Anda di halaman 1dari 9

CRITICAL REVIEW

TERHADAP ARTIKEL YANG BERJUDUL :


“SESAT NALAR DALAM MEMBACA PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI”
YANG DIBUAT OLEH Dr. BAHRUL ILMI YAKUP

Oleh :
Nama : Putri Novalia
NIM : 2018010262030
Dosen : Dr. Bahrul Ilmi Yakub, SH.,MH
Mata Kuliah : Ilmu Perancangan Undang - Undang

PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER HUKUM


UNIVERSITAS JAYABAYA
2019
CRITICAL REVIEW TERHADAP ARTIKEL YANG BERJUDUL :
“SESAT NALAR DALAM MEMBACA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI”
YANG DIBUAT OLEH Dr. BAHRUL ILMI YAKUP

A. PENDAHULUAN
Critical Review ini merupakan suatu pembahasan mengenai artikel yang
berjudul : “Sesat Nalar Dalam Membaca Mahkamah Konstitusi” yang dibuat
oleh Dr. Bahrul Ilmi Yakup tertanggal 12 April 2019, yang termuat dalam situs
https://ceknricek.com/mobile/sesat-nalar-dalam-membaca-putusan-
mahkamah-konsitusi/12973
Dalam artikel tersebut secara garis besar merupakan topik mengenai
kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Peradilan di Indonesia dibandingkan
dengan kedudukan Mahkamah Konstitusi di Negara lain, seperti di Jerman, Austria,
Jerman, dan Amerika Serikat. Perbedaan kedudukan Mahkamah Konstisusi dalam
negara-negara tersebut secara filosofis dan teoritis bersumber dan bermula dari
adanya perbedaan fungsi pengadilan antara Court of Justice dengan Court of Law.
Court of Justice yang dalam terminologi lain disebut sebagai judex factie
dan Court of Law yang disebut juga dengan terminologi judex juris, memang
mengemban fungsi yang berbeda. Dalam sistem Mahkamah Konstitusi sebagai
Court of Justice Mahkamah Konstitusi diberi wewenang memeriksa dan
mengadili suatu peristiwa hukum sebagai obyek penerapan hukum, sehingga
pengadilan berperan sebagai penegak hukum. Dalam melaksanakan perannya
sebagai Court of Justice, pengadilan (Mahkamah Konstisusi) membuat putusan
yang menentukan kedudukan suatu peristiwa hukum sehingga pengadilan harus
memproduksi amar putusan yang memastikan benar atau salah suatu peristiwa
hukum berikut pelakunya. Sedangkan dalam sistem Mahkaman Konstitusi sebagai
Court of Law, Mahkamah Konstitusi berfungsi menjaga konsistensi norma aturan
hukum yang bersifat berjenjang atau hierarkis, sebagai materialisasi asas hukum
lex superiori derogate lege inferiori. Dalam konteks inilah maka sebagian sarjana
melabel Mahkamah Konstitusi sebagai The Guardian of the Constitution (penjaga
Konstitusi).
Merujuk kepada 2 (dua) bentuk Mahkamah Konstitusi tersebut, Mahkamah
Konstitusi di Indonesia justru mengemban 2 (dua) fungsi sekaligus, baik sebagai
Court of Justice maupun sebagai Court of Law. Anomali tersebut berlanjut

