Anda di halaman 1dari 16

Tugas Hukum Antar Wewenang

SOAL
1. Sebutkan dan jelaskan hal-hal apa saja yang membatasi keberlakuan suatu kewenangan!
2. Jelaskan empat bentuk sengketa yang mungkin terjadi dalam internal pemerintahan!
3. Bagaimana Administrasi Pemerintahan di Indonesia mengatur tentang sengketa dalam
pemerintahan? Analisa pengaturan tersebut menurut pandangan Saudara!
4. Wewenang antara Pusat dan Daerah:
a. Bagaimana UUD mengatur mengenai hubungan kewenangan antara Pusat dan
Daerah;
b. Sebut dan jelaskan asas yang menjadi dasar terjadinya hubungan kewenangan
antara Pusat dan Daerah dalam hal mengalirnya Kewenangan dan dalam hal
menuju suatu Daerah/wilayah atau areal!
5. Jelaskan pendapat saudara mengenai kewenangan Menteri Dalam Negeri dan/atau
Gubernur untuk mencabut Perda Provinsi atau Perda Kabupaten/Kota! Jelaskan jawaban
Saudara dengan mendasari pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan juga
Putusan Mahkamah Konstitusi!
6. Berdasarkan penelitian terhadap undang-undang dan peraturan-peraturan
pelaksanaannya, pengaturan tentang apa yang seringkali menjadi penyebab tumpang
tindih kewenangan lembaga pemerintah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan!
7. Dalam melaksanakan beberapa pelayanan publik, Pemerintah melakukan kerjasama
dengan badan hukum privat. Apakah dalam kerjasama tersebut pemerintah dan badan
hukum privat memiliki kedudukan yang sama? Jelaskan jawaban Saudara!
8. Sebutkan dan jelaskan prinsip-prinsip hukum antar wewenang dalam sengketa
peraturan/keputusan!
JAWABAN

