Anda di halaman 1dari 10

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

Harmono, S.H.,M.H

Materi Kuliah :

1. Pengertian Hukum Acara PA dan hubungannya dengan Hukum Materiil

2. Sumber-sumber Hukum Acara PA

3. Macam-macam Perkara PA

4. Asas –asas Peradilan Agama

5. Kedudukan dan Kewenangan PA

6. Pendaftaran Gugatan/Permohonan

7. Pemeriksaan Perkara

8. Pembuktian

9. Putusan/penetapan

10. Upaya Hukum

11. Eksekusi

12. Advokasi.

Referensi :

1. Peradilan Agama di Indonesia : H.A.Basiq Djalil

2. Hukum Acara Peradilan Agama : Raihan A. Rasyid

3. Hukum Acara PA : A. Manan

4. Kedudukan,Kewenangan dan Acara Peradilan Agama : Yahya Harahap

5. UU Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009

6. UU Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 ; UUPA No. 3 Tahun 2006; UUPA No. 50 Tahun
2009

7. UUPerkawinan No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975

8. HIR dan RBg

9. Hukum Perdata ( BW) Buku IV


I. PENGERTIAN

Hukum Acara disebut juga dengan hukum formil, yaitu :

“ Hukum yang mengatur cara menyelesaikan perkara melalui Pengadilan sejak diajukan
gugatan sampai dengan pelksanaan putusan (eksekusi)”

Atau:

“Hukum yang mengatur cara mempertahankan hukum materiil”

Atau :

“ Rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan
dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak untuk melaksanakan
peraturan hukum perdata”(Wirjono Projodikuro).

Hukum Acara Perdata (Formal Civil Law):

“Peraturan hukum yang berfungsi untuk mempertahankan berlakunya hukum perdata”

Peradilan Agama:

“Salah satu kekuasaan kehakiman yang bertugas memeriksa, memutus dan menyelesaikan
(melaksanakan putusan) perkara perdata tertentu bagi orang Islam”

Hukum Acara Peradilan Agama:

“ Hukum yang mengatur bagaimana cara melaksanakan hukum perdata bagi orang Islam

Hukum Perdata atau Pidana disebut juga dengan Hukum Materiil:

“ Hukum yang mengatur bagaimana seseorang harus bertindak terhadap orang lain, apa
yang boleh dilakukan dan apa yang dilarang untuk dilakukan serta sangsi apa yang harus
diterima bagi orang yang melanggarnya”

Hukum Pidana:

“Hukum yang mengatur tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) dan sangsi yang harus
diterima bagi pelanggarnya”

Aspek Perkara Pidana:

1. Perbuatan pidana sifatnya merugikan negara, kepentingan umum, mengganggu kewibaan


pemerintah, mengganggu ketertiban umum;

2. Inisiatif berperkara datang dari pihak penguasa negara/pemerintah melalui aparat


penegak hukum seperti Polisi, Jaksa, dan Hakim;

3. Pihak yang mengajukan perkara ke pengadilan disebut jaksa, polisi yang melakukan
penyidikan. Pihak yang disangka melakukan tindak pidana disebut tersangka atau tertuduh
atau terdakwa;
4. Hakim bertugas mencari kebenaran sesungguhnya (materii) secara mutlak dan tuntas;

5. Pemeriksaan perkara pidana tidak boleh dilakukan perdamaian, kecualai ada alasan
dideponir;

6. Pemeriksaan perkara pidana tidak dikenal sumpah pemutus ( decissoire);

7. Hukuman yang dibebankan oleh hakim kepada terdakwa berupa hukuman badan, denda
dan hak, yaitu hukuman mati, hukuman penjara, hukuman denda, hukuman pencabutan hak
tertentu.

Hukum Perdata:

“Hukum yang mengatur bagaimana seseorang atau pihak harus bertindak terhadap
seseorang atau pihak lain, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan serta sangsi
bagi yang malanggarnya”

Aspek Perkara Perdata:

Timbulnya perkara perdata karena terjadi pelanggarakan terhadap hak seseorang seperti
yang diatur dalam Hukum Perdata. Akibat pelanggaran tersebut menimbulkan kerugian bagi
yang bersangkutan;

1. Inisiatif berperkara datang dari pihak yang dirugikan. Hakim baru bertidak menyelesaikan
sesuai dengan hukum yang berlaku apabila pihak yang dirugikan mengajukan penyelesaian
(gugatan) kepada pengadilan.

