1
Berdasarkan kasus yang terjadi di Desa Sulang, Kabupaten Klungkung terkait dengan
dikenakannya sanksi adat kasepekang kepada beberapa keluarga yang menyandang gelar
Gusti, menimbulkan beberapa pertanyaan, sebagai berikut.
a. Apakah penerapan sanksi adat kasepekang bertentangan dengan HAM ?
b. Jika merujuk pada pandangan bahwa HAM merupakan nilai yang bersifat universal,
apakah sanksi adat kasepekang yang merujuk pada nilai tradisional dapat diabaikan ?
Jawaban
YA, penerapan sanksi adat kasepekang sangat bertentangan dengan HAM. Menurut
Wayan P. Windia kasepekang artinya mempermasalahkan dihadapan orang. Kemudian,
Wayan Koti Cantika, dosen hukum adat Bali di Fakultas Hukum Unud ini mengemukakan
bahwa kasepekang berasal dari kata sepi ikang yang mempunyai arti kucilkan. Ka sepi
ikang berarti dikucilkan. Dalam konteks sanksi adat, menurut Cantika kasepekang berarti
masih diakui keberadaannya sebagai warga, tetapi dikucilkan dari berbagai aktivitas banjar
adat atau desa adat.
Sanksi adat kasepekang yang merujuk pada nilai tradisional tidak dapat diabaikan
namun dapat perhalus agar lebih manusiawi dan tidak bertentangan dengan HAM. Tidak
dapat diabaikan, karena sanksi adat tersebut tumbuh pada kesatuan masyarakat hukum adat
yang berpedoman pada hukum adat yang berlaku pada daerah setempat. Maka tidak dapat
diabaikan, mengingat hukum adat merupakan hukum yang hidup dan berkembang di
masyarakat. Terdapat beberapa aturan yang telah dianggap sebagai aturan hukum. Walaupun
aturan-aturan tersebut tidak tertulis, namun masyarakat akan tetap mematuhi dan
melaksanakan apa yang telah diatur oleh hukum tersebut.
Lalu, mengutip pendapat dari Wayan P. Windia dalam laporannya dimana ada suatu
program salah satunya memperjuangkan desa pakraman sebagai subjek hukum formal sesuai
undang-undang, dan memperjuangkan penyelesaian perkara adat untuk mendapat legitimasi
lembaga peradilan negara. Hukum adat hanya melingkupi persoalan yang melingkupi hak dan
kewajiban warga adat di Bali.
Soal No. 2 : Apakah berwisata merupakan hak asasi manusia ? dan bagaimanakah status
pengakuan hak untuk berwisata sebagai hak asasi manusia dalam konteks hukum nasional
dan hukum internasional ?
Jawaban.
Apabila ditinjau dari hukum nasional dan hukum internasional, berwisata merupakan hak
asasi manusia. Namun apabila ditelaah lebih dalam ada beberapa ketidakpastian dalam
mengkategorikan berwisata sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Sebelumnya, saya akan membahas tentang status pengakuan hak untuk berwisata sebagai hak
asasi manusia yang kemudian disingkat HAM dalam konteks hukum nasional dan hukum
internasional.
Konteks Hukum Nasional
a. UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, terdapat pada :
Konsideran menimbang point b yang menyatakan : kebebasan melakukan
perjalanan dan memanfaatkan waktu luang dalam wujud berwisata merupakan
bagian dari hak asasi manusia.
Pasal 5 huruf b yang menyatakan : menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman
budaya, dan kearifan lokal.
Penjelasan UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan yang menyatakan :
kepariwisataan telah berkembang menjadi suatu fenomena global, menjadi
kebutuhan dasar, serta menjadi bagian dari Hak Asasi Manusia yang harus dihormati
dan dilindungi. Pemerintah dan Pemerintah Daerah, dunia usaha pariwisata, dan
masyarakat berkewajiban untuk dapat menjamin agar berwisata sebagai hak setiap
orang dapat ditegakkan, sehingga mendukung tercapainya peningkatan harkat dan
martabat manusia, peningkatan kesejahtraan, serta persahabatan antarbangsa dalam
rangka mewujudkan perdamaian dunia.
Note : berdasarkan konteks hukum nasional dan hukum internasional diatas jelas bahwa
berwisata merupakan HAM. Namun mari kita telaah lebih dalam lagi, dengan mengkaji
elemen – elemen HAM. Berikut penjelasannya tiap-tiap elemen tersebut.
a. The Holders.
Secara singkat, elemen ini bermakna siapakah yang memiliki hak untuk berwisata,
kepada siapa hak itu ditujukan, dan siapa pemegang haknya.pada berbagai instrument hukum
nasional/internasional dikatakan bahwa yang menjadi pemegang hak berwisata adalah setiap
orang, artinya tidak ada diskriminasi.
b. The Duty Bearers
Secara singkat, elemen ini bermakna siapakah yang berkewajiban untuk mewujudkan
hak berwisata, siapa yang harus menghormati, siapa yang harus melindungi, dan siapa yang
harus memenuhi tuntutan atau kebutuhan berwisata agar hak dari setiap orang dapat
terwujud. Adapun pihak-pihak terkait adalah orang yang bersangkutan, perusahaan,
pemerintah. Lalu timbul permasalahan, bagaimana jika orang yang bersangkutan adalah
orang miskin yang tidak mempunyai penghasilan ? bagaimana suatu perusahaan menjamin
hak untuk berwisata bagi karyawannya, mengingat biaya berwisata itu mahal ? bagaimana
Negara memenuhi kebutuhan berwisata untuk warganya, mengingat ada kebutuhan lain yang
harus di prioritaskan ?
