Anda di halaman 1dari 111

BAB I

PENGERTIAN, AZAS DAN SEJARAH


HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA

A. Pengertian Hukum Acara Perdata


Bila kita telaah kembali tentang cabang suatu ilmu hukum tertentu,
maka selalu ditemukan dua bentuk hukum yaitu hukum materiil dan
hukum formil. Demikian juga dalam bidang hukum perdata, dikenal
dengan hukum perdata materiil dan hukum perdata formil. Yang dimaksud
dengan hukum perdata formil tidak lain adalah hukum acara perdata.
Hukum perdata materiil sendiri sering diartikan dengan
seperangkat aturan/norma yang mengatur tentang hak dan kewajiban
perdata. Hak dan kewajiban perdata ini di atur dalam pasal demi pasal
dalam Undang-undang yang telah dikodifikasi atau belum, seperti kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau disebut Burgerlijk
Wetboek (BW), Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, UU
No. 5 tahun 1960 tentang pokok-pokok hukum agraria.
Sedangkan definisi hukum perdata formil atau hukum acara
perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara
bagaimana orang harus bertindak terhadap pihak-pihak lain dimuka
pengadilan dan cara bagaimana pengadilan harus bertindak untuk
melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.
Definisi lainnya dikemukakan oleh Prof. Dr.Sudikno Mertokusumo
dengan membuat definisi hukum acara perdata adalah “Peraturan hukum
yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata
materiil dengan perantaraan hakim.
Sementara Retnowulan, S.H. dan Iskandar Oeripkartawinata, S.H.,
mendefinisikan Hukum Acara Perdata denga suatu kaidah hukum yang
mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil.
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hukum
acara perdata merupakan suatu kaidah hukum yang mengatur cara dan

1
prosedur hukum dalam mengajukan, memeriksa, memutuskan dan
melaksanakan putusan tentang tuntutan hak dan kewajiban tertentu
sehingga menjamin tegaknya hukum perdata materiil melalui lembaga
peradilan.

B. Asas-asas Hukum Acara Perdata

Asas-asas yang sering ditemukan dalam hukum acara perdata adalah


sebagai berikut:

1. Hakim bersifat menunggu


(iudex no procedad ex officio). Asas ini disebut dengan asas hakim bersifat
menunggu. Dalam hukum acara perdata yang memiliki kepentingan adalah
para pihak, sehingga hakim hanyalah menunggu datangnya tuntutan hak
yang di ajukan kepadanya. Dengan kata lain, inisiatif untuk mengajukan
hak sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan. Bila tidak
ada tuntutan maka tidak ada hakim. (Wo kein klager ist, ist kein
richter;nemo judex sine actor).
Akan tetapi ketika tuntutan telah diterima majelis hakim, maka hakim
tidak boleh menolak untuk menerima, memeriksa, mengadili dan
memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya. Meskipun belum ada
hukum yang mengaturnya atau terjadi kekosongan hukum, namun hakim
harus menjalankan fungsinya dalam memberikan kepastian hukum. (Pasal
14 UU No. 14 tahun 1970 Jo pasal 16 UU No. 4 tahun 2004 tentang
kekuasaan kehakiman. Larangan menolak untuk memeriksa dan mengadili
suatu perkara yang diajukan karena hakim dianggap sudah tahu hukum
(ius curia novit), karena itu hakim harus menggali hukum-hukum yang
hidup dimasyarakat untuk menemukan ketentuan hukumnya. (pasal 27
Undang-undang No. 14 tahun 1970 Jo pasal 28 UU No. 4 tahun 2004 ).

2. Hakim Bersifat Pasif (Lijdelijkeheid van rachter)


Hakim hanya bertitik tolak pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak
saja (secundum allegat iudicare). Ketika suatau perkara sudah masuk di
pengadilan, diperiksa dan disidangkan oleh majelis hakim, melainkan oleh

2
para pihak yang berperkara. Hakim dalam hal ini bersifat pasif saja (pasal
5 UU No. 14 tahun 1970).
Asas ini juga mengandung makna bahwa hakim tidak dapat mencegah
apabila para pihak mencabut gugatannya atau menempuh jalan damai.
(pasal 130 HIR, 154 RBg, dan pasal 14 ayat (2) UU No. 14 tahun 1970. Di
samping itu hakim hanya berhak mengadili luas pokok perkara yang
diajukan para pihak dan dilarang mengabulkan atau menjatuhkan putusan
melebihi dari apa yang dituntut (pasal 178 ayat (2), (3) HIR, pasal 189
ayat (2) RBg.
Dalam masalah ini terkandung juga asas Verhandlungs mazime yaitu
hanya persitiwa yang dipersengketakan sajalah yang dibuktikan. Hakim
terikat pada peristiwa yang menjad sengketa yang diajukan oleh para
pihak. Dengan demikian para pihak saja yang di wajibkan untuk
membuktikan dan bukan hakim. Kebalikan dari asas ini adalah
Untersuchung maxime yaitu hakim wajib mengumpulkan bahan
pembuktian untuk kepentingan pemeriksaan sengketa.

3. Peradilan Terbuka untuk Umum (Openbaarheid van rechtspraak)


Asas ini mengisyaratkan bahwa sidang pemeriksaan di Pengadilan
bersifat terbuka untuk umum. Hal ini berarti bahwa setiap orang
diperbolehkan dan hadir dan mengikuti jalannya pemeriksaan perkara
dipersidangan.
Sebelum perkara diperiksa maka hakim harus menyatakan bahwa sidang
perkara tersebut “dibuka” dan dinyatakan “terbuka untuk umum”,
sepanjang undang-undang tidak menentukan lain.
Bila kaedah ini tidak dipenuhi maka putusan majelis hakim tidak sah dan
tidak mempunyai kekuatan hukum dan batal demi hukum. (Pasal 17 ayat
(1), (2) UU Nomor 14 tahun 1970 Jo UU No. 4 tahun 2005 pasal 19,
meskipun demikian, dalam praktik hakim tidak menyatakan secara formal
bahwa sidang terbuka untuk umum, tetapi dalam berita acara dicatat
bahwa persidangan terbuka untuk umum, maka putusan yang telah
dijatuhkan tetap sah.

3
Tujuan dari asas ini agar sistem peradilan ini berjalan lebih fair dan
memberikan perlindungan hak asasi manusia dalam bidang peradilan,
tidak memihak, serta terwujudnya putusan hakim yang adil (Pasal 17 dan
18 Undang-undang No. 14 tahun 1970 Jo pasal 19 UU No. 4 tahun 2004
yang berbunyi; Sidang pemeriksaan pengadian adalah terbuka untuk
umum, kecuali undang-undang menentukan lain.”

4. Hakim Mengadili Kedua Belah Pihak (Horen van beide partjen)


Para pihak harus diberikan kesempatan yang sama untuk menyatakan
pendapatnya didepan sidang (Audi et alteram partem). Pasal 5 UU No. 4
tahun 2004 berbunyi “Peradilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membeda-bedakan orang”.
Dengan kata lain, hakim harus memberlakukan yang sama dengan kedua
belah pihak, tidak memihak dan mendengar keterangan satu sama lain
Hal ini berarti hakim tidak boleh mendengarkan keterangan satu pihak
saja, sampai pada tahap pembuktianpun hakim harus memberikan
kesempatan kepada kedua belah pihak untuk mengajukan alat-alat bukti.
(Pasal 132a, 12 ayat (2) HIR, 145 ayat (2), 157 RBg, 47 Rv).

5. Pengawasan Putusan Pengadilan Melalui Kasasi (Toezicht op den


rechtpraak door van cassatie)
Sesuai sistem peradilan di Indonesia, apabila pihak yang merasa belum
puas terhadap putusan di tingkat pertama, maka dapat naik ke tingkat
banding, dan apabila belum merasa puas juga dapat mengajukan kasasi di
Mahkamah Agung. Fungsi Mahkamah Agung sendiri juga sebagai
pengawas putusan pengadilan, dan pengawasan yang dilakukan adalah
putusan judex factie-nya saja.
Adanya fungsi ini mengandung dua pengertian yaitu:
1. Mahkamah Agung dapat membatalkan putusan atau penetapan
pengadilan dari lingkungan yang ada di Indonesia, karena;
a. Badan pengadilan tersebut melampaui batas wewenang atau tidak
berwenang mengadili perkara tersebut.
b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, dan

4
c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan
batalnya putusan yang bersangkutan
2. Mahkamah Agung bukanlah badan peradilan tingkat ke-3, karena
fakta-fakta sengketa tidak lagi dalam penilaian Mahkamah Agung pada
tingkat kasasi.
Mahkamah Agung harus memisahkan masalah fakta (faitelijke vragen)
dan masalah hukum (rechtvragen). Mahkamah Agung terikat oleh
fakta-fakta yang diputus oleh pengadilan banding. Dala hal ini
penguraian tentang duduk perkaranya tidak lagi diperiksa ulang.

6. Berperkara dikenakan Biaya (Niet kosteloze rechtspraak)


UU No. 4 tahun 2004 pasal 4 (2) berbunyi “Peradilan dilakukan dengan
sederhana, cepat, dan biaya ringan”. Dalam pasal 5 (2) berbunyi
“Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang
sederhana, cepat, dan biaya ringan”.
Pasal 121 (4). 182, 183 HIR/145 (1), 192-194 RBg Pengecualian: Perkara
Prodeo (237-241 HIR/ 273-277 RBg; 7 (3), Pasal 12-14 UU 1947 No. 20)
Biaya perkara meliputi biaya kepaniteraan, biaya pemanggilan para pihak,
biaya pemberitahuan, biaya materai dan biaya administrasi (SEMA No. 5
tahun 1994). Demikian pula apabila para pihak menggunakan jasa
pengacara atau konsultan hukum, tentu juga harus mengeluarkan biaya.
Bagi mereka yang tidak membayar biaya perkara maka dapat mengajukan
permohonan secara cuma-cuma (prodeo) dengan melampirkan surat tidak
mampu dari kepala desa dan disahkan oleh camat di daerah tempat yang
berkepentingan menetap

7. Putusan harus disertai alasan


a. Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan putusan yang
dijadikan dasar mengadili (Pasal 25 UU 2004 No. 4 berbunyi “Segala
putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan
tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-

5
undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili), begitu pula dalam HIR ayat 195,
618 RBg)
b. Jurisprudensi : “Putusan tidak lengkap atau kurang cukup
dipertimbangkan (onvoelde gemotiveerd) merupakan alasan untuk
kasasi dan harus dibatalkan” (Putusan MARI 22 Juli 1970 No. 638
K/Sip/ 1969; Putusan MARI 16 Desember 1970 No. 492 K/Sip/1970)

Alasan atau argumentasi hakim tersebut sebagai lambang pertanggung


jawaban hakim kepada masyarakat, para pihak dan pengadilan yang lebih
tinggi, sehingga memiliki nilai-nilai yang obyektif.

Karena adanya alasan-alasan dan argumentasi inilah maka putusan hakim


memiliki wibawa dan bukan karena figur hakim tertentu yang
memutuskannya.

8. Tidak ada keharusan mewakilkan dalam beracara


c. HIR tidak mewajibkan adanya kuasa namun para pihak dapat
menunjuk kuasa berdasarkan pasal 123 HIR/147 RBg;
d. Rv mewajibkan adanya adanya kuasa (procureur, advokat), dengan
ancaman batalanya tuntutan hak (106 (1) Rv) atau di putus verstek
(109 Rv) jika ternyata para pihak tidak diwakili;
e. RO mensyaratkan Juristen sebagai advokat (186 RO)
f. UU Advokat 2003 No. 18 menganut prinsip Verplichte Procureur
Stelling/Verplichte Recht Bijstand, seperti Rv dan RO, berdasarkan;
1. Syarat juristen sebagai advokat, 2. Ancaman pidana bagi yang
mengaku advokat dan/atau bertindak seolah-olah advokat.
Hakim dapat mengetahui lebih jelas persoalannya, bila pemeriksaan
para pihak dilakukan secara langsung. Para pihak yang
berkepentinganlah yang mengetahui seluk beluk peristiwanya. Bila
para pihak memberika kuasa kepada kuasa hukumnya (advokat), maka
seringkali si kuasa hukum kurang menguasai peristiwa secara rinci dan
mendalam mengenai sengketa tersebut.

6
Dalam kenyataan tidak semua orang paham dan mampu tampil dengan
meyakinkan dalam suatu persidangan di pengadilan. Maka bagi para
pihak yang kurang menguasai hukum apalagi buta hukum yang dapat
dijadikan sasaran penipuan atau perlakuan yang tidak pantas, maka
kehadiran kuasa hukum sangat diperlukan, untuk mencegah hal
tersebut.

9. Proses Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan


Dalam UU No. 4 tahun 2004 pasal 4 (2) dijelaskan “Peradilan dilakukan
dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan”. Yang dimaksud dengan
sederhana adalah acara yang dijalankan jelas, mudah dipahami dan tidak
berbelit-belit. Sedangkan cepat adalah mengacu kepada proses beracara di
peradilan. Dan biaya ringan bertujuan agar semua lapisan masyarakat yang
ingin memperoleh keadilan mampu menanggung biaya yang dibebankan.
Biaya yang tinggi dapat saja membuat para pihak tidak mau
menyelesaikan sengketanya di peradilan.

10. ASAS OBYEKTIFITAS DAN RECUCATIE/WRAKING


Asas Nemo Judex Idoneus In Propria Causa (tidak seorangpun dapat
menjadi hakim yang baik dalam perkaranya sendiri).
Hak ingkar atas hakim (recucatie/wraking) sebagai jaminan asas
obyektifitas hakim sehubungan adanya hubungan keluarga sedarah sampai
derajat ketiga atau semenda antara hakim dan para pihak (Pasal 29 (1) Jo.
5 (1) UU No. 5 tahun 2004), dan adanya kepentingan langsung maupun
tidak langsung antara hakim dengan para pihak (374(1) HIR/702 (1)
RBg/34-44 Rv Jo. 29 (1) Jo. 5 (1) UU 2004 No. 4).
Kewajiban hakim mengundurkan diri secara ex officio (excusatie
verschoningsrecht) atas alasan yang sama UU No. 4 tahun 2004 pasal 29
(3) berbunyi “Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan
apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat
ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan
ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera”., serta
pasal 374 (2) HIR/702 (2) RBg)

7
Hubungan keluarga sedarah sampai derajat ketiga atau semenda antara
seorang hakim dan ketua, jaksa dan advokat atau panitera dalam suatu
perkara tertentu atau hubungan keluarga sedarah sampai derajat ketiga atau
semenda dengan orang yang diadili, merupakan alasan untuk
menggunakan hak ingkar bagi para pihak. Sebaliknya dengan alasan-
alasan yang sama pula hakim wajib mengundurkan diri dari susunan
majelis hakim yang akan melakukan pemeriksaan perkara. Sesuai dengan
pasal 29 ayat (3) UU No. 4 tahun 2004 tersebut di atas.

C. Sejarah Hukum Acara Perdata


Seperti diketahui bahwa ketentuan yang mengatur tentang hukum
acara di lingkungan peradilan umum adalah Herziene Indonesich
Reglement (HIR). HIR ini mengatur tentang acara di bidang perdata dan di
bidang pidana. Dengan berlakunya UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab
Undang-undang Hukum Acara Perdata (KUHAP), maka pasal-pasal yang
mengatur hukum acara pidana dalam HIR dinyatakan tidak berlaku.
Nama semula dari HIR adalah IR yaitu Inlandsch Reglement (IR),
yang berarti reglement Bumiputera. Perancang IR adalah Mr.HL.Wichers,
sebagai presiden dari Hoogerechtshof, yang merupakan badan tertinggi di
Indonesia di zaman kolonial Belanda. Dengan surat keputusan Gubernur
Jenderal Rochussen tertanggal 5 Desember 1846 No. 3/, Mr Wichers
tersebut diberi tugas untu merancang sebuah reglement (aturan) tentang
administrasi polisi dan proses perdata serta proses pidana bagi golongan
bumi putera dan jadilah tersusun peraturan acara perdata dan pidana yang
terdiri dari 432 pasal.
Reglement Indonesia atau IR ditetapkan dengan keputusan
Pemerintah tanggal 5 April 1848, staatsblad 1846 No. 16 dengan sebutan
Reglement op de uitoefening van de politie, de burgerlijke rechspleging en
de strafvordering order de Indonesiers en de vreemde Oosterlingen op Java
en madura atau disingkat Het Inlands Reglement.
Pembauran IR menjadi HIR dalam tahun 1941 ternyata tidak
membawa perubahan suatu apapunpada hukum acara perdata di muka

8
pengadilan negeri. Yang ada pembaruan dalam IR itu hanyalah acara
pidana saja.
Pada zaman Hindia Belanda sesuai dengan dualisme hukum, maka
pengadilan di bagi atas peradilan gubernemen dan peradilan pribumi.
Peradilan Gubernemen di Jawa dan Madura di satu pihak dan diluar Jawa
di lain pihak. Di bedakan peradilan untuk golongan eropa dan untuk Bumi
putera. Pada umumnya peradilan gubernemen untuk golongan Eropa pada
tingkat pertama ialah Raad van Justitie sedangkan untuk golongan
Bumiputera ialah landraad.

9
BAB II

SURAT KUASA

A. Gambaran Umum Surat Kuasa

Masalah surat kuasa bukanlah masalah yang remeh. Apabila


seseorang salah membuat surat kuasa, bisa saja gugatan dinyatakan tidak
dapat diterima/NO (niet ont vankelijk verklaard) dan hal ini dapat
mengakibatkan kerugian waktu dan biaya bagi penggugat. Waktu dan biaya
terbuang sia-sia tanpa memperoleh penyelesaian positif.

Selain itu dampak yang akan timbul apabila surat kuasa tidak
memenuhi syarat-syarat formal adalah;

a. Surat gugatan tidak sah, apabila pihak yang mengajukan dan


menandatangani gugatan adalah kuasa berasarka surat kuasa tersebut, dan
b. Segala proses pemeriksaan tidak sah, dengan alasan pemeriksaan dihadiri
oleh kuasa yang tidak didukung oleh surat kuasa yang memenuhi syarat.

Secara umum surat kuasa diatur dalam Bab XVI, buku III KUH
perdata, sedang aturan khususnya diatur dan tunduk sesuai aturan hukum acara
perdata dalam HIR dan RBg, dan sekarang ini diatur dalam ketentuan UU No.
18 tahun 2003 tentang advokat.

Pemberian surat kuasa sendiri mengandung makna suau persetujuan


seseorang kepada orang lain, dimana orang yang menerima kuasa tersebut
untuk dan atas nama pemberi kuasa melakukan tindakan hukum sesuai yang
termuat dalam surat kuasa.

Perjanjian surat kuasa dengan demikian terdiri dari;

a. Pemberi kuasa atau lastgever (instruction, mandate)


b. Penerima kuasa, yang diberi perintah atau mandat melakukan sesuatu
untuk dan atas pemberi kuasa.
Akibat adanya pemberian surat kuasa tersebut, mengandung
beberapa sifat pokok diantaranya;

10
1. Penerima kuasa langsung berkapasitas sebagai wakil pemberi kuasa.
Ia memiliki hak dan kewenangan untuk dan atas nama pemberi kuasa
melakukan tindakan hukum, disamping itu tindakan kuasa tersebut
langsung mengikat kepada diri pemberi kuasa, sepanjang tindakan yang
dilakukan kuasa tidak melampaui batas kewenangan yang dilimpahkan
pemberi kuasa kepadanya, namun demikian dalam ikatan hubungan
hukum yang dilakukan kuasa dengan pihak ketiga, pemberi kuasa
berkedudukan sebagai pihak materil atau principal atau pihak utama, dan
penerima kuasa berkedudukan dan berkapasitas sebagai pihak formil.
2. Pemberi Kuasa Bersifat Konsensual. Sifat ini mengandung arti adanya
kesepakatan (agreement) emberi kuasa dan penerima kuasa (bersifat
partai), bersifat mengikat karena pembrian kuasa tersebut didasarkan pada
pernyataan kehendak yang tegas dari kedua belah pihak.
Itu sebabnya pasal 1792 maupun 1793 ayat (1) KUHPerdata menyatakan,
pemberian kuasa selain didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak,
dapat dituangkan dalam bentu akta otentik atau dibawah tangan maupun
dengan lisan.
3. Berkarakteristik Garansi-kontrak.
Ukuran untuk menentukan kekuatan memngikat tindakan kuasa kepada
principal (pemeberi kuasa), hanya terbatas; kewenangan atau mandat yang
diberikan oleh pemberi kuasa; dan apabila kuasa bertindak melampaui
batas mandat, tanggungjawab pemberi kuasa hanya sepanjang tindakan,
yang sesuai dengan mandat yang diberikan.

B. Berakhirnya Kuasa
Pada pasal 1813 KUHPerdata, membolehkan berakhirnya
perjanjian kuasa secara sepihak atau unilateral. Ketentuan ini secara
diametra bertentangan dengan pasal 1338 KUHPedata ayat (2) yang
menegaskan, persetujuan tidak dapat ditarik atau dibatalkan secara
sepihak, tetapi harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak secara
bilateral.
Hal-hal yang dapat mengakhiri pemberian kuasa menurut pasal
1813 KUHPerdata adalah:

11
a. Pemberi Kuasa Menarik Kembali Secara Sepihak
Ketentuan atau penarikan atau pencabutan kembali (revocation,
herroepen) kuasa oleh pemberi kuasa diatur lebih lanjut dalam pasal
1814 KUHPerdata dan seterusnya, dengan acuan pencabutan tanpa
memerlukan persetujuan dari pihak penerima kuasa; dan pencabutan
dapat dilakukan secara tegas dalam bentuk (1) mencabut secara tegas
dengan pernyataan tertulis; (2) meminta kembali surat kuasa dari
penerima kuasa.
Dapat juga pencabutan surat kuasa dapa dilakukan secara diam-diam,
berdasarkan pasal 1816 KUHPerdata. Caranya adalah pemberi kuasa
mengangkat atau menunjuk kuasa baru untuk melaksanakan urusan
yang sama. Tindakan ini berakibat kuasa yang pertama terhitung sejak
tanggal pemberian kuasa kepada kuasa baru, ditarik kembali secara
diam-diam.
b. Salah Satu Pihak Meninggal
Pasal 1813 menegaskan dengan meninggalnya salah satu pihak dengan
sendirinya pemberian kuasa berakhir demi hukum. Hubungan hukum
perjanjian kuasa, tidak berlanjut kepada ahli waris. Jika hubungan
tersebut akan dilanjutkan harus dibuat surat kuasa yang baru.
c. Penerima Kuasa Melepas Kuasa
Pasal 1817 KUHPerdata memberi hak secara sepihak kepada kuasa
untuk melepas (op zegging) kuasa yang diterimanya, dengan syarat;
(1) harus memberitahukan kehendak tersebut kepada pemberi kuasa;
(2) pelepasan tidak boleh dilakukan pada saat yang tidak layak.
Ukuran layak atau tidak sangat tergantung dari akibat yang
ditimbulkan apakah menimbulkan kerugian bagi pemberi kuasa.

C. Jenis Kuasa
a. Kuasa Umum
Kuasa umum diatur dalam pasal 1795 KUHPerdata, menurut pasal ini
tujuan pemberian kuasa umum kepada seseorang untuk mengurus
kepentingan pemberi kuasa, yaitu; (1) melakukan pengurusan harta
kekayaan pemberi kuasa; (2) pengurusan tersebut berhubungan dengan

12
kepentingan pemberi kuasa dan harta kekayaannya; (3) pemberian
kuasa umum hanya meliputi perbuatan atau tindakan pengurusan
kepentingan pemberi kuasa.
Dengan demikian, kuasa umum adalah pemberian kuasa mengenai
pengurusan, yang disebut beherder atau manajer, untuk mengatur
kepentingan penguasa.
Jadi surat kuasa umum tidak dapat digunakan didepan pengadian untuk
mewakili pemberi kuasa, sebab sesuai dengan ketentuan pasal 123
HIR, untuk dapat tampil didepan pengadilan penerima kuasa harus
mendapat surat kuasa khusus.
b. Kuasa Khusus
Pasal 1795 KUHPerdata menjelaskan pemberian kuasa dapat
dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan
tertentu atau lebih. Bentuk inilah yang menjadi pedoman bagi pemberi
kuasa untuk bertindak didepan pengadilan mewakili kepentingan
pemberi kuasa.
Jadi kalau tindakan khusus yang dilimpahkan kepada kuasa tidak
dimaksudkan untuk tampil mewakili pemberi kuasa di depan
pengadilan, tidak diperlukan syarat tambahan, cukup berpedoman pada
ketentuan yang digariskan pasal 1795 KUHPerdata, seperti pemberian
kuasa khusus untuk penjualan rumah. Kuasa khusus semacam ini tetap
tidak bisa mewakili si pemberi kuasa untuk tampil di depan pengadilan
akan tetapi sebatas penjualan rumah.
c. Kuasa Istimewa
Kuasa istimewa diatur dalam pasal 1796 KUHPerdata, dan dikaitkan
dengan pasal 157 HIR atau pasal 184 RBg. Jika ketentuan pasal-pasal
ini dirangkai, diperlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi agar
kuasa tersebut sah menurut hukum sebagai kuasa istimewa.
Ruang lingkup kuasa istimewa hanya terbatas pada ;
1) Untuk memindahtangankan benda-benda milik pemberi kuasa,
atau untuk meletakan hipotik (hak tanggungan) di atas benda
tersebut,
2) Untuk membuat perdamaian dengan pihak ketiga,

13
Untuk mengucapkan sumpah penentu (decisoir eed) atau sumpah
tambahan (Suppletaoir eed) sesuai dengan ketentuan pasa 157
HIR atau pasal 184 RBg.1
Menurut pasal ini, seharusnya sumpah dilakukan oleh pihak yang
berperkara secara langsung, akan tetapi apabila suatu keadaan yang
sangat penting maka sumpah dapat dilakukan oleh penerima kuasa,
karena pemberi kuasa dalam keadaan sakit. Dan melalui
persetujuan hakim, penerima kuasa dapat mengucapkan sumpah
dengan syarat diberi kuasa istimewa oleh principal dan principal
dengan jelas bunyi sumpah yang diucapkan.

