DISUSUN OLEH:
RIZKINA ALIYA
FANITA ARIYANTI
IRAWATI PUTERI
MUHAMAD BADRU ZAMAN
SATRIA AFIF MUHAMMAD
YOGYAKARTA
2018
KATA PENGANTAR
A. Latar Belakang
Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin bahwa
konstitusi benar-benar terjelma dan ditaati dalam praktik,
termasuk di dalamnya menjamin bahwa hak-hak konstitusional
warga negara benar-benar dihormati, dilindungi, dan dipenuhi
dalam praktik penyelenggaraan negara.1 Mahkamah Konstitusi
sebagai pengadilan konstitusi diharapkan memberikan jaminan
tegaknya keadilan sosial bagi setiap warga negara dalam sistem
pemerintahan suatu negara.2
Harjono mengatakan bahwa keberadaan Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga peradilan dalam sistem
penyelenggaraan pemerintahan negara atau sistem ketatanegaraan
membawa implikasi atau pengaruh terhadap tatanan hukum
(legal order), yaitu akan ditegakkannya apa yang disebut sebagai
constitutional justice. Cappelleti memberikan ciri atau unsur dari
constitutional justice itu adalah, “…to indicate that governmental
power is limited by a constitutional norm, and that procedures have
been designed and institutions created to enforce such limitation.”
Artinya, pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan yang
menjadi ciri utama dari suatu konstitusi, yaitu adanya norma-
norma konstitusi, adanya prosedur untuk menegakkan
pembatasan, serta adanya lembaga untuk menegakkan
pembatasan.3 Secara singkat, dapat dikatakan bahwa gagasan
membentuk Mahkamah Konstitusi adalah upaya untuk
menegakkan prinsip-prinsip negara hukum dan memberi
1
Iriyanto Baso Ence, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas
Mahkamah Konstitusi: Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi
(Bandung: Alumni, 2008), hlm. 135.
2
Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi dalam Upaya Mewujudkan
Negara Hukum Demokrasi, (Yogyakarta: Kreasi Total Media,2007), hlm. 327.
3
Ibid., hal. 384
perlindungan maksimum terhadap demokrasi dan hak-hak dasar
warga negara. Tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi adalah
menangani perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusional
tertentu dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan
secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan
cita-cita demokrasi. Selain itu, keberadaan Mahkamah Konstitusi
juga dimaksudkan sebagai koreksi terhadap pengalaman
ketatanegaraan yang ditimbulkan oleh tafsir ganda atas konstitusi.
Lebih lanjut, fungsi yang melekat pada keberadaan Mahkamah
Konstitusi dan dilaksanakan melalui wewenangnya, yaitu sebagai
pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), penafsir final
konstitusi (the final interpreter of the constitution), pelindung hak
asasi manusia (the protector of human rights), pelindung hak
konstitusional warga negara (the protector of the citizen’s
constitutional rights), dan pelindung demokrasi (the protector of
democracy).4
Dari seluruh kewenangan yang dimiliki Mahkamah
Konstitusi saat ini, satu-satunya yang langsung berkenaan dengan
penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak konstitusional
warga negara adalah kewenangan untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar atau yang biasa disebut
constitutional review. Constitutional review hadir sebagai upaya
mengidentifikasi, menyelidiki lebih komprehensif, dan kemudian
menilai secara objektif, akan menghindarkan atau mencegah
undang-undang menyalahi atau menyimpang dari Undang-
Undang Dasar. Consitutional review juga menjadi kontrol antar
lembaga-lembaga negara untuk terwujudnya cita negara hukum
yang demokratis.
Namun pada perkembangannya, Mahkamah Konstitusi,
tidak dapat maksimal dalam melindungi hak konstitusional warga
4
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Hukum
Acara Mahkamah Konstitusi, hlm. 10.
negara dan menjaga konstitusi. Hal tersebut disebabkan pengujian
peraturan perundang-undangan di bawah UU dilakukan di
Mahkamah Agung (MA), sedangkan MA tidak mempunyai
kewenangan dalam menguji apakah suatu peraturan
konstitusional atau tidak. Sedangkan yang berwenang menguji
apakah sebuah peraturan konstitusional atau tidak adalah MK,
namun MK tidak berwenang melakukan tugas menguji peraturan
perundang-undangan di bawah UU. Potensi kerugian pengujian
dua atap ini terproyeksi dari beberapa kasus. Misal dalam
pengujian Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 sebagaimana diubah
dengan Peraturan KPU No. 26 Tahun 2009 tentang Pedoman
Teknis Penetapan Dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum, Tata
Cara Penetapan Perolehan Kursi, Penetapan Calon Terpilih dan
Penggantian Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota Tahun 2009 dan Peraturan KPU No. 259
Tahun 2009 tentang Penetapan Perolehan Kursi Partai Politik
terhadap UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, MA memutuskan
pembentukan Peraturan KPU tersebut bertentangan dengan UU
No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum, sedangkan MK
dalam pengujian Pasal 205 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2008 adalah
konstitusional bersyarat.5 Contoh lain yang menjadi permasalahan
yang cukup pelik adalah mengenai Peraturan Daerah Syariah yang
mulai menjamur di Indonesia. Sebagaimana dilansir oleh
Kementrian Hukum dan HAM, setidaknya ada 92 buah Perda
5
Ni’matul Huda, Pengujian Peraturan Perundang-undangan di Bawah
Satu Atap Mahkamah Konstitusi dalam Dri Utari Christina dan Ismail Hasani
(Ed), Masa Depan Mahkamah Konstitusi RI; Naskah Konferensi Mahkamah
Konstitusi dan Pemajuan Hak Konstitusional Warga, , Setara Institute, Jakarta,
2013, hlm. 492
Syariah yang dipermasalahkan. Dari beberapa Perda syariah yang
dipermasalahkan menurut Kemenkumham, salah satu contohnya
adalah Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Larangan
Pelacuran. Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang
Larangan Pelacuran yang telah di judicial review ke MA nyata-
nyata diskriminatif dan telah melanggar hak-hak konstitusional
warga negara, sebagai contoh adalah Lilis Mahmudah yang
menjadi korban salah tangkap yang kemudian meninggal karena
depresi, namun MA memutus perda tersebut sesuai dengan
KUHP.6 Hal ini disebabkan MA tidak mempunyai wewenang untuk
mengujikan perda tersebut dengan pasal HAM di konstitusi.
Akibat pengujian yang tidak terintegrasi di satu tempat, akan
menimbulkan ketidakpastian hukum. Sehingga, upaya
pembangunan hukum di Indonesia tidak akan berjalan secara
maksimal. Namun mengubah wewenang pengujian peraturan
perundang-undangan menjadi satu atap di bawah Mahkamah
Konstitusi tentunya bertentangan dengan kewenangan
konstitusional Mahkamah Konstitusi yang dimuat dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, oleh
karena itu dalam menyiasati hal ini diperlukan suatu gagasan
solusi yang tetap konstitusional. Tim merumuskan dalam tajuk
constitusional question, yakni perluasan makna pengujian
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar dengan
memberikan tambahan kedudukan hukum bagi hakim yang
tengah menangani perkara dan meragukan konstitusionalitas
undang-undang yang terkait dengan perkara tersebut.
Amplifikasi isu dalam tubuh Mahkamah Konstitusi, meruak
hingga mekanisme rekrutmen dan masa jabatan yang terintegrasi
6
Ismail Hasani, Integrasi Pengujian Peraturan Perundang-undangan dan
Pemajuan Hak Konstitusional Warga Negara, dalam Dri Utari Christina dan
Ismail Hasani (Ed), Masa Depan Mahkamah Konstitusi RI; Naskah Konferensi
Mahkamah Konstitusi dan Pemajuan Hak Konstitusional Warga, Setara
Institute, Jakarta, 2013, hlm. 508-533.
menjadi faktor determinan penjamin independensi dan
imparsialitas hakim konstitusi. Pengangkatan Patrialis Akbar
sebagai hakim konstitusi dari unsur pemerintah oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pada Agustus 2013 memantik
kontroversi. Saat itu, Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan
Mahkamah Konstitusi meminta Presiden SBY membatalkan
pencalonan Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi
sebab pencalonan Patrialis Akbar dinilai cacat hukum karena
tidak transparan dan partisipatif. Pencalonan Patrialis juga dinilai
melanggar Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi.7 Belum lama dari kontroversi
tersebut, wajah Mahkamah Konstitusi seolah dicoreng arang hitam
ketika Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, yang
merupakan hakim konstitusi pilihan DPR dan telah menjadi
hakim MK periode 2008-2013, lalu kemudian diperpanjang
kembali masa jabatannya untuk periode kedua 2013-2018 tanpa
melalui proses seleksi kembali—ditangkap karena kasus suap
terhadap perkara Pemilihan Kepala Daerah.8 Unsur politis dan
faktor kepentingan dari DPR pada saat pemilihan Akil Mochtar
sebagai individu pilihannya untuk menduduki kursi terhormat
Mahkamah Konstitusi seolah sangat terlihat mengingat sebelum
menjabat hakim konstitusi, Akil pernah menjadi anggota DPR
sejak tahun 1999 sampai tahun 2009. Berangkat dari dua
pengalaman traumatis terkait dua mantan hakim konstitusi
tersebut, terdapat urgensi melakukan upaya introspeksi dan
rekonstruksi tataran normatif untuk memperbaiki mekanisme
rekrutmen hakim konstitusi.
7
Rapor Merah dan Kontroversi Patrialis Akbar Jadi Hakim MK,
https://news.detik.com/berita/d-3406122/rapor-merah-dan-kontroversi-
patrialis-akbar-jadi-hakim-mk
8
KPK Periksa Akil Mochtar terkait Dugaan Sengketa Pilkada Buton,
http://nasional.kompas.com/read/2016/10/31/15533761/kpk.periksa.akil.mo
chtar.terkait.dugaan.suap.sengketa.pilkada.buton
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi juga dinilai memiliki
permasalahan berkenaan dengan hukum acara karena
pengaturannya belum komprehensif dan akomodatif dengan
dinamika hukum yang ada. Selama ini Mahkamah Konstitusi
mengatur lebih lanjut tugas dan wewenang konstitusionalnya
melalui Peraturan Mahkamah Konstitusi. Diperlukan upaya
menormakan substansi peraturan yang sebelumnya diatur melalui
Peraturan Mahkamah Konstitusi guna memperkuat substansi
tersebut secara normative dalam tataran undang-undang yang
berkaitan dan mengikat umum. Terlebih lagi, ditinjau dari sifatnya
Peraturan Mahkamah Konstitusi tidak hanya melengkapi hal-hal
yang bersifat operasional, melainkan ada juga yang seharusnya
menjadi materi muatan Undang-Undang. Beberapa Peraturan
Mahkamah Konstitusi itu antara lain:
1. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PMK/2005
tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian
Undang-Undang.
2. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 008/PMK/2006
tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan
Konstitusional Lembaga Negara.
3. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PMK/2008
tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Kepala Daerah.
4. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PMK/2009
tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
5. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17/PMK/2009
tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden.
6. Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Dewan Etik
7. Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi
11
Putusan No. 53/PUU-IX/2011,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/
putusan_sidang_53-PUU-IX-2011-parpol%20-%20telah%20baca
%203%20Januari%202012.pdf diakses 13 Februari 2018
sua, sehingga menjadi penting untuk dielaborasikan bagaimana
narasi imparsialitas sebagai prinsip etik yang bersifat universal
untuk menghindari konflik kepentingan (conflict of interest)
sesungguhnya menitikberatkan pada proses pemeriksaan perkara
biasa, dalam hal mana faktor konflik kepentingan individual
merupakan obyek sengketa (objectum litis) yang diperiksa dan
diadili hakim. Dalam Rancangan Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi ini penting dimaknai kembali bagaimana persoalan
imparsialitas dalam konteks Mahkamah Konstitusi sebagai the
last resort dan the final interpreter of the constitution dalam
menjalankan kewenangan konstitusionalnya dan implikasi mandat
konstitusi tersebut terhadap variasi putusan yang diberikan oleh
Mahkamah Konstitusi, termasuk justifikasi dalam hal terdapat
ultra petita atau putusan yang ditenggarai mengadili perkara
terkait dirinya sendiri.
Berdasarkan hal yang telah dipaparkan, terang bahwa
terdapat urgensi untuk menyusun Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi sebagai
rekonstruksi normatif dan dalam batasan konstitusional pada
kerangka Indonesia sebagai negara hukum.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan,
identifikasi masalah yang akan diuraikan dalam naskah akademik
Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana penyesuaian hukum yang perlu dilakukan
menanggapi implikasi dari berbagai Putusan Mahkamah
Konstitusi yang telah membatalkan beberapa norma dalam
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi?
2. Bagaimana perluasan kewenangan konstitusional
Mahkamah Konstitusi dapat mengoptimalisasi proteksi
terhadap hak konstitusional warga negara dan mencapai
harmonisasi sistem hukum di Indonesia?
3. Bagaimana solusi atas problematika perihal penegakan Kode
Etik dan Pedoman Perilaku untuk menjaga, menegakkan
kehormatan, keluhuran, serta perilaku Hakim Konstitusi
dan pengawas kelembagaan lingkungan Mahkamah
Konstitusi pasca dieksklusikannya Mahkamah Konstitusi
dan Hakim Konstitusi dari objek pengawasan Komisi
Yudisial?
4. Bagaimana solusi atas problematika yang dihadapi
Mahkamah Konstitusi dalam tataran kelembagaan dan
hukum acara?
5. Bagaimana solusi atas problematika yang dihadapi
Mahkamah Konstitusi perihal asas nemo judex idoneus
propria causa sua dan penerapan prinsip judicial restraint?
6. Mengapa perlu diterapkan Undang-Undang baru sebagai
pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah
Konstitusi?
7. Apa yang menjadi dasar pertimbangan atau landasan
filosofis, sosiologis dan yuridis Rancangan Undang-Undang
tentang Mahkamah Konstitusi?
8. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan yang akan
dirumuskan dalam Rancangan Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi?
C. Tujuan dan Kegunaan
Sesuai dengan ruang lingkup masalah yang telah diuraikan
di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik penggantian atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi adalah untuk:
1. Menyesuaikan norma-norma yang telah mengalami
perubahan akibat dari berbagai Putusan Mahkamah
Konstitusi yang telah membatalkan beberapa norma dalam
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi;
2. Mengatur perluasan kewenangan konstitusional Mahkamah
Konstitusi agar proteksi terhadap hak konstitusional warga
negara dapat optimal dan harmonisasi sistem hukum di
Indonesia dapat tercapai;
3. Mengatur perihal penegakan Kode Etik dan Pedoman
Perilaku untuk menjaga, menegakkan kehormatan,
keluhuran, serta perilaku Hakim Konstitusi dan pengawas
kelembagaan lingkungan Mahkamah Konstitusi pasca
diekslusikannya Mahkamah Konstitusi dan Hakim
Konstitusi dari objek pengawasan Komisi Yudisial;
4. Mengatur penyelesaian atas problematika yang dihadapi
Mahkamah Konstitusi dalam tataran kelembagaan dan
hukum acara;
5. Mengatur penerapan asas nemo judex idoneus propria causa
sua dan judicial restraint
6. Memberikan pertimbangan yang mendalam atas
penggantian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah
Konstitusi dengan Undang-Undang baru;
7. Memberikan dasar filosofis, sosiologis, dan yuridis atas
Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi;
dan
8. Menguraikan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan yang akan
dirumuskan dalam Rancangan Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi.
D. Metode
Sejatinya, penyusunan Naskah Akademik merupakan suatu
kegiatan penelitian hukum. Penelitian hukum merupakan suatu
kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan
pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau
beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya.
Selain itu, diadakan juga pemeriksaan yang mendalam terhadap
fakta hukum untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan
atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala
yang bersangkutan.12 Penelitian hukum dalam penyusunan
Naskah Akademik ini dapat dilakukan melalui metode yuridis
normatif ataupun metode yuridis empiris (sosiolegal).
12
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press,
1986), hlm.3.
13
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan SIngkat, (Jakara: Rajawali Press, 2004), hlm.13.
adalah perjanjian, kontrak, hasil penelitian, atau dokumen hukum
lainnya serta referensi lainnya. Dalam naskah akademik ini,
sumber data sekunder yang digunakan adalah:
A. Kajian Teoretis
1. Pembagian Kekuasaan
Salah satu karakteristik dari negara hukum adalah adanya
suatu pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan
kenegaraan. Pembatasan kekuasaan merupakan konsep dasar
dari paham konstitusionalisme modern. Pembatasan kekuasaan
penyelenggara negara ini disebut dengan istilah rule of law oleh
common law dan rechtsstaat dalam konteks negara Eropa
Kontinental. Oleh karenanya, konsep negara hukum sering
disebut sebagai negara konstitusional atau constitusional state,
yakni negara yang dibatasi oleh konstitusi.14
Indonesia menganut sistem Rechtstaat karena termasuk
dalam bagian Eropa Kontinental. Satu diantara empat ciri khas
rechtstaat adalah adanya elemen pembatasan kekuasaan yang
menjadi ciri pokok negara hukum. Pembatasan kekuasaan negara
bermula dari gagasan pemisahan kekuasaan ke dalam beberapa
organ agar tidak terpusat ditangan seorang monarki (raja
absolut).15 Bertitik tolak dari keadaan tersebut, muncullah suatu
konsep pembatasan kekuasaan dalam suatu negara. Persoalan
pembatasan kekuasaan (limitation of power) akan berkaitan erat
dengan teori pemisahan kekuasaan (separation of power) dan teori
pembagian kekuasaan (division of power). Berdasarkan sejarah
pemikiran kenegaraan, gagasan pemisah kekuasaan secara
horizontal pertama kali dikemukakan oleh seorang filsuf Inggris,
14
Jimly Asshidiqqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2014), Cet.6, hlm.281
15
Saldi Isra, Pergeserah Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi
Parlemen dalam Sistem Presidensial Indonesia, (Jakarta:Rajawali Pers, 2010),
hlm.76.
John Locke dalam Second Treaties of Civil Government (1690). John
Locke berpendapat bahwa kekuasaan untuk menetapkan aturan
hukum tidak boleh dipegang sendiri oleh mereka yang
menerapkannya. John Locke membagi kekuasaan dalam sebuah
negara menjadi tiga cabang kekuasaan, yakni (1) legislative
sebagai pembentuk undang-undang; (2) executive sebagai
kekuasaan melaksanakan undang-undang; (3) federative sebagai
kekuasaan untuk mengadakan hubungan internasional dengan
negara lain.16
Pada tahun 1748, seorang filsuf Perancis, Baron de
Montesquieu mengembangkan pemikiran John Lock dalam buku
yang berjudul L’Esprit des Lois. Montesquieu menyatakan, “when
the legislative and the executive powers are united in the same
person, or in the same body of magistrate, there can be no liberty.”
Begitupun dalam hubungan kekuasaan kehakiman dan
kekuasaan lainnya, Montesquieu menyatakan bahwa “again, there
is no liberty, if the judiciary power not be separated from the
legislative, the life and liberty of the subject would be exposed to
arbitrary control; for judge would be then the legislator. Where it
joined to executive porwer, the judge might behave with violence and
oppression.”17 Montesquieu mengembangkan konsep trias politica
yang membagi kekuasaan menjadi 3 cabang: (1) kekuasaan
legislative sebagai pembuat undang-undang; (2) kekuasaan
eksekutif sebagai pelaksana undang-undang; (3) kekuasaan
yudikatif sebagai kekuasaan untuk menghakimi. 18 Dari klasifikasi
tersebut, terlihat ada pembagian kekuasaan negara modern
menjadi tiga fungsi, yakni fungsi legislatif, eksekutif, dan
16
Mariam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2009) hlm.282.
17
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, hlm.76.
18
Michele T. Molan, Constitutional Law: Machinery of Government,
(London: Old Bailey Press, 2003), 4th edition, hlm.63-64.
yudisial.19 Jika disimak lebih cermat, Montesquieu tidak pernah
mengatakan bahwa antara cabang-cabang kekuasaan negara tidak
punya hubungan satu sama lain. Montesquieu hanya menekankan
bahwa cabang-cabang kekuasaan negara tidak boleh berada
dalam satu tangan atau dalam satu organ negara. Montesquieu
menghendaki pemisahan yang amat ketat diantara cabang-cabang
kekuasaan negara, yakni satu cabang kekuasaan hanya
mempunyai satu fungsi. Sebaliknya, satu fungsi hanya
dilaksanakan oleh satu cabang kekuasaan negara saja. 20
Pandangan Montesquieu inilah yang sering menjadi rujukan
doktrin separation of power.
Konsep separation of power di Indonesia membedakan dan
memisahkan secara struktural organ-organ negara untuk tidak
saling mencampuri satu dan lainnya. Untuk membatasi pengertian
separation of power, G.Marshall dalam bukunya Constituitional
Theory membedakan ciri-ciri kekuasaan ke dalam lima aspek,
yakni:21
1. Differentiation;
Doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers)
bersifat membedakan fungsi-fungsi kekuasaan legislatif,
eksekutif, dan yudisial. Legislator membuat aturan,
eksekutor melaksanakan peraturan, pengadilan menilai
konflik yang terjadi dalam pelaksanaan aturan dan
menerapkan aturan untuk menyelesaikan perselisihan.
2. Legal incompatibility of Office Holding;
Orang yang menduduki jabatan lembaga legislative tidak
boleh merangkap pada jabatan di luar cabang legislative.
Meskipun demikian, hal ini tidak diterapkan secara
19
O. Hood Philips, Paul Jackson, and Patricia Leopold, Constitutional and
Administrative Law, (London: Sweet and Maxwell, 2001), hlm.10-11.
20
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm.14.
21
G.Marshall, Constitutional Theori, (Clarendon:Oxford University
Press,1971), chapter 5.
konsisten dalam system parlementer karena cabinet Inggris
di[ersyaratkan berasal dari anggota parlemen.
3. Isolation, Immunity, Independence;
Masing-masing organ tidak boleh turut campur atau
melakukan intervensi terhadap kegiatan organ yang lain.
4. Check and Balances;
Setiap cabang mengendalikan dan mengimbangi kekuatan
cabang-cabang kekuasaan yang lain sehingga dihadapkan
tidak ada penyalahgunaan kekuasaan organ yang bersifat
independen.
5. Coordinate Status and Lack of Accountability.
Prinsip koordinasi dan kesederajatan, yakni semua organ
atau lembaga negara yang menjalankan fungsi legislatif,
eksekutif dan yudisial mempunyai kedudukan sederajat,
hubungan koordinatif dan tidak bersifat subordinatif satu
dengan yang lain.22
Dalam perkembangan praktik ketatanegaraan, konsep
separation of power dimodifikasi menjadi pembagian kekuasaan
(distribution of power/division of power). Dalam pandangan John
A.Garvey and T.Alexander Aleinikoff, tidak mungkin lagi dalam
teori Trias Politica memisahkan secara ketat cabang-cabang
kekuasaan negara. Oleh karena itu, yang paling mungkin adalah
memisahkan secara tegas fungsi setiap cabang kekuasaan negara
bukan memisahkannya secara ketat bagai tidak mempunyai
hubungan sama sekali.23
Di Indonesia, kedaulatan yang berasal dari rakyat oleh
rakyat untuk rakyat pada awalnya hanya diwujudkan dalam
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang merupakan penjelmaan
dari seluruh rakyat. Kekuasaan rakyat itu kemudian dibagi-bagi
22
John Alder and Peter English, Constitutional and Administrative Law,
(London: Macmillan, 1989), hlm.57-59.
23
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, hlm.77.
secara vertikal ke dalam lembaga-lembaga tinggi negara di
bawahnya. Implikasinya adalah Indonesia akan menganut prinsip
pembagian kekuasaan (distribution of power). Namun setelah
perubahan keempat UUD 1945, prinsip kedaulatan rakyat
tersebut dibagi secara horizontal dengan cara memisahkannya
(separation of power) menjadi lembaga-lembaga negara yang
sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan
prinsip check and balances.24 Bukti mengenai hal ini adalah:
1. Pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke
DPR.
Hal tersebut terlihat dari ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUD
1945 sebelum perubahan:
“Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-
undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan:
“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk Undang-Undang.”
Dari kedua pasal tersebut terlihat bahwa kekuasaan
membentuk undang-undang yang sebelumnya berada di
tangan presiden beralih ke Dewan Perwakilan Rakyat.
2. Diadopsinya sistem pengujian konstitusional atas undang-
undang sebagai produk legislatif oleh Mahkamah Konstitusi.
Sebelumnya, tidak dikenal mekanisme yang demikian
karena undang-undang tidak dapat diganggu gugat. Hakim
hanya dapat menerapkan undang-undang dan bukan
menilai undang-undang.
3. Lembaga kedaulatan rakyat tidak hanya terbatas pada MPR.
Lembaga negara baik secara langsung maupun tidak
langsung merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat.
24
Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah
Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Seminar Pembangunan Hukum Nasional
VIII, (Denpasar 14-18 Juli 2003), hlm.5.
Presiden, DPR, DPD dipilih langsung oleh rakyat dan
merupakan pelaksana langsung prinsip kedaulatan rakyat.
4. MPR tidak lagi berstatus sebagai lembaga tertinggi negara.
MPR hanya sebagai lembaga (tinggi) negara yang sama
derajatnya dengan lembaga-lembaga (tinggi) negara lainnya,
seperti Presiden, DPR, DPD, MK, MA.
5. Hubungan-hubungan antar-lembaga (tinggi) negara itu
bersifat saling mengendalikan satu sama lain sesuai prinsip
check and balances.
28
Leonard W. Levy (ed.), Judicial review: Sejarah Kelahiran, Wewenang,
dan Fungsinya dalam Negara Demokrasi, Judul Asli: Judicial review and the
Supreme Court, Penerjemah: Eni Purwaningsih, (Jakarta: Penerbit Nuansa,
2005), hal. 3.
warga negara atas tindakan negara (constitutional
complaint).29
Gagasan pembentukan peradilan tersendiri di luar MA
untuk menangani perkara judicial review pertama kali
dikemukakan oleh Hans Kelsen pada saat menjadi anggota
Chancelery dalam pembaruan Konstitusi Austria pada 1919
– 1920. Gagasan tersebut diterima dan menjadi bagian
dalam Konstitusi Austria 1920 yang di dalamnya dibentuk
Mahkamah Konstitusi (Verfassungsgerichtshof). Sejak saat
itulah dikenal dan berkembang lembaga Mahkamah
Konstitusi yang berada di luar MA yang secara khusus
menangani judicial review dan perkara-perkara
konstitusional lainnya.30
Berdasarkan latar belakang sejarah pembentukan MK,
keberadaan MK pada awalnya adalah untuk menjalankan
wewenang judicial review, sedangkan munculnya judicial
review itu sendiri dapat dipahami sebagai perkembangan
hukum dan politik ketatanegaraan modern. Dari aspek
politik, keberadaan MK dipahami sebagai bagian dari upaya
mewujudkan mekanisme checks and balances antar cabang
kekuasaan negara berdasarkan prinsip demokrasi. Hal ini
terkait dengan dua wewenang yang biasanya dimiliki oleh
MK di berbagai negara, yaitu menguji konstitusionalitas
peraturan perundang-undangan dan memutus sengketa
kewenangan konstitusional lembaga negara.
Sistem demokrasi, baik dari teori maupun praktik,
berlandaskan pada suara mayoritas. Sistem politik
demokrasi pada dasarnya adalah pembuatan kebijakan
publik atas dasar suara mayoritas melalui mekanisme
29
Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,
hal. 24.
30
Ibid.,hal. 29
perwakilan yang dipilih lewat Pemilu. Kekuatan mayoritas
itu perlu dibatasi karena dapat menjadi legitimasi bagi
penyalahgunaan kekuasaan, bahkan membahayakan
demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu diperlukan
pembatasan yang rasional, bukan sebagai sesuatu yang
bertentangan dengan demokrasi, tetapi justru menjadi salah
satu esensi demokrasi.31 Mekanisme judicial review yang di
banyak negara dijalankan oleh MK merupakan mekanisme
untuk membatasi dan mengatasi kelemahan demokrasi
tradisional.32
Dalam sistem demokrasi konstitusional,
penyelenggaraan negara diatur dengan model pemisahan
ataupun pembagian kekuasaan yang dimaksudkan untuk
mencegah terjadinya konsentrasi kekuasaan agar tidak
terjadi penyalahgunaan kekuasaan “Power tends to corrupt,
absolut power corrupt absolutely”. Kekuasaan negara dibagi
atas cabang-cabang tertentu menurut jenis kekuasaan dan
masing-masing dipegang dan dijalankan oleh lembaga yang
berbeda. Dalam perkembangannya kelembagaan negara dan
pencabangan kekuasaan semakin kompleks dan tidak dapat
lagi dipisahkan secara tegas hanya menjadi legislatif,
eksekutif, dan yudikatif. Kondisi tersebut sangat
memungkinkan terjadinya konflik atau sengketa antar
lembaga negara, baik horizontal maupun vertikal yang harus
31
Lihat, David Wood, Judicial Invalidation of Legislation and Democratic
Principles, dalam Charles Sampford and Kim Preston (eds.), Interpreting
Constitution, (NSW: The Federation Press, 1996), hal. 171 – 183.v
32
Jose H. Choper, Judicial review and the National Political Process: A
Functional Reconsideration of the Role of the Supreme Court, (Chicago and
London: The University of Chicago Press, 1980), hal. 4 – 7. Keberadaan MK
dikenal sebagai fenomena Abad XX dan pada umumnya dibentuk di negara-
negara yang telah mencapai tahap akhir transisi demokrasi yang salah satu
cirinya adalah penerimaan mekanisme konstitusi untuk menjamin hak dan
kebebasan dasar warga negara serta pembatasan kekuasaan negara. Lihat, I
Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi, Judicial review, dan Welfare State,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2008), hal. 3 – 3.
dibuat mekanisme penyelesaiannya. Di sinilah keberadaan
MK diperlukan.
Mengingat permasalahan konstitusional di atas, MK
sering dicirikan sebagai pengadilan politik. Bahkan judicial
review secara tradisional dipahami sebagai tindakan politik
untuk menyatakan bahwa suatu ketentuan tidak
konstitusional oleh pengadilan khusus yang berisi para
hakim yang dipilih oleh parlemen dan lembaga politik lain,
dan bukan oleh pengadilan biasa yang didominasi oleh
hakim yang memiliki kemampuan teknis hukum.33
Dari sisi hukum, keberadaan MK adalah konsekuensi
dari prinsip supremasi konstitusi yang menurut Hans
Kelsen untuk menjaganya diperlukan pengadilan khusus
guna menjamin kesesuaian aturan hukum yang lebih
rendah dengan aturan hukum di atasnya. Kelsen
menyatakan:34
The application of the constitutional rules concerning
legislation can be effectively guaranted only if an organ
other than the legislative body is entrusted with the
task of testing whether a law is constitutional, and of
annulling it if – according to the opinion of this organ – it
is “unconstitutional”. There may be a special organ
established for this purpose, for instance, a special
court, a so-called “constitutional court”...
Pandangan tersebut merupakan konsekuensi dari dalil
hierarki norma hukum yang berpuncak kepada konstitusi
sebagai the supreme law of the land. Hierarki tersebut
sekaligus menempatkan landasan validitas suatu norma
33
Donald P. Kommers, The Constitutional Jurisprudence of the Federal
Republic of Germany, (Durham and London: Duke University Press, 1989), hal.
3.
34
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russell &
Russell, 1961), hal. 157.
hukum adalah norma hukum yang berada di atasnya
demikian seterusnya hingga ke puncak dan sampai pada
konstitusi pertama.
Konsekuensi dari supremasi konstitusi tidak hanya
terbatas bahwa semua aturan hukum tidak boleh
bertentangan dengan konstitusi. Supremasi konstitusi juga
mengikat kepada tindakan negara sehingga tidak ada satu
pun tindakan negara yang boleh bertentangan dengan
konstitusi. Untuk mengontrol tindakan negara ini, terdapat
mekanisme constitutional complaint yang menjadi salah satu
wewenang pokok MK di berbagai negara.
b. Latar Belakang Pembentukan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia
Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga
peradilan sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman,
di samping Mahkamah Agung (MA), yang dibentuk melalui
Perubahan Ketiga UUD 1945.35 Ide pembentukan MK di
Indonesia muncul dan menguat di era reformasi pada saat
dilakukan perubahan terhadap UUD 1945. Namun
demikian, dari sisi gagasan judicial review sebenarnya telah
ada sejak pembahasan UUD 1945 oleh BPUPK pada tahun
1945. Anggota BPUPK, Prof. Muhammad Yamin, telah
mengemukakan pendapat bahwa “Balai Agung” (MA) perlu
diberi kewenangan untuk membanding Undang-Undang.
Namun Prof. Soepomo menolak pendapat tersebut karena
memandang bahwa UUD yang sedang disusun pada saat itu
tidak menganut paham trias politika dan kondisi saat itu
belum banyak sarjana hukum dan belum memiliki
pengalaman judicial review.36
35
Ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2001, tanggal 9
November 2001.
36
Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945,
Jilid I, (Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959), hal. 341 – 342.
Pada masa berlakunya Konstitusi RIS, judicial review
pernah menjadi salah satu wewenang MA, tetapi terbatas
untuk menguji Undang-Undang Negara Bagian terhadap
konstitusi. Hal itu diatur dalam Pasal 156, Pasal 157, dan
Pasal 158 Konstitusi RIS. Sedangkan di dalam UUDS 1950,
tidak ada lembaga pengujian undang-undang karena
undang-undang dipandang sebagai pelaksanaan kedaulatan
rakyat yang dijalankan oleh pemerintah bersama DPR. 37
Di awal Orde Baru pernah dibentuk Panitia Ad Hoc II
MPRS (1966-1967) yang merekomendasikan diberikannya
hak menguji material UU kepada MA. Namun rekomendasi
tersebut ditolak oleh pemerintah. Pemerintah menyatakan
bahwa hanya MPR lah yang dapat bertindak sebagai
pengawal konstitusi.38 Hal itu sudah pernah dilakukan oleh
MPRS melalui Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 jo.
Ketetapan MPRS Nomor XXXIX/MPRS/1968 tentang
Peninjauan Kembali Produk Hukum Legislatif Di Luar
Produk Hukum MPRS Yang Tidak Sesuai Dengan UUD
1945.39
Ide perlunya judicial review, khususnya pengujian
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, kembali
37
Sri Soemantri, Hak Menguji Material di Indonesia, (Bandung: Alumni,
1986), hal. 25.
38
Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1990),
hal. 402.
39
Di dalam ketetapan MPRS ini dilakukan peninjauan terhadap produk
legislatif serta produk hukum lain terutama yang dikeluarkan dalam bentuk
Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden. Sebagai pelaksanaan dari Tap
MPRS ini dibentuk UU Nomor 25 Tahun 1968 tentang Pernyataan Tidak
Berlakunya Berbagai Penetapan Presiden Dan Peraturan Presiden dan UU
Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan
Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang. Penetapan dan Peraturan Presiden
yang masih relevan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) menjadi Undang-
Undang dengan disahkannya UU Nomor 5 Tahun 1969; (2) menjadi Undang-
Undang dengan ketentuan materi Penetapan Presiden atau Peraturan Presiden
tersebut ditampung dan dijadikan bahan penyusunan Undang-Undang yang
baru; dan (3) diserahkan kepada Pemerintah untuk meninjau kembali dan
pengaturannya disesuaikan dengan materi masing-masing.
muncul pada saat pembahasan RUU Kekuasaan Kehakiman
yang selanjutnya ditetapkan menjadi Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Saat itu Ikatan Hakim Indonesia yang
mengusulkan agar MA diberikan wewenang menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Namun
karena ketentuan tersebut dipandang merupakan materi
muatan konstitusi sedangkan dalam UUD 1945 tidak diatur
sehingga usul itu tidak disetujui oleh pembentuk undang-
undang. MA ditetapkan memiliki wewenang judicial review
secara terbatas, yaitu menguji peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terhadap undang-
undang, itu pun dengan ketentuan harus dalam
pemeriksaan tingkat kasasi yang mustahil dilaksanakan.
Ketentuan ini juga dituangkan dalam Tap MPR Nomor
VI/MPR/1973 dan Tap MPR Nomor III/MPR/1978.40
Perdebatan mengenai hak menguji muncul lagi pada
pertengahan tahun 1992 ketika Ketua MA Ali Said
menganggap bahwa pemberian hak uji kepada MA adalah
hal yang proporsional karena MA merupakan salah satu
pilar demokrasi. Jika dua pilar lain, yaitu Presiden dan DPR
bertugas membuat dan menetapkan UU, maka MA bertugas
mengujinya. Gagasan tersebut merupakan gagasan yang
didasarkan pada prinsip checks and balances.41
Sebelum terbentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai
bagian dari Perubahan Ketiga UUD 1945, wewenang menguji
undang-undang terhadap UUD 1945 dipegang oleh MPR. Hal
itu diatur dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000
tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
40
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi, (Jakarta: LP3ES, 2007), hal. 96.
41
Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta:
Gama Media, 1999), hal. 331.
Perundang-Undangan. Pasal 5 ayat (1) ketetapan tersebut
menyatakan “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
1945, dan Ketetapan MPR.” Namun pengujian ini tidak
dapat disebut sebagai judicial review, karena dilakukan oleh
MPR yang bukan merupakan lembaga peradilan.
Pada awalnya terdapat tiga alternatif lembaga yang
digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian UU
terhadap UUD, yaitu MPR atau MA atau MK. Gagasan
memberikan wewenang tersebut kepada MPR akhirnya
dikesampingkan karena, di samping tidak lagi sebagai
lembaga tertinggi, MPR bukan merupakan kumpulan ahli
hukum dan konstitusi, melainkan wakil organisasi dan
kelompok kepentingan politik. Gagasan memberi wewenang
pengujian UU kepada MA juga akhirnya tidak dapat diterima
karena MA sendiri sudah terlalu banyak beban tugasnya
dalam mengurusi perkara yang sudah menjadi
kompetensinya. Itulah sebabnya wewenang pengujian UU
terhadap UUD akhirnya diberikan kepada lembaga
tersendiri, yaitu Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman. Pembentukan MK RI dapat
dipahami dari dua sisi, yaitu dari sisi politik dan dari sisi
hukum. Dari sisi politik ketatanegaraan, keberadaan MK
diperlukan guna mengimbangi kekuasaan pembentukan
undang-undang yang dimiliki oleh DPR dan Presiden. Hal itu
diperlukan agar undang-undang tidak menjadi legitimasi
bagi tirani mayoritas wakil rakyat di DPR dan Presiden yang
dipilih langsung oleh mayoritas rakyat. Di sisi lain,
perubahan ketatanegaraan yang tidak lagi menganut
supremasi MPR menempatkan lembaga-lembaga negara
pada posisi yang sederajat. Hal itu memungkinkan – dan
dalam praktik sudah terjadi – muncul sengketa antar
lembaga negara yang memerlukan forum hukum untuk
menyelesaikannya. Kelembagaan paling sesuai adalah
Mahkamah Konstitusi. Dari sisi hukum, keberadaan MK
adalah salah satu konsekuensi perubahan dari supremasi
MPR menjadi supremasi konstitusi, prinsip negara
kesatuan, prinsip demokrasi, dan prinsip negara hukum.
Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Negara
Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik.
Negara kesatuan tidak hanya dimaknai sebagai kesatuan
wilayah geografis dan penyelenggaraan pemerintahan. Di
dalam prinsip negara kesatuan menghendaki adanya satu
sistem hukum nasional. Kesatuan sistem hukum nasional
ditentukan oleh adanya kesatuan dasar pembentukan dan
pemberlakuan hukum, yaitu UUD 1945. Substansi hukum
nasional dapat bersifat pluralistik, tetapi keragaman itu
memiliki sumber validitas yang sama, yaitu UUD 1945.
Pasal 1 ayat (1) juga menyatakan bahwa Negara
Indonesia berbentuk republik. Di dalam negara republik
penyelenggaraan negara dimaksudkan untuk kepentingan
seluruh rakyat melalui sistem demokrasi, yaitu
pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Penyelenggaraan
negara harus merupakan wujud kehendak seluruh rakyat
yang termanifestasikan dalam konstitusi. Oleh karena itu
segenap penyelenggaraan negara harus dilaksanakan
berdasarkan konstitusi yang dikenal dengan prinsip
supremasi konstitusi.
Prinsip supremasi konstitusi juga telah diterima
sebagai bagian dari prinsip negara hukum. 42 Pasal 1 ayat (3)
42
Menurut A.V. Dicey salah satu prinsip negara hukum adalah
supremasi hukum (supremacy of law). Salah satu konsekuensi dari kedudukan
konstitusi sebagai hukum tertinggi, maka berlaku pula prinsip supremasi
konstitusi. Lihat A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the
Constitution, Tenth Edition, (London; Macmillan Education LTD, 1959).
UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa Negara
Indonesia adalah negara hukum. Hukum adalah satu
kesatuan sistem yang hierarkis dan berpuncak pada
konstitusi. Oleh karena itu supremasi hukum dengan
sendirinya berarti juga supremasi konstitusi.
Prinsip supremasi konstitusi juga terdapat dalam
Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar. Dengan demikian konstitusi menjadi penentu
bagaimana dan siapa saja yang melaksanakan kedaulatan
rakyat dalam penyelenggaraan negara dengan batas sesuai
dengan wewenang yang diberikan oleh konstitusi itu sendiri.
Bahkan, konstitusi juga menentukan substansi yang harus
menjadi orientasi sekaligus sebagai batas penyelenggaraan
negara, yaitu ketentuan tentang hak asasi manusia dan hak
konstitusional warga negara yang perlindungan,
pemenuhan, dan pemajuannya adalah tanggung jawab
negara.
Agar konstitusi tersebut benar-benar dilaksanakan
dan tidak dilanggar, maka harus dijamin bahwa ketentuan
hukum di bawah konstitusi tidak bertentangan dengan
konstitusi itu sendiri dengan memberikan wewenang
pengujian serta membatalkan jika memang ketentuan
hukum dimaksud bertentangan dengan konstitusi.
Pengujian ini sangat diperlukan karena aturan hukum
undang-undang itulah yang akan menjadi dasar
penyelenggaraan negara. Salah satu ukuran yang paling
mendasar adalah ada atau tidaknya pelanggaran terhadap
hak konstitusional yang ditentukan dalam UUD 1945.
Dengan latar belakang tersebut, MK RI dibentuk melalui
Perubahan Ketiga UUD 1945 yang diatur dalam Pasal 24
ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B UUD 1945.
Dengan disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945,
tidak dengan sendirinya MK sebagai organisasi telah
terbentuk walaupun dari sisi hukum kelembagaan itu sudah
ada. Untuk mengatasi kekosongan tersebut pada Perubahan
Keempat UUD 1945 ditentukan dalam Aturan Peralihan
Pasal III bahwa MK paling lambat sudah harus terbentuk
pada 17 Agustus 2003. Sebelum terbentuk, segala
kewenangan MK dilakukan oleh MA.
UU MK, yaitu UU No. 24 Tahun 2003 disahkan pada
13 Agustus 2003. Waktu pengesahan UU Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi inilah yang ditetapkan
sebagai hari lahirnya Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan
UU MK, pembentukan Mahkamah Konstitusi segera
dilakukan melalui rekrutmen Hakim Konstitusi oleh tiga
lembaga negara, yaitu DPR, Presiden, dan Mahkamah
Agung. Setelah melalui tahapan seleksi sesuai mekanisme
yang berlaku pada masing-masing lembaga, akhirnya DPR,
Presiden, dan MA menetapkan masing-masing tiga calon
Hakim Konstitusi yang selanjutnya ditetapkan oleh Presiden
sebagai Hakim Konstitusi. Sembilan Hakim Konstitusi
pertama ditetapkan pada 15 Agustus 2003 dengan
Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003.
Pengucapan sumpah jabatan kesembilan hakim tersebut
dilakukan di Istana Negara pada 16 Agustus 2003.
