Anda di halaman 1dari 37

TUGAS MAKALAH DELIK-DELIK DALAM KUHP

“ PENGERTIAN, PENGGOLONGAN DAN CARA ATAU TEKNIK MERUMUSKAN


NORMA DALAM KUHP ”

KELOMPOK 1

Dosen Pengampu : DR. A. Irzal Rias, S. H., M. H.

Disusun Oleh :

1. Fidela Indriani 2010111027

2. Nanda Rahmi Nadyah 2010112189

3. Maulidil Afdhilla 2010111025

4. Wulan Dramaiyu 2010111006

5. Putri Vatia 2010113057

6. Yuyun Riang 2010111019

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ANDALAS

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang Maha pengasih lagi Maha penyayang, yang

telah memberi rahmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul

“Pengantar Delik-delik dalam KUHP” tepat pada waktunya.

Tujuan dari penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas dari Bapak DR. A. IRZAL RIAS, S.H.,M.

H. pada mata kuliah Delik-Delik dalam KUHP. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah

wawasan mengenai Pengertian,penggolongan juga bagaimana cara merumuskan norma dalam KUHP

bagi para pembaca dan juga penulis.

Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak DR. A. IRZAL RIAS, SH,. MH , selaku dosen pengampu

mata Delik-delik dalam KUHP di Universitas Andalas yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat

menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami ucapkan juga terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan pe

ngetahuannya sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan ketidak

sempurnaan dikarenakan masih dalam tahap belajar. Oleh karena itu, kami menerima kritik dan saran

yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat memb

erikan manfaat bagi penulis sendiri dan para pembaca khususnya.

Padang, 5 Maret 2022

Kelompok I
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Delik menurut KBBI adalah perbuatan yang dapat dikenakkan hukuman, karena merupakan p

elanggaran terhadap undang-undang tindak pidana. Sedangkan menurut istilah ini juga disebut d

engan perbuatan pidana, peristiwa pidana ataupun tindak pidana. Tindak pidana atau Delik meru

pakan terjemahan dari perkataan strafbaar feit atau delict (bahasa Belanda) atau criminal act (ba

hasa Inggris), di dalam menterjemahkan istilah tersebut ke dalam bahasa Indonesia maka diperg

unakan bermacam-macam istilah oleh para ahli di Indonesia. Peristilahan yang sering dipakai dala

m hukum pidana adalah “tindak pidana”.

Adami Chazawi menerangkan bahwa di Indonesia sendiri setidaknya dikenal ada tujuh istilah

yang digunakan sebagai terjemahan dari istilah Strafbaar feit (Belanda). Istilah-istilah yang perna

h digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum

sebagai terjemahan dari strafbaar feit antara lain adalah tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pe

langgaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum dan terakhir a

dalah perbuatan pidana. Namun Pada dasarnya dalam suatu perkara pidana, proses penyelesaian

perkara digantungkan pada jenis deliknya. Ada dua jenis delik sehubungan dengan pemrosesan p

erkara, yaitu delik aduan dan delik biasa.

Dalam pandangan KUHP yang dapat menjadi subjek tindak pidana adalah seorang manusia s

ebagai oknum. Ini mudah terlihat pada perumusan–perumusan dari tindak pidana dalam KUHP ya

ng menampakkan daya pikir sebagai syarat bagi subjek tindak pidana itu, juga terlihat pada ujud

pidana yang termuat dalam pasal–pasal KUHP yaitu pidana penjara, kurungan dan denda. 1 Mem

pelajari hukum berarti berhadapan dengan anggapan–anggapan yang sedikit atau banyak mengik

at perbuatan seseorang dalam masyarakat.Anggapan–anggapan inimemberi petunjuk bagaimana

seseorang harus berbuat atau tidak harus berbuat. Anggapan–anggapan ini lazim disebut norma

atau kaidah.
Menurut sistem dalam KUHP, perbuatan pidana dibagi atas kejahatan (misdrijven) dan pelan

ggaran (overtredingen). Kejahatan diatur dalam buku ke-II KUHP dan Pelanggaran diatur dalam b

uku ke-III KUHP. Kejahatan merupakan rechtdelict atau delik hukum dan pelanggaran merupakan

wetsdelict atau delik undang-undang.Delik hukum adalah pelanggaran hukum yang dirasakan mel

anggar rasa keadilan, misalnya perbuatan seperti pembunuhan, melukai orang lain, mencuri, dan

sebagainya. Sedangkan delik undang-undang melanggar apa yang ditentukan oleh undang-undan

g. Selain pembagian delik antara kejahatan dan pelanggaran itu biasanya melihat sifat dan susun

annya, masih ada lagi pembagian-pembagian yang lain, diantaranya seperti delik formil dan delik

materiil, delik dolus dan delik culpa, delik aduan dan delik biasa, delik berkualifikasi dan delik sed

erhana, delik yang berjalan selesai, delik tunggal, delik umum dan delik khusus, dan beberapa jen

is delik lainnya.

Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang bila dilanggar akan mendapatkan sanksi yang jel

as dan sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang selanjutnya disebut KUHP). Dar

i jenis tindak pidana dalam KUHP terdapat jenis tindak pidana yang dapat dilakukan penuntutan a

pabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan, hal ini diatur dalam Bab VII KUHP tentang meng

ajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal kejahatan-kejahatan yang hanya dituntut atas

pengaduan.

Di dalam pergaulan hidup bermasyarakat sering terjadi pelanggaran hukum yang berupa keja

hatan atau pelanggaran. Hukum mengatur hubungan antara orang dengan orang lain, disamping

itu membatasi kepentingan serta mengadakan larangan atau keharusan agar tercapai ketertiban

hukum di dalam masyarakat. Pasal 108 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (yan

g selanjutnya disebut dengan KUHAP) menyebutkan setiap orang yang mengetahui pemufakatan

kejahatan atau melakukan tindak pidana terhadap ketentraman umum atau terhadap jiwa atau te

rhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyidik dan apabila hal

itu dilalaikan, maka dapat dipersalahkan melanggar Pasal 164 dan Pasal 165 KUHP. Penyidik atau

penyelidik akan menerima pemberitahuan baik yang bersifat sebagai laporan atau aduan sebagai

aparat penegak hukum, ia wajib segera melakukan tindakan untuk membuat masalahnya menjadi

jelas dan terang. Dalam hal terjadi suatu tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 2
4 dan 25 KUHAP dijelaskan bahwa laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseora

ng karena hak atau kewajiban berdasarkan Undang-Undang kepada pejabat yang berwenang ten

tang telah atau sedang di duga akan terjadi peristiwa pidana. Sedangkan aduan adalah pemberita

huan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk

menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikanya.

Baik laporan atau pengaduan keduanya sama-sama mengandung arti “pemberitahuan” seseorang

kepada pejabat yang berwenang menerima laporan dan pengaduan. Pada laporan, pemberitahua

n bersifat umum melibatkan seluruh jenis tindak pidana, sedangkan pengaduan adalah pemberita

huan seseorang kepada pejabat yang berwenang tentang tindak pidana aduan.

Pengaduan merupakan hak dari korban untuk diadakan penuntutan atau tidak dilakukan pen

untutan karena menyangkut kepentingan korban, untuk itu dalam perkara delik aduan diberikan j

angka waktu pencabutan pengaduan yang diatur dalam Pasal 75 KUHP. Hal ini dilakukan agar kor

ban dapat mempertimbangkan dengan melihat dampak yang akan ditimbulkan bagi korban apabil

a perkara tersebut tetap dilanjutkan atau tidak, diadakanya delik aduan adalah untuk melindungi

pihak yang dirugikan dan memberikan kesempatan kepada pihak yang berkepentingan untuk me

nyelesaikan perkara yang berlaku dalam masyarakat.

Banyak lagi yang perlu diketahui pada Delik-delik dalam KUHP. Oleh karena itu kelompok ka

mi akan membahas lebih mendalam tentang apa yang disebut dengan Delik,Penggolongan juga c

ara atau teknik merumuskan norma dalam KUHP.