D. Kuasa Substitusi
Penerima kuasa berdasarkan pasal 1803 KUHPerdata dapat melimpahkan
kuasa yang diterimanya kepada pihak ketiga sebagai pengganti
melaksanakan kuasa yang diterimanya, akan tetapi hak dan kewenangan
itu; (1) tidak dengan sendirinya menurut hukum dan (2) hak dan
kewenangan itu harus tegas disebut dalam surat kuasa.
Jadi, harus ada klausal yang berisi pernyataan bahwa kasus dapat
melimpahkan kuasa itu kepada seorang atau beberapa orang pihak ketiga,
yang akan bertindak sebagai kuasa substitusi,menggantikan kuasa semula
mewakili kepentingan pemberi kuasa di pengadilan.
Memang adakalanya penunjukan kuasa substitusi harus lebih dahulu
mendapat persetujuan dari pihak pertama yang memberi surat kuasa.

E. Muatan Surat Kuasa


1. Identitas dan kedudukan pemberi dan penerima kuasa;
2. Muatan kekhususan surat kuasa; uraian yang menjadi pokok sengketa
perkara dan yang menunjukkan kekhususan perkara;
3. Muatan isi kuasa yang diberikan; uraian tindakan-tindakan yang
menurut hukum patut dilakukan oleh penerima kuasa;
4. Memuat hak substitusi, hak retensi jika perlu.

1
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), cet. 1, h. 7-8

14
CONTOH:

SURAT KUASA

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama: ; pekerjaan: ; bertempat tinggal di

Bertindak untuk dan atas nama sendiri dalam hal ini memilih domisili
tetap di kantor kuasanya yang disebut di bawah ini, dengan ini
menerangkan, menyatakan kesungguhannya memberi kuasa penuh
kepada :

Advokat pada Ahmad Mustafa dijalan , Jakarta


Selatan, dalam hal ini bertindak bersama-sama maupun sendiri-sendiri;

KHUSUS

Untuk dan atas nama pemberi kuasa, serta mewakilinya sebagai


PENGGUGAT, mengajukan GUGATAN terhadap ,
Pekerjaan: ............, beralamat di .................., sebagai TERGUGAT, di
Pengadilan Negeri ................., mengenai .............................., serta segala
sesuatu yang berkenaan dengan itu;

Untuk itu pemegang kuasa berhak menghadap di muka Pengadilan


Negeri yang bersangkutan serta instansi-instansi/pejabat-pejabat lainnya,

15
memajukan serta memasukkan segala surat-surat permohonan yang perlu,
akte-akte dan surat lain yang berhubungan dengan perkara ini;
menjalankan perbuatan dan memberikan keterangan-keterangan yang
menurut hukum harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa;
melawan perkara terhadap gugatan rekonpensi; mengajukan gugatan
rekonpensi; memohon conservatior beslag dan/atau revindicator beslag;
meminta dijalankan surat juru sita (exploit); membuat teguran (somasi);
meminta putusan dan penetapan-penetapan serta menjalankan putusan;
meminta salinan dari surat-surat yang perlu; mengajukan dan menolak
saksi-saksi dan alat-alat bukti lainnya; merubah dan mengurangi isi
gugatan; mengadakan perdamaian; mencabut perkara ( roya); menerima
dan melakukan pembayaran-pembayaran dalam perkara ini, dan umumnya
menjalankan segala hal-hal yang perlu untuk pemberi kuasa dalam perkara
ini; menyatakan banding dan menandatangani memori banding;
menyatakan kasasi dan menanda tangani memori kasasi; Surat kuasa ini
diberikan denga Hak Substitutie dan Hak Retentie ;

Jakarta, 2019

Penerima Kuasa, Pemberi


Kuasa,

Contoh Muatan Kekhususan Surat Kuasa:

1. SURAT KUASA PENGGUGAT


Untuk dan atas nama pemberi kuasa, serta mewakilinya sebagai
PENGGUGAT, mengajukan gugatan terhadap Fulan bin Fulani,

16
Pekerjaan: Sopir PT Makmur Sejahtera, beralamat di Jalan Gajah Mada
Raya No. 1, Jakarta Pusat, sebagai TERGUGAT 1 dan pohan bin pohani,
Pekerjaan: Direktur PT Fulus Makmur, beralamat di Jalan Blok M Raya
No. 212, Jakarta Selatan, sebagai TERGUGAT II, di pengadilan Negeri
Jakarta pusat, mengenai Tuntutan Ganti Kerugian akibat Perbuatan
Melawan Hukum yang telah diputus pemidanaannya dalam putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No .............., serta segala sesuatu yang
berkenaan dengan itu;

Atau:
................... di Pengadilan Negeri Bogor, mengenai penguasaan tanpa hak
atas tanah hak milik adat Girik C No 0000 Persil 000/DOO seluas 10.100
m2 atas nama Panjul bin Panjuli yang terletak di Jalan Bojongan Rt.
001/03 No. 212, Desa Bojong Kecil, Kelurahan Bojong Sedang,
Kecamatan Bogor, Kabupaten Bogor, serta segala sesuatu yang berkenaan
dengan itu;

2. SURAT KUASA UNTUK TERGUGAT


Uuntuk dan atas nama pemberi kuasa, serta mewakilinya sebagai
TERGUGAT I, dalam Perkara Perdata No. ................... , di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, serta segala sesuatu yang berkenaan dengan itu;

Untuk dan atas nama pemberi kuasa, serta mewakilinya sebagai


TERGUGAT II, dalam Perkara Perdata No. ....................., di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, serta segala sesuatu yang berkenaan dengan itu;

3. SURAT KUASA UNTUK INTERVENSI


Untuk dan atas nama pemberi kuasa, serta mewakilinya untuk mengajukan
INTERVENSI, dalam Perkara Perdata No. ..................., di pengadilan
Negeri Jakarta Pusat antara .......................... sebagai PENGGUGAT
lawan ........................... sebagai TERGUGAT, serta segala sesuatu yang
berkenaan dengan itu;

17
SURAT KUASA DARI BADAN HUKUM

 Dibuat diatas surat resmi badan hukum yang bersangkutan jika berupa akta
bawah tangan; dan ditanda tangani oleh pihak yang berkompeten pada
badan hukum yang bersangkutan sebagai pemegang ilegal mandatory atau
persona in judicio, misal; direktur, perwakilan perusahaan asing, pimpinan
cabang atau perwakilan perusahaan domestik, pemberes pada badan
hukum yang telah dibubarkan.

18
BAB III
UPAYA PERDAMAIAN

A. UPAYA PERDAMAIAN

Penyelesaian melalui perdamaian telah diatur dalam pasal PERMA


yang berbunyi ;”Hakim berkewajiban mendorong para pihak untuk
menyelesaikan perkara dimaksud melalui perdamaian, baik pada awal
persidangan maupun selama berlangsungnya pemeriksaan.” Berdasarkan
pasal di atas maka hakim berkewajiban untuk melakukan perdamaian
kepada para pihak. Kewajiban mendamaikan sesuai dengan ketentuan
pasal tersebut mengharuskan hakim mendorong kepada para pihak untuk
menyelesaikan masalah dengan cara berdamai, dan keputusan tersebut
sepenuhnya ada ditangan para pihak serta hakim tidak dapat memaksa
mereka untuk melakukan perdamaian.

Upaya damai yang dilakukan oleh majelis hakim dari segi waktu
dilakukan mulai proses persidangan awal, maupun proses selama
pemeriksaan awal, hingga batasnya sampai akhir persidangan pada saat
putusan.

Perdamaian yang tercantum dalam pasal 6 PERMA tersebut tunduk


kepada ketentuan pasal 130 HIR yaitu para pihak sendiri yang
menyepakati materi perdamaian, kesempatan (agreement) dibuat dan
dirumuskan diluar persidangan tanpa campur tangan hakim; dan
persetujuan tersebut dibuat dalam bentuk tertulis dan ditandatangani kedua
belah pihak, dan para pihak selanjutnya meminta kepada majelis hakim
untuk membuat kesepakatan perdamaian tersebut dalam bentuk putusan,
dan atas permintaan tersebut maka majelis hakim menjatuhkan putusan
yang memuat dictum “menghukum” para pihak untuk memenuhi dan
melaksanakan isi perdamaian.

19
A. Putusan Perdamaian

Putusan perdamaian menurut pasal 130 HIR, dianggap sama


dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap, dan terhadapnya tertutup
upaya hukum banding dan kasasi dan bersifat final dan mengikat (final
and binding) kepada para pihak serta melekat padanya kekuatan
eksekutorial sehingga apabila dijalankan secara sukarela dapat dijalankan
eksekusi melalui Pengadilan Negeri.

Ada beberapa kelemahan memang dari peraturan PERMA tersebut


seperti tidak mengatur ketentuan perdamaian yang tidak jujur (unfair
settlement) untuk menghindari tindakan wakil kelompok bersekongkol
dengan tergugat. Dan kekosongan hukum tersebut besar kemungkinan
akan dimanfaatkan wakil kelompok untuk melakukan persengkongkolan
dengan tergugat membuat perdamaian yang tidak fair dan tidak
reasonable dengan cara suap (buy off) yang dapat merugikan kepentingan
anggota kelompok.

Selain itu PERMA tersebut juga mengandung kelemahan karena


tidak diatur bagaimana cara mengajukan keberatan (objection right)
kepada anggota kelompok terhadap perdamaian yang merugikan
kepentingan mereka. Kekosongan ini mempersulit anggota kelompok
melakukan pengawasan terhadap prilaku dan tindakan wakil kelompok
yang nyata-nyata merugikan kepentingan mereka.

Upaya perdamaian dapat dilakukan sebelum proses persidangan


berlangsung yang dilakukan oleh kedua belah pihak, akan tetapi apabila
upaya damai tersebut belum membuahkan hasil maka pihak penggugat
dapat melakukan somatie (peringatan) agar pihak lawan mematuhi
perjanjian ataupun kesepakatan yang telah mereka lakukan.

Namun demikian apabila kesepakatan tersebut, ternyata tidak


berhasil maka langkah berikutnya adalah mengajukan surat gugatan/
permohonan ke pengadilan.

20
BAB IV

KOMPETENSI ABSOLUT DAN RELATIF ACARA PERDATA

A. Gambaran Umum Kompetensi Absolut dan Relatif


Ada dua macam kompetensi badan peradilan di indonesia, yaitu:
a. Kompetensi Absolut
b. Kompetensi relatif

Kompetensi absolut suatu badan peradilan atribusi kekuasaan berbagai


jenis peradilan untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Pasal 10 ayat (1)
Undang-undang No. 14 tahun 1970 menjelaskan 4 macam lingkungan
peradilan di Indonesia yaitu;

(1) Peradilan Umum


(2) Peradilan Agama
(3) Peradilan Militer, dan
(4) Peradilan Tata Usaha Negara

Bila seseorang merasa haknya dilanggar, kemanakah gugatannya


harus diajukan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut harus dipahami
kompetensi absolut dan relatif peradilan.

Apabila seseorang akan menyelesaikan sengketa perdatanya di


Peradilan Negeri maka harus berdasarkan perkara-perkara yang termuat
dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan UU No. 1
tahun 1974 yang berkenaan masalah perkawinan.

Khusus bagi perkara perkawinan maka yang menjadi wewenang


Peradilan Negeri adalah perkawinan bagi orang diluar islam yaitu Kristen,
Hindu, Budha, Katholik. Sementara perkara perdata perkawinan, kewarisan,
wakaf, hibah, wasiat, sedeqah, dan sengketa ekonomi syariah menjadi
kompetensi absolut peradilan Agama.

21
Sementara kompetensi relatif adalah distribusi kekuasaan badan
peradilan sejenis untuk memiliki kewenangan menerima, memeriksa,
mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya.

Pasal 118 HIR menetapkan bahwa setiap perkara perdata dimulai


dengan pengajuan surat gugatan dan menetapkan pengadilan negeri yang
berwenang adalah yang terletak dalam daerah hukum si tergugat bertempat
tinggal. Biasanya daerah hukum pengadilan negeri adalah seluruh wilayah
suatu kabupaten/kotamadya tertentu.

B. Kedudukan Lembaga Peradilan Umum

Dilingkungan peradilan umum atau pengadilan negeri berkedudukan di


ibukota kabupaten atau kotamadya serta untuk pengadilan tinggi berada di
tingkat ibukota propinsi, dan terbagi dalam 3 (tiga) kelas yaitu :

1. Kelas 1A, yaitu pengadilan negeri yang dalam setahun memeriksa lebih
dari 600 perkara perdata (baik gugatan atau permohonan) dan lebih dari
2000 perkara termasuk perkara pidana dengan jumlah penduduk mencapai
0,5 juta jiwa. Pengadilan ini diantaranya adalah PN Medan, Palembang,
Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Bandung,
Semarang, Surabaya, dan Ujung Pandang.
2. Kelas 1B, dengan kategori pengadilan Negeri tersebut memeriksa kurang
dari 600 perkara perdata termasuk permohonan minimal 150 perkara,
sedangkan perkara pidana kurang dari 2000 perkara akan tetapi di atas
1000 perkara dan jumlah penduduku kurag dari 0,5 juta jiwa namun lebih
dari 0,25 juta.
3. Kelas IIA, yaitu pengadilan negeri dengan kategori memeriksa perkara
kurang dari 150 perkara perdata, dan perkara pidana kurang dari 1000 dan
jumlah penduduk kurang dari 0,25 juta jiwa.

Untuk pengadilan Tinggi terdiri dari dua golongan yaitu golongan A


dan B. Yang termasuk dalam golongan A meliputi Medan, PT. Jakarta. Untuk
golongan B adalah PT Banda Aceh, PT Manado, PT Banjarmasin, PT

22
Kupang, PT Palangkaraya, PT Ambon, PT Jayapura, PT Pekan Baru, PT
Jambi, PT Bengkulu, PT Samarinda, PT Palu, PT Kendari, PT Mataram.2

BAB V
2
M. Nasir, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Djambatan, 2003) cet, ke- 1, h. 32

23
PRIHAL PERMOHONAN DAN GUGATAN

Tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan untuk memperoleh


perlindungan hak yang diberikan oelhe pengadilan untuk mencegah main hakim
sendiri (eigenrichting). Gugatan dilakukan dalam rangka penyelesaian perkara
karena adanya sengketa dan diajukan ke pengadilan untuk mendapat keputusan.

Tuntutan hak juga diartikan dengan suatu permohonan yang diajukan oleh
kepada ketua Pengadilan Negeri yang berwenang, mengenai suatu tuntutan
terhadap pihak lainnya, dan harus diperiksa menurut tata cara tertentu oleh
pengadilan, serta kemudian dibuat putusan terhadap gugatan tersebut.

Dari pengertian tersebut, maka dapat dipahami bahwa tuntutan hak


diakibatkan adanya hak yang dilanggar baik orang maupun badan hukum,
sedangkan yang telah melakukan pelanggaran tersebut tidak bersedia secara
sukarela memenuhi tuntutan yang diajukan kepadanya. Karena itu untuk
menentuka siapa yang benar dan berhak, diperlukan adanya suatu putusan hakim.
Dalam hal ini hakim bertugas memeriksa, mengadili dan memutuskan siapa
diantara para pihak tersebut yang benar dan berhak atas tuntutan hak tersebut.

Suatu tuntutan hak mensyaratkan adanya kepentingan hukum yang cukup,


baik subyek maupun obyeknya, agar dapat diterima dan periksa oleh pengadilan
sesuai Asas Point De Interet, Point De Action (Tidak ada kepentingan, tidak ada
perkara) dan Asas Nemo Judex Sine Actore (Tidak ada perkara, Tidak ada hakim)
( Putusan MARI 7 Juli 1971 No. 294 K/Sip/1971).

Seseorang atau badan hukum yang mengajukan tuntutan hak berarti


mempunyai kepentingan untuk memperoleh perlindungan hukum. Pihak yang
tidak menderita kerugian, baik materiil maupun non materiil mengajukan tuntutan
hak, dianggap tidak memiliki kepentingan, sehingga tuntutannya tidak dapat
diterima oleh pengadilan.

Selain perkara gugatan, yang melibatkan penggugat dan tergugat sebagai


para pihak, dikenal pula perkara lain yang sering disebut dengan permohonan
yang diajukan oleh seorang pemohon atau lebih

24
Perbedaan antara gugatan dan permohonan terletak pada ada tidaknya
sengketa antara para pihak yang harus mendapatkan putusan melalui pengadilan.
Dalam gugatan selalu ada sengketa antara para pihak, sedangkan dalam
permohonan tidak ada sengketa sama sekali. Sebagai contoh, permohonan
pengangkatan anak, penetapan wali atau pengampu, perbaikan akta dan
sebagainya.

Tuntutan hak yang terdapat kepentingan hukum biasanya akan diterima


dan dikabulkan majelis hakim. Asalkan tuntutan tersebut dapat dibuktikan dengan
jelas.

Gugatan dapat diajukan kepengadilan bisa dengan jalan tertulis (pasal


118 ayat 1 HIR, 142 ayat 1 RBg) atau secara lisan (pasal 120 HIR, 144 ayat 1
RBg).

A. PENGERTIAN PERMOHONAN DAN GUGATAN

Perkara perdata di Pengadilan negeri ataupun di pengadilan agama


terbagi dalam dua bagian yaitu perkara yang termasuk dalam permohonan
dan perkara yang termasuk dalam gugatan.

Perkara gugatan terdiri dari 2 (dua) pihak yaitu penggugat dan


tergugat, dan diantara mereka terdapat suatu sengketa atau konflik yang harus
diselesaikan dan diputus oleh pengadilan. Karena ada pihak yang merasa hak-
haknya atau hak mereka ada yang meresa dilanggar oleh pihak lain, akan
tetapi pihak lawan tersebut tidak mau melakukan sesuatu yang diminta secara
sukarela. Karena itu untuk penentuan siapa yang benar dan berhak,
diperlukan adanya suatu putusan hakim.

Sedangkan perkara yang bersifat permohonan adalah perkara yang


diajukan sendiri atau bersama-sama kepengadilan tanpa adanya suatu
sengketa. Misalkan apabila ada segenap ahli waris secara bersama-sama
datang ke pengadilan memohon agar mereka ditetapkan sebagai ahli waris
dan mereka sepakat tentang pembagian masing-masing ahli waris. Disini jelas
pihak pengadilan melalui hakim bertugas sebagai tenaga tata usaha negara

25
sesuai dengan ketentuan pasal 236a HIR. Hakim akan mengeluarkan suatu
penetapan yang disebut dengan declaratoir, yaitu stautu putusan yang bersifat
menetapkan atau menerangkan saja.

Bentuk gugatan seperti di atas bisa juga disebut gugatan


permohonan/gugatan vulantair, istilah tersebut tepat kita rujuk pada
“Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan”. Pada halaman
110 angka 15, dipergunakan istilah permohonan, namun angka 15 huruf (e)
dipergunakan juga istilah voluntair, yang menjelaskan bahwa “Perkara
permohonan yang diajukan itu, hakim akan memberi suatu penetapan”.

Secara yuridis permohonan atau gugatan voluntair adalah


permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang
ditandatangani permohon atau kuasanya yang diajukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri, dengan ciri-ciri:

1. Masalah yang diajukan merupakan kepentingan sepihak hanya 1 (satu)


pihak saja. (for the benefit of one party only)
2. Benar-benar murni untuk menyelesaikan kepentingan-kepentingan
pemohon tentang suatu perkara perdata tersebut yang memerlukan
kepastian hukum, seperti permintaan izin dari pengadilan untuk
melakukan tindakan tertentu.
3. Dengan demikian yang dilakukan oleh pemohon benar-benar untuk
kepentingan pribadinya tidak bersentuhan dengan kepentingan orang lain.
4. Pada prinsipnya permohonan yang diajukan tanpa adanya sengketa dengan
pihak lain (without disputes or difference with another party)
5. Tidak ada pihak ketiga yang dtarik sebagai lawan, tetapi bersifat ex-party.3

B. BENTUK SURAT PERMOHONAN

3
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Hakim, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), Cet. 1, h. 29

26
Bentuk surat permohonan tetap didahului dengan identitas pihak
pemohon dan posita atau fundamentum petendi. Namun hali ini tidak serumit
pembuatan surat gugatan. Dalam surat permohonan cukup pemohon
menguraikan landasan hukum dan peristiwa yang menjadi dasar permohonan,
dilanjutkan dengan penjelasan hubungan hukum (rechtsver houding) antara
pemohon dengan permasalahan hukum yanh dipersoalkan.
Contoh dalam bidang hukum keluarga, seperti diatur dalam Undang-
undang No. 1 tahun 1874, tentang perkawinan. Dalam hal suami akan
melakukan poligami maka dasar hukumnya adalah pasal 5 UU No.1 tahun
1974; maka dalil pemohon berdasar ketentuan yang digariskan pasal 4 ayat
(1); diikuti dengan pemenuhan syarat-syarat yang disebut pasal 5 ayat (1).
Permohonan izin melangsungkan perkawinan tanpa izin orang tua,
berdasarkan pasal 6 ayat (5) UU No. 1 tahun 1974, yaitu dalam hal orang tua
berbeda pendapat memberi izin perkawinan bagi yang berumur 21 tahun atau
mereka yang tidak memberi pendapat, atau dalam peristiwa yang seperti itu,
yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk
melangsungkan perkawinan tanpa izin orang tua.
Permohonan dispensi nikah bagi calon mempelai pria yang belum
berumur 16 tahun berdasarkan pasal 7 UU No. 1 tahun 1974, dan
permohonan pengangkatan wali berdasarkan pasal 25, 26 dan 27 UU No. 1
tahun 1974, serta permohonan pengangkatan wali berdasarkan pasal 23 ayat
(2) Kompilasi Hukum Islam, Keppres No. 1 tahun 1991 Jo Peraturan Menteri
Agama No. 2 tahun 1987.
Di pengadilan Negeri perkara permohonan yang diajukan seperti
perlindungan konsumen berdasarkan UU No. 8 tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen dengan cara permohonan penetapan eksekusi kepada
Pengadilan Negeri atas putusan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen berdasarkan pasal 57, Yurisdiksi diajukan kepada Pengadilan
Negeri di tempat kediaman permohonan eksekusi, bukan tempat kediaman
termohon eksekusi.
Permohonan lainnya seperti masalah pembubaran perseroan terbatas
berdasarkan pasal 7 ayat (4) yaitu; “orang yang berkepentingan dapat

27
mengajukan permohonan pembubaran ke Pengadilan Negeri, atas alasan
apabila lewat 6 bulan, pemegang saham kurang dari dua orang.”
Permohonan izin melakukan sendiri pemanggilan RUPS kepada
Ketua Pengadilan Negeri berdasarkan pasal 67 ayat (1); diatur bahwa direksi
atau komisariat tidak menyelenggarakan RUPS tahunan pada waktu yang
ditentukan sendiri, atau melakukan sendiri pemanggilan RUPS lainnya,
apabila direksi atau komisaris setelah lewat 30 hari terhitung sejak
permintaan, tidak melakukan pemanggilan RUPS lainnya tersebut.
Penetapan Pengadilan Negeri dalam hal ini merupakan penetapan
instansi pertama dan terakhir.

C. PETITUM PERMOHONAN

Sudah dijelaskan pada kasus permohonan pihak yang ada hanya


pemohon sendiri. Tidak ada pihak lain yang ditarik sebagai lawan atau
tergugat. Pada prinsipnya, tujuan permohonan untuk menyelesaikan
kepentingan pemohon sendiri tanpa melibatka pihak lawan. Dalam kerangka
demikian, petitum permohonan harus mengacu pada penyelesaian
kepentingan pemohon secara sepihak.

Sehubungan dengan itu, petitum permohonan tidak boleh melanggar


atau melampaui hak orang lain. Harus benar-benar murni merupakan
permintaan penyelesaian kepentingan-kepentingan pemohon, dengan acuan
sebagai berikut:

a. Isi petitum merupakan permintaan yang bersifat deklaratif


b. Petitum tidak boleh melibatkan pihak lain yang tidka ikut sebagai
pemohon.
c. Petitum permohonan harus dirinci satu persatu tentang hal-hal yang
dikehendaki pemohon untuk ditetapkan pengadilan kepadanya.
d. Petitum tidak boleh bersifat compositur atau ex aequo et bono membuat
petitum yang bersifat kondemnatoir.4

4
Ibid, h. 37-40

28
D. PROSES PEMERIKSAAN PERMOHONAN
1. Jalannya Proses Pemeriksaan Secara Ex-Parte
Oleh karena yang terlibat dalam surat permohonan hanya sepihak
yaitu pemohon, maka proses pemeriksaan permohonan hanya secara
sepihak saja yaitu pemohon atau kuasanya.
2. Yang diperiksa di Sidang hanya Keterangan dan Bukti Pemohon
Didalam proses yang bercorak ex-parte, hanya keterangan dan bukti-
bukti pemohon yang diperiksa dipengadilan. Pemeriksaan tidak
berlangsung secara contradictoir atau op tegenspraak.
3. Tidak Dipermasalahkan Penegakan Seluruh Proses Persidangan
Pada proses pemeriksaan permohonan yang bersifat ex-parte,
tidak ditegakan seluruh asa pemeriksaan persidangan. Namun tidak
pula sepenuhnya disingkarkan. Hal-hal yang ditegakan seperti asas
kebebasan peradilan yang tidak bisa dipengaruhi oleh pihak manapun,
dan tidak ada direktiva dari pihak manapun.
Begitu pula asas fair trial (peradilan yang adil) sehingga hakim
tidak boleh berlaku sewenang-wenang, pemeriksaan harus sesuai
dengan hukum yang berlaku, serta memberikan kesempatan yang
layak kepada pihak pemohon untuk membela dan mempertahankan
kepentingannya. (to give an appropriate opportunity)
Hal-hal lain yang tidak perlu ditegakan adalah asas audi et
alteram partem yaitu asas mendengarkan jawaban atau bantahan dari
pihak lawan, disebabkan tidak ada pihak tergugat atau termohon.
Karenai itu asas to hear other side (mendengar pihak lain) tidak
relevan dalam proses permohonan. Dalam penyelesaian permohonan
tidak mungkin ditegakan as both sides be heard a decision is given.
Karena untuk mengambil keputusan atau penetapan yang didengar
semata-mata permohonan saja.
Dalam hal memberikan kesempatan yang sama juga tidak perlu
ditegakan dalam proses pemeriksaan permohonan. Disebabkan
pihaknya terdiri atas pemohon saja

29
4. Proses Pembuktian

Pada prinsipnya proses pembuktian dalam perkara permohonan


harus tetap ditegakan. Mengabaikan penegakan dan penerapan ajaran
dan sistem pembuktian dalam pemeriksaan permohonan dapat
menimbulkan akibat yang fakta, seperti adanya izin permohonan untuk
melaksanakan poligami, ternyata yang diajukan oleh suami adalah
surat bukti persetujuan poligami dari wanita lain, bukan dari istri
pertama pemohon. Jika pengadilan hanya bersifat formil maka bukti
tersebut dianggap cukup bagi hakim untuk memberikan izin poligami.
Akan tetapi kalau diterapkan batas minimal pembuktian, surat
dimaksud belum memenuhi unsur minimal pembuktian, harus
ditambah unsur lainnya seperti pemeriksaan saksi. Dan dalam hal ini
yang paling relevan didengar sebagai saksi adalah keterngan isteri
pertama.