43
Mutiara Hikmah, “Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penegakan
Hukum dan HAM di Indonesia”, Jurnal Hukum dan Pembangunan Vol. 35, No. 2
(April-Juni 2005), hlm. 129.
44
Jimly Asshiddiqie, “Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah
Perubahan Keempat UUD 1945” Makalah pada Seminar Pembangunan Hukum
Nasional VIII, Denpasar 2003.
45
A. Mukhtie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, 2006), hlm. 119.
46
Indonesia, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun
2003, LN No. 98 Tahun 2003, TLN No. 4316.
“...salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah
keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara
yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang
ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar
dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai dengan
kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan
Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga
terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga
merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan
ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan tafsir ganda
terhadap konstitusi.”
Lebih jelas Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie menguraikan masalah
fungsi dan tugas Mahkamah Konstitusi sebagai berikut:
“Dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi
dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi
menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan
masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan
menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh
semua komponen negara secara konsisten dan
bertanggungjawab. Di tengah kelemahan sistem konstitusi
yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir
agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai
keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.”47
Dari abstraksi ini dapat dilihat bahwa Mahkamah Konstitusi
dibangun untuk mengemban setidaknya 5 fungsi dasar, yaitu
sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution),
penafsir konstitusi (the final intepreter of the constitution),
pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the
citizen’s constitutional rights), pelindung Hak Asasi Manusia (the
47
Mahkamah Konstitusi, Cetak Biru: Membangun Mahkamah Konstitusi
sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Modern dan Terpercaya, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2004), hlm. iv.
protector of human rights), dan pengawal demokrasi (the guardian
of the democracy). Fungsi MK sebagai pengawal konstitusi
ditujukan agar konstitusi dilaksanakan dan dihormati baik oleh
penyelenggara kekuasaan negara maupun warga negara. Fungsi
pengawal konstitusi ditambah dengan fungsi penafsir konstitusi
melahirkan kewenangan MK untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, sebab hanya MK saja yang diberikan kewenangan untuk
menafsirkan UUD NRI Tahun 1945. 48 Lembaga negara lain dan
bahkan orang per orang boleh saja menafsirkan arti dan makna
dari ketentuan yang ada dalam konstitusi karena memang
acapkali norma dalam konstitusi tidak selalu eksplisit, jelas, dan
rumusannya yang luas bahkan kadang kabur. Akan tetapi, yang
menjadi otoritas akhir untuk memberi tafsir yang mengikat adalah
Mahkamah Konstitusi. Tafsiran yang mengikat tersebut hanya
diberikan dalam putusan Mahkamah Konstitusi atas pengujian
yang diajukan kepadanya.49
Hak konstitusional adalah semua hak yang disuratkan
dalam Undang-Undang Dasar. Hak-hak konstitusional itu
mencakup baik hak asasi manusia maupun hak-hak lainnya.
Contoh dalam UUD 1945, hak konstitusional tercantum di bawah
Bab XA tentang Hak Asasi Manusia yaitu Pasal 28A sampai
dengan 28J serta pasal-pasal lain yang bukan di bawah Bab XA,
antara lain Pasal 27, 28, 29, dan Pasal 31. Dari uraian ini,
Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi sebagai pelindung hak
konstitusional warga negara dengan memastikan konstitusi
dilaksanakan dan dihormati baik oleh penyelenggara kekuasaan
negara maupun oleh warga negara.50 Kehadiran Mahkamah
48
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, (Jakarta:
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008), hlm. 495.
49
Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, hlm. 8.
50
Mahkamah Konstitusi, Sejarah Pembentukan, Visi dan Misi Mahkamah
Konstitusi RI, (Jakarta: Penerbit Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 4.
Konstitusi di Indonesia berperan sebagai pengawal konstitusi, agar
konstitusi selalu dijadikan landasan dan dijalankan secara
konsisten oleh setiap komponen negara dan masyarakat, sehingga
hal ini yang menjadikan MK mengemban fungsi the protector of
citizen’s constitutional rights.51
Eric Barent mengatakan bahwa “constitutionalism is a belief
in omposition of restraints on governance by mean a constitution” 52
artinya bahwa konstitusi merupakan pembatas kekuasaan. Salah
satu bentuk pembatasan kekuasaan dalam konstitusi adalah
adanya jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia. Jaminan
perlindungan HAM di dalam konstitusi sebagai hukum tertinggi
bermakna bahwa negara pun dilarang melakukan pelanggaran
HAM dan bahkan tugas utama perlindungan HAM adalah pada
negara.53 Oleh karena itu perkembangan paham
konstitusionalisme mengandung dua esensi utama: pertama,
konsep negara hukum yang berarti bahwa hukum mengatasi
kekuasaan negara dan politik, dan kedua, konsep hak warga
negara, bahwa kebebasan warga negara dijamin oleh konstitusi. 54
Konstruksi ini menunjukkan bahwa HAM merupakan substansi
utama di dalam konstitusi, baik dilihat dari proses pembentukan
konstitusi sebagai hasil kesepakatan bersama maupun dari sisi
gagasan konstitusionalisme.55 Fungsi MK sebagai pelindung hak
asasi manusia (the protector of the human rights) merupakan
konsekuensi dari keberadaan HAM sebagai materi muatan
51
Arief Hidayat, “Peran Mahkamah Konstitusi sebagai Penjaga Konstitusi
dan Pengawal Demokrasi dalam Sengketa Pemilu”, dalam acara Continuing
Legal Education, Jakarta, 3 Mei 2013.
52
Eric Barent, An Introduction to Constitutional Law, (Oxford: Oxford
University Press, 1998), hlm. 14.
53
Janedjri M. Gaffar, “Peran Putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Perlindungan Hak Asasi Manusia terkait Penyelenggaraan Pemilu”, Jurnal
Konstitusi Vol. 10, No. 1 (Maret 2013), hlm. 4.
54
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika
Masalahnya, (Jakarta: ELSAM dan HUMA, 2002), hlm. 405.
55
George H. Sabine, A History of Political Theory, (New York: Rinehart and
Wiston, 1961), hlm. 517.
konstitusi. Adanya jaminan hak asasi dalam konstitusi
menjadikan negara memiliki kewajiban hukum yang
konstitusional untuk melindungi, menghormati, dan memaukan
hak-hak tersebut. Wewenang MK menguji undang-undang dapat
dilihat sebagai upaya melindungi HAM yang dijamin UUD 1945
agar tidak dilanggar oleh ketentuan undang-undang. 56
Kemudian, konstitusi hadir sebagai perwujudan demokrasi,
yakni sebagai perjanjian sosial tertinggi. Selain itu, konstitusi
merupakan fondasi menuju demokrasi dan prasyarat bagi
demokrasi agar sehat dan berjalan baik.57 Kolaborasi konstitusi
dan demokrasi diyakini dapat menghantarkan suatu negara
menjadi negara demokrasi konstitusional. Dalam konteks inilah,
MK hadir untuk menjaga dan mengawal tegaknya negara
demokrasi konstitusional dalam fungsinya sebagai pengawal
demokrasi atau the guardian of the democracy. Di sisi lain, MK
tidak hanya berfungsi sebagai pengawal konstitusi dan demokrasi,
tetapi juga berfungsi sebagai pengawal ideologi negara (the
guardian of ideology), yakni Pancasila. Artinya, dalam memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara konstitusi, maka selain
mendasarkan pada pasal-pasal UUD 1945, juga harus
mendasarkan pada pasal-pasal UUD 1945, juga harus
mendasarkan pada Pancasila sebagai batu uji dalam setiap
perkara konstitusionalitas produk undang-undang.
56
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2013), hlm. 7.
57
Dedy, “Ketua MK: MK Hadir untuk Mengawal Demokrasi”,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?
page=web.Berita&id=13325#.WmxOgiN7Fo4, diakses pada 27 Januari 2018.
diklasifikasi ke dalam tiga cabang kekuasaan itu. Namun
demikian, cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif
adalah tiga cabang kekuasaan yang selalu terdapat dalam
organisasi negara. Cabang kekuasaan yudikatif diterjemahkan
sebagai kekuasaan kehakiman.
Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya,
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi [Pasal 24 ayat (2) UUD
1945]. Dengan demikian, kedudukan MK adalah sebagai salah
satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping MA. MK adalah
lembaga peradilan yang dibentuk untuk menegakkan hukum dan
keadilan dalam lingkup wewenang yang dimiliki. Kedudukan MK
sebagai pelaku kekuasaan kehakiman sejajar dengan pelaku
kekuasaan kehakiman lain, yaitu MA, serta sejajar pula dengan
lembaga negara lain dari cabang kekuasaan yang berbeda sebagai
konsekuensi dari prinsip supremasi konstitusi dan pemisahan
atau pembagian kekuasaan. Lembaga-lembaga negara lainnya
meliputi Presiden, MPR, DPR, DPD dan BPK. Setiap lembaga
negara menjalankan penyelenggaraan negara sebagai pelaksanaan
kedaulatan rakyat berdasarkan dan di bawah naungan konstitusi.
Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, fungsi konstitusional
yang dimiliki oleh MK adalah fungsi peradilan untuk menegakkan
hukum dan keadilan. Namun fungsi tersebut belum bersifat
spesifik yang berbeda dengan fungsi yang dijalankan oleh MA.
Fungsi MK dapat ditelusuri dari latar belakang pembentukannya,
yaitu untuk menegakkan supremasi konstitusi. Oleh karena itu
ukuran keadilan dan hukum yang ditegakkan dalam peradilan MK
adalah konstitusi itu sendiri yang dimaknai tidak hanya sekadar
sebagai sekumpulan norma dasar, melainkan juga dari sisi prinsip
dan moral konstitusi, antara lain prinsip negara hukum dan
demokrasi, perlindungan hak asasi manusia, serta perlindungan
hak konstitusional warga negara.
Di dalam Penjelasan Umum UU MK disebutkan bahwa tugas
dan fungsi MK adalah menangani perkara ketatanegaraan atau
perkara konstitusional tertentu dalam rangka menjaga konstitusi
agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan
kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Selain itu, keberadaan
MK juga dimaksudkan sebagai koreksi terhadap pengalaman
ketatanegaraan yang ditimbulkan oleh tafsir ganda atas
konstitusi.58
Fungsi tersebut dijalankan melalui wewenang yang dimiliki,
yaitu memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu
berdasarkan pertimbangan konstitusional. Dengan sendirinya
setiap putusan MK merupakan penafsiran terhadap konstitusi.
Berdasarkan latar belakang ini setidaknya terdapat 5 (lima) fungsi
yang melekat pada keberadaan MK dan dilaksanakan melalui
wewenangnya, yaitu sebagai pengawal konstitusi (the guardian of
the constitution), penafsir final konstitusi (the final interpreter of
the constitution), pelindung hak asasi manusia (the protector of
human rights), pelindung hak konstitutional warga negara (the
protector of the citizen’s constitutional rights), dan pelindung
demokrasi (the protector of democracy).
Wewenang yang dimiliki oleh MK telah ditentukan dalam
Pasal 24C UUD 1945 pada ayat (1) dan ayat (2) yang dirumuskan
sebagai wewenang dan kewajiban. Wewenang tersebut meliputi:
1) Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
3) Memutus pembubaran partai politik; dan
58
A. Mukthie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006), hal. 119.
4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Sedangkan kewajiban MK adalah memberikan putusan atas
pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar.
59
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010) hlm. 131.
60
Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, UU Nomor
23 tahun 2004, LN sdjfhsa, TLN sjdhfaksj, Ps. 63.
Sedangkan untuk perkara perselisihan hasil pemilu
anggota DPR, DPD, dan DPRD pengaturan mengenai
putusan sela berbunyi:
“Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim
sebelum putusan akhir berupa putusan untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu yang berkaitan dengan objek
yang dipersengketakan yang hasilnya akan dipertimbangkan
dalam putusan akhir61.”
Selain kedua pengaturan tersebut, putusan sela dalam
perkara lain berkembang dalam praktik. Contohnya adalah
diskursus mengenai penerapan putusan sela untuk
melaksanakan penghitungan maupun pemungutan suara
ulang dalam perselisihan pemilihan kepala daerah
(pilkada).62 Pembicaraan mengenai penerapan putusan sela
dimulai dari anggapan bahwa pada saat pemungutan atau
penghitungan suara ulang atas dasar putusan Mahkamah
Konstitusi yang bersifat final dan mengikat, Mahkamah
Konstitusi seakan-akan telah menutup mata terhadap
kemungkinan adanya pelanggaran dalam pengulangan
tersebut. Implikasi tersebut terlihat pada sengketa pilkada
Jawa Timur tahun 2013 di mana Mahkamah Konstitusi
menolak memberikan nomor register untuk pengajuan
gugatan dari pasangan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono
yang tak puas dengan hasil pemungutan dan penghitungan
ulang. Jika pemungutan atau pilihan ulang ditetapkan
sebagai sebuah putusan sela, maka Mahkamah Konstitusi
dapat tetap memeriksa hasil dari pengulangan tersebut.
Namun, meskipun konsep putusan sela diajukan dalam
61
Indonesia, Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi
tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD,
dan DPRD, PMK Nomor 16 Tahun 2009, Ps.1 angka 19.
62
Mahkamah Konstitusi, “Menggagas Putusan Sela dalam Sengketa
Pilkada,” http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?
page=web.Berita&id=12805#.WmwLZbpubIV, diakses pada 27 Januari, 2018
konteks pilkada dengan harapan agar dapat menjaga konsep
dasar putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan
mengikat dengan meminimalisir kemungkinan terjadinya
pelanggaran lebih lanjut, belum ada perkembangan
penerapan putusan sela dalam perkara-perkara perselisihan
pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan presiden dan
wakil presiden.
Permohonan putusan sela dalam pengujian undang-
undang juga tidak sedikit meskipun Pasal 31 Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang
Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-
Undang pun mengamini pengaturan UU No. 24 tahun 2003
mengenai putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan
mengikat. Seringkali permohonan putusan sela tersebut
ditolak oleh Mahkamah Konstitusi atas dasar Pasal 58 UU
Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 63
Selain menggunakan pasal 58 sebagai dasar
pertimbangannya, pertimbangan Mahkamah Konstitusi atas
penolakan tersebut dapat dilihat pada bagian Menimbang
Perkara Nomor 026/PUU-III/2005 tertanggal 22 Maret 2006
perihal Pengujian UU Nomor 13 Tahun 2005 tentang APBN
Tahun 2005 terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa putusan provisi (sela) tidak diatur dalam
perkara permohonan pengujian undang-undang karena
pengabulan tersebut sudah menyentuh pokok perkara
padahal putusan provisi mengenai tindakan-tindakan
sementara seharusnya tidak boleh menyangkut pokok
perkara.
63
“Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku,
sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.” Indonesia, UU Nomor 23 Tahun 2004, Ps. 58.
Namun, tampaknya sikap Mahkamah Konstitusi
terhadap penerapan putusan sela disesuaikan dengan
perkara yang tengah dihadapi, pasalnya pada Putusan
Nomor 133/PUU-VII/2009 perihal Pengujian UU Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
terhadap UUD 1945, Mahkamah Konstitusi memutuskan
untuk mengabulkan permohonan provisi untuk sebagian
yaitu dengan pemberhentian Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi yang menjadi terdakwa karena
melakukan tindak pidana kejahatan (sampai adanya
putusan akhir dari Mahkamah) berdasarkan Pasal 32 ayat
(1) huruf c dan pasal 32 ayat (3) UU Nomor 30 Tahun 2002.
Dikabulkannya putusan sela tersebut dilakukan atas dasar
Pasal 86 UU No. 24 Tahun 2003 dan Pasal 16 PMK No.
06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara
Pengujian UU yang dilihat oleh Mahkamah sebagai
kesempatan bagi Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan
putusan provisi. Mahkamah juga berpandangan bahwa
dalam perkara tersebut, pengabulan putusan sela
memenuhi kebutuhan untuk mencegah terjadinya
pelanggaran HAM bilamana hak-hak konstitusional
Pemohon yang dirugikan tidak dapat dipulihkan dalam
putusan akhir serta diharuskan dengan adanya
perkembangan kesadaran hukum dan rasa keadilan
masyarakat.
Terdapat kebutuhan praktis akan opsi penerapan
putusan sela dalam perkara-perkara tertentu, contohnya
dalam hal pengujian undang-undang, putusan sela
dibutuhkan dalam hal suatu undang-undang tengah dalam
proses pengujian di Mahkamah Agung. Namun jika merujuk
kembali pada sifat putusan provisi yang memang tidak
mengenai pokok suatu perkara, Mahkamah Konstitusi
belum mempunyai parameter yang jelas mengenai
penerapannya dalam tiap-tiap jenis perkara yang masuk
dalam kewenangannya.
b. Putusan untuk Permohonan Pengujian Undang-Undang
Menurut Pasal 56 UU Nomor 24 Tahun 2003, terdapat
tiga jenis amar putusan dalam perkara pengujian undang-
undang yaitu: permohonan dikabulkan, permohonan
ditolak, dan permohonan tidak diterima:
i. Permohonan Dikabulkan
Pengaturan mengenai amar putusan yang
menyatakan bahwa permohonan dikabulkan
diakomodasi dalam Pasal 56 ayat (2) UU 24 tahun
2003 yang menyatakan bahwa Pengabulan
permohonan dilakukan apabila Mahkamah
berpendapat bahwa permohonan tersebut
beralasan. Alasan yang mendasari pengabulan
dapat dibedakan menjadi dua kategori menurut:
1) Putusan yang menyatakan bahwa materi
muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari
suatu undang-undang bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun
1945)64 (Pengujian Materiil).
2) Putusan yang mengabulkan permohonan
berkaitan dengan pembentukan undang-
undang yang dimaksud tidak memenuhi
ketentuan pembentukan undang-undang
berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 (Pengujian
Formil).65
ii. Permohonan Ditolak
64
Indonesia, UU Nomor 23 Tahun 2004, Ps. 56 ayat (3)
65
Ibid., Ps. 56 ayat (4)
Apabila “Dalam hal undang-undang
dimaksud tidak bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, baik mengenai pembentukan maupun
materinya sebagian atau keseluruhan, amar
putusan menyatakan permohonan ditolak.”66
iii. Permohonan Tidak Dapat Diterima
Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat
bahwa pemohon dan/atau pemohonnya tidak
memenuhi persyaratan yang diuraikan dalam pasal
50 dan 51 UU 23 Tahun 2004, maka permohonan
tidak dapat diterima atau niet ontvantkelijk
verklaard sesuai dengan Pasal 56 ayat (1).
Rekapitulasi atas putusan pengujian
undang-undang yang dihasilkan oleh Mahkamah
Konstitusi menunjukkan bahwa selain ketiga amar
yang disebutkan dalam undang-undang, terdapat
kemungkinan bahwa perkara tersebut ditarik
kembali oleh pemohon, perkara tersebut gugur
(karena berbagai alasan) atau Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwa dirinya tidak
berwenang.
Tabel 1
Rekapitulasi Permohonan Pengujian Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Tahun 2013 s.d.
201867
66
Ibid., Ps. 56 ayat (5)
67
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Rekapitulasi Perkara
Pengujian Undang-Undang,” http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?
page=web.RekapPUU, Diakses Pada 29 Januari, 2018
Namun patut dicatat bahwa dalam
praktiknya, amar putusan dalam pengujian
undang-undang telah mengalami perkembangan
dari amar-amar sebagaimana ditetapkan dalam
undang-undang.
iv. Konstitusional Bersyarat (Conditionally
Constitutional)
Permohonan pengujian Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
menjadi titik awal berkembangnya amar
konstitusional bersyarat.68 Hakim Konstitusi
Harjono berpendapat bahwa jenis putusan hanya
dilimitasi menurut bunyi-bunyi amar dalam
undang-undang, maka sulit untuk menentukan
apakah dalam pelaksanaan suatu undang-undang
bertentangan atau tidak dengan UUD karena suatu
UU memiliki perumusan yang bersifat umum.
Sehingga Harjono mengonstruksikan suatu
pandangan bahwa suatu UU dapat diuji kembali
konstitusionalitasnya apabila saat dilaksanakan
dalam suatu konteks tertentu.
Putusan konstitusional bersyarat memiliki
karakteristik69 sebagai berikut:
68
Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa Pemikiran Hukum Dr. Harjono,
S.H., M.C.L Wakil Ketua MK, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm. 178
69
Syukri Asy’ari, Meyrinda Rahmawaty Hilipito, Mohammad Mahrus Ali,
Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian
Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012), (Jakarta: Pusat Penelitian
1) Memiliki tujuan untuk mempertahankan
konstitusionalitas suatu ketentuan
berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan
Mahkamah Konstitusi;
2) Syarat-syarat yang ditentukan mengikat dalam
proses pembentukan undang-undang;
3) Dalam hal pembentukan undang-undang tidak
sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya,
terbuka peluang adanya pengujian kembali
norma yang telah diuji;
4) Putusan konstitusional bersyarat menjadi
acuan atau pedoman bagi Mahkamah
Konstitusi dalam menilai konstitusionalitas
norma yang sama;
5) Pada awal perkembangannya, Nampak
Mahkamah Konstitusi merumuskan amar
putusan konstitusional bersyarat untuk
perkara-perkara yang pada dasarnya tidak
beralasan sehingga putusannya sebagian besar
berisi penolakan. Namun sekarang putusan
model konstitusional bersyarat terjadi pada
permohonan yang dianggap memiliki alasan
yang cukup untuk dikabulkan dengan tetap
mempertahankan konstitusionalitasnya;
6) Membuka peluang adanya pengujian norma
yang secara tekstual tidak tercantum dalam
undang-undang (pertimbangan terhadap
konteks di mana suatu norma diterapkan);
7) Mengantisipasi terjadinya kekosongan hukum;
72
Syukri, Meyrinda, dan Mohammad, Model dan Implementasi Putusan
Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang hlm. 10
73
Ibid., hlm. 13.
pembentukan Pengadilan Tipikor yang seharusnya
diatur dengan undang-undang tersendiri.
Penangguhan putusan tersebut didasarkan pada
beberapa alasan, antara lain agar proses
penanganan kasus-kasus korupsi yang tengah
berjalan tidak terganggu, untuk menghindari
ketidakpastian hukum yang dapat timbul dari
macetnya kasus-kasus korupsi maupun
kemungkinan melemahnya semangat anti korupsi
dalam masyarakat, serta untuk memberikan waktu
yang cukup guna melakukan peralihan dari satu
landasan hukum ke landasan hukum yang lain. 74
vii. Perumusan Norma dalam Putusan
Pada prinsipnya, model putusan yang
merumuskan norma baru mengubah atau
membuat baru suatu bagian tertentu dari undang-
undang yang diuji. Pintu masuk bagi model
putusan ini adalah jenis-jenis putusan
konstitusional bersyarat atau putusan
inkonstitusional bersyarat. Model putusan
perumusan norma baru muncul atas dasar
keadaan yang mendesak dikarenakan adanya
kekosongan norma yang timbul akibat
ditetapkannya suatu norma sebagai
inkonstitusional. Norma baru yang dibentuk oleh
Mahkamah Konstitusi tersebut dimaksudkan
sebagai pengganti sementara, dengan ekspektasi
bahwa norma baru tersebut akan diambil alih oleh
revisi atau pembentukan suatu peraturan
74
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Pengujian UU Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Nomor 016/PUU-IV/2006, 19
Desember 2006, hlm. 289.
perundang-undangan yang baru.75 Mahfud MD
berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi boleh
saja membuat putusan yang di luar panduan
hukum acara bahkan apabila suatu undang-
undang tidak memberikan rasa keadilan, maka
sah-sah saja apabila keluar dari undang-undang. 76
Sedangkan menurut Jimly Asshiddiqie, posisi
Mahkamah Konstitusi hanyalah sebagai negative
legislator yang berarti bahwa Mahkamah hanya
dapat memutus sebuah norma dalam undang-
undang bertentangan dengan konstitusi tanpa
memasukkan norma baru ke dalam undang-
undang.77
Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan
beberapa putusan yang merumuskan norma baru
antara lain Putusan Nomor 5/PUU-V/2007
mengenai calon perseorangan dalam pilkada,
Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 ihwal
penggunaan Kartu Tanda Penduduk dan Paspor
dalam Pemilu, Putusan Nomor 110-111-112-
113/PUU-VII/2009 tentang perhitungan tahap
kedua untuk penetapan perolehan kursi DPR,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota bagi
partai politik peserta pemilu, Putusan Nomor
11/PUU-VIII/2010 ihwal proses pemilihan anggota
Panitia Pengawas Pemilu Provinsi dan
Kabupaten/Kota serta Putusan Nomor 34/PUU-
X/2012 mengenai batas usia pensiun jenjang
75
Syukri, Meyrinda, dan Mohammad, Model dan Implementasi Putusan
Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang, hlm. 14.
76
Abdul Latif, dkk. Buku Ajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,
(Yogyakarta: Total Media, 2009), hlm.xi.
77
Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Reformasi, (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm. 609.
jabatan fungsional kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi sebagai beberapa contoh model putusan
terkait.
viii. Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi
yang Langsung Dapat Dieksekusi (Self
Implementing)
Konsekuensi dari suatu amar putusan yang
menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian undang-undang yang diuji tidak
lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Sehingga ketentuan norma yang dimaksud pada
dasarnya dinyatakan batal (null and void) dan tidak
berlaku lagi. Implikasinya antara lain mencakup
potensi kekosongan hukum (legal vacuum),
kekacauan hukum (legal disorder), bahkan politik
beli waktu (buying time) bagi pembentuk undang-
undang.78 Sehingga muncullah persoalan mengenai
implementasi eksekusi putusan Mahkamah
Konstitusi yang bersifat final dan mengikat. Apabila
suatu putusan dapat dilaksanakan tanpa harus
membuat peraturan baru atau perubahan yang
signifikan, maka putusan tersebut dapat
diklasifikasikan sebagai self-executing. Ini dapat
terjadi karena pembatalan norma terkait tidak
mengganggu sistem norma yang ada. Ini berarti
bahwa tidak menimbulkan suatu kekosongan
hukum yang perlu ditindaklanjuti oleh lembaga
lain dan dapat secara langsung berlaku79. Contoh
dari putusan yang dapat diimplementasikan tanpa
78
Topane Gayus Lumbuun, “Tindak Lanjut Putusan Mahkamah
Konstitusi oleh DPR RI,” Jurnal Legislasi Vol. 6 No. 3 September 2009: 498.
79
memerlukan tindak lanjut adalah Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003
yang mengembalikan hak pilih mantan anggota PKI
dengan membatalkan ketentuan Pasal 60 huruf g
UU Nomor 12 Tahun 2003.
Putusan yang bersifat self-implementing juga
dapat dilihat dari model putusan yang
merumuskan norma baru seperti halnya dalam
Putusan Nomor 072-073/PUU-II/2004 mengenai
pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah terhadap UUD 1945
yang menentukan bahwa Pasal 57 ayat (1) UU
Nomor 32 tahun 2004 berubah dari “Pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah
diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggung
jawab kepada DPR” menjadi “Pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan
oleh KPUD.”
ix. Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi
yang Tidak Langsung Dapat Dieksekusi (Non-Self
Implementing)
Berkebalikan dengan putusan-putusan
Mahkamah Konstitusi yang bersifat self-executing,
putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak
langsung dapat dieksekusi (Non-self implementing)
memerlukan tindak lanjut dalam bentuk
perubahan undang-undang maupun pembentukan
undang-undang baru terlebih dahulu. Ini
disebabkan karena putusan tersebut
mempengaruhi norma-norma lain sehingga jika
mau operasional diperlukan revisi terhadap sistem
norma yang mengelilinginya.
Di dalam putusan Nomor 102/PUU-
VII/2009, Mahkamah Konstitusi memutuskan
bahwa ketentuan Pasal 28 dan Pasal 111 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
konstitusional bersyarat sepanjang tidak
menghilangkan hak pilih warga negara yang tidak
terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) dalam
pemilihan umum presiden dan wakil presiden.
Putusan tersebut juga menetapkan serangkaian
persyaratan yang harus dipenuhi warga negara
yang tidak terdaftar dalam DPT apabila akan
menggunakan hak pilihnya. Putusan tersebut
bersifat non-self executing karena membutuhkan
tindak lanjut dari Komisi Pemilihan Umum berupa
peraturan KPU yang mengatur mengenai teknis
pelaksanaan penggunaan hak pilih tersebut.
Putusan Mahkamah Konstitusi lain yang bersifat
non-self executing yang masih dalam konteks
pemilihan umum dapat dilihat antara lain dari
Putusan Nomor 110-111-112-113/PUU-VII-2009
tentang Penetapan Kursi Tahap II dalam Pemilu
Legislatif Tahun 2009 dan Putusan Nomor
10/PUU-VI/2008 tentang Syarat Domisili (Pasal 12
huruf c) dan Non-Parpol bagi Calon DPD (Pasal 67)
terkait ketentuan syarat pencalonan anggota DPD.
c. Putusan untuk Perkara Sengketa Kewenangan
Konstitusional Lembaga negara
Jenis amar putusan yang dapat dikeluarkan dalam
hal perkara sengketa kewenangan lembaga negara yang
diatur dalam UUD 1945 diatur dalam Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 dan dapat
berbunyi antara permohonan tidak dapat diterima,
dikabulkan atau ditolak. Tidak berbeda dengan
pengaturan mengenai putusan bagi perkara pengujian
undang-undang, permohonan tidak dapat diterima atau
niet ontvankelijk verklaard diberikan apabila pemohon
dan/atau permohonannya tidak memenuhi persyaratan
yang diberikan oleh Pasal 2 ayat (1) dan (2) 80 serta Pasal 5
ayat (1)81 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
08/PMK/2006. Jika Mahkamah berpandangan bahwa
parameter mengenai kewenangan maupun legal standing
dari pemohon tidak terpenuhi, maka permohonan “tidak
dapat diterima.” Apabila permohonan beralasan, maka
putusan yang diberikan adalah permohonan dikabulkan.
Namun apabila tidak, maka permohonan akan ditolak
oleh Mahkamah Konstitusi. Pengabulan permohonan
dalam perkara SKLN menyangkut kewenangan pemohon
untuk melaksanakan kewenangan yang
dipersengketakan dan/atau termohon tidak mempunyai
kewenangan untuk melaksanakan kewenangan terkait. 82
Amar putusan dari perkara SKLN bersifat declaratoir
dan/atau constitutief yang berarti bahwa putusan
80
Pasal 2 : (1) Lembaga negara yang dapat menjadi pemohon dalam
perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah: a. Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR); b. Dewan Perwakilan Daerah (DPD); c. Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR); d. Presiden; e. Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK); f. Pemerintahan Daerah (Pemda); atau g. Lembaga negara lain yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. (2) Kewenangan yang
dipersengketakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kewenangan
yang diberikan atau ditentukan oleh UUD 1945.
81
Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006
menyatakan : Permohonan harus ditulis dalam bahasa Indonesia, dan materi
permohonan harus memuat beberapa hal sebagai berikut : a. Identitas lembaga
negara yang menjadi pemohon, seperti nama lembaga negara, nama ketua
lembaga, dan alamat lengkap lembaga negara; b. Nama dan alamat lembaga
negara yang menjadi termohon; c. Uraian yang jelas tentang: 1. kewenangan
yang dipersengketakan; 2. kepentingan langsung pemohon atas kewenangan
tersebut; 3. hal-hal yang diminta untuk diputuskan.
82
Indonesia, Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi
tentang Pedoman Beracara dalam Sengekea Kewenangan Konstitusional
Lembaga Negara, Peraturan MK Nomor 08/PMK/2006, Ps. 27
tersebut mampu menciptakan maupun meniadakan
suatu keadaan hukum.83
Tabel 2
Rekapitulasi Perkara Sengketa Kewenangan Konstitusional
Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Tahun 2010 s.d. 201584
83
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 204
84
Mahkamah Konstitusi, “Rekapitulasi Perkara Sengketa Kewenangan
Lembaga Negara.” http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?
page=web.RekapSKLN&menu=5, Diakses pada 29 Januari, 2018
partai politik butuh ditelusuri lebih lanjut. 85 Pasal 10 ayat
(1) dari peraturan Mahkamah Konstitusi yang sama
menentukan bahwa dalam hal suatu permohonan
dikabulkan, konsekuensi dari putusan tersebut sebatas
pada pembubaran dan pembatalan status badan hukum
partai politik yang dimohonkan dan perintah kepada
Pemerintah untuk menghapuskan partai politik tersebut
dari daftar pada Pemerintah serta mengumumkan
putusan Mahkamah dalam Berita Negara Republik
Indonesia. Dibubarkannya suatu partai politik tentunya
meninggalkan berbagai hak dan kewajiban yang harus
ditangani terkait dengan kepemilikan harta benda
maupun hubungan anggota partai politik terkait yang
menduduki jabatan-jabatan publik. Patut dipertanyakan
pula apakah karena adanya suatu pelanggaran
konstitusional yang telah dilakukan oleh partai politik
terkait, maka anggota-anggotanya dapat dijatuhkan
sanksi.
e. Putusan untuk Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Bunyi putusan bagi perkara perselisihan hasil
pemilu dapat berbunyi sebagai permohonan tidak dapat
diterima apabila pemohon/permohonan tidak memenuhi
syarat, permohonan dikabulkan apabila terbukti
beralasan (sehingga Mahkamah akan membatalkan (void
in initio) hasil penghitungan suara Komisi Pemilihan
Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang
benar, atau permohonan ditolak apabila permohonan
terbukti tidak beralasan.86 Patut dicatat bahwa putusan
85
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi, hlm. 210
86
Indonesia, Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi
tentang askjdhfas, PMK Nomor 15 Tahun 2008, Ps. 13
Indonesia, Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi
tentang asdkjfh, PMK Nomor 16 Tahun 2009, Ps. 15
Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat,
sehingga dalam perkara perselisihan hasil pemilihan
umum pun tidak dikenal upaya lain untuk membatalkan
putusan MK.
Tabel 3
Rekapitulasi Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Gubernur, Bupati,
Walikota) di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Tahun
2012 s.d. 201787
Tabel 4
Rekapitulasi Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2009
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia88
Tabel 5
89
Mahkamah Konstitusi, “Rekapitulasi Perkara Sengketa Kewenangan
Lembaga Negara.” http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?
page=web.RekapSKLN&menu=5, Diakses pada 29 Januari, 2018.
yang dibuat oleh Termohon tidak mewujudkan
kebenaran materiil sehingga akan sulit ditemukan
keadilan.”
Terkait dengan pemilihan umum, Mahkamah
Konstitusi seringkali tidak membatasi dirinya dengan
penafsiran undang-undang secara sempit dan lebih
mengusung konsep keadilan substantif serta
perlindungan konstitusionalitas. Kerangka berpikir
seperti itu didasarkan atas pemahaman bahwa
penyelenggaraan asas-asas pemilihan umum termasuk
nilai-nilai konstitusionalitas, dan saat Mahkamah
Konstitusi dihadapkan dengan suatu perselisihan
mengenai pemilihan umum, maka yang harus diikuti
adalah perkembangan dari nilai-nilai yang dikedepankan
tersebut. Teori yang mendukung pemahaman tersebut
dikenal dengan the living constitution.90
f. Putusan untuk Impeachment
Putusan bagi perkara pendapat DPR mengenai
dugaan pelanggaran hukum atau kondisi Presiden
dan/atau Wakil Presiden tidak memenuhi syarat memiliki
tiga kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah apabila
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan
dan/atau Pemohon tidak memenuhi syarat sehingga
permohonan tersebut tidak dapat diterima. Kedua,
apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan
pelanggaran hukum atau terbukti tidak lagi memenuhi
syarat sebagaimana pendapat DPR, amar putusan
Mahkamah Konstitusi adalah menyatakan membenarkan
pendapat DPR. Ketiga, apabila Mahkamah Konstitusi
90
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi, hlm. 247
memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum atau tidak
terbukti tidak lagi memenuhi syarat seperti pendapat
yang diajukan DPR, amar putusan Mahkamah Konstitusi
menyatakan permohonan ditolak.91
Putusan tersebut bersifat final dan mengikat bagi
DPR, sehingga DPR hanya dapat mengajukan usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden apabila
dibenarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Patut dicatat
bahwa putusan yang membenarkan pendapat DPR tidak
berarti bahwa ada pemberian sanksi pidana oleh karena
peradilan yang dilaksanakan terjadi dalam lingkup tata
negara, namun masih dimungkinkan untuk mengajukan
Presiden dan/atau Wakil Presiden yang telah melakukan
suatu pelanggaran hukum dalam persidangan pidana,
perdata, dan/atau tata usaha negara.92
91
Indonesia, UU Nomor 23 Tahun 2004, Ps. 83
92
Indonesia, Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi
tentang askdhf, PMK Nomor 21 Tahun 2009, Ps. 20
Independensi dan imparsialitas tersebut memiliki tiga
dimensi, yaitu dimensi fungsional, struktural atau kelembagaan,
dan personal. Dimensi fungsional mengandung pengertian
larangan terhadap lembaga negara lain dan semua pihak untuk
mempengaruhi atau melakukan intervensi dalam proses
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. Dimensi
fungsional itu harus didukung dengan independensi dan
imparsialitas dari dimensi struktural dan personal hakim. Dari sisi
struktural, kelembagaan peradilan juga harus bersifat independen
dan imparsial sepanjang diperlukan agar dalam menjalankan
peradilan tidak dapat dipengaruhi atau diintervensi serta tidak
memihak. Sedangkan dari sisi personal, hakim memiliki
kebebasan atas dasar kemampuan yang dimiliki (expertise),
pertanggungjawaban, dan ketaatan kepada kode etik dan pedoman
perilaku.
93
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, http://lab-
hukum.umm.ac.id/files/file/Buku%20Hukum%20Acara%20MK.pdf, hal. 21,
diakses 28 Januari 2017
94
“Independensi dan Imparsialitas Hakim”, http://dkk.lan.go.id/wp-
content/uploads/2017/09/PN-012_Independensi-dan-Imparsialitas-Hakim.pdf,
diakses 28 Januari 2017
1) Hakim harus melaksanakan tugas peradilan tanpa
prasangka (prejudice), melenceng (bias), dan tidak
condong pada salah satu pihak;
95
Op.Cit., hal. 22, diakses 28 Januari 2017
Elokuensi pemikiran terkait independensi dan
imparsialitas dituangkan Shimon Shetreet dalam bukunya
Judicial Independence: New Conceptual Dimensions and
Contemporary Challenges yang mendistingsikan setidaknya
tiga macam independensi kekuasaan kehakiman yang
dilekatkan sesuai dikotomi badan peradilan dan hukum,
yaitu: independensi kolektif, independensi personal, dan
independensi internal. Berikut adalah elaborasi dari ketiga
macam independensi tersebut:
96
Harold Freend See, Jr, Authority Control
(constitutional democracy)97. Dalam The International Bar
Association Code of Minimum Standards of Judicial
Independence 1982,98 dikemukakan makna kemerdekaan
yudisial meliputi kemerdekaan personal, kemerdekaan
substantif, kemerdekaan internal, dan kemerdekaan
kolektif. Kemerdekaan kehakiman tersebut keseluruhannya
mengandung nilai-nilai dasar fairness, impartiality, dan good
faith.99
97
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
73/PUU-XIV/2016,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/
73_PUU-XIV_2016.pdf, diakses 28 Januari 2017
98
IBA Minimum Standards of Judicial Independence
99
Steven Lubert, Fugitive Justice: Runaways, Rescuers, and Slavery on
Trial, (Belknap Press of Harvard University Press, 2010), hal. 121-122.
100
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan No. 73/PUU-
XIV/2016, hlm. 28. (Keterangan Prof. Dr. Bagir Manan).
1945 tidak lain harus dimaknai sebagai judicialization of
politics atau yudisialisasi sengketa politik. Setidaknya ada
dua konsekuensi ketentuan Pasal 24C UUD 1945 tersebut,
yaitu:
102
Paul Scholten, Handleiding Tot De Beofening van Het Nederlandsch
Burgerlijk Recht Algemeen Deel, 1934, hlm.1.
suatu perkara diajukan dalam bingkai salah satu wewenang
tersebut, MK harus menerima, memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara tersebut dengan mempertimbangkan asas ius
curia novit.
106
Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, 2010), hlm. 19.
Kekuasaan Kehakiman.107 “Sederhana” berarti bahwa setiap tahap
penanganan perkara dilakukan secara efisien dan efektif; “biaya
ringan” berimplikasi bahwa biaya perkara harus dapat dijangkau
oleh masyarakat. Pelaksanaan peradilan dengan sederhana, cepat,
dan biaya ringan bukan berarti bahwa dalam proses peradilan
Mahkamah Konstitusi ada celah untuk ketidaktelitian dalam
mencari kebenaran dan keadilan.108
Meskipun awalnya dalam proses penyusunan Undang-
Undang Mahkamah Konstitusi terdapat ketentuan biaya perkara,
dalam perkembangannya, ketentuan tersebut dihilangkan
sehingga dapat dicapai suatu kesimpulan bahwa pembuat
undang-undang memang menghapuskan biaya perkara dalam
peradilan Mahkamah Konstitusi.109 Karena Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi tidak mengatur mengenai biaya perkara,
maka biaya penanganan perkara dibebankan sepenuhnya pada
anggaran negara, berbeda dengan penanganan perkara pada
peradilan di bawah Mahkamah Agung. Contohnya, dalam
penyelesaian perkara perdata dan tata usaha negara, biaya
kepaniteraan dan biaya proses penyelesaian perkara dibebankan
kepada pihak-pihak yang berperkara. Hal tersebut diterapkan atas
pertimbangan bahwa perkara-perkara yang diajukan ke
Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan permasalahan
konstitusional yang mempunyai kaitan lebih erat dengan
kepentingan umum.
Peradilan yang sederhana menuntut adanya proses yang
mudah dimengerti agar para pihak dapat mengutarakan
permasalahan dan kehendaknya tanpa harus melewati tahapan-
tahapan yang berbelit-belit. Implementasi dari penerapan prinsip
107
Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor
48 Tahun 2009, LN Nomor 157, TLN Nomor 5076, Ps. 2 ayat (4).
108
Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, Penjelasan
Ps. 2 ayat (4)
109
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2005), hal. 403
ini juga dapat dilihat dari penggabungan perkara yang memiliki
substansi yang sama, khususnya untuk perkara pengujian
undang-undang. Perilaku tersebut membuat proses lebih
sederhana karena dilakukan sekaligus dalam satu persidangan
dan diputus dalam satu putusan.110 Penggabungan perkara juga
meminimalisir kemungkinan putusan-putusan yang bertentangan
mengenai satu permasalahan yang sama.111
Dalam hal kecepatan, perkara-perkara yang diajukan ke
Mahkamah Konstitusi seperti perkara sengketa kewenangan
lembaga negara yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
permohonan pembubaran partai politik, perkara perselisihan hasil
pemilu, dan kewajiban untuk memutus pendapat DPR mengenai
dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden,
memiliki jangka waktu yang menjamin bahwa suatu putusan akan
tercapai dalam kurun waktu tertentu. Ini selaras dengan adagium
“justice delayed is justice denied” dan implikasi yang serius apabila
perkara-perkara yang disebutkan di atas berlarut-larut dalam
penyelesaiannya sehingga menyebabkan kerugian konstitusional
bagi masyarakat. Meskipun begitu, masih ada permasalahan
mengenai jangka waktu dalam penanganan perkara pengujian
undang-undang yang tidak memiliki standar khusus sehingga
sulit untuk menakar kepastiannya.
113
Ahmad Fadlil Sumadi, “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Dalam
Teori dan Praktik”, https://media.neliti.com/media/publications/111686-ID-
hukum-acara-mahkamah-konstitusi-dalam-te.pdf, diakses 28 Januari 2018.
