Anda di halaman 1dari 328

WEDIOMBO

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG


MAHKAMAH KONSTITUSI

Disusun Dalam Rangka Mengikuti


KOMPETISI LEGISLATIVE DRAFTING
UII LAW FAIR 2018 PIALA MOHAMMAD NATSIR
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

DISUSUN OLEH:

RIZKINA ALIYA
FANITA ARIYANTI
IRAWATI PUTERI
MUHAMAD BADRU ZAMAN
SATRIA AFIF MUHAMMAD

YOGYAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

"Judicial independence is an indespensable element


of the right to due process and democracy."

Indonesia sebagai negara yang menganut paham rechstaat


dan constitutional democracy menjunjung prinsip
konstitusionalisme (constitutionalism), yaitu prinsip yang
meletakkan undang-undang dasar atau konstitusi sebagai hukum
tertinggi. Guna menjamin tegak dan dilaksanakannya konstitusi
keberadaan Mahkamah Konstitusi menjadi keniscayaan yaitu
sebagai lembaga yang berfungsi mengawal konstitusi (the guardian
of the constitution).
Namun kenyataannya, dalam tataran implementasi seiring
dengan dinamika kehidupan bernegara, keberadaan pengaturan
tentang Mahkamah Konstitusi disadari belum cukup akomodatif
dan solutif dalam mengatasi berbagai problematika
konstitusionalitas di dalam masyarakat, sehingga dibutuhkan
suatu upaya rekonstruksi normatif untuk menjamin tercapainya
tujuan mulia Mahkamah Konstitusi seiring penghormatan
terhadap independensi serta imparsialitasnya dalam menjalankan
mandat konstitusi.
Dalam dokumen ini terlampir Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi beserta Rancangan
Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. Naskah Akademik
dimaksudkan untuk mengelaborasi konsep, dasar, serta gagasan
pemikiran yang diperlukan bagi perumusan Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi menanggapi berbagai perubahan yang
merupakan implikasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi sebelumnya serta berbagai
kontroversi terkait kewenangan konstitusional dan kewajiban
konstitusional yang melekat pada Mahkamah Konstitusi. Dengan
demikian, Naskah Akademik ini dapat dijadikan acuan dalam
penyusunan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
Adapun berbagai masalah yang diangkat dalam Naskah
Akademik Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi ini
bertolak dari keinginan untuk mempertahankan dan
meningkatkan kepercayaan publik kepada Mahkamah Konstitusi,
upaya optimalisasi dan akselerasi agar Mahkamah Konstitusi
dapat menggali nilai keadilan dalam masyarakat tanpa terestriksi
kebuntuan formal, dan bermuara pada diskursus mengenai
mekanisme pengawasan yang paling tepat bagi salah satu main
organ pemegang kekuasaan kehakiman di Negara Republik
Indonesia ini. Selain itu, secara filosofis dalam tataran negara
demokrasi, dengan partai politik sebagai kendaraan esensial dan
pemilihan umum sebagai pengejawantahan pesta demokrasi,
penjaminan terhadap akuntabilitas partai politik turut menjadi
bagian yang tidak teralienasikan dari tinjauan Naskah Akademik
ini. Kontroversi terkait putusan-putusan Mahkamah Konstitusi
dengan justifikasi berupa pemenuhan keadilan bagi para pencari
keadilan (justitiabelen) seperti ultra petita yang ditenggarai sebagai
bentuk intervensi bagi cabang kekuasaan legislatif, serta
bagaimana Mahkamah Konstitusi tetap mengadili perkara yang
berkaitan dengan dirinya sendiri turut menjadi persoalan
elementer. Terakhir, dalam kerangka meningkatkan objektivitas
dan akuntabilitas, hal yang menjadi perhatian luas antara lain hal
ihwal independensi kekuasaan kehakiman yang diantaranya
ditentukan oleh periodisasi dan masa jabatan hakim konstitusi
dan mekanisme seleksi hakim konstitusi.
Tim berharap bahwa Naskah Akademik Rancangan Undang-
Undang Mahkamah Konstitusi ini akan membuka khazanah
pemikiran mengenai Mahkamah Konstitusi dalam kerangka
Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis sebagai upaya
rekonstruksi normatif yang positif dan membangun.
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin bahwa
konstitusi benar-benar terjelma dan ditaati dalam praktik,
termasuk di dalamnya menjamin bahwa hak-hak konstitusional
warga negara benar-benar dihormati, dilindungi, dan dipenuhi
dalam praktik penyelenggaraan negara.1 Mahkamah Konstitusi
sebagai pengadilan konstitusi diharapkan memberikan jaminan
tegaknya keadilan sosial bagi setiap warga negara dalam sistem
pemerintahan suatu negara.2
Harjono mengatakan bahwa keberadaan Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga peradilan dalam sistem
penyelenggaraan pemerintahan negara atau sistem ketatanegaraan
membawa implikasi atau pengaruh terhadap tatanan hukum
(legal order), yaitu akan ditegakkannya apa yang disebut sebagai
constitutional justice. Cappelleti memberikan ciri atau unsur dari
constitutional justice itu adalah, “…to indicate that governmental
power is limited by a constitutional norm, and that procedures have
been designed and institutions created to enforce such limitation.”
Artinya, pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan yang
menjadi ciri utama dari suatu konstitusi, yaitu adanya norma-
norma konstitusi, adanya prosedur untuk menegakkan
pembatasan, serta adanya lembaga untuk menegakkan
pembatasan.3 Secara singkat, dapat dikatakan bahwa gagasan
membentuk Mahkamah Konstitusi adalah upaya untuk
menegakkan prinsip-prinsip negara hukum dan memberi
1
Iriyanto Baso Ence, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas
Mahkamah Konstitusi: Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi
(Bandung: Alumni, 2008), hlm. 135.
2
Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi dalam Upaya Mewujudkan
Negara Hukum Demokrasi, (Yogyakarta: Kreasi Total Media,2007), hlm. 327.
3
Ibid., hal. 384
perlindungan maksimum terhadap demokrasi dan hak-hak dasar
warga negara. Tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi adalah
menangani perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusional
tertentu dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan
secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan
cita-cita demokrasi. Selain itu, keberadaan Mahkamah Konstitusi
juga dimaksudkan sebagai koreksi terhadap pengalaman
ketatanegaraan yang ditimbulkan oleh tafsir ganda atas konstitusi.
Lebih lanjut, fungsi yang melekat pada keberadaan Mahkamah
Konstitusi dan dilaksanakan melalui wewenangnya, yaitu sebagai
pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), penafsir final
konstitusi (the final interpreter of the constitution), pelindung hak
asasi manusia (the protector of human rights), pelindung hak
konstitusional warga negara (the protector of the citizen’s
constitutional rights), dan pelindung demokrasi (the protector of
democracy).4
Dari seluruh kewenangan yang dimiliki Mahkamah
Konstitusi saat ini, satu-satunya yang langsung berkenaan dengan
penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak konstitusional
warga negara adalah kewenangan untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar atau yang biasa disebut
constitutional review. Constitutional review hadir sebagai upaya
mengidentifikasi, menyelidiki lebih komprehensif, dan kemudian
menilai secara objektif, akan menghindarkan atau mencegah
undang-undang menyalahi atau menyimpang dari Undang-
Undang Dasar. Consitutional review juga menjadi kontrol antar
lembaga-lembaga negara untuk terwujudnya cita negara hukum
yang demokratis.
Namun pada perkembangannya, Mahkamah Konstitusi,
tidak dapat maksimal dalam melindungi hak konstitusional warga

4
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Hukum
Acara Mahkamah Konstitusi, hlm. 10.
negara dan menjaga konstitusi. Hal tersebut disebabkan pengujian
peraturan perundang-undangan di bawah UU dilakukan di
Mahkamah Agung (MA), sedangkan MA tidak mempunyai
kewenangan dalam menguji apakah suatu peraturan
konstitusional atau tidak. Sedangkan yang berwenang menguji
apakah sebuah peraturan konstitusional atau tidak adalah MK,
namun MK tidak berwenang melakukan tugas menguji peraturan
perundang-undangan di bawah UU. Potensi kerugian pengujian
dua atap ini terproyeksi dari beberapa kasus. Misal dalam
pengujian Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 sebagaimana diubah
dengan Peraturan KPU No. 26 Tahun 2009 tentang Pedoman
Teknis Penetapan Dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum, Tata
Cara Penetapan Perolehan Kursi, Penetapan Calon Terpilih dan
Penggantian Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota Tahun 2009 dan Peraturan KPU No. 259
Tahun 2009 tentang Penetapan Perolehan Kursi Partai Politik
terhadap UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, MA memutuskan
pembentukan Peraturan KPU tersebut bertentangan dengan UU
No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum, sedangkan MK
dalam pengujian Pasal 205 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2008 adalah
konstitusional bersyarat.5 Contoh lain yang menjadi permasalahan
yang cukup pelik adalah mengenai Peraturan Daerah Syariah yang
mulai menjamur di Indonesia. Sebagaimana dilansir oleh
Kementrian Hukum dan HAM, setidaknya ada 92 buah Perda

5
Ni’matul Huda, Pengujian Peraturan Perundang-undangan di Bawah
Satu Atap Mahkamah Konstitusi dalam Dri Utari Christina dan Ismail Hasani
(Ed), Masa Depan Mahkamah Konstitusi RI; Naskah Konferensi Mahkamah
Konstitusi dan Pemajuan Hak Konstitusional Warga, , Setara Institute, Jakarta,
2013, hlm. 492
Syariah yang dipermasalahkan. Dari beberapa Perda syariah yang
dipermasalahkan menurut Kemenkumham, salah satu contohnya
adalah Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Larangan
Pelacuran. Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang
Larangan Pelacuran yang telah di judicial review ke MA nyata-
nyata diskriminatif dan telah melanggar hak-hak konstitusional
warga negara, sebagai contoh adalah Lilis Mahmudah yang
menjadi korban salah tangkap yang kemudian meninggal karena
depresi, namun MA memutus perda tersebut sesuai dengan
KUHP.6 Hal ini disebabkan MA tidak mempunyai wewenang untuk
mengujikan perda tersebut dengan pasal HAM di konstitusi.
Akibat pengujian yang tidak terintegrasi di satu tempat, akan
menimbulkan ketidakpastian hukum. Sehingga, upaya
pembangunan hukum di Indonesia tidak akan berjalan secara
maksimal. Namun mengubah wewenang pengujian peraturan
perundang-undangan menjadi satu atap di bawah Mahkamah
Konstitusi tentunya bertentangan dengan kewenangan
konstitusional Mahkamah Konstitusi yang dimuat dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, oleh
karena itu dalam menyiasati hal ini diperlukan suatu gagasan
solusi yang tetap konstitusional. Tim merumuskan dalam tajuk
constitusional question, yakni perluasan makna pengujian
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar dengan
memberikan tambahan kedudukan hukum bagi hakim yang
tengah menangani perkara dan meragukan konstitusionalitas
undang-undang yang terkait dengan perkara tersebut.
Amplifikasi isu dalam tubuh Mahkamah Konstitusi, meruak
hingga mekanisme rekrutmen dan masa jabatan yang terintegrasi

6
Ismail Hasani, Integrasi Pengujian Peraturan Perundang-undangan dan
Pemajuan Hak Konstitusional Warga Negara, dalam Dri Utari Christina dan
Ismail Hasani (Ed), Masa Depan Mahkamah Konstitusi RI; Naskah Konferensi
Mahkamah Konstitusi dan Pemajuan Hak Konstitusional Warga, Setara
Institute, Jakarta, 2013, hlm. 508-533.
menjadi faktor determinan penjamin independensi dan
imparsialitas hakim konstitusi. Pengangkatan Patrialis Akbar
sebagai hakim konstitusi dari unsur pemerintah oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pada Agustus 2013 memantik
kontroversi. Saat itu, Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan
Mahkamah Konstitusi meminta Presiden SBY membatalkan
pencalonan Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi
sebab pencalonan Patrialis Akbar dinilai cacat hukum karena
tidak transparan dan partisipatif. Pencalonan Patrialis juga dinilai
melanggar Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi.7 Belum lama dari kontroversi
tersebut, wajah Mahkamah Konstitusi seolah dicoreng arang hitam
ketika Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, yang
merupakan hakim konstitusi pilihan DPR dan telah menjadi
hakim MK periode 2008-2013, lalu kemudian diperpanjang
kembali masa jabatannya untuk periode kedua 2013-2018 tanpa
melalui proses seleksi kembali—ditangkap karena kasus suap
terhadap perkara Pemilihan Kepala Daerah.8 Unsur politis dan
faktor kepentingan dari DPR pada saat pemilihan Akil Mochtar
sebagai individu pilihannya untuk menduduki kursi terhormat
Mahkamah Konstitusi seolah sangat terlihat mengingat sebelum
menjabat hakim konstitusi, Akil pernah menjadi anggota DPR
sejak tahun 1999 sampai tahun 2009. Berangkat dari dua
pengalaman traumatis terkait dua mantan hakim konstitusi
tersebut, terdapat urgensi melakukan upaya introspeksi dan
rekonstruksi tataran normatif untuk memperbaiki mekanisme
rekrutmen hakim konstitusi.

7
Rapor Merah dan Kontroversi Patrialis Akbar Jadi Hakim MK,
https://news.detik.com/berita/d-3406122/rapor-merah-dan-kontroversi-
patrialis-akbar-jadi-hakim-mk
8
KPK Periksa Akil Mochtar terkait Dugaan Sengketa Pilkada Buton,
http://nasional.kompas.com/read/2016/10/31/15533761/kpk.periksa.akil.mo
chtar.terkait.dugaan.suap.sengketa.pilkada.buton
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi juga dinilai memiliki
permasalahan berkenaan dengan hukum acara karena
pengaturannya belum komprehensif dan akomodatif dengan
dinamika hukum yang ada. Selama ini Mahkamah Konstitusi
mengatur lebih lanjut tugas dan wewenang konstitusionalnya
melalui Peraturan Mahkamah Konstitusi. Diperlukan upaya
menormakan substansi peraturan yang sebelumnya diatur melalui
Peraturan Mahkamah Konstitusi guna memperkuat substansi
tersebut secara normative dalam tataran undang-undang yang
berkaitan dan mengikat umum. Terlebih lagi, ditinjau dari sifatnya
Peraturan Mahkamah Konstitusi tidak hanya melengkapi hal-hal
yang bersifat operasional, melainkan ada juga yang seharusnya
menjadi materi muatan Undang-Undang. Beberapa Peraturan
Mahkamah Konstitusi itu antara lain:
1. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PMK/2005
tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian
Undang-Undang.
2. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 008/PMK/2006
tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan
Konstitusional Lembaga Negara.
3. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PMK/2008
tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Kepala Daerah.
4. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PMK/2009
tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
5. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17/PMK/2009
tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden.
6. Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Dewan Etik
7. Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi

Selanjutnya, elokuensi pemikiran terkait independensi dan


imparsialitas, hadir dalam paradigma memandang Mahkamah
Konstitusi yang memiliki peran strategis dalam sistem
ketatanegaraan, yang tercermin pada kewenangan-kewenangan
yang dimilikinya, yakni gagasan untuk mengimbangi dan menjaga
agar Mahkamah Konstitusi tetap menjalankan fungsinya secara
bertanggung jawab, perlu ada mekanisme penegakan kode etik
bagi hakim konstitusi dan pengawasan tepat guna yang terpadu
terhadap Mahkamah Konstitusi secara kelembagaan sebagai satu
kesatuan yang tidak mereduksi independence of judiciary.9
Pada elemen berikutnya, lingkup tugas dan wewenang
Mahkamah Konstitusi tidak teralienasikan dari unsur yang
bersifat politis. Judicial review terhadap undang-undang sebagai
produk politik atau dibuat lembaga politik, memutus sengketa
wewenang antar lembaga negara, memutus sengketa hasil
pemilihan umum dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan
hasil pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, sejatinya
beradara dalam teritori politik.10 Membentuk Mahkamah
Konstitusi sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman untuk
menyelesaikan sengketa-sengketa di atas, mengandung makna
menyerahkan penyelesaian sengketa politik kepada kekuasaan
kehakiman, dan tidak oleh badan politik atau cara-cara politik.
Hal ini dimaknai sebagai "judicialization of politics".
Seiring kasus korupsi yang menggerogoti tubuh partai
politik yang secara ironis seharusnya menjadi kendaraan esensial
dalam Indonesia sebagai negara demokrasi, upaya ameliorasi
9
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetak Biru Membangun
Mahkamah Konstitusi Sebagai Institusi Peradilan Konstitusi Yang Modern Dan
Terpercaya, Jakarta, 2005. hat. 121
10
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan No. 73/PUU-
XIV/2016, hlm. 28. (Keterangan Prof. Dr. Bagir Manan)
atmosfer demokrasi menggagaskan agar Partai Politik tak hanya
dapat dimohonkan pembubarannya oleh Pemerintah dan
menimbulkan kesan "wasit dalam permainan sendiri", namun juga
diberikan hak kepada masyarakat melalui Dewan Perwakilan
Rakyat, Badan Pengawas Pemilu yang bersinggungan langsung
dengan partai politik dalam kerangka pengawasan pesta
demokrasi, dan organisasi ketatanegaraan.11 Secara filosofis,
kedaulatan diserahkan rakyat kepada perwakilan-perwakilan
politiknya melalui partai politik dengan syarat perwakilan tersebut
bekerja untuk kepentingan rakyat. Apabila kedaulatan yang
diserahkan oleh rakyat kepada perwakilannya melalui partai
politik justru menciderai kepentingan rakyat, maka berdasarkan
teori kedaulatan, kedaulatan itu bisa ditarik kembali. Atau dengan
kata lain, institusi yang menyalurkan dan mewakilinya juga bisa
dibubarkan. Partai politik berfungsi melakukan konkretisasi
kedaulatan rakyat untuk diwujudkan ke dalam representasi politik
yang ada. Partai politik bekerja mengagregasi kehendak rakyat dan
menyalurkannya ke berbagai representasi politik agar bekerja
sesuai kehendak rakyat. Partai politik adalah jembatan antara
kedaulatan rakyat dan lembaga-lembaga negara. Dalam konklusi,
pemikiran pemberian legal standing untuk dapat mengajukan
permohonan pembubaran partai politik kepada rakyat melalui
DPR adalah suatu bentuk demokrasi ideal yang mencakup self
government, government by the people through representation dan
mekanisme kontrol tersebut patut diatur.
Diskursus terkait defleksi yang dilakukan oleh hakim
konstitusi terutama terkait dengan amar putusan yang diberikan
tiba pada pembahasan tuduhan pelanggaran terhadap prinsip
judicial restraint serta asas nemo judex idoneus in propria causa

11
Putusan No. 53/PUU-IX/2011,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/
putusan_sidang_53-PUU-IX-2011-parpol%20-%20telah%20baca
%203%20Januari%202012.pdf diakses 13 Februari 2018
sua, sehingga menjadi penting untuk dielaborasikan bagaimana
narasi imparsialitas sebagai prinsip etik yang bersifat universal
untuk menghindari konflik kepentingan (conflict of interest)
sesungguhnya menitikberatkan pada proses pemeriksaan perkara
biasa, dalam hal mana faktor konflik kepentingan individual
merupakan obyek sengketa (objectum litis) yang diperiksa dan
diadili hakim. Dalam Rancangan Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi ini penting dimaknai kembali bagaimana persoalan
imparsialitas dalam konteks Mahkamah Konstitusi sebagai the
last resort dan the final interpreter of the constitution dalam
menjalankan kewenangan konstitusionalnya dan implikasi mandat
konstitusi tersebut terhadap variasi putusan yang diberikan oleh
Mahkamah Konstitusi, termasuk justifikasi dalam hal terdapat
ultra petita atau putusan yang ditenggarai mengadili perkara
terkait dirinya sendiri.
Berdasarkan hal yang telah dipaparkan, terang bahwa
terdapat urgensi untuk menyusun Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi sebagai
rekonstruksi normatif dan dalam batasan konstitusional pada
kerangka Indonesia sebagai negara hukum.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan,
identifikasi masalah yang akan diuraikan dalam naskah akademik
Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana penyesuaian hukum yang perlu dilakukan
menanggapi implikasi dari berbagai Putusan Mahkamah
Konstitusi yang telah membatalkan beberapa norma dalam
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi?
2. Bagaimana perluasan kewenangan konstitusional
Mahkamah Konstitusi dapat mengoptimalisasi proteksi
terhadap hak konstitusional warga negara dan mencapai
harmonisasi sistem hukum di Indonesia?
3. Bagaimana solusi atas problematika perihal penegakan Kode
Etik dan Pedoman Perilaku untuk menjaga, menegakkan
kehormatan, keluhuran, serta perilaku Hakim Konstitusi
dan pengawas kelembagaan lingkungan Mahkamah
Konstitusi pasca dieksklusikannya Mahkamah Konstitusi
dan Hakim Konstitusi dari objek pengawasan Komisi
Yudisial?
4. Bagaimana solusi atas problematika yang dihadapi
Mahkamah Konstitusi dalam tataran kelembagaan dan
hukum acara?
5. Bagaimana solusi atas problematika yang dihadapi
Mahkamah Konstitusi perihal asas nemo judex idoneus
propria causa sua dan penerapan prinsip judicial restraint?
6. Mengapa perlu diterapkan Undang-Undang baru sebagai
pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah
Konstitusi?
7. Apa yang menjadi dasar pertimbangan atau landasan
filosofis, sosiologis dan yuridis Rancangan Undang-Undang
tentang Mahkamah Konstitusi?
8. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan yang akan
dirumuskan dalam Rancangan Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi?
C. Tujuan dan Kegunaan
Sesuai dengan ruang lingkup masalah yang telah diuraikan
di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik penggantian atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi adalah untuk:
1. Menyesuaikan norma-norma yang telah mengalami
perubahan akibat dari berbagai Putusan Mahkamah
Konstitusi yang telah membatalkan beberapa norma dalam
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi;
2. Mengatur perluasan kewenangan konstitusional Mahkamah
Konstitusi agar proteksi terhadap hak konstitusional warga
negara dapat optimal dan harmonisasi sistem hukum di
Indonesia dapat tercapai;
3. Mengatur perihal penegakan Kode Etik dan Pedoman
Perilaku untuk menjaga, menegakkan kehormatan,
keluhuran, serta perilaku Hakim Konstitusi dan pengawas
kelembagaan lingkungan Mahkamah Konstitusi pasca
diekslusikannya Mahkamah Konstitusi dan Hakim
Konstitusi dari objek pengawasan Komisi Yudisial;
4. Mengatur penyelesaian atas problematika yang dihadapi
Mahkamah Konstitusi dalam tataran kelembagaan dan
hukum acara;
5. Mengatur penerapan asas nemo judex idoneus propria causa
sua dan judicial restraint
6. Memberikan pertimbangan yang mendalam atas
penggantian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah
Konstitusi dengan Undang-Undang baru;
7. Memberikan dasar filosofis, sosiologis, dan yuridis atas
Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi;
dan
8. Menguraikan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan yang akan
dirumuskan dalam Rancangan Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi.

Selain daripada tujuan Naskah Akademik ini, kegunaannya


adalah sebagai suatu acuan penyusunan dan pembahasan
Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi.

D. Metode
Sejatinya, penyusunan Naskah Akademik merupakan suatu
kegiatan penelitian hukum. Penelitian hukum merupakan suatu
kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan
pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau
beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya.
Selain itu, diadakan juga pemeriksaan yang mendalam terhadap
fakta hukum untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan
atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala
yang bersangkutan.12 Penelitian hukum dalam penyusunan
Naskah Akademik ini dapat dilakukan melalui metode yuridis
normatif ataupun metode yuridis empiris (sosiolegal).

Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang


tentang Mahkamah Konstitusi ini menggunakan metode yuridis
normatif melalui studi pustaka yang bersumber pada data
sekunder yang terdiri dari bahan-bahan hukum primer dan
bahan-bahan hukum sekunder. Bahan-bahan hukum primer
dalam penyusunan metode penelitian terdiri dari Pembukaan UUD
1945, peraturan perundang-undangan, hukum adat,
yurisprudensi, dan traktat.13 Sedangkan, bahan hukum sekunder

12
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press,
1986), hlm.3.
13
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan SIngkat, (Jakara: Rajawali Press, 2004), hlm.13.
adalah perjanjian, kontrak, hasil penelitian, atau dokumen hukum
lainnya serta referensi lainnya. Dalam naskah akademik ini,
sumber data sekunder yang digunakan adalah:

1. Bahan Hukum Primer:


a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945;
b. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman;
c. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum;
d. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-
Undang;
e. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
menjadi Undang-Undang;
f. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
g. Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2012 tentang
Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah
Konstitusi;
h. Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2013 tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun
2012 tentang Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal
Mahkamah Konstitusi;
i. Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2017 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 49
Tahun 2012 tentang Kepaniteraan dan Sekretariat
Jenderal Mahkamah Konstitusi.

2. Bahan Hukum Sekunder:


a. Buku dan jurnal yang terkait dengan pembagian
kekuasaan, sejarah Mahkamah Konstitusi, fungsi
Mahkamah Konstitusi, kewenangan Mahkamah
Konstitusi, asas-asas terkait dengan penyusunan
norma dan Mahkamah Konstitusi, dan sebagainya
yang berkaitan dengan materi penyusunan Naskah
Akademik ini.
b. Data mengenai putusan-putusan Mahkamah
Konstitusi di Indonesia.

Adapun pokok kajian metode ini difokuskan pada:


a. Penelitian menarik asas hukum, dimana dilakukan terhadap
hukum tertulis maupun tidak tertulis. Penelitian ini dapat
digunakan untuk menarik asas-asas hukum dalam
menafsirkan peraturan perundang-undangan. Selain itu,
penelitian ini juga dapat digunakan untuk mencari asas
hukum yang dirumuskan baik secara tersirat maupun
tersurat.
b. Penelitian sistematik hukum, dimana dilakukan terhadap
pengertian dasar sistematik hukum subyek hukum, hak dan
kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum, maupun
objek hukum.
c. Penelitian taraf sinkronisasi peraturan perundang-undangan
yang dilakukan dengan di acara, yaitu:
1) Secara vertikal, di sini yang dianalisis adalah
peraturan perundang-undangan yang derajatnya
berbeda dan mengatur bidang yang sama.
2) Secara horizontal, dimana yang dianalisis adalah
peraturan perundang-undangan yang sama derajat
dan mengatur bidang yang sama.
d. Penelitian sejarah hukum, di mana dilakukan dengan
menganalisis peristiwa hukum secara kronologis dan
melihat hubungannya dengan gejala sosial yang ada.
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian Teoretis

1. Pembagian Kekuasaan
Salah satu karakteristik dari negara hukum adalah adanya
suatu pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan
kenegaraan. Pembatasan kekuasaan merupakan konsep dasar
dari paham konstitusionalisme modern. Pembatasan kekuasaan
penyelenggara negara ini disebut dengan istilah rule of law oleh
common law dan rechtsstaat dalam konteks negara Eropa
Kontinental. Oleh karenanya, konsep negara hukum sering
disebut sebagai negara konstitusional atau constitusional state,
yakni negara yang dibatasi oleh konstitusi.14
Indonesia menganut sistem Rechtstaat karena termasuk
dalam bagian Eropa Kontinental. Satu diantara empat ciri khas
rechtstaat adalah adanya elemen pembatasan kekuasaan yang
menjadi ciri pokok negara hukum. Pembatasan kekuasaan negara
bermula dari gagasan pemisahan kekuasaan ke dalam beberapa
organ agar tidak terpusat ditangan seorang monarki (raja
absolut).15 Bertitik tolak dari keadaan tersebut, muncullah suatu
konsep pembatasan kekuasaan dalam suatu negara. Persoalan
pembatasan kekuasaan (limitation of power) akan berkaitan erat
dengan teori pemisahan kekuasaan (separation of power) dan teori
pembagian kekuasaan (division of power). Berdasarkan sejarah
pemikiran kenegaraan, gagasan pemisah kekuasaan secara
horizontal pertama kali dikemukakan oleh seorang filsuf Inggris,

14
Jimly Asshidiqqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2014), Cet.6, hlm.281
15
Saldi Isra, Pergeserah Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi
Parlemen dalam Sistem Presidensial Indonesia, (Jakarta:Rajawali Pers, 2010),
hlm.76.
John Locke dalam Second Treaties of Civil Government (1690). John
Locke berpendapat bahwa kekuasaan untuk menetapkan aturan
hukum tidak boleh dipegang sendiri oleh mereka yang
menerapkannya. John Locke membagi kekuasaan dalam sebuah
negara menjadi tiga cabang kekuasaan, yakni (1) legislative
sebagai pembentuk undang-undang; (2) executive sebagai
kekuasaan melaksanakan undang-undang; (3) federative sebagai
kekuasaan untuk mengadakan hubungan internasional dengan
negara lain.16
Pada tahun 1748, seorang filsuf Perancis, Baron de
Montesquieu mengembangkan pemikiran John Lock dalam buku
yang berjudul L’Esprit des Lois. Montesquieu menyatakan, “when
the legislative and the executive powers are united in the same
person, or in the same body of magistrate, there can be no liberty.”
Begitupun dalam hubungan kekuasaan kehakiman dan
kekuasaan lainnya, Montesquieu menyatakan bahwa “again, there
is no liberty, if the judiciary power not be separated from the
legislative, the life and liberty of the subject would be exposed to
arbitrary control; for judge would be then the legislator. Where it
joined to executive porwer, the judge might behave with violence and
oppression.”17 Montesquieu mengembangkan konsep trias politica
yang membagi kekuasaan menjadi 3 cabang: (1) kekuasaan
legislative sebagai pembuat undang-undang; (2) kekuasaan
eksekutif sebagai pelaksana undang-undang; (3) kekuasaan
yudikatif sebagai kekuasaan untuk menghakimi. 18 Dari klasifikasi
tersebut, terlihat ada pembagian kekuasaan negara modern
menjadi tiga fungsi, yakni fungsi legislatif, eksekutif, dan

16
Mariam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2009) hlm.282.
17
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, hlm.76.
18
Michele T. Molan, Constitutional Law: Machinery of Government,
(London: Old Bailey Press, 2003), 4th edition, hlm.63-64.
yudisial.19 Jika disimak lebih cermat, Montesquieu tidak pernah
mengatakan bahwa antara cabang-cabang kekuasaan negara tidak
punya hubungan satu sama lain. Montesquieu hanya menekankan
bahwa cabang-cabang kekuasaan negara tidak boleh berada
dalam satu tangan atau dalam satu organ negara. Montesquieu
menghendaki pemisahan yang amat ketat diantara cabang-cabang
kekuasaan negara, yakni satu cabang kekuasaan hanya
mempunyai satu fungsi. Sebaliknya, satu fungsi hanya
dilaksanakan oleh satu cabang kekuasaan negara saja. 20
Pandangan Montesquieu inilah yang sering menjadi rujukan
doktrin separation of power.
Konsep separation of power di Indonesia membedakan dan
memisahkan secara struktural organ-organ negara untuk tidak
saling mencampuri satu dan lainnya. Untuk membatasi pengertian
separation of power, G.Marshall dalam bukunya Constituitional
Theory membedakan ciri-ciri kekuasaan ke dalam lima aspek,
yakni:21
1. Differentiation;
Doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers)
bersifat membedakan fungsi-fungsi kekuasaan legislatif,
eksekutif, dan yudisial. Legislator membuat aturan,
eksekutor melaksanakan peraturan, pengadilan menilai
konflik yang terjadi dalam pelaksanaan aturan dan
menerapkan aturan untuk menyelesaikan perselisihan.
2. Legal incompatibility of Office Holding;
Orang yang menduduki jabatan lembaga legislative tidak
boleh merangkap pada jabatan di luar cabang legislative.
Meskipun demikian, hal ini tidak diterapkan secara
19
O. Hood Philips, Paul Jackson, and Patricia Leopold, Constitutional and
Administrative Law, (London: Sweet and Maxwell, 2001), hlm.10-11.
20
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm.14.
21
G.Marshall, Constitutional Theori, (Clarendon:Oxford University
Press,1971), chapter 5.
konsisten dalam system parlementer karena cabinet Inggris
di[ersyaratkan berasal dari anggota parlemen.
3. Isolation, Immunity, Independence;
Masing-masing organ tidak boleh turut campur atau
melakukan intervensi terhadap kegiatan organ yang lain.
4. Check and Balances;
Setiap cabang mengendalikan dan mengimbangi kekuatan
cabang-cabang kekuasaan yang lain sehingga dihadapkan
tidak ada penyalahgunaan kekuasaan organ yang bersifat
independen.
5. Coordinate Status and Lack of Accountability.
Prinsip koordinasi dan kesederajatan, yakni semua organ
atau lembaga negara yang menjalankan fungsi legislatif,
eksekutif dan yudisial mempunyai kedudukan sederajat,
hubungan koordinatif dan tidak bersifat subordinatif satu
dengan yang lain.22
Dalam perkembangan praktik ketatanegaraan, konsep
separation of power dimodifikasi menjadi pembagian kekuasaan
(distribution of power/division of power). Dalam pandangan John
A.Garvey and T.Alexander Aleinikoff, tidak mungkin lagi dalam
teori Trias Politica memisahkan secara ketat cabang-cabang
kekuasaan negara. Oleh karena itu, yang paling mungkin adalah
memisahkan secara tegas fungsi setiap cabang kekuasaan negara
bukan memisahkannya secara ketat bagai tidak mempunyai
hubungan sama sekali.23
Di Indonesia, kedaulatan yang berasal dari rakyat oleh
rakyat untuk rakyat pada awalnya hanya diwujudkan dalam
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang merupakan penjelmaan
dari seluruh rakyat. Kekuasaan rakyat itu kemudian dibagi-bagi

22
John Alder and Peter English, Constitutional and Administrative Law,
(London: Macmillan, 1989), hlm.57-59.
23
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, hlm.77.
secara vertikal ke dalam lembaga-lembaga tinggi negara di
bawahnya. Implikasinya adalah Indonesia akan menganut prinsip
pembagian kekuasaan (distribution of power). Namun setelah
perubahan keempat UUD 1945, prinsip kedaulatan rakyat
tersebut dibagi secara horizontal dengan cara memisahkannya
(separation of power) menjadi lembaga-lembaga negara yang
sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan
prinsip check and balances.24 Bukti mengenai hal ini adalah:
1. Pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke
DPR.
Hal tersebut terlihat dari ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUD
1945 sebelum perubahan:
“Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-
undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan:
“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk Undang-Undang.”
Dari kedua pasal tersebut terlihat bahwa kekuasaan
membentuk undang-undang yang sebelumnya berada di
tangan presiden beralih ke Dewan Perwakilan Rakyat.
2. Diadopsinya sistem pengujian konstitusional atas undang-
undang sebagai produk legislatif oleh Mahkamah Konstitusi.
Sebelumnya, tidak dikenal mekanisme yang demikian
karena undang-undang tidak dapat diganggu gugat. Hakim
hanya dapat menerapkan undang-undang dan bukan
menilai undang-undang.
3. Lembaga kedaulatan rakyat tidak hanya terbatas pada MPR.
Lembaga negara baik secara langsung maupun tidak
langsung merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat.

24
Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah
Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Seminar Pembangunan Hukum Nasional
VIII, (Denpasar 14-18 Juli 2003), hlm.5.
Presiden, DPR, DPD dipilih langsung oleh rakyat dan
merupakan pelaksana langsung prinsip kedaulatan rakyat.
4. MPR tidak lagi berstatus sebagai lembaga tertinggi negara.
MPR hanya sebagai lembaga (tinggi) negara yang sama
derajatnya dengan lembaga-lembaga (tinggi) negara lainnya,
seperti Presiden, DPR, DPD, MK, MA.
5. Hubungan-hubungan antar-lembaga (tinggi) negara itu
bersifat saling mengendalikan satu sama lain sesuai prinsip
check and balances.

Dari lima ciri di atas, dapat dikatakan bahwa UUD 1945


tidak menganut prinsip pemisahan kekuasaan trias politica
Montesquieu yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan
legislatif, eksekutif, dan yudisial secara mutlak tanpa diiringi oleh
hubungan saling mengendalikan satu sama lain. Cabang
kekuasaan legislatif tetap berada di Majelis Permusyawaratan
Rakyat yang strukturnya dikembangkan dalam dua kamar, yakni
DPR dan DPD. Eksekutif berada ditangan Presiden dan Wakil
Presiden. Sedangkan, cabang kekuasaan kehakiman dipegang oleh
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Konsep pemisahan
kekuasaan berdasarkan trias politica tetap menjadi poros acuan.
Artinya, kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif memang
harus selalu ada untuk mewujudkan sebuah negara demokrasi
modern. Namun, konsep pemisahan kekuasaan tidak dapat
memisahkan sama sekali lembaga negara satu dengan yang lain.
Maka, berkembanglah mekanisme check and balances. Mekanisme
check and balances menghasilkan persamaan derajat antara ketiga
cabang kekuasaan sehingga dapat saling mengontrol satu sama
lain. Dengan sistem ini, kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi,
dan dikontrol dengan sebaik-baiknya. Maka, sistem baru yang
dianut oleh UUD 1945 pasca perubahan keempat adalah sistem
pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip check and balances.25
Selain itu, HAS Natabaya menyebutkan bahwa
pengklasifikasian lembaga-lembaga negara telah mengalami
perkembangan. Pertama, berdasarkan kewenangannya.
Kewenangan lembaga negara terbagi menjadi dua, yakni yang
diberikan oleh Undang-Undang Dasar dan yang diberikan oleh
Undang-Undang. Hal tersebut penting adanya dikarenakan
Mahkamah Konstitusi hanya dapat menyelesaikan sengketa antar
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar. Yang dapat menjadi Pemohon dan Termohon
dalam SKLN adalah DPR, DPD, MPR, Presiden, BPK, Pemda, dan
lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD
1945. Rumusan hukum ‘lembaga negara lain’ menunjukkan
kemungkinan Termohon lain di luar yang telah disebutkan.
Misalnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat dapa menjadi
termohon tergantung bagaimana hakim menafsirkannya. 26 Kedua,
klasifikasi lembaga negara berdasarkan pembagian lembaga
negara utama (main state organ) dan lembaga negara bantu
(auxiliary state organ). Pasca perubahan UUD 1945, lembaga
negara yang menjadi lembaga negara utama adalah MPR, DPR,
DPD, Presiden, Wakil Presiden, MA, MK, dan BPK. Lembaga negara
selain tujuh lembaga negara utama di atas akan dikategorikan
menjadi lembaga negara bantu.
Terkait dengan keberadaan Mahkamah Konstitusi,
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yudikatif yang
terbentuk pasca kemerdekaan dan amandemen UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi dilahirkan pada saat perubahan ketiga UUD
1945 dan disahkan pada sidang tahunan MPR 2001. Perubahan
25
Jimly Asshidiqqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, hlm.292.
26
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI,
2010), hlm.175.
Ketiga UUD 1945 tersebut merumuskan Mahkamah Konstitusi
dalam Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945. Kedudukan MK
ditujukan sebagai pengawal konstitusi untuk memperkuat dasar-
dasar konstitusionalisme dalam Undang-Undang NRI Tahun 1945.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi sangat jelas sebagai bentuk
penghormatan atas konstitusi Indonesia. Batas-batas
kewenangan yang dimiliki Mahkamah Konstitusi sebagai salah
satu lembaga yudisial ini merupakan bentuk terselenggaranya
sistem check and balances sebagai sistem perimbangan kekuasaan
diantara lembaga negara. Implikasinya adalah, Mahkamah
Konstitusi memiliki kedudukan yang setingkat dengan Mahkamah
Agung sebagai penyelenggara kekuasaan yudikatif atau peradilan
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, hubungan antara
satu lembaga dengan lembaga negara lainnya diikat dengan
prinsip check and balances. Sebagai implikasi adanya mekanisme
check and balances pada hubungan sederajat, ada kemungkinan
dalam pelaksanaan kewenangan masing-masing lembaga timbul
perbedaan atau perselisihan dalam menafsirkan amanat Undang-
Undang Dasar. Jika timbul persengketaan semacam itu,
diperlukan organ sendiri yang diserahi tugas memutus final hal
tersebut. Dalam sistem ketatanegaraan UUD 1945, mekanisme
penyelesaian sengketa demikian dilakukan melalui proses
peradilan yang dikenal dengan nama Mahkamah Konstitusi.
Maka, sistem ketatanegaraan Indonesia menganut prinsip
pemisahan kekuasaan dengan sistem check and balances. UUD
1945 tidak menganut prinsip pemisahan kekuasaan trias politica
Montesquieu yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan
legislatif, eksekutif, dan yudisial secara mutlak tanpa diiringi oleh
hubungan saling mengendalikan satu sama lain. Cabang
kekuasaan legislatif tetap berada di Majelis Permusyawaratan
Rakyat yang strukturnya dikembangkan dalam dua kamar, yakni
DPR dan DPD. Eksekutif berada ditangan Presiden dan Wakil
Presiden. Sedangkan, cabang kekuasaan kehakiman dipegang oleh
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Terkait dengan
kewenangan dan hal-hal lain mengenai Mahkamah Konstitusi
akan dibahas pada bagian selanjutnya.

2. Pendirian dan Sejarah Mahkamah Konstitusi


a. Gagasan Kelembagaan Mahkamah Konstitusi
Pemikiran pembentukan Mahkamah Konstitusi tidak
dapat dilepaskan dari perkembangan hukum dan
ketatanegaraan tentang pengujian produk hukum oleh
lembaga peradilan atau judicial review.27 Momentum utama
munculnya judicial review adalah pada keputusan MA
Amerika Serikat dalam kasus Marbury vs. Madison pada
1803. Dalam kasus tersebut, MA Amerika Serikat
membatalkan ketentuan dalam Judiciary Act 1789 karena
dinilai bertentangan dengan Konstitusi Amerika Serikat.
Pada saat itu tidak ada ketentuan dalam Konstitusi AS
maupun undang-undang yang memberikan wewenang
judicial review kepada MA, namun para hakim agung MA AS
yang diketuai oleh John Marshal berpendapat hal itu adalah
kewajiban konstitusional mereka yang telah bersumpah
untuk menjunjung tinggi dan menjaga konstitusi.
Terhadap perkembangan hukum di Amerika Serikat
itu, Beard menyatakan bahwa judicial review merupakan
27
Istilah judicial review terkait dengan istilah belanda “toetsingsrecht”,
tetapi keduanya memiliki perbedaan terutama dari sisi tindakan hakim.
Toetsingrecht bersifat terbatas pada penilaian hakim terhadap suatu produk
hukum, sedangkan pembatalannya dikembalikan kepada lembaga yang
membentuk. Sedangkan dalam konsep judicial review secara umum terutama di
negara Negara Eropa Kontinental sudah termasuk tindakan hakim
membantalkan aturan hukum yang dimaksud. Selain itu, istilah judicial review
juga terkait tetapi harus dibedakan dengan istilah lain seperti legislative review,
constitutional review, dan legal review. Dalam konteks judicial review yang
dijalankan oleh MK dapat disebut sebagai constitutional review karena batu
ujinya adalah konstitusi. Lihat, Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian
Konstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta: Konpress, 2005), hal. 6 – 9.
bagian dari sistem checks and balances yang telah
ditetapkan dalam Constitution Convention. Sistem checks
and balances merupakan elemen esensial konstitusi dan
dibangun di atas doktrin bahwa cabang pemerintahan tidak
boleh berkuasa penuh, apalagi terkait dengan pelaksanaan
undang-undang yang menyangkut hak kepemilikan. 28
Putusan MA Amerika Serikat tersebut memicu perdebatan
tentang judicial review hingga ke daratan eropa yang pada
saat itu didominasi pandangan bahwa hukum adalah
manifestasi dari kedaulatan rakyat yang menghendaki
supremasi parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat.
Suatu pengadilan tidak dapat menolak untuk menerapkan
suatu undang-undang walaupun dinilai melanggar Undang-
Undang Dasar. Pandangan tersebut sedikit berkurang
dengan adanya prinsip pemisahan kekuasaan yang
memberikan peluang kepada pengadilan untuk menolak
menerapkan suatu undang-undang yang dinilai
bertentangan dengan konstitusi tanpa mencampuri
kekuasaan legislatif sehingga penolakan itu tidak dapat
diikuti dengan pencabutan oleh pengadilan.
Perkembangan di Amerika Serikat mendorong George
Jellinek mengembangkan gagasan pada akhir abad ke-19
agar terhadap MA Austria ditambahkan kewenangan
melakukan judicial review seperti yang dipraktikkan oleh
John Marshall. Pada saat itu MA Austria sudah memiliki
wewenang mengadili sengketa antara warga negara dengan
pemerintahan terkait dengan perlindungan hak politik,
bahkan pengadilan negara bagian juga telah memiliki
wewenang memutus keberatan konstitusional yang diajukan

28
Leonard W. Levy (ed.), Judicial review: Sejarah Kelahiran, Wewenang,
dan Fungsinya dalam Negara Demokrasi, Judul Asli: Judicial review and the
Supreme Court, Penerjemah: Eni Purwaningsih, (Jakarta: Penerbit Nuansa,
2005), hal. 3.
warga negara atas tindakan negara (constitutional
complaint).29
Gagasan pembentukan peradilan tersendiri di luar MA
untuk menangani perkara judicial review pertama kali
dikemukakan oleh Hans Kelsen pada saat menjadi anggota
Chancelery dalam pembaruan Konstitusi Austria pada 1919
– 1920. Gagasan tersebut diterima dan menjadi bagian
dalam Konstitusi Austria 1920 yang di dalamnya dibentuk
Mahkamah Konstitusi (Verfassungsgerichtshof). Sejak saat
itulah dikenal dan berkembang lembaga Mahkamah
Konstitusi yang berada di luar MA yang secara khusus
menangani judicial review dan perkara-perkara
konstitusional lainnya.30
Berdasarkan latar belakang sejarah pembentukan MK,
keberadaan MK pada awalnya adalah untuk menjalankan
wewenang judicial review, sedangkan munculnya judicial
review itu sendiri dapat dipahami sebagai perkembangan
hukum dan politik ketatanegaraan modern. Dari aspek
politik, keberadaan MK dipahami sebagai bagian dari upaya
mewujudkan mekanisme checks and balances antar cabang
kekuasaan negara berdasarkan prinsip demokrasi. Hal ini
terkait dengan dua wewenang yang biasanya dimiliki oleh
MK di berbagai negara, yaitu menguji konstitusionalitas
peraturan perundang-undangan dan memutus sengketa
kewenangan konstitusional lembaga negara.
Sistem demokrasi, baik dari teori maupun praktik,
berlandaskan pada suara mayoritas. Sistem politik
demokrasi pada dasarnya adalah pembuatan kebijakan
publik atas dasar suara mayoritas melalui mekanisme

29
Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,
hal. 24.
30
Ibid.,hal. 29
perwakilan yang dipilih lewat Pemilu. Kekuatan mayoritas
itu perlu dibatasi karena dapat menjadi legitimasi bagi
penyalahgunaan kekuasaan, bahkan membahayakan
demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu diperlukan
pembatasan yang rasional, bukan sebagai sesuatu yang
bertentangan dengan demokrasi, tetapi justru menjadi salah
satu esensi demokrasi.31 Mekanisme judicial review yang di
banyak negara dijalankan oleh MK merupakan mekanisme
untuk membatasi dan mengatasi kelemahan demokrasi
tradisional.32
Dalam sistem demokrasi konstitusional,
penyelenggaraan negara diatur dengan model pemisahan
ataupun pembagian kekuasaan yang dimaksudkan untuk
mencegah terjadinya konsentrasi kekuasaan agar tidak
terjadi penyalahgunaan kekuasaan “Power tends to corrupt,
absolut power corrupt absolutely”. Kekuasaan negara dibagi
atas cabang-cabang tertentu menurut jenis kekuasaan dan
masing-masing dipegang dan dijalankan oleh lembaga yang
berbeda. Dalam perkembangannya kelembagaan negara dan
pencabangan kekuasaan semakin kompleks dan tidak dapat
lagi dipisahkan secara tegas hanya menjadi legislatif,
eksekutif, dan yudikatif. Kondisi tersebut sangat
memungkinkan terjadinya konflik atau sengketa antar
lembaga negara, baik horizontal maupun vertikal yang harus

31
Lihat, David Wood, Judicial Invalidation of Legislation and Democratic
Principles, dalam Charles Sampford and Kim Preston (eds.), Interpreting
Constitution, (NSW: The Federation Press, 1996), hal. 171 – 183.v
32
Jose H. Choper, Judicial review and the National Political Process: A
Functional Reconsideration of the Role of the Supreme Court, (Chicago and
London: The University of Chicago Press, 1980), hal. 4 – 7. Keberadaan MK
dikenal sebagai fenomena Abad XX dan pada umumnya dibentuk di negara-
negara yang telah mencapai tahap akhir transisi demokrasi yang salah satu
cirinya adalah penerimaan mekanisme konstitusi untuk menjamin hak dan
kebebasan dasar warga negara serta pembatasan kekuasaan negara. Lihat, I
Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi, Judicial review, dan Welfare State,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2008), hal. 3 – 3.
dibuat mekanisme penyelesaiannya. Di sinilah keberadaan
MK diperlukan.
Mengingat permasalahan konstitusional di atas, MK
sering dicirikan sebagai pengadilan politik. Bahkan judicial
review secara tradisional dipahami sebagai tindakan politik
untuk menyatakan bahwa suatu ketentuan tidak
konstitusional oleh pengadilan khusus yang berisi para
hakim yang dipilih oleh parlemen dan lembaga politik lain,
dan bukan oleh pengadilan biasa yang didominasi oleh
hakim yang memiliki kemampuan teknis hukum.33
Dari sisi hukum, keberadaan MK adalah konsekuensi
dari prinsip supremasi konstitusi yang menurut Hans
Kelsen untuk menjaganya diperlukan pengadilan khusus
guna menjamin kesesuaian aturan hukum yang lebih
rendah dengan aturan hukum di atasnya. Kelsen
menyatakan:34
The application of the constitutional rules concerning
legislation can be effectively guaranted only if an organ
other than the legislative body is entrusted with the
task of testing whether a law is constitutional, and of
annulling it if – according to the opinion of this organ – it
is “unconstitutional”. There may be a special organ
established for this purpose, for instance, a special
court, a so-called “constitutional court”...
Pandangan tersebut merupakan konsekuensi dari dalil
hierarki norma hukum yang berpuncak kepada konstitusi
sebagai the supreme law of the land. Hierarki tersebut
sekaligus menempatkan landasan validitas suatu norma

33
Donald P. Kommers, The Constitutional Jurisprudence of the Federal
Republic of Germany, (Durham and London: Duke University Press, 1989), hal.
3.
34
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russell &
Russell, 1961), hal. 157.
hukum adalah norma hukum yang berada di atasnya
demikian seterusnya hingga ke puncak dan sampai pada
konstitusi pertama.
Konsekuensi dari supremasi konstitusi tidak hanya
terbatas bahwa semua aturan hukum tidak boleh
bertentangan dengan konstitusi. Supremasi konstitusi juga
mengikat kepada tindakan negara sehingga tidak ada satu
pun tindakan negara yang boleh bertentangan dengan
konstitusi. Untuk mengontrol tindakan negara ini, terdapat
mekanisme constitutional complaint yang menjadi salah satu
wewenang pokok MK di berbagai negara.
b. Latar Belakang Pembentukan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia
Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga
peradilan sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman,
di samping Mahkamah Agung (MA), yang dibentuk melalui
Perubahan Ketiga UUD 1945.35 Ide pembentukan MK di
Indonesia muncul dan menguat di era reformasi pada saat
dilakukan perubahan terhadap UUD 1945. Namun
demikian, dari sisi gagasan judicial review sebenarnya telah
ada sejak pembahasan UUD 1945 oleh BPUPK pada tahun
1945. Anggota BPUPK, Prof. Muhammad Yamin, telah
mengemukakan pendapat bahwa “Balai Agung” (MA) perlu
diberi kewenangan untuk membanding Undang-Undang.
Namun Prof. Soepomo menolak pendapat tersebut karena
memandang bahwa UUD yang sedang disusun pada saat itu
tidak menganut paham trias politika dan kondisi saat itu
belum banyak sarjana hukum dan belum memiliki
pengalaman judicial review.36
35
Ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2001, tanggal 9
November 2001.
36
Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945,
Jilid I, (Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959), hal. 341 – 342.
Pada masa berlakunya Konstitusi RIS, judicial review
pernah menjadi salah satu wewenang MA, tetapi terbatas
untuk menguji Undang-Undang Negara Bagian terhadap
konstitusi. Hal itu diatur dalam Pasal 156, Pasal 157, dan
Pasal 158 Konstitusi RIS. Sedangkan di dalam UUDS 1950,
tidak ada lembaga pengujian undang-undang karena
undang-undang dipandang sebagai pelaksanaan kedaulatan
rakyat yang dijalankan oleh pemerintah bersama DPR. 37
Di awal Orde Baru pernah dibentuk Panitia Ad Hoc II
MPRS (1966-1967) yang merekomendasikan diberikannya
hak menguji material UU kepada MA. Namun rekomendasi
tersebut ditolak oleh pemerintah. Pemerintah menyatakan
bahwa hanya MPR lah yang dapat bertindak sebagai
pengawal konstitusi.38 Hal itu sudah pernah dilakukan oleh
MPRS melalui Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 jo.
Ketetapan MPRS Nomor XXXIX/MPRS/1968 tentang
Peninjauan Kembali Produk Hukum Legislatif Di Luar
Produk Hukum MPRS Yang Tidak Sesuai Dengan UUD
1945.39
Ide perlunya judicial review, khususnya pengujian
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, kembali

37
Sri Soemantri, Hak Menguji Material di Indonesia, (Bandung: Alumni,
1986), hal. 25.
38
Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1990),
hal. 402.
39
Di dalam ketetapan MPRS ini dilakukan peninjauan terhadap produk
legislatif serta produk hukum lain terutama yang dikeluarkan dalam bentuk
Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden. Sebagai pelaksanaan dari Tap
MPRS ini dibentuk UU Nomor 25 Tahun 1968 tentang Pernyataan Tidak
Berlakunya Berbagai Penetapan Presiden Dan Peraturan Presiden dan UU
Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan
Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang. Penetapan dan Peraturan Presiden
yang masih relevan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) menjadi Undang-
Undang dengan disahkannya UU Nomor 5 Tahun 1969; (2) menjadi Undang-
Undang dengan ketentuan materi Penetapan Presiden atau Peraturan Presiden
tersebut ditampung dan dijadikan bahan penyusunan Undang-Undang yang
baru; dan (3) diserahkan kepada Pemerintah untuk meninjau kembali dan
pengaturannya disesuaikan dengan materi masing-masing.
muncul pada saat pembahasan RUU Kekuasaan Kehakiman
yang selanjutnya ditetapkan menjadi Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Saat itu Ikatan Hakim Indonesia yang
mengusulkan agar MA diberikan wewenang menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Namun
karena ketentuan tersebut dipandang merupakan materi
muatan konstitusi sedangkan dalam UUD 1945 tidak diatur
sehingga usul itu tidak disetujui oleh pembentuk undang-
undang. MA ditetapkan memiliki wewenang judicial review
secara terbatas, yaitu menguji peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terhadap undang-
undang, itu pun dengan ketentuan harus dalam
pemeriksaan tingkat kasasi yang mustahil dilaksanakan.
Ketentuan ini juga dituangkan dalam Tap MPR Nomor
VI/MPR/1973 dan Tap MPR Nomor III/MPR/1978.40
Perdebatan mengenai hak menguji muncul lagi pada
pertengahan tahun 1992 ketika Ketua MA Ali Said
menganggap bahwa pemberian hak uji kepada MA adalah
hal yang proporsional karena MA merupakan salah satu
pilar demokrasi. Jika dua pilar lain, yaitu Presiden dan DPR
bertugas membuat dan menetapkan UU, maka MA bertugas
mengujinya. Gagasan tersebut merupakan gagasan yang
didasarkan pada prinsip checks and balances.41
Sebelum terbentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai
bagian dari Perubahan Ketiga UUD 1945, wewenang menguji
undang-undang terhadap UUD 1945 dipegang oleh MPR. Hal
itu diatur dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000
tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
40
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi, (Jakarta: LP3ES, 2007), hal. 96.
41
Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta:
Gama Media, 1999), hal. 331.
Perundang-Undangan. Pasal 5 ayat (1) ketetapan tersebut
menyatakan “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
1945, dan Ketetapan MPR.” Namun pengujian ini tidak
dapat disebut sebagai judicial review, karena dilakukan oleh
MPR yang bukan merupakan lembaga peradilan.
Pada awalnya terdapat tiga alternatif lembaga yang
digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian UU
terhadap UUD, yaitu MPR atau MA atau MK. Gagasan
memberikan wewenang tersebut kepada MPR akhirnya
dikesampingkan karena, di samping tidak lagi sebagai
lembaga tertinggi, MPR bukan merupakan kumpulan ahli
hukum dan konstitusi, melainkan wakil organisasi dan
kelompok kepentingan politik. Gagasan memberi wewenang
pengujian UU kepada MA juga akhirnya tidak dapat diterima
karena MA sendiri sudah terlalu banyak beban tugasnya
dalam mengurusi perkara yang sudah menjadi
kompetensinya. Itulah sebabnya wewenang pengujian UU
terhadap UUD akhirnya diberikan kepada lembaga
tersendiri, yaitu Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman. Pembentukan MK RI dapat
dipahami dari dua sisi, yaitu dari sisi politik dan dari sisi
hukum. Dari sisi politik ketatanegaraan, keberadaan MK
diperlukan guna mengimbangi kekuasaan pembentukan
undang-undang yang dimiliki oleh DPR dan Presiden. Hal itu
diperlukan agar undang-undang tidak menjadi legitimasi
bagi tirani mayoritas wakil rakyat di DPR dan Presiden yang
dipilih langsung oleh mayoritas rakyat. Di sisi lain,
perubahan ketatanegaraan yang tidak lagi menganut
supremasi MPR menempatkan lembaga-lembaga negara
pada posisi yang sederajat. Hal itu memungkinkan – dan
dalam praktik sudah terjadi – muncul sengketa antar
lembaga negara yang memerlukan forum hukum untuk
menyelesaikannya. Kelembagaan paling sesuai adalah
Mahkamah Konstitusi. Dari sisi hukum, keberadaan MK
adalah salah satu konsekuensi perubahan dari supremasi
MPR menjadi supremasi konstitusi, prinsip negara
kesatuan, prinsip demokrasi, dan prinsip negara hukum.
Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Negara
Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik.
Negara kesatuan tidak hanya dimaknai sebagai kesatuan
wilayah geografis dan penyelenggaraan pemerintahan. Di
dalam prinsip negara kesatuan menghendaki adanya satu
sistem hukum nasional. Kesatuan sistem hukum nasional
ditentukan oleh adanya kesatuan dasar pembentukan dan
pemberlakuan hukum, yaitu UUD 1945. Substansi hukum
nasional dapat bersifat pluralistik, tetapi keragaman itu
memiliki sumber validitas yang sama, yaitu UUD 1945.
Pasal 1 ayat (1) juga menyatakan bahwa Negara
Indonesia berbentuk republik. Di dalam negara republik
penyelenggaraan negara dimaksudkan untuk kepentingan
seluruh rakyat melalui sistem demokrasi, yaitu
pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Penyelenggaraan
negara harus merupakan wujud kehendak seluruh rakyat
yang termanifestasikan dalam konstitusi. Oleh karena itu
segenap penyelenggaraan negara harus dilaksanakan
berdasarkan konstitusi yang dikenal dengan prinsip
supremasi konstitusi.
Prinsip supremasi konstitusi juga telah diterima
sebagai bagian dari prinsip negara hukum. 42 Pasal 1 ayat (3)

42
Menurut A.V. Dicey salah satu prinsip negara hukum adalah
supremasi hukum (supremacy of law). Salah satu konsekuensi dari kedudukan
konstitusi sebagai hukum tertinggi, maka berlaku pula prinsip supremasi
konstitusi. Lihat A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the
Constitution, Tenth Edition, (London; Macmillan Education LTD, 1959).
UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa Negara
Indonesia adalah negara hukum. Hukum adalah satu
kesatuan sistem yang hierarkis dan berpuncak pada
konstitusi. Oleh karena itu supremasi hukum dengan
sendirinya berarti juga supremasi konstitusi.
Prinsip supremasi konstitusi juga terdapat dalam
Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar. Dengan demikian konstitusi menjadi penentu
bagaimana dan siapa saja yang melaksanakan kedaulatan
rakyat dalam penyelenggaraan negara dengan batas sesuai
dengan wewenang yang diberikan oleh konstitusi itu sendiri.
Bahkan, konstitusi juga menentukan substansi yang harus
menjadi orientasi sekaligus sebagai batas penyelenggaraan
negara, yaitu ketentuan tentang hak asasi manusia dan hak
konstitusional warga negara yang perlindungan,
pemenuhan, dan pemajuannya adalah tanggung jawab
negara.
Agar konstitusi tersebut benar-benar dilaksanakan
dan tidak dilanggar, maka harus dijamin bahwa ketentuan
hukum di bawah konstitusi tidak bertentangan dengan
konstitusi itu sendiri dengan memberikan wewenang
pengujian serta membatalkan jika memang ketentuan
hukum dimaksud bertentangan dengan konstitusi.
Pengujian ini sangat diperlukan karena aturan hukum
undang-undang itulah yang akan menjadi dasar
penyelenggaraan negara. Salah satu ukuran yang paling
mendasar adalah ada atau tidaknya pelanggaran terhadap
hak konstitusional yang ditentukan dalam UUD 1945.
Dengan latar belakang tersebut, MK RI dibentuk melalui
Perubahan Ketiga UUD 1945 yang diatur dalam Pasal 24
ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B UUD 1945.
Dengan disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945,
tidak dengan sendirinya MK sebagai organisasi telah
terbentuk walaupun dari sisi hukum kelembagaan itu sudah
ada. Untuk mengatasi kekosongan tersebut pada Perubahan
Keempat UUD 1945 ditentukan dalam Aturan Peralihan
Pasal III bahwa MK paling lambat sudah harus terbentuk
pada 17 Agustus 2003. Sebelum terbentuk, segala
kewenangan MK dilakukan oleh MA.
UU MK, yaitu UU No. 24 Tahun 2003 disahkan pada
13 Agustus 2003. Waktu pengesahan UU Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi inilah yang ditetapkan
sebagai hari lahirnya Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan
UU MK, pembentukan Mahkamah Konstitusi segera
dilakukan melalui rekrutmen Hakim Konstitusi oleh tiga
lembaga negara, yaitu DPR, Presiden, dan Mahkamah
Agung. Setelah melalui tahapan seleksi sesuai mekanisme
yang berlaku pada masing-masing lembaga, akhirnya DPR,
Presiden, dan MA menetapkan masing-masing tiga calon
Hakim Konstitusi yang selanjutnya ditetapkan oleh Presiden
sebagai Hakim Konstitusi. Sembilan Hakim Konstitusi
pertama ditetapkan pada 15 Agustus 2003 dengan
Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003.
Pengucapan sumpah jabatan kesembilan hakim tersebut
dilakukan di Istana Negara pada 16 Agustus 2003.