2. Pihak yang mengajukan perkara ke pengadilan disebut penggugat, sedang pihak yang
digugat (lawan) disebut tergugat;

3. Hakim bertugas mencari kebenaran sesungguhnya dari apa yang dikemukakan dan
dituntut oleh pihak-pihak. Hakim tidak boleh memeriksa/memutus melebihi dari apa yang
diminta;

4. Pemeriksaan perkara perdata di muka persidangan selama belum diputus oleh hakim
selalu dapat ditawarkan perdamaian untuk mengakhiri perkara;

5. Pemeriksaan perkara perdata dikenal sumpah pemutus (decissoire);

6. Hukuman bagi pelanggar perkara perdata dibebankan oleh hakim kepada pihak yang
kalah berupa kewajiban untuk memenuhi suatu prestasi.

Hubungan antara Hukum Acara (formil) dengan Hukum Materiil:

“Keduanya mempunyai hubungan yang erat. Hukum materiil tidak bisa diterapkan secara
benar tanpa hukum formil. Demikian halnya, hukum formil tidak punya arti tanpa adanya
hukum materiil”

II. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama

“Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dilingkungan Peradilan Agama adalah Hukum
Acara Perdata yang berlaku dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur
secara khusus dalam undang-undang ini. ( UUPA No.7/1989, pasal 54).
Hukum Acara Perdata Peradilan Umum:

1. HIR ( Het Herziene Inlandsche Reglement) atau disebut juga RIB (Reglemen Indonesia
yang di Baharui);

2. RBg ( Rechts Reglement Buitengewestenn) atau disebut jugaReglemen untuk daerah


sebrang ( luar Jawa- Madura ).

3. Rsv atau B.Rv ( Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering), zaman Belanda berlaku


untuk Raad van Justitie.

4. BW (Burgelijke Wetboek) atau disebut KUH Perdata khususnya Buku IV tentang


pembuktian;

5. UU Nomor 2 tahun 1986, tentang Peradilan Umum.

Hukum Acara yang berlaku bagi lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama:

1. UU Nomor 48 tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman;

2. UU Nomor 14 tahun 1985, tentang Mahkamah Agung

3. UU Nomor 1 tahun a974 dan PP Nomor 9 tahun 1975, tentang Perkawinan dan
Pelaksanaannya.

Hukum Acara yang berlaku bagi lingkungan Peradilan Agama:

1. UU Nomor 7 tahun 1987, diubah dengan UU Nomor 3 tahun 2006, tentang Peradilan
Agama;

2. SK,SE Mahkamah Agung;

3. Kitab-kitab fiqih

III. MACAM PERKARA PA

1. Perkara Gugatan ( Jurisdictio Countiosa ):

a. Perkara sengketa yang melibatkan dua orang/pihak atau lebih, pihak penggugat dan
pihak tergugat;

b. Hakim memeriksa dan memutus terbatas pada apa yang digugat;

c. Hakim menerapkan perundang-undangan yang berlaku;

d. Putusan hakim hanya mengikat bagi pihak-pihak yang bersengketa

e. Produk hukumnya berupa menghukum pihak yang kalah ( Condemnatoire ) yaitu


memerintahkan untuk melakukan atau meninggalkan.

f. Putusan hakim dapat dilakukan upaya hukum ( banding, kasasi atau peninjauan kembali).

2. Perkara Permohonan ( Jurisdictio Voluntaria ) :

a. Perkara yang hanya melibatkan satu pihak ( pemohon ) dan tidak ada sengketa;
b. Hakim dapat menetapkanp lebih dari apa yang dimohon;

c. Hakim lebih bebas menggunakan kebijakan;

d. Ketepan hakim dapat mengikat pada orang lain;

e. Produk hukumnya berupa penetapan (Diclarataoire)yaitu pernyataan hukum;

f. Penetapan hakim tidak bisa dilakukan upaya hukum.

