Anda di halaman 1dari 129

BERKAS PERKARA SIDANG PRAKTIK HUKUM ACARAMK

BERKAS PERKARA SIDANG PRAKTIK HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI

KASPOS PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NO 3 TAHUN 2022

TENTANG IBU KOTA NEGARA

NAMA KELOMPOK :

1. Elsa Triantika (20190610084) 7. Farhan Rizki Ramadhan (20190610140)


2. Vania Elfina (20190610100) 8. Agiesta Salsabila Putri L (20190610167)
3. Vahra Fentisa Salsabila (20190610102) 9. Prioni Rahmanda Saputri (20190610180)
4. Nindya Syagita Utami (20190610105) 10. Annisa Zachra Humaira (20190610181)
5. Wiwit Putra Nuswantoro (20190610107) 11. Dzulfiqar Agvadhia (20190610184)
6. Ana Rohmatun Wamaghfirotun (20190610113) 12. Fai‟qa Syifa Irawan (20190610192)

DOSEN PENGAMPU : Dr. King Faisal Sulaiman, S.H., LLM.


INSTRUKTUR : Ervin Nugrohosudin, S.H.
KELAS : J

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


FAKULTAS HUKUM
2022
PEMBAGIAN PERAN

NO Nama Peran

1 Dzulfiqar Agvadhia Hakim Ketua

2 Prioni Rahmanda Saputri Hakim Anggota

3 Vahra Fentisa Salsabila Hakim Anggota

4 Wiwit Putra Nuswantoro Panitera

5 Ana Rohmatun Wamaghfirotun Pemohon

6 Fai‟qa Syifa Irawan Pemohon

7 Elsa Triantika Pemberi Keterangan DPR

8 Vania Elfina Pemberi Keterangan Pemerintah

9 Nindya Syagita Utami Saksi

10 Annisa Zachra Humaira Saksi

11 Farhan Rizki Ramadhan Ahli

12 Agiesta Salsabila Putri L Ahli


SURAT KUASA
SURAT KUASA KHUSUS

Saya yang bertandatangan dibawah ini :

Nama/No. KTP : Anah Mardianah


Pekerjaan : Guru
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jalan D.Gg. III Kr. Anyar RT/RW, 007/001 Karang Anyar, Jakarta Pusat,
zzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzDKI Jakarta.
Untuk Selanjutnya disebut sebagai PEMBERI KUASA

Dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya tersebut dibawah ini,
menerangkan dengan ini memberikan kuasa kepada :

1. Fai’qa Syifa Irawan S.H., M.H.

2. Ana Rohmatun Wamaghfirotun S.H., M.H.

Advokat dan Penasihat Hukum dari Kantor Advokat JUANG LAW FIRM yang
beralamat di Jl. Surabaya No.20, RT.15/RW.5, Menteng, Kec. Menteng, Kota Jakarta
Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Telp./Fax. (0274) 456178, HP. 0877715782879, E-
mail : juanglawfirm@gmail.com.

Selanjutnya disebut sebagai PENERIMA KUASA

Dalam perkara ini dapat bertindak baik sendiri maupun secara bersama-sama.

KHUSUS

Untuk dan atas nama pemberi kuasa sebagai Pemohon untuk mengajukan permohonan
Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Untuk kepentingan yang dimaksud, maka Penerima kuasa diberi kuasa untuk membuat,
menandatangani dan mengajukan permohonan di Mahkamah Konstitusi, mengajukan
bukti- bukti, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau memberikan keterangan-keterangan
yang menurut hukum harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa,
mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, dan menghadap maupun menghadiri
panggilan-panggilan dari Mahkamah Konstitusi.
Demikian surat kuasa ini dibuat dengan hak substitusi baik sebagian maupun
keseluruhannya dan untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Yogyakarta, 24 Januari 2022

Penerima Kuasa Pemberi Kuasa

Fai’qa Syifa Irawan S.H., M.H. Anah Mardianah

Ana Rohmatun Wamaghfirotun S.H., M.H.


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN PIMPINAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIKINDONESIA
NOMOR : 25/PIMP/II/2022

TENTANG
PENUGASAN KOMISI III DPR RI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PIMPINAN DAERAH PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK


INDONESIA

Menimbang : Dst
Mengingat : Surat nomor 675.73/PAN.MK/II/2022 dari Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, perihal kepada DPR RI untuk
menghadiri dan menyampaikan keterangan di persidangan
Mahkamah Konstitusi terkait dengan permohonan pengujian
Formil Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2022 tentang Ibu Kota Negara yangselanjutnya di sebut
terhadap
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Memutuska
n
Menetapkan
KEPUTUSAN PIMPINAN DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TENTANG
PENUSAN KOMISI III DALAM MENGHADAP MK
DALAM JUDICIAL REVIEW UNDANG-UNDANG
NOMOR No 3 TAHUN 2022 TENTANG IBU KOTA
NEGARA
TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Menetapkan Mengutus Elsa Triantika S.H., M.H (No. Anggota 211))
sebagai anggota Komisi III DPR RI untuk bertindak untuk dan
atas nama DPR RI
dalam persidangan Mahkamah Konstitusi;
Menetapkan Keputusan Pimpinan DPR RI ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan;

Ditetapkan di
JakarataPada Tanggal 2
Februari 2022
KETUA DPR RI

Arfi Risqi Tanafak


Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ir. H. Joko Widodo

Jabatan : Presiden Republik Indonesia

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat : Jalan Medan Merdeka Utara (Jalan Veteran), Jakarta Pusat

Jakarta 10110, Indonesia.

Yang selanjutnya bertindak sebagai PEMERINTAH dalam Persidangan Pengujian


Undang-undang dengan 53/PUU-XX/2022 selanjutnya memberikan Surat Kuasa
Substitusi kepada :

Nama : Vania Elfina SH., M.H.

Jabatan : Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat : Rumah Jabatan Anggota DPR RI Blok D-2 No. 280 Kalibata

Jakarta 12750

Untuk selanjutnya disebut sebagai --------------------------------------------------- PEMERINTAH

KHUSUS

Untuk dan atas nama serta mewakili kepentingan Pemberi Kuasa selaku PEMERINTAH

Guna mengajukan jawaban Permohonan Pengujian Para Pemohon dalam permohonannya


mengajukan pengujian atas UUIKN yang cacat formil dan dianggap bertentangan dengan
Pasal 27 ayat 1, 28D ayat 1 UUD 1945 adalah

sebagai berikut :
1. Pasal 27 ayat 1 UUD 1945
“Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya”.
2. Pasal 28D ayat 1 UUD 1945
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Yang memberikan kuasanya kepada JUANG LAW FIRM, yang beralamat Jl. Jend Sudirman
58, Jakarta Pusat dalam hal ini disebut sebagai PEMOHON dan untuk itu diberi kuasa untuk :

- Mengajukan dan menandatangi Surat Jawaban Pemerintah


- Mewakili pemberi kuasa untuk menghadap dan menghadiri sidang di Mahkamah
Konstitusi
- Mengajukan surat-surat bukti maupun surat-surat lainya, melaksanakan pemeriksaan
setempat, mengajukan dan memeriksa saksi-saksi
- Membuat dan mengajukan kesimpulan/konklusi
- Membela hak-hak serta mengurus kepentingan-kepentingan pemberi kuasa,
menghadap dan berbicara kepada hakim-hakim , dan para pihak terkait

Demikian surat tugas ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya, kepada
pihak-pihak terkait kami mohon bantuan kerjasamanya demi terlaksananya tugas ini

Jakarta, 2 Februari 2022

(Ir. H. Joko Widodo)


SURAT PERMOHONAN
Jakarta, 25 Januari 2022

Kepada Yang Terhormat,

Ketua Mahkamah Konstitusi Republik

IndonesiaDi -

JAK ART A

Dengan hormat,

Kami yang bertandatangan dibawah ini:

Nama : Anah Mardianah

Pekerjaan :xGuru

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat : Jalan D.Gg. III Kr. Anyar RT/RW 007/001, Karang

Anyar, Jakarta Pusat, DKI Jakarta.

Memberikan kuasa berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 24 Januari 2022 kepada Faiqa
Syifa Irawan, S.H., M.H. dan Ana Rohmatun Wamaghfirotun, S.H., M.H. Advokat dan
Konsultan Hukum yang tergabung dalam Juang Law Firm yang berkedudukan hukum di Jl.
Surabaya No.20, RT.15/RW.5, Menteng, Kec. Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus
Ibukota Jakarta, bertindak baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk dan atas nama
pemberi kuasa;

selanjutnya disebut sebagai PEMOHON

Dalam hal ini mengajukan Permohonan kepada Mahkamah Konstitusi perihal Permohonan
Pengujian Formil atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara
(Lembaran
Negara Republik Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor6766) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dasar dan pertimbangan pengajuan permohonan PUU, sebagai berikut:

I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI


1. Hak uji, baik formil maupun materiil, diakui keberadaannya dalam sistem hukum
Indonesia, sebagaimana terdapat dalam Konstitusi, yaitu UndangUndang Dasar 1945,
yang telah mengalami perubahan sebanyak empat kali, dalam Pasal 24 ayat (1),
menyatakan, “ Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya ... dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi”;
2. Bahwa pengaturan mengenai kewenangan hak uji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar tersebut terdapat dalam Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945 dan
Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (selanjutnya disebut “ UU Mahkamah Konstitusi”);
3. Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945
menyatakan: Pasal 24C ayat (1) UUD 1945:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”;
4. Bahwa selanjutnya Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Mahkamah Konstitusi menyatakan
bahwa, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap
Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Penjelasan Pasal 10 ayat (1)
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi
langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya
hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Undang-Undang ini mencakup pula kekuasaan hukum mengikat (final and
binding).
5. Bahwa Pasal 1 angka 3 huruf a UU Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa:
“Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah
Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;
6. Bahwa perihal permohonan uji formil undang-undang telah dirumuskan dalam Pasal
4 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman
Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, yang menyatakan bahwa:
“(3) Pengujian Formil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan proses
pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).”
7. Bahwa selanjutnya Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, menyatakan “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
8. Bahwa selain itu Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
mengatur bahwa secara hierarki kedudukan UndangUndang Dasar 1945 lebih tinggi
dari undang-undang, oleh karenanya setiap ketentuan undang-undang tidak boleh
bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Maka jika terdapat ketentuan dalam undang-undang yang bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945, maka ketentuan undang-undang tersebut dapat
dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme pengujian undang-undang di Mahkamah
Konstitusi;
9. Bahwa hak uji menurut Prof. DR. Sri Soemantri, dalam Bukunya: “Hak Uji Materiil
Di Indonesia, 1997,” ada dua jenis, yaitu Hak Uji Formil dan Hak Uji Materiil. Hak
Uji Formil menurutnya adalah “wewenang untuk menilai, apakah suatu produk
legislatif, seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure)
sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku ataukah tidak” Selanjutnya ia mengartikan Hak Uji Materiil sebagai
“wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan
perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht)
berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu” ;
10. Bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai lembaga pengawal konstitusi ( the
guardian of constitution) berwenang memberikan penafsiran terhadap sebuah
ketentuan pasal-pasal undang-undang agar berkesesuaian dengan nilai-nilai
konstitusi. Tafsir Mahkamah Konstitusi terhadap konstitusionalitas pasal-pasal
undang-undang tersebut merupakan tafsir satu-satunya (the sole interpreter of
constitution) yang memiliki kekuatan hukum, sehingga terhadap pasal-pasal yang
memiliki makna ambigu, tidak jelas, dan/atau multitafsir dapat pula dimintakan
penafsirannya kepada Mahkamah Konstitusi;
11. Bahwa berdasarkan segala uraian tersebut jelas bahwa Mahkamah Konstitusi
mempunyai kewenangan untuk melakukan pengujian baik secara materiil maupun
formil, yaitu untuk melakukan pengujian sebuah produk undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dalam
permohonan a quo adalah Permohonan Uji Formil Atas UU Ibu Kota Negara terhadap
UUD 1945.

II. TENGGANG WAKTU PENGAJUAN PERMOHONAN PENGUJIAN FORMIL


12. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009
tertanggal 16 Juni 2010, pengujian formil suatu undang-undang hanya dapat diajukan
dalam tenggat waktu 45 (empat puluh lima) hari setelah undangundang dimuat dalam
Lembaran Negara, sebagaimana pertimbangan Majelis Hakim menyatakan:
“… Sebuah undang-undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata cara sebagaimana
ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahui dibandingkan dengan
undang- undang yang substansinya bertentangan dengan UUD 1945. Untuk
kepastian hukum, sebuah undang-undang perlu dapat lebih cepat diketahui
statusnya apakah telah dibuat secara sah atau tidak, sebab pengujian secara
formil akan menyebabkan
undang-undang batal sejak awal. Mahkamah memandang bahwa 45 (empat puluh
lima) hari setelah undang-undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu
yang cukup unttuk mengajukan pengujian terhadap undang-undang”;
13. Bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara yang
dicatatkan dalam Lembaran Negara RI Tahun 2022 Nomor 41 tertanggal 15 Februari
2022, sehingga batas waktu pengajuan permohonan pengujian formil Undang-
Undanga quo adalah 1 April 2022;
14. Bahwa permohonan uji formil a quo yang diajukan oleh Pemohon didaftarkan pada
tanggal 31 Maret 2022, sehingga pengajuan permohonan ini masih dalam tenggat
waktu pengujian formil sebagaimana yang dimaktubkan dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009;

III. KUDUDUKAN HUKUM DAN KERUGIAN KONSTITUSIONAL


HUKUMPEMOHON
15. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pemohon
adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan WNI;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam
undang-undang;
c. badan hukum publik dan privat, atau;
d. lembaga negara”.
16. Bahwa terhadap kedudukan Pemohon juga diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara
Pengujian Undang- Undang (selanjutnya disebut PMK 2/2021), menyatakan:
Permohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a adalah Pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakuknya
undang- undang atau perppu, yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang mempunyai
kepentingan sama;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau badan hukum privat; atau
d. Lembaga Negara
17. Bahwa selanjutnya terhadap Pemohon yang menganggap Hak dan/atau kewenangan
Konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, menurut Pasal 4 ayat
(2) PMK 2/2021 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan
Nomor 011/PUU-V/2007, apabila:
a. Ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD
1945.
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan oleh berlakunya
undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian;
c. Kerugian konstitusional dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
d. Ada hubungan sebab-akibat antara kerugian konstitusional dan berlakunya
undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian; dan
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya Permohonan, kerugian
konstitusional seperti yang didalilkan tidak lagi atau tidak akan terjadi.
18. Bahwa selanjutnya untuk memenuhi syarat kedudukan hukum sebagaimana
dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitus, perlu dijelaskan, sebagai
berikut:

Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan


Kepemilikian Kartu Tanda Penduduk (Bukti P.3 – KTP). Pemohon adalah Guru;
19. Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka masuk pada bagian persyaratan sebagai
perseorangan Warga Negara Indonesia sebagaimana diatur pada Pasal 51 ayat (1)
huruf a UU Mahkamah Konstitusi;

KERUGIAN KONSTITUSIONAL PEMOHON


Bahwa selanjutnya untuk memenuhi kapasitas sebagai subjek hukum sebagaimana ditentukan
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-
V/2007 terkait kerugian konstusional, adalah sebagai berikut:
20. Bahwa untuk memenuhi syarat mendapatkan kedudukan hukum untuk menguji
undang-undang, selain sebagai perseorangan Warga Negara Indonesia, Pemohon
juga harus memiliki kerugian konstitusional sebagaimaan ditentukan dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor
11/PUU- V/2007;
21. Bahwa dalam hal ini Pemohon memiliki kerugian konstitusional yang dirugikan
secara potensial dalam penalaran yang wajar dapat terjadi apabila diberlakukan UU
IKN;
22. Bahwa hak konstitusional Pemohon telah diatur, dijamin dan dilindungi dalam
UUD 1945 sebagai berikut:
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945
“Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya”.
Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan:
“Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya
secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”
23. Bahwa terhadap kerugian Konstitusional Pemohon, akan diuraikan sebagai berikut:
Bahwa Pemohon adalah seorang guru yang berdomisili di Jakarta dan dalam hal
perpindahan Ibu Kota Negara melalui UU IKN, Pemohon merasa proses
pembentukan yang terlihat terburu-buru sehingga tidak membuka partisipasi publik
secara maksimal dan bermakna sangat berpotensi menimbulkan konflik
horizontaldi lapangan;
24. Bahwa artinya terhadap Pemohon merupakan warga negara yang sudah
memiliki hak dan yang telah melaksanakan hak pilihnya sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi, dalam pemilihan umum DPR, DPD, Presiden dan Wakil
Presiden;
25. Bahwa terhadap kerugian sebagaiamana dijelaskan dalam Putusan MK Nomor
27/PUU-VII/2009 pada di atas, perlu kami jelaskan bahwa dalam proses
pembentukan UU IKN, pembentuk undang-undang menggunakan cara yang
menunjukkan tidak dilaksanakannya mandat wakil rakyat secara terbuka, fair,
jujur dan bertanggung jawab;
26. Bahwa oleh karenanya kembali kami ulangi penekanan Mahkamah Konstitusi
dalam Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009, di mana mahkamah menyatakan,
tidak dilaksanakannya mandat wakil rakyat secara fair, jujur, dan bertanggung
jawab dalam mengambil keputusan-keputusan untuk membentuk satu Undang-
Undang atau kebijakan lain, maka setiap warga negara, sebagai perorangan yang
telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan, di samping
kualifikasi lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a sampai
dengan huruf d, menurut Mahkamah memiliki kedudukan hukum (legal standing)
untuk mengajukan permohonan uji formil, karena merasa dirugikan secara
konstitusional oleh pemegang mandat yang dipilih rakyat, dengan mengambil
keputusan tidak sesuai dengan mandat yang diperolehnya secara fiduciair. Terlebih
dalam perkara a quo keberlakuan UU IKN berdampak langsung bagi Pemohon;
27. Bahwa oleh karenanya, maka Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal
standing) sebagai Pemohon pengujian undang-undang dalam perkara a quo karena
telah memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi beserta
Penjelasannya dan syarat kerugian hak konstitusional sebagaimana tertuang dalam
PMK Pasal 4 ayat (2) PMK 2/2021 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007.

IV. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN


35. Bahwa Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan dengan tegas sebagai
berikut:Pasal 1 ayat (2)
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar.”
36. Bahwa selanjutnya Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 telah mengatur sebagai berikut:
Pasal 20 ayat (1)
“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.”
37. Bahwa ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 tersebut di atas mempertegas
kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai badan legislatif yang berwenang
untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan, di mana sebelumnya dalam
UUD 1945 sebelum amandemen, kekuasaan untuk membentuk undang-undang
berada di tangan presiden;
38. Bahwa baik Dewan Perwakilan Rakyat selaku pemegang kekuasaan pembentuk
undang-undang (legislatif), maupun Presiden selaku pemegang kekuasaan
pemerintahan (eksekutif) berhak untuk mengajukan rancangan undang-undang
sebagaimana diatur dalam UUD 1945;
39. Bahwa Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengusulkan rancangan undangundang
diatur dalam Pasal 21 UUD 1945 yang menyatakan:
Pasal 21 UUD 1945
“Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-
undang.”
40. Bahwa Presiden berhak mengusulkan suatu rancangan undang-undang diatur
dalam Pasal 5 ayat (1)
“Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan
Perwakilan Rakyat”
41. Bahwa selanjutnya suatu undang-undang menjadi sah dan dapat diundangkan
menurut UUD 1945 harus terlebih dahulu dibahas dan disetujui bersama oleh
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden. Bahwa hal tersebut secara jelas
telah tersirat dalam Pasal 20 UUD 1945 yang mengatur sebagai berikut:
Pasal 20 UUD 1945
1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undangundang.
2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama,
rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan
Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama
untuk menjadi undang-undang.
5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut
tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan
undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah
menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
42. Bahwa filosofi yang termaktub dalam Pasal 20 UUD 1945 tersebut merupakan
suatu landasan diberikannya kewenangan menurut konstitusi kepada Dewan
Perwakilan Rakyat selaku lembaga legislatif maupun Presiden selaku lembaga
eksekutif yang merupakan pemegang mandat yang telah dipilih menjadi wakil dari
seluruh rakyat Indonesia untuk membentuk dan mengesahkan Undang-Undang
yang mengatur kehidupan masyarakat. Bahwa hal tersebut tentunya sejalan
dengan prinsip kedaulatan di tangan rakyat sebagaimana tercantum dalam Pasal 1
ayat (2) UUD 1945;
43. Bahwa berdasarkan hal tersebut maka tujuan dan proses dari pembentukan suatu
undang-undang yang mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara haruslah
bersama-sama dilaksanakan oleh DPR maupun Presiden dengan tujuan kebutuhan
akan adanya suatu peraturan yang memberikan kepastian hukum untuk terciptanya
keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat dapat terpenuhi, mengingat Negara
Indonesia adalah negara hukum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3)
UUD 1945;
44. Bahwa tentunya suatu undang-undang harus dibentuk untuk menjamin suatu
kepastian hukum, menjamin keadilan maupun menciptakan ketertiban dan
kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia, bukan untuk sebagian golongan
maupun individu tertentu saja. Bahwa dengan demikian suatu undang-undang
supaya dapat memenuhi segala tujuan tersebut di atas, harus dibentuk dengan
prosedur-prosedur yang ketat, detail dan terperinci. Tidak mungkin suatu undang-
undang dapat berjalan dan bermanfaat dengan baik apabila dibuat tanpa prosedur
yang jelas dan asal-asalan;
45. Bahwa UUD 1945 sampai dengan amandemen terakhir belum mengatur secara
detail dan terperinci mengenai tata cara maupun proses pembentukan undang-
undang. Bahwa sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya UUD 1945 hanya
memberikan pengaturan sederhana bagaimana pembentukan suatu undang-undang,
yang dapat diuraikan secara sederhana sebagai berikut:
a. Baik DPR maupun Presiden berhak untuk mengajukan rancangan undang-
undang;
b. Rancangan undang-undang tersebut dibahas bersama oleh DPR dan Presiden
untuk mendapat persetujuan bersama;
c. Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama
menjadi Undang-Undang
d. Apabila rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tidak disahkan
oleh Presiden maka dalam waktu 30 hari semenjak rancangan Undang-Undang
disetujui, maka rancangan undang-undang sah menjadi Undang-Undang dan
wajib disahkan.
46. Bahwa selanjutnya Pasal 22A UUD 1945 telah menyatakan sebagai berikut:
”Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur
dengan undang-undang”
Bahwa berdasarkan Pasal 22A tersebut maka UUD 1945 telah memberikan atribusi
pengaturan mengenai tata cara pembentukan undang-undang dengan suatu
Undang- Undang;
47. Bahwa berdasarkan Pasal 22A UUD 1945 tersebut maka dibentuklah peraturan
perundang-undangan yang mengatur ketentuan mengenai penyusunan suatu
peraturan perundang-undangan yaitu:
1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
3) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020
tentang Tata Tertib.
48. Bahwa dengan demikian dalam menyusun sampai dengan mengesahkan suatu
undang-undang harus didasarkan pada UUD 1945 dan Peraturan Perundang-
Undangan yang mengatur mengenai tata cara pembentukannya sebagaimana telah
disebutkan di atas. Bahwa hal tersebut juga telah dipertegas oleh Mahkamah
Konstitusi. Mahkamah Konstitusi telah memberikan suatu aturan dalam Pasal 51A
ayat (3) Undang-Undang MK mengenai pengujian formil suatu undang-undang
yaitu:
“Dalam hal permohonan pengujian berupa permohonan pengujian formil,
pemeriksaan dan putusan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi didasarkan
pada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara
pembentukan peraturan perundang-undangan.”
49. Bahwa selanjutnya Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 27/PUUVII/2009
telah menyatakan sebagai berikut:
“ ,menurut Mahkamah jika tolok ukur pengujian formil harus selalu
berdasarkan pasal-pasal UUD 1945 saja, maka hampir dapat dipastikan tidak
akan pernah ada pengujian formil karena UUD 1945 hanya memuat halhal
prinsip dan tidakmengatur secara jelas aspek formil proseduralnya. Padahal
dari logika tertib tata hukum sesuai dengan konstitusi, pengujian secara formil
itu harus dapat dilakukan.Oleh sebab itu, sepanjang UndangUndang, tata tertib
produk lembaga negara dan peraturan perundangundangan yang mengatur
mekanisme atau formil-prosedural itu mengalir dari delegasi kewenangan
menurut konstitusi, maka peraturan perundangundangan itu dapat dipergunakan
atau dipertimbangkan sebagai tolok ukur atau batu uji dalam pengujian formil.”
50. Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan disebutkan tahap-tahap pembentukan peraturan perundang-
undangan sebagai berikut:
Pasal 1 angka 1
“Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan
Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, pengundangan.”
51. Bahwa pada tanggal 18 Januari 2022 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
(DPR RI) telah resmi menetapkan Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara
sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2020;
52. Bahwa sebelum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara
disahkan, Undang-Undang a quo telah mendapatkan penolakan dari Pemerintah
Provinsi, Pemerintah Daerah/Kabupaten/Kota dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota. Namun, penolakan tersebut tidak didengarkan
oleh Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Justru
Pemerintah Pusat dan DPR RI tergesagesa mengesahkan Undang-Undang a quo
tanpa mendengarkan aspirasi dari Pemerintah Daerah dan DPRD;
53. Bahwa pada tanggal 18 Januari 2022 Dewan Perwakilan Rakyat dengan
Pemerintah telah menyetujui bersama Rancangan Undang-Undang tentang Ibu
Kota Negara dalam Rapat Paripurna;
54. Bahwa selanjutnya pada tanggal 15 Februari 2022 Presiden Republik Indonesia
telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu
Kota Negara (Lembaran Negara Republik Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6766);
55. Bahwa dengan demikian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota
Negara dari awal masuk dalam Prolegnas yaitu tanggal 18 Januari 2022 sampai
dengan pengesahannya tanggal 15 Februari 2022 hanya memakan waktu kurang
dari satu Bulan;
56. Bahwa untuk itu, Pemohon akan menguraikan apakah pembentukan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (Lembaran Negara
Republik Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6766) tersebut di atas telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
atau justru sebaliknya, dengan dalil-dalil sebagai berikut:
UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2022 TENTANG IBU KOTA NEGARA
BERTENTANGAN DENGAN SYARAT FORMIL PEMBENTUKAN UNDANG-
UNDANG DALAM TAHAP PERENCANAAN