Asas hukum acara dalam konteks beracara di Mahkamah
Konstitusi yang acapkali dinilai kontradiktif dan kontraproduktif
yakni asas ius curia novit dengan asas nemo judex idoneus in
propria causa. Asas ius curia novit adalah asas bahwa pengadilan
tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak
ada atau kurang jelas, sebaliknya hakim harus memeriksa dan
mengadilinya. Sementara asas nemo judex idoneus in propria
causa bahwa tidak seorang pun dapat menjadi hakim dalam
perkaranya sendiri merupakan salah satu asas hukum beracara
MK perwujudan dari imparsialitas (ketidakberpihakan/impartiality)
hakim sebagai pemberi keadilan.114 Pilihan asas tersebut yang
menimbulkan permasalahan, di satu sisi MK harus melaksanakan
kewenangannya, disisi lain ada halangan bahwa hakim MK tidak
boleh menjadi hakim dalam perkaranya sendiri.
Dalam Putusan No. 49/PUU-IX/2011 perihal pengujian UU
No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi, MK mempertegas konstruksi argumentasi hukum
mengapa MK berwenang menguji undang-undang yang mengatur
eksistensinya, sekaligus untuk menghilangkan adanya keragu-
raguan mengenai objektivitas, netralitas, dan imparsialitas hakim
MK. Argumentasi MK tersebut, meliputi: pertama, keberadaan MK
sebagai lembaga negara yang oleh UUD 1945 diberi kewenangan
untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945; kedua, MK
sebagai lembaga yang berfungsi mengawal konstitusi atau UUD
(penafsir akhir UUD ketika terjadi sengketa konstitusional); ketiga,
karena undang-undang yang dimohonkan pengujian adalah
menyangkut MK, sehingga terkait dengan prinsip universal di
dalam dunia peradilan tentang nemo judex in causa sua, namun
dalam konteks ini ada tiga alasan MK harus mengadili
114
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 68.
permohonan pengujian undang-undang ini yaitu: (i) tidak ada
forum lain yang bisa mengadili permohonan ini; (ii) MK tidak boleh
menolak mengadili permohonan yang diajukan kepadanya dengan
alasan tidak ada atau tidak jelas mengenai hukumnya; (iii) kasus
ini merupakan kepentingan konstitusional bangsa dan negara,
bukan semata-mata kepentingan institusi MK itu sendiri atau
kepentingan perseorangan hakim konstitusi yang sedang
menjabat; keempat, salah satu objectum litis dari proses peradilan
di MK adalah masalah konstitusionalitas undang-undang yang
menyangkut kepentingan publik yang dijamin oleh konstitusi
sebagai hukum yang tertinggi. Oleh karena itu, MK lebih
menekankan pada fungsi dan tugasnya mengawal dan
menegakkan konstitusi dengan tetap menjaga prinsip
independensi dan imparsialitas dalam keseluruhan proses
peradilan.
Pandangan lain yang justru berbeda adalah Komisi Yudisial,
dalam keterangan tertulis atas Perkara No. 1/PUU-XII/2014 dan
No. 2/PUU-XII/2014 tentang pengujian UU No. 4/2014 tentang
Perubahan Kedua UU MK memiliki pendirian bahwa MK tidak
berwenang menguji undang-undang yang mengatur eksistensinya.
Bangunan argumentasinya, meliputi: pertama, penting bagi MK
untuk menengok kembali asas hukum di dalam hukum acara,
“seseorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri”.
Kedua, dalam penegakan hukum modern, kontrol terhadap
lembaga penyelenggara kekuasaan kehakiman bukan merupakan
hal yang mustahil, hal ini untuk menjaga imparsialitas hakim dan
kepercayaan publik. Ketiga, terkait dengan permohonan uji
materiil UU No. 4 Tahun 2014 Perubahan Kedua UU MK, telah
menempatkan MK, sebagai “hakim bagi dirinya sendiri”. Keempat,
selama ini MK menggunakan argumen dalam Putusan No.
005/PUU-IV/2006 bahwa berperkara di MK tidak sama berperkara
di pengadilan biasa, sehingga asas itu tidak dapat diberlakukan
dilingkungan peradilan MK. Menurut KY, pandangan ini keliru,
tidak beralasan, tanpa dasar (grundloss) dan tidak dapat dijadikan
argumentasi untuk mengabaikan prinsip/asas nemo judex idoneus
in propria causa. Kelima, penyimpangan terhadap asas ini juga
bertentangan dengan prinsip atau asas kepatutan dan etika moral.
Putusan yang terkait dengan penyimpangan asas nemo judex
idoneus in propria causa yang dianggap memberikan pencerahan
terkait dengan progresivitas dan marwah Mahkamah Konstitusi
antara lain:
a. Putusan MK No. 066/PUU-II/2004
Putusan MK No. 066/PUU-II/2004 perihal pengujian
Undang-Undang No. 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang
dan Industri dan pengujian Undang-Undang No. 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Putusan ini
membatalkan Pasal 50 UU No. 24 Tahun 2003 yang
berbunyi “Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk
diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah
perubahan UUD 1945”. Pasal 50 tersebut dibatalkan karena
telah mereduksi kewenangan MK dengan mengatur
pembatasan kewenangan pengujian oleh MK, yang secara
konstitutif tertulis dalam UUD 1945. Sebelum Putusan MK
No. 066/PUU-II/2004, MK telah memberikan argumentasi
dalam Putusan MK No. 004/PUU-I/2003 perihal Pengujian
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 bahwa Pasal 50 UU MK
No.24/ 2003 tersebut dapat disimpangi, bahwa: “Hakim MK
karena jabatannya akan memeriksa perkara permohonan in
casu dengan mengenyampingkan Pasal 50 tersebut dengan
berpegang teguh kepada bunyi sumpah/ janji sebagaimana
dimaksud dalam rumusan Pasal 21 ayat (1) UU No.24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi untuk memastikan
bahwa keterikatan hakim konstitusi dalam menjalankan
segala peraturan perundang-undangan itu adalah sepanjang
peraturan perundang-undangan tersebut sejalan dan/ atau
tidak bertentangan dengan UUD 1945”. Pembatalan Pasal 50
UU No. 24 Tahun 2003 tersebut tergolong sebagai putusan
yang memenuhi unsur progresif, karena melalui putusan
tersebut kebutuhan bangsa untuk bisa menguji undang-
undang yang masih berlaku namun diterbitkan sebelum
amandemen dan merugikan hak konstitusional masyarakat
dapat diajukan judicial review. Putusan hakim yang
progresif menurut ukuran Satjipto Rahardjo adalah putusan
hakim yang mampu memenuhi kebutuhan bangsa dan
putusan tersebut diputuskan karena merasakan dari
penderitaan atau masalah yang dihadapi bangsanya
sehingga melalui putusan tersebut masalah/penderitaan
tersebut mampu terpecahkan. Manuver positif MK yang
tidak terkungkung pada teks (Pasal) yang tidak adil dan
mencederai jalannya MK dalam menegakkan hukum dan
keadilan melalui pengujian undang-undang diejawantahkan
secara baik melalui putusan ini.
b. Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009
Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 perihal Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 4
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Putusan ini bukan menguji undang-undang
yang mengatur eksistensi MK, tetapi memiliki relevansi dan
bahkan memperkuat kewenangan MK. Dalam konklusi
pengujian tersebut MK berpendapat bahwa “MK berwenang
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a
quo”, artinya MK berwenang menguji Perppu (Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang) sebagai kewenangan
baru/tambahan di luar UUD 1945. Putusan MK yang
menyatakan bahwa MK berwenang menguji Perppu adalah
perkembangan baru yang positif dalam hukum
ketatanegaraan Indonesia yang tak hanya mengikat para
pihak, namun menjadi yurisprudensi dalam hukum
ketatanegaraan di Indonesia. Dengan putusan tersebut,
kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan melalui Perppu
dan kelemahan sistemik dalam UUD 1945 dalam mengawasi
produk Presiden tersebut terantisipasi. Kewenangan
tambahan ini tentu juga bertujuan untuk mencegah
kerugian konstitusional akibat implikasi yuridis terbitnya
Perppu.
c. Putusan MK No. 48/PUU-IX/2011
Putusan MK No. 48/PUU-IX/2011 perihal pengujian
Pasal 45A UU MK Perubahan No. 8/2011 yang mengandung
ketentuan ultra petita, “Putusan Mahkamah Konstitusi tidak
boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh
pemohon atau melebihi Permohonan pemohon, kecuali
terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok
Permohonan”. Ketentuan Pasal 45A tersebut merupakan
larangan ultra petita, ultra petita adalah penjatuhan putusan
oleh hakim atas perkara yang tidak dituntut atau memutus
melebihi dari pada yang diminta, yang mana putusan ultra
petita (tidak diminta) yang mengarah pada intervensi ke
dalam bidang legislasi. Ultra petita dalam hukum formil
diartikan menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak
dituntut atau meluluskan lebih dari yang diminta. 115
Merujuk pada pandangan Mahfud MD bahwa MK pada
dasarnya dilarang untuk membuat ultra petita, sebab dalam
ultra petita MK masuk ke ranah legislatif 116, sebab MK di
desain untuk menguji undang-undang tanpa boleh ikut
115
Haposan Siallagan, “Masalah Putusan Ultra Petita dalam Pengujian
Undang-Undang, Mimbar Hukum Volume 22 Nomor 1 Februari 2010, hal. 74
116
Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2009), hal. 281-284
campur dalam pekerjaan legislasi. 117 Merujuk pada
pandangan Jimly Asshiddiqie bahwa MK boleh melakukan
ultra petita, jika yang di-review adalah pasal-pasalnya,
sementara pasal-pasal tersebut merupakan jantung undang-
undang, sehingga berimplikasi pada pembatalan seluruh
undang-undang, selain itu larangan ultra petita hanya dalam
peradilan perdata. Sementara Bagir Manan menyebutkan
bahwa ultra petita dapat dibenarkan jika dalam permohonan
review mencantumkan permohonan ex aqeuo et bono
(memutus demi keadilan).118
d. Putusan No. 49/PUU-IX/2011
Salah satu Pasal yang diuji dalam Putusan No.
49/PUU-IX/2011 perihal pengujian Undang-Undang No. 8
Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi adalah Pasal 50A selengkapnya berbunyi: “MK
dalam menguji undang-undang terhadap UUD 1945, tidak
menggunakan undang-undang lain sebagai dasar
pertimbangan hukum”. Konstruksi kalimat yang digaris
bawahi tersebut dapat disepadankan dengan istilah non
konstitusi, maksudnya adalah tolok ukur selain UUD 1945
(tolok ukur ini dalam bentuk undang-undang selain undang-
undang yang diuji maupun peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang lainnya). Keberadaan Pasal 50A
undang-undang terkait pembatasan kewenangan MK dalam
melaksanakan pengujian undang-undang, sebab pasal
tersebut tidak memperkenankan MK menggunakan
ketentuan non konstitusi sebagai dasar pertimbangan
hukum dalam putusannya. Hal tersebut jelas bertentangan
dengan Pasal 22A UUD Tahun 1945 yang menyatakan,
117
Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Pers), hal. 76
118
Haposan Siallagan, “Masalah Putusan Ultra Petita dalam Pengujian
Undang-undang, Mimbar Hukum Volume 22 Nomor 1 Februari 2010, hal. 74
“ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan
undang-undang diatur dengan undang-undang” dan
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 bahwa
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Adapun alasan
Pasal 50A bertentangan dengan Pasal 22A dan 28D ayat (1)
UUD 1945, meliputi: pertama, Indonesia telah menyatakan
sebagai negara hukum yang demokratis, bahwa salah satu
syarat setiap negara yang menganut paham constitutional
democracy adalah prinsip konstitusionalisme
(constitutionalism), antara lain yaitu prinsip yang
menempatkan konstitusi sebagai hukum tertinggi dalam
suatu negara. Untuk menjamin tegak dan dilaksanakannya
konstitusi itu maka harus terdapat mekanisme yang
menjamin bahwa ketentuan-ketentuan konstitusi dimaksud
benar-benar dilaksanakan dalam praktik kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kedua,
pelarangan terhadap MK untuk menggunakan undang-
undang lain sebagai dasar pertimbangan hukum adalah
mereduksi kewenangan MK sebagai kekuasaan kehakiman
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Penggunaan Undang-
undang lain sebagai dasar pertimbangan hukum justru
untuk menciptakan kepastian hukum yang adil
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD
1945. Ketentuan non konstitusi dapat menjadi tolok ukur,
terutama dalam pengujian formil, karena pengujian formil
merupakan pengujian pertentangan norma yang terkait
dengan fakta pembentukan peraturan perundang-undangan,
tetapi non konstitusi harus diposisikan sebagai tolok ukur
pelengkap yang memberikan penjelasan terhadap tolok ukur
utama (UUD 1945), ketika tolok ukur utama tidak
memberikan penjelasan secara detail mengenai
pembentukan peraturan-perundang-undangan tersebut.
Tolok ukur non konstitusi untuk menilai fakta pembentukan
undang-undang dan merupakan alat bukti untuk menilai
konstitusionalitas formil undang-undang. Non konstitusi
diperbolehkan dijadikan tolok ukur, karena MK merupakan
lembaga yang hadir untuk memenuhi hasrat para
justiabelen akan pemenuhan keadilan dan jelas bahwa
penggunaan non konstitusi untuk menciptakan keadilan
substantif.119
Sementara itu terdapat pula putusan Mahkamah yang
tergolong kontroversial terkait dengan penyimpangan asas
nemo judex idoneus in propria causa.
e. Putusan No. 005/PUU-IV/2006
Putusan No. 005/PUU-IV/2006 perihal pengujian
Undang-undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial. Putusan ini merupakan putusan yang
kontroversial, sebab membatalkan pasal-pasal yang
berkaitan dengan pengawasan hakim MK. Merujuk hasil
penelitian Tim Peneliti PusaKo Universitas Andalas bahwa
pasal-pasal yang dinyatakan menimbulkan ketidakpastian
hukum tersebut pada dasarnya bersifat menjelaskan atau
mengelaborasi lebih jauh pasal-pasal yang terdapat dalam
Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Misalnya, dalam halaman 194
Putusan No. 005/PUU-IV/2006 secara eksplisit dinyatakan
bahwa Pasal 20, 21, 22, 23, sepanjang mengenai
pengawasan, Pasal 24 ayat (1) sepanjang yang menyangkut
hakim konstitusi, dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) UU KY
serta Pasal 34 ayat (3) UU Kekuasaan Kehakiman
119
Tanto Lailam, Pertentangan Norma Hukum: dalam Teori dan Praktik
Pengujian Undang-undang di Indonesia,(Yogyakarta: LP3M UMY, 2015), hal. 395
bertentangan dengan Pasal 24, Pasal 24A, dan Pasal 24B
UUD 1945.120
Putusan ini merupakan putusan yang kontroversial
karena terlihat semakin menjauhi gagasan pembaruan
hukum, menurut Iwan Satriawan bahwa dalam pengujian
tersebut MK tidak berjalan dalam koridor prinsip
imparsialitas dalam proses yudisial karena mengadili
perkara yang terkait dengan dirinya sendiri dan prinsip
konstitusionalisme yang seharusnya dijunjung tinggi oleh
MK sebagai “the guardian of the constitution”, disamping itu
dengan mengeluarkan dirinya sebagai objek pengawasan KY,
MK telah menyampingkan prinsip akuntabilitas yang
menjadi agenda utama reformasi hukum. Sementara,
Menurut Majelis Eksaminasi Putusan MK No.
005/PUU/2006 yang dibentuk oleh Pusat Kajian Anti
Korupsi FH-UGM dan Indonesia Court Monitoring
menyatakan pada prinsipnya MK berwenang dalam menguji
konstitusionalitas sebuah undang-undang terhadap UUD
1945 sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 24C ayat (1)
UUD 1945. Namun demikian, di dalam perkara ini ada
prinsip imparsialitas yang perlu dipersoalkan, terkait dengan
permohonan yang menyangkut dengan kepentingan hakim
konstitusi. Asas nemo judex idoneus in propria causa
(niemand is geschikt om als rechter in zijn eigen zaak op te
treden), bahwa tidak seorang pun dapat menjadi hakim
dalam perkaranya sendiri, dalam perkara ini telah
disimpangi oleh MK.
120
Saldi Isra, Yuliandri, Feri Amsari, Charles Simabura, Dayu Medina,
dan Edita Elda, Perkembangan Pengujian Perundang-undangan di Mahkamah
Konstitusi (Dari Berfikir Hukum Tekstual ke Hukum Progresif, (Padang dan
Jakarta: Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas dan
Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, 2010), hal. 113
Penyimpangan atas suatu asas hanya dapat dilakukan
jika diatur secara eksplisit di dalam undang-undang,
misalnya peradilan harus dilakukan secara terbuka untuk
umum, kecuali undang-undang menentukan lain. Ternyata
UU MK No. 24 Tahun 2003 maupun perubahannya yang
dimuat dalam UU No. 8 Tahun 2011 tidak mengatur secara
spesifik tentang penyimpangan atas asas dimaksud, karena
itu MK tidak mempunyai alasan normatif untuk
menyimpang dari asas tersebut, kecuali bersandar kepada
kekuasaan yang dimilikinya. Tetapi perlu dicatat, argumen
kekuasaan demikian berpotensi menimbulkan
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), akibat lebih
lanjut pemeriksaan perkara ini sarat benturan kepentingan
(conflict of interest) dan dikhawatirkan hakim konstitusi
telah melakukan judicial misconduct.
Menurut Erhard Blankenburg bahwa independensi
peradilan dapat diuji melalui dua hal, yaitu
ketidakberpihakan (impartiality) dan keterputusan relasi
dengan para aktor politik (political insularity). Imparsialitas
terlihat pada gagasan bahwa hakim akan mendasarkan
pada hukum dan fakta-fakta di persidangan, bukan atas
dasar keterkaitan dengan salah satu pihak yang berperkara.
Imparsialitas proses peradilan hanya dapat dilakukan jika
hakim dapat melepaskan diri dari konflik kepentingan atau
faktor semangat pertemanan (collegial) dengan pihak yang
berperkara, Karenanya hakim harus mengundurkan diri
dari proses persidangan jika ia melihat ada potensi
imparsialitas. Sementara pemutusan relasi dengan dunia
politik penting bagi seorang hakim agar ia tidak menjadi alat
merealisasikan tujuan-tujuan politik.121
121
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi
Parlementer DalamSistem Presidensial Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2010,
hal. 307.
Asas nemo judex idoneus in propria causa merupakan
salah satu asas hukum beracara MK yang digunakan dalam
setiap proses peradilan di Indonesia karena asas ini
merupakan perwujudan dari imparsialitas
(ketidakberpihakan/impartiality) hakim sebagai pemberi
keadilan. Asas imparsialitas merupakan prinsip yang
melekat dalam hakikat fungsi hakim konstitusi sebagai
pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap
setiap perkara yang diajukan ke MK. Ketidakberpihakan
mencakup sikap netral, disertai penghayatan yang
mendalam akan pentingnya keseimbangan antar
kepentingan yang terkait dengan perkara. Prinsip
imparsialitas melekat dan harus tercermin dalam tahapan
proses pemeriksaan perkara sampai kepada tahap
pengambilan keputusan, sehingga putusan pengadilan
dapat benar-benar diterima sebagai solusi hukum yang adil
bagi semua pihak yang berperkara dan oleh masyarakat luas
pada umumnya. Imparsialitas hakim harus terlihat pada
gagasan bahwa para hakim akan mendasarkan putusannya
pada hukum dan fakta-fakta di persidangan, bukan atas
dasar keterkaitan dengan salah satu pihak yang berperkara,
bukan pula menjadi pemutus perkaranya.122
Penerapan asas nemo judex idoneus in propria causa
bisa dilakukan pengecualian, maksud pengecualian di sini
adalah asas hukum nemo judex idoneus in propria causa
tidak harus diterapkan di segala lini proses peradilan dalam
hal ini yakni lingkup Mahkamah Konstitusi. Ada beberapa
alasan, antara lain: (a). bersandar dari kewenangannya MK
memiliki kewajiban menyelesaikan permasalahan
konstitusional, jika asas ini diterapkan maka ditafsirkan
122
Yanis Maladi, “Benturan Asas Nemo Judex Idoneus In Propria Causa
dan Asas Ius Curia Novit” (Telaah Yuridis Putusan MK No.005/PUUIV/2006)”,
Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 2, hal. 13.
akan menghalangi MK memutus suatu perkara, karena
menyangkut imparsialitas MK; (b), Lembaga peradilan
adalah jalan terakhir bagi para pencari keadilan (justiabelen)
untuk mencari keadilan, bilamana MK tidak memutus
perkara ini maka sudah dipastikan perkara ini tidak
memiliki kejelasan dan tidak memberikan rasa keadilan bagi
para pencari keadilan; (c) Imparsialitas hakim di sini harus
diartikan adanya kepentingan baik secara langsung ataupun
tidak langsung hakim terhadap perkara. Sedangkan dalam
konteks perkara tersebut bisa dilihat bahwa tidak ada
kepentingan hakim secara langsung atau tidak langsung,
karena perkara yang diajukan adalah perkara yang
menyangkut masalah konstitusional, yakni putusan ini
nantinya berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia dan
menyelesaikan benturan aturan di bawah konstitusi dengan
konstitusi. Dengan demikian asas nemo judex idoneus in
propria causa bisa dilakukan pengecualian dalam konteks
ini, akan tetapi asas ini tetap mutlak tidak boleh
dikesampingkan dalam peradilan umum.
Kedua, perspektif yuridis. Berangkat dari pertanyaan
bahwa lembaga manakah yang diberikan amanah oleh
konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap UUD
1945, Pasal 24A UUD 1945 menyebutkan ketentuan bahwa:
“MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang
lainnya yang diberikan oleh undang-undang”, tentu telah
jelas dalam hal ini bahwa MA tidak memiliki kewenangan
menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Pasal 24C
menyebutkan bahwa “MK berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap UUD…”, ketentuan ini
secara konstitutif mengamanatkan bahwa MK sebagai
lembaga negara satu-satunya yang memiliki kewenangan
menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Dalam hal ini
MK adalah satu-satunya forum yang legitimate dalam
melakukan pengujian undang-undang, dan tidak ada forum
lain yang sah di luar MK, MK merupakan satu-satunya
lembaga penafsir konstitusi yang sah. Perihal apakah
ketentuan UUD membedakan pengujian undang-undang
yang mengatur kelembagaan MK dengan undang-undang
lainnya, ketentuan Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 10 UU
MK No. 24 Tahun 2003 jelas tidak membedakan hal
tersebut, dalam hal ini menunjukkan bahwa MK berhak dan
berwenang menguji undang-undang yang mengatur
eksistensinya. Selain itu, terdapat asas ius curia novit yang
merupakan asas bahwa pengadilan tidak boleh menolak
untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada
atau kurang jelas dan sebaliknya hakim harus memeriksa
dan mengadilinya.123 Pasal 10 Undang-undang No. 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa:
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya”
Ketiga, perspektif sosiologis, kewenangan MK untuk
menguji undang-undangnya sendiri dengan menyimpangi
asas nemo judex idoneus in propria causa bertujuan
menegakkan keadilan substantif dengan menerobos
kebuntuan legalitas formal yang menjunjung keadilan
prosedural, demi memenuhi hak setiap pemohon untuk
123
Tim Penyusun Hukum Acara MK, Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi. (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, 2010), hal. 15-16.
memperoleh dan menuntut keadilan yang diakibatkan
adanya norma hukum yang merugikannya. Menurut I Dewa
Gede Palguna124, bahwa terkait kewenangan dalam
pengujian undang-undang, MK memiliki predikat: (1) MK
sebagai pengawal konstitusi (the Guardian of the
Constitution); (2) MK sebagai pengendali keputusan
berdasarkan sistem demokrasi (Control of Democracy); (3) MK
sebagai penafsir konstitusi (the Sole or the Highest Interpreter
of the Constitution). Kewenangan menafsirkan UUD 1945 ini
tidak bisa dipisahkan dari kewenangan menguji undang-
undang; (4) MK sebagai pelindung hak konstitutional warga
negara (the Protector of the Citizens’ Constitutional Rights);
dan (5) MK sebagai pelindung hak asasi manusia (the
Protector of Human Rights). Pandangan tersebut di atas
menunjukkan bahwa Mk juga memiliki fungsi sebagai
pelindung hak asasi manusia, dalam arti bahwa jika ada
undang-undang yang melanggar hak konstitusional warga
negara, harus di batalkan.
Jika MK tidak boleh menguji, maka banyak pemohon
yang dirugikan akibat adanya norma hukum yang
membatasi pemohon untuk menuntut keadilan di MK, lebih
lanjut kondisi ini tidak sejalan dengan konstitusi dan politik
hukum pembentukan MK. Misalnya jika MK tidak
membatalkan Pasal 50 UU MK No. 24 Tahun 2003 yang
berbunyi “Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk
diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah
perubahan UUD 1945”, maka banyak undang-undang yang
dibuat sebelum amandemen yang bertentangan dengan
konstitusi dan melanggar hak konstitusional, dan hak
konstitusional masyarakat terpasung dan terdzalimi selama
124
I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional
Complaint): Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-hak Konstitusional Warga
Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hal. 313-314.
undang-undang yang merugikan tersebut tidak di batalkan.
Dalam konklusi, MK tidak terkungkung pada teks (Pasal 50)
yang tidak adil dan jelas-jelas menghambat MK dalam
menegakkan hukum dan keadilan melalui kewenangan
pengujian undang-undang. Pandangan bahwa forum
legislative review lebih tepat untuk me-review undang-
undang MK daripada MK diperbolehkan menguji undang-
undangnya sendiri melahirkan pertanyaan, apakah ada
jaminan bahwa pembentuk undang-undang akan membuat
undang-undang yang terbaik bagi MK dan tidak
bertentangan dengan UUD 1945, padahal nyata-nyata
bahwa norma hukum yang dirumuskan/undang-undang
merupakan produk kompromi politik, dimana terdapat
tendensi bahwa warna kepentingan politik lebih tinggi. Hal
ini salah satunya dapat dibuktikan dengan fakta bahwa
beberapa Pasal dalam Undang-undang MK yang nyatakan
bertentangan dengan konstitusi karena pasal-pasal tersebut
justru mereduksi kewenangan MK dalam menegakkan
konstitusi. Kewenangan MK dalam menguji undang-undang
yang mengatur eksistensinya harus dilakukan dengan hati-
hati dan bertanggungjawab, kewenangan MK ini harus
dilakukan oleh hakim-hakim yang benar-benar seorang
negarawan yang adil, hakim yang mampu membaca secara
komprehensif makna konstitusi sebagai the living
constitution yang memiliki filosofi bahwa “konstitusi itu
hidup”, sehingga dalam menafsirkan konstitusi yang perlu
diutamakan adalah perkembangan masyarakat saat ini. 125
125
Feri Amsari, Perubahan UUD 1945: Perubahan Konstitusi NKRI Melalui
Putusan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal. 88
(heble-heble)
1. Permasalahan UU MK akibat adanya Putusan MK
a. Putusan MK Nomor 5/PUU-IV/2006126
Dalam pertimbangan putusan ini Mahkamah
Konstitusi, antara lain, menyatakan bahwa apabila ditinjau
secara sistematis dan dari penafsiran berdasarkan ‘original
intent’ perumusan ketentuan UUD 1945, ketentuan
mengenai KY dalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak
berkaitan dengan ketentuan mengenai MK yang diatur
dalam Pasal 24C UUD 1945. Dari sistematika penempatan
ketentuan mengenai Komisi Yudisial sesudah pasal yang
mengatur tentang Mahkamah Agung yaitu Pasal 24A dan
sebelum pasal yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi
yaitu Pasal 24C, sudah dapat dipahami bahwa ketentuan
mengenai Komisi Yudisial pada Pasal 24B UUD 1945 itu
memang tidak dimaksudkan untuk mencakup pula objek
perilaku hakim konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal
24C UUD 1945. Putusan ini mengeksklusikan hakim
konstitusi dari objek pengawasan Komisi Yudisial. 127
Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi juga
menegaskan perihal putusan sela karena dalam
permohonan KY, meskipun yang dimohonkan adalah
deklarasi tetapi esensinya adalah memohon putusan sela,
sedangkan dalam hukum acara pengujian undang-undang,
Pasal 58 UU Mahkamah Konstitusi menyatakan:
“Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi
tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan
bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan
126
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/
putusan_sidang_Putusan005PUUIV06MA%20KY.pdf, diakses 9 Februari 2018
127
Ibid.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945”.
Sehingga, pada dasarnya dalam pengujian undang-
undang terhadap UUD 1945 tidak dikenal adanya putusan
sela. Satu-satunya kemungkinan Mahkamah Konstitusi
menjatuhkan semacam putusan sela dalam pengujian
undang-undang terhadap UUD 1945, baik atas permohonan
Pemohon maupun atas pertimbangan Mahkamah Konstitusi
sendiri, adalah apabila pengujian tersebut berkenaan
dengan proses pembentukan suatu undang-undang. Hal ini
diatur dalam Pasal 16 Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 06/PMK/2005 tentang Permohonan Beracara dalam
Perkara Pengujian Undang-undang, yaitu:
(1) Dalam hal Pemohon mendalilkan adanya dugaan
perbuatan pidana dalam pembentukan undang-
undang yang dimohonkan pengujiannya, Mahkamah
Konstitusi dapat menghentikan sementara
pemeriksaan permohonan atau menunda putusan;
(2) Dalam hal dalil mengenai dugaan perbuatan pidana
yang dimaksud pada butir (1) disertai dengan bukti-
bukti, Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan
menunda pemeriksaan dan memberitahukan kepada
pejabat yang berwenang untuk menindaklanjuti
adanya persangkaan tindak pidana yang diajukan
oleh Pemohon;
(3) Dalam hal dugaan perbuatan pidana sebagaimana
dimaksud butir (1) telah diproses secara hukum oleh
pejabat yang berwenang, untuk kepentingan
pemeriksaan dan pengambilan keputusan,
Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan
kepada pihak-pihak berwenang yang melakukan
penyidikan dan/atau penuntutan;
(4) Penghentian proses pemeriksaan permohonan atau
penundaan putusan sebagaimana dimaksud butir (1)
ditetapkan dengan Ketetapan Mahkamah Konstitusi
yang diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk
umum.
Putusan ini turut menjadi landmark bagi
pengenyampingan prinsip judicial restraint dan asas nemo
judex judex idoneus in propria causa dalam hal
mengutamakan pemenuhan keadilan bagi para pencari
keadilan (justitiabelen). Imparsialitas sebagai prinsip etik
yang bersifat universal untuk menghindari konflik
kepentingan (conflict of interest) sesungguhnya titik beratnya
adalah dalam proses pemeriksaan perkara biasa, seperti
yang menyangkut perkara perdata atau pidana, dalam hal
mana faktor konflik kepentingan individual merupakan
obyek sengketa (objectum litis) yang diperiksa dan diadili
hakim. Proses peradilan kasus a quo di Mahkamah
Konstitusi objectum litis-nya adalah masalah
konstitusionalitas undang-undang yang lebih menyangkut
kepentingan publik yang dijamin oleh konstitusi sebagai
hukum yang tertinggi (supreme law), bukan semata-mata
kepentingan individual. Oleh karena itu, dalam kasus a quo,
penerapan prinsip imparsialitas tidak dapat dijadikan alasan
untuk mengesampingkan kewajiban konstitusional yang
lebih utama untuk memeriksa dan memutus permohonan a
quo, sehingga Mahkamah Konstitusi lebih menekankan pada
fungsi dan tugasnya mengawal dan mempertahankan
konstitusi dengan tetap menjaga prinsip imparsialitas dalam
keseluruhan proses. Oleh karena itu asas nemo judex
idoneus in propria causa (niemand is geschikt om als rechter
in zijn eigen zaak op te treden), yaitu bahwa tidak seorang
pun dapat menjadi hakim dalam perkaranya sendiri, tidak
dapat diterapkan dalam kasus ini.
Mahkamah Konstitusi juga mempertimbangkan alasan
substantif yang fundamental untuk menolak segala upaya
yang menempatkan perilaku Hakim Konstitusi sebagai objek
pengawasan oleh lembaga negara lain. Dengan menjadikan
perilaku Hakim Konstitusi sebagai objek pengawasan oleh
KY, maka kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai
lembaga pemutus sengketa kewenangan konstitusional
lembaga negara menjadi terganggu dan terjebak ke dalam
anggapan sebagai pihak yang tidak dapat bersikap
imparsial, khususnya apabila dalam praktik timbul
persengketaan kewenangan antara KY dengan lembaga lain,
seperti halnya dalam kasus persengketaan antara MA dan
KY yang terkait dengan perkara a quo. Dengan demikian,
ketentuan yang memperluas pengertian perilaku hakim
dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 mencakup perilaku
Hakim Konstitusi dapat mengebiri kewenangan dan
menghalang-halangi pemenuhan tanggung jawab
Mahkamah Konstitusi dalam menjaga konstitusionalitas
mekanisme hubungan antar-lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Padahal,
dibentuknya Mahkamah Konstitusi berdasarkan UUD 1945
adalah dalam rangka menjamin agar UUD 1945
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, termasuk dalam
konteks hubungan-hubungan konstitusional antar-lembaga
negara. Oleh karena itu, salah satu kewenangan yang
diberikan kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, adalah untuk
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Terhadap
kewenangan MK dimaksud, undang-undang tidak boleh
melakukan pemandulan. Upaya pemandulan kewenangan
Mahkamah Konstitusi tersebut:
1. Pertama, tercermin dengan ketentuan Pasal 65 UUMK
yang berbunyi, “Mahkamah Agung tidak dapat menjadi
pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada
Mahkamah Konstitusi”;
2. Kedua, pemandulan itu juga tercermin dalam
ketentuan pasal-pasal UUKY yang memperluas
pengertian perilaku hakim sehingga mencakup Hakim
Konstitusi sebagai objek pengawasan oleh KY. Dengan
kedua ketentuan di atas, kedudukan Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga pemutus sengketa
kewenangan lembaga negara menjadi mandul,
khususnya dalam hal salah satu lembaga negara
dimaksud adalah KY. Ketentuan undang-undang yang
demikian, menurut Mahkamah Konstitusi, jelas
bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu,
dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 08/PMK/2006, ketentuan Pasal 65
UUMK tersebut telah ditafsirkan oleh Mahkamah
Konstitusi bahwa Mahkamah Agung (MA) tidak dapat
menjadi pihak, baik sebagai pemohon ataupun
termohon, hanya dalam sengketa kewenangan teknis
peradilan (justisial) Mahkamah Agung. Dengan kata
lain, menurut Mahkamah Konstitusi, Mahkamah
Agung dapat saja terlibat sebagai pihak dalam perkara
sengketa kewenangan, sepanjang sengketa demikian
tidak berkait dengan pelaksanaan wewenang teknis
justisial Mahkamah Agung. Dengan demikian,
sengketa yang timbul antara Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial yang tidak berkaitan dengan
pelaksanaan wewenang teknis justisial Mahkamah
Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3)
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
08/PMK/2006 tersebut di atas, dapat menjadi objek
perkara di Mahkamah Konstitusi.
Sementara itu, untuk mengoreksi kekeliruan dalam
penormaan undang-undang dengan menjadikan hakim
konstitusi sebagai objek pengawasan oleh KY sebagaimana
ditentukan dalam UUKY, maka ketentuan mengenai hakim
konstitusi yang terdapat dalam pasal-pasal UUKY harus
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, dan oleh
karenanya harus dinyatakan tidak berlaku mengikat.
Dengan demikian, sekiranya pun sengketa kewenangan
lembaga negara antara MA dan KY terjadi di masa-masa
yang akan datang, atau timbul sengketa kewenangan
konstitusional antara KY dan lembaga negara yang lain,
maka kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai satu-
satunya lembaga peradilan yang dapat menjatuhkan
putusan yang bersifat final dan mengikat dalam rangka
penyelesaian sengketa semacam itu tidak akan terganggu
lagi, sehingga konstitusionalitas pola hubungan antar-
lembaga negara di masa depan dapat benar-benar ditata
dengan sebaik-baiknya sesuai dengan amanat UUD 1945.
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan yang demikian
itulah, maka sejauh mengenai ketentuan Pasal 1 angka 5
dan pasal-pasal lainnya dalam UUKY sepanjang mengenai
Hakim Konstitusi, cukup beralasan untuk dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945.
b. Putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011
Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 27A ayat
(2) huruf c, huruf d, dan huruf e UU Nomor 8 Tahun 2011
bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1) dan
ayat (2) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi memberi
pertimbangan sebagai berikut:
1. Hakim konstitusi berbeda dengan hakim badan
peradilan lain, hakim konstitusi pada dasarnya
bukanlah hakim sebagai profesi tetap, melainkan
hakim karena jabatannya. Hakim konstitusi hanya
diangkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan
setelah tidak lagi menduduki jabatan Hakim
Konstitusi, yang bersangkutan masing-masing
kembali lagi kepada status profesinya yang semula.
Mekanisme pemilihan hakim konstitusi diajukan
oleh tiga lembaga negara masing-masing tiga orang
sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (3) UUD
1945, yaitu masing-masing oleh Mahkamah Agung,
DPR, dan Presiden, dan selanjutnya ditetapkan
oleh Presiden. Setelah ditetapkan dan
mengucapkan sumpah sebagai hakim konstitusi
maka selama yang bersangkutan menjadi hakim
konstitusi harus independen dan imparsial serta
bebas dari segala pengaruh lembaga negara
termasuk lembaga negara yang mengajukannya.
Oleh karena itu, dengan masuknya unsur DPR,
unsur Pemerintah dan satu orang hakim agung
dalam Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
yang bersifat permanen justru mengancam dan
mengganggu baik secara langsung maupun tidak
langsung kemandirian hakim konstitusi dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya. Adanya
unsur DPR, unsur Pemerintah, dan hakim agung
berpotensi menimbulkan konflik kepentingan
karena DPR, Pemerintah, dan Mahkamah Agung,
serta Komisi Yudisial dapat menjadi pihak yang
berperkara di Mahkamah Konstitusi.
Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 27A ayat
(2) huruf c, huruf d, dan huruf e UU Nomor 8 Tahun 2011
bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 beralasan
menurut hukum. Oleh karena Pasal 27A ayat (2) huruf c,
huruf d, dan huruf e UU Nomor 8 Tahun 2011 saling
memiliki keterkaitan satu sama lain dengan Pasal 27A ayat
(3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU Nomor 8 Tahun 2011
maka pasal a quo juga harus dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945, Mahkamah Konstitusi menegaskan
bahwa keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi dari unsur Komisi Yudisial, DPR, Pemerintah, dan
Mahkamah Agung tidak memberi jaminan kemandirian,
karena ada kemungkinan orang yang mengisi keanggotaan
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi sarat dengan
kepentingan sektoral, oleh karena itu dalam rangka menjaga
independensi dan imparsialitas Mahkamah, maka
Mahkamah perlu menyusun kode etik dan pedoman
perilaku hakim konstitusi, dan para anggota Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang anggotanya selain
dari Mahkamah Konstitusi, juga dari unsur lain yang
independen dan tidak partisan.
Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 50A UU
Nomor 8 Tahun 2011 bertentangan dengan Pasal 22A dan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi
memberikan pertimbangan bahwa Indonesia telah
menyatakan identitasnya sebagai negara hukum yang
demokrasi konstitusional atau negara demokrasi yang
berdasar atas hukum, sebagaimana amanat Pasal 1 ayat (2)
dan ayat (3) UUD 1945. Salah satu syarat setiap negara yang
menganut paham rechstaat dan constitutional democracy
adalah prinsip konstitusionalisme (constitutionalism), antara
lain yaitu prinsip yang menempatkan undang-undang dasar
atau konstitusi sebagai hukum tertinggi dalam suatu
negara. Untuk menjamin tegak dan dilaksanakannya
konstitusi itu maka harus terdapat mekanisme yang
menjamin bahwa ketentuan-ketentuan konstitusi dimaksud
benar-benar dilaksanakan dalam praktik kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pasal 24 ayat (2)
UUD 1945 telah memberi kewenangan kepada Mahkamah
Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
yang berfungsi mengawal konstitusi atau Undang-Undang
Dasar (the guardian of the constitution) dan karena fungsinya
itu Mahkamah Konstitusi merupakan penafsir tertinggi
Undang-Undang Dasar (the ultimate interpreter of the
constitution). Dalam kerangka pemikiran demikian maka
seluruh kewenangan yang diberikan oleh konstitusi kepada
Mahkamah Konstitusi, sebagaimana tertulis dalam Pasal 24
ayat (2) dan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945,
bersumber dan mendapatkan landasan konstitusionalnya.
Salah satu kewenangan Mahkamah adalah menguji Undang-
Undang terhadap UndangUndang Dasar. Dengan
kewenangan yang diberikan tersebut Mahkamah dalam
mengadili suatu Undang-Undang wajib menggali nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat
berdasarkan UUD 1945 sebagai hukum dasar tertinggi
maupun Undang-Undang sebagai penjabaran dari UUD
1945. Pelarangan terhadap Mahkamah untuk menggunakan
Undang-Undang lain sebagai dasar pertimbangan hukum
adalah mereduksi kewenangan Mahkamah sebagai
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Penggunaan Undang-Undang lain sebagai dasar
pertimbangan hukum justru untuk menciptakan kepastian
hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945. Dalam praktik Putusan Mahkamah
terkait dengan pengujian materiil Mahkamah tidak pernah
menggunakan Undang-Undang sebagai dasar pertimbangan,
akan tetapi dalam permohonan-permohonan tertentu,
Mahkamah harus melihat seluruh Undang-Undang sebagai
satu kesatuan sistem yang tidak boleh bertentangan satu
dengan yang lain sehingga apabila Mahkamah menemukan
ada satu Undang-Undang bertentangan dengan Undang-
Undang lain, hal itu berarti bertentangan dengan kepastian
hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.
Dalam konteks pengujian formil dalam Putusan
Nomor 27/PUU-VII/2009, Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa:
“...sepanjang Undang-Undang, tata tertib produk
lembaga negara, dan peraturan perundang-undangan
yang mengatur mekanisme atau formil prosedural itu
mengalir dari delegasi kewenangan menurut konstitusi
maka peraturan perundang-undangan itu dapat
dipergunakan atau dipertimbangkan sebagai tolok ukur
atau batu uji dalam pengujian formil”.
Hal itu dilakukan Mahkamah karena Pasal 22A UUD
1945 menentukan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang
tata cara pembentukan Undang-Undang diatur dengan
Undang-Undang. Adapun mekanisme pembentukan
Undang-Undang di DPR diatur dengan tata tertib DPR
sehingga menurut Mahkamah penggunaan Undang-Undang
mengenai pembentukan Undang-Undang dan tata tertib
DPR sebagai dasar putusan Mahkamah dimaknai sebagai
penjabaran dari UUD 1945 secara langsung. Oleh karena itu
menurut Mahkamah jika pasal a quo diterapkan maka akan
merestriksi tugas dan fungsi Mahkamah dalam
melaksanakan kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945.
Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 59 ayat (2)
UU No. 8 Tahun 2011 bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945 Mahkamah mempertimbangkan sebagai
berikut:
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, antara lain,
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final ...”.
Ketentuan tersebut jelas bahwa putusan Mahkamah
Konstitusi bersifat final dan mengikat umum (erga omnes)
yang langsung dilaksanakan (self executing). Putusan
Mahkamah sama seperti Undang-Undang yang harus
dilaksanakan oleh negara, seluruh warga masyarakat, dan
pemangku kepentingan yang ada. Putusan Mahkamah
Konstitusi sama seperti Undang-Undang yang harus
dilaksanakan oleh negara, seluruh warga masyarakat, dan
pemangku kepentingan yang ada. Norma Pasal 59 ayat (2)
UU Nomor 8 Tahun 2011 tidak jelas dan menimbulkan
ketidakpastian hukum, karena DPR dan Presiden hanya
akan menindaklanjuti putusan Mahkamah jika diperlukan
saja. Padahal putusan Mahkamah merupakan putusan yang
sifatnya final dan mengikat yang harus ditindaklanjuti oleh
DPR dan Presiden sebagai bentuk perwujudan sistem
ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945 sekaligus sebagai
konsekuensi paham negara hukum demokratis yang
konstitusional. Di samping itu, Pasal 59 ayat (2) UU Nomor 8
Tahun 2011 mengandung kekeliruan, yaitu frasa “DPR atau
Presiden”, karena berdasarkan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945,
setiap rancangan Undang-Undang dibahas bersama oleh
DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
Karena itu, DPR atau Presiden tidak berdiri sendiri dalam
membahas rancangan Undang-Undang, sehingga frasa “DPR
atau Presiden” bertentangan dengan Pasal 20 ayat (2) UUD
1945.
Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 87 UU
Nomor 8 Tahun 2011 bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan
sebagai berikut:
“Pasal 87 UU Nomor 8 Tahun 2011 adalah pengganti
Pasal 87 UU MK sebelumnya yang termasuk dalam
Bab Ketentuan Peralihan. Jika diperhatikan ketentuan
pasal a quo adalah dimaksudkan sebagai ketentuan
peralihan yang menurut Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5234) dalam
Lampiran II Huruf C.4, Angka 127 telah menentukan
bahwa yang dimaksud ketentuan peralihan adalah
ketentuan yang memuat penyesuaian pengaturan
tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah
ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
lama terhadap peraturan perundang-undangan yang
baru, yang bertujuan untuk:
a. menghindari terjadinya kekosongan hukum;
b. menjamin kepastian hukum;
c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak
yang terkena dampak perubahan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional
atau bersifat sementara.”
Namun, kenyataannya Pasal 87 UU Nomor 8 Tahun
2011 a quo justru mengandung norma yang bertentangan
dengan tujuan yang hendak dicapai oleh ketentuan
peralihan sebagaimana dimuat di dalam Lampiran II Huruf
C.4, angka 127 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Sehubungan dengan ketentuan peralihan, Mahkamah
Konstitusi dalam putusan Nomor 019/PUU-I/2003,
bertanggal 18 Oktober 2004 dan Nomor 121/PUU-VII/2009,
tanggal 9 Maret 2011 pada pokoknya menyatakan ketentuan
peralihan memuat penyesuaian terhadap peraturan
perundang-undangan yang sudah ada pada saat peraturan
perundang-undangan baru mulai berlaku, agar peraturan
perundang-undangan tersebut dapat berjalan lancar dan
tidak menimbulkan permasalahan hukum.
Dengan mendasarkan pada kedua putusan
Mahkamah a quo, maka yang harus dipertimbangkan adalah
apakah dengan adanya ketentuan Pasal 87 UU Nomor 8
Tahun 2011 tersebut dapat menghindari timbulnya
permasalahan hukum atau justru sebaliknya; Bahwa Pasal
87 UU Nomor 8 Tahun 2011 menyatakan:
“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai
Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi
tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa
jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
b. hakim konstitusi yang saat ini menjabat tetap
menjabat sampai dengan diberhentikan
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi”
Menurut Mahkamah, ketentuan a quo
memberlakukan dua Undang-Undang sekaligus dalam satu
Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
Padahal, ketentuan peralihan dibuat adalah untuk
menjamin kepastian hukum. Selain itu, Pasal 87 huruf a UU
Nomor 8 Tahun 2011 tidak dapat dilaksanakan karena
bertentangan dengan Pasal 4 ayat (4f), ayat (4g), dan ayat
(4h) UU Nomor 8 Tahun 2011, karena Pasal 4 menghendaki
pemilihan ketua dan wakil ketua dalam satu kali rapat
pemilihan, sementara wakil ketua yang saat ini menjabat
masa jabatannya tiga tahun, yaitu berakhir pada tahun
2013. Salah satu asas pembentukan peraturan perundang-
undangan adalah asas ‘dapat dilaksanakan’. Dengan dasar
pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah Pasal 87 huruf
a UU Nomor 8 Tahun 2011 selain menimbulkan
ketidakpastian hukum juga melanggar asas pembentukan
peraturan perundang-undangan khususnya asas ‘dapat
dilaksanakan’.
Oleh karena itu, seraya menunggu perbaikan dari
pembentuk Undang-Undang, maka pemilihan Ketua dan
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipergunakan aturan
yang lama yaitu Pasal 4 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
01/PMK/2003 tentang Tata Cara Pemilihan Ketua dan Wakil
Ketua Mahkamah Konstitusi; Bahwa menurut Mahkamah
ketentuan mengenai hakim konstitusi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 87 huruf b UU Nomor 8 Tahun 2011
memberlakukan dua Undang-Undang sekaligus dalam satu
Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
Padahal, ketentuan peralihan dibuat adalah untuk
menjamin kepastian hukum; Menurut Mahkamah, selain
menimbulkan ketidakpastian hukum, Pasal 87 UU Nomor 8
Tahun 2011 juga menimbulkan ketidaksamaan perlakuan,
karena ada pasal yang langsung berlaku dan dilaksanakan,
namun ada juga yang tidak langsung berlaku.
Pemberlakuan dua Undang-Undang yang demikian itu
merupakan pembedaan perlakuan terhadap hakim
konstitusi yang sedang menjalankan tugasnya dan hakim
yang akan diangkat kemudian, sehingga merugikan hak
konstitusional bagi pihak yang terkena dampak perubahan
tersebut.
Hal demikian tidak sesuai dengan prinsip
“memperlakukan sama terhadap hal yang sama,
memperlakukan berbeda terhadap hal yang berbeda“. Di
samping itu, juga bertentangan dengan prinsip perubahan
hukum yang harus memberlakukan ketentuan yang
menguntungkan bagi yang dikenai perubahan peraturan.
Oleh karena itu, norma yang termuat di dalam ketentuan
Pasal 87 huruf b UU Nomor 8 Tahun 2011 yang seharusnya
merupakan ketentuan peralihan di samping tidak tercapai
maksud dan tujuannya, juga telah menimbulkan
ketidakpastian hukum serta menimbulkan ketidaksamaan
perlakuan, sehingga permohonan para Pemohon mengenai
Pasal 87 UU Nomor 8 Tahun 2011 tersebut harus
dinyatakan beralasan menurut hukum.
128
Hal. 95
129
Pasal 36A huruf d dan huruf e Undang-Undang Nomor 49 Tahun
2009, Pasal 38A huruf d dan huruf e Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009,
dan Pasal 38A huruf d dan huruf e Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
1. Pasal 50 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 menyatakan,
“Tiap putusan pengadilan harus ditandatangani oleh
ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang
ikut serta bersidang”.
2. Pasal 51 UU No. 48 Tahun 2009 menyatakan,
“Penetapan, ikhtisar rapat permusyawaratan, dan
berita acara pemeriksaan sidang ditandatangani oleh
ketua majelis hakim dan panitera sidang”.
3. Pasal 54 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009
menyatakan,”Pelaksanaan putusan pengadilan dalam
perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita
dipimpin oleh ketua pengadilan”.
Kedudukan Panitera diatur pula dalam Pasal 41 ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang menyatakan:
(1) Seorang Hakim wajib mengundurkan diri dari suatu
persidangan apabila terikat hubungan keluarga
sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau
hubungan suami atau isteri meskipun sudah
bercerai dengan salah seorang Hakim Anggota atau
Panitera pada majelis yang sama dimaksudkan
Pasal 40 ayat (1);
(2) Seorang Hakim atau Panitera wajib mengundurkan
diri dari persidangan apabila terikat hubungan
keluarga sedarah atau semenda sampai derajat
ketiga atau hubungan suami atau isteri meskipun
sudah bercerai dengan Penuntut Umum, Oditur
Militer, Terdakwa, Penasihat Hukum, Tergugat dan
Penggugat;
(3) Hubungan keluarga sebagaimana dimaksudkan
ayat (1) dan (2) berlaku juga antara Hakim Agung
dan/atau Panitera Mahkamah Agung, dengan
Hakim dan/atau Panitera Pengadilan Tingkat
Pertama serta Hakim dan/atau Panitera Pengadilan
Tingkat Banding, yang telah mengadili perkara
yang sama.
Hal yang sama juga diatur dalam UU MK sebagai berikut:
1. Pasal 46 UU MK, “Putusan Mahkamah Konstitusi
ditandatangani oleh hakim yang memeriksa,
mengadili, dan memutus, dan panitera”.
2. Pasal 48 ayat (2) huruf g UU MK, ”Setiap putusan
Mahkamah Konstitusi harus memuat: “... g. hari,
tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan
panitera”.
Dengan berpedoman mendasarkan pada ketentuan
tersebut di atas menurut Mahkamah Konstitusi kedudukan
dan keberadaan Panitera dan Panitera Pengganti pada
Mahkamah Konstitusi merupakan pegawai negeri sipil
selaku pejabat fungsional yang memiliki keahlian atau
keterampilan tertentu dalam membantu pelaksanaan tugas
pokok peradilan untuk memeriksa, mengadili dan memutus
perkara. Dengan demikian tugas panitera erat kaitannya
dengan tugas hakim dalam setiap memutus perkara.
Panitera dalam lingkungan Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi memiliki tugas, fungsi, dan tanggung
jawab yang sama. Namun, pasal 7A ayat (1) UU No. 8 Tahun
2011 tidak menentukan secara spesifik mengenai batas usia
pensiun Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti,
pada Mahkamah Konstitusi sebagaimana halnya dalam
undang-undang pelaku kekuasaan kehakiman lainnya,
tetapi diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun
2012, padahal di dalam Pasal 24C ayat (6) UUD 1945
dinyatakan:
“Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi,
hukum acara serta ketentuan lainnya tentang
Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang”.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung mengatur tentang
pengangkatan Panitera, Panitera Muda, dan Panitera
Pengganti Mahkamah Agung yaitu sebagai berikut:
Pasal 20 Ayat (1) huruf d
“Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Mahkamah
Agung, seorang calon harus memenuhi syarat: ... d.
berpengalaman sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun
sebagai Panitera Muda Mahkamah Agung atau sebagai
ketua atau wakil ketua pengadilan tingkat banding”;
Pasal 20 Ayat (2) huruf b
“Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda
Mahkamah Agung, seorang calon harus memenuhi
syarat: ... b. berpengalaman sekurang-kurangnya 1
(satu) tahun sebagai hakim tinggi”;
Pasal 20 Ayat (3) huruf b
“Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti
Mahkamah Agung, seorang calon harus memenuhi
syarat: ... b. berpengalaman sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) tahun sebagai hakim pengadilan tingkat
pertama”.
Dengan demikian usia pensiun bagi Panitera dan
Panitera Muda pada Mahkamah Agung
disesuaikan/disamakan dengan usia pensiun hakim tingkat
banding yaitu 67 tahun, sedangkan Panitera Pengganti pada
Mahkamah Agung adalah 65 tahun sebagaimana usia
pensiun hakim tingkat pertama. ketiadaan penetapan usia
pensiun bagi Panitera, Panitera Muda, dan Panitera
Pengganti pada Mahkamah Konstitusi dalam UU Nomor 8
Tahun 2011 merupakan perlakuan yang tidak
mempersamakan kedudukan orang atau pejabat di depan
hukum dan pemerintahan sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 serta bertentangan dengan
prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; ketiadaan penetapan
usia pensiun bagi Panitera, Panitera Muda, dan Panitera
Pengganti pada Mahkamah Konstitusi dalam UU 8/2011
merupakan perlakuan yang tidak mempersamakan
kedudukan orang atau pejabat di depan hukum dan
pemerintahan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 27 ayat
(1) UUD 1945 serta bertentangan dengan prinsip kepastian
hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945.
Persyaratan untuk menduduki jabatan Panitera,
Panitera Muda, dan Panitera Pengganti pada Mahkamah
Konstitusi tidak harus di duduki oleh Hakim sebagaimana
berlaku pada Mahkamah Agung. Sedangkan persyaratan
menduduki jabatan kepaniteraan pada peradilan umum,
peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara pada
tingkat pertama dan tingkat banding tidak diduduki hakim,
oleh karena itu menurut Mahkamah persyaratan usia
pensiun bagi pejabat kepaniteraan pada Mahkamah
Konstitusi harus disesuaikan dengan batas usia pensiun
pejabat kepaniteraan di lingkungan peradilan umum,
peradilan agama dan peradilan tata usaha negara. Berdasar
pertimbangan rasional seharusnya batas usia pensiun
Panitera Mahkamah Konstitusi sama dengan batas usia
pensiun Panitera Mahkamah Agung. Namun oleh karena
pada saat ini Undang-Undang menentukan bahwa Panitera
Mahkamah Agung berasal dari hakim tinggi yang batas usia
pensiunnya adalah 67 tahun yang dengan sendirinya batas
usia pensiun Panitera Mahkamah Agung adalah 67 tahun
sesuai dengan batas usianya sebagai hakim tinggi. Oleh
sebab itu, untuk menentukan batas usia Panitera pada
Mahkamah Konstitusi, Mahkamah menetapkan batas usia
pensiun yang adil bagi Panitera Mahkamah Konstitusi yaitu
62 tahun sesuai dengan usia pensiun bagi Panitera yang
tidak berkarier sebagai hakim dan memandatkan kepada
pembentuk undang-undang untuk menetapkan persyaratan
yang sama bagi calon Panitera di Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi.
Oleh karena itu dalam putusannya, Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwa:
Pasal 7A ayat (1) yang menyatakan, “Kepaniteraan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 merupakan jabatan
fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif
peradilan Mahkamah Konstitusi” Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5226) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang disertai
frasa “dengan usia pensiun 62 tahun bagi Panitera, Panitera
Muda, dan Panitera Pengganti”.
Pasal 7A ayat (1) yang menyatakan, “Kepaniteraan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 merupakan jabatan
fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif
peradilan Mahkamah Konstitusi” Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5226) mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
disertai frasa “dengan usia pensiun 62 tahun bagi Panitera,
Panitera Muda, dan Panitera Pengganti”.
2. Permasalahan Fungsi
a. Peran Mahkamah Konstitusi sebagai Penafsir Terakhir
(The Final Intepreter)
Model-model Perubahan Konstitusi
Terdapat berbagai model perubahan konstitusi yang
dikemukakan oleh ahli tata negara di dunia. Perubahan
konstitusi pada dasarnya oleh George Jellinek 131 dibagi
menjadi dua, yaitu; pertama, melalui prosedur formal
(verfassungsanderung) dan kedua, melalui cara-cara
informal (verfassungswandlung).132 Perubahan formal adalah
perubahan yang mekanismenya telah diatur di dalam
konstitusi suatu negara sedangkan perubahan di luar
ketentuan konstitusi disebut sebagai perubahan informal
atau melalui kondisi yang disebut Djokosoetono
secara onbewust (lambat-laun).133 Menurut Soehardjo
Sastrosoehardjo, verfassungsanderung dimaknai sebagai
bentuk perubahan yang sesungguhnya, di mana terjadi
perubahan terhadap pokok-pokok pikiran, asas-asas,
bentuk negara, sistem pemerintahan dan
lainnya.134 Semenara itu, verfassungswandlung adalah
perubahan makna ataupun penafsiran ketentuan dalam
131
Astim Riyanto, Teori Konstitusi, (Bandung: Penerbit Yapemdo, 2000),
hlm. 581.
132
Djokosoetono, Kuliah Hukum Tata Negara, (Jakarta: Penerbit In-Hill-
Co, 2006) hlm. 131; dan Jimly Asshiddiqiq, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara-
Jilid I, (Jakarta: Sekjen Mahkamah Konstitusi RI 2006), hlm. 145.
133
Djokosoetono, Kuliah Hukum Tata Negara.
134
Astim Riyanto, Teori Konstitusi, hlm. 564.
konstitusi yang tidak menyimpang dari ketentuan pokok
serta asas-asas yang termaktub di dalamnya.
C.F. Strong membagi verfassunganderung ke dalam
beberapa cara yang umumnya ditentukan dalam konstitusi
di pelbagai sistem ketatanegaraan. Cara-cara perubahan
konstitusi secara formal ‘ala’ Strong tersebut ialah:135 (a) by
the ordinary legislature but under certain
restrictions, perubahan melalui lembaga legislatif biasa tetapi
melalui aturan-aturan tertentu, misalnya oleh Indonesia;
(b) by the people through a referendum, perubahan konstitusi
yang dilakukan dengan persetujuan rakyat (referendum)
melalui pemungutan suara, terjadi misalnya pada masa
peralihan republik keempat Prancis menuju konstitusi
republik kelima di bawah pimpinan Jenderal Charles de
Gaulle; (c) by a majority for all units of a federal state, sistem
yang menentukan perubahan konstitusinya melalui suara-
suara pada negara-negara bagian pada sebuah negara
federal, terjadi misalnya pada Amerika Serikat; (d) by special
convention, konvensi yang dimaksudkan dalam bagian ini
bukanlah sebuah kebiasaan (convention) ketatanegaraan,
melainkan adalah sebuah lembaga khusus (special
convention).
Dalam literatur-literatur ketatanegaraan modern,
pembahasan mengenai proses perubahan formal dari
konstitusi begitu banyak. Secara teori hukum tata negara,
posisi perubahan konstitusi melalui cara formal pun tidak
menimbulkan banyak perbedaan pendapat. Selama
implementasi proses perubahan berkesesuaian dengan
135
Abu Daud Busroh, Intisari Hukum Tatanegara: Perbandingan
Konstitusi Sembilan Negara, (Jakarta: Penerbit PT Bina Aksar, 1987), hlm. 15.;
dan Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tatanegara
Indonesia, (Jakarta: Penerbit Pusat Studi Hukum Tatanegara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia dan CV Sinar Bakti, 1988), hlm. 85.
aturan dalam konstitusi, maka pasal-pasal perubahan
konstitusi berlaku tanpa banyak perdebatan. Walaupun
perubahan konstitusi tersebut masih menjadi perdebatan,
namun perubahan konstitusi tetap legal. Suasana berbeda
akan ditemui dalam pembahasan perubahan konstitusi
secara informal, dikarenakan sifatnya yang accidental.
K.C. Wheare menyatakan bahwa perubahan konstitusi
ada 4 (empat) metode, yang berbeda dengan metode Strong,
yaitu:136 (a) some primary forces; (b) formal amendment;
(c) judicial interpretation; (d) usage and convention.
Perbedaan cara perubahan konstitusi yang dikemukakan
oleh Strong dan Wheare tersebut terletak pada dua sudut
pandang. Strong melihat terjadinya perubahan konstitusi
melalui proses yang ditentukan oleh konstitusi itu sendiri,
sedangkan Wheare membagi perubahan konstitusi
berdasarkan kondisi atau situasi yang menyebabkan
terjadinya perubahan konstitusi. Strong juga membatasi
perubahan konstitusi tersebut kepada proses formal, namun
tidak melihat kondisi luar biasa yang mungkin saja dapat
terjadi dalam perkembangan ketatanegaraan.
Pada perubahan konstitusi secara informal, menurut
K.C. Wheare, terdapat kekuatan-kekuatan yang mampu
menimbulkan perubahan konstitusi itu sendiri. Kekuatan
itu sendiri oleh Wheare dibagi menjadi dua, yaitu; pertama,
kekuatan yang dapat menciptakan berubahnya kondisi di
suatu negara. Kekuatan itu memang tidak mengubah
kalimat-kalimat dalam konstitusi secara eksplisit, namun
kekuatan tersebut mampu menciptakan kondisi yang dapat
mengubah makna atau kestabilan supremasi
konstitusi. Kedua, kekuatan yang mampu menciptakan
136
K.C. Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern, (Surabaya: Pustaka
Eureka, 2005), hlm. 23-50.
kondisi sehingga terlaksananya perubahan konstitusi secara
formal, melalui interpretasi hakim dan melalui konvensi
atau kebiasaan ketatanegaraan.
Wheare juga menjelaskan mengenai beberapa
kekuatan-kekuatan yang dapat mengubah konstitusi
tersebut. Misalnya, dalam kondisi perang berkecamuk
mendorong negara federal cenderung menjadi negara
kesatuan. Kewenangan-kewenangan negara bagian dalam
masa damai bisa berubah menjadi kewenangan negara
federal dalam kondisi perang. Akibatnya, kekuasaan menjadi
sangat sentralistik yang merupakan ciri pokok negara
kesatuan. Hal itu menurut Wheare bukan dikarenakan
berubahnya ketentuan dalam konstitusi, melainkan kondisi
tersebut menyebabkan pemerintah mengabaikan konstitusi
demi kepentingan yang lebih tinggi yaitu perlindungan
negara.137 Pengabaian konstitusi dalam kondisi tersebutlah
yang menyebabkan konstitusi telah berubah secara
informal.
Peristiwa lainnya yang dapat memaksa terjadinya
perubahan konstitusi secara informal adalah melalui social
force adalah revolusi, coup d’etat, putsch, convention, dan
ditambahkan Djokosoetono melalui interpretasi. Perubahan
UUD 1945 melalui interpretasi tersebut juga pernah terjadi
pada masa Orde Baru bahkan Orde Lama. Harun Alrasid
mengemukakan bahwa hal itu terjadi akibat terdapatnya
aturan lain, seperti Ketetapan (TAP) MPR, yang mengatur
mengenai hal-hal yang tidak jelas dipaparkan dalam pasal-
pasal UUD 1945. Sependapat dengan Harun Alrasid,
Mohammad Fajrul Falaakh memberikan gambaran
mengenai perubahan konstitusi melalui praktik di luar
ketentuan pasal-pasal konstitusi namun dapat diterima
137
Ibid.
secara luas pemberlakuannya. Fajrul Falaakh
mencontohkan kondisi tersebut ketika terjadinya perubahan
sistem pemerintahan presidensiil menjadi parlementer
ketika di awal kemerdekaan Indonesia.138
Fajrul Falaakh juga menganggap MPR ketika pada
masa Orde Baru dapat dengan mudah melakukan
perubahan konstitusi, baik melalui penafsiran maupun
penambahan ketentuan asli.139 Perubahan konstitusi melalui
tindakan hukum MPR tersebut menurut Harun Alrasid
dapat dilihat dari contoh-contoh sebagai berikut:140
1. Penambahan syarat umur pada calon Presiden pada TAP
MPR141, sehingga terjadi perubahan terhadap Pasal 6 Ayat
(1) UUD 1945 (sebelum amandemen), sehingga bunyinya
menjadi; “Presiden dan Wakil Presiden ialah orang
Indonesia asli yang berumur sekurang-kurangnya 40
tahun.”;
2. MPR melalui TAP MPR No. I/MPR/1983 tentang
Peraturan Tata Tertib yang juga mengatur mengenai
proses pengambilan keputusan telah menyebabkan
terjadinya perubahan makna teks Pasal 2 Ayat (3) UUD
1945 (sebelum amandemen) menjadi, “Segala putusan
Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan cara
musyawarah untuk mufakat atau pemungutan suara
dengan mengutamakan cara pertama.”;
138
Mohammad Fajrul Falaakh, Komisi Konstitusi dan Peran Rakyat
dalam Perubahan UUD 1945, Jurnal Analisa CSIS Tahun XXXI/2002 No. 2,
(Jakarta: Penerbit Centre for Strategic and International Studies, 2002), hlm.
194.
139
Ibid, hlm, 190.
140
Harun Alrasid, Penetapan UUD dan Perubahan UUD dalam Teori dan
Praktik, Merupakan Pidato Purna Bakti Harun Alrasid sebagai Guru Besar Tetap
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, pada hari Sabtu, 20 Juli 1996 di
Auditorium Djokosoetono Kampus Universitas Indonesia Depok, hlm. 28.
141
Ibid. Harun Alrasid tidak menyebutkan secara jelas nomor TAP MPR
yang Ia contohkan.
3. Dalam hal berkaitan dengan kewenangan MPR untuk
memberhentikan Presiden telah pula mengubah Pasal 8
UUD 1945 (sebelum perubahan) menjadi berbunyi
sebagai berikut; “Jika Presiden mangkat, berhenti, tidak
dapat melakukan kewajiban, atau diberhentikan, maka ia
digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya”.
4. Dalam hal kekosongan hukum mengenai pengisian
jabatan Wakil Presiden telah menyebabkan terjadinya
perubahan UUD 1945 menjadi berbunyi seperti berikut
ini; “Jika Wakil Presiden mangkat, berhenti, atau tidak
dapat melakukan kewajibannya, atas permintaan
Presiden dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat, MPR
mengadakan sidang istimewa untuk memilih Wakil
Presiden baru yang memegang jabatannya selama sisa
masa jabatan Wakil Presiden yang digantikannya”.
5. Kemudian Harun Alrasid memberikan contoh telah
terjadinya perubahan konstitusi pada masa Orde Lama
yang berkaitan dengan masuknya Kepolisian Republik
Indonesia (POLRI) yang sebelumnya bernama Angkatan
Kepolisian Republik Indonesia (AKRI) ke dalam Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang sebelumnya
bernama Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI)
sehingga perubahan tersebut menyebabkan Pasal 10
UUD menjadi berbunyi sebagai berikut; “Presiden
memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan
Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian
Negara”
Menurut Harun Alrasid sesungguhnya masih terdapat
beberapa perubahan lain namun kelima contoh tersebut
telah cukup membuktikan bahwa telah terjadi perubahan
UUD di luar ketentuan perubahan yang diatur oleh UUD
1945 itu sendiri.142 Pensakralan UUD 1945 selama masa
Orde Lama maupun Orde Baru mengakibatkan
dilakukannya perubahan secara ‘sembunyi-sembunyi’ demi
perkembangan kondisi ataupun kepentingan penguasa
ketika itu melalui pelbagai cara (contohnya, melalui TAP
MPR).
Jika ditinjau suasana ketatanegaraan Indonesia pasca
perubahan UUD 1945, juga terdapat kemungkinan
perubahan informal konstitusi, terutama sebagaimana telah
dikemukakan oleh Djokosoetono dan Wheare di atas, yaitu
melalui interpretasi hakim. Kehadiran Mahkamah Konstitusi
(MK) membuka ruang terjadi interpretasi konstitusi oleh
para hakim. Penafsiran oleh lembaga yudisial tersebut
diberikan melalui kewenangan pengujian produk hukum
(toetsingrecht). Toetsingrecht oleh lembaga peradilan (judicial
review) sendiri menimbulkan perdebatan panjang bagi para
pakar hukum tata negara di berbagai negara.
Penafsiran Konstitusi
Teori penafsiran hukum diperkenalkan oleh Carl Von
Savigny, seorang pakar hukum Jerman yang mengajarkan
tentang penafsiran sebagai rekonstruksi pikiran yang
tersimpul dalam undang-undang. Menurut Savigny lebih
lanjut, penafsiran hukum bukanlah metode yang dapat
digunakan semaunya melainkan harus terpusat kepada
penafsiran undang-undang.143 Interpretasi atau menafsir
undang-undang (wetsuitleg) menurut ajaran hukum
sebenarnya adalah alat pembantu dalam memberi arti,
maksud atau rasio terhadap suatu ketentuan undang-
142
Ibid., hlm. 19.
143
Sudikno Mertokusumo, Penemuan…, hlm. 56-57.
undang.144 Hal itu disebabkan ketentuan hukum tidak dapat
memberikan penyelesaian terhadap permasalahan yang ada.
Oleh karena itu dibutuhkan penafsir undang-undang yang
memahami tujuan hukum sesungguhnya dan keputusannya
memiliki legitimasi untuk mengikat.
Metode penafsiran tersebut bukanlah berdasarkan
ketentuan baku sebagaimana dipahami secara eksakta.
Penafsiran hukum bahkan disebut sebagai sebuah seni
(interpretation is an art).145 Disebut seni karena melakukan
penafsiran hukum tidak bisa melihat suatu masalah “A”,
maka ditafsirkan “A”. Pada suatu saat penafsiran hukum
bisa sangat spesifik, namun pada saat yang lain penafsiran
bisa menjadi sangat abstrak bahkan “bermuka
dua”.146 Diperlukan banyak metode pemikiran dan alat
untuk melakukan sebuah penafsiran. Upaya merangkai
seluruh elemen untuk membantu sebuah penafsiran hukum
yang baik itulah yang disebut seni. Metode-metode dalam
penafsiran konstitusi atau disebut juga constitutional
construction adalah beragam. Para ahli juga mengemukakan
banyak pandangan mengenai metode ini. John H. Garvey
dan T. Alexander Aleinikoff mengemukakan beberapa
metode utama dalam melakukan penafsiran konstitusi
sebagai berikut: interpretivism/non-
intepretivism, textualism, original intent, stare decisis, neutral
principles, dan balancing147 atau kombinasi dari beberapa
metode tersebut.
144
John Z. Loude, Menemukan hukum Melalui Tafsir dan Fakta, (Jakarta:
Penerbit Bina Aksara, 1985), hlm. 82.
145
http://www.usconstitution.net/consttop_intr. diakses tanggal 2 Juli
2017.
146
Ibid.
147
John. H. Garvey dan T. Alexander Aleinikoff, Modern Constitutional
Theory, third Edition, (St. Paul, Minn: West Publishing Co., 1994), hlm. 94-96.
Kewenangan Toetsingrecht
Setelah kasus Marbury Vs. Madison, 148 pelbagai
perdebatan mengenai judicial review dan lembaga apakah
yang patut melakukan review terus terjadi. Michel Allen
dan Brian Thompson memberikan pemahaman mengenai
kekuasaan pengujian (review) tidak hanya dimiliki oleh
lembaga peradilan tetapi juga lembaga legislatif
(misalnya house of lord di Inggris) dalam upaya mencegah
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan pembentukan
perundang-undangan. Selengkapnya Allen dan Thompson
berpendapat sebagai berikut:149
The power of judicial review may be defined as the
jurisdiction of the superior courts (the high court, the court of
appeal and the house of lord) to review the acts, decisions
and omissions of public authorities in order to establish
whether they have exceeded or abused their powers.
Di Indonesia, ketika para penyusun konstitusi
(framers of constitution) Indonesia menyusun sendi-sendi
bernegara dalam Undang-Undang Dasar 1945, ide pengujian
konstitusional telah pernah diperdebatkan dalam sidang
BPUPKI (Badan Pekerja Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia). Moh. Yamin mengusulkan agar
terdapat sebuah mekanisme pengujian keabsahan isi UU
terhadap konstitusi, adat dan syari’ah oleh lembaga tertinggi
kehakiman.150 Yamin mengemukakan mengenai lembaga
tersebut sebagai berikut:
148
Jimly Asshiddiqie, Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai
Negara, (Jakarta: Penerbit Konstitusi Press, 2005), hlm. 16.
149
Michael Allen dan Brian Thompson, Cases and Materials on
Constitutional and Administrative Law, (United Kingdom: Oxford University
Press, 2002), hlm. 568.
150
RM. A.B. Kusuma, Lahirnya UUD 1945, (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm. 389.
“Mahkamah inilah (Mahkamah Agung: penulis) yang
setinggi-tingginya, sehingga dalam membanding undang-
undang, maka balai Agung inilah yang akan memutuskan
apakah sejalan dengan hukum adat, syariah dan undang-
undang dasar”.
Namun ide Yamin tersebut dibantah oleh Soepomo
yang menganggap bahwa belum pernah ada konsensus di
antara ahli-ahli tata negara tentang judicial review, di
samping para ahli hukum Indonesia belum memiliki
pengalaman mengenai proses judicial review.151 Menurut
Todung Mulya Lubis, pandangan Soepomo tersebut
dikarenakan anggota framers of constitusion itu tidak
membaca mengenai perdebatan sengit kasus Marbury Vs.
Madison pada the Supreme Court Amerika Serikat.152 Namun,
sesungguhnya Soepomo bukannya tidak mengetahui tentang
konsep review by the judicial body tersebut, berikut
selengkapnya ungkapan Soepomo153 pada rapat BPUPKI:
“Kecuali itu Paduka Tuan Ketua, kita dengan terus
terang akan mengatakan bahwa para ahli hukum
Indonesia pun sama sekali tidak mempunyai
pengalaman dalam hal ini, dan Tuan Yamin harus
mengingat juga bahwa di Austria, Chekoslowakia dan
Jerman waktu Weimar, bukan Mahkamah Agung, akan
tetapi pengadilan special, constitutioneelhof, -sesuatu
pengadilan spesifik- yang melulu mengerjakan
konstitusi. Kita harus mengetahui, bahwa tenaga kita
belum begitu banyak, dan bahwa kita harus
151
Todung Mulya Lubis, Judicial Review dalam Perspektif Hukum Tata
Negara, dalam Beny K Harman dan Hendardi (edt), Konstitusionalisme Peran
DPR dan Judicial Review, (Jakarta: Penerbit YLBHI dan JARIM, 1991), hlm. 106.
152
Ibid.
153
Harun Alrasid, Hak Menguji dalam Teori dan Praktik, dalam Jurnal
Konstitusi, Vol. 1 No. 1, Juli 2004, (Jakarta: Penerbit Mahkamah Konstitusi RI,
2004), hlm. 94.
menambah tenaga-tenaga, ahli-ahli tentang hal itu.
Jadi, buat negara yang muda saya kira belum
waktunya mengerjakan persoalan itu”.
Dari uraian tersebut Soepomo menyadari betul
keberadaan lembaga peradilan yang memiliki kewenangan
uji konstitusionalitas, nampaknya dari perdebatan yang ada
sepertinya Soepomo masih meragukan efektivitas uji
konstitusionalitas oleh sebuah lembaga peradilan,
sedangkan ketika itu terdapat lembaga MPR sebagai
representasi tertinggi dari rakyat. Pernyataan eksplisit
Soepomo tentang keterbatasan ahli pada waktu itu terkesan
tidak masuk akal, dikarenakan pada masa itu
banyak founding fathers yang ahli hukum, misalnya Moh.
Yamin yang ahli konstitusi dan ketatanegaraan Asia serta
Soepomo sendiri yang juga bergelar ‘misteerunderrechten’.
Kemungkinannya adalah Soepomo khawatir jika ke depan
terjadi pertikaian pemahaman konstitusi antara MPR dan
MA sebagai penafsir konstitusi. Pada perspektif tersebut
Soepomo mungkin terpengaruh diskusi mengenai
kewenangan lembaga peradilan dalam menentukan
keabsahan sebuah perundang-undangan.
Dalam istilah hukum di Indonesia kewenangan
pengujian tersebut dikenal dengan istilah toetsingrecht yang
dipopulerkan oleh Sri Soemantri.154 Namun, ada satu hal
yang perlu digarisbawahi, bahwa Hak Menguji (toetsingrecht)
bukan merupakan sinonim dari judicial review. Kedua hal
ini tidak identik dan kedua hal ini adalah dua hal yang
berbeda.155 Toetsingrecht diterjemahkan secara harafiah
sebagai Hak Menguji, sedangkan Judicial Review memiliki
154
Lihat Sri Soemantri, M., Hak Menguji Material di Indonesia, (Bandung:
Penerbit Alumni, 1986), hlm. 5.
155
Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingrecht) yang Dimiliki Hakim dalam
Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 10.
arti peninjauan oleh lembaga pengadilan. 156 Meskipun
berbeda, tetapi kedua istilah itu mengandung arti yang
sama, yaitu menguji atau meninjau. Sedangkan
perbedaannya adalah bahwa pada Judicial Review sudah
secara spesifik ditentukan bahwa kewenangan itu dimiliki
oleh pelaksana lembaga peradilan, yaitu hakim.
Secara umum, hak menguji dianggap sebagai hak
menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar.
Kewenangan ini sejatinya tidak hanya dimiliki oleh lembaga
peradilan atau lembaga yudikatif saja, tetapi juga dimiliki
oleh lembaga negara yang lain seperti lembaga legislatif dan
lembaga eksekutif. Jimly Asshiddiqie menyebut kewenangan
pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar
yang dilakukan oleh lembaga legislatif sebagai legislative
review157 dan kewenangan pengujian yang dilakukan oleh
lembaga eksekutif—meski tidak harus merupakan pengujian
undang-undang terhadap konstitusi—disebut sebagai
executive review.158
Pengujian oleh lembaga legislatif pada umumnya
dianut oleh negara yang menganut konsep supremasi
parlemen, di mana kedaulatan rakyat direpresentasikan oleh
satu lembaga tertinggi.159 Ini tampak pada negara-negara
komunis yang menganut doktrin tersebut, di mana lembaga
tertinggi itu yang dianggap memiliki kewenangan untuk
menafsirkan undang-undang dasar, sehingga pengujian
konstitusional menjadi kewenangan lembaga tersebut.
Indonesia sendiri sebelum perubahan ketiga dan keempat
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, juga menganut doktrin serupa. Sebelum perubahan
156
Ibid. hlm. ix.
157
Asshiddiqie, Model-model Pengujian, hlm. 72.
158
Ibid.
159
Ibid.
UUD 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat masih
merupakan lembaga yang menjadi pemegang kedaulatan
rakyat, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (2) yang
berbunyi:
“...Kedaulatan adalah berada di tangan rakyat dan
dilakukan sepenuhnya Majelis Permusyawaratan
Rakyat...”160
dan kewenangan menguji undang-undang adalah berada di
tangan lembaga yang membuat undang-undang itu sendiri,
dengan kata lain Presiden dan DPR.161
Setelah reformasi (sebelum perubahan ketiga UUD NRI
1945), kewenangan menguji undang-undang terhadap
undang-undang dasar berada di tangan MPR. Ini tidak
terlepas dari posisi MPR yang masih sebagai lembaga yang
melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Hal ini
dipertegas dengan Ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000 yang
menentukan bahwa MPR yang berwenang menilai dan
menguji secara aktif konstitusionalitas undang-undang. 162
Asshiddiqie berpendapat bahwa pengujian tersebut, baik
oleh Presiden dan DPR maupun oleh MPR tidak dapat
disebut judicial review, melainkan legislative review.
Kedudukan MPR sebagai lembaga yang menjalankan
kedaulatan rakyat sepenuhnya berubah ketika Pasal 1 ayat
(2) tersebut diubah pada Perubahan Ketiga UUD NRI Tahun
1945.163
160
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Sebelum Perubahan.
161
Asshiddiqie, Model-model Pengujian, hlm. 74.
162
Ibid., hlm. 73.
163
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Cet.
Kedua, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 59-60.
Wewenang Penafsiran Konstitusi oleh Mahkamah
Konstitusi
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga
negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang
merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi
mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik,
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, dan
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas
pendapat DPR bahwa presiden dan/atau Wakil Presiden
diduga telah melakukan pelanggaran hukum atau
perbuatan tercela dan/atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana
dimaksud dalam UUD 1945.164
Dalam konteks ketatanegaraan, MK dikonstruksikan
sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan
keadilan konstitusional di tengah masyarakat, MK bertugas
mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan
dilaksanakan oleh semua komponen negara secara
konsisten dan bertanggung jawab. Di tengah kelemahan
sistem konstitusi yang ada, MK berperan sebagai penafsir
agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai
keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat. Wewenang
164
Kedudukan, Kewenangan dan Kewajiban Mahkamah Konstitusi,
diambil dari http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?
page=web.ProfilMK&id=3 pada 2 Juli 2017.
yang diatribusikan kepada MK berimplikasi pada fungsi-
fungsi MK secara logis yaitu sebagai the guardian and the
final intepreter of constitution, as well as guardian of the
process of democratization atau penjaga dan penafsir
terakhir konstitusi dan juga sebagai pengawal demokrasi. 165
166
Janpatar Simamora, Menyempurnakan Sistem Ketatanegaraan Melalui
Amandemen UUD 1945, (Harian Analisa, 5 Maret 2017).
setelah adanya Perubahan III UUD 1945. Berbagai putusan
MK telah memengaruhi norma dan sistem hukum di
Indonesia. Meski tidak secara tegas memiliki kewenangan
legislasi, akan tetapi sesungguhnya MK memiliki
kewenangan legislasi, terbukti dengan munculnya berbagai
norma hukum baru di Indonesia dari berbagai putusan MK
melalui penafsiran MK terhadap konstitusi. Selain itu, MK
juga sedang dalam perjalanan sebagai penafsir tunggal
konstitusi. Hal ini terjadi bukan merupakan keanehan,
karena salah satu wewenang yang diberikan oleh UUD 1945
adalah mengadili pengujian undang-undang terhadap
undang- undang dasar. Kewenangan dasar MK ini yang
kemudian menjadi titik permasalahan oleh banyak ahli
hukum di Indonesia dan juga DPR.167
Mahkamah Konstitusi dianggap oleh beberapa
kalangan telah melakukan apa yang di dalam hukum
dinamakan ultra petita. Ultra petita adalah penjatuhan
putusan oleh hakim atas perkara yang tidak dituntut atau
memutus melebihi apa yang diminta. Sementara dalam
undang-undang yang mengatur tentang keberadaan MK
maupun dalam UUD 1945, kewenangan untuk membuat
putusan yang sifatnya ultra petita sangat tidak mendapat
ruang yang cukup. Oleh karenanya, maka sesungguhnya
MK tidaklah berwenang untuk membuat putusan di luar
dari apa yang dimintakan oleh pemohon. Inilah yang
kemudian menjadi problem menyangkut kehadiran
Mahkamah Konstitusi dalam ruang ketatanegaraan kita. MK
seolah menjadi lembaga yang superbody karena
167
Aliansi Nasional Reformasi Hukum, Putusan Mahkamah Konstitusi
Ultra Petita?, diambil dari http://reformasikuhp.org/opini/?p=11 pada 2 Juli
2017.
kewenangannya yang tunggal untuk menerjemahkan
konstitusi.
Semenjak lahirnya MK pasca amandemen konstitusi,
kewenangan-kewenangan MPR dialihkan kepada MK. Hal ini
dikarenakan MPR dianggap sebagai lembaga politik yang
kerap kali tidak netral, tidak independen, dan sarat akan
kepentingan jika memegang wewenang-wewenang ini.
Penegasan wewenang MPR pasca perubahan menghilangkan
taring dan membuat MPR kehilangan fungsi penafsirannya.
Terlepas dari sentimen-sentimen ini, sejatinya orang-orang
di MPR yang paham konstitusi dan sejarahnya, terutama
yang benar-benar mengetahui original intent dari konstitusi
itu sendiri.
Dalam penelusuran terhadap berbagai kepustakaan
ilmu hukum dan konstitusi ditemukan, banyak variasi
metode penafsiran yang dikemukakan oleh para ahli. Akan
tetapi dari berbagai ragam metode penafsiran, pada
hakikatnya metode penafsiran konstitusi ini dapat
dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok besar, yaitu: metode
penafsiran originalism, yang menggunakan pendekatan
original intent (termasuk pendekatan historis) terhadap
norma-norma hukum konstitusi, dan non orginalism. Dalam
praktiknya, metode penafsiran mana yang akan dipilih dan
digunakan oleh hakim dalam menghadapi perkara-perkara
hukumnya, pada akhirnya berpulang pada hakim. Hakim
dalam konteks ini memiliki kebebasan untuk memilih
berdasarkan keyakinan hukumnya. hingga kini tidak ada
ketentuan atau aturan yang mengharuskan hakim hanya
menggunakan salah satu metode penafsiran tertentu saja.
Pemilihan dan penggunaan metode interpretasi merupakan
otonomi atau kemerdekaan hakim dalam penemuan hukum.
Terkait dengan hal ini, Mahkamah Konstitusi juga pernah
mengemukakan:
“Kemerdekaan dimaksud juga diartikan bahwa hakim
bebas memutus sesuai dengan nilai yang diyakininya
melalui penafsiran hukum, walaupun putusan yang
didasarkan pada penafsiran dan keyakinan demikian
mungkin berlawanan dengan mereka yang mempunyai
kekuasaan politik dan administrasi.”168
Dari dua kelompok besar jenis interpretasi dalam
menafsirkan konstitusi di atas, metode penafsiran
originalism itu sendiri sebenarnya dikuasai oleh lembaga
tinggi MPR. Sebelum amandemen konstitusi pun
kewenangan untuk mengganti, menambah, mengurangi,
membuat dan menghapus sebagian maupun seluruhnya ada
di tangan MPR, maka dari itu MPR disebut sebagai lembaga
konstitutif. Namun kewenangan dan kemampuannya
berkaitan dengan konstitusi telah sebagian beralih ke
lembaga MK terutama dalam kapabilitasnya menafsirkan
konstitusi. Banyak kalangan yang yakin bahwa sudah
sepatutnya MPR kembali memiliki kemampuan untuk
menafsirkan konstitusi sebagai lembaga yang paham dalam
melakukan metode interpretasi originalism dengan melihat
original intentnya. Karena tentu permasalahan konstitusi
yang ada saat ini dan masa depan akan selalu
membutuhkan penafsiran-penafsiran originalism agar
konstitusi kita kuat dan tidak kehilangan jati diri di tengah
lautan globalisasi dunia.