IV. ASAS-ASAS PERADILAN AGAMA

1. Asas Umum:

A. Asas Kebebasan:

Pengadilan (hakim) dalam menjalankan tugasnya (memeriksa dan mengadili/ memutus


perkara tidak dipengaruhi atau diintervensi oleh siapapun. Hakim harus bersifat independen.
Kebebasan hakim meliputi:

1. Bebas dari campur tangan pihak kekuasaan lain;

2. Bebas dari paksaan dan rekomendasi yang datang dari pihak extra judicial;

3. Bebas melaksanakan judicial, yang dibatasi dengan mengacu pada:

a. Menerapkan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang tepat dan
benar;

b. Menafsirkan hukum yang tepat melalui cara-cara pendekatan penafsiran yang


dibenarkan, yaitu penafsiran sistematik, sosilogik, analogik, linguestik atau a-contrario;

c. Mencari dan menemukan hukum (rechts vinding), dasar-dasar dan asas-asas hukum
melalui ilmu hukum, norma hukum tidak tertulis, yurisprodensi, maupun melalui pendekatan
realisme (nilai-nilai ekonomi, agama kepatutan dan kelaziman).

Dasar pijakan:

- Pasal 3UU Nomor : 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

- Pasal 53 (4) UU nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

- Pasal 5 (2), 12 920 UU Nomor 3 tahun 2006 tetang Peradilan Agama

B. Asas Wajib Mendamaikan:

1. Penyelesaian perkara dengan perdamaian lebih utama dari pada melalui putusan hakim.

2. Hakim, setidaknya diawal persidangan, wajib (imperatif) berusaha mendamaikan masing-


masing pihak yang bersengketa (HIR ps. 130 - 131, RBg.ps. 154 ayat 1).

3. Upaya memndamaikan secara formal dilakukan melalui mediasi.


4. Dalam perkara perceraian, usaha mendamaikan dilakukan setiap kali sidang pemeriksaan
selama perkara belum diputus (UUP No 1/1974 ps. 39; PP No./1975,ps 31 ayat 1-2; UUPA
No. 7/1989 ps 82-83)

5. Bila terjadi perdamaian, hakim membuat Akta perdamaian dan putusan damai tidak dapat
diajukan banding atau diajukan kembali dalam perkara yang sama.

6. Akibat hukum adanya pelanggaran asas ini, putusan hakim dapat dibatalkan (batal demi
hukum).

C. Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan:

Peradilan harus memenuhi harapan dari pencari keadilan yang selalu mengehendaki
peradilan yang cepat, tepat, adil dan biaya ringan (UUK No. 48/2009, ps 2 ayat 4; UUPA No
7/1989 ps 57 ayat 3, beserta penjelasannya).

- Sederhana : Tidak memerlukan periksaan yang berbelit-belit.

- Cepat : Tidak memerlukan waktu yang terlalu lama.

- Tepat : Tidak mengurangi pembuktian untuk memperoleh keadilan/kebenaran.

- Biaya Ringan : Sesuai dengan jangkauan masyarakat

D. Asas Persidangan Terbuka untuk Umum:

1. Pada prinsipnya pemeriksaan dalam persidangan harus terbuka. Semua orang boleh
menyaksikan proses jalannya persidangan (fair trail), dengan tujuan: Terhindar dari
persidangan dan putusan yang tersembunyi (UUKK No. 48/2009, ps 13; UUPA No.7/1989,
ps 59 ayat 1-2).

2. Penerapan asas terbuka ini dikecualikan perkara perceraian (Lex spicialis drogat lex
generalis), (UUPA No 7/1989, ps 80 ayat 2, ps 81 ayat 1; PP No 9/1975, ps.33, ps 34, ayat
1).

3. Pemberlakuan sidang tertutup dalam perkara perceraian dilakukan apabila pemeriksaan


telah memasuki pokok perkara, dengan ketentuan:

- Sidang tertutup dalam masalah perceraian bersifat imperatif untuk menjaga privatisasi.

- Putusan hakim tetap diucapkan dalam sidang terbuka yang bersifat imperatif.

4. Akibat hukum adanya pelanggaran ini, putusan hakim batal demi hukum (UUKK No. 49
ayat 3; UUPA No. 7/1989, ps 59 ayat 2).

5. Penerapan asas ini harus mempertimbangkan ketertiban, keamanan dan kelancaran


jalannya persidangan.

