Anda di halaman 1dari 7

BAB II

CARA MENGAJUKAN GUGAT

1. PENGERTIAN PERMOHONAN DAN GUGATAN

Di samping perkara gugatan, dimana terdapat pihak penggugat dan pihak tergugat, ada
perkara-perkara yang disebut permohonan, yang diajukan oleh seorang pemohon atau lebih secara
bersama-sama.

Perbedaan antara gugatan dan permohonan adalah bahwa dalam perkara gugatan ada suatu
sengketa atau konflik yang harus diselesaikan dan diputus oleh pengadilan.

Dalam suatu gugatan ada seorang atau lebih yang “merasa” bahwa haknya atau hak mereka
telah dilanggar, akan tetapi orang yang “dirasa” melanggar haknya atau hak mereka itu, tidak mau
secara sukarela melakaukan sesuatu yang diminta itu. Untuk penentuan siapa yang benar dan
berhak, diperlukan adanya suatu putusan hakim. Di sini hakim benar-benar berfungsi sebagai hakim
yang mengadili dan memutus siapa diantara pihak-pihak tersebut benar dan siapa yang tidak benar,
misalnya dalam contoh kasus Atikah dan Yakub tersebut di atas.

Dalam perkara yang disebut permohonan tidak ada sengketa, misalnya apabila segenap
ahliwaris almarhum secara bersama-sama menghadap ke pengadilan untuk mendapat suatu
penetapan perihal bagian masing-masing dari warisan almarhum berdasarkan ketentuan pasal 263a
H.I.R. Disini hakim hanya sekedar emberi jasa-jasanya sebagai seorang tenaga tata usaha negara.
Hakim tersebut mengeluarkan suatu penetapan atau lazimnya disebut declaratoir, yaitu suatu
putusan yang bersifat menetapkan, menerangkan saja. Dalam persoalan ini hakim tidak
memutuskan sesuatu konflik seperti halnya dalam perkara gugatan (bandingkan dengan putusan
Mahkamah Agung tanggal 23 Oktober 1957 No. 130 K/Sip/1957, termuat dalam Hukum Majalah
Pahi 1958 No. 7-8, halaman 102).

Permohonan banyak diajukan di muka pengadilan negeri adalah mengenai permohonan


pengangkatan anak angkat wali, pengampu, perbaikan akta catatan sipil dan sebagainya.

2. PERIHAL KEKUASAAN MUTLAK DAN KEKUASAAN RELATIF

Agar supaya suatu gugatan jangan sampai diajukan secara keliru, maka dalam cara
mengajukan gugatan harus diperhatikan benar-benar oleh penggugat bahwa gugatan harus iajukan
secara tepat kepada badan pengadilan yang benar-benar berwenang untuk mengadili persoalan
tersebut.

Dalam hukum acara perdata dikenal 2 macam kewenangan, ialah:

a. Wewenang mutlak atau absolute competentie.


b. Wewenang relatif atau relative competentie.

Wewenang mutlak adalah menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan,


dilihat dari macam-macam pengadilan menyangkut pemberian kekuasaaan untuk mengadili, dan
dalam bahasa Belanda disebut attribute van rechtsmacht. Misalnya persolan mengenai perceraian,
bagi mereka yang beragama Islam berdasarkan ketentuan pasal 63 (1)a Undang-Undang No. 1 tahun
1974 adalah wewenang pengadilan agama. Sedangkan persoalan warisan, sewa menyewa, utang
piutang, jual beli, gadai, hipotik adalah merupakan wewenang pengadilan negeri. Wewenang mutlak
menjawab pertanyaan, badan peradilan macam apa yang berwenang untuk mengadili sengketa ini?

Lawan dari wewenang mutlak adalah wewenang relatif. Ia menjawab peertanyaan pengadilan
negeri yang dimana yang berwenang untuk mengadili perkara ini? Pengadilan negeri di Bandung, di
Jakarta atau pengadilan negeri di Garut?

Wewenang relatif mengatur pembagian kekuasaan mengadili antarapengadilan yang serupa,


tergantung dari tempat inggal tergugat. Pasal 118 H.I.R. menyangkut kekuasaan relatif yang dalam
bahasa Belanda disebut distributie van rechtsmacht. Azasnya adalah “yang berwenang adalah
pengadilan negeri tempat tinggal tergugat”. Azas ini dalam bahasa Latin dikenal dengan sebutan
“Actor Sequitur Forum Rei”.