3. Fungsi Mahkamah Konstitusi


Sebagai hasil dari agenda reformasi nasional tahun 1998,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
telah mengalami perubahan yang dilaksanakan dalam satu
rangkaian empat tahap, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan
2002. Dengan perubahan-perubahan itu, pokok-pokok pikiran
yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar mengalami
pergeseran dan perubahan mendasar, sehingga mengubah pula
corak dan format kelembagaan serta mekanisme hubungan antara
lembaga-lembaga negara yang ada di negara ini. 43 Dalam Pasal
24C hasil perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, ide pembentukan Mahkamah
Konstitusi diadopsikan ke dalam konstitusi Indonesia sebagai
organ konstitusional baru yang sederajat kedudukannya dengan
Mahkamah Agung.44 Lahirnya Mahkamah Konstitusi ditandai
dengan diundangkannya Undang-Undang No. 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi.
Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, fungsi konstitusional
yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi adalah fungsi peradilan
untuk menegakkan hukum dan keadilan. Namun fungsi tersebut
belum bersifat spesifik yang berbeda dengan fungsi yang
dijalankan oleh Mahkamah Agung. Fungsi MK dapat ditelusuri
dari latar belakang pembentukannya, yaitu untuk menegakkan
supremasi konstitusi. Oleh karena itu ukuran keadilan dan
hukum yang ditegakkan dalam peradilan MK adalah konstitusi itu
sendiri yang dimaknai tidak hanya sekadar sebagai sekumpulan
norma dasar, melainkan juga dari sisi prinsip dan moral
konstitusi, antara lain prinsip negara hukum dan demokrasi,
perlindungan hak asasi manusia, serta perlindungan hak
konstitusional warga negara.45 Dalam penjelasan Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi dikatakan:46

43
Mutiara Hikmah, “Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penegakan
Hukum dan HAM di Indonesia”, Jurnal Hukum dan Pembangunan Vol. 35, No. 2
(April-Juni 2005), hlm. 129.
44
Jimly Asshiddiqie, “Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah
Perubahan Keempat UUD 1945” Makalah pada Seminar Pembangunan Hukum
Nasional VIII, Denpasar 2003.
45
A. Mukhtie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, 2006), hlm. 119.
46
Indonesia, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun
2003, LN No. 98 Tahun 2003, TLN No. 4316.
“...salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah
keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara
yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang
ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar
dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai dengan
kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan
Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga
terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga
merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan
ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan tafsir ganda
terhadap konstitusi.”
Lebih jelas Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie menguraikan masalah
fungsi dan tugas Mahkamah Konstitusi sebagai berikut:
“Dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi
dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi
menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan
masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan
menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh
semua komponen negara secara konsisten dan
bertanggungjawab. Di tengah kelemahan sistem konstitusi
yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir
agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai
keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.”47
Dari abstraksi ini dapat dilihat bahwa Mahkamah Konstitusi
dibangun untuk mengemban setidaknya 5 fungsi dasar, yaitu
sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution),
penafsir konstitusi (the final intepreter of the constitution),
pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the
citizen’s constitutional rights), pelindung Hak Asasi Manusia (the
47
Mahkamah Konstitusi, Cetak Biru: Membangun Mahkamah Konstitusi
sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Modern dan Terpercaya, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2004), hlm. iv.
protector of human rights), dan pengawal demokrasi (the guardian
of the democracy). Fungsi MK sebagai pengawal konstitusi
ditujukan agar konstitusi dilaksanakan dan dihormati baik oleh
penyelenggara kekuasaan negara maupun warga negara. Fungsi
pengawal konstitusi ditambah dengan fungsi penafsir konstitusi
melahirkan kewenangan MK untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, sebab hanya MK saja yang diberikan kewenangan untuk
menafsirkan UUD NRI Tahun 1945. 48 Lembaga negara lain dan
bahkan orang per orang boleh saja menafsirkan arti dan makna
dari ketentuan yang ada dalam konstitusi karena memang
acapkali norma dalam konstitusi tidak selalu eksplisit, jelas, dan
rumusannya yang luas bahkan kadang kabur. Akan tetapi, yang
menjadi otoritas akhir untuk memberi tafsir yang mengikat adalah
Mahkamah Konstitusi. Tafsiran yang mengikat tersebut hanya
diberikan dalam putusan Mahkamah Konstitusi atas pengujian
yang diajukan kepadanya.49
Hak konstitusional adalah semua hak yang disuratkan
dalam Undang-Undang Dasar. Hak-hak konstitusional itu
mencakup baik hak asasi manusia maupun hak-hak lainnya.
Contoh dalam UUD 1945, hak konstitusional tercantum di bawah
Bab XA tentang Hak Asasi Manusia yaitu Pasal 28A sampai
dengan 28J serta pasal-pasal lain yang bukan di bawah Bab XA,
antara lain Pasal 27, 28, 29, dan Pasal 31. Dari uraian ini,
Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi sebagai pelindung hak
konstitusional warga negara dengan memastikan konstitusi
dilaksanakan dan dihormati baik oleh penyelenggara kekuasaan
negara maupun oleh warga negara.50 Kehadiran Mahkamah

48
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, (Jakarta:
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008), hlm. 495.
49
Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, hlm. 8.
50
Mahkamah Konstitusi, Sejarah Pembentukan, Visi dan Misi Mahkamah
Konstitusi RI, (Jakarta: Penerbit Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 4.
Konstitusi di Indonesia berperan sebagai pengawal konstitusi, agar
konstitusi selalu dijadikan landasan dan dijalankan secara
konsisten oleh setiap komponen negara dan masyarakat, sehingga
hal ini yang menjadikan MK mengemban fungsi the protector of
citizen’s constitutional rights.51
Eric Barent mengatakan bahwa “constitutionalism is a belief
in omposition of restraints on governance by mean a constitution” 52
artinya bahwa konstitusi merupakan pembatas kekuasaan. Salah
satu bentuk pembatasan kekuasaan dalam konstitusi adalah
adanya jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia. Jaminan
perlindungan HAM di dalam konstitusi sebagai hukum tertinggi
bermakna bahwa negara pun dilarang melakukan pelanggaran
HAM dan bahkan tugas utama perlindungan HAM adalah pada
negara.53 Oleh karena itu perkembangan paham
konstitusionalisme mengandung dua esensi utama: pertama,
konsep negara hukum yang berarti bahwa hukum mengatasi
kekuasaan negara dan politik, dan kedua, konsep hak warga
negara, bahwa kebebasan warga negara dijamin oleh konstitusi. 54
Konstruksi ini menunjukkan bahwa HAM merupakan substansi
utama di dalam konstitusi, baik dilihat dari proses pembentukan
konstitusi sebagai hasil kesepakatan bersama maupun dari sisi
gagasan konstitusionalisme.55 Fungsi MK sebagai pelindung hak
asasi manusia (the protector of the human rights) merupakan
konsekuensi dari keberadaan HAM sebagai materi muatan

51
Arief Hidayat, “Peran Mahkamah Konstitusi sebagai Penjaga Konstitusi
dan Pengawal Demokrasi dalam Sengketa Pemilu”, dalam acara Continuing
Legal Education, Jakarta, 3 Mei 2013.
52
Eric Barent, An Introduction to Constitutional Law, (Oxford: Oxford
University Press, 1998), hlm. 14.
53
Janedjri M. Gaffar, “Peran Putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Perlindungan Hak Asasi Manusia terkait Penyelenggaraan Pemilu”, Jurnal
Konstitusi Vol. 10, No. 1 (Maret 2013), hlm. 4.
54
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika
Masalahnya, (Jakarta: ELSAM dan HUMA, 2002), hlm. 405.
55
George H. Sabine, A History of Political Theory, (New York: Rinehart and
Wiston, 1961), hlm. 517.
konstitusi. Adanya jaminan hak asasi dalam konstitusi
menjadikan negara memiliki kewajiban hukum yang
konstitusional untuk melindungi, menghormati, dan memaukan
hak-hak tersebut. Wewenang MK menguji undang-undang dapat
dilihat sebagai upaya melindungi HAM yang dijamin UUD 1945
agar tidak dilanggar oleh ketentuan undang-undang. 56
Kemudian, konstitusi hadir sebagai perwujudan demokrasi,
yakni sebagai perjanjian sosial tertinggi. Selain itu, konstitusi
merupakan fondasi menuju demokrasi dan prasyarat bagi
demokrasi agar sehat dan berjalan baik.57 Kolaborasi konstitusi
dan demokrasi diyakini dapat menghantarkan suatu negara
menjadi negara demokrasi konstitusional. Dalam konteks inilah,
MK hadir untuk menjaga dan mengawal tegaknya negara
demokrasi konstitusional dalam fungsinya sebagai pengawal
demokrasi atau the guardian of the democracy. Di sisi lain, MK
tidak hanya berfungsi sebagai pengawal konstitusi dan demokrasi,
tetapi juga berfungsi sebagai pengawal ideologi negara (the
guardian of ideology), yakni Pancasila. Artinya, dalam memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara konstitusi, maka selain
mendasarkan pada pasal-pasal UUD 1945, juga harus
mendasarkan pada pasal-pasal UUD 1945, juga harus
mendasarkan pada Pancasila sebagai batu uji dalam setiap
perkara konstitusionalitas produk undang-undang.

4. Kewenangan Mahkamah Konstitusi


Kekuasaan negara pada umumnya diklasifikasikan menjadi
tiga cabang, walaupun kelembagaan negara saat ini mengalami
perkembangan yang sangat pesat dan tidak sepenuhnya dapat

56
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2013), hlm. 7.
57
Dedy, “Ketua MK: MK Hadir untuk Mengawal Demokrasi”,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?
page=web.Berita&id=13325#.WmxOgiN7Fo4, diakses pada 27 Januari 2018.
diklasifikasi ke dalam tiga cabang kekuasaan itu. Namun
demikian, cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif
adalah tiga cabang kekuasaan yang selalu terdapat dalam
organisasi negara. Cabang kekuasaan yudikatif diterjemahkan
sebagai kekuasaan kehakiman.
Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya,
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi [Pasal 24 ayat (2) UUD
1945]. Dengan demikian, kedudukan MK adalah sebagai salah
satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping MA. MK adalah
lembaga peradilan yang dibentuk untuk menegakkan hukum dan
keadilan dalam lingkup wewenang yang dimiliki. Kedudukan MK
sebagai pelaku kekuasaan kehakiman sejajar dengan pelaku
kekuasaan kehakiman lain, yaitu MA, serta sejajar pula dengan
lembaga negara lain dari cabang kekuasaan yang berbeda sebagai
konsekuensi dari prinsip supremasi konstitusi dan pemisahan
atau pembagian kekuasaan. Lembaga-lembaga negara lainnya
meliputi Presiden, MPR, DPR, DPD dan BPK. Setiap lembaga
negara menjalankan penyelenggaraan negara sebagai pelaksanaan
kedaulatan rakyat berdasarkan dan di bawah naungan konstitusi.
Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, fungsi konstitusional
yang dimiliki oleh MK adalah fungsi peradilan untuk menegakkan
hukum dan keadilan. Namun fungsi tersebut belum bersifat
spesifik yang berbeda dengan fungsi yang dijalankan oleh MA.
Fungsi MK dapat ditelusuri dari latar belakang pembentukannya,
yaitu untuk menegakkan supremasi konstitusi. Oleh karena itu
ukuran keadilan dan hukum yang ditegakkan dalam peradilan MK
adalah konstitusi itu sendiri yang dimaknai tidak hanya sekadar
sebagai sekumpulan norma dasar, melainkan juga dari sisi prinsip
dan moral konstitusi, antara lain prinsip negara hukum dan
demokrasi, perlindungan hak asasi manusia, serta perlindungan
hak konstitusional warga negara.
Di dalam Penjelasan Umum UU MK disebutkan bahwa tugas
dan fungsi MK adalah menangani perkara ketatanegaraan atau
perkara konstitusional tertentu dalam rangka menjaga konstitusi
agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan
kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Selain itu, keberadaan
MK juga dimaksudkan sebagai koreksi terhadap pengalaman
ketatanegaraan yang ditimbulkan oleh tafsir ganda atas
konstitusi.58
Fungsi tersebut dijalankan melalui wewenang yang dimiliki,
yaitu memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu
berdasarkan pertimbangan konstitusional. Dengan sendirinya
setiap putusan MK merupakan penafsiran terhadap konstitusi.
Berdasarkan latar belakang ini setidaknya terdapat 5 (lima) fungsi
yang melekat pada keberadaan MK dan dilaksanakan melalui
wewenangnya, yaitu sebagai pengawal konstitusi (the guardian of
the constitution), penafsir final konstitusi (the final interpreter of
the constitution), pelindung hak asasi manusia (the protector of
human rights), pelindung hak konstitutional warga negara (the
protector of the citizen’s constitutional rights), dan pelindung
demokrasi (the protector of democracy).
Wewenang yang dimiliki oleh MK telah ditentukan dalam
Pasal 24C UUD 1945 pada ayat (1) dan ayat (2) yang dirumuskan
sebagai wewenang dan kewajiban. Wewenang tersebut meliputi:
1) Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
3) Memutus pembubaran partai politik; dan

58
A. Mukthie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006), hal. 119.
4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Sedangkan kewajiban MK adalah memberikan putusan atas
pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar.

5. Jenis Putusan Mahkamah Konstitusi


a. Putusan Akhir dan Putusan Provisi (Sela)
Menurut Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, secara umum putusan
yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi memperoleh
kekuatan hukum sejak selesai diucapkan dalam sidang
pleno terbuka untuk umum, sehingga dapat disimpulkan
bahwa dalam praktik, putusan yang dimaksud adalah
putusan akhir59. Namun dalam realitanya, jenis putusan
sela juga turut berkembang. Ruang berkembangnya putusan
sela bergantung pada jenis perkara terkait. Untuk perkara-
perkara sengketa kewenangan lembaga negara dan
perselisihan hasil pemilu, pengaturan mengenai putusan
sela tercantum dalam UU Nomor 24 tahun 2003 serta
Peraturan Mahkamah Konstitusi. Bagian Kesembilan
tentang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang
Kewenangannya Diberikan oleh UUD60 menyatakan bahwa:
“Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang
memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk
menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang
dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah
Konstitusi.”

59
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010) hlm. 131.
60
Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, UU Nomor
23 tahun 2004, LN sdjfhsa, TLN sjdhfaksj, Ps. 63.
Sedangkan untuk perkara perselisihan hasil pemilu
anggota DPR, DPD, dan DPRD pengaturan mengenai
putusan sela berbunyi:
“Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim
sebelum putusan akhir berupa putusan untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu yang berkaitan dengan objek
yang dipersengketakan yang hasilnya akan dipertimbangkan
dalam putusan akhir61.”
Selain kedua pengaturan tersebut, putusan sela dalam
perkara lain berkembang dalam praktik. Contohnya adalah
diskursus mengenai penerapan putusan sela untuk
melaksanakan penghitungan maupun pemungutan suara
ulang dalam perselisihan pemilihan kepala daerah
(pilkada).62 Pembicaraan mengenai penerapan putusan sela
dimulai dari anggapan bahwa pada saat pemungutan atau
penghitungan suara ulang atas dasar putusan Mahkamah
Konstitusi yang bersifat final dan mengikat, Mahkamah
Konstitusi seakan-akan telah menutup mata terhadap
kemungkinan adanya pelanggaran dalam pengulangan
tersebut. Implikasi tersebut terlihat pada sengketa pilkada
Jawa Timur tahun 2013 di mana Mahkamah Konstitusi
menolak memberikan nomor register untuk pengajuan
gugatan dari pasangan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono
yang tak puas dengan hasil pemungutan dan penghitungan
ulang. Jika pemungutan atau pilihan ulang ditetapkan
sebagai sebuah putusan sela, maka Mahkamah Konstitusi
dapat tetap memeriksa hasil dari pengulangan tersebut.
Namun, meskipun konsep putusan sela diajukan dalam
61
Indonesia, Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi
tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD,
dan DPRD, PMK Nomor 16 Tahun 2009, Ps.1 angka 19.
62
Mahkamah Konstitusi, “Menggagas Putusan Sela dalam Sengketa
Pilkada,” http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?
page=web.Berita&id=12805#.WmwLZbpubIV, diakses pada 27 Januari, 2018
konteks pilkada dengan harapan agar dapat menjaga konsep
dasar putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan
mengikat dengan meminimalisir kemungkinan terjadinya
pelanggaran lebih lanjut, belum ada perkembangan
penerapan putusan sela dalam perkara-perkara perselisihan
pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan presiden dan
wakil presiden.
Permohonan putusan sela dalam pengujian undang-
undang juga tidak sedikit meskipun Pasal 31 Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang
Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-
Undang pun mengamini pengaturan UU No. 24 tahun 2003
mengenai putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan
mengikat. Seringkali permohonan putusan sela tersebut
ditolak oleh Mahkamah Konstitusi atas dasar Pasal 58 UU
Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 63
Selain menggunakan pasal 58 sebagai dasar
pertimbangannya, pertimbangan Mahkamah Konstitusi atas
penolakan tersebut dapat dilihat pada bagian Menimbang
Perkara Nomor 026/PUU-III/2005 tertanggal 22 Maret 2006
perihal Pengujian UU Nomor 13 Tahun 2005 tentang APBN
Tahun 2005 terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa putusan provisi (sela) tidak diatur dalam
perkara permohonan pengujian undang-undang karena
pengabulan tersebut sudah menyentuh pokok perkara
padahal putusan provisi mengenai tindakan-tindakan
sementara seharusnya tidak boleh menyangkut pokok
perkara.

63
“Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku,
sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.” Indonesia, UU Nomor 23 Tahun 2004, Ps. 58.
Namun, tampaknya sikap Mahkamah Konstitusi
terhadap penerapan putusan sela disesuaikan dengan
perkara yang tengah dihadapi, pasalnya pada Putusan
Nomor 133/PUU-VII/2009 perihal Pengujian UU Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
terhadap UUD 1945, Mahkamah Konstitusi memutuskan
untuk mengabulkan permohonan provisi untuk sebagian
yaitu dengan pemberhentian Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi yang menjadi terdakwa karena
melakukan tindak pidana kejahatan (sampai adanya
putusan akhir dari Mahkamah) berdasarkan Pasal 32 ayat
(1) huruf c dan pasal 32 ayat (3) UU Nomor 30 Tahun 2002.
Dikabulkannya putusan sela tersebut dilakukan atas dasar
Pasal 86 UU No. 24 Tahun 2003 dan Pasal 16 PMK No.
06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara
Pengujian UU yang dilihat oleh Mahkamah sebagai
kesempatan bagi Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan
putusan provisi. Mahkamah juga berpandangan bahwa
dalam perkara tersebut, pengabulan putusan sela
memenuhi kebutuhan untuk mencegah terjadinya
pelanggaran HAM bilamana hak-hak konstitusional
Pemohon yang dirugikan tidak dapat dipulihkan dalam
putusan akhir serta diharuskan dengan adanya
perkembangan kesadaran hukum dan rasa keadilan
masyarakat.
Terdapat kebutuhan praktis akan opsi penerapan
putusan sela dalam perkara-perkara tertentu, contohnya
dalam hal pengujian undang-undang, putusan sela
dibutuhkan dalam hal suatu undang-undang tengah dalam
proses pengujian di Mahkamah Agung. Namun jika merujuk
kembali pada sifat putusan provisi yang memang tidak
mengenai pokok suatu perkara, Mahkamah Konstitusi
belum mempunyai parameter yang jelas mengenai
penerapannya dalam tiap-tiap jenis perkara yang masuk
dalam kewenangannya.
b. Putusan untuk Permohonan Pengujian Undang-Undang
Menurut Pasal 56 UU Nomor 24 Tahun 2003, terdapat
tiga jenis amar putusan dalam perkara pengujian undang-
undang yaitu: permohonan dikabulkan, permohonan
ditolak, dan permohonan tidak diterima:
i. Permohonan Dikabulkan
Pengaturan mengenai amar putusan yang
menyatakan bahwa permohonan dikabulkan
diakomodasi dalam Pasal 56 ayat (2) UU 24 tahun
2003 yang menyatakan bahwa Pengabulan
permohonan dilakukan apabila Mahkamah
berpendapat bahwa permohonan tersebut
beralasan. Alasan yang mendasari pengabulan
dapat dibedakan menjadi dua kategori menurut:
1) Putusan yang menyatakan bahwa materi
muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari
suatu undang-undang bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun
1945)64 (Pengujian Materiil).
2) Putusan yang mengabulkan permohonan
berkaitan dengan pembentukan undang-
undang yang dimaksud tidak memenuhi
ketentuan pembentukan undang-undang
berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 (Pengujian
Formil).65
ii. Permohonan Ditolak

64
Indonesia, UU Nomor 23 Tahun 2004, Ps. 56 ayat (3)
65
Ibid., Ps. 56 ayat (4)
Apabila “Dalam hal undang-undang
dimaksud tidak bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, baik mengenai pembentukan maupun
materinya sebagian atau keseluruhan, amar
putusan menyatakan permohonan ditolak.”66
iii. Permohonan Tidak Dapat Diterima
Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat
bahwa pemohon dan/atau pemohonnya tidak
memenuhi persyaratan yang diuraikan dalam pasal
50 dan 51 UU 23 Tahun 2004, maka permohonan
tidak dapat diterima atau niet ontvantkelijk
verklaard sesuai dengan Pasal 56 ayat (1).
Rekapitulasi atas putusan pengujian
undang-undang yang dihasilkan oleh Mahkamah
Konstitusi menunjukkan bahwa selain ketiga amar
yang disebutkan dalam undang-undang, terdapat
kemungkinan bahwa perkara tersebut ditarik
kembali oleh pemohon, perkara tersebut gugur
(karena berbagai alasan) atau Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwa dirinya tidak
berwenang.

Tabel 1
Rekapitulasi Permohonan Pengujian Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Tahun 2013 s.d.
201867

66
Ibid., Ps. 56 ayat (5)
67
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Rekapitulasi Perkara
Pengujian Undang-Undang,” http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?
page=web.RekapPUU, Diakses Pada 29 Januari, 2018
Namun patut dicatat bahwa dalam
praktiknya, amar putusan dalam pengujian
undang-undang telah mengalami perkembangan
dari amar-amar sebagaimana ditetapkan dalam
undang-undang.
iv. Konstitusional Bersyarat (Conditionally
Constitutional)
Permohonan pengujian Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
menjadi titik awal berkembangnya amar
konstitusional bersyarat.68 Hakim Konstitusi
Harjono berpendapat bahwa jenis putusan hanya
dilimitasi menurut bunyi-bunyi amar dalam
undang-undang, maka sulit untuk menentukan
apakah dalam pelaksanaan suatu undang-undang
bertentangan atau tidak dengan UUD karena suatu
UU memiliki perumusan yang bersifat umum.
Sehingga Harjono mengonstruksikan suatu
pandangan bahwa suatu UU dapat diuji kembali
konstitusionalitasnya apabila saat dilaksanakan
dalam suatu konteks tertentu.
Putusan konstitusional bersyarat memiliki
karakteristik69 sebagai berikut:
68
Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa Pemikiran Hukum Dr. Harjono,
S.H., M.C.L Wakil Ketua MK, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm. 178
69
Syukri Asy’ari, Meyrinda Rahmawaty Hilipito, Mohammad Mahrus Ali,
Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian
Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012), (Jakarta: Pusat Penelitian
1) Memiliki tujuan untuk mempertahankan
konstitusionalitas suatu ketentuan
berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan
Mahkamah Konstitusi;
2) Syarat-syarat yang ditentukan mengikat dalam
proses pembentukan undang-undang;
3) Dalam hal pembentukan undang-undang tidak
sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya,
terbuka peluang adanya pengujian kembali
norma yang telah diuji;
4) Putusan konstitusional bersyarat menjadi
acuan atau pedoman bagi Mahkamah
Konstitusi dalam menilai konstitusionalitas
norma yang sama;
5) Pada awal perkembangannya, Nampak
Mahkamah Konstitusi merumuskan amar
putusan konstitusional bersyarat untuk
perkara-perkara yang pada dasarnya tidak
beralasan sehingga putusannya sebagian besar
berisi penolakan. Namun sekarang putusan
model konstitusional bersyarat terjadi pada
permohonan yang dianggap memiliki alasan
yang cukup untuk dikabulkan dengan tetap
mempertahankan konstitusionalitasnya;
6) Membuka peluang adanya pengujian norma
yang secara tekstual tidak tercantum dalam
undang-undang (pertimbangan terhadap
konteks di mana suatu norma diterapkan);
7) Mengantisipasi terjadinya kekosongan hukum;

dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi


Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2013), hlm. 8-9
8) Menegaskan kedudukan Mahkamah Konstitusi
sebagai penafsir undang-undang sekaligus
sebagai pembentuk undang-undang secara
terbatas.
Putusan conditionally constitutional juga
diintrodusir saat terjadi persoalan ketiadaan
peraturan pelaksanaan suatu undang-undang yang
tentunya tidak dapat menunggu diterbitkannya
peraturan pelaksana. Suatu putusan berbunyi,
“konstitusional bersyarat” pertama kali70 pada
Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008 tanggal 1 Juli
2008 perihal Pengujian UU Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan
DPRD terhadap UUD Negara RI Tahun 1045 yang
menyatakan bahwa Pasal 12 dan 67 dari undang-
undang tersebut konstitusional bersyarat dengan
ketentuan bahwa pasal-pasal tersebut harus
dibaca/ditafsirkan dengan memasukkan syarat
domisili di provinsi yang diwakilinya bagi calon
anggota DPD.71
v. Tidak Konstitusional Bersyarat (Conditionally
Unconstitutional)
Berkebalikan dengan konstitusional
bersyarat, suatu permohonan pengujian pasal yang
diputuskan sebagai inkonstitusional bersyarat
mempunyai sifat konstitusional apabila syarat yang
ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi dipenuhi
oleh addresaat dalam putusan tersebut. Model
putusan ini muncul karena dilihat adanya
70
Ibid., hlm. 8
71
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Pengujian UU Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD terhadap
UUD Negara RI Tahun 1945
ketidakefektifan pada putusan model
konstitusional bersyarat yang seringkali
mengabaikan pertimbangan dalam putusan (ratio
decidendi) karena amar dari putusan tersebut
sudah “menolak” sehingga addresaat dari putusan
menganggap bahwa tidak ada yang perlu
diimplementasikan.
Putusan inkonstitusional bersyarat pertama
kali dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk
Perkara Nomor 4/PUU-VII/2009 tentang pengujian
Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD,
dan DPRD dan Pasal 58 huruf f Undang-Undang
Nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah yang melarang
seseorang untuk dapat mencalonkan diri sebagai
calon anggota DPR, DPD, dan DPRD serta sebagai
calon kepala maupun wakil kepala daerah apabila
pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang memiliki kekuatan
hukum tetap atas suatu tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun
atau lebih. Karena Mahkamah berpandangan
bahwa pemberlakuan pasal-pasal terkait melanggar
hak untuk memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan sebagaimana diatur dalam
Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 serta
asas equality before the law, maka dalam amar
putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan
bahwa pasal-pasal tersebut bertentangan dengan
UUD 1945 sepanjang tidak memenuhi syarat-
syarat: (i) tidak berlaku untuk jabatan yang dipilih
(elected officials); (ii) berlaku terbatas jangka
waktunya hanya selama 5 (lima) hari sejak
terpidana selesai menjalani hukumannya; (iii)
dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara
terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik
bahwa yang bersangkutan nara pidana; (iv) bukan
sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.72
vi. Model Putusan yang Pemberlakuannya Ditunda
(Limited Constitutional)
Suatu putusan yang menoleransi aturan
yang sebenarnya dalam jangka waktu tertentu
meskipun bertentangan dengan konstitusi disebut
sebagai limited constitutional. Model putusan ini
berfungsi sebagai suatu transisi bagi pembentuk
undang-undang untuk melakukan perbaikan yang
sesuai dengan UUD NRI 1945. Jenis putusan ini
tumbuh atas pertimbangan kemanfaatan karena
adanya kekosongan hukum justru dapat lebih
merugikan73. Model putusan ini dikeluarkan oleh
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 016-
PUU-IV/2006 di mana Mahkamah Konstitusi
memutuskan untuk menangguhkan daya tidak
mengikatnya Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30
tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dalam batas waktu tiga tahun sejak
putusan diucapkan karena Mahkamah menilai
telah terjadi dualisme Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi dan kekeliruan landasan konstitusional

72
Syukri, Meyrinda, dan Mohammad, Model dan Implementasi Putusan
Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang hlm. 10
73
Ibid., hlm. 13.
pembentukan Pengadilan Tipikor yang seharusnya
diatur dengan undang-undang tersendiri.
Penangguhan putusan tersebut didasarkan pada
beberapa alasan, antara lain agar proses
penanganan kasus-kasus korupsi yang tengah
berjalan tidak terganggu, untuk menghindari
ketidakpastian hukum yang dapat timbul dari
macetnya kasus-kasus korupsi maupun
kemungkinan melemahnya semangat anti korupsi
dalam masyarakat, serta untuk memberikan waktu
yang cukup guna melakukan peralihan dari satu
landasan hukum ke landasan hukum yang lain. 74
vii. Perumusan Norma dalam Putusan
Pada prinsipnya, model putusan yang
merumuskan norma baru mengubah atau
membuat baru suatu bagian tertentu dari undang-
undang yang diuji. Pintu masuk bagi model
putusan ini adalah jenis-jenis putusan
konstitusional bersyarat atau putusan
inkonstitusional bersyarat. Model putusan
perumusan norma baru muncul atas dasar
keadaan yang mendesak dikarenakan adanya
kekosongan norma yang timbul akibat
ditetapkannya suatu norma sebagai
inkonstitusional. Norma baru yang dibentuk oleh
Mahkamah Konstitusi tersebut dimaksudkan
sebagai pengganti sementara, dengan ekspektasi
bahwa norma baru tersebut akan diambil alih oleh
revisi atau pembentukan suatu peraturan

74
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Pengujian UU Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Nomor 016/PUU-IV/2006, 19
Desember 2006, hlm. 289.
perundang-undangan yang baru.75 Mahfud MD
berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi boleh
saja membuat putusan yang di luar panduan
hukum acara bahkan apabila suatu undang-
undang tidak memberikan rasa keadilan, maka
sah-sah saja apabila keluar dari undang-undang. 76
Sedangkan menurut Jimly Asshiddiqie, posisi
Mahkamah Konstitusi hanyalah sebagai negative
legislator yang berarti bahwa Mahkamah hanya
dapat memutus sebuah norma dalam undang-
undang bertentangan dengan konstitusi tanpa
memasukkan norma baru ke dalam undang-
undang.77
Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan
beberapa putusan yang merumuskan norma baru
antara lain Putusan Nomor 5/PUU-V/2007
mengenai calon perseorangan dalam pilkada,
Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 ihwal
penggunaan Kartu Tanda Penduduk dan Paspor
dalam Pemilu, Putusan Nomor 110-111-112-
113/PUU-VII/2009 tentang perhitungan tahap
kedua untuk penetapan perolehan kursi DPR,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota bagi
partai politik peserta pemilu, Putusan Nomor
11/PUU-VIII/2010 ihwal proses pemilihan anggota
Panitia Pengawas Pemilu Provinsi dan
Kabupaten/Kota serta Putusan Nomor 34/PUU-
X/2012 mengenai batas usia pensiun jenjang
75
Syukri, Meyrinda, dan Mohammad, Model dan Implementasi Putusan
Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang, hlm. 14.
76
Abdul Latif, dkk. Buku Ajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,
(Yogyakarta: Total Media, 2009), hlm.xi.
77
Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Reformasi, (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm. 609.
jabatan fungsional kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi sebagai beberapa contoh model putusan
terkait.
viii. Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi
yang Langsung Dapat Dieksekusi (Self
Implementing)
Konsekuensi dari suatu amar putusan yang
menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian undang-undang yang diuji tidak
lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Sehingga ketentuan norma yang dimaksud pada
dasarnya dinyatakan batal (null and void) dan tidak
berlaku lagi. Implikasinya antara lain mencakup
potensi kekosongan hukum (legal vacuum),
kekacauan hukum (legal disorder), bahkan politik
beli waktu (buying time) bagi pembentuk undang-
undang.78 Sehingga muncullah persoalan mengenai
implementasi eksekusi putusan Mahkamah
Konstitusi yang bersifat final dan mengikat. Apabila
suatu putusan dapat dilaksanakan tanpa harus
membuat peraturan baru atau perubahan yang
signifikan, maka putusan tersebut dapat
diklasifikasikan sebagai self-executing. Ini dapat
terjadi karena pembatalan norma terkait tidak
mengganggu sistem norma yang ada. Ini berarti
bahwa tidak menimbulkan suatu kekosongan
hukum yang perlu ditindaklanjuti oleh lembaga
lain dan dapat secara langsung berlaku79. Contoh
dari putusan yang dapat diimplementasikan tanpa
78
Topane Gayus Lumbuun, “Tindak Lanjut Putusan Mahkamah
Konstitusi oleh DPR RI,” Jurnal Legislasi Vol. 6 No. 3 September 2009: 498.
79
memerlukan tindak lanjut adalah Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003
yang mengembalikan hak pilih mantan anggota PKI
dengan membatalkan ketentuan Pasal 60 huruf g
UU Nomor 12 Tahun 2003.
Putusan yang bersifat self-implementing juga
dapat dilihat dari model putusan yang
merumuskan norma baru seperti halnya dalam
Putusan Nomor 072-073/PUU-II/2004 mengenai
pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah terhadap UUD 1945
yang menentukan bahwa Pasal 57 ayat (1) UU
Nomor 32 tahun 2004 berubah dari “Pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah
diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggung
jawab kepada DPR” menjadi “Pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan
oleh KPUD.”
ix. Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi
yang Tidak Langsung Dapat Dieksekusi (Non-Self
Implementing)
Berkebalikan dengan putusan-putusan
Mahkamah Konstitusi yang bersifat self-executing,
putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak
langsung dapat dieksekusi (Non-self implementing)
memerlukan tindak lanjut dalam bentuk
perubahan undang-undang maupun pembentukan
undang-undang baru terlebih dahulu. Ini
disebabkan karena putusan tersebut
mempengaruhi norma-norma lain sehingga jika
mau operasional diperlukan revisi terhadap sistem
norma yang mengelilinginya.
Di dalam putusan Nomor 102/PUU-
VII/2009, Mahkamah Konstitusi memutuskan
bahwa ketentuan Pasal 28 dan Pasal 111 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
konstitusional bersyarat sepanjang tidak
menghilangkan hak pilih warga negara yang tidak
terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) dalam
pemilihan umum presiden dan wakil presiden.
Putusan tersebut juga menetapkan serangkaian
persyaratan yang harus dipenuhi warga negara
yang tidak terdaftar dalam DPT apabila akan
menggunakan hak pilihnya. Putusan tersebut
bersifat non-self executing karena membutuhkan
tindak lanjut dari Komisi Pemilihan Umum berupa
peraturan KPU yang mengatur mengenai teknis
pelaksanaan penggunaan hak pilih tersebut.
Putusan Mahkamah Konstitusi lain yang bersifat
non-self executing yang masih dalam konteks
pemilihan umum dapat dilihat antara lain dari
Putusan Nomor 110-111-112-113/PUU-VII-2009
tentang Penetapan Kursi Tahap II dalam Pemilu
Legislatif Tahun 2009 dan Putusan Nomor
10/PUU-VI/2008 tentang Syarat Domisili (Pasal 12
huruf c) dan Non-Parpol bagi Calon DPD (Pasal 67)
terkait ketentuan syarat pencalonan anggota DPD.
c. Putusan untuk Perkara Sengketa Kewenangan
Konstitusional Lembaga negara
Jenis amar putusan yang dapat dikeluarkan dalam
hal perkara sengketa kewenangan lembaga negara yang
diatur dalam UUD 1945 diatur dalam Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 dan dapat
berbunyi antara permohonan tidak dapat diterima,
dikabulkan atau ditolak. Tidak berbeda dengan
pengaturan mengenai putusan bagi perkara pengujian
undang-undang, permohonan tidak dapat diterima atau
niet ontvankelijk verklaard diberikan apabila pemohon
dan/atau permohonannya tidak memenuhi persyaratan
yang diberikan oleh Pasal 2 ayat (1) dan (2) 80 serta Pasal 5
ayat (1)81 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
08/PMK/2006. Jika Mahkamah berpandangan bahwa
parameter mengenai kewenangan maupun legal standing
dari pemohon tidak terpenuhi, maka permohonan “tidak
dapat diterima.” Apabila permohonan beralasan, maka
putusan yang diberikan adalah permohonan dikabulkan.
Namun apabila tidak, maka permohonan akan ditolak
oleh Mahkamah Konstitusi. Pengabulan permohonan
dalam perkara SKLN menyangkut kewenangan pemohon
untuk melaksanakan kewenangan yang
dipersengketakan dan/atau termohon tidak mempunyai
kewenangan untuk melaksanakan kewenangan terkait. 82
Amar putusan dari perkara SKLN bersifat declaratoir
dan/atau constitutief yang berarti bahwa putusan

80
Pasal 2 : (1) Lembaga negara yang dapat menjadi pemohon dalam
perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah: a. Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR); b. Dewan Perwakilan Daerah (DPD); c. Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR); d. Presiden; e. Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK); f. Pemerintahan Daerah (Pemda); atau g. Lembaga negara lain yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. (2) Kewenangan yang
dipersengketakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kewenangan
yang diberikan atau ditentukan oleh UUD 1945.
81
Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006
menyatakan : Permohonan harus ditulis dalam bahasa Indonesia, dan materi
permohonan harus memuat beberapa hal sebagai berikut : a. Identitas lembaga
negara yang menjadi pemohon, seperti nama lembaga negara, nama ketua
lembaga, dan alamat lengkap lembaga negara; b. Nama dan alamat lembaga
negara yang menjadi termohon; c. Uraian yang jelas tentang: 1. kewenangan
yang dipersengketakan; 2. kepentingan langsung pemohon atas kewenangan
tersebut; 3. hal-hal yang diminta untuk diputuskan.
82
Indonesia, Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi
tentang Pedoman Beracara dalam Sengekea Kewenangan Konstitusional
Lembaga Negara, Peraturan MK Nomor 08/PMK/2006, Ps. 27
tersebut mampu menciptakan maupun meniadakan
suatu keadaan hukum.83

Tabel 2
Rekapitulasi Perkara Sengketa Kewenangan Konstitusional
Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Tahun 2010 s.d. 201584

d. Putusan untuk Pembubaran Partai Politik


Menurut Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
12 Tahun 2008, amar putusan mengenai perkara
pembubaran politik memiliki tiga kemungkinan: tidak
dapat diterima (apabila tidak memenuhi syarat dalam
pasal 3 dan 4); dikabulkan apabila permohonan dinilai
beralasan; atau ditolak apabila permohonan tidak
beralasan. Penilaian tersebut dilakukan atas kesesuaian
ideologi, asas, tujuan, program atau kegiatan partai
politik dengan UUD 1945.
Meskipun belum ada preseden kasus terdahulu
dalam hal pembubaran partai politik yang telah
dimohonkan kepada Mahkamah Konstitusi, aspek dari
implikasi hukum putusan pengabulan pembubaran

83
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 204
84
Mahkamah Konstitusi, “Rekapitulasi Perkara Sengketa Kewenangan
Lembaga Negara.” http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?
page=web.RekapSKLN&menu=5, Diakses pada 29 Januari, 2018
partai politik butuh ditelusuri lebih lanjut. 85 Pasal 10 ayat
(1) dari peraturan Mahkamah Konstitusi yang sama
menentukan bahwa dalam hal suatu permohonan
dikabulkan, konsekuensi dari putusan tersebut sebatas
pada pembubaran dan pembatalan status badan hukum
partai politik yang dimohonkan dan perintah kepada
Pemerintah untuk menghapuskan partai politik tersebut
dari daftar pada Pemerintah serta mengumumkan
putusan Mahkamah dalam Berita Negara Republik
Indonesia. Dibubarkannya suatu partai politik tentunya
meninggalkan berbagai hak dan kewajiban yang harus
ditangani terkait dengan kepemilikan harta benda
maupun hubungan anggota partai politik terkait yang
menduduki jabatan-jabatan publik. Patut dipertanyakan
pula apakah karena adanya suatu pelanggaran
konstitusional yang telah dilakukan oleh partai politik
terkait, maka anggota-anggotanya dapat dijatuhkan
sanksi.
e. Putusan untuk Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Bunyi putusan bagi perkara perselisihan hasil
pemilu dapat berbunyi sebagai permohonan tidak dapat
diterima apabila pemohon/permohonan tidak memenuhi
syarat, permohonan dikabulkan apabila terbukti
beralasan (sehingga Mahkamah akan membatalkan (void
in initio) hasil penghitungan suara Komisi Pemilihan
Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang
benar, atau permohonan ditolak apabila permohonan
terbukti tidak beralasan.86 Patut dicatat bahwa putusan
85
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi, hlm. 210
86
Indonesia, Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi
tentang askjdhfas, PMK Nomor 15 Tahun 2008, Ps. 13
Indonesia, Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi
tentang asdkjfh, PMK Nomor 16 Tahun 2009, Ps. 15
Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat,
sehingga dalam perkara perselisihan hasil pemilihan
umum pun tidak dikenal upaya lain untuk membatalkan
putusan MK.

Tabel 3
Rekapitulasi Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Gubernur, Bupati,
Walikota) di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Tahun
2012 s.d. 201787

Tabel 4
Rekapitulasi Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2009
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia88

Tabel 5

Indonesia, Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi


tentang askdhf, PMK Nomor 17 Tahun 2009, Ps. 16
87
Mahkamah Konstitusi, “Rekapitulasi Perkara Sengketa Kewenangan
Lembaga Negara.” http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?
page=web.RekapSKLN&menu=5, Diakses pada 29 Januari, 2018.
88
Mahkamah Konstitusi, “Rekapitulasi Perkara Sengketa Kewenangan
Lembaga Negara.” http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?
page=web.RekapSKLN&menu=5, Diakses pada 29 Januari, 2018.
Rekapitulasi Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2014
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia89

Perkembangan yang telah timbul adalah mengenai


pemungutan suara ulang dan penghitungan suara ulang.
Putusan jenis tersebut pertama kali dibuat dalam
konteks perkara pemilihan umum kepala daerah Jawa
Timur dengan Putusan Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 yang
memerintahkan Termohon (KPU Provinsi Jawa Timur)
untuk melakukan pemungutan suara ulang di Kabupaten
Bangkalan dan Sampang dalam waktu enam puluh haru
sejak putusan diucapkan dalam persidangan serta
melakukan penghitungan suara ulang di Kabupaten
Pamengkasan dalam waktu tiga puluh hari sejak putusan
diucapkan. Munculnya jenis putusan seperti ini dalam
perkara perselisihan hasil pemilihan umum didorong oleh
pertimbangan bahwa:
“Mahkamah tidak dapat dipasung hanya oleh
ketentuan undang-undang yang ditafsirkan secara
sempit, yakni bahwa Mahkamah hanya boleh
menilai hasil Pemilukada dan melakukan
penghitungan suara ulang dari berita acara atau
rekapitulasi yang dibuat secara resmi oleh KPU
Provinsi Jawa Timur, sebab kalai hanya
berpedoman pada hasil penghitungan suara formal

89
Mahkamah Konstitusi, “Rekapitulasi Perkara Sengketa Kewenangan
Lembaga Negara.” http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?
page=web.RekapSKLN&menu=5, Diakses pada 29 Januari, 2018.
yang dibuat oleh Termohon tidak mewujudkan
kebenaran materiil sehingga akan sulit ditemukan
keadilan.”
Terkait dengan pemilihan umum, Mahkamah
Konstitusi seringkali tidak membatasi dirinya dengan
penafsiran undang-undang secara sempit dan lebih
mengusung konsep keadilan substantif serta
perlindungan konstitusionalitas. Kerangka berpikir
seperti itu didasarkan atas pemahaman bahwa
penyelenggaraan asas-asas pemilihan umum termasuk
nilai-nilai konstitusionalitas, dan saat Mahkamah
Konstitusi dihadapkan dengan suatu perselisihan
mengenai pemilihan umum, maka yang harus diikuti
adalah perkembangan dari nilai-nilai yang dikedepankan
tersebut. Teori yang mendukung pemahaman tersebut
dikenal dengan the living constitution.90
f. Putusan untuk Impeachment
Putusan bagi perkara pendapat DPR mengenai
dugaan pelanggaran hukum atau kondisi Presiden
dan/atau Wakil Presiden tidak memenuhi syarat memiliki
tiga kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah apabila
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan
dan/atau Pemohon tidak memenuhi syarat sehingga
permohonan tersebut tidak dapat diterima. Kedua,
apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan
pelanggaran hukum atau terbukti tidak lagi memenuhi
syarat sebagaimana pendapat DPR, amar putusan
Mahkamah Konstitusi adalah menyatakan membenarkan
pendapat DPR. Ketiga, apabila Mahkamah Konstitusi

90
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi, hlm. 247
memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum atau tidak
terbukti tidak lagi memenuhi syarat seperti pendapat
yang diajukan DPR, amar putusan Mahkamah Konstitusi
menyatakan permohonan ditolak.91
Putusan tersebut bersifat final dan mengikat bagi
DPR, sehingga DPR hanya dapat mengajukan usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden apabila
dibenarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Patut dicatat
bahwa putusan yang membenarkan pendapat DPR tidak
berarti bahwa ada pemberian sanksi pidana oleh karena
peradilan yang dilaksanakan terjadi dalam lingkup tata
negara, namun masih dimungkinkan untuk mengajukan
Presiden dan/atau Wakil Presiden yang telah melakukan
suatu pelanggaran hukum dalam persidangan pidana,
perdata, dan/atau tata usaha negara.92

6. Independensi dan Imparsialitas Hakim dan Kekuasaan


Kehakiman

Dalam kerangka memeriksa dan mengadili suatu perkara


secara objektif serta memutus dengan adil, hakim dan lembaga
peradilan harus independen dan imparsial. Tidak dapat
diintervensi oleh lembaga dan kepentingan apapun, serta tidak
memihak kepada salah satu pihak yang berperkara. Hal ini
berlaku untuk semua peradilan yang dirumuskan dalam
konstitusi, tepatnya Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 sebagai
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan.

91
Indonesia, UU Nomor 23 Tahun 2004, Ps. 83
92
Indonesia, Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi
tentang askdhf, PMK Nomor 21 Tahun 2009, Ps. 20
Independensi dan imparsialitas tersebut memiliki tiga
dimensi, yaitu dimensi fungsional, struktural atau kelembagaan,
dan personal. Dimensi fungsional mengandung pengertian
larangan terhadap lembaga negara lain dan semua pihak untuk
mempengaruhi atau melakukan intervensi dalam proses
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. Dimensi
fungsional itu harus didukung dengan independensi dan
imparsialitas dari dimensi struktural dan personal hakim. Dari sisi
struktural, kelembagaan peradilan juga harus bersifat independen
dan imparsial sepanjang diperlukan agar dalam menjalankan
peradilan tidak dapat dipengaruhi atau diintervensi serta tidak
memihak. Sedangkan dari sisi personal, hakim memiliki
kebebasan atas dasar kemampuan yang dimiliki (expertise),
pertanggungjawaban, dan ketaatan kepada kode etik dan pedoman
perilaku.

a. Independensi dan Imparsialitas Hakim

Hakim harus bersifat independen (bebas) serta


imparsial (tidak memihak). Independensi adalah kebebasan,
kemandirian berpikir dan merasa seorang hakim terhadap
subyek dan obyek perkara beserta elemen-elemen lain di
luar dirinya sehingga dapat memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara berdasar hukum, fakta, dan nurani yang
bersih.

Penerapan dari prinsip independensi tersebut adalah


sebagai berikut:

1) Hakim harus menjalankan fungsi yudisialnya secara


independen atas dasar penilaian terhadap fakta-fakta,
menolak pengaruh dari luar berupa bujukan, iming-
iming, tekanan, ancaman atau campur tangan, baik
langsung maupun tidak langsung, dari siapa pun atau
dengan alasan apapun, sesuai dengan penguasaannya
yang seksama atas hukum;

2) Hakim harus bersikap independen dari tekanan


masyarakat, media massa, dan para pihak dalam suatu
sengketa yang harus diadilinya;

3) Hakim harus menjaga independensi dari pengaruh


lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan lembaga-
lembaga negara lainnya;

4) Dalam melaksanakan tugas peradilan, hakim harus


independen dari pengaruh rekan sejawat dalam
pengambilan keputusan;

5) Hakim harus mendorong, menegakkan, dan


meningkatkan jaminan independensi dalam pelaksanaan
tugas peradilan baik secara perorangan maupun
kelembagaan; dan

6) Hakim harus menjaga dan menunjukkan citra


independen serta memajukan standar perilaku yang
tinggi guna memperkuat kepercayaan masyarakat
terhadap peradilan.93

Adapun imparsialitas adalah ketidakberpihakan,


kenetralan, serta sikap tanpa bias dan prasangka dalam
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Ini ditujukan
untuk mencegah konflik kepentingan, keberpihakan, serta
menjaga kehormatan dan kewibawaan pengadilan. 94

Pelaksanaan prinsip ketidakberpihakan atau imparsial


tersebut adalah sebagai berikut:

93
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, http://lab-
hukum.umm.ac.id/files/file/Buku%20Hukum%20Acara%20MK.pdf, hal. 21,
diakses 28 Januari 2017
94
“Independensi dan Imparsialitas Hakim”, http://dkk.lan.go.id/wp-
content/uploads/2017/09/PN-012_Independensi-dan-Imparsialitas-Hakim.pdf,
diakses 28 Januari 2017
1) Hakim harus melaksanakan tugas peradilan tanpa
prasangka (prejudice), melenceng (bias), dan tidak
condong pada salah satu pihak;

2) Hakim harus menampilkan perilaku, baik di dalam


maupun di luar pengadilan, untuk tetap menjaga dan
meningkatkan kepercayaan masyarakat, profesi hukum,
dan para pihak yang berperkara terhadap
ketidakberpihakan hakim dan peradilan;

3) Hakim harus berusaha untuk meminimalisir hal-hal yang


dapat mengakibatkan hakim tidak memenuhi syarat
untuk memeriksa perkara dan mengambil keputusan
atas suatu perkara;

4) Hakim dilarang memberikan komentar terbuka atas


perkara yang akan, sedang diperiksa, atau sudah
diputus, baik oleh hakim yang bersangkutan atau hakim
lain, kecuali dalam hal-hal tertentu dan hanya
dimaksudkan untuk memperjelas putusan; dan

5) Hakim–kecuali mengakibatkan tidak terpenuhinya


korum–harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu
perkara apabila hakim tersebut tidak dapat atau
dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak karena
alasan-alasan di bawah ini:

a. Hakim tersebut nyata-nyata mempunyai prasangka


terhadap salah satu pihak; dan/atau

b. Hakim tersebut atau anggota keluarganya


mempunyai kepentingan langsung terhadap
putusan.95

b. Independensi dan Imparsialitas Kekuasaan


Kehakiman

95
Op.Cit., hal. 22, diakses 28 Januari 2017
Elokuensi pemikiran terkait independensi dan
imparsialitas dituangkan Shimon Shetreet dalam bukunya
Judicial Independence: New Conceptual Dimensions and
Contemporary Challenges yang mendistingsikan setidaknya
tiga macam independensi kekuasaan kehakiman yang
dilekatkan sesuai dikotomi badan peradilan dan hukum,
yaitu: independensi kolektif, independensi personal, dan
independensi internal. Berikut adalah elaborasi dari ketiga
macam independensi tersebut:

1) Independensi kolektif, yaitu kemandirian yang diberikan


kepada kekuasaan kehakiman sebagai lembaga secara
kolektif dalam hubungannya dengan cabang-cabang
kekuasaan lainnya. Kemandirian kolektif mensyaratkan
bahwa kemandirian kekuasaan kehakiman harus dijamin
oleh negara, direfleksikan dalam konstitusi dan hukum
negara, dan wajib dihormati oleh pemerintah dan
lembaga negara lainnya. Aspek-aspek independensi
kolektif meliputi:

a. jaminan konstitusi terhadap keberadaan dan


jalannya lembaga peradilan;

b. pembagian wewenang yang jelas dan tegas diantara


pilar kekuasaan dalam Konstitusi;

c. hubungan dan kemandirian lembaga peradilan


dengan pilar kekuasaan dan/atau lembaga negara
lainnya; dan

d. peraturan perundangan-undangan yang


menjamin/melindungi lembaga peradilan dan
hakim (larangan membuat aturan/kebijakan yang
merugikan hakim). Dalam konteks Indonesia,
independensi kolektif terdapat dalam Pasal 3 ayat
(2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang berbunyi:

“Badan peradilan adalah lembaga yang mandiri


dan harus terbebas dari intervensi pihak lain di
luar kekuasaan kehakiman.”

2) Independensi personal, yaitu kemandirian kekuasaan


kehakiman yang diberikan kepada hakim terkait dengan
jabatannya. Independensi personal terbagi dua, yaitu:
a. independensi substantif, yaitu kemandirian yang
diberikan kepada hakim dalam kaitannya dengan
pelaksanaan fungsi memeriksa dan memutus
perkara serta menjalankan tugas resmi lainnya;
dan
b. independensi personal hakim, yaitu kemandirian
yang diberikan kepada hakim selama yang
bersangkutan menjabat sebagai hakim.

Aspek-aspek independensi substantif meliputi:


(1) kebebasan dalam memutus; (2) kebebasan dari
partai politik; (3) kenetralan; (4) menghindari konflik
kepentingan; dan (5) jaminan kerahasiaan. Sedangkan
aspek-aspek independensi personal hakim meliputi:
(a) pengangkatan hakim; (b) masa jabatan hakim; (c)
penempatan hakim; (d) karier hakim; (e)
pemberhentian hakim; (f) kesejahteraan hakim; dan (g)
keamanan hakim. Dalam konteks Indonesia,
independensi personal terdapat dalam Pasal 3 ayat (1)
UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang berbunyi:
“Dalam menjalankan tugas dan fungsinya,
hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga
kemandirian peradilan.”

3) Independensi internal, yaitu kemandirian kekuasaan


kehakiman yang diberikan kepada hakim dalam
berhubungan dengan kolega dan atasannya ketika
melaksanakan tugas yudisialnya. Aspek-aspek
independensi internal meliputi independensi dari kolega
dan atasan dalam memeriksa dan memutus perkara,
serta prosedur/manajemen administrasi perkara dan
kebebasan dalam memutus.

Harold Jr. senada dengan Simon menegaskan hal


tersebut dengan mendikotomikan dua perspektif dalam
memandang independensi yudisial. Pertama, perspektif
pemisahan kekuasaan dalam bentuk kemerdekaan
kelembagaan (institutional independence) kekuasaan
kehakiman dari cabang pemerintahan lainnya. Kedua,
perspektif demokrasi berupa kemerdekaan dalam membuat
putusan (decisional independence). Harold menekankan
kewajiban khusus dari peradilan terhadap negara hukum.
Peradilan bukan hanya salah satu cabang pemerintahan
dalam kekuasaan kehakiman, tetapi melaksanakan fungsi
untuk menjamin terwujudnya negara hukum. Di dalamnya
terdapat perlindungan atas kemerdekaan hakim dalam
memutus dari pengaruh berbagai kepentingan.96

Seyogyanya the principles of independence and


impartiality of the judiciary secara universal diamantkan
harus dijamin oleh setiap negara demokrasi konstitusional

96
Harold Freend See, Jr, Authority Control
(constitutional democracy)97. Dalam The International Bar
Association Code of Minimum Standards of Judicial
Independence 1982,98 dikemukakan makna kemerdekaan
yudisial meliputi kemerdekaan personal, kemerdekaan
substantif, kemerdekaan internal, dan kemerdekaan
kolektif. Kemerdekaan kehakiman tersebut keseluruhannya
mengandung nilai-nilai dasar fairness, impartiality, dan good
faith.99

c. Judicialization of Politics dan Politicization of the


Judiciary
Lingkup tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi
tidak teralienasikan dari unsur yang bersifat politis. Judicial
review terhadap undang-undang sebagai produk politik atau
dibuat lembaga politik, memutus sengketa wewenang antar
lembaga negara, memutus sengketa hasil pemilihan umum
dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan hasil
pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah,
sejatinya berada dalam teritori politik. 100 Membentuk
Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana kekuasaan
kehakiman untuk menyelesaikan sengketa-sengketa di atas,
mengandung makna menyerahkan penyelesaian sengketa
politik kepada kekuasaan kehakiman, dan tidak oleh badan
politik atau cara-cara politik. Hal ini dimaknai sebagai
“judicialization of politics”. Keputusan membentuk
Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Pasal 24C UUD

97
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
73/PUU-XIV/2016,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/
73_PUU-XIV_2016.pdf, diakses 28 Januari 2017
98
IBA Minimum Standards of Judicial Independence
99
Steven Lubert, Fugitive Justice: Runaways, Rescuers, and Slavery on
Trial, (Belknap Press of Harvard University Press, 2010), hal. 121-122.
100
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan No. 73/PUU-
XIV/2016, hlm. 28. (Keterangan Prof. Dr. Bagir Manan).
1945 tidak lain harus dimaknai sebagai judicialization of
politics atau yudisialisasi sengketa politik. Setidaknya ada
dua konsekuensi ketentuan Pasal 24C UUD 1945 tersebut,
yaitu:

1) Kewajiban menghindari atau membatasi politicization of


the judiciary Mahkamah Konstitusi. Sekalipun pemilihan
Hakim Konstitusi melalui proses politik (karena
dilakukan DPR), namun pengaruh politik tersebut dapat
dihindari dengan cara memberikan masa jabatan yang
panjang sehingga para Hakim Konstitusi tidak harus
selalu bersiap menghadapi "pertanggungjawaban" dari
DPR sebagai badan politik. Selain itu, masa jabatan yang
cukup panjang akan memberi kesempatan pada Hakim
Konstitusi mengembangkan prinsip-prinsip, ajaran-
ajaran, dan putusan-putusan yang bukan saja
mencerminkan asas dan kaidah yang diatur dalam UUD
1945, tetapi memantapkan ajaran-ajaran dan prinsip-
prinsip konstitusionalisme pada umumnya.
2) Kedua, walaupun Mahkamah Konstitusi menyelesaikan
sengketa yang bersifat atau dalam wilayah politik,
Mahkamah Konstitusi harus senantiasa menjaga agar
tetap berada di wilayah kekuasaan kehakiman, sebagai
penegak hukum atau arbiter yang semata-mata memutus
menurut hukum. Mahkamah Konstitusi harus
menghindari persoalan-persoalan yang semata-mata
sebagai political question.

B. Kajian terhadap Asas/Prinsip yang Terkait dengan


Penyusunan Norma

1. Ius Curia Novit


Ius curia novit atau iura novit curia adalah pepatah Latin
yang menyatakan hakim dianggap tahu hukum atau the court
knows the law. Para pihak dalam suatu sengketa hukum tidak
perlu mendalilkan atau membuktikan hukum yang berlaku untuk
kasus mereka karena hakim dianggap tahu hukum. 101 Asas ius
curia novit adalah asas bahwa pengadilan tidak boleh menolak
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas.
Sebaliknya, hakim harus tetap memeriksa dan mengadili perkara
tersebut meskipun hukumnya tidak ada ataupun hukumnya
kurang jelas.
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa:
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya.”
Ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman tersebut
dikenal dengan asas larangan menolak suatu perkara
(rechtweigering). Oleh karena itu, apabila sekiranya hakim tidak
menemukan hukumnya dalam hukum tertulis, hakim wajib
mencari hukumnya di luar hukum tertulis. Kewajiban hakim ini
ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman:
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat.”
Prinsip ius curia novit membebankan hakim untuk
menentukan hukum yang berlaku terhadap kasus tertentu. Dalam
menyelesaikan suatu perkara, pada dasarnya terdapat dua hal
yang sangat penting bagi hakim, yakni peristiwa yang
101
Miftakhul Huda, Ius Curia Novit, diakses dari
http://www.miftakhulhuda.com/2011/02/ius-curia-novit.html pada tanggal 8
Februari 2018.
disengketakan dan hukum yang berkaitan dengan suatu sengketa
tersebut. Mengenai hal tersebut, telah dikemukakan bahwa, “hij
weet, dat hij twee dingen noodig heft: de kennis der feiten en van
den regel; een toepassing van den regel op de feiten geeft het
antwoord.”102 Oleh karena itu, yang harus dikemukakan oleh para
pihak dalam proses berperkara adalah peristiwanya dan bukan
hukumnya. Alasannya adalah karena hakim secara ex officio
dianggap harus mengetahui dan menerapkan hukum. Pengadilan
memiliki kewajiban hukum ex officio, yakni memberikan
pertimbangan terhadap argumen hukum yang diajukan oleh para
pihak.
Selain itu, hakim dan pihak pengadilan dapat menetapkan
teori hukum yang berlaku meskipun suatu teori tersebut belum
didalilkan oleh para pihak yang berperkara. Dalam hal kurang
pengetahuan atau luput dari ketelitian para pihak untuk
mendalilkan, para pihak dibebaskan dari kewajiban untuk
menentukan hukum apa yang digunakan untuk kasus yang
diajukan. Prinsip ini juga diungkapkan dalam pepatah da mihi
factum, dabo tibi ius. Artinya, berikan saya fakta-fakta dan aku
akan memberimu hukum. Pepatah tersebut juga mengandung arti
bahwa para pihak tidak dapat membatasi The Court’s Legal
Cognition, yakni wewenang untuk menentukan hukum yang
berlaku.
Asas ini berlaku dalam peradilan MK yang menjadi
wewenang MK sepanjang masih dalam batas wewenang MK yang
telah diberikan secara limitatif oleh UUD 1945, yaitu pengujian
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, sengketa
kewenangan konstitusional lembaga negara, pembubaran partai
politik, perselisihan hasil Pemilu, serta pendapat DPR tentang
pelanggaran hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sepanjang

102
Paul Scholten, Handleiding Tot De Beofening van Het Nederlandsch
Burgerlijk Recht Algemeen Deel, 1934, hlm.1.
suatu perkara diajukan dalam bingkai salah satu wewenang
tersebut, MK harus menerima, memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara tersebut dengan mempertimbangkan asas ius
curia novit.

2. Persidangan Terbuka Untuk Umum


Asas bahwa persidangan pengadilan dilakukan secara
terbuka untuk umum merupakan asas yang berlaku untuk semua
jenis pengadilan, kecuali dalam hal tertentu yang ditentukan lain
oleh undang-undang. Hal ini tertuang di dalam Pasal 13 UU
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta juga
ditegaskan dalam Pasal 40 ayat (1) UU MK, bahwa sidang MK
terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim. 103
Persidangan terbuka untuk umum dimaksudkan agar proses
persidangan dapat diikuti oleh publik sehingga hakim dalam
memutus perkara akan obyektif berdasarkan alat bukti dan
argumentasi yang dikemukakan di dalam persidangan. Melalui
persidangan yang terbuka untuk umum, publik juga dapat menilai
dan pada akhirnya menerima putusan hakim.104
Namun demikian, dalam hal tertentu dapat diputuskan oleh
hakim konstitusi bahwa persidangan dilakukan secara tertutup.
Hal itu misalnya terjadi pada saat sidang pemeriksaan alat bukti
dalam perkara pengujian Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1992
tentang Perfilman, khususnya tentang sensor film. Dalam
pemeriksaan perkara Nomor 29/PUU-V/2007 pernah dilakukan
pemeriksaan persidangan secara tertutup untuk melihat alat bukti
berupa potongan-potongan adegan film yang disensor. Sidang
dilakukan secara tertutup karena alasan kesusilaan. 105
103
Indonesia, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun
2003, LN No. 98 Tahun 2003, TLN No. 4316, Ps. 40 ayat (1).
104
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, (Jakarta:
Kementerian Hukum dan HAM, 2016), hlm. 27.
105
Ibid.
Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dilakukan secara
tertutup karena dalam rapat tersebut hakim konstitusi
menyampaikan pendapat untuk pengambilan putusan suatu
perkara. Di dalam rapat tersebut terjadi perdebatan antar hakim
konstitusi yang dapat berlangsung dalam tensi yang tinggi. RPH
dilakukan secara tertutup untuk menjaga kerahasiaan putusan
hakim sampai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka. Jika
RPH tidak dilakukan secara tertutup akan membuka peluang
pihak-pihak tertentu untuk memperjualbelikan informasi
kecenderungan putusan atau putusan itu sendiri karena terdapat
rentang waktu antara pengambilan putusan dan pengucapan
putusan. Untuk menjaga kerahasiaan putusan, RPH hanya diikuti
oleh para hakim konstitusi, panitera, panitera pengganti, dan
beberapa petugas persidangan yang telah disumpah untuk tidak
membocorkan apapun yang terjadi dan diputuskan dalam RPH. 106

3. Peradilan Dilaksanakan Secara Cepat, Sederhana, dan Tanpa


Biaya
Sebagai suatu asas, prinsip peradilan cepat, sederhana dan
biaya ringan berlaku agar peradilan dan keadilan dapat diakses
oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa pandang kemampuan
ekonomi. Penerapan prinsip ini adalah upaya untuk merealisasi
salah satu unsur negara hukum yaitu equality before the law.
Pengadilan yang dalam praktiknya berbelit-belit dan
membutuhkan biaya mahal hanya bisa dijangkau oleh sekelompok
orang-orang tertentu, sehingga keadilan seakan-akan menjadi
komoditas mewah bagi segelintir orang.
Pada tataran norma, prinsip peradilan cepat, sederhana dan
biaya ringan terkandung dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang

106
Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, 2010), hlm. 19.
Kekuasaan Kehakiman.107 “Sederhana” berarti bahwa setiap tahap
penanganan perkara dilakukan secara efisien dan efektif; “biaya
ringan” berimplikasi bahwa biaya perkara harus dapat dijangkau
oleh masyarakat. Pelaksanaan peradilan dengan sederhana, cepat,
dan biaya ringan bukan berarti bahwa dalam proses peradilan
Mahkamah Konstitusi ada celah untuk ketidaktelitian dalam
mencari kebenaran dan keadilan.108
Meskipun awalnya dalam proses penyusunan Undang-
Undang Mahkamah Konstitusi terdapat ketentuan biaya perkara,
dalam perkembangannya, ketentuan tersebut dihilangkan
sehingga dapat dicapai suatu kesimpulan bahwa pembuat
undang-undang memang menghapuskan biaya perkara dalam
peradilan Mahkamah Konstitusi.109 Karena Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi tidak mengatur mengenai biaya perkara,
maka biaya penanganan perkara dibebankan sepenuhnya pada
anggaran negara, berbeda dengan penanganan perkara pada
peradilan di bawah Mahkamah Agung. Contohnya, dalam
penyelesaian perkara perdata dan tata usaha negara, biaya
kepaniteraan dan biaya proses penyelesaian perkara dibebankan
kepada pihak-pihak yang berperkara. Hal tersebut diterapkan atas
pertimbangan bahwa perkara-perkara yang diajukan ke
Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan permasalahan
konstitusional yang mempunyai kaitan lebih erat dengan
kepentingan umum.
Peradilan yang sederhana menuntut adanya proses yang
mudah dimengerti agar para pihak dapat mengutarakan
permasalahan dan kehendaknya tanpa harus melewati tahapan-
tahapan yang berbelit-belit. Implementasi dari penerapan prinsip
107
Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor
48 Tahun 2009, LN Nomor 157, TLN Nomor 5076, Ps. 2 ayat (4).
108
Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, Penjelasan
Ps. 2 ayat (4)
109
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2005), hal. 403
ini juga dapat dilihat dari penggabungan perkara yang memiliki
substansi yang sama, khususnya untuk perkara pengujian
undang-undang. Perilaku tersebut membuat proses lebih
sederhana karena dilakukan sekaligus dalam satu persidangan
dan diputus dalam satu putusan.110 Penggabungan perkara juga
meminimalisir kemungkinan putusan-putusan yang bertentangan
mengenai satu permasalahan yang sama.111
Dalam hal kecepatan, perkara-perkara yang diajukan ke
Mahkamah Konstitusi seperti perkara sengketa kewenangan
lembaga negara yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
permohonan pembubaran partai politik, perkara perselisihan hasil
pemilu, dan kewajiban untuk memutus pendapat DPR mengenai
dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden,
memiliki jangka waktu yang menjamin bahwa suatu putusan akan
tercapai dalam kurun waktu tertentu. Ini selaras dengan adagium
“justice delayed is justice denied” dan implikasi yang serius apabila
perkara-perkara yang disebutkan di atas berlarut-larut dalam
penyelesaiannya sehingga menyebabkan kerugian konstitusional
bagi masyarakat. Meskipun begitu, masih ada permasalahan
mengenai jangka waktu dalam penanganan perkara pengujian
undang-undang yang tidak memiliki standar khusus sehingga
sulit untuk menakar kepastiannya.

4. Hak Untuk Didengar Secara Berimbang (Audi Et Alteram


Partem)
Pada tiap pengadilan, setiap pihak yang berkepentingan
memiliki hak untuk didengar secara seimbang. Pada umumnya,
110
“Penggabungan perkara dapat dilakukan berdasarkan usulan panel
hakim terhadap perkara yang (a) memiliki kesamaan pokok permohonan; (b)
memiliki keterkaitan materi permohonan; atau (c) pertimbangan atas
permintaan pemohon.” Indonesia, Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah
Konstitusi tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang,
PMK No. 6 Tahun 2005, Ps 11 ayat (6) .
111
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi, hlm. 21-22.
pihak-pihak yang berkepentingan saling berhadap-hadapan
contohnya, sebagai tergugat-penggugat. Ini berbeda dari peradilan
Mahkamah Konstitusi yang tidak selamanya harus menangani
pihak-pihak yang saling berhadapan (adversarial), contohnya
adalah untuk perkara pengujian undang-undang. Meskipun
secara sepintas tampahnya pembentuk undang-undang (dalam hal
ini pemerintah dan DPR) terlihat sebagai termohon, namun
kedudukannya dalam perkara pengujian undang-undang
hanyalah sebagai pihak yang berkepentingan.
Asas audi et alteram partem menegaskan bahwa dalam
peradilan Mahkamah Konstitusi, hak untuk didengar secara
seimbang tidak hanya berlaku bagi pihak-pihak yang saling
berhadapan seperti dalam perkara perselisihan pemilihan umum
di mana peserta pemilu berhadap-hadapan dengan Komisi
Pemilihan Umum. Hak tersebut juga dimiliki oleh semua pihak
terkait yang memiliki kepentingan. Contohnya adalah dalam
pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat, organisasi advokat dapat memberikan keterangan. Atau
contoh lain adalah apabila dalam perkara perselisihan hasil
pemilu, peserta-peserta Pemilu lain yang tidak ikut berperkara
namun dapat terpengaruhi oleh hasil putusan tersebut dapat saja
turut memberikan keterangan dalam proses persidangan. Hal
tersebut dapat dilakukan apabila pihak terkait mengajukan diri
atau atas prakarsa hakim, namun tampaknya hal tersebut masih
harus dijadikan norma dalam Undang-Undang tentang Mahkamah
Konstitusi.112

5. Hakim Aktif dan juga Pasif dalam Persidangan


Hakim pasif dalam arti tidak mencari-cari perkara. Hakim
tidak akan memeriksa, mengadili, dan memutus sesuatu sebelum
diajukan oleh pemohon ke pengadilan. Hal ini merupakan prinsip
112
Ibid., hlm. 22-23b.
universal lembaga peradilan. Pada saat suatu perkara telah
diajukan ke pengadilan, hakim dapat bertindak pasif atau aktif
bergantung dari jenis kepentingan yang diperkarakan. Dalam
perkara-perkara yang menyangkut kepentingan individual, hakim
cenderung pasif.
Sebaliknya, dalam perkara yang banyak menyangkut
kepentingan umum, hakim cenderung aktif. Hakim dapat
bertindak aktif dalam persidangan karena hakim dipandang
mengetahui hukum dari suatu perkara. Hal ini juga sesuai dengan
asas ius curia novit, yang juga dapat diterjemahkan bahwa hakim
mengetahui hukum dari suatu perkara. Oleh karena itu
pengadilan tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan
tidak ada hukumnya, dan hakim di pengadilan itu dapat aktif
dalam persidangan. Sesuai dengan sifat perkara konstitusi yang
selalu lebih banyak menyangkut kepentingan umum dan tegaknya
konstitusi, maka hakim konstitusi dalam persidangan selalu aktif
menggali keterangan dan data baik dari alat bukti, saksi, ahli,
maupun pihak terkait (pemeriksaan inquisitorial). Hakim tidak
hanya berpaku kepada alat bukti dan keterangan yang
disampaikan oleh Pemohon dan pihak terkait maupun dari
keterangan saksi dan ahli yang diajukan oleh pihak-pihak
tersebut. Hakim konstitusi untuk keperluan memeriksa suatu
perkara dapat memanggil saksi dan/atau ahli sendiri bahkan
memerintahkan suatu alat bukti diajukan ke MK.