E. Asas Legalitas:

1. Asas legalitas mempunyai arti:

- Mengadili perkara menurut hukum yang berlaku


- Mengadili dengan tidak membeda-bedakan orang (UUKK No. 49/2009, ps.4 ayat 1; UUPA
No. 7/1989 ps 58 ayat 1).

2. Asas legalitas ini mengandung prinsip Equality:

- Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan (equal
before the law).

- Persamaan hak perlindungan oleh hukum (equal protection on the law).

- Persamaan hak mendapatkan perlakuan di bawah hukum (equal justice under the law).

3. Penerapan asas ini mendukung penegakan hukum (law enforcement).

F. Asas Aktif Memberi Bantuan (formal):

1. Dalam menjalankan peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan, hakim dalam
memimpin sidang wajib mengarahkan dan mengatur jalannya sidang menuju pada tertib
sidang.

2. Hakim bersifat aktif membantu kesulitan pihak-pihak yang berperkara sepanjang


menyangkut hukum acara (HIR,ps 119, RBg.ps 143; UUKK No. 49/2009,ps 4 ayat 2; UUPA
No. 7/1989, ps 58 ayat 2).

3. Memberi bantuan dalam bidang formal meliputi:

a. Membuat surat gugatan/permohonan bagi yang buta huruf (HIR, ps 120).

b. Memberi pengarahan tata-cara izin Prodeo (HIR, ps 237-245).

c. Menyerankan penyempurnaan surat kuasa. Syarat formal keabsahan surat kuasa:

- Harus berbentuk tertulis: - Akta di bawah tangan – Akta dibuat oleh Panitera dilegalisir oleh
Ketua Pengadilan/Hakim – Akkta Otentik yan dibuat oleh Notaris.

- Harus menyebut nama pihak yang berperkara.

- Harus menegaskan hal yang disengketakan

- Harus merinci batas-batas tindakan yang dapat dilakukan oleh penerina kuasa.

d. Menganjurkan perbaikan surat gugatan.Kesalahan gugatan bisa terjadi:

- Gugatan tidak jelas (Obscurlible).

- Salah 0rang /subyek hukum ( error in person).

- Antara positum dan petitum tidak sesuai.

e. Memberi penjelasan alat bukti yang sah/ syarat sah menjadi saksi (HIR,ps 145-146).

f. Memberi penjelasan cara mengajukan bantahan dan jawaban (eksepsi). Bantahan dapat
berupa : eksepsi obcsurlibel, Error in persona, Nebis in Idem atau menyangkut kompetensi
dll.
g. Memanggil saksi secara resmi. Saksi tidak boleh datang sendiri kecuali ada
panggilan/perintah hakim.

h. Memberi penjelasan upaya hukum:

- Tentang batas waktu Banding/Kasasi yaitu 14 hari kerja setelah putusan diucapkan atau
putusan diterima.

- Tentang cara membuat memori/risalah Banding atau Kasasi/PK.

i. Memberi penjelasan tata cara membuat Verzet atas Verstek dan Rekonpensi.

j. Mengarahkan dan membantu menformulasikan Akta perdamaian.

2. Asas Khusus:

Asas Personalitas Ke-Islam-an:

1. Pengadilan Agama berwenang mengadili Rakyat Isnonesia yang beragama islam.

2. Pengadilan Agama berwenang mengadili perkara perdata tertentu berdasarkan hukum


Islam (kewenangan mutlak/absolut competentie) (UUPA No. 3/2006 ps.49 beserta
penjelasnnya)

3. Dalam perkara perkawinan, dilihat pada saat melaksanakan ikatan hubungan perkawinan
dan dasarhukum yang dipakai (hukum Islam)

4. Dalam perkara ekonomi, dilihat hukum yang dipakai pada waktu dilakukan ikatan
perjanjian

5. Dalam perkara wakaf, zakat, dan waris, dilihat ke-Islam-an pada waktu kematian atau
terjadi pemindahan harta.

V. KEDUDUKAN DAN KEKUASAAN PA

A. Kedudukan PA.

 PA adalah peradilan tingkat pertama yang berkedudukan di Kota/Kabupaten.