Apa itu tempat tinggal? Dan apa pula yang dimaksud dengan tempat kediaman? Perbedaan ini
perlu dipahami dengan sebaik-baiknya oleh karena pasal 118 ayat 1 H.I.R. di samping tempat tinggal
menyebut pula tempat kediaman. H.I.R. tidak memberikan penjelasannya tentang hal itu.

Pasal-17 B.W. menyatakan bahwa tempat tinggal seorang adalah tempat di mana seseorang
menempatkan pusat kediamannya. Mungkin akan lebih jelas apabila dikemukakan, bahwa tempat
tinggal seseorang dapt dilihat dari kartu penduduk orang tersebut. Tempat tinggal adalah di mana
seseorang berdiam dan tercatat sebagai penduduk. Sedang tempat kediaman adalah di mana
seseorang berdiam, mungkin di rumah peristirahatannya di Puncak.

Apabila seseorang pindah tanpa meninggalkan alamat barunya, dan tempat tinggalnya atau
tempat kediamannya tidak diketahui, maka ia digugat pada pengadilan negeri tempat tinggalnya
yang terakhir dan dalam surat gugatan disebutkan “paling akhir bertempat tinggal, umpamanya, di
Jalan Cihapi No. 600 Bandung, sekarang alamat tidak diketahui”. Gugatan terhadap orang tersebut
diajukan pada pengadilan negeri tempat tingggal terakhir, ialah pengadilan negeri Bandung.
Terhadap azas Actor Sequitur Forum Rei, terdapat beberapa pengecualian, misalnya yang terdapat
dalam pasal 118 H.I.R itu sendiri :

(1) Gugat diajukan pada pengadilan negeri tempat kediaman tergugat, apabila tempat tinggal
penggugat tidak diketahui.
(2) Apabila tergugat terdiri dari 2 orang atau lebih, gugat diajukan pada tempat tinggal salah
seorang dari para tergugat, terserah pilihan dari penggugat, jadi penggugat yang menentukan
di mana ia mengajukan gugatannya.
(3) Akan tetapi dalam ad 2 tadi, apabila pihak tergugat ada 2 orang, yaitu yang seorang misalnya
adalah yang berhutang dan yang lain penjaminnya, maka gugat harus diajukan kepada
pengadilan negeri pihak yang berhutang. Sehubungan dengan hal ini perlu dikemukakan,
bahwa secara analogis dengan ketentuan yang termuat dalam pasal 118 (2) bagian akhir ini,
apabila tempat tinggal tergugat dan turut tergugat berbeda, gugatan harus diajukan di tempat
tinggal tergugat.
(4) Apabila tempat tinggal dan tempat keiaman tergugat tidak dikenal, gugat diajukan kepada
ketua pengadilan negeri tempat tinggal penggugat atau salah seorang dari penggugat.
(5) Dalam ad 4 tadi, apabila gugatan adalah mengenai barang tetap, dapat diajukan kepada ketua
pengadilan negeri di mana barang tetap itu terletak. Gugatan ini harus tentang barang tetap,
artinya untuk mendapatkan barang tetap tersebut, bukan misalnya gugatan yang menyangkut
pembayaran uang sewa dari barang tetap tersebut. Hal ini berbeda dengan ketentuan-
ketentuan yang terdapat pada pasal 99 (8) R.V. dan pasal 142 (5) R.Bg, di mana dalam hal
gugat menyangkut barang tetap, gugat diajukan kepada pengadilaln negeri di wilayah hukum
mana barang tetap tersebut terletak.
(6) Apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta, gugat diajukan kepada ketua
pengadilan negeri tempat tinggal yang dipilih dalam akta tersebut. Pemilihan domocilie ini
hanya merupakan suatu hak istimewa yang diberikan kepada penggugat. Apabila pihak
penggugat mau, ia dapat mengajukan gugat di tempat tinggal tergugat.

