Anda di halaman 1dari 14

Pertemuan 3 dan 4

ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA

Kekuasaan kehakiman mempunyai beberapa asas yang menjadi dasar dari

ketentuan-ketentuan dalam kekuasaan kehakiman secara umum, asas-asas umum

peradilan yang baik diantaranya meliputi hal-hal sebagai berikut:

A. Asas Kebebasan Hakim

Asas kebebasan hakim ini dijamin di dalam peraturan perundang-

undangan, Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004 menegaskan: “Kekuasaan kehakiman

adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya

Negara Hukum Republik Indonesia”. Oleh kerena itu dalam melaksanakan

tugasnya hakim sebagai kekuasaan yang merdeka harus bebas dari campur tangan

pihak manapun juga, baik intern maupun ekstern sehingga hakim dapat dengan

tenang memberikan putusan yang seadil-adilnya. Kekuasaan Kehakiman yang

merdeka menjadi ideologi yang universal masa kini dan masa datang. Meskipun

demikian kebebasan hakim dalam melaksanakan wewenang judiciel tidak mutlak

sifatnya, secara mikro, hakim dibatasi oleh pancasila, UUD 1945, Undang-

undang, ketertiban umum, kesusilaan, dan perilaku atau kepentingan para pihak.

Sedangkan secara makro hakim dibatasi oleh sistem pemerintahan, politik,

ekonomi dan sebagainya.1

1
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-aspek Perkembangan
Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, hlm. 67.

9
Kebebasan kekuasaan kehakiman yang penyelenggaraannya diserahkan

kepada badan-badan peradilan, merupakan salah satu ciri khas negara hukum.

B. Hakim Bersifat Menunggu

Dalam hukum acara perdata, yang mengajukan tuntutan hak adalah para

pihak yang berkepentingan, sedangkan hakim bersikap menunggu datangnya

tuntutan hak yang diajukan kepadanya.2

Inisiatif berperkara di pengadilan ada pada pihak-pihak yang

berkepentingan, sedangkan hakim bersifat menunggu datangnya tuntutan hak

yang diajukan kepadanya. Ada proses atau tidak, ada tuntutan hak atau tidak

diserahkan sepenuhnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Oleh karena itu

dalam suatu perkara perdata, selama keterlibatan hakim tidak dimintakan oleh

pihak yang merasa dirugikan, hakim tidak dapat turut campur menangani dan

memutuskan perkaranya. Hal ini karena hukum acara perdata hanya mengatur

cara-cara bagaimana para pihak mempertahankan kepentingan pribadinya.3

Apabila tidak ada tuntutan hak, berarti tidak ada hakim (nemo judex sine actore).

Hakim tidak boleh menolak untuk menerima, memeriksa, mengadili dan

memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya. Walaupun dengan

menggunakan alasan tidak ada aturan hukum yang mengaturnya atau terjadi

kekosongan hukum, namun hakim harus menjalankan fungsinya dalam

memberikan kepastian hukum, Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun

2004. larangan bagi hakim menolak memeriksa dan mengadili suatu perkara

disebabkan karena dianggap bahwa hakim tahu hukum “ius curia novit”. Bila

2
Dadan Mutaqqien, Dasar Dasar Hukum Acara Perdata, hlm. 4.
3
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Loc. Cit, hlm. 67-68.
hakim tidak menemukan hukum tertulis, maka ia wajib menggali, mengikuti dan

memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, Pasal 28 Undang-

undang Nomor 4 Tahun 2004.4

Dalam kenyataannya hakim belum tentu mengetahui segala peraturan

hukum, namun pada hakekatnya seorang hakim hanya diharapkan atau diminta

mempertimbangkan benar dan tidaknya suatu peristiwa atau benar dan tidaknya

seseorang untuk kemudian hakim mempunyai tugas memberikan putusan.

