SOAL
1. Sebutkan dan jelaskan hal-hal apa saja yang membatasi keberlakuan suatu kewenangan!
2. Jelaskan empat bentuk sengketa yang mungkin terjadi dalam internal pemerintahan!
3. Bagaimana Administrasi Pemerintahan di Indonesia mengatur tentang sengketa dalam
pemerintahan? Analisa pengaturan tersebut menurut pandangan Saudara!
4. Wewenang antara Pusat dan Daerah:
a. Bagaimana UUD mengatur mengenai hubungan kewenangan antara Pusat dan
Daerah;
b. Sebut dan jelaskan asas yang menjadi dasar terjadinya hubungan kewenangan
antara Pusat dan Daerah dalam hal mengalirnya Kewenangan dan dalam hal
menuju suatu Daerah/wilayah atau areal!
5. Jelaskan pendapat saudara mengenai kewenangan Menteri Dalam Negeri dan/atau
Gubernur untuk mencabut Perda Provinsi atau Perda Kabupaten/Kota! Jelaskan jawaban
Saudara dengan mendasari pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan juga
Putusan Mahkamah Konstitusi!
6. Berdasarkan penelitian terhadap undang-undang dan peraturan-peraturan
pelaksanaannya, pengaturan tentang apa yang seringkali menjadi penyebab tumpang
tindih kewenangan lembaga pemerintah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan!
7. Dalam melaksanakan beberapa pelayanan publik, Pemerintah melakukan kerjasama
dengan badan hukum privat. Apakah dalam kerjasama tersebut pemerintah dan badan
hukum privat memiliki kedudukan yang sama? Jelaskan jawaban Saudara!
8. Sebutkan dan jelaskan prinsip-prinsip hukum antar wewenang dalam sengketa
peraturan/keputusan!
JAWABAN
Adapun kritik terhadap pasal 16 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi
Pemerintahan sebagai berikut:
● Pasal (1) dan (2) hanya mengatur tentang penyelesaian sengketa wewenang secara
administratif saja. Penyelesaian administratif ini melibatkan pemangku jabatan yang cara
penyelesaiannya tidak konkret, kesepakatan yang dibuat dapat mengandung kepentingan
politis dan situasional. Tidak ada karakterisasi yang jelas dalam membuat kesepakatan
yang benar. Tolak ukurnya hanya persetujuan kedua belah pihak yang bersengketa.
● Dalam pasal (3) sudah ada ranah dalam meminimalisasi kemungkinan terjadinya
kesepakatan yang tidak benar. Pasal tersebut memuat klausul yang mencegah sebuah
kesepakatan agar tidak merugikan keuangan negara, aset negara, dan/atau lingkungan
hidup. Namun ini juga tidak cukup. Tidak dijelaskan lebih lanjut terkait karakterisasi
kerugian keuangan negara atau aset negara. Seperti saat penyelesaian sengketa
melibatkan pembelanjaan dalam jumlah besar. Apakah itu termasuk merugikan keuangan
negara?
● Penyelesaian dengan cara konkret terlihat di ayat (5) di mana pasal tersebut merujuk pada
kekuasan mahkamah konstitusi dalam menyelesaikan sengeketa lembaga negara. Melalui
proses pembuktian akan jelas terlihat mana lembaga yang berwenang menangani suatu
perkara.
Kesimpulan dari kritik terhadap Pasal 16 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan adalah pasal tersebut menitikberatkan pada penyelesaian melalui
kesepakatan. Walaupun sudah ada jalan untuk penyelesaian sengeketa melalui Mahkamah
Konstitusi, tetapi cara tersebut dianggap sebagai ultimum remedium untuk sengketa. Ini terlihat
dari jumlah ayat dan penempatan ayat yang berbeda urutan dan jumlah.
Pada dasarnya, hubungan pembagian kewenangan secara teoritis dibagi menjadi empat
meliputi, sentralisasi, dekonsentrasi, desentralisasi, dan tugas pembantuan.
- Sentralisasi
Sentralisasi merupakan kewenangan yang berada di pusat, yang mana dalam hal
pelaksanaannya dilakukan oleh aparat dari pemerintah pusat, kemudian mengenai
pelaksanaan kegiatan dilakukan di wilayah pemerintahan pusat maupun daerah.
Mengenai keuangan, wewenangnya diatur oleh Pemerintah Pusat. Kewenangan
sentralisasi pemerintahan meliputi kewenangan pertahanan, keamanan, agama, yustisi
(bukan dalam konteks peradilan), politik luar negeri dan keuangan. Kemudian menurut
Bapak Harsanto Nursadi, seharusnya kewenangan di bidang pertanahan juga masuk
dalam kewenangan pemerintahan yang absolut juga.