B. Rumusan masalah

1. Apa definisi dari Delik?

2. Apa penggolongan delik dalam KUHP?

3. Bagaimana cara merumuskan norma dalam KUHP?

4. Bagaimana cara perumusan tindak pidana dalam KUHP?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa pengertian dari Delik


2. Untuk mengetahui jenis-jenis delik dalam KUHP

3. Untuk mengetahui cara merumuskan norma dalam KUHP

4. Untuk mengetahui cara perumusan tindak pidana dalam KUHP


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Delik

Dalam kepustakaan hukum pidana Indonesia, istilah “tindak pidana” merupakan Istilah

yang dipakai sebagai terjemahan dari istilah bahasa Belanda strafbaarfeit. Sebenarnya banya

k istilah yang digunakan yang menunjuk pada pengertian Strafbaarfeit. Misalnya, peristiwa pi

dana, perbuatan pidana, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, hal yang diancam denga

n hukum dengan perturan-peraturan yang dapat dikenakan hukuman. Moeljatno menggunak

an istilah tindak pidana dengan perbuatan pidana yang didefinisikan oleh beliau sebagai “perb

uatan yang dilarang oleh suatu aturan Hukum yang mana disertai ancaman atau sanksi yang

berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”

Tindak pidana atau Delik merupakan terjemahan dari perkataan strafbaar feit atau delict

(bahasa Belanda) atau criminal act (bahasa Inggris), di dalam menterjemahkan istilah terseb

ut ke dalam bahasa Indonesia maka dipergunakan bermacam-macam istilah oleh para cerdik

pandai bangsa Indonesia. Peristilahan yang sering dipakai dalam hukum pidana adalah “tinda

k pidana”. Istilah ini dimaksudkan sebagai terjemahan dari istilah bahasa belanda, yaitu Delict

atau Strafbaar feit. Disamping itu dalam bahasa Indonesia sebagai terjemahannya telah dipak

ai beberapa istilah lain, yaitu :

 Peristiwa pidana

 Perbuatan pidana

 Pelanggaran pidana

 Perbuatan yang dapat dihukum,

 Perbuatan yang boleh dihukum

Ada istilah yang dipergunakan dalam bahasa Indonesia, yakni:


 Peristiwa Pidana (Pasal 14 ayat 1 UUD 1950)

 Perbuatan Pidana atau perbuatan yang dapat atau boleh dihukum (UU No.1 Tahun 1

951 tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuas

aan dan acara pengadilan sipil Pasal 5 sub c)

Moeljatno dalam hal ini mempergunakan istilah perbuatan pidana dan mengemukakan argum

entasi sebagai berikut:

 Perkataan peristiwa tidak menunjukan bahwa yang menimbulkan adalah handeling at

au gedraging seseorang, mungkin juga hewan atau kekuatan alam.

 Perkataan tindak berarti langka dan baru dalam bentuk tindak-tanduk atau tingkah la

ku.

 Perkataan perbuatan sudah lajim dipergunakan dalam kecakapan sehari-hari seperti

perbuatan tidak senonoh, perbuatan jahat dan seterusnya dan juga istilah teknis sep

erti perbuatan melawan hukum (onrechmatigedaad).

Bahwa perkataan tindak pidana kiranya lebih populer dipergunakan, dan juga lebih prakt

is daripada istilah-istilah lainnya. Istilah ini lebih banyak dipergunakan oleh orang maupun un

dang-undang sendiri. Istilah tindak yang sering diucapkan atau dituliskan itu hanyalah untuk

praktisnya saja, seharusnya ditulis dengan tindak pidana. Istilah tindak pidana ini tidaklah ber

arti dilakukan oleh seseorang serta menunjukan terhadap si pelaku maupun terhadap akibatn

ya.

Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan strafbaar feit untuk menyeb

utkan apa yang dikenal sebagai tindak pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan per

kataan strafbaar feit tersebut. Perkataan feit itu sendiri di dalam bahasa Belanda yaitu kenyat

aan berarti sebagian dari suatu kenyataan sedang strafbaar berarti dapat di hukum, hingga s

ecara harfiah perkataan strafbaar feit itu dapat di terjemahkan sebagai sebagian dari suatu k

enyataan yang dapat dihukum yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan d

iketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan buka
n kenyataan, perbuatan ataupun tindakan. Oleh karena seperti yang telah dikatakan di atas,

bahwa pembentuk undang-undang tidak memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang

sebenarnya telah dimaksud dengan perkataan strafbaar feit, maka timbullah di dalam doktrin

berbagai pendapat tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit tersebut. Menurut VOS

pengertian strafbaar feit adalah: suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peratura

n undangundang, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan diancam pidana.

Selanjutnya J.E Jonkers mengemukakan pendapat tentang definisi strafbaar feit menjadi dua

arti :

 Definisi pendek adalah suatu kejadian atau feit yang dapat diancam pidana oleh unda

ng-undang

 Definisi panjang atau yang lebih mendalam adalah suatu kelakuan yang melawan huk

um berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertang

gung jawabkan.

C.S.T. Kansil mengatakan pengertian delict sebagai berikut:

Delik adalah perbuatan yang melanggar undang-undang, dan oleh karena itu bertentangan d

engan undang-undang yang dilakukan dengan sengaja oleh orang yang dapat dipertanggung

jawabkan. Wirjono Projodikoro mengartikan tindak pidana yaitu: tindak pidana berarti suatu p

erbuatan yang pelakunya dapat dikatakan merupakan subyek tindak pidana.

Moelyatno memberikan definisi mengenai tindak pidana yaitu :

 perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, laranga

n mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa ya

ng melanggar larangan tersebut. Hazewinkel-Suringa, mereka telah membuat suatu r

umusan yang bersifat umum dari strafbaar feit yaitu:

 Suatu prilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam sesuatu p

ergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai prilaku yang harus ditiadakan, oleh hu

kum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terda

pat didalamnya.
Profesor Pompe, perkataan strafbaar feit itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai sua

tu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tida

k dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang pelaku dimana penjatuhan hukuman terhad

ap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepenting

an umum.

Sungguhpun demikian beliaupun mengakui bahwa sangatlah berbahaya untuk mencari su

atu penjelasan mengenai hukum positif yakni hanya dengan menggunakan pendapat-pendap

at secara teoritis. Hal mana akan disadari dengan melihat kedalam Kitab Undang-Undang Huk

um Pidana, oleh karena di dalamnya dapat dijumpai sejumlah besar strafbaare feiten yang da

ri rumusan-rumusannya dapat diketahui bahwa tidak satupun dari strafbaar feiten tersebut m

emiliki sifat-sifat umum sebagai suatu strafbaar feit yakni bersifat weederrechtelijk dan strafb

aar atau yang bersifat melanggar hukum, telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak deng

an sengaja dan dapat dihukum. Sifat-sifat seperti dimaksud di atas perlu dimiliki oleh setiap s

trafbaar feit, oleh karena secara teoritis setiap pelanggaran norma itu harus merupakan suatu

prilaku atau yang telah dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja

B. Penggolongan Delik Dalam KUHP

Penggolongan tindak pidana dapat dilihat dari dua sudut, yaitu:

1) Dari sudut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

Jika dilihat dari sudut KUHP, maka KUHP menggolongkan tindak pidana menjadi dua

golongan, yaitu kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Pembagian ters

ebut didasarkan atas perbedaan prinsipil. Pembagian kejahatan disusun dalam Buku II K

UHP dan pelanggaran disusun dalam Buku III KUHP. Undang-undang hanya memberikan

penggolongan kejahatan dan pelanggaran, akan tetapi tidak memberikan arti yang jelas.

Delik kejahatan sering disebut dengan rechtdelicten atau delik hukum. Rechtdelicten

dikaitkan dengan perbuatan yang oleh masyarakat memang dirasakan sebagai perbuatan

yang antisosial. Perbuatan-perbuatan yang sudah dipandang seharusnya dipidana karen

a bertentangan dengan keadilan, meskipun perbuatan itu belum diatur dalam undang-un

dang, Sebaliknya pelanggaran dikenal sebagai wet delicten, yakni perbuatan yang dipand
ang sebagai perbuatan yang tercela, sebagai tindak pidana semata-mata karena ditetapk

an oleh peraturan perundang-undangan.

Pembedaan berdasarkan kriteria kualitatif tersebut, dipandang tidak memadai oleh ka

rena di antara tindak pidana yang digolongkan sebagai pelanggaran juga memiliki sifat-sif

at dasar yang tercela. Sebaliknya juga dimungkinkan terdapat tindak pidana yang digolon

gkan sebagai kejahatan lebih tepat sebagai pelanggaran. Atas pengertian atau pembagia

n tersebut Wirjono Prodjodikoro berpendapat: Penggolongan ini tidak tepat oleh karena s

emua tindak pidana, baik yang dimasukkan Buku II KUHP sebagai “kejahatan” ataumisdri

j maupun yang dimasukkan Buku III KUHP sebagai “pelanggaran” atau overtredingen, m

erupakan baik “tindak pidana berdasar hukum” (rechts-delicten) maupun “tindak pidana

berdasar undang-undang” (wet-delicten). Semua perbuatan itu adalah “tindak pidana ber

dasar undang-undang” oleh karena nyatanya untuk kedua golongan perbuatan itu undan

g-undanglah yang menjadikan si pembuat dapat dihukum.

Pembedaan berdasarkan kriteria kuantitatif, dipandang lebih dapat mencerminkan k

ebenaran. Berdasarkan kriteria kuantitatif ini, tindak pidana kejahatan diancam dengan pi

dana yang lebih berat dibandingkan dengan tindak pidana pelanggaran. Menurut Moeljat

no, penilaian bahwa tindak pidana kejahatan lebih berat dibandingkan dengan tindak pid

ana pelanggaran dapat dilihat dari beberapa hal berikut:

 Pidana penjara hanya diancamkan pada tindak pidana kejahatan dan tidak pada pela

nggaran;

 Jika tindak pidana itu merupakan kejahatan, maka bentuk kesalahan baik kesengajaa

n maupun kealpaan menjadi unsur yang penting, dan harus dibuktikan oleh jaksa pe

nuntut umum, sedangkan jika tindak pidana itu berupa pelanggaran, pembuktian ada

nya kesalahan menjadi tidak perlu. Inilah sebabnya tindak pidana kejahatan dibedaka

n menjadii kejahatan dolus (sengaja) dan culpa (alpa);

 Percobaan untuk melakukan pelanggaran tidak dapat dipidana (Pasal 54 KUHP); juga

perbantuan pada pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP);


 Tenggang daluarsa, baik untuk hak menentukan pidana maupun hak eksekusi pada ti

ndak pidana pelanggaran lebih pendek dibandingkan dengan kejahatan, yaitu 1 (sat

u) tahun untuk pelanggaran dan 2 (dua) tahun untuk kejahatan;

 Dalam hal perbarengan (concursus) pada pemidanaan berbeda untuk tindak pidana p

elanggaran dan kejahatan. Kumulasi pidana yang lebih ringan lebih mudah daripada

pidana berat (Pasal 65, 66-70 KUHP).

Kelompok tindak pidana yang termasuk kejahatan, adalah:

 Kejahatan Terhadap Keamanan Negara (Bab I, Pasal 104-129 KUHP);

 Kejahatan-kejahatan Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden (Bab 11, Pasal

130-139 KUHP);

 Kejahatan-kejahatan Terhadap Negara Sahabat dan Terhadap Kepala Negara sahabat

Serta Wakilnya (Bab 111, Pasal 139a-145);

 Kejahatan Terhadap Melakukan Kewajiban dan Hak Kenegaraan (Bab IV, Pasal 146-1

53 KUHP);

 Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum (Bab V, Pasal 153bis-181 KUHP);

 Perkelahian Tanding (Bab VI, Pasal 182-186 KUHP);

 Kejahatan yang Membahayakan Keamanan Umum bagi Orang atau Barang (Bab VII,

Pasal 187-206 KUHP);

 Kejahatan Terhadap Penguasa Umum (Bab VIII, Pasal 207-241 KUHP);

 Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu (Bab IX, Pasal 242-243 KUHP);

 Pemalsuan Mata Uang dan, Uang Kertas (Bab X, Pasal 244-252 KUHP);

 Pemalsuan Meterai dan Merek (Bab XI, Pasal 253-262 KUHP);

 Pemalsuan Surat (Bab, Xll, Pasal 263-276 KUHP);

 Kejahatan Terhadap Asal-usul dan Perkawinan (Bab Xlll, Pasal 277-280 KUHP);

 Kejahatan Terhadap Kesusilaan (Bab XIV, Pasal 281-303 KUHP);

 Meninggalkan Orang yang Perlu Ditolong (Bab W' Pasal 304-309 KUHP);

 Penghinaan (Bab XVI, Pasal 310-321 KUHP);

 Membuka Rahasia (Bab XVII, Pasal 322-323 KUHP);


 Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang (Bab XVIII, Pasal 324-337 KUHP);

 Kejahatan Terhadap Nyawa (Bab XIX, Pasal 338-350 KUHP);

 Penganiayaan (Bab XX, Pasal 351-358 KUHP);

 Menyebabkan Mati atau Luka-luka Karena Kealpaan (Bab XXI, Pasal 359-361 KUHP);

 Pencurian (Bab XXII, Pasal 362-367 KUHP);

 Pemerasan dan Pengancaman (Bab XXIII, Pasal 368-371 KUHP);

 Penggelapan (Bab XXIV, Pasal 372-377 KUHP);

 Perbuatan Curang [bedrog = penipuan] (Bab XXV, Pasal 378-395 KUHP);

 Perbuatan Merugikan Pemiutang atau Orang yang Mempunyai Hak (Bab xxvl, Pasal 3

96-405 KUHP) (Pemiutang = schuld eischer. Orang yang mempunyai hak recht hebbe

nde);

 Menghancurkan atau Merusakkan Barang (Bab XXVII, Pasal 406-412 KUHP);

 Kejahatan Jabatan (Bab XXVIII, Pasal 413-437 KUHP);

 Kejahatan Pelayaran (Bab XXIX, Pasal 438-479);

 Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan (Ba

b XXIX A, Pasal 479a-479r KUHP)

 Penadahan, Penerbitan dan Percetakan (Bab XXX, Pasal 480-488 KUHP);

 Aturan Tentang Pengulangan Kejahatan yang Bersangkutan dengan Berbagai-bagai B

ab (Bab XXXI, Pasal 486-488 KUHP).

Kelompok tindak pidana yang masuk golongan pelanggaran, adalah:

 Pelanggaran Keamanan Umum bagi Orang atau Barang dan Kesehatan (Bab I, Pasal

489-502 KUHP);

 Pelanggaran Ketertiban Umum (Bab II, Pasal 503- 520 KUHP);

 Pelanggaran Terhadap Penguasa Umum (Bab III, Pasal 521-528 KUHP);

 Pelanggaran Mengenai Asal-usul dan Perkawinan (Bab IV, Pasal 529-530 KUHP);

 Pelanggaran Terhadap Orang yang Memerlukan Pertolongan (Bab V, Pasal 531 KUH

P);

 Pelanggaran Kesusilaan (Bab VI, Pasal 532-547 KUHP);


 Pelanggaran Mengenai Tanah, Tanaman dan Pekarangan (Bab VII, Pasal 548- 551 K

UHP);

 Pelanggaran Jabatan (Bab VIII, Pasal 552-559 KUHP);

 Pelanggaran Pelayaran (Bab IX. Pasal 560-569 KUHP)

Jika diamati Pasal-pasal mengenai kejahatan dan pelanggaran dalam KUHP, menurut

K. Wantjik Saleh telah dijelaskan sebagai berikut :

 Hal yang termasuk dalam kelompok kejahatan adalah merupakan perbuatan-perb

uatan yang “berat” dan diberi ancaman hukuman yang tinggi, sedangkan yang te

rmasuk dalam kelompok pelanggaran merupakan perbuatan yang “ringan”denga

n ancaman hukuman yang rendah.

 Macam perbuatandalam kejahatan jauh lebih banyak jumlahnya dari pada apa ya

ng termasuk dalam kelompok pelanggaran.

2) Dari sudut doktrin (ilmu pengetahuan hukum pidana)

Dari sudut doktrin (ilmu pengetahuan hukum pidana), penggolongan tindak pidana it

u terdiri dari sebagai berikut:

a) Delik Formil (formeel delict) dan delik materil (materieel delict)

Delik formil dan delik material merupakan delik berdasarkan cara perumusan keten

tuan hukum pidana oleh pembentuk undang-undang. Tindak pidana formil (formeel delic

t), yaitu tindak pidana yang dirumuskan sebagai wujud perbuatan tanpa menyebutkan ak

ibat yang disebabkan oleh perbuatan itu. Jadi tindak pidana formil merupakan tindak pida

na yang telah dianggap selesai dengan telah dilakukannya perbuatan yang dilarang dala

m undang-undang, tanpa mempersoalkan akibatnya. Tindak pidana yang perumusannya l

ebih menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang, dan bukan pada akibat dari perbuat

an itu. Dalam delik yang perumusannya bersifat formal, akibat dari perbuatan itu bukan

merupakan unsur dari tindak pidananya. Contohnya: penghinaan (Pasal 315 KUHP), peng

hasutan, pemalsuan.
Tindak pidana materil (materiel delict), yaitu tindak pidana yang dianggap telah sele

sai dengan timbulnya akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-und

ang. Jadi tindak pidana materil itu menekankan pada dilarangnya akibat dari perbuatan.

Dengan demikian, jenis perbuatan ini mempersyaratkan terjadinya akibat untuk selesainy

a perbuatan. Unsur pokok tindak pidananya adalah akibat dari perbuatan itu. Contohnya

adalah Pembunuhan (Pasal 338, 340 KUHP) dengan unsur pokoknya berupa akibat yakni

tewasnya si korban, bisa dilakukan dengan berbagai macam cara atau perbuatan. Demiki

an juga dengan penganiayaan (Pasal 351 KUHP) dengan akibat luka atau catat, yang bisa

dilakukan dengan berbagai macam cara atau perbuatan. Pada tindak pidana yang perum

usannya bersifat materiel, tindak pidana itu dianggap telah terjadi bila akibatnya ada. Seb

aliknya bila akibat belum ada maka tindak pidana itu dianggap belum terjadi, atau paling-

paling baru merupakan tindak pidana percobaan.

b) Delicta commissionis (delik aktif), Delicta ommissionis (delik pasif), dan de

licta commissionis per omisionem commissa

Pembagian tindak pidana dengan cara ini didasarkan pada kriteria bentuk dari perb

uatan yang menjadi elemen dasarnya. Delik Commissionis adalah perbuatan melakukan s

esuatu yang dilarang oleh aturan-aturan pidana, misalnya mencuri (Pasal 362), menggela

pkan (Pasal 372), menipu (Pasal 378). Delik commisionis pada umumnya terjadi di tempa

t dan waktu pembuat mewujudkan segala unsur perbuatan dan unsur pertanggung jawa

ban pidana. Perbuatan dalam hal ini bersifat aktif atau positif, ditandai dengan adanya ak

tivitas. Ini adalah jenis tindak pidana yang paling banyak jumlahnya.

Delik Ommisionis yaitu tindak pidana yang berupa perbuatan pasif yakni, tindak pid

ana itu berupa perbuatan pasif atau negatif, ditandai dengan tidak dilakukannya sesuatu

perbuatan yang diperintahkan atau diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan. Con

tohnya, tidak hadir di pengadilan untuk menjadi saksi (Pasal 522 KUHP); dan tidak menol

ong orang yang berada dalam keadaan bahaya (Pasal 531 KUHP).

Pada tindak pidana commissionis per omissionem commissa, perbuatan itu sebenar

nya merupakan tindak pidana commissionis tetapi dilakukan dengan jalan tidak berbuat,
yakni tidak melakukan sesuatu yang merupakan kewajibannya. Contohnya, seorang ibu y

ang membunuh anaknya dengan membiarkannya kelaparan/ kehausan (Pasal 338, 340 K

UHP); seorang penjaga wissel yang menyebabkan kecelakaan kereta api dengan sengaja

tidak memindahkan wissel (Pasal 194 KUHP).

c) Delik Dolus dan Delik Culpa

Pembagian tindak pidana berikutnya dapat dilakukan berdasarkan unsur-unsur yang

tindak pidana di dalam rumusannya di dalam peraturan perundang-undangan, yaknii tind

ak pidana yang memuat unsur kesengajaan (delik dolus) dan tindak pidana yang memuat

unsur kealpaan (culpos). Tindak pidana dengan unsur kesengajaan, merupakan tindak pi

dana yang terjadi karena pelaku tindak pidana itu memang mempunyai keinginan atau ke

hendaki untuk melakukan perbuatan tertentu itu, termasuk juga menghendaki timbulnya

akibat dari perbuatan itu. Contohnya: Tindak pidana pembunuhan dengan sengaja (Pasal

338 KUHP); Pembunuhan dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu (Pasal 34

0 KUHP).

Sementara itu, tindak pidana dengan unsur kealpaan, merupakan tindak pidana yang

terjadi sementara si pelakunya tidak memiliki keinginan atau kehendak untuk melakukan

sesuatu perbuatan tertentu, demikian pula dengan akibat dari perbuatan itu. Contohnya,

karena kealpaannya menyebabkan matinya orang (Pasal 359 KUHP); karena kealpaannya

menyebabkan orang lain luka berat (Pasal 360 KUHP).

d) Delik aduan (Klachtdelicten) dan delik biasa (gewonedelicten)

Delik biasa atau delik yang bukan delik aduan adalah delik yang dapat diproses lang

sung oleh penyidik tanpa adanya persetujuan dari korban atau pihak yang dirugikan. Den

gan kata lain, tanpa adanya pengaduan atau sekalipun korban telah mencabut laporanny

a, penyidik tetap memiliki kewajiban untuk melanjutkan proses perkara tersebut. Contoh

dari delik biasa, antara lain delik pembunuhan, pencurian, penggelapan, penipuan, dan la

in-lain.
Delik aduan berarti delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau lapo

ran dari orang yang menjadi korban tindak pidana. E. Utrecht dalam Hukum Pidana II me

ngungkapkan bahwa dalam delik aduan, penuntutan terhadap delik tersebut digantungka

n pada persetujuan dari yang dirugikan atau korban. Dalam delik aduan, korban tindak pi

dana dapat mencabut laporan apabila telah terjadi suatu perdamaian di antara korban da

n terdakwa. Hal ini diterangkan dalam Pasal 75 KUHP yang menyebutkan bahwa orang ya

ng mengajukan pengaduan berhak menarik kembali pengaduannya dalam waktu tiga bul

an setelah pengaduannya diajukan. Pembagian Delik Aduan Delik aduan dibagi dalam du

a jenis:

 Delik aduan absolut (absolute klacht delict). Menurut Tresna Delik aduan absolut adal

ah tiap-tiap kejahatan yang dilakukan, yang hanya akan dapat diadakan penuntutan

oleh penuntut umum apabila telah diterima aduan dari yang berhak mengadukannya.

Pompe mengemungkakan delik aduan absolut adalah delik yang pada dasarnya, adan

ya suatu pengaduan itu merupakan voorwaarde van vervolgbaarheir atau merupakan

syarat agar pelakunya dapat dituntut. Kejahatan-kejahatan yang termasuk dalam jen

is delik aduan absolut seperti:

- Kejahatan penghinaan (Pasal 310 s/d 319 KUHP), kecuali penghinaan yang dilaku

kan oleh seseoarang terhadap seseorang pejabat pemerintah, yang waktu diadak

an penghinaan tersebut dalam berdinas resmi. Si penghina dapat dituntut oleh ja

ksa tanpa menunggu aduan dari pejabat yang dihina.

- Kejahatan-kejahatan susila (Pasal 284, Pasal 287, Pasal 293 dana Pasal 332 KUH

P).

- Kejahatan membuka rahasia (Paal 322 KUHP)

 Delik aduan relatif (relatieve klacht delict). Delik aduan relatif adalah kejahatan-kejah

atan yang dilakukan, yang sebenarnya bukan merupakan kejahatan aduan, tetapi kh

usus terhadap hal-hal tertentu, justru diperlukan sebagai delik aduan. Menurut Pomp

e, delik aduan relatif adalah delik dimana adanya suatu pengaduan itu hanyalah meru

pakan suatu voorwaarde van vervolgbaarheir atau suatu syarat untuk dapat menuntu
t pelakunya, yaitu bilamana antara orang yang bersalah dengan orang yang dirugikan

itu terdapat suatu hubungan yang bersifat khusus. Umumnya delik aduan retalif ini h

anya dapat terjadi dalam kejahatan-kejahatan seperti:

- Pencurian dalam keluarga, dan kajahatan terhadap harta kekayaan yang lain yan

g sejenis (Pasal 367 KUHP);

- Pemerasan dan ancaman (Pasal 370 KUHP);

- Penggelapan (Pasal 376 KUHP);

- Penipuan (Pasal 394 KUHP).

e) Delik Selesai (rampung) dan Delik Berlanjut (Berlangsung Terus)

Delik rampung adalah delik yang terdiri atas satu perbuatan atau beberapa perbuatan

tertentu yang selesai dalam suatu waktu tertentu yang singkat. Sebagai contoh Pasal 338

KUHP tentang pembunuhan, delik ini selesai dengan matinya si korban. Delik berlanjut ya

itu delik yang terdiri atas satu atau beberapa perbuatan yang melanjutkan suatu keadaan

yang dilarang oleh undangundang. Misalnya Pasal 221 KUHP yaitu menyembunyikan oran

g yang melakukan kejahatan, Pasal 261 KUHP yaitu menyimpan barangbarang yang dapa

t dipakai untuk memalsukan materai dan merek, Pasal 333 KUHP yaitu dengan sengaja d

an melawan hukum menahan seseorang atau melanjutkan penahanan.

f) Delik Sederhana, Delik dengan Pemberatan atau Delik Berkualifikasi, dan D

elik Berprevilise

Delik sederhana yaitu delik dasar atau delik pokok. Misalnya Pasal 338 KUHP tentang

pembunuhan dan Pasal 362 KUHP tentang pencurian. Delik dengan pemberatan atau deli

k berkualifikasi yaitu delik yang memepunyai unsur-unsur yang sama dengan delik dasar

atau delik pokok, tetapi ditambah dengan unsur-unsur lain sehingga ancaman pidananya

lebih berat daripada delik dasar atau delik pokok. Misalnya Pasal 339 KUHP tentang pemb

unuhan berkualifikasi dan Pasal 363 KUHP tentang pencurian berkualifikasi. Delik prevellis

e yaitu delik yang mempunyai unsur-unsur yang sama dengan delik dasar atau delik poko

k, tetapi ditambah dengan unsurunsur lain, sehingga ancaman pidananya lebih ringan dar
ipada delik dasar atau delik pokok. Misalnya Pasal 344 KUHP tentang pembunuhan atas p

ermintaan korban sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati.

g) Delik Politik dan Delik Umum

Delik politik yaitu delik yang ditujukan terhadap keamanan negara dan kepala negara.

Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Buku II Bab I sampai Bab V, Pasal 104 KUHP sa

mpai Pasal 181 KUHP. Delik umum adalah delik yang tidak ditujukan kepada keamanan n

egara dan kepala negara. Misalnya Pasal 362 KUHP tentang pencurian dan Pasal 372 KU

HP tentang penggelapan.

h) Delik Khusus dan Delik Umum

Delik khusus yaitu delik yang hanya dapat dilakukan orang tertentu saja, karena sua

tu kualitas. Misalnya seperti tindak pidana korupsi yang hanya dapat dilakukan oleh pega

wai negeri. Delik umum yaitu delik yang dapat dilakukan oleh setiap orang. Misalnya Pasa

l 338 KUHP tentang pembunuhan, Pasal 362 KUHP tentang pencurian dan lain sebagainy

a.

i) Enkelvoudige delicten (delik tunggal) dan samengestelde delicten (delik m

ajemuk).

Enkelvoudigedelicten (delik tunggal),yaitu suatu delik yang pelakunya telah dapat di

hukum dengan satu kali saja melakukan tindakan yang dilarang oleh undang-undang. Del

ik ini dianggap telah terjadi dengan hanya dilakukan sekali perbuatan, seperti pencurian

(Pasal 362 KUHP),penipuan (Pasal 378 KUHP), dan pembunuhan (Pasal 338 KUHP). Sam

engesteldedelicten (delik majemuk), yaitu delik yang terdiri atas lebih dari satuperbuatan

atau delik yang untuk kualifikasinya baru terjadi apabila dilakukan beberapa kali perbuata

n. Delik ini pada umumnya menyangkut kejahatan karena mata pencaharian atau karena

kebiasaan atau karena pekerjaan. Contohnya Pasal 480 KUHP yang menentukan bahwa u

ntuk dapat dikualifikasikan sebagai delik penadahan, penadahan itu harus dilakukan dala

m beberapakali.
C. CARA ATAU TEKNIK MERUMUSKAN NORMA DALAM KUHP

Ada beberapa cara merumuskan norma dalam KUHP :

 Menyebutkan satu persatu unsur-unsur perbuatan yang dilarang. Hal ini seperti terlihat d

alam Pasal 281 KUHP yang menyatakan :

“ Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana dend

a paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: barang siapa dengan sengaja dan terbuka

melanggar kesusilaan; barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada di

situ bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.”

Pasal 305 KUHP :

“ Barangsiapa menaruhkan anak yang dibawah umur tujuh tahun disuatu tempat supaya

dipungut oleh orang lain, atau dengan maksud akan terbebas dari pada pemeliharaan an

ak itu, meninggalkannya, dihukum penjara sebanyak-banyaknya lima tahun enam bulan “

Pasal 413 KUHP :

“ Panglima tentara yang menolak atau dengan sengaja lalai mempergunakan kekuatan ya

ng dibawah perintahnya atas permintaan yang sah dari pembesar sipil, dihukum penjara

selama-lamanya empat tahun.”

Pasal 435 KUHP:

“ Pegawai negeri yang dengan sengaja, baik dengan langsung maupun dengan tidak lang

sung, turut campur dalam pemborongan dalam mengadakan barang atau hak pak (parpa

chtingen) sedang ia diwajibkan sama sekali atau sebagian mengurus dan mengawasi pad

a waktu hal-hal tersebut dikerjakan, dihukum penjara selama-lamanya Sembilan bulan at

au deda sebanyak-banyaknya Rp. 18.000,– “

Pasal 154 KUHP :


“ Barangsiapa dimuka umum menyatakan perasaan permusuhan kebencian atau penghin

aan terhadap kepada Pemerintah Negara Indonesia, dihukum penjara selama-lamanya tu

juh tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,—“

Pasal 155 KUHP :

“ (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan

di muka umum yang mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau pe

nghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau le

bih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun ena

m bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Pasal 156 :

“ Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan seng

aja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan :

 Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terh

adap suatu agama yang dianut di Indonesia

 Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang be

rsendikan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. “

Pasal 157 KUHP :

“ Barangsiapa menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan surat atau gambar, ya

ng isinya menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan diantaranya at

au terhadap golongan-golongan penduduk Negara Indonesia, dengan maksud supaya isi

surat atau gambar itu diketahui oleh orang banyak, dihukum penjara selama-lamanya du

a tahun enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,–“

Misalnya Pasal 362 KUHP:


“Barang siapa mengambil barang milik orang lain seluruhnya atau sebagaian dengan ma

ksud untuk memiliki secara melawan hukum diancam dengan pidana ...”.

Unsur-unsur tindak pidana terlihat dengan jelas, yaitu : mengambil suatu barang; bar

ang tersebut seluruhnya atau sebagian milik orang lain; dengan maksud untuk memiliki;

melawan hukum.

 Hanya menyebutkan kualifikasi (penamaan yuridis) dari delik. Ketentuan ini dapat dilihat

dari Pasal 184, 297, 351 KUHP. Msalnya Pasal 351 KUHP, “Penganiayaan dipidana denga

n ….”. Kualifikasi tindak pidana ini adalah “penganiayaan”. Hal ini dilakukan oleh pembent

uk undang-undang bila unsur-unsur dari tindak pidana tersebut telah cukup dikenal atau

bila ada ketakutan justru bila dirinci unsur-unsurnya justru dapat memperluas atau memp

ersempit ruang lingkup tindak pidana tersebut yang tidak dikehendaki oleh pembentuk un

dang-undang. Dalam upaya untuk memahami makna tindak pidana dari undang-undang t

ersebut hal terbaik yang biasanya dila kukan adalah melakukan penafsiran historis, sehin

gga diperoleh kejelasan tentang perbuatan seperti apa sebenarnya yang dilarang.

 Menyebutkan unsur-unsur perbuatannya, sifat dan keadaan yang bersangkutan dan men

yebutkan pula kualifikasinya. Hal ini dapat dilihat dari rumusan. Pasal 124, 263, 338, 362,

372, 378, 425, 438 KUHP. Misalnya Pasal 338 KUHP,”Barang siapa dengan sengaja meng

hilangkan nyawa orang lain, dipidana karena makar mati dengan hukuman….”. Unsur-uns

ur tindak pidananya adalah : dengan sengaja; menghilangkan nyawa orang lain. Sedangk

an kualifikasinya adalah “makar mati/pembunuhan”.

Dalam merumuskan norma hukum pidana dan merumuskan ancaman pidana, paling tidak

terdapat 3 (tiga) hal yang ingin dicapai dengan pemberlakuan hukum pidana di dalam masyar

akat, yaitu membentuk atau mencapai cita kehidupan masyarakat yang ideal atau masyaraka

t yang dicitakan, mempertahankan dan menegakkan nilai-nilai luhur dalam masyarakat, dan

mempertahankan sesuatu yang dinilai baik (ideal) dan diikuti oleh masyarakat dengan teknik

perumusan norma yang negatif.

Ada 13 (tiga belas jenis petunjuk untuk merumuskan norma hukum secara jelas.
1. Tulislah kalimat secara singkat;

2. Letakkan setiap bagian dari kalimat pada urutan yang logis;

3. Hindari penggunaan frasa dan klausula yang rancu;

4. Uraikan kondisi yang kompleks;

5. Gunakan kalimat aktif sejauh memungkinkan:

6. Gunakan klausula kata kerja dan kata sifat dari pada kata benda;

7. Gunakan kata yang positif walaupun anda ingin menjelaskan yang sifatnya negatif;

8. Gunakan struktur yang pararel;

9. Hindari kemaknagandaan dalam kata dan kalimat;

10. Pilihlah perbendaharaan kata secara cermat;

11. Hindari penggunaan kata benda yang sambung menyambung;

12. Kurangi kata‐kata yang tumpang tindih dan asing (tak ada hubungannya);

13. Gunakan model/format yang tepat.

CARA PERUMUSAN TINDAK PIDANA

Di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 telah diatur bagaimana merumuskan keten

tuan pidana (lihat lampiran angka 112 sampai 126). Di dalam lampiran disebutkan bahwa ketentu

an pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ket

entuan yang berisi norma larangan atau perintah. Dalam merumuskan ketentuan pidana perlu dip

erhatikan asas-asas umum ketentuan pidana yang terdapat dalam Buku I KUHP, karena ketentua

n dalam Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perun

dang-undangan lain, kecuali jika oleh UndangUndang ditentukan lain (Pasal 103 KUHP).

Dalam rangka menentukan lamanya pidana atau banyaknya denda, perlu dipertimbangkan m

engenai dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam masyarakat serta unsur kesalahan p

elaku. Ketentuan pidana ditempatkan dalam bab tersendiri, yaitu bab ketentuan pidana yang leta

knya sesudah materi pokok yang diatur atau sebelum bab ketentuan peralihan. Jika bab ketentua

n peralihan tidak ada, letaknya adalah sebelum bab ketentuan penutup. Jika di dalam peraturan p

erundang-undangan tidak ada pengelompokan bab per bab, ketentuan pidana akan ditempatkan

dalam pasal yang terletak langsung sebelum pasal atau dalam beberapa pasal yang berisi ketentu
an peralihan. Jika tidak ada pasal yang berisi ketentuan peralihan, ketentuan pidana diletakkan se

belum pasal atau beberapa pasal yang berisi ketentuan penutup. Ketentuan pidana hanya dimuat

dalam Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma larangan atau norma peri

ntah yang dilanggar dan menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang memuat norma tersebut.

Dengan demikian, perlu dihindari pengacuan kepada ketentuan pidana peraturan perundang-und

angan lain.

Selain itu, perlu dihindari akan adanya pengacuan kepada KUHP, jika elemen atau unsur-unsu

r dari norma yang diacu tersebut tidak sama. Hindari pula penyusunan rumusan sendiri yang berb

eda atau tidak terdapat di dalam norma-norma yang diatur dalam pasal atau beberapa pasal sebe

lumnya, kecuali untuk undang-undang mengenai tindak pidana khusus. Jika ketentuan pidana ber

laku bagi siapapun, subjek dari ketentuan pidana dirumuskan dengan frasa setiap orang, yang se

ngaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaf

tar milik orang lain atau badan hukum lain untuk barang atau jasa sejenis yang diproduksi dan at

au diperdagangkan (Pasal 81 KUHP). Jika ketentuan pidana hanya berlaku bagi subjek tertentu, s

ubjek itu dirumuskan secara tegas, misalnya, orang asing, pegawai negeri, saksi (Lihat Pasal 143

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika)

Sehubungan adanya pembedaan antara tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggar

an di dalam Pasal 33 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, rumusan ketentuan pidana harus men

yatakan secara tegas kualifikasi dari perbuatan yang diancam dengan pidana itu sebagai pelangg

aran atau kejahatan. Rumusan ketentuan pidana harus menyatakan dengan tegas akan kualifikasi

pidana yang dijatuhkan itu apakah bersifat kumulatif, alternatif, atau kumulatif alternatif. Perumu

san dalam ketentuan pidana harus menunjukkan dengan jelas unsur-unsur perbuatan pidana bers

ifat kumulatif atau alternatif.

Jika suatu peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan pidana akan diberlakusur

utkan, ketentuan pidananya harus dikecualikan, mengingat asas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yan

g menyatakan bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut. Ketentuan hukum pidana bagi t

indak pidana yang merupakan pelanggaran terhadap kegiatan bidang ekonomi dapat diatur terse
ndiri di dalam undangundang yang bersangkutan, tetapi cukup mengacu kepada undang-undang

yang mengatur mengenai tindak pidana di bidang ekonomi, misalnya, UndangUndang No. 7 Drt.

Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.

Tindak pidana dapat dilakukan oleh perorangan ataupun oleh korporasi. Pidana terhadap tind

ak pidana yang dilakukan oleh korporasi dijatuhkan kepada: a. Badan hukum antara lain perseroa

n, perkumpulan, yayasan, atau koperasi; dan/atau; b. Pemberi perintah untuk melakukan tindak

pidana atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana.

PERUMUSAN ELEMEN ATAU UNSUR TINDAK PIDANA

Di dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 belum dicontohkan bagaimana merumuskan su

atu unsur-unsur tindak pidana yang baik dan rinci, padahal penentuan unsur tindak pidana sanga

t penting terkait dengan kepastian dapat dipidananya seseorang atau pelaku. Unsur tindak pidana

yang telah kita ketahui adalah unsur tindak pidana subjektif dan unsur tindak pidana objektif. Uns

ur tindak pidana yang subjektif merupakan unsur yang melekat pada diri pelaku tindak pidana, te

rmasuk unsur yang terkandung di dalam hatinya, yaitu: (niat,maksud dan tujuan). Sedangkan un

sur tindak pidana yang objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan tindakan pelaku tind

ak pidana (perbuatan, tingkah laku atau aktivitas). Unsur-unsur subjektif pada umumnya dirumus

kan dengan kata sengaja atau tidak sengaja (alpa) atau dengan rencana terlebih dahulu. sebelum

unsur - unsur dalam perbuatan atau tindakan yang dilakukan pelaku. Kadangkala juga dirumuska

n dengan frase dengan maksud atau dengan tujuan setelah unsurunsur perbuatan/tindakan yang

dilakukan pelaku. Pencantuman unsur-unsur subjektif di atas membawa konsekuensi adanya kew

ajiban bagi penegak hukum untuk membuktikan sikap batinnya.

Beberapa perbuatan atau tindakan kadangkala tidak memerlukan unsur-unsur subjektif, kare

na bilamana dilihat dari perbuatan atau tindakan itu sendiri sudah dapat dikatakan mengartikan s

uatu kesengajaan, misalnya, Pasal 362 KUHP. Dalam Ketentuan Pasal 362 tidak didahului adanya

kesengajaan, karena pada saat pelaku mengambil barang milik orang lain secara melawan hukum

itu dapat dikatakan bahwa perbuatan tersebut mengambil barang milik orang lain itu adalah deng

an sengaja.
Pada saat pembentuk undang-undang menentukan adanya kata sengaja pada perbuatan ata

u tindakan tertentu, apakah selalu diperlukan adanya rumusan lain untuk melengkapi perbuatan s

engaja dengan kata alpa pada ayat-ayat berikutnya. Hal ini tergantung keinginan pembentuk und

ang-undang, dengan catatan bahwa perbuatan atau tindakan yang mengikutinya memang bisa te

rlaksana dengan unsur alpa. Perbuatan pemerkosaan, misalnya, tidak mungkin ditambahkan unsu

r subjektif adanya alpa.

Untuk unsur objektif, perumusan perbuatan atau tindakan hendaknya dilakukan dengan hati-

hati. Jika diinginkan adanya beberapa perbuatan, sebaiknya tiaptiap perbuatan tersebut disusun s

ecara kesejajaran atau sepadan sehingga tidak menimbulkan ketimpangan antara perbuatan yan

g satu dengan perbuatan yang lainnya karena hal ini terkait dengan penentuan bobot ancaman pi

dana. Jika perbuatan yang dirumuskan lebih daripada satu, cukup digunakan kata ”atau” untuk m

enunjukkan satu perbuatan saja sudah dapat dikenakan pidana karena telah memenuhi unsur.

PERUMUSAN KETENTUAN PIDANA DALAM PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN

UU 10/ 2004 belum memberikan pedoman yang komprehensif bagaimana merumuskan norma hu

kum pidana dalam peraturan perundang-undangan, baik dalam UU Hukum Pidana maupun dalam

“Ketentuan Pidana” dari suatu UU Administratif;

Perumusan yang “buruk” tentang hal ini akan menyebabkan kesulitan-kesulitan dalam praktek p

enegakan hukum, bahkan bertentangandengan tujuan hukum itu sendiri (kepastian, keadilan dan

kemanfaatan hukum);

Pada dasarnya ruang lingkup perumusan norma hukum pidana dalam peraturan perundang-unda

ngan, meliputi: (1) rumusan tentang hukum pidana materiel (tindak pidana, pertanggungjawaban

pidana dan pidana); (2) rumusan tentang hukum acara pidana (proses dan prosedur pidana), (3)

rumusan tentang tata cara pelaksanaan pemidanaan .

PERUMUSAN KETENTUAN PIDANA

Pangkal tolak perumusan norma hukum pidana dalam peraturan perundang-undangan adalah

asas legalitas, Yang dalam hal ini setidaknya memuat tujuh prinsip:
 Tidak ada perbuatan yang dilarang dalam hukum pidana kecuali ditentukan dalam peraturan

perundang-undangan;

 Tidak ada jenis sanksi pidana kecuali ditentukan dalam peraturan perundang-undangan;

 Tindak ada jumlah sanks pidana kecuali ditentukan dalam peraturan perundang-undangan;

 Tidak ada kewenangan negara untuk melakukan proses acara pidana kecuali ditentukan dala

m peraturan perundang-undangan;

 Tidak ada kewajibaN negara untuk melakukan prosedur acara pidana kecuali ditentukan dala

m peraturan perundang-undangan;

 Tidak ada kewenangan negara melaksanakan putusan pemidanaan kecuali ditentukan dalam

peraturan perundang-undangan;

 Tidak ada tata cara pelaksanaan sanksi pidana kecuali ditentukan dalam peraturan perundan

g-undangan;

STRUKTUR TINDAK PIDANA

Secara umum, suatu rumusan tindak pidana, setidaknya memuat rumusan tentang :

 Subyek hukum yang menjadi sasaran norma tersebut (addressaat norm );

 perbuatan yang dilarang (strafbaar ), baik dalam bentuk melakukan sesuatU (commission

), tidak melakukan sesuatu ( omission ) dan menimbulkan akibat (kejadian yang ditimbul

kan oleh kelakuan); dan

 ancaman pidana (strafmaat ), sebagai sarana memaksakan keberlakuan atau dapat dit

aatinya ketentuan tersebut.

PERUMUSAN UMUM ADDRESSAAT NORM

Secara umum digunakan idiom “barang siapa” sebagai padanan “hij die”. Dalam be

berapa undang-undang di luar KUHP, juga digunakan istilah “setiap orang”.

Idiom “barang siapa” dalam KUHP merujuk kepada orang perseorangan, sedangkan “se

tiap orang” dalam beberapa undang-undang di luar KUHP, dengan tegas diartikan sebagai

“orang perseorangan” atau “korporasi”. Namun demikian, masih banyak UU yang addressaat

norm-nya juga korporasi menggunakan “barang siapa”. Misalnya, Undang-Undang No.


11 Tahun 1995 menggunakan istilah ”barangsiapa”, sekalipun tindak pidana yang berad

a didalamnya ditujukan pula terhadap korporasi. Bahkan pada tahun yang sama dengan tahu

n dimana pertama kali digunakan idiom ”setiap orang”, pembentuk undang-undang mengun

dangkan Undang-Undang No. 16 Tahun 1992 Tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbu

han dengan menggunakan istilah ”barang siapa” untuk menunjukkan addressaat norm -nya;

Selain itu, ada pula UU yang sudah menggunakan idiom “setiap orang” (berarti tertuju pada

orang perseorangan dan korporasi), tetapi masih menggunakan idiom lain dalam rumus

annya. Misalnya Pasal 307 UU No. 10 Tahun 2008, menyebutkan “ setiap orang atau lembaga

…”.

ADDREASSAAT NORM KHUSUS

Adakalanya ancaman pidana ditujukan kepada subyek hukum dengan ”kualitas” tertentu. Beb

erapa istilah bersifat sangat umum, seperti ”setiap pihak” dalam Undang-Undang No. 8 Tahu

n 1995 tentang Pasal Modal atau ”orang asing” dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 Ten

tang Keimigrasian. Adakalanya menggunakan istilah yang sangat spesifik, seperti ”pengusah

a pengurusan jasa kepabeanan” dalam Undang-Undang No. 10 tahun 1995 Tentang Kepabe

anan (sudah tidak berlaku lagi) atau ”pengusaha pabrik” dalam Undang-Undang No. 11 Tahu

n 1995 tentang Cukai;

Penyebutan subyek hukum sebagai addressaat norma ancaman pidana adakalah keliru karen

a seharusnya digunakan istilah yang bersifat umum. Misalnya dalam Pasal 66 Undang-Unda

ng No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika yang menentukan sebagai berikut:

”Saksi atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara psikotropika yang sedang dalam pe

meriksaan di sidang Pengadilan yang menyebut nama, alamat atau hal-hal yang dapat terung

kapnya identitas pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), dipidana dengan pi

dana penjara paling lama 1 (satu) tahun.”

Ancaman pidana tidak dapat ditujukan kepada ”saksi” karena saksi adalah orang yang tidak

melakukan tindak pidana, tetapi justru yang melihat, mendengar dan mengalami sendiri dari

suatu tindak pidana.


ADDRESSAAT NORM KHUSUS TIDAK TERHADAP STATUS

Perumusan pelarangan tertuju pada ”perbuatannya” bukan pelarangan terhadap ”status sese

orang” . Dengan kata lain, ”perbuatan orang dalam kualitas” tertentu yang seharusnya dilara

ng. Berdasarkan hal ini rumusan tindak pidana di atas seharusnya menentukan:

”Setiap orang yang memberikan keterangan sebagai saksi atau orang lain yang bersangkutan

denga perkara psikotropika yang sedang dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan yang meny

ebut nama, alamat atau hal-hal yang dapat terungkapnya identitas pelapor sebagaimana dim

aksud dalam Pasal 57 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

ADDRESSAAT NORM TIDAK DITUJUKAN PADA PERBUATAN

Juga merupakan perumusan tindak pidana yang keliru, jika ancaman pidana ditujukan kep

ada ”perbuatan” , tetapi ancaman pidana seharusnya ditujukan kepada ”orang yang melaku

kan perbuatan”. Misalnya, perumusan tindak pidana dalam Pasal 48 Undang-Undang No. 5 T

ahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang me

nentukan:

”Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai

dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 Undang-Undang ini diancam pidana denda

serendah- rendahnya Rp. 25. 000.000.000 (duapuluh lima millar) dan setinggi-tingginya Rp. 1

00.000.000.000 (seratus mililar), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6

(enam) bulan”.

Demikian pula ketentuan Pasal 83 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika,

masih mengancam pidana terhadap perbuatan, dengan menentukan: “Percobaan atau permu

fakatan jahat ….diancam dengan pidana yang sama….”

PERUMUSAN STRAFBAAR

Perbuatan yang dilarang (strafbaar) dalam suatu tindak pidana adalah isi undang-undang

yang harus dibuktikan Penuntut Umum, untuk dapat menyatakan seseorang melakukan tinda
k pidana. Oleh karena itu, kekeliruan dalam perumusan bagian, ini akan menimbulkan kesulit

an-kesulitan dalam praktek penegakan hukum.

Tindak pidana pertama-tama berisi larangan terhadap ‘perbuatan’. Dengan demikian, per

tama-tama suatu tindak pidana berisi larangan terhadap kelakuan-kelakuan tertentu. Da

lam delik-delik omisi, larangan ditujukan kepada tidak diturutinya perintah. Dengan demi

kian, norma hukum pidana berisi rumusan tentang suruhan untuk melakukan sesuatu. Dala

m hal tindak pidana materiel, larangan ditujukan kepada penimbulan akibat. Tindak pidana b

erisi rumusan tentang akibat-akibat yang terlarang untuk diwujudkan.

OMMISION DELICT

Ketika tindak pidana berisi rumusan tentang dilarangnya suatu omisi, maka pada hakekatn

ya undang-undang justru memerintahkan setiap orang melakukan sesuatu, apabila mendapat

i keadaan-keadaan yang juga ditentukan dalam undang-undang tersebut.

Rumusan tentang tindak pidana berisi tentang kewajiban, yang apabila tidak dilaksanakan

pembuatnya diancam dengan pidana. Kewajiban disini, menurut bukan hanya bersumber dari

ketentuan undang- undang.

Dapat saja kewajiban tersebut timbul dari suatu perjanjian, ataupun kewajiban yang timb

ul diluar yang perjanjian, atau kewajiban yang timbul dari hubungan-hubungan khusus, ata

u kewajiban untuk mencegah keadaan bahaya akibat perbuatannya, bahkan kewajiban- kewa

jiban lain yang timbul dalam hubungan sosial, seperti kewajiban hidup bertetangga. Dengan

demikian, kewajiban-kewajiban disini dapat berarti sangat umum, sehingga lebih bersifat gen

eral social expectation daripada moral aspiration.

STRAFBAAR TIDAK MEMUAT KESENGAJAAN

Tindak pidana merumuskan “perbuatan yang dilarang”, bukan keadaan batin oran

g yang melakukan perbuatan itu (kesalahan). Kesalahan umumnya dimanistasikan dalam ‘uns

ur mental’ tindak pidana, berupa ‘dengan sengaja’ atau ‘karena kealpaan’. Mengingat asumsi

umum semua tindak pidana dilakukan “dengan sengaja“ maka tidak diperlukan lagi kata-kata

ini dalam rumusan strafbaar;


Setiap kata kerja dalam rumusan strafbaar, harus diartikan sebagai kesengajaan, sehi

ngga tidak diperlukan kata-kata “dengan sengaja” dalam rumusan ini;

Berbeda dengan kealpaan yang sifatnya perkecualian, sehingga tetap dirumuskan da

lam rumusan tindak pidana. Perbuatan yang dapat terjadi karena kealpaan pembuatnya,

hanya dijadikan tindak pidana jika perbuatan-perbuatan tersebut dipandang cukup seius. H

anya perbuatan-perbuatan yang dipandang dapat menimbulkan bahaya yang sangat

besar bagi masyarakat, yang dapat dimintai pertanggungjawaban karena kealpaan pembuatn

ya.

RUMUSAN STRAFBAAR DALAM TINDAK PIDANA ADMINISTRATIF

Ketentuan pidana dalam tindak pidana administratif berfungsi sebagai “pengaman” yang digu

nakan untuk “memaksakan” norma-norma administratif;

Jika dalam undang-undang pidana, umumnya baik perbuatan yang dilarang (strafbaar) maup

un sanksi pidananya (strafmaat) dirumuskan dalam satu pasal. Berbeda umumnya dalam

tindak pidana pidana administratif. Ketentuan Pidana dalam undang-undang administ

ratif seharusnya hanya berisi ancaman pidananya strafmaat) , sedangkan perbuatan yang di

larangnya (strafbaar) berada dalam norma administratif.

Ketentuan administratif ini dapat berupa suatu “perintah” ataupun “larangan”. Dengan demiki

an, norma hukum pidana yang terdapat dalam rumusan tindak pidana administratif dap

at berisi ancaman pidana ketika melanggar larangan administratif atau dapat pula berisi anca

man pidana ketika melanggar perintah administratif.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam kepustakaan hukum pidana Indonesia, istilah “tindak pidana” merupakan Istilah

yang dipakai sebagai terjemahan dari istilah bahasa Belanda strafbaarfeit. Sebenarnya

banyak istilah yang digunakan yang menunjuk pada pengertian Strafbaarfeit. Tindak

pidana atau Delik merupakan terjemahan dari perkataan strafbaar feit atau delict (bahasa

Belanda) atau criminal act (bahasa Inggris), di dalam menterjemahkan istilah tersebut ke

dalam bahasa Indonesia maka dipergunakan bermacam-macam istilah oleh para cerdik

pandai bangsa Indonesia.


Peristilahan yang sering dipakai dalam hukum pidana adalah “tindak pidana”. Perkataan

peristiwa tidak menunjukan bahwa yang menimbulkan adalah handeling atau gedraging

seseorang, mungkin juga hewan atau kekuatan alam. Perkataan tindak berarti langka

dan baru dalam bentuk tindak-tanduk atau tingkah laku. Perkataan perbuatan sudah

lajim dipergunakan dalam kecakapan sehari-hari seperti perbuatan tidak senonoh,

perbuatan jahat dan seterusnya dan juga istilah teknis seperti perbuatan melawan hukum

(onrechmatigedaad). Bahwa perkataan tindak pidana kiranya lebih populer dipergunakan,

dan juga lebih praktis daripada istilah-istilah lainnya. Istilah tindak yang sering diucapkan

atau dituliskan itu hanyalah untuk praktisnya saja, seharusnya ditulis dengan tindak

pidana. Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan strafbaar feit untuk

menyebutkan apa yang dikenal sebagai tindak pidana di dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya

dimaksud dengan perkataan strafbaar feit tersebut.

Definisi panjang atau yang lebih mendalam adalah suatu kelakuan yang melawan hukum

berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggung

jawabkan. Hal mana akan disadari dengan melihat kedalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana, oleh karena di dalamnya dapat dijumpai sejumlah besar strafbaare feiten

yang dari rumusan-rumusannya dapat diketahui bahwa tidak satupun dari strafbaar feiten

tersebut memiliki sifat-sifat umum sebagai suatu strafbaar feit yakni bersifat

weederrechtelijk dan strafbaar atau yang bersifat melanggar hukum, telah dilakukan

dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja dan dapat dihukum. Sifat-sifat seperti

dimaksud di atas perlu dimiliki oleh setiap strafbaar feit, oleh karena secara teoritis setiap

pelanggaran norma itu harus merupakan suatu prilaku atau yang telah dengan sengaja

ataupun tidak dengan sengaja.

KUHP menggolongkan tindak pidana menjadi dua golongan, yaitu kejahatan (misdrijven)

dan pelanggaran (overtredingen). Undang-undang hanya memberikan penggolongan

kejahatan dan pelanggaran, akan tetapi tidak memberikan arti yang jelas. Delik
kejahatan sering disebut dengan rechtdelicten atau delik hukum. Rechtdelicten dikaitkan

dengan perbuatan yang oleh masyarakat memang dirasakan sebagai perbuatan yang

antisosial. Pembedaan berdasarkan kriteria kualitatif tersebut, dipandang tidak memadai

oleh karena di antara tindak pidana yang digolongkan sebagai pelanggaran juga memiliki

sifat-sifat dasar yang tercela. Sebaliknya juga dimungkinkan terdapat tindak pidana yang

digolongkan sebagai kejahatan lebih tepat sebagai pelanggaran.

Pembedaan berdasarkan kriteria kuantitatif, dipandang lebih dapat mencerminkan

kebenaran. Berdasarkan kriteria kuantitatif ini, tindak pidana kejahatan diancam dengan

pidana yang lebih berat dibandingkan dengan tindak pidana pelanggaran. Inilah

sebabnya tindak pidana kejahatan dibedakan menjadii kejahatan dolus (sengaja) dan

culpa (alpa);. Kumulasi pidana yang lebih ringan lebih mudah daripada pidana berat

(Pasal 65, 66-70 KUHP). Dalam rangka menentukan lamanya pidana atau banyaknya

denda, perlu dipertimbangkan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana

dalam masyarakat serta unsur kesalahan pelaku. Ketentuan pidana ditempatkan dalam

bab tersendiri, yaitu bab ketentuan pidana yang letaknya sesudah materi pokok yang

diatur atau sebelum bab ketentuan peralihan.

Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma larangan atau norma

perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang memuat

norma tersebut. Selain itu, perlu dihindari akan adanya pengacuan kepada KUHP, jika

elemen atau unsur-unsur dari norma yang diacu tersebut tidak sama. Sehubungan

adanya pembedaan antara tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran di

dalam Pasal 33 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, rumusan ketentuan pidana harus

menyatakan secara tegas kualifikasi dari perbuatan yang diancam dengan pidana itu

sebagai pelanggaran atau kejahatan.

Rumusan tentang tindak pidana berisi tentang kewajiban, yang apabila tidak

dilaksanakan pembuatnya diancam dengan pidana. Dapat saja kewajiban tersebut timbul
dari suatu perjanjian, ataupun kewajiban yang timbul diluar yang perjanjian, atau

kewajiban yang timbul dari hubungan-hubungan khusus, atau kewajiban untuk

mencegah keadaan bahaya akibat perbuatannya, bahkan kewajiban- kewajiban lain yang

timbul dalam hubungan sosial, seperti kewajiban hidup bertetangga. Tindak pidana

merumuskan “perbuatan yang dilarang”, bukan keadaan batin orang yang melakukan

perbuatan itu (kesalahan). Berbeda dengan kealpaan yang sifatnya perkecualian,

sehingga tetap dirumuskan dalam rumusan tindak pidana. Jika dalam undang-undang

pidana, umumnya baik perbuatan yang dilarang (strafbaar) maupun sanksi pidananya

(strafmaat) dirumuskan dalam satu pasal. Ketentuan administratif ini dapat berupa suatu

“perintah” ataupun “larangan”. Dengan demikian, norma hukum pidana yang terdapat

dalam rumusan tindak pidana administratif dapat berisi ancaman pidana ketika

melanggar larangan administratif atau dapat pula berisi ancaman pidana ketika

melanggar perintah administrative.

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Farid, Zainal Abidin. 2009. Hukum Pidana 1. Jakarta: Sinar Grafika.

Ishaq. 2019. Hukum Pidana. Depok: PT RajaGrafindo Persada.

Moeljatno. 1987. Azas-Azas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara.

Rosyid, Muhammad Aenur. 2021. Buku Ajar Hukum Pidana. Jember: IAIN Jember.

Sudaryono dan Natangsa Surbakti. 2017. Hukum Pidana; Dasar-dasar Hukum Pidana Ber

dasarkan KUHP dan RUU KUHP. Jawa Tengah: Muhammadiyah University Press.

Sofyan, Andi dan Nur Azisa. 2016. Hukum Pidana. Makassar: Pustaka Pena Press.

B. UNDANG-UNDANG

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Anda mungkin juga menyukai