Anda di halaman 1dari 71

BAB I

PENDAHULUAN

1. Ruang Lingkup Hukum Acara Perdata


Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan
bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil
dan lebih konkrit dapat juga dikatakan hukum acara perdata
mengatur bagaimana cara mengajukan tuntutan hak, memeriksa
serta memutusnya dan pelaksanaan dari putusannya. Tuntutan
hak adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan
hukum yang diberikan pengadilan untuk mencegah tindakan main
hakim sendiri “eigenrichting”.

2. Sumber Hukum Acara Perdata


Sumber hukum perdata formal adalah :
1) Buku IV KUHPerdata tentang pembuktian dan daluarsa;
2) Untuk wilayah Jawa dan Madura menggunakan HIR (Het
Herziene Indonesisch Reglement) sedangkan untuk luar
Jawa dan Madura menggunakan Rbg (Rechtsreglement
Buittengewesten);
3) UU No.14 tahun 1970 yang telah dirubah dengan UU No.4
tahun 2004 tentang Pokok – Pokok Kekuasaan Kehakiman,
dan terakhir kali dirubah dengan Undang - Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
4) UU No. 20 tahun 1947 yang mengatur tentang Banding
untuk wilayah Jawa dan Madura sedangkan untuk luar
Jawa dan Madura menggunakan Rbg (Rechtsreglement
Buittengewesten);
5) UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana
telah diubah dengan Undang – Undang No. 16 Tahun 2019
tentang Perkawinan, dan PP No. 9 tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UU No.1 tahun 1974;
6) UU No. 7 tahun 1989 jo UU No.3 tahun 2006 tentang
Peradilan Agama, dan telah dirubah dengan Undang –

Hukum Acara Perdata Halaman 1


Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, dan
terakhir kali dirubah dengan Undang - Undang No. 50
Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
7) UU No. 14 tahun 1985 yang telah di rubah dengan UU
No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, dan terakhir
telah dirubah dengan Undang – Undang No. 3 Tahun 2009
tentang Mahkamah Agung;
8) Yurisprudensi;
9) Doktrin;
10) Konvensi.
3. Asas – Asas Hukum Acara Perdata
1) Hakim bersifat menunggu, artinya inisiatif untuk
mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada
yang berkepentingan. Apabila tidak ada pengajuan
tuntutan dari pihak yang berkepentingan maka hakim tidak
boleh melakukan pemeriksaan perkara. Hal ini dikenal
dengan asas nemo judex sine actore;
2) Hakim pasif, artinya bahwa ruang lingkup atau luas pokok
sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada
asasnya di tentukan oleh para pihak yang berperkara.
Hakim tidak boleh memeriksa perkara diluar apa yang
telah diajukan oleh para pihak. Para pihak dapat
mengakhiri sendiri sengketa yang telah diajukannya;
3) Asas Persidangan yang Terbuka untuk Umum, artinya setiap
orang diperbolehkan untuk hadir dan mendengarkan
pemeriksaan di persidangan. Sebelum pemeriksaan perkara
hakim wajib menyatakan bahwa persidangan terbuka untuk
umum kecuali apabila ada perkara – perkara yang
dinyatakan tertutup untuk umum. Apabila putusan yang
dinyatakan dalam persidangan yang tidak dinyatakan
terbuka untuk umum berarti putusan itu tidak sah dan
tidak mempunyai kekuatan hukum tetap;
4) Asas Mendengar Kedua Belah Pihak, (Audi Et Alterem
Partem), artinya kedua belah pihak haruslah diperlakukan

Hukum Acara Perdata Halaman 2


sama oleh hakim pemeriksa perkara, tidak memihak, dan
harus mendengar keterangan dari kedua belah pihak secara
bersama – sama.
5) Putusan harus disertai alasan – alasan, artinya pada
dasarnya semua putusan pengadilan harus memuat alasan –
alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili,
sebagai pertanggungjawaban hakim atas apa yang telah
diputus baik kepada masyarakat, para pihak, pengadilan
yang lebih tinggi dan ilmu hukum;
6) Beracara dikenai biaya, artinya pada asasnya seseorang
yang akan berperkara di pengadilan akan dikenai biaya
perkara. Biaya perkara ini meliputi biaya untuk
pemanggilan, pemberitahuan para pihak serta biaya
materai. Akan tetapi apabila seseorang tersebut dalam
keadaan yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara
maka dapat mengajukan perkara tersebut secara cuma –
cuma (pro deo) disertai dengan surat keterangan tidak
mampu yang dibuat oleh pemerintahan setempat;
7) Tidak ada keharusan untuk mewakilkan, artinya seseorang
yang berperkara di pengadilan pada asasnya tidak ada
kewajiban untuk mewakilkan kepada seseorang pengacara
untuk menjadi kuasa hukumnya. Seseorang yang berperkara
dapat mengajukan sendiri perkaranya di pengadilan,
sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara
langsung terhadap para pihak yang berkepentingan.

BAB II
SURAT KUASA, SOMASI, MEDIASI DAN PERDAMAIAN

A. SURAT KUASA
1. Pengertian pemberian kuasa perdata

Hukum Acara Perdata Halaman 3


Pemberian kuasa sering disebut Lastgeving, Volmacth,
sedangkan dalam sistem Comman Law disebut Intruction Mandate.
Pada pasal 1792 BW mendefenisikan pemberian kuasa adalah :
“suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan kuasanya
(wewenang) kepada orang lain yang menerimanya untuk atas
namanya menyelenggarakan suatu urusan“. Sehingga pemberian
kuasa dapat diartikan pelimpahan perwakilan atau mewakilkan
dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa untuk mewakili
kepentingannya.

2. Pengertian Surat Kuasa


Surat kuasa merupakan surat yang resmi yang berisi pelimpahan
wewenang/kekuasaan dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa
untuk melaksanakan suatu urusan tertentu. Surat Kuasa Khusus
diatur dalam pasal 123 HIR, 147 Rbg yang lazim disebut
Bijzondere Schriftelieijke Machtiging. Syarat – syarat sahnya
surat kuasa diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung tanggal
23 Januari 1971 (merupakan syarat kumulatif). Syarat – syarat
surat kuasa berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung tanggal
23 Januari 1971 adalah :
1) Harus berbentuk tertulis
Bisa berbentuk surat di bawah tangan, yang dibuat dan
ditandatangani pemberi kuasa dan penerima kuasa.
a. Dibuat oleh panitera pengadilan, dilegalisir oleh
Ketua Pengadilan Negeri atau Hakim.
b. Berbentuk akta otentik yang dibuat oleh Notaris.
2) Harus menyebut identitas para pihak yang berperkara
(Penggugat dan Tergugat) yaitu nama, umur, pekerjaan dan
alamat. Apabila pemberi kuasa adalah badan hukum maka dalam
surat kuasa disebutkan dulu nama badan hukum itu dan
identitas orang yang berwenang memberi kuasa menurut
anggaran dasar/peraturan yang berlaku.
3) Menyebut secara tegas obyek dan kasus yang diperkarakan

Hukum Acara Perdata Halaman 4


a. Harus tegas menyebut tentang hal apa yang
diperkarakan.
b. Paling tidak menyebut jenis dan macam perkaranya.
4) Harus disebut secara tegas diuraikan batas – batas
kewenangan penerima kuasa untuk menjalankan kuasanya.
5) Surat kuasa harus diberi materai secukupnya (Rp.10.000)
dan ditandatangani oleh penerima kuasa dan pemberi kuasa.
Syarat – syarat tersebut merupakan syarat kumulatif maka
apabila ada salah satu syarat yang tidak terpenuhi maka akan
mengakibatkan :
1. Surat kuasa cacat;
2. Kedudukan kuasa sebagai pihak formil, menjadi tidak
sah;
3. Segala tindakan hukum yang dilakukan kuasa adalah
tidak sah dan tidak mengikat;
4. Gugatan dapat dinyatakan tidak dapat diterima.

Berakhirnya Surat Kuasa


Berakhirnya surat kuasa diatur dalam pasal 1813 – 1819 BW,
karena :
1. Ditariknya kembali kuasa si kuasa.
2. Dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh si kuasa.
3. Dengan meninggal, pengampuan, pailitnya si pemberi kuasa
atau si kuasa.
4. Pengangkatan kuasa baru untuk mengurus hal yang sama
yang menyebabkan ditariknya kuasa pertama.
5. Dengan kawinnya seseorang perempuan yang memberi kuasa
atau yang menerima kuasa. Tetapi ketentuan ini menjadi
tidak berlaku dengan adanya SEMA No.1115/B/3292/M/1963
dan Undang – Undang Pokok Perkawinan No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.

3. Isi Surat Kuasa


1) Identitas para pihak

Hukum Acara Perdata Halaman 5


a. Pemberi Kuasa
b. Penerima kuasa
2) Obyek sengketa (Materi/pokok masalah)
3) Kompetensi
a. Absolut
b. Relatif
4) Ruang lingkupnya

Agar surat kuasa benar , maka harus dilakukan :


1. Identifikasi masalah :
Apakah masalah yang dihadapai tersebut merupakan masalah
hukum ? Kalau masalah hukum, maka hukum apa ? (Perdata,
Pidana, HAN, atau yang lainnya).
2. Merumuskan dan memecahkan masalah :
Dalam hal berkaitan dengan hukum perdata, maka di sini
hanya ada 2 (dua) kemungkinan yakni perbuatan melawan hukum
dan wanprestasi.
Hubungan hukum terjadi :
1) Karena perjanjian -------------------→ Wanprestasi
2) Karena Undang–Undang (UU saja) atau karena perbuatan
orang lain-----→ Perbuatan Melawan Hukum.
Apabila kita mengambil kesimpulan salah satu diatas,
maka semuanya harus ingat/ mengacu pada unsur – unsur yang
ada pada dua hal itu Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi.
Kemudian kita akan mengetahui siapa yang mempunyai
kepentingan hukum (hak yang muncul karena adanya perbuatan
yang menimbulkan kerugian), sekaligus akan diketahui siapa
yang melakukan perbuatan yang merugikan tersebut (identitas
para pihak/subyek hukum para pihak). Berbicara subyek hukum
(orang/badan hukum), maka harus dilihat siapa yang
berkompeten (karena syarat untuk berbuat hukum harus cakap
berbuat hukum). Dengan mengetahui subyeknya, maka akan
diketahui kompetensi pengadilan baik absolut maupun
relatifnya. (kesemuanya itu harus diutamakan dengan mangacu

Hukum Acara Perdata Halaman 6


pada asas- asas hukum, penemuan hukum, penafsiran hukum,
konstruksi hukum dan lain – lain).
Contoh :
• Dari identifikasi masalah tersebut juga akan diketahui
obyek sengketanya (obyektum litis), ini dapat berkaitan
dalam rangka menentukan kompetensi absolutnya
(PN,PTUN,PA,MAHMIL).
• Kalau kita berpendapat bahwa masalah yang dihadapi
adalah masalah pidana, maka acuannya adalah apakah
perbuatan hukum tersebut merupakan perbuatan melawan
hukum dalam aspek pidana (on wet deretelijke daad),
sedang untuk perdata disebut (onrechtmatige daad),
apakah memenuhi unsur – unsur yang ada pada pasal -
pasal yang mengaturnya (asasnya legalitas, peraturan
tidak berlaku surut).
3. Memutuskan masalah
Identifikasi masalah adalah faktor yang sangat penting
dalam membuat surat kuasa, gugatan, laporan, pengaduan
maupun dalam pembelaan bagi klien, apabila identifikasi
masalahnya keliru maka gugatannya juga keliru,
laporan/pengaduan keliru dan bahkan pembelaan juga akan
kurang / tidak akurat.

B. SOMASI (Teguran)
Somatie (Bld) adalah teguran atas kelalaian atau kealpaan
seseorang/badan hukum /badan usaha (Solmmateur : pihak yang
menegur). Dalam pengertian lain Somasi adalah teguran untuk
membayar oleh dan atau dengan perantaraan hakim. Dalam suatu
perjanjian ada kalanya salah satu pihak lalai melaksanakan
kewajibannya (wanprestasi), atau kalau ada orang atau badan
usaha/badan hukum telah melakukan perbuatan melawan hukum
yang dapat merugikan orang lain, maka bagi pihak yang merasa
dirugikan baik karena prestasinya tidak dipenuhi oleh orang
lain atau hak – haknya dilanggar oleh orang lain, maka

Hukum Acara Perdata Halaman 7


kepadanya dapat melakukan tuntutan hak, namun sebelumnya
hendaklah atau biasanya didahului dengan melakukan somasi
kepada pihak lain tersebut.
Somasi dapat dilakukan melalui surat biasa atau melalui
surat kabar, atau dapat pula dilakukan oleh pengadilan (dalam
hal eksekusi selalu didahului dengan somasi). Seperti
disebutkan diatas bahwa munculnya somasi (teguran) adalah
dikarenakan orang yang di somier (diberi peringatan) tersebut
telah dianggap melakukan wanprestasi atau melakukan perbuatan
melawan hukum, sehingga dengan demikian somasi tersebut
adalah merupakan tindakan awal untuk melakukan tuntutan hak,
yang bertujuan agar persoalan tersebut dapat ditanggapi dan
dapat diselesaikan secara musyawarah kekeluargaan.
Bagi pihak yang di tegur tentunya akan mempelajari apakah
yang menjadi inti permasalahan yang ada, tentunya apabila
teguran tersebut dalam kaitannya dengan wanprestasi maka yang
harus dipelajari adalah perjanjian yang ada apakah teguran
itu benar? Sebelumnya perlu dijelaskan terlebih dahulu
mengenai apa yang dimaksud dengan wanprestasi itu. Defenisi
wanprestasi secara lengkap ialah tidak terpenuhinya prestasi
oleh debitur karena kesalahannya baik karena kesengajaan atau
kelalaian.
Adapun wujud dari wanprestasi adalah :
1) Tidak memenuhi kewajiban sama sekali.
2) Melaksanakan/memenuhi tetapi terlambat.
3) Melaksanakan kewajiban tetapi tidak seperti yang
diperjanjikan.
4) Berbuat sesuatu yang tidak diperjanjikan.
Setelah kita mengetahui wujud dari wanprestasi perlu
diketahui unsur – unsur wanprestasi, hal ini penting sekali
untuk mengetahui ada dan tidaknya seseorang dikatakan telah
melakukan wanprestasi.

Adapun unsur – unsur wanprestasi adalah :

Hukum Acara Perdata Halaman 8


1) Timbul dari persetujuan dan atau harus ada perjanjian
terlebih dahulu (pasal 1320 BW). Untuk seseorang
dikatakan wanprestasi sebelumnya harus ada
perjanjian, tanpa adanya perjanjian tidak mungkin
seseorang dapat dikatakan wanprestasi.
2) Harus ada pelanggaran. Maksud pelanggaran disini
adalah pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu
pihak terhadap kesepakatan dalam perjanjian tersebut.
Misalnya dalam perjanjian penyerahan barang, jika
ternyata pihak yang diwajibkan menyerahkan barang
tidak juga menyerahkan barang yang seharusnya ia
serahkan sesuai dengan perjanjian atau kesepakatan
antara keduanya.
3) Terlebih dahulu ada peringatan atau somasi terhadap
pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu pihak. Hal
ini dapat dikesampingkan, jika dalam klausul
perjanjian, debitur dapat langsung dianggap telah
lalai tanpa somasi.
4) Ada kerugian yang diderita oleh salah satu pihak,
biasanya yang dirugikan adalah orang yang seharusnya
menerima suatu prestasi tertentu tetapi pada
prakteknya ia tidak kunjung menerima suatu prestasi
tersebut. Tuntutan kerugian ini dihitung sejak saat
terjadinya kelalaian (pasal 1237 BW), serta jenis dan
jumlah ganti rugi telah diatur secara rinci dalam
pasal 1246 BW.
Untuk itu sebagai acuannya adalah dengan cara
mempelajari perjanjiannya secara seksama, apakah pihak yang
ditegur tersebut telah melakukan salah satu perbuatan
sebagaimana tersebut diatas. Sedangkan kalau alasan / dasar
somasi tersebut karena dianggap telah melakukan perbuatan
melawan hukum, maka sebelumnya haruslah diketahui dahulu
apakah yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum itu?.
Menurut pasal 1365 BW perbuatan melawan hukum adalah setiap

Hukum Acara Perdata Halaman 9


perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian kepada
orang lain, maka mewajibkan bagi orang yang karena salahnya
mengganti kerugian yang timbul tersebut.
Perbuatan melawan hukum dalam perkembangannya tidak hanya
melanggar undang – undang saja termasuk di dalamnya melanggar
kepatutan hidup dalam masyarakat, kurang cermat/lalai,
melanggar ketertiban umum, melanggar kesusilaan, dan bahkan
penyalahgunaan keadaan dapat dikategorikan merupakan
perbuatan melawan hukum.