- Dekonsentrasi
Dekonsentrasi merupakan kewenangan pemerintahan pusat, yang mana dalam hal
pelaksanaannya dilakukan oleh aparatur pemerintah pusat, namun dalam hal lokasi
pelaksanaannya berada di daerah serta mengenai masalah kewenangan keuangan
dikendalikan oleh Pemerintahan Pusat. Yang dimaksud dekonsentrasi sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, merupakan pelimpahan wewenang kepada instansi vertikal yang
ada di daerah atau gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat berdasarkan asas
dekonsentrasi.
- Desentralisasi
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa
desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintah pusat kepada daerah otonom
berdasarkan asas otonomi.1 Dalam desentralisasi, pemerintahan daerah otonom
mempunyai kendali atas semua aspek2, mulai dari pembentukan kebijakan, implementasi
(pelaksanaan) kebijakan, mekanisme keuangan, maupun aparat pelaksana.3 Berdasarkan
uraian di atas maka dapat diketahui bahwa pemerintahan daerah otonom diberikan
kebebasan untuk mengelola sumber daya yang dimilikinya berdasarkan kewenangan
yang telah diserahkan oleh pemerintah pusat kepadanya.
Tujuan desentralisasi sendiri adalah menciptakan keanekaragaman dalam
penyelenggaraan suatu kebijakan dalam pemerintahan sesuai dengan kondisi dan potensi
masyarakat, dalam rangka mengakomodasi keanekaragaman masyarakat yang pada
akhirnya dapat terwujud variasi struktur dan politik untuk menyalurkan aspirasi
masyarakat setempat.4
- Tugas Pembantuan
Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah
otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota
untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
provinsi.5 Tugas pembantuan diadakan dalam pembangunan di daerah bertujuan agar
dapat menanggulangi keterbatasan jangkauan aparatur pemerintah pusat ataupun
pemerintah daerah yang lebih tinggi ke pemerintah daerah di bawahnya. Anggaran
penyelenggaraan tugas pembantuan disediakan oleh yang memberi tugas. Dalam hal
penyelenggaraan tugas pembantuan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi
atau kabupaten/kota dan atau desa, merupakan sebagian urusan pemerintahaan di luar
enam urusan yang bersifat mutlak seperti politik luar negeri, pertahanan, keamanan,
yustisi, moneter dan fiskal nasional, agama.
1
Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014, Ps. 1 butir 8
2
Lihat Safri Nugraha, Hukum Administrasi Negara, (Depok: Center for Law and Good Governance Studies (CLGS)
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007), hlm. 225-226
3
Dirangkum dari catatan perkuliahan Hukum Antar Wewenang, 9 April 2018
4
Lihat Nugraha, Hukum Administrasi, hlm. 225-226
5
Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014, Ps. 1 butir 11
Kewenangan Uang Aparat Lokasi
------------
5. Sebelum menjawab pertanyaan diatas, maka perlu diketahui dahulu yang dimaksud
dengan asas contrarius actus. Asas contrarius actus berasal dari Bahasa latin yang artinya
tindakan yang dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan keputusan
tata usaha negara dengan sendirinya (otomatis) badan/pejabat tata usaha yang bersangkutan
memiliki kewenangan untuk membatalkannya.6
Selain itu menurut Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, dalam buku argumentasi hukum
2009, menyatakan bahwa asas contrarius actus dalam hukum administrasi negara adalah asas
yang menyatakan badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan keputuan Tata Usaha
Negara dengan sendirinya juga berwenang untuk membatalkannya.
Namun bertentangan dengan hal tersebut pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, pasal 251 menyatakan bahwa:
“Perda provinsi dan peraturan gubernur yang bertentagan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, dapat dibatalkan oleh Menteri dan ditetapkan
dengan keputusan menteri.”7
6
M. Luthfi Chakim,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum/majalahkonstitusi/pdf/Majalah_129_1.%20Edisi%2
0Agustus%202017%20.pdf, diakses pada 6 Mei 2018.