1
kepada ranah pengujian perundang - undangan yang membagi dan membatasi
wewenang Mahkamah Konstitusi hanya menguji undang - undang terhadap
Undang - Undang Dasar 1945. Sedangkan Mahkamah Agung memegang
wewenang menguji peraturan perundang - undangan di bawah undang-undang
terhadap undang - undang. Pengaturan demikian menunjukkan inkonsistensi
pengaturan yang merugikan kepentingan publik. Ambiguitas dan pencampuran
wewenang Mahkamah Konstitusi sebagai judex factie sekaligus sebagai judex juris
telah menyebabkan banyak pihak keliru bahkan mengalami kesulitan dalam
membaca serta memahami putusan Mahkamah Konstitusi. Banyak justiabelen
menggunakan nalar sesat dalam membaca dan memahami putusan sebagai judex
juris dalam perkara pengujian undang - undang dengan menggunakan pakem
nalar putusan judex factie. Padahal, nalar putusan judex factie sangat berbeda
dengan nalar putusan judex juris.
Pembedaan peran dan fungsi serta wewenang antara Court of Justice
dengan Court of Law membawa implikasi pada pola putusan yang dibuatnya.
Pada Court of Justice, pertimbangan hukum putusan (ratio decidendi) hanya
berfungsi sebagai sandaran faktual dan hukum dari amar putusan yang
menyebabkan pertimbangan hukum dan amar putusan sebagai satu kesatuan
terintegrasi. Oleh karena itu, pada putusan Court of justice, bagian putusan yang
paling penting dan determinan adalah amar putusannya, yang umumnya berbunyi
mengabulkan, menolak, atau tidak menerima. Amar putusan Court of Justice harus
bersifat konkrit dan limitatif. Oleh karena itu, putusan Court of Justice memerlukan
proses lanjutan, yaitu eksekusi atau pelaksanaan, baik oleh jaksa untuk perkara
pidana, oleh ketua pengadilan negeri untuk perkara perdata, atau oleh pejabat
terhukum untuk perkara tata usaha negara yang bersifat administratif.
Sedangkan pada putusan Court of Law, pertimbangan hukum (ratio
decidendi) dan amar putusan merupakan bagian yang bersifat kompartemental
yang memungkinkan pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi dalam
pengujian undang - undang dapat membuat dan memberi norma terpisah dengan
norma amar putusan. Oleh karena itu, dalam praktiknya cukup sering muncul
amar putusan Mahkamah Konstitusi berbunyi menolak permohonan, namun dalam
pertimbangannya Mahkamah Konstitusi mengubah atau mengafirmasi norma
tertentu yang terkait dengan permohonan.

2
B. PEMBAHASAN
1. Landasan Dasar dibentuk Mahkamah Konstitusi di Indonesia
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga tinggi negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman
bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Keberadaan Mahkamah Konstitusi di
Indonesia didasari oleh Undang - Undang No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi juncto Undang - Undang No. 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Undang - Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
Dalam rangka penyempurnaan pelaksanaan reformasi konstitusional yang
integral menuju proses demokrasi, UUD 1945 (amandemen ketiga) telah
menyatakan berdirinya Mahkamah Konstitusi. Ide pendirian mahkamah
konstitusi ini sebagai ciri dari negara berkembang yang ingin menjadikan
negaranya menjadi lebih demokrasi. Dalam Undang - Undang Dasar 1945 Pasal
28D ayat (1) hasil amandemen kedua juga menjamin pentingnya kepastian
hukum, yaitu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Sebagai sarana untuk mencapai ketertiban harus ada kepastian hukum dalam
pergaulan manusia di masyarakat.
Hukum sebagai produk politik bisa saja memuat isi yang lebih sarat
dengan kepentingan politik kelompok jangka pendek yang secara substansial
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi hierarkinya, pada
kenyataannya kegiatan legislatif lebih banyak memuat keputusan - keputusan
politik dari pada menjalankan pekerjaan - pekerjaan hukum yang
sesungguhnya, sehingga lembaga legislatif lebih dekat dengan politik dari pada
hukum. Kesimpulan dari pernyataan diatas adalah, meskipun politik harus
tunduk pada ketentuan hukum, akan tetapi hal tersebut tidak dapat
melepaskan pengaruh transaksional produk hukum. Karekter produk hukum
lembaga legislatif sebagian belum mencerminkan pemenuhan rasa keadilan
masyarakat. Produk yang dihasilkan cenderung represif dan konservatif karena
hanya menonjolkan visi politik pemegang kekuasaan. Karakter konservatif ini
bercirikan tidak mengudang partisipasi masyarakat dalam proses
pembuatannya. Apabila masyarakat diikutsertakan dalam proses

3
pembentukannnya, tidak jarang hal itu hanya bersifat prosedurnya saja.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi merupakan perwujudan mekanisme
checks and balances, yang berfungsi membatasi kekuasaan mayoritas,
sekaligus bertindak sebagai hakim yang dapat menundukkan masalah politik
sesuai dengan rel konstitusi. Mahkamah Konstitusi memiliki peranan penting
dan strategis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara karena
kewenangan mengadilinya pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final. Sejak 2001 secara resmi Amandemen Ketiga menerima masuknya
Mahkamah Konstitusi di dalam UUD 1945. Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi ini
menurut Pasal 7B dan Pasal 24C Undang - Undang No. 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi yang kemudian diamandemen menjadi Undang -
Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang - Undang No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