Adapun unsur – unsur perbuatan melawan hukum adalah :


1) Adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum.
2) Melanggar hak subyektif orang lain (baik kekayaan/hak
perorangan).
3) Adanya kesalahan.
4) Adanya kerugian.
5) Ada hubungan kausal
Dalam pemahaman yang lain, bahwa di dalam perbuatan melawan
hukum :
1) Timbul karena UU menentukan.
2) Merupakan akibat perbuatan manusia yang ditentukan
sendiri oleh UU.
3) Tidak diperlukan adanya somasi, sehingga ketika
terjadi perbuatan melawan hukum secara mutlak
menimbulkan hak untuk menuntut/klaim.
4) Sesuai pasal 1365 BW, tidak menyebutkan ganti rugi
yang bagaimana bentuknya.
Perbuatan melawan hukum ada 2 (dua) yakni , perbuatan
melawan hukum aspek perdata yang dalam bahasa belanda disebut
dengan On rechtmatige daad (dilakukan oleh orang, sedang
kalau pelakunya adalah pejabat Negara disebut dengan
Onrechtmatige Overheiddaad ), dan perbuatan melawan hukum
dalam aspek hukum pidana yang dalam bahasa belandanya disebut
dengan Wetderetelijke daad.

Hukum Acara Perdata Halaman 10


Seorang yang mendapat teguran dari orang lain, maka yang
pertama – tama harus dilakukan adalah menganalisis apakah
perbuatannya tersebut memenuhi unsur perbuatan melawan hukum
atau telah memenuhi unsur dari wanprestasi tersebut. Setelah
diidentifikasi masalah, kemudian telah dilakukan pemecahan
masalah (ini akan dijadikan acuan dalam melakukan
negosiasi/perdamaian). Seperti telah dikatakan di atas bahwa
sebenarnya teguran dilakukan dengan harapan ada dan atau
tercapainya penyelesaian secara musyawarah kekeluargaan.
Untuk itu bagi pihak yang di tegur hendaklah menanggapinya
dengan arif dan bijaksana sehingga diharapkan persoalan
tersebut dapat diselesaikan secara damai, maka seyogyanya
dibuatkan akta perdamaian (perjanjian damai) baik dibuat
secara notariil akta ataupun dibawah tangan.
Dalam praktek sering kali dalam hal ada teguran tidak
ditanggapi dengan baik, bankah timbul kesan atau bahkan
kadang – kadang melakukan tindakan atau kata – kata yang
dapat ditafsirkan menentang agar diselesaikan melalui
pengadilan (gugatan), hal itu adalah tidak benar dan sangat
merugikan kedua belah pihak, karena selain akan mengeluarkan
biaya yang tidak sedikit juga akan memakan waktu yang lama,
oleh karenanya hal semacam itu hendaklah dihindari atau
penyelesaian melalui pengadilan hendaklah merupakan upaya
penyelesaian terakhir.

C. PERDAMAIAN DAN MEDIASI


1. PERDAMAIAN
Pasal 130 ayat 1 HIR/PASAL 154 (1) Rbg, hakim diwajibkan
untuk mengusahakan perdamaian diantara para pihak yang
bersengketa. Dengan adanya ketentuan tersebut maka hakim
mempunyai peranan yang aktif untuk menyelesaikan perkara para
pihak dengan perdamaian dalam perkara perdata tidak hanya
dalam sidang pertama kali di dengar, tetapi hakim tetap dapat

Hukum Acara Perdata Halaman 11


mendamaikan pihak – pihak yang berperkara selama proses
pemeriksaan perkara di persidangan.
Jika usaha perdamaian berhasil, maka dibuatlah akta
perdamaian, yang harus dibacakan terlebih dahulu oleh Hakim
di hadapan para pihak, sebelum hakim menjatuhkan putusan yang
menghukum kedua belah pihak untuk mentaati isi perdamaian
tersebut. Akta perdamaian mempunyai kekuatan yang sama dengan
putusan hakim yang berkekuatan hukum yang tetap dan apabila
tidak dilaksanakan, eksekusi dapat dimintakan kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Terhadap putusan
perdamaian tidak dapat diajukan upaya hukum banding. Jika
usaha perdamaian tidak berhasil, hal mana harus dicatat dalam
berita acara persidangan, maka pemeriksaan perkara
dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan dalam bahasa yang
dimengerti oleh para pihak, jika perlu dengan menggunakan
penerjemah (pasal 131 HIR).

2. MEDIASI DI PENGADILAN
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2008 tentang
prosedur Mediasi di Pengadilan ditetapkan pada tanggal 31
Juli 2008 dan berlaku sejak tanggal ditetapkannya. PERMA ini
merupakan revisi sekaligus pengganti dari PERMA No.2 Tahun
2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, dan saat ini
kedua Peraturan Mahkamah Agung tersebut telah dirubah dengan
Peraturan Mahkamah Agung No. 01 Tahun 2016 tentang Mediasi
di Pengadilan. Melalui mediasi di Pengadilan diharapkan tidak
hanya dapat mengurangi penumpukan perkara tetapi juga yang
terpenting adalah tersedianya alat bagi masyarakat untuk
menyelesaikan sengketanya tanpa harus berperkara di
Pengadilan (litigasi) yang umumnya berlangsung lama dan
mahal.
Dalam PERMA Mediasi Nomor 1 Tahun 2016 ada beberapa
ketentuan dalam Mediasi di Pengadilan, diantaranya :

Hukum Acara Perdata Halaman 12


1) Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan
ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 130
HIR dan atau pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan
batal demi hukum;
2) Biaya pemanggilan para pihak untuk menghadiri proses
mediasi lebih dahulu dibebankan kepada pihak penggugat
melalui uang panjar biaya perkara. Jika para pihak
berhasil mencapai kesepakatan, biaya pemanggilan para
pihak ditanggung bersama atau sesuai kesepakatan para
pihak. Jika mediasi gagal menghasilkan kesepakatan,
biaya pemanggilan para pihak dalam proses mediasi
dibebankan kepada pihak yang oleh hakim di hukum
membayar biaya perkara;
3) Kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur
pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial,
keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha, semua sengketa perdata yang diajukan
ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib dahulu diupayakan
penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan
mediator;
4) Mediator dapat dipilih seorang atau lebih dari hakim,
advokat atau akademisi hukum, profesi bukan hukum yang
dianggap menguasai atau berpengalaman dalam pokok
perkara;
5) Proses mediasi pada asasnya tertutup kecuali para pihak
menghendaki lain.
Prosedur Mediasi secara garis besar adalah sebagai berikut:
1) Pada sidang pertama, hakim mewajibkan para pihak pada
hari itu juga atau paling lama 2 (dua) hari kerja
berikutnya untuk berunding memilih Mediator. Daftar
Mediator disediakan di Pengadilan;

Hukum Acara Perdata Halaman 13


2) Para pihak segera menyampaikan mediator terpilih kepada
Ketua Majelis Hakim. Ketua Majelis segera memberitahu
mediator untuk melaksanakan tugas;
3) Para pihak, jika gagal menyepakati mediator terpilih,
wajib segera menyampaikannya kepada Ketua Majelis. Ketua
Majelis segera menunjuk Hakim bukan pemeriksa perkara
yang bersertifikat. Kalau tidak ada, maka Hakim
pemeriksa perkara, dengan atau tanpa sertifikat yang
ditunjuk oleh Ketua Majelis wajib menjalankan fungsi
mediator;
4) Paling lama 5 (lima) hari kerja setelah mediator
disepakati, para pihak dapat menyerahkan resume perkara
kepada satu sama lain dan kepada mediator. Jika para
pihak gagal menyepakati mediator, maka resume perkara
diberikan kepada hakim mediator yang ditunjuk;
5) Proses mediasi paling lama 30 hari kerja, dan dapat
diperpanjang paling lama 30 hari kerja, atas dasar
kesepakatan para pihak;
6) Mediator wajib menyatakan mediasi gagal, jika salah satu
atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut – turut
tidak menghadiri pertemuan yang disepakati, atau tidak
menghadiri mediasi tanpa alasan yang jelas setelah
dipanggil secara patut;
7) Jika dicapai kesepakatan dalam mediasi, para pihak dan
mediator menandatangani resume kesepakatan. Para pihak
wajib menyampaikannya dalam sidang yang ditentukan dan
dapat minta kesepakatan tersebut dikuatkan dalam bentuk
akte perdamaian. Jika ada salah satu pihak tidak
menghendaki kesepakatan itu dikuatkan dalam bentuk akte
perdamaian, kesepakatan harus memuat klausula
pencabutan gugatan atau klausula yang menyatakan perkara
telah selesai;
8) Jika dalam waktu yang ditentukan, para pihak tidak mampu
menghasilkan kesepakatan, mediator wajib menyatakannya

Hukum Acara Perdata Halaman 14


secara tertulis dan memberitahukannya kepada hakim.
Segera setelah itu, hakim melanjutkan pemeriksaan
perkara sesuai hukum acara yang berlaku;
9) Hakim tetap berwenang untuk terus mengupayakan
perdamaian hingga sebelum pengucapan putusan. Jika para
pihak berkeinginan untuk berdamai, maka upaya perdamaian
dapat berlangsung paling lama 14 hari kerja sejak
penyampaian keinginan tersebut;
10) Jika para pihak gagal mencapai kesepakatan,
pernyataan dan pengakuan para pihak selama proses
mediasi tidak dapat dijadikan bukti dalam proses
persidangan perkara, catatan mediator wajib
dimusnahkan, mediator tidak dapat menjadi saksi dan
tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana maupun
perdata;

BAB III
GUGATAN
A. PENGERTIAN GUGATAN
Tuntutan hak merupakan tindakan yang bertujuan memperoleh
perlindungan hukum yang diberikan pengadilan untuk mencegah
‘eigenrechting”. Syarat sebuah tuntutan hak (dalam pasal 18
ayat 1 HIR atau pasal 142 ayat 1 Rgb) disebut sebagai tuntutan
perdata (bergerlijke vordering) atau tuntutan hak yang

Hukum Acara Perdata Halaman 15


mengandung sengketa yang lazim disebut gugatan adalah harus
mempunyai kepentingan hukum. Tuntutan hak ada 2 (dua) macam
yaitu :
1) Tuntutan hak yang mengandung sengketa yang disebut
gugatan dimana sekurang – kurangnya ada dua pihak.
2) Tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa yang disebut
permohonan dimana hanya terdapat satu pihak saja.

Hal – hal yang harus terdapat dalam gugatan


Mengenai syarat – syarat yang harus ada di dalam suatu
gugatan tidak diatur oleh HIR, akan tetapi tertuang dalam
pasal 8 No. 3 Rbg yang menentukan suatu gugatan pada pokoknya
harus memuat :
1) Identitas Para Pihak
Identitas para pihak adalah bahwa dalam suatu gugatan
harus memuat nama lengkap tentang jatidiri dari para
pihak, baik Penggugat maupun Tergugat, yang biasanya
antara lain meliputi :
a. Nama Lengkap
b. Umur / Tempat Tanggal Lahir
c. Pekerjaan
d. Alamat atau domisili
Pihak penggugat selain harus mencantumkan identitas para
pihak seperti tersebut di atas dengan lengkap dan jelas, juga
harus merumuskan dan menentukan para pihak dalam gugatannya
secara lengkap dan benar pula. Jadi dalam merumuskan
kelengkapan para pihak tidak hanya memandang dari segi
kelengkapan subyek tergugatnya saja, yaitu mengenai siapa
saja yang menurut hukum harus dijadikan sebagai pihak
tergugat (seandainya tergugatnya lebih dari seorang), tetapi
juga harus memperhatikan kelengkapan subjeknya (seandainya
penggugatnya lebih dari satu) yaitu berkenaan dengan siapa
saja yang seharusnya menurut hukum dapat mengajukan gugatan.
Apabila penggugat atau tergugatnya adalah badan hukum, maka

Hukum Acara Perdata Halaman 16


secara tegas harus disebutkan dan siapa yang berhak
mewakilinya menurut anggaran dasar atau peraturan yang
berlaku. Ketidaklengkapan dalam merumuskan siapa yang
seharusnya menjadi pihak penggugat ataupun pihak tergugatnya
maka gugatan yang diajukan dapat dianggap telah terjadi Error
in persona atau kesalahan subyek hukum.
Ada bebarapa hal untuk suatu gugatan dikatakan telah terjadi
Error In Persona yaitu :
a. Disquallification In Person
• Penggugat bukan persona standi in juditio (para
pihak)
• Belum dewasa
• Bukan orang yang mempunyai hak dan kepentingan
• Di bawah pengampuan
• Tidak mendapat kuasa, baik dengan lisan maupun dengan
surat kuasa khusus.
• Surat kuasa khususnya tidak sah.

b. Gemis Aanhoedanighheid
Orang ditarik sebagai tergugat tidak tepat misalnya
pengurus yayasan digugat secara pribadi (Putusan Mahkamah
Agung, 20 April 1977 No. 601/K/Sip/1975
c. Plurium Litis Cunsortium
Orang ditarik sebagai tetgugat tidak lengkap misalnya
pihak ketiga yang saat gugatan yang diajukan menguasai
harta yang diperkarakan justru tidak digugat, tetapi hanya
meletakkan subyek tergugatnya terhadap orang yang dahulu
menguasai harta tersebut sebelum dikuasai oleh pihak
ketiga (Putusan Mahkamah Agung, 25 Mei 1977 No.
602/K/Sip/1975). Terhadap gugatan yang telah terdapat
cacat berupa Error In Persona ini, maka dapat mengakibatkan
gugatan tidak dapat diterima /NO. (Niet Ontvankelijke
verklaard).

2. Posita / Fundamentum Petendi

Hukum Acara Perdata Halaman 17


Posita atau Fundamentum Petendi merupakan dalil – dalil
konkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar
serta alasan – alasan tuntutan (middelen van den eis). Di
dalam posita ini dijelaskan secara jelas dan tegas adanya
hubungan antara para pihak yang akan menjadi dasar gugatan.
Fundamentum Petendi ini pada pokoknya memuat 2 (dua) hal
yaitu :
1) Bagian yang menguraikan peristiwa atau kejadian
perkaranya merupakan penjelsan duduk perkara.
2) Bagian yang menguraikan tentang hukumnya, merupakan
uraian tentang adanya hak atau hubungan hukum yang
menjadi dasar yuridis dari tuntutan (uraian yuridis
bukanlah merupakan penyebutan peraturan – peraturan
hukum yang dijadikan dasar tuntutan).

3. Tuntutan / Petitum
Petitum merupakan apa yang oleh penggugat diminta atau
diharapkan agar diputuskan oleh hakim. Petitum inilah yang
akan mendapatkan jawaban di dalam dictum atau amar putusan.
Petitum terdiri dari dua bagian yaitu :
1) Petitum Primair yang berisikan tuntutan pokok yang
dimohonkan agar diputus dan dikabulkan oleh pengadilan
(hakim).
2) Petitum Subsidair yaitu berisikan tuntutan tambahan
dengan maksud menyerahkan putusan yang dianggap adil
kepada pengadilan (hakim).
Menurut pasal 8 Rv Petitum yang tidak jelas atau tidak
sempurna dapat berakibat tidak diterimanya gugatan atau
tuntutan tersebut. Ketika merumuskan posita maupun petitum
harus secara cermat, jelas, tegas, dan lugas dan yang paling
penting adalah antara posita dan petitum harus sinkron.
Kekurang cermatan dalam merumuskan posita dan atau petitum
dapat berakibat gugatan akan tidak dapat diterima karena
gugatan tersebut obscuur libel (gugatan kabur/tidak jelas).