6. Praduga Keabsahan (Praesumptio Iustae Causa)


Asas praduga keabsahan adalah bahwa tindakan penguasa
dianggap sah sesuai aturan hukum sampai ada pembatalannya.
Berdasarkan asas ini, semua tindakan penguasa baik berupa
produk hukum maupun tindakan konkret harus dianggap sah
sampai ada pembatalan. Sah dalam hal ini berarti sesuai dengan
asas dan ketentuan hukum baik dari sisi materi maupun prosedur
yang harus ditempuh. Untuk menyatakan tidak sah tindakan
tersebut dapat dilakukan oleh lembaga yang melakukan tindakan
itu sendiri maupun oleh lembaga lain yang diberi kewenangan
berdasarkan aturan hukum. Sebagai konsekuensi dari asas ini,
apabila ada upaya hukum untuk melakukan pengujian terhadap
tindakan dimaksud, maka tindakan itu tetap berlaku walaupun
sedang dalam proses pengujian. Perwujudan dari asas ini dalam
wewenang MK dapat dilihat pada kekuatan mengikat putusan MK
adalah sejak setelah dibacakan dalam sidang pengucapan
putusan. Sebelum adanya putusan MK, maka tindakan penguasa
yang dimohonkan tetap berlaku dan dapat dilaksanakan. Hal ini
secara khusus dapat dilihat dari wewenang MK memutus
pengujian UU, sengketa kewenangan konstitusional lembaga
negara, dan perselisihan hasil Pemilu. Suatu ketentuan UU yang
sedang diuji oleh MK tetap berlaku dan harus dianggap sah (tidak
bertentangan dengan UUD 1945) sebelum ada putusan MK yang
menyatakan ketentuan UU dimaksud bertentangan dengan UUD
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam
perkara Sengketa Kewenangan Konstitusional juga demikian,
tindakan termohon harus dianggap sah dan tidak bertentangan
dengan UUD 1945 sebelum ada putusan MK yang menyatakan
sebaliknya. Pada perkara perselisihan hasil Pemilu, keputusan
KPU tentang penetapan hasil Pemilu yang dimohonkan keberatan
oleh peserta Pemilu harus dianggap benar dan dapat dijalankan
sebelum ada keputusan MK yang membatalkan putusan KPU
itu.113

7. Kewenangan Mahkamah dalam Menangani Perkara yang


Berkaitan dengan Dirinya Sendiri (Nemo Judex Causa Sua)

113
Ahmad Fadlil Sumadi, “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Dalam
Teori dan Praktik”, https://media.neliti.com/media/publications/111686-ID-
hukum-acara-mahkamah-konstitusi-dalam-te.pdf, diakses 28 Januari 2018.
Asas hukum acara dalam konteks beracara di Mahkamah
Konstitusi yang acapkali dinilai kontradiktif dan kontraproduktif
yakni asas ius curia novit dengan asas nemo judex idoneus in
propria causa. Asas ius curia novit adalah asas bahwa pengadilan
tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak
ada atau kurang jelas, sebaliknya hakim harus memeriksa dan
mengadilinya. Sementara asas nemo judex idoneus in propria
causa bahwa tidak seorang pun dapat menjadi hakim dalam
perkaranya sendiri merupakan salah satu asas hukum beracara
MK perwujudan dari imparsialitas (ketidakberpihakan/impartiality)
hakim sebagai pemberi keadilan.114 Pilihan asas tersebut yang
menimbulkan permasalahan, di satu sisi MK harus melaksanakan
kewenangannya, disisi lain ada halangan bahwa hakim MK tidak
boleh menjadi hakim dalam perkaranya sendiri.
Dalam Putusan No. 49/PUU-IX/2011 perihal pengujian UU
No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi, MK mempertegas konstruksi argumentasi hukum
mengapa MK berwenang menguji undang-undang yang mengatur
eksistensinya, sekaligus untuk menghilangkan adanya keragu-
raguan mengenai objektivitas, netralitas, dan imparsialitas hakim
MK. Argumentasi MK tersebut, meliputi: pertama, keberadaan MK
sebagai lembaga negara yang oleh UUD 1945 diberi kewenangan
untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945; kedua, MK
sebagai lembaga yang berfungsi mengawal konstitusi atau UUD
(penafsir akhir UUD ketika terjadi sengketa konstitusional); ketiga,
karena undang-undang yang dimohonkan pengujian adalah
menyangkut MK, sehingga terkait dengan prinsip universal di
dalam dunia peradilan tentang nemo judex in causa sua, namun
dalam konteks ini ada tiga alasan MK harus mengadili

114
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 68.
permohonan pengujian undang-undang ini yaitu: (i) tidak ada
forum lain yang bisa mengadili permohonan ini; (ii) MK tidak boleh
menolak mengadili permohonan yang diajukan kepadanya dengan
alasan tidak ada atau tidak jelas mengenai hukumnya; (iii) kasus
ini merupakan kepentingan konstitusional bangsa dan negara,
bukan semata-mata kepentingan institusi MK itu sendiri atau
kepentingan perseorangan hakim konstitusi yang sedang
menjabat; keempat, salah satu objectum litis dari proses peradilan
di MK adalah masalah konstitusionalitas undang-undang yang
menyangkut kepentingan publik yang dijamin oleh konstitusi
sebagai hukum yang tertinggi. Oleh karena itu, MK lebih
menekankan pada fungsi dan tugasnya mengawal dan
menegakkan konstitusi dengan tetap menjaga prinsip
independensi dan imparsialitas dalam keseluruhan proses
peradilan.
Pandangan lain yang justru berbeda adalah Komisi Yudisial,
dalam keterangan tertulis atas Perkara No. 1/PUU-XII/2014 dan
No. 2/PUU-XII/2014 tentang pengujian UU No. 4/2014 tentang
Perubahan Kedua UU MK memiliki pendirian bahwa MK tidak
berwenang menguji undang-undang yang mengatur eksistensinya.
Bangunan argumentasinya, meliputi: pertama, penting bagi MK
untuk menengok kembali asas hukum di dalam hukum acara,
“seseorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri”.
Kedua, dalam penegakan hukum modern, kontrol terhadap
lembaga penyelenggara kekuasaan kehakiman bukan merupakan
hal yang mustahil, hal ini untuk menjaga imparsialitas hakim dan
kepercayaan publik. Ketiga, terkait dengan permohonan uji
materiil UU No. 4 Tahun 2014 Perubahan Kedua UU MK, telah
menempatkan MK, sebagai “hakim bagi dirinya sendiri”. Keempat,
selama ini MK menggunakan argumen dalam Putusan No.
005/PUU-IV/2006 bahwa berperkara di MK tidak sama berperkara
di pengadilan biasa, sehingga asas itu tidak dapat diberlakukan
dilingkungan peradilan MK. Menurut KY, pandangan ini keliru,
tidak beralasan, tanpa dasar (grundloss) dan tidak dapat dijadikan
argumentasi untuk mengabaikan prinsip/asas nemo judex idoneus
in propria causa. Kelima, penyimpangan terhadap asas ini juga
bertentangan dengan prinsip atau asas kepatutan dan etika moral.
Putusan yang terkait dengan penyimpangan asas nemo judex
idoneus in propria causa yang dianggap memberikan pencerahan
terkait dengan progresivitas dan marwah Mahkamah Konstitusi
antara lain:
a. Putusan MK No. 066/PUU-II/2004
Putusan MK No. 066/PUU-II/2004 perihal pengujian
Undang-Undang No. 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang
dan Industri dan pengujian Undang-Undang No. 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Putusan ini
membatalkan Pasal 50 UU No. 24 Tahun 2003 yang
berbunyi “Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk
diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah
perubahan UUD 1945”. Pasal 50 tersebut dibatalkan karena
telah mereduksi kewenangan MK dengan mengatur
pembatasan kewenangan pengujian oleh MK, yang secara
konstitutif tertulis dalam UUD 1945. Sebelum Putusan MK
No. 066/PUU-II/2004, MK telah memberikan argumentasi
dalam Putusan MK No. 004/PUU-I/2003 perihal Pengujian
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 bahwa Pasal 50 UU MK
No.24/ 2003 tersebut dapat disimpangi, bahwa: “Hakim MK
karena jabatannya akan memeriksa perkara permohonan in
casu dengan mengenyampingkan Pasal 50 tersebut dengan
berpegang teguh kepada bunyi sumpah/ janji sebagaimana
dimaksud dalam rumusan Pasal 21 ayat (1) UU No.24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi untuk memastikan
bahwa keterikatan hakim konstitusi dalam menjalankan
segala peraturan perundang-undangan itu adalah sepanjang
peraturan perundang-undangan tersebut sejalan dan/ atau
tidak bertentangan dengan UUD 1945”. Pembatalan Pasal 50
UU No. 24 Tahun 2003 tersebut tergolong sebagai putusan
yang memenuhi unsur progresif, karena melalui putusan
tersebut kebutuhan bangsa untuk bisa menguji undang-
undang yang masih berlaku namun diterbitkan sebelum
amandemen dan merugikan hak konstitusional masyarakat
dapat diajukan judicial review. Putusan hakim yang
progresif menurut ukuran Satjipto Rahardjo adalah putusan
hakim yang mampu memenuhi kebutuhan bangsa dan
putusan tersebut diputuskan karena merasakan dari
penderitaan atau masalah yang dihadapi bangsanya
sehingga melalui putusan tersebut masalah/penderitaan
tersebut mampu terpecahkan. Manuver positif MK yang
tidak terkungkung pada teks (Pasal) yang tidak adil dan
mencederai jalannya MK dalam menegakkan hukum dan
keadilan melalui pengujian undang-undang diejawantahkan
secara baik melalui putusan ini.
b. Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009
Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 perihal Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 4
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Putusan ini bukan menguji undang-undang
yang mengatur eksistensi MK, tetapi memiliki relevansi dan
bahkan memperkuat kewenangan MK. Dalam konklusi
pengujian tersebut MK berpendapat bahwa “MK berwenang
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a
quo”, artinya MK berwenang menguji Perppu (Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang) sebagai kewenangan
baru/tambahan di luar UUD 1945. Putusan MK yang
menyatakan bahwa MK berwenang menguji Perppu adalah
perkembangan baru yang positif dalam hukum
ketatanegaraan Indonesia yang tak hanya mengikat para
pihak, namun menjadi yurisprudensi dalam hukum
ketatanegaraan di Indonesia. Dengan putusan tersebut,
kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan melalui Perppu
dan kelemahan sistemik dalam UUD 1945 dalam mengawasi
produk Presiden tersebut terantisipasi. Kewenangan
tambahan ini tentu juga bertujuan untuk mencegah
kerugian konstitusional akibat implikasi yuridis terbitnya
Perppu.
c. Putusan MK No. 48/PUU-IX/2011
Putusan MK No. 48/PUU-IX/2011 perihal pengujian
Pasal 45A UU MK Perubahan No. 8/2011 yang mengandung
ketentuan ultra petita, “Putusan Mahkamah Konstitusi tidak
boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh
pemohon atau melebihi Permohonan pemohon, kecuali
terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok
Permohonan”. Ketentuan Pasal 45A tersebut merupakan
larangan ultra petita, ultra petita adalah penjatuhan putusan
oleh hakim atas perkara yang tidak dituntut atau memutus
melebihi dari pada yang diminta, yang mana putusan ultra
petita (tidak diminta) yang mengarah pada intervensi ke
dalam bidang legislasi. Ultra petita dalam hukum formil
diartikan menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak
dituntut atau meluluskan lebih dari yang diminta. 115
Merujuk pada pandangan Mahfud MD bahwa MK pada
dasarnya dilarang untuk membuat ultra petita, sebab dalam
ultra petita MK masuk ke ranah legislatif 116, sebab MK di
desain untuk menguji undang-undang tanpa boleh ikut
115
Haposan Siallagan, “Masalah Putusan Ultra Petita dalam Pengujian
Undang-Undang, Mimbar Hukum Volume 22 Nomor 1 Februari 2010, hal. 74
116
Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2009), hal. 281-284
campur dalam pekerjaan legislasi. 117 Merujuk pada
pandangan Jimly Asshiddiqie bahwa MK boleh melakukan
ultra petita, jika yang di-review adalah pasal-pasalnya,
sementara pasal-pasal tersebut merupakan jantung undang-
undang, sehingga berimplikasi pada pembatalan seluruh
undang-undang, selain itu larangan ultra petita hanya dalam
peradilan perdata. Sementara Bagir Manan menyebutkan
bahwa ultra petita dapat dibenarkan jika dalam permohonan
review mencantumkan permohonan ex aqeuo et bono
(memutus demi keadilan).118
d. Putusan No. 49/PUU-IX/2011
Salah satu Pasal yang diuji dalam Putusan No.
49/PUU-IX/2011 perihal pengujian Undang-Undang No. 8
Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi adalah Pasal 50A selengkapnya berbunyi: “MK
dalam menguji undang-undang terhadap UUD 1945, tidak
menggunakan undang-undang lain sebagai dasar
pertimbangan hukum”. Konstruksi kalimat yang digaris
bawahi tersebut dapat disepadankan dengan istilah non
konstitusi, maksudnya adalah tolok ukur selain UUD 1945
(tolok ukur ini dalam bentuk undang-undang selain undang-
undang yang diuji maupun peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang lainnya). Keberadaan Pasal 50A
undang-undang terkait pembatasan kewenangan MK dalam
melaksanakan pengujian undang-undang, sebab pasal
tersebut tidak memperkenankan MK menggunakan
ketentuan non konstitusi sebagai dasar pertimbangan
hukum dalam putusannya. Hal tersebut jelas bertentangan
dengan Pasal 22A UUD Tahun 1945 yang menyatakan,
117
Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Pers), hal. 76
118
Haposan Siallagan, “Masalah Putusan Ultra Petita dalam Pengujian
Undang-undang, Mimbar Hukum Volume 22 Nomor 1 Februari 2010, hal. 74
“ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan
undang-undang diatur dengan undang-undang” dan
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 bahwa
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Adapun alasan
Pasal 50A bertentangan dengan Pasal 22A dan 28D ayat (1)
UUD 1945, meliputi: pertama, Indonesia telah menyatakan
sebagai negara hukum yang demokratis, bahwa salah satu
syarat setiap negara yang menganut paham constitutional
democracy adalah prinsip konstitusionalisme
(constitutionalism), antara lain yaitu prinsip yang
menempatkan konstitusi sebagai hukum tertinggi dalam
suatu negara. Untuk menjamin tegak dan dilaksanakannya
konstitusi itu maka harus terdapat mekanisme yang
menjamin bahwa ketentuan-ketentuan konstitusi dimaksud
benar-benar dilaksanakan dalam praktik kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kedua,
pelarangan terhadap MK untuk menggunakan undang-
undang lain sebagai dasar pertimbangan hukum adalah
mereduksi kewenangan MK sebagai kekuasaan kehakiman
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Penggunaan Undang-
undang lain sebagai dasar pertimbangan hukum justru
untuk menciptakan kepastian hukum yang adil
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD
1945. Ketentuan non konstitusi dapat menjadi tolok ukur,
terutama dalam pengujian formil, karena pengujian formil
merupakan pengujian pertentangan norma yang terkait
dengan fakta pembentukan peraturan perundang-undangan,
tetapi non konstitusi harus diposisikan sebagai tolok ukur
pelengkap yang memberikan penjelasan terhadap tolok ukur
utama (UUD 1945), ketika tolok ukur utama tidak
memberikan penjelasan secara detail mengenai
pembentukan peraturan-perundang-undangan tersebut.
Tolok ukur non konstitusi untuk menilai fakta pembentukan
undang-undang dan merupakan alat bukti untuk menilai
konstitusionalitas formil undang-undang. Non konstitusi
diperbolehkan dijadikan tolok ukur, karena MK merupakan
lembaga yang hadir untuk memenuhi hasrat para
justiabelen akan pemenuhan keadilan dan jelas bahwa
penggunaan non konstitusi untuk menciptakan keadilan
substantif.119
Sementara itu terdapat pula putusan Mahkamah yang
tergolong kontroversial terkait dengan penyimpangan asas
nemo judex idoneus in propria causa.
e. Putusan No. 005/PUU-IV/2006
Putusan No. 005/PUU-IV/2006 perihal pengujian
Undang-undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial. Putusan ini merupakan putusan yang
kontroversial, sebab membatalkan pasal-pasal yang
berkaitan dengan pengawasan hakim MK. Merujuk hasil
penelitian Tim Peneliti PusaKo Universitas Andalas bahwa
pasal-pasal yang dinyatakan menimbulkan ketidakpastian
hukum tersebut pada dasarnya bersifat menjelaskan atau
mengelaborasi lebih jauh pasal-pasal yang terdapat dalam
Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Misalnya, dalam halaman 194
Putusan No. 005/PUU-IV/2006 secara eksplisit dinyatakan
bahwa Pasal 20, 21, 22, 23, sepanjang mengenai
pengawasan, Pasal 24 ayat (1) sepanjang yang menyangkut
hakim konstitusi, dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) UU KY
serta Pasal 34 ayat (3) UU Kekuasaan Kehakiman

119
Tanto Lailam, Pertentangan Norma Hukum: dalam Teori dan Praktik
Pengujian Undang-undang di Indonesia,(Yogyakarta: LP3M UMY, 2015), hal. 395
bertentangan dengan Pasal 24, Pasal 24A, dan Pasal 24B
UUD 1945.120
Putusan ini merupakan putusan yang kontroversial
karena terlihat semakin menjauhi gagasan pembaruan
hukum, menurut Iwan Satriawan bahwa dalam pengujian
tersebut MK tidak berjalan dalam koridor prinsip
imparsialitas dalam proses yudisial karena mengadili
perkara yang terkait dengan dirinya sendiri dan prinsip
konstitusionalisme yang seharusnya dijunjung tinggi oleh
MK sebagai “the guardian of the constitution”, disamping itu
dengan mengeluarkan dirinya sebagai objek pengawasan KY,
MK telah menyampingkan prinsip akuntabilitas yang
menjadi agenda utama reformasi hukum. Sementara,
Menurut Majelis Eksaminasi Putusan MK No.
005/PUU/2006 yang dibentuk oleh Pusat Kajian Anti
Korupsi FH-UGM dan Indonesia Court Monitoring
menyatakan pada prinsipnya MK berwenang dalam menguji
konstitusionalitas sebuah undang-undang terhadap UUD
1945 sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 24C ayat (1)
UUD 1945. Namun demikian, di dalam perkara ini ada
prinsip imparsialitas yang perlu dipersoalkan, terkait dengan
permohonan yang menyangkut dengan kepentingan hakim
konstitusi. Asas nemo judex idoneus in propria causa
(niemand is geschikt om als rechter in zijn eigen zaak op te
treden), bahwa tidak seorang pun dapat menjadi hakim
dalam perkaranya sendiri, dalam perkara ini telah
disimpangi oleh MK.

120
Saldi Isra, Yuliandri, Feri Amsari, Charles Simabura, Dayu Medina,
dan Edita Elda, Perkembangan Pengujian Perundang-undangan di Mahkamah
Konstitusi (Dari Berfikir Hukum Tekstual ke Hukum Progresif, (Padang dan
Jakarta: Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas dan
Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, 2010), hal. 113
Penyimpangan atas suatu asas hanya dapat dilakukan
jika diatur secara eksplisit di dalam undang-undang,
misalnya peradilan harus dilakukan secara terbuka untuk
umum, kecuali undang-undang menentukan lain. Ternyata
UU MK No. 24 Tahun 2003 maupun perubahannya yang
dimuat dalam UU No. 8 Tahun 2011 tidak mengatur secara
spesifik tentang penyimpangan atas asas dimaksud, karena
itu MK tidak mempunyai alasan normatif untuk
menyimpang dari asas tersebut, kecuali bersandar kepada
kekuasaan yang dimilikinya. Tetapi perlu dicatat, argumen
kekuasaan demikian berpotensi menimbulkan
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), akibat lebih
lanjut pemeriksaan perkara ini sarat benturan kepentingan
(conflict of interest) dan dikhawatirkan hakim konstitusi
telah melakukan judicial misconduct.
Menurut Erhard Blankenburg bahwa independensi
peradilan dapat diuji melalui dua hal, yaitu
ketidakberpihakan (impartiality) dan keterputusan relasi
dengan para aktor politik (political insularity). Imparsialitas
terlihat pada gagasan bahwa hakim akan mendasarkan
pada hukum dan fakta-fakta di persidangan, bukan atas
dasar keterkaitan dengan salah satu pihak yang berperkara.
Imparsialitas proses peradilan hanya dapat dilakukan jika
hakim dapat melepaskan diri dari konflik kepentingan atau
faktor semangat pertemanan (collegial) dengan pihak yang
berperkara, Karenanya hakim harus mengundurkan diri
dari proses persidangan jika ia melihat ada potensi
imparsialitas. Sementara pemutusan relasi dengan dunia
politik penting bagi seorang hakim agar ia tidak menjadi alat
merealisasikan tujuan-tujuan politik.121
121
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi
Parlementer DalamSistem Presidensial Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2010,
hal. 307.
Asas nemo judex idoneus in propria causa merupakan
salah satu asas hukum beracara MK yang digunakan dalam
setiap proses peradilan di Indonesia karena asas ini
merupakan perwujudan dari imparsialitas
(ketidakberpihakan/impartiality) hakim sebagai pemberi
keadilan. Asas imparsialitas merupakan prinsip yang
melekat dalam hakikat fungsi hakim konstitusi sebagai
pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap
setiap perkara yang diajukan ke MK. Ketidakberpihakan
mencakup sikap netral, disertai penghayatan yang
mendalam akan pentingnya keseimbangan antar
kepentingan yang terkait dengan perkara. Prinsip
imparsialitas melekat dan harus tercermin dalam tahapan
proses pemeriksaan perkara sampai kepada tahap
pengambilan keputusan, sehingga putusan pengadilan
dapat benar-benar diterima sebagai solusi hukum yang adil
bagi semua pihak yang berperkara dan oleh masyarakat luas
pada umumnya. Imparsialitas hakim harus terlihat pada
gagasan bahwa para hakim akan mendasarkan putusannya
pada hukum dan fakta-fakta di persidangan, bukan atas
dasar keterkaitan dengan salah satu pihak yang berperkara,
bukan pula menjadi pemutus perkaranya.122
Penerapan asas nemo judex idoneus in propria causa
bisa dilakukan pengecualian, maksud pengecualian di sini
adalah asas hukum nemo judex idoneus in propria causa
tidak harus diterapkan di segala lini proses peradilan dalam
hal ini yakni lingkup Mahkamah Konstitusi. Ada beberapa
alasan, antara lain: (a). bersandar dari kewenangannya MK
memiliki kewajiban menyelesaikan permasalahan
konstitusional, jika asas ini diterapkan maka ditafsirkan
122
Yanis Maladi, “Benturan Asas Nemo Judex Idoneus In Propria Causa
dan Asas Ius Curia Novit” (Telaah Yuridis Putusan MK No.005/PUUIV/2006)”,
Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 2, hal. 13.
akan menghalangi MK memutus suatu perkara, karena
menyangkut imparsialitas MK; (b), Lembaga peradilan
adalah jalan terakhir bagi para pencari keadilan (justiabelen)
untuk mencari keadilan, bilamana MK tidak memutus
perkara ini maka sudah dipastikan perkara ini tidak
memiliki kejelasan dan tidak memberikan rasa keadilan bagi
para pencari keadilan; (c) Imparsialitas hakim di sini harus
diartikan adanya kepentingan baik secara langsung ataupun
tidak langsung hakim terhadap perkara. Sedangkan dalam
konteks perkara tersebut bisa dilihat bahwa tidak ada
kepentingan hakim secara langsung atau tidak langsung,
karena perkara yang diajukan adalah perkara yang
menyangkut masalah konstitusional, yakni putusan ini
nantinya berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia dan
menyelesaikan benturan aturan di bawah konstitusi dengan
konstitusi. Dengan demikian asas nemo judex idoneus in
propria causa bisa dilakukan pengecualian dalam konteks
ini, akan tetapi asas ini tetap mutlak tidak boleh
dikesampingkan dalam peradilan umum.
Kedua, perspektif yuridis. Berangkat dari pertanyaan
bahwa lembaga manakah yang diberikan amanah oleh
konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap UUD
1945, Pasal 24A UUD 1945 menyebutkan ketentuan bahwa:
“MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang
lainnya yang diberikan oleh undang-undang”, tentu telah
jelas dalam hal ini bahwa MA tidak memiliki kewenangan
menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Pasal 24C
menyebutkan bahwa “MK berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap UUD…”, ketentuan ini
secara konstitutif mengamanatkan bahwa MK sebagai
lembaga negara satu-satunya yang memiliki kewenangan
menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Dalam hal ini
MK adalah satu-satunya forum yang legitimate dalam
melakukan pengujian undang-undang, dan tidak ada forum
lain yang sah di luar MK, MK merupakan satu-satunya
lembaga penafsir konstitusi yang sah. Perihal apakah
ketentuan UUD membedakan pengujian undang-undang
yang mengatur kelembagaan MK dengan undang-undang
lainnya, ketentuan Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 10 UU
MK No. 24 Tahun 2003 jelas tidak membedakan hal
tersebut, dalam hal ini menunjukkan bahwa MK berhak dan
berwenang menguji undang-undang yang mengatur
eksistensinya. Selain itu, terdapat asas ius curia novit yang
merupakan asas bahwa pengadilan tidak boleh menolak
untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada
atau kurang jelas dan sebaliknya hakim harus memeriksa
dan mengadilinya.123 Pasal 10 Undang-undang No. 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa:
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya”
Ketiga, perspektif sosiologis, kewenangan MK untuk
menguji undang-undangnya sendiri dengan menyimpangi
asas nemo judex idoneus in propria causa bertujuan
menegakkan keadilan substantif dengan menerobos
kebuntuan legalitas formal yang menjunjung keadilan
prosedural, demi memenuhi hak setiap pemohon untuk
123
Tim Penyusun Hukum Acara MK, Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi. (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, 2010), hal. 15-16.
memperoleh dan menuntut keadilan yang diakibatkan
adanya norma hukum yang merugikannya. Menurut I Dewa
Gede Palguna124, bahwa terkait kewenangan dalam
pengujian undang-undang, MK memiliki predikat: (1) MK
sebagai pengawal konstitusi (the Guardian of the
Constitution); (2) MK sebagai pengendali keputusan
berdasarkan sistem demokrasi (Control of Democracy); (3) MK
sebagai penafsir konstitusi (the Sole or the Highest Interpreter
of the Constitution). Kewenangan menafsirkan UUD 1945 ini
tidak bisa dipisahkan dari kewenangan menguji undang-
undang; (4) MK sebagai pelindung hak konstitutional warga
negara (the Protector of the Citizens’ Constitutional Rights);
dan (5) MK sebagai pelindung hak asasi manusia (the
Protector of Human Rights). Pandangan tersebut di atas
menunjukkan bahwa Mk juga memiliki fungsi sebagai
pelindung hak asasi manusia, dalam arti bahwa jika ada
undang-undang yang melanggar hak konstitusional warga
negara, harus di batalkan.
Jika MK tidak boleh menguji, maka banyak pemohon
yang dirugikan akibat adanya norma hukum yang
membatasi pemohon untuk menuntut keadilan di MK, lebih
lanjut kondisi ini tidak sejalan dengan konstitusi dan politik
hukum pembentukan MK. Misalnya jika MK tidak
membatalkan Pasal 50 UU MK No. 24 Tahun 2003 yang
berbunyi “Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk
diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah
perubahan UUD 1945”, maka banyak undang-undang yang
dibuat sebelum amandemen yang bertentangan dengan
konstitusi dan melanggar hak konstitusional, dan hak
konstitusional masyarakat terpasung dan terdzalimi selama
124
I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional
Complaint): Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-hak Konstitusional Warga
Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hal. 313-314.
undang-undang yang merugikan tersebut tidak di batalkan.
Dalam konklusi, MK tidak terkungkung pada teks (Pasal 50)
yang tidak adil dan jelas-jelas menghambat MK dalam
menegakkan hukum dan keadilan melalui kewenangan
pengujian undang-undang. Pandangan bahwa forum
legislative review lebih tepat untuk me-review undang-
undang MK daripada MK diperbolehkan menguji undang-
undangnya sendiri melahirkan pertanyaan, apakah ada
jaminan bahwa pembentuk undang-undang akan membuat
undang-undang yang terbaik bagi MK dan tidak
bertentangan dengan UUD 1945, padahal nyata-nyata
bahwa norma hukum yang dirumuskan/undang-undang
merupakan produk kompromi politik, dimana terdapat
tendensi bahwa warna kepentingan politik lebih tinggi. Hal
ini salah satunya dapat dibuktikan dengan fakta bahwa
beberapa Pasal dalam Undang-undang MK yang nyatakan
bertentangan dengan konstitusi karena pasal-pasal tersebut
justru mereduksi kewenangan MK dalam menegakkan
konstitusi. Kewenangan MK dalam menguji undang-undang
yang mengatur eksistensinya harus dilakukan dengan hati-
hati dan bertanggungjawab, kewenangan MK ini harus
dilakukan oleh hakim-hakim yang benar-benar seorang
negarawan yang adil, hakim yang mampu membaca secara
komprehensif makna konstitusi sebagai the living
constitution yang memiliki filosofi bahwa “konstitusi itu
hidup”, sehingga dalam menafsirkan konstitusi yang perlu
diutamakan adalah perkembangan masyarakat saat ini. 125

C. Kajian terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang Ada


serta Permasalahan yang Dihadapi dalam Masyarakat

125
Feri Amsari, Perubahan UUD 1945: Perubahan Konstitusi NKRI Melalui
Putusan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal. 88
(heble-heble)
1. Permasalahan UU MK akibat adanya Putusan MK
a. Putusan MK Nomor 5/PUU-IV/2006126
Dalam pertimbangan putusan ini Mahkamah
Konstitusi, antara lain, menyatakan bahwa apabila ditinjau
secara sistematis dan dari penafsiran berdasarkan ‘original
intent’ perumusan ketentuan UUD 1945, ketentuan
mengenai KY dalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak
berkaitan dengan ketentuan mengenai MK yang diatur
dalam Pasal 24C UUD 1945. Dari sistematika penempatan
ketentuan mengenai Komisi Yudisial sesudah pasal yang
mengatur tentang Mahkamah Agung yaitu Pasal 24A dan
sebelum pasal yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi
yaitu Pasal 24C, sudah dapat dipahami bahwa ketentuan
mengenai Komisi Yudisial pada Pasal 24B UUD 1945 itu
memang tidak dimaksudkan untuk mencakup pula objek
perilaku hakim konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal
24C UUD 1945. Putusan ini mengeksklusikan hakim
konstitusi dari objek pengawasan Komisi Yudisial. 127
Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi juga
menegaskan perihal putusan sela karena dalam
permohonan KY, meskipun yang dimohonkan adalah
deklarasi tetapi esensinya adalah memohon putusan sela,
sedangkan dalam hukum acara pengujian undang-undang,
Pasal 58 UU Mahkamah Konstitusi menyatakan:
“Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi
tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan
bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan

126
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/
putusan_sidang_Putusan005PUUIV06MA%20KY.pdf, diakses 9 Februari 2018
127
Ibid.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945”.
Sehingga, pada dasarnya dalam pengujian undang-
undang terhadap UUD 1945 tidak dikenal adanya putusan
sela. Satu-satunya kemungkinan Mahkamah Konstitusi
menjatuhkan semacam putusan sela dalam pengujian
undang-undang terhadap UUD 1945, baik atas permohonan
Pemohon maupun atas pertimbangan Mahkamah Konstitusi
sendiri, adalah apabila pengujian tersebut berkenaan
dengan proses pembentukan suatu undang-undang. Hal ini
diatur dalam Pasal 16 Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 06/PMK/2005 tentang Permohonan Beracara dalam
Perkara Pengujian Undang-undang, yaitu:
(1) Dalam hal Pemohon mendalilkan adanya dugaan
perbuatan pidana dalam pembentukan undang-
undang yang dimohonkan pengujiannya, Mahkamah
Konstitusi dapat menghentikan sementara
pemeriksaan permohonan atau menunda putusan;
(2) Dalam hal dalil mengenai dugaan perbuatan pidana
yang dimaksud pada butir (1) disertai dengan bukti-
bukti, Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan
menunda pemeriksaan dan memberitahukan kepada
pejabat yang berwenang untuk menindaklanjuti
adanya persangkaan tindak pidana yang diajukan
oleh Pemohon;
(3) Dalam hal dugaan perbuatan pidana sebagaimana
dimaksud butir (1) telah diproses secara hukum oleh
pejabat yang berwenang, untuk kepentingan
pemeriksaan dan pengambilan keputusan,
Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan
kepada pihak-pihak berwenang yang melakukan
penyidikan dan/atau penuntutan;
(4) Penghentian proses pemeriksaan permohonan atau
penundaan putusan sebagaimana dimaksud butir (1)
ditetapkan dengan Ketetapan Mahkamah Konstitusi
yang diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk
umum.
Putusan ini turut menjadi landmark bagi
pengenyampingan prinsip judicial restraint dan asas nemo
judex judex idoneus in propria causa dalam hal
mengutamakan pemenuhan keadilan bagi para pencari
keadilan (justitiabelen). Imparsialitas sebagai prinsip etik
yang bersifat universal untuk menghindari konflik
kepentingan (conflict of interest) sesungguhnya titik beratnya
adalah dalam proses pemeriksaan perkara biasa, seperti
yang menyangkut perkara perdata atau pidana, dalam hal
mana faktor konflik kepentingan individual merupakan
obyek sengketa (objectum litis) yang diperiksa dan diadili
hakim. Proses peradilan kasus a quo di Mahkamah
Konstitusi objectum litis-nya adalah masalah
konstitusionalitas undang-undang yang lebih menyangkut
kepentingan publik yang dijamin oleh konstitusi sebagai
hukum yang tertinggi (supreme law), bukan semata-mata
kepentingan individual. Oleh karena itu, dalam kasus a quo,
penerapan prinsip imparsialitas tidak dapat dijadikan alasan
untuk mengesampingkan kewajiban konstitusional yang
lebih utama untuk memeriksa dan memutus permohonan a
quo, sehingga Mahkamah Konstitusi lebih menekankan pada
fungsi dan tugasnya mengawal dan mempertahankan
konstitusi dengan tetap menjaga prinsip imparsialitas dalam
keseluruhan proses. Oleh karena itu asas nemo judex
idoneus in propria causa (niemand is geschikt om als rechter
in zijn eigen zaak op te treden), yaitu bahwa tidak seorang
pun dapat menjadi hakim dalam perkaranya sendiri, tidak
dapat diterapkan dalam kasus ini.
Mahkamah Konstitusi juga mempertimbangkan alasan
substantif yang fundamental untuk menolak segala upaya
yang menempatkan perilaku Hakim Konstitusi sebagai objek
pengawasan oleh lembaga negara lain. Dengan menjadikan
perilaku Hakim Konstitusi sebagai objek pengawasan oleh
KY, maka kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai
lembaga pemutus sengketa kewenangan konstitusional
lembaga negara menjadi terganggu dan terjebak ke dalam
anggapan sebagai pihak yang tidak dapat bersikap
imparsial, khususnya apabila dalam praktik timbul
persengketaan kewenangan antara KY dengan lembaga lain,
seperti halnya dalam kasus persengketaan antara MA dan
KY yang terkait dengan perkara a quo. Dengan demikian,
ketentuan yang memperluas pengertian perilaku hakim
dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 mencakup perilaku
Hakim Konstitusi dapat mengebiri kewenangan dan
menghalang-halangi pemenuhan tanggung jawab
Mahkamah Konstitusi dalam menjaga konstitusionalitas
mekanisme hubungan antar-lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Padahal,
dibentuknya Mahkamah Konstitusi berdasarkan UUD 1945
adalah dalam rangka menjamin agar UUD 1945
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, termasuk dalam
konteks hubungan-hubungan konstitusional antar-lembaga
negara. Oleh karena itu, salah satu kewenangan yang
diberikan kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, adalah untuk
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Terhadap
kewenangan MK dimaksud, undang-undang tidak boleh
melakukan pemandulan. Upaya pemandulan kewenangan
Mahkamah Konstitusi tersebut:
1. Pertama, tercermin dengan ketentuan Pasal 65 UUMK
yang berbunyi, “Mahkamah Agung tidak dapat menjadi
pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada
Mahkamah Konstitusi”;
2. Kedua, pemandulan itu juga tercermin dalam
ketentuan pasal-pasal UUKY yang memperluas
pengertian perilaku hakim sehingga mencakup Hakim
Konstitusi sebagai objek pengawasan oleh KY. Dengan
kedua ketentuan di atas, kedudukan Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga pemutus sengketa
kewenangan lembaga negara menjadi mandul,
khususnya dalam hal salah satu lembaga negara
dimaksud adalah KY. Ketentuan undang-undang yang
demikian, menurut Mahkamah Konstitusi, jelas
bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu,
dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 08/PMK/2006, ketentuan Pasal 65
UUMK tersebut telah ditafsirkan oleh Mahkamah
Konstitusi bahwa Mahkamah Agung (MA) tidak dapat
menjadi pihak, baik sebagai pemohon ataupun
termohon, hanya dalam sengketa kewenangan teknis
peradilan (justisial) Mahkamah Agung. Dengan kata
lain, menurut Mahkamah Konstitusi, Mahkamah
Agung dapat saja terlibat sebagai pihak dalam perkara
sengketa kewenangan, sepanjang sengketa demikian
tidak berkait dengan pelaksanaan wewenang teknis
justisial Mahkamah Agung. Dengan demikian,
sengketa yang timbul antara Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial yang tidak berkaitan dengan
pelaksanaan wewenang teknis justisial Mahkamah
Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3)
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
08/PMK/2006 tersebut di atas, dapat menjadi objek
perkara di Mahkamah Konstitusi.
Sementara itu, untuk mengoreksi kekeliruan dalam
penormaan undang-undang dengan menjadikan hakim
konstitusi sebagai objek pengawasan oleh KY sebagaimana
ditentukan dalam UUKY, maka ketentuan mengenai hakim
konstitusi yang terdapat dalam pasal-pasal UUKY harus
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, dan oleh
karenanya harus dinyatakan tidak berlaku mengikat.
Dengan demikian, sekiranya pun sengketa kewenangan
lembaga negara antara MA dan KY terjadi di masa-masa
yang akan datang, atau timbul sengketa kewenangan
konstitusional antara KY dan lembaga negara yang lain,
maka kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai satu-
satunya lembaga peradilan yang dapat menjatuhkan
putusan yang bersifat final dan mengikat dalam rangka
penyelesaian sengketa semacam itu tidak akan terganggu
lagi, sehingga konstitusionalitas pola hubungan antar-
lembaga negara di masa depan dapat benar-benar ditata
dengan sebaik-baiknya sesuai dengan amanat UUD 1945.
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan yang demikian
itulah, maka sejauh mengenai ketentuan Pasal 1 angka 5
dan pasal-pasal lainnya dalam UUKY sepanjang mengenai
Hakim Konstitusi, cukup beralasan untuk dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945.
b. Putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011
Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 27A ayat
(2) huruf c, huruf d, dan huruf e UU Nomor 8 Tahun 2011
bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1) dan
ayat (2) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi memberi
pertimbangan sebagai berikut:
1. Hakim konstitusi berbeda dengan hakim badan
peradilan lain, hakim konstitusi pada dasarnya
bukanlah hakim sebagai profesi tetap, melainkan
hakim karena jabatannya. Hakim konstitusi hanya
diangkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan
setelah tidak lagi menduduki jabatan Hakim
Konstitusi, yang bersangkutan masing-masing
kembali lagi kepada status profesinya yang semula.
Mekanisme pemilihan hakim konstitusi diajukan
oleh tiga lembaga negara masing-masing tiga orang
sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (3) UUD
1945, yaitu masing-masing oleh Mahkamah Agung,
DPR, dan Presiden, dan selanjutnya ditetapkan
oleh Presiden. Setelah ditetapkan dan
mengucapkan sumpah sebagai hakim konstitusi
maka selama yang bersangkutan menjadi hakim
konstitusi harus independen dan imparsial serta
bebas dari segala pengaruh lembaga negara
termasuk lembaga negara yang mengajukannya.
Oleh karena itu, dengan masuknya unsur DPR,
unsur Pemerintah dan satu orang hakim agung
dalam Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
yang bersifat permanen justru mengancam dan
mengganggu baik secara langsung maupun tidak
langsung kemandirian hakim konstitusi dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya. Adanya
unsur DPR, unsur Pemerintah, dan hakim agung
berpotensi menimbulkan konflik kepentingan
karena DPR, Pemerintah, dan Mahkamah Agung,
serta Komisi Yudisial dapat menjadi pihak yang
berperkara di Mahkamah Konstitusi.
Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 27A ayat
(2) huruf c, huruf d, dan huruf e UU Nomor 8 Tahun 2011
bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 beralasan
menurut hukum. Oleh karena Pasal 27A ayat (2) huruf c,
huruf d, dan huruf e UU Nomor 8 Tahun 2011 saling
memiliki keterkaitan satu sama lain dengan Pasal 27A ayat
(3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU Nomor 8 Tahun 2011
maka pasal a quo juga harus dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945, Mahkamah Konstitusi menegaskan
bahwa keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi dari unsur Komisi Yudisial, DPR, Pemerintah, dan
Mahkamah Agung tidak memberi jaminan kemandirian,
karena ada kemungkinan orang yang mengisi keanggotaan
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi sarat dengan
kepentingan sektoral, oleh karena itu dalam rangka menjaga
independensi dan imparsialitas Mahkamah, maka
Mahkamah perlu menyusun kode etik dan pedoman
perilaku hakim konstitusi, dan para anggota Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang anggotanya selain
dari Mahkamah Konstitusi, juga dari unsur lain yang
independen dan tidak partisan.
Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 50A UU
Nomor 8 Tahun 2011 bertentangan dengan Pasal 22A dan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi
memberikan pertimbangan bahwa Indonesia telah
menyatakan identitasnya sebagai negara hukum yang
demokrasi konstitusional atau negara demokrasi yang
berdasar atas hukum, sebagaimana amanat Pasal 1 ayat (2)
dan ayat (3) UUD 1945. Salah satu syarat setiap negara yang
menganut paham rechstaat dan constitutional democracy
adalah prinsip konstitusionalisme (constitutionalism), antara
lain yaitu prinsip yang menempatkan undang-undang dasar
atau konstitusi sebagai hukum tertinggi dalam suatu
negara. Untuk menjamin tegak dan dilaksanakannya
konstitusi itu maka harus terdapat mekanisme yang
menjamin bahwa ketentuan-ketentuan konstitusi dimaksud
benar-benar dilaksanakan dalam praktik kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pasal 24 ayat (2)
UUD 1945 telah memberi kewenangan kepada Mahkamah
Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
yang berfungsi mengawal konstitusi atau Undang-Undang
Dasar (the guardian of the constitution) dan karena fungsinya
itu Mahkamah Konstitusi merupakan penafsir tertinggi
Undang-Undang Dasar (the ultimate interpreter of the
constitution). Dalam kerangka pemikiran demikian maka
seluruh kewenangan yang diberikan oleh konstitusi kepada
Mahkamah Konstitusi, sebagaimana tertulis dalam Pasal 24
ayat (2) dan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945,
bersumber dan mendapatkan landasan konstitusionalnya.
Salah satu kewenangan Mahkamah adalah menguji Undang-
Undang terhadap UndangUndang Dasar. Dengan
kewenangan yang diberikan tersebut Mahkamah dalam
mengadili suatu Undang-Undang wajib menggali nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat
berdasarkan UUD 1945 sebagai hukum dasar tertinggi
maupun Undang-Undang sebagai penjabaran dari UUD
1945. Pelarangan terhadap Mahkamah untuk menggunakan
Undang-Undang lain sebagai dasar pertimbangan hukum
adalah mereduksi kewenangan Mahkamah sebagai
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Penggunaan Undang-Undang lain sebagai dasar
pertimbangan hukum justru untuk menciptakan kepastian
hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945. Dalam praktik Putusan Mahkamah
terkait dengan pengujian materiil Mahkamah tidak pernah
menggunakan Undang-Undang sebagai dasar pertimbangan,
akan tetapi dalam permohonan-permohonan tertentu,
Mahkamah harus melihat seluruh Undang-Undang sebagai
satu kesatuan sistem yang tidak boleh bertentangan satu
dengan yang lain sehingga apabila Mahkamah menemukan
ada satu Undang-Undang bertentangan dengan Undang-
Undang lain, hal itu berarti bertentangan dengan kepastian
hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.
Dalam konteks pengujian formil dalam Putusan
Nomor 27/PUU-VII/2009, Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa:
“...sepanjang Undang-Undang, tata tertib produk
lembaga negara, dan peraturan perundang-undangan
yang mengatur mekanisme atau formil prosedural itu
mengalir dari delegasi kewenangan menurut konstitusi
maka peraturan perundang-undangan itu dapat
dipergunakan atau dipertimbangkan sebagai tolok ukur
atau batu uji dalam pengujian formil”.
Hal itu dilakukan Mahkamah karena Pasal 22A UUD
1945 menentukan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang
tata cara pembentukan Undang-Undang diatur dengan
Undang-Undang. Adapun mekanisme pembentukan
Undang-Undang di DPR diatur dengan tata tertib DPR
sehingga menurut Mahkamah penggunaan Undang-Undang
mengenai pembentukan Undang-Undang dan tata tertib
DPR sebagai dasar putusan Mahkamah dimaknai sebagai
penjabaran dari UUD 1945 secara langsung. Oleh karena itu
menurut Mahkamah jika pasal a quo diterapkan maka akan
merestriksi tugas dan fungsi Mahkamah dalam
melaksanakan kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945.
Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 59 ayat (2)
UU No. 8 Tahun 2011 bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945 Mahkamah mempertimbangkan sebagai
berikut:
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, antara lain,
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final ...”.
Ketentuan tersebut jelas bahwa putusan Mahkamah
Konstitusi bersifat final dan mengikat umum (erga omnes)
yang langsung dilaksanakan (self executing). Putusan
Mahkamah sama seperti Undang-Undang yang harus
dilaksanakan oleh negara, seluruh warga masyarakat, dan
pemangku kepentingan yang ada. Putusan Mahkamah
Konstitusi sama seperti Undang-Undang yang harus
dilaksanakan oleh negara, seluruh warga masyarakat, dan
pemangku kepentingan yang ada. Norma Pasal 59 ayat (2)
UU Nomor 8 Tahun 2011 tidak jelas dan menimbulkan
ketidakpastian hukum, karena DPR dan Presiden hanya
akan menindaklanjuti putusan Mahkamah jika diperlukan
saja. Padahal putusan Mahkamah merupakan putusan yang
sifatnya final dan mengikat yang harus ditindaklanjuti oleh
DPR dan Presiden sebagai bentuk perwujudan sistem
ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945 sekaligus sebagai
konsekuensi paham negara hukum demokratis yang
konstitusional. Di samping itu, Pasal 59 ayat (2) UU Nomor 8
Tahun 2011 mengandung kekeliruan, yaitu frasa “DPR atau
Presiden”, karena berdasarkan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945,
setiap rancangan Undang-Undang dibahas bersama oleh
DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
Karena itu, DPR atau Presiden tidak berdiri sendiri dalam
membahas rancangan Undang-Undang, sehingga frasa “DPR
atau Presiden” bertentangan dengan Pasal 20 ayat (2) UUD
1945.
Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 87 UU
Nomor 8 Tahun 2011 bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan
sebagai berikut:
“Pasal 87 UU Nomor 8 Tahun 2011 adalah pengganti
Pasal 87 UU MK sebelumnya yang termasuk dalam
Bab Ketentuan Peralihan. Jika diperhatikan ketentuan
pasal a quo adalah dimaksudkan sebagai ketentuan
peralihan yang menurut Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5234) dalam
Lampiran II Huruf C.4, Angka 127 telah menentukan
bahwa yang dimaksud ketentuan peralihan adalah
ketentuan yang memuat penyesuaian pengaturan
tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah
ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
lama terhadap peraturan perundang-undangan yang
baru, yang bertujuan untuk:
a. menghindari terjadinya kekosongan hukum;
b. menjamin kepastian hukum;
c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak
yang terkena dampak perubahan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional
atau bersifat sementara.”
Namun, kenyataannya Pasal 87 UU Nomor 8 Tahun
2011 a quo justru mengandung norma yang bertentangan
dengan tujuan yang hendak dicapai oleh ketentuan
peralihan sebagaimana dimuat di dalam Lampiran II Huruf
C.4, angka 127 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Sehubungan dengan ketentuan peralihan, Mahkamah
Konstitusi dalam putusan Nomor 019/PUU-I/2003,
bertanggal 18 Oktober 2004 dan Nomor 121/PUU-VII/2009,
tanggal 9 Maret 2011 pada pokoknya menyatakan ketentuan
peralihan memuat penyesuaian terhadap peraturan
perundang-undangan yang sudah ada pada saat peraturan
perundang-undangan baru mulai berlaku, agar peraturan
perundang-undangan tersebut dapat berjalan lancar dan
tidak menimbulkan permasalahan hukum.
Dengan mendasarkan pada kedua putusan
Mahkamah a quo, maka yang harus dipertimbangkan adalah
apakah dengan adanya ketentuan Pasal 87 UU Nomor 8
Tahun 2011 tersebut dapat menghindari timbulnya
permasalahan hukum atau justru sebaliknya; Bahwa Pasal
87 UU Nomor 8 Tahun 2011 menyatakan:
“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai
Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi
tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa
jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
b. hakim konstitusi yang saat ini menjabat tetap
menjabat sampai dengan diberhentikan
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi”
Menurut Mahkamah, ketentuan a quo
memberlakukan dua Undang-Undang sekaligus dalam satu
Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
Padahal, ketentuan peralihan dibuat adalah untuk
menjamin kepastian hukum. Selain itu, Pasal 87 huruf a UU
Nomor 8 Tahun 2011 tidak dapat dilaksanakan karena
bertentangan dengan Pasal 4 ayat (4f), ayat (4g), dan ayat
(4h) UU Nomor 8 Tahun 2011, karena Pasal 4 menghendaki
pemilihan ketua dan wakil ketua dalam satu kali rapat
pemilihan, sementara wakil ketua yang saat ini menjabat
masa jabatannya tiga tahun, yaitu berakhir pada tahun
2013. Salah satu asas pembentukan peraturan perundang-
undangan adalah asas ‘dapat dilaksanakan’. Dengan dasar
pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah Pasal 87 huruf
a UU Nomor 8 Tahun 2011 selain menimbulkan
ketidakpastian hukum juga melanggar asas pembentukan
peraturan perundang-undangan khususnya asas ‘dapat
dilaksanakan’.
Oleh karena itu, seraya menunggu perbaikan dari
pembentuk Undang-Undang, maka pemilihan Ketua dan
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipergunakan aturan
yang lama yaitu Pasal 4 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
01/PMK/2003 tentang Tata Cara Pemilihan Ketua dan Wakil
Ketua Mahkamah Konstitusi; Bahwa menurut Mahkamah
ketentuan mengenai hakim konstitusi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 87 huruf b UU Nomor 8 Tahun 2011
memberlakukan dua Undang-Undang sekaligus dalam satu
Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
Padahal, ketentuan peralihan dibuat adalah untuk
menjamin kepastian hukum; Menurut Mahkamah, selain
menimbulkan ketidakpastian hukum, Pasal 87 UU Nomor 8
Tahun 2011 juga menimbulkan ketidaksamaan perlakuan,
karena ada pasal yang langsung berlaku dan dilaksanakan,
namun ada juga yang tidak langsung berlaku.
Pemberlakuan dua Undang-Undang yang demikian itu
merupakan pembedaan perlakuan terhadap hakim
konstitusi yang sedang menjalankan tugasnya dan hakim
yang akan diangkat kemudian, sehingga merugikan hak
konstitusional bagi pihak yang terkena dampak perubahan
tersebut.
Hal demikian tidak sesuai dengan prinsip
“memperlakukan sama terhadap hal yang sama,
memperlakukan berbeda terhadap hal yang berbeda“. Di
samping itu, juga bertentangan dengan prinsip perubahan
hukum yang harus memberlakukan ketentuan yang
menguntungkan bagi yang dikenai perubahan peraturan.
Oleh karena itu, norma yang termuat di dalam ketentuan
Pasal 87 huruf b UU Nomor 8 Tahun 2011 yang seharusnya
merupakan ketentuan peralihan di samping tidak tercapai
maksud dan tujuannya, juga telah menimbulkan
ketidakpastian hukum serta menimbulkan ketidaksamaan
perlakuan, sehingga permohonan para Pemohon mengenai
Pasal 87 UU Nomor 8 Tahun 2011 tersebut harus
dinyatakan beralasan menurut hukum.

c. Putusan MK Nomor 48/PUU-IX/2011


Pemohon dalam permohonannya mengajukan
permohonan provisi yang pada pokoknya memohon agar
Mahkamah Konstitusi menerbitkan putusan provisi yang
memberitahukan kepada Pengadilan Tinggi Jawa Timur atau
Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk menghentikan,
atau setidak-tidaknya menunda proses peradilan dalam
tingkat banding atau kasasi yang melibatkan Pemohon
sebagai terdakwa dalam Perkara Pidana Nomor
1174/Pid.B/2011/PN.SBY. Permasalahan hukum utama
permohonan Pemohon adalah untuk menguji Pasal 112 ayat
(1) dan Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5062, selanjutnya disebut
UU Narkotika) dan Pasal 45A serta Pasal 57 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU No.
8 Tahun 2011) terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD
1945). Mahkamah menyatakan bahwa
(i) dalam pengujian Undang-Undang (judicial review),
putusan Mahkamah hanya menguji norma abstrak,
tidak mengadili kasus konkret seperti
memberitahukan kepada Pengadilan Tinggi Jawa
Timur atau Mahkamah Agung Republik Indonesia
untuk menghentikan atau menunda proses peradilan
dalam tingkat banding atau kasasi;
(ii) putusan Mahkamah tentang norma dalam kasus
Pengujian Undang-Undang (judicial review) bersifat
erga omnes;
(iii) putusan Mahkamah bersifat prospektif sesuai dengan
ketentuan Pasal 58 UU MK serta Pasal 38 dan Pasal
39 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam
Perkara Pengujian Undang-Undang
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 memberi kewenangan
kepada Mahkamah yang antara lain, mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji Undang-Undang terhadap UUD. Dengan demikian,
Mahkamah berwenang untuk menguji baik formil maupun
materil dari suatu Undang-Undang. Karakter hukum acara
di Mahkamah Konstitusi terutama dalam perkara pengujian
Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah untuk
mempertahankan hak dan kepentingan konstitusional yang
dilindungi oleh konstitusi, sebagai akibat berlakunya suatu
Undang-Undang yang berlaku umum (erga omnes). Oleh
karena itu apabila kepentingan umum menghendaki, Hakim
Konstitusi tidak boleh terpaku hanya pada permohonan
atau petitum yang diajukan. Kalaupun yang dikabulkan dari
permohonan Pemohon misalnya hanya menyangkut satu
pasal saja, akan tetapi apabila dengan dinyatakannya pasal
tertentu tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat, dan pasal tersebut adalah pasal inti dari
Undang-Undang maka pasal lain dalam Undang-Undang
yang dimohonkan diuji menjadi tidak mungkin untuk
diperlakukan lagi. Undang-Undang demikian tidak dapat
dipertahankan dan harus dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan. Hal itu
merupakan aturan hukum acara dan praktik yang lazim
diterapkan oleh Mahkamah Konstitusi di berbagai negara.
Misalnya, Pasal 45 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
Korea Selatan (1987) menentukan,”The Constitutional Court
shall decide only whether or not the requested statute or any
provision of the statute is unconstitutional: Provided, that if it
is deemed that the whole provisions of the statute are unable
to enforce due to a decision of unconstitutionality of the
requested provision, a decision of unconstitutionality may be
made on the whole statute”.
Artinya, Mahkamah Konstitusi memutus
konstitusional tidaknya satu Undang-Undang atau suatu
ketentuan dari Undang-Undang tidak hanya terhadap
ketentuan yang dimohonkan pengujian. Dalam hal seluruh
ketentuan dalam Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian dinilai tidak dapat dilaksanakan sebagai akibat
putusan yang menyatakan inkonstitusionalnya pasal yang
dimohonkan, maka putusan tentang inkonstitusionalitas
dapat dijatuhkan terhadap keseluruhan undang-undang
tersebut. Dalam praktik, beberapa putusan Mahkamah
pernah menyatakan Undang-Undang tersebut bertentangan
dengan UUD 1945, meskipun pemohon dalam
permohonannya tidak meminta seluruh Undang-Undang
dibatalkan, namun berdasarkan prinsip ex aequo et bono,
hakim dapat menjatuhkan putusan yang adil dan patut
menurut hukum; Ketentuan yang memuat larangan bagi
Hakim untuk mengabulkan di luar atau lebih dari
permohonan Pemohon, dikenal dalam hukum acara perdata,
yaitu dalam Pasal 178 ayat (2) dan ayat (3) HIR serta Pasal
189 ayat (2) dan ayat (3) Rbg. Hal tersebut sangat mudah
dipahami, karena inisiatif untuk mempertahankan atau
tidak mempertahankan satu hak yang bersifat keperdataan
yang dimiliki orang-perorangan, terletak pada kehendak
atau pertimbangan orang-perorang tersebut. Permintaannya
tidak dapat dilampaui, karena ada kalanya mengabulkan
melebihi apa yang diminta, justru merugikan kepentingan
yang bersangkutan. Karakter hukum acara perdata yang
demikian adalah untuk mempertahankan kepentingan
individu, yang hanya digerakkan oleh permohonan atau
gugatan penggugat. Oleh karena itu, kekuatan mengikat dan
akibat hukum putusan hakim demikian hanya mengikat
para pihak dalam perkara tersebut atau disebut mengikat
inter-partes.
Namun, dalam perkembangannya, beberapa putusan
Mahkamah Agung, tidak memberlakukan secara mutlak
dengan alasan pertimbangan keadilan dan kepantasan;
Sangkaan bahwa Mahkamah melakukan abuse of power
dengan putusan yang dianggap ultra petita, disebabkan
kesalahpahaman mengenai fungsi pengujian Undang-
Undang (judicial review). Peristiwa pertama lahirnya lembaga
constitutional review adalah di Mahkamah Agung Federal
Amerika Serikat tahun 1803 dalam perkara Marbury vs
Madison, yang dalam putusannya Mahkamah Agung Federal
Amerika Serikat justru jauh melebihi dari yang dimohon
(ultra petita). Bahkan secara keseluruhan tidak menyangkut
hal yang dimohon oleh penggugat, dengan pertimbangan
bahwa dalam melaksanakan tugas konstitusionalnya, hakim
tidak boleh diikat sekadar pada kotak permohonan Pemohon
yang didasarkan pada motivasi kepentingan pribadi yang
bersifat individual. Kepentingan umum mengharuskan
hakim melaksanakan tugas dan fungsinya mengawal
konstitusi lebih luas dari sekedar kepentingan pribadi yang
bersifat individual; Salah satu tujuan pembentukan
Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan judicial review
adalah membenahi hukum. Untuk maksud tersebut, hakim
konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat guna pembentukan hukum baru, melalui
putusan-putusan
Mahkamah, untuk menjaga agar tidak terjadi
kekosongan hukum. Oleh karena itu, keberadaan Pasal 45A
UU No. 8 Tahun 2011 bertentangan dengan UUD 1945;
Bahwa terhadap permohonan pengujian Pasal 57 ayat (2a)
UU No. 8 Tahun 2011, Mahkamah memberikan
pertimbangan sebagai berikut: Menurut Mahkamah,
ketentuan Pasal 57 ayat (2a) UU No. 8 Tahun 2011 tersebut
bertentangan dengan tujuan pembentukan Mahkamah
untuk menegakkan hukum dan keadilan khususnya dalam
rangka menegakkan konstitusionalitas norma Undang-
Undang sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Adanya Pasal
57 ayat (2a) UU No. 8 Tahun 2011 tersebut berakibat
terhalangnya Mahkamah untuk:
(i) menguji konstitusionalitas norma;
(ii) mengisi kekosongan hukum sebagai akibat putusan
Mahkamah yang menyatakan suatu norma
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sementara itu, proses pembentukan Undang-Undang
membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga
tidak dapat segera mengisi kekosongan hukum
tersebut;
(iii) melaksanakan kewajiban hakim konstitusi untuk
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat
Dalam upaya memberikan tafsiran agar sesuai dengan
konstitusi, Mahkamah pada putusan-putusan terdahulu
beberapa kali membuat terobosan dengan memberikan
persyaratan terhadap pasal yang diujikan (conditionally
constitutional).128

d. Putusan MK Nomor 34/PUU-X/2012


Sehubungan dengan kepaniteraan, undang-undang
mengatur secara berbeda mengenai batas usia pensiun
Panitera. Batas usia pensiun bagi Panitera di lingkungan
peradilan umum, peradilan tata usaha negara, peradilan
agama adalah 60 tahun untuk peradilan tingkat pertama,
dan 62 tahun untuk peradilan tingkat banding. 129 Pada sisi
lain, batas usia pensiun Panitera Mahkamah Konstitusi
tidak diatur dalam Undang-Undang tetapi hanya diatur
dalam Peraturan Presiden yaitu Peraturan Presiden Nomor
49 Tahun 2012 tentang Kepaniteraan dan Sekretariat
Jenderal Mahkamah Konstitusi yang menentukan batas usia
pensiun adalah 56 tahun [vide Pasal 9 ayat (1)]. Pasal 7A
ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2011 hanya menentukan bahwa:
“Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
merupakan jabatan fungsional yang menjalankan
tugas teknis administratif peradilan Mahkamah
Konstitusi”
namun tidak menyebutkan usia pensiun.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman mengatur kedudukan Panitera
sebagaimana dalam ketentuan:

128
Hal. 95
129
Pasal 36A huruf d dan huruf e Undang-Undang Nomor 49 Tahun
2009, Pasal 38A huruf d dan huruf e Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009,
dan Pasal 38A huruf d dan huruf e Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
1. Pasal 50 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 menyatakan,
“Tiap putusan pengadilan harus ditandatangani oleh
ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang
ikut serta bersidang”.
2. Pasal 51 UU No. 48 Tahun 2009 menyatakan,
“Penetapan, ikhtisar rapat permusyawaratan, dan
berita acara pemeriksaan sidang ditandatangani oleh
ketua majelis hakim dan panitera sidang”.
3. Pasal 54 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009
menyatakan,”Pelaksanaan putusan pengadilan dalam
perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita
dipimpin oleh ketua pengadilan”.
Kedudukan Panitera diatur pula dalam Pasal 41 ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang menyatakan:
(1) Seorang Hakim wajib mengundurkan diri dari suatu
persidangan apabila terikat hubungan keluarga
sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau
hubungan suami atau isteri meskipun sudah
bercerai dengan salah seorang Hakim Anggota atau
Panitera pada majelis yang sama dimaksudkan
Pasal 40 ayat (1);
(2) Seorang Hakim atau Panitera wajib mengundurkan
diri dari persidangan apabila terikat hubungan
keluarga sedarah atau semenda sampai derajat
ketiga atau hubungan suami atau isteri meskipun
sudah bercerai dengan Penuntut Umum, Oditur
Militer, Terdakwa, Penasihat Hukum, Tergugat dan
Penggugat;
(3) Hubungan keluarga sebagaimana dimaksudkan
ayat (1) dan (2) berlaku juga antara Hakim Agung
dan/atau Panitera Mahkamah Agung, dengan
Hakim dan/atau Panitera Pengadilan Tingkat
Pertama serta Hakim dan/atau Panitera Pengadilan
Tingkat Banding, yang telah mengadili perkara
yang sama.
Hal yang sama juga diatur dalam UU MK sebagai berikut:
1. Pasal 46 UU MK, “Putusan Mahkamah Konstitusi
ditandatangani oleh hakim yang memeriksa,
mengadili, dan memutus, dan panitera”.
2. Pasal 48 ayat (2) huruf g UU MK, ”Setiap putusan
Mahkamah Konstitusi harus memuat: “... g. hari,
tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan
panitera”.
Dengan berpedoman mendasarkan pada ketentuan
tersebut di atas menurut Mahkamah Konstitusi kedudukan
dan keberadaan Panitera dan Panitera Pengganti pada
Mahkamah Konstitusi merupakan pegawai negeri sipil
selaku pejabat fungsional yang memiliki keahlian atau
keterampilan tertentu dalam membantu pelaksanaan tugas
pokok peradilan untuk memeriksa, mengadili dan memutus
perkara. Dengan demikian tugas panitera erat kaitannya
dengan tugas hakim dalam setiap memutus perkara.
Panitera dalam lingkungan Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi memiliki tugas, fungsi, dan tanggung
jawab yang sama. Namun, pasal 7A ayat (1) UU No. 8 Tahun
2011 tidak menentukan secara spesifik mengenai batas usia
pensiun Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti,
pada Mahkamah Konstitusi sebagaimana halnya dalam
undang-undang pelaku kekuasaan kehakiman lainnya,
tetapi diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun
2012, padahal di dalam Pasal 24C ayat (6) UUD 1945
dinyatakan:
“Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi,
hukum acara serta ketentuan lainnya tentang
Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang”.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung mengatur tentang
pengangkatan Panitera, Panitera Muda, dan Panitera
Pengganti Mahkamah Agung yaitu sebagai berikut:
Pasal 20 Ayat (1) huruf d
“Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Mahkamah
Agung, seorang calon harus memenuhi syarat: ... d.
berpengalaman sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun
sebagai Panitera Muda Mahkamah Agung atau sebagai
ketua atau wakil ketua pengadilan tingkat banding”;
Pasal 20 Ayat (2) huruf b
“Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda
Mahkamah Agung, seorang calon harus memenuhi
syarat: ... b. berpengalaman sekurang-kurangnya 1
(satu) tahun sebagai hakim tinggi”;
Pasal 20 Ayat (3) huruf b
“Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti
Mahkamah Agung, seorang calon harus memenuhi
syarat: ... b. berpengalaman sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) tahun sebagai hakim pengadilan tingkat
pertama”.
Dengan demikian usia pensiun bagi Panitera dan
Panitera Muda pada Mahkamah Agung
disesuaikan/disamakan dengan usia pensiun hakim tingkat
banding yaitu 67 tahun, sedangkan Panitera Pengganti pada
Mahkamah Agung adalah 65 tahun sebagaimana usia
pensiun hakim tingkat pertama. ketiadaan penetapan usia
pensiun bagi Panitera, Panitera Muda, dan Panitera
Pengganti pada Mahkamah Konstitusi dalam UU Nomor 8
Tahun 2011 merupakan perlakuan yang tidak
mempersamakan kedudukan orang atau pejabat di depan
hukum dan pemerintahan sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 serta bertentangan dengan
prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; ketiadaan penetapan
usia pensiun bagi Panitera, Panitera Muda, dan Panitera
Pengganti pada Mahkamah Konstitusi dalam UU 8/2011
merupakan perlakuan yang tidak mempersamakan
kedudukan orang atau pejabat di depan hukum dan
pemerintahan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 27 ayat
(1) UUD 1945 serta bertentangan dengan prinsip kepastian
hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945.
Persyaratan untuk menduduki jabatan Panitera,
Panitera Muda, dan Panitera Pengganti pada Mahkamah
Konstitusi tidak harus di duduki oleh Hakim sebagaimana
berlaku pada Mahkamah Agung. Sedangkan persyaratan
menduduki jabatan kepaniteraan pada peradilan umum,
peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara pada
tingkat pertama dan tingkat banding tidak diduduki hakim,
oleh karena itu menurut Mahkamah persyaratan usia
pensiun bagi pejabat kepaniteraan pada Mahkamah
Konstitusi harus disesuaikan dengan batas usia pensiun
pejabat kepaniteraan di lingkungan peradilan umum,
peradilan agama dan peradilan tata usaha negara. Berdasar
pertimbangan rasional seharusnya batas usia pensiun
Panitera Mahkamah Konstitusi sama dengan batas usia
pensiun Panitera Mahkamah Agung. Namun oleh karena
pada saat ini Undang-Undang menentukan bahwa Panitera
Mahkamah Agung berasal dari hakim tinggi yang batas usia
pensiunnya adalah 67 tahun yang dengan sendirinya batas
usia pensiun Panitera Mahkamah Agung adalah 67 tahun
sesuai dengan batas usianya sebagai hakim tinggi. Oleh
sebab itu, untuk menentukan batas usia Panitera pada
Mahkamah Konstitusi, Mahkamah menetapkan batas usia
pensiun yang adil bagi Panitera Mahkamah Konstitusi yaitu
62 tahun sesuai dengan usia pensiun bagi Panitera yang
tidak berkarier sebagai hakim dan memandatkan kepada
pembentuk undang-undang untuk menetapkan persyaratan
yang sama bagi calon Panitera di Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi.
Oleh karena itu dalam putusannya, Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwa:
Pasal 7A ayat (1) yang menyatakan, “Kepaniteraan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 merupakan jabatan
fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif
peradilan Mahkamah Konstitusi” Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5226) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang disertai
frasa “dengan usia pensiun 62 tahun bagi Panitera, Panitera
Muda, dan Panitera Pengganti”.
Pasal 7A ayat (1) yang menyatakan, “Kepaniteraan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 merupakan jabatan
fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif
peradilan Mahkamah Konstitusi” Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5226) mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
disertai frasa “dengan usia pensiun 62 tahun bagi Panitera,
Panitera Muda, dan Panitera Pengganti”.

e. Putusan MK Nomor 1-2/PUU-XII/2014


Dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi
mengabulkan pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan
UU Penetapan Perppu MK bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. UU No.
24 Tahun 2003 tentang MK sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 8 Tahun 2011 berlaku kembali.
Para pemohon menganggap UU No. 4 Tahun 2014
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, UUD
1945 tak mengamanatkan pelibatan KY dalam pengajuan
calon hakim konstitusi melalui panel ahli dan pengawasan
hakim konstitusi. Penambahan syarat calon hakim
konstitusi tidak menjadi anggota parpol dalam waktu tujuh
tahun pun tidak dikenal dalam UUD 1945. Syarat anggota
tim panel ahli berpendidikan minimal magister turut
dipersoalkan pemohon. 
Mahkamah menilai salah satu materi UU No. 4 Tahun
2014 mengatur proses pengangkatan hakim konstitusi,
Sementara, Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 menyebut “MK
mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang
ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga
orang oleh MA, DPR, dan Presiden.” Oleh karena itu,
pengajuan calon hakim konstitusi melalui Panel Ahli yang
dibentuk oleh KY bersama perwakilan MA, DPR, dan
Presiden dianggap telah nyata-nyata mereduksi kewenangan
konstitusional ketiga lembaga tersebut.130
Terkait pelibatan KY dalam pembentukan Majelis
Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK), menurut
Mahkamah checks and balances suatu mekanisme yang
diterapkan untuk mengatur hubungan antara kekuasaan
legislatif dan eksekutif. Namun, checks and balances tidak
ditujukan kepada kekuasaan kehakiman karena antara
kekuasaan kehakiman dan cabang kekuasaan yang lain
berlaku pemisahan kekuasaan. Prinsip utama yang harus
dianut oleh negara hukum adalah kebebasan kekuasaan
yudisial atau kekuasaan kehakiman. Hal tersebut sesuai
dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dengan tegas
menyatakan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
Terlebih lagi, Mahkamah telah memutus dalam
putusan Nomor 005/PUU-IV/2006, bertanggal 23 Agustus
2006, bahwa Hakim MK tidak terkait dengan ketentuan
yang diatur dalam Pasal 24B UUD 1945. Terkait syarat
hakim konstitusi harus tujuh tahun telah lepas dari ikatan
partai politik seperti tertuang dalam Pasal 15 ayat (2) huruf i
UU No. 4 Tahun 2014, Mahkamah berpendapat peraturan
itu diterbitkan lebih karena penangkapan Akil Mochtar
sehingga menjadi stigma. Stigma bertendensi
menggeneralisasi, apa yang telah terjadi pada M. Akil
Mochtar kemudian dijadikan dasar setiap anggota partai
politik pastilah tidak pantas menjadi hakim konstitusi atau
dicap calon koruptor. Stigmatisasi seperti itu mencederai
hak-hak konstitusional seorang warga negara yang terkena
130
“MK Batalkan UU Penetapan PERPPU MK”,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52fced103853a/mk-batalkan-uu-
penetapan-perppu-mk diakses 12 Februari 2018
stigmatisasi. Padahal, hak menjadi Hakim Konstitusi bagi
setiap orang adalah hak dasar untuk ikut dalam
pemerintahan yang dijamin UUD 1945. Oleh karena itu
setiap pembatasan hak haruslah memiliki landasan hukum
yang kokoh dan valid.