57. Bahwa Pasal 22A UUD 1945 telah menyatakan sebagai berikut: “ Ketentuan lebih
lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-
undang”;
58. Bahwa Pasal 16 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
UndangNomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
12 Tahun2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
menyebutkan: “Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam
Prolegnas.”
59. Bahwa selanjutnya Pasal 19 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
menyebutkan:
Pasal 19
1) Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 memuat program
pembentukan Undang-Undang dengan judul Rancangan UndangUndang, materi
yang diatur, dan keterkaitannya dengan PeraturanPerundang-undangan lainnya.
2) Materi yang diatur dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundangundangan
lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keterangan mengenai
konsepsi Rancangan Undang-Undang yang meliputi:
a. latar belakang dan tujuan penyusunan;
b. sasaran yang ingin diwujudkan; dan
c. jangkauan dan arah pengaturan.
3) Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah melalui
pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik;
60. Bahwa Pasal 43 ayat (3) Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan:
“Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus

disertai Naskah Akademik.”;


61. Bahwa Pasal 163 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur sebagai berikut:
Pasal 163 ayat (2)
“Rancangan undang-undang yang berasal dari DPR, Presiden atau DPD disertai
dengan naskah akademik, kecuali rancangan undang-undang mengenai:
a. APBN;
b. penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-
Undang; dan
c. pencabutan Undang-Undang atau pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang.
62. Bahwa selanjutnya Pasal 113 ayat (2) dan ayat (6) Peraturan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib mengatur
sebagai berikut:
Pasal 113 ayat (2)
“Rancangan undang-undang dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD”
ayat (6)
“Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan dan
disertai dengan naskah akademik, kecuali rancangan undang-undang mengenai:
a. APBN;
b. penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-
Undang; dan
c. pencabutan Undang-Undang atau pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang.
63. Bahwa Pasal 2 huruf a Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Perundang-Undangan mengatur sebagai berikut:
Pasal 2 huruf a
“Perencanaan pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas: a.
perencanaan Rancangan Undang-Undang
64. Jadi sebenarnya Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota
Negara ini resminya baru terbentuk pada tanggal 16 Desember 2021, bukan
tanggal
7 Desember 2021. Dengan demikian jangka waktu penyelesaian Rancangan
Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara sejak pembentukan Panitia Khusus
hingga pengesahan menjadi Undang-undang pada tanggal 18 Januari 2022 hanya
selama 34 hari, bukan 43 hari. Waktu pembahasan yang hanya 34 hari ini
menunjukkan sekali bahwa pembuatan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara
ini sangat tergesa-gesa sekali, waktu yang tersedia sama sekali tidak
memungkinkan adanya partisipasi publik. Padahal masalah pemindahan Ibu Kota
Negara ini merupakan hal yang sangat prinsipil menyangkut kehidupan bernegara
dan berbangsa;
65. Bahwa pasca terbitnya Supres tertanggal 29 September 2021, dan telah masuk
agenda pendahuluan di DPR RI tanggal 3 November 2021, sampai pada Rapat
Paripurna dalam rangka Pembicaraan Tk II/ Pengambilan Keputusan menjadi UU
pada tanggal 18 Januari 2022 publik sangat minim memperoleh informasi pada
setiap tahapan pembahasan UU IKN di DPR;
66. Bahwa dalam website resmi DPR terdapat rincian agenda pembahasan UU IKN
yang di rilis dalam web (https:www.dpr.go.id/uu/detai/id/368) di mana terdapat 28
tahapan/agenda pembahasan RUU IKN di DPR, dari 28 agenda tersebut hanya
ada 7 agenda yang dokumen dan informasinya dapat diakses. Sedangkan 21
agenda lainnya informasi dan dokumennya tidak dapat di akses publik;
67. Bahwa dari hal yang diuraikan di atas dapat diperoleh fakta bahwa representasi
masyarakat yang terlibat dalam pembahasan RUU IKN sangatlah parsial dan tidak
holistik. Padahal IKN merupakan berwujudan bersama kota negara Republik
Indonesia yang seharusnya dapat lebih memperluas partisipasi dan pihak-pihak
dari berbagai daerah, golongan, dan unsur kepentingan masyarakat lainya dalam
pembahasannya;
68. Bahwa selanjutnya Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
menyebutkan:
Pasal 96
1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan melalui:
a. rapat dengar pendapat umum;
b. kunjungan kerja;
c. sosialisasi; dan/atau
d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan
atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan
Peraturan Perundang-undangan.
4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan
dan/atau tertulis sebagaimanadimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan
Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh
masyarakat.
69. Bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara
bertentangan dengan asas keterbukaan dan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan karena dalam tahapan perencanaan dan penyusunan Naskah
Akademik (NA) dan Draf RUU Ciptaker seharusnya sudah dipublikasikan sejak
dimulainya pembahasan dalam Prolegnas dan diperdebatkan secara luas untuk
menyerap aspirasi publik. Realitasnya Undang-Undang Ibu Kota Negara tidak
melalui pelibatan publik yang luas dalam prosesnya hanya melibatkan segelintir
pihak saja. Bahkan draf Rancangan Undang-Undang yang disampaikan kepada
publik simpang siur alias kontroversial otentisitasnya.
70. Bahwa Pasal 27 UUD 1945, menyatakan sebagai berikut:
1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada
kecualinya.
2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagikemanusiaan.
3) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
71. Bahwa Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, menyatakan sebagai berikut:
“(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”.
72. Bahwa Pasal 28D ayat (3) UUD 1945, menyatakan sebagai berikut:
“(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan.”
73. Bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (Lembaran
Negara Republik Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6766) dibuat tanpa adanya partisipasi masyarakat yang
terdampak dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara
a quo.
74. Bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka menjadi pertanyaan besar
bagi Pemohon, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara
dibuat untuk kepentingan siapa, apabila masyarakat yang terdampak tidak
dilibatkan dalam penyusunan rancangan undang-undang IbuKota Negara a quo,
walau sekedar memberikan masukan atau pendapat.
75. Bahwa berdasarkan hal tersebut maka sudah sepatutnya Yang Mulia Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi Menerima dan Mengabulkan Permohonan Uji
Formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara.
76. Bahwa berdasarkan hal tersebut maka sudah sepatutnya Yang Mulia Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi Menerima dan Mengabulkan Permohonan Uji
Formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara.
V. Provisi
1. Karena Pasal 58 UU MK mengatur bahwa Putusan Mahkamah tidak berlaku surut,
maka untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak konstitusional Pemohon,
Pemohon memohon agar Majelis Hakim Konstitusi menerbitkan Putusan Sela.
2. Walaupun UU MK tidak mengatur secara spesifik mengenai Putusan Provisi, menurut
Pemohon, undang-undang tidak melarang Mahkamah Konstitusi untuk
mengintrodusir
mekanisme ini dalam perkara pengujian undang-undang. Hal ini perlu dilakukan untuk
mencegah terjadinya pelanggaran atas UUD 1945 yang paling tidak ketika
pemeriksaan pendahuluan dilakukan potensi pelanggaran tersebut telah terdeteksi oleh
Mahkamah Konstitusi.
3. Permohonan provisi ini penting untuk diajukan oleh para Pemohon untuk mendapatkan
jaminan kepastian hukum atas proses yang sedang dijalani Pemohon. Apabila
Kepolisian Repubublik Indonesia, atau Kejaksaan Repubublik Indonesia, atau Presiden
Repubublik Indonesia melakukan tindakan-tindakan hukum yang dapat membuat
norma yang sedang diuji menjadi terlaksana maka hak konstitusional Pemohon menjadi
terlanggar secara aktual. Dengan demikian, berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kami
berpendapat bahwa Majelis Mahkamah Konstitusi yang Berhormat berwenang untuk
menjatuhkan putusan Provisi dalam perkara a quo.

VI. PETITUM
Bahwa berdasarkan uraian-uraian yang telah dipaparkan di atas, Pemohon memohon kepada
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk dapat mengabulkan Permohonan Pemohon
sebagai berikut:
DALAM PROVISI
1. Mengabulkan Provisi untuk seluruh nya;
2. Menghentikan Pemerintahan pusat dalam pelaksanaan dan pemindahan Ibu Kota
Negara sampai setidak-tidaknya sampai adanya putusan Mahkamah Konstitusi
dalam perkara a quo yang berkekuatan hukum tetap;
3. Menghentikan Pengandaan Tanah dan penetapan lokasi pembangunan sampai
setidak-tidaknya sampai adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara a quo
yang berkekuatan hukum tetap;

DALAM POKOK PERKARA


1. Menerima dan mengabulkan Permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota
Negara (Lembaran Negara Republik Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6766) cacat formil dan bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Menyatakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara
(Lembaran Negara Republik Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6766) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
Atau
;
Apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-
adilnya (ex aequo et bono).

Hormat kami,
Kuasa Hukum Pemohon

(Faiqa Syifa Irawan, S.H., M.H.)

(Ana Rohmatun Wamaghfirotun, S.H., M.H.)


KETERANGAN
PEMBERI KETERANGAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

KETERANGAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

ATAS

PERMOHONAN PENGUJIAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2022

TENTANG

IBU KOTTA NEGARA

TERHADAP

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA


TAHUN 1945

DALAM PERKARA
NOMOR: 53 /PUU-XX/2022

PEMERINTAH REPUBLIK
INDONESIA JAKARTA
Jakarta, 3 Februari 2022

Kepada Yth:
Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Di Jakarta.

Dengan hormat,
Berdasarkan Surat Kuasa Substitusi tanggal 2 Februari 2022, telah memberikan kuasa
kepada Menteri Hukum dan HAM yaitu :

Vania Elfina S.H., M.H.

Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Presiden Republik Indonesia, untuk
selanjutnya disebut ---------------------------------------------------------------------- PEMERINTAH
Sehubungan dengan surat dari Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
(MK), perihal kepada PEMERINTAH untuk menghadiri dan menyampaikan
keterangan di persidangan Mahkamah Konstitusi terkait dengan permohonan
pengujian Undang-Undang Nomor 3 tahun 2022 tentang Ibu Kota Negar terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut
UUD Tahun 1945) yang diajukan oleh:

Nama : Anah Mardianah


Tempat Lahir : Jakarta
Agama : Islam
Pekerjaan : Guru
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat lengkap : Jalan D.Gg. III Kr. Anyar RT/RW 007/001, Karang Anyar,
a Jakarta Pusat, DKI Jakarta.

Dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya berdasarkan surat kuasa khusus
tertanggal 2 Februari 2022 kepada Fai‟qa Syifa Irawan S.H., M.H. dan Ana
Rohmatun Wamaghfirotun S.H., M.H. dari kantor hukum Advokat dan
Penasihat Hukum dari Kantor Advokat JUANG LAW FIRM yang beralamat di Jl.
Surabaya No.20, RT.15/RW.5, Menteng, Kec. Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus
Ibukota Jakarta, Telp./Fax. (0274) 456178, HP. 0877715782879, E-mail :
juanglawfirm@gmail.com. disebut ------------------------------------------ “Pemohon”
Dengan ini Pemerintah menyampaikan keterangan terhadap permohonan
pengujian UU Perdagangan terhadap UUD Tahun 1945 dalam perkara nomor
53/PUU-XX/2022 sebagai berikut:

KETERANGAN PEMERINTAH ATAS MATERI PERMOHONAN YANG


DIMOHONKA UNTUK DIUJI
Sebelum Pemerintah menyampaikan keterangan terkait norma materi muatan yang
dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon, Pemerintah terlebih dahulu menyampaikan landasan
filosofis,
Mengingat pentingnya peran dan fungsi Ibu Kota Negara bagi Indonesia, pengaturan
mengenai perencanaan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara yang dituangkan dalam
Undang-Undang ini merupakan bagian dari upaya Pemerintah Pusat untuk merealisasikan
empat tujuan bernegara yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial.
Dalam Undang-Undang ini, penyelenggaraan pemerintahan daerah di Ibu Kota
Nusantara dilakukan dengan memberikan pengaturan atas berbagai kekhususan yang berbeda
dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang ada selama ini. Penyelenggaraan
pemerintahan yang khusus di Ibu Kota Nusantara tersebut dimungkinkan dengan mengacu
pada Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan berbagai kekhususan yang ada di Ibu Kota Nusantara, baik yang terkait dengan
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara maupun penyelenggaraan
kegiatan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, diharapkan berbagai
permasalahan, antara lain,
ketidakjelasan pembagian urusan, tarik menarik, dan tumpang tindih kewenangan antara
Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah penyelenggara Ibu Kota Negara dalam berbagai hal
dan urusan pemerintahan tidak lagi terjadi dalam pelaksanaannya.

PETITUM
Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada
Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa, mengadili dan memutus
permohonan pengujian (constitutional review) ketentuan a quo Undang- Undang Nomor 3
tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
2. Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing);
3. Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan
permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard); dan
4. Menyatakan ketentuan Nomor 3 tahun 2022 tentang Ibu Kota Negar tentang Perdagangan
tidak bertentangan UUD 1945.

Apabila Yang Mulia Hakim Majelis Mahkamah Konstitusi berpendapat lain,


mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Demikian keterangan PEMERINTAH ini disampaikan sebagai bahan


pertimbangan bagi Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk
mengambil keputusan.

Hormat Kami,
Pemberi Keterangan Pemerintah
Menteri Hukum dan HAM RI

VANIA ELFINA S.H., M.H.


KETERANGAN
DEWAN PERWAKILAN
RAKYATATAS
PERMOHONAN PENGUJIAN FORMIL
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2022
TENTANG IBU KOTA NEGARA
TERHADAP
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN
1945 DALAM PERKARA NOMOR: 53/PUU-XX/2022

Jakarta, 3 Februari 2022


Kepada Yth
Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Di Jakarta

Dengan hormat,

Berdasarkan Keputusan Pimpinan DPR RI Nomor 25/PIMP/III/2020-2021 tanggal 1


Februari 2022, telah menugaskan kepada Anggota Komisi III DPR RI yaitu : Elsa Triantika
S.H., M.H. (No. Anggota 227); dalam hal ini baik secara bersama-sama maupun sendiri-
sendiri bertindak untuk dan atas nama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,
untuk selanjutnya disebut ---------------------------------------------------------------------- DPR RI

Sehubungan dengan surat nomor 765.21/PAN.MK/5/2022 tanggal 1 Februari 2022


dari Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) Republik Indonesia, perihal kepada
DPR RI untuk menghadiri dan menyampaikan keterangan di persidangan Mahkamah
Konstitusi terkait dengan permohonan pengujian materil Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (selanjutnya disebut UU IKN)
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya
disebut UUD NRI Tahun 1945) yang diajukan oleh :
Nama : Anah Mardianah
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 11 April 1975
Pekerjaan : Guru
Alamat : Jalan D.Gg. III Kr. Anyar RT/RW 007/001, Karang
Anyar, Sawah Besar, Jakarta Pusat, DKI Jakarta
Yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon.
Bahwa Pemohon diwakili oleh kuasa hukumnya, yaitu Fai‟qa Syifa Irawan S.H., M.H. dan
Ana Rohmatun Wamaghfirotun S.H., M.H., yang merupakan advokat pada Juang Law,
yang beralamat di Jl. Surabaya No.20, RT.15/RW.5, Menteng, Kec. Menteng, Kota Jakarta
Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Telp./Fax. (0274) 456178, HP. 0877715782879,
E-mail : juanglawfirm@gmail.com, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 24 Januari
2022. Bertindak untuk kepentingan dan atas nama PEMOHON.
Dengan ini DPR RI menyampaikan keterangan terhadap permohonan pengujian materiil
UU IKN terhadap UUD NRI Tahun 1945 dalam perkara NOMOR: 53/PUU-XX/2022
sebagai berikut:

A. KETENTUAN UU MK YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP


UUDNRI TAHUN 1945
Para Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian atas UUIKN yang
cacat formil dan dianggap bertentangan dengan Pasal 27 ayat 1, 28D ayat 1 UUD
1945 adalah sebagai berikut :
a. Pasal 27 ayat 1 UUD 1945
“Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya”.
b. Pasal 28D ayat 1 UUD 1945

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian


hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG


DIANGGAPPEMOHON TELAH DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA
UUIKN
Para Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa hak
konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Undang-Undang no
3 tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara Bahwa berdasarkan uraian-uraian
permohonannya, Para Pemohon dalam Petitumnya memohon kepada Majelis Hakim
sebagai berikut:
1. Menerima dan mengabulkan Permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu
Kota Negara (Lembaran Negara Republik Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6766) cacat formil dan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
3. Menyatakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara
(Lembaran Negara Republik Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6766) tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.

Atau Apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan
yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

C. KETERANGAN DPR RI
Terhadap dalil Pemohon sebagaimana diuraikan dalam perbaikan permohonan,
DPR RI dalam penyampaian pandangannya terlebih dahulu menguraikan mengenai
kedudukan hukum (legal standing) dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon
Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Pemohon sebagai Pihak telah diatur dalam
ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK yang menyatakan bahwa “Para Pemohon
adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang yaitu:
e. Perorangan warga negara Indonesia;
f. Kesatuan masyarakat hokum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesiayang diatur dalam undang-undang;
g. Badan hokum public atau privat, atau;
h. Lembaga negara

Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat (1)
tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak
konstitusional” adalah “hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.” Ketentuan penjelasan pasal 51 ayat (1) ini
menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD NRI Tahun
1945 saja yang termasuk “hak konstitusional”.
Oleh karena itu menurut UU MK, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima
sebagi para Para Pemohon yang memiliki kedudukan hokum (legal standing) dalam
permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945, maka
terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
a. Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam Ppermohonan a quo sebagaimana
dimaksud dalam pasal 51 ayat (1) UU MK;
b. Hak dan/atau kewenangan konstusionalnya sebagaiman dimaksud dalam
“Penjelasan Pasal 51 ayat (1) “ dianggap telah dirugikan oleh berlakuknya
undang- undang a quo.

Mengenai Batasan kerugian konstitusional, MK telah memberikan pengertian dan


batsan tentang kerugian konstitusional yang timbul katrena berlakunya suatu undang-
undang harus memenuhi 5 (lima) syarat (Vide Putusan Perkara Nomor 006/PUU-
III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut:
a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan
oleh UUD NRI Tahun 1945
b. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap
olehPemohon telah dirugaikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud
bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang
menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. Adanya hubungan sebab akibat (casual verband) antara kerugian dan
berlakunyaundang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau
tidak lagi terjadi.