c. The Substance
Secara singkat, elemen ini bermakna terdapat beberapa subtansi dalam berwisata. Wisata
adalah berpergian mengisi waktu luang dan tidak bekerja untuk tujuan bersenang-senang
dalam jangka waktu tertentu tidak lebih dari 1 tahun. Dengan menalaah unsure-unsur yang
terdapat pada definisi tersebut, menimbulkan permasalahan yaitu tidak ada indikator yang
tegas mengenai bepergian yang dimaksud dalam hal berwisata, tidak ada batasan bersenang-
senang dalam berwisata, dan tidak ada penentuan jangka waktu dalam berwisata.
Soal No. 3 : Apa saja dasar hukum pemenuhan hak asasi manusia dalam bidang pendidikan
di Indonesia dari perspektif hukum nasional dan hukum internasional ?
Jawaban.
Dari Perspektif Hukum Nasional
a. UUD NRI Tahun 1945, terdapat pada
Pasal 28 C yang menyatakan : Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi
masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, lembaga studi, atau
lembaga kemasyarakatan lainnya, baik secara sendiri-sendiri maupun kerja sama
dengan Komnas HAM dapat melakukan penelitian, pendidikan, dan penyebarluasan
informasi mengenai hak asasi manusia.
Pasal 28 E yang menyatakan : Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,
memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.
Pasal 31 ayat (1) yang menyatakan : Setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan. Ayat (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya. Ayat (3) Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan
dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
yang diatur dengan undang-undang. Ayat (4) Negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan
belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
b. UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, terdapat pada :
Pasal 12 yang menyatakan : setiap orang berhak atas perlindungan bagi
pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya,
dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa,
bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi
manusia.
Pasal 16 yang menyatakan : setiap orang berhak untuk melakukan pekerjaan sosial
dan kebajikan, mendirikan organisasi untuk itu, termasuk menyelenggarakan
pendidikan dan pengajaran, serta menghimpun dana untuk maksud tersebut sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 42 yang menyatakan : setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan
atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan
khusus atau biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan
martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan
berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pasal 48 yang menyatakan bahwa : wanita berhak untuk memperoleh pendidikan
dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan
persyaratan yang ditentukan.
Pasal 54 yang menyatakan bahwa : Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental
berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya
negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan,
meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pasal 60 ayat (1) yang menyatakan : Setiap anak berhak untuk memperoleh
pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan
minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya.
Pasal 89 ayat 1 huruf b yang menyatakan : untuk melaksanakan fungsi Komnas
HAM dalam penyuluhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM
bertugas dan berwenang melakukan (b) upaya peningkatan kesadaran masyarakat
tentang hak asasi manusia melalui lembaga pendidikan formal dan non formal serta
berbagai kalangan lainnya.
Pasal 103 yang menyatakan : Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi
masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, lembaga studi, atau
lembaga kemasyarakatan lainnya, baik secara sendiri-sendiri maupun kerja sama
dengan Komnas HAM dapat melakukan penelitian, pendidikan, dan penyebarluasan
informasi mengenai hak asasi manusia.
Soal No. 4 : mengapa human trafficking bertentangan dengan HAM ? apa dasar hukum
nasional dan internasional terkait human trafficking ?
Jawaban.
Sebelum membahas alasan human trafficking bertentangan dengan HAM, perlu
diketahui penyebab utama terjadinya human trafficking adalah kurangnya informasi
tentang trafficking, kemiskinan dan rendahnya pendidikan serta keterampilan yang dimiliki
oleh masyarakat terutama mereka yang berada di pedesaan, sulitnya lapangan pekerjaan,
selain itu juga masih lemahnya pelaksanaan hukum di Indonesia tentang penanganan
perdagangan orang.
Human trafficking bertentangan dengan HAM karena merupakan salah satu bentuk
pelanggaran HAM berat. Menurut UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,
menjelaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau
kelompok orang termasuk aparat Negara baik disengaja ataupun tidak disengaja atau
kelalaian yang secara hukum mengurangi, mengahalngi, membatasi, dan/atau mencabut hak
asasi manausia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang, dan tidak
didapatkan hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Pasal 1 angka 1 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Orang,
menyatakan bahwa Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan,
penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman
kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau
manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang
lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan
eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Soal No. 5 : Apa saja prinsip-prinsip universal yang harus dihormati dalam memperlakukan
pelaku pelanggaran berat berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ?
Jawaban.
Dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menyatakan bahwa hak
asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat
universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak
boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, dapat diketahui bahwasanya prinsip yang
universal harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi,
atau dirampas oleh siapapun. Hal tersebut diperkuat lagi pada pasal 34 UU No. 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM yang menyatakan bahwa setiap korban dan saksi dalam
pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari
ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.
Prinsip-prinisp universal yang harus di hormati tersebut, terdapat pada Peraturan
Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara perlindungan Korban Dan Saksi Dalam
Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat, yang terdiri dari :
1. Perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi dari ancaman fisik dan mental;
2. Perahasiaan identitas korban atau saksi;
3. Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengakuan tanpa bertatap
muka dengan tersangka.