Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH HUKUM ACARA PERDATA

ASAS-ASAS HUKUM PERDATA


Majo, S.H., M.Hum

OLEH
Della Putri Ramadhani (11000118130469)

FAKULTAS ILMU HUKUM


UNIVERSITAS DIPONEGORO
2020
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum perdata yang berlaku di Indonesia didasarkan pada Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945, yang pada pokoknya menentukan bahwa segala peraturan
dinyatakan masih berlaku sebelum diadakan peraturan baru menurut UUD. Dalam hal ini,
hukum perdata yang digunakan adalah hukum yang berlaku pada masa penjajahan yaitu
BW. Diberlakukannya hukum Belanda ini bertujuan untuk mencegah terjadinya
kekosongan hukum (rechtvacuum) dibidang hukum perdata.
Berlakunya hukum perdata ini didasarkan beberapa pertimbangan salah satunya
bahwa apabila sepanjang hukum tersebut tidak bertentangan dengan Pancasil dan UUD
serta jika perundang-undangan tersebut masih dibutuhkan sebagai tata hukum nasional,
maka hukum tersebutkan akan tetap diberlakukan.1
Untuk melaksakan Hukum Materiil Perdata, terutama apabila ada pelanggaran
atau guna mempertahankan berlangsungnya hukum materiil perdata, diperlukan adanya
rangkain peraturan-peraturan hukum lain, disamping hukum perdata itu sendiri. Peraturan
hukum ini dikenal dengan hukum formil atau Hukum Acara Perdata.2
Hukum perdata materiil tidak dapat berlaku tanpa adanya dukungan dari Hukum
Acara Perdata. Prof. DR. Wirjono Projodikuro.,3 mengemukakan bahwa yang dimaksud
dengan Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana
orang harus bertindak dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan harus bertindak
satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan Hukum Perdata.
Hukum acara perdata juga dapat disebut hukum formil karena menatur proses
penyelesaian perkara lewat hakim (pengadilan) secara formil. Hukum Acara Perdata
mempertahankan berlakunya hukum perdata.4
Sama halnya dengan Hukum Perdata Materiil, dasar hukum dari Hukum Acara
Perdata adalah Aturan Peralihan Pasal II dan IV UUD RI 1945 tertanggal 18 Agustus
1945 jo. Peraturan Pemerintah 1945-2 tertanggal 10 Oktober 1945 yaitu masih

1
Tutik, S.H., M.H. “Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional.” Kencana, 2015. Hal 20
2
Benny Rijanto, S.H., C.N., M.Hum. "Sejarah, Sumber, dan Asas-asas Hukum Acara Perdata." Tinjauan Mata
Kuliah. Hal 3
3
H. Abdul Manan, S. SH. “Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama Ed. 2.” Kencana,
2016. Hal 2
4
Abdulkadir Muhammad, “Hukum Acara Perdata Indonesia” Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1990. Hal 16-18
diberlakukannya Hukum masa colonial. Dalam hal ini, hukum acara perdata yang
dipergunakan masa masa penjajahan Belanda – HIR (Herzeine Indonesisch Reglement
untuk Jawa dan Madura) dan RBg (Recht Reglement voor de Buitengewesten untuk luar
Jawa dan Madura) – masih diberlakukan.
Diberlakukannya hukum colonial tersebut pun berdampak pada beberapa asas
yang menjadi dasar dari ketentuan Hukum Acara Perdata. Asas-asas ini didasarkan pada
HIR dan RBg.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka masalah yang timbul adalah:
1. Bagiamana asas-asas Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia?
2. Bagaimana asas-asas Hukum Acara Perdata tersebut dapat memberi
keadilan?
C. Tujuan
Tujuan dibuatnya artikel ini adalah untuk mengetahui bagiamana:
1. Asas-asas Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia
2. Asas Hukum Acara Perdata tersebut dapat memberi keadilan
PEMBAHASAN
A. Asas-Asas Hukum Acara Perdata
Dalam proses penegakan Hukum Perdata melalui Hukum Acara Perdata terdapat
asas-asas, yaitu diantaranya:
a. Asas Hakim Bersifat Menunggu
b. Asas Hakim Pasif
c. Asas Hakim Aktif
d. Asas Sifat Terbukanya Persidangan
e. Asas Mendengar Kedua Belah Pihak (Audie et Alteram Partem)
f. Asas Tidak Berpihak (Impartialitas)
g. Asas Putusan Harus disertai Alasan-Alasan
h. Asas Beracara dengan Biaya
i. Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan
j. Asas Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
k. Asas Religiusitas Putusan yang Memuat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”