Jika kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Para Pemohon dalam perkara
pengujian undang-undang a quo, maka Para Pemohon tidak memiliki kualifikasi
kedudukan hokum (legal standing) sebagai Pemohon. Menanggapi Permohonan
Pemohon a quo, DPR RI berpandangan bahwa Para Pemohon harus dapat
membuktikan terlebih dahulu apakah benar Para Pemohon sebagai pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya
ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya
kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan
untuk diuji.

Dalam permohonan ini, Para Pemohon menjelaskan legal standing nya sebagai
Perorangan Warga Negara Indonesia yang juga berprofesi sebagai Guru yang telah
disumpah dan diangkat oleh Menteri Pendidikan.
Dalam permohonan ini, Pemohon menjelaskan legal standingnya sebagai
Badan Hukum Privat dan merupakan Pengurus dari perkumpulan yang selma ini
konsisten dalam isu perlindungan hak dasar warga negara serta hak asasi manusia
dan reformasi sistemperadilan pidana di Indonesia. (Vide Permohonan, halaman 7,
nomor 21).

Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon, DPR RI berpandangan bahwa:


a. Pemohon tidak menjelaskan bagaimana aktivitas pekerjaan Pemohon terkait
dengan pengujian pasal a quo.
b. Pemohon tidak menguraikan hubungan sebab akibat antara kerugian dengan
berlakunya pasal a quo yang dimohonkan untuk diuji. Tidak ada elaborasi
lebih lanjut dari pasal a quo dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun
1945 sebagai batu uji.
c. Tidak jelas kerugian konstitusional seperti apa, jika pasal a quo tidak
dimaknai sebagaimana yang dikehendaki dalam petitum permohonan. Posita
tidak menjelaskan mengapa Pemohon berkesimpulan pada petitum bersyarat.
Pada dasarnya tidak adaelaborasi dan korelasi antara posita dengan petitum
bersyarat. Dengan demikian, dalil-dalil permohonan tidak jelas dan tidak fokus
(obscuur libels),
karena Pemohon tidak menguraikan dan mengkonstruksikan secara jelas adanya
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional atas berlakunya pasal a quo yang
bersifatspesifik dan aktual atau setidaknya potensial menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi. Oleh karena itu, terhadap legal standing Pemohon yang
tidakmemiliki keterkaitan dengan pasal a quo dan tidak mengalami kerugian
konstitusional, DPR RI memberikan pandangan senada dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah
Konstitusi terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan
hukum [3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menurut Mahkamah :
...Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan
maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest,
point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen
rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op
de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa
“tiada gugatan tanpa hubungan hukum“ (no action without legal connection)
Dengan demikian, DPR RI melalui Majelis memohon kiranya Pemohon
dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar sebagai pihak yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan atas berlakunya pasal a quo
yang dimohonkan untuk diuji. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap
kedudukanhukum (legal standing) Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya
kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan
menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi
dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan
perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenaiparameter kerugian konstitusional.

Latar Belakang Perumusan Dan Pembahasan Pasal A quo

Bahwa selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan yuridis, sebagaimana


telah diuraikan di atas, dipandang perlu untuk melihat latar belakang perumusan dan
pembahasan pasal a quo dalam Undang-undang no 3 tahun 2022 tentang Ibu Kota
Negara merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan
cita-cita bangsa Indonesia. Artinya merupakan upaya memperbaiki tata kelola wilayah
Ibu Kota Negara untuk mewujudkan tujiuan bernegara yaitu melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial; selain menjadi sarana untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia juga untuk mewujudkan Ibu Kota Negara
yang aman, modern, berkelanjutan, dan berketahanan serta menjadi acuan bagi
pembangunan dan penataan wilayah lainnya di Indonesia;
Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, DPR RI memohon agar kiranya,
Ketua Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
1) Menyatakan bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum
(legal standing) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak
dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);
2) Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-
setidaknya menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima;
3) Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;

4) Menyatakan Undang-Undang No 3 tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara


tidak bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
5) Menyatakan Undang-Undang No 3 tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara
memiliki kekuatan hukum mengikat.
ATAU
Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain,
mohonputusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Demikian keterangan tertulis dari DPR RI kami sampaikan sebagai
bahanpertimbangan bagi Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mengambil
keputusan. Hormat Kami Tim Kuasa Hukum

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

ELSA TRIANTIKA S.H, M.H.


(No. Anggota A-127)
PUTUSAN SELA
PUTUSAN SELA

NOMOR 53/PUU-XX/2022

DEMI KEADILAN BERDASARKAN TUHAN YANG MAHA ESA


MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

(1.1) Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan
terakhir, menjatuhkan putusan sela dalam perkara Permohonan Pengujian Undang-
undang Nomoe 3 tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara Terhadap Undang- Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disebut “UUD 1945” yang
diajukan oleh :
(1.2) Pemohon :
Nama : Anah Mardianah
Pekerjaan : Guru
Kewarganegaraan :Indonesia
Alamat : Jalan D.Gg. III Kr. Anyar RT/RW 007/001, Karang

Anyar,Sawah Besar, Jakarta Pusat, DKI Jakarta.

berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 24 Januari 2022 kepada Faiqa Syifa
Irawan, S.H., M.H. dan Ana Rohmatun Wamaghfirotun, S.H., M.H. Advokat
dan Penasihat Hukum dari Kantor Advokat JUANG LAW FIRM yang beralamat di Jl.
Surabaya No.20, RT.15/RW.5, Menteng, Kec. Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah
Khusus Ibukota Jakarta, bertindak baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk
dan atas nama pemberi kuasa yang selanjutnya disebut sebagai PEMOHON
(1.3) Membaca permohonan dari Pemohon;
Mendengar keterangan dari Pemohon;
Memeriksa bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon;

DUDUK PERKARA

(2.1) Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan bertanggal 25 Januari


2022 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut
Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 25 Januari 2022 berdasarkan Akta Penerimaan
Berkas Permohonan Nomor 34/PAN.MK/2022 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi pada tanggal 14 Februari 2022 dengan Nomor 53/PUU-XX/2022, yang diperbaiki
dengan perbaikan permohonan bertanggal 1 Februari 2022 yang diterima Kepaniteraan
Mahkamah tanggal 1 Februari Maret 2022.

(2.2) Menimbang bahwa Pemohon tersebut di atas, di dalam permohonannya telah


mengemukakan hal-hal sebagai berikut :

I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI


1. Hak uji, baik formil maupun materiil, diakui keberadaannya dalam sistem hukum
Indonesia, sebagaimana terdapat dalam Konstitusi, yaitu UndangUndang Dasar 1945,
yang telah mengalami perubahan sebanyak empat kali, dalam Pasal 24 ayat (1),
menyatakan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya ... dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi”;
2. Bahwa Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan
Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer,
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”;
3. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir,
yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-
Undang Dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum”;
4. Bahwa perihal permohonan uji formil undang-undang telah dirumuskan dalam Pasal 4
ayat
(3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman
Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, yang menyatakan bahwa:
“(3) Pengujian Formil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan proses
pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).”
5. Bahwa selanjutnya Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, menyatakan “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
6. Bahwa selain itu Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
mengatur bahwa secara hierarki kedudukan UndangUndang Dasar 1945 lebih tinggi
dari undang-undang, oleh karenanya setiap ketentuan undang-undang tidak boleh
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Maka jika terdapat ketentuan dalam undang- undang yang bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945, maka ketentuan undang- undang tersebut dapat
dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme pengujian undang- undang di Mahkamah
Konstitusi;
7. Bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
yang memiliki peran penting guna mengawal dan menegakkan Konstitusi
berdasarkan kewenangan dan kewajiban sebagaimana ditentukan oleh peraturan
Perundang-Undangan. Apabila Undang-Undang yang dibentuk bertentangan dengan
Konstitusi atau Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi dapat
membatalkan Undang-Undang tersebut secara menyeluruh atau sebagian per
pasalnya atau per frasa, atau per diksi. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga
berwenang memberikan penafsiran terhadap sebuah ketentuan pasal, frasa atau
makna dalam suatu Undang-Undang agar berkesesuaian dengan nilai-nilai
Konstitusi;
8. Berdasarkan permohonan Pemohon adalah permohonan pengujian Formill Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya
disebut “UUD 1945”. Dengan demikian Mahkamah Berwenang mengadili
permohonan a quo.
9. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
memeriksa dan mengadili permohonan Pemohon.

II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON


10. Bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang- Undang,
yaitu:
a) perorangan WNI;
b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan perinsip Negara Kesatuan yang diatur dalam
Undang-Undang;
c) badan hukum publik dan privat, atau;
d) lembaga negara.
Bahwa Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan bahwa, “Yang dimaksud
dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945”
11. Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, Para Pemohon memenuhi
kualifikasi sebagai perorangan warga negara Indonesia*. Dengan demikian Para
pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon dalam
mengajukan permohonan pengujian formil Undang-undang tentang Ibu Kota Negara.

III. KERUGIAN KONSTITUSIONAL PEMOHON


12. Bahwa sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31
Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUUV/2007 tanggal 20
September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya, Mahkamah Konstitusi
berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, harus memenuhi lima syarat,
yaitu:
a) adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b) hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh
suatu Undang-Undang yang diuji;
c) kerugian konstitusioanal Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau
khusus dan aktual atau setidaknya bersifat yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d) hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya UndangUndang yang
dimohonkan untuk diuji;
e) kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian
konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
13. Bahwa Para Pemohon mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945
yang mana hak-hak tersebut telah terlanggar atau berpotensi untuk terlanggar dengan
keberadaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2022 tentang Ibu
Kota Negara
14. Bahwa Para Pemohon menyatakan bahwa Undang-undang no 3 tahun 2022 Tentang Ibu
Kota Negara telah melanggar hak-hak konstitusional Pemohon, antara lain:
 Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI 1945 yang berbunyi :
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar.”
 Pasal 27 Ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi :
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya.”
 Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi :
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum).”
15. Bahwa Pemohon I sebagai perorangan Warga Negara Indonesia (WNI)* merasa
dirugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan kepastian hukum dan
perlindungan secara pribadi, keluarga dan masyarakat atas Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara
16. Bahwa dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 2022
Tentang Ibu Kota Negara telah merugikan hak konstitusional para Pemohon.
Kerugian konstitusional

17. Bahwa selanjutnya untuk memenuhi syarat kedudukan hukum sebagaimana


dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitus, perlu dijelaskan, Pemohon
adalah perseorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan
Kepemilikian Kartu Tanda Penduduk (Bukti P.3 – KTP). Serta Pemohon adalah
Guru.
18. Bahwa terhadap kerugian Konstitusional Pemohon, akan diuraikan sebagai
berikut: Bahwa Pemohon adalah seorang guru yang berdomisili di Jakarta dan
dalam hal perpindahan Ibu Kota Negara melalui UU IKN, Pemohon merasa proses
pembentukanyang terlihat terburu-buru sehingga tidak membuka partisipasi publik
secara maksimal dan bermakna sangat berpotensi menimbulkan konflik horizontal
di lapangan;
19. Bahwa artinya terhadap Pemohon merupakan warga negara yang sudah memiliki
hak dan yang telah melaksanakan hak pilihnya sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi, dalam pemilihan umum DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden;
20. Bahwa terhadap kerugian sebagaiamana dijelaskan dalam Putusan MK Nomor
27/PUU- VII/2009 pada di atas, perlu kami jelaskan bahwa dalam proses pembentukan
UU IKN, pembentuk undang-undang menggunakan cara yang menunjukkan tidak
dilaksanakannya mandat wakil rakyat secara terbuka, fair, jujur dan bertanggung
jawab;
21. Bahwa oleh karenanya kembali kami ulangi penekanan Mahkamah Konstitusi
dalam Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009, di mana mahkamah menyatakan,
tidak dilaksanakannya mandat wakil rakyat secara fair, jujur, dan bertanggung
jawab dalam mengambil keputusan-keputusan untuk membentuk satu Undang-
Undang atau kebijakan lain, maka setiap warga negara, sebagai perorangan yang
telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan, di samping kualifikasi
lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf
d, menurut Mahkamah memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan uji formil, karena merasa dirugikan secara konstitusional
oleh pemegang mandat yang dipilih rakyat, dengan mengambil keputusan tidak
sesuai dengan mandat yang diperolehnya secara fiduciair. Terlebih dalam perkara
a quo keberlakuan UU IKN berdampak langsung bagi Pemohon;
22. Bahwa oleh karenanya, maka Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal
standing) sebagai Pemohon pengujian undang-undang dalam perkara a quo karena
telah memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi beserta
Penjelasannya dan syarat kerugian hak konstitusional sebagaimana tertuang dalam
PMK Pasal 4 ayat
(2) PMK 2/2021 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan
Nomor 011/PUU-V/2007.

IV. ALASAN PERMOHONAN/POKOK-POKOK PERMOHONAN


23. Bahwa Indonesia adalah negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3)
UUD 1945 yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Negara
Indonesia sebagai wujud pelaksanaan prinsip-prinsip negara hukum mengakui,
menjamin dan melindungi hak asasi manusia. Salah satu bentuk pengakuan, jaminan
dan perlindungan hak asasi manusia yaitu menjamin persamaan atau sederajat bagi
setiap orang di hadapan hukum (Equality Before The Law) sebagaimana diatur dalam
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, Pasal 28D UUD 1945, yang berbunyi
“Hak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan
perlakuan yang sama di depan hukum”.
24. Bahwa berdasarkan hal tersebut maka tujuan dan proses dari pembentukan suatu
undang-undang yang mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara haruslah
bersama-sama dilaksanakan oleh DPR maupun Presiden dengan tujuan kebutuhan
akan adanya suatu peraturan yang memberikan kepastian hukum untuk terciptanya
keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat dapat terpenuhi, mengingat Negara
Indonesia adalah negara hukum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3)
UUD 1945;
25. Bahwa tentunya suatu undang-undang harus dibentuk untuk menjamin suatu
kepastian hukum, menjamin keadilan maupun menciptakan ketertiban dan
kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia, bukan untuk sebagian golongan
maupun individu tertentu saja. Bahwa dengan demikian suatu undang-undang
supaya dapat memenuhi segala tujuan tersebut di atas, harus dibentuk dengan
prosedur-prosedur yang ketat, detail dan terperinci. Tidak mungkin suatu undang-
undang dapat berjalan dan bermanfaat dengan baik apabila dibuat tanpa prosedur
yang jelas dan asal-asalan;

V. PROVISI
1. Karena Pasal 58 UU MK mengatur bahwa Putusan Mahkamah tidak berlaku
surut, maka untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak konstitusional
Pemohon, Pemohon memohon agar Majelis Hakim Konstitusi menerbitkan
Putusan Sela.
2. Walaupun UU MK tidak mengatur secara spesifik mengenai Putusan Provisi,
menurut Pemohon, undang-undang tidak melarang Mahkamah Konstitusi
untuk mengintrodusir mekanisme ini dalam perkara pengujian undang-undang.
Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran atas UUD 1945
yang paling tidak ketika pemeriksaan pendahuluan dilakukan potensi
pelanggaran tersebut telah terdeteksi oleh Mahkamah Konstitusi.
3. Permohonan provisi ini penting untuk diajukan oleh para Pemohon untuk
mendapatkan jaminan kepastian hukum atas proses yang sedang dijalani
Pemohon. Apabila Kepolisian Repubublik Indonesia, atau Kejaksaan
Repubublik Indonesia, atau Presiden Repubublik Indonesia melakukan
tindakan-tindakan hukum yang dapat membuat norma yang sedang diuji
menjadi terlaksana maka hak konstitusional Pemohon menjadi terlanggar
secara aktual. Dengan demikian, berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kami
berpendapat bahwa Majelis Mahkamah Konstitusi yang Berhormat berwenang
untuk menjatuhkan putusan Provisi dalam perkara a quo.

VI. KESIMPULAN
26. Berdasarkan seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
a. Ketentuan UUIKN memunculkan beragam konflik, bukan hanya karena ia
secara filosofis menyalahi hakikat penyejahteraan bagi bangsa ini, namun
karena dalam tataran implementatif pun ketentuan ini mengacaukan sistem
pembangunan nasional yang telah dibangun dan dikembangkan melalui
berbagai hukum positif Indonesia.

b. Bahwa Selaku pelindung konstitusi (the guardian of costitution), MKRI


berwenang untuk memutus suatu ketentuan ayat maupun pasal dalam suatu
undang-undang dianggap sesuai atau bertentangan dengan konstitusi. MKRI
juga memiliki kewenangan memberikan tafsir terhadap ketentuan dalam suatu
undang-undang agar tetap sesuai dengan nilai-nilai konstitusi. Dalam
sejumlah putusan, MKRI telah menyatakan bagian dari undang-undang adalah
konstitusional secara bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang
dimaknai sesuai dengan tafsir yang diberikan oleh MKRI, atau bahkan
sebaliknya, tidak konstitusional jika tidak diartikan sesuai dengan tafsir dari
MKRI (conditionally unconstitutional).
c. Bahwa terbukti adanya pertentangan antara UUIKN dengan asas keterlibatan
partisipasi publik di Indonesia sebagaimana ditentukan dalam Alinea Keempat
Pembukaan UUD NRI 1945, maka adalah berdasar hukum bagi MKRI untuk
menyatakan UU IKN bertentangan dengan UUD NRI 1945.
d. Berdasarkan uraian dalam permohonan ini para Pemohon memohon agara
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan ketentuan UUIKN
bertentangan dengan UUD NRI 1945, khususnya bertentangan dengan Alinea
Keempat Pembukaan UUD NRI 1945, Pasal 1 ayat 2 Ayat (1), Pasal 27 Ayat (1),
Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI 1945.
VII. PETITUM
Dengan adanya fakta-fakta hukum di atas maka Pemohon melalui pengujian Pasal 4 Ayat (2) huruf
d UU Perdagangan ini memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi:
DALAM PROVISI
1. Mengabulkan Provisi untuk seluruh nya;
2. Menghentikan Pemerintahan pusat dalam pelaksanaan dan pemindahan Ibu
Kota Negara sampai setidak-tidaknya sampai adanya putusan Mahkamah Konstitusi
dalam perkara a quo yang berkekuatan hukum tetap;
3. Menghentikan Pengandaan Tanah dan penetapan lokasi pembangunan sampai
setidak-tidaknya sampai adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara a
quoyang berkekuatan hukum tetap;
DALAM POKOK PERKARA
1. Menerima dan mengabulkan Permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota
Negara (Lembaran Negara Republik Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6766) cacat formil dan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
3. Menyatakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara
(Lembaran Negara Republik Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6766) tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya
Apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Terhormat memandang perlu dan
layak, maka kami memohonkan agar perkara a-quo dapat diputuskan seadiladilnya (ex
aquo et bono).
1. Menimbang bahwa untuk mendukung dalil-dalilnya para Pemohon megajukan bukti
surat yang diberitanda Bukti P-1 sampai dengan bukti Bukti P-5, masing-masing
sebagai berikut:
1. Bukti P-1 :
Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (Amandemen I sampai dengan Amandemen IV);;

2. Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu


Kota Negara;;

3. Bukti P-3 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dengan NIK


3171025104750004, dengan Nama Anah Mardianah;

4. Bukti P-4 :
Fotokopi print out–Berita Website CNN Indonesia “Survei:
Publik Tolak Ibu Kota Pindah”

5. Bukti P-5 : Fotokopi print out–Berita Website Kompas “45,3 Persen


Responden Survei Tolak Pemindahan Ibu Kota”
2. Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu
yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan dan
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam putusan ini

PERTIMBANGAN HUKUM
- Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan adalah mengenai pengujian
konstitusionalitas UUIKN terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945)
- Menimbang bahwa sebelum memasuki pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi
(selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan dua hal,
yaitu :
• Kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a
quo;
• Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon untuk mengajukan permohonan a
quo; Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut
Kewenangan Mahkamah
- Menimbang bahwa salah satu kewenangan konstitutional Mahkamah berdasarkan
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a UndangUndang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4316, selanjutnya disebut UU MK) juncto Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359)
adalah untuk menguji undang-undang terhadap Undang - Undang Dasar
- Menimbang bahwa permohonan a quo adalah mengenai pengujian Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar, in casu UU ITE terhadap UUD 1945, sehingga
Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a
quo; Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
- Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta
Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian UndangUndang
terhadap UUD 1945 adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama)
warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang
terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan: a. kedudukannya
menurut empat kategori Pemohon tersebut di atas; b. hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 yang dirugikan oleh berlakunya
Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.
- Menimbang bahwa tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, Mahkamah sejak Putusan
Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-
V/2007 bertanggal 20 September 2007 berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus
memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
- Menimbang bahwa Pemohon mengajukan pengujian UUIKN bertentangan UUD
NRI 1945, Pasal 1 ayat (2) Pasal 27D Ayat (1), UUD NRI 1945
- Menimbang bahwa atas pertimbangan di atas Mahkamah berwenang untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo dan Pemohon
mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon
yang selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan Pokok Permohonan.
Pokok Permohonan
Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan UUIKN bertentangan dengan UUD 1945
sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dengan
alasan-alasan hukum yang pada pokoknya disimpulkan sebagai berikut:
a. Bahwa pembuatan rumusan UUIKN memperlihatkan adanya ketidakjelasan
ukuran dan makna;
b. Bahwa pembuatan rumusan UUIKN a quo bertentangan dengan keterbukaan
publik yang meletakkan bahwa informasi sebagai bagian dari hak asasi manusia;
c. Bahwa rumusan UUIKN bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum;
d. Bahwa rumusan UUIKN Perdagangan berpotensi disalahgunakan;
e. Bahwa rumusan Pasal UUIKN mempunyai efek jangka panjang yang menakutkan
Pendapat Mahkamah
Menimbang bahwa terhadap permohonan pokok perkara para Pemohon
dikaitkan dengan dalil - dalil para Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan,
Mahkamah berpendapat sebagai berikut. Bahwa meskipun pada awalnya permohonan
provisi adalah ranah hukum acara perdata, namun hukum acara Mahkamah juga
mengatur permohonan provisi dalam perkara sengketa kewenangan lembaga negara
sebagaimana dimuat dalam Pasal 63 UU MK yang berbunyi, “Mahkamah dapat
mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon
untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan
sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi”. Selain itu, jika diperlukan untuk
melindungi hak - hak konstitusional warga negara, Pasal 86 Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Penjelasannya memberikan
kewenangan kepada Mahkamah untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan
jika terjadi kekosongan/kekurangan dalam hukum
acara. Dalam praktik selama ini, Mahkamah telah menggunakan Pasal 86 tersebut
untuk memutus perkara perselisihan hasil pemilihan umum melalui beberapa putusan
sela yang berlaku mengikat dan telah dilaksanakan. Tambahan pula, dalam perkara
pengujian undang - undang terhadap UUD, berdasarkan Pasal 16 Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam
Pengujian Undang-Undang juga dibuka kemungkinan bagi Mahkamah untuk
menerbitkan ketetapan atau putusan di dalam permohonan provisi.
Menimbang bahwa sesuai dengan kewenangan Mahkamah yang diatur dalam
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yakni, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final diantaranya menguji Undang-Undang terhadap UUD
1945, Mahkamah tidak hanya bertugas menegakkan hukum dan keadilan tetapi
secara preventif juga berfungsi melindungi dan menjaga hak-hak konstitusional
warga negara agar tidak terjadi kerugian konstitusional yang disebabkan oleh praktik
penyelenggaraan negara yang tidak sesuai dengan UUD 1945.
Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 58 UU MK yang berbunyi, ”Undang-
undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan
yang menyatakan 52 bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Dari ketentuan Pasal 58 UU
MK prima facie, Mahkamah tidak berwenang untuk memerintahkan penghentian,
walaupun bersifat sementara, terhadap proses hukum yang sedang berlangsung,
namun, dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945
Mahkamah dapat mengatur pelaksanaan kewenangannya, yaitu berupa tindakan
penghentian sementara pemeriksaan permohonan pengujian undang-undang terhadap
UUD 1945 atau penundaan putusan atas permohonan tersebut apabila permohonan
dimaksud menyangkut pembentukan undang-undang yang diduga berkait dengan
suatu tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara
Pengujian Undang – undang.
Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 58 UU MK yang berbunyi, ”Undang-
undang
yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang
menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”. Dari ketentuan Pasal 58 UU MK prima facie,
Mahkamah tidak berwenang untuk memerintahkan penghentian, walaupun bersifat
sementara, terhadap proses hukum yang sedang berlangsung, namun, dalam
permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 Mahkamah dapat
mengatur pelaksanaan kewenangannya, yaitu berupa tindakan penghentian sementara
pemeriksaan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 atau
penundaan putusan atas permohonan tersebut apabila permohonan dimaksud
menyangkut pembentukan undang-undang yang diduga berkait dengan suatu tindak
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang undang.
Bahwa proses hukum yang sedang dihadapi oleh para Pemohon adalah proses
hukum private yang juga menggunakan instrumen hukum perdata yang bukan
menjadi ranah kewenangan Mahkamah. Karenanya, Mahkamah tidak berwenang
memberikan penilaian terhadap proses hukum yang sedang berjalan sehingga
Mahkamah tidak berwenang untuk memerintahkan Pengadilan Hubungan Industrial
untuk menghentikan sementara proses peradilan tingkat pertama para Pemohon yang
sedang berjalan. Oleh karena itu, Mahkamah tidak dapat mengabulkan permohonan
provisi sejauh menyangkut penghentian proses peradilan tingkat pertama di Pengadilan
hubungan Industria Jakarta.