168
Lihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 005/PUU-
IV/2006 (tentang permohonan pengujian Undang-undang Nomor 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial dan Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Pendirian Kami: Menegaskan MK Sebagai Penafsir
Terakhir Konstitusi (The Final Interpreter of the
Constitution)
Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan penafsir akhir
konstitusi (the final interpreter of the constitution). Peran ini
senantiasa dihubungkan dalam konteks kelembagaan.
Padahal, setiap orang, seperti ahli hukum, guru besar di
perguruan tinggi, maupun lembaga negara memiliki hak
untuk menafsirkan konstitusi. Namun, diantara orang
maupun lembaga negara tersebut, MK merupakan lembaga
yang paling otoritatif diberikan kewenangan untuk
menafsirkan konstitusi secara resmi. Tatkala MK telah
memberi tafsir terhadap suatu aturan konstitusional maka
tafsir tersebut berlaku resmi mengikat semua warga negara
tanpa terkecuali. Tafsir konstitusi yang dikemukakan oleh
lembaga maupun orang selain MK tidak memiliki kekuatan
hukum manakala MK telah mengeluarkan tafsiran. 169
Penafsiran atau interpretasi terhadap hukum
khususnya konstitusi menjadi salah satu faktor yang sangat
penting untuk menjadikan hukum bersifat dinamis dan bisa
mengikuti perkembangan zaman. Penafsiran terhadap suatu
konstitusi pada dasarnya dapat dilakukan oleh siapa saja
atau lembaga mana saja. Akan tetapi, tidak dapat
dibayangkan pertarungan sengit yang akan terjadi apabila
terdapat penafsiran yang berbeda-beda antara pihak atau
lembaga yang satu dengan pihak atau lembaga yang lain.
Sejarah mencatat, tidak berselang beberapa tahun lamanya
setelah kasus Marbury v. Madison diputuskan, terdapat
keinginan kuat dari lembaga legislatif untuk ikut berperan
juga dalam ranah penafsiran bahkan ingin memposisikan
169
Bisariyadi, Penafsiran Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang
Terhadap Undang-Undang Dasar, (Jakarta: Kepaniteraan dan Sekretariat
Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2016), hlm. 1.
dirinya untuk ikut mengkroscek penafsiran konstitusi yang
telah dilakukan lembaga yudisial Mahkamah Agung Amerika
Serikat (Supreme Court).170 Bahkan, tidak menutup
kemungkinan, apabila lembaga-lembaga tersebut tidak
dapat menjalankan fungsinya dengan baik dalam
menafsirkan konstitusi, maka permasalahan penafsiran
konstitusi pada akhirnya akan dikembalikan kepada
rakyat.171 Kalau kondisinya demikian, penafsiran manakah
yang akhirnya digunakan? Rupanya permasalahan penafsir
akhir suatu konstitusi (the final interpreter of constitution)
pada akhirnya tergantung kepada siapa atau lembaga mana
yang kewenangannya diberikan secara resmi oleh konstitusi
suatu negara (the legitimate interpreter of the constitution).
Konstitusi telah menempatkan MK sebagai lembaga
peradilan yang dibutuhkan untuk mengadili perkara-
perkara yang berkaitan dengan konstitusi. 172 Dalam
mengadili dan memutus perkara, MK tentunya harus selalu
mendasarkan pada ketentuan-ketentuan dalam konstitusi,
dan berhak secara formal untuk menafsirkan konstitusi (the
interpreter of constitution). Jadi, tidak hanya keberadaan dan
kekuasaan yang ditentukan konstitusi, tetapi ukuran-
ukuran yang digunakan MK harus sesuai dengan konstitusi,
bahkan dalam hal menafsirkan konstitusi. Prinsip ini juga
bertujuan untuk membatasi MK menggunakan ketentuan
lain selain konstitusi.173 Melihat kewenangan dan kewajiban
tersebut, dapat dikatakan, tugas pokok dari MK selain
untuk menegakkan konstitusi dalam kerangka negara
170
John N. Hostettler dan Thomas W. Washburne, “The Constitution’s
Final Intepreter: We The People”, Regent University Law Review, Vol. 8, No. 13,
hlm. 20.
171
Ibid., hlm. 32.
172
Pasal 24 UUD 1945.
173
Tim KRHN, Menggapai Keadilan Konstitusi: Suatu Rekomendasi untuk
Revisi UU Mahakamah Konstitusi, (Jakarta: KRHN-USAID-DRSP, 2008), hlm. 14.
hukum juga merupakan pengawal sekaligus penafsir
terakhir konstitusi (the guardian and final intepreter of
constitution).
Berangkat dari adanya ide dasar dari pembentukan
MK, yang setidaknya dapat terlihat dari kewenangan untuk
menguji konstitusionalitas undang-undang dan memutus
sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga, dalam
hal ini, kewenangan sebagai penafsir akhir dan sah terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 di Indonesia dimiliki oleh
lembaga pengadilan yakni Mahkamah Konstitusi 174,
sekalipun idealnya, untuk memberikan ketegasan,
penyematan julukan penafsiran akhir harus ditegaskan
dalam konstitusi. Hal ini penting untuk mengukuhkan
peranan MK dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya.
Selain itu, dapat mencegah institusi lain melakukan tafsir
dan bertindak sendiri dengan mengatasnamakan atau
mengabaikan konstitusi. Konsekuensi dari penegasan itu,
akan mendorong secara maksimal peranan MK yang
memungkinkan adanya kreasi lain dalam pelaksanaan tugas
dan kewenangan MK.
Menjadi the final interpreter of constitution bukan
berarti menjadikan MK sebagai interpreter yang sangat
eksklusif, namun, lebih tepatnya, MK sebagai suatu lembaga
yang memiliki legitimasi untuk melakukan interpretasi
konstitusi, dituntut untuk memainkan perannya dalam
mengelaborasi makna konstitusi. MK dalam posisi ini juga
berperan dalam memberikan ketegasan akhir (“last words”)
untuk menghindari ambiguitas dan pertentangan tafsir demi
berlangsungnya kehidupan kebangsaan dan kenegaraan
yang konstitusional. Hal inilah juga yang kiranya menjadi
174
Mardian Wibowo, “Justice’s Freedom of Constitutional Interpretation
Method in the Indonesian Constitutional Court”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 25,
No. 2 (Juni 2013), hlm. 286.
tantangan untuk MK dalam berperan sebagai the final
interpretation of constitution. Terkadang sebagai penafsir
akhir konstitusi, MK membuat terobosan baru yang dapat
berujung kepada persoalan yang sangat kontroversial di
masyarakat, namun, MK harus mampu membuktikan
dirinya untuk mampu memberikan solusi dengan menjawab
tantangan zaman dan kebutuhan dari masyarakat pencari
keadilan, tidak hanya sekedar bicara benar dan salah
ataupun boleh atau tidak.
3. Permasalahan Kewenangan
a. Penambahan Kewenangan Constitutional Question
Kepada Mahkamah Konstitusi sebagai Bentuk
Perlindungan Hak-Hak Konstitusional Warga Negara
Definisi Constitutional Question
Constitutional question pada dasarnya adalah salah
satu mekanisme perlindungan hak konstitusional warga
negara. Constitutional question dapat diartikan sebagai suatu
mekanisme pengujian konstitusional yang permohonannya
diajukan oleh hakim dari peradilan umum (regular court)
manakala ia meragukan konstitusionalitas suatu undang-
undang yang akan ia terapkan dalam kasus konkret yang
sedang ditanganinya.175 Oleh karenanya, constitutional
question biasa diistilahkan dengan, “The constitutionality of
law upon the request of the court.”176 Permohonan
constitutional question dari peradilan umum kepada
Mahkamah Konstitusi ini umumnya juga menggunakan
175
Hamid Chalid, “Urgensi dan Upaya implementasi Mekanisme
Constitutional Question melalui Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”,
dalam 60 Tahun Jimly Asshiddiqie, ed. Nur Hidaya Sardini dan Gunawan
Suswantoro, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016), hlm. 373.
176
Firmansyah Arifin dan Juliyus Wardi, ed., Merambah Jalan
Pembentukan Mahkmah Konstitusi di Indonesia, (Jakarta: Konsorsium Reformasi
Hukum Nasional, n.a.), hlm. 9.
terminologi penyerahan (Judicial Referral of Constitutional
Question atau Referral from a Court).177 Menurut David
O’Brien:
“Concrete constitutional review arises from litigation in
the courts when ordinary judges are uncertain about
the constitutionality or the application of statute or
ordinance; in case the judges ‘refer’ the constitutional
question or complaint to the constitituional court for
resolution.”178
Dalam Black’s Law Dictonary, istilah constitutional
question mengandung dua pengertian, yaitu pengertian
umum dan pengertian khusus. Pengertian umum,
constitutional question adalah istilah yang merujuk pada
setiap persoalan yang berkaitan dengan konstitusi.
Sedangkan dalam arti khusus, constitutional question
merujuk pada suatu mekanisme pengujian
konstitusionalitas undang-undang, yaitu dalam hal seorang
hakim yang sedang mengadili suatu perkara ragu-ragu
mengenai konstitusionalitas undang-undang yang berlaku
untuk perkara itu. Pengertian khusus ini pada hakikatnya
menggolongkan constitutional question sebagai bentuk
pengujian undang-undang, sehingga termasuk sarana untuk
menjamin tegaknya prinsip konstitusionalisme. 179 Dengan
adanya pengajuan “pertanyaan konstitusional” ini, hal ini
akan berakibat pada tertundanya seluruh proses litigasi di
peradilan umum (pending review by constitutional court)
177
Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi tentang Ajudikasi
Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, (Jakarta:
Pradnya Paramita, 2006), hlm. 276.
178
Jimly Asshidiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di
Sepuluh Negara, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, 2006), hlm. 61.
179
Hamdan Zoelva, “Constitutional Complaint dan Constitutional Question
dan Perlindungan Hak-Hak Konstitusional Warga Negara,” Jurnal Media Hukum,
Vol. 19 (Juni 2012), hlm. 159.
hingga terbitnya putusan final dan mengikat dari
Mahkamah Konstitusi.180 Dalam dihentikan sementara
perkara yang bersangkutan, terdapat waktu untuk
dipikirkan lebih lanjut akan kebenaran perkara yang sedang
diperiksa.181 Setelah hakim konstitusi memutus perkara
constitutional question tersebut, maka Mahkamah Konstitusi
mengembalikan kasus tersebut ke hakim peradilan umum
yang memohon. Selanjutnya, peradilan umum memeriksa
perkara tersebut dengan mempertimbangkan pendapat atau
putusan Mahkamah Konstitusi.182 Jika undang-undang yang
dimaksud dinyatakan konstitusional oleh Mahkamah
Konstitusi, maka pengadilan dapat melanjutkan proses
litigasinya. Sedangkan, jika dinyatakan inkonstitusional
maka tentu saja pengadilan tidak dapat menerapkan
undang- undang yang dimaksud.183
Dalam mekanisme constitutional question, suatu
perkara terlebih dahulu harus melalui badan peradilan
umum. Penyerahan perkara oleh badan peradilan umum itu,
baru dapat terjadi setelah hakim (ordinary judges) menilai
bahwa undang-undang yang mendasari perkara konkret
tertentu patut dipertanyakan tingkat konstitusionalitasnya.
Artinya, Mahkamah Konstitusi dalam konteks pengujian
norma konkret (concrete review) menerima penyerahan
perkara secara pasif dari badan peradilan umum, 184 sebelum
perkara tersebut yang bersangkutan akhirnya diputus oleh
180
Ibid., hlm. 100.
181
Isrok, “Constitutional Question: Menyoal Konstitusionalitas Pasal
tentang Pengemis KUHP Pasal 504 ayat (1) dan (2),” Jurnal Hukum dan
Pembangunan, Vol. 1 (Januari-Maret 2010), hlm. 116.
182
Benny Harman, Mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2013), hlm. 118.
183
Chalid, “Urgensi dan Upaya…”, hlm. 90.
184
Asshiddiqie, Peradilan Konstitusi di…, hlm. 63.
Peradilan umum tersebut.185 Mahkamah Konstitusi tidak
memiliki legitimasi untuk menginisiasi hakim peradilan
umum berperkara di Mahkamah Konstitusi.186 Pengujian
constitutional question ini berada dalam dimensi teoretis a
posteriori norm control atau ex post control. Artinya,
pengujian baru dapat diselenggarakan setelah undang-
undang atau peraturan perundang-undangan lainnya itu
berlaku secara sah dan mengikat umum.187 Hal ini
dikarenakan pengujian constitutional question yang bersifat
konkret akan diarahkan kepada persoalan-persoalan yang
bersifat konkret dan tertentu. Sehingga, proses pengujian
baru dapat dilaksanakan setelah timbul akibat hukum yang
dialami secara riil oleh yang bersangkutan. 188 Dengan model
constitutional question, kekuatan represif hukum (konstitusi)
dapat digunakan sebagai instrumen strategis dalam
memulihkan hak konstitusional yang diingkari oleh suatu
produk hukum.189
Penyerahan atau pelimpahan perkara constitutional
question kepada Mahkamah Konstitusi nyatanya bersifat
insidental. Hal ini dikarenakan penyerahan ini menjadi
diskresi bagi hakim peradilan umum. Terkait kondisi hukum
yang mendorong hakim peradilan umum untuk
menyerahkan permohonan uji konstitusionalitas kepada
Mahkamah Konstitusi, dalam konteks pemahaman yuridis,
setidaknya terdapat dua faktor pemicu bagi hakim peradilan
umum untuk menyerahkan perkara kepada Mahkamah
185
Arifin, Merambah Jalan Pembentukkan, hlm. 10.
186
The Federal Constitutional Court of Germany, “Specific Judicial
Review of Statutes”,
http://www.bundesverfassungsgericht.de/EN/Verfahren/Wichtige-
Verfahrensarten/Konkrete-Normenkontrolle/konkrete-normenkontrolle_node.html
diakses pada 8 Februari 2018.
187
Asshiddiqie, Peradilan Konstitusi di…, hlm. 227.
188
Syahrizal, Peradilan Konstitusi, hlm. 276.
189
Asshiddiqie, Peradilan Konstitusi di…, hlm. 71.
Konstitusi, yakni (1) masalah konstitusionalitas undang-
undang bersifat materiil, dan (2) Hakim memiliki mindset
keragu-raguan tentang konstitusionalitas undang-undang
atau tindakan hukum lainnya. Alec Stone Sweet
mengemukakan argumentasi, “Concrete review processes
require ordinary judges to participate in the scrutiny of
legislation.”190 Dengan demikian, mekanisme penyerahan
(referral) dalam wadah uji konkret oleh sejumlah pemerhati
hukum diperkirakan dapat menyosialisasikan para hakim
(ordinary judges) menuju kepada peranan baru mereka,
yakni untuk melindungi tatanan hukum dari berbagai
perbuatan hukum yang terkontaminasi oleh tindakan
inkonstitusional.191
Pengajuan constitutional question oleh hakim peradilan
umum hanya ketika hakim memeriksa dan mengadili
perkara.192 Hakim peradilan umum tidak dapat mengajukan
constitutional question untuk undang-undang yang tidak
dipakai dalam perkara yang ditanganinya. Bila hakim
tersebut ingin mengajukan pengujian undang-undang ketika
sedang tidak berperkara, maka ia mengajukan permohonan
constitutional review dengan kedudukan sebagai Warga
Negara Indonesia dan menanggalkan status hakimnya. 193
Hakim peradilan umum dalam konteks constitutional
question umumnya tidak hanya mengajukan dalil bahwa
suatu undang-undang tidak konstitusional, tetapi juga
dapat mengajukan dalil-dalil lain yang berpangkal dari
akibat hukum atas diberlakukannya undang-undang yang
dinilai tidak konstitusional tersebut. Yang dicari oleh
190
Ibid., hlm. 227.
191
Ibid., hlm. 101.
192
Firmansyah Arifin, et.al., eds., Hukum dan Kuasa Konstitusi, (Jakarta:
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, 2004), hlm. 174.
193
Ibid., hlm. 178.
pemohon bukan hanya keadilan yuridis semata, melainkan
juga suatu keadilan yang lebih dalam sifatnya, yakni
keadilan substansial.194 Dalam tradisi yang berlaku dan
berkembang di beberapa negara saat ini, putusan
Mahkamah Konstitusi atas constitutional question akan
disebarluaskan kepada seluruh hakim peradilan umum
(ordinary judges). Hal ini karena Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut akan digunakan sebagai anchor atau
pegangan dalam menuntaskan perkara-perkara konkret
yang dihadapi.195
Pada tahap awal, hakim peradilan umum memang
diperkenankan untuk turut serta dalam memeriksa kadar
konstitusionalitas undang-undang yang ia permasalahkan.
Akan tetapi, hakim peradilan umum sama sekali tidak
memiliki kewenangan dalam menyatakan konstitusionalitas
produk hukum tersebut.196 Mahkamah Konstitusi
memonopoli kewenangan untuk menentukan
konstitusionalitas suatu undang-undang untuk mencegah
ketidakpastian hukum. Apabila setiap hakim di pengadilan
berwenang menguji konstitusionalitas suatu undang-
undang, maka tentu akan timbul ketidakpastian hukum
dalam masyarakat. Sebab, persepsi setiap hakim atas suatu
ketentuan dalam undang-undang pasti tidak sama.197 Sebab
itulah, dalam konstruksi pengendalian norma konkret
(concrete norm control) putusan akhir tetap berada di puncak
piramida kewenangan Mahkamah Konstitusi.198
Sementara itu, Mahkamah konstitusi dalam
constitutional question hanya memutus persoalan
194
Asshiddiqie, Peradilan Konstitusi di…, hlm. 228.
195
Ibid., hlm. 100.
196
Ibid., hlm. 69.
197
Harman, Mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi, hlm. 89.
198
Asshiddiqie, Peradilan Konstitusi di…, hlm. 63.
konstitusionalitas undang-undang itu dan bukan memutus
kasus itu sendiri.199 Dalam metode constitutional question ini,
suatu undang-undang tidak diuji dalam pengertian abstrak.
Melalui metode ini, yang dilihat adalah akibat langsung dari
keberlakuan suatu undang-undang dalam peristiwa konkret
tertentu.200 Mahkamah Konstitusi Jerman mencontohkan,
“An Administrative Court deems the tuition fees provided for
in a Land Act to be unconstitutional and refers the actions
brought against the fee notifications to the Federal
Constitutional Court. The Federal Constitutional Court only
decides on the constitutionality of the provisions submitted.
Afterwards, the administrative Court completes the
proceedings, taking into account the Federal Constitutional
Court’s decision.”201
Menurut beberapa sarjana, penerapan concrete review
tidak bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan.
Penolakan hakim untuk menerapkan suatu undang-undang
karena meragukan konstitusionalitas undang-undang
tersebut adalah pemahaman yang sama sekali berbeda
dengan persoalan campur tangan cabang yudikatif atas
kekuasaan legislatif. Terkait hal tersebut, seorang sarjana
berkebangsaan Perancis, Leon Duguit, berpandangan
bahwa:
“It has long been dogma that no court could a plea of
unconstitutional and refuses to apply a formal statute even
where they considered it unconstitutional...The principle of
separation of powers leads to entirely different solution. A
court which refuses to apply a statute on the ground of
unconstitutionality does not interfere with the exercise of
199
Hamidi, “Constitutional Question…”, hlm. 33-34.
200
Asshiddiqie, Peradilan Konstitusi di…, hlm. 100.
201
Federal Constitutional Court of Germany, “Specific Judicial Review…”,
diakses pada 8 Februari 2018.
legislative powers. It does suspend its application. The law
remains untouched...it is simply because the judicial power is
distinct from and independently equal to the two other it
cannot be forced to apply the statutes in deems
unconstitutional.”202
Dalam praktek hukum, terkadang ada masalah
hukum yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum
memutus pokok persengketaan (Bodemgeschil). Misalnya
dalam perkara pencurian, salah satu unsurnya bahwa
barang yang didakwakan dicuri tersebut sebagian atau
seluruhnya adalah milik orang lain, maka unsur
kepemilikan merupakan prae-judiciil geschil yang harus
diputuskan terlebih dahulu. Jika hal itu diperselisihkan
sebelum dapat memutus pokok persoalan atau tindak
pidana pencurian yang didakwakan. Demikian juga gugatan
dalam perkara perdata, ada kalanya pokok perselisihan baru
dapat diputus setelah adanya putusan hakim pidana yang
menyatakan kesalahan seseorang terdakwa yang menjadi
tergugat.203 Bila dikaitkan dengan constitutional question,
maka mekanisme ini hadir untuk menyelesaikan masalah
hukum yang harus diselesaikan terlebih dahulu, dalam hal
ini permasalahan konstitusionalitas suatu undang-undang,
sebelum memutus pokok persengketaan dalam perkara yang
ditanganinya.
Violaine Autheman dan Keith Henderson
mengungkapkan bahwa berkembangnya konsep ini tidak
terlepas dari berkembangnya demokrasi di suatu negara.
Negara-negara yang telah mencapai tahap akhir dalam
202
Asshiddiqie, Peradilan Konstitusi di…, hlm. 227.
203
Maruarar Siahaan, “Renungan Akhir Tahun Menegakkan
Konstitusionalisme dan Rule of Law” dalam Menjaga Denyut Konstitusi: Refleksi
Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, ed. Refly Harun, Zainal Husein dan
Bisariyadi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2004), hlm. 110.
proses transisi demokrasinya telah menerima mekanisme
konstitusi yang menjamin hak-hak fundamental warga
negara. Hak-hak fundamental itu kini dituntut untuk
diimplementasikan secara adil dan efektif dalam praktek
sehingga warga negara dapat menikmati secara penuh
jaminan-jaminan yang tertulis dalam konstitusi. 204 Pada
pelaksanaannya, proses constitutional question mampu
membangun hubungan dialogis antara hakim konstitusi
(constitutional judges) dengan peradilan umum. Hal tersebut
tentunya bertujuan untuk mempertahankan supremasi
konstitusi (supremacy of the constitution), keadilan
administratif (administration of justice) dan perlindungan
hak-hak asasi manusia (protection of human right). Dalam
buku panduan Corte Costitutionale Italia, terdapat
pernyataan: “this dialog between the Constitutional Court and
the thousand of ordinary judges, which represent the greater
part of constitutional jurisprudence, is made possible by the
system of incidental review of law.”205
Secara global, banyak negara yang telah menerapkan
mekanisme constitutional question, terutama negara-negara
yang menganut pengujian konstitusionalitas aturan hukum
melalui pengadilan (dalam hal ini Mahkamah Konstitusi).
Hal ini ditegaskan salah satunya oleh Victor Ferreres Comela
dengan menyatakan, “there are basically two avenues by
which the court can be reached in order to trigger
constitutional review of legislation, ‘constitutional challenges’
and ‘constitutional questions’ (concrete review).”206 Di dunia,
terdapat dua model penempatan pengaturan wewenang
memutus constitutional question. Pertama, wewenang
204
Ibid., hlm. 93.
205
Asshiddiqie, Peradilan Konstitusi di…, hlm. 101.
206
Chalid, “Urgensi dan Upaya…”, hlm. 363.
tersebut diatur dalam konstitusi negara yang bersangkutan,
antara lain Angola, Austria, Bosnia, Korea Selatan, Malta,
Russia dan Spanyol baik sebagai kewenangan yang menyatu
dengan kewenangan constitutional review maupun yang
terpisah. Kedua, ada negara yang mengatur kewenangan
tersebut dalam UU Pengadilan Konstitusi dan merupakan
derivasi dari wewenang memutus konstitusionalitas aturan
hukum yang diberikan konstitusi, seperti Belarusia, Kroasia,
Georgia, Jerman, Latvia, Lithuania, dan Slovenia. 207
Sebagai contoh, Kroasia mengatur mekanisme
constitutional question dalam Section IV “Review of the
Constitutionality of Laws and the Constitutionality and
Legality of Other Regulations Constitutional Act Kroasia. Pasal
35 paragraf (1) aturan a quo menyatakan bahwa pada saat
pengadilan menemukan bahwa aturan hukum yang
diterapkan tidak sesuai dengan konstitusi, perkara harus
dibekukan dan diajukan pertanyaan ke Mahkamah
Konstitusi (when the court of justice in its proceedings
determines that the law to be applied is not accordance with
the Constitution, it shall stop the proceedings and require the
Supreme Court to present to the Constitutional Court a request
for review of the constitutionality of the law).208 Sementara itu,
dalam Pasal 11 Konstitusi Korea Selatan disebutkan secara
eksklusif bahwa salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi
Korea Selatan adalah memutus konstitusionalitas suatu
aturan hukum atas permintaan pengadilan. Dalam pasal
tersebut, dikatakan bahwa, “The Constitutional Court shall
207
Muchammad Ali Safa’at, “Menggagas Constitutional Question di
Indonesia”, Majalah Konstitusi: Berita Mahkamah Konstitusi 35, (Desember
2009), hlm. 7.
208
Ibid.
have jurisdiction over the following matters: 1. The
constitutionality of a law upon the request of the courts...”209
Paling tidak, terdapat dua jenis mekanisme pengajuan
constitutional question. Pertama, dapat diajukan langsung
oleh pengadilan di semua tingkat yang sedang memeriksa
suatu perkara, yaitu Angola, Austria, Jerman, Korea
Selatan, Latvia, Lithuania, Malta, Slovenia, dan Spanyol.
Kedua, ditentukan bahwa pengajuan constitutional question
dilakukan melalui Mahkamah Agung seperti di Belarus,
Kroasia, dan Georgia.210 Keberadaan constitutional question
di suatu negara berkorelasi dengan model pemegang
kewenangan pengujian konstitusionalitas yang dianut
negara tersebut.211 Secara teknis, suatu perkara yang
diserahkan oleh hakim peradilan umum kepada Mahkamah
Konstitusi berlaku dalam negara yang menganut yurisdiksi
dualistik atau adanya pemisahan antara regular court dan
constitutional court.212 Hal ini dikarenakan dalam model ini,
kewenangan untuk memutus konstitusionalitas suatu
undang-undang diberikan secara eksklusif kepada
Mahkamah Konstitusi sebagai “a separate body whose sole
duty is to act as a constitutional judge.” Sementara itu, dalam
model kekuasaan kehakiman yang memberikan kewenangan
semua pengadilan berhak untuk menentukan
konstitusionalitas sebuah hukum atau undang- undang,
maka keberadaan judicial referral biasanya tidak berlaku
dalam model ini.213
209
Mahfud, Constitutional Question, hlm. 68.
210
Safa’at, “Menggagas Constitutional Question,” hlm. 7.
211
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai
Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 81.
212
Asshiddiqie, Peradilan Konstitusi di…, hlm. 62.
213
Takele Soboka Bulto, “Judicial Referral of Constitutional Disputes in
Ethiopia: From Prcatice to Theory,” African Journal of International and
Comparative Law, Vol. 19, (2011), hlm. 103.
Dilihat dari pemegang kewenangan pengujian
konstitusionalitas, maka dapat dibedakan menjadi dua
model. Di Amerika Serikat, tidak dibentuk lembaga
tersendiri untuk menjalankan kewenangan pengujian
konstitusionalitas.214 Pola pengujian yang secara umum
dilakukan pada negara yang menggunakan common law ini
adalah model fungsi pengujian yang bersifat “desentralized”
atau tersebar di berbagai tingkatan peradilan. Artinya,
seluruh peraturan perundang-undangan (legislative acts dan
executive acts) dan tindakan administratif (administrative
action) terhadap konstitusi diuji oleh hakim pada seluruh
jenjang peradilan.215 Sedangkan, di beberapa negara yang
menganut sistem civil law menggunakan “Kelsenian Model”
yang bersifat “centralized,” yaitu terpusat di satu lembaga
yang disebut Constitutional Court atau
Verfassungsgerichtshof.216 Proses pengujian
konstitusionalitas dalam model ini menghendaki adanya
pengadilan konstitusi yang berdiri sendiri dengan hakim-
hakimnya yang mempunyai keahlian khusus di bidang ini. 217
Perkara-perkara konstitusional menjadi kompetensi absolut
Mahkamah Konstitusi, sedangkan perkara-perkara konkret
merupakan kompetensi Mahkamah Agung. Model ini pun
banyak dipraktikkan di Eropa Kontinental dan negara-
negara demokrasi baru.218
219
Achmad Edi Subiyanto, “Prospek Mahkamah Konstitusi sebagai
Pengawal dan Penafsir Konstitusi,”
http://www.esaunggul.ac.id/article/prospek-mahkamah-konstitusi-sebagai-
pengawal-dan-penafsir-konstitusi-achmad-edi-subiyanto-s-h-m-h-3/ diakses
pada 8 Februari 2018.
menegakkan konstitusi dengan kewenangan utama
membatalkan undang-undang jika undang-undang itu
bertentangan dengan konstitusi.220 Model ini menyangkut
hubungan antara prinsip supremasi konstitusi (the principle
of the supremacy of the constitution) dan prinsip supremasi
parlemen (the principle of the supremacy of the Parliament).221
Kelsen berpendapat bahwa konstitusi harus diperlakukan
sebagai seperangkat norma hukum yang superior dari
undang-undang dan harus ditegakkan. Akan tetapi, dalam
transisi kekuasaan yang terjadi pada masa itu, Kelsen
mengakui adanya ketidakpercayaan yang luas terhadap
kemampuan hakim dari badan peradilan untuk
melaksanakan tugas penegakan konstitusi.222 Menurut
Kelsen, untuk menjaga supremasi konstitusi diperlukan
lembaga pengadilan khusus guna menjamin kesesuaian
aturan hukum yang lebih rendah dengan aturan hukum di
atasnya. Ia mengatakan:
“The application of the constitutional rules concerning
legislation can be effectively guaranteed only if an organ other
than the legislative body is entrusted with the task of testing
whether a law is constitutional, and of annulling it if —
according to the opinion of this organ – it is “unconstitutional.”
There may be a special organ established for this purpose, for
instance, a special court, a so called “constitutional court.”223
Pemikiran Kelsen akhirnya diterima dan menjadi
bagian dalam Konstitusi Austria 1920 yang di dalamnya
membentuk suatu lembaga bernama
220
Hamidi, “Constitutional Question…”, hlm. 34.
221
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Bernegara: Praksis Bernegara, (Malang:
Setara Press, 2015), hlm. 286.
222
Bachtiar, Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi
pada Pengujian UU Terhadap UUD, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2015), hlm. 123.
223
Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, hlm. 4.
“Verfassungsgerichtshoft” atau Mahkamah Konstitusi
(Constitutional Court).224 Model ini pun sering disebut sebagai
“The Kelsenian Model.”225 Sejak saat itulah dikenal dan
berkembang lembaga Mahkamah Konstitusi yang berada di
luar Mahkamah Agung yang secara khusus menangani
constitutional review dan perkara-perkara konstitusional
lainnya.226 Dalam sejarah pembentukan Mahkamah
Konstitusi di dunia, Mahkamah Konstitusi Austria inilah
yang dinisbatkan sebagai yang pertama di dunia yang
kemudian menjadi role model bagi banyak negara lainnya.227
Constitutional question sendiri menjadi hal pertama yang
diusulkan oleh Hans Kelsen terkait Mahkamah Konstitusi
Austria. Menurutnya, kewenangan tersebut didesain agar
peradilan umum (ordinary court) dapat turut serta dalam
mempertahankan kedudukan tertinggi konstitusi, yang
mungkin saja tidak dipatuhi oleh cabang eksekutif. Ia
mengatakan:228
“this would be extend the court protection of the
constitution to the executive acts and also anchor the
court in process of concrete review. I proposed that
courts, individual, and/or a special constitutional
ombudsman should have the right to refer matter to the
constitutional court.”
224
Ibid., hlm. 3.
225
Asshiddiqie, Model-Model Pengujian…, hlm. 84.
226
Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, hlm. 3.
227
Chalid, “Urgensi dan Upaya Implementasi…,” hlm. 366.
228
Asshiddiqie, Peradilan Konstitusi di…, hlm. 99.
yang berlaku di sana (di samping abstract review).229
Berdasarkan Konstitusi Austria, maka dapat diketahui
bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki cukup banyak
kewenangan yang jika dirangkum adalah sebagai berikut: 230
1) Pengujian konstitusional, baik melalui mekanisme pengujian
norma abstrak (abstract review) maupun melalui mekanisme
pengujian norma konkret (concrete review) atau yang
popular disebut constitutional question;
2) Memutus sengketa hasil Pemilu Parlemen dan Presiden;
3) Memutus sengketa kompetensi antara Peradilan Umum dan
Peradilan Administrasi serta seluruh jenis peradilan lainnya;
4) Memutus perkara impeachment terhadap pejabat tinggi
negara; dan
5) Constitutional complaint (individual complaint).
Dibukanya mekanisme constitutional question melalui
Mahkamah Konstitusi Austria telah membawa pengaruh
yang besar dalam kehidupan ketatanegaraan Austria.
Mekanisme constitutional question sebagai pelengkap dari
mekanisme pengujian norma abstrak telah menjadikan
sistem pengujian konstitusional di Austria sebagai salah
satu yang terbaik di dunia. Mekanisme constitutional
question telah menyediakan sarana perlindungan yang
maksimal bagi warga negara dari kemungkinan penerapan
hukum yang bertentangan dengan konstitusi. 231 Konsep ini
pun kemudian diadopsi di berbagai negara seperti Jerman,
Spanyol, Italia, dan lain sebagainya.232
229
Chalid, “Urgensi dan Upaya Implementasi…,” hlm. 363.
230
Ibid., hlm. 367.
231
Ibid., hlm. 369.
232
Asshiddiqie, Peradilan Konstitusi di…, hlm. 99.
Permasalahan mekanisme constitutional review di
Indonesia adalah adanya pembatasan legal standing
pemohon constitutional review. Salah satu alasan yang
menyebabkan suatu undang-undang dapat diuji di
Mahkamah Konstitusi adalah jika undang-undang itu
merugikan hak konstitusional warga negara. Pasal 51 ayat
(1) UU MK pada intinya menyatakan, bahwa yang dapat
menjadi Pemohon dalam pengujian undang-undang
terhadap UUD NRI 1945 adalah mereka yang hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
suatu undang-undang. Ada dua hal yang dapat disimpulkan
dari ketentuan tersebut. Pertama, pembentuk undang-
undang seakan-akan berasumsi bahwa pelanggaran
terhadap hak-hak konstitusional itu hanya terjadi karena
norma undang-undang. Kedua, pihak yang memiliki
standing (persona standi in judicio) untuk mengajukan
permohonan pengujian hanya pihak-pihak yang hak
konstitusionalnya langsung dirugikan oleh berlakunya
undang-undang itu. Terhadap hal tersebut, pelanggaran
terhadap hak konstitusional tentunya juga dapat terjadi
dalam penerapan norma. Sehingga, bukan semata-mata
karena ada norma undang-undang yang melanggar hak
konstitusional warga negara. Sistem hukum ketatanegaraan
Indonesia yang juga merupakan bagian dari sistem hukum
nasional dan berdasarkan kepada konstitusi, mengandung
arti bahwa baik tata cara pembentukan, penentuan materi
atau isi, hingga penerapan dan penegakannya harus
sepenuhnya mencerminkan asas atau nilai integral yang
terkandung dalam Pancasila dan UUD NRI 1945. 233
Terhadap hal tersebut, jika suatu penerapan norma undang-
233
Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi dalam Upaya Mewujudkan
Negara Hukum Demokrasi, (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2007), hlm. 333.
undang bertentangan dengan Konstitusi, maka pihak yang
boleh mengajukan review ke Mahkamah Konstitusi dapat
diperluas, yakni tidak hanya pihak yang secara langsung
dirugikan melainkan juga pengadilan melalui mekanisme
constitutional question.
Pembatasan kewenangan Mahkamah Konstitusi dapat
berimplikasi tidak optimalnya fungsi Mahkamah Konstitusi
dalam usaha mewujudkan negara hukum yang demokratis.
Pembatasan legal standing yang dapat mengajukan
permohonan seperti dijelaskan di atas tentunya
menimbulkan kemungkinan banyak undang-undang yang
bertentangan dengan hak-hak konstitusional warga negara
sebagai individu baik yang berkenaan dengan hak-hak sipil
maupun hak-hak politik yang berkaitan dengan kebebasan
dan demokratisasi. Menurut Dr. H. Abdul Latif, SH., MH.,
menjadi hal yang sangat urgen dan mengganjal oleh
masyarakat pencari keadilan ketika ada perkara konstitusi
yang belum menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi. 234
Dalam praktiknya, selama Mahkamah Konstitusi berdiri dan
menjalankan fungsinya, banyak materi permohonan yang
diajukan di luar lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi
yang secara tegas ditentukan dalam UUD NRI 1945
meskipun materi permohonan tersebut masih terkait
masalah konstitusional. Oleh karena tidak menjadi
kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadilinya,
permohonan demikian oleh Mahkamah Konstitusi
dinyatakan “tidak dapat diterima” (niet ontvankelijk
verklard).235
234
Ibid., hlm. 384.
235
Hamdan Zoelva, Mengawal Konstitusionalisme, (Jakarta: Konstitusi
Press, 2016), hlm. 262.
Kondisi belum diakomodasinya mekanisme
constitutional question oleh Mahkamah Konstitusi
menunjukkan bahwa sistem pengujian konstitusional di
Indonesia masih memiliki ketimpangan karena hanya
mampu menjangkau pengujian undang-undang secara
abstrak saja (abstract norm review). Akibatnya, ruang
pengujian konstitusional di Indonesia menjadi sempit.
Ketiadaan mekanisme ini pada akhirnya dapat bermuara
pada tercederainya hak-hak konstitusional warga negara
yang sedang terlibat dalam proses litigasi di pengadilan.
Sebab, tidak ada mekanisme yang dapat melindungi warga
negara yang sedang terlibat dalam suatu proses litigasi di
pengadilan dari ancaman penerapan undang-undang yang
diduga bertentangan dengan UUD. 236 Akhirnya, boleh jadi
suatu putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah dan
justru menimbulkan persoalan hukum baru yang
sesungguhnya dapat dihindari dengan melakukan langkah
antisipasi dan perubahan hukum acara.237
Sedemikian pentingnya keberadaan Mahkamah
Konstitusi yang langsung bersentuhan dengan konstitusi
dan pusat kekuasaan negara, maka tentunya perlu ditelaah
kembali kedudukan dan wewenang Mahkamah Konstitusi
yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, agar
sesuai dengan rechtsidee pembentukannya yang
dimaksudkan untuk mendorong mekanisme check and
balances dalam pelaksanaan kekuasaan negara, implikasi
dari paham konstitusionalisme, mewujudkan
penyelenggaraan negara yang bersih, dan perlindungan
terhadap hak konstitusional warga negara.238 Pengakuan
236
Chalid, “Urgensi dan Upaya Implementasi…,” hlm. 358.
237
Siahaan, “Renungan Akhir Tahun,” hlm. 110.
238
Fatkhurohman, Dian Aminudin dan Sirajuddin, Memahami
Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
hak asasi manusia (basic rights) tanpa perlindungan atau
mendengung-dengungkan demokrasi tanpa tersedia upaya
hukum dan mekanisme yang komprehensif adalah sama-
sama pengingkaran terhadap pengakuan dan perlindungan
basic rights setiap warga negara.239 Violaine Autheman dan
Keith Henderson mengungkapkan bahwa negara-negara
yang telah mencapai tahap akhir dalam proses transisi
demokrasinya telah menerima mekanisme konstitusi yang
menjamin hak-hak fundamental warga negara dan
menuntut agar hak-hak fundamental tersebut
diimplementasikan secara adil dan efektif dalam praktek
sehingga warga negara dapat menikmati secara penuh
jaminan-jaminan yang tertulis indah dalam konstitusi. 240
Kesadaran akan pentingnya hal ini menggiring kita
pada pentingnya peranan Mahkamah Konstitusi dalam
membangun kehidupan yang demokratis dan konstitusional.
Artinya, hal ini akan menggariskan upaya untuk
memperbesar fungsi hukum sebagai sarana untuk
melakukan perbaikan hidup dan kehidupan (rekayasa
sosial). Hukum dalam konteks ini, seperti dengan apa yang
dikatakan oleh Roscoe Pound, “law as a tool of social
engineering”. Karenanya, hal ini membutuhkan adanya
konstitusi yang kuat dan terkawal dengan baik dalam
penegakannya.241 Oleh sebab itu, haruslah dikembangkan
pemikiran mengenai kemungkinan perluasan kewenangan
Mahkamah Konstitusi, dalam hal ini kewenangan
constitutional question yang berkaitan dengan basic right
242
Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi, hlm. 134.
243
Huda, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia, hlm. 28.
hak-hak konstitusional warga negara akibat penerapan
hukum yang bertentangan dengan Konstitusi dapat dicegah.
Sebab, apabila hakim ragu akan konstitusionalitas undang-
undang yang akan ia terapkan maka ia dapat mengajukan
“pertanyaan konstitusional” kepada Mahkamah Konstitusi
untuk menentukan konstitusionalitas dari undang-undang
yang bersangkutan sebelum putusan pengadilan atas kasus
tersebut dijatuhkan.244 Tugas untuk menegakkan konstitusi
dan menjaganya dari segala bentuk pelanggaran, tentunya
tidak hanya menjadi tanggung jawab hakim-hakim
konstitusi semata, melainkan juga menjadi tugas dan
tanggung jawab dari hakim-hakim di peradilan umum.
Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tentunya harus
dijalankan dan tidak boleh diabaikan oleh siapa pun juga,
termasuk oleh penyelenggara negara dalam hal ini adalah
peradilan umum.245 Alan R. Brewer & Carrias memandang
bahwa sudah menjadi tugas yang melekat dari setiap
pengadilan untuk menjamin tindakan hukum legislatif dan
eksekutif sesuai dengan hukum tertinggi, yakni konstitusi.
Mereka menyatakan bahwa, “...the same inherent duty of
courts to ensure that each legal action conforms to a superior
law.”246
Selain itu, keberadaan constitutional question tidak
terlepas dari asas curia novit bagi hakim di peradilan
umum.247 Menurut Yahya Harahap, Ius Curia Novit/Curia
Novit Jus berarti hakim dianggap mengetahui semua hukum
sehingga Pengadilan tidak boleh menolak memeriksa dan
mengadili perkara.248 Prinsip ini juga ditegaskan dalam
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
244
Arifin, Hukum dan Kuasa Konstitusi, hlm. 77.
245
Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi, hlm. 328.
246
Huda, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia, hlm. 27.
247
Arifin, Hukum dan Kuasa Konstitusi, hlm. 177.
Kehakiman (selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman)
bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Bila
dikaitkan dengan constitutional question, jika hakim ragu
akan konstitusionalitas suatu dasar hukum yang dipakai
dalam perkara yang ditanganinya, ia tidak dapat menolak
untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Hakim
peradilan umum bisa menggunakan mekanisme
constitutional question untuk menuntaskan keraguannya
dan akhirnya menentukan hukum objektif mana yang harus
diterapkan (toepassing) sesuai dengan materi pokok perkara
yang menyangkut hubungan hukum pihak-pihak yang
berperkara dalam konkreto.249
Diadopsinya mekanisme constitutional question dalam
sistem peradilan konstitusi (constitutional adjudication)
adalah sebagai bagian dari pemberian perlindungan
maksimum terhadap hak-hak konstitusional warga negara.