1. ASAS HAKIM BERSIFAT MENUNGGU

Asas ini maksudnya adalah hakim bersifat menunggu datangnya tuntutan hak
yang diajukan kepadanya, jika tidak ada tuntutan hak atau penuntutan maka hakim
tidak akan menangangi suatu perselisihan. Asas ini diatur dalam Pasal 118 HIR jo.
Pasal 142 RBg.
Tuntutan hak diajukan oleh pihak yang berkepentingan atau merasa dirugikan,
sedangkan hakim menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan padanya
istilahnya “judex ne procedat ex officio”5
Dalam Jurisdictio Contentiosa selalu ada dua pihak yang berpekara sedangkan
dalam Jurisdiction Voluntaria (permohonan gugatan) hanya ada satu pihak yang
berkepentingan.6

5
Asikin, H. Zainal. “Hukum acara perdata di Indonesia.” Prenada Media, 2019. Hal 9
6
M Rasyid, L., & Herinawati, H. “Hukum Acara Perdata.” Unimal Press. 2015. Hal 21
Akibat dari asas ini adalah bahwa hakim tidak boleh menolak suatu tuntutan
dengan alasan bahwa tidak ada dasar hukum atau hukum yang berlaku tidak jelas
karena ada asas ius curia novit dimana hakim dianggap semua hukum sehingga
dilarang menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan padanya.
Apabila hukumnya memang tidak ada maka hakim harus melakukan rechtvinding
atau penemuan hukum, bila ternyata ada hukum yang berlaku namun kurang jelas
hakim harus melakukan rechtverfijning atau penafsiran hukum.
2. HAKIM BERSIFAT PASIF
Pasif disini artinya bahwa hakim tidak menentukan luas dari pokok sengketa. 7
Dalam memeriksa perkara perdata oleh hakim harus dilakukan sesuai koridor apa
yang menjadi tuntutan saja (ultra petitum partium) dalam arti bahwa ruang lingkup
atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya
ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim.
Hakim terikat pada peristiwa yang menjadi sengketa yang diajukan para pihak
serta merekalah yang diwajibkan untuk membuktikan bukan hakim atau yang disebut
verhandlungsmaxime.8
3. HAKIM BERSIFAT AKTIF
Sifat hakim yang aktf diimplementasikan saat memimpin persidangan selaku
pimpinan sidang, memeriksa perkara, melancarkan jalannya sidang, membantu para
pihak mencari kebenaran, menjatuhkan putusan, sampai dengan pelaksaan
putusannya (eksekusi).
Keharusan hakim aktif dalam beracara dengan HIR/RBg mulai tampak pada saat
penggugat mengajukan gugatannya.9 Pasal 119 HIR, 143 RBg menentukan bahwa
ketua pengadilan negeri berwenang memberi nasihat dan pertolongan waktu
dimasukkannya gugatan tertulis, baik kepada penggugat sendiri maupun kuasanya.
Menurut Pasal 178 ayat (1) HIR jo. 189 ayat (1) RBg sifat hakim yang aktif
diwujudkan saat menjatuhkan putusan, bahwa hakim wajib menambahkan dasar
hukum yang tidak dikemukakan oleh para pihak.