Dikarenakan hanya mempertimbangkan benar dan tidaknya suatu peristiwa, maka

hakim pada kenyataannya tidak perlu tahu akan hukumnya. Mengenai hukum atau

peraturannya seorang hakim dapat menanyakan kepada ahlinya. Akan tetapi

dilihat dari perkembangan dalam ilmu pengetahuan hukum, banyaknya persoalan

hukum dan melihat kedudukan hakim atau pengadilan yang merupakan tempat

ditegakkannya hukum bagi para pencari keadilan, maka hakim dianggap tahu

akan hukum.5

C. Peradilan Terbuka Untuk Umum

Asas ini menyatakan bahwa sidang pemeriksaan di Pengadilan bersifat

terbuka untuk umum. Hal ini berarti bahwa setiap orang diperbolehkan hadir dan

mengikuti jalannya pemeriksaan perkara di persidangan. Sebelum perkara perdata

disidangkan, hakim harus menyatakan bahwa sidang perkara tersebut “dibuka”

dan dinyatakan “terbuka untuk umum” sepanjang Undang-undang tidak

menentukan lain. Bila kaedah formal ini tidak terpenuhi, maka dapat

mengakibatkan putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap

4
Dadan Muttaqien, Loc. Cit, hlm. 4.
5
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm. 11-12.
dan batal demi hukum, Pasal 19 Ayat (1), (2), Undang-undang Nomor 4 Tahun

2004. Dalam praktek peradilan, meskipun hakim tidak menyatakan secara formal

bahwa sidang terbuka untuk umum, tetapi dalam berita acara dicatat bahwa

persidangan terbuka untuk umum, maka putusan yang dijatuhkan tetap sah.6

Tujuan asas ini adalah untuk menjamin pelaksanaan peradilan yang tidak

memihak, adil dan melindungi hak asasi manusia dalam bidang peradilan sesuai

peraturan umum yang berlaku. Asas ini membuka kontrol sosial dari masyarakat,

yaitu dengan meletakkan peradilan dibawah pengawasan umum. 7 Menjamin

proses peradilan yang fair, obyektif, tidak memihak, dan adil terdapat dalam Pasal

19-20 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004.

Kriteria asas peradilan terbuka untuk umum adalah selalu diterapkan

dalam perkara kecuali Undang-undang menentukan sebaliknya. Dalam perkara

perceraian asas ini tidak dapat diterapkan karena masuk dalam masalah yang

sangat pribadi.

D. Hakim Aktif

Hakim selaku pimpinan sidang harus aktif memimpin jalannya

persidangan sehingga berjalan lancar. Hakim yang menentukan pemanggilan,

menetapkan hari persidangan serta memerintahkan supaya alat-alat bukti yang

diperlukan disampaikan dalam persidangan. Hakim juga berwenang memberikan

nasehat, mengupayakan perdamaian, menunjukkan upaya-upaya hukum dan

memberikan keterangan kepada pihak-pihak yang berperkara. Sering dikatakan

6
Dadan Muttaqien, Op. Cit, hlm. 5.
7
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Loc. Cit, hlm. 68.
dalam sistem HIR adalah hakim aktif, berbeda dengan sistem Rv yang pada

pokoknya mengandung prinsip “hakim pasif”.8

E. Asas Hakim Bersikap Pasif ( Tut Wuri )

Dalam hukum acara perdata ruang lingkup atau luas pokok sengketa

yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa ditentukan sendiri oleh pihak-pihak

yang berperkara. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha

mengatasai segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan

yang sederhana, cepat dan biaya ringan ( Pasal 4 Ayat (2) UU No. 4 Tahun

2004 ).9

Pengertian hakim bersikap pasif disini hanyalah dalam suatu perkara yang

diajukan kepadanya, hakim tidak menentukan luas pokok sengketa dan hakim

tidak boleh menambah atau mengurangi. Dalam hal tersebut, bukan berarti bahwa

hakim sama sekali tidak aktif. Sebagai pimpinan dalam persidangan hakim harus

aktif memimpin pemeriksaan perkara. Seorang hakim bukan merupakan pegawai

atau alat dari pada para pihak, tetapi hakim harus berusaha keras mengatasi semua

hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan.