Peradilan umum sebagai lembaga kehakiman tentunya
memiliki tugas untuk menjamin tegaknya keadilan melalui
penerapan undang-undang. Dengan kehadiran constitutional
question, maka keadilan tersebut dapat ditegakkan dengan
sepenuhnya. Jika mekanisme pertanyaan konstitusional
diadopsi di Indonesia, maka hakim peradilan umum menjadi
lebih kritis terhadap konstitusionalitas suatu undang-
undang.250 Dalam penerapan undang-undang sehari-hari
berkenaan dengan tugas dan fungsinya memeriksa dan
248
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2015), hlm. 821.
249
Sovia Hasanah, “Arti Asas Ius Curia Novit”
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt58dca7c78ab7d/arti-asas-ius-
curia-novit diakses pada 9 Februari 2018.
memutus sengketa yang dihadapkan padanya atas dasar
satu undang-undang tertentu, ada kemungkinan pihak-
pihak mempersoalkan konstitusionalitas suatu undang-
undang yang diajukan pihak lawan sebagai dasar untuk
mempertahankan haknya, atau hakim sendiri berpendapat
ada masalah konstitusionalitas yang harus diputuskan lebih
dahulu. Dalam keadaan demikian, hakim peradilan umum
dapat menjadi pintu gerbang dalam penataan perundang-
undangan agar serasi dengan hierarki perundang-undangan
di mana konstitusi merupakan hukum tertinggi yang harus
menjadi dasar dari aturan perundang-undangan yang lebih
rendah. Oleh karenanya, komunikasi yang tetap dengan
Mahkamah Konstitusi harus dibuka, baik melalui saluran
hukum acara dalam prosedur rujukan yang dilakukan
hakim peradilan umum kepada Mahkamah Konstitusi untuk
menguji suatu undang-undang yang diperhadapkan
padanya dalam kasus atau sengketa riil di pengadilan
maupun komunikasi bentuk lain.251 Akhirnya, akan
terhindarkan putusan pengadilan yang bertentangan dengan
konstitusi dan tentunya menggadaikan keadilan itu
sendiri.252
254
Chalid, “Urgensi dan Upaya Implementasi…,”, hlm. 375.
255
Ibid., hlm. 376.
Kedua, hakim tidak dipaksa menerapkan undang-
undang yang berlaku terhadap suatu perkara yang menurut
keyakinannya undang-undang itu bertentangan dengan
konstitusi. Kekuasaan kehakiman pada dasarnya berfungsi
memutus sengketa hukum yang timbul antara anggota
masyarakat dan pemerintah. Wewenang untuk memutus
perkara, tujuan akhirnya adalah untuk mewujudkan
ketertiban umum di masyarakat melalui putusan yang
adil.256 Ketika hakim menghadapi dilema untuk menerapkan
suatu undang-undang dalam perkara yang ditanganinya,
maka hakim dapat mengambil inisiatif untuk mengajukan
pertanyaan konstitusional kepada Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian, di satu sisi hakim tidak dipaksa untuk
menerapkan undang-undang yang menurutnya
bertentangan dengan konstitusi, akan tetapi di sisi lain
hakim juga tidak semena-mena mengabaikan undang-
undang yang dimaksud, melainkan harus menyerahkan
persoalan konstitusionalitas itu kepada Mahkamah
Konstitusi dengan jalan mengajukan constitutional
question.257 Mekanisme constitutional question ini pun
menjadi jalan tengah atau solusi yang dapat menjembatani
dua kutub yang saling bersaingan. Kemerdekaan hakim
untuk tidak dipaksa menerapkan undang-undang yang
menurut penilaiannya bertentangan dengan konstitusi di
satu sisi dan prinsip supremasi parlemen yang menghendaki
dihormati dan ditaatinya undang-undang buatan parlemen
dengan tidak mengesampingkannya begitu saja disisi yang
lain. Mengenai hal ini, Leon Duguit mengatakan bahwa:
256
A.M. Fatwa, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta:
Kompas Media Nusantara, 2009), hlm. 22.
257
Chalid, “Urgensi dan Upaya Implementasi…,”, hlm. 376.
“A Court which refuse to apply a statute on the grounds
of unconstitutionality does not interferce with the
exercise of legislative powers. It does not suspend
application. The law remains untouched... it is simply
because the judicial power is distinct from and
independent equal to the two others that it cannot be
forced to apply the statutes it deems
unconstitutional.”258
Hal demikian tidak dapat dinilai sebagai bentuk
judicial activism ataupun dinilai sebagai pelanggaran
terhadap prinsip judicial restraint karena alasan
dilakukannya tindakan itu adalah untuk menjaga
konstitusionalitas undang-undang dalam penerapannya
yang sekaligus berarti mencegah kemungkinan timbulnya
pelanggaran (oleh undang-undang) terhadap hak-hak
konstitusional warga negara. Prosedur tersebut diperkirakan
dapat melindungi legislator atau pembuat undang-undang
dari potensi keengganan hakim peradilan untuk
menerapkan hukum dengan alasan ketiadaan hukum.
Asumsi ini mampu menjamin uniformitas sistem hukum
dan konsentrasi pelaksanaan constitutional review ke dalam
satu institusi.259 Pada akhirnya, langkah ini dilakukan
untuk segera menghentikan pelanggaran konstitusi yang
terjadi dalam yurisdiksi hukum peradilan umum.260
Ketiga, bagi Indonesia yang secara formal maupun
tradisi hukum tidak menganut prinsip stare dicisis atau
prinsip preseden, constitutional question akan membantu
terbentuknya kesatuan pandangan atau pemahaman di
kalangan hakim-hakim di luar hakim konstitusi mengenai
258
Ibid., hlm. 376-377.
259
Asshiddiqie, Peradilan Konstitusi di…, hlm. 33.
260
Ibid., hlm. 100.
pentingnya menegakkan prinsip konstitusionalitas hukum
bukan hanya dalam proses pembentukannya tetapi juga
dalam penerapannya.261 Meski Indonesia menganut asas
bebas (hakim tidak terikat pada putusan-putusan hakim
yang lebih tinggi maupun yang sederajat tingkatnya), namun
dalam praktiknya hakim sedikit banyak mengikatkan
dirinya kepada putusan-putusan hakim yang terdahulu. 262
Melalui constitutional question, hakim di Indonesia
diingatkan bahwa mereka disumpah untuk tunduk kepada
Konstitusi dan sudah seyogianya untuk menjaga konstitusi
di dalam menjalankan tugasnya. Akhirnya, diharapkan
tercapainya tujuan hukum, yaitu kepastian hukum dan
keadilan.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, konstitusi hanya
akan menjadi konstitusi yang hidup (living constitution)
apabila ada kesadaran yang tinggi akan makna konstitusi
itu di hati setiap warga negara. Usulan untuk mengadopsi
mekanisme constitutional question adalah salah satu upaya
untuk mendorong tumbuhnya kesadaran berkonstitusi.
Diadopsi dan diterapkannya constitusional question
merupakan salah satu bukti nyata bahwa saatnya wajah
penegakan hukum di negeri ini tegak, sehingga
implementasi dari sila ke lima nilai-nilai Pancasila yang
merupakan dasar negara tidak hanya sebagai simbol semata
melainkan dapat menjelma dalam setiap lini kehidupan
berbangsa.263
264
Faiz, “The Role of the Constitutional Court,” hlm. 145.
265
Zoelfa, “Constitutional Complaint dan…,” hlm. 162.
266
Faiz, “The Role of the Constitutional Court,” hlm. 145.
misalnya menentukan bahwa salah satu wewenang
Mahkamah Konstitusi adalah “consider appeals in respect of
the constitutional nature of all decisions of other courts that
refuse to apply any rule on the grounds that it is
unconstitutional.”267 Namun, ada pula yang mengatur sebagai
satu kesatuan dengan wewenang constitutional review,
pengadilan disebutkan sebagai salah satu yang dapat
mengajukan permohonan, seperti di Bosnia-Herzegovina.
Kedua, terdapat negara-negara yang menentukan
mekanisme constitutional question dalam Undang-Undang
Mahkamah Konstitusinya dan merupakan derivasi dari
wewenang memutus konstitusionalitas aturan hukum yang
diberikan konstitusi. Negara-negara tersebut antara lain
adalah Belarus, Kroasia, Georgia, Jerman, Latvia, Lithuania,
dan Slovenia.268
Bagi akademisi yang memandang diperlukannya
amandemen konstitusi untuk memasukkan constitutional
question, mereka mendasarkan argumen mereka pada Pasal
24C ayat (1) UUD NRI 1945, dimana kewenangan
Mahkamah Konstitusi dirumuskan secara terperinci tanpa
diiringi kata-kata “dan kewenangan lain yang ditentukan
dengan undang-undang” seperti dalam rumusan mengenai
kewenangan Mahkamah Agung (MA). Dengan demikian,
kewenangan Mahkamah Konstitusi itu dapat dikatakan
bersifat limitatif dan tidak seperti kewenangan Mahkamah
Agung yang tidak limitatif. Oleh karena itu, lazimnya
dikembangkan pengertian bahwa undang-undang tidak
boleh menambahkan kewenangan apa pun terhadap
Mahkamah Konstitusi terhadap ketentuan yang bersifat
limitatif semacam itu. Artinya, yang harus memberikan
267
Angola, Constitution of Angola, 2010, Article 180.
268
Mahfud, Constitutional Question, hlm. 68-69.
kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi haruslah
konstitusi itu sendiri.269
Selain itu, perlu dimasukkannya kewenangan
constitutional question dalam konstitusi sesuai dengan
karakteristik khusus peradilan Mahkamah Konstitusi yang
berbeda dengan peradilan yang lain. Karakteristik utama
yaitu dasar hukum utama yang digunakan dalam proses
peradilan baik terkait dengan substansi perkara maupun
hukum acara adalah konstitusi itu sendiri, yaitu UUD NRI
1945. Walaupun terdapat berbagai ketentuan undang-
undang dan PMK sebagai dasar memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara, namun ketentuan tersebut digunakan
sepanjang dinilai tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Hal ini tidak terlepas dari sifat wewenang Mahkamah
Konstitusi yang pada hakikatnya adalah mengadili perkara-
perkara konstitusional.270
Sementara itu, bagi akademisi yang memandang
cukup melalui perubahan UU MK, mereka mendasarkan
bahwa, baik secara teoretis maupun empiris, constitutional
question sesungguhnya merupakan bagian dari pengujian
konstitusional (constitutional review). Ia merupakan satu
dari dua mekanisme constitutional review dimana
constitutional review itu sendiri di dalam praktiknya
dilaksanakan melalui dua varian pengujian, yakni abstract
review dan concrete review. I Dewa Palguna mengatakan
bahwa meskipun bentuknya berupa pertanyaan (question),
konstruksi pemikiran dan substansi yang ada dalam
constitutional question sesungguhnya adalah permohonan
pengujian undang-undang.271 Menurutnya, cukup dilakukan
269
Arifin, Hukum dan Kuasa Konstitusi, hlm. 153.
270
Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, hlm. 28.
271
Chalid, “Urgensi dan Upaya Implementasi…,” hlm. 383.
dengan mengubah UU MK, misalnya dengan menambahkan
ketentuan pada Bagian Kedelapan (“Pengujian Undang-
Undang terhadap Undang-Undang Dasar”) bahwa hakim
pengadilan dari lingkungan Peradilan Umum, Peradilan
Agama, Peradilan Militer, atau Peradilan Tata Usaha Negara,
jika dalam memutus suatu perkara yang sedang diadilinya
ragu-ragu akan konstitusionalitas undang-undang yang
berlaku terhadap perkara itu, dapat mengajukan pertanyaan
kepada Mahkamah Konstitusi tentang konstitusionalitas
undang-undang yang bersangkutan sebelum dijatuhkannya
putusan terhadap perkara tersebut. Pemeriksaan terhadap
perkara itu dihentikan sementara sampai Mahkamah
Konstitusi menjatuhkan putusan terhadap konstitusional
tidaknya undang-undang tersebut. Apabila Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwa undang-undang itu
konstitusional atau tidak bertentangan dengan UUD NRI
1945, maka pemeriksaan terhadap perkara tersebut
dilanjutkan. Sebaliknya, apabila Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa undang-undang yang bersangkutan
inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD NRI 1945
maka perkara itu dinyatakan gugur demi hukum.272
Sehingga, berdasarkan konstruksi tersebut, maka
dalam konteks Indonesia, mekanisme constitutional question
dapat ditempatkan sebagai bagian dari kewenangan
Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945. Artinya,
mekanisme constitutional question sejatinya sudah memiliki
landasan konstitusional dalam UUD NRI 1945. Sehingga,
untuk menambahkan kewenangan constitutional question
272
I Dewa Gede Palguna, “Constitutional Question: Latar Belakang dan
Praktik di Negara Lain Serta Kemungkinan Penerapannya di Indonesia,” Jurnal
Hukum, Vol. 1, (Januari 2010), hlm. 15.
kepada Mahkamah Konstitusi tidak perlu dilakukan dengan
amandemen UUD NRI 1945. Sebab, sebagaimana telah
dikatakan di atas, seandainya mekanisme ini akan diadopsi
di Indonesia maka sesungguhnya ia telah memiliki landasan
konstitusional dalam Pasal 24C ayat (1), yakni sebagai
bagian dari kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Jika Mahkamah Konstitusi diberi wewenang untuk
mengadili perkara constitutional question, maka hal tersebut
bukanlah merupakan penambahan atau penciptaan
kewenangan baru bagi Mahkamah Konstitusi, melainkan
hanya sebatas perluasan kewenangan yang sudah
dimilikinya berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945,
yakni kewenangan menguji undang- undang terhadap
Undang-Undang Dasar.273
Cara yang dapat ditempuh untuk mengadopsi
mekanisme ini cukup dengan mengubah undang-undang
tentang Mahkamah Konstitusi (UU No. 24 Tahun 2003
juncto UU No. 8 Tahun 2011), yakni dengan memasukkan
pasal-pasal yang akan mengatur pelaksanaan mekanisme
constitutional question ini di Mahkamah Konstitusi
Indonesia. Materi perubahannya itu sendiri kurang lebih
mencakup ketentuan-ketentuan sebagai berikut:274
1. Dibukanya peluang pengujian undang-undang yang
berasal dari proses litigasi di pengadilan yang
permohonannya diajukan oleh hakim peradilan umum
manakala ia merasa ragu akan konstitusionalitas
undang-undang yang akan ia terapkan dalam kasus
konkret yang sedang ditanganinya (judicial referral of
constitutional question);
273
Chalid, “Urgensi dan Upaya Implementasi…,” hlm. 382.
274
Ibid., hlm. 385.
2. Penghentian sementara persidangan atas kasus konkret
yang dasar hukumnya sedang diuji oleh Mahkamah
Konstitusi hingga adanya putusan Mahkamah Konstitusi,
sehingga pengadilan tidak bisa serta merta menjatuhkan
putusan terhadap suatu perkara yang dasar hukumnya
masih dipersoalkan dan diuji oleh Mahkamah Konstitusi;
dan
3. Keharusan bagi pengadilan yang telah mengajukan
constitutional question itu khususnya, dan semau orang
pada umumnya, untuk mematuhi putusan Mahkamah
Konstitusi atas perkara constitutional question yang
dimaksud.
Sementara itu, Mahkamah Agung juga perlu
membentuk Peraturan Mahkamah Agung untuk mengatur
mekanisme constitutional question di lingkungan peradilan
umum.275 Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi
dari cabang peradilan umum di Indonesia tentunya perlu
mengatur setiap pelaksanaan kewenangan yang ada di
lingkungannya. Peraturan Mahkamah Agung akan
memberikan kepastian bagi hakim peradilan umum bahwa
permintaan constitutional question yang diajukannya akan
diserahkan ke Mahkamah Konstitusi Pengadilan setelah
memenuhi persyaratan dan tata cara yang diatur dalam
Peraturan Mahkamah Agung tersebut.276
4. Permasalahan Kelembagaan
a. Tata Cara Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi
Pemilihan ketua dan wakil ketua Mahkamah
Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal (4f), (4g), dan
275
Wawancara dengan Pan Mohammad Faiz, tanggal 8 Februari 2018 di
Kantor Mahkamah Konstitusi.
276
Faiz, “The Role of the Constitutional Court,” hlm. 145.
(4h) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
dilakukan dalam satu kali rapat di mana hakim konstitusi
yang mendapatkan suara terbanyaklah yang akan menjadi
ketua Mahkamah Konstitusi sedangkan yang menempati
posisi kedua dari segi perolehan suara ditetapkan menjadi
wakil ketua. Sistem pemilihan yang menganut prinsip “satu
kali rapat dan satu paket” tersebut memiliki beberapa
implikasi potensial yang pada akhirnya menjadi dasar
pertimbangan Mahkamah untuk membatalkan pasal-pasal
terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
49/PUU-IX/2011.
Meskipun Mahkamah menilai bahwa pada dasarnya
pengaturan pemilihan pimpinan lembaga merupakan
kebijakan hukum terbuka (legal policy) dari pembentuk
undang-undang yang sebenarnya dibuat secara manasuka
namun konstitusionalitasnya dapat ditakar apabila ternyata
dalam penerapannya mengakibatkan permasalahan bagi
lembaga tersebut dan menghambat pelaksanaan kinerja
lembaga yang pada akhirnya dapat menimbulkan kerugian
konstitusional bagi warga negara. Mahkamah
mempertimbangkan bahwa sistem pemilihan yang menjadi
status quo tidak mengindahkan prinsip-prinsip
berdemokrasi yang ideal yaitu asas mayoritas sederhana
(simple majority) bilamana ada dua atau lebih calon yang
memperoleh jumlah suara urutan kedua terbanyak
(contohnya apabila hasil perolehan suara dalam rasio 5:2:2
atau 3:2:2:2)277. Skenario kedua yang membuat tata cara
pemilihan wakil ketua dan ketua problematik adalah apabila
277
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Putusan Nomor 49/PUU-
IX/2011,” hlm 66
rasio hasil perolehan suara 9:0 atau 8:1278. Bilamana hal
tersebut terjadi akuntabilitas, legitimasi, dan akseptabilitas
pimpinan Mahkamah Konstitusi (dalam hal ini khususnya
adalah pemegang peran wakil ketua Mahkamah Konstitusi)
bisa jadi dipertanyakan. Risikonya adalah posisi wakil ketua
dianggap lebih rendah oleh karena tidak memiliki sokongan
dari hakim-hakim konstitusi yang lain, terlebih lagi apabila
tiba saatnya individu tersebut harus menggantikan posisi
ketua Mahkamah Konstitusi. Mahkamah berkesimpulan
bahwa potensi kerugian tersebut dapat melanggar Pasal 28D
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Maka, dengan dicabutnya ketentuan mengenai tata
cara pemilihan ketua dan wakil ketua Mahkamah
Konstitusi, sebaiknya diinkorporasikan perubahan terhadap
tata cara pemilihan pimpinan Mahkamah yang secara jelas
memperhatikan asas akuntabilitas, legitimasi,
akseptabilitas, dan ketentuan mayoritas sederhana. Hal
tersebut dapat dilakukan dengan mengatur bahwa
pemilihan ketua dan wakil ketua Mahkamah konstitusi
dilaksanakan secara terpisah untuk menghindari
delegitimasi posisi Wakil Ketua Mahkamah. Kedua seleksi
tersebut harus mengupayakan musyawarah mufakat untuk
mencapai aklamasi sebelum dilaksanakannya pemungutan
suara secara bebas dan rahasia dengan memperhatikan
suatu kuorum rapat tertentu. Keadilan dalam proses
pemilihan tersebut juga dapat digarisbawahi dengan
pengaturan mengenai hak setiap hakim yang hadir untuk
memilih dan dipilih sebagai Ketua atau Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi. Untuk meminimalisir adanya
kerugian konstitusional nal karena terbatasnya kinerja
Mahkamah dengan adanya kekosongan pimpinan, juga
278
Ibid., hlm. 66
diperlukan jangka waktu yang pasti mengenai kapan paling
lambat pemilihan dilaksanakan. Hal itu untuk menjamin
kepastian kepemimpinan lembaga. Posisi Ketua dan Wakil
Ketua Mahkamah Konstitusi harus diisi dengan
memperhatikan prinsip-prinsip tertentu oleh karena
masyarakat bergantung pada kinerja dari lembaga tersebut.
Grafik 1
Waktu Penanganan Perkara di Mahkamah Konstitusi Mulai
Registrasi Hingga Putusan
Sumber: Konstitusi dan Demokrasi (KODE) Inisiatif, Tiga Belas Tahun Kinerja
Mahkamah Konstitusi dalam Memutus Pengujian Undang-Undang
279
Veri Junaidi, Adelline Syahda, dan Adam Mulya Bunga Mayang, Tiga
Belas Tahun Kinerja Mahkamah Konstitusi dalam Memutus Pengujian Undang-
Undang, (Jakarta: Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif, 2016), hlm. 8
280
Nabilla Tashandra, “MK Diminta Atur soal Batas Penanganan
Perkara,”
http://nasional.kompas.com/read/2016/12/27/15091181/mk.diminta.atur.so
al.batas.waktu.penanganan.perkara, Diakses pada 12 Februari, 2018
Mahkamah Konstitusi adalah 6 bulan. Batas waktu tersebut
didasari atas rata-rata penyelesaian perkara pengujian
undang-undang di Mahkamah Konstitusi.281
281
Ady Achmad, “Hasil Riset: Pengujian UU Advokat Butuh Waktu Paling
Lama,” http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57bc331fcfc20/hasil-
riset--pengujian-uu-advokat-butuh-waktu-paling-lama, Diakses pada 12
Februari, 2018
282
Sri Hastuti, et al.,Urgensi Perluasan Permohonan Pembubaran Partai
Politik di Indonesia, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum Volume 23 Issue 4, Oktober
2016, hlm.554-555.
tersebut dapat dilihat dari sisi jumlah partai politik maupun
ideologi partai.283 Berkenaan dengan jumlah partai politik,
secara kuantitatif, jumlah partai politik peserta pemilu di era
reformasi selalu berubah-ubah, tidak seperti pada Orde
Baru yang selalu ajeg diikuti oleh 3 partai politik, yaitu PPP,
GOLKAR dan PDI, terkecuali pemilu pertama Orde Baru
yang diikuti oleh 10 Partai Politik. Perubahan jumlah partai
politik peserta pemilu di Orde Reformasi ini disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu: pertama, persyaratan pendirian
parpol yang terus diperbaharui dan diperketat melalui UU;
kedua, penerapan ambang batas perolehan suara dari
parpol pada pemilu (electoral threshold) yang menjadi salah
satu persyaratan parpol dapat menjadi peserta pemilu
berikutnya; dan ketiga pemilih yang makin cerdas/rasional
dalam menentukan pilihan.
Dinamika perkembangan partai politik dalam
kontestasi pemilu tersebut sebenarnya dapat kita maknai
sebagai bentuk semakin bergesernya sistem demokrasi dan
pemilu yang semula tidak demokratis ke arah yang lebih
demokratis. Namun hal ini tidak kemudian membuat sistem
demokrasi dan pemilu kita telah benar-benar berjalan
secara demokratis. Faktanya, masih terdapat beberapa
permasalahan lain yang membuat demokrasi dan sistem
penyelenggaraan pemilu belum dapat dikatakan berjalan
secara demokratis. Diantaranya berkenaan dengan
terbatasnya alasan terhadap usul pembubaran partai politik
yang diatur di dalam undang-undang, serta pemberian
peran tunggal kepada pemerintah dalam usul pembubaran
partai politik284 yang tanpa disadari telah mencederai nilai-
nilai dasar demokrasi.
283
Widayati, “Pembubaran Partai Politik Dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia”, Jurnal Hukum Universitas Islam Sultan Agung, Volume. XXVI,
Nomor. 2, Agustus 2011, hlm. 625
Berkaitan dengan hal tersebut, perlu diketahui bahwa
pembubaran partai politik pada dasarnya diyakini sebagai
sebuah mekanisme untuk melakukan pengawasan terhadap
partai politik.285 Dalam laporan survei yang dilakukan oleh
European Commission for Democracy through Law yang biasa
disebut sebagai Venice Commision, mengenai pengaturan
larangan dan tindakan pengawasan terhadap partai politik
di 40 negara yang merespons pengisian ‘questionnaire’ yang
diajukan286, diperoleh kesimpulan bahwa:
1. Kegiatan partai politik dimana pun selalu dijamin atas
dasar prinsip kebebasan berserikat (party activities
everywhere are guaranted by the principle of freedom of
association);
2. Secara umum terdapat kesamaan pandangan di semua
negara bahwa terhadap partai politik yang tidak
memenuhi ketentuan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku dapat dijatuhi sanksi
berupa tindakan pelarangan/pembekuan atau
pembubaran (there is possibility to sanction political
parties that do not respect a certain set of rules, through
284
Hal senada juga dikatakan oleh Josef M.Monteiro dalam
Ketidakpastian Pengaturan Pembubaran Partai Politik, Jurnal Hukum Pro
Justicia, April 2010, Nomor 1, Volume 28, hlm. 52 intinya Josef mengatakan
bahwa Pasal 68 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi yang memberikan peran tunggal kepada Pemerintah
sebagai pengusul pembubaran partai politik tidaklah dapat dikatakan
demokratis.
285
Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai Politik
dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press,2005), hlm. 128.
286
Keempat puluh negara yang di survei dalam mengisi ‘questionnaire’
sebagaimana mestinya adalah: Albania, Argentina, Austria, Azerbaijan, Belarus,
Belgia, Bosnia enherzegovina, Bulgaria, Canada, Croatia, the Czech Repulic,
Denmark, Estonia, Vinlandia, Perancis, Georgia, Jerman, Yunani, Hongaria,
Irlandia, Italia, Jepang, Kyrghyztan, Latvia, Liechtenstrein, Liethuania, Muldova,
Belanda, Norwegia, Polandia, Portugal, Romania, Russia, Slovakia, Spanyol,
Slovenia, Swedia, Switzerland, Turki, Ukraina, Uruguay (Lihat dokumen CDL-
PP(98)2). Muchamad Ali Safa’at, Pembubaran Partai POlitik Pengaturan dan
Praktik Pembubaran Partai Politik dalam Pergaulan Republik. Rajawali Press,
Jakarta, 2011, hlm. 129
prohibition and dissolution of political parties, in a number
of countries which answered the questionnaire) ;
3. Prosedur yang berkenaan dengan tindakan pembatasan
terhadap kegiatan partai-partai politik itu menunjukkan
besarnya kepedulian dan tanggung jawab para pejabat
yang berwenang di negara-negara yang bersangkutan
dalam menghormati prinsip-prinsip kebebasan berserikat
(the procedure regarding measures restricting the activites
of the political parties show the authorities’ concern to
respect the principle of freedom of association).
287
Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 jo Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2011, LN Nomor 8 tahun 2011, TLN 5189, Pasal 40.
a. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan;
atau
b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan
dan keselamatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
(3) Partai Politik dilarang:
a. menerima dari atau memberikan kepada pihak asing
sumbangan dalam bentuk apapun yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan;
b. menerima sumbangan berupa uang, barang, ataupun
jasa dari pihak mana pun tanpa mencantumkan
identitas yang jelas;
c. menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau
perusahaan/badan usaha melebihi batas yang
ditetapkan dalam peraturan perundangundangan;
d. meminta atau menerima dana dari badan usaha milik
negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha
milik desa atau dengan sebutan lainnya; atau
e. menggunakan fraksi di Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah kabupaten/kota sebagai sumber
pendanaan Partai Politik.
(4) Partai Politik dilarang mendirikan badan usaha dan/atau
memiliki saham suatu badan usaha.
(5) Partai Politik dilarang menganut dan mengembangkan
serta menyebarkan ajaran atau paham
komunisme/Marxisme-Leninisme.
Terhadap suatu pelanggaran yang dilakukan oleh
partai politik, Pasal 48 UU Partai Politik mengatur beberapa
jenis sanksi yang dapat dikenakan, yakni sanksi
administratif, sanksi pembekuan, hingga sanksi
pembubaran.
288
Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 12 Tahun 2008
tentang Prosedur Beracara Dalam Pembubaran Partai Politik, Pasal 2.
melanggar tatanan demokrasi.289 Kedua negara tersebut
menganggap bahwa tatanan demokrasi merupakan hal
penting yang perlu dijaga dalam sebuah negara demokrasi.
Oleh karenanya, apabila tujuan partai politik atau perilaku
pengikutnya tidak sesuai dan berupaya menghapus
eksistensi demokrasi, maka partai tersebut dapat diusulkan
untuk dibubarkan.
289
Di negara Jerman, ketentuan tersebut diatur dalam Article 21 ayat (2)
Konstitusi Jerman. Sementara untuk negara Korea Selatan, ketentuan tersebut
diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Constitution of South Korea. Baca, Rafli Fadilah
Achmad, “Tinjauan Yuridis Atas Legal Standing Pembubaran Partai Politik Di
MahkamahKonstitusi”, Skripsi, Universitas Indonesia, Jakarta, 2016, hlm. 85
290
Samuel Issacharoff, Fragile Democracies Constested Power in the Era
of Constitusinal Courts,Constitusional Law at New, York University School of
Law, 2012. Dalam Rifandy Ritonga, “Pembubaran Partai Politik Terhadap Sistem
Demokrasi di Indonesia”, Jurnal Pranata Hukum, Volume 10. Nomor 2 Juli
2016, hlm. 105
politikpun harus berbesar hati untuk dibubarkan jika
ternyata terbukti melakukan perbuatan yang mengancam
demokrasi, salah satunya perbuatan melanggar pemilu. 291
Mengingat begitu pentingnya pemilu bagi negara
demokrasi, dan pemilu yang jujur, fair serta bersih
merupakan instrumen penting dalam mewujudkan pemilu
yang demokratis di Indonesia, upaya memperluas
permohonan pembubaran partai politik dengan menjadikan
pelanggaran pemilu sebagai salah satu alasan terhadap usul
pembubaran partai politik di Indonesia menjadi suatu
keharusan yang tidak dapat dinafikkan. Dengan begitu,
secara sadar negara Indonesia telah melangkahkan kembali
kakinya menuju sistem pemilu yang lebih demokratis. 292
Sebagaimana diketahui bahwa Pasal 68 ayat (1) UU No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan
dengan jelas bahwa pemohon untuk perkara pembubaran
partai politik di Mahkamah Konstitusi adalah Pemerintah
yang diwakili oleh Menteri Dalam Negeri atau Jaksa Agung.
Kewenangan pemerintah untuk menjadi pemohon terkait
dengan tanggungjawab pemerintah untuk menjalankan UUD
NRI 1945 dan segala peraturan perundang-undangan yang
berlaku, serta mengupayakan tegaknya UUD beserta segala
peraturan perundang-undangan itu dengan sebaik-baiknya
sesuai dengan hukum.293
Oleh karena itu, jika suatu partai politik dinilai oleh
Pemerintah telah melanggar Undang-Undang Dasar
dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku,
maka adalah tanggung jawab pemerintah untuk mengambil
291
Hastuti, Urgensi Perluasan Permohonan Pembubaran Partai Politik di
Indonesia, hlm. 562.
292
Ibid.
293
Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai Politik dan
Mahkamah Konstitusi, hlm. 138
inisiatif guna membubarkan partai politik yang
bersangkutan menurut prosedur hukum yang berlaku.
Namun permasalahan yang kemudian muncul adalah justru
partai politik pemerintah lah yang bermasalah. Jika hal ini
terjadi, tentu akan menimbulkan potensi conflict of interest
antara pemerintah dan partai politik bersangkutan yang
berujung pada “ketidakmungkinan” pemerintah mengambil
inisiatif untuk mengusulkan pembubaran terhadap partai
politiknya sendiri. Apabila itu benar terjadi, tentu hal ini
mencederai nilai-nilai demokrasi yang ada di Indonesia. 294
Sehingga tidak tepat jika pemerintah dijadikan sebagai satu-
satunya pihak pemohon dalam usul pembubaran partai
politik. Untuk itulah alasan perluasan pemohon
pembubaran partai politik di Indonesia perlu dilakukan.
Perluasan pemohon pada pembubaran partai politik
merupakan konsekuensi logis dari ketentuan pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 yaitu Indonesia adalah negara
hukum. Meskipun dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-
undangan tidak dijelaskan secara eksplisit konsep negara
hukum apa yang dianut oleh Indonesia, namun sejatinya
terdapat banyak doktrin yang menjelaskan prinsip-prinsip
negara hukum itu. Pertama, Menurut F.J Stahl konsekuensi
suatu negara menganut paham negara hukum adalah:
a. Pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia;
b. Pemisahan kekuasaan negara;
c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang;
d. Adanya peradilan administrasi.295
294
Hastuti, Urgensi Perluasan Permohonan Pembubaran Partai Politik di
Indonesia, hlm. 563.
295
Fatkhurohman, Dian Aminudin dan Sirajuddin, Memahami
Keberadaan Mahkamah Konstitusi Di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2004), hlm. 6.
Menurut Prof Jimly Asshiddiqie untuk mewujudkan
satu negara hukum yang hakiki, dibutuhkan pilar
penyangga yang terdiri dari:
a. Supremasi hukum;
b. Persamaan dalam hukum;
c. Asas legalitas;
d. Organ-organ pendukung yang independen;
e. Peradilan bebas dan tidak memihak;
f. Peradilan Tata Usaha Negara;
g. Peradilan Tata Negara;
h. Perlindungan Hak Asasi Manusia;
i. Bersifat demokratis;
j. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan
bernegara;
k. Adanya transparansi dan kontrol sosial.296
296
Jimly Asshiddiqie (7), Model-Model Pengujian Konstitusional di
Berbagai Negara, cet. 3, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 53-65.
297
M. Scheltema, “De Reechsstaat” dalam J.W.M. Engels, et. Al., De
Rechstaat Herdacht (W.E.J. Tjeenk Willink-Zwole, 1989), hlm. 15-22.
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa
segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Asas
inilah yang menyertakan seluruh warga negara Indonesia,
baik penguasa maupun rakyat biasa. Bila tidak ada
persamaan hukum, maka orang yang mempunyai
kekuasaan akan merasa kebal hukum.
Lebih lanjut menurut Prof. Mardjono Reksodiputro,
asas persamaan di hadapan hukum mengandung arti bahwa
“semua warga harus mendapat perlindungan yang sama
dalam hukum, tidak boleh ada diskriminasi dalam
perlindungan hukum ini. Menurut Beliau pula, asas ini
diimplementasikan ke dalam dua kata kunci yakni
‘perlindungan’ dan ‘perlakuan’ dalam hukum. Persamaan
‘perlindungan’ dapat ditafsirkan sebagai perintah kepada
Negara untuk memberi perlindungan hukum yang sama
adilnya (fairness) kepada setiap warga negara. Dalam
sebuah Negara dengan masyarakat majemuk atau bersifat
multikultural seperti Indonesia, makna perlindungan lebih
dialamatkan kepada kelompok minoritas sebab terdapat
tendensi ketidakadilan dari kelompok mayoritas.
Itu artinya jika ditarik dalam permasalahan legal
standing sengketa pembubaran partai politik di Mahkamah
Konstitusi, sejatinya pemberian legal standing yang hanya
diberikan kepada pemerintah pusat tidak sesuai dengan
amanat Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sebab
mendiskriminasi warga negara berdasarkan jabatannya
yakni hanya pemerintah cq pemerintah pusat saja yang
boleh mengajukan permohonan sedangkan warga negara
lainnya tidak diperbolehkan. Kemudian berdasarkan Pasal
28C Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa setiap
orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa dan negaranya.
Dalam RUU ini ditambahkan perluasan pemohon
pembubaran partai politik yang diberikan kepada DPR,
Badan Hukum Publik dan Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu). Keterlibatan unsur unsur yang disebutkan
sebelumnya sebagai pemohon pembubaran partai politik
tentu menjadi hal yang relevan dalam upaya mewujudkan
sistem pemilu yang demokratis.
Di dalam sistem pemilu yang demokratis, rakyat
diposisikan sebagai pemegang kedaulatan tertinggi termasuk
dalam kehidupan berpolitik. Dengan kata lain, keterlibatan
rakyat secara aktif dalam hal pengawasan dan evaluasi
terhadap partai politik menjadi suatu keniscayaan yang
tidak dapat dinafikkan.298 Penambahan kewenangan kepada
DPR merupakan representasi dari pasal 1 ayat (2) yang
menyatakan kedaulatan berada di tangan rakyat. Jimly
Asshidiqie pun menegaskan bahwa kedaulatan adalah
konsepsi kekuasaan tertinggi yang berhubungan dengan
negara yang mana kekuasaan tersebut menentukan tujuan
dan cita-cita sendiri, mengelola sumber daya sendiri, serta
memilih dan menentukan jalan sendiri untuk mencapai
tujuan dan cita-cita tersebut. Rousseau pun menjelaskan
mengenai kedaulatan rakyat bahwa rakyat diartikan sebagai
pihak yang paling berkehendak sehingga pelaksanaan
pemerintahan itu merupakan keinginan atau atas kuasa
dari rakyat.299 Jadi rakyatlah yang berdaulat dan memegang
298
Allan F.G Wardhana & Harry Setya Nugraha, “Pemberian Legal
Standing kepada Perseorangan atau Kelompok Masyarakat dalam Usul
Pembubaran Partai Politik”, Jurnal Ius Quia Iustum Nomor 4 Volume 20,
Oktober 2013, hlm. 533
299
Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social (Perjanjian Sosial),
(Jakarta: Visimedia, 2009), hlm. 56.
kekuasaan tertinggi dalam negara dalam merencanakan,
mengatur, melaksanakan dan melakukan penugasan serta
penilaian terhadap pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan
itu.300 Tanpa adanya rakyat maka tidak akan mungkin ada
demokrasi, pemilu ataupun partai politik sehingga dapat
disimpulkan bahwa pusat kekuasaan berdasarkan prinsip
kedaulatan rakyat adalah rakyat itu sendiri. Terdapat dua
prinsip dalam mengimplementasikan kedaulatan rakyat,
pertama prinsip kedaulatan rakyat itu dilaksanakan melalui
pendelegasian kekuasaan ke dalam bentuk institusi-institusi
(representative democracy), kedua prinsip kedaulatan rakyat
itu dilaksanakan langsung oleh rakyat seperti pelaksanaan
pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil
Presiden maupun DPR serta DPRD (direct democracy).301
Rakyat yang pada dasarnya memiliki kedaulatan
tertinggi, kemudian merepresentasikannya melalui wakil-
wakil yang dipilih oleh rakyat secara langsung dalam
mekanisme pemilu legislatif yang menghasilkan anggota
DPR sebagai wakil rakyat. Dengan demikian rakyat tetap
dapat memiliki kewenangan untuk mengawasi partai politik
melalui wakilnya di DPR.
Selain DPR, dalam RUU ini ditambahkan juga
kewenangan kepada badan hukum publik dan Bawaslu
sebagai pihak yang dapat menjadi pemohon dalam
pembubaran partai politik. Terhadap badan hukum publik,
tentu tidak semua badan hukum publik dapat mengajukan
300
Jimly Asshiddiqie (6), Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia
Pasca Reformasi, (Jakarta : Gramedia, 2007), hlm. 292-295.
301
Ian Budge, “Direct & Representative Democracy: Are They Necessary
Opposed?” , (Colchester: University Colchester, 2005), hlm. 3-4, bandingkan
dengan Jimly Asshiddiqie, “Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan
Pelaksanaanya Di Indonesia: Pergesertan Keseimbangan Antara Individualisme
dan Kolektivisme Dalam Kebijakan Demokrasi Politik Dan demokrasi Ekonomi
Selama Tiga Masa Demokrasi, 1945-1980an”, (disertasi Universitas Indonesia,
Jakarta, 1993), hlm. 73.
permohonan kepada MK. Adapun syarat sebagai pemohon
badan hukum publik adalah:
a. Berbentuk badan hukum;
b. Menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa
badan hukum publik tersebut didirikan untuk
membangun etika dan budaya politik dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara; dan
c. Telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan
anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun.
302
Jamaluddin Ghafur dan Allan F.G Wardhana, Gagasan Perluasan
Kewenangan Bawaslu Sebagai Pemohon Dalam Mengajukan Permohonan
Pembubaran Partai Politik Di Mahkamah Konstitusi, Penelitian DPPM UII,
Yogyakarta, 2016, hlm. 76.
untuk dibubarkan.303 Oleh karena yang memiliki otoritas
dan kewenangan dalam mengawasi penyelenggaraan pemilu
tersebut adalah Bawaslu, maka menjadi masuk akal jika
Bawaslu dilibatkan sebagai pemohon dalam pembubaran
partai politik di Indonesia.304 Hal diperkuat oleh pendapat
Jimly Asshidiqqie dalam forum Seminar Internasional
bertajuk “Democracy, Election, and Election Supervision In
Connection to Exchange of view And Election System
Comparison On Election With Partner Countries”, pada intinya
mengatakan bahwa:
“dinamika pemilu di Indonesia kian dinamis. Termasuk
dalam hal pelanggaran-pelanggaran pemilu yang
dilakukan oleh partai politik peserta pemilu. Untuk itu,
dibutuhkan sebuah gagasan-gagasan baru dalam
memperbaharui sistem pemilu kita. Salah satunya
memaksimalkan fungsi pengawasan Bawaslu dengan
memberikannya legal standing sebagai pemohon dalam
pembubaran partai politik yang terbukti melakukan
pelanggaran pemilu”.305
Secara garis besar, perluasan pemohon pada
pembubaran partai politik merupakan upaya pengawasan
yang lebih maksimal kepada partai politik dalam merespons
perkembangan ketatanegaraan di Indonesia dan sebagai
upaya untuk melindungi hak konstitusional dari seluruh
Warga Negara Indonesia.
303
Hastuti, Urgensi Perluasan Permohonan Pembubaran Partai Politik di
Indonesia, hlm. 565.
304
Ibid.
305
Jimly Asshidiqqi, Pidato Kunci yang disampaikan dalam International
Seminar: Democracy, Election, and Election Supervision In Connection to
Exchange of view And Election System Comparison On Election With Partner
Countries, Yogyakarta, 2016
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia memiliki
empat wewenang yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD
NRI 1945, yakni:
a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar NRI 1945;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar
NRI 1945;
c. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
dan
d. Memutus pembubaran partai politik.
Dari empat kewenangan MK tersebut, yang berkaitan
dengan pembahasan ultra petita adalah kewenangan
pertama, yakni pengujian Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945. Ultra petita sendiri adalah
penjatuhan putusan oleh hakim atas suatu perkara yang
tidak dituntut atau memutus melebihi apa yang diminta
oleh Pemohon. Asas non ultra petita merupakan larangan
yang lazim disebut sebagai ultra petitum partium.
306
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
hlm.801.
dimiliki orang-perseorangan terletak pada kehendak atau
pertimbangan orang tersebut. Permintaan seseorang dalam
acara perdata tidak dapat dilampaui. Alasannya adalah jika
hakim mengabulkan lebih dari permohonan, maka ada
kemungkinan hasilnya akan merugikan kepentingan
Pemohon yang bersangkutan.
307
Lihat Putusan MK No.48/PUU-IX/2009, halaman 92.
Undang-Undang dibatalkan. Namun, berdasarkan prinsip ex
aequo et bono, hakim dapat menjatuhkan putusan yang adil
dan patut menurut hukum. Hal tersebut sejalan dengan
pendapat Bagir Manan yang menyebutkan bahwa ultra
petita dapat dibenarkan jika dalam permohonan review
Pemohon mencantumkan permohonan ex aequo et bono.308
308
Haposan Siallagan, “Masalah Putusan Ultra Petita dalam Pengujian
Undang-Undang,” Mimbar Hukum, Vol.22, No.1, Februari 2010, hlm.74.
309
Jimly Assiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, hlm.205.