Hukum Acara Perdata Halaman 18


Suatu gugatan dikatakan obscuur libel (gugatan kabur/tidak
jelas) yaitu jika :
1) Posita/Fundamentum Petendi tidak menjelaskan dasar
hukum (rechtgrond) dan kejadian yang mendasari gugatan.
2) Tidak jelas objek yang disengketakan, yaitu misalnya:
a. Tidak menyebutkan letak atau lokasinya.
b. Tidak jelas batas, ukuran dan luas objek sengketa.
c. Tidak ditemukan adanya objek sengketa.
3) Penggabungan gugatan yang campur aduk.
4) Tempat pertentangan antara posita dan petitum.
5) Petitum tidak dirinci tetapi hanya berupa kompositar
atau ex aequo et bono.
a. Pada prinsipnya petitum primair harus dirinci
b. Bila petitum primair sudah terinci boleh dibarengi
dengan petitum subsidair.

B. FORMAT SURAT GUGATAN


Secara umum format surat gugatan meliputi :
1. Memuat tanggal gugatan dibuat
2. Alamat kepada Ketua Pengadilan mana gugatan tersebut
diajukan
3. Titel gugatan :
a. Dibuat secara singkat, jelas dan sinkron dengan isi
gugatan
b. Menggunakan bahasa hukum
c. Menggambarkan isi gugatan.
4. Identitas para pihak
a. Penggugat
b. Tergugat.
5. Posita/fundamentum petendi
6. Petitum/tuntutan penggugat
7. Nama penggugat / kuasanya serta tandatangannya.

C. CARA MENGAJUKAN GUGATAN

Hukum Acara Perdata Halaman 19


Gugatan yang diajukan oleh para pihak dapat diajukan secara
tertulis dan secara lisan. Apabila gugatan diajukan secara
tertulis maka Panitera Pengadilan hanya tinggal
mendaftarkannya saja, sedangkan apabila gugatan diajukan
secara lisan maka Ketua Pengadilan Negeri akan menugaskan
kepada hakim atau panitera untuk membuatnya berdasarkan
keterangan penggugat. Gugatan yang diajukan secara lisan
kemudian ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Negeri bukan
oleh penggugat sendiri. Apabila gugatan lisan yang
ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Negeri tersebut terdapat
kesalahan maka gugatan dapat diperbaiki. Pada dasarnya
seorang yang mengajukan gugatan ke pengadilan akan dikenakan
biaya, sebagai biaya perkara. Namun bagi pihak yang tidak
mampu dapat mengajukan gugatan secara predeo disertai dengan
keterangan tidak mampu dari Kepala Desa atau Kelurahan
setempat.

D. PENCABUTAN DAN PERUBAHAN GUGATAN


Seseorang yang mengajukan gugatan bermaksud menuntut
haknya, namun jika pihak tergugat telah memenuhi tuntutan
penggugat sebelum pekara diputuskan, maka tidak ada alasan
bagi Penggugat untuk melanjutkan tuntutannya, sehingga
Penggugat berhak untuk mencabut gugatannya. Kemungkinan lain
dicabutnya suatu gugatan karena Penggugat menyadari
kekeliruannya dalam mengajukan gugatan.
Mengenai pencabutan dan perubahan gugatan tidak diatur
dalam HIR akan tetapi diatur dalam Rv. Dalam prakteknya
gugatan dapat dicabut kembali selama pihak Tergugat belum
mengajukan jawabannya. Apabila Tergugat telah mengajukan
jawaban maka pencabutan gugatan hanya dapat dilakukan apabila
ada persetujuan dari pihak Tergugat, hal ini karena Tergugat
sudah mengeluarkan biaya dan tenaga untuk menghadapi gugatan
Penggugat. Menurut Rv pencabutan gugatan ini dapat dilakukan:
1. Sebelum gugatan diperiksa dipersidangan, atau

Hukum Acara Perdata Halaman 20


2. Sebelum Tergugat memberikan jawaban, atau
3. Sesudah diberikan jawaban oleh tergugat.
Selain itu juga terhadap surat gugatan yang telah diajukan
ke Pengadilan, apabila Penggugat merasa ada sesuatu hal yang
masih ingin dirubah, pada dasarnya perubahan terhadap surat
gugatan masih dapat dilakukan asalkan Tergugat belum
memberikan jawaban atas surat gugatan tersebut. Apabila
Tergugat sudah memberikan jawaban maka perubahan surat
gugatan tersebut hanya dapat dilakukan atas persetujuan dari
Tergugat. Perubahan gugatan dilarang apabila atas dasar
keadaan hukum yang sama dimohon pelaksanaan suatu hak yang
lain, atau apabila Penggugat mengemukakan keadaan baru
sehingga dengan demikian mohon putusan hakim tentang suatu
perhubungan hukum antara kedua belah pihak yang lain daripada
yang semula telah dikemukakan. Misalnya semula gugatan
wanprestasi dengan tuntutan pelaksanaan perjanjian, dirubah
menjadi pembatalan perjanjian disertai dengan ganti rugi.

E. UPAYA MENJAMIN HAK YANG DITUNTUT DALAM GUGATAN


Dalam praktek banyak terjadi kasus bahwa pihak Penggugat
yang dikabulkan gugatannya atau dimenangkan kasusnya,
ternyata tidak dapat melaksanakan isi putusan yang dimohonkan
sehingga Penggugat hanya menang diatas kertas saja. Hal ini
dapat terjadi sebab ada kemungkinan pihak lawan atau
Tergugat, selama sidang berjalan mengalihkan harta
kekayaannya kepada orang lain, sehingga apabila kemudian
gugatan Penggugat dikabulkan oleh Pengadilan, putusan
Pengadilan tersebut tidak dapat dilaksanakan disebabkan
Tergugat tidak mempunyai harta kekayaan lagi.
Untuk itu guna menjamin gugatan Penggugat agar apabila
gugatan Penggugat tersebut dikabulkan dapat dilaksanakan /
dieksekusi perlu diupayakan adanya jaminan yang dapat
dimohonkan kepada Hakim Pemeriksa Perkara yang disertakan

Hukum Acara Perdata Halaman 21


dalam surat gugatan Penggugat tersebut. Untuk kepentingan
Penggugat agar terjamin haknya sekiranya gugatan dikabulkan,
undang – undang menyediakan upaya untuk menjamin hak tersebut
yang disebut dengan penyitaan. Penyitaan ini dapat dimohonkan
oleh Penggugat bersama – sama dengan gugatan yang diajukan
di Pengadilan ataupun secara tersendiri dengan suatu surat
permohonan untuk melakukan sita jaminan terhadap barang –
barang milik tergugat. Sita Jaminan dalam perkara perdata
secara garis besarnya dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu :
1) Sita jaminan atas barang – barang milik Penggugat.
Yang dimaksud dengan sita jaminan atas barang milik
penggugat sendiri yaitu permohonan sita yang dimohonkan oleh
penggugat terhadap barang – barangnya yang dikuasai oleh
tergugat atau pihak lain. Ada 2 (dua) macam sita atas barang
milik penggugat sendiri yaitu :
a. Sita Revindicatoir
Sita Revindicatoir yaitu sita jaminan atas barang milik
penggugat yang dikuasai oleh pihak tergugat atau pihak
lain dengan harapan agar barang tersebut tidak dialihkan
kepada orang lain selama gugatan penggugat di periksa
di Pengadilan. Yang dapat disita dalam sita
revindicatoir ini hanya meliputi atas barang – barang
bergerak milik penggugat saja. Akibat hukum daripada
sita revindicatoir ini ialah bahwa pemohon sita atau
penyita barang tidak dapat menguasai barang yang telah
disita, sebaliknya yang terkena sita dilarang untuk
mengalihkannya kepada orang lain. Apabila gugatan
penggugat nantinya dikabulkan, maka sita revindicatoir
ini dinyatakan sah dan berharga dan harus dikembalikan
kepada penggugat sebagai pemilik barang tersebut oleh
tergugat.
b. Sita Marital
Maksud dari sita marital ini hanyalah agar barang –
barang yang merupakan hasil dari perkawinan antara suami

Hukum Acara Perdata Halaman 22


dan istri tidak dialihkan kepada pihak lain atau pihak
ketiga selama proses persidangan di pengadilan masih
berjalan. Jadi dalam sita marital tidak ada titel sah
dan berharga untuk mengalihkan sita tersebut ke sita
eksekutorial. Dalam sita marital yang dapat disita tidak
hanya barang bergerak saja tetapi juga barang tidak
bergerak. Maksud dari sita marital ini adalah untuk
melindungi pihak istri karena pihak istri dianggap tidak
cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Akan tetapi
karena sekarang pihak istri sudah dianggap mampu untuk
melakukan perbuatan hukum maka sita marital ini sekarang
sudah mulai ditinggalkan.

2) Sita jaminan terhadap barang milik Tergugat


Sita jaminan yang ini paling sering dan paling banyak
digunakan dalam praktek oleh penggugat untuk menjamin gugatan
agar apa yang telah dituntut oleh penggugat dalam petitum
dapat dilaksanakan sehingga penggugat tidak hanya menang di
atas kertas saja dan untuk menjamin gugatan penggugat. Sita
jaminan ini dalam praktek disebut sebagai sita conservatoir
(conservatoir beslag).
Sita jaminan ini dalam praktek biasanya dimohonkan
bersama – sama ketika penggugat mengajukan gugatan ke
pengadilan negeri, tetapi dapat juga diajukan oleh penggugat
dengan permohonan ketika perkara sedang diperiksa atau bahkan
ketika perkara sedang diperiksa di tingkat pengadilan
banding. Sita jaminan ini dimohonkan oleh penggugat karena
karena ada kekhawatiran dari penggugat terhadap tergugat dan
ada tanda – tanda bahwa tergugat berusaha untuk mengalihkan
barang tersebut kepada orang lain atau kepada pihak ketiga.
Sita jaminan ini seharusnya dimohonkan kepada Ketua
Pengadilan di mana gugatan diajukan yang kemudian oleh Ketua
Pengadilan akan dikeluarkan penetapan sita jaminan tersebut,
namun dalam praktek sita jaminan ini karena sudah menyangkut

Hukum Acara Perdata Halaman 23


pokok sengketa maka sita jaminan ini diajukan kepada hakim
pemeriksa perkara, yang nantinya hakim pemeriksa perkara
tersebut akan mengeluarkan surat penetapan tentang sita
jamina tersebut. Benda yang dapat dikenakan conservatoir
beslag tidak hanya barang bergerak milik tergugat saja akan
tetapi juga barang bergerak milik penggugat yang dikuasai
oleh pihak lain atau pihak ketiga serta barang tidak bergerak
milik tergugat.
Sita jaminan ini apabila gugatan penggugat dikabulkan
maka akan beralih menjadi sita eksekutorial dengan pernyataan
sah dan berharga yang artinya atas barang – barang milik
tergugat tersebut dapat dilakukan pelelangan/penjualan
dimuka umum yang hasilnya digunakan untuk memenuhi tuntutan
yang dimohonkan oleh penggugat. Namun seandainya ternyata
gugatan penggugat tersebut tidak dikabulkan/ditolak, maka
sita jaminan yang berupa conservatoir beslag tersebut dicabut
dan diangkat kembali serta atas barang – barang milik
tergugat tersebut harus dipulihkan seperti sediakala tanpa
beban dari apapun.

F. PENGAJUAN GUGATAN DAN KEWENANGAN PENGADILAN


Pihak yang akan mengajukan tuntutan atau gugatan ke sebuah
pengadilan harus melakukan tindakan yang teliti dan hati–
hati, karena pengajuan tuntutan/gugatan ini berkaitan dengan
kewenangan pengadilan dalam memeriksa dan memutus perkara.
Dalam hukum acara perdata dikenal 2 (dua) macam kewenangan
yaitu :
a. Wewenang Mutlak atau Absolute Competentie
Wewenang mutlak adalah wewenang badan pengadilan dalam
memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak
tidak tepat diperiksa oleh badan peradilan lain, baik
di lingkungan peradilan yang sama (Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi) maupun dalam peradilan lain

Hukum Acara Perdata Halaman 24


(Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan
Militer, dll).
b. Wewenang Relatif atau Relatife Competentie
Wewenang relatif diartikan sebagai kekuasaan Pengadilan
yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya
dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan
tingkatan lainnya, misalnya antara Pengadilan Negeri
Magelang dengan Pengadilan Negeri Purwerejo, antara
Pengadilan Agama Muara Enim dengan Pengadilan Agama
Baturaja. Asasnya adalah yang berwenang adalah
pengadilan negeri tempat tinggal tergugat, dimana asas
ini dikenal dengan nama Actor Sequitur Forum Rei.
Terdapat beberapa pengecualian terhadap asas Actor
Sequitur Forum Rei (Pasal 118 HIR atau pasal 142 Rbg)
antara lain :
1. Gugatan diajukan pada pengadilan negeri tempat
kediaman penggugat, apabila tempat tinggal
tergugat dan tempat berdiam tergugat tidak
diketahui;
2. asas Actor Sequitur Forum Rei dengan hak opsi:
Apabila tergugat terdiri dari 2 (dua) orang lebih,
maka gugatan diajukan di tempat tinggal dari salah
seorang tergugat, terserah dari pilihan penggugat.
Jadi dalam hal ini yang menentukan tempat di mana
gugatan akan diajukan adalah penggugat yang
menentukan.
3. asas Actor Sequitur Forum Rei tanpa hak opsi:
Apabila tergugat terdiri dari debitur pokok,
debitur dan penjamin dan masing – masing tinggal
di wilayah pengadilan negeri yang berlainan, maka
gugatan diajukan di pengadilan negeri tempat
tinggal penjamin (guarantor);
4. Dalam hal gugatan diajukan oleh penggugat
menyertakan juga turut tergugat selain dari

Hukum Acara Perdata Halaman 25


tergugat sendiri, maka gugatan diajukan ditempat
tinggal tergugat;
5. Apabila tempat tingal tergugat tidak diketahui,
maka gugatan diajukan di tempat tinggal salah satu
penggugat, apabila penggugatnya lebih dari satu;
6. Forum Rei Sitae
Dalam hal gugatan dari penggugat mengenai perkara
yang obyek sengketanya berupa barang tetap, maka
gugatan diajukan di pengadilan negeri dimana tempat
barang tetap tersebut berada;
7. Forum Rei Sitae dengan hak opsi
Apabila obyek sengketa mengenai barang tetap yang
jumlahnya lebih dari satu dan terletak di beberapa
wilayah pengadilan negeri, maka pihak penggugat
dapat menentukan pilihannya. Penggugat dapat
mengajukan salah satu pengadilan negeri yang
dianggap paling menguntungkan;
8. Domisili pilihan
Apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan
suatu akta, maka gugatan diajukan di pengadilan
negeri tempat tinggal yang di pilih dalam akta
tersebut. Akan tetapi tetap memberikan hak kepada
penggugat untuk mengajukan gugatan di pengadilan
negeri di mana tergugat tinggal. Dengan demikian
asas domisili pilihan tidak mutlak menyingkirkan
asas actor sequitur forum rei.

G. KOMULASI GUGATAN
Dalam suatu perkara perdata itu sekurang – kurangnya
terdiri dari dua pihak yaitu pihak penggugat dan pihak
tergugat. Dalam perkara perdata yang sederhana masing –
masing pihak terdiri dari seorang penggugat dan seorang
tergugat yang menyengketakan satu tuntutan. Namun dapat juga
terjadi bahwa penggugat yang terdiri lebih dari seorang

Hukum Acara Perdata Halaman 26


melawan tergugat yang hanya seorang saja, atau seorang
penggugat melawan tergugat yang terdiri lebih dari seorang
atau kedua pihak masing – masing terdiri lebih dari seorang.
Hal ini disebut kumulasi subyektif yaitu penggabungan
subyeknya.
Disamping ada kumulasi subyektif ada juga komulasi
obyektif. Komulasi obyektif adalah penggabungan beberapa
tuntutan dalam satu gugatan. Masalah – masalah yang dapat
digabungkan hanyalah masalah yang ada hubungan erat satu sama
lainnya. Sedangkan masalah yang tidak ada hubungannya satu
sama lain harus digugat tersendiri dan tidak dapat disatukan
dalam surat gugatan.
Kumulasi obyektif dilarang dalam tiga hal yaitu :
1. Kalau untuk suatu tuntutan (gugatan) tertentu diperlukan
suatu acara khusus, misalnya gugat cerai sedangkan
gugatan yang harus diperiksa menurut acara biasa adalah
gugatan untuk memenuhi perjanjian, maka kedua gugatan
(tuntutan) itu tidak boleh digabungkan dalam satu surat
gugatan;
2. Apabila hakim tidak berwenang (kompetensi relatif) untuk
memeriksa salah satu gugatan dengan tuntutan lain maka
kedua gugatan (tuntutan) tidak boleh diajukan bersama–
sama dalam satu gugatan;
3. Tuntutan tentang bezit (hak milik atas benda) tidak
boleh diajukan bersama–sama dengan tuntutan dengan
eigendom dalam satu gugatan.