Asas ini juga mengisyaratkan batasan kepada hakim untuk tidak dapat

mencegah bila para pihak mencabut gugatannya atau menempuh jalan

perdamaian, Pasal 130 HIR, Pasal 154 Rbg, dan Pasal 16 ayat (2) Undang-undang

Nomor 4 Tahun 2004. Hakim hanya berhak mengadili dalam luas pokok perkara

yang diajukan para pihak dan dilarang mengabulkan atau menjatuhkan putusan

melebihi dari apa yang dituntut para pihak, Pasal 178 ayat (2), (3) HIR, Pasal 189

8
Ibid,. hlm. 68-69.
9
Ibid,. hlm. 69.
ayat (2) Rbg. Akan tetapi dalam perkembangannya asas ini banyak mengalami

pergeseran dan perubahan, dimana hakim cenderung bersifat aktif. Dalam RUU

Hukum Acara Perdata yang akan datang harus dipertahankan hakim bersifat pasif

yang diatur dalam Pasal 133 ayat (4) RUU Hukum Acara Perdata.10

Dalam konteks ini juga dikenal asas verhandlungs-maxime yaitu hanya

peristiwa yang disengketakan saja yang harus dibuktikan. Hakim terikat pada

peristiwa yang disengketakan yang diajukan para pihak. Dengan demikian hanya

para pihak yang diwajibkan untuk membuktikan dan bukan hakim. Kebalikan dari

asas ini untersuchung-maxime yaitu hakim diwajibkan untuk mengumpulkan

bahan pembuktian untuk kepentingan pemeriksaan sengketa.11

F. Asas Kesamaan ( Audi et Alteram Partem)

Para pihak yang berperkara harus diperlakukan sama dan adil, hal ini

untuk membela dan melindungi kepentingan yang bersangkutan. Asas ini juga

menghendaki adanya keseimbangan proses dalam pemeriksaan. Hakim tidak

bolah menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai suatu yang benar, tanpa

mendengar atau memberi kesempatan pihak lain untuk menyampaikan

pendapatnya. Demikian juga pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang

yang dihadiri kedua belah pihak.12

Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

orang, seperti yang termuat dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 4

Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, mengandung arti bahwa di dalam

hukum acara perdata yang berperkara harus sama-sama diperhatikan, berhak atas
10
Dadan Muttaqien, Loc. Cit, hlm. 5.
11
Ibid,. hlm. 5.
12
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Loc. Cit, hlm. 69.
perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing harus diberi kesempatan untuk

mengemukakan pendapatnya. Asas bahwa kedua belah pihak harus didengar lebih

dikenal dengan asas “audi et alteram partem”.

G. Asas Obyektivitas

Asas obyektivitas terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004,

yang menyebutkan: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak

membedakan orang”. Maksudnya bahwa di dalam memeriksa dan memberikan

putusan, hakim harus obyektif dan tidak boleh memihak atau apriori kepada pihak

tertentu.

Upaya untuk mewujudkan obyektivitas hakim, Undang-undang

menyiapkan hak bagi pihak yang diadili, disebut hak ingkar, yaitu hak seseorang

yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai alasan-alasan terhadap

seorang hakim dengan ketua, penasehat hukum atau panitera dalam suatu perkara

atau hubungan keluarga sedarah sampai derajat ketiga atau semenda dengan orang

yang diadili, maka wajib mengundurkan diri (Pasal 29 ayat (3) UU No. 4 Tahun

2004).13

H. Putusan Disertai Alasan

Pasal 25 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 menegaskan bahwa putusan

Pengadilan harus memuat alasan dan dasar putusan serta memuat Pasal tertentu

dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak

tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Dalam hal ini menjadi kewajiban

hakim untuk memberikan pertimbangan yang cukup pada putusan yang

13
Ibid,. hlm. 70.
dijatuhkan, dimaksudkan agar jangan sampai terjadi perbuatan sewenang-wenang

dari hakim. Putusan yang tidak lengkap pertimbangan hukum merupakan alasan

untuk mengajukan kasasi dan putusan tersebut harus dibatalkan. Alasan-alasan

tersebut menyebabkan suatu putusan mempunyai wibawa dan nilai ilmiah.