7
Asikin, H. Zainal, op. cit. Hal 10
8
Ibid.,
9
Benny Rijanto., op. cit. Hal 27
Berkebalikan dengan verhandlungsmaxime, ada asas untersuchmaxime,10 yaitu
dalam hal mengumpulkan bahan pembuktian, undang-undang mewajibkan kepada
pngadilan untuk mengklarifikasi fakta secara ex officio meskipun tidak diminta oleh
pihak manapun.
Dalam Pasal 132 HIR jo. 156 RBg hakimlah yang menentukan pemanggilan,
menetapkan hari persidangan, serta memerintahkan supaya alat-alat bukti yang
diperlukan disampaikan ke depan persidangan. Bahkan, jika perlu, hakim karena
jabatan memanggil sendiri saksi-saksi yang diperlukan. Selain itu, hakim juga berhak
memberi nasihat, menunjukkan upaya hukum, dan memberikan keterangan kepada
pihak-pihak beperkara
4. ASAS TERBUKANYA PERSIDANGAN
Dalam pasal 13 ayat (1) UU No. 48 ahun 2009 dinyatakan bahwa “Semua sidang
pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang
menentukan lain.” Sidang pemeriksaan perkara di pengadilan pada asasnya adalah
terbuka untuk umum. Ini berarti bahwa setiap orang dibolehkan menghadiri dan
mendengarkan pemeriksaan perkara di persidangan.
Tujuan dari asas ini adalah untuk memberi perlindungan hak-hak manusia serta
menjamin objektivitas peradilan dengan melakukan pemeriksaan yang jujur, tidak
memihak, serta putusan yang adil.
Menurut Pasal 13 ayat (2) UU No. 48 tahun 2009, putusan hakim harus
diumumkan dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum (openbaar). Hal ini
merupakan syarat mutlak yang apabila tidak dipenuhi mengakibatkan putusan tidak
sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum dengaan akibat putusan adalah batal demi
hukum.
5. ASAS MENDENGAR KEDUA BELAH PIHAK (Audie et Alteram Partem) /
ASAS TIDAK BERPIHAK (Impartialitas)
Sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, menyatakan bahwa Pengadilan mengadili menurut hukum
dengan tidak membedakan orang. Dalam peradilan hukum perdata, kedua pihak harus

Busmann S. CW Busmann. “Hoofdstukken van burgerlijke rechtsvordering – Chapters of Civil Procedure.” 1955.
10

Hal 28
diperlakukan sama, tidak memihak, dan didengar bersama-sama serta diberikan
kesempatan masing-masing untuk memberi pendapatnya.
Audie et Alteram Partem berarti bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan
dari salah satu pihak sebagai benar apabila pihak lawan tidak didengar atau tidak
diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. 11
Dengan adanya asas ini, hakim dalam mengadili siatu perkara harus obyektif dan
netral serta tidak berpihak kepada siapapun12 kecuali pada hukum dan keadilan
sehingga para pihak yang berperkara di pengadilan akan percaya sepenuhnya bahwa
apa yang akan diputuskan oleh hakim nantinya akan sesuai dengan ketentuan hukum
dan rasa keadilan yang diinginkan.
6. ASAS PUTUSAN HARUS DISERTAI ALASAN-ALASAN

Semua putusan hakim (pengadilan) harus memuat alasan-alasan putusan yang


dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal 23 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970,
Pasal 184 ayat (1) HIR, Pasal 195 RBg, 61 Rv). Karena adanya alasan-alasan itulah,
putusan hakim (pengadilan) mempunyai wibawa dan bukan karena hakim tertentu
yang telah menjatuhkannya.

Putusan yang tidak lengkap atau kurang pertimbangannya (onvoldoende


gemotiveerd) dapat menjadi alasan untuk melakukan kasasi dan putusan demikian
harus dibatalkan (Putusan MA. No. 638 K/Sip/1969 dan No. 492K/Sip/1970). Agar
lebih dapat untuk dipertanggungjawabkan, maka suatu putusan, sering juga didukung
yurisprudensi dan doktrin atau ilmu pengetahuan.

Untuk tercapainya putusan yang penuh keadilan melalui asas ini maka putusan
hakim harus didasarkan pada hukum. Hal ini didasarkan pada Pasal 5 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang menentukan bahwa hakim harus mengadili
menurut hukum. Ketentuan demikian itu didasarkan pada ketentuan yang berada
dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam HIR ataupun RBg.
Oleh karena itu, dalam melaksanakan kewajibannya yang demikian itu, dituntut
keterampilan dan intelektualitas seorang hakim.