KONKLUSI
Berdasarkan pertimbangan atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di
atas,Mahkamah berkesimpulan:
1.1 Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a
quo;
1.2 Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonana quo;
1.3 Dalil Pemohon mengenai permohonan provisi tidak cukup berdasar dan
beralasanhukum.
AMAR PUTUSAN
Dengan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
danmengingat Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98,
TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316),

MENGADILI
Menolak permohonan Provisi untuk
seluruhnya
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyararatan Hakim oleh 3 Hakim
Konstitusi Dzulfiqar Agvadhia selaku Ketua merangkap Anggota, Prioni Rahmanda
Saputri dan Vahra Fentisa Salsabila masing-masing sebagai Anggota pada hari Senin
tanggal sepuluh bulan Februari tahun dua ribu dua puluh dua dan diucapkan dalam
persidangan terbuka untuk umum pada hari Rabu tanggal dua belas bulan Februari
tahun dua ribu dua puluh dua, oleh kami tiga Hakim Konstitusi, yaitu Dzulfiqar
Agvadhia selaku Ketua merangkap Anggota, Prioni Rahmanda Saputri dan Vahra
Fentisa Salsabila masing-masing sebagai Anggota dengan dibantu oleh Wiwit Putra
Nuswantoro sebagai Panitera, serta dihadiri oleh pemohon dan/atau Kuasanya dan
Pemerintah atau yang mewakili.

Jakarta, 12 Februari 2022


KETUA,

Dzulfiqar Agvadhia, S.H., M.H.

ANGGOTA-ANGGOTA

Prioni Rahmanda Saputri, S.H., M.H. Vahra Fentisa Salsabila, S.H., M.H.
PENGANTAR
ALAT BUKTIPEMOHON
Dalam Perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang No. 3 Tahun 2022 tentang
Ibu Kota Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945

Jakarta, 18 Februari 2022

Kepada Yang Terhormat,

Majelis Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Perkara


Permohonan Pengujian Undang-Undang No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara
terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Hal: Pengantar Bukti

PemohonDengan hormat,

Bahwa sebelum kami kuasa hukum Para PEMOHON menyampaikan alat bukti surat,
marilah kita sama-sama memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karuniaNya. Selanjutnya untuk dan atas nama klien kami, Para PEMOHON dalam
perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota
Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perkenankan kami mengajukan bukti tertulis yang telah diberi meterai cukup, sebagai
berikut:

Bukti P-1: Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945
(Amandemen I sampai dengan Amandemen IV);
Bukti P-2: Fotokopi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota
Negara;
Bukti P-3: Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dengan NIK 3171025104750004,
dengan
Nama Anah Mardianah;
Bukti P-4: Fotokopi print out–Berita Website CNN Indonesia “Survei: Publik
TolakIbu Kota Pindah”
Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191217200552- 32-
457847/survei-publik-tolak-ibu-kota-pindah Diunduh pada 31 Maret
2022;
Bukti P-5: Fotokopi print out–Berita Website Kompas “45,3 Persen Responden
Survei Tolak Pemindahan Ibu Kota”
Sumber:
https://nasional.kompas.com/read/2019/09/03/14515641/45
3-
persen-responden-survei-tolak-pemindahan-ibu-kota-
inialasannya?page=all Diunduh pada 31 Maret 2022;
Bukti P-6: Fotokopi print out–Berita Website Detik News “Koalisi Masyarakat
Kaltim Tolak Pemindahan Ibu Kota: UU IKN Cacat Prosedural” Sumber:
https://news.detik.com/berita/d-5906003/koalisimasyarakat-kaltim-tolak-
pemindahan-ibu-kota-uu-ikn-cacatprosedural/2 Diunduh pada 31
Maret
2022.

Demikian bukti tertulis ini kami sampaikan ke hadapan Ketua / Majelis Hakim dalam
persidangan yang mulia ini, mohon diterima sebagai alat bukti yang sempurna untuk
dapat dijadikan bahan pertimbangan Majelis dalam memutuskan perkara a quo;

Hormat Kami,

Kuasa Hukum Pemohon

Fai’qa Syifa Irawan, S.H., M.H.

Ana Rohmatun Wamaghfirotun, S.H., M.H.


PUTUSAN AKHIR
PUTUSAN

Nomor 53/PUU-XX/2022

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG


MAHAESAMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK
INDONESIA,

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022
tentang Ibu Kota Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, yang diajukan oleh:

Nama : Anah Mardianah

Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 11 April 1975

Pekerjaan : Guru
Alamat : Jalan D.Gg. III Kr. Anyar RT/RW 007/001,
KarangAnyar, Sawah Besar, Jakarta Pusat, DKI
Jakarta.

berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 24 Januari 2022 kepada Faiqa


SyifaIrawan, S.H., M.H. dan Ana Rohmatun Wamaghfirotun, S.H., M.H. Advokat
dan Penasihat Hukum dari Kantor Advokat JUANG LAW FIRM yang beralamat di Jl.
Surabaya No.20, RT.15/RW.5, Menteng, Kec. Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah
Khusus Ibukota Jakarta, bertindak baik sendiri- sendiri maupun bersama-sama untuk dan
atas nama pemberikuasa yang selanjutnya disebut sebagai PEMOHON
[1.2] Membaca permohonan Pemohon;
Mendengar keterangan Pemohon;
Memeriksa bukti-bukti Pemohon.

DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan bertanggal

25 Februari 2022 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya


disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada 25 Februari 2022 berdasarkan Akta Pengajuan
Permohonan Pemohon Nomor 48/PUU/PAN.MK/AP3/04/2022 dan telah dicatatdalam
Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 30 Januari 2022 dengan
Nomor 53/PUU- XX/2022, yang telah diperbaiki dengan permohonan bertanggal 1
Februari 2022 dan diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 1 Februari 2022, yang pada
pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut:

I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

1. Hak uji, baik formil maupun materiil, diakui keberadaannya dalam sistem
hukum Indonesia, sebagaimana terdapat dalam Konstitusi, yaitu Undang-
Undang Dasar 1945, yang telah mengalami perubahan sebanyak empat kali,dalam
Pasal 24 ayat (1), menyatakan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya ... dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi”;
2. Bahwa pengaturan mengenai kewenangan hak uji undang-undang
terhadapUndang- Undang Dasar tersebut terdapat dalam Pasal 24C Undang-Undang
Dasar 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun2003
tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut “UU Mahkamah
Konstitusi”);
3. Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945
menyatakan:Pasal24C ayat (1) UUD 1945:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum”;

4. Bahwa selanjutnya Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Mahkamah Konstitusi


menyatakan bahwa, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesiaTahun 1945;
Penjelasan Pasal 10 ayat (1)

Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah


Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak
ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan

Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuasaan


hukum mengikat (final and binding).

5. Bahwa Pasal 1 angka 3 huruf a UU Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa:


“Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada
Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;
6. Bahwa perihal permohonan uji formil undang-undang telah dirumuskan dalam
Pasal 4 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang
Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, yangmenyatakan
bahwa:
“(3) Pengujian Formil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan proses
pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).”

7. Bahwa selanjutnya Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang


Kekuasaan Kehakiman, menyatakan “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi”.
8. Bahwa selain itu Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan mengatur bahwa secara hierarki kedudukan Undang- Undang Dasar
1945 lebih tinggi dari undang-undang, oleh karenanya setiap ketentuan undang-
undang tidak boleh bertentangan dengan Undang-UndangDasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Maka jika terdapat ketentuandalam undang-undang yang
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, maka ketentuan undang-
undang tersebut dapat dimohonkan untuk diujimelalui mekanisme pengujian
undang-undang di Mahkamah Konstitusi;
9. Bahwa hak uji menurut Prof. DR. Sri Soemantri, dalam Bukunya: “Hak Uji
Materiil Di Indonesia, 1997,” ada dua jenis, yaitu Hak Uji Formil dan Hak Uji
Materiil. Hak Uji Formil menurutnya adalah “wewenang untuk menilai, apakah
suatu produk legislatif, seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-
cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak” (halaman 6). Selanjutnya ia
mengartikan Hak Uji Materiil sebagai “wewenang untuk menyelidiki dan
kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai
atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah
suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu
peraturan tertentu” (halaman 11);
10. Bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai lembaga pengawal konstitusi
(the guardian of constitution) berwenang memberikan penafsiran terhadap
sebuah ketentuan pasal-pasal undang-undang agar berkesesuaian dengan nilai-
nilai konstitusi. Tafsir Mahkamah Konstitusi terhadap konstitusionalitas pasal-
pasal undang-undang tersebut merupakan tafsir satu-satunya (the sole
interpreter of constitution) yang memiliki kekuatan hukum, sehingga terhadap
pasal-pasal yang memiliki makna ambigu, tidak jelas, dan/atau multitafsir dapat
pula dimintakan penafsirannya kepada Mahkamah Konstitusi;
11. Bahwa berdasarkan segala uraian tersebut jelas bahwa MahkamahKonstitusi
mempunyai kewenangan untuk melakukan pengujian baik secara materiil
maupun formil, yaitu untuk melakukan pengujian sebuah produk undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945
yang dalam permohonan a quo adalah Permohonan Uji Formil Atas UU Ibu
Kota Negara terhadap UUD 1945.

II. TENGGANG WAKTU PENGAJUAN PERMOHONAN PENGUJIAN FORMIL

12. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009


tertanggal 16 Juni 2010, pengujian formil suatu undang-undang hanya dapat
diajukan dalam tenggat waktu 45 (empat puluh lima) hari setelah undang-
undang dimuat dalam Lembaran Negara, sebagaimana pertimbangan Majelis
Hakim menyatakan:
“… Sebuah undang-undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata cara
sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahui
dibandingkan dengan undang-undang yang substansinya bertentangan dengan
UUD 1945. Untuk kepastian hukum, sebuah undang-undang perlu dapat lebih
cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara sah atau tidak, sebab
pengujian secara formil akan menyebabkan undang-undang batal sejak awal.
Mahkamah memandang bahwa 45 (empat puluh lima) hari setelah undang-
undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup unttuk
mengajukan pengujian terhadap undang-undang”;

13. Bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara yang
dicatatkan dalam Lembaran Negara RI Tahun 2022 Nomor 41 tertanggal 15
Februari 2022, sehingga batas waktu pengajuan permohonan pengujian formil
Undang-Undang a quo adalah 1 April 2022;
14. Bahwa permohonan uji formil a quo yang diajukan oleh Pemohon
didaftarkanpada tanggal 31 Maret 2022, sehingga pengajuan permohonan ini
masih dalam tenggat waktu pengujian formil sebagaimana yang dimaktubkan
dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009;

III. KEDUDUKAN HUKUM DAN KERUGIAN KONSTITUSIONAL


HUKUMPEMOHON
15. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa
Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan WNI;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam
undang-undang;
c. badan hukum publik dan privat, atau;
d. lembaga negara”.

16. Bahwa terhadap kedudukan Pemohon juga diatur dalam Pasal 4 ayat (1)
PeraturanMahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam
PerkaraPengujian Undang- Undang (selanjutnya disebut PMK 2/2021),
menyatakan: Permohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a adalah
Pihak yangmenganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan olehberlakuknya undang- undang atau perppu, yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang mempunyai
kepentingan sama;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau badan hukum privat; atau
d. Lembaga negara

17. Bahwa selanjutnya terhadap Pemohon yang menganggap Hak dan/atau


kewenanganKonstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang,
menurut Pasal 4 ayat
(2) PMK 2/2021 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan
Nomor 011/PUU-V/2007, apabila:
a. Ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan oleh
berlakunya undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian;

c. Kerugian konstitusional dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau


setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
d. Ada hubungan sebab-akibat antara kerugian konstitusional dan berlakunya
undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian; dan
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya Permohonan, kerugian
konstitusional seperti yang didalilkan tidak lagi atau tidak akan terjadi.

18. Bahwa selanjutnya untuk memenuhi syarat kedudukan hukum sebagaimana


dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitus, perlu dijelaskan, sebagai
berikut:
Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan
Kepemilikian Kartu Tanda Penduduk (Bukti P.3 – KTP). Pemohon adalah Guru;
19. Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka masuk pada bagian persyaratan sebagai
perseorangan Warga Negara Indonesia sebagaimana diatur pada Pasal 51 ayat
(1) huruf a UU Mahkamah Konstitusi;

KERUGIAN KONSTITUSIONAL PEMOHON

Bahwa selanjutnya untuk memenuhi kapasitas sebagai subjek hukum sebagaimana


ditentukan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan
Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 terkait kerugian konstusional, adalah sebagai
berikut:
20. Bahwa untuk memenuhi syarat mendapatkan kedudukan hukum untuk menguji
undang-undang, selain sebagai perseorangan Warga Negara Indonesia,
Pemohon juga harus memiliki kerugian konstitusional
sebagaimaan ditentukan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
006/PUU- III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007;
21. Bahwa dalam hal ini Pemohon memiliki kerugian konstitusional yang dirugikan
secara potensial dalam penalaran yang wajar dapat terjadi apabila diberlakukan UU
IKN;
22. Bahwa hak konstitusional Pemohon telah diatur, dijamin dan dilindungi
dalamUUD1945 sebagai berikut:
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945
“Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya”.

Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan:

“Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan


haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan:

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian


hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”

23. Bahwa terhadap kerugian Konstitusional Pemohon, akan diuraikan sebagai


berikut: Bahwa Pemohon adalah seorang guru yang berdomisili di Jakarta
dan dalam halperpindahan Ibu Kota Negara melalui UU IKN, Pemohon
merasa prosespembentukan yang terlihat terburu-buru sehingga tidak membuka
partisipasi publiksecara maksimal dan bermakna sangat berpotensi
menimbulkan konflik horizontal di lapangan;
24. Bahwa selain kerugian konstitusional Pemohon sebagaimana telah
diuraikantersebut di atas. Menurut Mahkamah Konstitusi terdapat penentuan
syarat yang harus dipenuhi oleh Pemohon dalam melakukan upaya Pengujian
Formil suatu Undang- Undang terhadap UUD 1945. Syarat tersebut telah
ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 27/PUU-
VII/2009, Paragraf [3.9], angka 1b, halaman 60-63, Mahkamah menyatakan:
“Meskipun ukuran tentang kepentingan dan kedudukan hukum Pemohon yang
menentukan ada tidaknya legal standing untuk mengajukan permohonan tetap
harus merujuk pada Pasal 51 ayat (1) UU MK, akan tetapi berbeda dengan uji
materiil Undang-Undang, yang menitik beratkan pada kerugian yang terjadi
karena dirumuskannya substansi norma dalam satu Undang- Undang
merugikan hak konstitusional, maka dalam uji formil kerugian konstitusional
Pemohon harus dilihat dari kepercayaan dan mandat yang diberikan kepada
wakil sebagai fiduciary duty, yang harus dilaksanakan secara itikad baik dan
bertanggung jawab, dalam hubungan mandate yang tidak terputus dengan
dipilih dan dilantiknya anggota DPR sebagai wakil rakyat pemilih. Kedaulatan
rakyat dalam pembentukan Undang-Undang (legislasi) tidaklah berpindah,
setelah rakyat yang berdaulat memilih wakil- wakilnya dan diberikan mandat
untuk melaksanakan kedaulatan rakyat tersebut, melainkan setiap saat rakyat
pemilih berkepentingan untuk mengadakan pengawasan berdasarkan
mekanisme yang tersedia dalam UUD 1945. Perubahan ketiga UUD 1945 yang
termuat dalam Pasal 1 ayat
(2) menentukan bahwa “kedaulatan rakyat berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut UUD 1945”. Berfungsinya kekuasaan legislatif secarariil
sebagaimana layaknya, berdasar transfer atau perpindahan kedaulatan rakyat
yang diserahkan “rakyat yang berdaulat” pada wakil- wakilnya sebagai mandat
berdasarkan konsep kepercayaan (trust), menyebabkan anggota legislatif
tersebut memperoleh kekuasaan secara fiduciair (fiduciary power). Akan tetapi
pemberian mandat tersebut tetap saja tidak menggeser kekuasaan rakyat
sebagai the supreme power (the sovereign) yang melalui pengawasan dalam
pengujian, tetap dapat mengawasi mandat dalam legislasi yang dihasilkan jika
dibuat secara bertentangan dengan kepercayaan yang diletakkan padanya
karena kedaulatan rakyat sebagai kekuasaan tertinggi sesungguhnya tidak
pernah berpindah dengan terbentuknya institusi perwakilan yang memuat
mandat, melainkan tetap
berada di tangan rakyat.
Oleh karenanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional setiap warga
yang telah memberikan hak pilih dalam pemilihan umum, yang menghasilkan
terpilihnya wakil rakyat di DPR, dipandang terjadi ketika wakil rakyat secara
kelembagaan tidak melaksanakan tugas yang dipercayakan secara fair, jujur,
wajar dan bertanggung jawab. Tugas utama anggota DPR adalah hadir di
dalam rapat-rapat DPR untuk menyuarakan aspirasi konstituennya serta
mengambil keputusan dengan prosedur dan tata cara yang fair dan jujur,
sehingga UndangUndang dan kebijakan lain yang dibentuk, yang bukan
merupakan hasil kerja yang fair, jujur, dan sungguh- sungguh, yang harus
mengikat warga negara secara keseluruhan termasuk Pemohon a quo, pasti
menimbulkan kerugian konstitusional bagi pemberi mandat. Ukuran fairness,
kejujuran, kesungguhan, dan kepercayaan tersebut dijalankan secara bertanggung
jawab, adalah kehadiran yang sungguh- sungguh dalam rapat DPR sehingga
tidak merupakan hambatan berkenaan dengan kuorum yang tidak terpenuhi,
karena ketidaksungguhan tersebut, serta menaati prosedur dan tata cara
pengambilan keputusan yang telah ditentukan.
Meskipun dikatakan bahwa kedudukan hukum (legal standing) digantungkan pada
kerugian konstitusional akibat berlakunya norma dalam satu Undang- Undang,
ukuran demikian dapat berbeda dalam uji materiil dengan uji formil. Dalam uji
formil, yang menyangkut tidak dilaksanakannya mandat wakil rakyat secara
fair, jujur, dan bertanggung jawab dalam mengambil keputusan-keputusan
untuk membentuk satu Undang-Undang atau kebijakan lain, maka setiap warga
negara, sebagai perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai
pemegang kedaulatan, di samping kualifikasi lainnya sebagaimana diatur dalam
Pasal 51 ayat (1) huruf a sampai dengan d, menurut Mahkamah memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan uji formil,
karena merasa dirugikan secara konstitusional oleh pemegang mandat yang
dipilih rakyat, dengan mengambil keputusan tidak sesuai dengan mandat yang
diperolehnya secara fiduciair.
25. Bahwa artinya terhadap Pemohon merupakan warga negara yang sudah
memiliki hak dan yang telah melaksanakan hak pilihnya sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi, dalam pemilihan umum DPR, DPD, Presiden dan
WakilPresiden;
26. Bahwa terhadap kerugian sebagaiamana dijelaskan dalam Putusan MK Nomor
27/PUU-VII/2009 pada angka 11 di atas, perlu kami jelaskan bahwa dalam
proses pembentukan UU IKN, pembentuk undang-undang menggunakan cara
yang menunjukkan tidak dilaksanakannya mandat wakil rakyat secara terbuka,
fair, jujur dan bertanggung jawab;