1. Pembatasan terhadap kewenangan dapat dilihat melalui pendapat Philipus Hadjon


mengenai lingkup kompetensi suatu jabatan. Hadjon menerangkan bahwa lingkup
kompetensi suatu jabatan memiliki kemungkinan tiga bentuk kewenangan, yaitu
kewenangan menyangkut kompetensi absolut (bevoegheid ratione materiae), kewenangan
menyangkut kompetensi relatif (bevoegheid ratione loci) dan kewenangan dari segi
waktu (bevoegheid ratione temporis). Pembatasan kewenangan ini dapat ditemukan di
dalam pasal 15 ayat (1) UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal tersebut
menjelaskan bahwa wewenang suatu subjek hukum dibatasi oleh tiga hal, yaitu masa atau
tenggang waktu, wilayah atau daerah berlakunya, dan cakupan bidang atau materi.
Keberlakuan kewenangan berdasarkan masa atau tenggang waktu menentukan bahwa
pihak yang berwenang dalam suatu peristiwa atau tindakan hukum melihat pada waktu
kapan peristiwa atau tindakan hukum tersebut terjadi atau timbul. Keberlakuan
kewenangan berdasarkan wilayah atau daerah berlakunya memiliki konsep yang sama
dengan kewenangan relatif di dalam hukum acara, yaitu pihak yang berwenang dalam
suatu peristiwa atau tindakan hukum melihat dimana peristiwa atau tindakan hukum
tersebut terjadi. Sementara keberlakuan kewenangan berdasarkan cakupan bidang atau
materi memiliki konsep yang sama dengan kewenangan absolut di dalam hukum acara,
yaitu pihak yang berwenang dalam suatu peristiwa atau tindakan hukum melihat di dalam
ruang lingkup atau materiil apa peristiwa atau tindakan hukum tersebut terjadi.
2. Adapun empat bentuk sengketa yang dapat terjadi dalam internal pemerintahan antara lain:
A. Internal Instansi Pemerintah
Sengketa kewenangan yang terjadi dalam instansi pemerintah terjadi apabila terhadap dua
atau lebih pejabat pemerintahan memiliki kewenangan yang bersinggungan dan tidak ada
kejelasan mengenai penyelesaiannya. Dalam hal terjadi dalam internal instansi
pemerintahan, maka sengketa kewenangan tersebut berinterseksi diantara satu
kelembagaan yang sama.
B. Antar Instansi Pemerintah
Sengketa Kewenangan dalam UU Administrasi Pemerintahan pun pada prinsipnya terjadi
ketika dua atau lebih pejabat pemerintahan mempermasalahkan ketidakjelasan atau
tumpang tindih kewenangan atas suatu urusan pemerintahan. Sengketa Kewenangan yang
dapat terjadi Antar Instansi Pemerintah secara garis besar dapat dibagi menjadi dua,
yaitu:
a. Sengketa Kewenangan Antar Kementerian dengan Kementerian lain
Sengketa Kewenangan ini dapat terjadi karena tumpang-tindih kewenangan yang
disebabkan oleh pelaksanaan kewenangan suatu instansi pemerintah yang
bersinggungan dengan kewenangan instansi pemerintah yang lain. Contoh,
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dan Kementerian
Keuangan diberikan kewenangan atributif untuk melakukan perencanaan dan
penganggaran pembangunan nasional. Sengketa kewenangan di bidang
perencanaan penganggaran pembangunan nasional ini terjadi karena dua instansi
pemerintah bertindak dalam satu bidang urusan pemerintahan yang saling
bersinggungan, dimana pembagian kewenangan tidak didasarkan pada proporsi
yang dapat mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional. Sehingga
penyelenggaran perencanaan dan penganggaran pembangunan nasional seringkali
tidak sinkron.
b. Sengketa Kewenangan Antar Kementerian dengan Lembaga Pemerintahan lain
Sengketa Kewenangan ini dapat terjadi karena ada ketidakjelasan kewenangan
yang disebabkan dua instansi atau lebih diberikan kewenangan untuk bertindak
dalam satu bidang urusan pemerintahan tertentu tetapi tidak ada pembagian
kewenangan secara jelas. Contoh, mandat Presiden RI kepada Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas untuk melaksanakan tugas dan
kewenangan sebagai Koordinator Investasi (Chief Investment Officer).
Sementara, kewenangan atributif di bidang koordinasi investasi atau penanaman
modal telah diberikan kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
berdasarkan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pelaksanaan
kewenangan di bidang investasi tersebut dapat menimbulkan potensi sengketa
kewenangan yang dapat terjadi antar dua instansi tersebut.
c. Sengketa Kewenangan Internal Lembaga Pemerintahan
Kewenangan yang dilimpahkan kepada sebuah lembaga pemerintahan pada
dasarnya mempunyai kaitan dengan hukum, yang dapat berwujud Undang -
Undang Dasar, Undang - Undang ataupun Peraturan Perundang - Undangan
lainnya. Istilah tugas, fungsi, dan wewenang sering dipakai secara
interchangeable atau saling dipertukarkan, sehingga kadang - kadang menjadi
tidak jelas artinya. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, timbulnya sengketa
dapat diakibatkan adanya beberapa faktor, diantaranya kurang memadainya
sistem yang mengatur dan mewadahi hubungan antar organ yang ada sehingga
menimbulkan interpretasi. Perbedaan interpretasi tersebut terhadap suatu
ketentuan yang menjadi bingkai bagi penyelenggaraan negara seringkali menyulut
sengketa.
Salah satu contoh sengketa didalam sebuah lembaga pemerintahan adalah
sengketa didalam internal Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. KPK yang
dibentuk untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi ini memiliki sengketa didalam internalnya
yaitu antara Komisioner KPK dengan Penyidik KPK. Sengketa ini terjadi dimulai
ketika Penyidik KPK yaitu Novel Baswedan mengirimkan sebuah surel kepada
Komisioner KPK yaitu Aris Budiman, yang menyebutkan bahwa Aris Budiman
adalah Direktur Penyidikan KPK terburuk sepanjang masa. Surel tersebut dikirim
oleh Novel tak lepas dari protesnya terhadap rencana Aris Budiman yang ingin
merekrut kepala satuan tugas penyidikan dari Mabes Polri. Kemudian, Aris
Budiman melaporkan tindakan Novel Baswedan tersebut atas dasar pencemaran
nama baik. Menurut juru bicara KPK, bahwa tindakan Novel Baswedan tersebut
melanggar kode etik dan seyogyanya diselesaikan dalam internal KPK saja
melalui DPP KPK.
Tindakan Aris Budiman untuk merekrut Ketua Satuan Tugas Penyidikan dari
Mabes Polri dinilai tak sesuai prosedur dan tidak transparan padahal seharusnya
bahwa posisi ketua satgas penyidikan tersebut dipegang oleh penyidik senior atau
yang telah lama bertugas di KPK. Dalam hal ini sengketa ini muncul sebagai
akibat disharmoni didalam internal KPK yang tak luput dari perseteruan antara
POLRI dan KPK mengingat Aris Budiman adalah seorang Brigadir Jenderal dan
mantan wakil Direktur Tindak Pidana Khusus Bareskrim POLRI.
d. Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Pemerintahan
Lembaga Pem