Ilmu pengetahuan hukum dapat menjadi sumber untuk mendapatkan

bahan hukum guna pertanggunganjawab putusan hakim dalam pertimbangannya.

Menurut Schoulten hanya dengan mengikuti ilmu pengetahuan, hakim dapat

memberikan putusan dalam sistem hukum yang diperlukan. Putusan akan

mengambang bersifat subyektif, kurang meyakinkan bila tidak berdasarkan pada

ilmu pengetahuan hukum.14

Dengan memperhatikan asas-asas umum Peradilan yang baik,

diharapkan tujuan dari proses peradilan perdata dapat tercapai, yaitu untuk

memberikan keadilan dan kepastian hukum terhadap peristiwa yang

disengketakan para pihak dengan putusan Pengadilan. Diharapkan dengan

putusan Pengadilan pihak-pihak yang berperkara akan mendapatkan keadilan dan

hak-hak kepentingannya yang dilanggar dapat dipulihkan sebagaimana

mestinya.15

I. Tidak ada keharusan untuk mewakilkan

Dalam HIR maupun dalam Rbg tidak mewajibkan para pihak untuk

mewakilkan penyelesaian perkaranya kepada orang lain. Pemeriksaan di

persidangan terjadi secara langsung terhadap pihak-pihak yang berkepentingan.

14
Dadan Muttaqin, Op. Cit, hlm. 7.
15
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Op. Cit, hlm. 71.
Namun demikian, para pihak dapat dibantu atau diwakilkan oleh kuasa hukum

bila dikehendaki (Pasal 123 HIR, 147 Rbg).

Hakim mendapatkan kejelasan persoalan apabila pemeriksaan para pihak

dilakukan secara langsung, karena yang berkepentingan mengetahui seluk beluk

peristiwanya. Bila para pihak memberikan kuasa kepada kuasa hukumnya, maka

seringkali kuasa hukum ini kurang mendalami peristiwa yang menjadi sengketa

secara rinci. Hakim meminta penjelasan secara lebih mendalam biasanya kuasa

hukum selalu menjawab akan berkonsultasi dengan pihak yang diwakilinya. Hal

ini yang menyebabkan wewenang untuk mengajukan gugatan dengan lisan tidak

berlaku bagi kuasa hukum.16

HIR menentukan bahwa para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh

kuasa hukum namun tidak ada ketentuan bahwa kuasa hukum harus seorang ahli

hukum atau sarjana hukum, meskipun dalam praktek hampir semua kuasa hukum

yang mewakili para pihak adalah sarjana hukum.17

Berbeda dengan sistem Rv, para pihak yang berkepentingan diwajibkan

mewakilkan perkara kepada orang lain dalam beracara dimuka Pengadilan.

Perwakilan ini merupakan suatu keharusan dengan akibat batalnya tuntutan hak

(Pasal 106 ayat (1) Rv) atau diputusnya diluar hadir tergugat (Pasal 109 Rv)

apabila para pihak ternyata tidak diwakili.18

Tujuan dari pada perwakilan dikatakan wajib oleh para sarjana hukum,

hal ini tidak lain untuk lebih menjamin pemeriksaan yang obyektif melancarkan

jalannya peradilan dan memperoleh putusan yang adil.

16
Dadan Muttaqien, Op. Cit, hlm. 8.
17
Ibid,. hlm. 8.
18
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Loc. Cit, hlm. 71.
J. Beracara Dikenakan Biaya

Tidak ada biaya maka tidak ada perkara, pada prinsipnya beracara

perdata di muka pengadilan dikenakan biaya, perkara hanya bisa didaftarkan

setelah dibayar panjar biaya perkara oleh yang berkepentingan.

