Anda di halaman 1dari 6

HAM LANJUTAN

Kontra Berwisata adalah Hak Asasi Manusia

KELOMPOK

Sehat Rikardo Sihombing (1804551048/3)

Made Egy Satria Danendra (1804551086/36)

Lukas Fernando (1804551089/38)

Filipus Edgar Saragih (1804551099/45)

I Kade Rysky Parmita Putra (1804551104/48)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA
2020

Sebelum membahas mengenai pariwisata adalah Hak Asasi Manusia, akan lebih baik
jika mengetahui terlebih dahulu mengenai pengertian dari HAM. Pengaturan mengenai HAM
di Indonesia sudah terdapat di Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
pasal 27 sampai 34, dan dalam undang undang diatur di UU Nomor 39 Tahun 1999. Selain
itu, pengaturan HAM di Indonesia mengacu pada Universal Declaration of Human Rights
(UDHR) dan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR)
yang telah diratifikasi dalam UU Nomor 11 Tahun 2005.

Pengertian HAM berdasar UU Nomor 39 Tahun 1999


Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati,dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia
Lebih lanjut lagi membahas berwisata sebagai HAM dengan pandangan kontra, perlu
diketahui terlebih dahulu mengenai pengertian dari berwisata. Pengaturan mengenai
kepariwisataan di Indonesia diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2009. Pengaturan megenai
pariwisata di Indonesia mengacu pada Global Code of Ethics for Tourism.

Pengertian wisata berdasar UU Nomor 10 Tahun 2009


Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi,
pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang
dikunjungi dalam jangka waktu sementara.
Selanjutnya, setelah mengetahui pengertian dari pengertian dari HAM dan pariwisata.
Sehingga, muncul sebuah pertanyaan “Apakah berwisata merupakan hak asasi manusia ?”
dan “Bagaimanakah status pengakuan hak untuk berwisata sebagai Hak Asasi Manusia dalam
konteks hukum Nasional dan Internasional?” . Dalam menjawab pertanyaan mengenai
apakah berwisata merupakan hak asasi manusia terdapat berbagai pandangan yang pro
maupun kontra. Dalam materi ini akan secara khusus menjawab pandangan kontra mengenai
berwisata merupakan HAM.

1. Apakah berwisata merupakan Hak Asasi Manusia?

Dalam perkembangannya di era globalisasi sekarang ini, nampaknya ada


kecenderungan untuk menjadikan, mengklaim atau mendeklarasikan segala sesuatu urusan
sebagai bagian dari HAM. Secara lebih kritis, bidang-bidang yang diklaim sebagai HAM
seperti Berwisata, sesungguhnya sudah sangat jauh bergeser dari pemahaman tentang
HAM yang dikenal sebelumnya yaitu sebagai hak yang benar-benar bersifat fundamental
atau sangat mendasar bagi manusia. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa Berwisata
adalah HAM penuh dengan ketidakpastian dan ketidakjelasan ketika dilakukan pengetesan
dengan elemen-elemen mendasar yang harus dipenuhi agar dapat dikatagorikan sebagai
HAM. Adapun elemen-elemen yang digunakan untuk mengetes berkaitan dengan:

1. The Holders (siapa pemegang haknya)


2. The Duty-Bearers (siapa yang berkewajiban untuk mewujudkan)
3. The Substance ( apa yang menjadi substansi dari jenis HAM tersebut)1

Dari ketiga unsur yang ada berwisata adalah HAM sudah melanggar dua unsur yaitu
The Duty – Bearers dan The Substance yaitu sebagai berikut :

a. Unsur The Duty-Bearers (siapa yang berkewajiban untuk mewujudkan)


"The Duty Bearers'' dalam konteks HAM bermakna Siapa yang harus
menghormati, melindungi, dan memenuhi tuntutan atau kebutuhan berwisata agar hak
setiap orang terwujud untuk berwisata. Jika orang yang bersangkutan yang mempunyai
the duty-bearers, bagaimana jika orang tersebut sangat miskin bagaimana jika orang
tersebut tidak punya penghasilan. Jika perusahaan atau korporasi tempat orang tersebut
bekerja yang mempunyai kewajiban, bisa mengakibatkan keuangan perusahaan habis
untuk membiayai hal-hal bersifat "luxury good" secara rutin tiap tahun dan pada
akhirnya perusahaan tidak bisa melanjutkan kegiatan usahanya dan itu berarti tidak
ada lapangan pekerjaan lebih lanjut. Jika pernerintah yang mempunyai kewajiban maka
pertanyaan selanjutnya yang perlu dijawab adalah apakah pantas memprioritaskan
membiayai orang berwisata sementara di depan mata masih ribuan orang kelaparan,
kena bencana, putus sekolah karena tidak mampu membayar biaya pendidikan, dan
persoalan-persoalan sosial lainnya yang jauh lebih bersifat fundamental.

b. Unsur The Substance (apa yang menjadi substansi dari jenis HAM tersebut)
Dalam konteks ini pertanyaan yang dijawab adalab apa substansi dari berwisata ?
Untuk menjawab kiranya bisa berawal dari definisi "tourism" yaitu: bepergian mengisi

