perubahan gugatan merupakan hak yang diberikan
kepada penggugat. Berarti, hakim maupun tergugat tidak boleh menghalangi dan
melarangnya. Penggugat bebas mempergunakan hak itu, asalkan berada dalam
kerangka yang dibenarkan hukum. Dalam praktik sebagaimana yang tercermin
dalam putusan pengadilan, tidak tegas menyebut perubahan itu sebagai hak
penggugat. Tetapi menggunakan istilah lain, seperti diperbolehkan. Penggunaan
istilah ini dijumpai pada catatan Asikin Kusuma Atmadja, sehubungan dengan
Putusan MA No. 934 K/Pdt/1984,19 September 1985," antara lain mengatakan:
"Sesuai yurisprudensi perubahan gugatan tuntutan selama persidangan
diperbolehkan". Selain itu ada pula putusan yang memakai kata "mengizinkan".
Istilah ini ditemukan dalam salah satu putusan MA2 yang menyatakan antara
lain, yurisprudensi mengizinkan perubahan atau tambahan gugatan asalkan
tidak mengakibatkan perubahan posita gugatan.
Lain pula istilah yang dikemukakan MA dalam buku pedoman." Di situ
dipakai sebutan diperkenankan (perubahan dan atau penambahan gugatan
diperkenankan).
74 Ibid.,hlm.123.
75 Tanggal 14 Oktober 1970, Ranglauman Yurisprudensi MA RI,op.cit.hlm.200.
Scanned with CamScanner
Sehubungan dengan sifat ekstremnitas yang melekat pada kedua penggarisan itu,
dihubungkan dengan segala kelemahan yang terkandung di dalamnya, kurang tepat untuk
menerapkannya. Lebih baik menerapkan tenggang waktu yang bersifat moderat.
Membolehkan mengajukan perubahan tidak hanya terbatas pada sidang pertama, tidak
juga dibenarkan selama proses pemeriksaan berlangsung, tetapi dibolehkan sampai
proses pemeriksaan memasuki tahap replik dan duplik.
76 Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan, op. cit., hlm. 123, angka 26.
77 Subekti,Hukum Acara Perdata,Bina Cipta, Jakarta, 1977, hlm. 67.
79
Subekti, op.cit.,hlm.67..
Scanned with CamScanner
Menurut Soepomo,perkataan"pokok gugatan" berasal dari onderwerp van den
eis. Beliau mengakui perkataan ini, tidak terang artinya. Kita sependapat dengan
penegasan, sehingga perkataan itu dalam pengkajian yurisprudensi tergolong
penggarisan kabur (vague outline) atau mengandung pengertian luas (broad term).
Namun demikian, beliau mengemukakan, dalam praktik onderwerp memuat juga arti
middelen berupa hal-hal yang menjadi dasar tuntutan.80
Sementara,Subckti mengemukakan pengertian kejadian materiil gugatan, dan
Soepomo mengartikan hal-hal yang menjadi dasar tuntutan maka Sudikno
menjelaskan,8' menurut praktik selain"meliputi juga dasar tuntutan, termasuk
peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar tuntutan”. Sebagai ilustrasi beliau
mengemukakan contoh perubahan yang dilarang. Tuntutan semula agar perjanjian
dipenuhi, diubah menjadi perjanjian diputuskan.
Demikianlah,gambaran pengertian umum pokok gugatan.Meskipun diakui
pengertian yang dikemukakan kabur (kurang terang), namun sekadar pegangan
dalam praktik dapat dijadikan pedoman secara kasuistik. Sehubungan dengan itu,
pengertian pokok gugatan secara umum adalah materi pokok gugatan atau materi
pokok tuntutan, atau kejadian materiil gugatan. Oleh karena itu, batas umum
perubahan atau pengurangan gugatan, tidak boleh mengakibatkan terjadinya
perubahan kejadian materiil gugatan.
b. Pembatasan secara Kasuistik Berdasar Praktik Peradilan
Uraian berikut ini, memperlihatkan penerapan pembatasan perubahan gugatan
yang bersumber dari praktik peradilan. Bertitik tolak dari putusan pengadilan, dapat
dilihat penerapan yang bercorak variabel dan kasuistik.