2. Fungsi dan Kedudukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia


Fungsi dan peran utama Mahkamah Konstitusi adalah adalah
menjaga konstitusi guna tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum. Demikian
halnya yang melandasi negara - negara yang mengakomodir pembentukan
Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya. Dalam rangka menjaga
konstitusi. Fungsi pengujian undang - undang itu tidak dapat lagi dihindari
penerapannya dalam ketatanegaraan Indonesia sebab UUD 1945
menegaskan bahwa anutan sistem bukan lagi supremasi parlemen melainkan
supremasi konstitusi. Mahkamah Konstitusi dibentuk dengan fungsi untuk
menjamin tidak akan ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi,
sehingga hak - hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi itu sendiri
terkawal konstitusionalitasnya.
Untuk menguji apakah suatu undang - undang bertentangan atau
tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial review
yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Jika suatu undang - undang
atau salah satu bagian daripadanya dinyatakan terbukti tidak selaras dengan
konstitusi, maka produk hukum itu akan dibatalkan Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi diberikan wewenang untuk memutus perkara –
perkara yang tidak dapat diselesaikan melalui proses peradilan biasa, seperti

4
sengketa hasil pemilu, dan tuntutan pembubaran sesuatu partai politik.
Perkara - perkara tersebut erat dengan hak dan kebebasan para warga negara
dalam dinamika sistem politik demokratis yang dijamin oleh Undang - Undang
Dasar 1945. Oleh karena itu, fungsi - fungsi penyelesaian atas hasil pemilihan
umum dan pembubaran partai politik dikaitkan dengan kewenangan Mahkamah
Konstitusi.
Dalam Pasal 24 C ayat (1) dan (2) UUD 1945 (amandemen ke-4), dapat
kita ketahui bahwa Mahkamah Kostitusi memiliki 4 (empat) kewenangan
konstitusional (Constitutional Authorities) dan satu kewajiban konstitusional
(Constitutional Obligation). Keempat kewenangan konstitusional tersebut
adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final, yaitu :
1) Menguji Undang - Undang terhadap Undang - Undang Dasar;
2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang - Undang Dasar 1945;
3) Memutus pembubaran partai politik; dan
4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Mahkamah Konstitusi berwenang untuk :


a) Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang keputusannya bersifat
final untuk :
1. Menguji undang - undang terhadap UUD 1945 (Judicial Review);
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara;
3. Memutus pembubaran partai politik.
b) Memberikan putusan pemakzulan (impeachment) presiden dan/atau wakil
presiden atas permintaan DPR karena melakukan pelanggaran berupa
pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat, atau perbuatan tercela.
Hakikat fungsional Mahkamah Konstitusi sebagai ratio legis
kewenangannya tidak dapat ditemukan secara eksplisit dalam Pasal 24C ayat
(1) & ayat (2) UUD 1945 maupun dalam Undang - Undang No. 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang - Undang No. 8 Tahun 2011
tentang Perubahan atas Undang - Undang No. 24 Tahun 2003 tentang

5
Mahkamah Konstitusi. Namun fungsi tersebut secara teori dapat diabstraksi
dari hakikat kewenangan atributif Mahkamah Agung dalam UUD 1945 maupun
Undang - Undang No. 24 Tahun 2003 jo. Undang - Undang No. 8 Tahun 2011
tersebut.

3. Critical Terhadap Artikel


Dalam artikel yang berjudul : “Sesat Nalar Dalam Membaca
Mahkamah Konstitusi” yang dibuat oleh Dr. Bahrul Ilmi Yakup tertanggal 12
April 2019, yang termuat dalam situs https://ceknricek.com/mobile
/sesat-nalar-dalam-membaca-putusan-mahkamah-konsitusi/12973,
dapat kita simpulkan bahwa Dr. Bahrul Ilmi Yakup mengedepankan tentang
dasar - dasar teori terhadap wewenang Pengadilan dalam hal fungsinya sebagai
lembaga negara Judex Factie atau sebagai Judex Juris yang pada umumnya hal
tersebut berlaku mutlak dan tidak dapat dikesampingkan, seperti di Amerika
Serikat, Austria, Jerman atau negara - negara lainnya di dunia.
Bahwa, terhadapa artikel tersebut, penulis memberikan tanggapan –
tanggapan sebagai berikut :
1) Negara Indonesia merupakan negara demokrasi yang berkeadilan
berdasarkan atas Pancasila dan Undang - Undang Dasar 1945 sebagai
dasar negaranya.
Bahwa, kedudukan Mahkamah Konstitusi merupakan amanat Undang -
Undang Dasar 1945, dan wewenangnya pun telah disebutkan dengan
jelas dalam Pasal 24 C UUD 1945 tersebut. Artinya, apabila wewenang
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengadilan Judex Juris sekaligus
sebagai lembaga pengadilan Judex Juris adalah merupakan ketentuan
mutlak.