2. Permasalahan Fungsi
a. Peran Mahkamah Konstitusi sebagai Penafsir Terakhir
(The Final Intepreter)
Model-model Perubahan Konstitusi
Terdapat berbagai model perubahan konstitusi yang
dikemukakan oleh ahli tata negara di dunia. Perubahan
konstitusi pada dasarnya oleh George Jellinek 131 dibagi
menjadi dua, yaitu; pertama, melalui prosedur formal
(verfassungsanderung) dan kedua, melalui cara-cara
informal (verfassungswandlung).132 Perubahan formal adalah
perubahan yang mekanismenya telah diatur di dalam
konstitusi suatu negara sedangkan perubahan di luar
ketentuan konstitusi disebut sebagai perubahan informal
atau melalui kondisi yang disebut Djokosoetono
secara onbewust (lambat-laun).133 Menurut Soehardjo
Sastrosoehardjo, verfassungsanderung dimaknai sebagai
bentuk perubahan yang sesungguhnya, di mana terjadi
perubahan terhadap pokok-pokok pikiran, asas-asas,
bentuk negara, sistem pemerintahan dan
lainnya.134 Semenara itu, verfassungswandlung adalah
perubahan makna ataupun penafsiran ketentuan dalam
131
Astim Riyanto, Teori Konstitusi, (Bandung: Penerbit Yapemdo, 2000),
hlm. 581.
132
Djokosoetono, Kuliah Hukum Tata Negara, (Jakarta: Penerbit In-Hill-
Co, 2006) hlm. 131; dan Jimly Asshiddiqiq, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara-
Jilid I, (Jakarta: Sekjen Mahkamah Konstitusi RI 2006), hlm. 145.
133
Djokosoetono, Kuliah Hukum Tata Negara.
134
Astim Riyanto, Teori Konstitusi, hlm. 564.
konstitusi yang tidak menyimpang dari ketentuan pokok
serta asas-asas yang termaktub di dalamnya.
C.F. Strong membagi verfassunganderung ke dalam
beberapa cara yang umumnya ditentukan dalam konstitusi
di pelbagai sistem ketatanegaraan. Cara-cara perubahan
konstitusi secara formal ‘ala’ Strong tersebut ialah:135 (a) by
the ordinary legislature but under certain
restrictions, perubahan melalui lembaga legislatif biasa tetapi
melalui aturan-aturan tertentu, misalnya oleh Indonesia;
(b) by the people through a referendum, perubahan konstitusi
yang dilakukan dengan persetujuan rakyat (referendum)
melalui pemungutan suara, terjadi misalnya pada masa
peralihan republik keempat Prancis menuju konstitusi
republik kelima di bawah pimpinan Jenderal Charles de
Gaulle; (c) by a majority for all units of a federal state, sistem
yang menentukan perubahan konstitusinya melalui suara-
suara pada negara-negara bagian pada sebuah negara
federal, terjadi misalnya pada Amerika Serikat; (d) by special
convention, konvensi yang dimaksudkan dalam bagian ini
bukanlah sebuah kebiasaan (convention) ketatanegaraan,
melainkan adalah sebuah lembaga khusus (special
convention).
Dalam literatur-literatur ketatanegaraan modern,
pembahasan mengenai proses perubahan formal dari
konstitusi begitu banyak. Secara teori hukum tata negara,
posisi perubahan konstitusi melalui cara formal pun tidak
menimbulkan banyak perbedaan pendapat. Selama
implementasi proses perubahan berkesesuaian dengan

135
Abu Daud Busroh, Intisari Hukum Tatanegara: Perbandingan
Konstitusi Sembilan Negara, (Jakarta: Penerbit PT Bina Aksar, 1987), hlm. 15.;
dan Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tatanegara
Indonesia, (Jakarta: Penerbit Pusat Studi Hukum Tatanegara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia dan CV Sinar Bakti, 1988), hlm. 85.
aturan dalam konstitusi, maka pasal-pasal perubahan
konstitusi berlaku tanpa banyak perdebatan. Walaupun
perubahan konstitusi tersebut masih menjadi perdebatan,
namun perubahan konstitusi tetap legal. Suasana berbeda
akan ditemui dalam pembahasan perubahan konstitusi
secara informal, dikarenakan sifatnya yang accidental.
K.C. Wheare menyatakan bahwa perubahan konstitusi
ada 4 (empat) metode, yang berbeda dengan metode Strong,
yaitu:136 (a) some primary forces; (b) formal amendment;
(c) judicial interpretation; (d) usage and convention.
Perbedaan cara perubahan konstitusi yang dikemukakan
oleh Strong dan Wheare tersebut terletak pada dua sudut
pandang. Strong melihat terjadinya perubahan konstitusi
melalui proses yang ditentukan oleh konstitusi itu sendiri,
sedangkan Wheare membagi perubahan konstitusi
berdasarkan kondisi atau situasi yang menyebabkan
terjadinya perubahan konstitusi. Strong juga membatasi
perubahan konstitusi tersebut kepada proses formal, namun
tidak melihat kondisi luar biasa yang mungkin saja dapat
terjadi dalam perkembangan ketatanegaraan.
Pada perubahan konstitusi secara informal, menurut
K.C. Wheare, terdapat kekuatan-kekuatan yang mampu
menimbulkan perubahan konstitusi itu sendiri. Kekuatan
itu sendiri oleh Wheare dibagi menjadi dua, yaitu; pertama,
kekuatan yang dapat menciptakan berubahnya kondisi di
suatu negara. Kekuatan itu memang tidak mengubah
kalimat-kalimat dalam konstitusi secara eksplisit, namun
kekuatan tersebut mampu menciptakan kondisi yang dapat
mengubah makna atau kestabilan supremasi
konstitusi. Kedua, kekuatan yang mampu menciptakan

136
K.C. Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern, (Surabaya: Pustaka
Eureka, 2005), hlm. 23-50.
kondisi sehingga terlaksananya perubahan konstitusi secara
formal, melalui interpretasi hakim dan melalui konvensi
atau kebiasaan ketatanegaraan.
Wheare juga menjelaskan mengenai beberapa
kekuatan-kekuatan yang dapat mengubah konstitusi
tersebut. Misalnya, dalam kondisi perang berkecamuk
mendorong negara federal cenderung menjadi negara
kesatuan. Kewenangan-kewenangan negara bagian dalam
masa damai bisa berubah menjadi kewenangan negara
federal dalam kondisi perang. Akibatnya, kekuasaan menjadi
sangat sentralistik yang merupakan ciri pokok negara
kesatuan. Hal itu menurut Wheare bukan dikarenakan
berubahnya ketentuan dalam konstitusi, melainkan kondisi
tersebut menyebabkan pemerintah mengabaikan konstitusi
demi kepentingan yang lebih tinggi yaitu perlindungan
negara.137 Pengabaian konstitusi dalam kondisi tersebutlah
yang menyebabkan konstitusi telah berubah secara
informal.
Peristiwa lainnya yang dapat memaksa terjadinya
perubahan konstitusi secara informal adalah melalui social
force adalah revolusi, coup d’etat, putsch, convention, dan
ditambahkan Djokosoetono melalui interpretasi. Perubahan
UUD 1945 melalui interpretasi tersebut juga pernah terjadi
pada masa Orde Baru bahkan Orde Lama. Harun Alrasid
mengemukakan bahwa hal itu terjadi akibat terdapatnya
aturan lain, seperti Ketetapan (TAP) MPR, yang mengatur
mengenai hal-hal yang tidak jelas dipaparkan dalam pasal-
pasal UUD 1945. Sependapat dengan Harun Alrasid,
Mohammad Fajrul Falaakh memberikan gambaran
mengenai perubahan konstitusi melalui praktik di luar
ketentuan pasal-pasal konstitusi namun dapat diterima
137
Ibid.
secara luas pemberlakuannya. Fajrul Falaakh
mencontohkan kondisi tersebut ketika terjadinya perubahan
sistem pemerintahan presidensiil menjadi parlementer
ketika di awal kemerdekaan Indonesia.138
Fajrul Falaakh juga menganggap MPR ketika pada
masa Orde Baru dapat dengan mudah melakukan
perubahan konstitusi, baik melalui penafsiran maupun
penambahan ketentuan asli.139 Perubahan konstitusi melalui
tindakan hukum MPR tersebut menurut Harun Alrasid
dapat dilihat dari contoh-contoh sebagai berikut:140
1. Penambahan syarat umur pada calon Presiden pada TAP
MPR141, sehingga terjadi perubahan terhadap Pasal 6 Ayat
(1) UUD 1945 (sebelum amandemen), sehingga bunyinya
menjadi; “Presiden dan Wakil Presiden ialah orang
Indonesia asli yang berumur sekurang-kurangnya 40
tahun.”;
2. MPR melalui TAP MPR No. I/MPR/1983 tentang
Peraturan Tata Tertib yang juga mengatur mengenai
proses pengambilan keputusan telah menyebabkan
terjadinya perubahan makna teks Pasal 2 Ayat (3) UUD
1945 (sebelum amandemen) menjadi, “Segala putusan
Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan cara
musyawarah untuk mufakat atau pemungutan suara
dengan mengutamakan cara pertama.”;

138
Mohammad Fajrul Falaakh, Komisi Konstitusi dan Peran Rakyat
dalam Perubahan UUD 1945, Jurnal Analisa CSIS Tahun XXXI/2002 No. 2,
(Jakarta: Penerbit Centre for Strategic and International Studies, 2002), hlm.
194.
139
Ibid, hlm, 190.
140
Harun Alrasid, Penetapan UUD dan Perubahan UUD dalam Teori dan
Praktik, Merupakan Pidato Purna Bakti Harun Alrasid sebagai Guru Besar Tetap
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, pada hari Sabtu, 20 Juli 1996 di
Auditorium Djokosoetono Kampus Universitas Indonesia Depok, hlm. 28.
141
Ibid. Harun Alrasid tidak menyebutkan secara jelas nomor TAP MPR
yang Ia contohkan.
3. Dalam hal berkaitan dengan kewenangan MPR untuk
memberhentikan Presiden telah pula mengubah Pasal 8
UUD 1945 (sebelum perubahan) menjadi berbunyi
sebagai berikut; “Jika Presiden mangkat, berhenti, tidak
dapat melakukan kewajiban, atau diberhentikan, maka ia
digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya”.
4. Dalam hal kekosongan hukum mengenai pengisian
jabatan Wakil Presiden telah menyebabkan terjadinya
perubahan UUD 1945 menjadi berbunyi seperti berikut
ini; “Jika Wakil Presiden mangkat, berhenti, atau tidak
dapat melakukan kewajibannya, atas permintaan
Presiden dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat, MPR
mengadakan sidang istimewa untuk memilih Wakil
Presiden baru yang memegang jabatannya selama sisa
masa jabatan Wakil Presiden yang digantikannya”.
5. Kemudian Harun Alrasid memberikan contoh telah
terjadinya perubahan konstitusi pada masa Orde Lama
yang berkaitan dengan masuknya Kepolisian Republik
Indonesia (POLRI) yang sebelumnya bernama Angkatan
Kepolisian Republik Indonesia (AKRI) ke dalam Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang sebelumnya
bernama Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI)
sehingga perubahan tersebut menyebabkan Pasal 10
UUD menjadi berbunyi sebagai berikut; “Presiden
memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan
Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian
Negara”
Menurut Harun Alrasid sesungguhnya masih terdapat
beberapa perubahan lain namun kelima contoh tersebut
telah cukup membuktikan bahwa telah terjadi perubahan
UUD di luar ketentuan perubahan yang diatur oleh UUD
1945 itu sendiri.142 Pensakralan UUD 1945 selama masa
Orde Lama maupun Orde Baru mengakibatkan
dilakukannya perubahan secara ‘sembunyi-sembunyi’ demi
perkembangan kondisi ataupun kepentingan penguasa
ketika itu melalui pelbagai cara (contohnya, melalui TAP
MPR). 
Jika ditinjau suasana ketatanegaraan Indonesia pasca
perubahan UUD 1945, juga terdapat kemungkinan
perubahan informal konstitusi, terutama sebagaimana telah
dikemukakan oleh Djokosoetono dan Wheare di atas, yaitu
melalui interpretasi hakim. Kehadiran Mahkamah Konstitusi
(MK) membuka ruang terjadi interpretasi konstitusi oleh
para hakim. Penafsiran oleh lembaga yudisial tersebut
diberikan melalui kewenangan pengujian produk hukum
(toetsingrecht). Toetsingrecht oleh lembaga peradilan (judicial
review) sendiri menimbulkan perdebatan panjang bagi para
pakar hukum tata negara di berbagai negara.

Penafsiran Konstitusi
Teori penafsiran hukum diperkenalkan oleh Carl Von
Savigny, seorang pakar hukum Jerman yang mengajarkan
tentang penafsiran sebagai rekonstruksi pikiran yang
tersimpul dalam undang-undang. Menurut Savigny lebih
lanjut, penafsiran hukum bukanlah metode yang dapat
digunakan semaunya melainkan harus terpusat kepada
penafsiran undang-undang.143 Interpretasi atau menafsir
undang-undang (wetsuitleg) menurut ajaran hukum
sebenarnya adalah alat pembantu dalam memberi arti,
maksud atau rasio terhadap suatu ketentuan undang-

142
Ibid., hlm. 19.
143
Sudikno Mertokusumo, Penemuan…, hlm. 56-57.
undang.144 Hal itu disebabkan ketentuan hukum tidak dapat
memberikan penyelesaian terhadap permasalahan yang ada.
Oleh karena itu dibutuhkan penafsir undang-undang yang
memahami tujuan hukum sesungguhnya dan keputusannya
memiliki legitimasi untuk mengikat.
Metode penafsiran tersebut bukanlah berdasarkan
ketentuan baku sebagaimana dipahami secara eksakta.
Penafsiran hukum bahkan disebut sebagai sebuah seni
(interpretation is an art).145 Disebut seni karena melakukan
penafsiran hukum tidak bisa melihat suatu masalah “A”,
maka ditafsirkan “A”. Pada suatu saat penafsiran hukum
bisa sangat spesifik, namun pada saat yang lain penafsiran
bisa menjadi sangat abstrak bahkan “bermuka
dua”.146 Diperlukan banyak metode pemikiran dan alat
untuk melakukan sebuah penafsiran. Upaya merangkai
seluruh elemen untuk membantu sebuah penafsiran hukum
yang baik itulah yang disebut seni. Metode-metode dalam
penafsiran konstitusi atau disebut juga constitutional
construction adalah beragam. Para ahli juga mengemukakan
banyak pandangan mengenai metode ini. John H. Garvey
dan T. Alexander Aleinikoff mengemukakan beberapa
metode utama dalam melakukan penafsiran konstitusi
sebagai berikut: interpretivism/non-
intepretivism, textualism, original intent, stare decisis, neutral
principles, dan balancing147 atau kombinasi dari beberapa
metode tersebut.

144
John Z. Loude, Menemukan hukum Melalui Tafsir dan Fakta, (Jakarta:
Penerbit Bina Aksara, 1985), hlm. 82.
145
http://www.usconstitution.net/consttop_intr. diakses tanggal 2 Juli
2017.
146
Ibid.
147
John. H. Garvey dan T. Alexander Aleinikoff, Modern Constitutional
Theory, third Edition, (St. Paul, Minn: West Publishing Co., 1994), hlm. 94-96.
Kewenangan Toetsingrecht
Setelah kasus Marbury Vs. Madison, 148 pelbagai
perdebatan mengenai judicial review dan lembaga apakah
yang patut melakukan review terus terjadi. Michel Allen
dan Brian Thompson memberikan pemahaman mengenai
kekuasaan pengujian (review) tidak hanya dimiliki oleh
lembaga peradilan tetapi juga lembaga legislatif
(misalnya house of lord di Inggris) dalam upaya mencegah
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan pembentukan
perundang-undangan. Selengkapnya Allen dan Thompson
berpendapat sebagai berikut:149
The power of judicial review may be defined as the
jurisdiction of the superior courts (the high court, the court of
appeal and the house of lord) to review the acts, decisions
and omissions of public authorities in order to establish
whether they have exceeded or abused their powers.
Di Indonesia, ketika para penyusun konstitusi
(framers of constitution) Indonesia menyusun sendi-sendi
bernegara dalam Undang-Undang Dasar 1945, ide pengujian
konstitusional telah pernah diperdebatkan dalam sidang
BPUPKI (Badan Pekerja Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia). Moh. Yamin mengusulkan agar
terdapat sebuah mekanisme pengujian keabsahan isi UU
terhadap konstitusi, adat dan syari’ah oleh lembaga tertinggi
kehakiman.150 Yamin mengemukakan mengenai lembaga
tersebut sebagai berikut:

148
Jimly Asshiddiqie, Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai
Negara, (Jakarta: Penerbit Konstitusi Press, 2005), hlm. 16.
149
Michael Allen dan Brian Thompson, Cases and Materials on
Constitutional and Administrative Law, (United Kingdom: Oxford University
Press, 2002), hlm. 568.
150
RM. A.B. Kusuma, Lahirnya UUD 1945, (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm. 389.
“Mahkamah inilah (Mahkamah Agung: penulis) yang
setinggi-tingginya, sehingga dalam membanding undang-
undang, maka balai Agung inilah yang akan memutuskan
apakah sejalan dengan hukum adat, syariah dan undang-
undang dasar”.
Namun ide Yamin tersebut dibantah oleh Soepomo
yang menganggap bahwa belum pernah ada konsensus di
antara ahli-ahli tata negara tentang judicial review, di
samping para ahli hukum Indonesia belum memiliki
pengalaman mengenai proses judicial review.151 Menurut
Todung Mulya Lubis, pandangan Soepomo tersebut
dikarenakan anggota framers of constitusion itu tidak
membaca mengenai perdebatan sengit kasus Marbury Vs.
Madison pada the Supreme Court Amerika Serikat.152 Namun,
sesungguhnya Soepomo bukannya tidak mengetahui tentang
konsep review by the judicial body tersebut, berikut
selengkapnya ungkapan Soepomo153 pada rapat BPUPKI:
“Kecuali itu Paduka Tuan Ketua, kita dengan terus
terang akan mengatakan bahwa para ahli hukum
Indonesia pun sama sekali tidak mempunyai
pengalaman dalam hal ini, dan Tuan Yamin harus
mengingat juga bahwa di Austria, Chekoslowakia dan
Jerman waktu Weimar, bukan Mahkamah Agung, akan
tetapi pengadilan special, constitutioneelhof, -sesuatu
pengadilan spesifik- yang melulu mengerjakan
konstitusi. Kita harus mengetahui, bahwa tenaga kita
belum begitu banyak, dan bahwa kita harus

151
Todung Mulya Lubis, Judicial Review dalam Perspektif Hukum Tata
Negara, dalam Beny K Harman dan Hendardi (edt), Konstitusionalisme Peran
DPR dan Judicial Review, (Jakarta: Penerbit YLBHI dan JARIM, 1991), hlm. 106.
152
Ibid.
153
Harun Alrasid, Hak Menguji dalam Teori dan Praktik, dalam Jurnal
Konstitusi, Vol. 1 No. 1, Juli 2004, (Jakarta: Penerbit Mahkamah Konstitusi RI,
2004), hlm. 94.
menambah tenaga-tenaga, ahli-ahli tentang hal itu.
Jadi, buat negara yang muda saya kira belum
waktunya mengerjakan persoalan itu”.
Dari uraian tersebut Soepomo menyadari betul
keberadaan lembaga peradilan yang memiliki kewenangan
uji konstitusionalitas, nampaknya dari perdebatan yang ada
sepertinya Soepomo masih meragukan efektivitas uji
konstitusionalitas oleh sebuah lembaga peradilan,
sedangkan ketika itu terdapat lembaga MPR sebagai
representasi tertinggi dari rakyat. Pernyataan eksplisit
Soepomo tentang keterbatasan ahli pada waktu itu terkesan
tidak masuk akal, dikarenakan pada masa itu
banyak founding fathers yang ahli hukum, misalnya Moh.
Yamin yang ahli konstitusi dan ketatanegaraan Asia serta
Soepomo sendiri yang juga bergelar ‘misteerunderrechten’.
Kemungkinannya adalah Soepomo khawatir jika ke depan
terjadi pertikaian pemahaman konstitusi antara MPR dan
MA sebagai penafsir konstitusi. Pada perspektif tersebut
Soepomo mungkin terpengaruh diskusi mengenai
kewenangan lembaga peradilan dalam menentukan
keabsahan sebuah perundang-undangan.
Dalam istilah hukum di Indonesia kewenangan
pengujian tersebut dikenal dengan istilah toetsingrecht yang
dipopulerkan oleh Sri Soemantri.154 Namun, ada satu hal
yang perlu digarisbawahi, bahwa Hak Menguji (toetsingrecht)
bukan merupakan sinonim dari judicial review. Kedua hal
ini tidak identik dan kedua hal ini adalah dua hal yang
berbeda.155 Toetsingrecht diterjemahkan secara harafiah
sebagai Hak Menguji, sedangkan Judicial Review memiliki
154
Lihat Sri Soemantri, M., Hak Menguji Material di Indonesia, (Bandung:
Penerbit Alumni, 1986), hlm. 5.
155
Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingrecht) yang Dimiliki Hakim dalam
Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 10.
arti peninjauan oleh lembaga pengadilan. 156 Meskipun
berbeda, tetapi kedua istilah itu mengandung arti yang
sama, yaitu menguji atau meninjau. Sedangkan
perbedaannya adalah bahwa pada Judicial Review sudah
secara spesifik ditentukan bahwa kewenangan itu dimiliki
oleh pelaksana lembaga peradilan, yaitu hakim.
Secara umum, hak menguji dianggap sebagai hak
menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar.
Kewenangan ini sejatinya tidak hanya dimiliki oleh lembaga
peradilan atau lembaga yudikatif saja, tetapi juga dimiliki
oleh lembaga negara yang lain seperti lembaga legislatif dan
lembaga eksekutif. Jimly Asshiddiqie menyebut kewenangan
pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar
yang dilakukan oleh lembaga legislatif sebagai legislative
review157 dan kewenangan pengujian yang dilakukan oleh
lembaga eksekutif—meski tidak harus merupakan pengujian
undang-undang terhadap konstitusi—disebut sebagai
executive review.158
Pengujian oleh lembaga legislatif pada umumnya
dianut oleh negara yang menganut konsep supremasi
parlemen, di mana kedaulatan rakyat direpresentasikan oleh
satu lembaga tertinggi.159 Ini tampak pada negara-negara
komunis yang menganut doktrin tersebut, di mana lembaga
tertinggi itu yang dianggap memiliki kewenangan untuk
menafsirkan undang-undang dasar, sehingga pengujian
konstitusional menjadi kewenangan lembaga tersebut.
Indonesia sendiri sebelum perubahan ketiga dan keempat
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, juga menganut doktrin serupa. Sebelum perubahan
156
Ibid. hlm. ix.
157
Asshiddiqie, Model-model Pengujian, hlm. 72.
158
Ibid.
159
Ibid.
UUD 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat masih
merupakan lembaga yang menjadi pemegang kedaulatan
rakyat, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (2) yang
berbunyi:
“...Kedaulatan adalah berada di tangan rakyat dan
dilakukan sepenuhnya Majelis Permusyawaratan
Rakyat...”160
dan kewenangan menguji undang-undang adalah berada di
tangan lembaga yang membuat undang-undang itu sendiri,
dengan kata lain Presiden dan DPR.161
Setelah reformasi (sebelum perubahan ketiga UUD NRI
1945), kewenangan menguji undang-undang terhadap
undang-undang dasar berada di tangan MPR. Ini tidak
terlepas dari posisi MPR yang masih sebagai lembaga yang
melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Hal ini
dipertegas dengan Ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000 yang
menentukan bahwa MPR yang berwenang menilai dan
menguji secara aktif konstitusionalitas undang-undang. 162
Asshiddiqie berpendapat bahwa pengujian tersebut, baik
oleh Presiden dan DPR maupun oleh MPR tidak dapat
disebut judicial review, melainkan legislative review.
Kedudukan MPR sebagai lembaga yang menjalankan
kedaulatan rakyat sepenuhnya berubah ketika Pasal 1 ayat
(2) tersebut diubah pada Perubahan Ketiga UUD NRI Tahun
1945.163

160
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Sebelum Perubahan.
161
Asshiddiqie, Model-model Pengujian, hlm. 74.
162
Ibid., hlm. 73.
163
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Cet.
Kedua, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 59-60.
Wewenang Penafsiran Konstitusi oleh Mahkamah
Konstitusi
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga
negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang
merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi
mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik,
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, dan
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas
pendapat DPR bahwa presiden dan/atau Wakil Presiden
diduga telah melakukan pelanggaran hukum atau
perbuatan tercela dan/atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana
dimaksud dalam UUD 1945.164
Dalam konteks ketatanegaraan, MK dikonstruksikan
sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan
keadilan konstitusional di tengah masyarakat, MK bertugas
mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan
dilaksanakan oleh semua komponen negara secara
konsisten dan bertanggung jawab. Di tengah kelemahan
sistem konstitusi yang ada, MK berperan sebagai penafsir
agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai
keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat. Wewenang
164
Kedudukan, Kewenangan dan Kewajiban Mahkamah Konstitusi,
diambil dari http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?
page=web.ProfilMK&id=3 pada 2 Juli 2017.
yang diatribusikan kepada MK berimplikasi pada fungsi-
fungsi MK secara logis yaitu sebagai the guardian and the
final intepreter of constitution, as well as guardian of the
process of democratization atau penjaga dan penafsir
terakhir konstitusi dan juga sebagai pengawal demokrasi. 165

Wacana Menjadikan MPR sebagai Lembaga Penafsir


Konstitusi Selain MK
Ide yang menempatkan lembaga yudikatif sebagai
lembaga yang menentukan apakah sebuah produk
perundang-undangan layak diberlakukan atau tidak
memang masih menimbulkan pelbagai perdebatan. H.L.A.
Hart mengemukakan bahwa paham “a supreme tribunal
has the last word in saying what the law is” akan menjadi
terbantahkan jika putusan pengadilan tersebut adalah
putusan yang salah. Putusan salah yang menghapuskan
kekuatan hukum dari peraturan perundang-undangan
legislatif tidak dapat dipertanggung-jawabkan secara hukum
dikarenakan tidak terdapat hak dan kewajiban sebagai
konsekuensi dari kesalahan tersebut.
Pandangan-pandangan mengenai kewenangan
lembaga peradilan untuk ‘menilai’ cacat hukum produk
legislasi lainnya tetap saja masih menimbulkan perdebatan
dan tanda tanya. Pertanyaan ilmiah (ilmu hukum) yang
seringkali mengemuka pasca putusan Marshall dalam kasus
Maarbury Vs. Madison sebagai berikut:
1. Apakah memang ide judicial review itu tepat untuk
dipraktikkan? Haruskan 9 hakim yang tidak dipilih
rakyat (sebagai pemegang kedaulatan) memiliki
wewenang untuk menyatakan apa yang harus dilakukan
165
Tanto Lailam, Pro-Kontra Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam
Menguji Undang-Undang yang Mengatur Eksistensinya, (Jurnal Konstitusi,
Volume 12, Nomor 4, Desember 2015), hlm. 797.
oleh lembaga perwakilan yang dipilih langsung oleh
rakyat?
2. Bisakah kita memiliki sebuah sistem pemerintahan yang
dapat berjalan dengan baik tanpa adanya proses judicial
review?
Semenjak lahirnya Mahkamah Konstitusi dalam
sistem ketatanegaraan Negara Republik Indonesia, maka
lembaga ini menjadi upaya dalam penguatan prinsip checks
and balances demi mewujudkan pemerintahan yang benar-
benar terkontrol dan terkendali antara lembaga negara yang
satu dengan lembaga negara yang lain. Mahkamah
Konstitusi mengemban tugas sebagai pengawal sekaligus
penafsir UUD 1945. Gagasan pembentukan Mahkamah
Konstitusi diawali oleh pembaruan pemikiran dalam bidang
ketatanegaraan pada abad ke-20. Mahkamah Konstitusi
merupakan lembaga negara yang berasal dari sistem hukum
Eropa Kontinental. Indonesia sebagai sebuah negara hukum
(Rechstaat) banyak dipengaruhi oleh pemikiran
ketatanegaraan di Eropa, terutama negara dengan sistem
hukum Eropa Kontinental yang menganut supremasi
konstitusi. Pada negara yang menganut Eropa Kontinental,
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang merupakan
bentuk perlindungan terhadap hak konstitusional
warganegara.166
Peranan Mahkamah Konstitusi sendiri sangat penting,
mengingat Mahkamah Konstitusi telah menyatakan dirinya
sebagai penjaga konstitusi melalui proses constitutional
review pada Pasal 50 UU Mahkamah Konstitusi. Pernyataan
ini tentunya membawa angin baru, karena berdasarkan UU
MK, proses constitutional review hanya dapat dilakukan

166
Janpatar Simamora, Menyempurnakan Sistem Ketatanegaraan Melalui
Amandemen UUD 1945, (Harian Analisa, 5 Maret 2017).
setelah adanya Perubahan III UUD 1945. Berbagai putusan
MK telah memengaruhi norma dan sistem hukum di
Indonesia. Meski tidak secara tegas memiliki kewenangan
legislasi, akan tetapi sesungguhnya MK memiliki
kewenangan legislasi, terbukti dengan munculnya berbagai
norma hukum baru di Indonesia dari berbagai putusan MK
melalui penafsiran MK terhadap konstitusi. Selain itu, MK
juga sedang dalam perjalanan sebagai penafsir tunggal
konstitusi. Hal ini terjadi bukan merupakan keanehan,
karena salah satu wewenang yang diberikan oleh UUD 1945
adalah mengadili pengujian undang-undang terhadap
undang- undang dasar. Kewenangan dasar MK ini yang
kemudian menjadi titik permasalahan oleh banyak ahli
hukum di Indonesia dan juga DPR.167
Mahkamah Konstitusi dianggap oleh beberapa
kalangan telah melakukan apa yang di dalam hukum
dinamakan ultra petita. Ultra petita adalah penjatuhan
putusan oleh hakim atas perkara yang tidak dituntut atau
memutus melebihi apa yang diminta. Sementara dalam
undang-undang yang mengatur tentang keberadaan MK
maupun dalam UUD 1945, kewenangan untuk membuat
putusan yang sifatnya ultra petita sangat tidak mendapat
ruang yang cukup. Oleh karenanya, maka sesungguhnya
MK tidaklah berwenang untuk membuat putusan di luar
dari apa yang dimintakan oleh pemohon. Inilah yang
kemudian menjadi problem menyangkut kehadiran
Mahkamah Konstitusi dalam ruang ketatanegaraan kita. MK
seolah menjadi lembaga yang superbody karena

167
Aliansi Nasional Reformasi Hukum, Putusan Mahkamah Konstitusi
Ultra Petita?, diambil dari http://reformasikuhp.org/opini/?p=11 pada 2 Juli
2017.
kewenangannya yang tunggal untuk menerjemahkan
konstitusi.
Semenjak lahirnya MK pasca amandemen konstitusi,
kewenangan-kewenangan MPR dialihkan kepada MK. Hal ini
dikarenakan MPR dianggap sebagai lembaga politik yang
kerap kali tidak netral, tidak independen, dan sarat akan
kepentingan jika memegang wewenang-wewenang ini.
Penegasan wewenang MPR pasca perubahan menghilangkan
taring dan membuat MPR kehilangan fungsi penafsirannya.
Terlepas dari sentimen-sentimen ini, sejatinya orang-orang
di MPR yang paham konstitusi dan sejarahnya, terutama
yang benar-benar mengetahui original intent dari konstitusi
itu sendiri.
Dalam penelusuran terhadap berbagai kepustakaan
ilmu hukum dan konstitusi ditemukan, banyak variasi
metode penafsiran yang dikemukakan oleh para ahli. Akan
tetapi dari berbagai ragam metode penafsiran, pada
hakikatnya metode penafsiran konstitusi ini dapat
dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok besar, yaitu: metode
penafsiran originalism, yang menggunakan pendekatan
original intent (termasuk pendekatan historis) terhadap
norma-norma hukum konstitusi, dan non orginalism. Dalam
praktiknya, metode penafsiran mana yang akan dipilih dan
digunakan oleh hakim dalam menghadapi perkara-perkara
hukumnya, pada akhirnya berpulang pada hakim. Hakim
dalam konteks ini memiliki kebebasan untuk memilih
berdasarkan keyakinan hukumnya. hingga kini tidak ada
ketentuan atau aturan yang mengharuskan hakim hanya
menggunakan salah satu metode penafsiran tertentu saja.
Pemilihan dan penggunaan metode interpretasi merupakan
otonomi atau kemerdekaan hakim dalam penemuan hukum.
Terkait dengan hal ini, Mahkamah Konstitusi juga pernah
mengemukakan:
“Kemerdekaan dimaksud juga diartikan bahwa hakim
bebas memutus sesuai dengan nilai yang diyakininya
melalui penafsiran hukum, walaupun putusan yang
didasarkan pada penafsiran dan keyakinan demikian
mungkin berlawanan dengan mereka yang mempunyai
kekuasaan politik dan administrasi.”168
Dari dua kelompok besar jenis interpretasi dalam
menafsirkan konstitusi di atas, metode penafsiran
originalism itu sendiri sebenarnya dikuasai oleh lembaga
tinggi MPR. Sebelum amandemen konstitusi pun
kewenangan untuk mengganti, menambah, mengurangi,
membuat dan menghapus sebagian maupun seluruhnya ada
di tangan MPR, maka dari itu MPR disebut sebagai lembaga
konstitutif. Namun kewenangan dan kemampuannya
berkaitan dengan konstitusi telah sebagian beralih ke
lembaga MK terutama dalam kapabilitasnya menafsirkan
konstitusi. Banyak kalangan yang yakin bahwa sudah
sepatutnya MPR kembali memiliki kemampuan untuk
menafsirkan konstitusi sebagai lembaga yang paham dalam
melakukan metode interpretasi originalism dengan melihat
original intentnya. Karena tentu permasalahan konstitusi
yang ada saat ini dan masa depan akan selalu
membutuhkan penafsiran-penafsiran originalism agar
konstitusi kita kuat dan tidak kehilangan jati diri di tengah
lautan globalisasi dunia.

168
Lihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 005/PUU-
IV/2006 (tentang permohonan pengujian Undang-undang Nomor 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial dan Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Pendirian Kami: Menegaskan MK Sebagai Penafsir
Terakhir Konstitusi (The Final Interpreter of the
Constitution)
Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan penafsir akhir
konstitusi (the final interpreter of the constitution). Peran ini
senantiasa dihubungkan dalam konteks kelembagaan.
Padahal, setiap orang, seperti ahli hukum, guru besar di
perguruan tinggi, maupun lembaga negara memiliki hak
untuk menafsirkan konstitusi. Namun, diantara orang
maupun lembaga negara tersebut, MK merupakan lembaga
yang paling otoritatif diberikan kewenangan untuk
menafsirkan konstitusi secara resmi. Tatkala MK telah
memberi tafsir terhadap suatu aturan konstitusional maka
tafsir tersebut berlaku resmi mengikat semua warga negara
tanpa terkecuali. Tafsir konstitusi yang dikemukakan oleh
lembaga maupun orang selain MK tidak memiliki kekuatan
hukum manakala MK telah mengeluarkan tafsiran. 169
Penafsiran atau interpretasi terhadap hukum
khususnya konstitusi menjadi salah satu faktor yang sangat
penting untuk menjadikan hukum bersifat dinamis dan bisa
mengikuti perkembangan zaman. Penafsiran terhadap suatu
konstitusi pada dasarnya dapat dilakukan oleh siapa saja
atau lembaga mana saja. Akan tetapi, tidak dapat
dibayangkan pertarungan sengit yang akan terjadi apabila
terdapat penafsiran yang berbeda-beda antara pihak atau
lembaga yang satu dengan pihak atau lembaga yang lain.
Sejarah mencatat, tidak berselang beberapa tahun lamanya
setelah kasus Marbury v. Madison diputuskan, terdapat
keinginan kuat dari lembaga legislatif untuk ikut berperan
juga dalam ranah penafsiran bahkan ingin memposisikan
169
Bisariyadi, Penafsiran Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang
Terhadap Undang-Undang Dasar, (Jakarta: Kepaniteraan dan Sekretariat
Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2016), hlm. 1.
dirinya untuk ikut mengkroscek penafsiran konstitusi yang
telah dilakukan lembaga yudisial Mahkamah Agung Amerika
Serikat (Supreme Court).170 Bahkan, tidak menutup
kemungkinan, apabila lembaga-lembaga tersebut tidak
dapat menjalankan fungsinya dengan baik dalam
menafsirkan konstitusi, maka permasalahan penafsiran
konstitusi pada akhirnya akan dikembalikan kepada
rakyat.171 Kalau kondisinya demikian, penafsiran manakah
yang akhirnya digunakan? Rupanya permasalahan penafsir
akhir suatu konstitusi (the final interpreter of constitution)
pada akhirnya tergantung kepada siapa atau lembaga mana
yang kewenangannya diberikan secara resmi oleh konstitusi
suatu negara (the legitimate interpreter of the constitution).
Konstitusi telah menempatkan MK sebagai lembaga
peradilan yang dibutuhkan untuk mengadili perkara-
perkara yang berkaitan dengan konstitusi. 172 Dalam
mengadili dan memutus perkara, MK tentunya harus selalu
mendasarkan pada ketentuan-ketentuan dalam konstitusi,
dan berhak secara formal untuk menafsirkan konstitusi (the
interpreter of constitution). Jadi, tidak hanya keberadaan dan
kekuasaan yang ditentukan konstitusi, tetapi ukuran-
ukuran yang digunakan MK harus sesuai dengan konstitusi,
bahkan dalam hal menafsirkan konstitusi. Prinsip ini juga
bertujuan untuk membatasi MK menggunakan ketentuan
lain selain konstitusi.173 Melihat kewenangan dan kewajiban
tersebut, dapat dikatakan, tugas pokok dari MK selain
untuk menegakkan konstitusi dalam kerangka negara
170
John N. Hostettler dan Thomas W. Washburne, “The Constitution’s
Final Intepreter: We The People”, Regent University Law Review, Vol. 8, No. 13,
hlm. 20.
171
Ibid., hlm. 32.
172
Pasal 24 UUD 1945.
173
Tim KRHN, Menggapai Keadilan Konstitusi: Suatu Rekomendasi untuk
Revisi UU Mahakamah Konstitusi, (Jakarta: KRHN-USAID-DRSP, 2008), hlm. 14.
hukum juga merupakan pengawal sekaligus penafsir
terakhir konstitusi (the guardian and final intepreter of
constitution).
Berangkat dari adanya ide dasar dari pembentukan
MK, yang setidaknya dapat terlihat dari kewenangan untuk
menguji konstitusionalitas undang-undang dan memutus
sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga, dalam
hal ini, kewenangan sebagai penafsir akhir dan sah terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 di Indonesia dimiliki oleh
lembaga pengadilan yakni Mahkamah Konstitusi 174,
sekalipun idealnya, untuk memberikan ketegasan,
penyematan julukan penafsiran akhir harus ditegaskan
dalam konstitusi. Hal ini penting untuk mengukuhkan
peranan MK dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya.
Selain itu, dapat mencegah institusi lain melakukan tafsir
dan bertindak sendiri dengan mengatasnamakan atau
mengabaikan konstitusi. Konsekuensi dari penegasan itu,
akan mendorong secara maksimal peranan MK yang
memungkinkan adanya kreasi lain dalam pelaksanaan tugas
dan kewenangan MK.
Menjadi the final interpreter of constitution bukan
berarti menjadikan MK sebagai interpreter yang sangat
eksklusif, namun, lebih tepatnya, MK sebagai suatu lembaga
yang memiliki legitimasi untuk melakukan interpretasi
konstitusi, dituntut untuk memainkan perannya dalam
mengelaborasi makna konstitusi. MK dalam posisi ini juga
berperan dalam memberikan ketegasan akhir (“last words”)
untuk menghindari ambiguitas dan pertentangan tafsir demi
berlangsungnya kehidupan kebangsaan dan kenegaraan
yang konstitusional. Hal inilah juga yang kiranya menjadi
174
Mardian Wibowo, “Justice’s Freedom of Constitutional Interpretation
Method in the Indonesian Constitutional Court”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 25,
No. 2 (Juni 2013), hlm. 286.
tantangan untuk MK dalam berperan sebagai the final
interpretation of constitution. Terkadang sebagai penafsir
akhir konstitusi, MK membuat terobosan baru yang dapat
berujung kepada persoalan yang sangat kontroversial di
masyarakat, namun, MK harus mampu membuktikan
dirinya untuk mampu memberikan solusi dengan menjawab
tantangan zaman dan kebutuhan dari masyarakat pencari
keadilan, tidak hanya sekedar bicara benar dan salah
ataupun boleh atau tidak.

3. Permasalahan Kewenangan
a. Penambahan Kewenangan Constitutional Question
Kepada Mahkamah Konstitusi sebagai Bentuk
Perlindungan Hak-Hak Konstitusional Warga Negara
Definisi Constitutional Question
Constitutional question pada dasarnya adalah salah
satu mekanisme perlindungan hak konstitusional warga
negara. Constitutional question dapat diartikan sebagai suatu
mekanisme pengujian konstitusional yang permohonannya
diajukan oleh hakim dari peradilan umum (regular court)
manakala ia meragukan konstitusionalitas suatu undang-
undang yang akan ia terapkan dalam kasus konkret yang
sedang ditanganinya.175 Oleh karenanya, constitutional
question biasa diistilahkan dengan, “The constitutionality of
law upon the request of the court.”176 Permohonan
constitutional question dari peradilan umum kepada
Mahkamah Konstitusi ini umumnya juga menggunakan

175
Hamid Chalid, “Urgensi dan Upaya implementasi Mekanisme
Constitutional Question melalui Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”,
dalam 60 Tahun Jimly Asshiddiqie, ed. Nur Hidaya Sardini dan Gunawan
Suswantoro, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016), hlm. 373.
176
Firmansyah Arifin dan Juliyus Wardi, ed., Merambah Jalan
Pembentukan Mahkmah Konstitusi di Indonesia, (Jakarta: Konsorsium Reformasi
Hukum Nasional, n.a.), hlm. 9.
terminologi penyerahan (Judicial Referral of Constitutional
Question atau Referral from a Court).177 Menurut David
O’Brien:
“Concrete constitutional review arises from litigation in
the courts when ordinary judges are uncertain about
the constitutionality or the application of statute or
ordinance; in case the judges ‘refer’ the constitutional
question or complaint to the constitituional court for
resolution.”178
Dalam Black’s Law Dictonary, istilah constitutional
question mengandung dua pengertian, yaitu pengertian
umum dan pengertian khusus. Pengertian umum,
constitutional question adalah istilah yang merujuk pada
setiap persoalan yang berkaitan dengan konstitusi.
Sedangkan dalam arti khusus, constitutional question
merujuk pada suatu mekanisme pengujian
konstitusionalitas undang-undang, yaitu dalam hal seorang
hakim yang sedang mengadili suatu perkara ragu-ragu
mengenai konstitusionalitas undang-undang yang berlaku
untuk perkara itu. Pengertian khusus ini pada hakikatnya
menggolongkan constitutional question sebagai bentuk
pengujian undang-undang, sehingga termasuk sarana untuk
menjamin tegaknya prinsip konstitusionalisme. 179 Dengan
adanya pengajuan “pertanyaan konstitusional” ini, hal ini
akan berakibat pada tertundanya seluruh proses litigasi di
peradilan umum (pending review by constitutional court)

177
Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi tentang Ajudikasi
Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, (Jakarta:
Pradnya Paramita, 2006), hlm. 276.
178
Jimly Asshidiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di
Sepuluh Negara, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, 2006), hlm. 61.
179
Hamdan Zoelva, “Constitutional Complaint dan Constitutional Question
dan Perlindungan Hak-Hak Konstitusional Warga Negara,” Jurnal Media Hukum,
Vol. 19 (Juni 2012), hlm. 159.
hingga terbitnya putusan final dan mengikat dari
Mahkamah Konstitusi.180 Dalam dihentikan sementara
perkara yang bersangkutan, terdapat waktu untuk
dipikirkan lebih lanjut akan kebenaran perkara yang sedang
diperiksa.181 Setelah hakim konstitusi memutus perkara
constitutional question tersebut, maka Mahkamah Konstitusi
mengembalikan kasus tersebut ke hakim peradilan umum
yang memohon. Selanjutnya, peradilan umum memeriksa
perkara tersebut dengan mempertimbangkan pendapat atau
putusan Mahkamah Konstitusi.182 Jika undang-undang yang
dimaksud dinyatakan konstitusional oleh Mahkamah
Konstitusi, maka pengadilan dapat melanjutkan proses
litigasinya. Sedangkan, jika dinyatakan inkonstitusional
maka tentu saja pengadilan tidak dapat menerapkan
undang- undang yang dimaksud.183
Dalam mekanisme constitutional question, suatu
perkara terlebih dahulu harus melalui badan peradilan
umum. Penyerahan perkara oleh badan peradilan umum itu,
baru dapat terjadi setelah hakim (ordinary judges) menilai
bahwa undang-undang yang mendasari perkara konkret
tertentu patut dipertanyakan tingkat konstitusionalitasnya.
Artinya, Mahkamah Konstitusi dalam konteks pengujian
norma konkret (concrete review) menerima penyerahan
perkara secara pasif dari badan peradilan umum, 184 sebelum
perkara tersebut yang bersangkutan akhirnya diputus oleh

180
Ibid., hlm. 100.
181
Isrok, “Constitutional Question: Menyoal Konstitusionalitas Pasal
tentang Pengemis KUHP Pasal 504 ayat (1) dan (2),” Jurnal Hukum dan
Pembangunan, Vol. 1 (Januari-Maret 2010), hlm. 116.
182
Benny Harman, Mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2013), hlm. 118.
183
Chalid, “Urgensi dan Upaya…”, hlm. 90.
184
Asshiddiqie, Peradilan Konstitusi di…, hlm. 63.
Peradilan umum tersebut.185 Mahkamah Konstitusi tidak
memiliki legitimasi untuk menginisiasi hakim peradilan
umum berperkara di Mahkamah Konstitusi.186 Pengujian
constitutional question ini berada dalam dimensi teoretis a
posteriori norm control atau ex post control. Artinya,
pengujian baru dapat diselenggarakan setelah undang-
undang atau peraturan perundang-undangan lainnya itu
berlaku secara sah dan mengikat umum.187 Hal ini
dikarenakan pengujian constitutional question yang bersifat
konkret akan diarahkan kepada persoalan-persoalan yang
bersifat konkret dan tertentu. Sehingga, proses pengujian
baru dapat dilaksanakan setelah timbul akibat hukum yang
dialami secara riil oleh yang bersangkutan. 188 Dengan model
constitutional question, kekuatan represif hukum (konstitusi)
dapat digunakan sebagai instrumen strategis dalam
memulihkan hak konstitusional yang diingkari oleh suatu
produk hukum.189
Penyerahan atau pelimpahan perkara constitutional
question kepada Mahkamah Konstitusi nyatanya bersifat
insidental. Hal ini dikarenakan penyerahan ini menjadi
diskresi bagi hakim peradilan umum. Terkait kondisi hukum
yang mendorong hakim peradilan umum untuk
menyerahkan permohonan uji konstitusionalitas kepada
Mahkamah Konstitusi, dalam konteks pemahaman yuridis,
setidaknya terdapat dua faktor pemicu bagi hakim peradilan
umum untuk menyerahkan perkara kepada Mahkamah
185
Arifin, Merambah Jalan Pembentukkan, hlm. 10.
186
The Federal Constitutional Court of Germany, “Specific Judicial
Review of Statutes”,
http://www.bundesverfassungsgericht.de/EN/Verfahren/Wichtige-
Verfahrensarten/Konkrete-Normenkontrolle/konkrete-normenkontrolle_node.html
diakses pada 8 Februari 2018.
187
Asshiddiqie, Peradilan Konstitusi di…, hlm. 227.
188
Syahrizal, Peradilan Konstitusi, hlm. 276.
189
Asshiddiqie, Peradilan Konstitusi di…, hlm. 71.
Konstitusi, yakni (1) masalah konstitusionalitas undang-
undang bersifat materiil, dan (2) Hakim memiliki mindset
keragu-raguan tentang konstitusionalitas undang-undang
atau tindakan hukum lainnya. Alec Stone Sweet
mengemukakan argumentasi, “Concrete review processes
require ordinary judges to participate in the scrutiny of
legislation.”190 Dengan demikian, mekanisme penyerahan
(referral) dalam wadah uji konkret oleh sejumlah pemerhati
hukum diperkirakan dapat menyosialisasikan para hakim
(ordinary judges) menuju kepada peranan baru mereka,
yakni untuk melindungi tatanan hukum dari berbagai
perbuatan hukum yang terkontaminasi oleh tindakan
inkonstitusional.191
Pengajuan constitutional question oleh hakim peradilan
umum hanya ketika hakim memeriksa dan mengadili
perkara.192 Hakim peradilan umum tidak dapat mengajukan
constitutional question untuk undang-undang yang tidak
dipakai dalam perkara yang ditanganinya. Bila hakim
tersebut ingin mengajukan pengujian undang-undang ketika
sedang tidak berperkara, maka ia mengajukan permohonan
constitutional review dengan kedudukan sebagai Warga
Negara Indonesia dan menanggalkan status hakimnya. 193
Hakim peradilan umum dalam konteks constitutional
question umumnya tidak hanya mengajukan dalil bahwa
suatu undang-undang tidak konstitusional, tetapi juga
dapat mengajukan dalil-dalil lain yang berpangkal dari
akibat hukum atas diberlakukannya undang-undang yang
dinilai tidak konstitusional tersebut. Yang dicari oleh

190
Ibid., hlm. 227.
191
Ibid., hlm. 101.
192
Firmansyah Arifin, et.al., eds., Hukum dan Kuasa Konstitusi, (Jakarta:
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, 2004), hlm. 174.
193
Ibid., hlm. 178.
pemohon bukan hanya keadilan yuridis semata, melainkan
juga suatu keadilan yang lebih dalam sifatnya, yakni
keadilan substansial.194 Dalam tradisi yang berlaku dan
berkembang di beberapa negara saat ini, putusan
Mahkamah Konstitusi atas constitutional question akan
disebarluaskan kepada seluruh hakim peradilan umum
(ordinary judges). Hal ini karena Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut akan digunakan sebagai anchor atau
pegangan dalam menuntaskan perkara-perkara konkret
yang dihadapi.195
Pada tahap awal, hakim peradilan umum memang
diperkenankan untuk turut serta dalam memeriksa kadar
konstitusionalitas undang-undang yang ia permasalahkan.
Akan tetapi, hakim peradilan umum sama sekali tidak
memiliki kewenangan dalam menyatakan konstitusionalitas
produk hukum tersebut.196 Mahkamah Konstitusi
memonopoli kewenangan untuk menentukan
konstitusionalitas suatu undang-undang untuk mencegah
ketidakpastian hukum. Apabila setiap hakim di pengadilan
berwenang menguji konstitusionalitas suatu undang-
undang, maka tentu akan timbul ketidakpastian hukum
dalam masyarakat. Sebab, persepsi setiap hakim atas suatu
ketentuan dalam undang-undang pasti tidak sama.197 Sebab
itulah, dalam konstruksi pengendalian norma konkret
(concrete norm control) putusan akhir tetap berada di puncak
piramida kewenangan Mahkamah Konstitusi.198
Sementara itu, Mahkamah konstitusi dalam
constitutional question hanya memutus persoalan
194
Asshiddiqie, Peradilan Konstitusi di…, hlm. 228.
195
Ibid., hlm. 100.
196
Ibid., hlm. 69.
197
Harman, Mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi, hlm. 89.
198
Asshiddiqie, Peradilan Konstitusi di…, hlm. 63.
konstitusionalitas undang-undang itu dan bukan memutus
kasus itu sendiri.199 Dalam metode constitutional question ini,
suatu undang-undang tidak diuji dalam pengertian abstrak.
Melalui metode ini, yang dilihat adalah akibat langsung dari
keberlakuan suatu undang-undang dalam peristiwa konkret
tertentu.200 Mahkamah Konstitusi Jerman mencontohkan,
“An Administrative Court deems the tuition fees provided for
in a Land Act to be unconstitutional and refers the actions
brought against the fee notifications to the Federal
Constitutional Court. The Federal Constitutional Court only
decides on the constitutionality of the provisions submitted.
Afterwards, the administrative Court completes the
proceedings, taking into account the Federal Constitutional
Court’s decision.”201
Menurut beberapa sarjana, penerapan concrete review
tidak bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan.
Penolakan hakim untuk menerapkan suatu undang-undang
karena meragukan konstitusionalitas undang-undang
tersebut adalah pemahaman yang sama sekali berbeda
dengan persoalan campur tangan cabang yudikatif atas
kekuasaan legislatif. Terkait hal tersebut, seorang sarjana
berkebangsaan Perancis, Leon Duguit, berpandangan
bahwa:
“It has long been dogma that no court could a plea of
unconstitutional and refuses to apply a formal statute even
where they considered it unconstitutional...The principle of
separation of powers leads to entirely different solution. A
court which refuses to apply a statute on the ground of
unconstitutionality does not interfere with the exercise of
199
Hamidi, “Constitutional Question…”, hlm. 33-34.
200
Asshiddiqie, Peradilan Konstitusi di…, hlm. 100.
201
Federal Constitutional Court of Germany, “Specific Judicial Review…”,
diakses pada 8 Februari 2018.
legislative powers. It does suspend its application. The law
remains untouched...it is simply because the judicial power is
distinct from and independently equal to the two other it
cannot be forced to apply the statutes in deems
unconstitutional.”202
Dalam praktek hukum, terkadang ada masalah
hukum yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum
memutus pokok persengketaan (Bodemgeschil). Misalnya
dalam perkara pencurian, salah satu unsurnya bahwa
barang yang didakwakan dicuri tersebut sebagian atau
seluruhnya adalah milik orang lain, maka unsur
kepemilikan merupakan prae-judiciil geschil yang harus
diputuskan terlebih dahulu. Jika hal itu diperselisihkan
sebelum dapat memutus pokok persoalan atau tindak
pidana pencurian yang didakwakan. Demikian juga gugatan
dalam perkara perdata, ada kalanya pokok perselisihan baru
dapat diputus setelah adanya putusan hakim pidana yang
menyatakan kesalahan seseorang terdakwa yang menjadi
tergugat.203 Bila dikaitkan dengan constitutional question,
maka mekanisme ini hadir untuk menyelesaikan masalah
hukum yang harus diselesaikan terlebih dahulu, dalam hal
ini permasalahan konstitusionalitas suatu undang-undang,
sebelum memutus pokok persengketaan dalam perkara yang
ditanganinya.
Violaine Autheman dan Keith Henderson
mengungkapkan bahwa berkembangnya konsep ini tidak
terlepas dari berkembangnya demokrasi di suatu negara.
Negara-negara yang telah mencapai tahap akhir dalam

202
Asshiddiqie, Peradilan Konstitusi di…, hlm. 227.
203
Maruarar Siahaan, “Renungan Akhir Tahun Menegakkan
Konstitusionalisme dan Rule of Law” dalam Menjaga Denyut Konstitusi: Refleksi
Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, ed. Refly Harun, Zainal Husein dan
Bisariyadi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2004), hlm. 110.
proses transisi demokrasinya telah menerima mekanisme
konstitusi yang menjamin hak-hak fundamental warga
negara. Hak-hak fundamental itu kini dituntut untuk
diimplementasikan secara adil dan efektif dalam praktek
sehingga warga negara dapat menikmati secara penuh
jaminan-jaminan yang tertulis dalam konstitusi. 204 Pada
pelaksanaannya, proses constitutional question mampu
membangun hubungan dialogis antara hakim konstitusi
(constitutional judges) dengan peradilan umum. Hal tersebut
tentunya bertujuan untuk mempertahankan supremasi
konstitusi (supremacy of the constitution), keadilan
administratif (administration of justice) dan perlindungan
hak-hak asasi manusia (protection of human right). Dalam
buku panduan Corte Costitutionale Italia, terdapat
pernyataan: “this dialog between the Constitutional Court and
the thousand of ordinary judges, which represent the greater
part of constitutional jurisprudence, is made possible by the
system of incidental review of law.”205
Secara global, banyak negara yang telah menerapkan
mekanisme constitutional question, terutama negara-negara
yang menganut pengujian konstitusionalitas aturan hukum
melalui pengadilan (dalam hal ini Mahkamah Konstitusi).
Hal ini ditegaskan salah satunya oleh Victor Ferreres Comela
dengan menyatakan, “there are basically two avenues by
which the court can be reached in order to trigger
constitutional review of legislation, ‘constitutional challenges’
and ‘constitutional questions’ (concrete review).”206 Di dunia,
terdapat dua model penempatan pengaturan wewenang
memutus constitutional question. Pertama, wewenang

204
Ibid., hlm. 93.
205
Asshiddiqie, Peradilan Konstitusi di…, hlm. 101.
206
Chalid, “Urgensi dan Upaya…”, hlm. 363.
tersebut diatur dalam konstitusi negara yang bersangkutan,
antara lain Angola, Austria, Bosnia, Korea Selatan, Malta,
Russia dan Spanyol baik sebagai kewenangan yang menyatu
dengan kewenangan constitutional review maupun yang
terpisah. Kedua, ada negara yang mengatur kewenangan
tersebut dalam UU Pengadilan Konstitusi dan merupakan
derivasi dari wewenang memutus konstitusionalitas aturan
hukum yang diberikan konstitusi, seperti Belarusia, Kroasia,
Georgia, Jerman, Latvia, Lithuania, dan Slovenia. 207
Sebagai contoh, Kroasia mengatur mekanisme
constitutional question dalam Section IV “Review of the
Constitutionality of Laws and the Constitutionality and
Legality of Other Regulations Constitutional Act Kroasia. Pasal
35 paragraf (1) aturan a quo menyatakan bahwa pada saat
pengadilan menemukan bahwa aturan hukum yang
diterapkan tidak sesuai dengan konstitusi, perkara harus
dibekukan dan diajukan pertanyaan ke Mahkamah
Konstitusi (when the court of justice in its proceedings
determines that the law to be applied is not accordance with
the Constitution, it shall stop the proceedings and require the
Supreme Court to present to the Constitutional Court a request
for review of the constitutionality of the law).208 Sementara itu,
dalam Pasal 11 Konstitusi Korea Selatan disebutkan secara
eksklusif bahwa salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi
Korea Selatan adalah memutus konstitusionalitas suatu
aturan hukum atas permintaan pengadilan. Dalam pasal
tersebut, dikatakan bahwa, “The Constitutional Court shall

207
Muchammad Ali Safa’at, “Menggagas Constitutional Question di
Indonesia”, Majalah Konstitusi: Berita Mahkamah Konstitusi 35, (Desember
2009), hlm. 7.
208
Ibid.
have jurisdiction over the following matters: 1. The
constitutionality of a law upon the request of the courts...”209
Paling tidak, terdapat dua jenis mekanisme pengajuan
constitutional question. Pertama, dapat diajukan langsung
oleh pengadilan di semua tingkat yang sedang memeriksa
suatu perkara, yaitu Angola, Austria, Jerman, Korea
Selatan, Latvia, Lithuania, Malta, Slovenia, dan Spanyol.
Kedua, ditentukan bahwa pengajuan constitutional question
dilakukan melalui Mahkamah Agung seperti di Belarus,
Kroasia, dan Georgia.210 Keberadaan constitutional question
di suatu negara berkorelasi dengan model pemegang
kewenangan pengujian konstitusionalitas yang dianut
negara tersebut.211 Secara teknis, suatu perkara yang
diserahkan oleh hakim peradilan umum kepada Mahkamah
Konstitusi berlaku dalam negara yang menganut yurisdiksi
dualistik atau adanya pemisahan antara regular court dan
constitutional court.212 Hal ini dikarenakan dalam model ini,
kewenangan untuk memutus konstitusionalitas suatu
undang-undang diberikan secara eksklusif kepada
Mahkamah Konstitusi sebagai “a separate body whose sole
duty is to act as a constitutional judge.” Sementara itu, dalam
model kekuasaan kehakiman yang memberikan kewenangan
semua pengadilan berhak untuk menentukan
konstitusionalitas sebuah hukum atau undang- undang,
maka keberadaan judicial referral biasanya tidak berlaku
dalam model ini.213

209
Mahfud, Constitutional Question, hlm. 68.
210
Safa’at, “Menggagas Constitutional Question,” hlm. 7.
211
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai
Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 81.
212
Asshiddiqie, Peradilan Konstitusi di…, hlm. 62.
213
Takele Soboka Bulto, “Judicial Referral of Constitutional Disputes in
Ethiopia: From Prcatice to Theory,” African Journal of International and
Comparative Law, Vol. 19, (2011), hlm. 103.
Dilihat dari pemegang kewenangan pengujian
konstitusionalitas, maka dapat dibedakan menjadi dua
model. Di Amerika Serikat, tidak dibentuk lembaga
tersendiri untuk menjalankan kewenangan pengujian
konstitusionalitas.214 Pola pengujian yang secara umum
dilakukan pada negara yang menggunakan common law ini
adalah model fungsi pengujian yang bersifat “desentralized”
atau tersebar di berbagai tingkatan peradilan. Artinya,
seluruh peraturan perundang-undangan (legislative acts dan
executive acts) dan tindakan administratif (administrative
action) terhadap konstitusi diuji oleh hakim pada seluruh
jenjang peradilan.215 Sedangkan, di beberapa negara yang
menganut sistem civil law menggunakan “Kelsenian Model”
yang bersifat “centralized,” yaitu terpusat di satu lembaga
yang disebut Constitutional Court atau
Verfassungsgerichtshof.216 Proses pengujian
konstitusionalitas dalam model ini menghendaki adanya
pengadilan konstitusi yang berdiri sendiri dengan hakim-
hakimnya yang mempunyai keahlian khusus di bidang ini. 217
Perkara-perkara konstitusional menjadi kompetensi absolut
Mahkamah Konstitusi, sedangkan perkara-perkara konkret
merupakan kompetensi Mahkamah Agung. Model ini pun
banyak dipraktikkan di Eropa Kontinental dan negara-
negara demokrasi baru.218

Sejarah Constitutional Question


214
Ni’matul Huda, Dinamike Ketatanegaraan Indonesia dalam Putusan
Mahkmah Konstitusi, (Yogyakarta: FH UII Press, 2011), hlm. 28.
215
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010),
hlm. 92.
216
Huda, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia, hlm. 28.
217
Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional, hlm. 51.
218
Chalid, “Urgensi dan Upaya Implementasi…”, hlm. 373.
Secara historis kelahiran constitutional question tidak
terlepas dari sejarah judicial review. Ada dua sejarah besar
dalam judicial review di dunia. Sejarah yang pertama adalah
sejarah judicial review dalam praktik hukum di Amerika
Serikat melalui putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat
dalam perkara “Marbury vs. Madison” tahun 1803. Meskipun
ketentuan judicial review tidak tercantum dalam Undang-
Undang Dasar Amerika Serikat, Supreme Court Amerika
Serikat membuat sebuah putusan yang ditulis John
Marshall ketika menjabat Ketua Mahkamah Agung (Supreme
Court) Amerika Serikat yang menyatakan bahwa pengadilan
berwenang membatalkan undang-undang yang bertentangan
dengan konstitusi. Sedangkan, sejarah yang kedua adalah
keberadaan Mahkamah Konstitusi Austria yang
diperkenalkan oleh pakar hukum asal Austria, Hans
Kelsen.219
Sebagaimana diketahui, ide membentuk Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga peradilan tersendiri mula
pertama digagas oleh Hans Kelsen setelah berakhirnya
Perang Dunia I, yang antara lain diikuti oleh runtuhnya
Kekaisaran Austro-Hungaria dan berdirinya Republik
Austria. Di republik yang baru terbentuk ini Hans Kelsen
diangkat sebagai anggota lembaga pembaharu Konstitusi
Austria (Chancelery) yang bertugas menyusun konstitusi
dalam rangka pembaruan konstitusi Austria (1919-1920). Di
sinilah Kelsen mengemukakan gagasannya tentang perlunya
Austria memiliki Mahkamah Konstitusi (yang terpisah dari
sistem peradilan umum) yang fungsinya adalah untuk

219
Achmad Edi Subiyanto, “Prospek Mahkamah Konstitusi sebagai
Pengawal dan Penafsir Konstitusi,”
http://www.esaunggul.ac.id/article/prospek-mahkamah-konstitusi-sebagai-
pengawal-dan-penafsir-konstitusi-achmad-edi-subiyanto-s-h-m-h-3/ diakses
pada 8 Februari 2018.
menegakkan konstitusi dengan kewenangan utama
membatalkan undang-undang jika undang-undang itu
bertentangan dengan konstitusi.220 Model ini menyangkut
hubungan antara prinsip supremasi konstitusi (the principle
of the supremacy of the constitution) dan prinsip supremasi
parlemen (the principle of the supremacy of the Parliament).221
Kelsen berpendapat bahwa konstitusi harus diperlakukan
sebagai seperangkat norma hukum yang superior dari
undang-undang dan harus ditegakkan. Akan tetapi, dalam
transisi kekuasaan yang terjadi pada masa itu, Kelsen
mengakui adanya ketidakpercayaan yang luas terhadap
kemampuan hakim dari badan peradilan untuk
melaksanakan tugas penegakan konstitusi.222 Menurut
Kelsen, untuk menjaga supremasi konstitusi diperlukan
lembaga pengadilan khusus guna menjamin kesesuaian
aturan hukum yang lebih rendah dengan aturan hukum di
atasnya. Ia mengatakan:
“The application of the constitutional rules concerning
legislation can be effectively guaranteed only if an organ other
than the legislative body is entrusted with the task of testing
whether a law is constitutional, and of annulling it if —
according to the opinion of this organ – it is “unconstitutional.”
There may be a special organ established for this purpose, for
instance, a special court, a so called “constitutional court.”223
Pemikiran Kelsen akhirnya diterima dan menjadi
bagian dalam Konstitusi Austria 1920 yang di dalamnya
membentuk suatu lembaga bernama

220
Hamidi, “Constitutional Question…”, hlm. 34.
221
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Bernegara: Praksis Bernegara, (Malang:
Setara Press, 2015), hlm. 286.
222
Bachtiar, Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi
pada Pengujian UU Terhadap UUD, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2015), hlm. 123.
223
Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, hlm. 4.
“Verfassungsgerichtshoft” atau Mahkamah Konstitusi
(Constitutional Court).224 Model ini pun sering disebut sebagai
“The Kelsenian Model.”225 Sejak saat itulah dikenal dan
berkembang lembaga Mahkamah Konstitusi yang berada di
luar Mahkamah Agung yang secara khusus menangani
constitutional review dan perkara-perkara konstitusional
lainnya.226 Dalam sejarah pembentukan Mahkamah
Konstitusi di dunia, Mahkamah Konstitusi Austria inilah
yang dinisbatkan sebagai yang pertama di dunia yang
kemudian menjadi role model bagi banyak negara lainnya.227
Constitutional question sendiri menjadi hal pertama yang
diusulkan oleh Hans Kelsen terkait Mahkamah Konstitusi
Austria. Menurutnya, kewenangan tersebut didesain agar
peradilan umum (ordinary court) dapat turut serta dalam
mempertahankan kedudukan tertinggi konstitusi, yang
mungkin saja tidak dipatuhi oleh cabang eksekutif. Ia
mengatakan:228
“this would be extend the court protection of the
constitution to the executive acts and also anchor the
court in process of concrete review. I proposed that
courts, individual, and/or a special constitutional
ombudsman should have the right to refer matter to the
constitutional court.”