Hukum Acara Perdata Halaman 27


BAB IV
JAWABAN, REPLIK DAN DUPLIK
A. JAWABAN
Pada prinsipnya terhadap gugatan penggugat ini tergugat
bebas dan dapat dengan leluasa menentukan sikapnya dalam
menghadapi gugatan penggugat tersebut. Tidak ada kewajiban
khusus bagi tergugat untuk melawan atau mengakui gugatan.
Bahkan tergugat boleh membiarkan begitu saja gugatan
penggugat tersebut. Hanya saja semua sikap tergugat dalam
menghadapi gugatan penggugat mempunyai konsekuensi atau
akibat yang berbeda. Sikap tergugat dalam menghadapi gugatan
penggugat antara lain :
1. Sikap membiarkan saja gugatan penggugat
Sikap ini dilakukan oleh tergugat/kuasanya dengan cara
tidak hadir dalam persidangan untuk memenuhi panggilan
guna memenuhi acara persidangan yang telah ditentukan,
sesuai dengan relaas/risalah panggilan untuk menghadiri
persidangan. Sikap ini dapat merugikan tergugat karena

Hukum Acara Perdata Halaman 28


gugatan penggugat dapat dikabulkan dengan putusan
verstek.
2. Sikap tidak hadir, namun menjawab gugatan secara tertulis
Sesuai dengan pasal 121 (2) HIR, tergugat dapat menjawab
gugatan secara tertulis kepada pengadilan, dengan cara
mengirimkan jawaban tersebut. Namun pada umumnya jawaban
tertulis tergugat yang dikirimkan tersebut tidak akan
ditanggapi atau dilayani oleh pengadilan jika tanpa
dihadiri oleh tergugat atau kuasanya. Akan tetapi ada
pengecualian yaitu apabila dalam jawaban itu terdapat
adanya eksepsi declinatoir yaitu tentang tidak
wewenangnya hakim untuk memeriksa dan memutus perkara
yang oleh karenanya berdasarkan pasal 125 (2) HIR harus
diputus oleh pengadilan terlebih dahulu sebelum dilakukan
pemeriksaan mengenai pokok perkara.
3. Sikat tergugat/kuasanya hadir dalam persiangan dengan
memberikan tanggapan atau jawaban terhadap gugatan
penggugat di persidangan.
• Tanggapan yang berupa jawaban dapat lisan ataupun
secara tertulis
• Tanggapan / jawaban dapat berupa :
a) Pengakuan, yaitu membenarkan isi dari gugatan. Jika
kebenaran isi gugatan tersebut diakui semuanya oleh
tergugat, maka perkara menjadi tidak berkepanjangan
dan cepat diputuskannya.
b) Bantahan/sangkalan
c) Menyerahkan putusannya pada kebijaksanaan
hakim/referte, yaitu tidak membantah dan tidak pula
membenarkan isi gugatan, dan tergugat hanya
menunggu putusan hakim.

1. EKSEPSI
Jika jawaban tergugat merupakan bantahan/sanggahan, maka
jawaban tersebut dapat terdiri dari 2 (dua) macam yaitu :

Hukum Acara Perdata Halaman 29


a) Jawaban yang tidak langsung pada pokok perkara yang
disengketakan yang disebut eksepsi/tangkisan;
b) Jawaban tergugat mengenai pokok perkara (verweer
tenprinsipale).
Suatu eksepsi disusun dan diajukan berdasarkan pada
gugatan yang dibuat oleh penggugat dengan mencari
kelemahan–kelemahannya atau hal–hal lain diluar gugatan
yang ada hubungannya dengan gugatan dimaksud yang dapat
menjadi alasan menolak atau tidak diterimanya gugatan
tersebut.
Eksepsi secara umum dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam
yaitu:
1) Eksepsi Absolut
Eksepsi absolut menyangkut kompetensi pengadilan
yakni :
a. Kompetensi Absolut
Kompetensi Absolut dari pengadilan adalah
menyangkut kewenangan dari jenis pengadilan apa
untuk memeriksa perkara itu, apakah wewenang
pengadilan negeri, pengadilan militer, pengadilan
agama, atau peradilan tata usaha negara. Masalah
kompetensi absolut itu diatur di dalam pasal 134
HIR / pasal 160 Rbg, dan dapat diajukan setiap
saat selama perkara masih berjalan. Bahkan
pengadilan sendiri wajib menyatakannya walaupun
tidak ada eksepsi dari tergugat.
b. Kompetensi Relatif
Kompetensi Relatif adalah menyangkut wewenang
pengadilan (sejenis) mana untuk memeriksa perkara
itu. Misalnya apakah Pengadilan Negeri Medan,
Pengadilan Negeri Binjai, dan seterusnya. Eksepsi
mengenai kompetensi relatif yang diajukan sebagai
keberatan harus dikemukakan pada kesempatan
pertama tergugat memberikan jawabannya, sesuai

Hukum Acara Perdata Halaman 30


ketentuan pasal 133 HIR/pasal 159 Rbg. Apabila
tidak diajukan pada kesempatan pertama itu, maka
tidak dapat diajukan lagi (lihat putusan Mahkamah
Agung RI tanggal 13 september 1972 No.
1340K/Sip/1971). Eksepsi absolut yang menyatakan
pengadilan tidak berwenang memeriksa perkara
disebut juga eksepsi van onbevougdheid.
2) Eksepsi Relatif
Eksepsi Relatif adalah suatu tangkisan yang tidak
mengenai pokok perkara. Eksepsi relatif harus diajukan
pada jawaban pertama tergugat memberikan jawabannya.
Secara garis besar menurut sifatnya eksepsi dapat
dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu :
a. Eksepsi Prosesual
Tangkisan yang bertujuan kearah penghentian
pemeriksaan oleh pihak pengadilan tanpa
mengkaitkan dengan pokok perkaranya serta upaya
menuntut tidak diterimanya gugatan.
b. Eksepsi Materiil
Eksepsi yang di dasarkan atas ketentuan hukum
materiil, sehingga eksepsi ini mengkaitkan hal–
hal yang digunakan sebagai dasar gugatan.
Tangkisan terhadap kompetensi relatif yaitu mengenai
Pengadilan Negeri lain yang berkuasa harus diajukan pada
permulaan sidang (pasal 125 ayat 2, 133 HIR, 149 ayat 2 Rbg),
sedangkan tangkisan terhadap kompetensi absolut/mutlak yaitu
bahwa Pengadilan Negeri tidak berkuasa dapat diajukan setiap
saat sepanjang pemeriksaan (pasal 134 HIR, 160 Rbg), bahkan
dalam hal ini hukum wajib secara ex officio (secara
jabatannya) memutuskan berkuasa tidaknya ia memeriksa perkara
yang bersangkutan tanpa menunggu diajukan tangkisan oleh
pihak tergugat.
Semua jenis eksepsi dapat diajukan selama pemeriksaan
berlangsung kecuali yang berhubungan dengan kompetensi

Hukum Acara Perdata Halaman 31


relatif. Namun dalam praktek, agar dapat tercapainya asas
peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan maka
biasanya hakim memerintahkan agar eksepsi diajukan bersama–
sama dengan jawaban tergugat. Terhadap eksepsi yang berkaitan
dengan kewenangan pengadilan maka akan diputus terlebih
dahulu dengan putusan sela, sebelum pokok perkaranya
diperiksa. Putusan sela yang berkaitan dengan kompetensi ini
jika diterima maka tergugat yang keberatan terhadap putusan
tersebut dapat mengajukan banding, sedangkan untuk sementara
pemeriksaan terhadap perkara pokoknya dihentikan karena
putusan pengadilan negeri tersebut adalah merupakan putusan
akhir.
Jika eksepsi tentang kewenangan dalam putusan sela
tersebut ditolak, maka pemeriksaan terhadap pokok perkara
tetap dilanjutkan dan upaya banding terhadap penolakan
eksepsinya hanya dapat diajukan bersama–sama dengan putusan
akhir dalam pokok perkara. Hal ini juga berlaku terhadap
putusan sela yang menolak jenis eksepsi yang lain. Sedangkan
untuk eksepsi di luar kewenangan pengadilan maka akan di
putus bersama–sama dengan pokok perkara.

2. JAWABAN DALAM POKOK PERKARA


Pihak tergugat setelah menyampaikan eksepsi yang tidak
menyangkut pokok perkara maka tahap selanjutnya adalah
Tergugat akan menyampaikan jawaban terhadap gugatan
Penggugat. Mengenai jawaban ini tidak diatur dalam HIR/Rbg
namun diatur dalam pasal 141 RR. Jawaban adalah suatu
bantahan/pengakuan mengenai dalil–dalil gugatan yang
diajukan oleh Penggugat. Pengakuan berarti membenarkan isi
gugatan Penggugat baik untuk sebagian maupun seluruhnya,
sehingga kalau Tergugat membantah maka Penggugat harus
membuktikan. Dalam memberikan jawaban harus disertai dengan
alasan–alasan karena hal ini akan memperjelas duduk perkara
yang biasanya berisi tentang :

Hukum Acara Perdata Halaman 32


1. Bantahan
Suatu pengakuan terhadap apa yang dikemukakan Penggugat
dalam dalil–dalil gugatannya.
2. Pengakuan/pembenaran
Di dalam jawaban ada kemungkinan Tergugat mengakui
kebenaran dalil–dalil gugatan penggugat. Untuk
menghindari jangan sampai ada pengakuan yang tidak
memerlukan pembuktian lagi, biasanya dipergunakan kata–
kata “seandainyapun itu benar “ atau qwodnoon maksudnya
tidak membantah secara tegas tetapi juga tidak mengakui
secara pasti.

3. Fakta lain–lain
Dalam jawaban, Tergugat dapat mengemukakan fakta–fakta
baru untuk membenarkan kedudukannya, misalnya
seandainya Tergugat memang wanprestasi bukan karena
kemauannya sendiri tetapi karena adanya keadaan tertentu
seperti overmacht, jatuh pailit dan sebagainya.
Tergugat dalam memberikan jawaban terhadap dalil–dalil
gugatan dari penggugat agar lebih mudah memberikan jawaban
cukup dengan mengikuti poin–poin gugatan dari penggugat.
Dalam mengemukakan jawaban tersebut tergugat harus
mempertimbangkan apakah jawaban tersebut menguntungkan
kedudukan tergugat atau bahkan merugikan bagi tergugat.
Seandainya jawaban tersebut akan merugikan bagi si tergugat
maka hal tersebut tidak perlu dikemukakan. Jawaban harus
disusun secara singkat, jelas dan mendukung dalil–dalil
jawaban dapat menggunakan sumber kepustakaan, yurisprudensi,
doktrin dan kebiasaan–kebiasaan.

B. REPLIK
Setelah pihak tergugat, memberikan jawaban terhadap
gugatan penggugat maka acara pemeriksaan selanjutnya adalah
jawaban penggugat terhadap jawaban dari tergugat. Jawaban

Hukum Acara Perdata Halaman 33


penggugat ini lazim disebut dengan Replik. Replik berasal
dari 2 (dua) kata RE yang berarti kembali dan PLIEK yang
berarti menjawab. Replik adalah jawaban balasan atas jawaban
tergugat dalam perkara perdata. Replik ini juga tidak diatur
dalam HIR/Rbg, namun diatur dalam pasal 142 RR (Staatblad
1847-52 jo 1849-63).
Replik biasanya berisi dalil–dalil atau hal–hal tambahan
untuk menguatkan dalil–dalil gugatan penggugat. Untuk
menyusun replik penggugat dapat mengikuti poin–poin jawaban
dari tergugat. Dalam Replik penggugat dapat mengajukan hal–
hal baru untuk menguatkan dalil gugatannya. Pada dasarnya
replik ini bukan merupakan sesuatu yang harus dilakukan oleh
penggugat. Jika dianggap tidak diperlukan adanya jawaban
penggugat atas jawaban tergugat maka tidak perlu mengajukan
jawaban – jawaban lagi. Hal ini dikarenakan menurut para
pihak proses jawab menjawab pada tahap pertama/gugatan –
jawaban dianggap sudah cukup. Namun dimungkinkan sebaliknya
apabila proses jawab–menjawab sampai pada tahap replik
ternyata belum dianggap cukup maka para pihak masih
dimungkinkan lagi untuk mengajukan replik. Biasanya hal ini
terjadi pada suatu perkara di mana pihak tergugat mengajukan
gugatan Rekonvensi, karena hal ini untuk memberikan
kesempatan kepada penggugat konvensi/tergugat rekonvensi
untuk mengajukan jawaban atas gugat balik tersebut. Replik
pada dasarnya hanya merupakan penguat untuk mempertahankan
bahkan kadang–kadang hanya pengulangan dari gugatan
sebelumnya yang ditambah dengan argumentasi yang baru.

C. DUPLIK
Setelah penggugat memberikan jawaban atas jawaban
tergugat yang berupa replik maka tahap selanjutnya adalah
kesempatan bagi pihak tergugat untuk memberikan jawaban atas
jawaban penggugat yang disebut Duplik. Duplik berasal dari
2 (dua) kata yaitu DU yang berarti dua dan PLIEK yang berarti

Hukum Acara Perdata Halaman 34


dalil untuk menguatkan jawaban tergugat. Dalam Duplik
tergugat masih dapat mengemukakan dalil–dalil jawabannya
disertai dengan argumentasi yang baru. Seperti halnya replik,
dalam duplik apabila dianggap tidak diperlukan adanya jawaban
tergugat atas replik penggugat maka tidak perlu tergugat
mengajukan duplik.

BAB V
PEMBUKTIAN DAN KESIMPULAN
A. PEMBUKTIAN
I. Asas, Tujuan, dan Beban Pembuktian Dalam Perkara
Perdata
Tahap pembuktian merupakan tahap yang penting dalam
perkara perdata, karena dikabulkan atau ditolaknya suatu
gugatan tergantung pada terbukti atau tidaknya gugatan
tersebut di depan pengadilan. Dalam pembuktian ini hakim
harus adil dan bijaksana dalam memberikan kesempatan kepada
para pihak baik penggugat maupun tergugat untuk mengajukan
bukti–buktinya. Hakim harus mendengarkan bukti–bukti dari
kedua pihak secara seimbang/sama (asas audi et alteram
partem). Dalam hukum acara perdata kebenaran yang harus
dicari oleh hakim adalah kebenaran formil, sehingga berlainan
dengan hukum acara pidana dimana hakim mencari kebenaran
materiil. Titik perhatian dalam pembuktian perkara perdata
adalah para pihak harus dapat menyampaikan bukti–bukti yang
mengandung fakta mengenai formil dari suatu perkara.
Pada asasnya beban pembuktian ini pertama–tama merupakan
kewajiban dari penggugat. Hal ini tercermin dalam pasal 1865
KUHPerdata atau pasal 163 HIR yang menyatakan bahwa : “ Barang
siapa mengatakan/ mendalilkan bahwa ia mempunyai satu hak
atau mengemukakan atas suatu perbuatan untuk meneguhkan
haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, haruslah
membuktikan adanya hak itu atau adanya perbuatan itu “.
Oleh karena itu jika seorang penggugat mengajukan dalil–
dalil gugatannya mengenai suatu hak yang ada padanya maka ia

Hukum Acara Perdata Halaman 35


harus dapat membuktikan dalil–dalil yang dikemukakan dalam
gugatannya tersebut. Dalam pembuktian ini yang harus
dibuktikan adalah peristiwanya dan bukan hukumnya, karena
hukumnya tidak harus diajukan atau dibuktikan oleh para pihak
tetapi secara ex officio dianggap harus diketahui dan
diterpakan oleh hakim (ius curia novit). Pada tahap
pembuktian ini dalam beberapa hal ada peristiwa yang tidak
perlu dibuktikan atau diketahui oleh hakim. Hal ini
disebabkan karena :
1. Peristiwa memang dianggap tidak perlu diketahui atau
dianggap memang tidak mungkin diketahui oleh hakim, yang
berarti bahwa kebenaran peristiwa tidak perlu dibuktikan
kebenarannya, diantaranya :
a. Dalam hal dijatuhkan putusan verstek karena tergugat
tidak datang, maka peristiwa yang menjadi sengketa yang
dimuat dalam surat gugatan tanpa diadakan pembuktian
dianggap benar dan kemudian tanpa mendengar serta
diluar hadirnya pihak tergugat dijatuhkanlah putusan
verstek oleh hakim.
b. Dalam hal tergugat mengakui bahwa gugatan penggugat
benar maka peristiwa yang menjadi sengketa yang diakui
itu dianggap telah terbukti, karena pengakuan
merupakan alat bukti yang kuat sehingga tidak
memerlukan pembuktian lain lebih lanjut.
c. Telah dilakukan sumpah decisoir yaitu sumpah yang
bersifat menentukan, maka peristiwa yang mejadi
sengketa yang dimintakan sumpah dianggap terbukti dan
tidak memerlukan pembuktian lebih lanjut.
d. Telah menjadi pendapat umum bahwa dalam hal bantahan
kurang cukup atau dalam hal diajukan referte, maka
pembuktian tidak diperlukan dan hakim tidak boleh
membebani para pihak dengan pembuktian.