2) Telah kita ketahui bahwa sistem hukum Indonesia menganut sistem


hukum campuran, dimana sistem hukum Eropa Continental merupakan
sistem hukum yang utama. Sistem hukum Indonesia juga menganut
sistem hukum Anglo Saxon,  sistem hukum adat dan sistem
hukum agama, khususnya hukum (syariah) Islam. Hal tersebut karena
keberagaman suku, agama dan ras yang berbeda-beda di Indonesia.

6
Berbeda dengan Amerika Serikat dan Inggris yang berlaku sistem hukum
Anglo Saxon atau Jerman dan Prancis yang berlaku sistem hukum Eropa
Continental.
Oleh karena itu, apabila fungsi Mahkamah Konstitusi dianggap tumpang
tindih sebagai lembaga peradilan Judex Factie sekaligus sebagai peradilan
Judex Juris adalah bukan merupakan suatu kesalahan yang mutlak. Oleh
karena, Indonesia tidak secara tegas menganut sistem hukum yang
mutlak.

3) Bahwa, yang menjadi permasalahan terkait wewenang dari Mahkamah


Konstitusi yang diberi wewenang dalam memeriksa, dan memutus
perselisihan hasil pemilahan umum, yang merupakan bagian dari fungsi
lembaga Judex Factie.
Bahwa, perkara perselisihan sengketa hasil pemilihan umum sangatlah
erat kaitannya dengan hak dan kebebasan para warga negara dalam
dinamika sistem politik demokratis yang dijamin oleh Undang - Undang
Dasar 1945. Jika ditarik lebih dalam, Pemilihan umum adalah untuk
memilih wakil - wakil rakyat (legistatif) di Indonesia dari mulai tingkat
kepala daerah sampai dengan tingkat pemerintahan pusat, dimana kepala
- kepala daerah tersebut merupakan calon - calon pejabat negara yang
dipilih oleh rakyat berdasarkan amanat UUD 1945 (amandemen ke-4)
yang jelas merupakan bagian dari konstitusi di Indonesia. Akibat dari hal
tersebut adalah untuk menghindari produk - produk hukum yang nantinya
dibuat oleh pejabat - pejabat negara yang dipilih tersebut hanya untuk
kepentingan politik kelompok jangka pendek yang secara substansial
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi hierarkinya.
Sehingga, menurut penulis sudah sangat tepat wewenang Mahkamah
Konstitusi adalah berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara
perselisihan pemilihan umum.

7
C. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari Critical Review ini adalah sebagai berikut :
1. Wewenang Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengadilan Judex Juris
sekaligus sebagai lembaga pengadilan Judex Factie adalah mutlak
berdasarkan amanat dasar negara Indonesia yaitu, UUD 1945 (amandemen
ke-4).
2. Indonesia menganut sistem hukum campuran, dimana sitem hukum Indonesia
adalah campuran dari sistem hukum Eropa Continental (sebagai yang utama),
sistem hukum Eropa Continental, sistem hukum adat, dan sistem hukum
agama, khususnya (syariah) Islam. Oleh karena itu tidak bisa disamakan
dan/atau dibandingkan dengan sistem hukum yang ada di negara lain yang
berlaku mutlak atas 1 (satu) sistem hukum saja, misalnya negara Amerika
Serikat dan Inggris yang berlaku sistem hukum Anglo Saxon ataupun negara
Prancis dan Jerman yang berlaku sistem hukum Eropa Continental.
3. Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa
pemilihan umum (judex factie), dimana pemilihan umum adalah untuk
memilih wakil rakyat yang telah diamanatkan UUD 1945 (amandemen ke-4).
Sehingga, sangatlah wajar apabila Mahkamah Konstitusi juga berwenang
memeriksa dan memutus perkara sengketa pemilhan umum, karena
wewenang tersebut lebih kepada fungsi Mahkamah Konstitusi untuk
menghindari produk - produk hukum yang nantinya dibuat oleh pejabat -
pejabat negara yang dipilih tersebut hanya untuk kepentingan politik
kelompok jangka pendek yang secara substansial bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi hierarkinya.

Anda mungkin juga menyukai