1) Tidak Boleh Mengubah Materi Pokok Perkara
Salah satu variabel yang merupakan sisi lain (derivative) dari istilah pokok
perkara adalah istilah materi pokok perkara. Jadi, dilarang perubahan gugatan
atau tuntutan yang menimbulkan akibat terjadinya perubahan materi pokok
perkara. Penegasan ini, terdapat dalam Putusan MA No. 547 K/Sip/1973,82
yang menyatakan: perubahan gugatan mengenai materi pokok perkara adalah
perubahan tentang pokok gugatan, olehkarena itu harus ditolak.
Sebenarnya, hampir tidak ada perbedaan substansial antara pengertian pokok
gugatan dengan materi pokok gugatan.Kedua istilah dan pengertian itu,bersifat
saling dapat dipertukarkan (interchangeable).Arti materi pokok perkara sama
dengan materi pokok gugatan.
80 Soepomo,Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri,Pradnya Paramita,Jakarta,1993,hlm.26. 81
Ibid,hlm.77.
82 Tanggal 17-12-1975.
H.PENGGABUNGAN GUGATAN
1. Pengertian dan Pengaturan
Secara teknis mengandung pengertian penggabungan beberapa gugatan dalam
satu gugatan. Disebut juga kumulasi gugatan atau samenvoeging van
vordering,92 yaitu penggabungan dari lebih satu tuntutan hukum ke dalam satu
gugatan. Pada prinsipnya, setiap gugatan harus berdiri sendiri,93 Masing-masing
gugatan diajukan dalam surat gugatan yang terpisah secara tersendiri, dan
diperiksa serta diputus dalam proses pemeriksaan dan putusan yang terpisah dan
berdiri sendiri. Akan tetapi dalåm hal dan batas-batas tertentu, dibolehkan
92 Soepomo,op.cit.,hlm.27.
93 Subekti, op. cit., hlm. 73.
2.Tujuan Penggabungan
Perhatikan kembali Putusan MA No. 575 K/Pdt/1983.Dalam pertimbangannya
secara tersirat dikemukakan manfaat dan tujuan penggabungan. Begitu juga dalam
Putusan MA No. 880 K/Sip/19707, terdapat pertimbangan mengenai manfaat dan
tujuan penggabungan. Antara lain dijelaskan, bahwa benar HIR dan RBG tidak
mengatur kumulasi gugatan. Akan tetapi kalau antara masing-
94 Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, op. cit., hlm. 125.
95 Ibid.,hlm.20.
96Tgl 20-6-1984,jo.PT Tanjumg Karang No.36/1982 gl.31-8-1983,jo.PN Tanjung Karang No.35/1981,
97 Tanggal 6-5-1975 Beberapa Yurisprudensi yang Penting, op. cit'; hlu. 197. tgl.24-3-1982.
100 Ibid.,hlm.28.
101 Tanggal 16-3-1985,jo.PT Surabaya No.861/1982,jo.PN Surabaya No.141/1979.
4. Bentuk Penggabungan
Dalam teori dan praktik, dikenal dua bentuk penggabungan:
a. Kumulasi Subjektif
Pada bentuk ini, dalam satu surat gugatan terdapat:
beberapa orang penggugat, atau
beberapa orang tergugat.
112Telah beberapa kali diubah.Mula-mula dengan UU No. 19 Tuhun 1992 Kemudian dengan UU No.
14 Tahun 1997, dan terakhir dengan UU No. 15 Tahun 2001, tanggal 1 Agustus 2001.
113 Tgl. 30-6-1984, Varia Peradilan, Thn II, No. 23, Agustus 1987, hlm.68.
114Lihat,M Yahiya Harahap,Kedudukan Kewenangan dun searalperaditan Agama,Sinar Gnile Jakarta,2001,hlm.266.
118Tanggal 18-12-1485,jo.PT Samarinda. No. 178/1983, 21-9-1984 jo. PN Samarinda No. 96/1982,
5-3-1983.
119Tanggal 18-9-1483,jo.PT Bandung No.454/1982,Tanggal 9-6-1983,jo.PN Bandung No. 6/1982, 25-
8-1982.
17-6-1978.