Pengecualian-pengecualian lain, misalnya yang terdapat dalam B.W., R.V. dan undang-undang
tentang perkawinan (U.U. No. 1 tahun 1974-LN 1974 No. 1-TLN No. 3019) antara lain adalah:

(1) Apabila dalam hal tergugat tidak cakap untuk menghadapi di muka pengadilan, gugat diajukan
kepada ketua pengadilan negeri tempat tinggal orang tuanya. Waliny atau pengampunya
(pasal 21 B.W.).
(2) Yang menyangkut pegawai negeri, yang berwenang untuk mengadilinya adalah pengadilan
negeri di daerah mana ia bekerja (pasal 20 B.W.).
(3) Buruh yang menginap di tempat majikannya, yang berwenang untuk mengadilinya adalah
pengadilan negeri tempat tinggal majikan (pasal 22 B.W.).
(4) Tentang hal kepailitan, yang berwenang untuk mengadilinya adalah pengadilan negeri yang
menyatakan tergugat pailit (pasal 99 ayat 15 R.V.).
(5) Tentang penjaminan (vrijwaring), yang berwenang untuk mengadilinya adalah pengadilan
negeri yang pertama di mana pemeriksaaan dilakukan (pasal 99 ayat 14 R.V.).
(6) Yang menyangkut permohonan pembatalan perkawinan, diajukan kepada pengadilan negeri
dalam daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami-
isteri, suami atau isteri (pasal 25 juncties, pasal 63 (1) b. U.U. No. 1 tahun 1974, pasal 28 (1)
dan (2) Peraturan pemrintah (P.P.) No. 9 tahun 1975).
(7) Gugatan perceraian dapat diajukan kepada pengadilan negeri di tempat kediaman penggugat.
Dalam hal tergugat bertempat tinggal di luar negeri, gugatann diajukan di tempat kediaman
penggugat dan ketua pengadilan negeri menyampaikan permohonan tersebut kepada
tergugat melalui perwakilan republik Indonesia setempat (pasal 40 jis pasal 63 (1) b. U.U. No.
1 tahun 1984, pasal 20 (2) dan (3) P.P. No. 9 tahun 1975).

Ketentuan yang terdapat dalam pasal 20 (2) P.P. No. 9 tahun 1975, mengabulkan gugatan
perceraian dengan perstek. Putusan perceraian bersifat constitutif. Apabila putusan itu didaftarkan
oleh penggugat kepada catatan sipil dapat dikeluarkan akta perceraian. Setelah habis tenggang
waktu masa tunggu, janda/wanita tersebut dapat melangsungkan perkawinan dengan pria lain.

Jelas, bahwa perceraian ini oleh penggugat dengan itikad buruknya telah direncanakan
terlebih dahulu. Apabila dikemudian hari tergugat mengajukan peninjauan kembal sulit untuk
mengembalikan segala sesuatu pada keadaan semula.

Untuk mencegah hal tersebut, panggilan terhadap tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya
di Indonesia, selain apa yang telah diatur dalam pasal 27 (1) s/d (4) hendaknya ditambah lagi dengan
syarat lain: Misalnya panggilan melalui surat kabar atau mass media yang terbit di ibu kota dengan
oplag terbanyak dan satu surat kabar yang berbahasa Inggris, yang kesemuanya itu harus dilakukan
3 kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama, kedua da berikutnya,
sedang tenggang waktu terakhir persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 4 bulan. Sekiranya ini
akan ditelaah lebih lanjut oleh hukum acara perdata nasional kita.

Menurut pasal 207 B.W. gugat perceraian diajukan kepada pengadilan negeri tempat tinggal
suai. Hanya dalam hal-hal tertentu saja, misalnya dalam hal suami telah meninggalkan temoat
tinggal bersama dengan maksud jahat (kwaadwilige verlating), gugat diajukan pada pengadilan
negeri tempat kediaman si isteri yang sebenarnya.

3. PERIHAL GUGAT LISAN DAN TERTULIS

Menurut ketentuan pasal 118 H.I.R. gugat harus diajukan dengan surat permintaan, yang
ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya. Surat permintaan ini dalam praktek disebut surat
gugat atau surat gugatan.

Oleh karena gugat harus diajukan dengan surat, maka bagi mereka yang buta huruf dibuka
kemungkinan untuk mengajukan gugatan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang
berwenang untuk mengadili perkara itu. Ketua Pengadilan Negeri berdasarkan ketentuan pasal 120
H.I.R. akan membuat atau menyuruh membuat gugatan yang dimaksud.