Hukum Acara Perdata Halaman 36


2. Hakim secara Ex Officio dianggap mengenal peristiwanya,
sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut. Peristiwa
tersebut adalah :
a. Peristiwa notoir yaitu kejadian atau keadaan yang
dianggap harus diketahui oleh orang yang berpendidikan
dan mengenal zamannya tanpa mengadakan penelitian
lebih lanjut. Misalnya seseorang tidak akan mungkin
berjalan kaki secara wajar dari Jakarta sampai Denpasar
ditempuh hanya dalam waktu satu hari.
b. Peristiwa yang terjadi di persidangan di muka hakim
yang memeriksa perkara. Kejadian–kejadian prosesuli
ini dianggap diketahui oleh hakim.
3. Pengetahuan tentang pengalaman yaitu kesimpulan
berdasarkan pengetahuan umum. Pengetahuan tentang
pengalaman ini tidak termasuk hukum karena tidak bersifat
normatif tetapi merupakan pengalaman semata – mata.

II. Macam – Macam Alat Bukti Dalam Acara Perdata.


Alat bukti dalam hukum acara perdata diatur dalam pasal
1866 KUHPerdata atau pasal 164 HIR :
1. Bukti tulis (surat)
2. Bukti saksi
3. Persangkaan
4. Pengakuan
5. Sumpah
1. Bukti Tulis (Surat)
Alat bukti tulis dalam acara perdata meliputi :
a. Akta Autentik (Pasal 165 HIR atau lihat juga pasal
1868 BW dan pasal 285 Rbg)
Akta autentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat
yang berwenang untuk itu oleh penguasa, menurut
ketentuan yang telah di tetapkan, baik dengan maupun
tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat
apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh
yang berkepentingan. Akta autentik memuat keterangan

Hukum Acara Perdata Halaman 37


seorang pejabat yang menerangkan apa yang dilakukan
dan dilihat dihadapannya.
b. Akta di bawah tangan
Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat
untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari
seorang pejabat, sehingga semata–mata dibuat antara
pihak yang berkepentingan. Contoh : akta jual beli
yang dibuat tidak dihadapan pejabat umum, akta sewa
menyewa, dan lain–lain.
c. Surat Biasa
Surat biasa yaitu surat yang tidak dibuat khusus untuk
dimaksudkan menjadi alat bukti. Apabila surat
tersebut dikemudian hari dipergunakan sebagai alat
bukti di pengadilan hanyalah merupakan suatu
kebetulan saja. Surat biasa itu misalnya Surat
Pribadi, surat dari sahabat atau keluarga, isinya
mungkin saja hanya mengabarkan sesuatu hal yang pada
saat itu tidak terlalu penting, tapi ketika timbul
sengketa surat tersebut menjadi penting untuk
dijadikan sebagai alat bukti.
Kekuatan pembuktian dari surat atau alat bukti
tertulis terletak pada aslinya (pasal 301 Rbg, pasal
1888 BW). Undang – undang hanyalah mengakui kekuatan
pembuktian dari pada salinan akta, sehingga kekuatan
pembuktian dari pada salinan surat–surat lainnya
diserahkan kepada pertimbangan hakim.
Suatu alat bukti di pengadilan, maka para pihak selain
harus menyertakan aslinya juga harus menyerahkan
salinannya kepada hakim dengan terlebih dahulu
dinazegal di Kantor Pos Besar untuk memenuhi biaya
pemateraian. Apabila alat bukti tulis yang akan
diajukan di muka pengadilan cukup banyak atau lebih
dari satu, maka sebaiknya dibuatkan daftar alat bukti
yang memuat nama–nama bukti tulis itu dan keterangan

Hukum Acara Perdata Halaman 38


kegunaan/peruntukan masing–masing alat butki
tersebut. Dengan demikian majelis hakim pemeriksa
perkara akan lebih mudah memahami bukti – bukti tulis
yang akan diajukan oleh para pihak.
Contoh penyusunan alat bukti tulis :

DAFTAR BUKTI TULIS PENGGUGAT


DALAM PERKARA PERDATA No. 03/Pdt/G/PN.Bksi
No Kode Jenis Surat Kegunaan Keteranga
n
1 P-1 Sertifikat Hak Milik Untuk Satu
No.380 Atas nama Anto membuktikan bendel
bahwa obyek
sengketa
adalah milik
penggugat
2 P-2 Akta jual beli tanah No. Untuk Satu
23 tanggal 02 -10-1971 membuktikan bendel
bahwa tanah
obyek sengketa
oleh penggugat
melalui jual
beli

Jakarta , 05 Januari 2012

Hormat Kami,
Kuasa Hukum Penggugat

APPOLO SINAMBELA,SH.

2. Bukti saksi
Saksi adalah orang yang memberikan keterangan/kesaksian
mengenai apa yang dia ketahui, dia lihat, dia dengar, atau

Hukum Acara Perdata Halaman 39


dia alami sendiri, yang dengan kesaksian itu menjadi jelas
suatu perkara. Menurut sifatnya saksi dapat dibagi atas :
a. Saksi Kebetulan
Saksi Kebetulan, saksi yang secara kebetulan melihat,
mengalami atau mendengar sendiri peristiwa-peristiwa
yang menjadi perkara. Saksi demikian misalnya para
tetangga, orang secara kebetulan melihat, mendengar
peristiwa itu.
b. Saksi Sengaja
Saksi sengaja adalah saksi yang pada waktu perbuatan
itu dilakukan sengaja telah diminta untuk
menyaksikannya, misalnya Kepala Desa, Camat, Notaris,
dan lain – lain.
Mengenai saksi ini diatur dalam pasal 139 HIR/Pasal 165
Rbg, juga harus diperhatikan ketentuan pasal 169 HIR/306 Rbg,
yang menyatakan bahwa keterangan seorang saksi saja dengan
tidak ada suatu alat bukti lain, tidak dapat dipercayai
didalam hukum. Asas ini sering dikenal dengan asas Unus
Testis Nulus Testis, artinya satu saksi bukanlah saksi. Oleh
karena itu jika seseorang ingin membuktikan hanya dengan
saksi, maka saksi tersebut hendaklah sekurang–kurangnya dua
orang, atau didukung dengan bukti–bukti lain. Selain itu jika
seorang saksi menerangkan sesuatu yang diperolehnya dari
pihak ketiga, kesaksian seperti ini hanyalah kesaksian yang
didengar dari pihak lain atau bukan yang dilihat sendiri,
didengar sendiri ataupun dialami sendiri, sering disebut
dengan istilah Testimonium De Auditu. Kesaksian seperti ini
tidak diperkenankan.
Sebelum memberikan kesaksiannya seorang saksi haruslah
terlebih dahulu di sumpah atau mengucapkan janji menurut
agama dan kepercayaannya masing–masing. Saksi yang memberikan
keterangan tidak dibawah sumpah/janji, keterangannya
bukanlah merupakan kesaksian tetapi hanya hanya dapat
digunakan sebagai petunjuk saja. Adapun isi sumpah tersebut

Hukum Acara Perdata Halaman 40


antara lain dirinya akan menyatakan yang benar seperti yang
ia lihat, dengar, atau alami sendiri mengenai perkara itu.
Terkadang kita sering mendengar istilah saksi enguete
yaitu pendengaran saksi di persidangan pengadilan atas
permohonan (tertulis) dari penggugat dan ditetapkan melalui
putusan sela. Berbeda dengan saksi biasa, yang pemeriksaannya
tidak usah melalui penetapan hakim dengan putusan sela tapi
cukup dimohonkan secara lisan dan dicatat dalam berita acara
sidang saja. Untuk melawan saksi enguete tergugat juga dapat
mohon saksi contra enguete yaitu saksi yang menentukan dari
tergugat yang kepada keterangannya bergantung putusan atas
perkara. Saksi contra enguete ini juga harus ditetapkan
dengan putusan sela/interlocutoir vonis.
Selain itu juga terdapat juga saksi Valctudinaire Enguete
yaitu saksi yang didahulukan pemeriksaanya karena keadaan
mendesak yang jika menunggu persidangan dimulai tidak mungkin
dihadirkan di persidangan karena alasan teknis maupun
klinis/medis.
Dalam acara perdata tidak semua orang dapat menjadi saksi.
Ada beberapa orang/golongan yang tidak dapat/dilarang menjadi
saksi dalam pemeriksaan perkara yaitu:
1) Mereka yang tidak mampu secara mutlak/absolut
a. Keluarga sedarah (ayah, ibu, kakek, nenek, anak,
cucu) dan keluarga semenda (hubungan kekeluargaan
yang terjadi karena perkawinan, misal adik ipar,
kakak ipar) menurut keturunan lurus dari salah satu
pihak.
b. Suami atau istri salah satu pihak meskipun telah
bercerai
2) Mereka yang tidak mampu secara nisbi/relatif
a. Anak – anak yang belum mencapai umur 15 tahun
b. Orang gila meskipun kadang – kadang ingatannya terang
atau sehat.

Hukum Acara Perdata Halaman 41


Keluarga sedarah dan semenda dapat menjadi saksi dalam
perkara yang menurut keadaan hukum sipil orang yang
berperkara. Misalnya menjadi saksi dalam perkara perceraian
atau penentuan ahli waris. Alasan keluarga sedarah atau
semenda dilarang menjadi saksi karena adanya keragu – raguan
bahwa ia tidak akan memberikan keterangan yang
benar/obyektif.
Disamping ada saksi yang dilarang untuk jadi saksi, ada
beberapa golongan orang yang dapat mengundurkan diri menjadi
saksi. Orang – orang yang dapat mengundurkan diri sebagai
saksi adalah :
1) Saudara laki – laki dan perempuan dan ipar–ipar laki–
laki dan perempuan dari salah satu pihak.
2) Keluarga sedarah menurut keturunan lurus dari saudara
laki–laki dan perempuan dari suami/istri dari salah satu
pihak.
3) Orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya
yang sah diwajibkan menyimpan rahasia dalam halnya
semata–mata tentang hal itu saja yang dipercayakan
karena martabat, pekerjaan dan jabatan itu.
Dalam praktek ada beberapa etika dalam mengajukan
pertanyaan kepada saksi yang harus diperhatikan hakim,
oleh para pihak (kuasa hukum/pengacaranya) yaitu beberapa
larangan untuk :
1) Mengajukan pertanyaan yang bersifat menjerat
2) Mengajukan pertanyaan yang bersifat sugestif
3) Mengajukan pertanyaan yang tidak ada sangkut pautnya
dengan perkara yang sedang diperiksa.
4) Mengajukan pertanyaan secara tidak sopan atau tidak
senonoh.

3. Persangkaan
Persangkaan adalah kesimpulan – kesimpulan yang oleh
undang – undang atau hakim ditariknya dari suatu peristiwa

Hukum Acara Perdata Halaman 42


yang terkenal/terbukti kearah suatu peristiwa yang tidak
terkenal/belum terbukti. Persangkaan dibagi menjadi dua yaitu
persangkaan hakim dan persangkaan undang – undang. Misalnya,
untuk membuktikan bahwa telah terjadi perzinahan dalam kasus
perceraian antara suami istri, sementara bukti saksi sangat
sulit di dapat, maka dengan persangkaan hakim bila seorang
laki–laki dan wanita dewasa berada dalam satu kamar dan hanya
ada satu tempat tidur, maka dapatlah disangkakan telah
terjadi perzinahan.
Persangkaan hakim sesungguhnya sangat luas meliputi
segala peristiwa, keadaan dalam sidang, bahan–bahan yang
didapat dari pemeriksaan perkara yang dapat dijadikan bahan
untuk menyusun persangkaan oleh hakim, misalnya seseorang
telah diperintahkan untuk memperlihatkan sertifikat atau akta
jual beli tanah, kenyataannya orang tersebut selalu ingkar
dengan berbagai alasan yang dibuat–buat, maka hal tersebut
dapat dijadikan persangkaan bagi hakim bahwa orang tersebut
sebenarnya tidak memiliki hak milik atas tanah ataupun belum
pernah membeli tanah yang menjadi sengketa.
Suatu persangkaan harus didasarkan peraturan perundang–
undangan. Persangkaan yang tidak berdasarkan peraturan
perundang–undangan hanya boleh diperhatikan oleh hakim
sewaktu menjatuhkan putusannya, jika sangka itu penting,
seksama, tertentu dan bertujuan sama yang satu dengan yang
lain. Persangkaan tidak boleh berdiri sendiri tetapi harus
terdiri dari beberapa persangkaan yang satu sama yang lain
saling mendukung/berhubungan sehingga peristiwa yang
disangka itu dapat dibuktikan.

4. Pengakuan
Pengakuan diatur dalam pasal 174 -176 HIR, pasal 1923 -
1928 BW dan pasal 311-313 Rbg. Pengakuan terdiri dari 2 (dua)
macam yaitu :
1. Pengakuan di depan sidang

Hukum Acara Perdata Halaman 43


Pengakuan di depan sidang adalah pengakuan yang
diucapkan di depan hakim cukup untuk menjadi bukti untuk
memberatkan orang yang mengaku itu. Baik pengakuan itu
diucapkan sendiri ataupun dengan pertolongan orang lain
yang dikuasakan untuk itu. Pengakuan di depan sidang
menurut pasal 1926 BW tidak boleh ditarik kembali
kecuali apabila pengakuan itu merupakan suatu kesilapan
mengenai hal–hal yang terjadi. Pengakuan yang
dikemukakan di depan sidang merupakan persangkaan
undang–undang. Dalam perkara perdata pengakuan dari
tergugat, berarti ia menerima dengan sepenuhnya segala
yang diajukan oleh penggugat.

2. Pengakuan di luar sidang


Mengenai pengakuan di luar sidang secara lisan mengenai
kekuatannya diserahkan kepada hakim. Hakim dapat
memberikan penilaian atau penghargaan kepada pengakuan
lisan di luar sidang.
Pengakuan dalam acara perdata selain mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna juga mempunyai kekuatan
pembuktian yang menentukan (beswissen bewijs) dan
memaksa (dwingend bewijs) bagi hakim, artinya memaksa
hakim untuk menganggap dalil–dalil yang diakuinya itu
benar semua.
Pengakuan yang disertai dengan tambahan uraian peristiwa–
peristiwa lain, yang membebaskan Tergugat dari kewajibannya
yang terkandung dalam pengakuannya. Pengakuan yang mengandung
doktrin onsplitsbare bekentenis tersebut harus diterima
selengkapnya, artinya tidak boleh dipisahkan dari keterangan
tambahan yang menyertainya, jadi merupakan bagian satu
kesatuan dengan satu pengertian/makna. Oleh karenanya dengan
keterangan tambahan yang menyertai pengakuannya, termuat
peristiwa–peristiwa yang membebaskan Tergugat dari

Hukum Acara Perdata Halaman 44


kewajibannya, maka pengakuan tersebut di atas harus dilihat
sebagai bantahan/penyangkalan terhadap gugatan Penggugat.