 PTA adalah peradilan tingkat banding yang berkedudukan Ibu Kota Provinsi

B. Kewenangan Relatif (Relative Competentie)

 Pengadilan Agama berwenang mengadili perkara sesuai dengan wilayah kekuasaannya


(Kabupaten/Kota)

 Pengadilan Tinggi Agama berwenang mengadili perkara sesuai dengan wilayah


kekuasaannya (provinsi)

(UUPA No.3/2006, ps. 4)


 Apabila terjadi sengketa mengenai kewenangan relatif antar PA dalam satu wilayah PTA,
penyelesaiannya menjadi wewenang PTA

 Apabila terjadi sengketa mengenai kewenangan relatif antar PA dalam wilayah kekuasaan
PTA yang berbeda, penyelesaiannya menjadi wewenang MA

 Apabilla terjadi sengketa mengenai kewenangan relatif antar PTA yang berbeda,
penyelesaiannya menjadi wewenang MA.

C. Kewenangan Mutlak (Absolute Competentie)

 Pengadilan Agama berwenang mengadili perkara sesuai dengan jenis perkara yang telah
diberikan oleh undang-undang ( perkara yang terjadi antara orang-orang Islam dalam
perkara perdata tertentu).UUPA No. 3/2006 ps. 2.

 Jenis perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama ialah : Perkawinan;


kewarisan/hibah/wasiat; wakaf; zakat/shodaqah/infak; dan ekonomi syari’ah (UUPA No.
3/2006, ps 49 beserta penjelasannya)

 Apabila terjasi sengketa mengenai kewenangan mutlak antara PA dengan pengadilan


lainnya, penyelesasiannya menjadi wewenang M A.

 Apabila terjadi sengketa kewenangan menenai perbedaan domisili pihah-pihak yang


berperkara, maka yang menjadi dasar ialah domisili pihak istri dalam perkara perceraian;
domosili tergugat dalam perkara selain perkawinan; domisili penggugat apabila tergugat
tidak diketahui tempat tinggalnya; tempat objek sengeketa apabila menyangkut tanah;
domisili tempat pernikahan apabila pihak yang berperkara berada diluar negeri.

 Dalam menyelasaikan perkara PA, sumber hukum materiil yang dipakai antara lain:

a. Perkawinan (UUP No. 1/1974, PP No.9/1975; UUPA No.7/1089; KHI;Peraturan-2 yang


terkait dan Kitab-kitab fiqh)

b. Wakaf (KHI; UUW No.41/2004; PP No.28/1977;Peraturan-2 yang terkait dan Kitab-kitab


fiqh).

c. Waris,hibah wasiat ( KHI, peraturan-2 yang terkait dan kitab-kitab fiqh).

d. Zakat/shadaqah/Infak ( UUZ No. 38/1999; peraturan-2 yang terkait dan kitab-kitab fiqh).

e. Ekonomi Syari’ah ( KHES; Perundang-an perbankan, Ekonomi/Bank Syari’ah dan kitab-


kitan fiqh)

VI. PENDAFTARAN PERKARA:

A. Membuat Surat Gugatan/Permohonan:

1. Dibuat secara tertulis.

2. Isi surat gugatan/permohonan meliputi:

- Tanggal Surat Gugatan/permohonan

- Alamat kepada Ketua Pengadilan Agama.


- Identitas penggugat/Pemohon : Nama asli dan orang tua, umur, alamat rumah/tinggal,
agama, pekerjaan.

- Keterangan : Sebagai PENGGUGAT/PEMOHON.

- Kata : MELAWAN.

- Identitas tergugat/termohon : Nama asli dan orang tua, umur, alamat rumah/tinggal,
agama, pekerjaan.

- Keterangan : Sebagai TERGUGAT/TERMOHON.

- Posita/positum (fondamental petendi), meliputi:

• Uraian singkat kronologis kejadian/peristiwa hubungan hukum.

• Uraian dasar hukum ( rechts grounden).

- Petitum/tuntutan/permohonan, meliputi:

• Mengabulkan gugatan/permohonan (formal).

• Tuntutan utama (primer).

• Tuntutan Tambahan (subsider).

• Tanda tangan dan nama terang di atas meterai.

Silahkan anda cari seluk beluk informasi/ kasus yang terkait dengan Perkawinan, keluarga
dll, untuk kita diskusikan

Anda mungkin juga menyukai