3. Permasalahan sengketa di dalam pemerintahan sangat erat kaitannya dengan sengketa


kewenangan. Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
memberikan definisi Sengketa Kewenangan sebagai klaim penggunaan Wewenang yang
dilakukan oleh 2 (dua) Pejabat Pemerintahan atau lebih yang disebabkan oleh tumpang tindih
atau tidak jelasnya Pejabat Pemerintahan yang berwenang menangani suatu urusan
pemerintahan. Selanjutnya, pada pasal 16 UU No. 30 Tahun 2014, diuraikan secara khusus
mengenai sengketa kewenangan. Sejatinya, setiap Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan harus
mencegah terjadinya sengketa kewenangan dalam menjalankan kewenangan. Akan tetapi, dalam
hal sengketa kewenangan tidak dapat dicegah, jika itu di dalam lingkungan pemerintahan, maka
penyelesaian Sengketa Kewenangan berada pada antar atasan Pejabat Pemerintahan yang
bersengketa melalui koordinasi untuk menghasilkan kesepakatan, kecuali ditentukan lain dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan adanya koordinasi ini, diharapkan setiap
sengketa diselesaikan secara tepat karena atasan Pejabat Pemerintahan dianggap, bahkan
diharuskan, menjadi pihak yang paling mengetahui berbagai permasalahan di lingkungan
pemerintahannya. Sehingga, kesepakatan yang didapat pun merupakan kesepakatan yang tepat
dan tidak semakin memperkeruh sengketa kewenangan.

Adapun kritik terhadap pasal 16 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi
Pemerintahan sebagai berikut:
● Pasal (1) dan (2) hanya mengatur tentang penyelesaian sengketa wewenang secara
administratif saja. Penyelesaian administratif ini melibatkan pemangku jabatan yang cara
penyelesaiannya tidak konkret, kesepakatan yang dibuat dapat mengandung kepentingan
politis dan situasional. Tidak ada karakterisasi yang jelas dalam membuat kesepakatan
yang benar. Tolak ukurnya hanya persetujuan kedua belah pihak yang bersengketa.
● Dalam pasal (3) sudah ada ranah dalam meminimalisasi kemungkinan terjadinya
kesepakatan yang tidak benar. Pasal tersebut memuat klausul yang mencegah sebuah
kesepakatan agar tidak merugikan keuangan negara, aset negara, dan/atau lingkungan
hidup. Namun ini juga tidak cukup. Tidak dijelaskan lebih lanjut terkait karakterisasi
kerugian keuangan negara atau aset negara. Seperti saat penyelesaian sengketa
melibatkan pembelanjaan dalam jumlah besar. Apakah itu termasuk merugikan keuangan
negara?
● Penyelesaian dengan cara konkret terlihat di ayat (5) di mana pasal tersebut merujuk pada
kekuasan mahkamah konstitusi dalam menyelesaikan sengeketa lembaga negara. Melalui
proses pembuktian akan jelas terlihat mana lembaga yang berwenang menangani suatu
perkara.

Kesimpulan dari kritik terhadap Pasal 16 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan adalah pasal tersebut menitikberatkan pada penyelesaian melalui
kesepakatan. Walaupun sudah ada jalan untuk penyelesaian sengeketa melalui Mahkamah
Konstitusi, tetapi cara tersebut dianggap sebagai ultimum remedium untuk sengketa. Ini terlihat
dari jumlah ayat dan penempatan ayat yang berbeda urutan dan jumlah.

4. A. Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah Berdasarkan UUD


Di dalam UUD NRI 1945, hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
didasarkan atas asas otonomi dan tugas pembantuan sebagaimana diatur didalam Pasal 18
UUD 1945. Di dalam Pasal 18 Ayat 1 Substansi pembagian daerah dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia diatur dalam pasal 18 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 yang
berbunyi :
“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi
dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang
diatur dengan undang-undang”.
Perubahan ini dimaksudkan untuk lebih memperjelas pembagian daerah dalam negara
Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi daerah provinsi dan dalam daerah provinsi
terdapat wilayah kabupaten/kota. Dengan diperjelasnya pembagian atas wilayah ini
semakin memperjelas berbagai segi yaitu hubungan kewenangan, hubungan pengawasan,
hubungan keuangan dan lain sebagainya. Ini kemudian di perkuat dalam Pasal 18 ayat (2)
yang mempertegas hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.
B. Sebut dan Jelaskan, Asas yang menjadi dasar terjadinya hubungan kewenangan antara
Pusat dan Daerah dalam hal mengalirnya kewenangan dan dalam hal menuju suatu
Daerah/wilayah atau areal!