5. Sumpah
Alat bukti sumpah pada dasarnya merupakan suatu
pembuktian yang menggunakan pengaruh dari ketaatan manusia
terhadap Tuhan, karena apabila orang itu bersumpah maka akan
dipertanggungjawabkan kepada Tuhan secara langsung sehingga
seandainya orang yang bersalah dan berani mengatakan
kebenaran dirinya, maka dialah yang langsung bertanggungjawab
kepada Tuhan mengenai kebohongannya itu.
Alat bukti sumpah ada beberapa macam yaitu :
1. Sumpah Decissoir/sumpah pemutus
Sumpah Decissoir adalah sumpah yang oleh salah satu
pihak diperintahkan kepada pihak lainnya untuk
menggantungkan pemutusan perkara kepadanya. Sumpah
Decissoir ini datangnya dari para pihak bukan dari hakim.
Sumpah ini hanya dapat dikabulkan bila dalam perkara
tersebut sama sekali tidak ada alat bukti lainnya. Dengan
sumpah pemutus ini maka orang yang memerintahkan pihak
lawannya untuk bersumpah dianggap pihak yang melepaskan
suatu hak. Perintah untuk melakukan sumpah pemutus dapat
dikembalikan, artinya pihak yang menerima perintah dapat
menuntut pemberi perintah itu sendiri untuk melakukan
sumpah. Kalau pemberi perintah itu, setelah sumpah itu
dikembalikan ternyata tidak berani bersumpah maka ia akan
dikalahkan juga. Putusan perkara itu akan bergantung
kepada sumpah decissoir tersebut. Agar sumpah yang
diperintahkan oleh salah satu pihak kepada pihak lawannya
itu dapat memutuskan atau mengakhiri perkara, maka dengan
sendirinya sumpah itu harus mengenai hal atau peristiwa
yang menjadi perselisihan.

Hukum Acara Perdata Halaman 45


2. Sumpah Supletoir/sumpah pelengkap
Sumpah Supletoir adalah sumpah yang karena jabatannya
diperintahkan oleh hakim kepada salah satu pihak
(Penggugat atau Tergugat). Sumpah Supletoir ini berfungsi
sebagai pelengkap/tambahan yang bertujuan untuk menambah
pembuktian yang kurang lengkap dalam perkara perdata.
Untuk melakukan sumpah supletoir ini disyaratkan harus ada
bukti awal terlebih dahulu, karena bukti awal tersebut
belum lengkap, sedangkan untuk mendapatkan bukti yang lain
sudah tidak mungkin lagi maka hakim akan memerintahkan
kepada salah satu pihak untuk melakukan sumpah supletoir.
Misalnya baru ada satu saksi. Untuk menjatuhkan sumpah
supletoir kepada salah satu pihak semuanya bergantung
kepada kebijaksanaan hakim. Hakim yang akan menentukan
siapa yang akan di bebani sumpah supletoir ini.
3. Sumpah Aestimatoir/sumpah penafsiran
Sumpah Aestimatoir adalah sumpah yang diperintahkan oleh
hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan
jumlah uang ganti kerugian. Sumpah Aestimatoir ini baru
dapat dibebankan oleh hakim kepada Penggugat apabila
Penggugat telah dapat membuktikan haknya atas ganti
kerugian itu serta jumlahnya masih belum pasti dan tidak
ada cara lain untuk menentukan jumlah ganti kerugian
tersebut kecuali dengan taksiran. Kekuatan pembuktian
sumpah aestimatoir ini sama dengan sumpah supletoir yaitu
bersifat sempurna dan masih memungkinkan pembuktian lawan.

B. KESIMPULAN
Kesimpulan bukan merupakan keharusan akan tetapi sudah
merupakan kebiasaan dalam praktek peradilan. Tujuan dari
kesimpulan adalah untuk menyampaikan pendapat para pihak
kepada hakim tentang terbukti atau tidaknya suatu gugatan.
Kesimpulan yang dibuat oleh para pihak ini diharapkan dapat
mempermudah hakim untuk mengambil keputusan terhadap

Hukum Acara Perdata Halaman 46


perkara yang sedang diperiksa. Suatu kesimpulan biasanya
berisikan tentang :
1. Kesimpulan jawab menjawab
Dalam proses jawab–menjawab yaitu gugatan, jawaban,
replik, duplik apa hal–hal yang dianggap telah terbukti,
atau hal–hal yang tidak terbukti sebaliknya bagi
tergugat gugatannya tidak terbukti.
2. Kesimpulan dari bukti–bukti tertulis
Biasanya isi penting dari alat–alat bukti tertulis
dikemukakan secara singkat dan jelas. Kemudian
dirumuskan hal–hal yang dianggap terbukti atau tidak
dari bukti–bukti tersebut.
3. Kesimpulan dari saksi
Dalam kesimpulan ini dimuat inti–inti pokok dari
keterangan masing–masing saksi Pengugat dan Tergugat.
Kemudian dari keterangan saksi–saksi itu disimpulkan
hal–hal yang terbukti atau hal–hal yang tidak terbukti.
Dalam kesimpulan ini juga dapat disimpulkan hal–hal
mengenai penilaian terhadap alat bukti secara lengkap,
misalnya penilaian terhadap alat bukti lawan.

Hukum Acara Perdata Halaman 47


BAB VI
PUTUSAN DAN UPAYA HUKUM

A. PUTUSAN
Putusan merupakan hasil akhir dari pemeriksaan perkara
di sidang pengadilan. Putusan yang diberikan oleh hakim
mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan yaitu :
1. Kekuatan Mengikat
Artinya bahwa suatu putusan pengadilan dimaksudkan untuk
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa dan untuk
menetapkan hak atau hukumnya. Kalau pihak yang bersengketa
menyerahkan sengketanya kepada pengadilan atau hakim untuk
diperiksa atau diadili maka hal ini mengandung arti bahwa
pihak–pihak yang bersengketa akan tunduk dan patuh pada
putusan yang dijatuhkan. Putusan yang telah dijatuhkan oleh
hakim haruslah dihormati oleh para pihak. Salah satu pihak
tidak boleh bertindak bertentangan dengan putusan yang telah
dijatuhkan tersebut.

2. Kekuatan Pembuktian
Putusan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis
merupakan akta otentik yang bertujuan untuk dapat digunakan
sebagai alat bukti bagi para pihak, yang mungkin akan
dipergunakan untuk mengajukan banding, kasasi atau
pelaksanannya. Dengan putusan tersebut telah diperoleh suatu
kepastian tentang sesuatu.

3. Kekuatan Eksekutorial atau kekuatan untuk dilaksanakan


Putusan hakim yang mempunyai kekuatan eksekutorial yaitu
kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang ditetapkan dalam
putusan ini secara paksa oleh alat–alat Negara. Suatu putusan
hakim terdiri dari 4 (empat) bagian yaitu :

Hukum Acara Perdata Halaman 48


1) Kepala Putusan
Setiap putusan pengadilan harus mempunyai kepala putusan
pada bagian atas putusan yang berbunyi “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Kepala putusan
ini mempunyai kekuatan eksekutorial pada putusan.
Apabila dalam kepala putusan tersebut tidak ada kata–
kata tersebut maka putusan pengadilan tersebut tidak
dapat dilaksanakan atau batal demi hukum.
2) Identitas Para Pihak
Identitas para pihak ini terdiri dari identitas
Penggugat dan Tergugat yang meliputi nama, nama
pengacaranya bila ada, umur, alamat, dan pekerjaan.
3) Pertimbangan
Pertimbangan atau considerans merupakan dasar putusan.
Pertimbangan dalam putusan terdiri dari dua yaitu
pertimbangan tentang duduk perkara atau peristiwanya dan
pertimbangan tentang hukumnya.
4) Amar
Amar itu dictum putusan merupakan jawaban terhadap
Petitum daripada Penggugat.
Putusan hakim menurut sifatnya dapat dibagi atas :
a) Constitutif (pengaturan)
Putusan constitutif adalah putusan yang menciptakan,
meniadakan mengenai sesuatu, seolah–olah membuat
kaidah/ketentuan baru, misalnya : putusan yang
menetapkan tentang batas–batas tanah, pengangkatan
wali, dan lain–lain.

b) Declaratoir (pernyataan)
Putusan Declaratoir adalah putusan yang memberi
menerangkan, menyatakan mengenai sesuatu, misalnya
bahwa seseorang adalah dilahirkan pada tanggal tertentu.

c) Condemnatoir (menghukum)

Hukum Acara Perdata Halaman 49


Putusan Condemnatoir adalah putusan yang isinya
menghukum kepada pihak untuk memenuhi prestasi, misalnya
menghukum Tergugat untuk membayar hutangnya sebesar Rp.
5.000.000. (lima juta rupiah) kepada Penggugat.
Sedangkan putusan dilihat dari jenisnya ada dua macam yaitu:
1. Interlucotoir Vonis
Interlucotoir vonis atau putusan sela adalah putusan yang
belum merupakan putusan akhir. Putusan sela dapat berupa
:
a. Putusan Provisional
Putusan Provisional adalah putusan yang diambil
segera mendahului putusan akhir tentang pokok perkara
karena adanya alasan–alasan yang mendesak untuk itu.
b. Putusan Preparatoir
Putusan Preparatoir adalah putusan sela guna
mempersiapkan putusan akhir. Misalnya putusan yang
menolak/mengabulkan pengunduran sidang, karena alasan
yang tidak tepat/tidak dapat diterima.
c. Putusan Insidental
Putusan Insidental adalah putusan sela yang diambil
segera secara insidental. Hal ini terjadi misalnya
karena kematian kuasa dari salah satu pihak.

2. Putusan Akhir
Putusan akhir terdiri dari :
a. Niet Onvankelijk Verklaart
Niet Onvankelijk Verklaart artinya tidak dapat diterima,
yaitu putusan pengadilan yang menyatakan bahwa gugatan
Penggugat tidak dapat diterima. Alasan gugatan tidak
dapat diterima adalah :
1) Gugatan tidak berdasarkan hukum
2) Gugatan tidak patut
3) Gugatan itu bertentangan dengan kesusilaan/ketertiban
umum
4) Gugatan salah

Hukum Acara Perdata Halaman 50


5) Gugatan kabur
6) Gugatan tidak memenuhi persyaratan
7) Objek gugatan tidak jelas
8) Subjek gugatan tidak lengkap
b. Tidak berwenang mengadili
Suatu gugatan yang diajukan kepada pengadilan yang tidak
berwenang baik menyangkut kompetensi absolut maupun
relatif akan diputus oleh pengadilan tersebut dengan
menyatakan dirinya tidak mengadili gugatan itu, sehingga
gugatan tidak dapat diterima.
c. Gugatan dikabulkan
Suatu gugatan yang terbukti kebenarannya di pengadilan
akan dikabulkan seluruhnya atau sebagian. Apabila
gugatan terbukti seluruhnya maka gugatan tersebut akan
dikabulkan seluruhnya namun apabila gugatan hanya
terbukti sebagian maka gugatan akan dikabulkan sebagian.
d. Gugatan ditolak
Suatu gugatan yang tidak terbukti kebenarannya di
pengadilan maka gugatan tersebut akan ditolak. Penolakan
ini dapat untuk seluruhnya atau sebagian.
Putusan pengadilan yang telah dijatuhkan oleh hakim dapat
dilaksanakan oleh pihak yang dimenangkan apabila putusan
tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Artinya
bahwa terhadap putusan tersebut sudah tidak ada lagi upaya
hukum biasa (verzet,banding,kasasi) maupun upaya hukum luar
biasa (peninjauan kembali, denden verzet). Atau apabila
putusan tersebut berupa putusan uitvoorbaar bij voorraad
yaitu putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan serta merta
tanpa menunggu putusan itu mempunyai kekuatan hukum tetap (in
cracht).

B. UPAYA HUKUM
Upaya hukum adalah suatu tindakan dari salah satu pihak
yang berperkara untuk memohonkan pembatalan putusan–putusan
yang dimintakan upaya hukum itu, karena tidak puas atas

Hukum Acara Perdata Halaman 51


putusan dimaksud. Upaya hukum dalam perkara perdata dibedakan
menjadi dua macam yaitu upaya hukum biasa seperti perlawanan
(verzet), banding, kasasi dan upaya hukum luar biasa, seperti
peninjauan kembali (request civil) dan perlawana pihak ketiga
(denden verzet)

I. UPAYA HUKUM BIASA


Apabila salah satu pihak yang berperkara mengajukan upaya
hukum biasa maka perkara yang telah diputus oleh hakim atau
pengadilan menjadi mentah lagi oleh karenanya atas putusan
tersebut tidak dapat dilakukan eksekusi. Artinya bahwa dengan
adanya upaya hukum biasa ini putusan pengadilan tersebut
belum mempunyai kekuatan hukum tetap sehingga putusan
tersebut belum dapat dilaksanakan/dieksekusi oleh pihak yang
dimenangkan.

1. PERLAWANAN (VERZET)
Perlawanan atau verzet merupakan upaya hukum terhadap
putusan yang dijatuhkan diluar hadirnya tergugat. Upaya hukum
ini pada asasnya disediakan bagi pihak Tergugat yang (pada
umumnya) dikalahkan. Verstek merupakan pernyataan bahwa
Tergugat tidak hadir meskipun telah dipanggil secara patut.
Verstek hanya dapat dunyatakan apabila pihak Tergugat
kesemuanya (jika Tergugat lebih dari satu) tidak dapat
menghadap pada sidang pertama, dan apabila perkara diundurkan
sesuai dengan pasal 126 HIR ternyata pihak Tergugat
kesemuanya tidak juga datang menghadap lagi. Ada beberapa
syarat apabila hakim akan menjatuhkan putusan verstek (pasal
125 ayat 1 HIR) yaitu :
1. Tergugat/para Tergugat kesemuanya tidak datang pada hari
sidang yang telah ditentukan.
2. Tergugat/para Tergugat tidak mengirimkan
wakilnya/kuasanya yang sah untuk menghadap
3. Tergugat/para Tergugat telah dipanggil dengan patut
4. Petitum gugatan Penggugat tidak melawan hak

Hukum Acara Perdata Halaman 52


5. Petitum gugatan Penggugat beralasan.
Tenggang waktu untuk mengajukan verzet adalah :
1. 14 hari terhitung sejak putusan verstek diberitahukan
secara sah kepada Tergugat.
2. Jika putusan verstek tidak dapat secara langsung
diberitahukan kepada Tergugat, maka tenggang waktu
tersebut diatas ditambah 8 (delapan) hari terhitung hari
berikutnya sejak adanya teguran untuk melaksanakan
putusan tersebut.
Apabila setelah dilakukan verzet ternyata pemohon verzet
/Tergugat sekali lagi dikalahkan dengan verstek, karena tidak
menghadiri sidang, maka Tergugat tidak dapat lagi melakukan
verzet, melainkan harus menjalankan banding atas putusan itu.
Dalam perkara verstek, maka gugatan awal diperiksa kembali
seperti perkara semula/secara condemnatoir sebagaimana
halnya perkara gugatan biasa. Artinya akan ada jawaban
eksepsi, replik, duplik dan kesimpulan, tetapi dalam banding
hal itu tidak ada melainkan hanya ada memori banding.
Sedangkan bagi Penggugat yang dengan putusan verstek
dikalahkan, upaya hukumnya yang dapat dilakukan adalah dengan
menjatuhkan banding. Pihak yang mengajukan perlawanan/verzet
disebut sebagai Pelawan, sedangkan pihak yang dimohonkan
perlawanan disebut sebagai Terlawan.