7
Indonesia, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun/2014., Psl.251
ayat 1 dan 4
Selain itu, perda kabupaten/kota dan peraturan bupati/wali kota yang bertentangan
dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, dapat dibatalkan oleh gubernur sebagai
wakil pemerintah pusat. Pembatalan ini ditetapkan dengan keputusan gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat. Dalam hal gubernur tidak membatalkan peraturan tersebut, maka menteri yang
akan membatalkannya.8
Hal tersebut dikarenakan peraturan daerah kabupaten/kota dibentuk oleh DPRD dan
disetujui oleh bupati/walikota.9 Maka dalam hal ini pejabat eksekutif di atas bupati/walikota
tidak berwenang untuk membatalkannya. Berbeda dengan peraturan bupati/wali kota yang
ditetapkan oleh bupati/ wali kota itu sendiri, namun diakui keberadaannya sepanjang
diperintahkan oleh Perturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan.10 Maka dalam hal ini, pejabat diatas bupati/wali kota berwenang untuk
membatalkan peraturan bupati/wali kota ini berdasarkan pelimpahan kewenangan yang ada.
6. Pengaturan mengenai penggunaan wewenang dan kekuasaan yang dimiliki oleh Lembaga
Pemerintah dalam menjalankan urusan Pemerintahan seringkali menjadi penyebab tumpang
tindih kewenangan, hal ini dikarenakan kekuasaan yang dimiliki oleh Lembaga Pemerintahan
8
Ibid., Pasal 251 ayat 2, 3, dan 4
9
Indonesia, Undang-Undang tentang Peraturan Perundang-Undangan, Pasal 1 angka 8
10
Ibid., Pasal 8 ayat (2)
tidak selalu didasari dengan adanya kewenangan. Menurut Bagir Manan wewenang dalam
bahasa hukum tidak diartikan sama dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak
untuk berbuat dan tidak berbuat, sedangkan wewenang sekaligus diartikan sebagai hak dan
kewajiban.11
Seringkali dalam hal ini, peraturan perundang-undangan terkait tidak jelas atau inkonsisten
dalam mengatur kewenangan Lembaga Pemerintah dalam menjalankan urusan pemerintahan di
bidangnya. Suatu undang-undang memberikan kewenangan ke satu Lembaga Pemerintah, namun
di samping itu peraturan perundang-undangan yang lain juga memberikan kewenangan yang
sama ke Lembaga Pemerintah lainnya. Akibat hal tersebut, muncul sengketa kewenangan
diantara Lembaga Pemerintahan. Berdasarkan Pasal 1 angka 13 UU Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan, yang dimaksud dengan sengketa kewenangan adalah klaim
penggunaan wewenang yang dilakukan oleh dua Lembaga Pemerintahan atau lebih yang
disebabkan oleh tumpang tindih atau tidak jelasnya Lembaga Pemerintahan yang berwenang
menangani suatu urusan Pemerintahan.
Dalam pengadaan barag/jasa, atau dalam konteks kerjasama Pemerintah dengan Badan Hukum
Privat; Pemerintah akan membingkai hubungan hukum dengan penyedia barang atau jasanya
(Privat) dalam sebuah kontrak pengadaan barang dan jasa. Dengan kata lain Pemerintah menjadi
salah satu pihak dalam sebuah kontrak. Dalam konteks yang demikian, Pemerintah tidak dapat
memposisikan dirinya lebih tinggi dari pihak kedua, walaupun Pemerintah merupakan lembaga
yang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat regulatoir. Hal ini dikarenakan dalam hukum
perjanjian, para pihak memiliki kedudukan hukum yang sama sebagaimana diatur dalam Pasal
1338 BW. Oleh karena itu, baik Pemerintah maupun Badan Hukum Privat memiliki kedudukan
yang sejajar dalam pemenuhan hak dan kewajiban yang tertuang dalam kontrak yang telah
disepakati. Tetapi, Hadjon berpendapat bahwa: sekalipun tindakan hukum keperdataan untuk
11
Nurmayani, Hukum Administrasi Daerah (Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2009), hlm. 26
urusan pemerintahan oleh Badan atau Pejabat TUN, dimungkinkan bukan tidak mungkin
berbagai ketentuan hukum publik akan menyusup dan mempengaruhi hukum perdata.
Contohnya beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur
tata cara/prosedur tertentu yang harus ditempuh berkenaan upaya perbuatan hukum
keperdataan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN.