Ni Ketut Supasti Darmawan, Made Nurmawati dan Kadek Sarna, 2011, "The
1

right to Toursim Dalam Perpesktif Hak Asasi Manusia di Indonesia” , Kertha Patrika Jurnal
Ilmiah Fakultas Hukum Volume 36 Nomor 2, September 2011, h. 11.
waktu luang dan tidak bekerja untuk tujuan bersenang-senang dalam jangka waktu
tertentu tidak lebih dari satu tahun, Pertanyaan-pertanyaan yang barns dijawab adalah ;
pertama konsep bepergian , apakah berarti bepergian ke luar desa sudah termasuk, atau
ke luar daerah, provinsi atau harus ke luar negeri, apakah dengan kendaraan, kapal laut, atau
barns pesawat udara. Pada konsep pertama ini tidak ada indikator yang tegas. Kedua,
konsep bersenang-senang, apakab berjemur di pantai, menikmati alam pegunungan,
internet dan menelpon, shopping. Seperti halnya konsep yang pertama, pada konsep
kedua juga tidak jelas. Ketiga, konsep selanjutnya yang di test dan dijawab adalab konsep
tentang jangka waktu tertentu yang tidak lebih dari setahun. Apakah seminggu, satu bulan,
tiga bulan, atau 9 bulan 25 hari, Bayangkan jika setiap orang berwisata dalam jangka
waktu yang maksimal misalnya mernilih menggunakan waktu 9 bulan 25 hari, maka
dapat dibayangkan pada akhirnya negara akan menjadi bangkrut. Sehubungan dengan
hal tersebut dapatlah dikemukakan babwa hasil "test' terbadap unsur "the
substance" menunjukkan hasil penuh dengan ketidakpastian.

Dari Pembahasan diatas terhadap pengakuan berwisata adalah HAM terhadap


elemen-elemen penting hak asasi manusia yang terdiri dari: the right holders) the
duty-bearers, dan the substance) hasilnya menunjukkan penuh ketidakpastian terutama
dari aspek the-duty bearers dan the substance, oleh karena itu tidak signifikan dan terlalu
dini mengklaim begitu saja perjalanan melakukan wisata sebagai hak asasi manusia.2

2. Bagaimanakah status pengakuan hak untuk berwisata sebagai Hak Asasi Manusia
dalam konteks hukum Nasional dan Internasional?

Dalam konteks hukum nasional terdapat 2 pasal yang dijadikan sebagai dasar
mengartikan berwisata sebagai HAM. Pertama, terdapat dalam Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 pasal 28C yang menyatakan : “Setiap orang berhak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan
dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia” Dalam hal ini,
yang dijadikan dasar berwisata adalah HAM adalah kalimat “berhak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, . . .” padahal berwisata tidak dapat dikatakan
sebagai ‘kebutuhan dasar’. Kedua, dalam Undang Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang
Kepariwisataan dalam bagian konsideran menimbang huruf b “bahwa kebebasan melakukan

2
Ibid., h. 19.
perjalanan dan memanfaatkan waktu luang dalam wujud berwisata merupakan bagian dari
hak asasi manusia”

Dalam konteks hukum internasional yang dijadikan dasar sebagai pengaturan


berwisata adalah HAM, sebagai berikut :

1) The UDHR 1948 : Article 13 menyatakan :"Everyone has the right to freedom of
movement and residence within the borders of eacg State" dan Article 24 menyatakan
"Everyone has the right to rest and leisure, including reasonable limitation of
working hours and periodic holidays with pay"
2) International Covenant on Economic and Social Rights (ICESCR) 1966 Article 7
mengemukakan : The state parties to the present Covenant recognize the right of
everyone to the ejoyment of just and favourable conditions of work which ensure, in
particular. (d) rest, leisure and reasonable limitation of working hours and periodic
holidays with pay, at well as remuneration for public holidays
3) The European Social Charter (1961) pada Article 2 (2) : "to provide for public holiday
with pay"
4) The UN WTO Global Code of Ethics for Tourism : Article 7
Terlihat dari pengaturan hukum internasional tersebut tidak ada satupun yang secara
jelas menggunakan kata ‘tourism’. Umumnya yang diatur dalam hukum internasional diatas
adalah hak kebebasan bergerak hingga melalui batas negara, hak memperoleh rest, leisure
and reasonable limitation of working hours (istirahat, waktu luang dan pembatasan jam
kerja yang wajar) serta memperoleh hak untuk mendapatkan hari libur.

Kesimpulan

Jadi, dapat disimpulkan dalam sudut pandang kontra bahwa berwisata bukanlah
sebuah hak asasi manusia dapat ditemukan dengan mengetahui bahwa gagalnya berwisata
untuk memenuhi 2 elemen penting HAM, yaitu
 The Duty-Bearers (siapa yang berkewajiban untuk mewujudkan)
 The Substance ( apa yang menjadi substansi dari jenis HAM tersebut)

Selain itu, hukum nasional maupun hukum internasional yang secara jelas mengakui
bahwa berwisata adalah hak asasi manusia hanya terdapat di UU Nomor 10 Tahun 2009.
Dalam UUD NRI 1945 yang menjadi hak asasi manusia adalah ‘pengembangan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasar’, yang kita ketahui berwisata belum dapat disebut sebagai
kebutuhan dasar. Dalam konteks hukum internasional sebagaimana telah diurai dalam
pembahasan, tidak ada satupun yang menggunakan kata ‘tourism’ sebagai hak asasi
manusia, umumnya hanya mengatur tentang hak kebebasan bergerak, memperoleh waktu
istirahat, waktu luang dan pembatasan jam kerja serta memperoleh hak untuk
mendapatkan hari libur

Anda mungkin juga menyukai