Anda di halaman 1dari 5

HUKUM HAM LANJUTAN

BERWISATA = HAM

OLEH

KELOMPOK 3

Alexander Theodore Duka Tagukawi (1704551114)

Joshua Habinsaranni Rezky Silaban (1704551122)

Bagus Cahya Sugiarto R. (1704551128)

Ni Putu Melinia Ary Briliantari (1704551151)

Putu Sri Bintang Sidhi Adnyani (1704551153)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2019
1. Apakah berwisata merupakan suatu Hak Asasi Manusia ?
Jawaban :

Sebelum membahas berwisata merupakan suatu hak asasi manusia, maka kita
perlu tahu pengertian dari wisata dan fungsi kepariwisataan. Menurut Pasal 1
angka (1) Undang – Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan,
wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi,
pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang
dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Dan menurut pasal 3 Undang –
Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, fungsi kepariwisataan
yaitu untuk memenuhi kebutuhan jasmani rohani dan intelektual setiap wisatawan
dengan rekreasi dan perjalanan serta meningkatkan pendapatan negara untuk
mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Pada hakekatnya berwisata merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang
dimiliki oleh setiap orang untuk melakukan suatu perjalanan kemana pun
seseorang tersebut hendaki, dimana kegiatan berpariwisata telah mendapatkan
pengakuan sebagai HAM. Secara implisit, bahwa pengakuan ini bertitik tolak
pada rumusan Artikel 24 Universal Declaration of Human Rights yang
menyatakan bahwa “ Everyone has the right to rest and leisure, including
reasonable limitation of working hours and periodic holidays with pay” yang
diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia yaitu “setiap orang berhak atas istirahat
dan liburan, termasuk pembatasan – pembatasan jam kerja dan hari libur berkala
dengan menerima upah”. Selain itu disebutkan juga dalam pasal 13 ayat
(1)Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang berbunyi “setiap orang berhak
atas kebebasan bergerak dan berdiam di dalam batas – batas setiap negara”.
Dalam tataran nasional yang telah ada, Undang-undang No.10 tahun 2009
tentang Kepariwisataan pun telah mencantumkan pengakuan kegiatan berwisata
sebagai HAM pada konsideran menimbang pada point-b yang berbunyi “ bahwa
kebebasan perjalanan dan memanfaatkan waktu luang dalam wujud berwisata
merupakan bagian dari hak asasi manusia”.

2. Bagaimanakah status pengakuan hak untuk berwisata sebagai hak asasi


manusia dalam konteks hukum nasional dan hukum internasional?
Jawaban:

Perkembangan kepariwisataan berkembang pesat sehingga berwisata menjadi


kebutuhan dasar dari manusia. Hak yang sanagt mendasar setiap orang adalah
adanya kebebasan untuk bergerak dan untuk memperoleh istirahat, mengisi waktu
senggang dengan berlibur kegiatan ini disebut wisata.jadi tidak salah apabila
dikatakan bahwa pariwisata merupakan perwujudan dari Hak asasi manusia. Hak
berwisata adalah hak seseorang untuk melakukan kegiatan mengunjungi tempat
tertentu utnuk tujuan rekreasi dan mencari pengalaman pribadi atau untuk
mempelajari keunikan suatu daya tarik wisata.