Constitutional question sendiri telah dipraktikkan oleh


Mahkamah Konstitusi Austria sejak awal pembentukannya
sebagai satu dari dua mekanisme pengujian konstitusional

224
Ibid., hlm. 3.
225
Asshiddiqie, Model-Model Pengujian…, hlm. 84.
226
Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, hlm. 3.
227
Chalid, “Urgensi dan Upaya Implementasi…,” hlm. 366.
228
Asshiddiqie, Peradilan Konstitusi di…, hlm. 99.
yang berlaku di sana (di samping abstract review).229
Berdasarkan Konstitusi Austria, maka dapat diketahui
bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki cukup banyak
kewenangan yang jika dirangkum adalah sebagai berikut: 230
1) Pengujian konstitusional, baik melalui mekanisme pengujian
norma abstrak (abstract review) maupun melalui mekanisme
pengujian norma konkret (concrete review) atau yang
popular disebut constitutional question;
2) Memutus sengketa hasil Pemilu Parlemen dan Presiden;
3) Memutus sengketa kompetensi antara Peradilan Umum dan
Peradilan Administrasi serta seluruh jenis peradilan lainnya;
4) Memutus perkara impeachment terhadap pejabat tinggi
negara; dan
5) Constitutional complaint (individual complaint).
Dibukanya mekanisme constitutional question melalui
Mahkamah Konstitusi Austria telah membawa pengaruh
yang besar dalam kehidupan ketatanegaraan Austria.
Mekanisme constitutional question sebagai pelengkap dari
mekanisme pengujian norma abstrak telah menjadikan
sistem pengujian konstitusional di Austria sebagai salah
satu yang terbaik di dunia. Mekanisme constitutional
question telah menyediakan sarana perlindungan yang
maksimal bagi warga negara dari kemungkinan penerapan
hukum yang bertentangan dengan konstitusi. 231 Konsep ini
pun kemudian diadopsi di berbagai negara seperti Jerman,
Spanyol, Italia, dan lain sebagainya.232

Pentingnya Constitutional Question

229
Chalid, “Urgensi dan Upaya Implementasi…,” hlm. 363.
230
Ibid., hlm. 367.
231
Ibid., hlm. 369.
232
Asshiddiqie, Peradilan Konstitusi di…, hlm. 99.
Permasalahan mekanisme constitutional review di
Indonesia adalah adanya pembatasan legal standing
pemohon constitutional review. Salah satu alasan yang
menyebabkan suatu undang-undang dapat diuji di
Mahkamah Konstitusi adalah jika undang-undang itu
merugikan hak konstitusional warga negara. Pasal 51 ayat
(1) UU MK pada intinya menyatakan, bahwa yang dapat
menjadi Pemohon dalam pengujian undang-undang
terhadap UUD NRI 1945 adalah mereka yang hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
suatu undang-undang. Ada dua hal yang dapat disimpulkan
dari ketentuan tersebut. Pertama, pembentuk undang-
undang seakan-akan berasumsi bahwa pelanggaran
terhadap hak-hak konstitusional itu hanya terjadi karena
norma undang-undang. Kedua, pihak yang memiliki
standing (persona standi in judicio) untuk mengajukan
permohonan pengujian hanya pihak-pihak yang hak
konstitusionalnya langsung dirugikan oleh berlakunya
undang-undang itu. Terhadap hal tersebut, pelanggaran
terhadap hak konstitusional tentunya juga dapat terjadi
dalam penerapan norma. Sehingga, bukan semata-mata
karena ada norma undang-undang yang melanggar hak
konstitusional warga negara. Sistem hukum ketatanegaraan
Indonesia yang juga merupakan bagian dari sistem hukum
nasional dan berdasarkan kepada konstitusi, mengandung
arti bahwa baik tata cara pembentukan, penentuan materi
atau isi, hingga penerapan dan penegakannya harus
sepenuhnya mencerminkan asas atau nilai integral yang
terkandung dalam Pancasila dan UUD NRI 1945. 233
Terhadap hal tersebut, jika suatu penerapan norma undang-

233
Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi dalam Upaya Mewujudkan
Negara Hukum Demokrasi, (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2007), hlm. 333.
undang bertentangan dengan Konstitusi, maka pihak yang
boleh mengajukan review ke Mahkamah Konstitusi dapat
diperluas, yakni tidak hanya pihak yang secara langsung
dirugikan melainkan juga pengadilan melalui mekanisme
constitutional question.
Pembatasan kewenangan Mahkamah Konstitusi dapat
berimplikasi tidak optimalnya fungsi Mahkamah Konstitusi
dalam usaha mewujudkan negara hukum yang demokratis.
Pembatasan legal standing yang dapat mengajukan
permohonan seperti dijelaskan di atas tentunya
menimbulkan kemungkinan banyak undang-undang yang
bertentangan dengan hak-hak konstitusional warga negara
sebagai individu baik yang berkenaan dengan hak-hak sipil
maupun hak-hak politik yang berkaitan dengan kebebasan
dan demokratisasi. Menurut Dr. H. Abdul Latif, SH., MH.,
menjadi hal yang sangat urgen dan mengganjal oleh
masyarakat pencari keadilan ketika ada perkara konstitusi
yang belum menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi. 234
Dalam praktiknya, selama Mahkamah Konstitusi berdiri dan
menjalankan fungsinya, banyak materi permohonan yang
diajukan di luar lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi
yang secara tegas ditentukan dalam UUD NRI 1945
meskipun materi permohonan tersebut masih terkait
masalah konstitusional. Oleh karena tidak menjadi
kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadilinya,
permohonan demikian oleh Mahkamah Konstitusi
dinyatakan “tidak dapat diterima” (niet ontvankelijk
verklard).235

234
Ibid., hlm. 384.
235
Hamdan Zoelva, Mengawal Konstitusionalisme, (Jakarta: Konstitusi
Press, 2016), hlm. 262.
Kondisi belum diakomodasinya mekanisme
constitutional question oleh Mahkamah Konstitusi
menunjukkan bahwa sistem pengujian konstitusional di
Indonesia masih memiliki ketimpangan karena hanya
mampu menjangkau pengujian undang-undang secara
abstrak saja (abstract norm review). Akibatnya, ruang
pengujian konstitusional di Indonesia menjadi sempit.
Ketiadaan mekanisme ini pada akhirnya dapat bermuara
pada tercederainya hak-hak konstitusional warga negara
yang sedang terlibat dalam proses litigasi di pengadilan.
Sebab, tidak ada mekanisme yang dapat melindungi warga
negara yang sedang terlibat dalam suatu proses litigasi di
pengadilan dari ancaman penerapan undang-undang yang
diduga bertentangan dengan UUD. 236 Akhirnya, boleh jadi
suatu putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah dan
justru menimbulkan persoalan hukum baru yang
sesungguhnya dapat dihindari dengan melakukan langkah
antisipasi dan perubahan hukum acara.237
Sedemikian pentingnya keberadaan Mahkamah
Konstitusi yang langsung bersentuhan dengan konstitusi
dan pusat kekuasaan negara, maka tentunya perlu ditelaah
kembali kedudukan dan wewenang Mahkamah Konstitusi
yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, agar
sesuai dengan rechtsidee pembentukannya yang
dimaksudkan untuk mendorong mekanisme check and
balances dalam pelaksanaan kekuasaan negara, implikasi
dari paham konstitusionalisme, mewujudkan
penyelenggaraan negara yang bersih, dan perlindungan
terhadap hak konstitusional warga negara.238 Pengakuan
236
Chalid, “Urgensi dan Upaya Implementasi…,” hlm. 358.
237
Siahaan, “Renungan Akhir Tahun,” hlm. 110.
238
Fatkhurohman, Dian Aminudin dan Sirajuddin, Memahami
Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
hak asasi manusia (basic rights) tanpa perlindungan atau
mendengung-dengungkan demokrasi tanpa tersedia upaya
hukum dan mekanisme yang komprehensif adalah sama-
sama pengingkaran terhadap pengakuan dan perlindungan
basic rights setiap warga negara.239 Violaine Autheman dan
Keith Henderson mengungkapkan bahwa negara-negara
yang telah mencapai tahap akhir dalam proses transisi
demokrasinya telah menerima mekanisme konstitusi yang
menjamin hak-hak fundamental warga negara dan
menuntut agar hak-hak fundamental tersebut
diimplementasikan secara adil dan efektif dalam praktek
sehingga warga negara dapat menikmati secara penuh
jaminan-jaminan yang tertulis indah dalam konstitusi. 240
Kesadaran akan pentingnya hal ini menggiring kita
pada pentingnya peranan Mahkamah Konstitusi dalam
membangun kehidupan yang demokratis dan konstitusional.
Artinya, hal ini akan menggariskan upaya untuk
memperbesar fungsi hukum sebagai sarana untuk
melakukan perbaikan hidup dan kehidupan (rekayasa
sosial). Hukum dalam konteks ini, seperti dengan apa yang
dikatakan oleh Roscoe Pound, “law as a tool of social
engineering”. Karenanya, hal ini membutuhkan adanya
konstitusi yang kuat dan terkawal dengan baik dalam
penegakannya.241 Oleh sebab itu, haruslah dikembangkan
pemikiran mengenai kemungkinan perluasan kewenangan
Mahkamah Konstitusi, dalam hal ini kewenangan
constitutional question yang berkaitan dengan basic right

2004), hlm. 19.


239
Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi, hlm. 329-330.
240
H.M. Laica Marzuki, “Pengaduan Konstitusional (Constitutional
Complaint),” dalam Menjaga Denyut Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah
Konstitusi, ed., Refly Harun, Zainal Husein dan Bisariyadi, (Jakarta: Konstitusi
Press, 2004), hlm. 29.
241
Ibid.
setiap individu. Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa
makna atau nilai dari asas negara berdasarkan atas hukum
adalah bahwa hukum merupakan sumber tertinggi
(supremasi hukum) dalam mengatur dan menentukan
mekanisme hubungan hukum antara negara dan
masyarakat maupun antara anggota atau kelompok
masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Sehingga,
konstitusi sendiri dijadikan pegangan tertinggi dalam
memutuskan segala sesuatu yang harus didasarkan atas
hukum. Ia menambahkan, tanpa adanya konsensus oleh
semua pihak (termasuk hakim peradilan umum) menjadikan
konstitusi sebagai pegangan tertinggi, maka konstitusi tidak
akan berguna dan hanya sekedar berfungsi sebagai kertas
dokumen yang mati, bernilai semantik, dan tidak dapat
difungsikan sebagaimana mestinya.242 Hal senada juga
diungkapkan oleh Maurice Duverger. Menurutnya, judicial
control menjadi penting agar undang-undang ataupun
peraturan perundang-undangan tidak menyimpang dari
undang-undang dasar atau konstitusi. Undang-undang
dasar akan kehilangan asas-asasnya dan akan menjadi
rangkaian kata-kata yang tidak ada artinya sama sekali
kalau tidak ada lembaga-lembaga yang mempertahankan
dan menjaga kehormatan hukum tersebut.243
Selain itu, kita perlu menyadari bahwa Mahkamah
Konstitusi itu dipahami tidak sebatas mempersoalkan
produk undang-undang yang dipandang bertentangan
dengan konstitusi, namun fundamentum petendi (geschil
punt) dari Mahkamah Konstitusi adalah mengadili sengketa
yang timbul di bidang pelaksanaan kaidah konstitusi.
Dengan adanya mekanisme constitutional question, kerugian

242
Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi, hlm. 134.
243
Huda, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia, hlm. 28.
hak-hak konstitusional warga negara akibat penerapan
hukum yang bertentangan dengan Konstitusi dapat dicegah.
Sebab, apabila hakim ragu akan konstitusionalitas undang-
undang yang akan ia terapkan maka ia dapat mengajukan
“pertanyaan konstitusional” kepada Mahkamah Konstitusi
untuk menentukan konstitusionalitas dari undang-undang
yang bersangkutan sebelum putusan pengadilan atas kasus
tersebut dijatuhkan.244 Tugas untuk menegakkan konstitusi
dan menjaganya dari segala bentuk pelanggaran, tentunya
tidak hanya menjadi tanggung jawab hakim-hakim
konstitusi semata, melainkan juga menjadi tugas dan
tanggung jawab dari hakim-hakim di peradilan umum.
Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tentunya harus
dijalankan dan tidak boleh diabaikan oleh siapa pun juga,
termasuk oleh penyelenggara negara dalam hal ini adalah
peradilan umum.245 Alan R. Brewer & Carrias memandang
bahwa sudah menjadi tugas yang melekat dari setiap
pengadilan untuk menjamin tindakan hukum legislatif dan
eksekutif sesuai dengan hukum tertinggi, yakni konstitusi.
Mereka menyatakan bahwa, “...the same inherent duty of
courts to ensure that each legal action conforms to a superior
law.”246
Selain itu, keberadaan constitutional question tidak
terlepas dari asas curia novit bagi hakim di peradilan
umum.247 Menurut Yahya Harahap, Ius Curia Novit/Curia
Novit Jus berarti hakim dianggap mengetahui semua hukum
sehingga Pengadilan tidak boleh menolak memeriksa dan
mengadili perkara.248 Prinsip ini juga ditegaskan dalam
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
244
Arifin, Hukum dan Kuasa Konstitusi, hlm. 77.
245
Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi, hlm. 328.
246
Huda, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia, hlm. 27.
247
Arifin, Hukum dan Kuasa Konstitusi, hlm. 177.
Kehakiman (selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman)
bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Bila
dikaitkan dengan constitutional question, jika hakim ragu
akan konstitusionalitas suatu dasar hukum yang dipakai
dalam perkara yang ditanganinya, ia tidak dapat menolak
untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Hakim
peradilan umum bisa menggunakan mekanisme
constitutional question untuk menuntaskan keraguannya
dan akhirnya menentukan hukum objektif mana yang harus
diterapkan (toepassing) sesuai dengan materi pokok perkara
yang menyangkut hubungan hukum pihak-pihak yang
berperkara dalam konkreto.249
Diadopsinya mekanisme constitutional question dalam
sistem peradilan konstitusi (constitutional adjudication)
adalah sebagai bagian dari pemberian perlindungan
maksimum terhadap hak-hak konstitusional warga negara.
Peradilan umum sebagai lembaga kehakiman tentunya
memiliki tugas untuk menjamin tegaknya keadilan melalui
penerapan undang-undang. Dengan kehadiran constitutional
question, maka keadilan tersebut dapat ditegakkan dengan
sepenuhnya. Jika mekanisme pertanyaan konstitusional
diadopsi di Indonesia, maka hakim peradilan umum menjadi
lebih kritis terhadap konstitusionalitas suatu undang-
undang.250 Dalam penerapan undang-undang sehari-hari
berkenaan dengan tugas dan fungsinya memeriksa dan
248
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2015), hlm. 821.
249
Sovia Hasanah, “Arti Asas Ius Curia Novit”
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt58dca7c78ab7d/arti-asas-ius-
curia-novit diakses pada 9 Februari 2018.
memutus sengketa yang dihadapkan padanya atas dasar
satu undang-undang tertentu, ada kemungkinan pihak-
pihak mempersoalkan konstitusionalitas suatu undang-
undang yang diajukan pihak lawan sebagai dasar untuk
mempertahankan haknya, atau hakim sendiri berpendapat
ada masalah konstitusionalitas yang harus diputuskan lebih
dahulu. Dalam keadaan demikian, hakim peradilan umum
dapat menjadi pintu gerbang dalam penataan perundang-
undangan agar serasi dengan hierarki perundang-undangan
di mana konstitusi merupakan hukum tertinggi yang harus
menjadi dasar dari aturan perundang-undangan yang lebih
rendah. Oleh karenanya, komunikasi yang tetap dengan
Mahkamah Konstitusi harus dibuka, baik melalui saluran
hukum acara dalam prosedur rujukan yang dilakukan
hakim peradilan umum kepada Mahkamah Konstitusi untuk
menguji suatu undang-undang yang diperhadapkan
padanya dalam kasus atau sengketa riil di pengadilan
maupun komunikasi bentuk lain.251 Akhirnya, akan
terhindarkan putusan pengadilan yang bertentangan dengan
konstitusi dan tentunya menggadaikan keadilan itu
sendiri.252

Keuntungan Menerapkan Kewenangan Constitutional


Questions
Setidak-tidaknya, ada tiga keuntungan penting yang
dapat diambil dari penerapan mekanisme constitutional
question itu jika hendak diadopsi oleh Indonesia. 253 Pertama,
250
Pan Mohamad Faiz, “The Role of the Constitutional Court in Securing
Constitutional Government in Indonesia,” (Disertasi Doktor University of
Queensland, Brisbane, 2016), hlm. 144.
251
Siahaan, “Renungan Akhir Tahun,” hlm. 114-115.
252
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta:
Rajawali Press, 2012), hlm. 313.
253
Hamidi, “Constitutional Question”, hlm. 44-45.
penerimaan mekanisme constitutional question itu akan lebih
memaksimalkan penghormatan, perlindungan, dan
pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara. Sebab,
bagi warga negara yang kurang memiliki kesadaran
dan/atau kemampuan dalam mempertahankan hak-hak
konstitusionalnya yang dijamin Konstitusi tetap dapat
menikmati pemenuhan hak-hak konstitusionalnya itu
tatkala suatu undang-undang, menurut penalaran yang
wajar, potensial merugikan hak-hak konstitusionalnya,
tanpa yang bersangkutan harus secara aktif mengajukan
permohonan pengujian undang- undang itu ke Mahkamah
Konstitusi. Mekanisme constitutional question dapat
melengkapi sistem pengujian konstitusional di Indonesia.
Dengan diadopsinya mekanisme constitutional question ini,
maka ruang pengujian konstitusional di Indonesia akan
semakin luas dan lengkap, yakni tidak terbatas pada
abstract review saja, melainkan juga meliputi concrete
review. Karena bukan tidak mungkin persoalan
konstitusionalitas dari suatu norma hukum itu justru
muncul dari proses litigasi di pengadilan. Kemungkinan-
kemungkinan itu tentu saja harus bisa diantisipasi dan
ditanggulangi, yakni dengan membuka ruang pengujian
konstitusional dari jalur constitutional question.254 Melalui
mekanisme ini, maka warga negara dapat dilindungi dari
kemungkinan penerapan hukum yang inkonstitusional oleh
pengadilan sehubungan kasus hukum yang menjeratnya.
Dengan mekanisme ini, maka diharapkan tidak ada lagi
kerugian hak konstitusional warga negara akibat penerapan
hukum yang bertentangan dengan UUD.255

254
Chalid, “Urgensi dan Upaya Implementasi…,”, hlm. 375.
255
Ibid., hlm. 376.
Kedua, hakim tidak dipaksa menerapkan undang-
undang yang berlaku terhadap suatu perkara yang menurut
keyakinannya undang-undang itu bertentangan dengan
konstitusi. Kekuasaan kehakiman pada dasarnya berfungsi
memutus sengketa hukum yang timbul antara anggota
masyarakat dan pemerintah. Wewenang untuk memutus
perkara, tujuan akhirnya adalah untuk mewujudkan
ketertiban umum di masyarakat melalui putusan yang
adil.256 Ketika hakim menghadapi dilema untuk menerapkan
suatu undang-undang dalam perkara yang ditanganinya,
maka hakim dapat mengambil inisiatif untuk mengajukan
pertanyaan konstitusional kepada Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian, di satu sisi hakim tidak dipaksa untuk
menerapkan undang-undang yang menurutnya
bertentangan dengan konstitusi, akan tetapi di sisi lain
hakim juga tidak semena-mena mengabaikan undang-
undang yang dimaksud, melainkan harus menyerahkan
persoalan konstitusionalitas itu kepada Mahkamah
Konstitusi dengan jalan mengajukan constitutional
question.257 Mekanisme constitutional question ini pun
menjadi jalan tengah atau solusi yang dapat menjembatani
dua kutub yang saling bersaingan. Kemerdekaan hakim
untuk tidak dipaksa menerapkan undang-undang yang
menurut penilaiannya bertentangan dengan konstitusi di
satu sisi dan prinsip supremasi parlemen yang menghendaki
dihormati dan ditaatinya undang-undang buatan parlemen
dengan tidak mengesampingkannya begitu saja disisi yang
lain. Mengenai hal ini, Leon Duguit mengatakan bahwa:

256
A.M. Fatwa, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta:
Kompas Media Nusantara, 2009), hlm. 22.
257
Chalid, “Urgensi dan Upaya Implementasi…,”, hlm. 376.
“A Court which refuse to apply a statute on the grounds
of unconstitutionality does not interferce with the
exercise of legislative powers. It does not suspend
application. The law remains untouched... it is simply
because the judicial power is distinct from and
independent equal to the two others that it cannot be
forced to apply the statutes it deems
unconstitutional.”258
Hal demikian tidak dapat dinilai sebagai bentuk
judicial activism ataupun dinilai sebagai pelanggaran
terhadap prinsip judicial restraint karena alasan
dilakukannya tindakan itu adalah untuk menjaga
konstitusionalitas undang-undang dalam penerapannya
yang sekaligus berarti mencegah kemungkinan timbulnya
pelanggaran (oleh undang-undang) terhadap hak-hak
konstitusional warga negara. Prosedur tersebut diperkirakan
dapat melindungi legislator atau pembuat undang-undang
dari potensi keengganan hakim peradilan untuk
menerapkan hukum dengan alasan ketiadaan hukum.
Asumsi ini mampu menjamin uniformitas sistem hukum
dan konsentrasi pelaksanaan constitutional review ke dalam
satu institusi.259 Pada akhirnya, langkah ini dilakukan
untuk segera menghentikan pelanggaran konstitusi yang
terjadi dalam yurisdiksi hukum peradilan umum.260
Ketiga, bagi Indonesia yang secara formal maupun
tradisi hukum tidak menganut prinsip stare dicisis atau
prinsip preseden, constitutional question akan membantu
terbentuknya kesatuan pandangan atau pemahaman di
kalangan hakim-hakim di luar hakim konstitusi mengenai

258
Ibid., hlm. 376-377.
259
Asshiddiqie, Peradilan Konstitusi di…, hlm. 33.
260
Ibid., hlm. 100.
pentingnya menegakkan prinsip konstitusionalitas hukum
bukan hanya dalam proses pembentukannya tetapi juga
dalam penerapannya.261 Meski Indonesia menganut asas
bebas (hakim tidak terikat pada putusan-putusan hakim
yang lebih tinggi maupun yang sederajat tingkatnya), namun
dalam praktiknya hakim sedikit banyak mengikatkan
dirinya kepada putusan-putusan hakim yang terdahulu. 262
Melalui constitutional question, hakim di Indonesia
diingatkan bahwa mereka disumpah untuk tunduk kepada
Konstitusi dan sudah seyogianya untuk menjaga konstitusi
di dalam menjalankan tugasnya. Akhirnya, diharapkan
tercapainya tujuan hukum, yaitu kepastian hukum dan
keadilan.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, konstitusi hanya
akan menjadi konstitusi yang hidup (living constitution)
apabila ada kesadaran yang tinggi akan makna konstitusi
itu di hati setiap warga negara. Usulan untuk mengadopsi
mekanisme constitutional question adalah salah satu upaya
untuk mendorong tumbuhnya kesadaran berkonstitusi.
Diadopsi dan diterapkannya constitusional question
merupakan salah satu bukti nyata bahwa saatnya wajah
penegakan hukum di negeri ini tegak, sehingga
implementasi dari sila ke lima nilai-nilai Pancasila yang
merupakan dasar negara tidak hanya sebagai simbol semata
melainkan dapat menjelma dalam setiap lini kehidupan
berbangsa.263

Alternatif Dasar Kewenangan Constitutional Question


dalam Sistem Hukum Indonesia
261
Fatwa, Potret Konstitusi, hlm. 22.
262
Purnadi Purbacaraka, Perundang-undangan dan Jurisprudensi,
(Jakarta: Tanjung Harapan, 1963), hlm. 37.
263
Hamidi, “Constitutional Question,” hlm. 45.
Hingga saat ini, terdapat pro dan kontra dari para
akademisi, mengenai pengaturan dasar hukum
constitutional question menjadi wewenang Mahkamah
Konstitusi. Hal ini dikarenakan wewenang tersebut tidak
ditemukan dalam UUD NRI 1945 secara eksplisit. Sebagian
ahli berpendapat bahwa pemberian wewenang mengadili
constitutional question kepada Mahkamah Konstitusi tidak
harus melalui perubahan UUD NRI 1945. UU MK dapat
direvisi dengan menambahkan ketentuan yang memberikan
keleluasaan hakim peradilan umum mengajukan pengaduan
konstitusional ke Mahkamah Konstitusi.264 Pendapat ini
memiliki kelemahan, karena masalah legitimasi yang tidak
kuat, disebabkan konstitusi tidak secara eksplisit memberi
wewenang demikian pada Mahkamah Konstitusi. Para ahli
lain berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi hanya dapat
mengadili constitutional question melalui pengaturan
eksplisit dalam undang-undang dasar, sehingga hanya
dapat dilakukan melalui perubahan undang-undang
dasar.265 Penempatan di konstitusi juga memberikan dasar
konstitusional yang kuat bagi Mahkamah Konstitusi untuk
menangani perkara constitutional question.266
Di dunia, dari sisi tempat pengaturan wewenang
memutus constitutional question, terdapat dua model.
Pertama, ada negara-negara yang memberikan wewenang
dimaksud dalam konstitusinya, antara lain di Angola,
Austria, Bosnia, Korea Selatan, Malta, Rusia, dan Spanyol.
Dari ketentuan di 7 negara tersebut, ada juga yang
menentukan constitutional question sebagai kewenangan
yang terpisah dari constitutional review. Konstitusi Angola

264
Faiz, “The Role of the Constitutional Court,” hlm. 145.
265
Zoelfa, “Constitutional Complaint dan…,” hlm. 162.
266
Faiz, “The Role of the Constitutional Court,” hlm. 145.
misalnya menentukan bahwa salah satu wewenang
Mahkamah Konstitusi adalah “consider appeals in respect of
the constitutional nature of all decisions of other courts that
refuse to apply any rule on the grounds that it is
unconstitutional.”267 Namun, ada pula yang mengatur sebagai
satu kesatuan dengan wewenang constitutional review,
pengadilan disebutkan sebagai salah satu yang dapat
mengajukan permohonan, seperti di Bosnia-Herzegovina.
Kedua, terdapat negara-negara yang menentukan
mekanisme constitutional question dalam Undang-Undang
Mahkamah Konstitusinya dan merupakan derivasi dari
wewenang memutus konstitusionalitas aturan hukum yang
diberikan konstitusi. Negara-negara tersebut antara lain
adalah Belarus, Kroasia, Georgia, Jerman, Latvia, Lithuania,
dan Slovenia.268
Bagi akademisi yang memandang diperlukannya
amandemen konstitusi untuk memasukkan constitutional
question, mereka mendasarkan argumen mereka pada Pasal
24C ayat (1) UUD NRI 1945, dimana kewenangan
Mahkamah Konstitusi dirumuskan secara terperinci tanpa
diiringi kata-kata “dan kewenangan lain yang ditentukan
dengan undang-undang” seperti dalam rumusan mengenai
kewenangan Mahkamah Agung (MA). Dengan demikian,
kewenangan Mahkamah Konstitusi itu dapat dikatakan
bersifat limitatif dan tidak seperti kewenangan Mahkamah
Agung yang tidak limitatif. Oleh karena itu, lazimnya
dikembangkan pengertian bahwa undang-undang tidak
boleh menambahkan kewenangan apa pun terhadap
Mahkamah Konstitusi terhadap ketentuan yang bersifat
limitatif semacam itu. Artinya, yang harus memberikan

267
Angola, Constitution of Angola, 2010, Article 180.
268
Mahfud, Constitutional Question, hlm. 68-69.
kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi haruslah
konstitusi itu sendiri.269
Selain itu, perlu dimasukkannya kewenangan
constitutional question dalam konstitusi sesuai dengan
karakteristik khusus peradilan Mahkamah Konstitusi yang
berbeda dengan peradilan yang lain. Karakteristik utama
yaitu dasar hukum utama yang digunakan dalam proses
peradilan baik terkait dengan substansi perkara maupun
hukum acara adalah konstitusi itu sendiri, yaitu UUD NRI
1945. Walaupun terdapat berbagai ketentuan undang-
undang dan PMK sebagai dasar memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara, namun ketentuan tersebut digunakan
sepanjang dinilai tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Hal ini tidak terlepas dari sifat wewenang Mahkamah
Konstitusi yang pada hakikatnya adalah mengadili perkara-
perkara konstitusional.270
Sementara itu, bagi akademisi yang memandang
cukup melalui perubahan UU MK, mereka mendasarkan
bahwa, baik secara teoretis maupun empiris, constitutional
question sesungguhnya merupakan bagian dari pengujian
konstitusional (constitutional review). Ia merupakan satu
dari dua mekanisme constitutional review dimana
constitutional review itu sendiri di dalam praktiknya
dilaksanakan melalui dua varian pengujian, yakni abstract
review dan concrete review. I Dewa Palguna mengatakan
bahwa meskipun bentuknya berupa pertanyaan (question),
konstruksi pemikiran dan substansi yang ada dalam
constitutional question sesungguhnya adalah permohonan
pengujian undang-undang.271 Menurutnya, cukup dilakukan

269
Arifin, Hukum dan Kuasa Konstitusi, hlm. 153.
270
Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, hlm. 28.
271
Chalid, “Urgensi dan Upaya Implementasi…,” hlm. 383.
dengan mengubah UU MK, misalnya dengan menambahkan
ketentuan pada Bagian Kedelapan (“Pengujian Undang-
Undang terhadap Undang-Undang Dasar”) bahwa hakim
pengadilan dari lingkungan Peradilan Umum, Peradilan
Agama, Peradilan Militer, atau Peradilan Tata Usaha Negara,
jika dalam memutus suatu perkara yang sedang diadilinya
ragu-ragu akan konstitusionalitas undang-undang yang
berlaku terhadap perkara itu, dapat mengajukan pertanyaan
kepada Mahkamah Konstitusi tentang konstitusionalitas
undang-undang yang bersangkutan sebelum dijatuhkannya
putusan terhadap perkara tersebut. Pemeriksaan terhadap
perkara itu dihentikan sementara sampai Mahkamah
Konstitusi menjatuhkan putusan terhadap konstitusional
tidaknya undang-undang tersebut. Apabila Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwa undang-undang itu
konstitusional atau tidak bertentangan dengan UUD NRI
1945, maka pemeriksaan terhadap perkara tersebut
dilanjutkan. Sebaliknya, apabila Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa undang-undang yang bersangkutan
inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD NRI 1945
maka perkara itu dinyatakan gugur demi hukum.272
Sehingga, berdasarkan konstruksi tersebut, maka
dalam konteks Indonesia, mekanisme constitutional question
dapat ditempatkan sebagai bagian dari kewenangan
Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945. Artinya,
mekanisme constitutional question sejatinya sudah memiliki
landasan konstitusional dalam UUD NRI 1945. Sehingga,
untuk menambahkan kewenangan constitutional question
272
I Dewa Gede Palguna, “Constitutional Question: Latar Belakang dan
Praktik di Negara Lain Serta Kemungkinan Penerapannya di Indonesia,” Jurnal
Hukum, Vol. 1, (Januari 2010), hlm. 15.
kepada Mahkamah Konstitusi tidak perlu dilakukan dengan
amandemen UUD NRI 1945. Sebab, sebagaimana telah
dikatakan di atas, seandainya mekanisme ini akan diadopsi
di Indonesia maka sesungguhnya ia telah memiliki landasan
konstitusional dalam Pasal 24C ayat (1), yakni sebagai
bagian dari kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Jika Mahkamah Konstitusi diberi wewenang untuk
mengadili perkara constitutional question, maka hal tersebut
bukanlah merupakan penambahan atau penciptaan
kewenangan baru bagi Mahkamah Konstitusi, melainkan
hanya sebatas perluasan kewenangan yang sudah
dimilikinya berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945,
yakni kewenangan menguji undang- undang terhadap
Undang-Undang Dasar.273
Cara yang dapat ditempuh untuk mengadopsi
mekanisme ini cukup dengan mengubah undang-undang
tentang Mahkamah Konstitusi (UU No. 24 Tahun 2003
juncto UU No. 8 Tahun 2011), yakni dengan memasukkan
pasal-pasal yang akan mengatur pelaksanaan mekanisme
constitutional question ini di Mahkamah Konstitusi
Indonesia. Materi perubahannya itu sendiri kurang lebih
mencakup ketentuan-ketentuan sebagai berikut:274
1. Dibukanya peluang pengujian undang-undang yang
berasal dari proses litigasi di pengadilan yang
permohonannya diajukan oleh hakim peradilan umum
manakala ia merasa ragu akan konstitusionalitas
undang-undang yang akan ia terapkan dalam kasus
konkret yang sedang ditanganinya (judicial referral of
constitutional question);

273
Chalid, “Urgensi dan Upaya Implementasi…,” hlm. 382.
274
Ibid., hlm. 385.
2. Penghentian sementara persidangan atas kasus konkret
yang dasar hukumnya sedang diuji oleh Mahkamah
Konstitusi hingga adanya putusan Mahkamah Konstitusi,
sehingga pengadilan tidak bisa serta merta menjatuhkan
putusan terhadap suatu perkara yang dasar hukumnya
masih dipersoalkan dan diuji oleh Mahkamah Konstitusi;
dan
3. Keharusan bagi pengadilan yang telah mengajukan
constitutional question itu khususnya, dan semau orang
pada umumnya, untuk mematuhi putusan Mahkamah
Konstitusi atas perkara constitutional question yang
dimaksud.
Sementara itu, Mahkamah Agung juga perlu
membentuk Peraturan Mahkamah Agung untuk mengatur
mekanisme constitutional question di lingkungan peradilan
umum.275 Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi
dari cabang peradilan umum di Indonesia tentunya perlu
mengatur setiap pelaksanaan kewenangan yang ada di
lingkungannya. Peraturan Mahkamah Agung akan
memberikan kepastian bagi hakim peradilan umum bahwa
permintaan constitutional question yang diajukannya akan
diserahkan ke Mahkamah Konstitusi Pengadilan setelah
memenuhi persyaratan dan tata cara yang diatur dalam
Peraturan Mahkamah Agung tersebut.276
4. Permasalahan Kelembagaan
a. Tata Cara Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi
Pemilihan ketua dan wakil ketua Mahkamah
Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal (4f), (4g), dan

275
Wawancara dengan Pan Mohammad Faiz, tanggal 8 Februari 2018 di
Kantor Mahkamah Konstitusi.
276
Faiz, “The Role of the Constitutional Court,” hlm. 145.
(4h) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
dilakukan dalam satu kali rapat di mana hakim konstitusi
yang mendapatkan suara terbanyaklah yang akan menjadi
ketua Mahkamah Konstitusi sedangkan yang menempati
posisi kedua dari segi perolehan suara ditetapkan menjadi
wakil ketua. Sistem pemilihan yang menganut prinsip “satu
kali rapat dan satu paket” tersebut memiliki beberapa
implikasi potensial yang pada akhirnya menjadi dasar
pertimbangan Mahkamah untuk membatalkan pasal-pasal
terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
49/PUU-IX/2011.
Meskipun Mahkamah menilai bahwa pada dasarnya
pengaturan pemilihan pimpinan lembaga merupakan
kebijakan hukum terbuka (legal policy) dari pembentuk
undang-undang yang sebenarnya dibuat secara manasuka
namun konstitusionalitasnya dapat ditakar apabila ternyata
dalam penerapannya mengakibatkan permasalahan bagi
lembaga tersebut dan menghambat pelaksanaan kinerja
lembaga yang pada akhirnya dapat menimbulkan kerugian
konstitusional bagi warga negara. Mahkamah
mempertimbangkan bahwa sistem pemilihan yang menjadi
status quo tidak mengindahkan prinsip-prinsip
berdemokrasi yang ideal yaitu asas mayoritas sederhana
(simple majority) bilamana ada dua atau lebih calon yang
memperoleh jumlah suara urutan kedua terbanyak
(contohnya apabila hasil perolehan suara dalam rasio 5:2:2
atau 3:2:2:2)277. Skenario kedua yang membuat tata cara
pemilihan wakil ketua dan ketua problematik adalah apabila

277
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Putusan Nomor 49/PUU-
IX/2011,” hlm 66
rasio hasil perolehan suara 9:0 atau 8:1278. Bilamana hal
tersebut terjadi akuntabilitas, legitimasi, dan akseptabilitas
pimpinan Mahkamah Konstitusi (dalam hal ini khususnya
adalah pemegang peran wakil ketua Mahkamah Konstitusi)
bisa jadi dipertanyakan. Risikonya adalah posisi wakil ketua
dianggap lebih rendah oleh karena tidak memiliki sokongan
dari hakim-hakim konstitusi yang lain, terlebih lagi apabila
tiba saatnya individu tersebut harus menggantikan posisi
ketua Mahkamah Konstitusi. Mahkamah berkesimpulan
bahwa potensi kerugian tersebut dapat melanggar Pasal 28D
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Maka, dengan dicabutnya ketentuan mengenai tata
cara pemilihan ketua dan wakil ketua Mahkamah
Konstitusi, sebaiknya diinkorporasikan perubahan terhadap
tata cara pemilihan pimpinan Mahkamah yang secara jelas
memperhatikan asas akuntabilitas, legitimasi,
akseptabilitas, dan ketentuan mayoritas sederhana. Hal
tersebut dapat dilakukan dengan mengatur bahwa
pemilihan ketua dan wakil ketua Mahkamah konstitusi
dilaksanakan secara terpisah untuk menghindari
delegitimasi posisi Wakil Ketua Mahkamah. Kedua seleksi
tersebut harus mengupayakan musyawarah mufakat untuk
mencapai aklamasi sebelum dilaksanakannya pemungutan
suara secara bebas dan rahasia dengan memperhatikan
suatu kuorum rapat tertentu. Keadilan dalam proses
pemilihan tersebut juga dapat digarisbawahi dengan
pengaturan mengenai hak setiap hakim yang hadir untuk
memilih dan dipilih sebagai Ketua atau Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi. Untuk meminimalisir adanya
kerugian konstitusional nal karena terbatasnya kinerja
Mahkamah dengan adanya kekosongan pimpinan, juga
278
Ibid., hlm. 66
diperlukan jangka waktu yang pasti mengenai kapan paling
lambat pemilihan dilaksanakan. Hal itu untuk menjamin
kepastian kepemimpinan lembaga. Posisi Ketua dan Wakil
Ketua Mahkamah Konstitusi harus diisi dengan
memperhatikan prinsip-prinsip tertentu oleh karena
masyarakat bergantung pada kinerja dari lembaga tersebut.

5. Permasalahan Hukum Acara


a. Batas Waktu Penanganan Perkara Pengujian Undang-
Undang
Justice delayed is justice denied, kecepatan dalam
proses peradilan adalah salah satu unsur yang menjamin
bahwa keadilan diberikan. Secara normatif Mahkamah
Konstitusi dalam hal tersebut telah memperhitungkan asas
kecepatan untuk perkara sengketa kewenangan lembaga
negara yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945,
pembubaran partai politik, perselisihan hasil pemilihan
umum, dan pemutusan pendapat DPR mengenai dugaan
pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden. Tiap-tiap perkara tersebut memiliki pengaturan
jangka waktu penyelesaian sehingga para pihak mempunyai
gambaran akan akhir dari perkara yang mereka ajukan.
Namun kepastian tersebut tidak ada dalam hal permohonan
pengujian undang-undang. Tanpa manajemen waktu
penyelesaian perkara yang lebih baik, tunggakan perkara
yang diwariskan dari tahun ke tahun akan terus meningkat
dan masyarakat tidak akan mendapatkan kepastian akan
kapan permasalahan-permasalahan yang diajukan
diselesaikan.
Dalam kurun waktu tiga belas tahun (2003-2016),
rata-rata waktu yang digunakan Mahkamah Konstitusi
untuk memutus pengujian undang-undang—mulai dari
proses registrasi hingga pembacaan putusan—adalah 6,5
bulan. Kecenderungan dari waktu rata-rata yang digunakan

Grafik 1
Waktu Penanganan Perkara di Mahkamah Konstitusi Mulai
Registrasi Hingga Putusan

Sumber: Konstitusi dan Demokrasi (KODE) Inisiatif, Tiga Belas Tahun Kinerja
Mahkamah Konstitusi dalam Memutus Pengujian Undang-Undang

Mahkamah Konstitusi menunjukkan peningkatan


hingga pada 2016, waktu penanganan perkara pengujian
undang-undang mencapai 10,5 bulan. Peningkatan jangka
waktu tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor, antara lain
beban perkara dan juga hukum acara.
Dalam hal beban perkara, banjirnya jenis perkara lain
khususnya sengketa perselisihan pemilihan kepala daerah
(Pilkada) bisa menjadi suatu unsur yang mendistraksi
kinerja Mahkamah Konstitusi dari perkara pengujian
undang-undang. Karena perkara pengujian undang-undang
secara formil tidak diatur mengenai batas waktu, maka
seakan-akan tidak menjadi prioritas Mahkamah. Ketiadaan
limitasi waktu antara kesimpulan sidang dengan putusan
yang sangat lama juga membuat prosesnya riskan
terkatung-katung tanpa adanya jaminan penyelesaian.
Ketiadaan pengaturan juga menyebabkan adanya disparitas
waktu penanganan perkara; ada perkara yang selesai dalam
hitungan hari, sedangkan ada juga permohonan yang
diselesaikan dalam waktu lebih dari dua tahun. 279
Penentuan suatu jangka waktu memang bukan
perkara mudah. Kedalaman dan kecermatan daripada
pembahasan undang-undang yang dimohonkan bisa jadi
dikorbankan untuk pemenuhan asas kecepatan. Namun
permasalahan-permasalahan tersebut bisa dijawab dengan
adanya pengaturan yang lebih eksplisit mengenai jangka
waktu antara Rapat Permusyawaratan Hakim dan
pembacaan putusan. Solusi tersebut memberikan ruang
bagi Mahkamah Konstitusi untuk menyesuaikan jangka
waktu pembuktian selama pemeriksaan persidangan sesuai
dengan ruang lingkup undang-undang yang diujikan.
Namun masyarakat juga mendapatkan jaminan bahwa
setelah tahapan pembuktian dan pemeriksaan persidangan
lain telah selesai, para pencari keadilan dapat menghitung
hari untuk mencapai penyelesaian. Pengamanan tersebut
juga dapat mencegah adanya penguluran waktu dari pihak-
pihak berkepentingan.280 Refly Harun mengusulkan bahwa
batas waktu maksimal pengujian undang-undang di

279
Veri Junaidi, Adelline Syahda, dan Adam Mulya Bunga Mayang, Tiga
Belas Tahun Kinerja Mahkamah Konstitusi dalam Memutus Pengujian Undang-
Undang, (Jakarta: Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif, 2016), hlm. 8
280
Nabilla Tashandra, “MK Diminta Atur soal Batas Penanganan
Perkara,”
http://nasional.kompas.com/read/2016/12/27/15091181/mk.diminta.atur.so
al.batas.waktu.penanganan.perkara, Diakses pada 12 Februari, 2018
Mahkamah Konstitusi adalah 6 bulan. Batas waktu tersebut
didasari atas rata-rata penyelesaian perkara pengujian
undang-undang di Mahkamah Konstitusi.281

b. Penambahan Legal Standing pada Hukum Acara


Pembubaran Partai Politik
Sejak MK berdiri dan diberi kewenangan untuk
membubarkan partai politik, belum pernah ada partai politik
yang dibubarkan oleh MK. Hal ini merefleksikan dua sebab,
yaitu alasannya terbatas pada hal yang terkait dengan
melawan ideologi, konstitusi dan NKRI serta pemohonnya
hanya terbatas pada pemerintah. Berkenaan dengan alasan
pembubaran, kenyataannya di Indonesia sekarang ini
secara formal, tidak ada lagi partai politik yang berani
melawan ideologi Pancasila, UUD NRI 1945, dan NKRI. Fakta
di lapangan justru menunjukkan bahwa sebenarnya bentuk-
bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh partai politik lebih
kepada pelanggaran yang sifatnya tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan, padahal tindakan tersebut
jelas telah melanggar peraturan perundang-undangan dan
berdampak sistemik terhadap penyelenggaraan negara.
Sebagai contoh adalah partai politik yang terbukti
melakukan pelanggaran pemilu yang sifatnya terstruktur,
sistematis dan masif.282
Perkembangan partai politik di Indonesia mengalami
pasang surut seiring dengan dinamika politik dan
ketatanegaraan yang berubah. Perkembangan partai politik

281
Ady Achmad, “Hasil Riset: Pengujian UU Advokat Butuh Waktu Paling
Lama,” http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57bc331fcfc20/hasil-
riset--pengujian-uu-advokat-butuh-waktu-paling-lama, Diakses pada 12
Februari, 2018
282
Sri Hastuti, et al.,Urgensi Perluasan Permohonan Pembubaran Partai
Politik di Indonesia, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum Volume 23 Issue 4, Oktober
2016, hlm.554-555.
tersebut dapat dilihat dari sisi jumlah partai politik maupun
ideologi partai.283 Berkenaan dengan jumlah partai politik,
secara kuantitatif, jumlah partai politik peserta pemilu di era
reformasi selalu berubah-ubah, tidak seperti pada Orde
Baru yang selalu ajeg diikuti oleh 3 partai politik, yaitu PPP,
GOLKAR dan PDI, terkecuali pemilu pertama Orde Baru
yang diikuti oleh 10 Partai Politik. Perubahan jumlah partai
politik peserta pemilu di Orde Reformasi ini disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu: pertama, persyaratan pendirian
parpol yang terus diperbaharui dan diperketat melalui UU;
kedua, penerapan ambang batas perolehan suara dari
parpol pada pemilu (electoral threshold) yang menjadi salah
satu persyaratan parpol dapat menjadi peserta pemilu
berikutnya; dan ketiga pemilih yang makin cerdas/rasional
dalam menentukan pilihan.
Dinamika perkembangan partai politik dalam
kontestasi pemilu tersebut sebenarnya dapat kita maknai
sebagai bentuk semakin bergesernya sistem demokrasi dan
pemilu yang semula tidak demokratis ke arah yang lebih
demokratis. Namun hal ini tidak kemudian membuat sistem
demokrasi dan pemilu kita telah benar-benar berjalan
secara demokratis. Faktanya, masih terdapat beberapa
permasalahan lain yang membuat demokrasi dan sistem
penyelenggaraan pemilu belum dapat dikatakan berjalan
secara demokratis. Diantaranya berkenaan dengan
terbatasnya alasan terhadap usul pembubaran partai politik
yang diatur di dalam undang-undang, serta pemberian
peran tunggal kepada pemerintah dalam usul pembubaran
partai politik284 yang tanpa disadari telah mencederai nilai-
nilai dasar demokrasi.
283
Widayati, “Pembubaran Partai Politik Dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia”, Jurnal Hukum Universitas Islam Sultan Agung, Volume. XXVI,
Nomor. 2, Agustus 2011, hlm. 625
Berkaitan dengan hal tersebut, perlu diketahui bahwa
pembubaran partai politik pada dasarnya diyakini sebagai
sebuah mekanisme untuk melakukan pengawasan terhadap
partai politik.285 Dalam laporan survei yang dilakukan oleh
European Commission for Democracy through Law yang biasa
disebut sebagai Venice Commision, mengenai pengaturan
larangan dan tindakan pengawasan terhadap partai politik
di 40 negara yang merespons pengisian ‘questionnaire’ yang
diajukan286, diperoleh kesimpulan bahwa:
1. Kegiatan partai politik dimana pun selalu dijamin atas
dasar prinsip kebebasan berserikat (party activities
everywhere are guaranted by the principle of freedom of
association);
2. Secara umum terdapat kesamaan pandangan di semua
negara bahwa terhadap partai politik yang tidak
memenuhi ketentuan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku dapat dijatuhi sanksi
berupa tindakan pelarangan/pembekuan atau
pembubaran (there is possibility to sanction political
parties that do not respect a certain set of rules, through

284
Hal senada juga dikatakan oleh Josef M.Monteiro dalam
Ketidakpastian Pengaturan Pembubaran Partai Politik, Jurnal Hukum Pro
Justicia, April 2010, Nomor 1, Volume 28, hlm. 52 intinya Josef mengatakan
bahwa Pasal 68 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi yang memberikan peran tunggal kepada Pemerintah
sebagai pengusul pembubaran partai politik tidaklah dapat dikatakan
demokratis.
285
Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai Politik
dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press,2005), hlm. 128.
286
Keempat puluh negara yang di survei dalam mengisi ‘questionnaire’
sebagaimana mestinya adalah: Albania, Argentina, Austria, Azerbaijan, Belarus,
Belgia, Bosnia enherzegovina, Bulgaria, Canada, Croatia, the Czech Repulic,
Denmark, Estonia, Vinlandia, Perancis, Georgia, Jerman, Yunani, Hongaria,
Irlandia, Italia, Jepang, Kyrghyztan, Latvia, Liechtenstrein, Liethuania, Muldova,
Belanda, Norwegia, Polandia, Portugal, Romania, Russia, Slovakia, Spanyol,
Slovenia, Swedia, Switzerland, Turki, Ukraina, Uruguay (Lihat dokumen CDL-
PP(98)2). Muchamad Ali Safa’at, Pembubaran Partai POlitik Pengaturan dan
Praktik Pembubaran Partai Politik dalam Pergaulan Republik. Rajawali Press,
Jakarta, 2011, hlm. 129
prohibition and dissolution of political parties, in a number
of countries which answered the questionnaire) ;
3. Prosedur yang berkenaan dengan tindakan pembatasan
terhadap kegiatan partai-partai politik itu menunjukkan
besarnya kepedulian dan tanggung jawab para pejabat
yang berwenang di negara-negara yang bersangkutan
dalam menghormati prinsip-prinsip kebebasan berserikat
(the procedure regarding measures restricting the activites
of the political parties show the authorities’ concern to
respect the principle of freedom of association).

Di Indonesia, larangan-larangan terhadap tindakan


yang tidak semestinya dilakukan oleh partai politik yang
apabila dilanggar maka partai politik tersebut akan
mendapatkan sanksi telah secara jelas diatur di dalam UU
No. 2. Tahun 2008 jo. UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai
Politik. Pasal 40 UU tersebut menyebutkan:287
(1) Partai Politik dilarang menggunakan nama, lambang,
atau tanda gambar yang sama dengan:
a. bendera atau lambang negara Republik Indonesia;
b. lambang lembaga negara atau lambang Pemerintah;
c. nama, bendera, lambang negara lain atau
lembaga/badan internasional;
d. nama, bendera, simbol organisasi gerakan separatis
atau organisasi terlarang;
e. nama atau gambar seseorang; atau
f. yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda
gambar Partai Politik lain.
(2) Partai Politik dilarang:

287
Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 jo Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2011, LN Nomor 8 tahun 2011, TLN 5189, Pasal 40.
a. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan;
atau
b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan
dan keselamatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
(3) Partai Politik dilarang:
a. menerima dari atau memberikan kepada pihak asing
sumbangan dalam bentuk apapun yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan;
b. menerima sumbangan berupa uang, barang, ataupun
jasa dari pihak mana pun tanpa mencantumkan
identitas yang jelas;
c. menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau
perusahaan/badan usaha melebihi batas yang
ditetapkan dalam peraturan perundangundangan;
d. meminta atau menerima dana dari badan usaha milik
negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha
milik desa atau dengan sebutan lainnya; atau
e. menggunakan fraksi di Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah kabupaten/kota sebagai sumber
pendanaan Partai Politik.
(4) Partai Politik dilarang mendirikan badan usaha dan/atau
memiliki saham suatu badan usaha.
(5) Partai Politik dilarang menganut dan mengembangkan
serta menyebarkan ajaran atau paham
komunisme/Marxisme-Leninisme.
Terhadap suatu pelanggaran yang dilakukan oleh
partai politik, Pasal 48 UU Partai Politik mengatur beberapa
jenis sanksi yang dapat dikenakan, yakni sanksi
administratif, sanksi pembekuan, hingga sanksi
pembubaran.

Berkenaan dengan sanksi pembubaran, partai politik


hanya dapat dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi apabila
ideologi, asas, tujuan, program partai politik bertentangan
dengan UUD NRI 1945; dan/atau kegiatan partai politik
bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 atau akibat
yang ditimbulkannya bertentangan dengan UUD NRI
1945.288 Kenyataannya sekarang, secara formal tidak ada
lagi partai politik di Indonesia yang berani melawan ideologi
Pancasila, UUD NRI 1945, dan NKRI. Fakta di lapangan
justru menunjukkan bahwa sebenarnya bentuk-bentuk
pelanggaran yang dilakukan oleh partai politik lebih kepada
pelanggaran yang sifatnya tidak diatur oleh undang-undang.
Padahal tindakan yang dilakukan oleh partai politik tersebut
secara jelas telah melanggar peraturan perundang-
undangan, merusak eksistensi nilai-nilai demokrasi, dan
berdampak negatif terhadap penyelenggaraan negara.
Sebagai contoh adalah saat partai politik melakukan
pelanggaran dalam penyelenggaraan pemilu dan perilaku
kader-kader partai yang korup.

Berkaca pada 2 dari 23 negara di dunia yang


mengatur tentang pembubaran partai politik yakni Jerman
dan Korea Selatan, masing-masing konstitusi kedua negara
tersebut mengatur bahwa yang menjadi alasan pembubaran
partai politik yaitu apabila kegiatan partai politik tersebut

288
Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 12 Tahun 2008
tentang Prosedur Beracara Dalam Pembubaran Partai Politik, Pasal 2.
melanggar tatanan demokrasi.289 Kedua negara tersebut
menganggap bahwa tatanan demokrasi merupakan hal
penting yang perlu dijaga dalam sebuah negara demokrasi.
Oleh karenanya, apabila tujuan partai politik atau perilaku
pengikutnya tidak sesuai dan berupaya menghapus
eksistensi demokrasi, maka partai tersebut dapat diusulkan
untuk dibubarkan.

Hal ini sejalan dengan pendapat Samuel Issacharoff


dalam bukunya “Fragile Democracies Constested Power in
the Era of Constitusinal Courts”, dikatakan bahwa:290
“Salah satu bentuk pembatasan yang dapat
dibenarkan dan dibutuhkan dalam negara demokratis
adalah pembatasan terhadap kelompok yang
mengancam demokrasi, kebebasan, serta masyarakat
secara keseluruhan. Negara dapat melarang atau
membubarkan suatu organisasi, termasuk Partai Politik
yang bertentangan dengan tujuan dasar dan tatanan
konstitusional, negara demokrasi tidak hanya memiliki
hak, tetapi juga tugas untuk menjamin dan melindungi
prinsip-prinsip demokrasi konstitusional.”
Berangkat dari hal tersebut, pelanggaran pemilu yang
dilakukan oleh partai politik di Indonesia merupakan
perbuatan yang mengancam demokrasi, artinya pelanggaran
pemilu pada prinsipnya dapat dijadikan sebagai alasan
dalam pembubaran partai politik. Di lain sisi, partai

289
Di negara Jerman, ketentuan tersebut diatur dalam Article 21 ayat (2)
Konstitusi Jerman. Sementara untuk negara Korea Selatan, ketentuan tersebut
diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Constitution of South Korea. Baca, Rafli Fadilah
Achmad, “Tinjauan Yuridis Atas Legal Standing Pembubaran Partai Politik Di
MahkamahKonstitusi”, Skripsi, Universitas Indonesia, Jakarta, 2016, hlm. 85
290
Samuel Issacharoff, Fragile Democracies Constested Power in the Era
of Constitusinal Courts,Constitusional Law at New, York University School of
Law, 2012. Dalam Rifandy Ritonga, “Pembubaran Partai Politik Terhadap Sistem
Demokrasi di Indonesia”, Jurnal Pranata Hukum, Volume 10. Nomor 2 Juli
2016, hlm. 105
politikpun harus berbesar hati untuk dibubarkan jika
ternyata terbukti melakukan perbuatan yang mengancam
demokrasi, salah satunya perbuatan melanggar pemilu. 291
Mengingat begitu pentingnya pemilu bagi negara
demokrasi, dan pemilu yang jujur, fair serta bersih
merupakan instrumen penting dalam mewujudkan pemilu
yang demokratis di Indonesia, upaya memperluas
permohonan pembubaran partai politik dengan menjadikan
pelanggaran pemilu sebagai salah satu alasan terhadap usul
pembubaran partai politik di Indonesia menjadi suatu
keharusan yang tidak dapat dinafikkan. Dengan begitu,
secara sadar negara Indonesia telah melangkahkan kembali
kakinya menuju sistem pemilu yang lebih demokratis. 292
Sebagaimana diketahui bahwa Pasal 68 ayat (1) UU No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan
dengan jelas bahwa pemohon untuk perkara pembubaran
partai politik di Mahkamah Konstitusi adalah Pemerintah
yang diwakili oleh Menteri Dalam Negeri atau Jaksa Agung.
Kewenangan pemerintah untuk menjadi pemohon terkait
dengan tanggungjawab pemerintah untuk menjalankan UUD
NRI 1945 dan segala peraturan perundang-undangan yang
berlaku, serta mengupayakan tegaknya UUD beserta segala
peraturan perundang-undangan itu dengan sebaik-baiknya
sesuai dengan hukum.293
Oleh karena itu, jika suatu partai politik dinilai oleh
Pemerintah telah melanggar Undang-Undang Dasar
dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku,
maka adalah tanggung jawab pemerintah untuk mengambil

291
Hastuti, Urgensi Perluasan Permohonan Pembubaran Partai Politik di
Indonesia, hlm. 562.
292
Ibid.
293
Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai Politik dan
Mahkamah Konstitusi, hlm. 138
inisiatif guna membubarkan partai politik yang
bersangkutan menurut prosedur hukum yang berlaku.
Namun permasalahan yang kemudian muncul adalah justru
partai politik pemerintah lah yang bermasalah. Jika hal ini
terjadi, tentu akan menimbulkan potensi conflict of interest
antara pemerintah dan partai politik bersangkutan yang
berujung pada “ketidakmungkinan” pemerintah mengambil
inisiatif untuk mengusulkan pembubaran terhadap partai
politiknya sendiri. Apabila itu benar terjadi, tentu hal ini
mencederai nilai-nilai demokrasi yang ada di Indonesia. 294
Sehingga tidak tepat jika pemerintah dijadikan sebagai satu-
satunya pihak pemohon dalam usul pembubaran partai
politik. Untuk itulah alasan perluasan pemohon
pembubaran partai politik di Indonesia perlu dilakukan.
Perluasan pemohon pada pembubaran partai politik
merupakan konsekuensi logis dari ketentuan pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 yaitu Indonesia adalah negara
hukum. Meskipun dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-
undangan tidak dijelaskan secara eksplisit konsep negara
hukum apa yang dianut oleh Indonesia, namun sejatinya
terdapat banyak doktrin yang menjelaskan prinsip-prinsip
negara hukum itu. Pertama, Menurut F.J Stahl konsekuensi
suatu negara menganut paham negara hukum adalah:
a. Pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia;
b. Pemisahan kekuasaan negara;
c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang;
d. Adanya peradilan administrasi.295

294
Hastuti, Urgensi Perluasan Permohonan Pembubaran Partai Politik di
Indonesia, hlm. 563.
295
Fatkhurohman, Dian Aminudin dan Sirajuddin, Memahami
Keberadaan Mahkamah Konstitusi Di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2004), hlm. 6.
Menurut Prof Jimly Asshiddiqie untuk mewujudkan
satu negara hukum yang hakiki, dibutuhkan pilar
penyangga yang terdiri dari:

a. Supremasi hukum;
b. Persamaan dalam hukum;
c. Asas legalitas;
d. Organ-organ pendukung yang independen;
e. Peradilan bebas dan tidak memihak;
f. Peradilan Tata Usaha Negara;
g. Peradilan Tata Negara;
h. Perlindungan Hak Asasi Manusia;
i. Bersifat demokratis;
j. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan
bernegara;
k. Adanya transparansi dan kontrol sosial.296

Menurut Scheltema unsur-unsur negara hukum


adalah sebagai berikut:
a. Kepastian hukum;
b. Persamaan dalam hukum;
c. Demokrasi;
d. Pemerintahan yang melayani kepentingan umum.297

Dari tiga doktrin di atas, terdapat unsur yang hampir


ada di setiap doktrinnya yakni asas equality before the law
atau asas persamaan di hadapan hukum bagi seluruh warga
negaranya. Indonesia sebagai negara hukum, secara mutatis
mutandis juga menganut asas persamaan di hadapan
hukum, hal ini sebagaimana diatur berdasarkan Pasal 27

296
Jimly Asshiddiqie (7), Model-Model Pengujian Konstitusional di
Berbagai Negara, cet. 3, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 53-65.
297
M. Scheltema, “De Reechsstaat” dalam J.W.M. Engels, et. Al., De
Rechstaat Herdacht (W.E.J. Tjeenk Willink-Zwole, 1989), hlm. 15-22.
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa
segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Asas
inilah yang menyertakan seluruh warga negara Indonesia,
baik penguasa maupun rakyat biasa. Bila tidak ada
persamaan hukum, maka orang yang mempunyai
kekuasaan akan merasa kebal hukum.
Lebih lanjut menurut Prof. Mardjono Reksodiputro,
asas persamaan di hadapan hukum mengandung arti bahwa
“semua warga harus mendapat perlindungan yang sama
dalam hukum, tidak boleh ada diskriminasi dalam
perlindungan hukum ini. Menurut Beliau pula, asas ini
diimplementasikan ke dalam dua kata kunci yakni
‘perlindungan’ dan ‘perlakuan’ dalam hukum. Persamaan
‘perlindungan’ dapat ditafsirkan sebagai perintah kepada
Negara untuk memberi perlindungan hukum yang sama
adilnya (fairness) kepada setiap warga negara. Dalam
sebuah Negara dengan masyarakat majemuk atau bersifat
multikultural seperti Indonesia, makna perlindungan lebih
dialamatkan kepada kelompok minoritas sebab terdapat
tendensi ketidakadilan dari kelompok mayoritas.
Itu artinya jika ditarik dalam permasalahan legal
standing sengketa pembubaran partai politik di Mahkamah
Konstitusi, sejatinya pemberian legal standing yang hanya
diberikan kepada pemerintah pusat tidak sesuai dengan
amanat Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sebab
mendiskriminasi warga negara berdasarkan jabatannya
yakni hanya pemerintah cq pemerintah pusat saja yang
boleh mengajukan permohonan sedangkan warga negara
lainnya tidak diperbolehkan. Kemudian berdasarkan Pasal
28C Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa setiap
orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa dan negaranya.
Dalam RUU ini ditambahkan perluasan pemohon
pembubaran partai politik yang diberikan kepada DPR,
Badan Hukum Publik dan Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu). Keterlibatan unsur unsur yang disebutkan
sebelumnya sebagai pemohon pembubaran partai politik
tentu menjadi hal yang relevan dalam upaya mewujudkan
sistem pemilu yang demokratis.
Di dalam sistem pemilu yang demokratis, rakyat
diposisikan sebagai pemegang kedaulatan tertinggi termasuk
dalam kehidupan berpolitik. Dengan kata lain, keterlibatan
rakyat secara aktif dalam hal pengawasan dan evaluasi
terhadap partai politik menjadi suatu keniscayaan yang
tidak dapat dinafikkan.298 Penambahan kewenangan kepada
DPR merupakan representasi dari pasal 1 ayat (2) yang
menyatakan kedaulatan berada di tangan rakyat. Jimly
Asshidiqie pun menegaskan bahwa kedaulatan adalah
konsepsi kekuasaan tertinggi yang berhubungan dengan
negara yang mana kekuasaan tersebut menentukan tujuan
dan cita-cita sendiri, mengelola sumber daya sendiri, serta
memilih dan menentukan jalan sendiri untuk mencapai
tujuan dan cita-cita tersebut. Rousseau pun menjelaskan
mengenai kedaulatan rakyat bahwa rakyat diartikan sebagai
pihak yang paling berkehendak sehingga pelaksanaan
pemerintahan itu merupakan keinginan atau atas kuasa
dari rakyat.299 Jadi rakyatlah yang berdaulat dan memegang
298
Allan F.G Wardhana & Harry Setya Nugraha, “Pemberian Legal
Standing kepada Perseorangan atau Kelompok Masyarakat dalam Usul
Pembubaran Partai Politik”, Jurnal Ius Quia Iustum Nomor 4 Volume 20,
Oktober 2013, hlm. 533
299
Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social (Perjanjian Sosial),
(Jakarta: Visimedia, 2009), hlm. 56.
kekuasaan tertinggi dalam negara dalam merencanakan,
mengatur, melaksanakan dan melakukan penugasan serta
penilaian terhadap pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan
itu.300 Tanpa adanya rakyat maka tidak akan mungkin ada
demokrasi, pemilu ataupun partai politik sehingga dapat
disimpulkan bahwa pusat kekuasaan berdasarkan prinsip
kedaulatan rakyat adalah rakyat itu sendiri. Terdapat dua
prinsip dalam mengimplementasikan kedaulatan rakyat,
pertama prinsip kedaulatan rakyat itu dilaksanakan melalui
pendelegasian kekuasaan ke dalam bentuk institusi-institusi
(representative democracy), kedua prinsip kedaulatan rakyat
itu dilaksanakan langsung oleh rakyat seperti pelaksanaan
pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil
Presiden maupun DPR serta DPRD (direct democracy).301
Rakyat yang pada dasarnya memiliki kedaulatan
tertinggi, kemudian merepresentasikannya melalui wakil-
wakil yang dipilih oleh rakyat secara langsung dalam
mekanisme pemilu legislatif yang menghasilkan anggota
DPR sebagai wakil rakyat. Dengan demikian rakyat tetap
dapat memiliki kewenangan untuk mengawasi partai politik
melalui wakilnya di DPR.
Selain DPR, dalam RUU ini ditambahkan juga
kewenangan kepada badan hukum publik dan Bawaslu
sebagai pihak yang dapat menjadi pemohon dalam
pembubaran partai politik. Terhadap badan hukum publik,
tentu tidak semua badan hukum publik dapat mengajukan

300
Jimly Asshiddiqie (6), Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia
Pasca Reformasi, (Jakarta : Gramedia, 2007), hlm. 292-295.
301
Ian Budge, “Direct & Representative Democracy: Are They Necessary
Opposed?” , (Colchester: University Colchester, 2005), hlm. 3-4, bandingkan
dengan Jimly Asshiddiqie, “Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan
Pelaksanaanya Di Indonesia: Pergesertan Keseimbangan Antara Individualisme
dan Kolektivisme Dalam Kebijakan Demokrasi Politik Dan demokrasi Ekonomi
Selama Tiga Masa Demokrasi, 1945-1980an”, (disertasi Universitas Indonesia,
Jakarta, 1993), hlm. 73.
permohonan kepada MK. Adapun syarat sebagai pemohon
badan hukum publik adalah:
a. Berbentuk badan hukum;
b. Menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa
badan hukum publik tersebut didirikan untuk
membangun etika dan budaya politik dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara; dan
c. Telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan
anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun.