2. BANDING
Apabila salah satu pihak dalam suatu perkara tidak puas
atau tidak menerima suatu putusan dari Pengadilan Negeri
karena merasa hak–haknya masih terserang oleh adanya putusan
itu atau menganggap putusan itu kurang benar atau kurang
adil, maka pihak yang masih merasa dirugikan dapat mengajukan
permohonan banding. Upaya hukum banding ini berlaku terhadap
suatu putusan akhir yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri.
Permohonan banding ini diajukan kepada Pengadilan yang lebih
tinggi untuk memeriksa ulang perkara tersebut yaitu

Hukum Acara Perdata Halaman 53


Pengadilan Tinggi. Upaya banding dalam perkara perdata diatur
dalam undang – undang No. 20 Tahun 1947 untuk Jawa dan Madura,
sedangkan untuk daerah luar daerah Jawa dan Madura diatur
dalam Rbg Pasal 199 sampai 205. Untuk mengajukan banding maka
berkas–berkas yang terdiri dari gugatan, jawaban, replik,
duplik, alat bukti, salinan resmi putusan Pengadilan Negeri,
memori banding dan kontra memori banding dikirim ke
Pengadilan Tinggi untuk diperiksa ulang oleh Pengadilan
Tinggi. Dalam upaya hukum banding, memori banding bukan
merupakan suatu keharusan, artinya walaupun tidak membuat
memori banding tetap dibenarkan dan perkaranya tetap akan
diperiksa. Tenggang waktu untuk mengajukan banding adalah 14
hari sejak putusan didengar, apabila para pihak hadir waktu
diucapkan atau 14 hari sejak pemberitahuan putusan apabila
tidak hadir. Karena Pengadilan Tinggi masih merupakan
Pengadilan Judex Factie (artinya Pengadilan yang memeriksa
fakta–fakta atau bukti–bukti), maka masih dimungkinkan adanya
pemeriksaan fakta, karena itu masih dimungkinkan untuk
mengajukan bukti baru, sehingga dengan demikian juga masih
dimungkinkan adanya pemeriksaan saksi–saksi. Dalam upaya
hukum banding, apabila pihak yang mengajukan permohonan
banding akan mengajukan memori banding, peraturan tidak
mengatur kapan batas waktunya dalam arti tidak ada batas
waktu kapan memori banding harus diserahkan ke pengadilan.
Selama putusan belum diambil oleh pengadilan tinggi memori
banding masih dapat diserahkan. Pernyataan banding
disampaikan kepada Panitera Banding Pengadilan Negeri yang
memberikan putusan pertama kali/pengadilan negeri dimana
gugatan itu di daftarkan. Kemudian akan dibuatkan akta
mengenai permohonan banding itu yang ditandatangani oleh
pemohon, demikian juga memori banding juga diserahkan melalui
panitera pengadilan negeri, namun dalam prakteknya ada
kalanya memori banding ini disampaikan langsung kepada
panitera pengadilan tinggi yang akan memeriksa perkara

Hukum Acara Perdata Halaman 54


tersebut. Peraturan tidak melarang Pengadilan Tinggi dalam
memeriksa saksi–saksi, surat dan lain–lain melakukannya
sendiri melalui persidangan di gedung Pengadilan Tinggi.
Namun dalam praktek Pengadilan Tinggi dalam hal demikian
mengirimkan berkas-berkas tersebut kembali ke Pengadilan
Negeri dengan membuat putusan sela yang memerintahkan kepada
Pengadilan Negeri untuk melengkapi keterangan saksi–saksi,
melakukan sumpah supletoir dan lain–lain. Hal ini mungkin
dikarenakan Pengadilan Tinggi tidak mempunyai juru sita yang
pekerjaannya memanggil saksi dan para pihak, dan mungkin
gedung Pengadilan Tinggi letaknya lebih jauh dengan saksi–
saksi atau para pihak karena memang Pengadilan Tinggi letak
dan wilayah hukumnya meliputi beberapa kabupaten yang ada
dalam satu propinsi, maka Pengadilan Tinggi tidak mau
memeriksa sendiri perkara tersebut. Untuk menyatakan banding
dikenakan biaya sama seperti mengajukan gugatan. Besarnya
biaya panjar perkara ditaksir menurut situasi dan jarak
Tergugat dan Penggugat dari Pengadilan. Dengan pernyataan
banding yang diikuti dengan penyerahan memori banding, maka
memori banding tersebut harus diberitahukan kepada pihak
lawan dan pihak lawan diberikan hak untuk mengajukan kontra
memori banding. Ada beberapa hal yang perlu
diutarakan/dicantumkan dalam membuat memori banding yaitu:
1. Kapan putusan itu diucapkan/disampaikan kepada yang
bersangkutan.
2. Kapan akta pernyataan banding ditandatangani.
3. Uraian dasar putusan hakim yang dianggap tidak benar.
Meskipun memori banding bukan merupakan suatu keharusan,
tetapi dengan adanya memori ini akan memudahkan Hakim Tinggi
dalam membuat putusan. Dalam upaya hukum banding ini ada
beberapa penyebutan para pihak yang harus diperhatikan yaitu
:
a. Pihak yang mengajukan banding disebut sebagai
PEMBANDING.
b. Pihak lawan disebut sebagai TERBANDING.

Hukum Acara Perdata Halaman 55


c. Sedangkan yang semula kedudukannya sama–sama sebagai
turut Tergugat disebut sebagai TURUT TERBANDING.
Untuk permohonan banding yang sudah dinyatakan dengan akta
pernyataan banding maka jika pihak pemohon kemudian berpikir
merasa bisa menerima Putusan Pengadilan Negeri maka
pernyataan banding tersebut masih dapat untuk dicabut
kembali.

3. KASASI
Kasasi adalah suatu alat hukum yang merupakan wewenang dari
Mahkamah Agung untuk memeriksa kembali putusan–putusan
pengadilan terdahulu dan ini merupakan peradilan yang
terakhir. Kasasi juga merupakan upaya untuk membatalkan
putusan tingkat akhir/banding dan penetapan pengadilan lain
karena beralasan bertentangan dengan hukum. Dalam upaya hukum
kasasi ini tidak lagi memeriksa tentang fakta–faktanya,
saksi–saksinya, atau duduknya perkara sebagaimana dalam
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, namun yang diperiksa
dalam tingkat kasasi ini adalah penerapan hukumnya. Apakah
putusan pengadilan tingkat terdahulu bertentangan tidak
dengan peraturan perundang – undangan. Untuk mengajukan
kasasi ini bagi seorang kuasa diperlukan Surat Kuasa Khusus.
Permohonan kasasi diajukan kepada Mahkamah Agung melalui
Pengadilan Tingkat Pertama (pengadilan Negeri yang
menjatuhkan putusan). Adapun alasan–alasan mengajukan kasasi
ini menurut pasal 30 Undang – undang No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung Adalah :
1. Hakim tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
Alasan ini mencakup kompetensi Absolut dan Relatif dari
pengadilan. Atau mengabulkan lebih daripada apa yang
dimintakan dalam gugatan. Hal ini menjadi alasan bagi
Judex Juridisch untuk membatalkan putusan Judex Factie.
2. Hakim salah menerapkan atau melanggar hukum yang
berlaku.

Hukum Acara Perdata Halaman 56


Salah menerapkan hukum dapat berarti salah menerapkan
hukum formal (hukum acara) maupun hukum materiil.
Kesalahan ini dapat dilihat pada penerapan hukum yang
dilakukan. Melanggar hukum berarti penerapan hukum itu
sendiri tidak tepat dan bertentangan dengan seharusnya.
3. Hakim lalai dalam memenuhi syarat–syarat yang diwajibkan
untuk peraturan perundang–undangan yang mengancam
kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Misalnya dengan tidak dimulai dengan kata–kata “DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA “ adalah
batal demi hukum.
Pada tingkat kasasi tidak dibenarkan lagi pemeriksaan
bukti – bukti baru (novum) yang belum diperiksa oleh judex
factie. Pemeriksaan kasasi meliputi seluruh putusan hakim
mengenai hukumnya termasuk bagian–bagian putusan baik yang
menguntungkan maupun yang merugikan pemohon kasasi. Dalam
upaya hukum ini pihak yang mengajukan permohonan kasasi
diwajibkan untuk membuat memori kasasi. Dalam arti bahwa
memori kasasi merupakan kewajiban bagi pemohon kasasi.
Apabila memori kasasi tersebut tidak dibuat, maka permohonan
kasasi ditolak. Terhadap memori kasasi, Termohon kasasi dapat
menyampaikan Kontra Memori Kasasi dalam tenggang waktu 14
hari sejak memori kasasi disampaikan kepadanya. Kontra memori
kasasi yang disampaikan melebihi tenggang waktu tersebut
tidak dapat dipertimbangkan lagi.
Sedangkan tenggang waktu untuk mengajukan kasasi adalah
14 hari sejak putusan dibacakan di muka persidangan, apabila
para pihak hadir, atau 14 hari setelah putusan Pengadilan
Tinggi disampaikan kepada yang bersangkutan. Dan dalam waktu
14 hari terhitung sejak menyatakan kasasi, pemohon kasasi
harus menyerahkan memori kasasi.

II. UPAYA HUKUM LUAR BIASA

Hukum Acara Perdata Halaman 57


Upaya hukum luar biasa dalam perkara perdata meliputi
Peninjauan Kembali (reques civil) dan perlawanan pihak ketiga
(denden verzet).

1. PENINJAUAN KEMBALI
Peninjauan kembali adalah suatu upaya untuk memeriksa
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang
tetap (in kracht). Permohonan peninjauan kembali tidak
menghalangi jalannya eksekusi atau putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap dalam arti bahwa permohonan
peninjauan kembali tidak menangguhkan atau tidak menghentikan
pelaksanaan putusan hakim. Permohonan peninjauan kembali
hanya diajukan satu kali saja sehingga kalau permohonan
peninjauan kembali ini dicabut, maka tidak dapat diajukan
lagi. Permohonan Peninjauan Kembali harus diajukan sendiri
oleh pihak–pihak yang berkepentingan yaitu:
1. Para pihak yang bersengketa
2. Ahli warisnya
3. Seorang wakil yang secara khusus dikuasakan untuk
itu.
Alasan – alasan untuk mengajukan Peninjaua Kembali diatur
dalam pasal 67 Undang –undang No. 14 tahun 1985 jo UU No. 5
Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yaitu :
1. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan, tipu
muslihat pihak lawan atau bukti palsu yang diketahui
setelah perkaranya di putus. Sedangkan bukti palsu itu
harus dinyatakan oleh hakim pidana, dan putusan mana telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Tenggang waktu untuk
mengajukan Peninjauan Kembali adalah 180 hari sejak
diketahui kebohongan, tipu muslihat atau sejak putusan
hakim pidana telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
2. Apabila setelah perkara diputus ditemukan novum/bukti baru
yang bersifat menentukan yang tidak ditemukan setelah
perkaranya diputus. Bukti baru tersebut/belum ditemukan

Hukum Acara Perdata Halaman 58


ketika perkaranya sedang berjalan. Tenggang waktu untuk
menyatakan Peninjauan Kembali adalah 180 hari sejak
ditemukannya novum/bukti baru itu. Mengenai hari dan
tanggal ditemukannya bukti baru/novum itu harus dinyatakan
di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang.
3. Apabila telah dikabulkan :
a. Suatu hal yang tidak dituntut.
b. Lebih daripada yang dituntut.
Tenggang waktu menyatakan Peninjauan Kembali adalah 180
hari terhitung sejak putusan memperoleh kekuatan hukum
tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang
berperkara.
4. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus,
tanpa dipertimbangkan sebab–sebabnya. Tenggang waktu
menyatakan Peninjauan Kembali adalah 180 hari terhitung
sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah
diberitahukan kepada pihak yang berperkara.
5. Putusan bertentangan satu sama lain, padahal :
a. Pihak–pihak yang sama
b. Mengenai soal yang sama
c. Atau dasar yang sama
d. Oleh pengadilan yang sama
e. Pada tingkat yang sama
Tenggang waktu menyatakan Peninjauan Kembali adalah 180
hari terhitung sejak putusan memperoleh kekuatan hukum
tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang
berperkara.
6. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan
hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Tenggang waktu
menyatakan Peninjauan Kembali adalah 180 hari terhitung
sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah
diberitahukan kepada pihak yang berperkara.
Permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan secara tertulis
maupun lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri dan dalam
waktu 14 hari setelah Ketua Pengadilan Negeri menerima

Hukum Acara Perdata Halaman 59


permohonan Peninjauan Kembali, maka panitera berkewajiban
untuk memberikan atau mengirimkan salinannya kepada pihak
lawan guna dijawab atau diketahuinya. Dalam hal pihak lawan
mengajukan jawabannya, maka diberi waktu dalam tenggang 30
hari setelah diterimanya salinan permohonan itu, dan
selambat–lambatnya dalam tenggang waktu 30 hari kemudian
berkas harus sudah dikirimkan ke Mahkamah Agung.

2. PERLAWANAN PIHAK KETIGA (DENDEN VERZET)


Denden Verzet adalah suatu perlawanan terhadap putusan
hakim yang dilakukan oleh pihak ketiga, yang pada awalnya
tidak ada sangkut pautnya dalam perkara tersebut. Syarat yang
harus dipenuhi apabila akan mengajukan perlawanan adalah
harus benar–benar telah dirugikan haknya tidak sekedar hanya
mempunyai kepentingan saja dengan kata lain bahwa putusan
hakim tersebut benar–benar telah merugikan kepentingan pihak
ketiga tersebut. Sehingga unsur penting untuk mengajukan
denden verzet adalah :
1. Adanya kepentingan dari pihak ketiga itu
2. Secara nyata hak pihak ketiga dirugikan.
Apabila perlawanan tersebut dikabulkan maka putusan
pengadilan yang merugikan hak pihak ketiga tersebut harus
diperbaiki sepanjang merugikan pihak ketiga. Pihak ketiga
yang mengajukan perlawanan disebut sebagai PELAWAN, sedangkan
pihak yang digugat disebut sebagai TERLAWAN. Contoh denden
verzet adalah : misalnya A menggugat B mengenai sebuah mobil
yang sesungguhnya adalah milik C. Pengadilan mengabulkan
gugatan A tersebut, maka untuk mencegah dilakukannya
eksekusi, C mengajukan Denden Verzet terhadap putusan itu.