Seandainya hakim tidak benar-benar menegakan ukuran batas


minimal pembuktian, berarti bisa saja hakim dengan ceroboh
mengabulkan pemberian izin poligami, padahal ternyata surat
keterangan dibuat oleh calon isteri kedua atau bahkan orang lain.
Pembuktian yang ada haruslah mengacu pada ketentuan pasal 1866
KUHPerdata yang terdiri dari tullisan (akta), keterangan saksi,
persangkaan, pengakuan dan sumpah.

5. Putusan Permohonan
Putusan yang berisi pertimbangan dan diktum penyelesaian
permohonan dituangkan dalam bentuk penetapan, dan namanya juga
disebut penetapan atau ketetapan (beschiking; decree). Bentuk ini
membedakan penyelesaian yang dijatuhkan pengadilan dalam gugatan
contentiosa.
Dicktumnya hanya berisi penegasan pernyataan atau deklarasi
hukum tentang hal-hal yan diminta. Dan pengadilan tidak boleh
mencantumkan diktum condemnatoir (yang mengandung hukuman)
terhadap siapapun, juga tidak dapat memuat amar konstitutif, yaitu

30
yang menciptakan suatu keadaan baru, seperti membatalkan perjanjian,
menyatakan sebagai pemilik atas suatu barang dan sebagainya.
6. Upaya Hukum Terhadap Penetapan

Apabila terjadi penolakan terhadap surat permohonan, apa yang


dapat dilakukan oleh pemohon ?

Seperti diketahui, bahwa penetapan atas permohonan (perkara


voluntair) merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir karena itu
sesuai dengan pasal 43 ayat (1) menyatakan bahwa permohonan kasasi
dapat diajukan hanya jika permohonan terhadap perkara telah
menggunakan upaya hukum banding, kecuali ditentukan lain oleh
undang-undang. Terhadap kalimat akhir pasal ini, dirumuskan
penjelasan yang berbunyi ;

Pengecualian dalam ayat (1) pasal ini diadakan karena adanya


putusan Pengadilan Tingka pertama yang oleh UU tidak dapat
dimohon banding.

Memperhatikan penegasan penjelasan pasal 43 ayat (1)


tersebut, oleh karena penetapan yang dijatuhkan terhadap permohonan
tidak dapat dibanding maka upaya hukum yang dapat ditempuh adalah
kasasi berdasarkan pasal 43 ayat (1) Jo. Penjelasan pasal 43 ayat (1)
dimaksud.

Kemudian bagaimana halnya apabila terjadi kekeliruan


terhadap peristiwa pengajuan permohonan atau gugatan voluntair,
bagaimana upaya hukum yang berkepentingan atau pihak yang
dirugikan untuk mengoreksi atau meluruskannya? Seperti Ahmad
mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri agar tanah yang
dimiliki dan dikuasai Bambang dinyatakan sebagai hak miliknya. Atas
permohonan Ahmad tersebut, pihak pengadilan negeri mengabulkan
permohonan dan menyatakan tanah milik Ahmad dalam produk
penetapannya.

31
Baik permohonan maupun penetapanyang diterbitkan
Pengadilan Negeri dalam kasus ini, jelas keliru dan melampaui batas
yurisdiksi voluntair jika merujuk kepada yang digariskan penjelasan
ayat (2) UU No. 14 tahun 1970 Jo UU No. 4 tahun 2004.

Terhadap putusan yang demikian, cara yang dapat ditempuh


orang yang merasa dirugika adalah:

a. Mengajukan perlawanan terhadap permohonan selama proses


pemeriksaan berlangsung.
Landasannya adalah pasal 378 Rv, atau pasal 195 ayat (6) HIR.
Perlawanan itu sangat bermanfaat untuk menghindari terbitnya
penetapan yang keliru. Dengan demikian, memberikan hak kepada
orang yang merasa dirugikan kepentingannya untuk;
- Mengajukan perlawanan kepada pihak ketiga (derden verzet) yang
bersifat semu (quasi derden verzet), selama proses pemeriksaan
berlangsung.
- Pihak yang merasa dirugukan bertindak sebagai pelawan dan yang
dahulunya pemohon sebagai terlawan.
- Dasar perlawanan, ditujukan kepada pengajuan permohonan
gugatan voluntair tersebut
- Pelawan meminta agar pemohon ditolak serta perkara diselesaikan
secara contradictoir.

Tindakan dan upaya perlawanan yang disebut di atas dapat


dilakukan pihak yang merasa dirugikan, apabila ia mengetahui adanya
permohonan yang sedang berlangsung proses pemeriksaannya.

b. Mengajukan Gugatan Perdata


Apabila isi penetapan mengabulkan permohonan dan pihak yang
merasa dirugikan baru mengetahui setelah pengadilan menjatuhkan
penetapan tersebut yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan
perdata biasa.

32
- Pihak yang merasa dirugikan bertindak sebagai penggugat dan
pemohon ditarik sebagai tergugat.
- Dalil gugatan bertitik dari hubungan hukum yang terjalin antara
diri penggugat dengan permasalahan yang diajukan pemohon
dalam permohonan.
c. Mengajukan Permintaan Pembatalan kepada MA
Atas penetapan tentang upaya ini, dapat dipedomani Penetapan MA
No. 5 pen/Sep/1975 sebagai preseden.
d. Mengajukan Upaya Peninjauan Kembali (PK)
Upaya PK, dapat juga ditempuh untuk mengoreksi dan meluruskan
kekeliruan atas permohonan dengan mempergunakan Putusan PK No.
1 PK/Ag/1990 tanggal 22 Januari 1991 sebagai pedoman preseden.

E. PRIHAL GUGATAN
Isi dan substansi suatu gugatan tidak diatur secara rinci dalam HIR
dan RBg, kecuali hanya menyangkut cara mengajukan surat gugatan saja.
Namun demikian, untuk mengatasi masalah ini, pasal 119 HIR dan pasal
143 RBg memberikan solusi terhadap kekurangan ini yaitu dengan
memberikan wewenang kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk
memberikan nasehat dan bantuan kepada pihak penggugat dalam
menyiapkan dan mengajukan gugatan. Hal ini dimaksudkan untuk
mencegah kesalahan dalam pembuatan surat gugatan.
Pasal 8 ayat (3) RV, surat gugatan harus memenuhi beberapa hal
sebagai berikut;
1. Identitas Para Pihak
Identitas para pihak adalah ciri atau karakter yang dimiliki penggugat
dan tergugat, meliputi nama, tempat tinggal, umur, status perkawinan,
pendidikan dan lain-lain yang dipandang perlu.
Dalam hal ini, identitas para pihak harus jelas dan lengkap sehingga
berkualitas sebagai perseorangan pribadi. Bila para pihak berkualitas
sebagai badan hukum, maka dalam praktik cukup disebut nama badan
hukumnya, tempat kedudukan, dan alamat kantornya (Putusan MA RI
No. 440 K/Pdt/1986 tanggal 29 Agustus 1986).

33
Suatu hal yang perlu diperhatikan adalah kelengkapan para pihak yang
berperkara yang harus digugat tetapi tidak digugat maka gugatan akan
dinyatakan tidak dapat diterima (MA No. 151 K/Sip/1975 tanggal 13
Mei 1975).
2. Posita dan Fundamentum Petendi
Posita dan fundamentum petendi adalah dasar tuntutan yang terdiri
dari dua bagian yang menjelaskan peristiwa, kejadian-kejadian, atau
duduk perkara, dan bagian yang menjelaskan tentang hukumnya,
meliputi tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar
yuridis suatu gugatan. Uraian yuridis ini bukanlah merupakan
penyebutan peraturan-peraturan hukum yang dijadikan dasar tuntutan.
Dengan demikian, posita memberikan gambaran tentang kejadian
materiil sebagai dasar tuntutan.
Dalam menjelaskan duduk perkara secara jelas dan lengkap pada
bagian posita dalam surat gugatan, dikenal dua macam teori yang
lazim digunakan yaitu;
a) Teori individualisasi (Individualisering theori) yaitu teori yang
menjelaskan bahwa kejadian-kejadian yang disebutkan dalam surat
gugatan harus cukup menunjukan adanya hubungan hukum yang
menjadi dasar tuntutan, tanpa adanya hubungan hukum yang
menjadi dasar tuntutan, tanpa mencantumkan dasar atau sejarah
terjadinya hak atau hubungan hukum. Alasannya adalah bahwa hal
tersebut dapat dikemukakan nanti di depan hakim dalam
persidangan yang disertai dengan pembuktian. Menurut Mahkamah
Agung dalam putusannya tanggal 15 Maret 1972 No. 547
K/Sip/1971, dengan hanya perumusan kejadian materiil secara
singkat dianggap sudah memenuhi syarat.
b) Teori substansi (Substansiering theori) yaitu teori yang dianut
dalam pembuatan surat gugatan, dimana tidak memadai dengan
hanya menyebutkan peristiwa hukum yang menjadi dasar tuntutan
saja, melainkan harus mencantumkan pula kejadian-kejadian nyata
yang mendahului peristiwa hukum sehingga menjadi sebab
timbulnya peristiwa hukum tersebut. Sebagai contoh, seseorang

34
tidak cukup mengatakan bahwa dia pemilik (eigenar) suatu benda
tertentu, melainkan harus dijelaskan bagaimana ia dapat memiliki
benda tersebut, apakah dengan membeli, warisan atau cara-cara
lain. Teori ini sekarang sudah banyak ditinggalkan.

F. PETITUM ATAU TUNTUTAN


Petitum adalah tuntutan, permintaan atau harapan para pihak
(penggugat) terhadap pihak lawannya (tergugat) yang dirumuskan secara
jelas dan tegas yang nantinya diputuskan dalam amar putusan hakim.
Pasal 94 Rv menentukan bahwa bila pasal 8 Rv tidak diikuti, maka
akibatnya gugatan batal, bukan tidak dapat diterima. Sedangkan gugatan
yang tidak jelas atau tidak sempurna dapat mengakibatkan gugatan
tersebut tidak dapat diterima. Gugatan yang obscuur libels adalah gugatan
yang kabur, tidak jelas karena berisi pernyataan-pernyataan yang
bertentangan satu sama lain. Gugatan seperti ini dapat berakibat tidak
diterimanya gugatan oleh hakim.
Dalam praktik petitum dapat berupa tuntutan primer dan tuntutan
tambahan (subsider) (Pasal 180 ayat 1 HIR, pasal 191 RBg dan pasal 53
Rv). Adapun syarat formal surat gugatan yang dilakukan dalam praktik
peradilan sebagai berikut:
1) Tempat dan waktu surat gugatan yang dibuat oelh penggugat atau kuasa
hukumnya.
2) Harus menyebut identitas para pihak secara jelas dan lengkap.
Hal ini merupakan syarat formil yang harus dipenuhi dalam suatu surat
gugatan. Bila syarat ini tidak terpenuhi, pengadilan dapat menyatakan
tidak dapat diterima gugatan yang diajukan tersebut.
3) Surat gugatan harus ditandatangani.
Sebagaimana dalam setiap akta otentik, keabsahan suatu gugatan
ditentukan oleh ada atau tidaknya tanda tangan pihak yang melakukan
gugatan pada surat gugatan. Pengadilan baru dapat menerima dan
mengabulkan surat gugatan bila tercantum tanda tangan asli dan sah dari
pihak penggugat.

35
Selain petitum pokok (primair), dalam petitum juga dapat
dicantumkan tuntutan tambahan (petitum subsidair) biasanya berupa:
a. Tuntutan agar tergugat dihukum membayar biaya perkara, dan biaya
tersebut meliputi biaya kepaniteraan, biaya materai, biaya saksi, saksi
ahli dan juru bahasa, biaya sumpah, biaya pemeriksaan setempat,
pemberitahuan, segala tugas jurusita lainnya yang berhubungan dengan
perkara sesuai ketentuan dalam pasal 182 HIR, 194 RBg.
Besarnya biaya perkara harus disebut secara jelas dalam putusan hakim
sesuai dengan ketentuan pasal 183 HIR, 193 RBg.
b. Tuntutan agar putusan dinyatakan dapat dilaksanakan lebih dahulu
(uitvoorbaar bij vorrad), meskipun putusan tersebut dilawan atau
dimintakan banding oleh pihak lawan. Bila suatu putusan hakim
diajukan perlawanan, banding dan kasasi oleh pihak lawan, maka
putusan tersebut belum dapat dilaksanakan.

Meskipun demikian, hakim atas permintaan penggugat, hakim


dalam memutuskan dalam amar putusannya untuk melaksanakan suatu
putusan terlebih dahulu, meskipun putusan tersebut diajukan perlawanan,
banding atau kasasi.

36
BAB VI

JAWABAN TERGUGAT

A. Tata Cara Jawaban Tergugat


Jawaban yang dilakukan oleh pihak tergugat biasanya bersamaan
dengan rekonvensi dan eksepsi, dan hal ini dilakukan karena tidak
berhasilnya upaya perdamaian yang dilakukan oleh Majelis hakim.
Dalam HIR tidak ada ketentuan yang mewajibkan pihak tergugat
untuk melakukan jawaban terhadap gugatan penggugat, hanya saja dalam
pasal 121 ayat (2) dinyatakan bahwa pihak tergugat dapat melakukan
jawaban terhadap gugatan penggugat baik secara lisan maupun tulisan.
Namun demikian dijaman sekarang ini, seiring dengan penggunaan
jasa advokat maka jawaban biasanya dilakukan secara tertulis. Bila
dikehendaki jawaban secara tertulis oleh pihak tergugat maka akan
dijawab juga secara tertulis oleh pihak penggugat dalam bentuk replik dan
tentu saja akan dijawab juga secara tertulis oleh pihak tergugat dalam
bentuk duplik.
Ada dua macam jawaban pihak tergugat dalam persidangan
terhadap gugatan penggugat yaitu;
1. Jawaban yang secara tidak langsung menyentuh pokok perkara yang
dikenal dengan istilah tangkisan atau eksepsi.

Exceptie (Belanda). Exception (Inggris) secara umum berarti


pengecualian, akan tetapi dalam konteks hukum acara, bermakna
tangkisan atau bantahan (objection). Bisa juga berarti pembelaan
(plea)5 yang diajukan tergugat terhadap materi pokok gugatan
penggugat. Namun tangkisan yang dilakukan oleh tergugat yang
diajukan dalam bentuk eksepsi adalah;

Dilihat dari segi ilmu hukum maka dikenal dua macam eksepsi
yaitu 1). Eksepsi prosesuil dan 2). eksepsi materiil.

5
M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan, Pembuktian,
dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2006), h. 418

37
1) Eksepsi prosesuil yaitu eksepsi yang menyangkut hukum acara yang
bertujuan untuk agar tidak diterimanya atau ditolaknya gugatan oleh
pengadilan di luar pokok perkara. Eksepsi ini meliputi;
a. Eksepsi declinatoir yaitu tangkisan yang bersifat mengelakan
meliputi
- Eksepsi yang menyangkut kompetensi absolute yaitu
eksepsi yang menyatakan bahwa pengadilan negeri yang
sedang melakukan pemeriksaan kasus tersebut dinilai tidak
berwenang untuk mengadili perkara tersebut, karena
persoalan yang menjadi dasar gugatan tidak termasuk
wewenang pengadilan negeri tersebut, melainkan
wewenang badan peradilan lain, seperti PTUN atau
Pengadilan Agama.
- Eksepsi yang menyangkut kompetensi relatif hakim yang
memeriksa suatu perkara yaitu eksepsi yang menyatakan
bahwa suatu pengadilan negeri tertentu tidak berwenang
untuk mengadili perkara tersebut, karena tempat kedudukan
tergugat atau obyek sengketa tidak berada dalam wilayah
hukum pengadilan negeri yang sedang memeriksa perkara,
melainkan wewenang wilayah pengadilan negeri lain.

Kedua eksepsi tersebut harus diajukan diawal pemeriksaan


persidangan sebelum tergugat memberikan jawaban mengenai pokok
perkara di pengadilan baik secara tertulis maupun lisan. Kedua eksepsi ini
diajukan disetiap waktu.

Bila eksepsi tersebut dikabulkan majelis hakim, maka putusan


harus memuat amar putusan dengan menyatakan bahwa pengadilan negeri
tidak berwenang untuk mengadili perkara tersebut. Dan dengan
dikabulkannya eksepsi tersebut, maka perkara tersebut dianggap telah
selesai pada pengadilan ditingkat pertama. Bila penggugat merasa tidak
puas dan keberatan atas putusan tersebut, maka penggugat dapat
menggunakan upaya hukum banding ke pengadilan tinggi yang
bersangkutan.

38
Sebaliknya apabila eksepsi tersebut ditolak, karena dinilai oleh
hakim pengadilan negeri kalau eksepsi tersebut tidak beralasan, maka
hakim segera melakukan putusan sela dan amar putusannya diperintahkan
supaya kedua belah pihak untuk segera melanjutkan kembali pemeriksaan
perkara tersebut. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan denga cara biasa dan
divonis dala putusan akhir.

- Eksepsi terhadap perkara yang sama yang telah pernah diputus dan
putusannya telah memiliki kekuatan hukum yang tetap (nebis in
idem)
- Eksepsi terhadap perkara yang sama dan masih diperiksa oleh
pengadilan lain
- Eksepsi terhadap perkara yang masih dalam proses upaya hukum
banding atau kasasi.
b. Eksepsi disqualificatoir yaitu eksepsi yang menyangkut
ketidakbenaran kedudukan atau status penggugat. Eksepsi terhadap
para pihak tidak mempunyai kualifikasi untuk bertindak.
2) Eksepsi materiil yaitu bantahan yan g didasarkan atas ketentuan
hukum matreiil. Dikenal ada dua macam eksepsi materiil yaitu;
a. Eksepsi dilatoir, yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan
penggugat belum dapat dikabulkan karena adanya peristiwa hukum
baru yang bersifat menunda, misalnya karena penggugat telah
memberikan penundaan pembayaran hutang, atau penggugat telah
bersedia menempuh jalur damai.
b. Eksepsi peremptoir, yaitu eksepsi yang bersifat menghalangi
dikabulkannya gugatan, karena adanya perubahan hubungan
hukum antar para pihak, misalnya gugatan yang diajukan telah
lampau waktu (kadaluarsa) atau utang yang menjadi dasar gugatan
telah dihapuskan atau dinyatakan selesai.
2. Jawaban tergugat mengenai pokok perkara (verweer ten principal)
Terhadap jawaban tergugat mengenai pokok perkara ini dapat dibagi
atas dua kategori yaitu;

39
a. Jawaban tergugat yang berupa pengakuan, dan
Pengakuan berarti membenarkan isi gugatan penggugat
baik untuk sebagian maupun untuk seluruhnya. Bila tergugat
membantah, maka pihak penggugat harus membuktikannya.
Pengakuan yang diberikan, meskipun oleh salah satu pihak, namun
tetap dapat dijadikan sebagai salah satu alat bukti.
Pengakuan oleh tergugat harus dibedakan dengan referte
meskipun kedua-duanya sama-sama pengakuan, hanya saja
pengakuan merupakan jawaban yang bersifat menyerahkan secara
total menurut kebijaksanaan hakim, dengan tidak membantah atau
membenarkan gugatan. Dalam referte tergugat hanya bersikap
menunggu putusan hakim, dengan tidak membantah atau
membenarkan gugatan.
Dalam referte tergugat hanya bersikap menunggu putusan
hakim. Pada umumnya hal ini terjadi bila pemeriksaan perkara
tidak secara langsung menyangkut kepentingannya, melainkan
kepentingan orang lain. Bila tergugat memilih sikap referte ini,
makapada tingkat banding masih memiliki hak untuk mengajukan
eksepsi.
b. Jawaban tergugat yang berupa bantahan
Bantahan (verweer) pada dasarnya bertujuan agar gugatan
penggugat di tolak. Bantahan tergugat ini dapat berupa tangkisan
(eksepsi) dan sangkalan (verweer te principle). Namun demikian,
undang-undang tidak memberikan penjelasan rinci mengenai
perbedaan tangkisan (exceptie verweer) dan sangkalan (verweer
ten principle).

B. Cara Mengajukan Jawaban


Jawaban tergugat harus memuat alasan-alasan yang relevan dengan
permasalah, sehingga memperjelas duduk perkaranya. Seorang tergugat
tidak sepatutnya hanya memberikan jawaban dalam bentuk sangkalan atau
bantahan semata, akan tetapi harus juga memuat alasan-alasan kenapa ia
menyangkal atau menolak dalil-dalil gugatan.

40
Pasal 113 Rv memuat ketentuan bahwa hakim dapat
mengesampingkan bantahan pihak tergugat karena tidak disertai dengan
alasan-alasan dalam pertimbangan hukumnya.
Ada tiga macam pendapat para ahli tentang jawaban tergugat
apakah disatukan atau dipisah-pisahkan satu samalain;
1. Jawaban tergugat harus diberikan sekaligus dengan akibat akan
gugurnya jawaban atau bantahan bila tidak diajukan sekaligus
(eventual maxime). Pendapat ini menghendaki adanya konsentrasi
bantahan yang diajukan, sebagaimana yang dikehendaki oleh pasal
114 ayat 1 Rv.
2. Jawaban tergugat diberikan dalam bentuk kelompok-kelompok.
Pendapat ini sering kali menghambat jalannya pemeriksaan, sehingga
terdesak oleh pendapat eventual maxime.
3. Jawaban tergugat dapat diajukan sepanjang proses pemeriksaan
berlangsung, demi kepentingan kedua belah pihak hakim dapat
mengesampingkan kelancaran pemeriksaan.
Biasanya dalam praktek apabila pihak tergugat diberikan
kebebasan untuk memberikan jawaban sesukanya, maka hal ini seringkali
akan banyak merugikan pihak lain, atau proses pemeriksaanbisa berlarut-
larut.
Oleh karena itu, untuk maksud agar proses pemeriksaan berlanjut
lancar tidak berlarut-larut maka tangkisan atau bantahan terhadap pokok-
pokok perkara, tidak dipisahkan melainkan disatukan dalam satu
jawabannya sehingga tidak merugikan pihak lain, misalnya penggugat.
Jawaban yang menyangkut pokok perkara hendaknya dibuat secara
jelas, singkat, padat berisi serta langsung menjawab pokok persoalan
dengan mengemukakan alasan-alasan yang logis. Jawaban yang panjang
dan lebar dan tidak kritis akan banyak membuang energi, waktu dan biaya.

C. Gugatan Rekonvensi (Gugat Balik)


Seorang yang telah digugat oleh penggugat ada kemungkinan ia
mengajukan gugatan balik, karena adanya hubungan hukum lain dengan

41
penggugat, dimana penggugat berhutang kepada tergugat dan belum
dilunasi.
Dalam hal ini apabila tergugat hendak menggugat penggugat,
sesuai ketentuan dalam pasal 132 a ayat (2) HIR, rekonvensi adalah
gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan
yang diajuka penggugat kepadanya yang ditujukan kepada pengadilan
negeri, pada saat berlangsungnya proses pemeriksaan gugatan yang
diajukan penggugat.
Contoh kasus Pak Andi menggugat Robi untuk menyerahkan tanah
yang telah dibelinya dari Robi sesuai dengan transaksi jual beli yang
dibuat di PPAT, karena itu sesuai dengan ketentuan pasal 132 a ayat (1)
HIR, maka pak Robi berhak mengajukan gugatan rekonvensi berupa
gugatan agar pak Andi melunasi pembayaran yang masih tersisa ditambah
ganti rugi bunga atas perbuatan wanprestasi yang dilakukan pak Andi
tersebut.

42
BAB VII
KUMULASI GUGATAN

A. PENGERTIAN KUMULASI GUGATAN


Perkara perdata secara sederhana memang hanya melibatkan dua
pihak yaitu penggugat dan tergugat dalam satu sengketa yang diajukan
kemuka sidang pengadilan. Namun demikian, dalam kenyataan sering
terjadi dalam satu perkara terdiri lebih dari satu orang penggugat melawan
satu orang tergugat saja, atau satu orang penggugat melawan beberapa
orang tergugat. Dan dapat juga penggugat mengajukan lebih dari satu
tuntutan dalam satu perkara sekaligus.
Gabungan dari beberapa tuntutan dalam satu gugatan itulah yang
sering dikatakan dengan kumulasi gugatan. Karena itu, secara teknis
pengertian kumulasi gugatan mengandung arti penggabungan beberapa
gugatan dalam satu gugatan. Kumulasi gugatan dikenal juga dengan istilah
samenvoeging van vordering yaitu penggabungan dari lebih satu tuntutan
hukum ke dalam satu gugatan.
Hal ini diperbolehkan untuk mempermudah proses beracara dan
menghindari kemungkinan dibuat putusan-putusan yang kontradiktif satu
sama lain, dan bermanfaat dari segi prosesuil serta tidak bertentangan
dengan prinsip cepat dan murah.
Secara teoritis dikenal dua macam kumulasi gugatan yaitu:
1. Kumulasi obyektif, yaitu penggabungan beberapa objek tuntutan
kedalam satu surat gugatan perkara sekaligus. Dengan kata lain,
tuntutan beraneka macam, tetapi perkaranya tunggal. Untuk
mengajukan kumulasi obyektif pada umumnya tidak disyaratkan
bahwa tuntutan-tuntutan itu harus ada hubungan yang erat satu sama
lain.
2. Kumulasi subyektif, yaitu penggabungan dua atau lebih subyek hukum
dalam satu surat gugatan. Seperti bila seorang kreditur menggugat
pembayaran tagihannya pada beberapa orang dibitur.