Pada dasarnya, hubungan pembagian kewenangan secara teoritis dibagi menjadi empat
meliputi, sentralisasi, dekonsentrasi, desentralisasi, dan tugas pembantuan.
- Sentralisasi
Sentralisasi merupakan kewenangan yang berada di pusat, yang mana dalam hal
pelaksanaannya dilakukan oleh aparat dari pemerintah pusat, kemudian mengenai
pelaksanaan kegiatan dilakukan di wilayah pemerintahan pusat maupun daerah.
Mengenai keuangan, wewenangnya diatur oleh Pemerintah Pusat. Kewenangan
sentralisasi pemerintahan meliputi kewenangan pertahanan, keamanan, agama, yustisi
(bukan dalam konteks peradilan), politik luar negeri dan keuangan. Kemudian menurut
Bapak Harsanto Nursadi, seharusnya kewenangan di bidang pertanahan juga masuk
dalam kewenangan pemerintahan yang absolut juga.
- Dekonsentrasi
Dekonsentrasi merupakan kewenangan pemerintahan pusat, yang mana dalam hal
pelaksanaannya dilakukan oleh aparatur pemerintah pusat, namun dalam hal lokasi
pelaksanaannya berada di daerah serta mengenai masalah kewenangan keuangan
dikendalikan oleh Pemerintahan Pusat. Yang dimaksud dekonsentrasi sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, merupakan pelimpahan wewenang kepada instansi vertikal yang
ada di daerah atau gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat berdasarkan asas
dekonsentrasi.

- Desentralisasi
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa
desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintah pusat kepada daerah otonom
berdasarkan asas otonomi.1 Dalam desentralisasi, pemerintahan daerah otonom
mempunyai kendali atas semua aspek2, mulai dari pembentukan kebijakan, implementasi
(pelaksanaan) kebijakan, mekanisme keuangan, maupun aparat pelaksana.3 Berdasarkan
uraian di atas maka dapat diketahui bahwa pemerintahan daerah otonom diberikan
kebebasan untuk mengelola sumber daya yang dimilikinya berdasarkan kewenangan
yang telah diserahkan oleh pemerintah pusat kepadanya.
Tujuan desentralisasi sendiri adalah menciptakan keanekaragaman dalam
penyelenggaraan suatu kebijakan dalam pemerintahan sesuai dengan kondisi dan potensi
masyarakat, dalam rangka mengakomodasi keanekaragaman masyarakat yang pada
akhirnya dapat terwujud variasi struktur dan politik untuk menyalurkan aspirasi
masyarakat setempat.4
- Tugas Pembantuan
Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah
otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota
untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
provinsi.5 Tugas pembantuan diadakan dalam pembangunan di daerah bertujuan agar
dapat menanggulangi keterbatasan jangkauan aparatur pemerintah pusat ataupun
pemerintah daerah yang lebih tinggi ke pemerintah daerah di bawahnya. Anggaran
penyelenggaraan tugas pembantuan disediakan oleh yang memberi tugas. Dalam hal
penyelenggaraan tugas pembantuan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi
atau kabupaten/kota dan atau desa, merupakan sebagian urusan pemerintahaan di luar
enam urusan yang bersifat mutlak seperti politik luar negeri, pertahanan, keamanan,
yustisi, moneter dan fiskal nasional, agama.

1
Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014, Ps. 1 butir 8
2
Lihat Safri Nugraha, Hukum Administrasi Negara, (Depok: Center for Law and Good Governance Studies (CLGS)
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007), hlm. 225-226
3
Dirangkum dari catatan perkuliahan Hukum Antar Wewenang, 9 April 2018
4
Lihat Nugraha, Hukum Administrasi, hlm. 225-226
5
Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014, Ps. 1 butir 11
Kewenangan Uang Aparat Lokasi

Sentralisasi Pusat Pusat Pusat Pusat dan Daerah

Desentralisasi Daerah Daerah Daerah Daerah

Dekonsentrasi Pusat Pusat Pusat Daerah

Tugas Pembantuan Pusat Pusat Daerah Daerah

------------
5. Sebelum menjawab pertanyaan diatas, maka perlu diketahui dahulu yang dimaksud
dengan asas contrarius actus. Asas contrarius actus berasal dari Bahasa latin yang artinya
tindakan yang dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan keputusan
tata usaha negara dengan sendirinya (otomatis) badan/pejabat tata usaha yang bersangkutan
memiliki kewenangan untuk membatalkannya.6

Selain itu menurut Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, dalam buku argumentasi hukum
2009, menyatakan bahwa asas contrarius actus dalam hukum administrasi negara adalah asas
yang menyatakan badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan keputuan Tata Usaha
Negara dengan sendirinya juga berwenang untuk membatalkannya.