27. Bahwa oleh karenanya kembali kami ulangi penekanan Mahkamah


Konstitusidalam Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/209, di mana mahkamah
menyatakan, tidak dilaksanakannya mandat wakil rakyat secara fair, jujur, dan
bertanggungjawab dalam mengambil keputusan-keputusan untuk membentuk
satu Undang-Undang atau kebijakan lain, maka setiap warga negara, sebagai
perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan, di
samping kualifikasi lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a
sampai dengan huruf d, menurut Mahkamah memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan permohonan uji formil, karena merasa dirugikan
secara konstitusional oleh pemegang mandat yang dipilih rakyat, dengan
mengambil keputusan tidak sesuai dengan mandat yang diperolehnya secara
fiduciair. Terlebih dalam perkara a quo keberlakuan UU IKN berdampak
langsung bagi Pemohon;
28. Bahwa selain sebagaimana diuraikan di atas, MK dalam yurisprudensi
putusannya juga menyebutkan sejumlah persyaratan lain untuk menjadi
Pemohon, ditegaskan oleh MK dalam Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009,
“Dari praktik Mahkamah (2003-2009), perorangan WNI, terutama pembayar
pajak (tax payer, vide Putusan Nomor 003/PUU-I/2003) berbagai asosiasi dan
NGO/LSM yang concern terhadap suatu Undang-Undang demikepentingan
publik, badan hukum, pemerintah daerah, lembaga negara, dan lain-lain, oleh
Mahkamah dianggap memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan
pengujian, baik formil maupun materil, undang- undang terhadap
Undag-Undang Dasar 1945”;

29. Bahwa pandangan MK mengenai syarat menjadi Pemohon dalam perkara


pengujian undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar tersebut di atas telah
diperkuat kembali dalam Putusan MK Nomor 022/PUU-XII/2014, yang
menyebutkan bahwa “Warga masyarakat pembayar pajak (tax payers)
dipandang memiliki kepentingan sesuai dengan Pasal 51 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Hal ini sesuai dengan
adagium „no taxation without participation‟ dan sebaliknya „no participation
without tax’”. MK mengungkapkan, “Setiap warga negara pembayar pajak
mempunyai hak konstitusional untuk mempersoalkan setiap undang- undang”.
Sebagai penegasan, dalam Putusan MK Nomor 36/PUU- XVI/2018 dan Putusan
MK Nomor 40/PUU-XVI/2018, kedudukan hukum sebagai pembayar pajak (tax
payer) perlu menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa
pelanggaran konstitusional atas berlakunya undang- undang yang diuji adalah
dalam kaitannya dengan status Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer);
30. Bahwa khusus untuk pengujian formil, MK dalam Putusan MK Nomor 27/PUU-
VII/2009, tanggal 16 Juni 2010, telah memberikan pedoman tentanglegal
standing Pemohon untuk mengajukan pengujian formil atas pembentukan
undang- undang terhadap UUD 1945. Dalam putusan tersebut, ukuran atau
pedoman kedudukan hukum Pemohon dalam pengujian formil mempunyai
karakteristik yang tidak sama dengan pengujian materiil. Oleh karena itu,
persyaratan legal standing yang telah ditetapkan oleh MK dalam pengujian
materiil tidak dapat diterapkan untuk pengujian formil. Putusan MK tersebut
menukilkan bahwa syarat legal standing dalam pengujian formil undang-undang
adalah Pemohon mempunyai hubungan pertautan yanglangsung dengan undang-
udang yang dimohonkan. Namun demikian, syarat terpenuhinya hubungan
pertautan yang langsung dalam pengujian formil tersebut tidaklah sampai sekuat
dengan adanya kepentingan dalam pengujian materiil karena tentu saja akan
menghambat para pencari keadilan(justitia bellen), yaitu Pemohon yang
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU
Mahkamah Konstitusi, termasuk Pemohon, untuk mengajukan pengujian secara
formil;
31. Bahwa untuk memenuhi kualifikasi Pemohon dalam pengujian formil a quo,
para Pemohon menerangkan bahwa Pemohon juga merupakan pembayar pajak
(tax payer) yang dibuktikan dengan fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP). Bahwa sebagai pembayar pajak, para Pemohon sangat berkepentingan
dengan pengujian Undang-Undang a quo mengingat Ibukotabaru yang
dipindahkan melalui UU IKN berkaitan langsung dengan pengelolaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang telah diprioritaskan untuk
penanganan Covid-19, yang salah satunya bersumber dari pajak yang
dibayarkan oleh para Pemohon yang kemudian baik secara langsung maupun
tidak langung dialihkan atau sebagian diperuntukan untuk pembangunan ibukota
baru yang terletak di Kalimantan. Dalam hal ini, Pemohon merasa dirugikan
karena pajak yang dibayarkan oleh para Pemohon selama ini telah digunakan
dengan tidak bijak oleh pemerintah.

oleh karena itu para Pemohon menuntut aturan hukum yang konstitusional,
sehingga anggaran yang salah satunya berasal dari pajak para Pemohon dikelola
secara baik, transparan, dan tepat sasaran untuk mempercepat penanganan
pandemi Covid-19 sesuai dengan program prioritas pemerintahselama ini yaitu
percepatan penanganan covid 19 dan percepatanpertumbuhan ekonomi yang
telah carut marut akibat covid 19;
32. Bahwa berdasarkan penjelasan Pemohon sebagaimana diuraikan di atas,
Pemohon telah secara spesifik menjelaskan hak konstitusionalnya yangpotensial
dirugikan dan potensi kerugian dimaksud menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi, sehingga apabila UU IKN dinyatakan tidak memenuhi
ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan, maka dapat dipastikan
kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon tidak akan terjadi
dikemudian hari. Oleh karenanya telah tampak adanya hubungan kausal (causal-
verband) antara kerugian konstitusional yang didalilkan dan berlakunya UU
IKN;
33. Pengakuan hak setiap warga negara Republik Indonesia untuk mengajukan
permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945
merupakan salah satu indikator kemajuan dalam kehidupan berbangsadan
bernegara. Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945
merupakan manifestasi jaminan konstitusional terhadap pelaksanaan hak-hak
dasar setiap warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 24C Undang-Undang
Dasar 1945 juncto Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Mahkamah Konstitusi merupakan badan yudisial yang menjaga hak
asasi manusia sebagai manifestasi peran the guardian of the constitution
(pengawal konstitusi) dan the sole interpreter of the constitution (penafsir
tunggal konstitusi);
34. Bahwa oleh karenanya, maka Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal
standing) sebagai Pemohon pengujian undang-undang dalam perkara a
quokarena telah memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah
Konstitusi beserta Penjelasannya dan syarat kerugian hak konstitusional
sebagaimana tertuang dalam PMK Pasal 4 ayat (2) PMK 2/2021 dan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007.

IV. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN

35. Bahwa Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan dengan tegas sebagai berikut:
Pasal 1 ayat (2)
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar.”

36. Bahwa selanjutnya Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 telah mengatur sebagai berikut:
Pasal 20 ayat (1)
“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.”

37. Bahwa ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 tersebut di atas mempertegas
kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai badan legislatif yang
berwenang untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan, di mana
sebelumnya dalam UUD 1945 sebelum amandemen, kekuasaan untuk
membentuk undang-undang berada di tangan presiden;
38. Bahwa baik Dewan Perwakilan Rakyat selaku pemegang kekuasaan pembentuk
undang-undang (legislatif), maupun Presiden selaku pemegang kekuasaan
pemerintahan (eksekutif) berhak untuk mengajukan rancangan undang-undang
sebagaimana diatur dalam UUD 1945;
39. Bahwa Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengusulkan rancangan undang-
undang diatur dalam Pasal 21 UUD 1945 yang menyatakan:
Pasal 21 UUD 1945

“Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan


undang-undang.”
40. Bahwa Presiden berhak mengusulkan suatu rancangan undang-undang diatur
dalamPasal 5 ayat (1)
“Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan
Perwakilan Rakyat”

41. Bahwa selanjutnya suatu undang-undang menjadi sah dan dapat diundangkan
menurut UUD 1945 harus terlebih dahulu dibahas dan disetujuibersama oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden. Bahwa hal tersebut secara jelas telah
tersirat dalam Pasal 20 UUD 1945 yang mengatursebagai berikut:

Pasal 20 UUD 1945


1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-
undang.
2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama,
rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan
Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama untuk menjadi undang-undang.
5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut
tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak
rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang
tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

42. Bahwa filosofi yang termaktub dalam Pasal 20 UUD 1945 tersebut merupakan
suatu landasan diberikannya kewenangan menurut konstitusi kepada Dewan
Perwakilan Rakyat selaku lembaga legislatif maupun Presiden selaku lembaga
eksekutif yang merupakan pemegang mandat yang telah dipilih menjadi wakil dari
seluruh rakyat Indonesia untuk membentuk dan mengesahkan Undang-Undang
yang mengatur kehidupan masyarakat. Bahwa hal tersebut tentunya sejalan
dengan prinsip kedaulatan di tangan rakyat sebagaimana tercantum dalam Pasal
1 ayat (2) UUD 1945;
43. Bahwa berdasarkan hal tersebut maka tujuan dan proses dari pembentukan suatu
undang-undang yang mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara
haruslah bersama-sama dilaksanakan oleh DPR maupun Presiden dengan tujuan
kebutuhan akan adanya suatu peraturan yang memberikan kepastian hukum
untuk terciptanya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat dapat terpenuhi,
mengingat Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945;
44. Bahwa tentunya suatu undang-undang harus dibentuk untuk menjamin suatu
kepastian hukum, menjamin keadilan maupun menciptakan ketertiban dan
kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia, bukan untuk sebagian
golongan maupun individu tertentu saja. Bahwa dengan demikian suatu undang-
undang supaya dapat memenuhi segala tujuan tersebut di atas, harus dibentuk
dengan prosedur-prosedur yang ketat, detail dan terperinci. Tidak mungkin
suatu undang- undang dapat berjalan dan bermanfaat dengan baik apabila dibuat
tanpa prosedur yang jelas dan asal-asalan;

45. Bahwa UUD 1945 sampai dengan amandemen terakhir belum mengatur secara
detail dan terperinci mengenai tata cara maupun proses pembentukan
undang-undang. Bahwa sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya UUD 1945
hanya memberikan pengaturan sederhana bagaimana pembentukan suatu
undang-undang, yang dapat diuraikan secara sederhana sebagaiberikut:
a. Baik DPR maupun Presiden berhak untuk mengajukan rancangan undang-
undang;
b. Rancangan undang-undang tersebut dibahas bersama oleh DPR dan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama;
c. Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama menjadi Undang-Undang
d. Apabila rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tidak
disahkan oleh Presiden maka dalam waktu 30 hari semenjak rancangan
Undang-Undang disetjui, maka rancangan undang-undang sah menjadi
Undang-Undang dan wajib disahkan.

46. Bahwa selanjutnya Pasal 22A UUD 1945 telah menyatakan sebagai berikut:
”Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur
dengan undang-undang”
Bahwa berdasarkan Pasal 22A tersebut maka UUD 1945 telah memberikan
atribusi pengaturan mengenai tata cara pembentukan undang-undang dengan
suatu Undang-Undang;
47. Bahwa berdasarkan Pasal 22A UUD 1945 tersebut maka dibentuklah peraturan
perundang-undangan yang mengatur ketentuan mengenai penyusunan suatu
peraturan perundang-undangan yaitu:
1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang
Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan.
2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
3) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2020 tentang Tata Tertib.

48. Bahwa dengan demikian dalam menyusun sampai dengan mengesahkan suatu
undang-undang harus didasarkan pada UUD 1945 dan Peraturan Perundang-
Undangan yang mengatur mengenai tata cara pembentukannya sebagaimana
telah disebutkan di atas. Bahwa hal tersebut juga telah dipertegas oleh
Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi telah memberikan suatu aturan
dalam Pasal 51A ayat
(3) Undang-Undang MK mengenaipengujian formil suatu undang-undang yaitu:
“Dalam hal permohonan pengujian berupa permohonan pengujian formil,
pemeriksaan dan putusan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi
didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata
cara pembentukan peraturan perundang-undangan.”

49. Bahwa selanjutnya Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 27/PUU-


VII/2009telah menyatakan sebagai berikut:
“......,menurut Mahkamah jika tolok ukur pengujian formil harus selalu
berdasarkan pasal-pasal UUD 1945 saja, maka hampir dapat dipastikan tidak akan
pernah ada pengujian formil karena UUD 1945 hanya memuat hal-hal prinsip
dan tidak mengatur secara jelas aspek formil proseduralnya. Padahal dari logika
tertib tata hukum sesuai dengan konstitusi, pengujian secara formil itu harus dapat
dilakukan. Oleh sebab itu, sepanjang Undang- Undang, tata tertib produk
lembaga negara dan peraturan perundang- undangan yang mengatur
mekanisme atau formil-prosedural itu mengalir dari delegasi kewenangan
menurut konstitusi, maka peraturan perundang- undangan itu dapat
dipergunakan atau dipertimbangkan sebagai tolok ukur atau batu uji dalam
pengujian formil.”

50. Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan disebutkan tahap-tahap pembentukan peraturan
perundang- undangan sebagai berikut:
Pasal 1 angka 1
“Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan
Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, pengundangan.”

51. Bahwa pada tanggal 18 Januari 2022 Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR RI) telah resmi menetapkan Rancangan Undang-Undang Ibu
Kota Negara sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun2020;
52. Bahwa sebelum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara
disahkan, Undang-Undang a quo telah mendapatkan penolakan dari Pemerintah
Provinsi, Pemerintah Daerah/Kabupaten/Kota dan DewanPerwakilan Rakyat Daerah
Provinsi/Kabupaten/Kota. Namun, penolakan tersebut tidak didengarkan oleh
Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Justru
Pemerintah Pusat dan DPR RI tergesa- gesa mengesahkan Undang-Undang a
quo tanpa mendengarkan aspirasi dari Pemerintah Daerah dan DPRD;

53. Bahwa pada tanggal 18 Januari 2022 Dewan Perwakilan Rakyat dengan
Pemerintah telah menyetujui bersama Rancangan Undang-Undang tentang Ibu
Kota Negara dalam Rapat Paripurna;
54. Bahwa selanjutnya pada tanggal 15 Februari 2022 Presiden Republik Indonesia
telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang
Ibu Kota Negara (Lembaran Negara Republik Tahun 2022 Nomor 41,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6766);
55. Bahwa dengan demikian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu
Kota Negara dari awal masuk dalam Prolegnas yaitu tanggal 18 Januari 2022
sampai dengan pengesahannya tanggal 15 Februari 2022 hanya memakan waktu
kurang darisatu Bulan;
56. Bahwa untuk itu, Pemohon akan menguraikan apakah pembentukan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (Lembaran Negara
Republik Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6766) tersebut di atas telah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan atau justru sebaliknya, dengan dalil-dalil sebagai
berikut:

UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2022 TENTANG IBU KOTA


NEGARA BERTENTANGAN DENGAN SYARAT FORMIL
PEMBENTUKAN UNDANG- UNDANG DALAM TAHAP PERENCANAAN
57. Bahwa Pasal 22A UUD 1945 telah menyatakan sebagai berikut: ”Ketentuan
lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan
undang-undang”;
58. Bahwa Pasal 16 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
UndangNomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
menyebutkan: “Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam
Prolegnas.”

59. Bahwa selanjutnya Pasal 19 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, menyebutkan:

Pasal 19
1) Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 memuat program
pembentukan Undang-Undang dengan judul Rancangan Undang- Undang,
materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan PeraturanPerundang-
undangan lainnya.
2) Materi yang diatur dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-
undangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
keterangan mengenai konsepsi Rancangan Undang-Undang yang meliputi:
a. latar belakang dan tujuan penyusunan;
b. sasaran yang ingin diwujudkan; dan
c. jangkauan dan arah pengaturan.
3) Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah melalui
pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik;

60. Bahwa Pasal 43 ayat (3) Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
menyebutkan: “Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden,
atau DPD harus disertai Naskah Akademik.”;
61. Bahwa Pasal 163 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur sebagai
berikut:
Pasal 163 ayat (2)
“Rancangan undang-undang yang berasal dari DPR, Presiden atau DPD
disertai dengan naskah akademik, kecuali rancangan undang-undang
mengenai:
a. APBN;
b. penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi
Undang-Undang; dan
c. pencabutan Undang-Undang atau pencabutan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang.

62. Bahwa selanjutnya Pasal 113 ayat (2) dan ayat (6) Peraturan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib mengatur
sebagai berikut:
Pasal 113
ayat (2)
“Rancangan undang-undang dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD”ayat
(6)
“Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukandan
disertai dengan naskah akademik, kecuali rancangan undang-undang
mengenai:

a. APBN;
b. penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi
Undang-Undang; dan
c. pencabutan Undang-Undang atau pencabutan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang.

63. Bahwa Pasal 2 huruf a Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Perundang-Undangan mengatur sebagai berikut:
Pasal 2 huruf a
“Perencanaan pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas:
a. perencanaan Rancangan Undang-Undang

64. Bahwa Pasal 3 huruf a Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Perundang-Undangan mengatur sebagai berikut: “Perencanaan
Rancangan Undang-Undang meliputi kegiatan: a.Penyusunan Naskah
Akademik

65. Bahwa Pasal 8 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Perundang-Undangan mengatur sebagai berikut:
“Naskah akademik disusun dalam rangka penyusunan Rancangan Undang-
Undang”

66. Bahwa Pasal 19 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Perundang-Undangan mengatur sebagai berikut:
1) Pemrakarsa mengusulkan daftar Rancangan Undang-Undang yang berasal
dari Prolegnas jangka menengah untuk masuk dalam Prolegnas prioritas
tahunan.
2) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melampirkan
dokumen kesiapan teknis meliputi:
a. Naskah Akademik;
b. Surat keterangan penyelarasan Naskah Akademik dari Menteri;
c. Rancangan Undang-Undang;
d. Surat keterangan telah selesainya pelaksanaan rapat panitia antar
kementerian dan/atau antarnon kementerian dari Pemrakarsa; dan
e. Surat keterangan telah selesainya pengharmonisasian, pembulatandan
pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang dari Menteri