43
Undang-undang membolehkan penggugat mengajukan gugatan
terhadap dua orang atau lebih tergugat sesuai dengan ketentuan pasal 4,
81, 107 Rv, 127 HIR, 151 RBg, 1283, 1284 KUHPerdata dan 18 KUHD.
Dalam hal ini tergugat diberikan hak untuk mengajukan keberatan kepada
hakim terhadap kumulasi subyektif. Demikian pula sebaliknya, tergugat
diberikan hak untuk meminta dilakukan kumulasi subyektif yaitu
mengikutsertakan tergugat-tergugat lain dalam satu gugatan yang sama.

Tangkisan tergugat ini yang menyatakan bahwa masih ada orang


lain yang diikutsertakan dalam sengketa sebagai pihak yang
berkepentingan disebut dengan exceptio plurium litis consortium.
Seyogyanya tuntutan-tuntutan yang diajukan terhadap banyak tergugat
harus ada hubungan atau koneksitas satu sama lain.

Namun demikian, dalam tiga hal kumulasi tidak diperbolehkan


yaitu:

a) Bila dua atau lebih gugatan/tuntutan yang digabungkan tersebut tidak


tunduk pada hukum acara yang sama. Atau dengan istilah lain pemilik
objek gugatan berbeda. Penggugat mengajukan gugatan kumulasi terhadap
beberapa objek, dan masing-masing objek gugatan, dimiliki oleh pemilik
yang berbeda atau berlainan. Penggabungan yang demikian baik secara
subjektif atau objektif, tidak dapat dibenarkan.
Bila untuk suatu gugatan tertentu diperlukan acara khusus (misalnya gugat
cerai), sedangkan gugatan yang lain harus memenuhi perjanjian, maka
kedua tuntutan tersebut tidak boleh digabungkan menjadi satu gugatan.
b) Adanya perbedaan kewenangan relatif terhadap satu atau lebih gugatan
yang digabungkan. Bila hakim tidak berwenang secara relatif untuk
memeriksa salah satu tuntutan/gugatan yang digabungkan dengan gugatan
lain maka kedua gugatan tersebut tidak boleh diajukan bersama-sama
dalam satu gugatan.
c) Adanya perbedaan gugatan dalam hal penguasaan (bezit) dengan
pemilikan (eigendom) dalam satu gugatan. Tuntutan tentang bezit tidak

44
boleh diajukan bersama-sama dalam satu gugatan dengan tuntutan tentang
eigendom sesuai dengan pasal 103 Rv.
d) Gugatan yang digabungkan tunduk pada hukum acara yang berbeda.
Penggabungan gugatan bertitik tolak pada prinsip, perkara yang
digabungkan tunduk pada hukum acara yang sama. Tidak dibenarkan
menggabungkan beberapa gugatan yang tunduk kepada hukum acara yang
berbeda. Meskipun antara gugatan terdapat hubungan yang erat, faktor ini
harus disingkirkan apabila masing-masing gugatan tunduk kepada
ketentuan hukum acara yang berbeda.
Penerapan yang demikian ditegaskan dalam putusan MA No. 677
K/Sip 1972. Dalam kasus ini gugatan pertama terdiri dari permohonan
pembatalan merek yang tunduk kepada prosedur (hukum acara) yang
diatur dalam Undang-undang merek. Salah satu hal yang menyimpang dari
hukum acara biasa adalah upaya hukum. Terhadap putusan tidak dapat
diajukan banding kepada Pengadilan Tinggi, tetapi langsung kasasi kepada
MA. Sedangkan gugatan yang kedua adalah perbuatan melawan hukum
(PMH) berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata, putusan terhadapnya dapat
diajukan banding kepada pengadilan tinggi.
Selain itu, gugatan perbuatan melawan hukum atas pembatalan
merek baru dapat diajukan setelah putusan pembatalan memperoleh
kekuatan hukum yang tetap. Apalagi pada saat sekarang, penggabungan
antara pembatalan merek dengan gugatan perbuatan melawan hukum,
semakin tidak dapat dibenarkan, berdasarkan perbedaan yurisdiksi
absolute. Berdasarkan pasal 57 ayat (2) undang No. 15 tahun 2001,
gugatan pembatalan merek menjadi yurisdiksi absolut Pengadilan Niaga,
sedangkan sengketa perbuatan melawan hukum menjadi kewenangan
Pengadilan Negeri.
e) Gugatan rekonvensi tidak ada hubungan dengan gugatan konvensi.
Sesuai dengan ketentuan pasal 132 a ayat (1) HIR, tergugat berhak
mengajukan gugatan rekonvensi sehingga terjadi penggabungan antara
konvensi dan rekonvensi. Akan tetapi kebolehan yang seperti itu, tetap
berpatokan pada syarat, terdapat hubungan erat antara keduanya. Apabila
tidak terdapat hubungan erat antara konvensi dengan rekonvensi,

45
penggabungan yang dilakukan tergugat melalui gugatan rekonvensi, tidak
dibenarkan. Jika secara nyata gugatan rekonvensi berdiri sendiri, harus
diajukan sebagai gugatan yang berdiri sendiri.
Hal ini diperingatkan dalam putusan MA No 677 K/Sip/ 1972
(13-12-1972). Ditegaskan, tidak layak menggabungkan perkara (gugatan)
dengan cara perkara yang diajukan, gugatan rekonvensi kepada gugatan
gugatan konvensi, jika antara keduanya tidak terdapat hubungan sama
sekali.
f) Penggabungan gugatan cerai dengan pembagian harta bersama.
Jika bertitik tolak dari putusan MA No. 2205 K/Pdt/1981, tidak
dibenarkan menggabungkan gugatan perceraian dengan pembagian harta
bersama. Menurut putusan itu, hukum tidak membolehkan penggabungan
antara gugatan cerai dengan gugatan harta bersama. Alasan yang sering
diajukan, antara kedua gugatan masing-masing berdiri sendiri. Gugatan
perceraian berada didepan, dan pembagian harta bersama berada
dibelakang. Gugatan harta bersama berdasarkan hukum acara baru dapat
muncul setelah gugatan perceraian memperoleh putusan yang berkekuatan
tetap. Dengan demikian gugatan cerai adalah “ibu” yang melahirkan
gugatan pembagian harta, oleh karena itu tidak boleh digabung.
Pendapat ini sangat tidak realistis, karena penyelesaian perkara
perceraian dapat memakan waktu yang lama dan bisa bertahun-tahun.
Karena itu, pengajuan gugatan harta bersama baru bisa dilakukan setelah
putusan cerai mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Karena itu
bagaimana halnya apabila ketika akan diajukan gugatan pembagian harta
bersama harta telah habis dijual oleh pihak tergugat?. Untuk mencegah hal
yang demikian, maka akan lebih baik dilakukan penggabungan gugatan.
Karena antara perkara perceraian dengan kasus pembagian harta gono gini
terdapat hubungan yang sangat erat, yaitu masih dalam lingkup sengketa
rumah tangga.
Penegasan yang demikian sesuai dengan ketentuan pasal 86 ayat
(1) UU No. 7 tahun 1989 yaitu gugatan soal penguasaan anak, nafkah
anak, nafkah isteri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama

46
dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam penjelasan pasal ini, maksud kebolehan penggabungan itu,
demi tercapainya prinsip peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Berdasarkan ketentuan itu, bukan hanya harta bersama yang dapat
digabungkan dengan gugatan perceraian, tetapi meliputi penguasaan anak
serta nafkah alimentasi isteri dan anak. Apabila penggugat tidak
menggabungnya dalam gugatan, terguguat dapat menggabungkannya
melalui gugatan rekonvensi.
Meskipun ketentuan ini hanya diperuntukan bagi peradilan agama,
jangkauan penerapannya dapat diperluas menjadi pedoman bagi
pengadilan negeri berdasarkan asas process doelmatigheid. Menerapkan
ketentuan itu dilingkungan peradilan umum (PN), tidak hanya sekedar
kepentingan beracara, tetapi sekaligus untuk memenuhi ketertiban umum
(public power) dan keadilan berdasarkan moral (moral justiceI.

B. PRIHAL PIHAK DALAM GUGATAN


1. Gugatan eror in persona
Gugatan eror in persona dapat terjadi apabila yang menjadi perkara
adalah dalam bentuk gugatan bersifat contentiosa. Sehubungan dengan
itu, yang bertindak sebagai penggugat harus orang yang benar-benar
memiliki kedudukan dan kapasitas yang tepat menurut hukum. Begitu
juga pihak yang ditarik sebagai tergugat, harus orang yang tepat
memiliki kedudukan adan kapasiatas. Keliru dan salah bertindak
sebagai penggugat mengakibatkan gugatan mengandung cacat formil.
Demikian juga sebaliknya, apabila orang yang ditarik sebagai tergugat
keliru dan salah, mengakibatkan gugatan mengandung cacat formil.
Cacat formil yang timbul atas kekeliruan atau kesalahan yang
bertindak sebagai penggugat maupun ditarik sebagai tergugat,
dikualifikasi mengandung eror in persona. Error in persona yang
mungkin timbul atas kesalahan dan kekeliruan yang disebut di atas,
dapat diklasifikasikan sebagai berikut;

47
 Diskualifikasi in person. Ini dapat terjadi apabila yang bertindak sebagai
penggugat orang yang tidak memenuhi syarat (diskualifikasi), disebabkan
penggugat dalam kondisi berikut;
1) Tidak mempunyai hak untuk menggugat perkara yang di persengketakan.
Seperti orang yang tidak ikut dalam perjanjian mengajukan pembatalan
perjanjian. Atau seorang ayah yang menuntut cerai atas perkawinan
anaknya.
Gugatan yang diajukan oleh pihak yang tidak berhak atau tidak memiliki
hak untuk itu, merupakan gugatan yang mengandung cacat formil error in
persona dalam bentuk diskualifikasi in persona yaitu pihak yang
bertindak sebagai penggugat adalah orang yang tidak punya syarat untuk
itu.
2) Tidak cakap meakukan tindakan hukum.
Orang yang dibawah perwalian, tidak cakap hukum melakukan tindakan
hukum. Oleh karena itu, mereka tidak dapat bertindak sebagai penggugat
tanpa bantuan orang tua atau wali. Gugatan yang mereka ajukan tanpa
bantua orang tua atau wali, mengandung cacat formil error in persona
dalam bentuk diskualifikasi karena yang bertindak sebagai penggugat
orang yang tidak memenuhi syarat.
a) Salah sasaran pihak yang digugat
Bentuk lain error in persona adalah orang yang ditarik sebagai
tergugat keliru (gemis aanhoeda nigheid). Yang meminjam uang
adalah Ali tetapi yang ditarik untuk melunasi hutang tersebut adalah
Dudu. Dapat juga terjadi kesalahan apabila yang digugat adalah anak
yang dibawah perwalian atau di bawah umur tanpa mengikutsertakan
orang tua atau walinya.
b) Gugatan kurang pihak (plurium litis Consortium)
Bentuk error in persona yang lain adalah plurium litis consortium.
Pihak yang bertindak sebagai penggugat atau yang ditarik sebagai
tergugat tidak lengkap, masih ada yang mesti ikut bertindak sebagai
penggugat atau ditarik tergugat, oleh karena itu gugatan mengandung
error in persona dalam bentuk plurium litis consortium dalam arti
gugatan yang diajukan kurang pihaknya.

48
C. AKIBAT HUKUM KESALAHAN PIHAK
Akibat hukum dari pada kesalahan pihak adalah gugatan tidak
memenuhi syarat formil, oleh karena itu gugatan diskualifikasi
mengandung cacat formil.
Akibat lebih lanjut, gugatan harus dinyataka tidak dapat diterima
(niet on vankelijke verklaad).
Tindakan yang dianggap tepat dilakukan penggugat menghadapi
putusan yang menyatakan gugatan mengandung cacat error in persona
adalah memperbaiki atau menyempurnakan pihak yang dinyatakan cacat
oleh pengadilan.
Jika cacat yang terkandung dalam gugatan itu diskualifikasi
dilakukan dengan menempatkan orang yang tepat. Begitu juga apabila
pihak yang ditarik sebagai tergugat keliru orangnya harus dperbaiki
dengan menarik orang yang tepat sebagai tergugat. Jika putusan
menyatakan gugatan kurang pihak, gugatan harus diperbaiki dan
disempurnakan denga memasukan orang-orang yang bersangkutan sebagai
pihak penggugat atau tergugat.

49
BAB VIII
UPAYA MENJAMIN HAK

Pendahuluan
Setiap orang yang berperkara di Pengadilan menginginkan apabila kelak
perkaranya dimenangkan dapat menikmati hasil dari kemenangannya. Perjuangan
yang begitu panjang, memakan waktu dan biaya, jangan sampai hanya menang di
atas kertas, artinya menang perkara namun kemenangan tersebut hanya sebatas
ketukan palu hakim di ruang sidang, tidak bisa diwujudkan dalam kenyataan yang
sesungguhnya.
Penggugat sangat berkepentingan bahwa bila nanti menang terjamin
haknya atau dapat dijamin bahwa putusannya dapat dilaksanakan. Sebab ada
kemungkinan pihak lawan atau tergugat sekama dalam proses pemeriksaan sidang
mengalihkan harta kekayaannya kepada orang lain, sehingga sering terjadi jika
kemudian gugatan penggugat dikabulkan pengadilan dan putusan pengadilan
tersebut tidak bisa dijalankan. Untuk kepentingan pihak yang berperkara agar
haknya, sekiranya gugatannya dikabulkan nanti undang-undang menyediakan
upaya untuk penegakan hak tersebut. Hal ini dikenal dengan istilah penyitaan
(beslag)6.
Permohonan sita sendiri adalah upaya menjamin hak penggugat/pemohon
seandainya ia menang dalam perkara, sehingga putusan pengadilan yang
mengakui segala haknya itu, dapat dilaksanakan.
Penyitaan ini dilakukan terhadap barang milik kreditur (penggugat) yang
dikuasi oleh orang lain. Sita jaminan ini bukanlah untuk menjamin suatu tagihan
berupa uang, melainkan untuk menjamin suatu hak kebendaan dari pemohon atau
kreditur dan berakhir dengan penyerahan barang yang disita.7

A. Sita Jaminan
Dalam hukum acara perdata sita jaminan terjemahan dari conservatoir
beslag (bahasa Belanda), ada yang menterjemahkan sita penjagaan, ialah suatu
penyitaan yang bertujuan untuk menjaga hak-hak dari penggugat, dalam hal ada
6
M. Rum Nessa, Teori dan Praktek Peradilan, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Calon
Pengacara Pada Peradilan Agama. Pusdiklat Departemen Kehakim, 4-10 Oktober 1999, h. 4
7
Sudikno Mertokusumo, op.cit, h. 84

50
dugaan yang beralasan bahwa debitur akan menyembunyikan barang-barangnya
yang bergerak atau yang tidak bergerak atau memindahkan ke tempat yang lain
dengan maksud penggugat tidak makan mendapatkannya suatu saat nantinya
apabila perkara dimenangkan.
Untuk lebih jelasnya yang dimaksud pengertian sita jaminan (conservatoir
beslag) adalah tindakan hukum atau tata cara tindakan paksaan perampasan
harta/barang baik yang bergerak maupun tak bergerak yang dilakukan
petugas/juru sita pada waktu proses pemeriksaan perkara sebagai jaminan dan
bertujuan untuk pemenuhan kepentingan-kepentingan penggugat jangan sampai
gugatannya kosong (khayalan) atau illusoir dan begitu pula harta benda itu tidak
dialihtangankan, tidak dijual belikan atau dengan kata lain tidak dipindah
tangankan kepada orang lain atau pihak lain didalam mengajukan gugatan
penggugat, bila dikabulkan atau dimenangkan. Jadi sita jaminan (CB) merupakan
tindakan persiapan untuk jaminan bahwa putusannya dapat dilaksanakan.
Barang-barang yang disita untuk kepentingan penggugat (kreditur)
dibekukan artinya barang-barang itu disimpan (disconserver untuk jaminan dan
tidak boleh dialihkan atau di jual (pasal 197 ayat 9, 199 HIR, 212 RBg). Maka
dengan adanya penyitaan itu debitur atau tergugat kehilangan wewenangnya,
sehingga dengan demikian tindakan tergugat untuk mengasingkan atau
mengalihkan atau mengoper barang-barang yang disita adalah tidak sah, dan
merupakan perbuatan pidana (pasal 231, 232 KUHP).
Jika permohonan sita jaminan itu dikabulkan, lalu dinyatakan sah dan
berharga (van waarde verklaard) dalam putusan sesudah penyitaan itu mempunyai
kekuatan hukum executorial, sehingga berubah menjadi sita executorial, artinya
gugatan penggugat dapat dilaksanakan, oleh karena itu jaminan hendaknya selalu
dimaksudkan agar diletakan terutama dalam perkara yang besar, sebab hakim itu
tidak memutus apa yang diminta, sebagaimana termuat dalam pasal 178 (3) HIR,
yaitu hakim dilarang akan menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut,
hal ini berarti jika sita jaminan tidak dimohonkan, hakim tidak akan
memerintahkan untuk meletakan sita jaminan, dan mohon agar penyitaan tersebut
harus diinginkan sah dan berharga.8

8
Umar Mansur, Penyitaan menurut Teori dan Praktek pada Peradilan Agama, (Bandung: Sumber
Bahagia, 1992), h. 8

51
Penyitaan merupakan tindakan persiapan untuk menjamin dapat
dilaksanakannya putusan perdata. Barang-barang, baik yang bergerak maupun
yang tidak bergerak, yang disita demi kepentingan penggugat dibekukan. Ini
artinya bahwa barang-barang tersebut disimpan untuk jaminan dan tidak boleh
dialihkan kepada orang lain atau dijual. Karena itu penyitaan yang demikian
disebut sita jaminan, conservation beslag (CB). Penyitaan yang memberikan
jaminan rasa aman bagi penggugat yang ada pada saatnya jika memang benar-
benar dapat menikmati barang hasil kemenangannya.
Sita eksekusi (executorial beslag) adalah penyitaan yang bertujuan untuk
melaksanakan suatu keputusan hakim dalam suatu perkara perdata. Sita eksekusi
dilaksanakan sebagai wujud dari pelaksanaan isi putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, dan putusan tersebut sifatnya adalah
kondemnatoir. Putusan yang sifatnya kondemnatoir adalah suatu amar yang
menyebutkan dengan kata-kata menghukum atau memerintahkan pada pihak yang
dikalahkan.
Kalau sita jaminan (CB) dilaksanakan selama proses berlangsungnya
pemeriksaan perkara, maka sita eksekusi dilakukan setelah persidangan selesai
dimana perkara telah diperiksa dan diputus, dan telah pula mempunyai kekuatan
hukum yang pasti.9

B. Macam-macam Sita Jaminan


Sita jaminan (CB) dibagi dua; yaitu sita jaminan terhadap barang milik
sendiri (penggugat) dan sita jaminan terhadap barang milik tergugat.
1. Sita Jaminan Barang Milik Penggugat
Sita Jaminan terhadap barang milik penggugat ini dibagi dua macam,
yaitu:

a. Sita revindikatoir
Sita Revindikatoir adalah sita jaminan yang dimohonkan oelh
penggugat terhadap barang penggugat sendiri yang berada ditangan

9
Zairin Noor, Sita Jaminan dan Sita Eksekusi serta Perlawanan; Makalah disampaikan pada
pelatihan Praktek Kepengacaraan, PKBH IAIN Syarif Hidayatullah, 26 Juli-11 Agustus 1999, h.2

52
tergugat. Barang yang dimaksudkan adalah barang yang bergerak atau
benda tidak tetap. Benda bergerak mudah sekali berpindah tangan,
karena proses peralihan haknya adalah sangat sederhana sekali.
Contoh peralihan hak dengan jual beli terhadap barang berupa emas.
Tidak ada disyaratkan harus dengan akta autentik, cukup dengan akta
bawah tangan, malah tanpa akta sekalipun adalah sudah hak.
Sita revindikatoir dapat kita lihat dalam pasal 226 HIR, yang isinya
sebagai berikut :
1. Mengadakan permintaan kepada Ketua Pengadilan
Negeri/Pengadilan Agama baik secara lisan maupun tulisan
agar supaya barang itu disita
2. Barang yang tidak tetap/bergerak
3. Barang bergerak tersebut milik penggugat yang berada
ditangan tergugat
4. Barang yang hendak disita itu harus diterangkan dengan
seksama dalam permintaan itu
5. Jika permintaan itu diluluskan maka menyita itu dilakukan
menurut surat perintah Ketua
6. Panitera Pengadilan dengan segera memberitahukan penyitaan
itu kepada orang yang memasukan permintaan, sambil
menerangkan kepadanya bahwa, ia harus menghadap
persidangan Pengadilan Negeri/ Pengadilan Agama, yang
pertama sesudah itu untuk menuangkan dan meneguhkan
gugatannya
7. Jika orang yang memegang barang yang disita itu harus
dipanggil untuk menghadap persidangan atas perintah Ketua
8. Pada hari yang ditentukan untuk perkara itu, maka perkara
dijalankan seperti biasa diputuskan
9. Jika gugatan itu diterima maka penyitaan itu disahkan dan
diperintahkan, supaya barang yang disita itu diserahkan kepada
penggugat, sedangkan kalau gugatan itu ditolak, harus
diperintahkan supaya dicabut atau diangkat penyitaannya.

53
Menurut pasal 227 ayat (1), jika ada sangka yang beralasan bahwa
seorang yang berhutang selagi belum dijatuhkan putusan Hakim yang
menyatakan belum boleh dijalankan, mencari akal akan menggelapkan
atau melarikan barangnya baik yang tetap maupun yang tidak tetap.
Dengan maksud akan menjauhkan barang itu dari penagih, maka atas
permintaan orang yang berkepentingan, boleh ketua Pengadilan
Negeri/Pengadilan Agama memerintahkan untuk supaya barang itu disita
akan menjaga hak orang yang memasukan permintaan itu, si peminta akan
menghadap persidangan Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama yang akan
datang, untuk menerangkan dan menyatakan gugatannya.

Menurut pasal 227 HIR ayat 1, bahwa conservatoir (sita jaminan)


itu dapat dimohonkan sebelum dijatuhkan putusan atau sudah ada putusan,
akan tetapi putusan tersebut belum dapat dijalankan, misalnya sita jaminan
dapat dimohonkan sesudah ada putusan, tapi belum dapat dijalankan
seperti putusan verstek, bila pihak lawan mengajukan perlawanan/verzet
atau dalam hal putusan contradiktoir, sedangkan yang bersangkutan itu
mengajukan banding, maka barang bergerak yang disita itu harus dibiarkan
ada pada pihak tersita untuk disimpan, atau dapat juga barang tersebut
disimpan ditempat lain yang patut, akibat hukum yang sita revindiktaoir
ini, bahwa pemohon atau penyita barang tidak dapat menguasai barang
yang telah disita, sebaliknya dengan terkena sita, dilarang untuk
mengasingkan.10

Untuk memperjelas prihal tata cara sita revindikatoir dapat kita


lihat seperti dibawah ini ;

1. Penggugat dapat mengajukan permohonan sita bersama-sama


(menjadi satu) dengan surat gugatan, mengenai pokok-pokok
perkara.
2. Permohonan sita dapat juga diajukan tersendiri, selama proses
perkara berlangsung atau sebelum ada eksekusi.

10
Umar Mansur Syah, op.cit, h. 10

54
3. Permohonan diajukan kepada pengadilan yang memeriksa perkara
pada tingkat pertama.
4. Dalam permohonan sita conservatoir harus ada alasan permohonan
sita, yaitu adanya kekhawatiran bahwa tergugat (pihak lawan) akan
memindahtangankan atau mengasingkan barang-barang sengketa
sehingga akan merugikan penggugat.
5. Alasan tersebut disertai data-data atau fakta-fakta yang menjadi
dasar kekhawatiran.
6. Hakim/Majelis akan mempertimbangkan permohonan sita tersebut
dengan mengadakan pemeriksaan secara insidentil mengenai
kebenaran fakta-fakta yang menimbulkan kekhawatiran itu
sehingga diajukannya permohonan sita.
7. Hakim/Ketua Majelis mengeluarkan “penetapan” yang isinya
menolak atau mengabulkan permohonan sita tersebut.
8. Apabila permohonan sita ditolak dan kemudian timbul hal-hal baru
yang mengkhawatirkan bagi penggugat sebagai alasan permohonan
sita, maka dapat diajukan lagi permohonan sita.
9. Dalam hal permohonan sita dikabulkan, maka Hakim/Ketua
Majelis memerintahkan kepada panitera untuk melaksanakan
penyitaan tersebut.
10. Penetapan pengabulan sita atau perintah penyitaan tersebut dapat
a. Bersama-sama (menjadi satu) dengan penetapan hari sidang
(PHS dan perintah panggilan para pihak, atau
b. Terpisah dari PHS, yaitu:
- Perintah penyitaan lebih dahulu dan PHS kemudian, atau
- PHS lebih dahulu dan perintah penyitaan kemudian
11. Cara yang terakhir, yaitu PHS lebih dahulu dan perintah penyitaan
kemudian, akan lebih menguntungkan semua pihak karena;
a. Bagi penggugat akan lebih dapat meyakinkan kepada Hakim
tentang alasan-alasan permohonan sita, dan
b. Bagi Hakim, akan dapat memeriksa lebih dahulu tentang
kebenaran alasan-alasan permohonan sita, sedang

55
c. Bagi tergugat, tidak menimbulkan rasa terkejut dan dapat
memahami makna sita yang sebenarnya.
12. Atas perintah Hakim/Ketua Majelis tersebut, panitera melalui
jurusita memberitahukan kepada para pihak dan kepala Desa
setempat akan dilangsungkan sita jaminan terhadap barang
sengketa/jaminan pada hari, tanggal dan jam serta tempat yang
telah ditetapkan, serta memerintahkan agar para pihak dan kepala
desa tersebut hadir dalam pelaksanaan sita jaminan yang telah
ditetapkan itu.
13. Penyitaan dilakukan oleh Panitera dan dibantu oleh 2 (dua) oang
saksi. Apabila panitera tersebut berhalangan maka dengan ditunjuk
pejabat atau pegawai lainnya oleh panitera.
Yang dapat menjadi saksi ialah orang yang memenuhi syarat yaitu:
- Berumur 21 tahun atau lebih,
- Warga negara Indonesia
- Jujur dan dapat dipercaya
Biasanya saksi pendamping juru sita, diambil dari pegawai
yang ada di lingkungan Pengadilan Agama yang
bersangkutan.
14. Pada hari, tanggal yang telah ditetapkan tersebut, panitera
melaksanakan penyitaan:
- Mengecek apakah penyitaan itu sudah diberitahukan secara
sah dan resmi.
- Mengecek hadir tidaknya pihak-pihak.
- Mengecek dan mencatat barang-barang yang disita.
- Membuat pengumuman sita terhadap barang-barang tetap
seperti sawah, pekarangan, bangunan dan sebagainya.
- Membuat catatan-catatan yang perlu yang terjadi selama
penyitaan.
- Membuat berita acara sita yang ditandatangani oleh
Panitera atau pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan
penyitaan, dan saksi-saksi.