11
Benny Rijanto., op. cit. Hal 31
12
Sunarto. “Peran aktif hakim dalam perkara perdata.” Kencana, 2014. Hal 46
7. ASAS BERACARA DENGAN BIAYA

Seseorang yang akan beperkara di pengadilan pada asasnya dikenakan biaya


(Pasal 182, 183 HIR, 145 ayat (4), 192—194 RBg). Biaya perkara ini meliputi biaya
kepaniteraan dan biaya untuk panggilan, pemberitahuan para pihak, serta biaya
materai. Di samping itu, apabila diminta bantuan seorang pengacara, harus
dikeluarkan biaya.

Akan tetapi, mereka yang memang benar-benar tidak mampu membayar biaya
perkara dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (pro deo)13 dengan
mendapatkan izin untuk dibebaskan dari membayar biaya perkara dan dengan
melampirkan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh pejabat setempat. Hal
ini didasarkan pada Pasal 237 HIR yang menyatakan bahwa orang yang menggugat
atau digugat di muka pengadilan, tetapi tidak mampu membayar biaya perkara, dapat
diberi izin untuk sama sekali beracara dengan cuma-cuma.

Mereka yang benar-benar tidak mampu dan kurang mengerti hukum pada saat ini
dapat pula meminta bantuan hukum dengan cuma-cuma kepada lembaga-lembaga
atau biro-biro bantuan hukum yang ada di lingkungan fakultas hukum universitas-
universitas negeri ataupun swasta serta yang bernaung di bawah organisasi-organisasi
sosial dan politik, seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Lembaga Konsultasi dan
Penyuluhan Hukum (LPPH), Lembaga Bantuan Hukum MKGR, dan lain-lain.

8. ASAS PERADILAN SEDERHANA, CEPAT, DAN BIAYA RINGAN

Pasal 2 ayat (4) UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman


menyatakan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.
Ketentuan tersebut bertujuan untuk memenuhi harapan para pencari keadilan agar
para pencari keadilan dalam rangka mempertahankan haknya di pengadilan ada
kepastian tentang: bagaimana tata cara mempertahankan hak, kapan dapat
memperoleh hak tersebut serta berapa biaya yang harus dikeluarkan guna
memperoleh hak tersebut.14

13
Benny Rijanto., op. cit. Hal 36
14
Sunarto, op. cit., Hal 45
‘Sederhana’ artinya pemeriksaan dan penyelesaian perkara dengan cara efisien
dan efektif, acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Semakin
sedikit dan sederhana formalitas yang diwajibkan dalam beracara di muka pengadilan
maka akan semakin baik

‘Cepat’berhubungan dengan proses pemeriksaan perkara di peridangan yang


meliputi proses pembuatan berita acara persidangan dan penyerahan salinan putusan
kepada para pihak serta meminimalisir upaya para pihak yang sengaja menunda
proses persidangan tanpa alasan yang jelas.

‘Biaya ringan’ yaitu merujuk pada biaya yang akan dipikul oleh para penuntut
hak, meliputi biaya kepaniteraan pengadlan dan biaya materai; biaya saksi, saksi ahli
dan juru bahasa, termasuk biaya sumpah mereka; biaya pemeriksaan setempat; gaji
pejabat yang melakukan panggilan. Hal ini didasarkan pada Pasal 138 ayat (6) HIR
bahwa segala biaya yang telah disebutkan dibayar oleh pihak yang memasukkan surat
perlawanan. Namun biaya ini jika tidak dapat diusahakan oleh penuntut hak atau
penggugat maka dapat diajukan tuntutan dengan cara cuma-cuma (pro deo).

9. ASAS TIDAK ADA KEHARUSAN MEWAKILKAN

Pasal 123 HIR jo. Pasal 147 RBg tidak mewajibkan baik orang yang akan
mengajukan tuntutan maupun tergugat untuk mewakilkannya kepada orang lain
dalam beracara, sehingga pemeriksaan dalam pengadilan dapat terjadi secara
langsung terhadap pihak-pihak yang bersangkutan. Hakim tetap akan memeriksa
perkara yang diajukan padanya meski tidak mewakilkan kepada seorang kuasa.