Dalam berperkara dikenakan biaya perkara, Pasal 121 ayat (4), 182, 183

HIR, Pasal 145 ayat (4), Pasal 192, Pasal 194 Rbg. Biaya perkara meliputi biaya

kepaniteraan, biaya pemanggilan para pihak, biaya pemberitahuan, biaya materai

dan biaya administrasi (SEMA No. 5 Tahun 1994). Demikian juga bila para pihak

menggunakan jasa pengacara atau konsultan hukum maka harus mengeluarkan

biaya.19

Bagi orang yang tidak mampu dapat mengajukan perkaranya secara

cuma-cuma (prodeo) dengan menyertakan surat keterangan tidak mampu yang

dibuat Kepala Polisi atau Camat setempat diatur dalam Pasal 237 HIR, 273 Rbg.

Permohonan perkara secara prodeo akan ditolak oleh pengadilan apabila

penggugat ternyata bukan orang yang tidak mampu.20

K. Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa” ( Pasal 4 Ayat (1) UU No. 4/2004 )

Semua lingkup peradilan yang ada di Indonesia, prosesnya harus

dilakukan atas prinsip “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Hakim harus selalu insyaf karena sumpah jabatannya, hakim tidak hanya

bertanggung jawab kepada hukum, diri sendiri dan kepada masyarakat tetapi

bertangung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.

19
Dadan Muttaqien, Op. Cit, hlm. 7.
20
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Op. Cit, hlm. 72.
Menurut Bismar Siregar, SH, kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”, bila dihayati merupakan doa dan janji antara Hakim

dengan Tuhan, yang berbunyi: “Ya Tuhan, atas nama-Mu saya ucapkan putusan

tentang keadilan ini”.21

Di dalam kepala putusan Pengadilan, harus memuat irah-irah ini agar

putusan tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk

melaksanakan putusan secara paksa apabila pihak yang dikalahkan tidak mau

melaksanakan putusan dengan sukarela.22

L. Peradilan dilakukan dengan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan ( Pasal 4

Ayat (2) UU No. 4/2004 )

Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan ditentukan dalam Pasal 4

UU Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pengertian sederhana mengacu pada

“complicated” atau tidaknya penyelesaian suatu perkara, perkataan cepat atau

“dalam tenggang waktu yang pantas” mengacu pada “tempo” cepat atau

lambatnya penyelesaian suatu perkara; sedangkan perkataan “biaya ringan”

mengacu pada banyak sedikitnya biaya yang harus dikeluarkan oleh para pencari

keadilan dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan.23

Sederhana maksudnya caranya jelas, mudah difahami dan tidak

berbelit-belit. Makin sedikit dan sederhana formalitas dalam beracara semakin

baik. Sebaliknya terlalu banyak formalitas atau peraturan akan sulit dipahami dan

akan menimbulkan beraneka ragam penafsiran sehingga kurang menjamin adanya

kepastian hukum.24
21
Ibid,. hlm. 72.
22
Ibid,. hlm. 72.
23
Setiawan, Aneka Masalah Hukum Dan Hukum Acara Perdata, hlm. 426.
24
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Op. Cit, hlm. 73.
Cepat maksudnya menunjuk pada peradilan yang cepat dan proses

penyelesaian tidak berlarut-larut. Ada pemeo “justice delayed is justice denied”

yang artinya bahwa dengan menunda-nunda keadilan sama dengan menyangkal

keadilan itu sendiri yang berakibat pada kekecewaan para pencari keadilan.

Dalam menghadapi lambatnya proses penyelesaian perkara di

Pengadilan, Mahkamah Agung sudah mengambil langkah untuk mengantisipasi

dengan mengeluarkan SEMA No. 6 Tahun 1992 tertanggal 21 Oktober 1992,

yang isinya menyebutkan bahwa dalam setiap tingkat peradilan pemeriksaan

perkara (khususnya perkara perdata), harus sudah dapat diselesaikan dalam jangka

waktu paling lama enam bulan, hanya saja Mahkamah Agung belum

mempublikasikan secara meluas evaluasi langkah yang diambil tersebut, dengan

maksud mengetahui efektivitas dari surat edaran ini.25

Biaya ringan maksudnya biaya yang serendah mungkin sehingga dapat

ditangung oleh rakyat. Biaya perkara yang tinggi akan membuat orang tidak

berminat untuk berperkara di Pengadilan. Asas ini dilakukan tanpa mengorbankan

ketelitian dan kecermatan untuk mencari kebenaran dan keadilan.