56
- Jika pihak tersebut hadir, ia dapat disuruh untuk turut
menandatangani berita acara sita tersebut.11
b. Sita Marital
Sita marital adalah penyitaan terhadap barang bergerak maupun
tidak bergerak dalam perkara perkawinan (perceraian) yang diperiksa
dipengadilan. Sita marital pada mulanya hanya diperuntukan pada
seorang isteri yang menggugat suaminya, karena menurut hukum
perdata barat (BW), seorang isteri dianggap tidak cakap dalam berbuat
sesuatu yang ada akibat hukumnya. Belakangan sita marital tersedia
pula bagi suami atau isteri yang bersengketa terhadap harta benda
mereka yang ada dalam perkawinan.12
Sita marital diatur dalam pasal 823 Rv, dan dikenal dalam
hukum acara perdata barat. Sita marital dimohonkan oleh pihak isteri
terhadap sang suami, baik barang bergerak maupun tidak bergerak
sebagai jaminan, untuk memperoleh bagiannya, sehubungan dengan
gugatan perceraian, barang tersebut jangan sampai ada ditangan
ketiga.
Sita marital disebut juga sita matrimonial, lantaran di Negeri
Belanda sendiri kenyataannya bukan hanya isteri yang berhak
mengajukannya tetapi juga suami.
Sita matrimonial ini sangat diperlukan oleh Pengadilan Agama
sebab hampir sebagian besar perkara di lingkungan Peradilan Agama
menyangkut masalah sengketa suami isteri, dan hal ini dimungkinkan
sebagaimana diisyaratkan oleh pasal 24 ayat (2) PP Nomor 9 tahun
1975 juncto pasal 78 sub c. UU Nomor 7 tahun 1989.
Sebagaimana, harta bersama perkawinan, maka jika
dihubungkan dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 jo. Undang-
Undang No. 7 tahun 1989, bahwa dalam Undang-Undang No. 1 tahun
1974 pasal 35 ayat 1 menerangkan sebagai berikut “Harta bawaan dari
masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah

11
A. Mukti Artho, op.cit, h. 76
12
Ibid, h. 11

57
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan
lain.
Pasal 36 ayat 1 “mengenai harta bersama suami atau istri dapat
bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Kemudian menurut
pasal 37 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 menyatakan “bila
perkawinan putus karena perceraian, harta benda bersama diatur
menurut hukumnya masing-masing”.
Berdasarkan Undang-Undang No. 7 tahu 1989 pasal 49 ayat (2)
berbunyi ; Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam dibidang :
a. Perkawinan
b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum
Islam
c. Wakaf dan shodaqah

Begitu juga dalam pasal 66 ayat 5, ditegaskan bahwa


“Permohonan soal penguasan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta
bersama suami istri, dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan
cerai tolak atau sesudah ikrar tolaknya diucapkan.

Di dalam pasal 78 ayat c UU No. 7 tahun 1989 disebutkan


bahwa “selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan
penggugat, pengadilan dapat menentukan hal-hal perlu untuk
menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama
suami istri atas barang-barang hak suami atau barang-barang yang
menjadi hak istri”.

Kemudian menurut pasal 86 UU No. 7 tahun 1989 dijelaskan


“Gugatan soal penguasan anak, nafkah istri dan harta bersama suami
istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun
sesudah putusa perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap”.

58
Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka pengadilan menunda
terlebih dahulu perkara harta bersama tersebut sampai ada putusan
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap tentang hal itu.

Dalam praktek bahwa dalam cerai talak maupun cerai gugat,


suami itu digugat kembali oleh pihak istri dalam perkara harta
bersama maupun utang nafkah. Maka untuk jaminan agar harta
bersama jangan sampai dipindahtangankan, dan nafkah yang belum
ditunaikan, bisa ada jaminan untuk pembayarannya, maka istri itu
mengajukan permohonan sita jaminan kepada ketua Pengadilan
Agama .13

2. Sita Jaminan terhadap Barang Milik Debitur/Tergugat


Penyitaan inilah yang biasanya disebut sita conservatoir. Sita
conservatoir ini merupakan tindakan persiapan dari pihak penggugat
dalam bentuk permohonan kepada ketua Pengadilan Negeri untuk
menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata dengan menguangkan
atau menjual barang debitur yang disita guna memenuhi tuntutan
penggugat. Dengan diletakan penyitaan pada suatu barang berarti bahwa
barang itu dibekukan dan tidak dapat dialihkan atau dijual. Tidak jarang
terjadi bahwa sita conservatoir itu kemudian tidak sampai berakhir dengan
penjualan barang yang disita, karena debitur memenuhi prestasinya
sebelum putusan dilaksanakan, sehingga sifat sita jaminan itu lebih
merupakan tekanan.14
Penyitaan ini hanya dapat terjadi berdasarkan perintah ketua
Pengadilan Negeri atas permintaan kreditur atau penggugat, sesuai pasal
227 ayat 1 (261 ayat 1 RBg), biasanya penyitaan ini disebut conservatoir.
Dan sita conservatoir ini merupakan tindakan persiapan dari pihak
penggugat dalam bentuk permohonan kepada ketua Pengadilan Negeri
(ketua Pengadilan Agama) untuk menjamin dapat dilaksanakannya
putusan perdata, dengan menguangkan atau menjual barang-barang

13
Ibid, h. 13
14
Sudikno Mertokusumo, Op.cit, h. 71

59
debitur yang disita, guna memenuhi tuntutan penggugat. Jadi apabila telah
ditetapkan penyitaan pada suatu barang, berarti bahwa barang itu
dibekukan dan tidak dapat dialihkan atau dijual.
Untuk mengajukan sita jaminan ini haruslah ada dugaan yang
beralasan, bahwa seorang yang berhutang selama sebelum dijatuhkan
putusan oleh hakim atau selama putusan belum dijalankan mencari akal
untuk menggelapkan atau melarikan barangnya. Apabila penggugat tidak
mempunyai bukti yang kuat bahwa ada kekhawatiran bahwa tergugat
akan mengasingkan barang-barangnya, maka sita jaminan tidak
dilakukan. Syarat adanya dugaan ini tidak hanya sekedar dicantumkan
begitu saja, akan tetapi merupakan suatu usaha untuk mencegah
penyalahgunaan agar tidak diadakan penyitaan secara serampangan, yang
akhirnya hanya merupakan tindakan yang sia-sia saja yang tidak
mengenai sasaran (vektoir). Maka oleh karena itu debitur atau tersita
harus didengar untuk mengetahui kebenaran dugaan itu. Dalam hal ini
cukup dikemukakan adanya dugaan yang beralasan, sehingga tidak perlu
digunakan acara pembuktian menurut undang-undang. Di dalam praktek
peradilan wewenang hakim untuk memeriksa debitur atau tersita boleh
dikatakan tidak pernah digunakan. Wewenang hakim tersebut di atas di
Nederland pun jarang digunakan.15
Karena itu, pemohon/penggugat/kreditur dengan secara jelas
permohonan sita jaminan tersebut, harus memohon kepada ketua
Pengadilan dapat dilakukan sebelum sidangnya dimulai atau
setelah/sedang berjalan.
Sebelum sidang dimulai, harus sudah diletakan sita jaminan agar
supaya terhindar dari pada tergugat yang nakal, artinya dengan diadakan
sita jaminan itu harus ada dugaan yang beralasan, bahwa seseorang yang
berhutang selama belum dijatuhkan putusannnya oleh hakim atau selama
putusan belum dijatuhkan, mencari akal untuk
menggelapkan/menyembunyikan atau melarikan brangnya. Jika
penggugat tidak mempunyai buktii kuat belum ada kekhawatiran, bahwa

15
Ibid, h. 72

60
tergugat akan mengasingkan barang-barangnya, maka sita jaminan itu
tidak dilakukan.
Jadi sebelum sidang dimulai sudah diletakan sita jaminan,
pertimbangannya untuk kepentingan menghindari kelakuan tergugat yang
nakal, dengan maksud agar terhindar dari eksekusi, sebab tidak
mempunyai apa-apa lagi, seandainya gugatan penggugat tersebut
dikabulkan/dimenangkan. Sedangkan CB dilaksanakan pada sidang
berjalan, pertimbangannya untuk kepentingan penggugat, secara jelas
adanya sangkaan yang beralasan, bahwa tergugat akan menggelapkan
barang yang berperkara, hal ini sebagaimana yang terdapat dalam pasal
227 ayat (1) HIR.
Timbul sebuah pertanyaan, apakah sita jaminan tersebut harus
terpisah dengan pokok perkara?
Sita jaminan fungsinya untuk menjamin hak, maka permohonan
sita jaminan atau conservatoir selalu berkaitan dengan pokok perkara,
sehingga tidak mungkin suatu permohonan sita jaminan merupakan
tuntutan hak yang berdiri sendiri, disini ada beberapa kemungkinan.
1. Bersama-sama diajukan dengan pokok perkara;
2. Atau diajukan terpisah dari pokok perkara;
3. Biasanya permohonan sita jaminan itu diajukan sebelum dijatuhkan
putusan, dan kebanyakan disatukan dalam gugatan dalam prakteknya;
4. Jika seandainya perkara diperiksa ditingkat banding, diajukan
permohonan sita jaminan, karena setelah diputus oleh pengadilan,
ternyata ada usaha dari tergugat untuk menjual barangnya, maka oleh
karena itu fungsi jaminan bukan semata-mata untuk menyimpan
barang disita, melainkan untuk kemudian dijual, jika seandainya sita
jaminan dikabulkan, perlu memperoleh title executorial, sehingga
perlu dinyataka sah dan berharga di dalam putusan, sedangkan jika
ditolak, maka sita jaminan dicabut atau diangkat di dalam putusan, hal
ini dapat dilihat pada pasal 227 ayat (4) HIR.

61
Sekarang timbul pertanyaan, bagaimanakah jika permohonan sita
jaminan diajukan setelah putusan pengadilan dijatuhkan dan perkara
banding?
Permohonan penyitaan itu diajukan kepada ketua pengadilan
negeri/agama dan ketua pengadilan agama memerintahkan penyitaan
tersebut, sebab penyitaan jaminan ini, dan bukan merupakan suatu
tindakan pemeriksaan pokok perkara dan tidak akan mempengaruhi
pemeriksaan yang bersangkutan di tingkat banding.
Kemudian surat penetapan tersebut dikirim ke pengadilan tinggi
untuk diperiksa bersama-sama dengan pokok perkara yang bersangkutan.
Jika sekiranya pengadilan tinggi menguatkan putusan pengadilan pertama,
yang isinya mengabulkan gugatan, maka didalam amar putusan
pengadilan tinggi ditambah permohonan sita jaminan yang telah
dikabulkan oleh pengadilan negeri/pengadilan agama dinyatakan sah dan
berharga, sedangkan pengadilan tinggi membatalkan putusan pengadilan
negeri/agama, didalam putusannya ditambah bahwa sita jaminan itu
diangkat.16

a. Sita Eksekutorial
Pada azaznya conservatoir beslag otomatis berkekuatan
executorial, pada saat perkara yang bersangkutan telah mempunyai
putusan yang pasti, atau mempunyai putusan berkekuatan hukum tetap.
Sita eksekusi ini merupakan tahap lanjut penyelesaian suatu
perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka dari itu
harus ada permohonan dari pihak penggugat yang menang perkaranya,
menurut pasal 196 HIR, bunyinya “Jika pihak yang dikalahkan tidak
mau atau lalai mencukupi isi keputusan itu dengan baik, maka pihak
yang dimenangkan memasukan permintaan baik dengan lisan atau
dengan surat supaya surat keputusan itu dijalankan, yaitu kepada ketua
pengadilan yang tersebut pada ayat pertama 195. Maka ketua itu
menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta menasehati,

16
Umar Mansyur Syah, Op.cit, h. 16

62
supaya ia mencukupi keputusan itu, di dalam waktu yang ditentukan
oleh ketua, selama-lamanya 8 hari.”
Mengenai tata cara dan syarat-syarat sita eksekusi diatur dalam
pasal 197 HIR/RBg. Sita eksekusi ini merupakan suatu jenis sita yang
sangat penting, karena disini akan tampak adanya wibawa Pengadilan
dalam hal putusannya yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
pasti, dapat, atau tidaknya dilaksanakannya penyitaan dengan tujuan
menempatkan harta kekayaan tersebut sebagai jaminan, kepentingan
pembayaran sejumlah uang kepada penggugat, dilakukan pada tahap:
1. Perkara bersangkutan sudah mempunyai putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap
2. Penyitaan dilakukan pada tahap eksekusi
3. Peruntukan hanya meliputi jenis perkara pembayar sejumlah
uang, sedangkan conservatoir beslag meliputi seluruh perkara,
CB dapat dilakukan atas benda berdasarkan sengketa milik
maupun sengketa utang piutang dan sebagainya.

Adapun tahapan-tahapan untuk menjalankan Penyitaan Sita


Eksekusi seperti Bagan di bawah ini :17

Isi putusan sudah


diberitahukan secara resmi

Terkalah (tergugat) tetap tidak mau menjalankan


putusan secara sukarela dalam waktu 7 hari/10 hari

Sudah lewat 7/10 hari dari tanggal pemberitahuan putusan


tidak mau menjalankan putusan secara suka rela

17
Umar Mansur, Op.cit, h. 26

63
Ada permohonan eksekusi dari pihak yang menang
(Penggugat) kepada ketua Pengadilan Agama

Ketua Pengadilan memanggil Tergugat yang dikalahkan


menghadapi kepada Ketua Pengadilan pada hari, tanggal,
jam yang ditentukan dalam surat panggilan

Aanmaning

Ada peringatan batas 8 hari (2/5 hari pasal 196 HIR).


Tergugat diminta untuk menjalankan putusan secara
sukarela

Dicatat dalam berita persidangan insidentil


peringatan tersebut

Sebagai bukti Autentik

Dibuatkan penetapan perintah Eksekusi oleh Ketua


Pengadilan Agama sejak saat peringatan telah
lampau

Kepada Panitera atau Juru sita berbentuk

Surat Penetapan:

1. Dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Agama


2. Berisi perintah menjalankan eksekusi

Pejabat yang melakukam Eksekusi membuat berita acara


eksekusi

64
Pejabat yang menjalankan eksekusi harus dibantu
oleh dua orang (Inklusif menjadi sanksi) eksekusi

Berita acara eksekusi ditanda tangani oleh pelaksan eksekusi dan Panitera atau juru
sita/kedua orang saksi yang ikut membantu jalannya eksekusi, penandatanganan
berita acara merupakan syarat formal keabsahan berita acara tersebut sebagai produk
yang bernilai otentik, tanpa ditandatangani, berita acara itu tidak mempunyai nilai
otentik dan Kepala desa serta tereksekusi boleh tanda tangan dalam berita acara,
tetapi kebolehan bukan merupakan syarat formal hanya kesempurnaan saja. (Pasal
197 a. 6 pasal 210. a.l RBg). Tereksekusi ikut menandattangani adalah sebagai alat
bukti untuk mematahkan tuduhan yang mungkin datang dibelakang hari pihak
tereksekusi.

BAB IX

65
PEMBUKTIAN

A. Pendahuluan
Dalam tanya jawab di muka sidang pengadilan, para pihak yang
berperkara bebas mengemukakan peristiwa-peristiwa yang berkenaan
dengan perkaranya. Majelis hakim memperhatikan semua peristiwa yang
dikemukan oleh kedua belah pihak. Untuk memperoleh kepastian bahwa
peristiwa atau hubungan sungguh-sungguh telah terjadi, majelis hakim
memerlukan pembuktian yang meyakinkan guna dapat menerapkan
hukumnya secara tepat, benar, dan adil. Oleh karena itu, para pihak yang
berperkara wajib memberikan keterangan disertai bukti-bukti menurut
hukum mengenai peristiwa-peristiwa atau hubungan hukum yang telah
terjadi. Deanga kata lain, perlu pembuktian secara yuridis, yaitu
menyajikan fakta-fakta yang cukup menurut hukum untuk memberika
kepastian kepada majelis hakim mengenai terjadinya peristiwa atau
hubungan hukum.
Pembuktian diperlukan karena ada bantahan atau sangkalan dari
pihak lawan mengenai apa yang digugatkan, atau untuk membenarkan
suatu hak. Pada umumnya, yang menjadi sumber sengketa adalah suatu
peristiwa atau hubungan hukum yang mendukung adanya hak. Jadi, yang
perlu dibuktikan adalah mengenai peristiwa atau hubungan hukum itulah
yang wajib dibuktikan. Jika pihak lawan (tergugat) sudah mengakui atau
mengiyakan apa yang digugatkan oleh Penggugat, maka pembuktian tidak
diperlukan lagi.
Ada suatu peristiwa yang tidak memerlukan pembuktian lagi
karena kebenarannya diakui umum, yaitu peristiwa notoir 18. Setiap orang
pasti mengetahuinya sehingga majelis hakim harus yakin demikian
adanya. Hal ini disebabkan:
1. Peristiwa memang dianggap tidak perlu diketahui atau dianggap tidak
mungkin diketahui oleh hakim, yang berarti bahwa kebenaran
peristiwa tidak perlu dibuktikan kebenarannya. Dalam hal-hal dibawah
ini peristiwanya tidak perlu dibuktikan.
18
Abdul Kadir Muhammad, Op.cit, h. 115

66
a. Dalam hal dijatuhkan putusan verstek. Karena tergugat tidak
datang, maka peristiwa yang menjadi sengketa yang dimuat dalam
surat gugat tanpa diadakan pembuktian dianggap benar dan
kemudian tanpa mendengar serta diluarnya hadirnya pihak tergugat
dijatuhkanlah putusan verstek oleh hakim.
b. Dalam hal tergugat mengakui gugatan penggugat maka peristiwa
yang menjadi sengketa yang diakui itu dianggap telah terbukti,
karena pengakuan merupakan alat bukti, sehingga tidak
memerlukan pembuktian lebih lanjut.
c. Dengan telah dilakukan sumpah decisoir, sumpah yang bersifat
menentukan, maka peristiwa yang menjadi sengketa, yang
dimintakan sumpah dianggap terbukti dan tidak memerlukan
pembuktian lebih lanjut.
d. Telah menjadi pendapat umum, bahwa dalam hal bantahan kurang
cukup atau dalam hal diajukan referte, maka pembuktian tidak
diperlukan dan hakim tidak boleh membebani para pihak dengan
pembuktian.
2. Hakim secara ex officio dianggap mengenal peristiwanya, sehingga
tidak perlu dibuktikan lebih lanjut. Peristiwa-peristiwa itu ialah:
a. Apa yang dikenal dengan istilah notoir. Peristiwa notoir adalah
kejadian atau keadaan yang dianggap harus diketahui oleh orang
yang berpendidikan dan mengenal zamannya, tanpa mengadakan
penelitian lebih lanjut, atau peristiwa yang dapat diketahuinya dari
sumber-sumber yang umum tanpa mengadakan penelitian yang
berarti dan yang memberi kepastian yang cukup untuk digunakan
sebagai alasan pembenar untuk suatu tindakan yang bersifat
kemasyarakatan yang serius. Lazimnya peristiwa notoir ini
diartikan sebagai peristiwa yang diketahui umum. Oleh karena itu
hakim yang berpendidikan tinggi dan sudah tentu dianggap
berpengetahuan luas pula, harus tahu juga akan peristiwa notoir ini,
sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut. Seperti tanggal 17
Agustus 1945 merupakan hari kemerdekaan RI. Hal ini tentu
merupakan bukan rahasia umum lagi.

67
b. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dipersidangan dimuka hakim yang
memeriksa perkara. Kejadian-kejadian prosessuil ini dianggap
diketahui oleh hakim, sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut,
misalnya bahwa pihak tergugat tidak datang, bahwa pihak tergugat
mengakui gugatan, bahwa pihak penggugat mengajukan barang
bukti.
3. Pengetahuan pengalaman
Yang dimaksudkan dengan pengetahuan tentang pengalaman ini
adalah kesimpulan berdasarkan pengetahuan umum. Pengetahuan
tentang pengalaman ini tidaklah termasuk hukum, karena tidak bersifat
normatife, tetapi pengalaman semata-mata. Sebaliknya bukan pula
merupakan peristiwa tertentu, melainkan merupakan kejadian yang
ajeg. Jadi merupakan ketentuan umum berdasarkan pengalaman
manusia dan yang digunakan untuk menilai peristiwa yang diajukan
dan yang digunakan untuk menilai peristiwa yang diajukan atau yang
telah dibuktikan. Pengetahuan tentang pengalaman ini misalnya bahwa
mobil yang lari dengan kecepatan 100 km/jam tidak mungkin
dihentikan seketika.19

B. Pengertian Pembuktian
Dalam memeriksa sutau perkara, hakim bertugas untuk
mengkonstantir, mengkualifisir dan kemudian mengkonstituir.
Mengkonstatntir artinya hakim harus menilai apakah peristiwa atau fakta-
fakta yang dikemukakan oleh para pihak itu adalah benar-benar terjadi.
Hal ini hanya dapat dilakukan melalui pembuktian.
Karena itu pembuktian diartikan sebagai penyajian alat-alat bukti
yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara
guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang
dikemukakan.
Membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil
atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan

19
Sudikno Mertokusumo, Op.cit, h. 126

68
demikian tampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam
persengketaan atau perkara dimuka hakim atau pengadilan.20
Atau membuktikan artinya mempertimbangkan secara logis
kebenaran suatu fakta/peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan
menurut hukum pembuktian yang berlaku.
Dalam pembuktian ini, maka para pihak memberi dasar-dasar yang
cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna
memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukannya.

C. Beban Pembuktian
Penentuan beban pembuktian merupakan masalah yang tidak
mudah. Karena tidak ada satu pun pasal yang mengatur secara tegas
tentang pembagian beban pembuktian. Dalam praktek, majelis hakim
memerlukan ketelitian dan kebijaksanaan untuk menentukan pihak mana
perlu dibeban pembuktian lebih dahulu dan selanjutnya. Pasal 163 HIR,
283 RBg mengatur beban pembuktian, tetapi tidak begitu jelas sehingga
sulit untuk diterapkan secara tegas apakah beban pembuktian ada pada
penggugat atau tergugat.
Menurut ketentuan pasal 163 HIR, 283 RBg pihak yang
mengatakan mempunyai hak, atau menyebutkan suatu peristiwa untuk
meneguhkan haknya, atau untuk membantah hak orang lain, harus
membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Untuk menentukan
beban pembuktian ada pada pihak mana, perlu diteliti dan dirinci
ketentuan pasal tadi menurut bunyi kalimat sebagai berikut ;
1. Pihak yang mengatakan mempunyai hak harus membuktikan haknya
itu. Biasanya penggugat yang mengatakan mempunyai hak , maka
penggugatlah yang harus diberi beban pembuktian lebih dahulu.
2. Pihak yang menyebutkan suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya
harus membuktikan adanya peristiwa tersebut. Apabila pihak yang
menyebutkan peristiwa itu penggugat, maka dia harus
membuktikannya, beban pembuktian ada pada penggugat. Tetapi

20
M. Taufik Makaro, op.cit, h. 93

69
apabila pihak yang menyebutkan peristiwa itu tergugat, maka dia harus
membuktikannya, beban pembuktian ada pada tergugat.
3. Pihak yang menyebutkan suatu peristiwa untuk membantah hak orang
lain harus membuktikan adanya peristiwa tersebut. Apabila pihak yang
menyebutkan peristiwa itu penggugat, maka beban pembuktian ada
pada penggugat. Tetapi apabila pihak yang menyebutkan peristiwa itu
tergugat, maka beban pembuktian ada pada tergugat.

Apabila ketentuan pasal 163 HIR dan 283 Rbg ini dipegang teguh,
maka dalam prakteknya dapat menimbulkan beban yang sangat berat bagi
salah satu pihak yang disuruh membuktikannya, dia akan menanggung
resiko dikalahkan. Misalnya dalam soal warisan penggugat mengajukan
gugatan terhadap tergugat bahwa harta warisan belum dibagi dan dia
menuntut bagiannya. Pihak tergugat mengataka itu tidak benar karena
harta warisan sudah dibagi. Apabila berpegang teguh pada ketentuan pasal
163 HIR dan 283 Rbg, penggugat harus membuktikan harta warisan itu
belum dibagi. Tentunya bagi penggugat sangat berat untuk tidak
berpegang teguh pasal tersebut, majelis hakim dapat membebankan
pembuktian pada tergugat untuk membuktikan harta warisan itu belum
dibagi. Bagi penggugat sudah cukup adil bila dibebani pembuktian bahwa
harta yang diperkarakan adalah harta warisan dan penggugat adalah ahli
waris.

Berdasarkan asas “hakim harus berperan aktif menurut sistem HIR


dan Rbg maka majelis hakimlah yang menentukan apa yang harus
dibuktikan dan siapa pihak yang harus dibebani pembuktian lebih dahulu.
Dalam menentukan beban pembuktian, majelis hakim harus
memperhatikan keadaan yang konkret, tidak hanya pada satu pihak diberi
beban pembuktian, melainkan kedua belah pihak mendapat beban
pembuktian. Namun perlu diperhatikan juga bahwa beban pembuktian
dititikberatkan pada pihak yang sedikit dirugikan bila diberi beban
pembuktian.

70
Ketentuan pasal 163 HIR dan 283 Rbg hanya dapat dipegang
sebagai pedoman saja bagi majelis hakim dalam menentukan beban
pembuktian, memang merupakan problem yuridis yang sulit dipecahkan,
tidak hanya bagi hakim melainkan juga bagi para pengacara, sehingga
menjadi alasan bagi hakim kasasi untuk membatalkan putusan hakim yang
memeriksa fakta (judex facti).