Sengketa Kewenangan dalam UU Administrasi Pemerintahan pada prinsipnya terjadi ketika dua
atau lebih pejabat pemerintahan mempermasalahkan ketidakjelasan atau tumpang tindih
kewenangan atas suatu urusan pemerintahan. Tentu yang menjadi pertanyaan kewenangan
seperti apa yang dimaksud UU Administrasi Pemerintahan? Kewenangan adalah kekuasaan
berdasarkan atribusi, delegasi, atau mandat yang melekat pada pejabat untuk membuat keputusan
atau melakukan tindakan dalam urusan pemerintahan atau publik
Sengketa karena ketidakjelasan kewenangan dapat disebabkan dua pejabat atau lebih diberikan
kewenangan untuk bertindak dalam satu bidang urusan pemerintahan yang terkait, tidak ada
pembagian kewenangan secara jelas, atau bertindak sebagai pejabat tidak definitif (pelaksana
tugas). Contoh, mandat Presiden RI kepada Menteri PPN/Kepala Bappenas untuk melaksanakan
tugas dan kewenangan sebagai Koordinator Investasi (Chief Investment Officer). Sementara,
kewenangan atributif di bidang koordinasi investasi atau penanaman modal telah diberikan
kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal berdasarkan UU No. 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal. Pelaksanaan kewenangan di bidang investasi tersebut mungkin
menimbulkan potensi sengketa kewenangan yang tentu menjadi perhatian dalam UU
Administrasi Pemerintahan.
Sedangkan, sengketa karena tumpang-tindih kewenangan dua atau lebih pejabat pemerintahan
disebabkan karena pelaksanaan kewenangan pejabat pemerintahan bersinggungan dengan
kewenangan pejabat pemerintahan yang lain, sehingga pelaksanaan kewenangan menjadi kurang
efektif dan efisien. Contoh, Menteri PPN/Kepala Bappenas dan Menteri Keuangan diberikan
kewenangan atributif untuk melakukan perencanaan dan penganggaran pembangunan nasional.3
Tarik-menarik kewenangan di bidang perencanaan penganggaran pembangunan nasional terjadi
karena dua pejabat pemerintahan bertindak dalam satu bidang urusan pemerintahan yang saling
bersinggungan, dimana pembagian kewenangan tidak didasarkan pada proporsi yang dapat
mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional. Alhasil, penyelenggaran perencanaan dan
penganggaran pembangunan nasional seringkali tidak sinkron.
1. Analisis Keputusan
Prinsip analisis keputusan pada dasarnya memuat mengenai sifat dari suatu keputusan,
apakah menyebabkan akibat hukum tertentu atau tidak. Dalam hal ini, Pejabat yang
memiliki wewenang harus mampu membedakan sifat dari keputusan yang dibuatnya agar
dikemudian hari tidak menimbulkan sengketa wewenang. Dalam hal ini adalah keputusan
deklaratoir dan keputusan konstitutif.
- Legalitas;
- AUPB; dan
- Menghormati HAM.
3. Cost and benefit analysis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
Dalam membuat peraturan perundang-undangan, para pejabat pembuat peraturan
perundang-undangan harus memerhatikan prinsip mengenai cost and benefit analysis,
karena pada prakteknya hanya terpaku dengan permasalahan hukum yang ada tanpa
menganalisis permasalahan-permasalahan lain. Seolah permasalahan-permasalahan yang
lain tidak penting dan harus dikesampingkan padahal pada faktanya hal-hal tersebut juga
sangat berpengaruh misalnya uang, teknis dll. Hal demikian harus diperhatikan dalam
proses pembentukan peraturan perundang-undangan agar suatu hari tidak timbul sengketa
akibat permasalahan-permasalahan tersebut.
5. Pembagian wewenang berupa muatan materi dan teknis terkait bidang tertentu
dalam suatu perundang-undangan
Penyelesaian sengketa wewenang biasanya diselesaikan dengan jalan tengah, pembagian
tugas materil dan teknis terkait dengan bidang tertentu. Pada dasarnya dengan adanya
sengketa wewenang yang terjadi antar instansi pemerintah dalam suatu peraturan
perundang-undangan mengenai instansi mana yang paling memiliki wewenang dalam
mengurusi suatu urusan atau bertanggung jawab dalam suatu urusan apabila wewenang
tersebut ternyata tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan instansi lain
cukup menjelaskan bahwa sengketa wewenang merupakan permasalahan yang kerap
terjadi di Indonesia. Meskipun faktanya mengenai masalah wewenang sudah diatur
secara tegas dalam perundang-undangan, tetap saja dalam prakteknya mengalami konflik
atau sengketa wewenang.
Presiden sebagai pejabat pemerintahan harus turut aktif dalam mengawal pemerintahan.
Koordinasi antar internal pemerintah harus terjalin dengan baik. Pengaturan mengenai
suatu urusan yang menjadi wewenang suatu instansi apabila mengalami sengketa
wewenang adalah dengan membagi cakupan bidang atau materi muatan wewenang antar
instansi tersebut agar pelaksanaannya lebih optimal dijalankan. Hal demikian selanjutnya
perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan demi mencapai kepastian hukum.