Namun bertentangan dengan hal tersebut pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, pasal 251 menyatakan bahwa:

“Perda provinsi dan peraturan gubernur yang bertentagan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, dapat dibatalkan oleh Menteri dan ditetapkan
dengan keputusan menteri.”7

6
M. Luthfi Chakim,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum/majalahkonstitusi/pdf/Majalah_129_1.%20Edisi%2
0Agustus%202017%20.pdf, diakses pada 6 Mei 2018.
7
Indonesia, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun/2014., Psl.251
ayat 1 dan 4
Selain itu, perda kabupaten/kota dan peraturan bupati/wali kota yang bertentangan
dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, dapat dibatalkan oleh gubernur sebagai
wakil pemerintah pusat. Pembatalan ini ditetapkan dengan keputusan gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat. Dalam hal gubernur tidak membatalkan peraturan tersebut, maka menteri yang
akan membatalkannya.8

Namun MK dalam putusannya lewat putusan nomor 137/PUU-XIII/2105, menyatakan


bahwa frasa “Perda Kabupaten/Kota” tidak berkekuatan hukum. Maka dapat disimpulkan bahwa
gubernur atau Menteri hanya dapat membatalkan peraturan bupati/walikota. Sementara dalam
putusan MK nomor 56/PUU-XIV/2016, memutus bahwa menolak permohonan pemohon atas
pembatalan peraturan kepala daerah diajukan kepada Mahkamah Agung. Dalam putusan ini
dapat disimpulkan bahwa gubernur maupun menteri dapat tetap dapat membatalkan peraturan
bupati/walikota, namun tidak untuk peraturan daerah kabupaten/kota.

Hal tersebut dikarenakan peraturan daerah kabupaten/kota dibentuk oleh DPRD dan
disetujui oleh bupati/walikota.9 Maka dalam hal ini pejabat eksekutif di atas bupati/walikota
tidak berwenang untuk membatalkannya. Berbeda dengan peraturan bupati/wali kota yang
ditetapkan oleh bupati/ wali kota itu sendiri, namun diakui keberadaannya sepanjang
diperintahkan oleh Perturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan.10 Maka dalam hal ini, pejabat diatas bupati/wali kota berwenang untuk
membatalkan peraturan bupati/wali kota ini berdasarkan pelimpahan kewenangan yang ada.

Bila ingin menambahkan silakan, intinya seperti itu hehe.


--------

6. Pengaturan mengenai penggunaan wewenang dan kekuasaan yang dimiliki oleh Lembaga
Pemerintah dalam menjalankan urusan Pemerintahan seringkali menjadi penyebab tumpang
tindih kewenangan, hal ini dikarenakan kekuasaan yang dimiliki oleh Lembaga Pemerintahan

8
Ibid., Pasal 251 ayat 2, 3, dan 4
9
Indonesia, Undang-Undang tentang Peraturan Perundang-Undangan, Pasal 1 angka 8
10
Ibid., Pasal 8 ayat (2)
tidak selalu didasari dengan adanya kewenangan. Menurut Bagir Manan wewenang dalam
bahasa hukum tidak diartikan sama dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak
untuk berbuat dan tidak berbuat, sedangkan wewenang sekaligus diartikan sebagai hak dan
kewajiban.11

Seringkali dalam hal ini, peraturan perundang-undangan terkait tidak jelas atau inkonsisten
dalam mengatur kewenangan Lembaga Pemerintah dalam menjalankan urusan pemerintahan di
bidangnya. Suatu undang-undang memberikan kewenangan ke satu Lembaga Pemerintah, namun
di samping itu peraturan perundang-undangan yang lain juga memberikan kewenangan yang
sama ke Lembaga Pemerintah lainnya. Akibat hal tersebut, muncul sengketa kewenangan
diantara Lembaga Pemerintahan. Berdasarkan Pasal 1 angka 13 UU Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan, yang dimaksud dengan sengketa kewenangan adalah klaim
penggunaan wewenang yang dilakukan oleh dua Lembaga Pemerintahan atau lebih yang
disebabkan oleh tumpang tindih atau tidak jelasnya Lembaga Pemerintahan yang berwenang
menangani suatu urusan Pemerintahan.