M. Susunan Persidangan dalam Bentuk Majelis

Pasal 17 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 menyebutkan bahwa: “semua

Pengadilan memeriksa dan memutus dengan sekurang-kurangnya tiga orang

hakim, kecuali apabila Undang-undang menentukan lain.” Asas hakim majelis ini

dimaksudkan untuk menjamin pemeriksaan yang subyektif guna memberikan

perlindungan hak asasi manusia dalam bidang peradilan.

25
Ibid,. hlm. 73.
Meskipun asasnya adalah hakim majelis, namun didalam prakteknya

masih banyak perkara-perkara perdata baik declaratoir maupun contradictoir dan

juga perkara-perkara pidana. Pemeriksaan dengan hakim tunggal tetap sah. Pasal

11 UU Drt. No. 11 Tahun 1955 memperbolehkan untuk memeriksa dan memutus

suatu perkara dengan seorang hakim, apabila ditentukan oleh Ketua Pengadilan

Tinggi. Penggunaan Hakim Tunggal dalam praktek umumnya dengan

pertimbangan kurangnya tenaga hakim.26

N. Pemeriksaan Dalam Dua Tingkat

Pemeriksaan perkara di lingkungan Peradilan Umum di Indonesia hanya

dilaksanakan di dua tingkat instansi Pengadilan saja, yaitu Pengadilan Negeri dan

Pengadilan Tinggi yang memeriksa perkara perdata berdasarkan faktanya. Bila

para pihak tidak puas dan tidak menerima putusan Pengadilan Negeri dapat

melakukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi.

Pemeriksaan dalam dua tingkat, yaitu:

a. Peradilan dalam tingkat pertama.

b. Peradilan dalam tingkat banding.

Peradilan banding disebut peradilan tingkat kedua karena cara

pemeriksaannya sama seperti di pengadilan tingkat pertama. Pemeriksaan tingkat

banding merupakan pemeriksaan tingkat kedua dan terakhir, karena banding

merupakan pemeriksaan terakhir dari segi peristiwa maupun hukumnya yang

mengulangi pemeriksaan secara keseluruhan.

26
Ibid,. hlm. 74.
Kasasi bukan merupakan pemeriksaan dalam tingkat ketiga karena

kasasi hanya memeriksa perkara dari segi penerapan hukumnya saja dan tidak lagi

memeriksa tentang fakta atau peristiwanya. Hal ini didasarkan pada alasan-alasan

yang dipakai sebagai dasar dalam mengajukan kasasi, hanya berdasar pada

alasan-alasan hukum saja. Dalam Pasal 30 Undang-undang Nomor 14 Tahun

1985 disebutkan alasan-alasan untuk mengajukan kasasi adalah sebagai berikut:

a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.

b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.

c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-

undangan yang mengancam kelalaian dengan batalnya putusan yang

bersangkutan.27

O. Pengawasan Putusan Pengadilan melalui Kasasi

Pengawasan putusan Pengadilan melalui kasasi dilakukan oleh

Mahkamah Agung Republik Indonesia. Putusan Pengadilan yang diawasi adalah

putusan yudex factie-nya saja yang dilakukan Pengadilan Negeri dan Pengadilan

Tinggi.

Konsekwensi dari adanya fungsi Mahkamah Agung dalam mengawasi

putusan Pengadilan lewat Kasasi, esensi asas ini mengandung dua pengertian;

a. Mahkamah Agung dapat membatalkan putusan atau penetapan Pengadilan

dari lingkungan peradilan yang ada di Indonesia.

b. Mahkamah Agung bukanlah instansi peradilan tingkat tiga.

27
Ibid,. hlm. 75.

Anda mungkin juga menyukai