121 Tanggal 28-1-1985,jo,PT Semarang No.254/1980 12-11-1981.io.PN Klaten.No.1/1978,
Scanned with CamScanner
pelanggaranatasnya mengakibatkan gugatan cacat formil dalam bentuk
plurium litis consortium, yaitu yang ditarik sebagai pihak tergugat tidak
lengkap dan masih kurang.
Salah satu contoh Putusan MA yang berpegang secara tegas terhadap prinsip
umum tersebut, menyatakan:122
secara formil harus ikut digugat pihak ketiga dari siapa tanah terperkara
diperoleh tergugat;
tergugat memperoleh tanah sah berdasar Surat Penyerahan Tanah
(SPT)No.SHPT 554/1 2/58,16-12-1959 yang dikeluarkan Penguasa Perang
Daswati I SUMUT atas persil No.585,
semula yang memperoleh dari penguasa perang adalah J.B. dan mengalihkan
kepada B.S., kemudian tergugat memperolehnya dari B.S. dengan membayar
ganti rugi berdasarkan Surat Ganti Rugi 10-3-1972;
memerhatikan fakta-fakta tersebut MA berpendapat, supaya gugatan tidak
mengandung cacat plurium litis consortium, penggugat harus mėnarik J.B. dan
B.S. sebagai tergugat.
2) Pihak Ketiga yang Telah Diperiksa Sebagai Saksi, Tidak Perlu Ditarik Sebagai Pihak
Terhadap prinsip umum yang dikemukakan di atas, telah terjadi pelenturan
dalam praktik peradilan. Keharusan menarik pihak ketiga sebagai tergugat
dilenturkan dengan cara menjadikannya sebagai saksi. Dengan demikian.
meskipun pihak ketiga dari siapa objek tanah sengketa diperoleh tidak ditarik
sebagai tergugat, hal itu dapat ditolerir dengan syarat asal pihak ketiga itu
diperiksa sebagai saksi. Tidak menjadi soal pihak mana yang mengajukannya
sebagai saksi. Sebagai contoh Putusan MA No.1883 K/ Pdt/1984123 antara lain
mengatakan, pihak ketiga dari siapa tanah terperkara diperoleh, tidak perlu ikut
digugat, apabila orang itu telah diperiksa sebagai saksi. MA
mempertimbangkan, dalam kasus ini pihak ketiga dari siapa tanah terperkara
diperoleh tergugat, tidak mutlak ikut digugat. Meskipun terbukti tanah itu
diperoleh dari pihak ketiga (J. Rembay) atas dasar tukar-menukar, dan ternyata
J. Rembay telah diperiksa sebagai saksi, hal itu telah melepaskan kewajiban
hukum bagi penggugat untuk menarik dan mengikutsertakan J. Rembay
sebagai tergugat. Pendirian yang sama dinyatakan dalam Putusan MA
No.1826K/Pdt/1984.124 Menurut putusan
122 MA No. 2752K/Pdt1983, 12-12-1948, jo. PT Medan No. 30/1983,25-6-83, jo. PN Medan, No.
115/1982,12-1-1983.
123 Tanggal 17-10-1985, jo. PT Manado No. 155/1983, 8-11-1989 jo. PN Tondano, No. 118/1982, 25-1-1983.
124 Tanggal 21-11-1985,jo.Scmarang No.88/1982,27-10-1989,jo.PN Klaten No. 94/1979, 27-1-1987.
142 Tanggal 15-2-1992, Varia Peradilan, tahun VIII, No. 82 Juli 1992, hlm. 42.
Pasal 16 dan 17 KUHD menjelaskan, persekutuan Firma adalah Perikatan yang diadakan
untuk menjalankan perusahaan dengan memakai nama bersama. Setiap sekutu mempunyai
wewenang untuk bertindak mengeluarkan dan menerima uang atas nama persekutuan dan
mengikat persekutuan dengan pihak ketiga,dan pihak ketiga dengan persekutuan apabila hal
ciri subsidiary yang identik dengan perjanjian pokok,memberi hak opsi kepada
152 Tanggal 16-11-1989, Varia Peradilan, Tahun V No. 58, Juli 1990, hlm. 66.
153 Tanggal 31-5-1989, Vana Peradilan, Tahun V No. 53, Februari 1990, hlm. 52.
154 Himpunan SEMA dan PERMA, Februari 1999,hlm.434.