Dengan adanya syarat tersebut, maka dapat menjadi


pembatasan badan hukum publik yang dapat menjadi
pemohon pembubaran partai politik ke MK. Selain itu,
terdapat Bawaslu yang dilibatkan sebagai pemohon dalam
pembubaran partai politik. Dari segi kewenangan, Bawaslu
oleh peraturan perundang-undangan diberikan kewenangan
untuk melaksanakan pengawasan penyelenggaraan pemilu
di mana salah satu peserta pemilu adalah partai politik.
Bawaslu merupakan lembaga independen yang terlepas dari
kepentingan politik apapun sehingga kinerjanya–terutama
dalam hal mengajukan permohonan pembubaran parpol ke
MK–bisa dijamin akan lebih objektif dan terukur.302 Dengan
begitu, apabila dijumpai terdapat partai politik yang terbukti
secara sah melakukan kejahatan pemilu yang bersifat
terstruktur, sistematis, dan masif yang berdampak luas
terhadap sistem politik secara umum, maka partai politik
tersebut berarti telah melanggar peraturan perundang-
undangan pemilu dan praktis dapat diberikan diusulkan

302
Jamaluddin Ghafur dan Allan F.G Wardhana, Gagasan Perluasan
Kewenangan Bawaslu Sebagai Pemohon Dalam Mengajukan Permohonan
Pembubaran Partai Politik Di Mahkamah Konstitusi, Penelitian DPPM UII,
Yogyakarta, 2016, hlm. 76.
untuk dibubarkan.303 Oleh karena yang memiliki otoritas
dan kewenangan dalam mengawasi penyelenggaraan pemilu
tersebut adalah Bawaslu, maka menjadi masuk akal jika
Bawaslu dilibatkan sebagai pemohon dalam pembubaran
partai politik di Indonesia.304 Hal diperkuat oleh pendapat
Jimly Asshidiqqie dalam forum Seminar Internasional
bertajuk “Democracy, Election, and Election Supervision In
Connection to Exchange of view And Election System
Comparison On Election With Partner Countries”, pada intinya
mengatakan bahwa:
“dinamika pemilu di Indonesia kian dinamis. Termasuk
dalam hal pelanggaran-pelanggaran pemilu yang
dilakukan oleh partai politik peserta pemilu. Untuk itu,
dibutuhkan sebuah gagasan-gagasan baru dalam
memperbaharui sistem pemilu kita. Salah satunya
memaksimalkan fungsi pengawasan Bawaslu dengan
memberikannya legal standing sebagai pemohon dalam
pembubaran partai politik yang terbukti melakukan
pelanggaran pemilu”.305
Secara garis besar, perluasan pemohon pada
pembubaran partai politik merupakan upaya pengawasan
yang lebih maksimal kepada partai politik dalam merespons
perkembangan ketatanegaraan di Indonesia dan sebagai
upaya untuk melindungi hak konstitusional dari seluruh
Warga Negara Indonesia.

c. Putusan Mahkamah Konstitusi yang Ultra Petita

303
Hastuti, Urgensi Perluasan Permohonan Pembubaran Partai Politik di
Indonesia, hlm. 565.
304
Ibid.
305
Jimly Asshidiqqi, Pidato Kunci yang disampaikan dalam International
Seminar: Democracy, Election, and Election Supervision In Connection to
Exchange of view And Election System Comparison On Election With Partner
Countries, Yogyakarta, 2016
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia memiliki
empat wewenang yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD
NRI 1945, yakni:
a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar NRI 1945;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar
NRI 1945;
c. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
dan
d. Memutus pembubaran partai politik.
Dari empat kewenangan MK tersebut, yang berkaitan
dengan pembahasan ultra petita adalah kewenangan
pertama, yakni pengujian Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945. Ultra petita sendiri adalah
penjatuhan putusan oleh hakim atas suatu perkara yang
tidak dituntut atau memutus melebihi apa yang diminta
oleh Pemohon. Asas non ultra petita merupakan larangan
yang lazim disebut sebagai ultra petitum partium.

Kasus ultra petitum pertama kali terjadi pada tahun


1803 di Amerika Serikat dalam kasus Madison vs Marbury
yang telah dijelaskan dalam model konstitusi Amerika
Serikat. Kasus ini merupakan kasus pertama di dunia yang
bersifat ultra petitum. Ketua Mahkamah Agung Amerika
Serikat ketika itu adalah Hakim John Marshall yang
memutus bahwa Undang-Undang Kehakiman Amerika
Serikat bertentangan dengan konstitusi Amerika Serikat.
Padahal, hakim Marbury yang bertindak sebagai Pemohon
hanya memohon sepanjang hal mengenai penempatannya
sebagai hakim. Hal ini yang dikatakan sebagai ultra petitum
dimana hakim memutuskan lebih dari tuntutan yang
dimintakan oleh Pemohon. Putusan ultra petitum
sebagaimana yang terjadi di Amerika Serikat pada akhirnya
memberikan pengaruh terhadap ketentuan-ketentuan yang
berlaku di Indonesia. Pengaturan mengenai ultra petitum
terdapat dalam beberapa ketentuan formil yang mengikat
secara khusus.

Ultra Petita Mahkamah Konstitusi dengan Hukum Acara


Perdata

Yahya Harahap dalam konteks hukum acara perdata


menyebutkan bahwa apabila hakim mengabulkan tuntutan
melebih posita ataupun petitum gugatan, maka akan
dianggap telah terjadi ultra vires, yakni bertindak melampaui
wewenangnya. Apabila suatu putusan mengandung ultra
petita, putusan tersebut harus dinyatakan cacat meskipun
tindakan tersebut dilakukan hakim dengan itikad baik (good
faith) ataupun untuk kepentingan umum (public interest).306
Ketentuan yang memuat larangan bagi hakim untuk
mengabulkan di luar atau melebihi permohonan Pemohon
(ultra petita) dikenal dalam hukum acara perdata Pasal 178
ayat (2) dan ayat (3) HIR serta Pasal 189 ayat (2) dan ayat (3)
Rbg. Larangan ini sebenarnya merupakan konsekuensi dari
asas hakim bersifat pasif dalam hukum acara perdata.
Selain itu, karakteristik hukum acara perdata adalah
mempertahankan kepentingan individu. Kekuatan mengikat
dan akibat putusan hakim hanya terbatas pada kemampuan
mengikat para pihak perkara perdata tertentu (inter-partes).
Larangan ultra petita dalam acara perdata dapat dipahami
karena inisiatif untuk mempertahankan atau tidak
mempertahankan suatu hak yang bersifat keperdataan yang

306
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
hlm.801.
dimiliki orang-perseorangan terletak pada kehendak atau
pertimbangan orang tersebut. Permintaan seseorang dalam
acara perdata tidak dapat dilampaui. Alasannya adalah jika
hakim mengabulkan lebih dari permohonan, maka ada
kemungkinan hasilnya akan merugikan kepentingan
Pemohon yang bersangkutan.

Disisi lain, larangan ultra petita dalam hukum acara


perdata tidak dapat diterapkan pada Mahkamah Konstitusi
karena terdapat beberapa perbedaan. Dari segi sifatnya,
hukum acara perdata merupakan hukum bersifat privat
yang mengatur mengenai hubungan orang perorangan yang
bersinggungan haknya. Sedangkan, hukum acara
Mahkamah Konstitusi bersifat umum. Alasannya adalah
perkara pengujian undang-undang dan kewenangan
Mahkamah Konstitusi lainnya yang diatur dalam Pasal 24C
ayat (1) UUD NRI 1945 berkaitan erat dengan kepentingan
umum (public interest). Jika ditinjau dari tujuannya, tujuan
hukum acara perdata adalah mencari kebenaran formil.
Sedangkan, hukum acara mahkamah konstitusi adalah
mencari kebenaran materil (the underlying factual and
normative truths). Dalam perkara pengujian undang-undang,
meskipun entry poin perkara konstitusional yang diajukan
Pemohon biasanya berkaitan dengan persoalan kepentingan
kongkret perorangan yang dinyatakan dalam legal standing
berperkara, tetapi substansi perkara yang dipermasalahkan
oleh Pemohon adalah menyangkut undang-undang yang
berisi norma hukum yang bersifat umum dan abstrak.

Dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang


Mahkamah Konstitusi, putusan ultra petita oleh Mahkamah
Konstitusi belum secara eksplisit diatur. Keadaan ultra
petita pernah diatur dalam Pasal 45A Undang-undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 menyebutkan bahwa:
“Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar
putusan yang tidak diminta oleh pemohon atau melebihi
Permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang
terkait dengan pokok Permohonan.” Namun, keberadaan
Pasal 45A Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 dinyatakan
tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat berdasarkan
Putusan MK No.48/PUU-IX/2009. Pasal 24C ayat (1) UUD
NRI 1945 memberi kewenangan kepada Mahkamah antara
lain mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar. Berlandaskan pada pasal
tersebut, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk
menguji baik formil ataupun materiil suatu Undang-Undang.
Pasal 45A Undang-Undang No.8 Tahun 2011 juga dianggap
bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan.” Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945
sejatinya tidak dapat dibatasi dengan hanya berpatokan
pada permohonan Pemohon. Permasalahan ultra petita juga
muncul ketika Mahkamah Konstitusi membuat amar yang
modelnya berbeda dengan yang telah diamanatkan Pasal 56
jo. Pasal 57 UU Mahkamah Konstitusi. Pasal 56 UU No.24
Tahun 2003 mengatur bahwa Mahkamah Konstitusi hanya
dapat memberikan amar permohonan tidak dapat diterima,
dikabulkan, dan ditolak. Sedangkan, Pasal 57 UU No.24
Tahun 2003 menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi
dapat menyatakan dalam amarnya bahwa jika materi, ayat,
dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD
NRI 1945 atau jika pembentukan undang-undang tersebut
tidak berdasarkan ketentuan pembentukan undang-undang
yang diatur UUD NRI 1945, maka undang-undang tersebut
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Karakteristik hukum acara di Mahkamah Konstitusi


dalam hal pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945
adalah mempertahankan hak dan kepentingan
konstitusional yang dilindungi oleh konstitusi sebagai akibat
berlakunya suatu Undang-Undang yang berlaku umum
(erga omnes). Oleh karena itu, apabila kepentingan umum
menghendaki, Hakim Mahkamah Konstitusi wajib untuk
tidak terpaku pada permohonan atau petitum yang diajukan
oleh Pemohon. Mahkamah Konstitusi dalam memutus
konstitusional atau tidaknya suatu Undang-Undang atau
suatu ketentuan dari Undang-Undang tidak hanya terpaku
terhadap ketentuan yang dimohonkan Pemohon untuk
dilakukan pengujian. Jika satu pasal permohonan yang
dikabulkan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat dan pasal tersebut adalah pasal inti dari Undang-
Undang, maka pasal-pasal lain dalam Undang-Undang yang
dimohonkan untuk diuji mungkin saja menjadi tidak
diberlakukan lagi.307 Undang-Undang tersebut mungkin saja
pada akhirnya tidak dapat dipertahankan sehingga tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan.
Dalam beberapa praktik, beberapa putusan Mahkamah
Konstitusi pernah menyatakan suatu Undang-Undang
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 meskipun
Pemohon dalam permohonannya tidak meminta seluruh

307
Lihat Putusan MK No.48/PUU-IX/2009, halaman 92.
Undang-Undang dibatalkan. Namun, berdasarkan prinsip ex
aequo et bono, hakim dapat menjatuhkan putusan yang adil
dan patut menurut hukum. Hal tersebut sejalan dengan
pendapat Bagir Manan yang menyebutkan bahwa ultra
petita dapat dibenarkan jika dalam permohonan review
Pemohon mencantumkan permohonan ex aequo et bono.308

Jika suatu norma dalam suatu undang-undang


terbukti bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun
1945, Mahkamah Konstitusi dapat memutuskan undang-
undang yang diajukan oleh Pemohon tidak mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat didasarkan atas
pertimbangan kepentingan umum (public interest) yang lebih
besar. Namun, untuk membatalkan produk hukum hasil
dari kehendak mayoritas suara rakyat, Hakim Mahkamah
Konstitusi dalam putusannya harus didasarkan atas
penalaran yang mendalam dengan bukti-bukti yang tidak
hanya bersifat formil di atas permukaan yang diajukan oleh
Pemohon.309 Artinya, dalam pembuktian suatu hal yang
berkaitan dengan pengujian undang-undang harus
diorientasikan menentukan kebenaran yang hakiki dari
pokok persoalan yang sedang di uji nilai
konstitusionalitasnya. Jika pembuktiannya hanya terpaku
kepada kebenaran yang bersifat formal, maka para hakim
tidak dapat menemukan kebenaran yang terdapat dibalik
layar (the underlying truth).310 Oleh karena itu, meskipun
para pihak terutama Pemohon tidak mengajukan bukti-
bukti yang memadai, para hakim sendiri karena jabatannya
secara ex officio wajib menggali sendiri kebenaran materiil

308
Haposan Siallagan, “Masalah Putusan Ultra Petita dalam Pengujian
Undang-Undang,” Mimbar Hukum, Vol.22, No.1, Februari 2010, hlm.74.
309
Jimly Assiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, hlm.205.
310
Jimly Assiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, hlm.206.
yang dimaksud untuk sampai pada keyakinan dalam
menjatuhkan putusan yang bersifat final dan mengikat. 311 Di
samping itu, Mahkamah Konstitusi juga peradilan
konstitusional tingkat terakhir. Artinya, tidak ada lagi upaya
hukum di atasnya atau upaya hukum lain yang dapat
menganulir putusan final dan mengikat Mahkamah
Konstitusi tersebut. Karena itu, proses pembuktian dalam
pemeriksaan perkara pengujian undang-undang haruslah
bersifat materiil. Pembuktian harus dilakukan dengan
tujuan menemukan kebenaran materiil (the underlying
factual and truths).

Mahkamah Konstitusi juga tidak dapat dikatakan


melakukan abuse of power dengan mengeluarkan putusan
yang dianggap ultra petita.312 Andre Marmor menjelaskan
bahwa:

“those who are entrusted with the authoritative


interpretation of the constituton are granted
considerable legal power, their decisions are often
morally very significant, potentially long lasting, and,
most importantly, with few exception, they have final
say on the matter.”313

Pendapat Marmor pada hakikatnya ditujukan pada


institusi pengujian konstitusionalitas undang-undang dalam
kaitannya dengan fungsi interpretasi konstitusi. Institusi
tersebut memiliki pengaruh yang besar karena pendapatnya
mengenai konstitusi akan bersifat final. Sesuai dengan
posisi tersebut, potensi Mahkamah Konstitusi untuk
menghasilkan ultra petita dapat dibenarkan dengan

311
Jimly Assiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, hlm.206.
312
Lihat Putusan MK No.48/PUU-IX/2009, hlm.93.
313
Andrei Marmor, Interpretation and Legal Theory, (Oxford and Portland-
OregonLHart Publishing,2005), hlm.143.
memperhatikan posisi MK sebagai penjaga atau pengawal
konstitusi melalui pengujian konstitusionalitas undang-
undang. Untuk menjalankan tujuan tersebut, hakim
konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.

Kewenangan pengujian undang-undang oleh


Mahkamah Konstitusi juga dapat dikaitkan dengan dengan
teori hukum progresif. Teori hukum progresif pada
prinsipnya memiliki dua komponen hukum, yaitu peraturan
dan perilaku. Manusia menjadi penentu dan titik orientasi
hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan
manusia melayani hukum. Berangkat dari asumsi ini, maka
kehadiran hukum yang harus ditinjau dan diperbaiki,
bukan manusia yang selalu dipaksa untuk masuk dalam
skema hukum.314 Sudjino Sastroadmodjo memberikan ciri
hukum progresif dari aspek kepeloporan aparat penegak
hukum di bawah semboyan “hukum untuk manusia” dan
“keadilan di atas peraturan.” Melalui semboyan tersebut,
dalam beberapa jalur, aparat penegak hukum dituntut
untuk keluar dari pola kerja yang selalu serba yuridis dan
legalistik demi mewujudkan keadilan, perlindungan, dan
kebenaran.315 Dengan berlandaskan pemikiran hukum
progresif, dibutuhkan suatu rekonstruksi Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi sebagai pengaturan baru yang
memberikan kewenangan bagi Mahkamah Konstitusi untuk
membuat amar yang mengandung ultra petita dalam konteks

314
Satjipto Rahardjo, “Hukum Progresif, Hukum yang Membebaskan”,
Jurnal Hukum Progresif, Vol.1, No.1, April 2015, PDIH UNDIP, Semarang, hlm.5.
315
Hery Abduh Sasmito, “Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi
dalam Pengujian Undang-Undang (Suatu Perspektif Hukum Progresif),” Jurnal
Law reform, Vol.6, No.2, Oktober 2011,hlm.9.
dan arti tidak dibatasi secara restriktif bentuk dan isi
amarnya.

Alasan Mahkamah Konstitusi Membuat Putusan Ultra


Petita

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam membuat


putusan ultra petita dilandasi oleh beberapa alasan.
Pertama, dalam hal pasal yang diuji terdapat keterkaitan
yang tidak terpisahkan dengan pasal-pasal lain yang tidak
dimohonkan dalam undang yang sama. Kedua, dalam hal
pasal yang diuji adalah pasal jantung atau ruh undang-
undang. Dengan dinyatakan tidak mengikat pasal tersebut,
undang-undang yang bersangkutan akan menjadi tidak
dapat dilaksanakan atau mengalami kelumpuhan. Hal ini
sejalan dengan pandangan Jimly Assiddiqie bahwa
Mahkamah Konstitusi boleh melakukan ultra petita, jika
yang di review adalah pasal-pasalnya, sementara pasal-
pasal tersebut merupakan jantung dari undang-undang
yang dapat berimplikasi pada pembatalan seluruh undang-
undang. Ketiga, dengan landasan untuk mewujudkan
kemanfaatan bagi rakyat demi menghindarkan dari
kekacauan hukum di masyarakat. Keempat, mewujudkan
keadilan substantif dan menegakkan konstitusi. Kelima,
Mahkamah Konstitusi dibatasi tidak boleh membuat amar
ultra petia di luar undang-undang yang dimohonkan untuk
diuji. Keenam, amar putusan dimungkinkan berupa
penafsiran norma pasal dalam bentuk konstitusional
bersyarat atau inkonstitusional bersyarat.316

316
Jimly Assiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,2005), hlm.5
Beberapa Contoh Putusan Mahkamah Konstitusi yang
Mengandung Ultra Petita

Mekanisme putusan Mahkamah Konstitusi yang


mengandung Ultra Petita dapat dilihat dari proses dan
putusan permohonan yang dilakukan oleh dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi, yakni:

a. Putusan No.001-021-022/PUU-I/2003
Putusan tersebut merupakan putusan pembatalan
Undang-Undang Ketenagalistrikan. Meskipun hanya
Pasal 16, 17 ayat (3) da Pasal 68 UU Ketenagalistrikan
yang dipandang bertentangan dengan UUD NRI 1945,
namun karena ketentuan yang mengatur masalah
unbundling dan kompetisi tersebut merupakan jantung
dari UU Ketenagalistrikan tidak sesuai dengan semangat
Pasal 33 ayat (2) UUD NRI 1945, maka keseluruhan UU
Ketengaalistrikan dianggap bertentangan dengan UUD
NRI 1945.
b. Putusan No.006-PUU-IV/2006
Dalam putusan dinyatakan bahwa semua
operasionalisasi putusan mengenai Undang-Undang
tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
bergantung dan bermuara pada Pasal 27. Dengan
dinyatakannya Pasal 27 UU KKR bertentangan dengan
UUD NRI 1945, maka seluruh ketentuan dalam UU KKR
menjadi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
karena tidak mungkin dilaksanakan. Alasannya adalah
keberadaan Pasal 27 akan berkaitan dengan banyak
pasal diantaranya Pasal 1 angka 9, Pasal 6 huruf c, Pasal
7 ayat (1) huruf g, Pasal 25 ayat (1) huruf b, Pasal 25 ayat
(4), ayat (5), ayat (6), Pasal 26, Pasal 28 ayat (1), dan
Pasal 29 UU KKR. Pasal-pasal yang terkait dengan Pasal
27 UU KKR merupakan pasal-pasal yang sangat
menentukan bekerja atau tidaknya keseluruhan
ketentuan dalam UU KKR.
c. Putusan Perkara Nomor 003/PUU-IV/2006
Dalam perkara ini, Pemohon mengajukan permohonan
pengujian undang-undang Republik Indonesia Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya
disebut UU PTPK) terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok permohonannya adalah pengujian materiil
terhadap Pasal 2 ayat (1), Penjelasan Pasal 2 ayat (1),
Pasal 3, Penjelasan Pasal 3 (sepanjang menyangkut kata
dapat), dan Pasal 15 (sepanjang mengenai kata
percobaan) yang dianggap secara nyata bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan
“setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Dalam putusannya, majelis hakim Mahkamah
Konstitusi memberikan putusan mengabulkan
permohonan pemohon sebagian. Pasal 2 ayat (1), Pasal 3,
Penjelasan Pasal 3 (sepanjang kata dapat), Pasal 15
(sepanjang mengenai kata percobaan) UU PTPK yang
dimohonkan oleh Pemohon ditolak oleh majelis hakim
MK. Sedangkan, majelis hakim menyatakan bahwa
penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sepanjang frasa yang berbunyi:
“yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’
dalam pasal ini cukup mencakup perbuatan melawan
hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil,
yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur
dalam peraturan perundang-undangan, namun
namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela
karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau
norma-norma kehidupan sosial dalam masarakat,
maka perbuatan tersebut dapat dipidana.”
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999
dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945
sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan
bahwa penjelasan Pasal 2 UU PTPK yang berkaitan
dengan perbuatan melawan hukum dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan mengikat, padahal Pemohon tidak
memohon penjelasan Pasal 2 UU PTPK mengenai
perbuatan melawan hukum yang dimaksud. Maka,
dalam perkara ini, terjadi putusan ultra petita yang
dikeluarkan Mahkamah Konstitusi.

d. Putusan No. 012-016-019/PUU-IV/2006

Putusan Mahkamah Konstitusi dengan perkara No.


012-016-019/PUU-IV/2006 merupakan salah satu
contoh putusan ultra petita. Adanya dualisme pengadilan
yang mengadili tindak pidana korupsi sejatinya
bertentangan dengan UUD 1945. Dalam amarnya
Mahkamah Konstitusi menunda keberlakuan
mengikatnya putusan dan memberikan batas waktu 3
(tiga) tahu bagi pihak legislator untuk membentuk
Undang-Undang Pengadilan Tipikor. Suatu amar
penundaan yang sebenarnya sama sekali tidak
dimintakan oleh para Pemohon dalam permohonannya.
Mahkamah Konstitusi mendalilkan meskipun Pasal 45
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Nomor 24 Tahun
2004 menyatakan bahwa “putusan Mahkamah Konstitusi
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai
diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum,”
akan tetapi agar pemeriksaan korupsi oleh KPK dan
Pengadilan Tipikor yang sedang berjalan tidak terganggu
dan mengalami kekacauan yang menimbulkan
ketidakpastian hukum, maka MK mempertimbangkan
perlunya menyediakan waktu untuk proses peralihan
sampai terbentuk aturan yang baru.317

Berdasarkan keadaan dan kondisi tersebut, hakim


konstitusi dapat memutus pasal tertentu saja dari suatu
Undang-Undang untuk dapat dibatalkan. Namun, jika pada
kenyataannya suatu pasal yang dibatalkan merupakan
jantung atau menentukan operasionalisasi dan keefektifan
keberlakuan ketentuan undang-undang tertentu,
pembatalan pasal yang dimohonkan saja akan menimbulkan
ketidakpastian hukum.318 Putusan ultra petita yang
dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi masih dalam koridor
kewenangannya yang sah meski tanpa legitimasi eksplisit
dari konstitusi, yakni UUD 1945. Pengertian penting yang
tersirat adalah sesuai hakikat tujuan konstitusi sebagai
hukum tertinggi suatu negara, maka MK sebagai pengawal
dan interpreternya harus mempertahankan tujuan yang
telah ditetapkan UUD 1945. Putusan ultra petita dalam
317
Lihat Putusan Nomor 006/PUU-IV/2006, hlm.286.
318
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, 2010), hlm.54-55.
peradilan konstitusional untuk menguji konstitusionalitas
undang-undang merupakan konstruksi logis dari aspek
fungsional Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga atau
pengawal konstitusi untuk menjamin supremasi konstitusi
terhadap undang-undang. Dalam konstruksi logis tersebut,
sepanjang tidak terbukti sebaliknya, putusan ultra petita
Mahkamah Konstitusi dapat dikualifikasikan halal atau
memiliki legitimasi secara yuridis sebagai suatu ciri khas
peradilan konstitusi yang tidak dapat dipersamakan dengan
peradilan biasa, terutama peradilan perdata.319

Batasan Ultra Petita Putusan Mahkamah Konstitusi


dalam Pengujian Undang-Undang di Indonesia

Pada asasnya, para hakim memiliki asas kebebasan


untuk dapat melakukan penafsiran dalam rangka penemuan
hukum sehingga terkadang harus melakukan ultra petita
pada putusannya. Namun di sisi lain, ultra petita dapat
membuka peluang terjadinya subjektivitas hakim yang
mungkin dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dalam
memutus perkara. Hal tersebut dapat terbukti dengan
lahirnya beberapa putusan ultra petita Mahkamah Konstitusi
yang bersifat mengatur (positive legislature). Lahirnya ultra
petita yang bersifat mengatur akan mencederai prinsip
pemisahan kekuasaan dan check and balances.

Berdasarkan teori pemisahan kekuasaan dengan


sistem check and balances yang dianut Indonesia, peran
Mahkamah Konstitusi sejatinya hanya terbatas pada
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
dan menyatakan apakah UU tersebut bertentangan dengan
319
Suwarno Abadi, “Ultra Petita dalam Pengujian Undang-Undang oleh
Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Vol.2, No.3, September 2015,
hlm.205.
konstitusi atau tidak (negative legislature). Mahkamah
Konstitusi sejatinya tidak memiliki kewenangan untuk
membentuk norma baru yang bersifat mengatur.
Rasionalisasinya adalah ketika hakim konstitusi membuat
putusan ultra petita yang bersifat mengatur, hakim
konstitusi telah memasuk ranah legislatif yang memiliki
wewenang sebagai pembentuk undang-undang. Jika
tindakan tersebut dilakukan secara berkepanjangan maka
dapat terjadi judicative heavy yang dapat berakibat
destruktif untuk meluluskan subjektivitas para hakim. Lebih
lanjut, tindakan tersebut dapat menyebabkan lembaga
yudikatif bermetamorfosis menjadi lembaga otoriter (judicial
authoritarian)320 dan menyebabkan terjadinya judicial
corruption dalam tubuh Mahkamah Konstitusi.

Melihat keadaan tersebut, kewenangan Mahkamah


Konstitusi dalam melakukan ultra petita perlu dibatasi. Lord
Action mengemukakan “power trends to corrupt, and
absolute power corrupts absolutely.” 321 Pembatasan ini
sejalan dengan prinsip Indonesia sebagai negara hukum
yang menganut pembatasan kekuasaan dengan sistem
check and balances.

Menurut Achmad Sodiki,322 penerapan ultra petita


pada putusan Mahkamah Konstitusi sebenarnya dilakukan
sebagai bentuk penemuan hukum guna mewujudkan
keadilan, kepastian, dan kemashlahatan. Akan tetapi,
penerapan ultra petita tetap harus dibatasi agar tidak

320
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm.129
321
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,
hlm.129.
322
Mantan Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi RI Periode 2008-2013
dan juga merupakan guru besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
terperosok pada kesewenang-wenangan hakim.323 Batasan
ultra petita :

Gambar 1

Sumber: Karya tulis ilmiah Achmad Aprianto

1) Batasan hakim konstitusi tidak boleh merumuskan


norma baru
Sistem check and balances dalam teori pemisahan
kekuasaan yang dianut Negara Indonesia, kewenangan
Mahkamah Konstitusi hanya menguji apakah suatu
undang-undang bertentangan dengan UUD NRI 1945
atau tidak. Hakim konstitusi hanya berkedudukan
sebagai negative legislator dan bukan sebagai positive
legislator yang berwenang untuk merumuskan norma
baru yang bersifat mengatur dalam amar putusannya.
Namun, ketentuan tersebut dapat dikecualikan apabila

323
Achmad Aprianto, Batasan Ultra Petita Putusan Mahkamah Konstitusi
dalam Pengujian Undang-Undang di Indonesia, (Malang: Universitas Brawijaya),
hlm.15.
hakim konstitusi menemukan rasionalisasi dan
pertimbangan sebagai berikut:
a. Adanya kemanfaatan dan keadilan yang ingin dicapai
berdasarkan tuntutan masyarakat.
b. Adanya kekosongan hukum (rechtvacum) atas undang-
undang yang dimohonkan. Dalam hal ini, hakim dapat
merumuskan norma baru sebagai upaya untuk
mengisi kekosongan hukum yang ada.
c. Dapat dilakukan apabila dihadapkan pada suatu
permasalahan yang bersifat mendesak dan waktunya
sempit, sehingga hakim cukup menyatakan dengan
putusan inkonstitusional dan tidak memungkinkan
pula untuk DPR membuat aturan hukum baru.
d. Dilaksanakan hanya untuk satu kali atau sampai
badan legislative membuat aturan penggantinya.
Artinya, Mahkamah Konstitusi dapat saja
merumuskan suatu norma baru. Namun, hanya
dilakukan satu kali terhadap undang-undang yang
sama. Setelah itu, pembentuk undang-undang
(legislator) berkewajiban untuk langsung melakukan
revisi terhadap undang-undang tersebut.

2) Batasan hakim tidak boleh menguji undang-undang


yang tidak dimohonkan
Batasan dalam hal ini mengandung arti bahwa hakim
hanya diperbolehkan untuk melakukan pengujian
undang-undang yang dimohonkan oleh pemohon. Akan
tetapi, batasan tersebut dapat saja dikecualikan dengan
pertimbangan:
a. Undang-undang yang dimohonkan Pemohon memiliki
keterkaitan langsung dengan undang-undang yang
lain.
b. Undang-undang yang tidak dimohonkan tersebut
merupakan undang-undang yang mengatur lebih
khusus undang-undang yang dimohonkan, sehingga
perlu ada revisi atas undang-undang lain agar
operasional undang-undang yang dimohonkan dapat
berjalan optimal dan tidak bertentangan dengan
konstitusi.

3) Batasan hakim dalam membatalkan keseluruhan


undang-undang
Pada dasarnya, Pasal 57 UU No.24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi dalam hal pengujian
materiil, hakim hanya dapat menyatakan bahwa materi
muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang
bertentangan dengan UUD NRI 1945. Sedangkan dalam
pengujian formil, hakim konstitusi dapat membatalkan
secara keseluruhan undang-undang tersebut dan
menyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Namun, hal tersebut dapat disimpangi Mahkamah
Konstitusi dalam melakukan pemeriksaan dan mengadili
suatu perkara pengujian undang-undang. Hakim dapat
saja menyatakan suatu undang-undang secara
keseluruhan tidak memiliki kekuatan mengikat dalam
hal:
a. Pasal yang dimohonkan merupakan pokok operasional
keseluruhan undang-undang dan memiliki keterkaitan
dengan ketentuan pasal-pasal lainnya;
b. Dilakukan dengan disertai pertimbangan maksud dan
tujuan dibentuknya undang-undang tersebut.
Sehingga, tidak hanya terpaku pada materi pokok
undang-undang;
c. Adanya hak konstitusional yang terbukti terlanggar
atau berpotensi terlanggar atas operasionalitas
keseluruhan undang-undang.

4) Batasan bagi hakim konstitusi tidak boleh memutus


perkara yang berkaitan dengan dirinya sendiri.
Seseorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya
sendiri. Asas tersebut dikenal dengan nama nemo judex
idoneus in propria causa. Asas ini merupakan perwujudan
dari prinsip ketidakberpihakan hakim dalam memberikan
keadilan dalam proses persidangan. Namun, asas nemo
judex idoneus in propria causa dapat dihilangkan jika
berbenturan dengan asas ius curia novit. Akan tetapi,
tindakan hakim dalam memutus perkara berkaitan
dengan dirinya sendiri (nemo judex idoneus in propria
causa) dapat menjadi ultra petita apabila pokok
permohonannya tidak dimohonkan oleh Pemohon.
Pengecualian asas nemo judex idoneus in propria causa:
a. Adanya keadilan dan kemanfaatan yang ingin dicapai
berdasarkan hal-hal yang dimohonkan;
b. Ada permohonan pengujian dari masyarakat yang
tidak mungkin diselesaikan di lembaga lain;
c. Permohonan dapat menyangkut kelembagaan
Mahkamah Konstitusi maupun personalitas hakim
konstitusi, asalkan dalam permohonan memang
terdapat hak konstitusional yang dilanggar.

Maka berdasarkan hal-hal tersebut, perlu ada batasan


terkait dengan penerapan ultra petita pada putusan
Mahkamah Konstitusi. Hakim memang memiliki prinsip
independensi dan kebebasan sehingga terkadang harus
menerapkan ultra petita. Akan tetapi, ultra petita tersebut
tidak boleh membuka peluang bagi hakim untuk melakukan
tindakan sewenang-wenang dalam menjatuhkan
putusannya.

d. Putusan Mahkamah Konstitusi yang Mengatur


Mengenai Mahkamah Konstitusi Sendiri (Nemo Judex
Causa Sua)
Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) yang
independen merupakan wujud implementasi gagasan negara
hukum yang mana salah satu cirinya adalah menempatkan
konstitusi sebagai hukum tertinggi. Keberadaan Mahkamah
Konstitusi merupakan keharusan bagi setiap negara hukum
yang demokratis dan merupakan konsekuensi
perkembangan ketatanegaraan serta politik hukum
konstitusi.324 Dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah
Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi
yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional
ditengah masyarakat. Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945
menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar. Namun, kewenangan
pengujian tersebut terkadang menimbulkan pro kontra
dalam hal Mahkamah Konstitusi menguji sendiri undang-
undang yang mengatur eksistensinya.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang Mengatur Dirinya


Sendiri
Pro kontra Mahkamah Konstitusi menguji undang-
undang yang mengatur eksistensinya sendiri diawali dengan

324
Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi: Upaya Mewujudkan Negara
Hukum Demokrasi, (Yogyakarta:Total Media, 2009), hlm.77.
putusan MK No.004/PUU-I/2003 perihal permohonan
pengujian Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung dan permohonan mengesampingkan
Pasal 50 dan 51 UU MK No.24 Tahun 2003. Namun, amar
putusan tersebut menyatakan permohonan tidak dapat
diterima karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
diatur dalam Pasal 50 dan 51 UU MK No.24 Tahun 2003.

Berawal dari putusan tersebut, Putusan MK No.


066/PUU- II/2004 menjadi langkah awal “keberanian” MK
dalam menguji undang-undang yang mengatur
eksistensinya. Putusan tersebut menyatakan batalnya Pasal
50 UU MK No.24/2003. Pasal 50 UU MK 2003 menyebutkan
bahwa “Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji
adalah undang-undang yang diundangkan setelah
perubahan UUD 1945.”

Perkembangan selanjutnya, Mahkamah Konstitusi


juga mengeluarkan putusan No.005/PUU-IV/2006 perihal
pengujian UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial. Putusan ini menimbulkan problem di tengah
masyarakat karena membatalkan beberapa pasal penting
terkait dengan pengawasan Komisi Yudisial terhadap hakim
Mahkamah Konstitusi sendiri. Kasus lain, misalnya putusan
No. 49/PUU-IX/2011 perihal pengujian UU MK Perubahan
No.8 Tahun 2011 yang membatalkan beberapa pasal, salah
satunya adalah Pasal 50A “MK dalam menguji undang-
undang terhadap UUD 1945 tidak menggunakan undang-
undang lain sebagai dasar pertimbangan hukum”. Putusan
ini justru memunculkan angin segar dalam pengujian
undang-undang dan penegakan negara hukum, karena
pasal ini dinilai telah membatasi atau mereduksi
kewenangan MK. Contoh lainnya adalah putusan No.1-
2/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa UU MK
perubahan kedua, yakni UU No.4 Tahun 2014 secara
keseluruhan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Putusan ini sangat kontroversial karena undang-undang ini
lahir dalam bentuk Perppu dan kelahiran dari Perppu
merupakan usaha untuk menyelamarkan MK dari
kegaduhan dan kemerosotan institusi seperti kasus
penyuapan terhadap seluruh pihak Mahkamah Konstitusi.

Asas nemo judex idoneus in propria causa yang


berhadapan dengan asas ius curia novit

Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji


undang-undang yang mengatur eksistensinya sejatinya
terletak diantara dua asas, yakni asas ius curia novit dengan
asas nemo judex idoneus in propria causa. Asas ius curia
novit adalah asas bahwa pengadilan tidak boleh menolak
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa tidak ada hukum yang
mengatur atau hukum yang mengatur kurang memiliki
kejelasan. Hakim tetap harus memeriksa dan mengadili
perkara tersebut. Sementara, asas nemo judex idoneus in
propria causa menyatakan bahwa tidak ada seorang pun
yang dapat menjadi hakim dalam perkaranya sendiri. Asas
ini berisi larangan kepada hakim untuk memutus hal-hal
yang berkaitan dengan kepentingan dirinya sendiri. 325 Hal
tersebut merupakan asas hukum acara Mahkamah
Konstitusi sebagai perwujudan dari imparsialitas atau
ketidakberpihakan hakim sebagai pemberi keadilan.326

325
Moh.Mahfud MD, “Rambu Pembatas dan Perluasan Kewenangan
Mahkamah Konstitusi, Jurnal Hukum, No.4, Vol.16, Oktober 2009, hlm.454.
326
Maurar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm.68.
Dalam Putusan No.49/PUU-IX/2011 perihal pengujian
UU MK No.8 Tahun 2011, Mahkamah Konstitusi memberi
penjelasan mengapa Mahkamah Konstitusi berwenang
menguji undang-undang yang mengatur eksistensinya dan
menghilangkan keraguan mengenai objektivitas, netralitas,
dan imparsialitas hakim Mahkamah Konstitusi. Pertama,
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang diberi
kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD
1945. Kedua, Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga
yang berfungsi mengawal konstitusi atau UUD (penafsir
akhir UUD ketika terjadi sengketa konstitusional). Ketiga,
karena undang-undang yang dimohonkan pengujian
menyangkut Mahkamah Konstitusi itu sendiri sehingga
terkait dengan prinsip universal di dalam dunia peradilan
tentang nemo judex in causa sua. Namun, terkait dengan
nemo judex in causa sua dalam konteks ini ada tiga alasan
Mahkamah Konstitusi harus mengadili permohonan
pengujian undang-undang ini yaitu: (i) tidak ada forum lain
yang bisa mengadili permohonan ini; (ii) MK tidak boleh
menolak mengadili permohonan yang diajukan kepadanya
dengan alasan tidak ada atau tidak jelas mengenai
hukumnya; (iii) kasus ini merupakan kepentingan
konstitusional bangsa dan negara, bukan semata-mata
kepentingan institusi MK itu sendiri atau kepentingan
perseorangan hakim konstitusi yang sedang menjabat.
Keempat, salah satu objectum litis dari proses peradilan di
Mahkamah Konstitusi adalah masalah konstitusionalitas
undang-undang yang menyangkut kepentingan publik yang
dijamin oleh konstitusi sebagai hukum yang tertinggi. Oleh
karena itu, Mahkamah Konstitusi lebih menekankan pada
fungsi dan tugasnya mengawal dan menegakkan konstitusi
dengan tetap menjaga prinsip independensi dan
imparsialitas dalam keseluruhan proses peradilan.

Asas nemo judex idoneus in propria causa, terdapat


beberapa alasan Mahkamah Konstitusi dapat mengadili
sesuatu yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Dari
perspektif filosofis, permasalahan kewenangan Mahkamah
Konstitusi berwenang menguji undang-undang yang
mengatur eksistensinya dapat didekati dengan argumentasi
filosofi tujuan hukum. Nilai-nilai yang menjadi tujuan
hukum merupakan patokan pokok terwujudnya asas-asas
hukum, kaidah hukum dan sikap tindak hukum yang
tersusun dalam “stufenbau”

Gambar 2

1. Nilai-nilai dalam filosofi tujuan hukum terdapat beberapa


level. Level pertama, berisi nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila, yakni Ketuhanan yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai pada
level kedua, berisi nilai-nilai yang terkandung dalam UUD
1945, baik keadilan konstitusi, kemanfaatan berdasarkan
konstitusi, kepastian hukum berdasarkan konstitusi.
Nilai level kedua ini merupakan penjabaran dari nilai
level pertama dan nilai level kedua tidak boleh
bertentangan dengan level pertama.
2. Asas-asas hukum dalam hierarki tersebut harus
bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan nilai-
nilai yang menjadi landasannya. Asas-asas dalam hukum
acara, seperti asas ius curia novit, asas nemo judex
idoneus in properia causa merupakan kristarilasi dari
nilai-nilai konstitusi tersebut, yang memiliki tugas
menentukan arah bagaimana norma/kaidah hukum
sesuai dengan nilai-nilai konstitusi.
3. Kaidah atau norma hukum merupakan undang-undang,
pasal/ayat dalam undang-undang yang diuji oleh MK
atau undang-undang yang mengatur kewenangan MK.
4. Sikap tindak hakim konstitusi dalam menerapkan 3
filosofi tujuan hukum pada level diatasnya, salah satunya
sikap tindak adalah hakim yang tidak nerpihak atau
imparsial.

Pencapaian filosofis tujuan hukum tersebut,


Mahkamah konstitusi memiliki kewenangan untuk menguji
setiap produk hukum (undang-undang) yang bermasalah
baik secara formil maupun materiil. Jika ada penghalang
berupa asas hukum acara (benturan antar asas), maka asas
yang digunakan adalah asas yang mendekati pencapaian
filosofi tujuan hukum dan asas yang lain dapat disimpangi.
Hal tersebut bertujuan untuk melindungi nilai konstitusi
dan agar undang-undang, pasal, atau ayat yang
bertentangan dengan UUD 1945 dapat dibatalkan. Artinya,
berdasarkan perspektif filosofi tujuan hukum,
mengesampingkan asas nemo judex idoneus in propria causa
dapat dibenarkan demi tegaknya konstitusi dan negara
hukum Indonesia. Jika ada pertentangan antara asas ius
curia novit maupun nemo judex idoneus in propria causa,
maka tolok ukur utama adalah nilai-nilai filosofi yang
terkandung dalam Pancasila dan konstitusi.
Kedua, perspektif yuridis. Pasal 24A UUD 1945
menyebutkan bahwa “Mahkamah Agung berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang.” Pasal
tersebut menjelaskan bahwa Mahkamah Agung tidak
memiliki kewenangan menguji undang-undang terhadap
UUD 1945. Pasal 24C menyebutkan bahwa “MK berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap UUD,…”. Ketentuan tersebut telah jelas bahwa
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara satu-
satunya yang memiliki kewenangan menguji undang-undang
terhadap UUD 1945 dan merupakan satu-satunya lembaga
penafsir konstitusi yang sah. Selain itu, Pasal 24C UUD
1945 dan Pasal 10 UU MK No.24 Tahun 2003 tidak
membedakan undang-undang tersebut. Tidak ada
pengaturan dan dasar hukum yang mengatur mengenai asas
nemo judex idoneus in propria causa. Maka, sah saja jika
Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang yang
mengatur eksistensinya. Disisi lain, asas curia novit diatur
dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”

Selain itu, beberapa masalah akan muncul jika Mahkamah


Konstitusi tidak diperbolehkan menguji undang-undang
yang mengatur eksistensinya, yakni: (a) Mahkamah
Konstitusi telah melangar UUD 1945 dengan tidak
melaksanakan kewenangannya; (b) Hukum dan keadilan
tidak dapat ditegakkan sebagaimana mestinya dan akan
merusak tatanan hukum da keadilan serta menyebabkan
ketidakpercayaan masyarakat terhadap Mahkamah
Konstitusi. Pengujian undang-undang merupakan salah
satu jalan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
konstitusi; (c) Membiarkan undang-undang Mahkamah
Konstitusi yang mengandung problem hukum justru
menyebabka tidak berjalannya konstitusi dan tindakan ini
juga akan bertentangan dengan konstitusi.

Ketiga, perspektif sosiologis. Kewenangan Mahkamah


Konstitusi untuk menguji undang-undangnya sendiri
dengan menyimpangi asas nemo judex idoneus in propria
causa bertujuan untuk menegakkan keadilan substantive
bukan keadilan prosedural. Artinya, setiap pemohon berhak
menuntut keadilan yang diakibatkan adanya norma hukum
yang merugikannya. Menurut I Dewa Gede Palguna, terkait
kewenangannya dalam melakukan pengujian undang-
undang, Mahkamah Konstitusi memiliki beberapa predikat:
(1) MK sebagai pengawal konstitusi (The Guardian of the
Constitution); (2) MK sebagai pengendali keputusan
berdasarkan sistem demokrasi (Control of Democracy); (3)
MK sebagai penafsir konstitusi (The Sole or The Highest
Interpreter of The Constitution). Kewenangan menafsirkan
UUD 1945 tidak bisa dipisahkan dari kewenangan menguji
undang-undang; (4) MK sebagai pelindung hak
konstitusional warga negara (The Protector of The Citizen’s
Constitutional Rights); (5) MK sebagai pelindung hak asasi
manusia (The Protector of Human Rights).327 Mahkamah
Konstitusi juga memiliki fungsi sebagai pelindung hak asasi
manusia. Maka, jika ada undang-undang yang melanggar
hak konstitusional warga negara, undang-undang tersebut
harus dibatalkan.

Jika Mahkamah Konstitusi tidak boleh melakukan


pengujian terhadap undang-undang yang menyangkut
eksistensinya, maka akan banyak Pemohon atau
masyarakat yang dirugikan akibat adanya norma hukum
yang membatasi Pemohon untuk menuntut keadilan di
Mahkamah Konstitusi. Kondisi tersebut tentulah tidak
sejalan dengan konstitusi dan politik hukum pembentukan
Mahkamah Konstitusi. Misalnya, jika Mahkamah Konstitusi
tidak membatalkan Pasal 50 UU No.24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi yang berbunyi “Undang-undang yang
dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang
diundangkan setelah perubahan UUD 1945”, maka undang-
undang yang dibuat sebelum amandemen yang
bertentangan dengan konstitusi dan melanggar hak
konstitusional tetap tidak dapat diuji dan tidak dapat
dibatalkan. Mahkamah Konstitusi sudah sepantasnya tidak
terkungkung pada teks (Pasal 50) yang tidak adil dan jelas-
jelas menghambat jalannya upaya Mahkamah Konstitusi
dalam menegakkan hukum dan keadilan melalui pengujian
undang-undang.

327
I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional
Complaint): Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga
Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm.313-314.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji
sendiri undang-undang yang terkait dengan eksistensinya
sering dibandingkan dengan legislative review. Legislative
review adalah upaya ke lembaga legislatif atau lembaga lain
yang memiliki kewenangan legislasi untuk mengubah suatu
peraturan perundang-undangan. Dalam legislative review,
setiap orang dapat meminta agar lembaga yang memiliki
fungsi legislasi untuk melakukan revisi terhadap produk
hukum yang dibuatnya dengan alasan, misalnya peraturan
perundang-undangan itu tidak sesuai lagi dengan
perkembangan zaman, bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang sederajat
secara horizontal. Dilakukannya legislative review terhadap
undang-undang yang mengatur eksistensi Mahkamah
Konstitusi tidak memberi jaminan bahwa pembentuk
undang-undang akan membuat undang-undang terbaik bagi
Mahkamah Konstitusi dan tidak bertentangan dengan UUD
1945. Nyata bahwa norma hukum yang dirumuskan atau
undang-undang terpengaruhi kompromi politik yang
seringkali lebih kuat dibandingkan hukum. Hal tersebut
telah terbukti dalam beberapa pasal Undang-undang
Mahkamah Konstitusi yang secara nyata bertentangan
dengan konstitusi karena mereduksi dan menghalangi
kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menegakkan
konstitusi Indonesia, yakni UUD NRI 1945. 328

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji


undang-undang yang mengatur eksistensinya harus
dilakukan secara hati-hati (prinsip kehati-hatian) dan secara

328
Tanto Lailam, “Pro-Kontra Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam
Menguji Undang-Undang yang Mengatur Eksistensinya”, Jurnal Konstitusi,
Vol.12, No.4, Desember 2015, hlm.819.
tanggung jawab. Kewenangan Mahkamah Konstitusi ini
harus dilakukan oleh hakim yang adil dan mampu
memaknai konstitusi sebagai the living constitution sehingga
dalam menafsirkan konstitusi yang diutamakan adalah
perkembangan masyarakat saat ini.329 Hakim Mahkamah
Konstitusi juga harus terseleksi moralitasnya dan bebas dari
kepentingan partai politik. Perlu pengawasan mulai dari
proses rekuitmen hakim konstitusi oleh DPR, Presiden, dan
Mahkamah Agung serta pengawasan terhadap setiap
putusan yang dikeluarkan. Ada atau tidaknya rambu-rambu
jangan sampai menjadi penghalang tegaknya konstitusi
hukum dan keadilan. Untuk itu, yang perlu menjadi
perhatian hakim Mahkamah Konstitusi adalah kewenangan
dalam penegakan hukum harus tetap berdasar pada
Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan roh dan penentu
arah hukum Indonesia.330

e. Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Prinsip


Penahanan Diri (Judicial Restraint)
Tradisi hukum mana pun, civil law ataupun common
law, seringkali terjadi kesenjangan antara hukum dengan
perkembangan kehidupan masyarakat. Masyarakat memiliki
kebutuhan akan hukum yang responsif sebagai jawaban
atas permasalahan yang ada. Dalam hal yang demikian,
pengadilan menjadi jembatan kesenjangan antara hukum
dan kenyataan sosial. Pengadilan memerlukan suatu rambu
dan peraturan agar mampu memberikan putusan tanpa
merusak tatanan hukum (legal order). Kewajiban untuk
menjaga keseimbangan fungsi pengadilan dalam
329
Feri Amsari, Perubahan UUD 1945: Perubahan Konstitusi NKRI melalui
Putusan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm.88.
330
Martinah, Mahkamah Konstitusi: Dari Negative Legislature ke Positive
Legislature? (Jakarta: Konstitusi Press, 2013), hlm.79.
memecahkan masalah masyarakat dengan menjaga tatanan
hukum melahirkan konsep judicial restrain sebagai jalan
keluar pengadilan dalam menjalankan fungsinya.

Judicial Restrain awal mulanya merupakan doktrin


yang berkembang di Amerika Serikat sebagai implementasi
dari penerapan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of
power). Doktrin judicial restraint menyatakan bahwa
pengadilan harus melakukan pengekangan diri dari
kecenderungan ataupun dorongan untuk bertindak
layaknya sebuah “miniparliament.”331 Judicial restraint
menurut Aharon Barak adalah kondisi dimana hakim harus
sedapat mungkin tidak membentuk norma hukum baru
dalam mengadili sebuah perkara untuk menciptakan
keseimbangan diantara nilai-nilai sosial yang saling
bertentangan. Dengan kata lain, judicial restraint
menghendaki hakim untuk menafsirkan sebuah undang-
undang dengan terlebih dahulu memperhatikan hukum
pembentuknya.332 Menurut Robert Posner, judicial restrain
merupakan upaya hakim atau pengadilan untuk membatasi
diri dalam kerangka prinsip pemisahan kekuasaan
(separation of powers). Hal ini berarti bahwa judicial restraint
adalah upaya dari cabang kekuasaan kehakiman untuk
tidak mengadili perkara-perkara yang akan dapat
mengganggu cabang kekuasaan yang lain. Oleh karena itu,
pengadilan hanya diperkenankan untuk mengadili perkara-
perkara yang ditentukan secara limitatif berdasarkan

331
Phillip A. Talmadge, “Understanding the Limits of Power: Judicial
Restrain in General Jurisdiction Court Systems,” Seattle University Law Review,
No.695, 1999, hlm.711.
332
Dalam bukunya, Aharon Barak mengatakan bahwa “judicial restrain is
the judicial tendency, conscious or unconscious to achieve the proper balance
between conflicting social values by preserving existing law rather than creating
new law.” Lihat Aharon Barak, “Judge in Democacy”, hlm.271.
hukum sebagai kewenangannya (limited jurisdiction).333
Rebecca Zietlow mengungkapkan bahwa judicial restraint
merupakan implementasi dari pengakuan dan
penghormatan hakim kepada cabang kekuasaan politik
sebagai cabang kekuasaan yang berwenang untuk
membentuk hukum dalam kerangka demokrasi. Oleh karena
itu, Zietlow mengungkapkan bahwa hakim atau pengadilan
sebaiknya menerapkan judicial restrain kapanpun
dimungkinkan.334

Salah satu contoh tindakan pengadilan yang dapat


dikategorikan sebagai tindakan parlemen adalah
membentuk norma hukum baru ketika memutus sebuah
perkara judicial review. Maka, sejatinya inti dari judicial
restrain adalah pengekangan diri yang dilakukan cabang
kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya
dengan tidak mengganggu cabang kekuasaan yang lain
dalam rangka prinsip pemisahan kekuasaan. 335 Jenis-jenis
pembatasan tersebut:

1. Pembatasan Konstitusional (Constitutional


Limitation)

Pembatasan konstitusional adalah memberi kewenangan


yang limitatif bagi kekuasaan kehakiman melalui norma-
norma konstitusi. Bentuk pembatasan konstitusional
dapat dilihat pada Pasal 24C Undang-Undang Dasar NRI

333
Phillip A. Talmadge, Understanding the Limits of Power: Judicial
Restrain, hlm.707.
334
Rebecca Zietlow : “Restrained judges recognize the institutional
advantages of the political branches when they create law and respect their
authority to do so. Judicial restrain is thus rooted in a majoritarian conception of
American democracy. Hence, judges should use judicial restrain whenever
possible.” Rebecca E. Zietlow, The Judicial Restrain of the Warren Court (and
Why it Matters), Toledo, 2006, hlm.9.
335
Wicaksana Dramanda, “Menggagas Penerapan Judicial Restraint di
Mahkamah Konstitusi,” Jurnal Konstitusi, Vol.11, No.4, Desember 2014,
hlm.621.
1945 yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah
Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, mengadili sengketa antar
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD, mengadili sengketa hasil pemilihan umum,
mengadili permohonan pembubaran partai politik, dan
mengadili pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden telah melakukan pelanggaran hukum. Pasal 24C
UUD NRI 1945 yang mengatur kewenangan Mahkamah
Konstitusi merupakan norma tertutup yang tidak
memungkinkan adanya penambahakn kewenangan bagi
Mahkamah Konstitusi selain melalui amandemen
Undang-Undang Dasar.336 Dengan pembatasan
konstitusional tersebut, diharapkan kekuasaan
kehakiman tidak mengganggu kewenangan
konstitusional cabang kekuasaan yang lain.

2. Pembatasan Berdasarkan Kebijakan (Policy


Limitation)

Pembatasan berdasarkan kebijakan dikemukakan oleh


Justice Brandels (1936) dalam perkara Ashwander v.
Tennessee Valley Authority yang dikenal sebagai
“Ashwander Rules”. Ashwander Rules terefleksi dalam
tujuh prinsip yang bermuara kepada komitmen
pengadilan untuk melakukan pengekangan diri (self
restrain) dalam rangka menjalankan kewenangan
pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar. Ketujuh prinsip tersebut adalah:
1) Pengadilan harus menghindari memberikan putusan
mengenai permasalahan konstitusional yang timbul
tanpa adanya sengketa;
336
Wicaksana Dramanda, “Menggagas Penerapan Judicial Restraint di
Mahkamah Konstitusi,” hlm.622.
2) Pengadilan tidak akan memutus sebuah
permasalahan konstitusional hingga benar-benar
dibutuhkan;
3) Pengadilan akan selalu menganggap bahwa seluruh
undang-undang adalah konstitusional dan
membebankan kepada para pihak yang berperkara
untuk membuktikan sebaliknya (presumption of
constitutionality);
4) Pengadilan tidak akan merumuskan sebuah putusan
dalam masalah konstitusional melebihi kebutuhan
yang diperlukan dengan sedapat mungkin
menghindari pembentukan norma baru;
5) Pengadilan tidak akan menerima permohonan yang
bersifat constitutional question atau perkara yang
memiliki isu politis yang kuat jika perkara tersebu
dapat diselesaikan melalui mekanisme konstitusional
lain (strict necessity).
6) Pengadilan tidak akan menerima permohonan
pengujian undang-undang yang diajukan oleh mereka
yang tidak dapat membuktikan kerugian yang mereka
alami akibat keberlakuan undang-undang tersebut;
7) Pengadilan tidak akan menerima pengujian
konstitusionalitas dari sebuah undang-undang yang
dimohonkan demi menarik keuntungan bagi diri
pemohon sendiri.
3. Pembatasan berdasarkan Doktrin (Doctrine
Limitation)
Pembatasan ini merupakan implementasi dari prinsip
kehati-hatian (prudential principles) hakim dalam
memutus sebuah perkara. Pembatasan ini terdiri dari
beberapa doktrin:
1) Standing: pihak yang berperkara harus memiliki
kepentingan langsung berupa kerugian nyata akibat
berlakunya suatu undang-undang. Terdapat 3 syarat:
(i) harus ada kerugian yang timbul karena
pelanggaran kepentingan pemohon yang dilindungi
oleh hukum, aktual, dan bukan potensial; (ii) Ada
hubungan sebab akibat atau hubungan kausalitas
antara kerugian dengan berlakunya suatu undang-
undang; (iii) Jika putusan yang diharapkan
dikabulkan, kerugian akan terpulihkan.
2) Mootness: keadaan dimana latar belakang masalah
yang diperkarakan telah terselesaikan atau telah
lenyap sehingga putusan pengadilan tidak dapat
diimplementasikan atau tidak memiliki efek praktis.
3) Ripness: menghindari keterlibatan pengadilan secara
premature dalam mengadili suatu perkara yang
mungkin dapat diselesaikan melalui cara-cara lain
yang tersedia berdasarkan hukum. Doktrin ini
menghendaki para pihak yang bersengketa untuk
menempuh proses non-judicial terlebih dahulu.
4) Absention Doctrine: doktrin yang melarang pengadilan
yang lebih tinggi melakukan intervensi terhadap
perkara di pengadilan renda sampai ada putusan
akhir.

5) Political Question Doctrine: doktrin pengekangan diri


yang dilakukan cabang kekuasaan kehakiman untuk
tidak mengadili perkara yang memiliki sifat politis
yang berat.

Dalam praktek judicial review di Indonesia, terdapat


beberapa putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
yang tidak hanya menyatakan sebuah norma undang-
undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, tetapi
juga menentukan norma yang seharusnya diberlakukan
atau mengubah makna sebuah norma di Undang-Undang
Dasar yang keluar dari original intent para pembentuknya.
Dalam konteks hukum, hakim karena jabatannya dapat saja
melakukan pembentukan hukum ataupun melakukan
perubahan konstitusi melalui metode penafsiran konstitusi.
Namun, doktrin judicial restraint menghendaki prasyarat-
prasyarat tertentu agar hakim dan pengadilan lebih berhati-
hati dalam melakukan penafsiran hukum hingga dapat
membentuk norma hukum yang baru ataupun mengubah
makna sebuah norma di dalam Undang-Undang Dasar
melalui putusannya.

Fungsi judicial restraint dalam Mahkamah Konstitusi


adalah menjaga agar Mahkamah Konstitusi tetap
menjalankan kewenangan sesuai yang telah digariskan
Undang-Undang Dasar. Dalam konteks perkara di
Mahkamah Konstitusi absolutely necessary—doktrin ini
mengharuskan bahwa sebuah perkara konstitusional harus
bersifat sangat penting agar dapat diadili di Mahkamah
Konstitusi. Oleh karena itu penerapan judicial restraint
dapat dibenarkan.