D. Alat-alat Bukti
Dalam hal membuktikan suatu peristiwa ada beberapa cara yang
dapat dtempuh. Kalau seseorang penggugat hendak membuktikan bahwa
peristiwa tertentu, maka ia dapat mengajukan peristiwa tersebut dihadapan
hakim di persidangan agar hakim secara langsung dapat melihatnya
dengan mata kepala sendiri. Barang yang telah dibeli yang tidak
memenuhi kualitas sesuai dengan perjanjian.
Apabila suatu peristiwa yang akan dibuktikan itu tidak mungkin
dihadapkan dimuka hakim di persidangan, karena tidak mungkin dibawa
dimuka hakim di persidangan atau peristiwa tersebut dalam masa lampau,
sehingga secara langsung tidak dapat dilihat atau didengar oleh hakim,
maka penggugat dapat mengajukan sepucuk surat kepada hakim yang
isinya menerangkan tentang adanya atau pernah adanya peristiwa tertentuu
itu.
Kecuali itu dapat diajukan seorang yang dapat menerangkan
kepada hakim di persidangan, bahwa peristiwa yang diajukan itu benar-
benar terjadi. Masih ada kemungkinan lain untuk membuktikan suatu
peristiwa tertentu, yaitu peristiwa a. itu sukar pembuktiannya, untuk
membuktikannya maka dibuktikanlah adanya peristiwa b. Dengan berhasil
dbuktikannya peristiwa b itu maka peristiwa a dianggap terbukti. Itu pada
hakekatnya hanyalah merupakan perasangkaan-perasangkaan, i’tikad
buruk seseorang misalnya sukar untuk dibuktikan, hal itu dibuktikan
dengan membuktikan peristiwa lain.
Selanjutnya masih ada cara lain untuk membuktikan, yaitu oleh
pihak yang bersangkutan sendiri dengan memberi keterangan (pengakuan
oleh tergugat dan sumpah).

71
Itulah cara-cara yang mungkin ditempuh untuk membuktikan suatu
peristiwa di dalam acara perdata.
Menurut Paton maka alat bukti bukti dapat bersifat oral,
documentary atau materil. Alat bukti yang bersifat oral merupakan kata-
kata yang diucapkan oleh seorang di persidangan, kesaksian tentang suatu
peristiwa merupakan alat bukti yang bersifat oral. Termasuk dalam alat
bukti yang bersifat documentary adalah surat. Sedangkan termasuk dalam
alat bukti yang bersifat material adalah barang pisik lainnya selain
dokumen.
Menurut sistem HIR, dalam acara perdata hakim terikat pada alat-
alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil
keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh Undang-
Undang saja.
Menurut sistem HIR dan Rbg hakim terikat dnegan alat-alat bukti
sah yang diatur dengan undang-undang. Ini berarti hakim hanya boleh
menjatuhkan putusan berdasarkan alat-alat bukti yang telah diatur undang-
undang.21 Menurut ketentuan pasal 164 HIR, 284 Rbg ada lima jenis alat
bukti dalam perkara perdata, yaitu:
1. Surat
2. Saksi
3. Persangkaan
4. Pengakuan
5. Sumpah.

1. Alat bukti surat


Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat
tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau
menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai
pembuktian (alat bukti).
Alat bukti tertulis diatur dalam pasal 138, 165, 167 HIR/pasal 154,
285, 305 Rbg. Menurut bentuknya, alat bukti tertulis diklasifikasikan dua
jenis lagi, yaitu surat akta dan bukan surat akta. Surat akta adalah surat
21
Sudikno Mertokusumo, op.cit, h. 140

72
yang bertanggal dan diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa
yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang digunakan untuk
pembuktian. Surat akta diklasifikasikan lagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu
surat akta otentik dan surat akta tidak otentik (di bawah tangan).
a. Akta Otentik

Menurut ketentuan pasal 165 HIR, 285 Rbg akta otentik adalah
akta yang di buat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu,
sebagai bukti yang lengkap bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta
orang yang mendapat hak darinya tentang segala hal yang tersebut dalam
surat itu dan bahkan tentang apa yang tercantum di dalamnya sebagai
pemberitahuan saja, sepanjang langsung mengenai pokok dalam akta
tersebut. Pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
membuat akta otentik antara lain adalah notaries, pegawai catatan sipil,
panitera pengadilan, pegawai pencatat nikah, juru sita. Dalam melakukan
pekerjaannya, pejabat-pejabat tersebut terikat pada syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan undang-undang, sehingga merupakan jaminan untuk
mempercayai keabsahan hasil pekerjaannya.

Dalam akta otentik pejabat menerangkan apa yang dilakukan,


dilihat, dialami, sehingga apa yang tercantum dalam akta otentik dianggap
benar terjadi dihadapannya menurut kenyataan yang sebenarnya. Karena
memuat keterangan pejabat yang sah menurut undang-undang, maka setiap
orang mengakui dan mempercayai isi akta otentik tersebut sebagai benar
adanya. Kebenaran isinya cukup dibuktikan oleh bentuk akta itu sendiri
sampai dapat dibuktikan sebaliknya. Bagi pihak-pihak ahli warisnya dan
orang yang mendapat hak darinya, akta otentik mempunyai kekuatan bukti
sempurna, namun masih dapat dilumpuhkan oleh pembuktian lawan.
Terhadap pihak ketiga akta otentik mempunyai kekuatan bukti bebas (vrij
bewijs, free evidence) artinya penilaiannya diserahkan kepada
kebijaksanaan hakim.

Akta otentik dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu akta


ambtelijk dan akta partai. Akta ambtelijk adalah akta otentik yang dibuat

73
oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu, dimana pejabat
menerangkan apa yang dilihat dan dilakukannya. Contohnya seperti akta
catatan sipil, akta protes pada wesel.

Akta partai adalah akta yang dibuat dihadapan pejabat, dengan


mana pejabat menerangkan apa yang dilihat dan dilakukannya dari pihak-
pihak yang berkepentingan mengakui keterangan dalam akta tersebut
dengan membubuhkan tanda tangan mereka. Contohnya akta jual beli
tanah di muka pejabat pembuat Akta tanah (PPAT), akta perkawinan, akta
pendirian perusahaan.

Pada setiap akta otentik dikenal 3 (tiga) macam kekuatan bukti


yaitu kekuatan bukti lahir, kekuatan bukti formal, dan kekuatan bukti
material.

1. Kekuatan bukti lahir

Kekuatan bukti lahir diperkenankan dengan syarat-syarat formal


suatu akta otentik dipenuhi atau tidak. Bila syarat-syarat formal dipenuhi,
maka bentuk yang tampaknya dari luar secara lahiriah sebagai akta otentik
dianggap akta otentik, sepanjang tidak dapat dibuktikan sebaliknya. Bila
syarat-syarat formal diragukan kebenarannya oleh pihak lawan, dia dapat
minta kepada pengadilan untuk meneliti akta tersebut berdasarkan bukti-
bukti yang dikemukakan oleh pihak lawan. Kemudian, majelis hakim
memutuskan apakah akta otentik itu boleh digunakan sebagai bukti atau
tidak dalam perkara.

2. Kekuatan bukti formal

Kekuatan bukti formal berkenaan dengan soal kebenaran peristiwa


yang disebutkan dalam akta otentik. Artinya pejabat dan pihak-pihak yang
berkepentingan menerangkan dan melakukan seperti yang disebutkan
dalam akta otentik dan benar demikian adanya. Jadi, formalitas yang
ditentukan undang-undang benar-benar dipenuhi.

74
Kebenarannya itu diakui oleh setiap orang. Namun suatu ketika
mungkin juga ada pihak yang meragukan kebenarannya bila akta otentik
itu dijadikan alat bukti dalam perkara. Misalnya, dalam akta otentik
dikatakan bahwa penyerahan barang dilakukan dirumah dalam keadaan
baik. Padahal sebenarnya bukan diserahkan dirumah melainkan disuatu
tempat lain dan dalam keadaan baik, ketika dibawa ke rumah terjadi
kerusakan. Dalam akta otentik pejabat menerangkan bahwa barang
diserahkan dirumah dalam keadaan baik, keterangan mana hanya sebagai
formalitas belaka. Keadaan yang demikian perlu dipertimbangkan majelis
hakim, apakah akta otentik dapat dijadikan bukti atau tidak.

3. Kekuatan bukti material

Kekuatan bukti material berkenaan dengan kebenaran isi akta


otentik. Artinya, benar bahwa yang tercantum dalam akta otentik seperti
menurut kenyataannya. Misalnya, dalam akta otentik disebutkan
penyerahan 1500 (seribu lima ratus) buah jam tangan merek Nelson, tetapi
nyatanya hanya 200 (dua ratus) buah merek Nelson, sedangkan selebihnya
merek Mido. Bila ada yang meragukan kebenaran isi akta otentik, dia
dapat minta kepada hakim agar akta otentik yang diragukan kebenaran
isinya itu diteliti kebenarannya.

Bila ternyata benar akta otentik dikirim kekejaksaan untuk dituntut


perkara pidana, sedangkan perkara perdatanya ditunda sampai selesai
perkara pidana. Insiden dalam pembuktian dengan akta otentik seperti ini
dapat terjadi, baik atas inisiatif pihak yang bersangkutan maupun dari
pihak majelis hakim.

Pada akta partai selalu terdapat kekuatan bukti material dan


merupakan alat sempurna. Dalam akta partai, kebenaran isi akta otentik
ditentukan oleh pihak-pihak dan pejabat menerangkan seperti yang dilihat,
didengar, dan diketahui dari pihak-pihak. Akan tetapi, pada akta ambtelijk
tidak selalu terdapat kekuatan bukti material, setiap orang dapat
menyangkal kebenaran isi akta otentik, asalkan dapat membuktikannya.

75
Apa yang dilihat, didengar dan dilakukan pejabat hanya berdasarkan apa
yang dikehendaki oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

Dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan mungkin diajukan


akta oetentik yang berupa turunan atau kutipan saja. Hal yang demikian ini
tidak mustahil dapat dibuat tidak sesuai dengan aslinya atau dipalsukan.
Misalnya surat kewarganegaraan yang dikeluarkan oleh panitera
pengadilan agama, surat akta perkawinan, surat ijazah, dengan membuat
fotokopi surat-surat tersebut. Bila sampai terjadi demikian, majelis hakim
dapat memerintahkan penelitian terhadap kebenaran akta yang
mengakibatkan penundaan sidang, bahkan mungkin menjadi perkara
pidana. Bila demikian halnya, perkara perdata baru dapat dilanjutkan lagi
setelah ada putusan perkara pidana, yang sudah mempunyai kekuatan
hukum tetap.22

b. Akta tidak Otentik (dibawah tangan)

Akta di bawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk


pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi
semata-mata dibuat antara pihak yang berkepentingan. Mengenai akta
dibawah tangan ini tidak di aturdalam HIR, tetapi di atur dalam S 1867
no.29 untuk jawa dan madura, sedang untuk luar jawa dan madura diatur
dalam pasal 286 sampai dengan 305 Rbg. Termasuk dalam pengertian
surat dibawah tangan menrut pasal 1 S l867 no.29, pasal 286 Rbg.
Termasuk dalam pengertian surat di bawah tangan ialah akta di bawah
tangan dan surat-surat daftar (register), catatan mengenai rumah tangga
dan surat-surat lainnya yang di buat tanpa bantuan seorang pejabat.

Ada ketentuan khusus mengenai akta di bawah tangan, yaitu akta


di bawah tangan yang memuat hutang pajak, untuk membayar sejumlah
uang tunai atau menyerahkan suatu benda, harus ditulis seluruhnya dengan
tangan sendiri oleh oang yang menanda tangani, atau setidak-tidaknya
selain tanda tangan harus ditulis pula di bawah, dengan tangan sendiri oleh
22
Abdul Kadir Muhammad, op.cit, h. 122

76
yang bertanda tangan, suatu keterngan harus di penuhi, dengan huruf
seluruhnya.keterngan ini lebih terkenal dengan bin pour cent florins. Bila
tidak demikian, maka akta di bawah tangan itu hanaya dapat diterima
sebagai permulaan bukti tertulis. Apa yang dimaksudkan dengan bukti
tertulis.

Untuk dapat menjadi bukti yang sempurna atau lengkap, maka


permulaan bukti tertulis itu masih harus di lengkapi dengan alat-alat bukti
lain.

Kalau surat atau alat bukti tertulis pada umunya dipergunakan oleh
pihak lain daripada yang membuatnya, maka pasal 167 HIR, pasal 296
Rbg merupakan pengecualian, yaiyu bahwa hakim bebas untuk
menggunakan pembukuan seseorang guna bukti bagi keuntungan yang
membuat.

Karena itu, perbedaan akta otentik dan akta di bawah tangan ialah:

1. Akta otentik merupakan suatu akta yang sempurna, sehingga


mempunyai bukti-bukti baik secara formil maupun materiil.
Kekutan pembuktiaannya telah melekat pada akta itu secra
sempurna. Jadi bagi hakim ia merupakan bukti sempurna. Sedang
akta di bawah tangan baru mempunyai kekuatan bukti materil jika
telah dibuktikan kekuatan formilnya dan kekuatan formilnya baru
terjadi setelah pihak-pihak yang bersangkutan mengaku akan
kebenaran isi dan cara pembuatan akta tersebut dan bagi hakim
merupakan bukti bebas.
2. Untuk akta otentik kerap terjadi grosse akta yang mempunyai
kekuatan eksekutorial, sama dengan putusan hakim. Sedang akta di
bawah tangan tidak pernah.
3. Akta otentik mesti terdaftar pada register untuk itu dan tersimpan
pada pejabat yang membuatnya/dibuat dihadapannya, sehingga
kemungkinan akan hilang akta sangat kecil. Sedangkan akta di
bawah tangan tidak terdaftar, sehingga kemungkinan hilangnya
lebih besar.

77
4. Akta otentik mempunyai tanggal pasti.
Sedangkan akta di bawah tangan tidak selalu demikian .

Grosse akte ialah suatu perjanjian hipotik atau hutang piutang


antara dua pihakyang dibuat di hadapan Notaris di Indonesia dengan
menggunakan title eksekutorial dengan maksud agar apabila terjadi
wanprestasi maka dapat diekskusi tanpa melalui proses persidangan.

Syarat-syarat grosse akta ialah:

o Kepala surat berbunyi :”demi keadilan berdasarkan ketuhanan


Yang Maha Esa”, sebagai eksekutorial title.
o Dibuat di depan notaries di Indonesia.
o Grosse akte hanya dipergunakan utuk hipotik dan hutang-piutang
yang diatur dalam pasal 1155 dan 1178 BW
o Di dalamnya memuat tulisan tentang kewajiban membayar
sejumlah uang dan jika tidak di penuhi maka tanpa proses
peradilan bisa dieksekusi.

Grosse akte telah memunyai kekuatan sejak tanggal pembuatannya


dengan kekuatan mutlak yang sama dengan putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.

Grosse akte mempunyai kekuatan yang bersifat :


o Sempurna (volleding)
o Mengikat (binded)
o Menentukan (beslisssend), dan
o Eksekutabel

Grosse akte tiak dapat dikesampingkan dengan putusan pengadilan,


kecuali hanya dengan “perdamain” yang dapat mengsampingkannya dan
juga menangguhkan eksekusi.

Eksekusi grosse akta sama dengan eksekusi putusan pengadilan,


yaitu pihak yang berkepentingan mengajukan permohonan eksekusi
kepada ketua pengadilan Negeri dan ketua pengadilan Negeri kemudian

78
memrintahkan “penetapan” agar proses akte tersebut dieksekusi oleh
panitera. Grosse akta hanya dapat dilakukan pengadilan Negeri.

c. Fungsi Akta

Apakah fungsi daripada kata ? akta dapat mempunyai fungsi formil


(Formalitas causa), yang berarti bahwa untuk lengkapnya atau
sempurnanya (bukan untuk sahnya) suatu perbuatan hukum, haruslah
dibuat suatu akta. Di sini akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu
perbuatan hukum yang harus dituangkan dalam bentuk akta sebagai syarat
formil ialah: pasal 1610 BW tentang perjanjian pemborongan, pasal 1767
BW tentang perjanjian hutang piutang dengan bunga dan pasal 1851 BW
tentang perdamaian. Untuk itu semuanya disyaratkan adanya akta di
bawah tangan. Sedangkan yang disyaratkan dengan akta otentik antara lain
ialah pasal 1171 BW tentang pemberian hipotik, pasal 1682 BW tentang
Schenking dan pasal 1945 BW tentang melakukan sumpah oleh orang lain.

Disamping fungsinya yang formil, akta mempunyai fungsi sebagai


alat bukti (probations causa). Dari definisi yang telah diketengahkan di
muka telah jelas bahwa akta itu di buat sejak semula dengan sengaja untuk
pembuktian dikemudian hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam
bentuk akta itu tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar
dapat digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari.23

2. Pembuktian dengan Saksi


Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152 HIR, pasal 165-179
Rbg.
Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di
persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan
pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu
pihak dalam perkara, yang dipanggil di persidangan.

23
Ibid, h. 151

79
Jadi keterangan yang diberikan oleh saksi harus tentang peristiwa
atau kejadian yang dialaminya sendiri, sedang pendapat atau dugaan dapat
disimpulkan dari pasal 171 ayat 2 HIR pasal 308 ayat Rbg, 1907 BW.
Disinilah letak bedanya antara keterangan yang diberikan memberi
tambahan keterangan untuk menjelaskan peristiwanya, sedang seorang ahli
dipanggil untuk membantu hakim dalam menilai peristiwanya.
Keterangan saksi itu haruslah diberikan secara lisan dan pribadi di
persidangan, jadi harus diberitahukan sendiri dan tidak diwakilkan serta
tidak boleh dibuat secara tertulis. Keterangan tertulis dari pihak ketiga ini
merupakan alat bukti tertulis. Bahwa saksi harus memberikan keterangan
secara lisan dan pribadi ternyata dari pasal 140 ayat 1 HIR, pasal 166 Rbg
dan 148 HIR atau pasal 176 Rbg, dimana ditentukan bahwa terhadap saksi
yeng telah dipanggil dengan patut dan tidak datang diberi sanksi dan
terhadap saksi yang telah datang di persidangan enggan memberi
keterangan dapat diberi sanksi juga.
Yang dapat didengar sebagai saksi adalah pihak ketiga dan bukan
salah satu pihak yang berperkara, pasal 139 ayat 1 HIR, 165 ayat 1 Rbg.
Baik pihak formil maupun materil tidak boleh didengar sebagai saksi. Lain
halnya denga di Inggris dimana para pihak di bawah sumpah didengar
sebagai saksi dalam perkaranya sendiri.
Kesaksian merupakan alat bukti yang wajar, karena keterangan
yang diberikan kepada hakim di persidangan itu berasal dari pihak ketiga
yang melihat atau mengetahui sendiri peristiwa yang bersangkutan. Pihak
ketiga pada umumnya melihat peristiwa yang bersangkutan lebih obyektif
daripada pihak yang berkepentingan sendiri, para pihak yang berperkara
pada umumnya akan mencari benarnya sendiri.
Betapa pentingnya arti kesaksian sebagai alat bukti tampak dari
kenyataan bahwa banyak peristiwa-peristiwa hukum yang tidak dicatat
atau tidak ada alat bukti tertulisnya. Sehingga oleh karena itu kesaksian
merupakan satu-satunya alat bukti yang tersedia.
Harus diakui bahwa tidak dapat dihindarkan kemungkinan adanya
saksi palsu yang sengaja diajukan oleh pihak yang bersangkutan untuk
memberikan keterangan yang tidak benar kepada hakim di persidangan.

80
Di samping itu harus disadari pula bahwa keterangan seorang
saksi yang beritikad baik sekalipun untuk memberi keterangan yang benar
dan tidak lain daripada yang benar, masih kurang dapat dipercaya. Kalau
suatu peristiwa itu telah lama terjadi, maka tidak jarang terjadi bahwa
tidak banyak lagi yang dapat diingat oleh saksi. Untuk memberi kesaksian
suatu peristiwa yang bersangkutan tidaklah diarahkan untuk memberi
kesaksian di kemudian hari, sehingga pengamatannya pada waktu melihat
atau mengetahuinya kurang teliti. Penangkapan kesan tentang peristiwa
dan kemudian megilahnya serta akhirnya menuturkannya sebagai
kesaksian merupakan suatu proses yang dapat menimbulkan kemungkinan
yang dapat mengaburkan kebenaran peristiwa tersebut.24
Syarat-syarat saksi terdiri dari syarat formil dan materil. Adapun
syarat formil saksi ialah:
1. Berumur 15 tahun keatas
2. Sehat akalnya
3. Tidak ada hubungan keluarga sedarah dan keluarga semenda dari
salah satu pihak menurut keturunan yang lurus, kecuali undang-
undang menentikan lain
4. Tidak ada hubungan perkawinan dengan salah satu pihak dengan
meskipun sudah bercerai (pasal 14 (1) HIR;
5. Tidak ada hubungan kerja dengan salah satu pihak dengan
menerima upah (pasal 144 (2) HIR, kecuali undang-undang
menentukan lain;
6. Menghadap di persidangan (pasal 141 (2) HIR;
7. Mengangkat sumpah menurut agamanya (pasal 147 HIR);
8. Berjumlah sekurang-kurangnya 2 orang untuk kesaksian suatu
peristiwa , atau dikuatkan dengan alat bukti lain (pasal 169 HIR);
kecuali mengenai perzinaan;
9. Dipanggil masuk ke ruang sidang satu demi satu (pasal 144 (1)
HIR;
10. Memberikan keterangan secara lisan (pasal 147 HIR).

24
Sudikno.Mertokusumo, op.cit, h. 160

81
Sedang syarat materil saksi adalah:

1. Menerangkan apa yang dilihat, ia dengar dan ia alami sendiri (pasal


171 HIR/308 RBg);
2. Diketahui sebab-sebab ia mengetahui peristiwanya (pasal 171 (1)
HIR/pasal 308 (1) RBg);
3. Bukan merupakan pendapat atau kesimpulan saksi sendiri (pasal
171 (2) HIR/Pasal 308 (2) RBg);
4. Saling bersesuaian satu sama lain (pasal 170 HIR);
5. Tidak bertentangan akal sehat.
Seseorang dapat saja mengundurkan diri sebagai saksi
dikarenakan:
1. Saudara laki-laki dan saudara perempuan, ipar laki-laki dan ipar
perempuan dari salah satu pihak;
2. Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki-
laki dan saudara perempuan dari suami atau istri dari salah satu
pihak;
3. Semua orang yang kedudukan pekerjaan atau jabatannya yang sah,
diwajibkan menyimpan rahasia, tetapi semata-mata hanya
mengenai hal demikian yang dipercayakan padanya (pasal 146 (1)
HIR).

Tentang benar tidaknya keterangan orang, yang diwajibkan


menyimpan rahasia itu terserah pertimbangan hakim (pasal 146 (2) HIR).
Orang yang tidak berhak mengundurkan diri sebagai saksi, ia wajib
memenuhi kewajiban sebagai saksi.

a. Kekuatan Hukum Alat Bukti Saksi

Apabila saksi telah memenuhi syarat formil dan materil, maka ia


mempunyai nilai pembuktian bebas. Hakim bebas untuk menilai
kesaksian itu sesuai dengan nuraninya. Hakim tidak terikat dengan
keterangan saksi. Hakim dapat menyingkirkannya asal diertimbangkan
dengan cukup berdasarkan argumentasi yang kuat.

82
Jika kesaksian itu berasing-asing dan tersendiri dari beberapa
orang, tentang beberapa kejadian dapat menguatkan satu perkara yang
tertentu oleh karena kesaksian itu bersesuaian dan berhubung-hubungan,
maka diserahkan pada pertimbangan hakim buat menghargai kesaksian
yang berasing-asing itu sedemikian kuat, sehingga menurut keadaan (pasal
170 HIR).

Dalam hal menimbang harga kesaksian hakim harus menumpahkan


perhatian sepenuhnya tentang permufakatan dari saksi-saksi, cocoknya
kesaksian-kesaksian yang diketahui dari tempat lain tentang perkara yang
diperselisihkan, tentang sebab-sebab yang mungkin ada pada saksi itu
untuk menerangkan dengan cara begini atau begitu, tentang perilaku atau
adat dan kedudukan saksi, dan pada umumnya segala hal yang dapat
menyebabkan saksi itu dapat dipercaya atau tidak (pasal 172 HIR). Unus
testis nulus testis (pasal 169 HIR/306 RBg). Artinya satu saksi bukan satu
saksi. Saksi yang hanya seorang diri belum dapat dijadikan dasar
pembuktian, melainkan hanya bernilai sebagi bukti permulaan. Oleh sebab
itu harus disempurnakan dengan alat bukti lain, seperti sumpah atau
lainnya.

Hakim dilarang menetapkan suatu peristiwa sebagai terbukti hanya


berdasarkan keterangan seorang saksi yang berdiri sendiri tanpa didukung
alat bukti lain.

Begitu pula ada istilah Testimonium de auditu (pasal 171 HIR),


yang berarti kesaksian yang diperoleh secara tidak lansgung dengan
melihat, mendengar dan mengalami sendiri melainkan melalui orang lain.
Dalam bahasa fiqh disebut saksi istifadhoh. Pada dasarnya tidak ada
larangan mendengarkan kesaksian mereka.

Nilai pembuktiannya tidak perlu dipertimbangkan. Menurut


Wirjono, dapat dipergunakan untuk menyusun bukti persangkaan.

Begitu pula keluarga sedarah atau semenda, buruh/karyawan dan


pembantu rumah tangga dapat didengar sebagai saksi dibawah sumpah

83
dalam perkara tentang perselisihan keadaan menurut hukum perdata lain,
dan tentang perjanjian pekerjaan, serta tentang perkara perceraian, karena
alasan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus (pasal 145 ayat
(2) HIR, pasal 76 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989 dan pasal 22 PP No.
9/1975).

b. Tata Cara Pemeriksaan Saksi

Tata cara pemeriksaan saksi diatur dalam pasal 139-152 HIR yaitu:

1. Saksi ditunjuk oleh pihak berkepentingan atau oleh hakim karena


jabatannya, yang diperlukan untuk penyelesaian perkara.
2. Saksi dipanggil untuk menghadap di persidangan. Panggilan dapat
dilakukan langsung oleh pihak yang berkepentingan. Apabila
dipandang perlu, pihak yeng berkepentingan dapat meminta
bantuan kepada hakim agar saksi yang diperlukan itu dipanggilkan
oleh juru sita pengadilan (pasal 139 HIR).
3. Saksi menghadap ke pengadilan untuk memenuhinya (pasal 144
ayat (2) HIR.
4. Saksi dipanggil masuk ke ruang sidang seorang demi seorang
(pasal 144 ayat (1) HIR.
5. Hakim/ketua menanyakan kepada saksi tentang :
- Namanya,
- Pekerjaanya,
- Umurnya,
- Tempat tinggalnya dan
- Apakah ia berkeluarga sedarah dengan kedua belah pihak atau
salah satu daripadanya, atau karena berkeluarga semenda.
- Apakah ia makan gaji atau jadi pembantu rumah salah satu
pihak (pasal 144 ayat (2) HIR.