310
Jimly Assiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, hlm.206.
yang dimaksud untuk sampai pada keyakinan dalam
menjatuhkan putusan yang bersifat final dan mengikat. 311 Di
samping itu, Mahkamah Konstitusi juga peradilan
konstitusional tingkat terakhir. Artinya, tidak ada lagi upaya
hukum di atasnya atau upaya hukum lain yang dapat
menganulir putusan final dan mengikat Mahkamah
Konstitusi tersebut. Karena itu, proses pembuktian dalam
pemeriksaan perkara pengujian undang-undang haruslah
bersifat materiil. Pembuktian harus dilakukan dengan
tujuan menemukan kebenaran materiil (the underlying
factual and truths).
311
Jimly Assiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, hlm.206.
312
Lihat Putusan MK No.48/PUU-IX/2009, hlm.93.
313
Andrei Marmor, Interpretation and Legal Theory, (Oxford and Portland-
OregonLHart Publishing,2005), hlm.143.
memperhatikan posisi MK sebagai penjaga atau pengawal
konstitusi melalui pengujian konstitusionalitas undang-
undang. Untuk menjalankan tujuan tersebut, hakim
konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.
314
Satjipto Rahardjo, “Hukum Progresif, Hukum yang Membebaskan”,
Jurnal Hukum Progresif, Vol.1, No.1, April 2015, PDIH UNDIP, Semarang, hlm.5.
315
Hery Abduh Sasmito, “Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi
dalam Pengujian Undang-Undang (Suatu Perspektif Hukum Progresif),” Jurnal
Law reform, Vol.6, No.2, Oktober 2011,hlm.9.
dan arti tidak dibatasi secara restriktif bentuk dan isi
amarnya.
316
Jimly Assiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,2005), hlm.5
Beberapa Contoh Putusan Mahkamah Konstitusi yang
Mengandung Ultra Petita
a. Putusan No.001-021-022/PUU-I/2003
Putusan tersebut merupakan putusan pembatalan
Undang-Undang Ketenagalistrikan. Meskipun hanya
Pasal 16, 17 ayat (3) da Pasal 68 UU Ketenagalistrikan
yang dipandang bertentangan dengan UUD NRI 1945,
namun karena ketentuan yang mengatur masalah
unbundling dan kompetisi tersebut merupakan jantung
dari UU Ketenagalistrikan tidak sesuai dengan semangat
Pasal 33 ayat (2) UUD NRI 1945, maka keseluruhan UU
Ketengaalistrikan dianggap bertentangan dengan UUD
NRI 1945.
b. Putusan No.006-PUU-IV/2006
Dalam putusan dinyatakan bahwa semua
operasionalisasi putusan mengenai Undang-Undang
tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
bergantung dan bermuara pada Pasal 27. Dengan
dinyatakannya Pasal 27 UU KKR bertentangan dengan
UUD NRI 1945, maka seluruh ketentuan dalam UU KKR
menjadi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
karena tidak mungkin dilaksanakan. Alasannya adalah
keberadaan Pasal 27 akan berkaitan dengan banyak
pasal diantaranya Pasal 1 angka 9, Pasal 6 huruf c, Pasal
7 ayat (1) huruf g, Pasal 25 ayat (1) huruf b, Pasal 25 ayat
(4), ayat (5), ayat (6), Pasal 26, Pasal 28 ayat (1), dan
Pasal 29 UU KKR. Pasal-pasal yang terkait dengan Pasal
27 UU KKR merupakan pasal-pasal yang sangat
menentukan bekerja atau tidaknya keseluruhan
ketentuan dalam UU KKR.
c. Putusan Perkara Nomor 003/PUU-IV/2006
Dalam perkara ini, Pemohon mengajukan permohonan
pengujian undang-undang Republik Indonesia Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya
disebut UU PTPK) terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pokok permohonannya adalah pengujian materiil
terhadap Pasal 2 ayat (1), Penjelasan Pasal 2 ayat (1),
Pasal 3, Penjelasan Pasal 3 (sepanjang menyangkut kata
dapat), dan Pasal 15 (sepanjang mengenai kata
percobaan) yang dianggap secara nyata bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan
“setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Dalam putusannya, majelis hakim Mahkamah
Konstitusi memberikan putusan mengabulkan
permohonan pemohon sebagian. Pasal 2 ayat (1), Pasal 3,
Penjelasan Pasal 3 (sepanjang kata dapat), Pasal 15
(sepanjang mengenai kata percobaan) UU PTPK yang
dimohonkan oleh Pemohon ditolak oleh majelis hakim
MK. Sedangkan, majelis hakim menyatakan bahwa
penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sepanjang frasa yang berbunyi:
“yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’
dalam pasal ini cukup mencakup perbuatan melawan
hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil,
yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur
dalam peraturan perundang-undangan, namun
namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela
karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau
norma-norma kehidupan sosial dalam masarakat,
maka perbuatan tersebut dapat dipidana.”
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999
dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945
sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan
bahwa penjelasan Pasal 2 UU PTPK yang berkaitan
dengan perbuatan melawan hukum dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan mengikat, padahal Pemohon tidak
memohon penjelasan Pasal 2 UU PTPK mengenai
perbuatan melawan hukum yang dimaksud. Maka,
dalam perkara ini, terjadi putusan ultra petita yang
dikeluarkan Mahkamah Konstitusi.
320
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm.129
321
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,
hlm.129.
322
Mantan Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi RI Periode 2008-2013
dan juga merupakan guru besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
terperosok pada kesewenang-wenangan hakim.323 Batasan
ultra petita :
Gambar 1
323
Achmad Aprianto, Batasan Ultra Petita Putusan Mahkamah Konstitusi
dalam Pengujian Undang-Undang di Indonesia, (Malang: Universitas Brawijaya),
hlm.15.
hakim konstitusi menemukan rasionalisasi dan
pertimbangan sebagai berikut:
a. Adanya kemanfaatan dan keadilan yang ingin dicapai
berdasarkan tuntutan masyarakat.
b. Adanya kekosongan hukum (rechtvacum) atas undang-
undang yang dimohonkan. Dalam hal ini, hakim dapat
merumuskan norma baru sebagai upaya untuk
mengisi kekosongan hukum yang ada.
c. Dapat dilakukan apabila dihadapkan pada suatu
permasalahan yang bersifat mendesak dan waktunya
sempit, sehingga hakim cukup menyatakan dengan
putusan inkonstitusional dan tidak memungkinkan
pula untuk DPR membuat aturan hukum baru.
d. Dilaksanakan hanya untuk satu kali atau sampai
badan legislative membuat aturan penggantinya.
Artinya, Mahkamah Konstitusi dapat saja
merumuskan suatu norma baru. Namun, hanya
dilakukan satu kali terhadap undang-undang yang
sama. Setelah itu, pembentuk undang-undang
(legislator) berkewajiban untuk langsung melakukan
revisi terhadap undang-undang tersebut.
324
Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi: Upaya Mewujudkan Negara
Hukum Demokrasi, (Yogyakarta:Total Media, 2009), hlm.77.
putusan MK No.004/PUU-I/2003 perihal permohonan
pengujian Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung dan permohonan mengesampingkan
Pasal 50 dan 51 UU MK No.24 Tahun 2003. Namun, amar
putusan tersebut menyatakan permohonan tidak dapat
diterima karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
diatur dalam Pasal 50 dan 51 UU MK No.24 Tahun 2003.
325
Moh.Mahfud MD, “Rambu Pembatas dan Perluasan Kewenangan
Mahkamah Konstitusi, Jurnal Hukum, No.4, Vol.16, Oktober 2009, hlm.454.
326
Maurar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm.68.
Dalam Putusan No.49/PUU-IX/2011 perihal pengujian
UU MK No.8 Tahun 2011, Mahkamah Konstitusi memberi
penjelasan mengapa Mahkamah Konstitusi berwenang
menguji undang-undang yang mengatur eksistensinya dan
menghilangkan keraguan mengenai objektivitas, netralitas,
dan imparsialitas hakim Mahkamah Konstitusi. Pertama,
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang diberi
kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD
1945. Kedua, Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga
yang berfungsi mengawal konstitusi atau UUD (penafsir
akhir UUD ketika terjadi sengketa konstitusional). Ketiga,
karena undang-undang yang dimohonkan pengujian
menyangkut Mahkamah Konstitusi itu sendiri sehingga
terkait dengan prinsip universal di dalam dunia peradilan
tentang nemo judex in causa sua. Namun, terkait dengan
nemo judex in causa sua dalam konteks ini ada tiga alasan
Mahkamah Konstitusi harus mengadili permohonan
pengujian undang-undang ini yaitu: (i) tidak ada forum lain
yang bisa mengadili permohonan ini; (ii) MK tidak boleh
menolak mengadili permohonan yang diajukan kepadanya
dengan alasan tidak ada atau tidak jelas mengenai
hukumnya; (iii) kasus ini merupakan kepentingan
konstitusional bangsa dan negara, bukan semata-mata
kepentingan institusi MK itu sendiri atau kepentingan
perseorangan hakim konstitusi yang sedang menjabat.
Keempat, salah satu objectum litis dari proses peradilan di
Mahkamah Konstitusi adalah masalah konstitusionalitas
undang-undang yang menyangkut kepentingan publik yang
dijamin oleh konstitusi sebagai hukum yang tertinggi. Oleh
karena itu, Mahkamah Konstitusi lebih menekankan pada
fungsi dan tugasnya mengawal dan menegakkan konstitusi
dengan tetap menjaga prinsip independensi dan
imparsialitas dalam keseluruhan proses peradilan.
Gambar 2
327
I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional
Complaint): Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga
Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm.313-314.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji
sendiri undang-undang yang terkait dengan eksistensinya
sering dibandingkan dengan legislative review. Legislative
review adalah upaya ke lembaga legislatif atau lembaga lain
yang memiliki kewenangan legislasi untuk mengubah suatu
peraturan perundang-undangan. Dalam legislative review,
setiap orang dapat meminta agar lembaga yang memiliki
fungsi legislasi untuk melakukan revisi terhadap produk
hukum yang dibuatnya dengan alasan, misalnya peraturan
perundang-undangan itu tidak sesuai lagi dengan
perkembangan zaman, bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang sederajat
secara horizontal. Dilakukannya legislative review terhadap
undang-undang yang mengatur eksistensi Mahkamah
Konstitusi tidak memberi jaminan bahwa pembentuk
undang-undang akan membuat undang-undang terbaik bagi
Mahkamah Konstitusi dan tidak bertentangan dengan UUD
1945. Nyata bahwa norma hukum yang dirumuskan atau
undang-undang terpengaruhi kompromi politik yang
seringkali lebih kuat dibandingkan hukum. Hal tersebut
telah terbukti dalam beberapa pasal Undang-undang
Mahkamah Konstitusi yang secara nyata bertentangan
dengan konstitusi karena mereduksi dan menghalangi
kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menegakkan
konstitusi Indonesia, yakni UUD NRI 1945. 328
328
Tanto Lailam, “Pro-Kontra Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam
Menguji Undang-Undang yang Mengatur Eksistensinya”, Jurnal Konstitusi,
Vol.12, No.4, Desember 2015, hlm.819.
tanggung jawab. Kewenangan Mahkamah Konstitusi ini
harus dilakukan oleh hakim yang adil dan mampu
memaknai konstitusi sebagai the living constitution sehingga
dalam menafsirkan konstitusi yang diutamakan adalah
perkembangan masyarakat saat ini.329 Hakim Mahkamah
Konstitusi juga harus terseleksi moralitasnya dan bebas dari
kepentingan partai politik. Perlu pengawasan mulai dari
proses rekuitmen hakim konstitusi oleh DPR, Presiden, dan
Mahkamah Agung serta pengawasan terhadap setiap
putusan yang dikeluarkan. Ada atau tidaknya rambu-rambu
jangan sampai menjadi penghalang tegaknya konstitusi
hukum dan keadilan. Untuk itu, yang perlu menjadi
perhatian hakim Mahkamah Konstitusi adalah kewenangan
dalam penegakan hukum harus tetap berdasar pada
Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan roh dan penentu
arah hukum Indonesia.330
331
Phillip A. Talmadge, “Understanding the Limits of Power: Judicial
Restrain in General Jurisdiction Court Systems,” Seattle University Law Review,
No.695, 1999, hlm.711.
332
Dalam bukunya, Aharon Barak mengatakan bahwa “judicial restrain is
the judicial tendency, conscious or unconscious to achieve the proper balance
between conflicting social values by preserving existing law rather than creating
new law.” Lihat Aharon Barak, “Judge in Democacy”, hlm.271.
hukum sebagai kewenangannya (limited jurisdiction).333
Rebecca Zietlow mengungkapkan bahwa judicial restraint
merupakan implementasi dari pengakuan dan
penghormatan hakim kepada cabang kekuasaan politik
sebagai cabang kekuasaan yang berwenang untuk
membentuk hukum dalam kerangka demokrasi. Oleh karena
itu, Zietlow mengungkapkan bahwa hakim atau pengadilan
sebaiknya menerapkan judicial restrain kapanpun
dimungkinkan.334
333
Phillip A. Talmadge, Understanding the Limits of Power: Judicial
Restrain, hlm.707.
334
Rebecca Zietlow : “Restrained judges recognize the institutional
advantages of the political branches when they create law and respect their
authority to do so. Judicial restrain is thus rooted in a majoritarian conception of
American democracy. Hence, judges should use judicial restrain whenever
possible.” Rebecca E. Zietlow, The Judicial Restrain of the Warren Court (and
Why it Matters), Toledo, 2006, hlm.9.
335
Wicaksana Dramanda, “Menggagas Penerapan Judicial Restraint di
Mahkamah Konstitusi,” Jurnal Konstitusi, Vol.11, No.4, Desember 2014,
hlm.621.
1945 yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah
Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, mengadili sengketa antar
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD, mengadili sengketa hasil pemilihan umum,
mengadili permohonan pembubaran partai politik, dan
mengadili pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden telah melakukan pelanggaran hukum. Pasal 24C
UUD NRI 1945 yang mengatur kewenangan Mahkamah
Konstitusi merupakan norma tertutup yang tidak
memungkinkan adanya penambahakn kewenangan bagi
Mahkamah Konstitusi selain melalui amandemen
Undang-Undang Dasar.336 Dengan pembatasan
konstitusional tersebut, diharapkan kekuasaan
kehakiman tidak mengganggu kewenangan
konstitusional cabang kekuasaan yang lain.
339
Ni’matul Huda, Perkembangan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam
Upaya Menegakkan Hukum dan Keadilan, dalam “M. Solly Lubis, Paradigma
Kebijakan Hukum Pasca Reformasi,” (Jakarta: Sofmedia, 2010), hlm. 311.
sudah diuji tersebut. Bilamana syarat itu tidak dipenuhi
atau ditafsirkan lain oleh addressat putusan MK, maka
ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut dapat
diajukan pengujian kembali ke MK (re-judicial review).
340
Putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Perkara Nomor
008/PUU-III/2005 tanggal 19 Juli 2005.
341
Putusan Nomor 27/PUU-IX/2011 tanggal 17 Januari 2012.
hukum mengikat tersebut sehingga jika dilanggar dapat
dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum dan batal
demi hukum sejak semula (ad initio).
342
Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi,
Dinamika Penegakan Hak Konstitusional Warga Negara Laporan Tahunan
Mahkamah Konstitusi RI 2012, (Jakarta: Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal
Mahkamah Konstitusi, 2013) hal. 72.
putusan MK. Selanjutnya dinyatakan, tindak lanjut putusan
MK tersebut dilakukan oleh DPR atau Presiden. 343 Hadirnya
dua simpul kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif
dalam pembentukan undang-undang tersebut menjadi pilar
untuk mencapai proses penciptaan undang-undang
(legislasi) yang ideal. Proses legislasi dalam hubungan kedua
kekuasaan dimaksud tidak hanya pembentukan undang-
undang an sich, akan tetapi juga memposisikan pengujian
undang-undang dalam hal ini putusan MK dalam proses
legislasi. Dalam level ini, DPR dan Pemerintah/Presiden
sesungguhnya memiliki posisi yang krusial terhadap
putusan yang dijatuhkan MK, karena kedua lembaga inilah
yang dapat menjaga sekaligus mengawal konsistensi
penafsiran putusan MK. Putusan MK wajib dijadikan
rujukan dalam proses pembuatan undang-undang bahkan
seharusnya menjadi paradigma politik hukum ke depan. Hal
ini dimaksudkan, agar undang-undang yang akan dibentuk
sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam putusan MK,
sehingga materinya tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Lebih-lebih terhadap putusan yang dinyatakan bersyarat
oleh MK, sebab pada tahap inilah peran pembentuk undang-
undang dituntut untuk menjaga konsistensi penafsiran
putusan MK yang nantinya akan dituangkan dalam bentuk
undang-undang. Bagi MK sendiri, ada hal yang patut
diperhatikan terkait tindak lanjut putusannya, yaitu:
pertama, selama ini tidak ada ketentuan mengenai waktu
yang harus dipenuhi untuk segera melakukan tindak lanjut
343
Yang dimaksud dengan “tindak lanjut atas putusan Mahkamah
Konstitusi” terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian
UndangUndang terhadap Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia
Tahun 1945. Materi muatan yang dibuat, terkait dengan ayat, pasal, dan/atau
bagian Undang-Undang yang secara tegas dinyatakan dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
putusanya. Kedua, tidak ada kejelasan dan kepastian
mengenai lembaga mana yang harus berperan diawal untuk
menindaklanjuti putusan MK.344 Selain itu, di beberapa
putusan MK tindak lanjut putusan tersebut tidak
bersesuaian dengan penafsiran MK. Untuk mengatasi hal
tersebut, diperlukan instrumen hukum, antara lain, yang
disebut judicial order, yaitu kewenangan MK untuk
memerintahkan secara paksa pada addresat untuk
melaksanakan putusan MK.345 Hal ini menegaskan
pemaknaan erga omnes putusan MK tidak hanya
diberlakukan terhadap undang- undang yang diuji akan
tetapi berlaku juga terhadap peraturan perundang-
undangan memuat norma yang telah diuji
konstitusionalitasnya sehingga akan tercipta harmonisasi
peraturan perundang-undangan baik secara vertikal
maupun horizontal.
344
M. Nur Solihin dalam Lexy Armanjaya, “Dekonstruksi Kewenangan
Legislasi dari DPR ke Mahkamah Konstitusi (MK) Analisis Sosio Legal,” Jurnal
Konstitusi, Vol.5 Nomor 2 November 2008 hal. 66
345
Di Amerika Serikat dikenal dengan istilah instrument injunction yaitu
memerintah kepada perseorangan atau institusi untuk mentaati putusan
Supreme Court. Adapun di Jerman dikenal dengan Judicial Order. Federal
Constitutional Court (FCC) dapat menerbitkan judicial order yang mewajibkan
adressat untuk mematuhi interpretasi konstitusional FCC.
konstitusionalitasnya, sehingga apabila maksud tersebut
ternyata bertentangan, hal itu menunjukkan bahwa
Undang-Undang yang bersangkutan memang bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar.
346
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 123/PUU-XIII/2015,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/
Test-123_PUU-XIII_2015.pdf, hal. 144-145
Kedua, Batas waktu pengajuan permohonan pengujian
formil undang-undang. Ketentuan mengenai hal ini lahir dari
Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 tanggal 16 Juni 2010. Dalam
putusan pengujian UU Mahkamah Agung tersebut, Mahkamah
Konstitusi menegaskan bahwa tenggat 45 (empat puluh lima) hari
setelah undang-undang dimuat dalam Lembaran Negara
merupakan waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian
formil terhadap undang-undang;
Ketiga, Kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji
peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu).
Kewenangan ini lahir dari Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009
tanggal 8 Februari 2010. Mahkamah Konstitusi menyatakan
bahwa oleh karena perpu dapat menimbulkan norma hukum yang
kekuatannya mengikat sama dengan undang-undang, maka
terhadap perpu dapat diuji di Mahkamah Konstitusi;
Keempat, terkait dengan syarat kerugian konstitusional bagi
Pemohon perkara pengujian undang-undang. Dalam beberapa
putusan, Mahkamah Konstitusi memberikan persyaratan
mengenai kerugian konstitusional. Bahwa, Pasal 51 ayat (1) UU
Mahkamah Konstitusi telah menentukan dua kriteria yang harus
dipenuhi agar pemohon memiliki kedudukan hukum (legal
standing), yaitu (i) kualifikasi Pemohon apakah sebagai perorangan
warga Negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama), kesatuan masyarakat hukum adat
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang, badan hukum publik atau privat,
atau lembaga negara; dan (ii) anggapan bahwa dalam kualifikasi
demikian, terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional
pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang.
Melalui Putusan 006/PUU-III/2005 dalam pengujian UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Mahkamah
Konstitusi menegaskan bahwa kerugian konstitusional yang
timbul karena berlakunya suatu undang- undang menurut Pasal
51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi harus memenuhi 5 (lima)
syarat, yaitu:
1) adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2) bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh
Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang
diuji;
3) bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud
bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya
bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
4) adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara
kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan
untuk diuji;
5) adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya
permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan
tidak akan atau tidak lagi terjadi.
347
Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi dalam Upaya Mewujudkan
Negara Hukum Demokrasi, (Yogyakarta: Kreasi Total Media,2007), hlm, 333
yang sedang terlibat dalam proses litigasi di pengadilan.
Sebab, tidak ada mekanisme yang dapat melindungi warga
negara yang sedang terlibat dalam suatu proses litigasi di
pengadilan dari ancaman penerapan undang-undang yang
diduga bertentangan dengan UUD.348
Selain itu, kita perlu menyadari bahwa Mahkamah
Konstitusi itu dipahami tidak sebatas mempersoalkan
produk undang-undang yang dipandang bertentangan
dengan konstitusi, namun fundamentum petendi (geschil
punt) dari Mahkamah Konstitusi adalah mengadili sengketa
yang timbul di bidang pelaksanaan kaidah konstitusi.
Adapun, pelanggaran pelaksanaan kaidah hukum yang
dipersoalkan dapat dilakukan melalui perbuatan eksekutif
melalui kebijakannya, perbuatan legislatif melalui produk-
produknya, hingga perbuatan lembaga yudikatif melalui
putusannya.349 Dengan adanya mekanisme constitutional
question, kerugian hak-hak konstitusional warga negara
akibat penerapan hukum yang bertentangan dengan
Konstitusi dapat dicegah. Sebab, apabila hakim ragu akan
konstitusionalitas undang-undang yang akan ia terapkan
maka ia dapat mengajukan “pertanyaan konstitusional”
kepada Mahkamah Konstitusi untuk menentukan
konstitusionalitas dari undang-undang yang bersangkutan
sebelum putusan pengadilan atas kasus tersebut
dijatuhkan.350
348
Hamid Chalid, “Urgensi dan Upaya Implementasi Mekanisme
Constitutional Question melalui Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,”
dalam 60 Tahun Jimly Asshiddiqie, ed. Nur Hidayat Sardini dan Gunawan
Suswantoro (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016), hlm.
349
Firmansyah Arifin, et.al.,eds., Hukum dan Kuasa Konstitusi (Jakarta:
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, 2004), hlm. 77.
350
Chalid, “Urgensi dan Upaya Implementasi Mekanisme Constitutional
Question,” hlm. 357.
Dalam RUU ini, dimasukkan salah satu legal standing
pada kewenangan Pengujian Undang-undang yang dapat
dimohonkan oleh Hakim peradilan umum di bawah
Mahkamah Agung untuk pertanyaan konstitusionalitas
terhadap peraturan perundang-undangan yang sedang di uji
di Mahkamah Agung. Penambahan perluasan kewenangan
ini sangat penting dan signifikan dalam upaya harmonisasi
antar peraturan perundang-undangan yang sedang di uji di
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Dengan
adanya penambahan ini, maka berdampak kepada:
a. Penambahan jumlah permohonan di MK
b. penambahan anggaran perkara
c. penambahan sumber daya manusia
352
Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di
Sepuluh Negara, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, 2006), hlm
melakukan pelanggaran pemilu yang sifatnya terstruktur,
sistematis dan masif.353
Dalam RUU ini, dimasukan salah satu legal standing
pada kewenangan pembubaran partai politik yang diberikan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai representasi
rakyat dan Badan Hukum Publik serta Bawaslu.
Penambahan ini secara umum akan berdampak kepada :
a. Sistem yang partisipatif
b. Penambahan jumlah permohonan di MK
c. Penambahan anggaran perkara
353
Sri Hastuti, et al., “Urgensi Perluasan Permohonan Pembubaran Partai
Politik di Indonesia”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum Volume 23 Issue 4, Oktober
2016, hlm.554-555.
dapat dipilih kembali. Dengan menghapus periodisasi jabatan
hakim akan berdampak pada:
a. Independensi hakim yang pada akhirnya meningkatkan
kinerja hakim.
b. Berdampak pada pengaturan masa jabatan ketua dan
wakil ketua MK serta usia pensiun hakim MK.
c. Berdampak pada efisiensi proses yang pada akhirnya
berdampak pada efisiensi anggaran.
355
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Ps. 24C.
356
Arifin, Hukum dan Kuasa Konstitusi, hlm. 174.
Gambaran mengenai supremasi konstitusi digambarkan secara
ringkas oleh Abbe de Sieyes, jurist asal Perancis yang mengatakan
bahwa: “A constitution is a body of obligatory laws, or it is
nothing.”357
Menurut Bagir Manan, Indonesia sebagai negara
berdasarkan konstitusi mengandung dua nilai, yaitu: 358
1. Nilai pengaturan mengenai batas-batas peran negara atau
pemerintah dalam mencampuri kehidupan dan pergaulan
masyarakat; dan
2. Melindungi kehendak rakyat dari pelanggaran terhadap hak
asasi manusia dari kekuasaan pembentuk dan pelaksana
undang-undang.
Selain itu, perkembangan sistem ketatanegaraan Republik
Indonesia menuju supremasi konstitusi sebagai hukum dasar
tertinggi negara, mengakomodir dua substansi keadilan konstitusi
(constitutional justice) yaitu:359
1. Mewujudkan negara hukum yang tujuannya untuk
melindungi kehendak rakyat dari pelanggaran undang-
undang; dan
2. Melindungi kehendak rakyat dari pelanggaran terhadap hak
asasi manusia dari kekuasaan pembentuk dan pelaksana
undang-undang.
Indonesia sebagai negara hukum yang menganut supremasi
konstitusi yang tidak terlepas dari tiga hal, yaitu konstitusi,
konstitusionalitas, dan konstitusionalisme. Konstitusi merupakan
hukum tertinggi, konstitusionalitas merupakan perbuatan dan
tindakan yang sesuai dengan konstitusi, dan konstitusionalisme
merupakan paham berkonstitusi warga negara. Salah satu unsur
dari Negara Hukum adalah pemenuhan terhadap hak-hak dasar
357
Chalid, “Urgensi dan Upaya Impelementasi…,” hlm. 365.
358
Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi, hlm. 333-334.
359
Ibid., hlm. 384.
warga negara dan paham konstitusionalisme. 360 Ruang lingkup
paham konstitusi (konstitusionalisme) itu sendiri terdiri dari:
1. Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada
hukum;
2. Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;
3. Peradilan yang bebas dan mandiri; dan
4. Pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik)
sebagai sendiri utama dari asas kedaulatan rakyat.361
Bila ditelusuri lebih jauh, pembentukan MK merupakan
konsekuensi dari negara hukum yang demokratis dan negara
demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukkan
bahwa suatu keputusan yang dicapai dengan demokrasi tidak
selalu sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar yang
berlaku sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu diperlukan
adanya peradilan konstitusi untuk menjamin supremasi
konstitusi, termasuk prinsip-prinsip yang ada di dalam konstitusi.
Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan MK merupakan
implementasi dari gagasan negara hukum yang salah satu cirinya
adalah menempatkan konstitusi sebagai hukum tertinggi.
Kewenangan yang dimiliki MK merupakan sarana untuk
menjadikan konstitusi sebagai dokumen hidup (a living document)
yang menentukan bentuk dan arah kekuasaan negara sesuai
dengan prinsip dasar dalam konstitusi berdasarkan demokrasi.
Dengan demikian, MK memberi kontribusi bagi terciptanya
kehidupan bernegara berdasarkan hukum dan demokrasi.362
Berdasarkan wewenang MK sebagaimana diatur dalam UUD
1945, MK mengemban fungsi sebagai pengawal konstitusi (the
360
Subiyanto, “Prospek Mahkamah Konstitusi…,”.
361
Dahlan Thaib, Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: PT Rajawali Pers,
2008), hlm. 2.
362
I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional: Upaya Hukum
Terhadap Pelangggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara (Studi
Kewenangan Mahkamah Konstitusi Indonesia dalam Perspektif Perbandingan),
Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 2011, hlm. 157.
guardian of the constitution). Hal tersebut membawa konsekuensi
MK sebagai penafsir konstitusi (the sole intepreter of the
constitution). Konstitusi sebagai hukum tertinggi mengatur
penyelenggaraan negara berdasarkan prinsip demokrasi dan salah
satu fungsi konstitusi adalah melindungi Hak Asasi Manusia. Oleh
karena itu, MK juga berfungsi sebagai pengawal demokrasi (the
guardian of the democracy), pelindung hak konstitusional warga
negara (the protector of the citizen’s constitutional rights) dan
pelindung HAM (the protector of human rights).
Fungsi MK sebagai pelindung HAM merupakan konsekuensi
dari keberadaan HAM sebagai materi muatan konstitusi
sebagaimana diatur dalam Pasal 28, Pasal 28A sampai dengan
Pasal 28J, serta hak-hak warga negara, yaitu dalam Pasal 27,
Pasal 30, dan Pasal 31 UUD NRI 1945. Adanya jaminan hak asasi
dalam konstitusi menjadikan negara memiliki kewajiban hukum
yang konstitusional untuk melindungi, menghormati, dan
memajukan hak-hak tersebut. Wewenang Mahkamah Konstitusi
menguji undang-undang dapat dilihat sebagai upaya melindungi
HAM yang dijamin UUD 1945 agar tidak dilanggar oleh ketentuan
undang-undang.363 Penegakan hukum dan keadilan melalui
pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi, selain
sebagai amanat UUD NRI 1945 dan UU MK sebagai instrumen
pelaksananya, pengujian ini juga merupakan perwujudan karakter
negara hukum Indonesia yang mengakui pengadilan sebagai
pengawal konstitusi, penegak negara hukum demokrasi, dan
akarnya negara hukum.364 Mahkamah Konstitusi juga berwenang
memutus perkara pembubaran partai politik yang dimaksudkan
agar pemerintah tidak dapat secara sewenang-wenang
363
Subiyanto, “Prospek Mahkamah Konstitusi…,”.
364
Iriyanto Baso Ence, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas
Mahkamah Konstitusi: Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi,
(Bandung: Alumni, 2008), hlm. 139.
membubarkan partai politik yang melanggar hak berserikat dan
mengeluarkan pendapat.365
Pasal 29
Pasal 20
(1) Ketentuan mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan
pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing
lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (1).
366
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemilu, UU Nomor 7 Tahun 2017,
LN Nomor 182, TLN Nomor 6109, Ps 1 ayat (1)
367
Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, Ps. 74 ayat
(2)
D. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota Menjadi Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 (Undang-Undang
tentang Pilkada) mengatur dalam Pasal 157 bahwa Mahkamah
Konstitusi mempunyai suatu kewenangan provisional yaitu untuk
memeriksa dan mengadili perselisihan penetapan perolehan suara
tahap akhir hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sampai
terbentuknya suatu badan peradilan khusus. Pengaturan tersebut
dapat dipandang sebagai suatu ekstensi kewenangan Mahkamah
Konstitusi yang seharusnya menurut Undang-Undang Dasar
hanya dapat mengadili dalam hal perselisihan hasil Pemilu. Hal
tersebut dapat dipandang sebagai sebuah diskrepansi dalam
pengaturan secara khusus karena Mahkamah Konstitusi telah
mengeluarkan pernyataan yang mengeluarkan Pilkada dari rezim
Pemilu atas dasar Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang meletakkan ketentuan mengenai
Pemilu368 dan Pilkada369 dalam dua pasal yang berbeda.370
Sudah sepatutnya bahwa Rancangan Undang-Undang
tentang Mahkamah Konstitusi tidak melanggengkan diskrepansi
tersebut namun meluruskan perbedaan yang ada. Untuk
melakukan hal tersebut tanpa menyalahi pengaturan dalam
konstitusi, maka kewenangan provisional Mahkamah Konstitusi
yang diatur dalam Undang-Undang tentang Pilkada tidak
sepatutnya dijadikan norma positif dalam Rancangan Undang-
Undang tentang Mahkamah Konstitusi. Dengan paradigma
368
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Ps. 22E
369
Ibid., Ps. 18 ayat (4)
370
Mahkamah Konstitusi, “MK Sebut Pilkada Bukan Rezim Pemilu,”
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?
page=web.Berita&id=10565#.WoGFQG9ubIW, Diakses pada 12 Februari, 2018
tersebut dibutuhkan juga konsistensi yaitu disegerakannya
penetapan badan peradilan khusus yang akan mengadili
perselisihan hasil Pilkada, dan suatu solusi alternatif oleh karena
Pilkada yang di luar rezim Pemilu seharusnya tidak dapat
dijalankan dan diawasi oleh Komisi Pemilihan Umum maupun
Badan Pengawas Pemilu. Undang-undang tentang Pilkada
mendefinisikan parameter lebih lanjut akan kewenangan
Mahkamah Konstitusi sehingga menjadi poin pembahasan penting
dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang
Mahkamah Konstitusi, namun jangan sampai parameter tersebut
saling tumpang tindih. Penyelarasan dibutuhkan agar pengaturan
hukum yang ada mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi
mencapai harmonisasi.
A. Landasan Filosofis
Prof. Soediman Kartohadiprodjo dalam bukunya Beberapa
Pikiran Sekitar Pantjasila menyatakan bahwa makna dari sila
kelima mengenai keadilan sosial adalah kebahagiaan.372 Sejalan
dengan itu, Prof. Satjipto Rahardjo dalam bukunya Negara Hukum
yang Membahagiakan Rakyatnya mendeklarasikan bahwa tujuan
bernegara hukum, tidak lain tidak bukan ialah untuk
membahagiakan rakyatnya.373 Harmonis dengan pemikiran dua
pionir filosofis tersebut, Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu
pemegang kekuasaan kehakiman membutuhkan suatu
rekonstruksi normatif dalam upaya determinasi pemenuhan rasa
keadilan yang kelak akan bermuara pada kebahagiaan warga
negara dalam hidup bernegara.
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi dilandasi upaya
mulia untuk memberikan proteksi terhadap hak-hak
konstitusional warga negara dan semangat penegakan konstitusi
sebagai staatsgrundgezets yang memunculkan konsekuensi logis
bahwa segala peraturan perundang-undangan yang berada di
bawah konstitusi tidak boleh kontradiktif dengan apa yang telah
diatur dalam konstitusi. Konstitusi merupakan bentuk
pelimpahan kedaulatan rakyat (the sovereignity of the people)
kepada negara. Melalui konstitusi rakyat membuat pernyataan
372
Sidharta, Membaca Ulang Pemaknaan Keadilan Sosial dalam Gagasan
Revolusi Hukum Soediman Kartihadiprodjo,
http://download.portalgaruda.org/article.php?
article=342509&val=7957&title=MEMBACA%20ULANG%20PEMAKNAAN
%20KEADILAN%20SOSIAL%20DALAM%20GAGASAN%20REVOLUSI
%20HUKUM%20%20SOEDIMAN%20KARTOHADIPRODJO diakses 12 Februari
2018
373
Yance Arizona, Negara Hukum Bernurani: Gagasan Satjipto Rahardjo
tentang Negara Hukum Indonesia, Epistema Institute, Kertas Kerja EPISTEMA
No. 04/2010
kerelaan untuk memberikan sebagian hak-haknya kepada negara.
Oleh karena itu, konstitusi harus dikawal dan dijaga sebab segala
bentuk penyimpangan baik oleh pemegang otoritas kekuasaan
maupun aturan hukum di bawah konstitusi terhadap konstitusi
merupakan wujud pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat.
Secara filosofis, pada hakikatnya Mahkamah Konstitusi
merupakan suatu lembaga negara yang memiliki kewenangan
untuk mengawal konstitusi (the guardian of constitution). Bahwa
sebagai lembaga pengawal konstitusi tersebut maka Mahkamah
Konstitusi merupakan suatu lembaga yang memiliki kedaulatan
mutlak untuk menafsirkan Konstitusi (the interpreter of
constitution).
Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut
UUD 1945), Mahkamah Konstitusi berwenang:
“mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum”.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara
yang oleh UUD 1945 diberi kewenangan untuk mengadili dan
memutus pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final terhadap persoalan-persoalan ketatanegaraan, adalah
konsekuensi logis dari sistem ketatanegaraan baru yang hendak
dibangun oleh UUD 1945 setelah melalui serangkaian perubahan.
Sistem ketatanegaraan baru dimaksud adalah sistem yang
gagasan dasarnya bertujuan mewujudkan Indonesia sebagai
negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) yaitu
negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional
democracy), sebagaimana tercermin dalam ketentuan Pasal 1 ayat
(2) dan ayat (3) UUD 1945, yang merupakan penjabaran dari
Pembukaan UUD 1945, khususnya alinea keempat.
Syarat pertama setiap negara yang menganut paham
rechstaat dan constitutional democracy adalah prinsip
konstitusionalisme (constitutionalism), yaitu prinsip yang
menempatkan undang-undang dasar atau konstitusi sebagai
hukum tertinggi, yang substansinya terkandung dalam Alinea
Keempat Pembukaan UUD 1945, sebagai perwujudan dari
pernyataan kemerdekaan bangsa, sebagaimana tercermin antara
lain dalam kalimat, “…. maka disusunlah Kemerdekaan
Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia”. Sehingga undang-undang dasar adalah
pernyataan mendasar tentang hal-hal yang oleh sekelompok orang
yang mengikatkan diri sebagai suatu bangsa dipandang sebagai
ketentuan-ketentuan dan nilai-nilai dasar di mana terhadap
ketentuan-ketentuan dan nilai-nilai dasar itulah yang mereka anut
bersama dan kepadanya pula mereka sepakat untuk terikat (the
fundamental statement of what a group of people gathered together
as citizens of a particular nation view as the basic rules and values
which they share and to which they agree to bind themselves).374
Oleh sebab itulah di negara-negara yang menganut paham
rechstaat dan constitutional democracy mengakui bahwa konstitusi
haruslah bekerja sebagai perwujudan hukum tertinggi yang
kepadanya segala hukum dan tindakan pemerintahan harus
menundukkan diri terhadap konstitusi. Konstitusi harus
mewujudkan aturan-aturan mendasar dari suatu masyarakat yang
demokratis daripada sekadar memasukkan ketentuan-ketentuan
hukum yang senantiasa berubah-ubah yang lebih tepat diatur oleh
undang-undang. Demikian pula, struktur dan tindakan
pemerintahan harus sungguh-sungguh tunduk pada norma-
374
Barry M. Hager, Rule of Law, A Lexicon for Policy Makers, 2000
norma konstitusi, serta konstitusi tidak boleh semata-mata
sebagai sekadar dokumen seremonial atau aspirasional belaka.
(constitutions should serve as the highest form of law to which all
other laws and governmental actions must conform. As such,
constitutions should embody the fundamental precepts of a
democratic society rather than serving to incorporate ever-changing
laws more appropriately dealt with by statute. Similarly,
govermental structures and actions should seriously conform with
constitutional norms, and constitutions should not mere ceremonial
or aspirational documents).375
Oleh karena itu harus terdapat mekanisme yang menjamin
bahwa ketentuan-ketentuan konstitusi dimaksud benar-benar
dilaksanakan dalam praktik kehidupan bernegara. Guna
menjamin tegak dan dilaksanakannya konstitusi itulah
keberadaan Mahkamah Konstitusi menjadi keniscayaan yaitu
sebagai lembaga yang berfungsi mengawal konstitusi atau
undang-undang dasar (the guardian of the constitution) yang
karena fungsinya itu dengan sendirinya Mahkamah Konstitusi
merupakan penafsir tunggal undang-undang dasar (the sole
judicial interpreter of the constitution). Pada kerangka pemikiran
itulah seluruh kewenangan yang diberikan oleh konstitusi kepada
Mahkamah Konstitusi, sebagaimana tertulis dalam Pasal 24C ayat
(1) UUD 1945, bersumber dan mendapatkan landasan
konstitusionalnya.
Dalam Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi yang terlampir dalam satu dokumen ini,
dalam membahas tuduhan pelanggaran terhadap prinsip judicial
restraint serta asas nemo judex idoneus in propria causa sua,
dielaborasikan bagaimana narasi imparsialitas sebagai prinsip etik
yang bersifat universal untuk menghindari konflik kepentingan
375
The Core Components of The Rule of Law,
http://www.mansfieldfdn.org/backup/programs/program_pdfs/components.pdf
, diakses 12 Februari 2018
(conflict of interest) sesungguhnya menitikberatkan pada proses
pemeriksaan perkara biasa, dalam hal mana faktor konflik
kepentingan individual merupakan obyek sengketa (objectum litis)
yang diperiksa dan diadili hakim. Dalam Rancangan Undang-
Undang Mahkamah Konstitusi ini penting dimaknai kembali
bagaimana persoalan imparsialitas dalam konteks Mahkamah
Konstitusi sebagai the last resort dan the final interpreter of the
constitution dalam menjalankan kewenangan konstitusionalnya
dan implikasi mandat konstitusi tersebut terhadap variasi
putusan yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi, termasuk
justifikasi dalam hal terdapat ultra petita atau putusan yang
ditenggarai mengadili perkara terkait dirinya sendiri.
Diskursus filosofis lainnya hadir dalam paradigma
memandang Mahkamah Konstitusi yang memiliki peran strategis
dalam sistem ketatanegaraan, yang tercermin pada kewenangan-
kewenangan yang dimilikinya, yakni gagasan untuk mengimbangi
dan menjaga agar Mahkamah Konstitusi tetap menjalankan
fungsinya secara bertanggung jawab, perlu ada mekanisme
penegakan kode etik bagi hakim konstitusi dan pengawasan tepat
guna yang terpadu terhadap Mahkamah Konstitusi secara
kelembagaan sebagai satu kesatuan yang tidak mereduksi
independence of judiciary.376
Dalam tataran implementasi, salah satu kewenangan
Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa pembubaran
partai politik kemudian turut dikaji secara filosofis terutama
mengenai kedudukan pemohon saat ini dan bagaimana sejatinya
masyarakat dan Badan Pengawas Pemilu dalam kerangka negara
demokratis perlu diberikan legal standing sebagai pemohon
pembubaran kendaraan esensial tersebut. Dari, oleh, dan untuk
rakyat menjadi antitesis mendasar terhadap problematika
376
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetak Biru Membangun
Mahkamah Konstitusi Sebagai Institusi Peradilan Konstitusi Yang Modern Dan
Terpercaya, Jakarta, 2005. hlm. 121
yudisialisasi politik untuk mengembalikan kewenangan
konstitusional yang hakiki tersebut menjadi tepat sasaran sebagai
upaya memenuhi rasa keadilan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
UUD 1945 memberikan otoritas kepada MK untuk menjadi
pengawal konstitusi yang membuahkan empat kewenangan
konstitusional (constitutionally entrusted powers) dan satu
kewajiban konstitusional (constitutional obligation). Dalam
kewenangannya melakukan pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi harus
senantiasa mempertimbangkan secara cermat dua hal.
1. Undang-undang adalah hasil kerja dari dua lembaga negara
yang dipilih secara demokratis, sehingga setiap undang-
undang dilihat dari sudut pandang procedural democracy
adalah cerminan dari kehendak mayoritas rakyat.