Contoh… (on progress)

7. Dalam melaksanakan beberapa pelayanan public pemerintah melakukan kerjasama dengn


badan hukum privat. Apakah dalam kerjasama tersebut pemerintah dan badan hukum privat
memiliki kedudukan yang sama?

Dalam pengadaan barag/jasa, atau dalam konteks kerjasama Pemerintah dengan Badan Hukum
Privat; Pemerintah akan membingkai hubungan hukum dengan penyedia barang atau jasanya
(Privat) dalam sebuah kontrak pengadaan barang dan jasa. Dengan kata lain Pemerintah menjadi
salah satu pihak dalam sebuah kontrak. Dalam konteks yang demikian, Pemerintah tidak dapat
memposisikan dirinya lebih tinggi dari pihak kedua, walaupun Pemerintah merupakan lembaga
yang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat regulatoir. Hal ini dikarenakan dalam hukum
perjanjian, para pihak memiliki kedudukan hukum yang sama sebagaimana diatur dalam Pasal
1338 BW. Oleh karena itu, baik Pemerintah maupun Badan Hukum Privat memiliki kedudukan
yang sejajar dalam pemenuhan hak dan kewajiban yang tertuang dalam kontrak yang telah
disepakati. Tetapi, Hadjon berpendapat bahwa: sekalipun tindakan hukum keperdataan untuk

11
Nurmayani, Hukum Administrasi Daerah (Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2009), hlm. 26
urusan pemerintahan oleh Badan atau Pejabat TUN, dimungkinkan bukan tidak mungkin
berbagai ketentuan hukum publik akan menyusup dan mempengaruhi hukum perdata.
Contohnya beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur
tata cara/prosedur tertentu yang harus ditempuh berkenaan upaya perbuatan hukum
keperdataan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN.

9. Sebutkan dan jelaskan prinsip-prinsip hukum antar wewenang dalam sengketa


peraturan/keputusan!

Sengketa Kewenangan dalam UU Administrasi Pemerintahan pada prinsipnya terjadi ketika dua
atau lebih pejabat pemerintahan mempermasalahkan ketidakjelasan atau tumpang tindih
kewenangan atas suatu urusan pemerintahan. Tentu yang menjadi pertanyaan kewenangan
seperti apa yang dimaksud UU Administrasi Pemerintahan? Kewenangan adalah kekuasaan
berdasarkan atribusi, delegasi, atau mandat yang melekat pada pejabat untuk membuat keputusan
atau melakukan tindakan dalam urusan pemerintahan atau publik

Sengketa karena ketidakjelasan kewenangan dapat disebabkan dua pejabat atau lebih diberikan
kewenangan untuk bertindak dalam satu bidang urusan pemerintahan yang terkait, tidak ada
pembagian kewenangan secara jelas, atau bertindak sebagai pejabat tidak definitif (pelaksana
tugas). Contoh, mandat Presiden RI kepada Menteri PPN/Kepala Bappenas untuk melaksanakan
tugas dan kewenangan sebagai Koordinator Investasi (Chief Investment Officer). Sementara,
kewenangan atributif di bidang koordinasi investasi atau penanaman modal telah diberikan
kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal berdasarkan UU No. 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal. Pelaksanaan kewenangan di bidang investasi tersebut mungkin
menimbulkan potensi sengketa kewenangan yang tentu menjadi perhatian dalam UU
Administrasi Pemerintahan.

Sedangkan, sengketa karena tumpang-tindih kewenangan dua atau lebih pejabat pemerintahan
disebabkan karena pelaksanaan kewenangan pejabat pemerintahan bersinggungan dengan
kewenangan pejabat pemerintahan yang lain, sehingga pelaksanaan kewenangan menjadi kurang
efektif dan efisien. Contoh, Menteri PPN/Kepala Bappenas dan Menteri Keuangan diberikan
kewenangan atributif untuk melakukan perencanaan dan penganggaran pembangunan nasional.3
Tarik-menarik kewenangan di bidang perencanaan penganggaran pembangunan nasional terjadi
karena dua pejabat pemerintahan bertindak dalam satu bidang urusan pemerintahan yang saling
bersinggungan, dimana pembagian kewenangan tidak didasarkan pada proporsi yang dapat
mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional. Alhasil, penyelenggaran perencanaan dan
penganggaran pembangunan nasional seringkali tidak sinkron.