Pertanyaan-pertanyaan kepada saksi tersebut di atas dimaksudkan


untuk mengetahui:

a. Siapakah identitas saksi yang bersangkutan,

84
b. Apakah umur telah memenuhi syarat sebagai saksi,
c. Apakah keterangan yang nanti akan diberikan dapat diterima dan
masuk akal, umpamanya:
- Pekerjaan, katanya orang tani, jika keterangan yang diberikan
bersifat teknis dapat diragukan
- Umur, kalau memberikan keterangan soal/hal-hal yang lama
berselang, apakah cocok dengan umurnya pada waktu itu.
- Tempat tinggalnya, kalau orang yang berdiam diri di pelosok
dapat memberikan keterangan tentang mobil, radio yang begitu
teknis dapat diragukan,
d. Apakah keterangan yang akan diberikan data dianggap objektif,
karena adanya hubungan keluarga, hubungan kerja dengan
menerima upah, atau hubungan semenda membuat orang tidak
dapat objektif keterangannya.
e. Apakah ia memenuhi syarat sebagai saksi, apakah termasuk yang
berhak mengundurkan diri sebagai saksi, atau bahkan apakah ia
termasuk yang tidak dapat didengar sebagai saksi yang disumpah.
6. Saksi disumpah menurut agamanya bahwa ia akan menerangkan
yang sebenarnya dan tidak lain pada yang sebenarnya (pasal 147
HIR), kecuali jika menurut hukum tidak boleh disumpah.
7. Atas pertanyaan hakim, saksi memberikan keterangan sesuai
dengan apa yang ia lihat, dengar dan alami sendiri.
8. Para pihak dapat mengajukan pertanyaan pada saksi tentang hal-hal
yang mereka anggap penting, melalui hakim.

Para pihak minta kepada hakim agar hal-hal yang dianggap penting
itu dinyatakan kepada saksi. Hakim menimbang apakah hal itu relevan
dengan perkaranya atau tidak. Jika dinilai relevan maka hakim
meneruskan pertanyaan itu kepada saksi, dan jika tidak relevan maka tidak
perlu ditanyakan kepada saksi. Para pihak berhak mengajukan
keberatan/penilaian atas kesaksian tersebut.

9. Saksi yang telah diperiksa, tetap duduk berada dalam ruang sidang
agar supaya;

85
- Ia tidak saling berhubungan dengan saksi-saksi yang lain,
- Apabila sewaktu diperluka keterangan tambahan atau untuk
dikonfirmasikan dengan saksi yang lain tidak mengalami
kesulitan.
10. Keterangan tentang saksi dan segala keterangan saksi serta
jalannya pemeriksaan saksi tersebut dicatat dalam berita acara
persidangan yang dimuat oleh Panitera sidang (pasal 152 HIR).25

Adapun apabila saksi berada diluar daerah hukum pengadilan,


maka:

a. Ia dapat dipanggil untuk menghadiri sidang pengadilan yang


memeriksa perkara itu, tetapi tidak dapat dipaksakan.
b. Jika ia tidak mau hadir, maka hakim dapat meminta bantuan
kepada pengadilan lain yang wilayah hukumnya meliputi tempat
tinggal saksi tersebut supaya pengadilan tersebut;
- Memanggil saksi yang bersangkutan untuk menghadap sidang di
Pengadilan setempat,
- Membuka sidang untuk memeriksa saksi tersebut sesuai dengan
permintaan hakim yang memeriksa perkara. (hakim yang
memeriksa perkara harus telah membuat daftar pertanyaan yang
akan ditanyakan kepada saksi),
- Membuat berita acara persidangan saksi, dan
- Mengirim BAP tersebut kepada hakim yang memeriksa perkara.
c. Berita acara persidangan pemeriksaan tersebut dibacakan dalam
sidang. Permintaan bantuan kepada pengadilan lain untuk
memeriksa saksi yang diluar daerah tersebut dapat pula dilakukan
langsung tanpa memanggil saksi tersebut terlebih dahulu ke
persidangan hakim yang memeriksa perkara.
Adapun apabila terdapat saksi yang bandel maka,
1. Saksi yang tidak memenuhi kewajibannya diancam dengan
hukuman pidana sesuai dengan pasal 224 KUHP.

25
A. Mukti Arto, op.cit, h. 166

86
2. Jika saksi yang telah dipanggil dengan patut kemudian tidak
datang pada hari yang ditentukan itu maka ia dihukum oleh
Pengadilan untuk membayar biaya yang dikeluarkan dengan sia-
sia itu, dan ia akan dipanggil sekali lagi dengan ongkos sendiri.
Jika ia tidak datang karena suatu alasan yang sah, maka
pengadilan harus menghapuskan hukuman itu, setelah saksi
memberikan keterangannya (pasal 140, 142 HIR).
3. Jika saksi tersebut telah dipanggil untuk kedua kalinya dan juga
tidak menghadap maka ia dapat dihukum lagi membayar biaya
yang dikeluarkan untuk itu dengan sia-sia tersebut (pasal 141
ayat (1) HIR).
4. Jika saksi yang dipanggil itu enggan menghadap sidang, maka
pengadilan dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dipaksa
menghadap dengan menggunaka alat negara (polisi) ke
persidangan sesuai dengan pasal 141 ayat (2) HIR,
5. Jika saksi telah menghadap dipersidangan tetapi enggan
mengangkat sumpah atau memberikan keterangan maka atas
permintaan pihak yang berkepentingan, ketua dapat memberi
perintah supaya saksi itu disandera sampai saksi itu memenuhi
kewajibannya sesuai dengan pasal 141 HIR.

Mengenai penyanderaan ini berdasarkan SEMA No. 2 tahun 1964,


telah dilarang Mahkamah Agung dan hal ini dapat diterapkan pasal 140
dan 141 HIR diatas, yaitu supaya saksi sumber ganti rugi biaya yang telah
dikeluarkan untuk itu.

Atau kalau kesaksian yang dapat diberikan sangat penting bagi


menangkalnya pihak yang bersangkutan, maka pihak yang bersangkutan
dapat menuntut ganti rugi.

Namun demikian, hakim sebagai orang yang arif dan bijaksana


tentunya dapat memberikan nasehat agar saksi yang bersangkutan
memenuhi kewajibannya.26

26
Ibid, h. 167

87
c. Sumpah Saksi

Apabila orang tidak minta dibebabskan dari memberikan kesaksian


atau jika permintaan untuk dibebaskan tidak beralasan, maka sebelum
saksi itu memberi keterangan lebih dahulu haruslah ia disumpah menurut
agamanya, hal ini sebagai mana diatur dalam pasal 175 Rbg/147 HIR.

Sebagai pengganti sumpah seorang saksi dapat mengucapkan janji


apabila agama dan kepercayaannya melarang mengangkat sumpah.
Keterangan saksi tanpa mengangkat sumpah sebelumnya, bukanlah
merupakn alat bukti yang sah.

Bagi saksi yang beragama Islam rumusan atau lafa sumpah itu
berbunyi sebagai berikut ;

“Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya akan menerangkan yang


benar dan tidak lain dari pada yang sebenarnya.”

Bagi saksi yang beragam Kristen, dengan berdiri sambil


mengangkat tangan kanannya setinggi telinga serta merentangkan jari
telunjuk dan jari tengahnya, sesuai pasal 1 S. 1920 No. 69, mengucapkan
sumpah sebagai berikut;

“Saya bersumpah bahwa saya akan menerangkan yang benar dan


tidak lain dari pada yang sebenarnya. Semoga Tuhan menolong saya.”

Rumusan janji bersumpah sebagai berikut;

“Saya berjanji bahwa saya akan menerangkan dengan sebenarnya


dan tidak lain dari pada yang sebenarnya”.

Bagi saksi ahli rumusan sumpahnya berbunyi sebagai berikut;

“ Saya bersumpah bahwa saya akan memberikan pendapat tentang


soal-soal yang dikemukakan menurut pengetahuan saya sebaik-baiknya”.27

3. Alat Bukti Persangkaan

27
M. Taufik Makaro, op.cit, h. 107

88
Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik suatu peristiwa yang
telah dikenal atau dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang tidak
dikenal atau dianggap terbukti kearah suatu peristiwa yang tidak dikenal
atau belum terbukti, baik yang berdasarkan undang-undang atau
kesimpulan yang ditarik oleh hakim.

Persangkaan diatur dalam pasal 173 HIR, 1916 BW.


Bentuk persangkaan terdiri dari dua macam:
1. Persangkaan yang berupa kesimpulan berdasarkan undang-undang
beberapa contoh ;
- Pasal 5 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974, yaitu bahwa untuk
mendapat ijin poligami dari Pengadilan tidak diperlukan
persetujuan dari isteri apabila isteri tidak ada kabar selama 2 (dua)
tahun. Berarti dalam kasus ini poligami di anggap sah tanpa
persetujuan isteri.
- Perkawinan yang tidak memenuhi syarat, dianggap tidak sah
menurut undang-undang (pasal 2 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974).
- Perjanjian perkawinan yang bertentangan dengan hukum atau
agama dianggap tidak ada dan tidak mengikat (pasal 29 ayat (2) PP
No. 9 tahun 1975.
- Perjanjian perkawinan yang bertentangan dengan hukum dan
agama dianggap tidak ada dan tidak mengikat sesuai dengan pasal
29 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974.
- Panggilan melalui massa media dianggap sah dan resmi, sesuai
denga pasal 27 PP No. 9 tahun 1975.
- Perceraian dianggap meliputi seluruh akibat yang ditimbulkannya
sesuai dengan pasal 41 UU No. 1 tahun 1974.
2. Persangkaan yang berupa kesimpulan yang ditarik oleh hakim dari
keadaan yang timbul dipersidangan, seperti;
- Tentang sesuatu yang penting dan seksama,
- Atau tentang sesuatu yang terang dan pasti,
- Dan saling bersesuaian.

89
Persangkaan merupakan pembuktian sementara dan merupakan alat
bukti yang bersifat tidak langsung. Misalnya :

- Membuktikan ketidakhadiran seseorang pada suatu tempat


peristiwa tertentu dengan membuktikan kehadirannya di tempat
lain pada waktu yang sama.
- Membuktikan matinya orang mafqud (dianggap telah mati) dengan
membuktikan hilangnya pesawat terbang yang ditumpanginya dan
tidak munculnya lagi dalam waktu tertentu 4 (empat) tahun dan
sebagainya.

Syarat-syarat Bukti Persangkaan Hakim

Hakim dapat menggunakan peristiwa prosessuil maupun peristiwa notoir


sebagai persangkaan. Persangkaan merupakan dugaan hakim. Tentang
dugaan dan kesimpulan yang ditarik hakim maka ada tiga syarat yaitu ;

1. Dugaan mengenai suatu kejadian harus didasarkan atas hal-hal yang telah
terbukti.
2. Hakim berkeyakinan bahwa hal-hal yang telah terbukti itu dapat
menimbulkan dugaan terhadap terjadinya sesuatu peristiwa yang lain.
3. Hakim dalam mengambil dari bukti-bukti itu tidak boleh mendasarkan
keputusannya atas hanya satu dugaan saja.
4. Dugaan/persangkaan itu harus bersifat penting, seksama, tertentu dan ada
hubungannya satu sama lain.
5. Persangkaan semacam ini hanya boleh diperhatikan dalam hal undang-
undang membolehkan pembuktian dengan saksi.

Hakim bebas dalam menemukan persangkaan berdasarkan kenyataan.


Setiap peristiwa yang telah terbukti dalam persidangan dapat digunakan sebagai
persangkaan jika memenuhi syarat-syarat tersebut diatas.

Adapun tata cara pembuktian dengan persangkaan karena bukan


merupakan alat bukti yang berdiri sendiri melainkan berpijak pada kenyataan lain

90
yang telah terbukti, maka untuk menyusun bukti persangkaan harus dibuktikan
dahulu fakta-fakta yang mendasarinya.

Apabila fakta-fakta yang mendasarinya telah dibuktikan maka hakim dapat


menyusun bukti persangkaan dalam pertimbangan hukumnya sesuai hukum
berfikir yang logis, dengan memenuhi syarat-syarat tersebut di atas.28

4. Pengakuan
Alat bukti pengakuan diatur dalam pasal 164-176 HIR/311-313 RBg.
Menurut R Subekti, sebenarnya adalah tidak tepat untuk menamakan
pengakuan suatu alat bukti, karena justru apabila dalil-dalil yang dikemukakan
oleh salah satu pihak diakui oleh pihak lain, maka pihak yang mengajukan dalil-
dalil itu tidak usah membuktikannya. Dengan diakuinya dalil-dalil tadi, pihak
yang mengajukan dalil-dalil itu dibebaskan dari pembuktian. Pembuktian hanya
perlu diadakan terhadap dalil-dalil yang dibantah atau disangkal. Malahan kalau
semua dalil-dalil yang dikemukakan itu diakui, dapat dikatakan tidak ada suatu
perselisihan.
Pengakuan yang dikemukakan terhadap suatu pihak, ada yang dilakukan
dimuka hakim, dan ada yang dilakukan di luar sidang pengadilan.
Pengakuan yang diucapkan dihadapan hakim, adalah merupakan bukti
yang sempurna memberatkan orang yang mengucapkannya, baik sendiri maupun
dengan bantuan orang lain, yang khusus dikuasakan untuk itu.
Pemberian kekuatan pembuktian yang sempurna kepada pengakuan,
menurut Wirjono Prodjodikoro, sebetulnya sedikit banyak bertentangan dengan
ketentuan pasal 178 HIR atau pasal 189 RBg.
Suatu pengakuan dimuka hakim tidak dapat ditarik kembali, kecuali
apabila dibuktikan bahwa pengakuan itu adalah akibat dari suatu kekhilafan
mengenai hal-hal yang terjadi. Juga suatu pengakuan tidak dapat ditarik kembali
dengan alasan-alasan seolah-olah yang melakukannya khilaf tentang hukum.
Pengakuan dengan lisan yang dilakukan di luar persidangan diserahkan
kepada pertimbangan hakim untuk menentukan gunanya. Suatu pengakuan lisan
yang dilakukan di luar sidang pengadilan tidak dapat dipakai, selain dalam hal-hal

28
Mukti Arto, op.cit, h.

91
dimana diizinkan pembuktian dengan saksi-saksi. Artinya pengakuan diluar
sidang pengadilan itu tidak merupakan bukti bebas.
Undang-undang hanya mengenal alat bukti pengakuan lisan diluar
persidangan, sedangkan dalam praktek juga dikenal suatu pengakuan di luar
sidang yang di lakukan secara tertulis, yang juga mempunyai kekuatan sebagai
bukti bebas. Pengakuan di luar sidang yang dilakukan secara tertulis ini dapat
dimasukan ke dalam tulisan-tulisan atau surat-surat yang bukan akta, yang sudah
dibicarakan pada waktu menguraikan tentang alat bukti tulisan atau surat.
Kalau pengakuan lisan diluar sidang harus dibuktikan dahulu dengan
bukti-bukti lain, sedangkan pengakuan diluar sidang yang tertulis dapat begitu
saja diajukan dimuka hakim, sebab pengakuan tertulis diluar sidang yang tertulis
diluar sidang itu dapat ditarik kembali oleh tergugat. Sedangkan pengakuan lisan
yang dilakukan dimuka sidang tidak boleh ditarik kembali,
Suatu pengakuan tidak boleh dipisah-pisah untuk kerugian orang yang
melakukannya. Namun hakim adalah leluasa untuk memisah-misah pengakuan itu
manakah si berhutang di dalam melakukannya guna membebaskan dirinya telah
mengajukan peristiwa-peristiwa yang ternyata palsu.
Sebagai contoh, Ali mendalilkan bahwa ia sudah menjual dan
menyerahkan satu container barang kepada Bambang, lalu ia menuntut
pembayaran harganya. Bambang menjawab bahwa itu memang betul, tetapi sudah
membayar. Sebetulnya dengan pengakuan ini maka Ali tidak perlu membuktikan
penjualan dan penyerahan. Tetapi dalam praktek Bambang tetap wajib
membuktikan penjualan dan penyerahan barang tersebut. Yang menjadi persoalan
jika anda terima penjualan dan penyerahan barang tersebut hilang. Hal ini akan
menyulitkan Bambang.

Bentuk Pengakuan
Pengakuan didepan hakim, dapat dibedakan atas 3 (tiga) macam ialah
sebagai berikut;
1. Pengakuan murni yaitu pengakuan yang sifatnya sederhana sesuai
seluruhnya dengan tuntutan lawan pihak lawan. Misalnya, penggugat

92
mengatakan Tergugat telah meminjam uang sebesar RP. 5.000.000,-.
Tergugat mengakui bahwa ia memang meminjam uang kepada Penggugat
sebesar RP. 5.000.000,-.
2. Pengakuan dengan kualifikasi yaitu pengakuan yang disertai dengan
sangkalan terhadap sebagian tuntutan. Misalnya penggugat mengatakan
Tergugat meminjam uang kepadanya sebesar Rp. 5.000.000,-. Tergugat
mengakui memang meminjam uang kepada Penggugat tetapi bukan Rp.
5.000.000 melainkan Rp. 2.000.000,-.
3. Pengakuan dengan klausula adalah pengakuan yang disertai dengan
tambahan yang bersifat membebaskan. Sebagai contoh, Penggugat
mengatakan tergugat meminjam uang kepadanya sebesar Rp. 10.000.000,-
tergugat mengakui memang meminjam uang kepada penggugat sebesar
Rp. 10.000.000,- tetapi uang tersebut sudah dibayar lunas.29

5. Alat Bukti Sumpah


Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat
yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan
dengan mengingat akan sifat mahakuasa daripada Tuhan, dan percaya
bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan
dihukum oleh-Nya. Jadi pada hakekatnya sumpah merupakan tindakan
yang bersifat religius yang digunakan dalam peradilan.
Dan batasan tersebut di atas dapatlah disimpulkan adanya macam
sumpah, yaitu sumpah untuk berjanji melakukan atau tidak melakukan
sesuatu yang disebut sumpah promissoir dan sumpah untuk memberi
keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian atau
tidak, yang disebut sumpah assertoir atau confirmatoir. Termasuk sumpah
promissoir adalah sumpah saksi dan sumpah (saksi) ahli, karena sebelum
memberikan kesaksian atau pendapatnya harus diucapkan pernyataan atau
janji memberikan keterangan yang benar dan tidak lain daripada yang
sebenarnya, sedangkan sumpah confirmatoir tidak lain adalah sumpah
sebagai alat bukti, karena fungsinya adalah untuk meneguhkan (confirm)
suatu peristiwa.
29
M. Taufik Makaro, op.cit, h. 144

93
Di dalam hukum acara perdata kita para pihak yang bersengketa
tidak boleh didengar sebagai saksi. Walaupun para pihak tidak dapat
didengar sebagai saksi, namun dibuka kemungkinan untuk memperoleh
keterangan dari para pihak dengan diteguhkan dengans umpah yang
dimasukan dalam golongan alat bukti.
Alat bukti sumpah diatur dalam HIR (pasal 155-158,177), Rbg
(pasal 182-185,314), BW (pasal 1929-1945).
HIR menyebut 3 macam sumpah sebagai alat bukti, yaitu :
Sumpah pelengkap (suppletoir), sumpah pemutus yang bersifat
menentukan (decicoir), dan sumpah penaksiran (aestimatoir).

a. Sumpah suppletoir (pasal 155 HIR, 182 Rbg, 1940 BW).

Sumpah suppletoir atau pelengkap ialah sumpah yang


diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak
untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai
dasar putusannya.

Untuk dapat diperintahkan bersumpah suppletoir kepada salah satu


pihak harus ada pembuktian permulaan lebih dahulu, tetapi yang belum
mencukupi dan tidak ada alat bukti lainnya, sehingga apabila ditambah
dengan sumpah suppletoir pemeriksaan perkaranya menajdi selesai,
sehingga hakim dapat menjatuhkan putusannya, misalnya apabila hanya
ada seorang saksi saja.

Karena sumpah suppletoir ini mempunyai fungsi menyelesaikan


perkara, maka mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, yang masih
memungkinkannya adanya bukti lawan. Pihak lawan boleh membuktikan
bahwa sumpah itu palsu apabila putusan yang didasarkan atas sumpah
suppletoir itu telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti, maka bagi
pihak yang dikalahkan terbuka kesempatan mengajukan request civil
setelah putusan pidana yang menyatakan bahwa sumpah itu palsu (lihat
pasal 385 Rv).

b. Sumpah Penaksiran (aestimatoir, sehattingseed)

94
Pasal 155 HIR (pasal 182 Rbg, 1940 BW) mengatur tentang
sumpah penaksiran, yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena
jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti
kerugian. Di dalam praktek sering terjadi bahwa jumlah uang ganti
kerugian yang diajukan oleh pihak yang bersangkutan itu simpang siur,
maka soal ganti rugi ini harus dipastikan dengan pembuktian. Hakim
tidaklah wajib untuk membebani sumpah penaksiran ini kepada
penggugat. Sumpah penaksiran barulah dapat dibebankan oleh hakim
kepada penggugat apabila penggugat telah dapat membuktikan haknya
atas ganti kerugian itu serta jumlahnya masih belum pasti dan tidak ada
cara lain untuk menentukan jumlah ganti kerugian tersebut kecuali dengan
taksiran,

Kekuatan pembuktian sumpah aestimatoir ini sama dengan sumpah


suppletoir, bersifat sempurna dan masih memungkinkan pembuktian
lawan.

c. Sumpah Decisoir

Sumpah decisoir atau peutus adalah sumpah yang dibebankan atas


permintaan salah satu pihak kepada lawannya (pasal 156 HIR, 183 Rbg,
1930 BW). Pihak minta lawannya mengucapkan sumpah disebut deferent,
sedang pihak yang harus bersumpah disebut delaat.

Berlainan dengan sumpah suppletoir maka sumpah decisoir dapat


dibebankan atau diperintahkan meskipun tidak ada pembuktian sama
sekali, sehingga pembebanan sumpah decisior ini dapat dilakukan pada
setiap saat selama pemeriksaan dipersidangan (pasal 165 HIR, 183 Rbg,
1930 BW).

Inisiatif untuk membebani sumpah decisior ini datang dari salah


satu pihak (defferent) dan ia pulalah yang menyusun rumusan sumpahnya.
Dan sumpah decisior itu dapat dibebankan kepada siapa saja yang dapat
menjadi pihak dalam perkara, secara pribadi atau oleh orang yang diberi
kuasa khsusus dengan akta oenetik. (pasal 157 HIR, 184 Rbg, 1945 BW)

95
Akibat mengucapkan sumpah decisior ialah bahwa kebenaran
peristiwa yang dimintakan sumpah menjadi pasti, dan lawan tidak boleh
membuktikan bahwa sumpah itu palsu, tanpa mengurangi wewenang jaksa
untuk menuntut berdasarkan sumpah palsu (pasal 242 KUHP), sehingga
merupakan bukti yang bersifat menentukan, yang berarti bahwa deferent
harus dikalahkan tanpa ada kemungkinan untuk mengajukan alat bukti
lainnya (pasal 177 HIR, 314 Rbg, 1936 BW).

Sumpah decisior dapat berupa sumpah pocong, sumpah mimbar


(sumpah di Gereja) dan sumpah klenteng. Dalam hal sumpah pocong yang
dilakukan di masjid, pihak yang akan mengucapkan sumpah dibungkus
dengan kain kafan seakan-akan ia telah meninggal dunia. Dalam perkara
Ny. Harjosugito lawan Sumanto Hadisumanto mengenai hutang piutang
yang diperiksa oleh Pengadilan Negeri Surakarta tergugat Sumanto
Hadisumanto dibebani dengan sumpah pocong dan mengatakan bahwa ia
tidak mengakui berhutang uang maupun mengambil barang-barang yang
seluruhnya lebih kurang berjumlah Rp 1.000.000,00 dari penggugat yang
dikukuhkan dengan kata-kata “demi Allah, bahwa apa yang saya ucapkan
di depan hakim adalah sejujur-jujurnya. Apabila saya bohong, maka saya
akan menerima azab, laknat, siksa, kutuk, dari Tuhan untuk kehidupan
saya. Apabila saya benar, maka azab, laknat, kutukan Tuhan akan
menimpa diri penggugat.

Berbeda dengan sumpah pocong yang terjadi di Surakarta , maka


sumpah pocong di masjid Paku Alaman tersebut tidak menyebut tentang
akibatnya apabila sumpah itu ternyata palsu. Sebagai perbandingan
dikemukakan disini lafal sumpah yang dibacakan oleh seorang hakim
anggota yang ditirukan oleh Noor Maria.

“ Bismillahhirrahmanirrahim “.

Waallahi. Demi Allah saya bersumpah, bahwa hutang saya pada Ny. Lie
Jong Sing sebagaimana tersebut dalam perkara No. 36/1976/Pdt/G/Yk, di
mana hutang tersebut menggunakan seharga Rp. 11.500.000,00 yang

96
wujudnya adalah perhiasan emas, berlian. Dimana perhiasan-perhiasan
tersebut telah saya serahkan dan diterima oleh Ny. Lie Jon Sing tersebut.

6. Pemeriksaan Setempat (Descente)


Yang dimaksud dengan pemeriksaan setempat atau descente ialah
pemeriksaan mengenai perkara oleh hakim karena jabatannya yang
dilakukan di luar gedung atau tempat kedudukan pengadilan, agar hakim
dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang
memberi kepastian peristiwa-peristiwa yang menjadi sengketa.
Ketentuan mengenai pemeriksaan setempat kita jumpai dalam
pasal 153 HIR, yang menentukan bahwa bila ketua menganggap perlu
dapat mengangkat seorang atau dua orang komisaris dari majelis, yang
dengan bantuan panitera pengadilan akan melihat keadaan setempat dan
melakukan pemeriksaan, yang dapat memberi keterangan kepada hakim
(pasal 180 Rbg). Di dalam praktek pemeriksaan setempat ini dilakukan
sendiri oleh hakim ketua persidangan.
Di dalam pemeriksaan setempat biasanya dilakukan berkenaan
dengan letak gedung atau batas tanah.