Menurut yurisprudensi surat gugat yang bercap jempol harus dilegalisasi terlebih dahulu.
Gugatan bercap jempol yang tidak dilegalisasi, berdasarkan yurisprudensi bukanlah batal, tetapi
akan dikembalikan untuk dilegalisasi kemudian (putusan Mahkamah Agung tertanggal 24 Agustus
1978 No. 760 K/Sip/1975, termuat dalam Yurisprudensi Indonesia 1978-II, halaman 206).

Surat gugat harus ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya. Yang dimaksud dengan wakil
adalah seorang kuasa yang sengaja diberi kuasa berdasarkan suatu surat kuasa khusus, untuk
membuat dan menandatangani surat gugat. Oleh karena surat gugat ditandatangani oleh kuasa
berdasarkan surat kuasa yang telah diberikan oleh pemberi kuasa kepadanya, maka tanggal
pemberian surat kuasa harus lebih dahulu dari tanggal surat gugat.

Surat gugat selain harus bertanggal, juga harus menyebut dengan jelas nama penggugaat dan
tergugat, serta tempat tinggal mereka, dan kalau dinggap perlu dapat pula disebutkan kedudukan
penggugat dan tergugat. Misalnya apabila yang mengajukan gugatan adalah X. Direktur P.T.
Anugerah atau tergugat adalah walidari seorang anak yang belum dewada, yang digugat untuk
membayar ganti rugi sehubungan dengan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh anak
tersebut.

Surat gugat sebaiknya ditik, akan tetapi apabila yang bersangkutan tidak mempunyai mesin
tik, dapat juga ditulis dengan tangan, cukup apabila di atas kertas biasa, artinya tidak usah di atas
kertas bermeterai. Surat gugat tidak perlu pula dibubuhi meterai. Perlu diperhatikan bahwa surat
gugat harus dibuat dalam beberapa rangkap, satu helai yang aslinya untuk pengadilan negeri, satu
helai unuk arsip penggugat dan ditambah sekian banyak salinan lagi untuk masing-masing tergugat
dan turut tergugat.

Setelah surat gugat atau lisan dibuat, maka surat tersebut harus didaftarkan di kepaniteraan
pengadilan negeri yang bersangkutan, serta harus membayar lebih dahulu suatu persekot uang
perkara sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 121 (4) H.I.R. Besarnya persekot/uang muka yang
harus dibayar oleh penggugat ini tergantung daripada sifat dan macamnya perkara. Untuk
penerimaan uang muka tersebut kepada penggugat atau kuasanya diberikan kuitansi tanda
penerimaan uang yang resmi.

Disamping itu pula ada juga perkara-perkara yang diperiksa secara prodeo berdasarkan
ketentuan pasal 237 H.I.R., artinya tanpa suatu bayaran (putusan Pengadilan Negeri Magelang
tertanggal 9 Desember 1954 No. 39/1954 P.N.M. Prodeo, termuat dalam Majalah Hukum dan
Masyarakat, 1960 No. 3-4-5 halaman 202). Perihal perkara yang diperiksa secara prodeo atau cuma-
cuma ini, juga dapat diajukan permohonan untuk pemeriksaan dalam tingkat kasasi (putusan
Mahkamah Agung tertanggal 9 Mei 1956 No. 45 K/Sip/1954, termuat dalam Hukum, Majalah PAHI,
1957 No. 3-4, halaman 44).

Suatu gugatan harus memuat gambaran yang jelas mengenai duduknya persoalan, dengan lain
perkataan dasar gugatan harus dikemukakan dengan jelas. Dalam hukum acara perdata bagian dari
gugat ini disebut Fundamenteum Petendi atau Posita. Suatu posita terdiri dari dua bagian, yaitu
bagian yang memuat alasan-alasan berdasarkan keadaan dan bagian yang memuat alasan-alasan
yang berdasar hukum.

Dalam surat gugat harus pula dilengkapi dengan petitum, yaitu hal-hal apa yang diinginkan
atau diminta oleh penggugat agar diputuskan, ditetapkan dan atau diperintahkan oleh hakim.
Petitum ini harus lengkap dan jelas, karena bagian dari surat gugat ini yang terpenting.