UU Administrasi Pemerintahan coba mengatur penyelesaian sengketa kewenangan


menggunakan prinsip “koordinasi untuk menghasilkan kesepakatan”. Dapat dipahami Pasal 16
UU Administrasi Pemerintahan, sebagai berikut: (1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
mencegah terjadinya Sengketa Kewenangan dalam penggunaan Kewenangan. (2) Dalam hal
terjadi Sengketa Kewenangan di lingkungan pemerintahan, kewenangan penyelesaian Sengketa
Kewenangan berada pada antar atasan Pejabat Pemerintahan yang bersengketa melalui
koordinasi untuk menghasilkan kesepakatan, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan. (3) Dalam hal penyelesaian Sengketa Kewenangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) menghasilkan kesepakatan maka kesepakatan tersebut mengikat para pihak yang
bersengketa sepanjang tidak merugikan keuangan negara, aset negara, dan/atau lingkungan
hidup. (4) Dalam hal penyelesaian Sengketa Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak menghasilkan kesepakatan, penyelesaian Sengketa Kewenangan di lingkungan
pemerintahan pada tingkat terakhir diputuskan oleh Presiden. (5) Penyelesaian Sengketa
Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang melibatkan lembaga negara diselesaikan
oleh Mahkamah Konstitusi. (6) Dalam hal Sengketa Kewenangan menimbulkan kerugian
keuangan negara, aset negara, dan/atau lingkungan hidup, sengketa tersebut diselesaikan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

UU Administrasi Pemerintahan memerlukan penjabaran teknis untuk melaksanakan ketentuan


sengketa kewenangan. Cara dan alternatif penyelesaian sengketa pada prinsipnya sudah dikenal,
mulai dari negosiasi oleh dua pihak, mediasi yang dibantu oleh pihak ketiga, hingga litigasi
melalui badan peradilan umum.

Adapun dalam perumusan kewenangan, dikenal berbagai prinsip sebagai berikut:

1. Analisis Keputusan
Prinsip analisis keputusan pada dasarnya memuat mengenai sifat dari suatu keputusan,
apakah menyebabkan akibat hukum tertentu atau tidak. Dalam hal ini, Pejabat yang
memiliki wewenang harus mampu membedakan sifat dari keputusan yang dibuatnya agar
dikemudian hari tidak menimbulkan sengketa wewenang. Dalam hal ini adalah keputusan
deklaratoir dan keputusan konstitutif.

- Keputusan Deklaratoir adalah keputusan yang tdak mengubah hak dan


kewajiban yang telah ada, tetapi sekedar menyatakan hak dan kewajiban tersebut
(rechtsvaststellende beschikking). Keputusan mempunyai sifat deklaratoir
manakalah keputusan itu dimaksudkan untuk menetapkan mengikatnya suatu
hubungan hukum atau keputusan itu maksudnya mengakui suatu hak yang sudah
ada. Keputusan yang dimaksudkan untuk menetapkan suatu hubungan hukum
atau keputusan mengakui suatu hak yang sudah ada. Keputusan yang menyatakan
dasar kewenangan atau hukum yang sudah diatur dalam perundang-undangan.
Contoh : Pemberian cuti tahunan bagi PNS, Surat Izin cuti bersalin/melahirkan,
Pengunduran diri bagi PNS yang mengikuti partai.

- Keputusan Konstitutif adalah keputusan yang melahirkan atau menghapuskan


suatu hubungan hukum atau keputusan itu menimbulkan suatu hak baru yang
sebelumnya tidak dimiliki oleh seseorang yang namanya tercantum dalam
keputusan itu, maka ia disebut dengan keputusan yang bersifat konstitutif
(rechtscheppend beschikking). Ketetapan konstitutif memberikan status pada
seseorang, lembaga, perusahaan sehingga dapat menerapkan aturan hukum
tertentu. Contoh: Pemberian cuti karena alasan penting atau mendesak, IMB,
AMDAL.
Sehingga pada intinya dapat disimpulkan bahwa perbedaan diantara kedua keputusan
tersebut adalah bahwa Keputusan deklaratoir menyatakan tidak mengubah hak dan
kewajiban yang telah ada tetapi hanya sekedar menyatakan hak dan kewajiban
tersebut. Sedangkan keputusan konstitutif meletakkan kewajiban untuk melakukan
sesuatu/tidak melakukan sesuatu/memperkenankan sesuatu.