Perkembangan tata hukum dan kebutuhan akan


pemenuhan keadilan bagi warga negara mendorong hakim
konstitusi sebagai salah satu penegak hukum untuk
melakukan berbagai macam terobosan. Salah satu
terobosan yang dinilai kontroversial adalah dikeluarkannya
putusan yang bersifat mengatur atau positive legislature
sebagai produk hukum oleh Mahkamah Konstitusi dalam
pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Putusan MK tersebut menampakkan segi progresivitas
hakim konstitusi dimana mereka lebih memilih keadilan dan
kemanfaatan hukum daripada terpaku pada aspek
prosedural Hukum Acara PUU. Hal ini jadi menarik,
mengingat putusan MK yang bersifat final dan mengikat
(final and binding) dan memiliki pengaruh umum terhadap
sistem hukum, berbeda dengan putusan yudisial lainnya
yang hanya mengikat para pihak yang berperkara.
Penemuan hukum di sini berfungsi sebagai pengisi ruang
kosong dalam sistem undang-undang. Hal ini didasari oleh
pendapat Scholten yang menyatakan bahwa hukum itu
merupakan suatu sistem yang terbuka (open system).337

Pergeseran MK, dari apa yang dikatakan Hans Kelsen


sebagai negative legisation menjadi positive legislation seperti
yang dikatakan Christopher Wolfe, terjadi seiring
menguatnya prinsip ‘judge made law’ di bidang konstitusi.
Menurut Wolfe, kenyataan inilah yang sekarang telah
diterima di Amerika Serikat. Wolfe menyandarkan
pernyataan itu setelah melihat aktivisme hakim dalam
penafsiran konstitusi (judicial activism) yang berkebalikan
dengan sikap yang mengharapkan hakim membatasi diri
dalam sikap atau tafsiran (judicial restraint). Perkembangan
legislasi oleh lembaga legislatif telah menyebabkan pula
pertumbuhan secara paralel hukum buatan hakim (judge
made law). Alasannya bagaimanapun baiknya kemampuan
lembaga legislatif untuk merancang UU, akan tetapi akan
selalu dijumpai kesenjangan (gap) hukum yang memang
harus diisi oleh hakim, termasuk juga karena kekaburan
dan ketidakpastian UU. Aktivisme yudisial merupakan
proses pengambilan putusan pengadilan melalui pendekatan
berbeda. Pendekatan ini menurut Styabrata melebihi filsafat
337
E. Utrecht/Moh. Saleh Djindang, Pengantar dalam Hukum Indonesia
(Jakarta: Balai Buku Ichtiar, 1989), hlm. 219.
hukum lama, karena dianggap lebih modern dan dekat
dengan kehidupan riil masyarakat. Aktivisme yudisial juga
dipahami sebagai dinamisme para hakim yang memegang
kekuasaan kehakiman ketika membuat putusan tanpa
melalui batas-batas konstitusi. Gagasan judicial activism
sesungguhnya sama dengan gagasan hukum progresif yang
di kembangkan oleh Satjipto Rahardjo, dimana hukum yang
menghendaki kebahagiaan bagi manusia. Gagasan ini hadir
karena hukum telah kehilangan pegangannya atau memiliki
jurang hukum sehingga membutuhkan hakim untuk
menghubungkan jurang pemisah dalam hukum tersebut.
Keadilan yang ditegakkan oleh MK seyogyanya adalah
keadilan yang substansial, hakiki, dan dirasakan oleh publik
sebagai keadilan sesungguhnya. Karena itulah hakim-hakim
MK tidak terbelenggu dengan apa yang ditetapkan dalam
teks UU. Pada kondisi ini hakim MK lebih mementingkan
hukum dibandingkan teks UU. Kenyataan inilah yang
menunjukkan adanya ruh penegakan hukum progresif di
MK. Dengan adanya gagasan hukum progresif ini maka
terjadilah penerobosan rambu-rambu yang digagas oleh
Mahfud MD. Menyikapi hal tersebut Mahfud MD
berpendapat bahwa MK dapat saja mengesampingkan
rambu-rambu tersebut dalam upaya menegakkan keadilan
bagi kebahagiaan masyarakat. Sebagaimana pendapat
Satjipto Rahardjo yang dikutip oleh Martitah dalam bukunya
“Mahkamah Konstitusi dari Negative Legislature ke Positive
Legislature” menyatakan bahwa UUD harus dibaca dan
dipahami sebagai suatu tipe hukum atau perundang-
undangan yang beda (distinct), yang bukan sekedar
dokumen hukum biasa, melainkan dokumen moral, dan
dokumen antropologi. Karena sifat UUD yang demikian itu,
dibutuhkan cara membaca yang khusus, yang oleh Ronald
Dworkin disebut moral reading atau membaca dengan
pendalaman makna. UUD 1945 tidak dapat dimaknai secara
tersirat (apa yang tertulis) saja namun memerlukan
kemampuan khusus atau metode khusus untuk
menafsirkan apa sebenarnya yang menjadi original intent
yang terkandung dalam UUD tersebut sesuai dengan
semangat dibentuknya UUD dimasa itu. Dalam hal ini yang
memiliki kemampuan menerjemahkan UUD sebagaimana
mestinya adalah MK sebagai the sole of interpretation
(penafsir konstitusi). Hal ini juga sejalan dengan fungsi
konstitusi, dimana salah satu fungsi konstitusi adalah
sebagai dokumen kitab simbolik masyarakat (symbolic civil
religion) yang berfungsi sebagai (a) dokumen pengendali (tool
of political, social, and economic control), (b) dokumen
perekayasaan dan bahkan pembaruan ke arah masa depan
(tool of political, social and economic engineering and
reform).338

Dalam upaya melakukan pembaharuan kearah masa


depan dalam sistem hukum, maka MK sebagai lembaga
yudikatif yang memiliki kewenangan dalam menegakkan
hukum dan keadilan perlu melakukan berbagai terobosan
yang dapat menjamin keadilan bagi pemegang hak
konstitusional. Terkait dengan penegakan prinsip keadilan
ini, MK mengedepankan keadilan substantif, yaitu keadilan
yang lebih didasarkan pada kebenaran material daripada
kebenaran formal-prosedural. Dengan kata lain, apa yang
secara formal-prosedural benar bisa saja disalahkan jika
secara material dan substansinya melanggar keadilan.
Sebaliknya apa yang secara formal prosedural salah bisa
saja dibenarkan jika secara material dan substansinya
338
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Sinar
Grafika, (Jakarta, 2010), hlm. 25
sudah cukup adil. MK menekankan perlunya keadilan
substantif untuk menghindari munculnya putusan yang
mengabaikan rasa keadilan sebagaimana kerap ditemukan
dalam putusan pengadilan pada masa lalu.339 Terobosan
hukum tersebut perlu dilakukan untuk menggairahkan
penegakan hukum dalam masyarakat.

Pada perkembangannya, MK pun menciptakan varian


putusan yakni konstitusional bersyarat (conditionally
constitutional), inkonstitusional bersyarat (conditionally
unconstitutional), putusan yang menunda pemberlakuan
putusan (limited constitutional), dan putusan yang
merumuskan norma baru. Konsekuensi logis dari hal ini
ialah bagaimana MK seolah menjadikan dirinya sebagai
kamar ketiga dalam proses legislasi karena tidak dapat
dipungkiri varian-varian putusan tersebut dapat
mempengaruhi proses legislasi di lembaga legislatif. Terlepas
dari polemik tersebut, hal ini menjadi pengejawantahan
fungsi kontrol eksternal yang dimiliki MK untuk melakukan
purifikasi atas produk hukum yang dihasilkan lembaga
legislatif.

Dari varian-varian putusan yang diciptakannya,


seperti dalam putusan konstitusional bersyarat dan putusan
inkonstitusional bersyarat, MK menjadi pencipta hukum
meskipun tidak melalui proses legislasi, yang bukan
merupakan kompetensi MK. Varian putusan tersebut
memberikan syarat dan makna kepada addressat putusan
MK dalam memaknai dan melaksanakan suatu ketentuan
undang-undang dengan memperhatikan penafsiran MK atas
konstitusionalitas ketentuan materiil undang-undang yang

339
Ni’matul Huda, Perkembangan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam
Upaya Menegakkan Hukum dan Keadilan, dalam “M. Solly Lubis, Paradigma
Kebijakan Hukum Pasca Reformasi,” (Jakarta: Sofmedia, 2010), hlm. 311.
sudah diuji tersebut. Bilamana syarat itu tidak dipenuhi
atau ditafsirkan lain oleh addressat putusan MK, maka
ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut dapat
diajukan pengujian kembali ke MK (re-judicial review).

Begitu pula dalam varian putusan yang merumuskan


norma baru, MK tidak saja sekadar membatalkan norma,
akan tetapi mengubah atau membuat baru bagian tertentu
dari isi suatu undang-undang yang diuji, Sehingga norma
dari undang-undang itu juga berubah dari yang
sebelumnya. Kendati pintu masuk varian putusan yang
merumuskan norma baru dapat mengambil bentuk putusan
konstitusional bersyarat ataupun putusan inkonstitusional
bersyarat. Oleh karena itu dua varian putusan yang
demikian tentu akan berdampak luas sehingga perlu
diketahui tindak lanjut oleh addressat putusan MK. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari munculnya anggapan
telah terjadi kekosongan hukum, maka pembentuk undang-
undang memiliki kewajiban untuk merespons putusan MK
tersebut.

Dalam praktik, muncul kecenderungan beragamnya


bentuk pilihan hukum yang diambil oleh addressat putusan
MK terkait dengan tindak lanjutnya terhadap putusan
konstitusional bersyarat, putusan inkonstitusional
bersyarat, dan putusan yang merumuskan norma baru.
Bahkan tidak menutup kemungkinan, bentuk pilihan
hukum tersebut berpotensi tidak berkelindan dengan
putusan MK itu sendiri ataupun dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya,
misalnya mengenai pengujian Undang-Undang tentang
Sumber Daya Air (UU SDA) yang telah diputus
konstitusional bersyarat oleh MK,340 dalam
perkembangannya di-rejudicial review ke MK karena tindak
lanjut melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun
2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum
(SPAM), dianggap tidak sesuai dengan tafsiran MK. Pada
contoh lain, MK telah memaknai frasa “perjanjian kerja
waktu tertentu dalam sistem outsourcing” dalam pengujian
Undang-Undang Ketenagakerjaan adalah inkonstitusional
sepanjang tidak mengatur syarat jaminan pengalihan
perlindungan hak pada perusahaan pemenang tender
berikutnya.341 Addressat putusan MK yang dalam hal ini
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Surat Edaran
No.B.31/PHIJSK/I/2012. Variatifnya bentuk pilihan hukum
yang diambil oleh addressat untuk menindaklanjuti putusan
MK antara lain disebabkan karena ketiadaan aturan
mengenai tindak lanjut putusan MK yang lahir dari varian
putusan konstitusional bersyarat, inkonstitusional
bersyarat, dan putusan yang merumuskan norma baru
berbeda dengan varian putusan yang menyatakan suatu
materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-
undang yang ditelah dinyatakan inkonstitusional dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat (legally null and
void). Pemuatan putusan MK dalam Berita Negara
sebagaimana ditentukan dalam pasal 57 ayat (3) UU MK
dirasa cukup untuk diketahui secara umum bahwa seluruh
penyelenggara negara dan warga negara terikat untuk tidak
menerapkan dan melaksanakan lagi materi yang ditelah
dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan

340
Putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Perkara Nomor
008/PUU-III/2005 tanggal 19 Juli 2005.
341
Putusan Nomor 27/PUU-IX/2011 tanggal 17 Januari 2012.
hukum mengikat tersebut sehingga jika dilanggar dapat
dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum dan batal
demi hukum sejak semula (ad initio).

Ketiadaan pengaturan tindak lanjut varian putusan


konstitusional bersyarat, putusan inkonstitusional
bersyarat, dan putusan yang merumuskan norma baru
menjadikan putusan-putusan tersebut sebagai salah satu
materi muatan dalam proses legislasi dan regulasi.
Addressat putusan MK dituntut untuk membentuk undang-
undang melalui proses legislasi dan peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang melalui proses regulasi
yang sesuai dengan perintah MK melalui putusannya.
Proses legislasi yang dilaksanakan oleh DPR bersama
dengan Presiden secara materiil dapat mengambil-alih
putusan MK untuk diadopsi dalam revisi atau pembentukan
baru suatu peraturan perundang-undangan. Idealnya
putusan MK ditindaklanjuti dengan perubahan undang-
undang oleh pembentuk undang-undang sebagai produk
legislasi, akan tetapi beberapa putusan MK dilaksanakan
oleh addressat putusan MK melalui proses regulasi sehingga
tanpa harus menunggu perubahan undang-undang, yang
juga dapat mengambil- alih putusan MK untuk diadopsi
dalam revisi atau pembentukan baru suatu peraturan
perundang-undangan. Demikian juga dengan tindak lanjut
melalui proses regulasi yang pembentukannya harus
berdasarkan undang-undang atau pun putusan MK.

Sejak berdiri pada tahun 2003 sampai dengan tahun


2012, MK telah menerima permohonan Pengujian Undang-
Undang (PUU) sebanyak 532 (lima ratus tiga puluh dua)
perkara dan yang telah diputus sebanyak 460 (empat ratus
enam puluh) perkara. Sebanyak 127 (seratus dua puluh
tujuh) dikabulkan oleh MK dengan menyatakan materi
muatan ayat, pasal, bagian maupun undang-undang secara
keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.342 Berdasarkan
penelitian sebelumnya, putusan MK dalam PUU yang
memuat syarat dan merumuskan norma baru dari tahun
2003 sampai dengan tahun 2012 ditemukan data sebagai
berikut:

1) 15 (lima belas) putusan konstitusional bersyarat


(conditionally constitutional);

2) 32 (tiga puluh dua) putusan inkonstitusional


bersyarat (conditionally unconstitutional);

3) 5 (lima) putusan yang memuat perumusan norma


baru.

Pada umumnya legislasi lazim dikenal dengan proses


dan produk pembuatan undang-undang (the creation of
general legal norm by special organ). Dengan kata lain,
legislasi itu dikaitkan dengan upaya badan parlemen untuk
membentuk undang-undang sebagai primary legislation,
yang dibedakan dengan otoritas badan pelaksana/eksekutif
untuk membuat peraturan pelaksanaan undang-undang
sebagai secondary legislation melalui proses regulasi. Ihwal
mekanisme tindak lanjut putusan MK dalam konteks
legislasi merujuk pada Undang-Undang Nomor 12 tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(UU P3). Pasal 10 ayat (1) UU P3 menyatakan sebagai
berikut: “materi muatan yang harus diatur dengan undang-
undang salah satunya berisi tentang tindak lanjut atas

342
Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi,
Dinamika Penegakan Hak Konstitusional Warga Negara Laporan Tahunan
Mahkamah Konstitusi RI 2012, (Jakarta: Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal
Mahkamah Konstitusi, 2013) hal. 72.
putusan MK. Selanjutnya dinyatakan, tindak lanjut putusan
MK tersebut dilakukan oleh DPR atau Presiden. 343 Hadirnya
dua simpul kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif
dalam pembentukan undang-undang tersebut menjadi pilar
untuk mencapai proses penciptaan undang-undang
(legislasi) yang ideal. Proses legislasi dalam hubungan kedua
kekuasaan dimaksud tidak hanya pembentukan undang-
undang an sich, akan tetapi juga memposisikan pengujian
undang-undang dalam hal ini putusan MK dalam proses
legislasi. Dalam level ini, DPR dan Pemerintah/Presiden
sesungguhnya memiliki posisi yang krusial terhadap
putusan yang dijatuhkan MK, karena kedua lembaga inilah
yang dapat menjaga sekaligus mengawal konsistensi
penafsiran putusan MK. Putusan MK wajib dijadikan
rujukan dalam proses pembuatan undang-undang bahkan
seharusnya menjadi paradigma politik hukum ke depan. Hal
ini dimaksudkan, agar undang-undang yang akan dibentuk
sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam putusan MK,
sehingga materinya tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Lebih-lebih terhadap putusan yang dinyatakan bersyarat
oleh MK, sebab pada tahap inilah peran pembentuk undang-
undang dituntut untuk menjaga konsistensi penafsiran
putusan MK yang nantinya akan dituangkan dalam bentuk
undang-undang. Bagi MK sendiri, ada hal yang patut
diperhatikan terkait tindak lanjut putusannya, yaitu:
pertama, selama ini tidak ada ketentuan mengenai waktu
yang harus dipenuhi untuk segera melakukan tindak lanjut

343
Yang dimaksud dengan “tindak lanjut atas putusan Mahkamah
Konstitusi” terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian
UndangUndang terhadap Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia
Tahun 1945. Materi muatan yang dibuat, terkait dengan ayat, pasal, dan/atau
bagian Undang-Undang yang secara tegas dinyatakan dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
putusanya. Kedua, tidak ada kejelasan dan kepastian
mengenai lembaga mana yang harus berperan diawal untuk
menindaklanjuti putusan MK.344 Selain itu, di beberapa
putusan MK tindak lanjut putusan tersebut tidak
bersesuaian dengan penafsiran MK. Untuk mengatasi hal
tersebut, diperlukan instrumen hukum, antara lain, yang
disebut judicial order, yaitu kewenangan MK untuk
memerintahkan secara paksa pada addresat untuk
melaksanakan putusan MK.345 Hal ini menegaskan
pemaknaan erga omnes putusan MK tidak hanya
diberlakukan terhadap undang- undang yang diuji akan
tetapi berlaku juga terhadap peraturan perundang-
undangan memuat norma yang telah diuji
konstitusionalitasnya sehingga akan tercipta harmonisasi
peraturan perundang-undangan baik secara vertikal
maupun horizontal.

Memeriksa secara saksama peraturan pelaksanaan


dari UU SDA, dalam hal ini Peraturan Pemerintah. Dengan
mengambil langkah ini, yakni sebagai persyaratan
konstitusionalitas Undang-Undang yang sedang diuji
digantungkan pada ketaatan peraturan pelaksanaan
Undang-Undang yang bersangkutan dalam
mengimplementasikan penafsiran Mahkamah. Sebagai
peraturan pelaksanaan Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah adalah bukti yang menjelaskan maksud yang
sesungguhnya dari Undang-Undang yang sedang diuji

344
M. Nur Solihin dalam Lexy Armanjaya, “Dekonstruksi Kewenangan
Legislasi dari DPR ke Mahkamah Konstitusi (MK) Analisis Sosio Legal,” Jurnal
Konstitusi, Vol.5 Nomor 2 November 2008 hal. 66
345
Di Amerika Serikat dikenal dengan istilah instrument injunction yaitu
memerintah kepada perseorangan atau institusi untuk mentaati putusan
Supreme Court. Adapun di Jerman dikenal dengan Judicial Order. Federal
Constitutional Court (FCC) dapat menerbitkan judicial order yang mewajibkan
adressat untuk mematuhi interpretasi konstitusional FCC.
konstitusionalitasnya, sehingga apabila maksud tersebut
ternyata bertentangan, hal itu menunjukkan bahwa
Undang-Undang yang bersangkutan memang bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar.

Menimbang bahwa oleh karena UU SDA dinyatakan


bertentangan dengan UUD 1945 dan untuk mencegah
terjadinya kekosongan pengaturan mengenai sumber daya
air, jangka waktu tunggu pembentukan Undang-undang
baru yang memperhatikan putusan Mahkamah oleh
pembentuk Undang-Undang, maka Undang-Undang Nomor
11 Tahun 1974 tentang Pengairan diberlakukan kembali.346

6. Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar


NRI Tahun 1945
Perkembangan hukum acara MK utamanya yang berkaitan
dengan kewenangan pengujian Undang-Undang terjadi seiring
munculnya putusan-putusan MK berkaitan dengan hukum acara
yang kemudian menjadi yurisprudensi. Yurisprudensi merupakan
salah satu sumber hukum. Hukum acara MK berkaitan dengan
pengujian Undang-Undang yang lahir dari yurisprudensi adalah:
Pertama, Mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi
menguji undang-undang yang disahkan sebelum maupun sesudah
Perubahan UUD 1945. Hal ini lahir dari Putusan Nomor 066/PUU-
II/2004 tanggal 12 April 2004 terkait dengan pengujian Pasal 50
UU Mahkamah Konstitusi, yang menurut ketentuan tersebut
dinyatakan inkonstitusional. Artinya, Mahkamah Konstitusi
berwenang menguji undang-undang yang lahir sebelum dan
sesudah perubahan UUD 1945;

346
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 123/PUU-XIII/2015,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/
Test-123_PUU-XIII_2015.pdf, hal. 144-145
Kedua, Batas waktu pengajuan permohonan pengujian
formil undang-undang. Ketentuan mengenai hal ini lahir dari
Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 tanggal 16 Juni 2010. Dalam
putusan pengujian UU Mahkamah Agung tersebut, Mahkamah
Konstitusi menegaskan bahwa tenggat 45 (empat puluh lima) hari
setelah undang-undang dimuat dalam Lembaran Negara
merupakan waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian
formil terhadap undang-undang;
Ketiga, Kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji
peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu).
Kewenangan ini lahir dari Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009
tanggal 8 Februari 2010. Mahkamah Konstitusi menyatakan
bahwa oleh karena perpu dapat menimbulkan norma hukum yang
kekuatannya mengikat sama dengan undang-undang, maka
terhadap perpu dapat diuji di Mahkamah Konstitusi;
Keempat, terkait dengan syarat kerugian konstitusional bagi
Pemohon perkara pengujian undang-undang. Dalam beberapa
putusan, Mahkamah Konstitusi memberikan persyaratan
mengenai kerugian konstitusional. Bahwa, Pasal 51 ayat (1) UU
Mahkamah Konstitusi telah menentukan dua kriteria yang harus
dipenuhi agar pemohon memiliki kedudukan hukum (legal
standing), yaitu (i) kualifikasi Pemohon apakah sebagai perorangan
warga Negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama), kesatuan masyarakat hukum adat
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang, badan hukum publik atau privat,
atau lembaga negara; dan (ii) anggapan bahwa dalam kualifikasi
demikian, terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional
pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang.
Melalui Putusan 006/PUU-III/2005 dalam pengujian UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Mahkamah
Konstitusi menegaskan bahwa kerugian konstitusional yang
timbul karena berlakunya suatu undang- undang menurut Pasal
51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi harus memenuhi 5 (lima)
syarat, yaitu:
1) adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2) bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh
Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang
diuji;
3) bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud
bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya
bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
4) adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara
kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan
untuk diuji;
5) adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya
permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan
tidak akan atau tidak lagi terjadi.

7. Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang


Kewenangannya Diberikan Oleh UUD NRI Tahun 1945
Terkait kewenangan MK dalam menyelesaikan sengketa
kewenangan lembaga negara, Pasal 61 UU Nomor 24 Tahun 2003
menyatakan Pihak dalam perkara sengketa kewenangan lembaga
negara disebut dengan Pemohon dan Termohon. Pasal 61 Ayat (1)
menyebutkan bahwa “Pemohon adalah lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan
langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan.”
Permasalahan dalam kewenangan MK ini, apakah
dimungkinkan terdapat pihak lain yang masuk dalam perkara
selain Pemohon dan Termohon. Dalam kewenangan MK yang lain
kita dapati Pihak Terkait baik langsung maupun tidak langsung
atau di lingkungan peradilan lain disebut intervensi.
Permasalahan lainnya adalah apakah dimungkinkan satu objek
kewenangan dalam sengketa konstitusional lembaga negara
beririsan lebih dari dua lembaga negara.
Permasalahan berikutnya yang muncul adalah penafsiran
tentang lembaga negara. Pasal 2 Ayat (1) Peraturan MK Nomor 8
Tahun 2006 menyebutkan bahwa lembaga negara yang dapat
menjadi pemohon atau termohon dalam perkara sengketa
kewenangan konstitusional lembaga negara adalah:
1) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
2) Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
3) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
4) Presiden;
5) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
6) Pemerintahan Daerah (Pemda); atau
7) Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh
UUD NRI Tahun 1945. Ketentuan sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 2 Ayat (1).
Peraturan MK tersebut menyebabkan kriteria lembaga
negara yang dapat memiliki legal standing pada MK menjadi
sempit. Hal ini sebenarnya menjadi kewenangan MK dalam
melakukan penafsiran tentang lembaga negara yang dapat
menjadi pihak dalam berpekara di MK.

8. Putusan atas Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)


Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden Menurut Undang-Undang Dasar
DPR dapat mengajukan impeachment atau meminta putusan
MK atas pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran yang
dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden seperti yang
diatur dalam Pasal 24C ayat (1) yaitu pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, dan
tindakan tercela; kemudian ditambah satu hal lagi yang tidak
spesifik merupakan pelanggaran hukum yakni “tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”
seperti yang diatur di dalam Pasal 7B Ayat (2) UUD NRI Tahun
1945. Secara lebih jelas, pengaturan ini diatur dalam Peraturan
Mahkamah Konstitusi No 21 Tahun 2009 tentang Pedoman
Beracara dalam Memutus Pendapat DPR Mengenai Dugaan
Pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden.
Terdapat tiga alasan, mengapa MK mengatur bahwa
pemeriksaan pendakwaan atau impeachment terhadap
Presiden/Wakil Presiden dapat langsung dilakukan oleh MK dan
tidak harus didahului oleh pengadilan pidana di lingkungan MA.
Pertama, kewenangan MK tersebut merupakan kewenangan
absolut yang diberikan langsung oleh Konstitusi dalam perkara
hukum tata negara. Kedua, pelanggaran- pelanggaran tersebut
adalah pelanggaran pidana dalam kaitan ketatanegaraan yang
penyelesaiannya dibatasi oleh waktu yang pendek sehingga
menjadi tidak mungkin kalau harus melalui peradilan pidana yang
memakan waktu panjang lebih dulu. Ketiga, kalau harus melalui
peradilan pidana lebih dulu akan menjadi sangat rancu sebab
akan timbul masalah, apakah MK bisa memutus secara berbeda
dengan putusan peradilan pidana, namun apabila putusan
peradilan pidana sudah final dan tak bisa diputus lain oleh MK,
lalu untuk apa MK diminta lagi memutus impeachment itu.
Alasan-alasan itulah yang mendasari pendirian MK dalam
menetapkan bahwa pemeriksaan dan putusan MK atas
pendakwaan atau impeachment yang diajukan oleh DPR tidak
perlu menunggu atau didahului oleh peradilan pidana. Meskipun
begitu, masalah titik singgung kewenangan antara MA dan MK
dalam masalah ini masih perlu terus didiskusikan sampai ada
pengaturan lebih tepat dan proporsional, misalkan ditambah
penegasan bahwa “putusan MK tentang pendakwaan oleh DPR
dilakukan tanpa harus menunggu proses pengadilan pidana” dan
“putusan MK tentang pendakwaan oleh DPR tidak menghalangi
dilakukannya proses pengadilan pidana sesuai dengan UU yang
berlaku.

D. Kajian terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang


akan Diatur dalam Undang-Undang terhadap Aspek
Kehidupan Masyarakat dan Dampaknya terhadap Beban
Keuangan negara
1. Penambahan legal standing pada Pengujian Undang-
Undang kepada Hakim Mahkamah Agung

Permasalahan mekanisme constitutional review di


Indonesia adalah adanya pembatasan legal standing
pemohon constitutional review. Salah satu alasan yang
menyebabkan suatu undang-undang dapat diuji di
Mahkamah Konstitusi adalah jika undang-undang itu
merugikan hak konstitusional warga negara. Pasal 51 ayat
(1) UU MK pada intinya menyatakan, bahwa yang dapat
menjadi Pemohon dalam pengujian undang-undang
terhadap UUD NRI 1945 adalah mereka yang hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
suatu undang-undang.
Ada dua hal yang dapat disimpulkan dari ketentuan
tersebut. Pertama, pembentuk undang-undang seakan-akan
berasumsi bahwa pelanggaran terhadap hak-hak
konstitusional itu hanya terjadi karena norma undang-
undang. Kedua, pihak yang memiliki standing (persona
standi in judicio) untuk mengajukan permohonan pengujian
hanya pihak-pihak yang hak konstitusionalnya langsung
dirugikan oleh berlakunya undang-undang itu. Terhadap hal
tersebut, pelanggaran terhadap hak konstitusional tentunya
juga dapat terjadi dalam penerapan norma. Sehingga, bukan
semata-mata karena ada norma undang-undang yang
melanggar hak konstitusional warga negara. Sistem hukum
ketatanegaraan Indonesia yang juga merupakan bagian dari
sistem hukum nasional dan berdasarkan kepada konstitusi,
mengandung arti bahwa baik tata cara pembentukan,
penentuan materi atau isi, hingga penerapan dan
penegakannya harus sepenuhnya mencerminkan asas atau
nilai integral yang terkandung dalam Pancasila dan UUD
NRI 1945.347
Terhadap hal tersebut, jika suatu penerapan norma
undang-undang bertentangan dengan Konstitusi, maka
pihak yang boleh mengajukan review ke Mahkamah
Konstitusi dapat diperluas, yakni tidak hanya pihak yang
secara langsung dirugikan melainkan juga pengadilan
melalui mekanisme constitutional question.
Kondisi belum diakomodirnya mekanisme
constitutional question oleh Mahkamah Konstitusi
menunjukkan bahwa sistem pengujian konstitusional di
Indonesia masih memiliki ketimpangan karena hanya
mampu menjangkau pengujian undang-undang secara
abstrak saja (abstract norm review). Akibatnya, ruang
pengujian konstitusional di Indonesia menjadi sempit.
Ketiadaan mekanisme ini pada akhirnya dapat bermuara
pada tercederainya hak-hak konstitusional warga negara

347
Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi dalam Upaya Mewujudkan
Negara Hukum Demokrasi, (Yogyakarta: Kreasi Total Media,2007), hlm, 333
yang sedang terlibat dalam proses litigasi di pengadilan.
Sebab, tidak ada mekanisme yang dapat melindungi warga
negara yang sedang terlibat dalam suatu proses litigasi di
pengadilan dari ancaman penerapan undang-undang yang
diduga bertentangan dengan UUD.348
Selain itu, kita perlu menyadari bahwa Mahkamah
Konstitusi itu dipahami tidak sebatas mempersoalkan
produk undang-undang yang dipandang bertentangan
dengan konstitusi, namun fundamentum petendi (geschil
punt) dari Mahkamah Konstitusi adalah mengadili sengketa
yang timbul di bidang pelaksanaan kaidah konstitusi.
Adapun, pelanggaran pelaksanaan kaidah hukum yang
dipersoalkan dapat dilakukan melalui perbuatan eksekutif
melalui kebijakannya, perbuatan legislatif melalui produk-
produknya, hingga perbuatan lembaga yudikatif melalui
putusannya.349 Dengan adanya mekanisme constitutional
question, kerugian hak-hak konstitusional warga negara
akibat penerapan hukum yang bertentangan dengan
Konstitusi dapat dicegah. Sebab, apabila hakim ragu akan
konstitusionalitas undang-undang yang akan ia terapkan
maka ia dapat mengajukan “pertanyaan konstitusional”
kepada Mahkamah Konstitusi untuk menentukan
konstitusionalitas dari undang-undang yang bersangkutan
sebelum putusan pengadilan atas kasus tersebut
dijatuhkan.350

348
Hamid Chalid, “Urgensi dan Upaya Implementasi Mekanisme
Constitutional Question melalui Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,”
dalam 60 Tahun Jimly Asshiddiqie, ed. Nur Hidayat Sardini dan Gunawan
Suswantoro (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016), hlm.
349
Firmansyah Arifin, et.al.,eds., Hukum dan Kuasa Konstitusi (Jakarta:
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, 2004), hlm. 77.
350
Chalid, “Urgensi dan Upaya Implementasi Mekanisme Constitutional
Question,” hlm. 357.
Dalam RUU ini, dimasukkan salah satu legal standing
pada kewenangan Pengujian Undang-undang yang dapat
dimohonkan oleh Hakim peradilan umum di bawah
Mahkamah Agung untuk pertanyaan konstitusionalitas
terhadap peraturan perundang-undangan yang sedang di uji
di Mahkamah Agung. Penambahan perluasan kewenangan
ini sangat penting dan signifikan dalam upaya harmonisasi
antar peraturan perundang-undangan yang sedang di uji di
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Dengan
adanya penambahan ini, maka berdampak kepada:
a. Penambahan jumlah permohonan di MK
b. penambahan anggaran perkara
c. penambahan sumber daya manusia

Tugas untuk menegakkan konstitusi dan menjaganya


dari segala bentuk pelanggaran, tentunya tidak hanya
menjadi tanggung jawab hakim-hakim konstitusi semata,
melainkan juga menjadi tugas dan tanggung jawab dari
hakim-hakim di peradilan umum. Undang-Undang Dasar
sebagai konstitusi tentunya harus dijalankan dan tidak
boleh diabaikan oleh siapa pun juga, termasuk oleh
penyelenggara negara dalam hal ini adalah peradilan umum.
Alan R. Brewer & Carrias memandang bahwa sudah menjadi
tugas yang melekat dari setiap pengadilan untuk menjamin
tindakan hukum legislatif dan eksekutif sesuai dengan
hukum tertinggi, yakni konstitusi. Mereka menyatakan
bahwa, “…the same inherent duty of courts to ensure that
each legal action conforms to a superior law.”351 Kehadiran
constitutional question menjadi penegasan bahwa hakim
peradilan umum tidak semata-mata menerapkan undang-
undang, tetapi mereka juga mengemban tugas dan
351
Ni’matul Huda, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi (Yogyakarta: FH UII Press, 2011), hlm. 27.
kewajiban untuk mempertahankan nilai-nilai konstitusi. 352
Diadopsinya mekanisme constitutional question dalam sistem
peradilan konstitusi (constitutional adjudication) adalah
sebagai bagian dari pemberian perlindungan maksimum
terhadap hak-hak konstitusional warga negara. Peradilan
umum sebagai lembaga kehakiman tentunya memiliki tugas
untuk menjamin tegaknya keadilan melalui penerapan
undang-undang. Dengan kehadiran constitutional question,
maka keadilan tersebut dapat ditegakkan dengan
sepenuhnya.

2. Penambahan Legal Standing pada Acara Pembubaran


Partai Politik
Sejak MK berdiri dan diberi kewenangan untuk
membubarkan partai politik, belum pernah ada partai politik
yang dibubarkan oleh MK. Hal ini merefleksikan dua sebab,
yaitu alasannya terbatas pada hal yang terkait dengan
melawan ideologi, konstitusi dan NKRI serta pemohonnya
hanya terbatas pada pemerintah. Berkenaan dengan alasan
pembubaran, kenyataannya di Indonesia sekarang ini
secara formal, tidak ada lagi partai politik yang berani
melawan ideologi Pancasila, UUD NRI 1945, dan NKRI. Fakta
di lapangan justru menunjukkan bahwa sebenarnya bentuk-
bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh partai politik lebih
kepada pelanggaran yang sifatnya tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan, padahal tindakan tersebut
jelas telah melanggar peraturan perundang-undangan dan
berdampak sistemik terhadap penyelenggaraan negara.
Sebagai contoh adalah partai politik yang terbukti

352
Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di
Sepuluh Negara, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, 2006), hlm
melakukan pelanggaran pemilu yang sifatnya terstruktur,
sistematis dan masif.353
Dalam RUU ini, dimasukan salah satu legal standing
pada kewenangan pembubaran partai politik yang diberikan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai representasi
rakyat dan Badan Hukum Publik serta Bawaslu.
Penambahan ini secara umum akan berdampak kepada :
a. Sistem yang partisipatif
b. Penambahan jumlah permohonan di MK
c. Penambahan anggaran perkara

3. Rekrutmen Calon Hakim

Dalam RUU ini, terdapat pengaturan mengenai standar


perekrutan Hakim Konstitusi dari 3 lembaga pengusul. Dengan
adanya suatu pola rekrutmen yang sama di ketiga lembaga
pengusul maka berdampak pada:
a. sistem yang transparan, akuntabel, partisipatif, dan
obyektif;
b. kemampuan dan kualitas hakim; dan
c. lembaga pengusul yang diberi tanggung jawab oleh
konstitusi menunjukkan adanya komitmen untuk
meningkatkan peran MK. Untuk itu perlu dipersiapkan
Panitia Seleksi di setiap lembaga pengusul dan
mekanisme rekrutmen untuk membantu lembaga
pengusul dalam mengusulkan calon hakim konstitusi.

4. Terkait dengan ketiadaan periodisasi


Dalam RUU ini dihapuskan mengenai periodisasi jabatan
hakim dan diganti dengan masa jabatan 9 tahun dan tidak

353
Sri Hastuti, et al., “Urgensi Perluasan Permohonan Pembubaran Partai
Politik di Indonesia”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum Volume 23 Issue 4, Oktober
2016, hlm.554-555.
dapat dipilih kembali. Dengan menghapus periodisasi jabatan
hakim akan berdampak pada:
a. Independensi hakim yang pada akhirnya meningkatkan
kinerja hakim.
b. Berdampak pada pengaturan masa jabatan ketua dan
wakil ketua MK serta usia pensiun hakim MK.
c. Berdampak pada efisiensi proses yang pada akhirnya
berdampak pada efisiensi anggaran.

5. Usia pensiun panitera


Dengan adanya perpanjangan masa usia pensiun
panitera MK dari 56 tahun menjadi 62 tahun maka akan
berdampak pada:
a. penambahan anggaran berupa gaji; dan
b. tunjangan serta fasilitas lainnya.

6. Penguatan Keberadaan Dewan Etik dan Majelis


Kehormatan Mahkamah Konstitusi

Dengan dibentuknya dewan etik untuk mengawasi


pelaksanaan kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi,
sebagai lembaga yang baru maka akan dibentuk sistem dan
mekanisme baru dalam pengawasan tersebut. Penambahan
tersebut berakibat pada penambahan anggaran
penyelenggaraan dewan etik dan Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi.

7. Batasan waktu penanganan perkara pengujian Undang-


Undang

Pengaturan terhadap waktu penanganan perkara


pengujian Undang-Undang bertujuan untuk mencegah putusan
MK yang berlarut larut, sehingga menimbulkan ketidakpastian
hukum, apalagi terkait dengan hak-hak masyarakat. Sehingga
apabila suatu putusan pengujian melebihi batas waktu maka
MK harus memberitahukan kepada pemohon atau pihak yang
berperkara alasan terjadinya penundaan putusan atau lamanya
putusan tersebut di keluarkan. Akuntabilitas proses pengujian
oleh MK memberikan akuntabilitas terhadap hasil atau
putusan MK itu sendiri sehingga mencegah terjadinya keraguan
atau menurunkan penghormatan terhadap putusan MK.
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

Bab ini memuat hasil kajian beserta komparasi terhadap


peraturan perundang-undangan terkait melalui proses
penyerasian dan penyelarasan baik secara horizontal maupun
vertikal dengan rancangan undang-undang mengenai Mahkamah
Konstitusi. Penyerasian dan penyelarasan dilakukan dengan
intensi untuk memperoleh pengetahuan mengenai status quo
kondisi hukum melalui telaah regulasi yang mengatur atau
bersinggungan dengan hal Mahkamah Konstitusi. Penyerasian dan
penyelarasan peraturan perundang-undangan memiliki arti
penting agar peraturan perundang-undangan tersebut saling
terkait dan tergantung dan membentuk suatu kebulatan yang
utuh. Di samping itu, penyerasian dan penyelarasan peraturan
perundang-undangan ditujukan untuk meniadakan kemungkinan
terjadinya tumpang tindih dan benturan antar pengaturan
substansi, kewenangan kelembagaan, dan konflik kepentingan di
antara para stakeholders yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan tersebut. Beberapa peraturan perundang-undangan
yang telah melalui tahap penyerasian dan penyelarasan terkait
dengan rancangan undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi
sebagai berikut:

A. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 telah menegaskan bahwa negara Indonesia
merupakan negara hukum. Norma ini bermakna dalam Negara
Republik Indonesia, hukum merupakan urat nadi seluruh aspek
kehidupan. Oleh karena itu, tata kehidupan masyarakat,
berbangsa, dan bernegara harus berpedoman pada norma hukum.
Hukum harus ditempatkan sebagai acuan tertinggi dalam
keseluruhan proses penyelenggaraan negara.354 Penegakan prinsip
negara hukum dilakukan guna mewujudkan salah satu tujuan
bernegara yang termuat dalam alinea ke-4 UUD NRI Tahun 1945
yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia.
Salah satu prinsip negara hukum adalah terwujudnya
independensi kekuasaan kehakiman sebagaimana diamanatkan
oleh Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi:
“Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.”
Dalam makna pasal ini, tidak teralienasikan lembaga Mahkamah
Konstitusi sebagai bagian dari cabang kekuasaan kehakiman.
Sejarah berdirinya lembaga MK diawali dengan diadopsinya ide MK
dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana
dirumuskan dalam ketentuan:
1. Pasal 24 ayat (2):
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.***);
2. Pasal 24C:
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
354
Bachtiar, Problematika Implementasi Putusan…, hlm. 8.
Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.*** )
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas
pendapat Dewan Perwaklian Rakyat mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
menurut Undang-Undang Dasar.*** )
(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota
hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang
diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah
Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan
tiga orang oleh Presiden. ***)
(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari
dan oleh hakim konstitusi.***
(5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang
menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak
merangkap sebagai pejabat negara.*** )
(6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi,
hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah
Konstitusi diatur dengan undang-undang.***);
3. Pasal 7B:
Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat
diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu
mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus Dewan Perwakilan
Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.***).
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu kekuasaan
kehakiman yang mempunyai peranan penting guna menegakkan
keadilan dan prinsip negara hukum sesuai dengan kewenangan
dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam UUD NRI Tahun
1945. Berdasarkan Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945, MK
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu MK wajib
memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden menurut Undang-Undang Dasar.355
UUD NRI 1945 sebagai instrumen hukum di Indonesia dapat
dikatakan sebagai “Undang-Undang Dasar yang berderajat tinggi.”
Hal ini terlihat dari apakah kedudukan atau status UUD NRI 1945
sebagai hukum tertinggi atau bukan. Dalam teori dan praktik
ketatanegaraan, ada negara yang menempatkan posisi konstitusi
atau Undang-Undang Dasar bukan pada kedudukan hukum
tertinggi. Konstitusi yang ditempatkan pada posisi “kedudukan
hukum tertinggi” dikalsifikasikan sebagai “konstitusi berderajat
tinggi,” sedangkan yang bukan, diklasifikasikan sebagai
“konstitusi berderajat rendah.”356 Berkaca kepada diakuinya
mekanisme judicial review dan menempatkan Undang-Undang
Dasar sebagai urutan pertama dalam hierarki peraturan
perundang-undangan, sudah jelaslah bahwa Indonesia menganut
“konstitusi berderajat tinggi.” Konsekuensinya, konstitusi harus
benar-benar dijalankan dalam setiap tataran hidup bernegara.

355
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Ps. 24C.
356
Arifin, Hukum dan Kuasa Konstitusi, hlm. 174.
Gambaran mengenai supremasi konstitusi digambarkan secara
ringkas oleh Abbe de Sieyes, jurist asal Perancis yang mengatakan
bahwa: “A constitution is a body of obligatory laws, or it is
nothing.”357
Menurut Bagir Manan, Indonesia sebagai negara
berdasarkan konstitusi mengandung dua nilai, yaitu: 358
1. Nilai pengaturan mengenai batas-batas peran negara atau
pemerintah dalam mencampuri kehidupan dan pergaulan
masyarakat; dan
2. Melindungi kehendak rakyat dari pelanggaran terhadap hak
asasi manusia dari kekuasaan pembentuk dan pelaksana
undang-undang.
Selain itu, perkembangan sistem ketatanegaraan Republik
Indonesia menuju supremasi konstitusi sebagai hukum dasar
tertinggi negara, mengakomodir dua substansi keadilan konstitusi
(constitutional justice) yaitu:359
1. Mewujudkan negara hukum yang tujuannya untuk
melindungi kehendak rakyat dari pelanggaran undang-
undang; dan
2. Melindungi kehendak rakyat dari pelanggaran terhadap hak
asasi manusia dari kekuasaan pembentuk dan pelaksana
undang-undang.
Indonesia sebagai negara hukum yang menganut supremasi
konstitusi yang tidak terlepas dari tiga hal, yaitu konstitusi,
konstitusionalitas, dan konstitusionalisme. Konstitusi merupakan
hukum tertinggi, konstitusionalitas merupakan perbuatan dan
tindakan yang sesuai dengan konstitusi, dan konstitusionalisme
merupakan paham berkonstitusi warga negara. Salah satu unsur
dari Negara Hukum adalah pemenuhan terhadap hak-hak dasar

357
Chalid, “Urgensi dan Upaya Impelementasi…,” hlm. 365.
358
Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi, hlm. 333-334.
359
Ibid., hlm. 384.
warga negara dan paham konstitusionalisme. 360 Ruang lingkup
paham konstitusi (konstitusionalisme) itu sendiri terdiri dari:
1. Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada
hukum;
2. Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;
3. Peradilan yang bebas dan mandiri; dan
4. Pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik)
sebagai sendiri utama dari asas kedaulatan rakyat.361
Bila ditelusuri lebih jauh, pembentukan MK merupakan
konsekuensi dari negara hukum yang demokratis dan negara
demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukkan
bahwa suatu keputusan yang dicapai dengan demokrasi tidak
selalu sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar yang
berlaku sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu diperlukan
adanya peradilan konstitusi untuk menjamin supremasi
konstitusi, termasuk prinsip-prinsip yang ada di dalam konstitusi.
Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan MK merupakan
implementasi dari gagasan negara hukum yang salah satu cirinya
adalah menempatkan konstitusi sebagai hukum tertinggi.
Kewenangan yang dimiliki MK merupakan sarana untuk
menjadikan konstitusi sebagai dokumen hidup (a living document)
yang menentukan bentuk dan arah kekuasaan negara sesuai
dengan prinsip dasar dalam konstitusi berdasarkan demokrasi.
Dengan demikian, MK memberi kontribusi bagi terciptanya
kehidupan bernegara berdasarkan hukum dan demokrasi.362
Berdasarkan wewenang MK sebagaimana diatur dalam UUD
1945, MK mengemban fungsi sebagai pengawal konstitusi (the

360
Subiyanto, “Prospek Mahkamah Konstitusi…,”.
361
Dahlan Thaib, Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: PT Rajawali Pers,
2008), hlm. 2.
362
I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional: Upaya Hukum
Terhadap Pelangggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara (Studi
Kewenangan Mahkamah Konstitusi Indonesia dalam Perspektif Perbandingan),
Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 2011, hlm. 157.
guardian of the constitution). Hal tersebut membawa konsekuensi
MK sebagai penafsir konstitusi (the sole intepreter of the
constitution). Konstitusi sebagai hukum tertinggi mengatur
penyelenggaraan negara berdasarkan prinsip demokrasi dan salah
satu fungsi konstitusi adalah melindungi Hak Asasi Manusia. Oleh
karena itu, MK juga berfungsi sebagai pengawal demokrasi (the
guardian of the democracy), pelindung hak konstitusional warga
negara (the protector of the citizen’s constitutional rights) dan
pelindung HAM (the protector of human rights).
Fungsi MK sebagai pelindung HAM merupakan konsekuensi
dari keberadaan HAM sebagai materi muatan konstitusi
sebagaimana diatur dalam Pasal 28, Pasal 28A sampai dengan
Pasal 28J, serta hak-hak warga negara, yaitu dalam Pasal 27,
Pasal 30, dan Pasal 31 UUD NRI 1945. Adanya jaminan hak asasi
dalam konstitusi menjadikan negara memiliki kewajiban hukum
yang konstitusional untuk melindungi, menghormati, dan
memajukan hak-hak tersebut. Wewenang Mahkamah Konstitusi
menguji undang-undang dapat dilihat sebagai upaya melindungi
HAM yang dijamin UUD 1945 agar tidak dilanggar oleh ketentuan
undang-undang.363 Penegakan hukum dan keadilan melalui
pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi, selain
sebagai amanat UUD NRI 1945 dan UU MK sebagai instrumen
pelaksananya, pengujian ini juga merupakan perwujudan karakter
negara hukum Indonesia yang mengakui pengadilan sebagai
pengawal konstitusi, penegak negara hukum demokrasi, dan
akarnya negara hukum.364 Mahkamah Konstitusi juga berwenang
memutus perkara pembubaran partai politik yang dimaksudkan
agar pemerintah tidak dapat secara sewenang-wenang

363
Subiyanto, “Prospek Mahkamah Konstitusi…,”.
364
Iriyanto Baso Ence, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas
Mahkamah Konstitusi: Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi,
(Bandung: Alumni, 2008), hlm. 139.
membubarkan partai politik yang melanggar hak berserikat dan
mengeluarkan pendapat.365

B. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan


Kehakiman
Indonesia merupakan negara hukum. Hal tersebut
ditegaskan dalam konstitusi Indonesia, UUD NRI 1945 Pasal 1
ayat (3) yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara
hukum.” Dalam hal kekuasaan kehakiman, Pasal 24 UUD NRI
1945 menyebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan. Hal tersebut diatur
kembali dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009
menyatakan bahwa:

“Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang


merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.”

Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa:

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah


Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara dan sebuah Mahkamah Konstitusi.”

Berdasarkan amanat konstitusi tersebut, Mahkamah


Konstitusi merupakan salah satu lembaga yang menjalankan
cabang kekuasaan kehakiman yang merdeka dan terpisah dari
365
Gaffar, “Peran Putusan Mahkamah Konstitusi…,” hlm. 14.
cabang-cabang lain. Hal tersebut sesuai dengan konsep
pemisahan kekuasaan dengan sistem check and balances yang
dianut negara Indonesia. Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu
organ cabang yudikatif harus menjalankan tugasnya secara
independen dan terpisah baik secara struktural ataupun
fungsional dari cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif.

Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu penyelenggara


kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 sebagai
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang
merupakan lex specialis dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 telah menyebutkan
bahwa pengaturan tentang Mahkamah Konstitusi akan diatur
dalam beberapa pasal, yakni:

Pasal 29

(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat


pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik;
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;dan
e. kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.
(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau
perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
(3) Susunan, kekuasaan dan hukum acara Mahkamah
Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan undang-undang.
Pasal 35
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan
Hakim Konstitusi diatur dengan undang-undang.
Pasal 36
Hakim dan hakim konstitusi dapat diberhentikan apabila
telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam
undang-undang.
Pasal 37
Ketentuan mengenai tata cara pemberhentian hakim dan
hakim konstitusi diatur dalam undang-undang.

Keempat pengaturan tersebut secara umum sejatinya telah


diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Namun, Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 mengatur secara lebih lengkap mengenai Mahkamah
Konstitusi sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 kecuali perihal pengangkatan Hakim Konstitusi.
Pengaturan mengenai tata cara pengangkatan Hakim Konstitusi
seharusnya diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
Nomor 24 Tahun 2003. Tetapi, pengaturan tersebut didelegasikan
lebih lanjut kepada lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan
mengajukan Hakim Konstitusi. Lembaga-lembaga yang berwenang
mengajukan Hakim Konstitusi adalah DPR, Presiden, dan
Mahkamah Agung. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 20
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003:

Pasal 20
(1) Ketentuan mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan
pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing
lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (1).

(2) Pemilihan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud Pada


ayat (1) dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel.

Pasal 20 UU No. 24 Tahun 2003 mengamanatkan tata cara


seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi diatur oleh
masing-masing lembaga yang berwenang mengajukan Hakim
Konstitusi. Dengan tidak adanya pedoman dan pengaturan tata
cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi, maka
tiap lembaga memiliki mekanisme masing-masing yang berbeda
satu sama lain. Prinsip objektif dan akuntabel sebagai panduan
pencalonan dan pemilihan Hakim Konstitusi sebagaimana diatur
dalam Pasal 20 dapat dimaknai berbeda sesuai dengan kebutuhan
masing-masing lembaga tersebut.

Dalam Rancangan Undang-Undang ini, perlu diatur lebih


lanjut mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan
hakim konstitusi agar kekosongan hukum dapat diselesaikan.
Prinsip objektif dan akuntabel sebagaimana tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman harus menjadi landasan dalam merumuskan tata cara
seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi.

C. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan


Umum
Sesuai dengan pengaturan mengenai pemilihan umum
(Pemilu) dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Undang-Undang tentang Pemilihan Umum yang
terbaru mengatur ruang lingkup Pemilu sebagai:
“Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut pemilu adalah
sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, anggota Dewan perwakilan Daerah,
Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.”366
Hal tersebut terkait dengan kewenangan Mahkamah
Konstitusi untuk memutus mengenai perselisihan hasil Pemilu
karena Undang-Undang tentang Pemilu turut mengatur parameter
atas pemilihan apa saja yang termasuk dalam Pemilu yang secara
langsung berarti hasil pemilihan apa saja yang sebenarnya dapat
diadili oleh Mahkamah. Sayangnya Undang-Undang tentang
Mahkamah Konstitusi yang saat ini masih berlaku belum secara
lengkap memasukkan semua jenis pemilihan yang turut
didefinisikan sebagai Pemilu367 oleh konstitusi maupun Undang-
Undang tentang Pemilu. Sehingga Rancangan Undang-Undang
tentang Mahkamah Konstitusi harus menyertakan pemilihan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai salah satu
pemilihan yang termasuk dalam ranah kewenangan mengadili
Mahkamah Konstitusi. Penambahan pengaturan mengenai
pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diterapkan
agar tercapai sinkronisasi antara pengaturan-pengaturan yang ada
dengan Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi
yang baru. Sinkronisasi tersebut penting demi tercapainya
harmonisasi hukum.

366
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemilu, UU Nomor 7 Tahun 2017,
LN Nomor 182, TLN Nomor 6109, Ps 1 ayat (1)
367
Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, Ps. 74 ayat
(2)
D. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota Menjadi Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 (Undang-Undang
tentang Pilkada) mengatur dalam Pasal 157 bahwa Mahkamah
Konstitusi mempunyai suatu kewenangan provisional yaitu untuk
memeriksa dan mengadili perselisihan penetapan perolehan suara
tahap akhir hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sampai
terbentuknya suatu badan peradilan khusus. Pengaturan tersebut
dapat dipandang sebagai suatu ekstensi kewenangan Mahkamah
Konstitusi yang seharusnya menurut Undang-Undang Dasar
hanya dapat mengadili dalam hal perselisihan hasil Pemilu. Hal
tersebut dapat dipandang sebagai sebuah diskrepansi dalam
pengaturan secara khusus karena Mahkamah Konstitusi telah
mengeluarkan pernyataan yang mengeluarkan Pilkada dari rezim
Pemilu atas dasar Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang meletakkan ketentuan mengenai
Pemilu368 dan Pilkada369 dalam dua pasal yang berbeda.370
Sudah sepatutnya bahwa Rancangan Undang-Undang
tentang Mahkamah Konstitusi tidak melanggengkan diskrepansi
tersebut namun meluruskan perbedaan yang ada. Untuk
melakukan hal tersebut tanpa menyalahi pengaturan dalam
konstitusi, maka kewenangan provisional Mahkamah Konstitusi
yang diatur dalam Undang-Undang tentang Pilkada tidak
sepatutnya dijadikan norma positif dalam Rancangan Undang-
Undang tentang Mahkamah Konstitusi. Dengan paradigma
368
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Ps. 22E
369
Ibid., Ps. 18 ayat (4)
370
Mahkamah Konstitusi, “MK Sebut Pilkada Bukan Rezim Pemilu,”
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?
page=web.Berita&id=10565#.WoGFQG9ubIW, Diakses pada 12 Februari, 2018
tersebut dibutuhkan juga konsistensi yaitu disegerakannya
penetapan badan peradilan khusus yang akan mengadili
perselisihan hasil Pilkada, dan suatu solusi alternatif oleh karena
Pilkada yang di luar rezim Pemilu seharusnya tidak dapat
dijalankan dan diawasi oleh Komisi Pemilihan Umum maupun
Badan Pengawas Pemilu. Undang-undang tentang Pilkada
mendefinisikan parameter lebih lanjut akan kewenangan
Mahkamah Konstitusi sehingga menjadi poin pembahasan penting
dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang
Mahkamah Konstitusi, namun jangan sampai parameter tersebut
saling tumpang tindih. Penyelarasan dibutuhkan agar pengaturan
hukum yang ada mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi
mencapai harmonisasi.

E. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan


Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung

Pasal 1 UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU


No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyatakan bahwa:
“Mahkamah Agung (MA) adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.”
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi merupakan
pelaksana cabang kekuasaan kehakiman. Hal ini sesuai dengan
konstitusi Indonesia Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945. Kedua
lembaga tersebut memiliki perbedaan kewenangan. Mahkamah
Konstitusi hanya berwenang menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar. Sedangkan, Mahkamah Agung memiliki
kewenangan untuk menguji peraturan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang. Pasal 31 Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 menyebutkan bahwa:
(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji
secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-
undangan di bawah Undang-undang;
(2) Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah
semua peraturan perundang-undangan dari tingkat
yang lebih rendah daripada Undang-undang atas
alasan bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi;
(3) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan
perundang-undangan tersebut dapat diambil
berhubungan dengan pemeriksaan dalam tingkat
kasasi.

Pengujian norma-norma hukum mensyaratkan dasar yuridis


pengujian yang jelas. Tanpa dasar pengujian, aturan hukum tidak
dapat dibatalkan. Namun, hanya aturan hukum yang lebih tinggi
atau aturan hukum tertentu yang secara khusus dapat dijadikan
dasar pengujian. Pasal 31 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
merupakan pasal yang mengatur hak uji materiil Mahkamah
Agung. Mahkamah Agung berhak menguji peraturan yang lebih
rendah daripada undang-undang mengenai sah atau tidaknya
suatu peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-
undang.
Sejatinya, wewenang menguji keabsahan aturan hukum di
Indonesia dipegang oleh 2 lembaga, yakni Mahkamah Agung (MA)
dan Mahkamah Konstitusi (MK). Sengketa norma mengenai
pembagian kewenangan tersebut sejatinya tidak dipermasalahkan
dalam praktik peradilan, baik pada Mahkamah Agung ataupun
Mahkamah Konstitusi. Namun, hal ini akan menimbulkan
permasalahan ketika norma hukum yang diberikan oleh putusan
pengadilan bertolak belakang dari garis vertikal hierarki aturan
hukum. Sri Sumantri menegaskan bahwa terdapat kaitan antara
UU dan peraturan di bawahnya. Berdasarkan ketentuan yang ada,
jika PP, Perpres, Perda bertentangan dengan UU maka akan diuji
oleh Mahkamah Agung. Problematika yang muncul adalah jika UU
yang digunakan untuk menguji sedang diuji di Mahkamah
Konstitusi dan ternyata diputuskan bahwa UU dimaksud
bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut terjadi karena
adanya dualisme kewenangan yang pengaturannya telah
diletakkan dalam UUD NRI 1945 kemudian diteruskan kepada
peraturan pelaksanaannya dalam hal ini adalah UU No. 14 Tahun
1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.
Melihat kondisi tersebut, sejatinya telah terdapat gagasan
untuk menempatkan pranata uji aturan hukum atau peraturan
perundang-undangan di bawah satu lembaga yang dikenal dengan
pengujian satu atap. Pengujian satu atap menyebabkan
Mahkamah Konstitusi dapat mendahulukan pengujian UU
terhadap UUD 1945 dan apabila UU tersebut dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945, maka menjadi tidak relevan
permohonan untuk menguji PP, karena UU yang dijadikan hukum
pembuatan PP tidak dapat lagi berlaku. Jimly Assiddiqie
mengungkapkan bahwa pembagian tugas di bidang pengujian
peraturan (judial review) atas peraturan perundang-undangan
antara MA dan MK sama sekali tidak ideal. Hal tersebut dapat
menimbulkan putusan yang saling bertentangan antara MK dan
MA. Ke depan, memang harus dipikirkan kemungkinan
mengintegrasikan seluruh sistem pengujian peraturan di bawah
kewenangan MK. 371
Namun, masukan mengenai pengujian
peraturan perundang-undangan dalam satu lembaga adalah hal
371
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta:
Mahkamah Konstitusi RI dan Pusat Studi HTN FH Universitas Indonesia, 2004,
hlm.189.
yang sulit. Alasannya adalah kewenangan MA telah ditentukan
dalam UU Mahkamah Agung sesuai dengan amanat konstitusi
Indonesia, UUD NRI 1945 Pasal 24A ayat (1). Begitu pun dengan
Mahkamah Konstitusi, yakni di Pasal 24C ayat (1). Meletakan
kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan di
bawah satu lembaga (satu atap) hanya dapat dilaksanakan dengan
mengamendemen Konstitusi Indonesia.
Untuk mengatasi masalah tersebut, langkah yang paling
tepat untuk dilakukan adalah melakukan harmonisasi sistem
hukum dalam ketatanegaraan Indonesia. Langkah ini dapat
dilakukan dengan menambah pihak Pemohon dalam perkara
pengujian undang-undang yang dilakukan terhadap Mahkamah
Konstitusi.
Dalam Rancangan Undang-Undang ini, perlu diatur lebih
lanjut mengenai pihak-pihak yang dapat menjadi pemohon perihal
pengujian undang-undang terhadap konstitusi. Hakim Agung
dapat menjadi pihak Pemohon perihal pengujian undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasa NRI 1945 ke Mahkamah
Konstitusi agar tugas Mahkamah Agung yang telah ditetapkan
UUD NRI 1945 dan UU Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan UU Nomor 3 Tahun 2009 untuk menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang dapat dilaksanakan dengan baik. Jika
Hakim Agung dalam melaksanakan tugasnya untuk melakukan
pengujian peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-
undang (judicial review) terdapat keraguan mengenai
konstitusionalitas atau keabsahan mengenai undang-undang
yang menjadi batu uji, hakim di Mahkamah Agung dapat
mengajukan permohonan pengujian suatu undang-undang yang
diragukan tersebut kepada Mahkamah Konstitusi sebelum hakim
Mahkamah Agung menjatuhkan putusan terhadap sengketa yang
sedang dihadapinya. Ketentuan tersebut perlu diatur dalam
Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi agar
pelaksanaan kewenangan antara Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi dapat berjalan secara efektif.

F. Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2012 sebagaimana


yang telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 73
Tahun 2013 dan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2017
tentang Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah
Konstitusi
Pengaturan mengenai usia pensiun bagi Panitera, Panitera
Muda dan Panitera Pengganti MK tidak diatur dalam undang-
undang sebagaimana halnya Panitera, Panitera Muda dan
Panitera Pengganti di lingkungan Mahkamah Agung. Pengaturan
mengenai usia pensiun hanya diatur dalam pasal 9 ayat (1)
Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2012 tentang
Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK yang menentukan
batas usia pensiun adalah 56 tahun.
Pasal 9 ayat (1)
“Batas usia pensiun jabatan fungsional Kepaniteraan adalah
56 (lima puluh enam) tahun.”
Pengaturan usia pensiun Panitera Mahkamah Konstitusi
sudah seharusnya sama dengan batas usia pensiun Panitera
Mahkamah Agung. Panitera Mahkamah Agung berasal dari
hakim tinggi yang batas usia pensiunnya adalah 67 tahun
maka batas usia pensiun Panitera Mahkamah Agung adalah 67
tahun sesuai dengan batas usianya sebagai hakim tinggi. Namun
demikian berdasarkan Putusan MK Nomor 34/PUU-X/2012
tentang pengujian Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang MK, usia Panitera di MK setara dengan usia
Panitera di MA tidak beralasan karena di Mahkamah Konstitusi
untuk menjadi Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti
tidak perlu berkarier sebagai hakim oleh karena itu batas usia
bagi Panitera MK adalah 62 tahun sesuai dengan batas usia
hakim yang berasal dari non-karier. Hal ini tercantum dalam
Putusan MK Nomor 34/PUU-X/2012 bahwa ketentuan Pasal 7A
ayat (1) mengikat sepanjang disertai frasa "dengan usia pensiun
62 tahun bagi Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti.”
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. Landasan Filosofis
Prof. Soediman Kartohadiprodjo dalam bukunya Beberapa
Pikiran Sekitar Pantjasila menyatakan bahwa makna dari sila
kelima mengenai keadilan sosial adalah kebahagiaan.372 Sejalan
dengan itu, Prof. Satjipto Rahardjo dalam bukunya Negara Hukum
yang Membahagiakan Rakyatnya mendeklarasikan bahwa tujuan
bernegara hukum, tidak lain tidak bukan ialah untuk
membahagiakan rakyatnya.373 Harmonis dengan pemikiran dua
pionir filosofis tersebut, Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu
pemegang kekuasaan kehakiman membutuhkan suatu
rekonstruksi normatif dalam upaya determinasi pemenuhan rasa
keadilan yang kelak akan bermuara pada kebahagiaan warga
negara dalam hidup bernegara.
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi dilandasi upaya
mulia untuk memberikan proteksi terhadap hak-hak
konstitusional warga negara dan semangat penegakan konstitusi
sebagai staatsgrundgezets yang memunculkan konsekuensi logis
bahwa segala peraturan perundang-undangan yang berada di
bawah konstitusi tidak boleh kontradiktif dengan apa yang telah
diatur dalam konstitusi. Konstitusi merupakan bentuk
pelimpahan kedaulatan rakyat (the sovereignity of the people)
kepada negara. Melalui konstitusi rakyat membuat pernyataan

372
Sidharta, Membaca Ulang Pemaknaan Keadilan Sosial dalam Gagasan
Revolusi Hukum Soediman Kartihadiprodjo,
http://download.portalgaruda.org/article.php?
article=342509&val=7957&title=MEMBACA%20ULANG%20PEMAKNAAN
%20KEADILAN%20SOSIAL%20DALAM%20GAGASAN%20REVOLUSI
%20HUKUM%20%20SOEDIMAN%20KARTOHADIPRODJO diakses 12 Februari
2018
373
Yance Arizona, Negara Hukum Bernurani: Gagasan Satjipto Rahardjo
tentang Negara Hukum Indonesia, Epistema Institute, Kertas Kerja EPISTEMA
No. 04/2010
kerelaan untuk memberikan sebagian hak-haknya kepada negara.
Oleh karena itu, konstitusi harus dikawal dan dijaga sebab segala
bentuk penyimpangan baik oleh pemegang otoritas kekuasaan
maupun aturan hukum di bawah konstitusi terhadap konstitusi
merupakan wujud pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat.
Secara filosofis, pada hakikatnya Mahkamah Konstitusi
merupakan suatu lembaga negara yang memiliki kewenangan
untuk mengawal konstitusi (the guardian of constitution). Bahwa
sebagai lembaga pengawal konstitusi tersebut maka Mahkamah
Konstitusi merupakan suatu lembaga yang memiliki kedaulatan
mutlak untuk menafsirkan Konstitusi (the interpreter of
constitution).
Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut
UUD 1945), Mahkamah Konstitusi berwenang:
“mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum”.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara
yang oleh UUD 1945 diberi kewenangan untuk mengadili dan
memutus pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final terhadap persoalan-persoalan ketatanegaraan, adalah
konsekuensi logis dari sistem ketatanegaraan baru yang hendak
dibangun oleh UUD 1945 setelah melalui serangkaian perubahan.
Sistem ketatanegaraan baru dimaksud adalah sistem yang
gagasan dasarnya bertujuan mewujudkan Indonesia sebagai
negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) yaitu
negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional
democracy), sebagaimana tercermin dalam ketentuan Pasal 1 ayat
(2) dan ayat (3) UUD 1945, yang merupakan penjabaran dari
Pembukaan UUD 1945, khususnya alinea keempat.
Syarat pertama setiap negara yang menganut paham
rechstaat dan constitutional democracy adalah prinsip
konstitusionalisme (constitutionalism), yaitu prinsip yang
menempatkan undang-undang dasar atau konstitusi sebagai
hukum tertinggi, yang substansinya terkandung dalam Alinea
Keempat Pembukaan UUD 1945, sebagai perwujudan dari
pernyataan kemerdekaan bangsa, sebagaimana tercermin antara
lain dalam kalimat, “…. maka disusunlah Kemerdekaan
Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia”. Sehingga undang-undang dasar adalah
pernyataan mendasar tentang hal-hal yang oleh sekelompok orang
yang mengikatkan diri sebagai suatu bangsa dipandang sebagai
ketentuan-ketentuan dan nilai-nilai dasar di mana terhadap
ketentuan-ketentuan dan nilai-nilai dasar itulah yang mereka anut
bersama dan kepadanya pula mereka sepakat untuk terikat (the
fundamental statement of what a group of people gathered together
as citizens of a particular nation view as the basic rules and values
which they share and to which they agree to bind themselves).374
Oleh sebab itulah di negara-negara yang menganut paham
rechstaat dan constitutional democracy mengakui bahwa konstitusi
haruslah bekerja sebagai perwujudan hukum tertinggi yang
kepadanya segala hukum dan tindakan pemerintahan harus
menundukkan diri terhadap konstitusi. Konstitusi harus
mewujudkan aturan-aturan mendasar dari suatu masyarakat yang
demokratis daripada sekadar memasukkan ketentuan-ketentuan
hukum yang senantiasa berubah-ubah yang lebih tepat diatur oleh
undang-undang. Demikian pula, struktur dan tindakan
pemerintahan harus sungguh-sungguh tunduk pada norma-
374
Barry M. Hager, Rule of Law, A Lexicon for Policy Makers, 2000
norma konstitusi, serta konstitusi tidak boleh semata-mata
sebagai sekadar dokumen seremonial atau aspirasional belaka.
(constitutions should serve as the highest form of law to which all
other laws and governmental actions must conform. As such,
constitutions should embody the fundamental precepts of a
democratic society rather than serving to incorporate ever-changing
laws more appropriately dealt with by statute. Similarly,
govermental structures and actions should seriously conform with
constitutional norms, and constitutions should not mere ceremonial
or aspirational documents).375
Oleh karena itu harus terdapat mekanisme yang menjamin
bahwa ketentuan-ketentuan konstitusi dimaksud benar-benar
dilaksanakan dalam praktik kehidupan bernegara. Guna
menjamin tegak dan dilaksanakannya konstitusi itulah
keberadaan Mahkamah Konstitusi menjadi keniscayaan yaitu
sebagai lembaga yang berfungsi mengawal konstitusi atau
undang-undang dasar (the guardian of the constitution) yang
karena fungsinya itu dengan sendirinya Mahkamah Konstitusi
merupakan penafsir tunggal undang-undang dasar (the sole
judicial interpreter of the constitution). Pada kerangka pemikiran
itulah seluruh kewenangan yang diberikan oleh konstitusi kepada
Mahkamah Konstitusi, sebagaimana tertulis dalam Pasal 24C ayat
(1) UUD 1945, bersumber dan mendapatkan landasan
konstitusionalnya.
Dalam Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi yang terlampir dalam satu dokumen ini,
dalam membahas tuduhan pelanggaran terhadap prinsip judicial
restraint serta asas nemo judex idoneus in propria causa sua,
dielaborasikan bagaimana narasi imparsialitas sebagai prinsip etik
yang bersifat universal untuk menghindari konflik kepentingan
375
The Core Components of The Rule of Law,
http://www.mansfieldfdn.org/backup/programs/program_pdfs/components.pdf
, diakses 12 Februari 2018
(conflict of interest) sesungguhnya menitikberatkan pada proses
pemeriksaan perkara biasa, dalam hal mana faktor konflik
kepentingan individual merupakan obyek sengketa (objectum litis)
yang diperiksa dan diadili hakim. Dalam Rancangan Undang-
Undang Mahkamah Konstitusi ini penting dimaknai kembali
bagaimana persoalan imparsialitas dalam konteks Mahkamah
Konstitusi sebagai the last resort dan the final interpreter of the
constitution dalam menjalankan kewenangan konstitusionalnya
dan implikasi mandat konstitusi tersebut terhadap variasi
putusan yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi, termasuk
justifikasi dalam hal terdapat ultra petita atau putusan yang
ditenggarai mengadili perkara terkait dirinya sendiri.
Diskursus filosofis lainnya hadir dalam paradigma
memandang Mahkamah Konstitusi yang memiliki peran strategis
dalam sistem ketatanegaraan, yang tercermin pada kewenangan-
kewenangan yang dimilikinya, yakni gagasan untuk mengimbangi
dan menjaga agar Mahkamah Konstitusi tetap menjalankan
fungsinya secara bertanggung jawab, perlu ada mekanisme
penegakan kode etik bagi hakim konstitusi dan pengawasan tepat
guna yang terpadu terhadap Mahkamah Konstitusi secara
kelembagaan sebagai satu kesatuan yang tidak mereduksi
independence of judiciary.376
Dalam tataran implementasi, salah satu kewenangan
Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa pembubaran
partai politik kemudian turut dikaji secara filosofis terutama
mengenai kedudukan pemohon saat ini dan bagaimana sejatinya
masyarakat dan Badan Pengawas Pemilu dalam kerangka negara
demokratis perlu diberikan legal standing sebagai pemohon
pembubaran kendaraan esensial tersebut. Dari, oleh, dan untuk
rakyat menjadi antitesis mendasar terhadap problematika
376
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetak Biru Membangun
Mahkamah Konstitusi Sebagai Institusi Peradilan Konstitusi Yang Modern Dan
Terpercaya, Jakarta, 2005. hlm. 121
yudisialisasi politik untuk mengembalikan kewenangan
konstitusional yang hakiki tersebut menjadi tepat sasaran sebagai
upaya memenuhi rasa keadilan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
UUD 1945 memberikan otoritas kepada MK untuk menjadi
pengawal konstitusi yang membuahkan empat kewenangan
konstitusional (constitutionally entrusted powers) dan satu
kewajiban konstitusional (constitutional obligation). Dalam
kewenangannya melakukan pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi harus
senantiasa mempertimbangkan secara cermat dua hal.
1. Undang-undang adalah hasil kerja dari dua lembaga negara
yang dipilih secara demokratis, sehingga setiap undang-
undang dilihat dari sudut pandang procedural democracy
adalah cerminan dari kehendak mayoritas rakyat.
2. Pun demikian, kehendak mayoritas rakyat tidak boleh
mengabaikan substantial democracy sebagaimana tertuang
dalam ketentuan-ketentuan konstitusi, yang dalam setiap
negara yang menganut paham rechstaat dan constitutional
democracy merupakan hukum tertinggi (the supreme law)
Secara artikulatif, dalam menyikapi permasalahan mengenai
tendensi pergeseran fungsi dari negatif legislator ke positif
legislator, Mahkamah Konstitusi mengutip Justice Robert dalam
perkara U.S. v. Butler, yang berpendapat bahwa, “Kekuasaan yang
dimiliki oleh Mahkamah ... adalah kekuasaan untuk mengadili.
Mahkamah ini tidak memiliki kekuasaan untuk menyetujui atau
mengecam kebijakan legislatif apa pun. Tugas berat dan sulit
Mahkamah adalah memastikan dan menyatakan apakah undang-
undang ini sesuai atau bertentangan dengan Konstitusi; dan,
setelah itu, maka berakhirlah tugasnya” (All the power it has ... is
the power of judgment. This court neither approves nor condemns
any legislative policy. Its delicate and difficult office is to ascertain
and declare whether the legislation is in accordance with, or in
contravention of, the provisions of the Constitution; and, having done
that, its duty ends)377 Namun secara progresif, pemaknaan bagian
dari undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi untuk
menentukan konstitusionalitas produk hukum tersebut ternyata
muncul sebagai urgensi yang tidak boleh terkungkung dalam
kebuntuan legalitas formal.
Oleh karena itu terdapat akumulasi urgensi untuk
merekonstruksi kembali perihal kewenangan pengujian undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar dan fungsi harmonisasi
sistem hukum terhadap staatsgrundgezets dan
staatsfundamentalnorm, kerangka berdemokrasi dan
mengembalikan orientasi pada rakyat melalui pemberian
kedudukan hukum baru sebagai pemohon pada sengketa
pembubaran partai politik, penyempurnaan pengaturan mengenai
pemilihan umum yang menjadi pengejawantahan konsep
yudisialisasi politik yang adil, pembahasan mengenai masa
jabatan dan pemangkasan konsep periodisasi untuk menjamin
independensi individual hakim konstitusi, serta perumusan
Dewan Etik sebagai entitas yang berwenang melakukan penegakan
kode etik. Di luar dari pada itu, teknis administrasi Mahkamah
Konstitusi secara tata kelembagaan juga patut untuk
direkonsiderasi secara konstruktif.

B. Landasan Sosiologis
Secara empiris, sebenarnya kewenangan Mahkamah
Konstitusi saat ini belum mampu menampung semua perkara-
perkara konstitusional yang berpotensi untuk merugikan hak-hak
konstitusional warga negara. Dari sisi praktik pengujian undang-
undang yang pernah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, ada
alasan yang cukup kuat untuk menerapkan constitutional
377
Craig R. Ducat, Constitutional Interpretation, 2000
question. Realitanya sudah cukup banyak keluh kesah atau surat
pengaduan dari warga masyarakat (baik perorangan, atau kolektif)
yang masuk ke Mahkamah Konstitusi. Padahal berbagai persoalan
tersebut tidak atau belum termasuk pada ranah kewenangan
Mahkamah Konstitusi yang ada saat ini. Sejak awal berdirinya,
Mahkamah Konstitusi RI ternyata cukup banyak menerima
permasalahan yang dapat diselesaikan dengan menggunakan
mekanisme constitutional question. Namun, seperti yang telah
diungkapkan di atas, kewenangan Mahkamah Konstitusi RI
ditentukan secara limitatif dalam UUD NRI 1945 tanpa
menyebutkan kewenangan constitutional question, sehingga
banyak dari permohonan tersebut dinyatakan “tidak dapat
diterima” (niet ontvankelijk verklaard) dengan alasan Mahkamah
Konstitusi RI tidak berwenang untuk mengadilinya.
Sebagai contoh perkara pengujian Undang-Undang dengan
alasan kerugian konstitusional yang diderita oleh pemohon karena
sudah di adili dan bahkan dihukum berdasarkan ketentuan yang
diragukan konstitusionalitasnya. Perkara pengujian KUHP yaitu
Perkara Nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang diajukan oleh Eggi
Sudjana dan Pandopatan Lubis, Perkara Nomor 6/PUU- V/2007
yang diajukan oleh Panji Utomo, Perkara Nomor 7/PUU-VII/2009
yang diajukan oleh Rizal Ramly. Perkara Nomor 14/PUU-VI/2008
yang diajukan oleh Risang Bima Wijaya dan Bersihar Lubis.
Semua pemohon dalam perkara-perkara tersebut telah diadili dan
divonis bahkan telah menjalani hukuman sebelum mengajukan
permohonan ke Mahkamah Konstitusi.378 Berikut penjelasan
beberapa kasus konkret yang mendukung ditambahkannya
kewenangan constitutional question di Indonesia:
1. Kasus Egi Sudjana
Kasus hukum yang pernah muncul dan terkait
dengan Constitutional Question, ketika Egi Sudjana diajukan
378
Hamidi, “Constitutional Question…,” hlm. 42.
ke pengadilan dengan dakwaan mencemarkan nama baik
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Eggi Sudjana, saat itu
menjadi tersangka pasal penghinaan terhadap presiden.
Eggi menyampaikan dugaan adanya pengusaha yang
memberikan mobil Jaguar kepada istana, dan mobil tersebut
dipakai oleh anak presiden.379 Pasal yang didakwakan
kepada Eggi Sudjana adalah ketentuan Pasal 134 yang
berbunyi sebagai berikut: “Penghinaan dengan sengaja
terhadap Presiden atau Wakil Presiden dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya enam tahun atau denda
sebanyak-banyaknya Rp.4.500.” Selama ini, Pasal 134, 136,
dan 137 KUHP selalu dipakai polisi tanpa peduli apakah
presiden merasa terhina atau tidak. Ketiga pasal itu
memang bukan delik aduan. Sehingga polisi bisa dengan
leluasa menangkapi orang dengan tuduhan menghina
presiden. Padahal seharusnya orang yang merasa dihina
harus membuat pengaduan.380 Akibatnya, terdapat
perbedaan pendapat dengan pasal yang diterapkan apakah
pasal-pasal itu konstitusional, sehingga akhirnya timbul
kontroversi. Seandainya Mahkamah Konstitusi memiliki
kewenangan untuk memberi jawaban, maka hakim yang
menangani perkara tersebut tentunya dapat bertanya lebih
dahulu kepada Mahkamah Konstitusi tentang
konstitusionalitas pasal tersebut sebelum menjatuhkan
putusan. Tetapi, karena saat ini Mahkamah Konstitusi tidak
memiliki kewenangan constitutional question, maka akhirnya
hakim tetap memutus tanpa mempersoalkan
konstitusionalitas pasal-pasal KUHP yang dipersoalkan,
379
Anonim, “Menyoal Pasal Penghinaan Terhadap Presiden,”
https://beritagar.id/artikel/editorial/menyoal-pasal-penghinaan-terhadap-
presiden, diakses pada 11 Februri 2018.
380
Anonim, “Pasal Penghinaan Presiden dalam KUHP Dicabut,”
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15854/pasal-penghinaan-
presiden-dalam-kuhp-dicabut diakses pada 11 Februari 2018.
sebab secara hukum isi KUHP itu memang masih resmi
berlaku.
Eggi Sudjana akhirnya mengajukan constitutional
review terhadap Pasal 134, 134, 136 bis, dan 137 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dengan nomor perkara PUU
No. 013-022/PUU-IV/2006. Akhirnya, Sidang Mahkamah
Konstitusi pada 6 Desember 2006, memutuskan pasal 134,
136 bis, dan 137 KUHP tentang penghinaan terhadap
Presiden tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Pertimbangan majelis hakim yang dipimpin Jimly
Asshiddiqie, antara lain menyatakan: pasal 134, pasal 136
bis, dan pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian
hukum karena amat rentan pada tafsir, apakah suatu
protes, pernyataan pendapat, atau pikiran merupakan kritik
atau penghinaan terhadap presiden. Pasal tersebut secara
konstitusional bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) UUD
NRI 1945 dan pada suatu saat dapat menghambat upaya
komunikasi dan perolehan informasi. 381 “Apakah suatu
protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik
atau penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil
Presiden. Hal dimaksud secara konstitusional bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 dan pada suatu
saat dapat menghambat upaya komunikasi dan perolehan
informasi, yang dijamin Pasal 28F UUD NRI 1945," demikian
pertimbangan dalam putusan Mahkamah Konstitusi itu.382
Pada bagian lain pertimbangannya, Mahkamah
berpendapat keberadaan pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP
bisa menghambat atau menjadi ganjalan dalam proses
ketatanegaraan. Misalnya ketika muncul dugaan
381
Anonim, “Menyoal Pasal Penghinaan…”.
382
Oscar Ferri, “MK: Usut Hinaan Habib Rizieq FPI, SBY Harus Ngadu ke
Polisi,” http://news.liputan6.com/read/649788/mk-usut-hinaan-habib-rizieq-
fpi-sby-harus-ngadu-ke-polisi diakses pada 11 Februari 2018.
pelanggaran yang dilakukan Presiden. Upaya-upaya
mengklarifikasi tuduhan pelanggaran tersebut bisa saja
dipandang sebagai penghinaan kepada Presiden/Wakil
Presiden. Oleh karena itu, sebagai negara hukum-
demokratis, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia,
tidak relevan lagi ketiga pasal tersebut menegasi prinsip
persamaan di depan hukum.383 Kasus Eggi Sudjana menjadi
contoh menarik karena Mahkamah Konstitusi membatalkan
keberlakuan Pasal 134 KUHP ketika proses sidang
terhadapnya berlangsung di PN Jakarta Pusat. Dalam
pandangan terdakwa, seharusnya Pasal 134 KUHP tak lagi
bisa digunakan karena sudah dinyatakan bertentangan
dengan konstitusi. Argumentasi terdakwa tak diterima
hakim. PN Jakarta Pusat menjatuhkan vonis tiga bulan
penjara tanpa perlu menjalani hukuman itu. Bahkan dalam
putusan peninjauan kembali, Mahkamah Agung
menganggap putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat
diberlakukan surut. Tindak pidana yang dilakukan terdakwa
berlangsung pada 3 Januari 2006, sedangkan putusan
Mahkamah Konstitusi dibuat pada 6 Desember 2006.
“Sehingga terhadap perkara a quo tidak berlaku surut dan
tidak dapat dipertimbangkan berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut,” demikian antara lain
pertimbangan majelis hakim agung beranggotakan Prof HM
Hakim Nyak Pha, Suwardi, dan Achmad Yamanie. 384
Dari kasus ini, terlihat bahwa walaupun Mahkamah
Konstitusi membatalkan ketentuan-ketentuan di atas,
namun putusan Mahkamah Konstitusi tidak berlaku surut.
Artinya, terhadap vonis yang telah dijatuhkan pengadilan
383
Anonim, “Pasal Penghinaan Presiden…,”.
384
Anonim, “Habibie dan Gus Dur tak Pakai Pasal 134 KUHP,”
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ef04dd3092ca/habibie-dan-gus-
dur-tak-pakai-pasal-134-kuhp diakses pada 11 Februari 2018.
tetap harus dijalani pemohon, apalagi kalau pemohon sudah
menjalani hukuman maka tidak ada pemulihan yang dapat
dilakukan.385 Hal ini didasarkan pada asas “praduga
rechmatig” atau asas praduga keabsahan mengandung arti
bahwa undang-undang tetap sah, memiliki daya laku
(validitas) dan daya guna (eficasi) sepanjang tidak
dibuktikan sebaliknya oleh lembaga yang berwenang
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Dengan perkataan lain, suatu undang-undang tetap berlaku
sebelum dinyatakan tidak sah karena bertentangan dengan
UUD NRI 1945 oleh Mahkamah Konstitusi. 386 Seandainya
Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan memutus
constitutional question, maka hakim yang menangani
perkara tersebut dapat bertanya terlebih dahulu kepada
Mahkamah Konstitusi tentang konstitusionalitas pasal-pasal
tersebut sebelum menjatuhkan putusan, Namun, karena
tidak adanya kewenangan constitutional question, maka
hakim tetap memutus tanpa mempersoalkan
konstitusionalitas pasal-pasal KUHP yang dipersoalkan
sebab secara hukum isi KUHP itu memang masih resmi
berlaku.387

2. Kasus Bom Bali


Pada 2003 lalu, diajukan Perkara PUU No. 013/PUU-
I/2003 oleh Masykur Abdul Kadir. Objek yang diuji adalah
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang
Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2002 terhadap Peristiwa Peledakan

385
Anonim, “Vonis Delapan Bulan Penjara Buat Zaenal Ma’arif,”
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18780/vonis-delapan-bulan-
penjara-buat-zaenal-maarif diakses pada 11 Februari 2018.
386
Arifin, Hukum dan Kuasa Konstitusi, hlm. 180.
387
Mahfud, Constitutional Question, hlm. 25.
Bom Bali.388 Masykur Abdul Kadir sendiri adalah salah
seorang terdakwa alam kasus peledakan bom di Bali tanggal
12 Oktober 2002.389 Pada pokoknya, Pemohon menolak
pemberlakuan surut (ex post facto law) Perppu Nomor 2
Tahun 2002 sebagaimana telah ditetapkan menjadi UU No.
16 Tahun 2003 dalam perkara pidana yang sedang
dihadapinya di pengadilan. Pemohon menilai bahwa
berdasarkan UUD NRI 1945 sebagai Konstitusi Negara
Republik Indonesia sama sekali menolak pemberlakuan asas
retroaktif (hukum berlaku surut) di mana penolakan
terhadap asas tersebut merupakan wujud sebuah
perlindungan terhadap hak asasi manusia (hak dasar
seorang manusia) yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun juga dan oleh siapa pun juga.390
Mahkamah Konstitusi akhirnya mengabulkan
permohonan yang diajukan oleh Pemohon. Mahkamah
berpendapat permohonan a quo harus dikabulkan karena
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 bertentangan
dengan ketentuan dan semangat Pasal 1 ayat (3) dan Pasal
28I ayat (1) UUD NRI 1945, dan oleh karena itu Mahkamah
harus menyatakan Undang-Undang a quo tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.391 Mahkamah menilai bahwa
pemberlakuan prinsip retroaktif dalam hukum pidana
hanyalah merupakan suatu pengecualian yang hanya
dibolehkan dan diberlakukan pada perkara pelanggaran hak
asasi manusia berat (gross violation on human rights) sebagai
kejahatan yang serius, yang merupakan jaminan terhadap
388
Chalid, “Urgensi dan Upaya Implementasi…,” hlm. 378.
389
Tim Redaksi Tatanusa, Mahkamah Konstitusi: Putusan atas Pengujian
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2003 terhadap Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Tatanusa, 2004), hlm.
49.
390
Ibid., hlm. 45.
391
Ibid., hlm. 66.
hak-hak yang tidak dapat dikurangi (non derogable rights).
Sementara itu, yang dikategorikan sebagai pelanggaran hak
asasi manusia berat menurut Statuta Roma Tahun 1998
adalah kejahatan genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan kejahatan perang, dan kejahatan agresi.
Sedangkan, menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dikategorikan
sebagai pelanggaran hak asasi manusia berat adalah hanya
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dengan demikian, baik merujuk kepada Statuta Roma
Tahun 1998, maupun Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999, peristiwa peledakan bom di Bali tanggal 12 Oktober
2002 belum lah dapat dikategorikan sebagai kejahatan yang
luar biasa dan dapat dikenai prinsip hukum retroaktif.392
Putusan Mahkamah Konstitusi yang keluar pada
tanggal 22 Juli 2004 tentunya membutuhkan jawaban
tentang sejauh mana akibat hukum (legal effect) Putusan
Mahkamah Konstitusi terhadap putusan-putusan
pengadilan yang menyatakan terdakwa yang tersangkut
dengan peristiwa peledakan bom Bali tersebut, khususnya
yang masih dalam proses banding, kasasi, dan peninjauan
kembali. Mereka yang dirugikan tersebut diantaranya
adalah Amrozi dan juga Masykur Abdul Kadir yang
merupakan pemohon dalam kasus ini. Tidak adanya
mekanisme constitutional question membuat tidak adanya
keterikatan kepada hakim yang memproses terdakwa kasus
Bom Bali untuk mengikuti Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut dengan berdalih akan melanggar asas non
retroaktif.393

392
Ibid., hlm. 61.
393
Siahaan, “Renungan Akhir Tahun…,” hlm. 107.
3. Kasus Pengemis
Pada 2009 lalu, Dinas Sosial Jakarta menangkap dua
belas warga Jakarta yang memberikan sedekah kepada
pengemis, mereka kemudian dijatuhi hukuman denda Rp.
150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) hingga Rp.
300.000,- (tiga ratus ribu rupiah). Pejabat Dinas Sosial DKI
Jakarta berpendapat, sanksi denda itu diharapkan bisa
memberikan efek jera kepada orang yang akan memberikan
sedekah di jalanan, sedangkan sebanyak tiga puluh orang
koordinator pengemis diburu dan lima penghubung ditahan.
Pejabat Dinas Sosial Jakarta itu berpendapat, jika tidak ada
orang yang memberikan sedekah kepada pengemis jalanan,
maka orang tidak akan mau menjadi pengemis. Larangan
menjadi pengemis dan juga dikonstruksikan secara legal
bahwa memberikan sedekah adalah pelanggaran terhadap
Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban
Umum. Dalam salah satu perda tersebut antara lain
disebutkan. "Setiap orang atau badan dilarang menjadi
pengemis, pengamen. pedagang asongan, dan penggelap
mobil.394
Tindakan Dinas Sosial Jakarta itu menuai protes
keras dari Lembaga Swadaya Masyarakat khususnya yang
membidangi masyarakat miskin. Salah satu alasan kuat
yang menjadi dasar bagi Lembaga Swadaya Masyarakat
tersebut adalah dasar Konstitusional. Dalam Pasal 34 ayat
(1) UUD NRI 1945, secara jelas disebutkan bahwa “Fakir
miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”
Sehingga, negaralah yang sebenarnya bertanggungjawab
terhadap fakir miskin. Mereka mengharapkan konstitusi
sebagai wujud kontrak sosial bangsa ini untuk dihormati.
Tindak lanjut ditahannya tiga puluh koordinator pengemis
394
Isrok, “Constitutional Question”, hlm. 114.
dan lima penghubung adalah proses pengadilan, dalam
proses pengadilan terdapat suara protes keras dari Lembaga
Swadaya Masyarakat yang menaungi masyarakat
terpinggirkan dan masyarakat miskin, yang intinya bahwa
pasal tentang pengemis adalah tidak konstitusional. Hakim
yang akan mengadili para pengemis, termasuk koordinator
dan penghubungnya, menjadi ragu dan bimbang dalam arti
apakah produk hukum yang mengatur mengenai pengemis
sebagaimana diatur dalam KUHP apakah masih
konstitusional atau tidak.395 Ketentuan pasal dalam KUHP
yang meragukan bagi hakim mengenai "pengemis" adalah
sebagai berikut:
Pasal 504
(1) Barang siapa minta-minta (mengemis) di tempat umum
dihukum karena minta-minta dengan hukuman selama-
lamanya enam minggu.
(2) Minta-minta dilakukan bersama-sama tiga orang atau
lebih, yang umurnya lebih dari 16 Tahun, dihukum
kurungan selama-lamanya tiga bulan.
Keraguan yang dihadapi hakim dalam memeriksa
perkara ini antara lain, di satu sisi hakim melihat bahwa
pengemis secara normatif dilarang dan tidak boleh diberikan
sedekah agar derajat dan martabatnya terjaga, tetapi dilain
pihak peduli sesamanya diperlukan dalam proses kehidupan
beragama bahkan secara konstitusional fakir miskin dan
anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. 396 Keraguan
hakim tersebut tentunya dapat terjawab bila terdapat
mekanisme constitutional question. Adanya hakim yang
memeriksa perkara akan tetapi ragu-ragu akan
konstitusionalitas pasal KUHP berkaitan dengan perkara

395
Ibid., hlm. 115.
396
Ibid., hlm. 129.
yang sedang ditangani, sehingga timbul pertanyaan
konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi dapat memberikan
jawaban atas pertanyaan tersebut.397
Terkait dengan masa jabatan hakim konstitusi juga menjadi
masalah yang cukup kental dengan masalah sosiologis di
dalamnya. Jabatan hakim konstitusi bukan merupakan jabatan
politik, meski lembaga pengusulnya merupakan lembaga politik,
maka periodisasi jabatan hakim tidak boleh mengikuti masa
periodisasi sebagaimana jabatan politik dari lembaga pengusulnya,
yakni 5 tahun. Jabatan hakim konstitusi sesuai dengan
konsepnya, harus didudukkan sebagai lembaga penyeimbang bagi
lembaga negara lainnya, sesuai dengan prinsip checks and
balances. Sehingga dengan demikian tujuan dari dibentuknya
konsep negara hukum yang demokratis sebagaimana dicitakan
dalam UUD 1945 hasil perubahan 1999-2002, dapat diwujudkan.
Sehingga sebagai sebuah alternatif ideal, seorang hakim konstitusi
hendaknya memiliki independensi yang kuat dan imparsialitas
yang kukuh. Adalah sudah sepantasnya ketika seseorang pernah
menjadi hakim konstitusi, perlu dipertimbangkan layakkah
kemudian menjabat sebuah jabatan politis atau jabatan lain yang
dikhawatirkan mengganggu kenegarawanannya yang pernah
disandangnya. Sebagai solusi, hakim konstitusi cukup satu kali
masa jabatan dengan durasi lebih lama yakni 9 (sembilan) tahun,
dengan usia pengangkatan pertama minimal berumur 55 dan
maksimal berumur 65 tahun.
Lalu mengenai mekanisme pengawasan dari hakim
konstitusi itu sendiri. Kasus yang menimpa Mahkamah Konstitusi
akibat Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap M. Akil Mochtar (Ketua
MK) waktu itu pada Oktober 2013 dalam kasus suap penanganan
beberapa Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah.
397
Ibid., hlm. 119.
Begitu pula kasus serupa yang menimpa mantan hakim konstitusi
Patrialis Akbar karena melakukan korupsi untuk mempengaruhi
perkara Nomor 129/PUU-XIII/2015 terkait permohonan uji materi
No. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Peristiwa-
peristiwa ini menjadi tamparan keras bagi kredibilitas MK di mata
masyarakat. Sehingga tekanan sosiologis dari masyarakat begitu
kuat untuk memperketat pengawasan akan kode etik dari hakim-
hakim konstitusi itu sendiri.
Namun, wacana pengawasan Hakim Konstitusi oleh lembaga
eksternal yaitu Komisi Yudisial tidak bisa lagi dijustifikasi pasca
dikeluarkannya Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006. Sehingga,
optimalisasi pengawasan internal Mahkamah Konstitusi harus
menjadi agenda utama dalam tubuh Mahkamah Konstitusi saat
ini. Alternatif ideal dalam diskursus ini adalah dengan penguatan
Dewan Etik dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi untuk
menegakkan kode etik bagi Hakim Konstitusi. Penormaan Dewan
Etik dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi akan
melegitimasi kedudukannya di mata masyarakat dan terutama
bagi Hakim Konstitusi itu sendiri.

C. Landasan Yuridis
Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa
landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
pertimbangan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang
akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat. Landasan yuridis akan membahas mengenai
persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi
yang diatur sehingga perlu dibentuk peraturan perundang-
undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum tersebut antara
lain peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis
peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya
berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai,
atau peraturannya sama sekali belum ada.398
Tujuan suatu negara ialah menggapai cita-cita idiil yang
diwujudkan melalui instrumen hukum berada di negara yang
bersangkutan. Dalam mewujudkan cita-cita tersebut, negara
mempunyai peran penting dalam membentuk peraturan
perundang-undangan sebagai instrumen hukum dalam
yurisdiksinya. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud
ialah hukum tertulis sebagai hukum yang berlaku umum
(algemeen geldend), mengikat banyak orang (personengebeid),
wilayah ruang (ruimtegebied), dan wilayah waktu lebih luas, dan
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hukum yang
tidak tertulis.399
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 adalah
sumber hukum formil Hukum Tata Negara Indonesia. 400 Menurut
Prof. Jimly Asshidiqie, selain merupakan hukum dasar tertulis
yang mengatur masalah kenegaraan, UUD NRI 1945 juga
merupakan landasan hukum bagi ketentuan yang terdapat dalam
peraturan-peraturan lainnya. Berkaitan dengan Kekuasaan
Kehakiman, landasan konstitusional Kekuasaan Kehakiman di
Indonesia terdapat dalam Pasal 24 UUD NRI 1945. Sedangkan,
eksistensi Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 24C UUD NRI
1945.
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar NRI 1945
menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Selanjutnya, Pasal 24 UUD NRI 1945 menyatakan bahwa:
398
Indonesia, Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan , UU Nomor 12 Tahun 2011, bagian Lampiran, hlm.6.
399
Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum,
(Bandung: PT. Citra Abadi, 1989), hlm.6.
400
Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum,
(Bandung: PT. Citra Abadi, 1989), hlm.6.
“Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 tersebut juga diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari
Undang-Undang Dasar NRI 1945, yakni dalam Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 18.
Kedua pengaturan tersebut menggunakan terminologi “merdeka”
sebagai jaminan konstitusional atas independensi lembaga
peradilan. Hal tersebut sesuai dengan konsep trias politica
Montesquieu yang membagi kekuasaan menjadi 3 cabang: (1)
kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang; (2)
kekuasaan eksekutif sebagai pelaksana undang-undang; (3)
kekuasaan yudikatif sebagai kekuasaan untuk menghakimi. 401
Kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif memang harus selalu
ada untuk mewujudkan sebuah negara demokrasi modern.
Namun, konsep pemisahan kekuasaan tidak dapat memisahkan
sama sekali lembaga negara satu dengan yang lain. Bertitik tolak
dari kondisi tersebut, berkembanglah mekanisme check and
balances. Dengan sistem ini, kekuasaan negara dapat diatur,
dibatasi, dan dikontrol dengan sebaik-baiknya. Maka, sistem baru
yang dianut oleh UUD 1945 pasca perubahan keempat adalah
sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip check and
balances. 402

Peradilan yang bebas dan tidak memihak merupakan salah


satu syarat suatu negara menjadi negara hukum. Independensi
peradilan kemudian diwujudkan dalam pengaturan Undang-

401
Michele T. Molan, Constitutional Law: Machinery of Government,
(London: Old Bailey Press, 2003), 4th edition, hlm.63-64.
402
Jimly Asshidiqqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, hlm.292.
Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia.
Konstitusi Indonesia dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 telah menobatkan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu
lembaga penyelenggara Kekuasaan Kehakiman di Indonesia.
Eksistensi Mahkamah Konstitusi diatur dalam Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman diatur pada
Pasal 29. Pasal 29 ayat (3) menyebutkan bahwa:
Susunan, kekuasaan, dan hukum acara Mahkamah
Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan undang-undang.
Pasal 35
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan
Hakim Konstitusi diatur dengan undang-undang.
Pasal 44 ayat (2)
Pengawasan hakim konstitusi diatur dengan undang-undang.
Untuk menunjang amanat konstitusi dan Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009, diundangkanlah Undang-Undang yang khusus
membahas Mahkamah Konstitusi, yakni Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Dalam bagian pertimbangan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
disebutkan antara lain:
a. bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman yang merdeka mempunyai peranan
penting guna menegakkan konstitusi dan prinsip negara
hukum sesuai dengan kewenangan dan kewajibannya
sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagian sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan
kehidupan ketatanegaraan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-
Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Perundang-undangan yang telah diundangkan akan
mengikat setiap warga negara Indonesia untuk menaatinya. Hal
tersebut merupakan implikasi dari diundangkannya suatu
peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia sehingga setiap warganegara dianggap
mengetahuinya.403 Terdapat peraturan perundang-undangan
ataupun peraturan terkait yang mengatur perihal Mahkamah
Konstitusi di Indonesia, antara lain:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
2. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman;
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum;
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota menjadi Undang-Undang sebagaimana diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016

403
Muchtar Rosyidi, Penuntun Perundang-Undangan Negara Republik
Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm. 14.
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-
Undang;
5. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
6. Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2012 tentang
Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah
Konstitusi sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan
Presiden Nomor 65 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2012 tentang
Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah
Konstitusi.
Keseluruhan peraturan alam tataran konstitutif maupun
peraturan perundang-undangan di bawahnya sebagaimana telah
dijabarkan di atas menjadi landasan yuridis perihal Mahkamah
Konstitusi di Indonesia.
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN

A. Sasaran yang Akan Diwujudkan


Sasaran yang akan diwujudkan dengan penyusunan
Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi adalah
untuk mewujudkan hakim yang independen dan berintegritas
serta hukum acara Mahkamah Konstitusi yang terpercaya dan
profesional. Hal tersebut dapat dilakukan dengan melakukan
penyesuaian pada norma-norma yang telah mengalami
perkembangan sebagai akibat Putusan Mahkamah Konstitusi
serta berbagai pengaturan baru perihal aspek-aspek yang belum
diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, dimulai dari
permasalahan kelembagaan sampai dengan hukum acara.

B. Jangkauan dan Arah Pengaturan


Subyek yang terkena pengaturan tentang Rancangan
Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan lembaga
instansi terkait lainnya termasuk DPR, DPRD, Bawaslu, dan
organisasi lain yang bergerak dalam bidang ketatanegaraan. Obyek
dari Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi
adalah perorangan atau kelompok orang/Lembaga/organisasi
yang memiliki kepentingan karena menganggap bahwa hak
konstitusionalnya telah terlanggar.
Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi
memiliki arah pengaturan yang memperkuat kelembagaan
Mahkamah Konstitusi serta memperlancar proses pelaksanaan
kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi melalui
penataan hukum Acara.

C. Ruang Lingkup Materi Pengaturan


1. Ketentuan umum
Ketentuan umum yang berisi pengertian (definisi) dalam
Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi yaitu:
a. Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
b. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disingkat
DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
c. Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara
tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai:
1. pengujian undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2. sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. pembubaran partai politik;
4. perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau
5. pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden diduga telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
d. Dewan Etik Hakim Konstitusi, yang selanjutnya disebut
Dewan Etik, adalah perangkat yang dibentuk oleh
Mahkamah Konstitusi untuk menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, dan Kode Etik Hakim
Konstitusi terkait dengan laporan dan informasi
mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh
Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang disampaikan
oleh masyarakat; Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi, yang selanjutnya disebut Majelis Kehormatan,
adalah perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah
Konstitusi untuk menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, dan Kode Etik Hakim Konstitusi
terkait dengan laporan mengenai dugaan pelanggaran
berat yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim
Terduga yang disampaikan oleh Dewan Etik atau Komisi
Yudisial.
e. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi
adalah panduan moral dan etik bagi setiap Hakim
Konstitusi baik dalam menjalankan tugas
konstitusionalnya maupun dalam pergaulan di
masyarakat.
f. Hakim Terlapor adalah Hakim Konstitusi yang diduga
melakukan pelanggaran berdasarkan laporan yang
diperoleh Dewan Etik secara tertulis.
g. Hakim Terduga adalah Hakim Konstitusi yang diduga
melakukan pelanggaran berdasarkan informasi yang
diperoleh Dewan Etik melalui pemberitaan media massa,
baik cetak maupun elektronik, dan dari masyarakat luas.

2. Materi yang akan diatur


a. Pengaturan mengenai peran Mahkamah Konstitusi
sebagai Penafsir Terakhir (The Final Intepreter)
Dalam Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi
belum ada pengaturan secara eksplisit mengenai peran
Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir tunggal Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Sehingga dalam Rancangan Undang-Undang tentang
Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 11. Penegasan
ini dibutuhkan untuk mencegah kesimpangsiuran peran
tersebut.
b. Pengaturan mengenai Constitutional Question
Sebagai upaya untuk mencapai harmonisasi sistem
hukum tanpa melanggar kewenangan-kewenangan
lembaga yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
penambahan kewenangan constitutional question menjadi
alternatif yang dibutuhkan. Dalam Rancangan Undang-
Undang tentang Mahkamah Konstitusi, hal tersebut
dapat dicapai dengan mengatur dalam Pasal 74 ayat (1)
mengenai penambahan hakim peradilan umum dan
hakim agung yang meragukan konstitusionalitas undang-
undang yang dipakai dalam perkara atau permohonan
pengujian peraturan perundang-undangan yang tengah
ditanganinya.
c. Perubahan Pengaturan Mengenai Tata Cara Pemilihan
Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi
Berdasarkan Pasal (4f), (4g), dan (4h) Undang-Undang
tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, Ketua dan
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dengan
menganut prinsip “satu kali rapat dan satu paket.”
Karena potensi kerugian yang dapat timbul dari
penerapan sistem tersebut, dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, pasal-pasal terkait
pun dibatalkan. Sehingga, Rancangan Undang-Undang
tentang Mahkamah Konstitusi pun berperan untuk
menggantikan norma-norma yang telah dibatalkan
tersebut dengan tata cara pemilihan yang dapat
memetakan masalah yang ada. Solusi yang diajukan
adalah tata cara pemilihan Ketua dan Wakil Ketua yang
dilakukan dalam dua kali rapat sebagaimana diatur
dalam Pasal 4 Rancangan Undang-Undang tentang
Mahkamah Konstitusi.
d. Perubahan Pengaturan Periodisasi dan Masa Jabatan
Hakim Konstitusi
Periodisasi jabatan diganti dengan masa jabatan 9 tahun
dan tidak dapat dipilih kembali dengan harapan dapat
meningkatkan kinerja hakim yang juga turut berdampak
pada pengaturan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi serta usia pensiun hakim
Konstitusi. Sehingga Pasal 22 dalam Undang-Undang
tentang Mahkamah Konstitusi yang mengatur masa
jabatan dan periodisasi diubah muatannya dalam
Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah
Konstitusi dalam Pasal 26 yang mengatur masa jabatan
hakim menjadi 9 tahun tanpa ada kemungkinan untuk
menjabat ulang.
e. Pengaturan mengenai Dewan Etik Mahkamah
Konstitusi
Sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
005/PUU-IV/2006 yang menginvalidasi kewenangan
Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal Mahkamah
Konstitusi, dibutuhkan optimalisasi pengawasan internal
yang ada melalui penguatan Dewan Etik dan Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagai penegak kode
etik Hakim Konstitusi. Kebutuhan tersebut menuntut
adanya penormaan secara jelas mengenai Dewan Etik
dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang
dalam Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah
Konstitusi dimuat pada Pasal 34 hingga Pasal 41 dalam
Bab VI mengenai Penegakan Kode Etik.
f. Pengaturan mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi
yang Ultra Petita
Pemenuhan rasa keadilan dalam masyarakat adalah
aspek yang patut dipertimbangkan dalam penyusunan
suatu undang-undang mengenai Mahkamah Konstitusi
sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi
memberikan provisi untuk putusan-putusan yang
melebihi permintaan Pemohon. Hal tersebut mengingat
bahwa Mahkamah Konstitusi tidak hanya mengadili atas
kepentingan satu atau dua orang saja namun khalayak
umum karena menyangkut norma-norma abstrak dan
hak-hak konstitusional warga negara. Dalam Rancangan
Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, hal
tersebut diatur dalam Pasal 67 di mana Putusan
Mahkamah Konstitusi dapat memuat amar putusan yang
tidak diminta oleh Pemohon dalam hal pengujian
konstitusionalitas norma atau mengisi kekosongan
hukum yang diakibatkan oleh suatu putusan Mahkamah
Konstitusi.
g. Pengaturan mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi
yang Mengatur Mengenai Mahkamah Konstitusi
Sendiri (Nemo Judex in Causa Sua)
Tidak jarang Mahkamah Konstitusi mendapatkan
permohonan pengujian undang-undang yang
menyangkut Mahkamah Konstitusi sendiri. Dalam hal ini
meskipun dapat saja dianggap adanya konflik
kepentingan atas dasar prinsip nemo judex in causa sua,
namun dibutuhkan pengaturan berkaitan hal tersebut
oleh karena tidak ada forum lain yang mempunyai
kewenangan untuk mengadili perkara tersebut dan
bahwa permohonan tersebut tidak hanya mengenai
kepentingan dari objectum litis namun justru berkaitan
dengan kepentingan masyarakat secara luas. Dalam
Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah
Konstitusi, pengecualian terhadap pemeriksaan perkara
mengenai Mahkamah diatur dalam Pasal 19 dari yang
sebelumnya dalam Undang-Undang tentang Mahkamah
Konstitusi belum pernah diatur.
h. Pengaturan mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi
Terkait Prinsip Penahanan Diri (Judicial Restraint)
Mahkamah Konstitusi harus menahan diri dari
kecenderungan untuk bertindak layaknya suatu mini
parliament. Pengaturan mengenai pengekangan diri
Mahkamah Konstitusi dibutuhkan agar fungsi
Mahkamah Konstitusi dapat dijalankan tanpa
mengganggu cabang kekuasaan yang lain. Namun dalam
pengujian undang-undang, penilaian konstitusionalitas
tidak bisa dijadikan dikotomi namun terkadang
membutuhkan pemaknaan lebih lanjut sehingga hakim
Mahkamah Konstitusi membutuhkan ruang yang diatur
dalam undang-undang untuk menetapkan apabila suatu
undang-undang memang pantas dinilai sebagai
konstitusional bersyarat ataupun inkonstitusional
bersyarat. Pengaturan yang sebelumnya belum ada
tersebut, diatur dalam Pasal 83 Rancangan Undang-
Undang tentang Mahkamah Konstitusi.
i. Pengaturan mengenai Batas Waktu Penanganan
Perkara Pengujian Undang-Undang
Dalam rangka memberikan kepastian hukum terhadap
perkara permohonan pengujian undang-undang yang
tidak memberikan jaminan atas kapan perkara tersebut
dapat diselesaikan, Rancangan Undang-Undang tentang
Mahkamah Konstitusi menambahkan suatu peraturan
yang sebelumnya tidak ada pada Undang-Undang
tentang Mahkamah Konstitusi. Perihal pengaturan jangka
waktu dari awal mula Rapat Permusyawaratan Hakim
sampai dengan pembacaan putusan dimuat dalam Pasal
84. Jangka waktu tersebut ditetapkan sebagai seratus
delapan puluh hari.
j. Pengaturan mengenai Pemilu DPRD sebagai bagian
dari kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk
mengadili perselisihan hasil pemilihan umum
Berdasarkan pengaturan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum,
pemilihan anggota DPRD termasuk dalam rezim Pemilu.
Ini berarti bahwa dalam hal adanya sengketa hasil
pemilihan anggota DPRD, perkara tersebut dapat
diajukan kepada Mahkamah Konstitusi. Namun, dalam
status quo Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, hasil
pemilihan anggota DPRD belum menjadi salah satu objek
dalam perkara permohonan perselisihan hasil Pemilu. Ini
berarti bahwa dibutuhkan norma yang secara tegas
menginklusikan pemilihan anggota DPRD ke dalam ranah
pengaruh Mahkamah Konstitusi. Dalam Rancangan
Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi,
penambahan pemohon (yaitu calon anggota DPRD yang
merasa dirugikan) dilakukan pada Pasal 102 yang mana
pada Undang-Undang Mahkamah Konstitusi pengaturan
mengenai Pemohon sebelumnya dicantumkan pada Pasal
74 dan hanya memiliki 3 huruf.
k. Pengaturan mengenai Legal Standing Pemohon
Pembubaran Partai Politik
Untuk menjaga kedaulatan rakyat, sudah sepantasnya
rakyat juga turut menjadi pengawas dalam dinamika
politik Indonesia. Konsekuensi logis dari hal tersebut
adalah pengaturan mengenai DPR dan organisasi yang
berkecimpung dalam bidang ketatanegaraan sebagai
Pemohon dalam perkara permohonan pembubaran partai
politik. DPR dan organisasi-organisasi terkait dipandang
dapat menjadi wakil rakyat. Selain dua pihak tersebut,
Badang Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai lembaga
yang berwenang mengawasi jalannya Pemilu seharusnya
juga mempunyai hak untuk menjadi Pemohon atas
perkara permohonan pembubaran partai politik bilamana
ditemukan bahwa suatu partai yang menjadi peserta
Pemilu melakukan pelanggaran dalam rangkaian
pemilihan umum. Ketiga pihak tersebut diatur sebagai
Pemohon dalam Pasal 95 Rancangan Undang-Undang
tentang Mahkamah Konstitusi.
BAB VI
PENUTUP

A. Simpulan
a. Beberapa permasalahan yang perlu diubah dan
dimasukkan ke dalam penggantian Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi, yaitu:
1) Kelembagaan: rekrutmen atau proses seleksi calon
hakim konstitusi yang tidak sama pada ketiga
lembaga pengusul hakim konstitusi (DPR,
Mahkamah Agung, dan Presiden), masa jabatan
ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi, masa
jabatan hakim konstitusi, usia pensiun bagi
panitera, panitera muda dan panitera pengganti,
susunan dewan etik, dan majelis kehormatan
hakim konstitusi.
2) Hukum Acara: jangka waktu melengkapi
permohonan, penyampaian salinan permohonan,
pengumuman sidang pertama, penarikan kembali
permohonan oleh pemohon, pihak terkait,
persidangan dan rapat permusyawaratan hakim,
ketidakhadiran pemohon pada sidang pemeriksaan
pendahuluan, jangka waktu perbaikan
permohonan, alasan berbeda dari hakim konstitusi,
ringkasan permohonan, mengeluarkan ketetapan
terhadap pemohon yang tidak hadir,
penandatanganan putusan dalam sidang
pengucapan putusan dan putusan dimuat dalam
laman Mahkamah Konstitusi, memberikan
kedudukan hukum bagi Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), Bawaslu, dan organisasi di bidang
ketatanegaraan yang memenuhi syarat untuk
menjadi Pemohon dalam sengketa pembubaran
partai politik, kewenangan untuk memberikan
penilaian konstitusionalitas dengan melakukan
pemaknaan terhadap pasal/materi/isi dalam
undang-undang dalam bentuk putusan
konstitusional atau inkonstitusional bersyarat,
Mahkamah Konstitusi diperbolehkan untuk
memutus lebih daripada yang diminta oleh
Pemohon dalam hal memenuhi syarat yang telah
diuraikan dalam naskah akademik ini, Mahkamah
Konstitusi diperbolehkan memutus perkara yang
berkaitan dengan dirinya dalam hal tidak ada
forum lain yang dimandatkan konstitusi untuk
mengadili perkara tersebut.
3) Masa Jabatan: menghapuskan periodesasi masa
jabatan hakim konstitusi dan mengubah durasi
masa jabatan menjadi selama 9 tahun untuk
menjamin independensi individual;
4) Kewenangan: Kewenangan pengujian undang-
undang Mahkamah Konstitusi diperluas sehingga
terdapat kewenangan constitutional question
Mahkamah Konstitusi dalam rangka harmonisasi
sistem hukum terhadap konstitusi.
b. Undang-Undang Mahkamah Konstitusi saat ini, yakni UU
Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana diubah dengan UU
Nomor 8 Tahun 2011 belum mengakomodir
perkembangan putusan Mahkamah Konstitusi dan
kebutuhan masyarakat sehingga perlu dilakukan
penggantian.
c. Dalam pembentukan Rancangan Undang-Undang
tentang Mahkamah Konstitusi, terdapat berapa landasan
antara lain:
1) Landasan filosofis: Tujuan utama kekuasaan
kehakiman menurut UUD 1945 adalah sejalan
dengan tujuan UUD NRI 1945 adalah melindungi
segenap bangsa Indonesia, yaitu hak konstitusional
warga negara. Ide pembentukan Mahkamah
Konstitusi dilandasi upaya mulia untuk
memberikan proteksi terhadap hak-hak
konstitusional warga negara dan semangat
penegakan konstitusi sebagai
staatsgrundgezets yang memunculkan
konsekuensi logis bahwa segala peraturan
perundang-undangan yang berada di  bawah
konstitusi tidak boleh kontradiktif dengan apa yang
telah diatur dalam konstitusi. Konstitusi
merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat
(the sovereignity of the people) kepada negara.
Melalui konstitusi rakyat membuat pernyataan
kerelaan untuk memberikan sebagian hak-haknya
kepada negara. Oleh karena itu, konstitusi harus
dikawal dan dijaga sebab segala bentuk
penyimpangan baik oleh pemegang otoritas
kekuasaan maupun aturan hukum di bawah
konstitusi terhadap konstitusi merupakan wujud
pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat. Secara
filosofis, pada hakikatnya Mahkamah Konstitusi
merupakan suatu lembaga negara yang memiliki
kewenangan untuk mengawal konstitusi (the
guardian of constitution). Bahwa sebagai lembaga
pengawal konstitusi tersebut maka Mahkamah
Konstitusi merupakan suatu lembaga yang
memiliki kedaulatan mutlak untuk menafsirkan
Konstitusi (the interpreter of constitution).
2) Landasan sosiologis: hakim konstitusi Mahkamah
Konstitusi merupakan hakim yang berasal dari tiga
unsur cabang kekuasaan negara, yaitu eksekutif
(Presiden), legislative (DPR), dan yudikatif (MA).
Jabatan hakim konstitusi harus didudukkan
sebagai lembaga penyeimbang bagi lembaga negara
lainnya, sesuai dengan prinsip check and balances.
3) Landasan yuridis: beberapa putusan Mahkamah
Konstitusi telah diakomodasi karena
mempengaruhi norma-norma yang terdapat dalam
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Berbagi
Peraturan Mahkamah Konstitusi yang bersubstansi
undang-undang harus diangkat dalam materi
perubahan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, penggantian UU MK ini dimaksudkan
untuk mengisi kekosongan hukum agar yang
belum diatur atau materi/isi/pasal UU MK yang
sudah tidak sesuai dengan kebutuhan zaman dan
masyarakat dapat dilengkapi serta untuk mengisi
kekosongan hukum mengenai hal-hal yang belum
diatur di UU MK, tidak terdapat di putusan MK,
dan tidak terdapat pada Peraturan Mahkamah
Konstitusi.

Sasaran yang ingin diwujudkan dalam naskah akademik


Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi ini adalah
keinginan mewujudkan hakim yang independen, berintegritas dan
berkepribadian, memperkuat kelembagaan dan hukum acara
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga penyelenggara
Kekuasaan Kehakiman dan sebagai lembaga pengawal konstitusi
B. Saran
1. Dalam pelaksanaan kewenangan dan segala tugas
Mahkamah Konstitusi tidak hanya mengacu pada
undang-undang yang mengatur tentang Mahkamah
Konstitusi melainkan juga naskah akademisnya.
2. Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah
Konstitusi perlu dimasukan dalam skala prioritas
Program Legislasi Nasional sehingga dapat segera
diundangkan dan menjadi pedoman dalam penyusunan
dan pembahasan RUU.
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan perundang-undangan
Indonesia.
Indonesia.
Indonesia.

Buku
Alder, John and Peter English. Constitutional and Administrative
Law. London: Macmillan, 1989.
Allen, Michael dan Brian Thompson. Cases and Materials on
Constitutional and Administrative Law. United Kingdom:
Oxford University Press, 2002.
Amsari, Feri. Perubahan UUD 1945: Perubahan Konstitusi NKRI
Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Rajawali Pers,
2011.
Arifin, Firmansyah dan Juliyus Wardi. ed. Merambah Jalan
Pembentukan Mahkmah Konstitusi di Indonesia. Jakarta:
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional.
Asshiddiqie, Jimly. Menuju Negara Hukum yang Demokratis.
Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008.
Asshidiqqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Cet.6.
Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II.
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI, 2006.
Asshidiqie, Jimly. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia
Pasca Reformasi. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2007.
Asshiddiqie, Jimly. Model-Model Pengujian Konstitusional di
Berbagai Negara. Jakarta: Konpress, 2005.
Asshidiqie, Jimly dan Ahmad Syahrizal. Peradilan Konstitusi di
Sepuluh Negara. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
2006.
Asy’ari, Syukri, Meyrinda Rahmawaty Hilipito, Mohammad Mahrus
Ali. Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi
dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-
2012). Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara,
Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, 2013.
Barent, Eric. An Introduction to Constitutional Law. Oxford: Oxford
University Press, 1998.
Budiardjo, Mariam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2009.
Busroh, Abu Daud. Intisari Hukum Tatanegara: Perbandingan
Konstitusi Sembilan Negara. Jakarta: Penerbit PT Bina Aksar,
1987.
Choper, Jose H. Judicial review and the National Political Process: A
Functional Reconsideration of the Role of the Supreme Court.
Chicago and London: The University of Chicago Press, 1980.
Christina, Dri Utari dan Ismail Hasani, eds., Masa Depan Mahkamah Konstitusi
RI; Naskah Konferensi Mahkamah Konstitusi dan Pemajuan Hak Konstitusional
Warga. Jakarta: Setara Institute, 2013.

Dicey, A.V. Introduction to the Study of the Law of the Constitution.


10th ed. London: Macmillan Education LTD, 1959.
Djokosoetono. Kuliah Hukum Tata Negara. Jakarta: Penerbit In-
Hill-Co, 2006.
Ence, Iriyanto Baso. Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas
Mahkamah Konstitusi: Telaah Terhadap Kewenangan
Mahkamah Konstitusi. Bandung: Alumni, 2008.
Fadjar, A. Mukhtie. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi.
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, 2006.
Fatmawati. Hak Menguji (Toetsingrecht) yang Dimiliki Hakim dalam
Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2005.
Garvey, John. H. dan T. Alexander Aleinikoff. Modern
Constitutional Theory. 3rd ed. St. Paul, Minn: West Publishing
Co., 1994.
Harjono. Konstitusi sebagai Rumah Bangsa Pemikiran Hukum Dr.
Harjono, S.H., M.C.L Wakil Ketua MK. Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008.
Harman, Benny. Mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2013.
Isra, Saldi, Yuliandri, Feri Amsari, Charles Simabura, Dayu
Medina, dan Edita Elda. Perkembangan Pengujian Perundang-
undangan di Mahkamah Konstitusi (Dari Berfikir Hukum
Tekstual ke Hukum Progresif). Padang dan Jakarta: Pusat
Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas dan
Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, 2010.
Isra, Saldi. Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model
Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia.
Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. New York: Russell
& Russell, 1961.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi.
Jakarta: Kementerian Hukum dan HAM, 2016.
Kommers, Donald P. The Constitutional Jurisprudence of the
Federal Republic of Germany. Durham and London: Duke
University Press, 1989.
Kusnardi. Moh. dan Hermaily Ibrahim. Pengantar Hukum
Tatanegara Indonesia. Jakarta: Penerbit Pusat Studi Hukum
Tatanegara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV
Sinar Bakti, 1988.
Kusuma, RM. A.B. Lahirnya UUD 1945. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.
Lailam, Tanto. Pertentangan Norma Hukum: dalam Teori dan
Praktik Pengujian Undang-undang di Indonesia. Yogyakarta:
LP3M UMY, 2015.
Latif, Abdul, et.all. Buku Ajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.
Yogyakarta: Total Media, 2009.
Latif, Abdul. Fungsi Mahkamah Konstitusi dalam Upaya
Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi. Yogyakarta: Kreasi
Total Media,2007.
Lev, Daniel S. Hukum dan Politik di Indonesia. Jakarta: LP3ES,
1990.
Loude, John Z. Menemukan hukum Melalui Tafsir dan Fakta.
Jakarta: Penerbit Bina Aksara, 1985.
Lubert, Steven. Fugitive Justice: Runaways, Rescuers, and Slavery
on Trial. Belknap Press of Harvard University Press, 2010.
Mahkamah Konstitusi. Cetak Biru: Membangun Mahkamah
Konstitusi sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Modern
dan Terpercaya. Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, 2004.
Mahkamah Konstitusi. Sejarah Pembentukan, Visi dan Misi
Mahkamah Konstitusi RI. Jakarta: Penerbit Mahkamah
Konstitusi RI, 2006.
Mahfud MD. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Jakarta:
Rajawali Pers, 2009.
Mahfud MD. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi. Jakarta: Rajawali Pers.
Marshall,G. Constitutional Theori. Clarendon:Oxford University
Press,1971.
Moh. Mahfud MD. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca
Amandemen Konstitusi. Jakarta: LP3ES, 2007.
Moh. Mahfud MD. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi. Yogyakarta:
Gama Media, 1999.
Molan, Michele T. Constitutional Law: Machinery of Government.
Ed.4. London: Old Bailey Press, 2003.
Palguna, I Dewa Gede. Mahkamah Konstitusi, Judicial review, dan
Welfare State. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
MK RI, 2008.
Palguna, I Dewa Gede. Pengaduan Konstitusional (Constitutional
Complaint): Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-hak
Konstitusional Warga Negara. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Philips, O. Hood, Paul Jackson, dan Patricia Leopold.
Constitutional and Administrative Law. London: Sweet and
Maxwell, 2001.
Riyanto, Astim. Teori Konstitusi. Bandung: Penerbit Yapemdo,
2000.
Sabine, George H. A History of Political Theory. New York: Rinehart
and Wiston, 1961.
Sampford, Charles and Kim Preston, eds., Interpreting Constitution. NSW: The
Federation Press, 1996.
Siahaan, Maruarar. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta:
Sinar Grafika, 2013.
Siahaan, Maruarar. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI
Press, 1986.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif:
Suatu Tinjauan Singkat. Jakara: Rajawali Press, 2004.
Soemantri, Sri. Hak Menguji Material di Indonesia. Bandung:
Alumni, 1986.
Syahrizal, Ahmad. Peradilan Konstitusi: Suatu Studi tentang
Ajudikasi Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian
Sengketa Normatif. Jakarta: Pradnya Paramita, 2006.
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan MKRI, 2010.
Wignjosoebroto, Soetandyo. Hukum: Paradigma, Metode dan
Dinamika Masalahnya. Jakarta: ELSAM dan HUMA, 2002.
Wheare, K.C. Konstitusi-Konstitusi Modern. Surabaya: Pustaka
Eureka, 2005.
Yamin, Muhammad. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar
1945. Jilid I, Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959.
Lubis, Todung Mulya. “Judicial Review dalam Perspektif Hukum
Tata Negara, dalam Beny K Harman dan Hendardi (edt),
Konstitusionalisme Peran DPR dan Judicial Review, (Jakarta:
Penerbit YLBHI dan JARIM, 1991), hlm. 106.

Artikel

Situs
Erwin Dariyanti. “Rapor Merah dan Kontroversi Patrialis Akbar
Jadi Hakim MK.” https://news.detik.com/berita/d-
3406122/rapor-merah-dan-kontroversi-patrialis-akbar-jadi-hakim-
mk
“KPK Periksa Akil Mochtar terkait Dugaan Sengketa Pilkada
Buton.”
http://nasional.kompas.com/read/2016/10/31/15533761/kpk.p
eriksa.akil.mochtar.terkait.dugaan.suap.sengketa.pilkada.buton

Jurnal
Abadi, Suwarno. “Ultra Petita dalam Pengujian Undang-Undang
oleh Mahkamah Konstitusi.” Jurnal Konstitusi (September
2015), Vol.2, No.3, hlm.205.
Alrasid, Harun. “Hak Menguji dalam Teori dan Praktik”. Jurnal
Konstitusi (Juli 2004), Vol.1 No.1, hlm. 94.
Armanjaya, Lexy. “Dekonstruksi Kewenangan Legislasi dari DPR ke Mahkamah
Konstitusi (MK) Analisis Sosio Legal.” Jurnal Konstitusi (November 2008),
Vol.5, No. 2,hlm. 66
Bulto, Takele Soboka. “Judicial Referral of Constitutional Disputes
in Ethiopia: From Prcatice to Theory.” African Journal of
International and Comparative Law (2011), Vol. 19, hlm. 103.
Dramanda, Wicaksana. “Menggagas Penerapan Judicial Restraint
di Mahkamah Konstitusi.” Jurnal Konstitusi (Desember 2014),
Vol.11, No.4, hlm.621.
Falaakh, Mohammad Fajrul. “Komisi Konstitusi dan Peran Rakyat
dalam Perubahan UUD 1945”. Jurnal Analisa CSIS (2002) No.
2, hlm. 194.
Gaffar, Janedjri M. “Peran Putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Perlindungan Hak Asasi Manusia terkait Penyelenggaraan
Pemilu.” Jurnal Konstitusi (Maret 2013), Vol.10, No.1, hlm. 4.
Hastuti, Sri, et al.,”Urgensi Perluasan Permohonan Pembubaran
Partai Politik di Indonesia.” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum
(Oktober 2016),Vol. 23, Issue 4, hlm.554-555.
Hostettler, John N. dan Thomas W. Washburne. “The Constitution’s
Final Intepreter: We The People”. Regent University Law
Review, Vol. 8, No. 13, hlm. 20.
Hikmah, Mutiara. “Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penegakan Hukum dan
HAM di Indonesia,” Jurnal Hukum dan Pembangunan (April-Juni 2005), Vol. 35,
No.2, hlm. 129.
Isrok. “Constitutional Question: Menyoal Konstitusionalitas Pasal
tentang Pengemis KUHP Pasal 504 ayat (1) dan (2).” Jurnal
Hukum dan Pembangunan (Januari-Maret 2010), Vol.1, hlm.
116.
Lailam, Tanto. “Pro-Kontra Kewenangan Mahkamah Konstitusi
dalam Menguji Undang-Undang yang Mengatur
Eksistensinya.” Jurnal Konstitusi (Desember 2015), Vol.12,
No.4, hlm. 797.
Lumbuun, Topane Gayus. “Tindak Lanjut Putusan Mahkamah
Konstitusi oleh DPR RI.” Jurnal Legislasi (September 2009),
Vol.06, No.3, hlm. 498.
Maladi, Yanis. “Benturan Asas Nemo Judex Idoneus In Propria
Causa dan Asas Ius Curia Novit (Telaah Yuridis Putusan MK
No.005/PUUIV/2006).” Jurnal Konstitusi, Vol.7, No.2, hal. 13.
Moh.Mahfud MD. “Rambu Pembatas dan Perluasan Kewenangan
Mahkamah Konstitusi.” Jurnal Hukum (Oktober 2009), Vol.16,
No.4, hlm.454.
Palguna, I Dewa Gede. “Constitutional Question: Latar Belakang
dan Praktik di Negara Lain Serta Kemungkinan Penerapannya
di Indonesia.” Jurnal Hukum (Januari 2010), Vol. 1, hlm. 15.
Rahardjo, Satjipto. “Hukum Progresif, Hukum yang
Membebaskan.” Jurnal Hukum Progresif (April 2015), Vol.1,
No.1, PDIH UNDIP, Semarang, hlm.5.
Ritonga, Rifandy. “Pembubaran Partai Politik Terhadap Sistem
Demokrasi di Indonesia.” Jurnal Pranata Hukum (Juli 2016),
Vol.10, No.2, hlm. 105.
Sasmito, Hery Abduh. “Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi
dalam Pengujian Undang-Undang (Suatu Perspektif Hukum
Progresif).” Jurnal Law Reform (Oktober 2011), Vol.6, No.2,
hlm.9.
Siallagan, Haposan. “Masalah Putusan Ultra Petita dalam
Pengujian Undang-Undang.” Mimbar Hukum (Februari 2010),
Vol. 22, No.1, hlm. 74.
Talmadge, Phillip A. “Understanding the Limits of Power: Judicial
Restrain in General Jurisdiction Court Systems.” Seattle
University Law Review (1999), No.695, hlm.711.
Wardhana, Allan F.G dan Harry Setya Nugraha. “Pemberian Legal
Standing kepada Perseorangan atau Kelompok Masyarakat
dalam Usul Pembubaran Partai Politik.” Jurnal Ius Quia
Iustum (Oktober 2013), Vol.20, No.4, hlm. 533.
Wibowo, Mardian. “Justice’s Freedom of Constitutional
Interpretation Method in the Indonesian Constitutional Court”.
Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 25, No. 2 (Juni 2013), hlm. 286.
Widayati. “Pembubaran Partai Politik Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia.”Jurnal Hukum Universitas Islam
Sultan Agung (Agustus 2011), Vol.26, No. 2,hlm. 625.
Zoelva, Hamdan. “Constitutional Complaint dan Constitutional
Question dan Perlindungan Hak-Hak Konstitusional Warga
Negara.” Jurnal Media Hukum (Juni 2012), Vol.19, hlm. 159.

Skripsi/Thesis/Disertasi
Pan Mohamad Faiz, “The Role of the Constitutional Court in Securing
Constitutional Government in Indonesia,” (Disertasi Doktor University of
Queensland, Brisbane, 2016), hlm. 144.
Rafli Fadilah Achmad, “Tinjauan Yuridis Atas Legal Standing
Pembubaran Partai Politik Di MahkamahKonstitusi”, Skripsi, Universitas
Indonesia, Jakarta, 2016, hlm. 85
I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional: Upaya Hukum Terhadap
Pelangggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara (Studi Kewenangan
Mahkamah Konstitusi Indonesia dalam Perspektif Perbandingan), Disertasi,
Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 2011, hlm. 157.

Internet
Dedy. “Ketua MK: MK Hadir untuk Mengawal Demokrasi.”
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?
page=web.Berita&id=13325#.WmxOgiN7Fo4.
Mahkamah Konstitusi RI. “Menggagas Putusan Sela dalam Sengketa Pilkada.”
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?
page=web.Berita&id=12805#.WmwLZbpubIV.
Mahkamah Konstitusi RI.“Rekapitulasi Perkara Pengujian Undang-Undang.”
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPUU.
Mahkamah Konstitusi. “Rekapitulasi Perkara Sengketa Kewenangan Lembaga
Negara.”http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?
page=web.RekapSKLN&menu=5.
Mahkamah Konstitusi. “Rekapitulasi Perkara Sengketa Kewenangan Lembaga
Negara.”http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?
page=web.RekapSKLN&menu=5.
Mahkamah Konstitusi. “Rekapitulasi Perkara Sengketa Kewenangan Lembaga
Negara.” http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?
page=web.RekapSKLN&menu=5.
Tri Atmojo Sejati. “Independensi dan Imparsialitas Hakim.”
http://dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2017/09/PN-012_Independensi-dan-
Imparsialitas-Hakim.pdf
Miftakhul Huda. Ius Curia Novit. Diakses dari
http://www.miftakhulhuda.com/2011/02/ius-curia-novit.html
Sumadi, Ahmad Fadlil. “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Dalam Teori dan
Praktik.” https://media.neliti.com/media/publications/111686-ID-hukum-
acara-mahkamah-konstitusi-dalam-te.pdf
Agus Sahbani. “MK Batalkan UU Penetapan PERPPU MK.”
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52fced103853a/mk-batalkan-uu-
penetapan-perppu-mk diakses 12 Februari 2018

Anda mungkin juga menyukai