Secara implisit, bahwa refleksi pengakuan kegiatan berwisata sebagai HAM


dalam konteks hukum nasional terdapat dalam pasal 28 C ayat (1) Undang –
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan
“bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Menyangkut batasan
kesejahteraan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009
tentang Kesejahteraan Sosial lantas menyebutkan “bahwa kesejahteraan sosial
adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga
negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat
melaksanakan fungsi sosialnya”. Pengakuan yang lebih tegas terdapat dalam
konsideran menimbang point b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan (UUK), disebutkan bahwa “kebebasan melakukan perjalanan dan
memanfaatkan waktu luang dalam wujud berwisata merupakan bagian dari hak
asasi manusia”. Pasal 5 point b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan (UUK) kemudian menjabarkan ketentuan ini dengan menyatakan
pemyelenggaraan kepariwisataan berdasarkan pada prinsip menjunjung tinggi hak
asasi manusia, keragaman budaya dan kearifan lokal dan dilanjutkan pada poin c
yaitu kepariwisataan memberi manfaaat untuk kesejahteraan rakyat, keadilan,
kesetaraan dan proporsionalitas. Selanjutnya, pasal 19 ayat 1 point a Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (UUK) lalu meyebutkan
bahwa setiap orang berhak memperoleh kesempatan memenuhi kebutuhan wisata.
Dan dalam pasall 21 undang-udang kepariwisataan juga menjamin bagi mereka
yang ingin wisata tapi memiliki keterbatasan fisik, anak-anak, dan lanjut usia
berhak mendapatkan fasilitas khusus sesuai dengan kebutuhannya. Ini dapat
menunjukkan bahwa hukum menjamin seluruh hak manusia dalam berwisata.
Adanya juga prinsip-prinsip hak asasi manusia dapat dikatakan bahwa hak
berwisata sebagai hak asasi manusia memberikan konsekuensi bagi negara untuk
menghormati,memenuhi dan melindungi hak-hak setiap orang untuk berwisata
dan kewajiban tersebut dilengkapi dengan keharusan suatu negara untuk
bertanggung jawab atas tidak terpenuhinya hak berwisata yang diakui secara
universal.

Pengakuan Hak Asasi Manusia dalam konteks hukum Internasional secara


implisit bertitik tolak pada rumusan Pasal 24 Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia, yang menyatakan “Setiap orang berhak atas istirahat dan liburan,
termasuk pembatasan-pembatasan jam kerja yang layak dan hari liburan berkala,
dengan tetap menerima gaji upah.” Pasal 24 tersebut dapat diambil kesimpulan
bahwa disamping manusia melakukan kegiatan rutinitasnya dalam bekerja, perlu
ada waktu untuk beristirahat agar terjaga produktivitasnya dalam menjalani
kehidupan atau terjaganya keseimbangan antara pekerjaan dengan istirahat tanpa
mengurangi atau menghilangkan upah dari perusahaannya (profesinya). Karena
di dalam Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan “Setiap
orang berhak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan sebagai individu.” Di
dalam pasal ini terdapat suatu korelasi dengan pasal 24 DUHAM dimana ada kata
“kebebasan” yang berarti disamping manusia menjalankan kegiatan rutinitasnya
demi keberlangsungan hidup, manusia berhak atas kebebasannya dalam hal
berwisata tentu dengan batasan-batasan tertentu. Juga dalam pasal 7
International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (UU Nomor 11
Tahun 2005) yang menjelaskan setiap individu memliki hak untuk menikmati
kondisi kerja yang adil dan menyenangkan. Berdasarkan Global Code of Ethics
For Tourism Pasal 7 ayat 2 tertulis nahwa “Hak universal atau pariwisata harus
dilihat sebagai konsekuensi logis dari hak untuk istirahat dan bersenang-senang,
termasuk batas kewajaran jam kerja dan cuti periodik yang dibayar, yang dijamin
oleh pasal 24 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan pasal 7 (d) Pakta
Internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.” Dari pernyataan
pasal 7 ayat 2 Global Code of Ethics For Tourism memiliki kesamaan tujuan
dengan pasal 24 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, hanya saja didalam
pasal 7 ayat 2 Global Code of Ethics For Tourism memliki cakupan lebih luas
dimana sudah termasuk pula pasal 24 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
dan 7 (d) Pakta Internasional.

Kesimpulannya adalah orang-orang dalam berwisata merupakan pemenuhan


akan hak asasi manusia seperti yang sudah dijamin oleh hukum nasional maupun
hukum internasional. Berwisata berarti seseorang dijamin haknya untuk
memperoleh dan menikmati setiap kekayaan alam, seni dan budaya yang ada
untuk menjadi pemenuhan akan jasmani maupun rohani. Negara dalam hal
pariwisata harus menjamin setiap orang yang datang berwisata dalam negaranya
untuk dapat merasa aman dan nyaman.

Anda mungkin juga menyukai