2. Setiap keputusan dan/atau tindakan wajib berdasarkan ketentuan perundang-


undangan dan AUPB
- Peraturan perundang-undangan menjadi dasar kewenangan dan peraturan perundang-
undangan yang menjadi dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan keputusan
dan/atau tindakan.
- Badan dan/atau pejabat pemerintahan alam menetapkan dan/atau tindakan wajib
mencatumkan/menunjukkan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
dalam menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan.
Ketiadaan atau ketidakjelasan peraturan perundang-undangan tidak menghalangi Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang untuk menetapkan dan/atau melakukan
keputusan dan/atau tindakan sepanjang memberikan kemafaatan umum dan sesuai dengan
AUPB. Suatu Tindakan atau keputusan harus memperhatikan:

- Legalitas;
- AUPB; dan
- Menghormati HAM.
3. Cost and benefit analysis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
Dalam membuat peraturan perundang-undangan, para pejabat pembuat peraturan
perundang-undangan harus memerhatikan prinsip mengenai cost and benefit analysis,
karena pada prakteknya hanya terpaku dengan permasalahan hukum yang ada tanpa
menganalisis permasalahan-permasalahan lain. Seolah permasalahan-permasalahan yang
lain tidak penting dan harus dikesampingkan padahal pada faktanya hal-hal tersebut juga
sangat berpengaruh misalnya uang, teknis dll. Hal demikian harus diperhatikan dalam
proses pembentukan peraturan perundang-undangan agar suatu hari tidak timbul sengketa
akibat permasalahan-permasalahan tersebut.

4. Perumusan definisi yang jelas dalam suatu peraturan perundang-undangan


Konflik wewenang biasanya timbul karena perdebatan pasal 1 dalam perundang-
undangan mengenai definisi. Mengenai hal definisi ini sangat perlu untuk diperhatikan
juga karena pada prakteknya banyak menimbulkan perdebatan karena pada hakikatnya
tiap-tiap peraturan perundang-undangan memiliki perumusan makna berbeda dari suatu
kata atau kalimat di dalam lingkup peraturan perundang-undangan yang akan diaturnya.
Hal ini harus dikoordinasikan agar perumusan dalam pasal 1 suatu peraturan perundang-
undangan tidak memiliki makna ganda atau bahkan bertentangan. Dengan adanya
koordinasi harmonisasi perumusan definisi tersebut diharapkan tidak terjadinya
mispresepsi yang akan berakibat terjadinya sengketa wewenang dalam peraturan
perundang-undangan tiap instansi.

5. Pembagian wewenang berupa muatan materi dan teknis terkait bidang tertentu
dalam suatu perundang-undangan
Penyelesaian sengketa wewenang biasanya diselesaikan dengan jalan tengah, pembagian
tugas materil dan teknis terkait dengan bidang tertentu. Pada dasarnya dengan adanya
sengketa wewenang yang terjadi antar instansi pemerintah dalam suatu peraturan
perundang-undangan mengenai instansi mana yang paling memiliki wewenang dalam
mengurusi suatu urusan atau bertanggung jawab dalam suatu urusan apabila wewenang
tersebut ternyata tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan instansi lain
cukup menjelaskan bahwa sengketa wewenang merupakan permasalahan yang kerap
terjadi di Indonesia. Meskipun faktanya mengenai masalah wewenang sudah diatur
secara tegas dalam perundang-undangan, tetap saja dalam prakteknya mengalami konflik
atau sengketa wewenang.

Masing-masing lembaga atau instansi pada hakikatnya akan meningkatkan atau


memperbanyak wewenangnya, kemudian permasalahan lain yang turut muncul apabila
suatu lembaga tersebut tidak dapat menjalankan wewenangnya secara optimal. Namun
satu hal yang harus digaris bawahi adalah bahwa kewenangan yang ada pada suatu
negara tidak akan bertambah, yang ada hanyalah pengalihan kewenangan itu sendiri
dengan membagi wewenang-wewenang yang ada pada lembaga atau instansi lain agar
merata.

Presiden sebagai pejabat pemerintahan harus turut aktif dalam mengawal pemerintahan.
Koordinasi antar internal pemerintah harus terjalin dengan baik. Pengaturan mengenai
suatu urusan yang menjadi wewenang suatu instansi apabila mengalami sengketa
wewenang adalah dengan membagi cakupan bidang atau materi muatan wewenang antar
instansi tersebut agar pelaksanaannya lebih optimal dijalankan. Hal demikian selanjutnya
perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan demi mencapai kepastian hukum.

Anda mungkin juga menyukai