Pasal 123 HIR menentukan bahwa seseorang dapat dibantu oleh seorang wakil,
HIR tidak menentukan siapa yang dapat ditunjuk sebagai wakil sehingga setiap orang
yang buta hukum pun dapat diminta/ditunjuk sebagai wakil di persidangan oleh
mereka yang sama sekali buta hukum. Namun, hal ini tidak akan memberi keadilan
apabila salah satu pihak adalah orang yang mengerti hukum. Jadi, adanya perwakilan
dari orang yang mengerti hukum (verplichte procureur stelling)15 tetap dibutuhkan,

15
Benny Rijanto., op. cit. Hal 38
tujuannya tidak lain untuk lebih menjamin pemeriksaan perkara yang objektif,
melancarkan jalannya peradilan, dan memperoleh putusan yang adil.

10. ASAS RELIGIUSITAS PUTUSAN YANG MEMUAT “DEMI KEADILAN


BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”

Menurut penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman diterangkan bahwa peradilan dilakukan atas dasar “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 29
UUD NRI 1945 yang mengatur bahwa:

a. Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;


b. Negara menjamin kemerdakaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya.

Dalam putusan haki, judul “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa” berfungsi sebagai tanda atau lambing bahwa putusan dapat dijalnkan dengan
paksa bila pihak yang wajib memenuhi isi putusan tidak mau memnuhinya secara
sukarela dan hal tersebut memupakan kekuatan ekstekutorial putusan hakim yang
pada dasarnya tidak dapat dilumpuhkan, kecuali sudah dipenuhi secara sukarela
(vrijwilling) apa yang ditentukan dalam dictum putusan. 16

B. Keadilan Hukum Acara Perdata

Dari asas-asas yang disebutkan diatas, apabila semuanya diterapkan dalam


beracara di pengadilan maka keadilan yang dicari oleh para pencari keadilan dapat
didapatkan serta dapat menjamin kesejahteraan para pihaknya agar putusan yang dibuat
dapat berguna bagi kepentingan kehidupan dalam bermasyarakat secara menyeluruh
tanpa terkecuali.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam beracara untukpenegakan Hukum Perdata melalui Hukum Acara Perdata
terdapat asas-asas, yaitu diantaranya: Asas Hakim Bersifat Menunggu; Asas Hakim
Pasif; Asas Hakim Aktif; Asas Sifat Terbukanya Persidangan; Asas Mendengar
16
Soepomo, R. “Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, cet. 13.” 1994. Hal 107
Kedua Belah Pihak (Audie et Alteram Partem); Asas Tidak Berpihak (Impartialitas);
Asas Putusan Harus disertai Alasan-Alasan; Asas Beracara dengan Biaya; Asas
Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan; Asas Tidak Ada Keharusan
Mewakilkan; Asas Religiusitas Putusan yang Memuat “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”; dimana asas ini harus dijalankan untuk tercapainya
keadilan yang ingin didapat oleh semua pihak.
B. Saran
Hakim, penggugat, tergugat serta kuasa hukum mereka harus berpedoman pada
asas-asas diatas guna tercapainya keadilan yang dicari oleh para pencari keadilan serta
dapat menjamin kesejahteraan seluruh piaknya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Asikin, H. Zainal. 2019. “Hukum acara perdata di Indonesia.” Prenada Media.


2. Busmann S. CW. 1955. “Hoofdstukken van burgerlijke rechtsvordering – Chapters of
Civil Procedure.”
3. M Rasyid, L., & Herinawati, H. 2015. “Hukum Acara Perdata.” Unimal Press.
4. Manan, H. Abdul, S. SH. 2016. “Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama Ed. 2.” Kencana.
5. Muhammad, Abdulkadir. 1990 “Hukum Acara Perdata Indonesia” Bandung: Citra
Aditya Bhakti.
6. R, Soepomo. 1994. “Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, cet. 13.”
7. Rijanto, Benny, S.H., C.N., M.Hum. "Sejarah, Sumber, dan Asas-asas Hukum Acara
Perdata." Tinjauan Mata Kuliah.
8. Sunarto. 2014. “Peran aktif hakim dalam perkara perdata.” Kencana,
9. Tutik, S.H., M.H. 2015. “Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional.” Kencana.

Anda mungkin juga menyukai