67. Bahwa Pasal 104 ayat (2) Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata
Tertib mengatur Jumlah anggota panitia khusus ditetapkan oleh rapat paripurna
DPR paling banyak 30 (tiga puluh) orang. Selanjutnya Pasal 105 ayat (6) mengatur
bahwa calon ketua dan wakil ketua diusulkan secara tertulis oleh Fraksi dalam rapat
panitia khusus yang dipimpin oleh Pimpinan DPR dalam 1 (satu) paket calon
pimpinan panitia khusus yang terdiri atas 1 (satu) orang calon ketua dan 3 (tiga)
orang calon wakil ketuan dari Fraksi yang berbeda untuk ditetapkan sebagai paket
calon pimpinan panitia khususdalam rapat panitia khusus. Dengan demikian
berdasarkan ketentuan Pasal 104 ayat
(2) dan Pasal 105ayat (6) Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020tentang Tata Tertib
bahwa
jumlah anggota panitia khusus adalah 30 orang dan 4 pimpinan;
68. Dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 7 Desember 2021, ditetapkan jumlah
anggota Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara
adalah 56 orang dan 6 pimpinan. Jumlah anggota Panitia Khusus sebanyak 56
orang ini melanggar ketentuan Pasal 104 ayat (2) Peraturan DPR RI Nomor 1
Tahun 2020 tentang Tata Tertib yang mengatur bahwa anggota Pansus
maksimal 30 orang. Jumlah Pimpinan Panitia Khusus sebanyak 6 Pimpinan juga
melanggar ketentuan Pasal 105 ayat (6) PeraturanDPR RI Nomor 1 Tahun 2020
tentang Tata Tertib yang mengatur bahwa jumlah pimpinan panitia khusus
sebanyak 4 pimpinan. Setelah menuai kritik dan polemik, akhirnya pada Rapat
Paripurna penutupan masa sidang II 2021/2022 tanggal 16 Desember 2021
keputusan jumlah anggota Pansus
RUU IKN direvisi menjadi 30 orang dan 4 pimpinan sesuai Tata Tertib yang
berlaku, setelah adanya surat dari Mahkamah Kehormatan Dewan yang
mengingatkan pelanggaran Tata Tertib;
69. Jadi sebenarnya Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota
Negara ini resminya baru terbentuk pada tanggal 16 Desember 2021, bukan
tanggal
7 Desember 2021. Dengan demikian jangka waktu penyelesaian Rancangan
Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara sejak pembentukan Panitia Khusus
hingga pengesahan menjadi Undang-undang pada tanggal 18 Januari 2022
hanya selama 34 hari, bukan 43 hari. Waktu pembahasan yang hanya 34 hari ini
menunjukkan sekali bahwa pembuatan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara
ini sangat tergesa-gesa sekali, waktu yang tersedia sama sekali tidak
memungkinkan adanya partisipasi publik. Padahal masalah pemindahan Ibu
Kota Negara ini merupakan hal yang sangat prinsipil menyangkut kehidupan
bernegara dan berbangsa;
70. Bahwa pasca terbitnya Supres tertanggal 29 September 2021, dan telah masuk
agenda pendahuluan di DPR RI tanggal 3 November 2021, sampai pada Rapat
Paripurna dalam rangka Pembicaraan Tk II/ Pengambilan Keputusan menjadi UU
pada tanggal 18 Januari 2022 publik sangat minim memperoleh informasi pada
setiap tahapan pembahasan UU IKN di DPR;
71. Bahwa dalam website resmi DPR terdapat rincian agenda pembahasan UU IKN
yang di rilis dalam web (https:www.dpr.go.id/uu/detai/id/368) di mana terdapat
28 tahapan/agenda pembahasan RUU IKN di DPR, dari 28 agendatersebut
hanya ada 7 agenda yang dokumen dan informasinya dapat diakses.Sedangkan 21
agenda lainnya informasi dan dokumennya tidak dapat di akses publik;
72. Bahwa dari hal yang diuraikan di atas dapat diperoleh fakta bahwa representasi
masyarakat yang terlibat dalam pembahasan RUU IKN sangatlah parsial dan
tidak holistik. Padahal IKN merupakan berwujudan bersama kota negara
Republik Indonesia yang seharusnya dapat lebih memperluas partisipasi dan
pihak-pihak dari berbagai daerah, golongan, dan unsur kepentingan masyarakat
lainya dalam pembahasannya;
73. Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020
dalam perkara Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja telah merumuskan makna partisipasi masyarakat dalam
pembentukan undang-undang yaitu:
[3.17.8] ..., masalah lain yang harus menjadi perhatian dan dipenuhi dalam
pembentukan undang-undang adalah partisipasi masyarakat. Kesempatan bagi
masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang
sebenarnya juga merupakan pemenuhan amanat konstitusi yang menempatkan
prinsip kedaulatan rakyat sebagai salah satu pilar utama bernegara
sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Lebih jauh lagi,
partisipasi masyarakat juga dijamin sebagai hak-hak konstitusional berdasarkan
Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang memberikan
kesempatan bagi warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan dan
membangun masyarakat, bangsa, dan negara. Apabila pembentukan undang-
undang dengan proses dan mekanisme yang justru menutup atau menjauhkan
keterlibatan partisipasi masyarakat untuk turut serta mendiskusikan dan
memperdebatkan isinya maka dapat dikatakan pembentukan undang-undang
tersebut melanggar prinsip kedaulatan rakyat(people sovereignty).
Secara doktriner, partisipasi masyarakat dalam suatu pembentukan
undangundang bertujuan, antara lain, untuk (i) menciptakan kecerdasan
kolektif yang kuat (strong collective intelligence) yang dapat memberikan
analisis lebih baik terhadap dampak potensial dan pertimbangan yang lebih
luas dalam proses legislasi untuk kualitas hasil yang lebih tinggi secara
keseluruhan, (ii) membangun lembaga legislatif yang lebih inklusif dan
representatif (inclusive and representative) dalam pengambilan keputusan;
(iii) meningkatnya kepercayaan dan keyakinan (trust and confidence) warga
negara terhadap lembaga legislatif; (iv) memperkuat legitimasi dan tanggung
jawab (legitimacy and responsibility) bersama untuk setiap keputusan dan
tindakan; (v) meningkatan pemahaman (improved understanding) tentang
peran parlemen dan anggota parlemen oleh warga negara;
(vi) memberikan kesempatan bagi warga negara (opportunities for citizens)
untuk mengomunikasikan kepentingan-kepentingan mereka; dan (vii)
menciptakan parlemen yang lebih akuntabel dan transparan (accountable and
transparent).
Oleh karena itu, selain menggunakan aturan legal formal berupa peraturan
perundang-undangan, partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna
(meaningful participation) sehingga tercipta/terwujud partisipasi dan
keterlibatan publik secara sungguh-sungguh. Partisipasi masyarakat yang lebih
bermakna tersebut setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu: pertama, hak
untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak untuk
dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk
mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be
explained). Partisipasi publik tersebut terutama diperuntukan bagi kelompok
masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern)
terhadap rancangan undangundang yang sedang dibahas.
Apabila diletakkan dalam lima tahapan pembentukan undang-undang yang
telah diuraikan pada pertimbangan hukum di atas, partisipasi masyarakat yang
lebih bermakna (meaningful participation) harus dilakukan, paling tidak, dalam
tahapan (i) pengajuan rancangan undang-undang;
(ii) pembahasan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
presiden, serta pembahasan bersama antara DPR, Presiden, dan DPD
sepanjang terkait dengan Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945; dan (iii)
persetujuan bersama antara DPR dan presiden.
Untuk memungkinkan adanya partisipasi masyarakat yang lebih bermakna
(meaningfull participation) maka masyarakat harus bisa masuk kedalam aspek
konten/muatan/substansi dari naskah akademik yang menjadi acuan pokok
dalam rangka penyusunan Rancangan Undang-Undang. Jadi hendaknya jangan
dimaknai secara sempit bahwa aspek formil sekedar ada atau tidak ada
dokumen naskah akademik namun harus dimungkinkan masuk kedalam
substansi naskah akademik. Kelengkapan dan kebenaran informasi dalam
naskah akademik harus juga bisa dipertanggungjawabkan
karena itu yang menjadi dasar pembentukan Undang-Undang. Apalagi
Rancangan Undang-Undang Tentang Ibu Kota Negara ini pada hakekatnya
adalah pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Penajam Paser Utara dan
Kutai Kartanegara. Jadi Rancangan Undang-Undang Tentang Ibu Kota Negara
ini selain memiliki dimensi abstrak berupa pengaturan substansi Undang-
Undang tetapi juga ada dimensi fisik berupa pemindahan Ibu Kota Negara dari
Jakarta ke Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara. Kelengkapan dan
kebenaran informasi dalam naskah Akademik harus juga bisa
dipertanggungjawabkan karena itu yang menjadi dasar pembentukan Ibu Kota
Negara baru di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara. Jadi tinjauan
terhadap muatan naskah Akademik bukan berarti otomatis juga merupakan uji
materi terhadap Undang-Undang Tentang Ibu Kota Negara.

74. Tinjauan Terhadap Konten/Muatan/Substansi Naskah Akademik


Rancangan Undang-Undang Tentang Ibu Kota Negara
a. Pemilihan Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara sebagai calon Ibu
Kota Negara baru tanpa melalui Studi Perbandingan antara beberapa
calon lokasi Ibu Kota Negara baru
Lazimnya dalam penentuan suatu lokasi untuk kepentingan strategis, apalagi
selevel lokasi Ibu Kota Negara, seharusnya ada studi pemilihan lokasi yang
membandingkan beberapa calon lokasi yang mencakup metodologi studi,
parameter-paramater studi dan skoring masing-masing, pengumpulan dan
kelengkapan data, identifikasi kondisi faktual menyangkut kelebihan dan
kekurangan masing-masing calon lokasi, identifikasi risiko, analisa dan
kesimpulan.
Dalam Naskah Akademik sama sekali tidak tercantum bagaimana studi
pemilihan lokasi yang pernah dilakukan yang membandingkan berbagai
alternatif lokasi-lokasi calon Ibu Kota Negara, namun yang ada hanya
langsung penetapan Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara sebagai
calon Ibu Kota Negara baru. Hal ini jelas merupakan kesalahan fundamental
dalam Naskah Akademik mengingat pemindahan Ibu Kota Negara ini
merupakan pekerjaan yang maha besar, melibatkan sumber
daya dan dana yang luar biasa, risiko yang akan dihadapi juga sangat
dahsyat sehingga tidak bisa dilakukan secara serampangan karena
menyangkut masa depan Negara. Ketepatan pemilihan lokasi calon Ibu Kota
Negara merupakan hal yang prinsipil dan ketepatan dimaksud hanya bisa
diperoleh dengan melakukan studi perbandingan antar calon lokasi secara
akuntabel.

b. Pemilihan Penajam Passer Utara dan Kutai Kartanegara sama sekali


tanpa melalui kajian atas risiko lokasi
Dalam Naskah Akademik tercantum angka II. A.3. Aspek Pengelolaan Aset
danRisiko:
 Pengelolaan IKN yang modern melibatkan pengelolaan aset jangka
panjang sesuai dengan siklus organisasi dan kebijakan.
 Perlunya integrasi manajemen antara keuangan, pengaturan kelembagaan
pembangunan dan pengelolaan, teknis dan kinerja masa depan berkaitan
dengan risiko.

Namun pada kenyataannya keseluruhan isi Naskah Akademik, sama sekali


tidak ada tercantum kajian atas risiko atas Penajam Paser Utara dan Kutai
Kartanegara sebagai calon Ibu Kota Negara baru padahal kajianrisiko
dimaksud menyangkut kepentingan masa depan Negara Indonesia. Berikut
hal-hal yang sama sekali tidak masuk dalam kajian risiko dalam Naskah
Akademik.
1) Wilayah Kalimantan dipenuhi Cadangan Batu Bara dan lahan Gambut.
Berdasarkan laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM), cadangan batu bara di Kalimantan Timur tercacat mencapai 16,07
milar ton pada tahun 2020 atau sebesar 41,42% dari total cadangan batu
bara di Indonesia. Jumlah itu menjadikan Kalimantan Timur sebagai
provinsi dengan cadangan batu bara terbesar di TanahAir.
Dengan cadangan batu bara sebesar 16,07 milyar ton maka nilai
komersial cadangan batu bara di Kalimantan Timur dengan
menggunakan patokan harga batu bara USD 150/ton saja adalah
USD2,410.5 Miliar (dua ribu empat ratus koma lima miliar dollar
Amerika). Nilai yang luar biasa besar (menggunakan rate 1USD = Rp
14.500) ekivalen Rp. 34.952.250.000.000.000,- atau tiga puluh empat
ribu sembilan ratus lima puluh dua ribu triliun dua ratus lima puluh
miliar rupiah atau mendekati 35 ribu kuadriliun rupiah, senilai 5x lipat
utang Negara Republik Indonesia. Artinya dengan memonetisasi/
mengkomersialisasi cadangan batu bara di Kalimantan Timur langsung
oleh Negara/BUMN maka secara teoritis Indonesia bisa melunasi
seluruh utang.
Dari peta geologi yang ada, lahan gambut tersebar luas di seluruh Pulau
Kalimantan. Tanah di Kalimantan Timur didominasi oleh lahan gambut
termasuk di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara.
2) Karakteristik Batu Bara dan Lahan Gambut: bisa Self Combustion

(terbakar dengan sendirinya)

Baik batu bara maupun tanah gambut mempunyai kecenderungan untuk


timbulnya proses pembakaran spontan (spontaneous combustion/self
combastion) akibat adanya oksidasi. Jadi tidak perlu adanya pembakaran
secara sengaja maka bisa terjadi pembakaran pada batu bara maupun
tanah gambut. Apalagi jika sengaja dibakar. Dari catatan peristiwa
sebelum ini, kebakaran hebat lahan gambut di wilayah Sumatera Selatan,
Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Timur terjadi pada saat cuaca panas ekstrim akibat dampak
Elnino. Dengan demikian patut diduga kebakaran yang terjadi tidak
semuanya berasal
daripembakaran lahan, namun juga dari proses pembakaran spontan
(spontaneous combustion). Pembakaran spontan serupa terjadi juga di
kebakaran besar lahan dan hutan di California Amerika Serikatkarena
cuaca panas yang ekstrim. Jelas di Amerika hampir pasti tidakada
pembukaan lahan dengan cara membakar.
Negara sebesar dansekaya Amerika Serikatpun dengan teknologi yang
tinggi tetap tidakmampu memadamkan kebakaran lahan dan hutan di
California.
3) Karakteristik Lahan Gambut terhadap air: cepat menyerap air danlambat
melepas air
Belum lama ini kita mendengar berita bahwa Kabupaten Sintang di
Kalimantan Barat dilanda banjir besar hingga setinggi 3 meter, selama satu
bulan lebih air banjir tidak surut-surut sejak 21 Oktober 2021 hingga 30
November 2021. Hal ini disebabkan oleh karakteristik lahan gambut yang
cepat menangkap air namun butuh waktu lama melepaskannya. Makanya
tidak heran walaupun penyebab banjir berhenti (curah hujan tinggi dan
luapan air sungai) namun banjir di Sintang tetap berlangsung selama 6
minggu, hal itu terjadi karena Kabupaten Sintang berada di atas lahan
gambut yang karakteristiknyalama melepaskan air. Banjir besar di
Kalimantan Baratjuga mencakup
6 Kabupaten yaitu Kapuas Hulu, Melawi, Sekadau, Sanggau, Ketapang
dan Bengkayan.
Mengacu berita detik.com tanggal 16 November 2021, Presiden Jokowi
mengatakan bahwa penyebab banjir Sintang adalah karena kerusakan
catchment area/daerah tangkapan hujan yang sudah berpuluh-puluh
tahun. Pernyataan Presiden Jokowi benar adanya, cuma yang Presiden
Jokowi perlu tahu kalau daerah Sintang bukan lahan gambut maka banjir
hanya akan berlangsung hitungan hari saja setelah turunnya hujan
ekstrim yang menyebabkan debit air Sungai Kapuas dan Melawi meluap.
4) Karakteristik Lahan Gambut jika terbakar secara massive mustahil bisa
dipadamkan dengan siraman air
Kebakaran lahan gambut yang massive mustahil dipadamkan dengan air
karena memang kebakaran lahan gambut itu bukan hanya terjadi di
permukaan namun menjangkau tanah gambut hingga kedalaman yang
bisa mencapai puluhan meter. Jadi meskipun dipermukaan
kesannya sudah padam namun beberapa saat kemudian bisa terbakar lagi
mengingat tanah gambut bagian bawah masih dalam kondisi
terbakar/membara. Mau menggunakan air miliaran kubik-pun tidak akan
sanggup memadamkan kebakaran lahan gambut, tunggu padam dengan
sendirinya. Lihat saja kebakaran besar di tahun 2019 yang melanda
Kalimantan, dan juga Riau dan Sumatera Selatan. Lihat jugakebakaran
besar yang melanda Taman Hutan Raya Bukit Suharto di Kutai
Kertanegara tahun1997.
5) Pengumuman Presiden Jokowi: Kabupaten Penajam Paser Utara dan
Kabupaten Kutai Kertanegara di Kalimantan Timur sebagai calonlokasi
Ibu Kota Negara baru
Presiden Jokowi mengumumkan lokasi Ibu Kota Negara baru pada tanggal
26 Agustus 2019 di Istana Negara. Mengacu Kompas.com, dengan judul
“6 hal penting soal pemindahan Ibukota ke Kalimantan Timur”, Jokowi
mengatakan “Pemerintah telah melakukan kajian mendalam dan
intensifkan studinya selama 3 tahun terakhir”. Jokowi juga
mengungkapkan 5 alasan yang membuat Kaltim terpilih mengalahkan
kandidat lain di Pulau Kalimantan. “Pertama, risiko minimal, baik
bencana banjir, gempa bumi, tsunami, kebakaran hutan,maupun tanah
longsor”. “Lokasi ibukota baru yang paling ideal adalah di sebagian
Kabupaten Penajam Passer Utara dan sebagian di Kabupaten Kuta
Kertanegara, Provinsi Kalimantan Timur”.
Dari ucapan di atas jelas Presiden Jokowi menganggap bahwa Penajam
Paser Utara dan Kutai Kertanegara merupakan lokasi yang paling ideal
untuk Ibu Kota Negara yang baru, dibandingkan lokasi- lokasi lainnya di
Indonesia. Kata ideal mengandung makna harfiah menuju ke
“kesempurnaan”, sesuai dengan yang dicita-citakan jika ditinjau dari
berbagai parameter pemilihan lokasi yaitu risiko yang minimal baik
bencana banjir, gempa bumi,tsunami, kebakaran hutan dan tanah longsor.
Namun kenyataannya kajian atas risiko yangdimaksud Presiden Jokowi
sama sekali tidak tercantum dalam Naskah
Akademik.
6) Studi dan Keputusan Penentuan Lokasi Calon Ibu Kota Negara baru di
Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara Mengabaikan
RisikoBencana Dahsyat Kebakaran (Catastrophic Disaster)
Lokasi Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara secara geologi
berada di atas sumber daya batu bara. Disini terdapat bahaya laten potensi
kebakaran mengingat batubara dan lahan gambut memiliki potensi “self
combustion” alias terbakar dengan sendirinya pada temperatur tertentu,
tanpa perlu ada yang membakar (lewat pembukaan lahan ataupun
puntung rokok). Saat ini saja ada ratusan konsesi pertambangan batu bara
di Penajam Paser Utara danKutai Kartanegara.
Menjadi sangat ironi pernyataan Presiden Jokowi saat mengumumkan calon
Ibu Kota Negara baru Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara
tanggal 26 Agustus 2019 bahwa 5 alasan yang membuatKaltim terpilih
mengalahkan kandidat lain di Pulau Kalimantan. “Pertama, risiko
minimal, baik bencana banjir, gempa bumi, tsunami, kebakaran hutan,
maupun tanah longsor”. Letak sangat ironinya adalah justru tanggal
pengumuman dimaksud yaitu 26 Agustus 2019 hanya berjarak beberapa
hari saja setelah berakhirnya bencana besar berbulan bulan yaitu
terbakarnya lahan dan hutan di Kalimantan termasuk Kalimantan Timur,
termasuk juga PPU dan KuKar.
Kebakaran besar yang melanda Pulau Kalimantan (termasuk Kalimatan
Timur dan Penajam Paser Utara serta Kutai Kartanegara) di tahun 2019
yangmembuat Pulau Kalimatan dikepung asap tebal hingga menyeberang
ke Semenanjung Malaysia dan Singapura, menyebabkan permasalahan
transportasi baik darat laut dan udara maupun gangguan kesehatan akibat
asap. Jarak pandang sangat dekat, bandar udara banyak yang tutup,
bahkan untuk pesawat tempurpun tidak bisa terbang. Kegiatan
masyarakat banyak yang lumpuh.
Pada kenyataannya, meskipun telah mengerahkan seluruh daya dan
upaya, bahkan melibatkan Tentara Nasional Indonesia, Pemerintah
Indonesia tidak sanggup untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan
gambut di Pulau Kalimantan termasuk Kalimantan Timur dimaksud.
Kebakaran besar terjadi pada periode tertentu yaitu saat musim panas yang
ekstrim yang berulang 5 tahun sekali karena fenomena El Nino, terakhir
terjadi di tahun 2019. Dari beberapa kejadian kebakaran besar tidak pernah
terjadi api bisa dipadamkan sesuai target pemadaman, yang ada padam
karena berjalannya waktu berbulan bulan setelah turun hujan dan cuaca
ekstrim panas berkurang.
Terlalu telanjang terlihat bahwa pemilihan calon ibu kota negara baru
tanpa kajian risiko kebakaran sehingga patut diduga bahwa sudah ada setting
dari awal Ibu Kota Negara harus pindah ke Kalimantan. Ada yang tidak
diungkap secara profesional untuk dipermasalahkan dari aspek teknis.
Seharusnya metodologi studi lokasi calon Ibu Kota Negara baru
mencantumkan aspek teknis persyaratan mutlak/ mandatory requirement
bahwa calon lokasi ibu kota negara tidak bolehberada di atas lahan batu
bara maupun lahan gambut. Karena itu merupakan risiko laten. Daerah
calon Ibu Kota Negara itu tidak boleh pernah mengalami catastrophic
disaster/bencana dahsyat kebakarandan juga tentu tsunami besar.
Pemerintah nampaknya sudah kehilangan akal sehat dengan penentuan
Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara sebagai calon Ibu Kota Negara
baru. Bisa kacau negara Republik Indonesia ini. Siapa yang harus
bertanggung jawab atas risiko di masa datang?
Pembangunan Ibu Kota Negara baru Penajam Paser Utara dan Kutai
Kartanegara di wilayah berbahaya yaitu di atas lahan gambut maupun
cadangan batu bara berpotensi menjadi state crime (kejahatan negara)
karena mengabaikan potensi bahaya besar di masa datang.

7) Calon Ibu Kota Negara Baru Penajam Paser Utara dan KutaiKartanegara
sangat berpotensi mengalami banjir dahsyat
dan berlangsung lama seperti Kabupaten Sintang Kalimantan Barat

Banjir di Sintang Kalimantan Barat tahun 2021 lalu yang berlangsung


hampir 2 bulan dengan ketinggian banjir mencapai 3 meter mengingat Kota
Sintang berada di atas lahan gambut yang cepat menyerap air namun
lama melepaskan air, padahal jumlah penduduk Kota Sintang relatif
sedikit dan sebaran bangunan yang relatif tidak rapat. Amat sangat
mungkin nanti Ibu Kota Negara Penajam Paser Utara dan Kutai
Kartanegara akan mengalami banjir dengan ketinggian hingga 3 meter
dan berkepanjangan karena lokasinya sama dengan Sintang yaitu berada
di atas lahan gambut. Bahkan bisa diprediksi banjir di Penajam Paser Utara
dan Kutai Kartanegara akan lebih dahsyat dengan ketinggian banjir yang
lebih besar dan berlangsung lebih lama dibanding Sintang mengingat
nanti Ibu Kota Negara baru Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara
nantinya akan dipenuhi oleh gedung-gedung beton bertingkat tinggi
maupun bertingkat rendah dandihuni penduduk jutaan orang.
8) Ancaman peluru kendali dari negara asing (versi Bappenas) versus
ancaman kebakaran dahsyat di Penajam Paser Utara dan Kutai
Kartanegara Merupakan hal yang aneh Bappenas fokus ke ancaman
peluru kendali dari negara asing ke calon lokasi Ibu Kota Negara baru.
Padahal itu ancaman yang bersifat potensial. Sementara ancaman
nyata dan sudah berkali kali terjadi yaitu kebakaran lahan dan hutan
yang masifdi Kalimatan diabaikan. kebakaran yang terjadi di Penajam
Paser Utara tahun 2019 meliputi Nenang, Gunung Seteleng dan Lawe
Lawedan di Kutai Kartanegara meliputi Samboja khususnya di Taman
HutanRakyat Bukit Suharto yang sudah terbakar berkali kali. Setiap ada
fenomena El Nino pasti Kalimatan terbakar termasukKalimantanTimur.
Taman Hutan Rakyat Bukit Suharto yang masuk dalam wilayah Calon
Ibu Kota Negara Kutai Kertanegara sudah terlalu sering terbakar tahun demi
tahun dengan skala yang sedemikian luas tanpa ada kemampuan
Pemerintah untuk pemadamannya, apalagi kebakaran yang terjadi tahun
1997. Seandainya pun kebakaran hanya terjadi di wilayah Kalimatan
Utara, Kalimatan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimatan Tengah dan
hanya sebagian Kalimatan Timur (tidak terjadi kebakaran di Penajam Paser
Utara dan Kutai Kartanegara) namun dampak kebakaran dimaksud akan
menimpa Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara berupa kabut asap
dahsyat yang melumpuhkanaktifitasi di Penajam Paser Utara dan Kutai
Kartanegara.
Jika Ibu Kota Negara Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara
dibakar dari 8 penjuru mata angin, maka berpotensi melumpuhkan Ibu Kota
Negara. Banjir di Ibu Kota Negara Penajam Paser Utara dan Kutai
Kartanegara selama 2 bulan dengan tinggi 2 meter akan melumpuhkan
operasi pemerintahan dan memalukan Indonesia di mata dunia. Jika Ibu
Kota Negara Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara dikepung api
dan asap, jutaan penduduk akan sesak napas, Presiden dan Wakil
Presiden tidak bisa bekerja.
9) Ancaman Teroris dan Negara Asing: Membakar Ibu Kota Negara baru
Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara dengan mudah
Jika Ibu Kota Negara jadi pindah ke Penajam Paser Utara dan Kutai
Kartanegara maka kalau teroris atau negara asing mau menghancurkan
Negara Indonesia gampang sekali, yaitu cukup dilakukan oleh 8 orang
saja dengan cara membakar lahan gambut di Penajam Paser Utara dan
Kutai Kartanegara dari 8 penjuru mata angin, apalagi nanti Ibu Kota
Negara katanya berkonsep forest city (rimba nusa). Sebentar saja Ibu
Kota Negara baru Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara ludes
terbakar tanpa bisa di atasi oleh pemadam kebakaran sekuat apapun. TNI
pun meskipun melibatkan pasukan khusus tidak akan bisa melawan
teroris yang membakar lahan Penajam Paser Utara dan Kutai
Kartanegara. Semuanya akan lumpuh. Indonesia akan hancur lebur.