7. Keterangan Ahli (expertise)


Keterangan dari pihak ketiga untuk memperoleh kejelasan bagi
hakim dari suatu peristiwa yang disengketakan, kecuali dari saksi, kita
peroleh dari ahli yang di dalam praktek pengadilan sering juga disebut
saksi ahli.
Keterangan ahli ialah keterangan pihak ketiga yang obyektif dan
bertujuan untuk membantu hakim dalam pemeriksaan guna menambah
pengetahuan hakim sendiri.
Hakim harus memeriksa dan memutuskan perkara yang diajukan
kepadanya. Ia tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya
untuk diperiksa. Hal ini bukan karena ia dianggap ahli atau diharapakan
tidak memihak dalam menentukan atau memutuskan siapa yang benar
diantara kedua belah pihak yang bersengketa.

97
Pada umumnya hakim menggunakan keterangan seorang ahli agar
memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang sesuatu yang
hanya dimiliki oleh seorang ahli tertentu, misalnya tentang hal-hal yang
bersifat teknis, kebiasaan (usance) dalam lalu lintas dagang dan
sebagainya.
Kalau saksi maupun ahli didengar di persidangan, maka
keterangannya maupun apa yang terjadi di persidangan yang relevan harus
dicatat dalam berita acara persidangan dan kalau keterangan ahli yang
telah dicatat dalam berita acara tidak digunakan oleh hakim maka
alasannya mengapa tidak digunakan harus dimuat dalam putusannya.

BAB X
PUTUSAN HAKIM

98
A. Arti Putusan Hakim atau Putusan Pengadilan
Setelah pemeriksaan perkara yang meliputi proses mengajukan
gugatan penggugat, jawaban tergugat, replik penggugat, duplik tergugat,
dan pembuktian serta kesimpulan yang diajukan oleh pihak-pihak yang
berperkara maka hakim akan segera menjatuhkan putusan.
Putusan pengadilan merupakan sesuatu yang sangat diinginkan
atau dinantikan oleh kedua pihak karena diharapkan adanya kepastian
hukum terhadap sengketa yang mereka hadapi.
Untuk itu, hakim sebagai aparatur Negara dan sebagai wakil tuhan
yang melaksanakan peradilan harus benar-benar mengetahui duduk
perkara yang sebenar-benarnya dan peraturan hukum yang akan diterapkan
baik peraturan hukum yang tertulis dalam perundangan-undangan maupun
peraturan hukum yang tidak tertulis atau hukum adapt.
Putusan hakim sendiri adalah suatu pernyataan yang oleh hakim
sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di
persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu
perkara atau sengketa antara para pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja
yang diberi putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam
bentuk tertulis kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan.
Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada
sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan atau
mengakhiri perkara perdata.
Setiap putusan pengadilan tertuang dalam bentuk tertulis yang
harus ditandatangani oleh hakim ketua sidang dan hakim-hakim anggota
yang ikut serta memeriksa dan memutuskan perkara serta panitera
pengganti yang ikut bersidang.
Untuk mencegah adanya perbedaan antara bunyi putusan yang
diucapkan dipersidangan dengan yang tertulis, Mahkamah Agung dengan
surat edaran No. 5 tahun 1959 tanggal 20 April 1959 dan No. 1 tahun
1962 pada waktu putusan pengadilan tersebut diucapkan konsepnya harus
sudah disiapkan.
Karena jabatannya, ketika bermusyawarah hakim wajib
mencukupkan semua alasan-alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh

99
kedua belah pihak. Hakim wajib mengadili semua bagian gugatan. Hakim
dilarang menjatuhkan putusan atas hal-hal yang tidak diminta atau
mengabulkan lebih daripada yang digugat sesuai dengan ketentuan pasal
178 (1,2,3) HIR/189 (1,2,3) Rbg.
Bentuk penyelesaian perkara di pengadilan dibedakan atas dua
yakni;
1. Putusan atau vonis, dan
2. Penetapan atau beschiking

Suatu putusan diambil untuk menyelesaikan suatu perselisihan atau


sengketa (perkara), sedangkan suatu penetapan diambil berhubungan
dengan suatu permohonan, yaitu dalam rangka yang dinamakan yurisdiksi
voluntair seperti pengangkatan wali.

B. Susunan dan Isi Putusan


Suatu putusan hakim terdiri dari 4 (empat) bagian yaitu; kepala
putusan, identitas, para pihak, pertimbangan hukum dan amar.
1. Kepala Putusan
Setiap putusan pengadilan haruslah mempunyai kepala pada bagian
atas putusan yang berbunyi: “ Demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang
maha esa sesuai dengan ketentuan pasal 4 UU No. 4 tahun 2004. Kepala
putusan ini tidak dibubuhkan pada suatu putusan pengadilan, maka hakim
tidak dapat melaksanakan putusan tersebut.
Di lingkungan peradilan agama, tiap penetapan dan putusan
dimulai dengan kalimat “Bismillahirrahmanirrahim” diikuti dengan demi
keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha Esa sesuai dengan pasal 57 (2)
UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama.30

2. Identitas Para Pihak


Identitas pihak-pihak yang berperkara sebagaimana biasanya
bahwa suatu perkara atau gugatan itu mempunyai sekurang-kurangnya
dua pihak yang saling berhadapan yaitu penggugat dan tergugat, maka
30
Taufik Makaro, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, op.cit, h. 126

100
dalam putusan harus dimuat identitas dari pihak, nama, alamat,
pekerjaan, dan nama dari pengacaranya apabila ia memakai pengacara.
3. Pertimbangan atau Alasan-alasan
Pertimbangan atau alasan-alasan dalam putusan hakim terdiri atas
dua bagian yaitu pertimbangan tentang duduknya perkara dan
pertimbangan tentang hukumnya. Pasal 184 HIR/195 Rbg dan pasal 23
UU No. 14 tahun 1970 menentukan, bahwa setiap putusan pengadilan
dalam perkara perdata harus memuat ringkasan gugatan dan jawaban
dengan jelas, alasan dan dasar putusan, pasal-pasal serta hukum tidak
tertulis, pokok perkara, biaya perkara, serta hadir tidaknya pihak-pihak
yang berperkara pada waktu putusan pengadilan diucapkan.
Meskipun pasal tersebut sudah menentukan bahwa gugatan dan
jawaban dalam putusan dimuat secara ringkas saja, namun dalam praktek
dapat terjadi seluruh gugatan dan jawaban dimuat dalam putusan.
Adanya alasan sebagai dasar putusan menyebabkan putusan
mempunyai nilai obyektif, selain itu juga mempunyai wibawa.
4. Amar atau Diktum Putusan

Seperti penjelasan sebelumnya bahwa setiap surat gugatan terhadap


petitum yang memuat pokok tuntutan penggugat, karena itu dalam
putusan hakim juga harus memuat amar putusan yang memuat suatu
pernyataan hukum, penetapan suatu hak, lenyap atau timbulnya keadaan
hukum dan isi putusan yang disebut hukuman yang berupa pembebanan
suatu prestasi tertentu.

C. Macam-macam Putusan Hakim


Pasal 185 HIR/196 Rbg menentukan, putusan yang bukan
merupakan putusan akhir walaupun harus diucapkan dalam persidangan
juga, tidak dibuat secara terpisah, melainkan hanya dituliskan dalam
berita acara persidangan saja. Kedua belah pihak dapat meminta supaya
kepada mereka diberi salinan yang sah dari putusan itu dengan ongkos
sendiri.
Di pengadilan negeri dapat dibedakan putusan pengadilan atas 2
(dua) macam yaitu :

101
1. Putusan sela (tussen vonnis)
2. Putusan akhir (end vonnis)

Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan


akhir yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau
mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara.

Seperti tergugat mengajukan suatu tangkisan (eksepsi) yang


menyatakan bahwa pengadilan negeri tersebut tidak berwenang
mengadili (kompetensi abslout), karena perkara tersebut adalah
wewenang pengadilan lain.

Dalam hal ini, pasal 136 HIR menentukan eksepsi (tangkisan) yang
sekiranya hendak dikemukakan oleh orang yang digugat, kecuali tentang
hal hakim tidak berkuasa, tidak boleh dikemukakan dan ditimbang
sendiri-sendiri tetapi harus dibicarakan dan diputuskan bersama-sama
dengan pokok perkara.

Berbeda dengan perkara pidana di mana putusan sela terhadap


semua jenis eksepsi dapat diputuskan secara terpisah dari putusan akhir,
sedangkan dalam perkara perdata kecuali eksepsi tentang kewenangan
mengadili putusan sela tidak dibuat secara terpisah, melainkan hanya
dituliskan dalam berita acara pemeriksaan.

Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa macam putusan sela


yaitu:

1. Putusan preparatoir, yaitu putusan persiapan mengenai jalannya


pemeriksaan untuk melancarkan segala sesuatu guna mengadakan
putusan akhir, seperti putusan untuk menolak pengunduran sidang.
2. Putusan interlocutoir, yaitu putusan yang isinya memerintahkan
pembuktian. Seperti putusan untuk memeriksa saksi atau pemeriksaan
setempat. Karena putusan ini menyangkut masalah pembuktian, maka
putusan interlocutoir akan mempengaruhi putusan akhir.
3. Putusan Incidenteil adalah putusan yang berhubungan dengan insiden
yaitu peristiwa yang menghentikan prosedur peradilan biasa seperti

102
putusan yang membolehkan pihak ketiga ikut serta dalam suatu
perkara.
4. Putusan Provisionil, yaitu putusan yang menjawab tuntutan provisi
yaitu permintaan pihak yang berperkara agar diadakan tindakan
pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir
dijatuhkan. Seperti dalam perceraian sebelum pokok perkara
diputuskan, isteri minta dibebaskan dari kewajiban untuk tinggal
bersama dengan suaminya, karena suaminya suka menganiaya. Seperti
dalam atap rumah yang disewa oleh penggugat dirusak oleh tergugat,
sedangkan pada waktu itu musim hujan sehingga tergugat harus segera
dihukum untuk memperbaiki atap tersebut.31

Putusan akhir adalah putusan yang mengakhri perkara pada tingkat


pemeriksaan pengadilan, meliputi pengadilan tingkat pertama, pengadilan
tinggi dan Mahkamah Agung.

Putusan akhir menurut sifatnya amarnya (diktumya) dapat


dibedakan atas 3 macam ;

1. Putusan condemnatoir yaitu putusan hakim yang bersifat menghukum


salah satu pihak untuk memenuhi prestasi tersebut. Seperti putusan
hakim yang menghukum tergugat untuk mengembalikan barang,
menyerahkan sejumlah uang ganti rugi dan lain-lain kepada
penggugat.
2. Putusan deklaratoir yaitu putusan yang dijatuhkan oleh hakim yang
bersifat menerangkan bahwa telah diterapkan suatu keadaan hukum
atau menentukan adanya keadaan hukum yang dinyatakan oleh para
pihak (penggugat), seperti putusan hakim yang menyatakan anak
tersebut adalah anak sah dari pasangan suami istri Ahmad dan
Aminah, putusan tentang kelahiran seseorang, kedudukan ahli waris
dan sebagainya.

31
M. Taufik Makaro, h. 131

103
3. Putusan konstitutif yaitu putusan hakim yang bersifat ditetapkan suatu
keadaan baru atau dihapuskannya keadaan hukum, pembatalan suatu
perjanjian, putusan tentang perceraian dan lain-lain.
Di lihat dari kehadiran tergugat ke muka sidang, maka putusan akhir
dapat dibedakan di atas ;
a. Putusan kontradiktoir yaitu putusan yang dijatuhkan oleh hakim
dalam keadaan pihak tergugat pernah datang menghadap ke muka
sidang di pengadilan, meskipun tergugat tidak memberikan
perlawanan atau pengakuan.
b. Putusan verstek yaitu putusan yang dijatuhkan oleh hakim dalam
keadaan pihak tergugat tidak pernah hadir dipersidangan meskipun
telah di panggil secara patut. Dalam hal ini hakim harus
mempertimbangkan ketentuan pasal 15, 16 HIR, pasal 149, 150
Rbg dan syarat-syarat bahwa tergugat tidak pernah datang
menghadap pada hari sidang yang telah ditentukan, juga tidak
mengirimkan wakil atau kuasanya yang sah, telah dipanggil secara
patut, petitum tidak melawan hak, dan beralasan maka gugatan
dikabulkan dengan putusan verstek.32

BAB XI
UPAYA HUKUM
32
M. Nasir , op.cit, h. 197

104
A. Pengertian Upaya Hukum
Upaya hukum adalah upaya yang diberikan Undang-undang
kepada seseorang atau badan hukum perdata untuk melawan putusan
hakim dengan tujuan untuk mencegah dan atau memperbaiki kekeliruan
dalam putusan hakim tersebut akibat adanya penemuan bukti-bukti atau
fakta-fakta lain.
Dalam hukum acara perdata dikenal ada dua macam upaya hukum
yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa.
Upaya hukum biasa adalah upaya hukum yang dapat ditempuh
oleh para pihak selama tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-
undang yang bersifat menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan
putusan untuk sementara, kecuali bila putusan hakim tersebut dijatuhkan
dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoerbaar bij
vorraad), seperti yang tercantum dalam pasal 180 ayat 1 HIR.
Dalam hal ini meskipun para pihak menempuh upaya hukum biasa,
namun pelaksanaan putusan (eksekusi) dapat berjalan terus. Upaya hukum
biasa bersifat terbuka untuk setiap putusan hakim, namun wewenang untuk
menempuh upaya hukum ini hapus dengan sendirinya bila para pihak
menerima putusan yang dijatuhka oleh hakim dalam sidang yang terbuka
untuk umum. Ada tiga bentuk upaya hukum biasa yaitu perlawanan,
banding dan kasasi.
Berbeda dengan upaya hukum biasa, upaya hukum luar biasa pada
dasarnya bersifat tidak dapat menangguhkan eksekusi. Setelah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewisde) suatu
putusan hakim tidak dapat diubah dan diganggu gugat lagi. Di samping
itu, bila tidak tersedia lagi upaya hukum biasa, maka putusan hakim
tersebut telah memiliki kekuatan hukun tetap. Sedangkan putusan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sebenarnya masih tersedia upaya
hukum yang dapat ditempuh yaitu upaya hukum luar biasa. Dalam hal ini
upaya hukum istimewa adalah suatu bentuk upaya hukum yang hanya
diperbolehkan dalam hal-hal tertentu yang tersebut jelas dalam undang-
undang. Yang termasuk dalam upaya hukum luar biasa ini meliputi

105
peninjauan kembali (reguest civil) dan perlawanan pihak ketiga
(derdenverzet).

B. PERLAWANAN (Verzet)
Perlawanan (verzet) adalah upaya hukum terhadap putusan yang
dijatuhka diluar hadirnya tergugat (pasal 125 ayat 3 dan pasal 129 HIR,
pasal 149 ayat 3 dan pasal 153 Rbg). Pada dasarnya perlawanan ini
disediakan bagi pihak tergugat yang biasanya selalu dikalahkan.
Sedangkan bagi penggugat yang dengan putusan verstek dikalahkan, dapat
menempuh upaya hukum banding (pasal 8 ayat 1 Undang-undang No. 20
tahun 1947 dan pasal 200 Rbg.
Dalam praktek peradilan, perlawanan tergugat dilakukan kepada
pengadilan negeri yang menjatuhkan putusan verstek dan kedua perkara
tersebut yaitu verstek dan verzet dijadikan satu dalam register dengan
diberikan satu nomer perkara.
Menurut putusan Mahkamah Agung RI No. 307k/Sip/1975 tanggal
2 September 1976 bahwa perkara verzet terhadap putusan verstek tidak
boleh diperiksa dan diputus sebagai perkara baru yang berdiri sendiri.
Yang dapat mengajukan upaya hukum verzet adalah pihak yang
dijatuhkan putusan verstek dalam suatu perkara, dan tidak diperkenankan
bagi yang tidak memenuhi ketentuan itu.
Mahkamah Agung mengeluarkan pendapatnya bahwa upaya
hukum verzet tidak dibenarkan untuk dilakukan pihak ketiga (putusan
Mahkamah Agung RI No. 524K/Sip/1979 tanggal 7 Februari 1980 atau
dilakukan oleh isteri tergugat, sebagaimana secara jelas dinyatakan bahwa
putusan Mahkamah Agung RI No. 10K/Pdt/1984 tanggal 6 Agustus 1985.
Tenggang waktu mengajukan perlawanan merupakan syarat
penting yang harus diperhatikan secara cermat bagi pihak yang ingin
menempuh upaya hukum ini. Adapun tenggang waktu untuk mengajukan
perlawanan adalah sebagai berikut (pasal 129 ayat 1 HIR, pasal 153 ayat 1
Rbg);
- Dalam tenggang waktu 14 hari terhitung sejak putusan verstek
diberitahukan kepada tergugat secara sah dan patut,

106
- Sampai dengan hari ke-8 setelah dilakukan peringatan pelaksanaan
putusan sebagaimana ketentuan pasal 196 HIR dan 207 RBg dalam
hal pemberitahuan putusan verstek yang tidak diberitahukan kepada
tergugat itu sendiri.
- Bila tergugat tidak datang menghadap setelah dipanggil secara patut
sampai hari ke-14 setelah dilaksanakannya perintah tertulis menurut
ketentuan pasal 197 HIR dan 208 Rbg.

Kedudukan pelawan dalam perkara verzet adalah tetap sebagai tergugat,


sedangkan pihak terlawan adalah penggugat asal yang akan diletakan beban
pembuktian kepadanya (SEMA RI No. 9 tahun 1964 tanggal 13 April 1964).

Pada dasarnya perlawanan pada putusan verstek hanya sekali saja, bila
pemeriksaan tentang perlawanannya telah diputus sekali lagi dengan putusan
verstek, maka tergugat tidak dapat lagi mengajukan perlawanan (verzet) untuk
kedua kalinya. Bila tergugat tetap mengajukan perlawanan terhadap putusan
kedua ini, maka hakim harus menyatakan bahwa perlawanan tidak dapat
diterima seperti ketentuan pasal 19 ayat 5 HIR, pasal 153 ayat 6 Rbg.

C. BANDING

Bila salah satu pihak tidak puas terhadap putusan majelis hakim di
pengadilan tingkat pertama maka pihak tersebut dapat mengajukan upaya
hukum banding di pengadilan tinggi yang berada di ibu kota provinsi, dan
selanjutnya pengadilan tinggi akan memeriksa perkara tersebut secara ulang,
dan inilah yang dikenal dengan judex factie, untuk pengadilan tingkat 1 di
pengadilan negeri dan pengadilan tingkat II di pengadilan tinggi.

Hal ini dilakukan untuk memberi peluang kepada pencari keadilan


apabila dianggap perkara yang diputus di pengadilan tingkat pertama dianggap
terdapat kekeliruan dalam pemeriksaan dan penerapan hukum yang dilakukan
oleh hakim pada pengadilan tingkat pertama.

Upaya hukum banding adalah salah satu bentuk upaya hukum untuk
mendapatkan perbaikan (revisi) terhadap putusan hakim di pengadilan tingkat
pertama yang disediakan bagi pihak yang dikalahkan, sesuai dengan ketentuan

107
pasal 3 jo pasal 5 Dar No. 1 tahun 1951 dan undang-undang No. 0 tahun 1947
untuk Jawa dan Madura serta pasal 199 sampai dengan pasal 05 Rbg untuk
luar Jawa dan Madura.

Pengadilan negeri dimana putusan tingkat pertama dijatuhkan


merupakan tempat yang harus dituju dalam mengajukan permohonan banding.
Permintaan permohonan banding yang dapat diterima dicatat oleh panitera
pengadilan dalam buku register sesuai dengan pasal 10 ayat 1 UU No. 20
tahun 1947, dan selanjutnya panitera memberitahukan hal tersebut kepada
pihak lawan sesuai dengan pasal 10 ayat Undang-undang No. 20 tahun 1947,
selambat-lambatnya 14 hari setelah diterima permohonan banding, panitera
pengadilan memberitahukan kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat
melihat berkas surat-surat yang bersangkutan dengan perkaranya di kantor
pengadilan negeri selama tenggang waktu 14 hari sesuai dengan pasal 11 ayat
1 UU No. 20 tahun 1974.33

Fungsi hakim di tingkat banding memiliki kekuasaan dan wewenang


seperti hakim yang ada di pengadilan tingkat pertama. Pengadilan negeri dan
pengadilan tinggi kedua-duanya merupakan lembaga judex factie yaitu hakim
ini berfungsi memeriksa dan mengadili perkara baik mengenai faktanya
maupun aspek hukumnya. Dengan demikian, apa yang sudah diputuskan oleh
hakim di tingkat pengadilan banding mengenai duduk perkaranya atau hasil
pembuktiannya dianggap sudah final dan tidak boleh diubah-ubah lagi,
meskipun dalam pemeriksaan tingkat kasasi di Mahkamah Agung.34

D. KASASI

Kasasi adalah satu tindakan Mahkamah Agung sebagai pengawasan


tertinggi atas putusan pengadilan-pengadilan lain, untuk memperbaiki dan
menegakan hukum.

Dasar hukum yang digunakan pengadilan di tingkat kasasi adalah pasal


10 ayat (3) UU No. 14 tahun 1970 jo UU No. 4 tahun 2004, pasal ini
menyebutkan bahwa terhadap putusan-putusan yang dijatuhkan tingkat
33
Ibid, h. 213-214
34
Ibid, h. 218

108
terakhir oleh pengadilan-pengadilan lain selain Mahkamah Agung dapat
dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung.

Pasal 28 ayat (1) UU No. 14 tahun 1985 jo UU No. 5 tahun 2004


menyatakan bahwa Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa
dan memutus;

1. Permohonan kasasi
2. Sengketa tentang kewenangan mengadili
3. Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dalam ayat 2 dinyatakan bahwa untuk kelancaran pelaksanaan


tugas sebagaimana dimaksud pada ayat 1 Ketua Mahkamah Agung dapat
mengadakan pembidangan tugas dalam tubuh Mahkamah Agung.

Permohonan kasasi harus diajukan ke panitera dari pengadilan


tempat permohonan atau gugatan dijatuhkan putusan, biasanya di pengadilan
negeri (MARI No. 12 K/KR/1970 tanggal 9 Mei 1971, dan bukan diajukan di
kepaniteraan di Mahkamah Agung.

Permohonan kasasi dapat diajukan secara tertulis maupun secara


lisan dalam tenggang waktu 14 hari sesudah putusan atau penetapan
pengadilan yang bersangkutan diberitahukan kepada pemohon kasasi sesuai
dengan ketentuan dalam pasal 46 UU No. 14 tahun 1985 jo UU No. 5 tahun
2004. Dalam tenggang waktu 14 hari setelah permohonan kasasi wajib
menyampaikan memori kasasi sesuai dengan ketentuan pasal 47 UU No. 14
tahun 1985 jo UU No. 4 tahun 2004. Mengajukan memori kasasi yang
disertai dengan alasan-alasan yang relevan merupakan syarat mutlak. Memori
kasasi harus dimasukan selambat-lambatnya 14 hari setelah permohonan
kasasi diajukan. Pihak lawan berhak mengajukan kontra kepada panitera
paling lambat 14 hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasasi sesuai
dengan ketentuan pasal 14 ayat 3 UU No. 14 tahun 1985 jo UU No. 5 tahun
20004.

109
Pengajuan permohonan kasasi yang melampaui tenggang waktu
yang ditentukan pasal 46 ayat (2) UU No. 14 tahun 1985 jo UU No. 5 tahun
2004 atau penerimaan memori kasasi yang melampaui tenggang waktu yang
ditentukan dalam pasal 47 UU No. 14 tahun 1985 jo UU No. 5 tahun 2004
harus dinyatakan tidak dapat diterima. Disamping itu tanpa mengajukan
risalah kasasi dapat menyebabkan tidak diterimanya permohonan kasasi.35

Ada tiga bentuk putusan kasasi Mahkamah Agung yaitu:

1. Permohonan kasasi tidak dapat diterima


Bila permohonan kasasi tidak memenuhi syarat formal, maka permohonan
kasasi harus dinyatakan tidak dapat diterami. Beberapa syarat formal
antara lain adalah;
a. Terlampaunya tenggang waktu untuk mengajukan kasasi.
b. Surat kuasa khusus yang tidak memenuhi syarat
c. Belum dipenuhinya upaya hukum lain (verzet dan banding)
d. Terlambat atau tidak mengajukan memori kasasi
2. Permohonan kasasi ditolak
Mahkamah Agung dapat menolak permohonan kasasi apabila;
a. Yudex factie tidak ada kesalahan atau kekeliruan dalam menerapkan
hukum.
b. Kejadian atau peristiwa tidak menjadi wewenang hakim kasasi seperti
penilaian hasil penelitian, penghargaan atas suatu fakta dan lain-lain.
c. Memori kasasi tidak relevan dengan pokok perkara.
3. Permohonan kasasi dikabulkan
Permohonan kasasi dikabulkan berarti alasan-alasan atau keberatan yang
diajukan oleh pemohon kasasi dalam memori kasasinya dibenarkan oleh
Mahkamah Agung. Hal ini juga berarti bahwa yudex factie telah salah atau
keliru dalam penerapan hukum atau karena alasan hukum lain.

DAFTAR PUSTAKA

35
M. Nasir, ibid, h. 222

110
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000
M. Nasir, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Djambatan, 2003
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Hakim, Jakarta: Sinar Grafika, 2005
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama: UU
No. 7 tahun 1989, Jakarta: Sinar Grafika, 2001
M. Rum Nessa, Teori dan Praktek Peradilan, Makalah disampaikan dalam
Pelatihan Calon Pengacara Pada Peradilan Agama, Pusdiklat Departemen
Kehakim, 4-10 Oktober 1999
Taufik Makaro, M, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2004
R. Subekti, Hukum Acara Perdata , Bandung: Bina Cipta, 1989
Retnowulan, Hukum Acara Perdata dalam teori dan praktek
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Penerbit
Liberti, 2002
Umar Mansur, Penyitaan menurut Teori dan Praktek Pada Peradilan Agama,
Bandung: Sumber Bahagia, 1992
Zairin Noor, Sita Jaminan dan Sita Eksekusi serta Perlawanan; Makalah
disampaikan pada pelatihan Praktek Kepengacaraan, PKBH IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 26

111

Anda mungkin juga menyukai