2. Pun demikian, kehendak mayoritas rakyat tidak boleh
mengabaikan substantial democracy sebagaimana tertuang
dalam ketentuan-ketentuan konstitusi, yang dalam setiap
negara yang menganut paham rechstaat dan constitutional
democracy merupakan hukum tertinggi (the supreme law)
Secara artikulatif, dalam menyikapi permasalahan mengenai
tendensi pergeseran fungsi dari negatif legislator ke positif
legislator, Mahkamah Konstitusi mengutip Justice Robert dalam
perkara U.S. v. Butler, yang berpendapat bahwa, “Kekuasaan yang
dimiliki oleh Mahkamah ... adalah kekuasaan untuk mengadili.
Mahkamah ini tidak memiliki kekuasaan untuk menyetujui atau
mengecam kebijakan legislatif apa pun. Tugas berat dan sulit
Mahkamah adalah memastikan dan menyatakan apakah undang-
undang ini sesuai atau bertentangan dengan Konstitusi; dan,
setelah itu, maka berakhirlah tugasnya” (All the power it has ... is
the power of judgment. This court neither approves nor condemns
any legislative policy. Its delicate and difficult office is to ascertain
and declare whether the legislation is in accordance with, or in
contravention of, the provisions of the Constitution; and, having done
that, its duty ends)377 Namun secara progresif, pemaknaan bagian
dari undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi untuk
menentukan konstitusionalitas produk hukum tersebut ternyata
muncul sebagai urgensi yang tidak boleh terkungkung dalam
kebuntuan legalitas formal.
Oleh karena itu terdapat akumulasi urgensi untuk
merekonstruksi kembali perihal kewenangan pengujian undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar dan fungsi harmonisasi
sistem hukum terhadap staatsgrundgezets dan
staatsfundamentalnorm, kerangka berdemokrasi dan
mengembalikan orientasi pada rakyat melalui pemberian
kedudukan hukum baru sebagai pemohon pada sengketa
pembubaran partai politik, penyempurnaan pengaturan mengenai
pemilihan umum yang menjadi pengejawantahan konsep
yudisialisasi politik yang adil, pembahasan mengenai masa
jabatan dan pemangkasan konsep periodisasi untuk menjamin
independensi individual hakim konstitusi, serta perumusan
Dewan Etik sebagai entitas yang berwenang melakukan penegakan
kode etik. Di luar dari pada itu, teknis administrasi Mahkamah
Konstitusi secara tata kelembagaan juga patut untuk
direkonsiderasi secara konstruktif.
B. Landasan Sosiologis
Secara empiris, sebenarnya kewenangan Mahkamah
Konstitusi saat ini belum mampu menampung semua perkara-
perkara konstitusional yang berpotensi untuk merugikan hak-hak
konstitusional warga negara. Dari sisi praktik pengujian undang-
undang yang pernah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, ada
alasan yang cukup kuat untuk menerapkan constitutional
377
Craig R. Ducat, Constitutional Interpretation, 2000
question. Realitanya sudah cukup banyak keluh kesah atau surat
pengaduan dari warga masyarakat (baik perorangan, atau kolektif)
yang masuk ke Mahkamah Konstitusi. Padahal berbagai persoalan
tersebut tidak atau belum termasuk pada ranah kewenangan
Mahkamah Konstitusi yang ada saat ini. Sejak awal berdirinya,
Mahkamah Konstitusi RI ternyata cukup banyak menerima
permasalahan yang dapat diselesaikan dengan menggunakan
mekanisme constitutional question. Namun, seperti yang telah
diungkapkan di atas, kewenangan Mahkamah Konstitusi RI
ditentukan secara limitatif dalam UUD NRI 1945 tanpa
menyebutkan kewenangan constitutional question, sehingga
banyak dari permohonan tersebut dinyatakan “tidak dapat
diterima” (niet ontvankelijk verklaard) dengan alasan Mahkamah
Konstitusi RI tidak berwenang untuk mengadilinya.
Sebagai contoh perkara pengujian Undang-Undang dengan
alasan kerugian konstitusional yang diderita oleh pemohon karena
sudah di adili dan bahkan dihukum berdasarkan ketentuan yang
diragukan konstitusionalitasnya. Perkara pengujian KUHP yaitu
Perkara Nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang diajukan oleh Eggi
Sudjana dan Pandopatan Lubis, Perkara Nomor 6/PUU- V/2007
yang diajukan oleh Panji Utomo, Perkara Nomor 7/PUU-VII/2009
yang diajukan oleh Rizal Ramly. Perkara Nomor 14/PUU-VI/2008
yang diajukan oleh Risang Bima Wijaya dan Bersihar Lubis.
Semua pemohon dalam perkara-perkara tersebut telah diadili dan
divonis bahkan telah menjalani hukuman sebelum mengajukan
permohonan ke Mahkamah Konstitusi.378 Berikut penjelasan
beberapa kasus konkret yang mendukung ditambahkannya
kewenangan constitutional question di Indonesia:
1. Kasus Egi Sudjana
Kasus hukum yang pernah muncul dan terkait
dengan Constitutional Question, ketika Egi Sudjana diajukan
378
Hamidi, “Constitutional Question…,” hlm. 42.
ke pengadilan dengan dakwaan mencemarkan nama baik
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Eggi Sudjana, saat itu
menjadi tersangka pasal penghinaan terhadap presiden.
Eggi menyampaikan dugaan adanya pengusaha yang
memberikan mobil Jaguar kepada istana, dan mobil tersebut
dipakai oleh anak presiden.379 Pasal yang didakwakan
kepada Eggi Sudjana adalah ketentuan Pasal 134 yang
berbunyi sebagai berikut: “Penghinaan dengan sengaja
terhadap Presiden atau Wakil Presiden dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya enam tahun atau denda
sebanyak-banyaknya Rp.4.500.” Selama ini, Pasal 134, 136,
dan 137 KUHP selalu dipakai polisi tanpa peduli apakah
presiden merasa terhina atau tidak. Ketiga pasal itu
memang bukan delik aduan. Sehingga polisi bisa dengan
leluasa menangkapi orang dengan tuduhan menghina
presiden. Padahal seharusnya orang yang merasa dihina
harus membuat pengaduan.380 Akibatnya, terdapat
perbedaan pendapat dengan pasal yang diterapkan apakah
pasal-pasal itu konstitusional, sehingga akhirnya timbul
kontroversi. Seandainya Mahkamah Konstitusi memiliki
kewenangan untuk memberi jawaban, maka hakim yang
menangani perkara tersebut tentunya dapat bertanya lebih
dahulu kepada Mahkamah Konstitusi tentang
konstitusionalitas pasal tersebut sebelum menjatuhkan
putusan. Tetapi, karena saat ini Mahkamah Konstitusi tidak
memiliki kewenangan constitutional question, maka akhirnya
hakim tetap memutus tanpa mempersoalkan
konstitusionalitas pasal-pasal KUHP yang dipersoalkan,
379
Anonim, “Menyoal Pasal Penghinaan Terhadap Presiden,”
https://beritagar.id/artikel/editorial/menyoal-pasal-penghinaan-terhadap-
presiden, diakses pada 11 Februri 2018.
380
Anonim, “Pasal Penghinaan Presiden dalam KUHP Dicabut,”
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15854/pasal-penghinaan-
presiden-dalam-kuhp-dicabut diakses pada 11 Februari 2018.
sebab secara hukum isi KUHP itu memang masih resmi
berlaku.
Eggi Sudjana akhirnya mengajukan constitutional
review terhadap Pasal 134, 134, 136 bis, dan 137 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dengan nomor perkara PUU
No. 013-022/PUU-IV/2006. Akhirnya, Sidang Mahkamah
Konstitusi pada 6 Desember 2006, memutuskan pasal 134,
136 bis, dan 137 KUHP tentang penghinaan terhadap
Presiden tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Pertimbangan majelis hakim yang dipimpin Jimly
Asshiddiqie, antara lain menyatakan: pasal 134, pasal 136
bis, dan pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian
hukum karena amat rentan pada tafsir, apakah suatu
protes, pernyataan pendapat, atau pikiran merupakan kritik
atau penghinaan terhadap presiden. Pasal tersebut secara
konstitusional bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) UUD
NRI 1945 dan pada suatu saat dapat menghambat upaya
komunikasi dan perolehan informasi. 381 “Apakah suatu
protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik
atau penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil
Presiden. Hal dimaksud secara konstitusional bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 dan pada suatu
saat dapat menghambat upaya komunikasi dan perolehan
informasi, yang dijamin Pasal 28F UUD NRI 1945," demikian
pertimbangan dalam putusan Mahkamah Konstitusi itu.382
Pada bagian lain pertimbangannya, Mahkamah
berpendapat keberadaan pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP
bisa menghambat atau menjadi ganjalan dalam proses
ketatanegaraan. Misalnya ketika muncul dugaan
381
Anonim, “Menyoal Pasal Penghinaan…”.
382
Oscar Ferri, “MK: Usut Hinaan Habib Rizieq FPI, SBY Harus Ngadu ke
Polisi,” http://news.liputan6.com/read/649788/mk-usut-hinaan-habib-rizieq-
fpi-sby-harus-ngadu-ke-polisi diakses pada 11 Februari 2018.
pelanggaran yang dilakukan Presiden. Upaya-upaya
mengklarifikasi tuduhan pelanggaran tersebut bisa saja
dipandang sebagai penghinaan kepada Presiden/Wakil
Presiden. Oleh karena itu, sebagai negara hukum-
demokratis, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia,
tidak relevan lagi ketiga pasal tersebut menegasi prinsip
persamaan di depan hukum.383 Kasus Eggi Sudjana menjadi
contoh menarik karena Mahkamah Konstitusi membatalkan
keberlakuan Pasal 134 KUHP ketika proses sidang
terhadapnya berlangsung di PN Jakarta Pusat. Dalam
pandangan terdakwa, seharusnya Pasal 134 KUHP tak lagi
bisa digunakan karena sudah dinyatakan bertentangan
dengan konstitusi. Argumentasi terdakwa tak diterima
hakim. PN Jakarta Pusat menjatuhkan vonis tiga bulan
penjara tanpa perlu menjalani hukuman itu. Bahkan dalam
putusan peninjauan kembali, Mahkamah Agung
menganggap putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat
diberlakukan surut. Tindak pidana yang dilakukan terdakwa
berlangsung pada 3 Januari 2006, sedangkan putusan
Mahkamah Konstitusi dibuat pada 6 Desember 2006.
“Sehingga terhadap perkara a quo tidak berlaku surut dan
tidak dapat dipertimbangkan berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut,” demikian antara lain
pertimbangan majelis hakim agung beranggotakan Prof HM
Hakim Nyak Pha, Suwardi, dan Achmad Yamanie. 384
Dari kasus ini, terlihat bahwa walaupun Mahkamah
Konstitusi membatalkan ketentuan-ketentuan di atas,
namun putusan Mahkamah Konstitusi tidak berlaku surut.
Artinya, terhadap vonis yang telah dijatuhkan pengadilan
383
Anonim, “Pasal Penghinaan Presiden…,”.
384
Anonim, “Habibie dan Gus Dur tak Pakai Pasal 134 KUHP,”
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ef04dd3092ca/habibie-dan-gus-
dur-tak-pakai-pasal-134-kuhp diakses pada 11 Februari 2018.
tetap harus dijalani pemohon, apalagi kalau pemohon sudah
menjalani hukuman maka tidak ada pemulihan yang dapat
dilakukan.385 Hal ini didasarkan pada asas “praduga
rechmatig” atau asas praduga keabsahan mengandung arti
bahwa undang-undang tetap sah, memiliki daya laku
(validitas) dan daya guna (eficasi) sepanjang tidak
dibuktikan sebaliknya oleh lembaga yang berwenang
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Dengan perkataan lain, suatu undang-undang tetap berlaku
sebelum dinyatakan tidak sah karena bertentangan dengan
UUD NRI 1945 oleh Mahkamah Konstitusi. 386 Seandainya
Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan memutus
constitutional question, maka hakim yang menangani
perkara tersebut dapat bertanya terlebih dahulu kepada
Mahkamah Konstitusi tentang konstitusionalitas pasal-pasal
tersebut sebelum menjatuhkan putusan, Namun, karena
tidak adanya kewenangan constitutional question, maka
hakim tetap memutus tanpa mempersoalkan
konstitusionalitas pasal-pasal KUHP yang dipersoalkan
sebab secara hukum isi KUHP itu memang masih resmi
berlaku.387
385
Anonim, “Vonis Delapan Bulan Penjara Buat Zaenal Ma’arif,”
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18780/vonis-delapan-bulan-
penjara-buat-zaenal-maarif diakses pada 11 Februari 2018.
386
Arifin, Hukum dan Kuasa Konstitusi, hlm. 180.
387
Mahfud, Constitutional Question, hlm. 25.
Bom Bali.388 Masykur Abdul Kadir sendiri adalah salah
seorang terdakwa alam kasus peledakan bom di Bali tanggal
12 Oktober 2002.389 Pada pokoknya, Pemohon menolak
pemberlakuan surut (ex post facto law) Perppu Nomor 2
Tahun 2002 sebagaimana telah ditetapkan menjadi UU No.
16 Tahun 2003 dalam perkara pidana yang sedang
dihadapinya di pengadilan. Pemohon menilai bahwa
berdasarkan UUD NRI 1945 sebagai Konstitusi Negara
Republik Indonesia sama sekali menolak pemberlakuan asas
retroaktif (hukum berlaku surut) di mana penolakan
terhadap asas tersebut merupakan wujud sebuah
perlindungan terhadap hak asasi manusia (hak dasar
seorang manusia) yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun juga dan oleh siapa pun juga.390
Mahkamah Konstitusi akhirnya mengabulkan
permohonan yang diajukan oleh Pemohon. Mahkamah
berpendapat permohonan a quo harus dikabulkan karena
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 bertentangan
dengan ketentuan dan semangat Pasal 1 ayat (3) dan Pasal
28I ayat (1) UUD NRI 1945, dan oleh karena itu Mahkamah
harus menyatakan Undang-Undang a quo tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.391 Mahkamah menilai bahwa
pemberlakuan prinsip retroaktif dalam hukum pidana
hanyalah merupakan suatu pengecualian yang hanya
dibolehkan dan diberlakukan pada perkara pelanggaran hak
asasi manusia berat (gross violation on human rights) sebagai
kejahatan yang serius, yang merupakan jaminan terhadap
388
Chalid, “Urgensi dan Upaya Implementasi…,” hlm. 378.
389
Tim Redaksi Tatanusa, Mahkamah Konstitusi: Putusan atas Pengujian
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2003 terhadap Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Tatanusa, 2004), hlm.
49.
390
Ibid., hlm. 45.
391
Ibid., hlm. 66.
hak-hak yang tidak dapat dikurangi (non derogable rights).
Sementara itu, yang dikategorikan sebagai pelanggaran hak
asasi manusia berat menurut Statuta Roma Tahun 1998
adalah kejahatan genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan kejahatan perang, dan kejahatan agresi.
Sedangkan, menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dikategorikan
sebagai pelanggaran hak asasi manusia berat adalah hanya
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dengan demikian, baik merujuk kepada Statuta Roma
Tahun 1998, maupun Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999, peristiwa peledakan bom di Bali tanggal 12 Oktober
2002 belum lah dapat dikategorikan sebagai kejahatan yang
luar biasa dan dapat dikenai prinsip hukum retroaktif.392
Putusan Mahkamah Konstitusi yang keluar pada
tanggal 22 Juli 2004 tentunya membutuhkan jawaban
tentang sejauh mana akibat hukum (legal effect) Putusan
Mahkamah Konstitusi terhadap putusan-putusan
pengadilan yang menyatakan terdakwa yang tersangkut
dengan peristiwa peledakan bom Bali tersebut, khususnya
yang masih dalam proses banding, kasasi, dan peninjauan
kembali. Mereka yang dirugikan tersebut diantaranya
adalah Amrozi dan juga Masykur Abdul Kadir yang
merupakan pemohon dalam kasus ini. Tidak adanya
mekanisme constitutional question membuat tidak adanya
keterikatan kepada hakim yang memproses terdakwa kasus
Bom Bali untuk mengikuti Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut dengan berdalih akan melanggar asas non
retroaktif.393
392
Ibid., hlm. 61.
393
Siahaan, “Renungan Akhir Tahun…,” hlm. 107.
3. Kasus Pengemis
Pada 2009 lalu, Dinas Sosial Jakarta menangkap dua
belas warga Jakarta yang memberikan sedekah kepada
pengemis, mereka kemudian dijatuhi hukuman denda Rp.
150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) hingga Rp.
300.000,- (tiga ratus ribu rupiah). Pejabat Dinas Sosial DKI
Jakarta berpendapat, sanksi denda itu diharapkan bisa
memberikan efek jera kepada orang yang akan memberikan
sedekah di jalanan, sedangkan sebanyak tiga puluh orang
koordinator pengemis diburu dan lima penghubung ditahan.
Pejabat Dinas Sosial Jakarta itu berpendapat, jika tidak ada
orang yang memberikan sedekah kepada pengemis jalanan,
maka orang tidak akan mau menjadi pengemis. Larangan
menjadi pengemis dan juga dikonstruksikan secara legal
bahwa memberikan sedekah adalah pelanggaran terhadap
Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban
Umum. Dalam salah satu perda tersebut antara lain
disebutkan. "Setiap orang atau badan dilarang menjadi
pengemis, pengamen. pedagang asongan, dan penggelap
mobil.394
Tindakan Dinas Sosial Jakarta itu menuai protes
keras dari Lembaga Swadaya Masyarakat khususnya yang
membidangi masyarakat miskin. Salah satu alasan kuat
yang menjadi dasar bagi Lembaga Swadaya Masyarakat
tersebut adalah dasar Konstitusional. Dalam Pasal 34 ayat
(1) UUD NRI 1945, secara jelas disebutkan bahwa “Fakir
miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”
Sehingga, negaralah yang sebenarnya bertanggungjawab
terhadap fakir miskin. Mereka mengharapkan konstitusi
sebagai wujud kontrak sosial bangsa ini untuk dihormati.
Tindak lanjut ditahannya tiga puluh koordinator pengemis
394
Isrok, “Constitutional Question”, hlm. 114.
dan lima penghubung adalah proses pengadilan, dalam
proses pengadilan terdapat suara protes keras dari Lembaga
Swadaya Masyarakat yang menaungi masyarakat
terpinggirkan dan masyarakat miskin, yang intinya bahwa
pasal tentang pengemis adalah tidak konstitusional. Hakim
yang akan mengadili para pengemis, termasuk koordinator
dan penghubungnya, menjadi ragu dan bimbang dalam arti
apakah produk hukum yang mengatur mengenai pengemis
sebagaimana diatur dalam KUHP apakah masih
konstitusional atau tidak.395 Ketentuan pasal dalam KUHP
yang meragukan bagi hakim mengenai "pengemis" adalah
sebagai berikut:
Pasal 504
(1) Barang siapa minta-minta (mengemis) di tempat umum
dihukum karena minta-minta dengan hukuman selama-
lamanya enam minggu.
(2) Minta-minta dilakukan bersama-sama tiga orang atau
lebih, yang umurnya lebih dari 16 Tahun, dihukum
kurungan selama-lamanya tiga bulan.
Keraguan yang dihadapi hakim dalam memeriksa
perkara ini antara lain, di satu sisi hakim melihat bahwa
pengemis secara normatif dilarang dan tidak boleh diberikan
sedekah agar derajat dan martabatnya terjaga, tetapi dilain
pihak peduli sesamanya diperlukan dalam proses kehidupan
beragama bahkan secara konstitusional fakir miskin dan
anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. 396 Keraguan
hakim tersebut tentunya dapat terjawab bila terdapat
mekanisme constitutional question. Adanya hakim yang
memeriksa perkara akan tetapi ragu-ragu akan
konstitusionalitas pasal KUHP berkaitan dengan perkara
395
Ibid., hlm. 115.
396
Ibid., hlm. 129.
yang sedang ditangani, sehingga timbul pertanyaan
konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi dapat memberikan
jawaban atas pertanyaan tersebut.397
Terkait dengan masa jabatan hakim konstitusi juga menjadi
masalah yang cukup kental dengan masalah sosiologis di
dalamnya. Jabatan hakim konstitusi bukan merupakan jabatan
politik, meski lembaga pengusulnya merupakan lembaga politik,
maka periodisasi jabatan hakim tidak boleh mengikuti masa
periodisasi sebagaimana jabatan politik dari lembaga pengusulnya,
yakni 5 tahun. Jabatan hakim konstitusi sesuai dengan
konsepnya, harus didudukkan sebagai lembaga penyeimbang bagi
lembaga negara lainnya, sesuai dengan prinsip checks and
balances. Sehingga dengan demikian tujuan dari dibentuknya
konsep negara hukum yang demokratis sebagaimana dicitakan
dalam UUD 1945 hasil perubahan 1999-2002, dapat diwujudkan.
Sehingga sebagai sebuah alternatif ideal, seorang hakim konstitusi
hendaknya memiliki independensi yang kuat dan imparsialitas
yang kukuh. Adalah sudah sepantasnya ketika seseorang pernah
menjadi hakim konstitusi, perlu dipertimbangkan layakkah
kemudian menjabat sebuah jabatan politis atau jabatan lain yang
dikhawatirkan mengganggu kenegarawanannya yang pernah
disandangnya. Sebagai solusi, hakim konstitusi cukup satu kali
masa jabatan dengan durasi lebih lama yakni 9 (sembilan) tahun,
dengan usia pengangkatan pertama minimal berumur 55 dan
maksimal berumur 65 tahun.
Lalu mengenai mekanisme pengawasan dari hakim
konstitusi itu sendiri. Kasus yang menimpa Mahkamah Konstitusi
akibat Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap M. Akil Mochtar (Ketua
MK) waktu itu pada Oktober 2013 dalam kasus suap penanganan
beberapa Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah.
397
Ibid., hlm. 119.
Begitu pula kasus serupa yang menimpa mantan hakim konstitusi
Patrialis Akbar karena melakukan korupsi untuk mempengaruhi
perkara Nomor 129/PUU-XIII/2015 terkait permohonan uji materi
No. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Peristiwa-
peristiwa ini menjadi tamparan keras bagi kredibilitas MK di mata
masyarakat. Sehingga tekanan sosiologis dari masyarakat begitu
kuat untuk memperketat pengawasan akan kode etik dari hakim-
hakim konstitusi itu sendiri.
Namun, wacana pengawasan Hakim Konstitusi oleh lembaga
eksternal yaitu Komisi Yudisial tidak bisa lagi dijustifikasi pasca
dikeluarkannya Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006. Sehingga,
optimalisasi pengawasan internal Mahkamah Konstitusi harus
menjadi agenda utama dalam tubuh Mahkamah Konstitusi saat
ini. Alternatif ideal dalam diskursus ini adalah dengan penguatan
Dewan Etik dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi untuk
menegakkan kode etik bagi Hakim Konstitusi. Penormaan Dewan
Etik dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi akan
melegitimasi kedudukannya di mata masyarakat dan terutama
bagi Hakim Konstitusi itu sendiri.
C. Landasan Yuridis
Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa
landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
pertimbangan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang
akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat. Landasan yuridis akan membahas mengenai
persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi
yang diatur sehingga perlu dibentuk peraturan perundang-
undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum tersebut antara
lain peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis
peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya
berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai,
atau peraturannya sama sekali belum ada.398
Tujuan suatu negara ialah menggapai cita-cita idiil yang
diwujudkan melalui instrumen hukum berada di negara yang
bersangkutan. Dalam mewujudkan cita-cita tersebut, negara
mempunyai peran penting dalam membentuk peraturan
perundang-undangan sebagai instrumen hukum dalam
yurisdiksinya. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud
ialah hukum tertulis sebagai hukum yang berlaku umum
(algemeen geldend), mengikat banyak orang (personengebeid),
wilayah ruang (ruimtegebied), dan wilayah waktu lebih luas, dan
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hukum yang
tidak tertulis.399
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 adalah
sumber hukum formil Hukum Tata Negara Indonesia. 400 Menurut
Prof. Jimly Asshidiqie, selain merupakan hukum dasar tertulis
yang mengatur masalah kenegaraan, UUD NRI 1945 juga
merupakan landasan hukum bagi ketentuan yang terdapat dalam
peraturan-peraturan lainnya. Berkaitan dengan Kekuasaan
Kehakiman, landasan konstitusional Kekuasaan Kehakiman di
Indonesia terdapat dalam Pasal 24 UUD NRI 1945. Sedangkan,
eksistensi Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 24C UUD NRI
1945.
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar NRI 1945
menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Selanjutnya, Pasal 24 UUD NRI 1945 menyatakan bahwa:
398
Indonesia, Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan , UU Nomor 12 Tahun 2011, bagian Lampiran, hlm.6.
399
Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum,
(Bandung: PT. Citra Abadi, 1989), hlm.6.
400
Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum,
(Bandung: PT. Citra Abadi, 1989), hlm.6.
“Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 tersebut juga diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari
Undang-Undang Dasar NRI 1945, yakni dalam Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 18.
Kedua pengaturan tersebut menggunakan terminologi “merdeka”
sebagai jaminan konstitusional atas independensi lembaga
peradilan. Hal tersebut sesuai dengan konsep trias politica
Montesquieu yang membagi kekuasaan menjadi 3 cabang: (1)
kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang; (2)
kekuasaan eksekutif sebagai pelaksana undang-undang; (3)
kekuasaan yudikatif sebagai kekuasaan untuk menghakimi. 401
Kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif memang harus selalu
ada untuk mewujudkan sebuah negara demokrasi modern.
Namun, konsep pemisahan kekuasaan tidak dapat memisahkan
sama sekali lembaga negara satu dengan yang lain. Bertitik tolak
dari kondisi tersebut, berkembanglah mekanisme check and
balances. Dengan sistem ini, kekuasaan negara dapat diatur,
dibatasi, dan dikontrol dengan sebaik-baiknya. Maka, sistem baru
yang dianut oleh UUD 1945 pasca perubahan keempat adalah
sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip check and
balances. 402
401
Michele T. Molan, Constitutional Law: Machinery of Government,
(London: Old Bailey Press, 2003), 4th edition, hlm.63-64.
402
Jimly Asshidiqqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, hlm.292.
Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia.
Konstitusi Indonesia dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 telah menobatkan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu
lembaga penyelenggara Kekuasaan Kehakiman di Indonesia.
Eksistensi Mahkamah Konstitusi diatur dalam Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman diatur pada
Pasal 29. Pasal 29 ayat (3) menyebutkan bahwa:
Susunan, kekuasaan, dan hukum acara Mahkamah
Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan undang-undang.
Pasal 35
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan
Hakim Konstitusi diatur dengan undang-undang.
Pasal 44 ayat (2)
Pengawasan hakim konstitusi diatur dengan undang-undang.
Untuk menunjang amanat konstitusi dan Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009, diundangkanlah Undang-Undang yang khusus
membahas Mahkamah Konstitusi, yakni Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Dalam bagian pertimbangan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
disebutkan antara lain:
a. bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman yang merdeka mempunyai peranan
penting guna menegakkan konstitusi dan prinsip negara
hukum sesuai dengan kewenangan dan kewajibannya
sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagian sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan
kehidupan ketatanegaraan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-
Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Perundang-undangan yang telah diundangkan akan
mengikat setiap warga negara Indonesia untuk menaatinya. Hal
tersebut merupakan implikasi dari diundangkannya suatu
peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia sehingga setiap warganegara dianggap
mengetahuinya.403 Terdapat peraturan perundang-undangan
ataupun peraturan terkait yang mengatur perihal Mahkamah
Konstitusi di Indonesia, antara lain:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
2. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman;
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum;
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota menjadi Undang-Undang sebagaimana diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016
403
Muchtar Rosyidi, Penuntun Perundang-Undangan Negara Republik
Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm. 14.
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-
Undang;
5. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
6. Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2012 tentang
Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah
Konstitusi sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan
Presiden Nomor 65 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2012 tentang
Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah
Konstitusi.
Keseluruhan peraturan alam tataran konstitutif maupun
peraturan perundang-undangan di bawahnya sebagaimana telah
dijabarkan di atas menjadi landasan yuridis perihal Mahkamah
Konstitusi di Indonesia.
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN
A. Simpulan
a. Beberapa permasalahan yang perlu diubah dan
dimasukkan ke dalam penggantian Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi, yaitu:
1) Kelembagaan: rekrutmen atau proses seleksi calon
hakim konstitusi yang tidak sama pada ketiga
lembaga pengusul hakim konstitusi (DPR,
Mahkamah Agung, dan Presiden), masa jabatan
ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi, masa
jabatan hakim konstitusi, usia pensiun bagi
panitera, panitera muda dan panitera pengganti,
susunan dewan etik, dan majelis kehormatan
hakim konstitusi.
2) Hukum Acara: jangka waktu melengkapi
permohonan, penyampaian salinan permohonan,
pengumuman sidang pertama, penarikan kembali
permohonan oleh pemohon, pihak terkait,
persidangan dan rapat permusyawaratan hakim,
ketidakhadiran pemohon pada sidang pemeriksaan
pendahuluan, jangka waktu perbaikan
permohonan, alasan berbeda dari hakim konstitusi,
ringkasan permohonan, mengeluarkan ketetapan
terhadap pemohon yang tidak hadir,
penandatanganan putusan dalam sidang
pengucapan putusan dan putusan dimuat dalam
laman Mahkamah Konstitusi, memberikan
kedudukan hukum bagi Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), Bawaslu, dan organisasi di bidang
ketatanegaraan yang memenuhi syarat untuk
menjadi Pemohon dalam sengketa pembubaran
partai politik, kewenangan untuk memberikan
penilaian konstitusionalitas dengan melakukan
pemaknaan terhadap pasal/materi/isi dalam
undang-undang dalam bentuk putusan
konstitusional atau inkonstitusional bersyarat,
Mahkamah Konstitusi diperbolehkan untuk
memutus lebih daripada yang diminta oleh
Pemohon dalam hal memenuhi syarat yang telah
diuraikan dalam naskah akademik ini, Mahkamah
Konstitusi diperbolehkan memutus perkara yang
berkaitan dengan dirinya dalam hal tidak ada
forum lain yang dimandatkan konstitusi untuk
mengadili perkara tersebut.
3) Masa Jabatan: menghapuskan periodesasi masa
jabatan hakim konstitusi dan mengubah durasi
masa jabatan menjadi selama 9 tahun untuk
menjamin independensi individual;
4) Kewenangan: Kewenangan pengujian undang-
undang Mahkamah Konstitusi diperluas sehingga
terdapat kewenangan constitutional question
Mahkamah Konstitusi dalam rangka harmonisasi
sistem hukum terhadap konstitusi.
b. Undang-Undang Mahkamah Konstitusi saat ini, yakni UU
Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana diubah dengan UU
Nomor 8 Tahun 2011 belum mengakomodir
perkembangan putusan Mahkamah Konstitusi dan
kebutuhan masyarakat sehingga perlu dilakukan
penggantian.
c. Dalam pembentukan Rancangan Undang-Undang
tentang Mahkamah Konstitusi, terdapat berapa landasan
antara lain:
1) Landasan filosofis: Tujuan utama kekuasaan
kehakiman menurut UUD 1945 adalah sejalan
dengan tujuan UUD NRI 1945 adalah melindungi
segenap bangsa Indonesia, yaitu hak konstitusional
warga negara. Ide pembentukan Mahkamah
Konstitusi dilandasi upaya mulia untuk
memberikan proteksi terhadap hak-hak
konstitusional warga negara dan semangat
penegakan konstitusi sebagai
staatsgrundgezets yang memunculkan
konsekuensi logis bahwa segala peraturan
perundang-undangan yang berada di bawah
konstitusi tidak boleh kontradiktif dengan apa yang
telah diatur dalam konstitusi. Konstitusi
merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat
(the sovereignity of the people) kepada negara.
Melalui konstitusi rakyat membuat pernyataan
kerelaan untuk memberikan sebagian hak-haknya
kepada negara. Oleh karena itu, konstitusi harus
dikawal dan dijaga sebab segala bentuk
penyimpangan baik oleh pemegang otoritas
kekuasaan maupun aturan hukum di bawah
konstitusi terhadap konstitusi merupakan wujud
pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat. Secara
filosofis, pada hakikatnya Mahkamah Konstitusi
merupakan suatu lembaga negara yang memiliki
kewenangan untuk mengawal konstitusi (the
guardian of constitution). Bahwa sebagai lembaga
pengawal konstitusi tersebut maka Mahkamah
Konstitusi merupakan suatu lembaga yang
memiliki kedaulatan mutlak untuk menafsirkan
Konstitusi (the interpreter of constitution).
2) Landasan sosiologis: hakim konstitusi Mahkamah
Konstitusi merupakan hakim yang berasal dari tiga
unsur cabang kekuasaan negara, yaitu eksekutif
(Presiden), legislative (DPR), dan yudikatif (MA).
Jabatan hakim konstitusi harus didudukkan
sebagai lembaga penyeimbang bagi lembaga negara
lainnya, sesuai dengan prinsip check and balances.
3) Landasan yuridis: beberapa putusan Mahkamah
Konstitusi telah diakomodasi karena
mempengaruhi norma-norma yang terdapat dalam
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Berbagi
Peraturan Mahkamah Konstitusi yang bersubstansi
undang-undang harus diangkat dalam materi
perubahan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, penggantian UU MK ini dimaksudkan
untuk mengisi kekosongan hukum agar yang
belum diatur atau materi/isi/pasal UU MK yang
sudah tidak sesuai dengan kebutuhan zaman dan
masyarakat dapat dilengkapi serta untuk mengisi
kekosongan hukum mengenai hal-hal yang belum
diatur di UU MK, tidak terdapat di putusan MK,
dan tidak terdapat pada Peraturan Mahkamah
Konstitusi.
Peraturan perundang-undangan
Indonesia.
Indonesia.
Indonesia.
Buku
Alder, John and Peter English. Constitutional and Administrative
Law. London: Macmillan, 1989.
Allen, Michael dan Brian Thompson. Cases and Materials on
Constitutional and Administrative Law. United Kingdom:
Oxford University Press, 2002.
Amsari, Feri. Perubahan UUD 1945: Perubahan Konstitusi NKRI
Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Rajawali Pers,
2011.
Arifin, Firmansyah dan Juliyus Wardi. ed. Merambah Jalan
Pembentukan Mahkmah Konstitusi di Indonesia. Jakarta:
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional.
Asshiddiqie, Jimly. Menuju Negara Hukum yang Demokratis.
Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008.
Asshidiqqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Cet.6.
Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II.
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI, 2006.
Asshidiqie, Jimly. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia
Pasca Reformasi. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2007.
Asshiddiqie, Jimly. Model-Model Pengujian Konstitusional di
Berbagai Negara. Jakarta: Konpress, 2005.
Asshidiqie, Jimly dan Ahmad Syahrizal. Peradilan Konstitusi di
Sepuluh Negara. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
2006.
Asy’ari, Syukri, Meyrinda Rahmawaty Hilipito, Mohammad Mahrus
Ali. Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi
dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-
2012). Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara,
Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, 2013.
Barent, Eric. An Introduction to Constitutional Law. Oxford: Oxford
University Press, 1998.
Budiardjo, Mariam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2009.
Busroh, Abu Daud. Intisari Hukum Tatanegara: Perbandingan
Konstitusi Sembilan Negara. Jakarta: Penerbit PT Bina Aksar,
1987.
Choper, Jose H. Judicial review and the National Political Process: A
Functional Reconsideration of the Role of the Supreme Court.
Chicago and London: The University of Chicago Press, 1980.
Christina, Dri Utari dan Ismail Hasani, eds., Masa Depan Mahkamah Konstitusi
RI; Naskah Konferensi Mahkamah Konstitusi dan Pemajuan Hak Konstitusional
Warga. Jakarta: Setara Institute, 2013.
Artikel
Situs
Erwin Dariyanti. “Rapor Merah dan Kontroversi Patrialis Akbar
Jadi Hakim MK.” https://news.detik.com/berita/d-
3406122/rapor-merah-dan-kontroversi-patrialis-akbar-jadi-hakim-
mk
“KPK Periksa Akil Mochtar terkait Dugaan Sengketa Pilkada
Buton.”
http://nasional.kompas.com/read/2016/10/31/15533761/kpk.p
eriksa.akil.mochtar.terkait.dugaan.suap.sengketa.pilkada.buton
Jurnal
Abadi, Suwarno. “Ultra Petita dalam Pengujian Undang-Undang
oleh Mahkamah Konstitusi.” Jurnal Konstitusi (September
2015), Vol.2, No.3, hlm.205.
Alrasid, Harun. “Hak Menguji dalam Teori dan Praktik”. Jurnal
Konstitusi (Juli 2004), Vol.1 No.1, hlm. 94.
Armanjaya, Lexy. “Dekonstruksi Kewenangan Legislasi dari DPR ke Mahkamah
Konstitusi (MK) Analisis Sosio Legal.” Jurnal Konstitusi (November 2008),
Vol.5, No. 2,hlm. 66
Bulto, Takele Soboka. “Judicial Referral of Constitutional Disputes
in Ethiopia: From Prcatice to Theory.” African Journal of
International and Comparative Law (2011), Vol. 19, hlm. 103.
Dramanda, Wicaksana. “Menggagas Penerapan Judicial Restraint
di Mahkamah Konstitusi.” Jurnal Konstitusi (Desember 2014),
Vol.11, No.4, hlm.621.
Falaakh, Mohammad Fajrul. “Komisi Konstitusi dan Peran Rakyat
dalam Perubahan UUD 1945”. Jurnal Analisa CSIS (2002) No.
2, hlm. 194.
Gaffar, Janedjri M. “Peran Putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Perlindungan Hak Asasi Manusia terkait Penyelenggaraan
Pemilu.” Jurnal Konstitusi (Maret 2013), Vol.10, No.1, hlm. 4.
Hastuti, Sri, et al.,”Urgensi Perluasan Permohonan Pembubaran
Partai Politik di Indonesia.” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum
(Oktober 2016),Vol. 23, Issue 4, hlm.554-555.
Hostettler, John N. dan Thomas W. Washburne. “The Constitution’s
Final Intepreter: We The People”. Regent University Law
Review, Vol. 8, No. 13, hlm. 20.
Hikmah, Mutiara. “Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penegakan Hukum dan
HAM di Indonesia,” Jurnal Hukum dan Pembangunan (April-Juni 2005), Vol. 35,
No.2, hlm. 129.
Isrok. “Constitutional Question: Menyoal Konstitusionalitas Pasal
tentang Pengemis KUHP Pasal 504 ayat (1) dan (2).” Jurnal
Hukum dan Pembangunan (Januari-Maret 2010), Vol.1, hlm.
116.
Lailam, Tanto. “Pro-Kontra Kewenangan Mahkamah Konstitusi
dalam Menguji Undang-Undang yang Mengatur
Eksistensinya.” Jurnal Konstitusi (Desember 2015), Vol.12,
No.4, hlm. 797.
Lumbuun, Topane Gayus. “Tindak Lanjut Putusan Mahkamah
Konstitusi oleh DPR RI.” Jurnal Legislasi (September 2009),
Vol.06, No.3, hlm. 498.
Maladi, Yanis. “Benturan Asas Nemo Judex Idoneus In Propria
Causa dan Asas Ius Curia Novit (Telaah Yuridis Putusan MK
No.005/PUUIV/2006).” Jurnal Konstitusi, Vol.7, No.2, hal. 13.
Moh.Mahfud MD. “Rambu Pembatas dan Perluasan Kewenangan
Mahkamah Konstitusi.” Jurnal Hukum (Oktober 2009), Vol.16,
No.4, hlm.454.
Palguna, I Dewa Gede. “Constitutional Question: Latar Belakang
dan Praktik di Negara Lain Serta Kemungkinan Penerapannya
di Indonesia.” Jurnal Hukum (Januari 2010), Vol. 1, hlm. 15.
Rahardjo, Satjipto. “Hukum Progresif, Hukum yang
Membebaskan.” Jurnal Hukum Progresif (April 2015), Vol.1,
No.1, PDIH UNDIP, Semarang, hlm.5.
Ritonga, Rifandy. “Pembubaran Partai Politik Terhadap Sistem
Demokrasi di Indonesia.” Jurnal Pranata Hukum (Juli 2016),
Vol.10, No.2, hlm. 105.
Sasmito, Hery Abduh. “Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi
dalam Pengujian Undang-Undang (Suatu Perspektif Hukum
Progresif).” Jurnal Law Reform (Oktober 2011), Vol.6, No.2,
hlm.9.
Siallagan, Haposan. “Masalah Putusan Ultra Petita dalam
Pengujian Undang-Undang.” Mimbar Hukum (Februari 2010),
Vol. 22, No.1, hlm. 74.
Talmadge, Phillip A. “Understanding the Limits of Power: Judicial
Restrain in General Jurisdiction Court Systems.” Seattle
University Law Review (1999), No.695, hlm.711.
Wardhana, Allan F.G dan Harry Setya Nugraha. “Pemberian Legal
Standing kepada Perseorangan atau Kelompok Masyarakat
dalam Usul Pembubaran Partai Politik.” Jurnal Ius Quia
Iustum (Oktober 2013), Vol.20, No.4, hlm. 533.
Wibowo, Mardian. “Justice’s Freedom of Constitutional
Interpretation Method in the Indonesian Constitutional Court”.
Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 25, No. 2 (Juni 2013), hlm. 286.
Widayati. “Pembubaran Partai Politik Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia.”Jurnal Hukum Universitas Islam
Sultan Agung (Agustus 2011), Vol.26, No. 2,hlm. 625.
Zoelva, Hamdan. “Constitutional Complaint dan Constitutional
Question dan Perlindungan Hak-Hak Konstitusional Warga
Negara.” Jurnal Media Hukum (Juni 2012), Vol.19, hlm. 159.
Skripsi/Thesis/Disertasi
Pan Mohamad Faiz, “The Role of the Constitutional Court in Securing
Constitutional Government in Indonesia,” (Disertasi Doktor University of
Queensland, Brisbane, 2016), hlm. 144.
Rafli Fadilah Achmad, “Tinjauan Yuridis Atas Legal Standing
Pembubaran Partai Politik Di MahkamahKonstitusi”, Skripsi, Universitas
Indonesia, Jakarta, 2016, hlm. 85
I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional: Upaya Hukum Terhadap
Pelangggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara (Studi Kewenangan
Mahkamah Konstitusi Indonesia dalam Perspektif Perbandingan), Disertasi,
Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 2011, hlm. 157.
Internet
Dedy. “Ketua MK: MK Hadir untuk Mengawal Demokrasi.”
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?
page=web.Berita&id=13325#.WmxOgiN7Fo4.
Mahkamah Konstitusi RI. “Menggagas Putusan Sela dalam Sengketa Pilkada.”
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?
page=web.Berita&id=12805#.WmwLZbpubIV.
Mahkamah Konstitusi RI.“Rekapitulasi Perkara Pengujian Undang-Undang.”
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPUU.
Mahkamah Konstitusi. “Rekapitulasi Perkara Sengketa Kewenangan Lembaga
Negara.”http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?
page=web.RekapSKLN&menu=5.
Mahkamah Konstitusi. “Rekapitulasi Perkara Sengketa Kewenangan Lembaga
Negara.”http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?
page=web.RekapSKLN&menu=5.
Mahkamah Konstitusi. “Rekapitulasi Perkara Sengketa Kewenangan Lembaga
Negara.” http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?
page=web.RekapSKLN&menu=5.
Tri Atmojo Sejati. “Independensi dan Imparsialitas Hakim.”
http://dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2017/09/PN-012_Independensi-dan-
Imparsialitas-Hakim.pdf
Miftakhul Huda. Ius Curia Novit. Diakses dari
http://www.miftakhulhuda.com/2011/02/ius-curia-novit.html
Sumadi, Ahmad Fadlil. “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Dalam Teori dan
Praktik.” https://media.neliti.com/media/publications/111686-ID-hukum-
acara-mahkamah-konstitusi-dalam-te.pdf
Agus Sahbani. “MK Batalkan UU Penetapan PERPPU MK.”
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52fced103853a/mk-batalkan-uu-
penetapan-perppu-mk diakses 12 Februari 2018