10) Tidak ada sejarah negara-negara di dunia, sebuah Negara Ibu


Kotanya berada di atas tanah gambut maupun sumber daya batu
bara.Dalam NaskahAkademik tercantum contoh-contoh Negara-
negara didunia yang memindahkan Ibu Kota-nya dan berikut Lesson
Learned

yang diperoleh. Negara-negara dimaksud yaitu Malaysia, Korea Selatan,


Brazil, Australia, Kazakhstan, Myanmar, Amerika, Nigeria dan Pakistan.
Yang menjadi aneh, lesson learned yang tercantum dalam Naskah
Akademik sama sekali tidak menyinggung bahwa dari negara- negara yang
dijadikan studi perbandingan dimaksud tidak ada satupun negara yang
memindahkan Ibu Kota-nya ke daerah yang berada di atas tanah gambut
maupun sumber daya batu bara.
Lihat saja Australia. Ibu kota negara Australia tidak berada di atas lahan
gambut, jauh dari lokasi tambang batu bara (Queensland, Tasmania,
Victoria). Begitu pula Cina. Malaysia sama saja bunuh diri kalau mau
memindahkan ibu kotanya ke Sabah yang banyak terdapat lahan gambut.
Amerika Serikat-pun tidak akan pernah memindahkan ibu kotanya ke
California yang rawan kebakaran lahan dan hutan.
11) Tidak ada satu negara pun di dunia memindahkan negaranya ke luar
Pulau Ibu Kota Negara sebelumnya.
Betapa ironinya Indonesia memindahkan Ibu Kota Negara dari Pulau
Jawa ke Pulau Kalimantan yang jaraknya ribuan kilometer menyeberangi
laut. Pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimatan jika ditinjau
dari aspek teknis pemindahan, mobilitas, transportasi, komunikasi dan
koordinasiakan mengakibatkan dampakyang sangat mengerikan.
Kazakhstan berhasil memindahkan ibu kotanya dengan baik. Tapi coba
cek dari mana ke mana, lalu jarak pindah berapa kilometer, bagaimana
proses pindahnya. Jarak pindah hanya 1.215 km itu pun darat-ke darat
bukan pindah antar pulau melewati lautan. Pindahnya pun pada
momentum yang tepat yaitu saat baru merdeka dari Uni Sovyet Rusia
bisa pindah berkali kali ibu kota ya tetap saja dari darat ke darat, jarak
Moskow ke St. Petersburg Cuma 704 km. Malaysia, dariKL ke Putra Jaya
hanya berjarak 32 Kilometer, jarak yang dekat sekali. Harusnya Indonesia
tidak usah pindah Ibu Kota, disebar aja beban Ibu Kota Jakarta ke beberapa
kota penyangga Jakarta, sehingga menjadi kota megapolitan. Selesaikan
masalah tanpa menciptakan masalah baru.

12) Kazakhstan Pindah Ibu Kota: Demi keamanan negara, menjauh dari
potensi serangan peluru kendali negara asing versus Indonesia Pindah
Ibu Kota: Mendekati potensi serangan peluru kendali negara asing.
Alasan utama Kazakhstan pindah ibu kota adalah karena Ibu kota
Kazakhstan terlalu dekat dengan negara lain, jadi dicari posisi yang
relatif jauh sehingga keamanan ibu kota lebih terjamin, jauh dari bahaya
serangan peluru kendali negara asing. Indonesia bangun Ibu Kota Negara
justru sengaja mendekati potensi serangan peluru kendali negara asing.
Sudah jelas posisi Jakarta sangat strategis jauh dari negara tetangga
manapun, malah pindah ke lokasi mendekati negare-negara tetangga.
Jelas pemindahan Ibu Kota Negara ke Penajam Paser Utara dan Kutai
Kartanegara merupakan kesalahan fatal dari aspek pertahanan negara
Rusia saat ini memerangi Ukrainaalasan utamanya adalah Rusia tidak
menghendaki Ukraina menjadi pangkalan Peluru Kendali Pakta
Pertahanan Atlantik Utara (NATO) karena akan menyebabkan Moskow
bisa diserang peluru kendali hanya dalam beberapa menit saja karena
jarak yang sangat dekat antara Ukraina dan Moskow Ibu Kota Negara
Rusia.
13) Banyak Lubang Bekas Tambang di Penajam Paser Utara dan Kutai
Kartanegara
Di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara terdapat banyak sekali
perusahaan tambang yang beroperasi. Selain itu Penajam PaserUtara dan
Kutai Kartanegara selaku calon lokasi Ibu Kota Negara barujuga
dikepung oleh banyak perusahaan tambang yang beroperasi di
Kabupaten lain di Kalimantan Timur. Dapat dipastikan baru pertama kali
di dunia ada Ibu Kota Negara yang dikepung oleh pertambangan batu
bara.
Kepala Bappenas Suharso Monoarfa (CNN Indonesia, 4 Februari 2020)
menyatakan “Ada 109 lubang tambang, baik dalam skala kecil maupun
besar. Butuh biaya besar untuk reklamasi termasuk revegetasi penanaman
ulang” kata Suharso saat melakukan rapat kerja dengan Komisi XI DPR
RI, Jakarta, Selasa (4/2).

Diketahui Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla sempat mengingatkan


bahwa rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan harus hati-hati dan
perlu kajian menyeluruh. Pasalnya, ia menyebut pulau terbesar diIndonesia
itu didominasi oleh lahan gambut yang mudah terbakar, dan juga
banyaknya lubang tambang.
“Kalimantan kan lahannya luas, kalau di Jawa sudah tidak ada lagi. Tapi
harus hati-hati juga, kalau Kalimantan lahan gambut banyak
bisaterbakar, di Kalimantan Timur juga banyak bekas lubang tambang.
Jadi harus dipilih dengan betul” ujar JK di kantor wakil presiden, Jakarta
Selasa (30/7). Secara implisit sangat jelas bahwa sebenarnya Mantan Wakil
Presiden Jusuf Kalla sejak awal mempermasalahkan kelayakan Penajam
Paser Utara dan Kutai Kartanegara sebagai calonIbu Kota Negara baru.
Proses reklamasi lubang-lubang tambang itu bukan pekerjaan mudah. Butuh
waktu bertahun-tahun dan butuh biaya yang sangat besar. Lubang-lubang
tambang itu dapat dipastikan masih menyisakan batu bara yang tidak
tertambang yang menjadi potensi bahaya dimasa depan. Sesuai ketentuan
kontrak/ijin usaha pertambangan, biaya reklamasi lubang bekas tambang
merupakan tanggung jawab dari Perusahaan Tambang. Nah jika dalam
pembangunan Ibu Kota Negara Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara
biaya reklamasi lubang bekas tambang menggunakan uang negara maka
patut diduga itu masuk dalam delik korupsi yang merugikan keuangan
negara.

14) Temuan gas dangkal calon Ibu Kota Negara

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah mendeteksi potensi


kemunculan gas dangkal di area calon Ibu Kota Negara baru. Potensi gas ini
juga sudah pernah diungkap dalam diskusi kebencanaan terkait calon Ibu
Kota Negara pada 14 Agustus 20202 yang dipublikasikan di laman resmi
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah atau Bappeda Kalimantan
Timur. Bappeda Kalimantan Timur mencatat gas diidentifikasi
menggunakan data sumur Tengin -1, Semoi-1, Belonak-1 dan Loa Haur-1.
Efek negatifnyaadalah apabila pada suatu saat beban di permukaan
bertambah dengan bertambahnya bangunan, dikhawatirkan terjadi
keretakan yang dapat menyebabkan munculnya gas ke permukaan
dengantekanan yang tinggi.
Kepala Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan, Badan Geologi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Rita Susilawati
mengatakan dalam diskusi daring Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI),
Minggu 30 Januri 2022 bahwa “Kemungkinan kalau tak dimitigasi dari
awal, itu memang membahayakan, kalau lokasinya di wilayah inti Ibu
Kota Negara misalnya”. Yang jadi pertanyaan apa mitigasi yang bisa
dilakukan untuk menanggulangi gas dangkal? Jalan mitigasi satu-satunya
untuk daerah yang mengandung gas dangkal adalah tidak boleh ada
bangunan dan penduduk di sekitar atau beradadalam radius gas dangkal
dimaksud. Hal ini menunjukkan bahwa Penajam Paser Utara dan Kutai
Kertanegara tidak layak dipilih sebagai lokasi calon Ibu Kota Negara baru
karena mengandung banyak gas dangkal sehingga tidak mungkin
dilakukan pembangunan yang masif dengan penduduk yang banyak.
Dalam berita di Tempo.Co tanggal 30 Januari 2022 yang berjudul “Ahli
Geologi Kritik Proyek Pembangunan IKN: Jangan Grasah-Grusuh”
tercantum berita sebagai berikut”
Mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Andang Bachtiari
menyatakan proyek Ibu Kota Negara (IKN) atau ibu kota baru ke
Kalimantan Timur. Ia menilai masih banyak pekerjaan rumah dari sisi
sains, ilmu pengetahuan dan keteknikan yang masih harus diselesaikan di
tahap awal proyek ini. Ada beragam kritik yang dilontarkan Andang
dalam diskusi ini, salah satunya para ahli yang yang dilibatkan sebelum
DPR menyetujui RUU IKN. Andang mencatat ada empat pakar yang
terlibat dalam pembahasan RUU IKN, tapi tak ada satupun yang bicara
soal daya dukung fisik geologi IKN. “Tidak ada satupun pakar geologi
teknis, geoteknik, hidrogeologi geofisik, geologi lingkungan, geologi
bawah permukaan dan geologi kebencanaan yang diundang” kata dia
dalam paparannya.
Dari apa yang disampaikan oleh Bapak Andang Bachtiar itu
menunjukkan memang ada kesengajaan dari Panitia Khusus Rancangan
Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara untuk tidak mengundang
pakar dalam bidang geologi sehingga bisa dikatakan tidak ada partisipasi
masyarakat yang lebih bermakna (meaningful participation) dalam
memberikan masukan terkait daya dukung dan risiko dari aspek geologi
daerah Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara.
15) Melanggar Alinea 4 Pembukaan UUD 1945

Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 4 dinyatakan bahwa tugas dari


Pemerintah adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia. Kenyataan yang ada Lokasi Ibu Kota
Negara di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara secara geologi
berada di atas sumber daya batu bara dan lahan gambut. Di sini terdapat
bahaya laten potensi kebakaran mengingat batubara dan lahan gambut
memiliki potensi “self combustion” alias terbakar dengansendirinya pada
temperatur tertentu, tanpa perlu ada yang membakar(pembukaan lahan
ataupun puntung rokok). Kebakaran besar yang melanda Pulau
Kalimantan (termasuk Kalimatan Timur dan PPU serta KuKar) di tahun
2019 yang membuat Pulau Kalimatan dikepung asap tebal hingga
menyeberang ke Semenanjung Malaysia dan Singapura, menyebabkan
permasalahan transportasi baik darat laut dan udara maupun gangguan
kesehatan akibat asap. Jarak pandang sangat dekat, bandar udara banyak
yang tutup, bahkan untuk pesawat tempur pun tidak bisa terbang.
Kegiatan masyarakat banyak yang lumpuh dan jalannya roda pemerintahan
sangat terganggu. Pada kenyataannya, meskipun telah mengerahkan
seluruh daya dan upaya, bahkan melibatkan Tentara Nasional Indonesia,
Pemerintah Indonesia tidak sanggup untuk mengatasi kebakaran hutan
dan lahan gambut di Pulau Kalimantan termasuk Kalimantan Timur
dimaksud. Dengan demikian menempatkan Ibukota Negara di sama saja
menjerumuskan Ibu Kota Negara dan penduduknya dalam bahaya,
sehingga Pemerintah tidak menjalankan kewajibannya untuk melindungi
segenap bangsa Indonesia danseluruh tumpah darah Indonesia.

75. Pemerintahan Daerah Ibu Kota Negara yang tanpa DPRD melanggar Pasal 18B ayat
(1) UUD 1945
Bahwa UUD 1945 BAB VI Pemerintahan Daerah Pasal 18B ayat (1) berbunyi
sebagai berikut: ”Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur
dengan undang- undang”.
Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Negara sesuai Rancangan Undang-
Undang Ibu Kota Negara memiliki karakteristik khusus antara lain
penetapanGubernur tanpa melalui pemilihan dan tak memiliki DPRD. Ibu Kota
Negara hanya akan ikut kontestasi politik di tingkat pusat yakni Pileg dan
Pilpres.
Yang Namanya pemerintahan daerah meskipun “khusus” di Undang-Undang Dasar
1945 harus dimaknai adanya perangkat pemerintahan yang lengkap yaitu
Gubernur
/Kepala Daerah dan DPRD sebagai perangkat pelengkap sehingga bisa
terjadi/berjalannya fungsi kontrol/check and balance. Bagaimana mungkin kota
sebesar Ibu Kota Negara dengan penduduk jutaan, dengan konsumsi anggaran
yang luar biasa besar tapi dijalankan tanpa adanya fungsi pengawasan,
budgeting dan legislasi. Siapa yang harus
membuatnya. Ide yang lucu sekali jika fungsi budgeting, pengawasan dan
legislasi untuk Ibu Kota Negara baru Penajam Paser Utara dan Kutai
Kartanegara dijalankan oleh DPR Pusat, itu namanya anomali dalam bernegara.
Kalaupun mau dijalankan seperti itu ya harus dirubah dulu UU tentang DPR
Pusat.
76. Melanggar ketentuan Pasal 22D UUD 1945 karena tidak melibatkan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) secara kelembagaan
Sesuai dengan ketentuan Pasal 22D UUD 1945, Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) memiliki wewenang untuk ikut membahas rancangan undang-
undangyang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah.
Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara ini menyangkut hal
otonomi daerah dan pembentukan daerah baru. Dengan demikian DPD
wajibdilibatkan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota
Negara ini. Ketentuan Pasal 22D UUD 1945 ini hendaknya dimaknai bahwa
opini, saran, masukan dari DPD wajib menjadi bahan pertimbangan dalam
penyusunan Rancangan Undang- Undang tentang Ibu Kota Negara, bukan hanya
sebagai penggembira saja. DPD dalam hal ini harus dilibatkan secara
kelembagaan, bukan hanya individu tertentu yang ditunjuk oleh pimpinan DPD
untuk terlibat dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Ibu Kota
Negara. Ujungnya, DPD secara kelembagaan harus menyampaikansikap atas
konsep final Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara sebelum
disahkan dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat. Tanpamelibatkan
DPD secara end to end (awal hingga akhir) maka bisa dinyatakan bahwa
pembentukan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara bertentangandengan
Konstitusi. Malah lebih lanjut seharusnya karena menyangkut penggunaan
anggaran negara yang ribuan triliun yang langsung menimbulkan
ketidaksetimbangan distribusi anggaran negara yang terfokus ke Penajam Paser
Utara dan Kutai Kartanegara, padahal anggaran dimaksud bisa digunakan untuk
pemerataan pembangunan ke seluruh propinsi di Indonesia, maka harus
dimaknai bahwa keikutsertaan DPD dalam
pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara adalah dalam
konteks konstitusional bahwa apakah DPD secara kelembagaan menyetujui atau
tidak pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta Ke Penajam Paser Utara dan Kutai
Kartanegara. Penggunaan anggaran Negara yang bisa ribuan triliun untuk
pembangunan Ibu Kota Negara baru akan menimbulkan situasi baru berupa
pembangunan yang bersifat Kalimantan, bahkan Kalimantan Timur Sentris,
setelah sekian lama Indonesia terjebak dengan istilah Jawa Sentris. Untuk
memutuskan apakah DPD setuju atau tidak pemindahan Ibu Kota Negara tentu
DPD harus melakukan kajianmendalam tentang latar belakang mengapa Ibu
Kota Negara harus dipindahkan, bagaimana metodologi pemilihan lokasi calon
Ibu Kota Negara, bagaimana strategi pemindahan Ibu Kota Negara dan
bagaimana kesiapan pendanaan. Jika belum ada persetujuan DPD secara
kelembagaan untuk pindah Ibu Kota Negara Rancangan Undang-Undang
tentang Ibu Kota Negara maka RUU IKN belum bisa dibahas lebih lanjut.
77. Melanggar ketentuan UUD 1945 bahwa secara historis Ibukota Negara
Republik Indonesia adalah Jakarta
Dalam UUD 1945 tidak ada keterangan eksplisit bahwa Ibukota Negara
Republik Indonesia adalah Jakarta. Namun dilihat dari aspek historis sejak lama
bahwa Belanda menjadikan Jakarta sebagai Pusat Kekuasan Belanda di Hindia
Belanda, kemudian Deklarasi Kemerdekaan Indonesia dilakukan oleh Soekarno
dan Mohammad Hatta di Jakarta maka hendaknya dimaknai bahwa Ibukota
Negara Republik Indonesia adalah Jakarta sebagai Konstitusitidak tertulis. Dengan
demikian untuk memindahkan Ibu Kota Negara ke lokasi lain di Indonesia
haruslah melalui perubahan dalam UUD 1945. Oleh karena itu tindakan
Pemerintahan Presiden Jokowi yang memindahkan Ibu Kota Negara ke Penajam
Paser Utara dan Kutai Kartanegara hanya denganpersetujuan DPR lewat Undang-
Undang tentang Ibu Kota Negara merupakanpelanggaran Konstitusi UUD 1945.
Kisah pindah Ibu Kota Negara tanpa melalui perubahan Konstitusi dialami juga
olehKorea Selatan saat akan memindahkan Ibu Kota Negara dari Seoul
Ke Propinsi Chungcheong. Mengacu berita di Detik.com tanggal 18 Januari
2022 dengan judul “MK Korsel Pernah Batalkan Rencana Pemindahan Ibu
Kota, Ini Alasannya” tercantum sebagai berikut:
Pada 2004, Presiden Korea Selatan Roh Moo-Hyun berupaya memenuhi janji
kampanyenya dengan membuat Undang-Undang Khusus tentang Pembentukan
Ibu Kota Administratif Baru guna merelokasi Seoul sebagai ibu kota Republik
Korea Selatan dengan cara membangun ibu kota baru di Propinsi Chungcheong
untuk menjalankan fungsi administratif.
“Akan tetapi, Undang-Undang khusus tersebut diuji konstitusionalitasnya olehwarga
negara Korea Selatan dari berbagai wilayah dengan alasan belum adanya revisi
terhadap Konstitusi. Selain itu, UU Khusus tersebut juga dianggap telah
melanggar hak referendum dan hak pembayar pajak” tulis PanMohamad Faiz.
Hakim MK Korea Selatan dengan Putusan 8:1 menyatakan UU Khusus tersebut
inkonstitusional. Alasannya, Seoul yang telah lama menjadi ibu kota Korea Selatan,
meskipun tidak secara spesifik disebutkan di dalam Konstitusi. Namun pada
faktanya penetapan Seoul sebagai ibu kota negara merupakan perwujudan dari
„customary constitution‟ yang memiliki efek yangsama dengan konstitusi tertulis.
78. Bahwa dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020] Mahkamah menegaskan
standar dalam menilai partisipasi masyarakat yaitu: Perlu Mahkamah tegaskan,
penilaian terhadap tahapan dan standar dimaksud dilakukan secara akumulatif.
Dalam hal ini, jikalau minimalsatu tahapan atau satu standar saja tidak terpenuhi
dari semua tahapan atausemua standar yang ada, maka sebuah undang-undang
dapat dikatakan cacat formil dalam pembentukannya. Artinya, cacat formil
undang- undang sudah cukup dibuktikan apabila terjadi kecacatan dari semua
atau tahapan atau standar dari semua tahapan atau standar sepanjang kecacatan
tersebuttelah dapat dijelaskan dengan argumentasi dan bukti-bukti yang tidak
diragukan untuk menilai dan menyatakan adanya cacat formil pembentukan
undang-undang.
79. Bahwa berdasarkan Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah
Konstitusi telah merumuskan dengan sangat detail model partisipasi masyarakat
dalam pembentukan undang-undang, yang apabila hal itu tidak terpenuhi dapat
membuat undang-undang cacat secara formil. Termasuk dalam penyusunan UU
IKN a quo.
80. Bahwa oleh karena adanya cacat formil dalam partisipasi masyarakat dalam
pembentukan UU IKN, dapatlah dikatakan UU IKN cacat formil dan
bertentangan secara langsung dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang
menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar”.
81. Bahwa selanjutnya Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan menyebutkan:
Pasal 96
1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilakukan melalui:
a. rapat dengar pendapat umum;
b. kunjungan kerja;
c. sosialisasi; dan/atau
d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang
perseorangan atau kelompok orang yangmempunyai kepentingan atas
substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan
dan/atau tertulis sebagaimanadimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan
Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses denganmudah oleh
masyarakat.

82. Bahwa Pasal 10 ayat (1) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penyusunan ProgramLegislasi
Nasional mengatur sebagai berikut:
“untuk mendapatkan masukan dari masyarakat, Badan Legislasi:
a. Mengumumkan rencana penyusunan Prolegnas Jangka Menengah kepada
masyarakat melalui media massa baik cetak maupun elektronik;
b. Melakukan kunjungan kerja untuk menyerap aspirasi masyarakat; dan
c. Menerima masukan dalam rapat Badan Legislasi

83. Bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara
bertentangan dengan asas keterbukaan dan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011tentang Pembentukan
Peraturan Perundang- Undangan karena dalam tahapan perencanaan dan
penyusunan Naskah Akademik (NA) dan Draf RUU Ciptaker seharusnya sudah
dipublikasikan sejak dimulainya pembahasan dalam Prolegnas dan
diperdebatkan secara luas untuk menyerap aspirasi publik. Realitasnya Undang-
Undang Ibu Kota Negara tidakmelalui pelibatan publik yang luas dalam prosesnya
hanya melibatkan segelintir pihak saja. Bahkan draf Rancangan Undang-
Undang yang disampaikan kepada publik simpang siur alias kontroversial
otentisitasnya.
84. Bahwa Pasal 27 UUD 1945, menyatakan sebagai berikut:

1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan


pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya.
2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan.
3) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan
negara.