Hukum Acara Perdata Halaman 60


BAB VII
PELAKSANAAN PUTUSAN / EKSEKUSI
Putusan hakim/pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dalam arti para pihak telah menerima isi putusan
pengadilan tidak mengajukan Perlawanan, Banding, Kasasi,
maupun Peninjauan Kembali maka putusan pengadilan tersebut
sudah dapat dilaksanakan/di eksekusi. Sehingga eksekusi
adalah pelaksanaan secara resmi suatu putusan pengadilan di
bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri. Eksekusi ini harus
diperintahkan secara resmi oleh Ketua Pengadilan Negeri yang
berwenang, sebagai pelaksanaan atas suatu putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap atau atas putusan yang
dinyatakan dapat dijalankan serta merta walaupun ada upaya
hukum lainnya. Setelah putusan dijuatuhkan maka pihak yang
dimenangkan mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan

Hukum Acara Perdata Halaman 61


Negeri yang berwenang/memeriksa perkara pada tingkat pertama
untuk melaksanakan putusan tersebut.
Suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap yang pasti dapat dilaksanakan secara suka
rela oleh pihak yang dikalahkan. Apabila suatu perkara telah
diputus dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka pihak
yang dikalahkan secara suka rela dapat melaksanakan putusan
tersebut, sehingga dengan demikian maka selesailah perkara
tersebut tanpa mendapat bantuan dari pengadilan dalam
melaksanakan putusan tersebut.
Namun demikian atau bahkan sering terjadi bahwa pihak
yang dikalahkan tidak mau melaksanakan isi putusan pengadilan
secara suka rela sehingga diperlukan bantuan pengadilan untuk
melaksanakan isi putusan tersebut secara paksa. Oleh
karenanya pihak yang dimenangkan dalam putusan dapat
mengajukan permohonan pelaksanaan putusan kepada pengadilan
yang akan melaksanakannya secara paksa (execution force).
Untuk itu pemohon eksekusi mengajukan permohonan tertulis
kepada Ketua Pengadilan Negeri. Setelah menerima permintaan
itu dan telah dibayar segala biaya eksekusi maka Ketua
Pengadilan Negeri akan mengeluarkan penetapan agar eksekusi
tersebut dilaksanakan. Apabila pihak yang dikalahkan tidak
mau juga melaksanakan eksekusi setelah Ketua Pengadilan
mengeluarkan penetapan tersebut, maka Ketua Pengadilan Negeri
akan memanggil pihak yang kalah untuk ditegur, agar dengan
suka rela melaksanakan isi putusan tersebut (aanmaning) dalam
waktu paling lama 8 (delapan) hari sejak di aanmaning.
Apabila jangka waktu yang ditentukan sudah lewat,
sementara pihak yang kalah walaupun sudah dipanggil secara
patut tidak juga menghadap, maka Ketua Pengadilan Negeri atau
pegawai yang dikuasakan karena jabatannya memberi perintah
supaya disita sejumlah barang bergerak milik yang kalah. Atau
apabila tidak cukup, maka dapat disita barang tidak bergerak
milik yang kalah. Nilai yang disita itu sama dengan nilai

Hukum Acara Perdata Halaman 62


yang ditetapkan dalam putusan pengadilan ditambah dengan
ongkos pelaksanaan putusan. Untuk melakukan penyitaan itu
petugas pelaksana dibantu dua orang saksi yang identitasnya
disebut dalam berita acara penyitaan. Ada beberapa jenis
pelaksanaan putusan atau macam – macam eksekusi yaitu :
1. Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan
untuk membayar sejumlah uang. Prestasi yang diwajibkan
adalah membayar sejumlah uang. Eksekusi ini diatur dalam
pasal 196 HIR.
2. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan
suatu perbuatan. Hal ini diatur dalam pasal 225 HIR.
Orang tidak dapat dipaksakan untuk memenuhi prestasi
yang berupa perbuatan, akan tetapi pihak yang dikalahkan
dapat minta kepada hakim agar kepentingan yang akan
diperolehnya dinilai dengan uang.
3. Eksekusi Riil merupakan pelaksanaan yang dibebankan
kepada debitur oleh putusan hakim secara langsung.
Sehingga eksekusi riil adalah pelaksanaan yang menuju
kepada hasil yang sama seperti apabila dilaksanakan
secara suka rela oleh pihak yang bersangkutan, misalnya
pembayaran sejumlah uang, melakukan suatu perbuatan
tertentu, tidak berbuat, menyerahkan benda. Dengan
demikian maka eksekusi mengenai ganti rugi dan uang
paksa bukan merupakan eksekusi riil.
4. Eksekusi putusan pengadilan yang menghukum seseorang
untuk mengosongkan benda tetap. Eksekusi ini tidak
diatur dalam HIR/Rbg, melainkan diatur dalam pasal 1033
Rv. Dalam praktek banyak rintangan – rintangan yang
dapat menghambat pelaksanaan eksekusi seperti adanya
denden verzet, bantahan atau bahkan peninjauan kembali
yang kemudian digunakan sebagai alasan untuk menunda
pelaksanaan eksekusi. Disamping itu sering kali juga
eksekusi ini dihambat oleh Ketua Pengadilan Negeri,

Hukum Acara Perdata Halaman 63


Ketua Pengadilan Tinggi atau Ketua /Wakil Ketua Mahkamah
Agung.
Ada beberapa prinsip dalam eksekusi putusan perkara
perdata, yaitu :
1) Eksekusi ditujukan terhadap putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap
2) Putusan hanya dapat dijalankan terhadap putusan
yang dijatuhkan di Indonesia.
3) Putusan pengadilan tidak dijalankan secara
sukarela.
4) Putusan yang perlu di eksekusi adalah putusan yang
bersifat condemnatoir.
5) Eksekusi dilaksanakan oleh Panitera dan Juru Sita
atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua
Pengadilan Negeri.

LAMPIRAN :
SURAT KUASA
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama :
Pekerjaan :
Alamat :

Yang selanjutnya disebut sebagai ------------PEMBERI KUASA;

Dengan ini memilih domisili atau tempat kediaman hukum yang


tetap dikantor kuasanya dan memberi kuasa penuh kepada :
(nama penerima kuasa), Advokat, dan Konsultan Hukum di (nama
kantor hukumnya) yang beralamat
………………………………………………………………………………………., bertindak baik sendiri-
sendiri maupun bersama-sama, yang untuk selanjutnya disebut
sebagai ----------------------------------- PENERIMA KUASA;

----------------------------KHUSUS------------------------

Hukum Acara Perdata Halaman 64


Bertindak untuk dan atas nama serta membela kepentingan hukum
PEMBERI KUASA guna mengajukan (apa permasalahannya, dan
sebutkan juga terhadap siapa serta alamatnya), di Pegadilan
Negeri (sesuaikan dengan alamat tergugat).

Oleh karena itu PENERIMA KUASA diberi kuasa untuk melakukan


tindakan dan upaya – upaya hukum sesuai dengan hak – hak
hukum PEMBERI KUASA untuk :
• Menghadap dimuka Pengadilan Negeri, Pengadfilan Tinggi,
Mahkamah Agung RI, Badan Peradilan lainnya, serta
Institusi penegak hukum POLRI, Kejaksaan RI, institusi
lain yang ditentukan oleh Undang – Undang, Pejabat –
Pejabat Pemerintah serta badan – badan lainnya.
• Membuat, menyusun, menandatangani, mengajukan memori dan
kontra memori banding/kasasi serta mengurus surat – surat
dan permohonan – permohonan lainnya yang diperlukan,
menjalankan perbuatan – perbuatan atau memberikan
keterangan – keterangan yang menurut hukum harus
dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, mengajukan
saksi – saksi dan bukti – bukti, menerima uang dan
menandatangani kwitansi – kwitansi, menerima dan melakukan
pembayaran – pembayaran dalam perkara ini.
• Mempertahankan dan membela kepentingan yang memberi kuasa,
meminta putusan dan menolak serta mengajukan upaya hukum
terhadap putusan, meminta eksekusi, membalas surat – surat
dan melakukan upaya perlawanan.
• Dan selanjutnya melakukan segala tindakan dan upaya – upaya
lain yang dianggap penting dan berguna untuk menyelesaikan
masalah dimaksud dengan cara yang diperkenankan menurut
hukum dan undang – undang.

Kuasa ini diberikan dengan hak substitusi dan secara tegas


dengan hak retensi.

Hukum Acara Perdata Halaman 65


Jakarta , tgl/bln/thn
Penerima Kuasa Pemberi Kuasa

Tgl /bln/ thn


Materai
Ttd
10.000

(Nama Jelas ) ( Nama Jelas )

Jakarta, 02 Oktober 2013


Hal : Gugatan perbuatan melawan hukum
Lampiran : fc Surat Kuasa Khusus

Kepada Yth.,
Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta
DI-
Yogyakarta

Dengan hormat.

Kami yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : 1. Muchsin Tabroni, SH,MH.
2. Abdul Jamil, SH,MH.
Pekerjaan : Advokat, Pengacara, dan Konsultan Hukum
Alamat : Jln Gatot Subroto No.5 Yogyakarta

Berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 10 Januari 2014 dalam


hal ini bertindak untuk dan atas nama Klien kami yang bernama
Bpk RUDI, Pekerjaan Swasta, alamat, Jln KH. AAhmad Dahlan No.
15 Yogyakarta untuk selanjutnya disebut sebagai -------------
---------------------------------------- PENGGUGAT;

Hukum Acara Perdata Halaman 66


Dengan ini mengajukan gugatan kepada : Joko, Pekerjaan Swasta,
yang beralamat di Kampung Cokrodiningratan Jt II No. 10
Kelurahan Cokrodiningratan, Kecamatan Wates, Kotamadya
Yogyakarta – DIY, yang selanjutnya disebut sebagai -----------
---------------------------------------------------- TERGUGAT;

Adapun gugatan ini kami ajukan berdasarkan dalil – dalil sebagai


berikut :
1. Bahwa penggugat adalah pemilik sah sebidang tanah yang
terletak di kampong Cokroningratan,
KelurahanCokroningratan, Kecamatan Wates, Kabupaten
Yogyakarta sebagaimana tercatat dalam Sertifikat Hak Milik
Nomor 555/Ckd seluas 5000 M2, teratas nama RUDI
(PENGGUGAT).
2. Bahwa terhadap tanah obyek sengketa sebagaimana posita
nomor 1 diatas kurang lebih pada tahun 1990 tanpa seijin
dan sepengetahuan PENGGUGAT telah dikuasai secara tidak
sah dan melawan hukum oleh orang tua TERGUGAT.
3. Bahwa setelah orang tuan TERGUGAT meninggal dunia,
penempatan dan penguasaan tanpa hak atas obyek sengketa
tersebut dilanjutkan oleh TERGUGAT, hal tersebut dilakukan
tanpa seijin dan sepengetahuan PENGGUGAT.
4. Bahwa terhadap penguasaan secara tidak sah dan melawan
hukum yang dilakukan oleh TERGUGAT tersebut telah
diperingatkan oleh PENGGUGAT untuk dikembalikan kepada
PENGGUGAT dalam keadaan kosong, akan tetapi peringatan
tersebut tidak pernah mendapatkan tanggapan yang serius
dan TERGUGAT cenderung untuk tetap menguasai obyek
sengketa secara terus menerus dan melawan hukum.
5. Bahwa terhadap penguasaan obyek sengketa tersebut tanpa
sepengetahuan dan seijin PENGGUGAT ternyata telah pernah
dikontrakkan kepada orang lain.
6. Bahwa oleh karena perbuatan menguasai obyek sengketa
secara tidak sah dan tanpa hak tersebut adalah perbuatan
melawan hukum maka sudah sepantasnya apabila TERGUGAT di
hukum untuk menyerahkan obyek sengketa kepada PENGGUGAT
dalam keadaan kosong tanpa beban apapun baik dari tangannya
atau tangan orang lain yang diperoleh karena ijinnya.
7. Bahwa dikarenakan perbuatan yang dilakukan oleh TERGUGAT
tersebut adalah merupakan perbuatan melawan hukum dan
menyebabkan kerugian bagi PENGGUGAT karena penggugat tidak
dapat menguasai dan menikmati obyek sengketa sejak tahun
1990, maka sudah sepantasnya kalau TERGUGAT dihukum untuk
membayar ganti kerugian kepada PENGGUGAT.

Hukum Acara Perdata Halaman 67


8. Bahwa kerugian sebagaimana tersebut dalam point 7 diatas
adalah sebesar Rp. 151.000.000. (seratus lima puluh satu
juta rupiah) dengan perincian sebagai berikut :
a. PENGGUGAT tidak dapat menguasai dan menikmati obyek
sengketa sejak tahun 1990 hingga gugatan ini
diajukan, yakni apabila obyek sengketa ini disewakan
sebesar Rp. 1.500.000,00/tahun x 23 tahun = Rp.
34.500.000.00,- (tiga puluh empat juta lima ratus
ribu rupiah).
b. Biaya pengosongan obyek sengketa Rp. 100.000.000.00,-
(seratus juta rupiah).
c. Kerugian immaterial Rp. 50.000.000.00,- (lima puluh
juta rupiah)
9. Bahwa dikarenakan gugatan ini diajukan dengan disertai
bukti – bukti yang otentik, maka sesuai dengan pasal 180
HIR segala penetapan dan putusan dalam perkara ini dengan
putusan dapat dijalankan (dilaksanakan) terlebih dahulu
(uit voorrbaar bij voorraad) meskipun ada upaya hukum dari
TERGUGAT.
10. Bahwa untuk menjamin isi putusan perkara ini maka
perlu adanya penyitaan terlebih dahulu terhadap seluruh
harta kekayaan TERGUGAT baik yang berupa barang tetap
maupun barang bergerak yang jenis dan jumlahnya akan kami
ajukan dikemudian hari.
11. Bahwa sebelum gugatan diajukan PENGGUGAT telah
berulang kali mengajak TERGUGAT untuk menyelesaikan
perkara ini secara musyawarah kekeluargaan, akan tetapi
TERGUGAT tidak pernah menanggapi secara serius, bahkan
cenderung tidak mau menyelesaikan masalah ini.
12. Bahwa oleh karena TERGUGAT tidak pernah serius untuk
menyelesaikan masalah ini, maka tiada jalan lain
menyerahkan perkara ini kepada Pengadilan Negeri
Yogyakarta untuk memeriksa, dan memutuskan perkara ini.

Berdasarkan fakta hukum dan dalil-dalil Penggugat diatas,


maka kami memohon agar Pengadilan Negeri Bekasi melalui Majelis
Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara berkenan memutuskan
dengan amar putusan sebagai berikut :
a. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat untuk
seluruhnya;
b. Menyatakan secara sah dan berharga sita jaminan terhadap
barang milik TERGUGAT baik barang tetap maupun barang
bergerak yang jenis dan jumlahnya akan ditentukan
kemudian;

Hukum Acara Perdata Halaman 68


c. Menyatakan bahwa TERGUGAT telah melakukan perbuatan
melawan hukum;
d. Menghukum TERGUGAT untuk menyerahkan obyek sengketa kepada
PENGGUGAT dalam keadaan kosong tanpa beban yang menyertai
baik dari tangannya maupun dari tangan orang lain atas
ijinnya, bila perlu secara paksa dengan bantuan aparat
kepolisian;
e. Menghukum TERGUGAT untuk membayar ganti kerugian kepada
PENGGUGAT sebesar Rp. 184.500.000.00.- (Seratus delapan
puluh empat juta lima ratus ribu rupiah);
f. Menyatakan secara hukum bahwa putusan dapat dijalankan
terlebih dahulu walaupun ada upaya hukum verzet, Banding,
maupun Kasasi dalam perkara ini ( Uitvoorbaar bij voorraad
)
g. Membebankan biaya yang timbul dalam perkara ini kepada
TERGUGAT.
Atau :
Jika majelis hakim berpendapat lain, maka kami mohon putusan
yang seadil-adilnya (et aequo et bono).
Demikianlah gugatan ini kami sampaikan, atas dikabulkannya
gugatan kami ini diucapkan terimakasih.

Hormat kami,
Kuasa Hukum Penggugat

Tgl /bln/ thn


Materai
10.000

1. Muchsin Tabroni, SH,MH.

2. Abdul Jamil, SH,MH.

Hukum Acara Perdata Halaman 69


SOAL LATIHAN
Sdr. Charles, yang beralamat di Jalan Pulomas Jakarta Timur,
telah mengadakan perjanjian pinjam meminjam dengan Sdr. Agung
sebagaimana Akte Perjanjian tertanggal 10 januari 2008, yang
di buat di hadapan Notaris Anton yang beralamat di Jln Menteng
Raya No. 15 Jakarta Pusat.
Dalam perjanjian tersebut disepakati bahwa :
1. Charles sebagai peminjam meminjam uang Agung sebesar Rp.
10. 000.000 (sepuluh juta rupiah)
2. Jangkaw waktu pinjaman adalah selama 5 bulan, dimana
setiap bulannya Charles harus mengembalikan sebesar
Rp.2.000.000 (dua juta rupiah) di tambah Rp. 200.000(
dua ratus ribu rupiah) setiap bulannya sebagai bunga
terhadap pinjaman tersebut.
3. Jangka waktu yang ditentukan selama 5 bulan tersebut
adalah mulai bulan Februari 2008 sampai dengan bulan
juni 2008, dimana Charles akan membayar pinjamannya
tersebut sesuai denga poin 2 diatas dimulai pada bulan
Februari 2008.
4. Perjanjian tersebut ditandatangani diatas materai 6000
oleh kedua belah pihak.

Pada awal pembayaran pinjaman tersebut yaitu dibulan februari


2008, Charles membayarnya sesuai dengan perjanjian, dan pada
bulan maret Charles juga membayarnya tepat waktu. Tetapi pada

Hukum Acara Perdata Halaman 70


bulan April 2008 dan seterusnya ternyata Charles tidak
sanggup lagi untuk membayar hutangnya tersebut. Dalam hal ini
sudah tentu Agung sangat merasa di rugikan.

PENUGASAN :
1. Jika Agung hendak mengajukan gugatan terhadap Charles,
dan kebetulan andalah yang akan menjadi
Advokat/Pengacaranya. Buatlah surat kuasa khusus dari
Sdr. Agung kepada anda selaku kuasa hukum.
2. Buat juga gugatannya !

Hukum Acara Perdata Halaman 71

Anda mungkin juga menyukai