Menurut pasal 178 (3) H.I.R. hakim wajib mengadili semua bagian dari petitum dan hakim
dilarang untuk memutuskan lebih daripada apa yang diminta oleh penggugat (putusan Mahkamah
Agung tertanggal 9 Juni 1971 No. 46 K/Sip/1969, termuat dalam Yurisprudensi Indonesia, 1971,
halaman 443 dan putusan Mahkamah Agung tertanggal 29 Oktober 1994 No. 650 P.K/Pdt/1994,
termuat dalam Majalah Varia Peradilan, Tahun X No. 112 anuari 1995, halaman 14-26).

4. PERIHAL PARA PIHAK YANG BERPERKARA, PERWAKILAN ORANG, BADAN HUKUM DAN
NEGARA

Pada azasnya setiap orang boleh berperkara di depan pengadilan, namun ada
pengecualiannya, yaitu mereka yang belum dewasa, dan orang yang sakit ingatan. Mereka itu tidak
boleh berperkara sendiri di depan pengadilan, melainkan harus diwakili oleh orang tuanya atau
walinya, dan bagi mereka yang sakit ingatan oleh pengampunya.

Perseroan Terbatas atau P.T. yaitu suatu badan hukum, dapat juga menjadi pihak
dalamoerkara. Yang harus bertindak untuk dan atas nama badan hukum tersebut, berdasarkan
anggaran dasarnya, adalah direktur P.T. tersebut.

Apabila negara yang digugat, maka gugatan harus diajukan terhadap Pemerintah Republik
Indonesia, mewakili Negara Republik Indonesia, dalam perkara ini dianggap bertempat tinggal pada
Departemen ..., misalnya Departemen Dalam Negeri.

Mahkamah agung dalam salah satu putusannya mengemukakan, bahwa dibenarkan adanya
kemungkinan untuk menggugat negara pada Pengadilan Negeri di luar Jakarta. Ini dapat terjadi,
apabila Pembesar yang bertindak sebagai kuasa dari Pemerintah Pusat melakukan perbuatan
tersebut di daerah luar Jakarta (putusan Mahkamah agung tertanggal 8 Januari 1958 No.23
K/Sip/1957, termuat dalam Hukum, Majalah PAHI, 1958 No. 7-8 halaman 85).

Menurut Staatsblad 1922 No. 522, yang berhak mewakili negara di muka pengadilan adalah
jaksa atau pegawai lain yang ditunjuk oleh Menteri. Pada dewasa ini umumnya yang mewakili
Negara Republik Indonesia adalah Kepala Biro Hukum Departemen atau Instasi Pemerintah yang
bersangkutan, dengan membawa surat kuasa khusus atau surat penunjukan ari Menteri atau Kepala
Instansi Pemerintah yang bersangkutan.

Dalam mengajukan gugatan harus diperhatikan dengan baik, bahwa yang diberi kuasa dan
juga tergugat atau para tergugat harus benar-benar otang yang dapat mewakili pihak yang
bersangkutan.

Pengajuan gugat secara keliru, artinya, yang diajukan atau ditujukan terhadap orang yang tidk
dapat mewakili suatu badan hukum atau yang tidak dapat bertindak sebagai wali, jadi bukan wakil
yang sah dari penggugat atau tergugat, akan berakibat fatal bagi penggugat. Gugat akan dinyatakan
tidak dapat diterima.

Apabila hal itu terjadi, maka itu berati bahwa penggugat akan kehilangan waktu, uang dan
tenaga dengan percuma (putusan Mahkamah Agung tertanggal 9 Desember 1970 No. 296
K/Sip/1970, termuat dalam Yurisprudensi Indonesia, penerbitan 1971, halaman 359).

Mengenai surat kuasa khusus, yaitu surat kuasa yang diharuskan dipakai dalam persidangan di
Pengadilan Negeri, sebagaimana yang dikehendaki oleh pasal 123 (1) H.I.R. oleh Mahkamah Agung
telah diberi petunjuk dalam S.E.M.A. No. 2/1959 tertanggal 19 Januari 1959.

Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan, bahwa surat kuasa dari penggugat asal,
tertanggal 20 Juni 1983, yang menjai dasar bagi kuasanya untuk mengajukan gugatan tidaklah
khusus sifatnya, karena tidak menyebutkan obyek appa saja yang digugat. Juga menyebutkan nomor
perkara dalam surat kuasa tertanggal 20 Juni 1983, sebenarnya adalah belum dimungkinkan, karena
surat gugat tertanggal 20 Juni 1983, yang dibuat dan ditandatangani oleh kuasa penggugat asal,,
baru diajukan dan didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri bandung pada tanggal 1 Juli 1983
(putusan Mahkamah agung tertanggal 27 April 1987 No. 207 K/Pdt/1986 tidak dipublikasikan).

Seseorang yang mewakili salah satu pihak yang berperkara harus merupakan wakil yang sah,
misalnya orang yang mewakili tergugat harus mempunyai surat kuasa yang menyebut nomor
perkara, Pengadilan Negeri yang dimana, dan untuk apa surat kuasa tersebut diberikan (bandingkan
dengan S.E.M.A. No. 2/1959 tertanggal 19 Januari 1959, termuat dalam DIAN YUSTISIA,
disebarluaskan oleh: Pengadilan Tinggi Banung 1957, halaman 51).

Dalam hal pihak tergugat hendak mengajukan gugat balik atau gugat dalam rekonpensi, maka
surat kuasanya harus memuat dengan tegas (uitdrukkelijk) mengenai akan diajukannya gugat balik
termaksud terhadap penggugat atau salah seorang penggugat apabila penggugatnya terdiri dari
beberapa orang.

Sehubungan dengan hal ini, perlu dikemukakan pertimbangan Pengadilan Tinggi, yang
dibenarkan oleh Mahkamah Agung, bahwa gugatan dalam rekonpensi yang diajukan oleh seorang
kuasa yang tidak diberi kuasa untuk mengajukan gugat dala rekonpensi, harus dinyatakan tidak
dapat diterima (putusn Mahkamah Agung tertanggal 30 September 1981 No. 475 K/Sip/1981,
termuat dalam Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Indonesia, jilid I, Chidir Ali SH., halaman 211).

Surat kuasa khusus dapat dibuat dengan akta di bawah tangan atau dengan akta otentik
dihadapan seorang notaris. Surat kuasa tersebut dapat dilimpahkan kepada orang lain, apanila
pemberian kuasanya disertai hak untuk dilimpahkan. Dalam praktek, surat kuasa yang dilimpahkan
pada bagian akhirnya memuat kalimat “surat kuasa ini diberikan dengan hak substitusi”. Perkataan
substitusi artinya menggantikan, jadi menggantkan orang yang semula diberi kuasa.

Apabila surat kuasa yang bersangkutan telah dilimpahkan seluruhnya kepada lain orang yang
telah ditunjuk oleh yang diberi kuasa, maka untuk selanjutnya penerima kuasa semul, yang telah
dilimpahkan haknya, tidak berhak lagi untuk mewakili pihak yang bersangkutan di persidangan
pemeriksaan perkara tersebut dan menandatangani surat-surat yang berhubungan dengan perkara
yang bersangkutan. Lain halnya apabila disubstitusikan hanyalah untuk sebagian saja, misalnya kuasa
tersebut menunjuk seseorang sekedar untuk menyerahkan jawaban atau menhadap pada suatu
sidang tertentu, atau kuasa substitusi hanya diberi kuasa untuk menerima surat replik.

Apabila dalam surat kuasa tidak dimuat kalimat “surat kuasa ini diberikan dengan hak
substitusi” dan kemudian ternyata disubstitusikan kepada orang lain, maka pelimpahan tersebut
adalah tidak sah.

Pemberian kuasa dapat juga dilakukan dengan lisan di muka persidangan. Apabila pemberian
kuasa tersebut bermaksud pula untuk dapat dilimpahkan atau untuk mengajukan gugat balasan,
pula apabila pemberian juasa meliputi juga pemberian kuasa untuk, seandainya diperlukan,
mengajuka permohonan banding atau kasasi, maka mengenai hal itu harus secara tegas dikatakan
sewaktu pemberian kuasa lisan tersebut. Pemberian kuasa semacam itu dengan lengkap harus
dimuat dalam berita acara pemeriksaan sidang. Apabila dikemudian hari diajukan permohonan
banding atau kasasi oleh kuasa tersebut, untuk keperluan tersebut tidak diperlukan surat kuasa
khusus lagi.

Anda mungkin juga menyukai