85. Bahwa Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, menyatakan sebagai berikut:

“(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan


haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dannegaranya”.

86. Bahwa Pasal 28D ayat (3) UUD 1945, menyatakan sebagai berikut:

“(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan.”

87. Bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara
(Lembaran Negara Republik Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6766) dibuat tanpa adanya partisipasi

masyarakat yang terdampak dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang


IbuKota Negara a quo.
88. Bahwa Konstitusi dalam Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 terhadap uji materi
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi terhadap perlakuan
berbedatersebut sebagai berikut:
“Norma pasal a quo menunjukkan bahwa dalam penyusunan rencana strategis,
rencana zonasi, rencana pengelolaan, dan rencana aksi pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil hanya dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan
dunia usaha, sehingga mengurangi akses keterlibatan masyarakat,khususnya
masyarakat lokal dan tradisional. Walaupun masyarakat diikutkan dalam
sosialisasi dan dengar pendapat (public hearing), akan tetapi posisidemikian
akan sangat melemahkan posisi masyarakat dibanding Pemerintah Daerah dan
dunia usaha. Pasal 14 ayat
(1) Undang-Undang a quo setidaknya akan memunculkan dua masalah.
Pertama, terjadi pembungkaman hak masyarakat untuk turut serta
menyampaikan usulan, sehingga masyarakat tidak memiliki pilihan untuk
menolak atau menerima rencana tersebut; Kedua, ketika sebuah kebijakan tidak
didasarkan pada partisipasi publik, berpotensi besar terjadinya pelanggaran
hak publik di kemudian hari yaitu diabaikannya hak-hak masyarakat yang
melekat pada wilayah yang bersangkutan, padahal masyarakat setempatlah
yang mengetahui dan memahami kondisi wilayah.
Menurut Mahkamah penyampaian usulan yang hanya melibatkan
pemerintahdan dunia usaha ini merupakan sebuah bentuk perlakuan berbeda
antar warga negara (unequal treatment) dan mengabaikan hak-hak masyarakat
untuk memajukan dirinya dan memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya yang bertentangan dengan
Pasal 27, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.”

89. Bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka menjadi pertanyaan besar
bagi Pemohon, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu KotaNegara
dibuat untuk kepentingan siapa, apabila masyarakat yang terdampaktidak
dilibatkan dalam penyusunan rancangan undang-undang IbuKota Negara a quo,
walau sekedar memberikan masukan atau pendapat.
90. Bahwa berdasarkan hal tersebut maka sudah sepatutnya Yang Mulia
MajelisHakim Mahkamah Konstitusi Menerima dan Mengabulkan Permohonan
Uji Formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara.
91. Bahwa berdasarkan hal tersebut maka sudah sepatutnya Yang Mulia
MajelisHakim Mahkamah Konstitusi Menerima dan Mengabulkan Permohonan
Uji Formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara.
V. PROVISI
1. Karena Pasal 58 UU MK mengatur bahwa Putusan Mahkamah tidak berlaku surut,
maka untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak konstitusional Pemohon,
Pemohon memohon agar Majelis Hakim Konstitusi menerbitkan PutusanSela.
2. Walaupun UU MK tidak mengatur secara spesifik mengenai Putusan Provisi,
menurut Pemohon, undang-undang tidak melarang Mahkamah Konstitusi untuk
mengintrodusir mekanisme ini dalam perkara pengujian undang-undang. Hal ini
perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran atas UUD 1945 yang paling
tidak ketika pemeriksaan pendahuluan dilakukan potensi pelanggaran tersebut telah
terdeteksi oleh Mahkamah Konstitusi.
3. Permohonan provisi ini penting untuk diajukan oleh para Pemohon untuk
mendapatkan jaminan kepastian hukum atas proses yang sedang dijalani Pemohon.
Apabila Kepolisian Repubublik Indonesia, atau Kejaksaan Repubublik Indonesia,
atau Presiden Repubublik Indonesia melakukan tindakan-tindakan hukum yang
dapat membuat norma yang sedang diuji menjadi terlaksana maka hak konstitusional
Pemohon menjadi terlanggar secara aktual. Dengan demikian, berdasarkan hal-hal
tersebut di atas, kami berpendapat bahwa Majelis Mahkamah Konstitusi yang
Berhormat berwenang untuk menjatuhkan putusan Provisi dalam perkara a quo.

VI. PETITUM
Bahwa berdasarkan uraian-uraian yang telah dipaparkan di atas, Pemohon memohon
kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk dapat mengabulkan Permohonan
Pemohon sebagai berikut:
DALAM PROVISI
1. Mengabulkan Provisi untuk seluruh nya;
2. Menghentikan Pemerintahan pusat dalam pelaksanaan dan pemindahan Ibu Kota
Negara sampai setidak-tidaknya sampai adanya putusan Mahkamah Konstitusi
dalam perkara a quo yang berkekuatan hukum tetap;
3. Menghentikan Pengandaan Tanah dan penetapan lokasi pembangunan sampai setidak -
tidaknya sampai adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara a quo yang
berkekuatan hukum tetap;

DALAM POKOK PERKARA


1. Menerima dan mengabulkan Permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu
Kota Negara (Lembaran Negara Republik Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6766) cacat formil dan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
3. Menyatakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara
(Lembaran Negara Republik Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6766) tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
Atau;
Apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-
adilnya (ex aequo et bono).

[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat
bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan buktiP-6 sebagaiberikut:
1. Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (Amandemen I sampai dengan Amandemen IV);

2. Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu

Kota Negara;
3. Bukti P-3 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dengan NIK

3171025104750004, dengan Nama Anah Mardianah;

4. Bukti P-4 : Fotokopi print out–Berita Website CNN Indonesia “Survei:

Publik Tolak Ibu Kota Pindah”


Sumber:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191217200552-
32- 457847/survei-publik-tolak-ibu-kota-pindah

Diunduh pada 31 Maret 2022;


5. Bukti P-5 : Fotokopi print out–Berita Website Kompas “45,3 Persen
Responden Survei Tolak Pemindahan Ibu Kota”
Sumber:
https://nasional.kompas.com/read/2019/09/03/14515641/453
- persen-responden-survei-tolak-pemindahan-ibu-kota-
ini- alasannya?page=all
Diunduh pada 31 Maret 2022;
6. Bukti P-6 : Fotokopi print out–Berita Website Detik News
“KoalisiMasyarakat Kaltim Tolak Pemindahan Ibu
Kota:
UU IKN Cacat
Prosedural”
Sumber: https://news.detik.com/berita/d-
5906003/koalisi- masyarakat-kaltim-tolak-pemindahan-ibu-
kota-uu-ikn-cacat- prosedural/2

Diunduh pada 31 Maret 2022.

Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan


keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan pada tanggal 2 Februari 2022, yang pada
pokoknya sebagai berikut:
A. KETENTUAN UU MK YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD
NRITAHUN 1945
Para Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian atas UU IKN yang
cacat
formil dan dianggap bertentangan dengan Pasal 27 ayat 1, 28D ayat 1 UUD 1945
adalahsebagai berikut :
a. Pasal 27 ayat 1 UUD 1945
“Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
danwajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
b. Pasal 28D ayat 1 UUD 1945

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian


hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG


DIANGGAPPEMOHON TELAH DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA UUIKN
Para Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya
telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Undang-Undang no 3 tahun 2022 tentang
Ibu Kota Negara Bahwa berdasarkan uraian-uraian permohonannya, Para Pemohon dalam
Petitumnya memohon kepada Majelis Hakim sebagai berikut:
1. Menerima dan mengabulkan Permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota
Negara (Lembaran Negara Republik Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6766) cacat formil dan bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945;
3. Menyatakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara
(Lembaran Negara Republik Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6766) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.

Atau Apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang
seadil-adilnya (ex aequo et bono).

C. KETERANGAN DPR RI
Terhadap dalil Pemohon sebagaimana diuraikan dalam perbaikan permohonan, DPR RI
dalam penyampaian pandangannya terlebih dahulu menguraikan mengenai kedudukan
hukum (legal standing) dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon
Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Pemohon sebagai Pihak telah diatur dalam ketentuan
Pasal 51 ayat (1) UU MK yang menyatakan bahwa “Para Pemohon adalah pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
undang-undang yaitu:
e. Perorangan warga negara Indonesia;
f. Kesatuan masyarakat hokum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang;
g. Badan hokum public atau privat, atau;
h. Lembaga negara

Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat (1)
tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak
konstitusional” adalah “hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.” Ketentuan penjelasan pasal 51 ayat (1) ini menegaskan,
bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD NRI Tahun1945 saja yang
termasuk “hak konstitusional”.

Oleh karena itu menurut UU MK, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagi
para Para Pemohon yang memiliki kedudukan hokum (legal standing) dalam permohonan
pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945, maka terlebihdahulu harus
menjelaskan dan membuktikan:
a. Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam Ppermohonan a quo sebagaimana
dimaksud dalam pasal 51 ayat (1) UU MK;
b. Hak dan/atau kewenangan konstusionalnya sebagaiman dimaksud dalam
“Penjelasan Pasal 51 ayat (1) “ dianggap telah dirugikan oleh berlakuknya undang-
undang a quo.

Mengenai Batasan kerugian konstitusional, MK telah memberikan pengertian dan batsan


tentang kerugian konstitusional yang timbul katrena berlakunya suatu undang- undang
harus memenuhi 5 (lima) syarat (Vide Putusan Perkara Nomor 006/PUU- III/2005 dan
Perkara Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut:
a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD
NRI Tahun 1945
b. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh
Pemohon telah dirugaikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud
bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang
menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. Adanya hubungan sebab akibat (casual verband) antara kerugian dan berlakunya
undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian
dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi
terjadi.
Jika kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Para Pemohon dalam perkara
pengujianundang- undang a quo, maka Para Pemohon tidak memiliki kualifikasi
kedudukan hokum (legal standing) sebagai Pemohon. Menanggapi Permohonan Pemohon a
quo, DPR RI berpandangan bahwa Para Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu
apakah benar Para Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji,
khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan
untuk diuji.

Dalam permohonan ini, Para Pemohon menjelaskan legal standing nya sebagai Perorangan
Warga Negara Indonesia yang juga berprofesi sebagai Guru yang telah disumpah dan
diangkatoleh Menteri Pendidikan.
Dalam permohonan ini, Pemohon menjelaskan legal standingnya sebagai Badan
Hukum Privat dan merupakan Pengurus dari perkumpulan yang selma ini konsisten
dalam isu perlindungan hak dasar warga negara serta hak asasi manusia dan reformasi
sistemperadilan pidana di Indonesia. (Vide Permohonan, halaman 7, nomor 21).

Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon, DPR RI berpandangan bahwa:

a. Pemohon tidak menjelaskan bagaimana aktivitas pekerjaan Pemohon terkait


dengan pengujian pasal a quo.
b. Pemohon tidak menguraikan hubungan sebab akibat antara kerugian dengan
berlakunya pasal a quo yang dimohonkan untuk diuji. Tidak ada elaborasi
lebihlanjut dari pasal a quo dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
sebagaibatu uji.
c. Tidak jelas kerugian konstitusional seperti apa, jika pasal a quo tidak dimaknai
sebagaimana yang dikehendaki dalam petitum permohonan. Posita tidak
menjelaskan mengapa Pemohon berkesimpulan pada petitum bersyarat. Pada
dasarnya tidak ada elaborasi dan korelasi antara posita dengan petitum bersyarat.
Dengan demikian, dalil-dalil permohonan tidak jelas dan tidak fokus (obscuur libels),
karena Pemohon tidak menguraikan dan mengkonstruksikan secara jelas adanya kerugian hak
dan/atau kewenangan konstitusional atas berlakunya pasal a quo yang bersifatspesifik dan
aktual atau setidaknya potensial menurut penalaran yang wajar dapatdipastikan akan terjadi.
Oleh karena itu, terhadap legal standing Pemohon yang tidak memiliki keterkaitan dengan
pasal a quo dan tidak mengalami kerugian konstitusional, DPR RI memberikan pandangan
senada dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 yang diucapkan
dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni
2016, yang pada pertimbangan hukum MahkamahKonstitusi menyatakan bahwa menurut
Mahkamah :

...Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka
tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action
dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut
sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv)
khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan
hukum“ (no action without legal connection)
Dengan demikian, DPR RI melalui Majelis memohon kiranya Pemohon dapat
membuktikan terlebih dahulu apakah benar sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan atas berlakunya pasal a quo yang
dimohonkan untuk diuji. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap
kedudukanhukum (legal standing) Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada
Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai
apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 51 ayat (1) Undang- Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan
Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor
011/PUU-V/2007 mengenaiparameter kerugiankonstitusional.

Latar Belakang Perumusan Dan Pembahasan Pasal A quo

Bahwa selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan yuridis, sebagaimana


telah diuraikan di atas, dipandang perlu untuk melihat latar belakang perumusan dan
pembahasan pasal a quo dalam Undang-undang no 3 tahun 2022
tentang Ibu Kota Negara merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang harus
diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Artinya merupakan upaya
memperbaiki tata kelola wilayah Ibu Kota Negara untuk mewujudkan tujiuan bernegara
yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial; selain menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia
juga untuk mewujudkan Ibu Kota Negara yang aman, modern, berkelanjutan, dan
berketahanan serta menjadi acuan bagi pembangunan dan penataan wilayah lainnya di
Indonesia;
Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, DPR RI memohon agar kiranya, Ketua
Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
1) Menyatakan bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat
diterima(niet ontvankelijk verklaard);
2) Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-setidaknya
menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima;
3) Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
4) Menyatakan Undang-Undang No 3 tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara tidak
bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
5) Menyatakan Undang-Undang No 3 tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara
memiliki kekuatan hukum mengikat.
ATAU
Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain,mohonputusan
yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Demikian keterangan tertulis dari DPR RI kami sampaikan sebagai


bahanpertimbangan bagi Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mengambil
keputusan.Hormat Kami Tim Kuasa Hukum

PERTIMBANGAN HUKUM
Kewenangan Mahkamah

[3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat
(1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020
tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut
UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap UUD 1945. Pasal tersebut tidakmenjelaskan apakah kewenangan
Mahkamah untuk mengadili pada tingkat pertamadan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk melakukan pengujian Undang- Undang terhadap UUD 1945 tersebut hanya
pada salah satu macam pengujian saja yaitu pengujian materiil atau formil ataukah
kedua jenis pengujian baik pengujian formil maupun materiil. UU MK dalam Pasal 10
ayat (1) huruf a menyatakan, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap UUD 1945;Selanjutnya, Pasal 51 ayat (3) menyatakan dalam permohonan
Pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa: (a) pembentukan Undang-Undang
tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945; dan/atau (b) materi muatan dalam
ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Dengan demikian, menurut ketentuan pasal tersebut Mahkamah berwenang untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945
baik dalam pengujian formil maupun pengujian materiil.

[3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah pengujianformil


undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6766, selanjutnya disebutUU 3/2022)
terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadilipermohonan a quo, dan
selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkanketerpenuhan tenggang waktupengujian
fomil.

Tenggang Waktu Pengajuan Pengujian Formil

[3.3] Menimbang bahwa terkait dengan tenggang waktu pengajuan


permohonanpengujian formil, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, bertanggal 16 Juni 2010,


Paragraf [3.34] menyatakan:
“Menimbang bahwa terlepas dari putusan dalam pokok permohonana quo
Mahkamah memandang perlu untuk memberikan batasan waktu atau
tenggat suatu Undang-Undang dapat diuji secara formil. Pertimbangan
pembatasan tenggat ini diperlukan mengingat karakteristik dari pengujian
formil berbeda dengan pengujian materiil. Sebuah Undang-Undang yang
dibentuk tidak berdasarkan tata cara sebagaimana ditentukan oleh UUD
1945 akan dapat mudah diketahui dibandingkan dengan Undang-Undang
yang substansinya bertentangan dengan UUD 1945. Untuk kepastian
hukum, sebuah Undang- Undang perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya
apakah telah dibuat secara sah atau tidak, sebab pengujian secara formil
akan menyebabkan Undang- Undang batal sejak awal. Mahkamah
memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-
Undang dimuatdalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk
mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang;”

2. Bahwa Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang


Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (UU 15/2019) menyatakan:

“Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam


Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita
Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran
Daerah, atau Berita Daerah.”

3. Bahwa berkenaan dengan hal di atas, berdasarkan pertimbangan hukum Putusan


Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XX/2022, tanggal 20 April 2022, pada
Paragraf [3.3] angka 3 sampai dengan angka 5 yang menyatakan pada pokoknya
sebagai berikut:

“3. Bahwa merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-


VII/2009 tersebut di atas, yang dimaksud dengan frasa “45 (empat puluh
lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara
sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil
terhadap Undang-
Undang” kemudian dipertegas dalam Pasal 9 ayat
(2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata
Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang adalah
“Permohonan pengujian formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) diajukan dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima)
hari sejak undang- undang atau Perppu diundangkan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia;

4. Bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan pengujian formil


UU7/2021 ke Mahkamah Konstitusi pada 21 Januari 2022 berdasarkan
Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 10/PUU/PAN.MK/
AP3/01/2022 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi
Elektronik (e-BRPK) pada 26 Januari 2022 dengan Nomor 14/PUU-
XX/2022;

5. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, oleh karena UU


7/2021 diundangkan pada 29 Oktober 2021, maka tenggat 45 hari
sejak Undang-Undang a quo diundangkan dalam Lembaran Negara adalah
pada 12 Desember 2021. Dengan demikian, permohonanpengujian formil
UU 7/2021 yang diajukan oleh Pemohon dalam permohonan bertanggal 21
Januari 2022 diajukan melewati tenggangwaktu pengajuan permohonan yang
ditentukan sebagaimana ditentukan oleh angka 1 dan angka 3 di atas”.

4. Bahwa berdasarkan fakta hukum sebagaimana diuraikan pada angka 3 terdapat dua
peristilahan terkait dengan waktu pengajuan 45 (empat puluh lima) hari pengujian
formil yaitu “setelah” dan “sejak” suatu undang-undang diundangkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran NegaraRepublik
Indonesia;

5. Bahwa berkenaan dengan pengajuan permohonan pengujian secara formil


yangdiajukan “sejak” undang-undang yang dimohonkan pengujian formil
diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia menurut Mahkamah untuk memberikan
kepastian hukum dalam mengajukan permohonan pengujian formil undang-undang
terhadap UUD 1945. Apabila pengajuan permohonan pengujian formil undang-
undang terhadap UUD 1945 diajukan “setelah” diundangkan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
dapat atau berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, meskipun makna
“setelah” dapat ditafsirkan sebagai sesaat setelah undang- undang diundangkan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia, namun dapat pula ditafsirkan setelah beberapa waktu kemudian.
Hal demikian berbeda dengan makna “sejak” yang bersifat lebih pasti dan konkret
yaitu penghitungan berlaku sejak saat undang-undang tersebut diundangkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indoensia. Oleh karena itu, Mahkamah berpendirian pengajuan permohonan pengujian
formil undang-undang terhadap UUD 1945 diajukan dalam waktu 45 hari “sejak”
undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan
Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (2) Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara
Pengujian Undang-Undang dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-
XX/2022, tanggal 20 April 2022;

6. Bahwa Pemohon menerangkan telah mengajukan permohonan pengujian formil UU


3/2022 ke Mahkamah Konstitusi pada 31 Maret 2022. Namun, setelah Mahkamah
mencermati telah ternyata permohonan Pemohon diajukan ke Mahkamah Konstitusi
pada 1 April 2022 sebagaimana Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor
48/PUU/PAN.MK/AP3/04/2022 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi
Elektronik (e-BRPK) pada 7 April 2022dengan Nomor 53/PUU-XX/2022. Sementara
itu, UU 3/2022 diundangkan pada tanggal 15 Februari 2022 dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6766, maka dengan demikian permohonan Pemohon diajukan pada
hari ke 46 (empatpuluh enam) sejak UU 3/2022 diundangkandalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6766;

7. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, oleh karena itu permohonan
Pemohon berkaitan dengan pengujian formil UU 3/2022 terhadap UUD 1945
diajukan telah melewati tenggang waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak UU
3/2022 diundangkan. Dengan demikian, permohonan Pemohon adalah tidak memenuhi
syarat tenggang waktu dalam pengajuan pengujian formil di Mahkamah Konstitusi.

[3.4] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon diajukan melewati


tenggang waktu pengajuan permohonan maka kedudukan hukum dan pokok
permohonan Pemohon, serta hal-hal lainnya tidak dipertimbangkan.

KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikandi


atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;

[4.2] Permohonan Pemohon diajukan melewati tenggang waktu pengajuan;

[4.3] Kedudukan hukum dan pokok permohonan Pemohon, serta hal-


hallainnyatidak dipertimbangkan.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020
tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554), dan Undang- Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia
Nomor 5076);

AMAR PUTUSAN

Mengadili:
Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyararatan Hakim oleh 3 Hakim Konstitusi Dzulfiqar
Agvadhia selaku Ketua merangkap Anggota, Prioni Rahmanda Saputri dan Vahra Fentisa
Salsabila masing-masing sebagai Anggota pada hari Senin tanggal satu bulan Maret tahun dua
ribu dua puluh dua dan diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum pada hari Rabu
tanggal tiga bulan Maret tahun dua ribu dua puluh dua, oleh kami tiga Hakim Konstitusi, yaitu
Dzulfiqar Agvadhia,S.H., M.H. selaku Ketua merangkap Anggota, Prioni Rahmanda Saputri,
S.H., M.H. dan Vahra Fentisa Salsabila, S.H., M.H. masing-masing sebagai Anggota dengan
dibantu oleh Wiwit Putra Nuswantoro sebagai Panitera, serta dihadiri oleh pemohon dan/atau
Kuasanya dan Pemerintah atau yang mewakili..
Jakarta, 3 Maret 2022
KETUA,

Dzulfiqar Agvadhia, S.H.,M.H.

ANGGOTA-ANGGOTA

Prioni Rahmanda Saputri, S.H., M.H. Vahra Fentisa Salsabila, S.H., M.H

Wiwit Putra Nuswantoro, S.H., M.H.


LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai