KELOMPOK 1
Disusun Oleh :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang Maha pengasih lagi Maha penyayang, yang
telah memberi rahmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Tujuan dari penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas dari Bapak DR. A. IRZAL RIAS, S.H.,M.
H. pada mata kuliah Delik-Delik dalam KUHP. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan mengenai Pengertian,penggolongan juga bagaimana cara merumuskan norma dalam KUHP
Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak DR. A. IRZAL RIAS, SH,. MH , selaku dosen pengampu
mata Delik-delik dalam KUHP di Universitas Andalas yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.
Kami ucapkan juga terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan pe
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan ketidak
sempurnaan dikarenakan masih dalam tahap belajar. Oleh karena itu, kami menerima kritik dan saran
yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat memb
Kelompok I
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Delik menurut KBBI adalah perbuatan yang dapat dikenakkan hukuman, karena merupakan p
elanggaran terhadap undang-undang tindak pidana. Sedangkan menurut istilah ini juga disebut d
engan perbuatan pidana, peristiwa pidana ataupun tindak pidana. Tindak pidana atau Delik meru
pakan terjemahan dari perkataan strafbaar feit atau delict (bahasa Belanda) atau criminal act (ba
hasa Inggris), di dalam menterjemahkan istilah tersebut ke dalam bahasa Indonesia maka diperg
unakan bermacam-macam istilah oleh para ahli di Indonesia. Peristilahan yang sering dipakai dala
Adami Chazawi menerangkan bahwa di Indonesia sendiri setidaknya dikenal ada tujuh istilah
yang digunakan sebagai terjemahan dari istilah Strafbaar feit (Belanda). Istilah-istilah yang perna
h digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum
sebagai terjemahan dari strafbaar feit antara lain adalah tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pe
langgaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum dan terakhir a
dalah perbuatan pidana. Namun Pada dasarnya dalam suatu perkara pidana, proses penyelesaian
perkara digantungkan pada jenis deliknya. Ada dua jenis delik sehubungan dengan pemrosesan p
Dalam pandangan KUHP yang dapat menjadi subjek tindak pidana adalah seorang manusia s
ebagai oknum. Ini mudah terlihat pada perumusan–perumusan dari tindak pidana dalam KUHP ya
ng menampakkan daya pikir sebagai syarat bagi subjek tindak pidana itu, juga terlihat pada ujud
pidana yang termuat dalam pasal–pasal KUHP yaitu pidana penjara, kurungan dan denda. 1 Mem
pelajari hukum berarti berhadapan dengan anggapan–anggapan yang sedikit atau banyak mengik
seseorang harus berbuat atau tidak harus berbuat. Anggapan–anggapan ini lazim disebut norma
atau kaidah.
Menurut sistem dalam KUHP, perbuatan pidana dibagi atas kejahatan (misdrijven) dan pelan
ggaran (overtredingen). Kejahatan diatur dalam buku ke-II KUHP dan Pelanggaran diatur dalam b
uku ke-III KUHP. Kejahatan merupakan rechtdelict atau delik hukum dan pelanggaran merupakan
wetsdelict atau delik undang-undang.Delik hukum adalah pelanggaran hukum yang dirasakan mel
anggar rasa keadilan, misalnya perbuatan seperti pembunuhan, melukai orang lain, mencuri, dan
sebagainya. Sedangkan delik undang-undang melanggar apa yang ditentukan oleh undang-undan
g. Selain pembagian delik antara kejahatan dan pelanggaran itu biasanya melihat sifat dan susun
annya, masih ada lagi pembagian-pembagian yang lain, diantaranya seperti delik formil dan delik
materiil, delik dolus dan delik culpa, delik aduan dan delik biasa, delik berkualifikasi dan delik sed
erhana, delik yang berjalan selesai, delik tunggal, delik umum dan delik khusus, dan beberapa jen
is delik lainnya.
Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang bila dilanggar akan mendapatkan sanksi yang jel
as dan sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang selanjutnya disebut KUHP). Dar
i jenis tindak pidana dalam KUHP terdapat jenis tindak pidana yang dapat dilakukan penuntutan a
pabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan, hal ini diatur dalam Bab VII KUHP tentang meng
ajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal kejahatan-kejahatan yang hanya dituntut atas
pengaduan.
Di dalam pergaulan hidup bermasyarakat sering terjadi pelanggaran hukum yang berupa keja
hatan atau pelanggaran. Hukum mengatur hubungan antara orang dengan orang lain, disamping
itu membatasi kepentingan serta mengadakan larangan atau keharusan agar tercapai ketertiban
hukum di dalam masyarakat. Pasal 108 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (yan
g selanjutnya disebut dengan KUHAP) menyebutkan setiap orang yang mengetahui pemufakatan
kejahatan atau melakukan tindak pidana terhadap ketentraman umum atau terhadap jiwa atau te
rhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyidik dan apabila hal
itu dilalaikan, maka dapat dipersalahkan melanggar Pasal 164 dan Pasal 165 KUHP. Penyidik atau
penyelidik akan menerima pemberitahuan baik yang bersifat sebagai laporan atau aduan sebagai
aparat penegak hukum, ia wajib segera melakukan tindakan untuk membuat masalahnya menjadi
jelas dan terang. Dalam hal terjadi suatu tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 2
4 dan 25 KUHAP dijelaskan bahwa laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseora
ng karena hak atau kewajiban berdasarkan Undang-Undang kepada pejabat yang berwenang ten
tang telah atau sedang di duga akan terjadi peristiwa pidana. Sedangkan aduan adalah pemberita
huan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk
menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikanya.
Baik laporan atau pengaduan keduanya sama-sama mengandung arti “pemberitahuan” seseorang
kepada pejabat yang berwenang menerima laporan dan pengaduan. Pada laporan, pemberitahua
n bersifat umum melibatkan seluruh jenis tindak pidana, sedangkan pengaduan adalah pemberita
huan seseorang kepada pejabat yang berwenang tentang tindak pidana aduan.
Pengaduan merupakan hak dari korban untuk diadakan penuntutan atau tidak dilakukan pen
untutan karena menyangkut kepentingan korban, untuk itu dalam perkara delik aduan diberikan j
angka waktu pencabutan pengaduan yang diatur dalam Pasal 75 KUHP. Hal ini dilakukan agar kor
ban dapat mempertimbangkan dengan melihat dampak yang akan ditimbulkan bagi korban apabil
a perkara tersebut tetap dilanjutkan atau tidak, diadakanya delik aduan adalah untuk melindungi
pihak yang dirugikan dan memberikan kesempatan kepada pihak yang berkepentingan untuk me
Banyak lagi yang perlu diketahui pada Delik-delik dalam KUHP. Oleh karena itu kelompok ka
mi akan membahas lebih mendalam tentang apa yang disebut dengan Delik,Penggolongan juga c
B. Rumusan masalah
C. Tujuan
PEMBAHASAN
A. Pengertian Delik
Dalam kepustakaan hukum pidana Indonesia, istilah “tindak pidana” merupakan Istilah
yang dipakai sebagai terjemahan dari istilah bahasa Belanda strafbaarfeit. Sebenarnya banya
k istilah yang digunakan yang menunjuk pada pengertian Strafbaarfeit. Misalnya, peristiwa pi
dana, perbuatan pidana, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, hal yang diancam denga
an istilah tindak pidana dengan perbuatan pidana yang didefinisikan oleh beliau sebagai “perb
uatan yang dilarang oleh suatu aturan Hukum yang mana disertai ancaman atau sanksi yang
Tindak pidana atau Delik merupakan terjemahan dari perkataan strafbaar feit atau delict
(bahasa Belanda) atau criminal act (bahasa Inggris), di dalam menterjemahkan istilah terseb
ut ke dalam bahasa Indonesia maka dipergunakan bermacam-macam istilah oleh para cerdik
pandai bangsa Indonesia. Peristilahan yang sering dipakai dalam hukum pidana adalah “tinda
k pidana”. Istilah ini dimaksudkan sebagai terjemahan dari istilah bahasa belanda, yaitu Delict
atau Strafbaar feit. Disamping itu dalam bahasa Indonesia sebagai terjemahannya telah dipak
Peristiwa pidana
Perbuatan pidana
Pelanggaran pidana
Perbuatan Pidana atau perbuatan yang dapat atau boleh dihukum (UU No.1 Tahun 1
Moeljatno dalam hal ini mempergunakan istilah perbuatan pidana dan mengemukakan argum
Perkataan tindak berarti langka dan baru dalam bentuk tindak-tanduk atau tingkah la
ku.
perbuatan tidak senonoh, perbuatan jahat dan seterusnya dan juga istilah teknis sep
Bahwa perkataan tindak pidana kiranya lebih populer dipergunakan, dan juga lebih prakt
is daripada istilah-istilah lainnya. Istilah ini lebih banyak dipergunakan oleh orang maupun un
dang-undang sendiri. Istilah tindak yang sering diucapkan atau dituliskan itu hanyalah untuk
praktisnya saja, seharusnya ditulis dengan tindak pidana. Istilah tindak pidana ini tidaklah ber
arti dilakukan oleh seseorang serta menunjukan terhadap si pelaku maupun terhadap akibatn
ya.
utkan apa yang dikenal sebagai tindak pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan per
kataan strafbaar feit tersebut. Perkataan feit itu sendiri di dalam bahasa Belanda yaitu kenyat
aan berarti sebagian dari suatu kenyataan sedang strafbaar berarti dapat di hukum, hingga s
ecara harfiah perkataan strafbaar feit itu dapat di terjemahkan sebagai sebagian dari suatu k
enyataan yang dapat dihukum yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan d
iketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan buka
n kenyataan, perbuatan ataupun tindakan. Oleh karena seperti yang telah dikatakan di atas,
bahwa pembentuk undang-undang tidak memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang
sebenarnya telah dimaksud dengan perkataan strafbaar feit, maka timbullah di dalam doktrin
berbagai pendapat tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit tersebut. Menurut VOS
pengertian strafbaar feit adalah: suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peratura
n undangundang, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan diancam pidana.
Selanjutnya J.E Jonkers mengemukakan pendapat tentang definisi strafbaar feit menjadi dua
arti :
Definisi pendek adalah suatu kejadian atau feit yang dapat diancam pidana oleh unda
ng-undang
Definisi panjang atau yang lebih mendalam adalah suatu kelakuan yang melawan huk
um berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertang
gung jawabkan.
Delik adalah perbuatan yang melanggar undang-undang, dan oleh karena itu bertentangan d
engan undang-undang yang dilakukan dengan sengaja oleh orang yang dapat dipertanggung
jawabkan. Wirjono Projodikoro mengartikan tindak pidana yaitu: tindak pidana berarti suatu p
perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, laranga
n mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa ya
Suatu prilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam sesuatu p
ergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai prilaku yang harus ditiadakan, oleh hu
kum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terda
pat didalamnya.
Profesor Pompe, perkataan strafbaar feit itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai sua
tu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tida
k dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang pelaku dimana penjatuhan hukuman terhad
ap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepenting
an umum.
atu penjelasan mengenai hukum positif yakni hanya dengan menggunakan pendapat-pendap
at secara teoritis. Hal mana akan disadari dengan melihat kedalam Kitab Undang-Undang Huk
um Pidana, oleh karena di dalamnya dapat dijumpai sejumlah besar strafbaare feiten yang da
ri rumusan-rumusannya dapat diketahui bahwa tidak satupun dari strafbaar feiten tersebut m
emiliki sifat-sifat umum sebagai suatu strafbaar feit yakni bersifat weederrechtelijk dan strafb
aar atau yang bersifat melanggar hukum, telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak deng
an sengaja dan dapat dihukum. Sifat-sifat seperti dimaksud di atas perlu dimiliki oleh setiap s
trafbaar feit, oleh karena secara teoritis setiap pelanggaran norma itu harus merupakan suatu
prilaku atau yang telah dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja
Jika dilihat dari sudut KUHP, maka KUHP menggolongkan tindak pidana menjadi dua
ebut didasarkan atas perbedaan prinsipil. Pembagian kejahatan disusun dalam Buku II K
UHP dan pelanggaran disusun dalam Buku III KUHP. Undang-undang hanya memberikan
penggolongan kejahatan dan pelanggaran, akan tetapi tidak memberikan arti yang jelas.
Delik kejahatan sering disebut dengan rechtdelicten atau delik hukum. Rechtdelicten
dikaitkan dengan perbuatan yang oleh masyarakat memang dirasakan sebagai perbuatan
a bertentangan dengan keadilan, meskipun perbuatan itu belum diatur dalam undang-un
dang, Sebaliknya pelanggaran dikenal sebagai wet delicten, yakni perbuatan yang dipand
ang sebagai perbuatan yang tercela, sebagai tindak pidana semata-mata karena ditetapk
rena di antara tindak pidana yang digolongkan sebagai pelanggaran juga memiliki sifat-sif
at dasar yang tercela. Sebaliknya juga dimungkinkan terdapat tindak pidana yang digolon
gkan sebagai kejahatan lebih tepat sebagai pelanggaran. Atas pengertian atau pembagia
n tersebut Wirjono Prodjodikoro berpendapat: Penggolongan ini tidak tepat oleh karena s
emua tindak pidana, baik yang dimasukkan Buku II KUHP sebagai “kejahatan” ataumisdri
j maupun yang dimasukkan Buku III KUHP sebagai “pelanggaran” atau overtredingen, m
erupakan baik “tindak pidana berdasar hukum” (rechts-delicten) maupun “tindak pidana
berdasar undang-undang” (wet-delicten). Semua perbuatan itu adalah “tindak pidana ber
dasar undang-undang” oleh karena nyatanya untuk kedua golongan perbuatan itu undan
ebenaran. Berdasarkan kriteria kuantitatif ini, tindak pidana kejahatan diancam dengan pi
dana yang lebih berat dibandingkan dengan tindak pidana pelanggaran. Menurut Moeljat
no, penilaian bahwa tindak pidana kejahatan lebih berat dibandingkan dengan tindak pid
Pidana penjara hanya diancamkan pada tindak pidana kejahatan dan tidak pada pela
nggaran;
Jika tindak pidana itu merupakan kejahatan, maka bentuk kesalahan baik kesengajaa
n maupun kealpaan menjadi unsur yang penting, dan harus dibuktikan oleh jaksa pe
nuntut umum, sedangkan jika tindak pidana itu berupa pelanggaran, pembuktian ada
nya kesalahan menjadi tidak perlu. Inilah sebabnya tindak pidana kejahatan dibedaka
Percobaan untuk melakukan pelanggaran tidak dapat dipidana (Pasal 54 KUHP); juga
ndak pidana pelanggaran lebih pendek dibandingkan dengan kejahatan, yaitu 1 (sat
Dalam hal perbarengan (concursus) pada pemidanaan berbeda untuk tindak pidana p
elanggaran dan kejahatan. Kumulasi pidana yang lebih ringan lebih mudah daripada
Kejahatan-kejahatan Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden (Bab 11, Pasal
130-139 KUHP);
Kejahatan Terhadap Melakukan Kewajiban dan Hak Kenegaraan (Bab IV, Pasal 146-1
53 KUHP);
Kejahatan yang Membahayakan Keamanan Umum bagi Orang atau Barang (Bab VII,
Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu (Bab IX, Pasal 242-243 KUHP);
Pemalsuan Mata Uang dan, Uang Kertas (Bab X, Pasal 244-252 KUHP);
Kejahatan Terhadap Asal-usul dan Perkawinan (Bab Xlll, Pasal 277-280 KUHP);
Meninggalkan Orang yang Perlu Ditolong (Bab W' Pasal 304-309 KUHP);
Menyebabkan Mati atau Luka-luka Karena Kealpaan (Bab XXI, Pasal 359-361 KUHP);
Perbuatan Merugikan Pemiutang atau Orang yang Mempunyai Hak (Bab xxvl, Pasal 3
96-405 KUHP) (Pemiutang = schuld eischer. Orang yang mempunyai hak recht hebbe
nde);
Pelanggaran Keamanan Umum bagi Orang atau Barang dan Kesehatan (Bab I, Pasal
489-502 KUHP);
Pelanggaran Mengenai Asal-usul dan Perkawinan (Bab IV, Pasal 529-530 KUHP);
Pelanggaran Terhadap Orang yang Memerlukan Pertolongan (Bab V, Pasal 531 KUH
P);
UHP);
Jika diamati Pasal-pasal mengenai kejahatan dan pelanggaran dalam KUHP, menurut
uatan yang “berat” dan diberi ancaman hukuman yang tinggi, sedangkan yang te
Macam perbuatandalam kejahatan jauh lebih banyak jumlahnya dari pada apa ya
Dari sudut doktrin (ilmu pengetahuan hukum pidana), penggolongan tindak pidana it
Delik formil dan delik material merupakan delik berdasarkan cara perumusan keten
tuan hukum pidana oleh pembentuk undang-undang. Tindak pidana formil (formeel delic
t), yaitu tindak pidana yang dirumuskan sebagai wujud perbuatan tanpa menyebutkan ak
ibat yang disebabkan oleh perbuatan itu. Jadi tindak pidana formil merupakan tindak pida
na yang telah dianggap selesai dengan telah dilakukannya perbuatan yang dilarang dala
ebih menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang, dan bukan pada akibat dari perbuat
an itu. Dalam delik yang perumusannya bersifat formal, akibat dari perbuatan itu bukan
merupakan unsur dari tindak pidananya. Contohnya: penghinaan (Pasal 315 KUHP), peng
hasutan, pemalsuan.
Tindak pidana materil (materiel delict), yaitu tindak pidana yang dianggap telah sele
sai dengan timbulnya akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-und
ang. Jadi tindak pidana materil itu menekankan pada dilarangnya akibat dari perbuatan.
Dengan demikian, jenis perbuatan ini mempersyaratkan terjadinya akibat untuk selesainy
a perbuatan. Unsur pokok tindak pidananya adalah akibat dari perbuatan itu. Contohnya
adalah Pembunuhan (Pasal 338, 340 KUHP) dengan unsur pokoknya berupa akibat yakni
tewasnya si korban, bisa dilakukan dengan berbagai macam cara atau perbuatan. Demiki
an juga dengan penganiayaan (Pasal 351 KUHP) dengan akibat luka atau catat, yang bisa
dilakukan dengan berbagai macam cara atau perbuatan. Pada tindak pidana yang perum
usannya bersifat materiel, tindak pidana itu dianggap telah terjadi bila akibatnya ada. Seb
aliknya bila akibat belum ada maka tindak pidana itu dianggap belum terjadi, atau paling-
Pembagian tindak pidana dengan cara ini didasarkan pada kriteria bentuk dari perb
uatan yang menjadi elemen dasarnya. Delik Commissionis adalah perbuatan melakukan s
esuatu yang dilarang oleh aturan-aturan pidana, misalnya mencuri (Pasal 362), menggela
pkan (Pasal 372), menipu (Pasal 378). Delik commisionis pada umumnya terjadi di tempa
t dan waktu pembuat mewujudkan segala unsur perbuatan dan unsur pertanggung jawa
ban pidana. Perbuatan dalam hal ini bersifat aktif atau positif, ditandai dengan adanya ak
tivitas. Ini adalah jenis tindak pidana yang paling banyak jumlahnya.
Delik Ommisionis yaitu tindak pidana yang berupa perbuatan pasif yakni, tindak pid
ana itu berupa perbuatan pasif atau negatif, ditandai dengan tidak dilakukannya sesuatu
tohnya, tidak hadir di pengadilan untuk menjadi saksi (Pasal 522 KUHP); dan tidak menol
ong orang yang berada dalam keadaan bahaya (Pasal 531 KUHP).
Pada tindak pidana commissionis per omissionem commissa, perbuatan itu sebenar
nya merupakan tindak pidana commissionis tetapi dilakukan dengan jalan tidak berbuat,
yakni tidak melakukan sesuatu yang merupakan kewajibannya. Contohnya, seorang ibu y
ang membunuh anaknya dengan membiarkannya kelaparan/ kehausan (Pasal 338, 340 K
UHP); seorang penjaga wissel yang menyebabkan kecelakaan kereta api dengan sengaja
ak pidana yang memuat unsur kesengajaan (delik dolus) dan tindak pidana yang memuat
unsur kealpaan (culpos). Tindak pidana dengan unsur kesengajaan, merupakan tindak pi
dana yang terjadi karena pelaku tindak pidana itu memang mempunyai keinginan atau ke
hendaki untuk melakukan perbuatan tertentu itu, termasuk juga menghendaki timbulnya
akibat dari perbuatan itu. Contohnya: Tindak pidana pembunuhan dengan sengaja (Pasal
338 KUHP); Pembunuhan dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu (Pasal 34
0 KUHP).
Sementara itu, tindak pidana dengan unsur kealpaan, merupakan tindak pidana yang
terjadi sementara si pelakunya tidak memiliki keinginan atau kehendak untuk melakukan
sesuatu perbuatan tertentu, demikian pula dengan akibat dari perbuatan itu. Contohnya,
karena kealpaannya menyebabkan matinya orang (Pasal 359 KUHP); karena kealpaannya
Delik biasa atau delik yang bukan delik aduan adalah delik yang dapat diproses lang
sung oleh penyidik tanpa adanya persetujuan dari korban atau pihak yang dirugikan. Den
gan kata lain, tanpa adanya pengaduan atau sekalipun korban telah mencabut laporanny
a, penyidik tetap memiliki kewajiban untuk melanjutkan proses perkara tersebut. Contoh
dari delik biasa, antara lain delik pembunuhan, pencurian, penggelapan, penipuan, dan la
in-lain.
Delik aduan berarti delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau lapo
ran dari orang yang menjadi korban tindak pidana. E. Utrecht dalam Hukum Pidana II me
ngungkapkan bahwa dalam delik aduan, penuntutan terhadap delik tersebut digantungka
n pada persetujuan dari yang dirugikan atau korban. Dalam delik aduan, korban tindak pi
dana dapat mencabut laporan apabila telah terjadi suatu perdamaian di antara korban da
n terdakwa. Hal ini diterangkan dalam Pasal 75 KUHP yang menyebutkan bahwa orang ya
ng mengajukan pengaduan berhak menarik kembali pengaduannya dalam waktu tiga bul
an setelah pengaduannya diajukan. Pembagian Delik Aduan Delik aduan dibagi dalam du
a jenis:
Delik aduan absolut (absolute klacht delict). Menurut Tresna Delik aduan absolut adal
ah tiap-tiap kejahatan yang dilakukan, yang hanya akan dapat diadakan penuntutan
oleh penuntut umum apabila telah diterima aduan dari yang berhak mengadukannya.
Pompe mengemungkakan delik aduan absolut adalah delik yang pada dasarnya, adan
syarat agar pelakunya dapat dituntut. Kejahatan-kejahatan yang termasuk dalam jen
- Kejahatan penghinaan (Pasal 310 s/d 319 KUHP), kecuali penghinaan yang dilaku
kan oleh seseoarang terhadap seseorang pejabat pemerintah, yang waktu diadak
- Kejahatan-kejahatan susila (Pasal 284, Pasal 287, Pasal 293 dana Pasal 332 KUH
P).
Delik aduan relatif (relatieve klacht delict). Delik aduan relatif adalah kejahatan-kejah
atan yang dilakukan, yang sebenarnya bukan merupakan kejahatan aduan, tetapi kh
usus terhadap hal-hal tertentu, justru diperlukan sebagai delik aduan. Menurut Pomp
e, delik aduan relatif adalah delik dimana adanya suatu pengaduan itu hanyalah meru
pakan suatu voorwaarde van vervolgbaarheir atau suatu syarat untuk dapat menuntu
t pelakunya, yaitu bilamana antara orang yang bersalah dengan orang yang dirugikan
itu terdapat suatu hubungan yang bersifat khusus. Umumnya delik aduan retalif ini h
- Pencurian dalam keluarga, dan kajahatan terhadap harta kekayaan yang lain yan
Delik rampung adalah delik yang terdiri atas satu perbuatan atau beberapa perbuatan
tertentu yang selesai dalam suatu waktu tertentu yang singkat. Sebagai contoh Pasal 338
KUHP tentang pembunuhan, delik ini selesai dengan matinya si korban. Delik berlanjut ya
itu delik yang terdiri atas satu atau beberapa perbuatan yang melanjutkan suatu keadaan
yang dilarang oleh undangundang. Misalnya Pasal 221 KUHP yaitu menyembunyikan oran
g yang melakukan kejahatan, Pasal 261 KUHP yaitu menyimpan barangbarang yang dapa
t dipakai untuk memalsukan materai dan merek, Pasal 333 KUHP yaitu dengan sengaja d
elik Berprevilise
Delik sederhana yaitu delik dasar atau delik pokok. Misalnya Pasal 338 KUHP tentang
pembunuhan dan Pasal 362 KUHP tentang pencurian. Delik dengan pemberatan atau deli
k berkualifikasi yaitu delik yang memepunyai unsur-unsur yang sama dengan delik dasar
atau delik pokok, tetapi ditambah dengan unsur-unsur lain sehingga ancaman pidananya
lebih berat daripada delik dasar atau delik pokok. Misalnya Pasal 339 KUHP tentang pemb
unuhan berkualifikasi dan Pasal 363 KUHP tentang pencurian berkualifikasi. Delik prevellis
e yaitu delik yang mempunyai unsur-unsur yang sama dengan delik dasar atau delik poko
k, tetapi ditambah dengan unsurunsur lain, sehingga ancaman pidananya lebih ringan dar
ipada delik dasar atau delik pokok. Misalnya Pasal 344 KUHP tentang pembunuhan atas p
Delik politik yaitu delik yang ditujukan terhadap keamanan negara dan kepala negara.
Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Buku II Bab I sampai Bab V, Pasal 104 KUHP sa
mpai Pasal 181 KUHP. Delik umum adalah delik yang tidak ditujukan kepada keamanan n
egara dan kepala negara. Misalnya Pasal 362 KUHP tentang pencurian dan Pasal 372 KU
HP tentang penggelapan.
Delik khusus yaitu delik yang hanya dapat dilakukan orang tertentu saja, karena sua
tu kualitas. Misalnya seperti tindak pidana korupsi yang hanya dapat dilakukan oleh pega
wai negeri. Delik umum yaitu delik yang dapat dilakukan oleh setiap orang. Misalnya Pasa
l 338 KUHP tentang pembunuhan, Pasal 362 KUHP tentang pencurian dan lain sebagainy
a.
ajemuk).
hukum dengan satu kali saja melakukan tindakan yang dilarang oleh undang-undang. Del
ik ini dianggap telah terjadi dengan hanya dilakukan sekali perbuatan, seperti pencurian
(Pasal 362 KUHP),penipuan (Pasal 378 KUHP), dan pembunuhan (Pasal 338 KUHP). Sam
engesteldedelicten (delik majemuk), yaitu delik yang terdiri atas lebih dari satuperbuatan
atau delik yang untuk kualifikasinya baru terjadi apabila dilakukan beberapa kali perbuata
n. Delik ini pada umumnya menyangkut kejahatan karena mata pencaharian atau karena
kebiasaan atau karena pekerjaan. Contohnya Pasal 480 KUHP yang menentukan bahwa u
ntuk dapat dikualifikasikan sebagai delik penadahan, penadahan itu harus dilakukan dala
m beberapakali.
C. CARA ATAU TEKNIK MERUMUSKAN NORMA DALAM KUHP
Menyebutkan satu persatu unsur-unsur perbuatan yang dilarang. Hal ini seperti terlihat d
“ Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana dend
a paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: barang siapa dengan sengaja dan terbuka
melanggar kesusilaan; barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada di
“ Barangsiapa menaruhkan anak yang dibawah umur tujuh tahun disuatu tempat supaya
dipungut oleh orang lain, atau dengan maksud akan terbebas dari pada pemeliharaan an
“ Panglima tentara yang menolak atau dengan sengaja lalai mempergunakan kekuatan ya
ng dibawah perintahnya atas permintaan yang sah dari pembesar sipil, dihukum penjara
“ Pegawai negeri yang dengan sengaja, baik dengan langsung maupun dengan tidak lang
sung, turut campur dalam pemborongan dalam mengadakan barang atau hak pak (parpa
chtingen) sedang ia diwajibkan sama sekali atau sebagian mengurus dan mengawasi pad
“ (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan
nghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau le
bih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun ena
m bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Pasal 156 :
“ Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan seng
Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang be
surat atau gambar itu diketahui oleh orang banyak, dihukum penjara selama-lamanya du
ksud untuk memiliki secara melawan hukum diancam dengan pidana ...”.
Unsur-unsur tindak pidana terlihat dengan jelas, yaitu : mengambil suatu barang; bar
ang tersebut seluruhnya atau sebagian milik orang lain; dengan maksud untuk memiliki;
melawan hukum.
Hanya menyebutkan kualifikasi (penamaan yuridis) dari delik. Ketentuan ini dapat dilihat
dari Pasal 184, 297, 351 KUHP. Msalnya Pasal 351 KUHP, “Penganiayaan dipidana denga
n ….”. Kualifikasi tindak pidana ini adalah “penganiayaan”. Hal ini dilakukan oleh pembent
uk undang-undang bila unsur-unsur dari tindak pidana tersebut telah cukup dikenal atau
bila ada ketakutan justru bila dirinci unsur-unsurnya justru dapat memperluas atau memp
ersempit ruang lingkup tindak pidana tersebut yang tidak dikehendaki oleh pembentuk un
dang-undang. Dalam upaya untuk memahami makna tindak pidana dari undang-undang t
ersebut hal terbaik yang biasanya dila kukan adalah melakukan penafsiran historis, sehin
gga diperoleh kejelasan tentang perbuatan seperti apa sebenarnya yang dilarang.
Menyebutkan unsur-unsur perbuatannya, sifat dan keadaan yang bersangkutan dan men
yebutkan pula kualifikasinya. Hal ini dapat dilihat dari rumusan. Pasal 124, 263, 338, 362,
372, 378, 425, 438 KUHP. Misalnya Pasal 338 KUHP,”Barang siapa dengan sengaja meng
hilangkan nyawa orang lain, dipidana karena makar mati dengan hukuman….”. Unsur-uns
ur tindak pidananya adalah : dengan sengaja; menghilangkan nyawa orang lain. Sedangk
Dalam merumuskan norma hukum pidana dan merumuskan ancaman pidana, paling tidak
terdapat 3 (tiga) hal yang ingin dicapai dengan pemberlakuan hukum pidana di dalam masyar
akat, yaitu membentuk atau mencapai cita kehidupan masyarakat yang ideal atau masyaraka
t yang dicitakan, mempertahankan dan menegakkan nilai-nilai luhur dalam masyarakat, dan
mempertahankan sesuatu yang dinilai baik (ideal) dan diikuti oleh masyarakat dengan teknik
Ada 13 (tiga belas jenis petunjuk untuk merumuskan norma hukum secara jelas.
1. Tulislah kalimat secara singkat;
6. Gunakan klausula kata kerja dan kata sifat dari pada kata benda;
7. Gunakan kata yang positif walaupun anda ingin menjelaskan yang sifatnya negatif;
12. Kurangi kata‐kata yang tumpang tindih dan asing (tak ada hubungannya);
Di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 telah diatur bagaimana merumuskan keten
tuan pidana (lihat lampiran angka 112 sampai 126). Di dalam lampiran disebutkan bahwa ketentu
an pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ket
entuan yang berisi norma larangan atau perintah. Dalam merumuskan ketentuan pidana perlu dip
erhatikan asas-asas umum ketentuan pidana yang terdapat dalam Buku I KUHP, karena ketentua
n dalam Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perun
dang-undangan lain, kecuali jika oleh UndangUndang ditentukan lain (Pasal 103 KUHP).
Dalam rangka menentukan lamanya pidana atau banyaknya denda, perlu dipertimbangkan m
engenai dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam masyarakat serta unsur kesalahan p
elaku. Ketentuan pidana ditempatkan dalam bab tersendiri, yaitu bab ketentuan pidana yang leta
knya sesudah materi pokok yang diatur atau sebelum bab ketentuan peralihan. Jika bab ketentua
n peralihan tidak ada, letaknya adalah sebelum bab ketentuan penutup. Jika di dalam peraturan p
erundang-undangan tidak ada pengelompokan bab per bab, ketentuan pidana akan ditempatkan
dalam pasal yang terletak langsung sebelum pasal atau dalam beberapa pasal yang berisi ketentu
an peralihan. Jika tidak ada pasal yang berisi ketentuan peralihan, ketentuan pidana diletakkan se
belum pasal atau beberapa pasal yang berisi ketentuan penutup. Ketentuan pidana hanya dimuat
Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma larangan atau norma peri
ntah yang dilanggar dan menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang memuat norma tersebut.
Dengan demikian, perlu dihindari pengacuan kepada ketentuan pidana peraturan perundang-und
angan lain.
Selain itu, perlu dihindari akan adanya pengacuan kepada KUHP, jika elemen atau unsur-unsu
r dari norma yang diacu tersebut tidak sama. Hindari pula penyusunan rumusan sendiri yang berb
eda atau tidak terdapat di dalam norma-norma yang diatur dalam pasal atau beberapa pasal sebe
lumnya, kecuali untuk undang-undang mengenai tindak pidana khusus. Jika ketentuan pidana ber
laku bagi siapapun, subjek dari ketentuan pidana dirumuskan dengan frasa setiap orang, yang se
ngaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaf
tar milik orang lain atau badan hukum lain untuk barang atau jasa sejenis yang diproduksi dan at
au diperdagangkan (Pasal 81 KUHP). Jika ketentuan pidana hanya berlaku bagi subjek tertentu, s
ubjek itu dirumuskan secara tegas, misalnya, orang asing, pegawai negeri, saksi (Lihat Pasal 143
Sehubungan adanya pembedaan antara tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggar
an di dalam Pasal 33 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, rumusan ketentuan pidana harus men
yatakan secara tegas kualifikasi dari perbuatan yang diancam dengan pidana itu sebagai pelangg
aran atau kejahatan. Rumusan ketentuan pidana harus menyatakan dengan tegas akan kualifikasi
pidana yang dijatuhkan itu apakah bersifat kumulatif, alternatif, atau kumulatif alternatif. Perumu
san dalam ketentuan pidana harus menunjukkan dengan jelas unsur-unsur perbuatan pidana bers
Jika suatu peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan pidana akan diberlakusur
utkan, ketentuan pidananya harus dikecualikan, mengingat asas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yan
g menyatakan bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut. Ketentuan hukum pidana bagi t
indak pidana yang merupakan pelanggaran terhadap kegiatan bidang ekonomi dapat diatur terse
ndiri di dalam undangundang yang bersangkutan, tetapi cukup mengacu kepada undang-undang
yang mengatur mengenai tindak pidana di bidang ekonomi, misalnya, UndangUndang No. 7 Drt.
Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
Tindak pidana dapat dilakukan oleh perorangan ataupun oleh korporasi. Pidana terhadap tind
ak pidana yang dilakukan oleh korporasi dijatuhkan kepada: a. Badan hukum antara lain perseroa
n, perkumpulan, yayasan, atau koperasi; dan/atau; b. Pemberi perintah untuk melakukan tindak
pidana atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana.
atu unsur-unsur tindak pidana yang baik dan rinci, padahal penentuan unsur tindak pidana sanga
t penting terkait dengan kepastian dapat dipidananya seseorang atau pelaku. Unsur tindak pidana
yang telah kita ketahui adalah unsur tindak pidana subjektif dan unsur tindak pidana objektif. Uns
ur tindak pidana yang subjektif merupakan unsur yang melekat pada diri pelaku tindak pidana, te
rmasuk unsur yang terkandung di dalam hatinya, yaitu: (niat,maksud dan tujuan). Sedangkan un
sur tindak pidana yang objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan tindakan pelaku tind
ak pidana (perbuatan, tingkah laku atau aktivitas). Unsur-unsur subjektif pada umumnya dirumus
kan dengan kata sengaja atau tidak sengaja (alpa) atau dengan rencana terlebih dahulu. sebelum
unsur - unsur dalam perbuatan atau tindakan yang dilakukan pelaku. Kadangkala juga dirumuska
n dengan frase dengan maksud atau dengan tujuan setelah unsurunsur perbuatan/tindakan yang
dilakukan pelaku. Pencantuman unsur-unsur subjektif di atas membawa konsekuensi adanya kew
Beberapa perbuatan atau tindakan kadangkala tidak memerlukan unsur-unsur subjektif, kare
na bilamana dilihat dari perbuatan atau tindakan itu sendiri sudah dapat dikatakan mengartikan s
uatu kesengajaan, misalnya, Pasal 362 KUHP. Dalam Ketentuan Pasal 362 tidak didahului adanya
kesengajaan, karena pada saat pelaku mengambil barang milik orang lain secara melawan hukum
itu dapat dikatakan bahwa perbuatan tersebut mengambil barang milik orang lain itu adalah deng
an sengaja.
Pada saat pembentuk undang-undang menentukan adanya kata sengaja pada perbuatan ata
u tindakan tertentu, apakah selalu diperlukan adanya rumusan lain untuk melengkapi perbuatan s
engaja dengan kata alpa pada ayat-ayat berikutnya. Hal ini tergantung keinginan pembentuk und
ang-undang, dengan catatan bahwa perbuatan atau tindakan yang mengikutinya memang bisa te
rlaksana dengan unsur alpa. Perbuatan pemerkosaan, misalnya, tidak mungkin ditambahkan unsu
Untuk unsur objektif, perumusan perbuatan atau tindakan hendaknya dilakukan dengan hati-
hati. Jika diinginkan adanya beberapa perbuatan, sebaiknya tiaptiap perbuatan tersebut disusun s
ecara kesejajaran atau sepadan sehingga tidak menimbulkan ketimpangan antara perbuatan yan
g satu dengan perbuatan yang lainnya karena hal ini terkait dengan penentuan bobot ancaman pi
dana. Jika perbuatan yang dirumuskan lebih daripada satu, cukup digunakan kata ”atau” untuk m
enunjukkan satu perbuatan saja sudah dapat dikenakan pidana karena telah memenuhi unsur.
UU 10/ 2004 belum memberikan pedoman yang komprehensif bagaimana merumuskan norma hu
kum pidana dalam peraturan perundang-undangan, baik dalam UU Hukum Pidana maupun dalam
Perumusan yang “buruk” tentang hal ini akan menyebabkan kesulitan-kesulitan dalam praktek p
enegakan hukum, bahkan bertentangandengan tujuan hukum itu sendiri (kepastian, keadilan dan
kemanfaatan hukum);
Pada dasarnya ruang lingkup perumusan norma hukum pidana dalam peraturan perundang-unda
ngan, meliputi: (1) rumusan tentang hukum pidana materiel (tindak pidana, pertanggungjawaban
pidana dan pidana); (2) rumusan tentang hukum acara pidana (proses dan prosedur pidana), (3)
Pangkal tolak perumusan norma hukum pidana dalam peraturan perundang-undangan adalah
asas legalitas, Yang dalam hal ini setidaknya memuat tujuh prinsip:
Tidak ada perbuatan yang dilarang dalam hukum pidana kecuali ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan;
Tidak ada jenis sanksi pidana kecuali ditentukan dalam peraturan perundang-undangan;
Tindak ada jumlah sanks pidana kecuali ditentukan dalam peraturan perundang-undangan;
Tidak ada kewenangan negara untuk melakukan proses acara pidana kecuali ditentukan dala
m peraturan perundang-undangan;
Tidak ada kewajibaN negara untuk melakukan prosedur acara pidana kecuali ditentukan dala
m peraturan perundang-undangan;
Tidak ada kewenangan negara melaksanakan putusan pemidanaan kecuali ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan;
Tidak ada tata cara pelaksanaan sanksi pidana kecuali ditentukan dalam peraturan perundan
g-undangan;
Secara umum, suatu rumusan tindak pidana, setidaknya memuat rumusan tentang :
perbuatan yang dilarang (strafbaar ), baik dalam bentuk melakukan sesuatU (commission
), tidak melakukan sesuatu ( omission ) dan menimbulkan akibat (kejadian yang ditimbul
ancaman pidana (strafmaat ), sebagai sarana memaksakan keberlakuan atau dapat dit
Secara umum digunakan idiom “barang siapa” sebagai padanan “hij die”. Dalam be
Idiom “barang siapa” dalam KUHP merujuk kepada orang perseorangan, sedangkan “se
tiap orang” dalam beberapa undang-undang di luar KUHP, dengan tegas diartikan sebagai
“orang perseorangan” atau “korporasi”. Namun demikian, masih banyak UU yang addressaat
a didalamnya ditujukan pula terhadap korporasi. Bahkan pada tahun yang sama dengan tahu
n dimana pertama kali digunakan idiom ”setiap orang”, pembentuk undang-undang mengun
dangkan Undang-Undang No. 16 Tahun 1992 Tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbu
han dengan menggunakan istilah ”barang siapa” untuk menunjukkan addressaat norm -nya;
Selain itu, ada pula UU yang sudah menggunakan idiom “setiap orang” (berarti tertuju pada
orang perseorangan dan korporasi), tetapi masih menggunakan idiom lain dalam rumus
annya. Misalnya Pasal 307 UU No. 10 Tahun 2008, menyebutkan “ setiap orang atau lembaga
…”.
Adakalanya ancaman pidana ditujukan kepada subyek hukum dengan ”kualitas” tertentu. Beb
erapa istilah bersifat sangat umum, seperti ”setiap pihak” dalam Undang-Undang No. 8 Tahu
n 1995 tentang Pasal Modal atau ”orang asing” dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 Ten
tang Keimigrasian. Adakalanya menggunakan istilah yang sangat spesifik, seperti ”pengusah
a pengurusan jasa kepabeanan” dalam Undang-Undang No. 10 tahun 1995 Tentang Kepabe
anan (sudah tidak berlaku lagi) atau ”pengusaha pabrik” dalam Undang-Undang No. 11 Tahu
Penyebutan subyek hukum sebagai addressaat norma ancaman pidana adakalah keliru karen
a seharusnya digunakan istilah yang bersifat umum. Misalnya dalam Pasal 66 Undang-Unda
”Saksi atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara psikotropika yang sedang dalam pe
meriksaan di sidang Pengadilan yang menyebut nama, alamat atau hal-hal yang dapat terung
kapnya identitas pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), dipidana dengan pi
Ancaman pidana tidak dapat ditujukan kepada ”saksi” karena saksi adalah orang yang tidak
melakukan tindak pidana, tetapi justru yang melihat, mendengar dan mengalami sendiri dari
Perumusan pelarangan tertuju pada ”perbuatannya” bukan pelarangan terhadap ”status sese
orang” . Dengan kata lain, ”perbuatan orang dalam kualitas” tertentu yang seharusnya dilara
ng. Berdasarkan hal ini rumusan tindak pidana di atas seharusnya menentukan:
”Setiap orang yang memberikan keterangan sebagai saksi atau orang lain yang bersangkutan
denga perkara psikotropika yang sedang dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan yang meny
ebut nama, alamat atau hal-hal yang dapat terungkapnya identitas pelapor sebagaimana dim
aksud dalam Pasal 57 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
Juga merupakan perumusan tindak pidana yang keliru, jika ancaman pidana ditujukan kep
ada ”perbuatan” , tetapi ancaman pidana seharusnya ditujukan kepada ”orang yang melaku
kan perbuatan”. Misalnya, perumusan tindak pidana dalam Pasal 48 Undang-Undang No. 5 T
ahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang me
nentukan:
”Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai
dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 Undang-Undang ini diancam pidana denda
serendah- rendahnya Rp. 25. 000.000.000 (duapuluh lima millar) dan setinggi-tingginya Rp. 1
(enam) bulan”.
Demikian pula ketentuan Pasal 83 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika,
masih mengancam pidana terhadap perbuatan, dengan menentukan: “Percobaan atau permu
PERUMUSAN STRAFBAAR
Perbuatan yang dilarang (strafbaar) dalam suatu tindak pidana adalah isi undang-undang
yang harus dibuktikan Penuntut Umum, untuk dapat menyatakan seseorang melakukan tinda
k pidana. Oleh karena itu, kekeliruan dalam perumusan bagian, ini akan menimbulkan kesulit
Tindak pidana pertama-tama berisi larangan terhadap ‘perbuatan’. Dengan demikian, per
lam delik-delik omisi, larangan ditujukan kepada tidak diturutinya perintah. Dengan demi
kian, norma hukum pidana berisi rumusan tentang suruhan untuk melakukan sesuatu. Dala
m hal tindak pidana materiel, larangan ditujukan kepada penimbulan akibat. Tindak pidana b
OMMISION DELICT
Ketika tindak pidana berisi rumusan tentang dilarangnya suatu omisi, maka pada hakekatn
Rumusan tentang tindak pidana berisi tentang kewajiban, yang apabila tidak dilaksanakan
pembuatnya diancam dengan pidana. Kewajiban disini, menurut bukan hanya bersumber dari
Dapat saja kewajiban tersebut timbul dari suatu perjanjian, ataupun kewajiban yang timb
ul diluar yang perjanjian, atau kewajiban yang timbul dari hubungan-hubungan khusus, ata
u kewajiban untuk mencegah keadaan bahaya akibat perbuatannya, bahkan kewajiban- kewa
jiban lain yang timbul dalam hubungan sosial, seperti kewajiban hidup bertetangga. Dengan
demikian, kewajiban-kewajiban disini dapat berarti sangat umum, sehingga lebih bersifat gen
Tindak pidana merumuskan “perbuatan yang dilarang”, bukan keadaan batin oran
g yang melakukan perbuatan itu (kesalahan). Kesalahan umumnya dimanistasikan dalam ‘uns
ur mental’ tindak pidana, berupa ‘dengan sengaja’ atau ‘karena kealpaan’. Mengingat asumsi
umum semua tindak pidana dilakukan “dengan sengaja“ maka tidak diperlukan lagi kata-kata
lam rumusan tindak pidana. Perbuatan yang dapat terjadi karena kealpaan pembuatnya,
hanya dijadikan tindak pidana jika perbuatan-perbuatan tersebut dipandang cukup seius. H
besar bagi masyarakat, yang dapat dimintai pertanggungjawaban karena kealpaan pembuatn
ya.
Ketentuan pidana dalam tindak pidana administratif berfungsi sebagai “pengaman” yang digu
Jika dalam undang-undang pidana, umumnya baik perbuatan yang dilarang (strafbaar) maup
un sanksi pidananya (strafmaat) dirumuskan dalam satu pasal. Berbeda umumnya dalam
ratif seharusnya hanya berisi ancaman pidananya strafmaat) , sedangkan perbuatan yang di
Ketentuan administratif ini dapat berupa suatu “perintah” ataupun “larangan”. Dengan demiki
an, norma hukum pidana yang terdapat dalam rumusan tindak pidana administratif dap
at berisi ancaman pidana ketika melanggar larangan administratif atau dapat pula berisi anca
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam kepustakaan hukum pidana Indonesia, istilah “tindak pidana” merupakan Istilah
yang dipakai sebagai terjemahan dari istilah bahasa Belanda strafbaarfeit. Sebenarnya
banyak istilah yang digunakan yang menunjuk pada pengertian Strafbaarfeit. Tindak
pidana atau Delik merupakan terjemahan dari perkataan strafbaar feit atau delict (bahasa
Belanda) atau criminal act (bahasa Inggris), di dalam menterjemahkan istilah tersebut ke
dalam bahasa Indonesia maka dipergunakan bermacam-macam istilah oleh para cerdik
peristiwa tidak menunjukan bahwa yang menimbulkan adalah handeling atau gedraging
seseorang, mungkin juga hewan atau kekuatan alam. Perkataan tindak berarti langka
dan baru dalam bentuk tindak-tanduk atau tingkah laku. Perkataan perbuatan sudah
perbuatan jahat dan seterusnya dan juga istilah teknis seperti perbuatan melawan hukum
dan juga lebih praktis daripada istilah-istilah lainnya. Istilah tindak yang sering diucapkan
atau dituliskan itu hanyalah untuk praktisnya saja, seharusnya ditulis dengan tindak
menyebutkan apa yang dikenal sebagai tindak pidana di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya
Definisi panjang atau yang lebih mendalam adalah suatu kelakuan yang melawan hukum
berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggung
jawabkan. Hal mana akan disadari dengan melihat kedalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, oleh karena di dalamnya dapat dijumpai sejumlah besar strafbaare feiten
yang dari rumusan-rumusannya dapat diketahui bahwa tidak satupun dari strafbaar feiten
tersebut memiliki sifat-sifat umum sebagai suatu strafbaar feit yakni bersifat
weederrechtelijk dan strafbaar atau yang bersifat melanggar hukum, telah dilakukan
dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja dan dapat dihukum. Sifat-sifat seperti
dimaksud di atas perlu dimiliki oleh setiap strafbaar feit, oleh karena secara teoritis setiap
pelanggaran norma itu harus merupakan suatu prilaku atau yang telah dengan sengaja
KUHP menggolongkan tindak pidana menjadi dua golongan, yaitu kejahatan (misdrijven)
kejahatan dan pelanggaran, akan tetapi tidak memberikan arti yang jelas. Delik
kejahatan sering disebut dengan rechtdelicten atau delik hukum. Rechtdelicten dikaitkan
dengan perbuatan yang oleh masyarakat memang dirasakan sebagai perbuatan yang
oleh karena di antara tindak pidana yang digolongkan sebagai pelanggaran juga memiliki
sifat-sifat dasar yang tercela. Sebaliknya juga dimungkinkan terdapat tindak pidana yang
kebenaran. Berdasarkan kriteria kuantitatif ini, tindak pidana kejahatan diancam dengan
pidana yang lebih berat dibandingkan dengan tindak pidana pelanggaran. Inilah
sebabnya tindak pidana kejahatan dibedakan menjadii kejahatan dolus (sengaja) dan
culpa (alpa);. Kumulasi pidana yang lebih ringan lebih mudah daripada pidana berat
(Pasal 65, 66-70 KUHP). Dalam rangka menentukan lamanya pidana atau banyaknya
denda, perlu dipertimbangkan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana
dalam masyarakat serta unsur kesalahan pelaku. Ketentuan pidana ditempatkan dalam
bab tersendiri, yaitu bab ketentuan pidana yang letaknya sesudah materi pokok yang
Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma larangan atau norma
perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang memuat
norma tersebut. Selain itu, perlu dihindari akan adanya pengacuan kepada KUHP, jika
elemen atau unsur-unsur dari norma yang diacu tersebut tidak sama. Sehubungan
adanya pembedaan antara tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran di
dalam Pasal 33 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, rumusan ketentuan pidana harus
menyatakan secara tegas kualifikasi dari perbuatan yang diancam dengan pidana itu
Rumusan tentang tindak pidana berisi tentang kewajiban, yang apabila tidak
dilaksanakan pembuatnya diancam dengan pidana. Dapat saja kewajiban tersebut timbul
dari suatu perjanjian, ataupun kewajiban yang timbul diluar yang perjanjian, atau
mencegah keadaan bahaya akibat perbuatannya, bahkan kewajiban- kewajiban lain yang
timbul dalam hubungan sosial, seperti kewajiban hidup bertetangga. Tindak pidana
merumuskan “perbuatan yang dilarang”, bukan keadaan batin orang yang melakukan
sehingga tetap dirumuskan dalam rumusan tindak pidana. Jika dalam undang-undang
pidana, umumnya baik perbuatan yang dilarang (strafbaar) maupun sanksi pidananya
(strafmaat) dirumuskan dalam satu pasal. Ketentuan administratif ini dapat berupa suatu
“perintah” ataupun “larangan”. Dengan demikian, norma hukum pidana yang terdapat
dalam rumusan tindak pidana administratif dapat berisi ancaman pidana ketika
melanggar larangan administratif atau dapat pula berisi ancaman pidana ketika
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Rosyid, Muhammad Aenur. 2021. Buku Ajar Hukum Pidana. Jember: IAIN Jember.
Sudaryono dan Natangsa Surbakti. 2017. Hukum Pidana; Dasar-dasar Hukum Pidana Ber
dasarkan KUHP dan RUU KUHP. Jawa Tengah: Muhammadiyah University Press.
Sofyan, Andi dan Nur Azisa. 2016. Hukum Pidana. Makassar: Pustaka Pena Press.
B. UNDANG-UNDANG