Anda di halaman 1dari 6

MENEMUKAN FORMULASI DIET REGULASI

Persoalan “bawaan” negara hukum adalah potensi disharmonis regulasi yang


mengakibatkan apa yang disebut Richard Susskind sebagai hyper regulations atau
istilah yang kemudian populer disebut obesitas hukum. Selain meningkatnya peran
pengadilan dalam menentukan validitas setiap regulasi maupun kebijakan negara,
ternyata penyusunan regulasi yang dilakukan secara TSM (tidak terstruktur dan tidak
sistematis namun masif) merupakan bom waktu bagi penyelenggaraan negara hukum
yang demokratis. Dengan dianutnya konsepsi negara hukum yang berarti berujung
kepada kepastian hukum, persamaan di hadapan hukum, dan perlindungan hak asasi
manusia akan menjadi ilusi semata apabila tatanan regulasi mengalami obesitas.
Regulasi yang saling tumpang (dan tumbang) tindih (serta menindih) merupakan faktor
akut yang justru melahirkan ke (tidak) pastian hukum, kesenjangan perlakuan
dihadapan hukum, dan alienisasi HAM.

Dalam kurun 2000-2017 terdapat 35.901 peraturan, terdiri 1 UUD yaitu UUD 1945.
Sedangkan jumlah terbanyak adalah Peraturan Daerah (Perda) yaitu sebanyak 14.225
Perda. Disusul dengan Peraturan Menteri (Permen) sebanyak 11.873 Permen. Dan di
tempat ketiga diduduki peraturan lembaga non kementerian sebanyak 3.163 peraturan.
Masih tercatat pula peraturan peninggalan Penjajah Belanda sebanyak 36
peraturan.Jumlah kuantitas yang demikian itu tidak berjalan lurus dengan kualitas
regulasi, hal ini nampak dari banyaknya kaidah-kaidah hukum yang timbul dari proses
pengujian norma di kekuasaan kehakiman. Tercatat, hingga Maret 2017 terdapat 802
putusan Mahkamah Konstitusi, 203 putusan Mahkamah Agung, dan kaidah hukum
melalui menafsiran hukum seperti yang terdapat dalam putusan pengadilan niaga yang
berjumlah 168 putusan. Dengan kontur yang demikian itu, nampak bahwa penerbitan
regulasi di Indonesia masih belum sepenuhnya terencana. Apabila penerbitan regulasi
tidak segera diselesaikan maka tentu akan berakibat kontraproduktif dengan upaya
meningkatkan pergerakan dan pertumbuhan ekonomi. Parahnya, problem ini seolah
tidak terselesaikan dari tahun ke tahun sehingga regulasi kian menumpuk dan tak
terkendali meskipun dalam sejarah kebijakan penataan regulasi yang dimaksudkan
untuk mencapai tujuan kesejahteraan kerap dilakukan.

Di sisi lain peran Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi
pembentukan perundang-undangan, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 20
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), seolah tak mampu membendung besarnya
keinginan pembentukan perundang-undangan yang diajukan oleh pemerintah maupun
yang rancangan undang-undang tersebut merupakan inisiatif DPR. Alhasil, fungsi
sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan pun tak berjalan optimal.
Masing-masing pihak memiliki argumen yang kuat dalam mempertahankan suatu
peraturan dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Prolegnas yang
semestinya bisa menciptakan perencanaan dan arahan yang sistematis dalam program
pembangunan hukum nasional, sekaligus menjadi pintu utama guna menyaring
kebutuhan peraturan perundang-undangan yang menjadi aspirasi sekaligus kebutuhan
hukum masyarakat, justru menjadikan factor ”kepentingan” sebagai tolak ukur
pembentukan regulasi. Akibatnya Kondisi ini akan melahirkan situasi hukum yang serba
multitafsir, konfliktual, dan tidak taat asas. Hal ini juga mengakibatkan lemahnya
efektivitas implementasi regulasi yang pada ujungnya menciptakan tidak harmonisnya
antara satu peraturan dan peraturan yang lain.

1. Jelaskan, isu hukum apa yang diangkat dari permasalahan diatas ?

2. Jelaskan 3 teori hukum yang dapat digunakan dalam membahas wacana di


atas agar dapat terselesaikan ?

3. Buatlah Bahan Hukum apa saja yang dapat digunakan dalam penelitian
tersebut ?

Jawaban:
1. Isu hukum yang diangkat dari permasalahan diatas adalah lemahnya efektivitas
implementasi regulasi yang pada ujungnya menciptakan tidak harmonisnya antara satu
peraturan dan peraturan yang lain.
Isu hukum mempunyai posisi yang sentral didalam penelitian hukum sebagaimana
kedudukan masalah didalam penelitian lainnya karena isu hukum itulah yang harus
dipecahkan didalam penelitian hukum sebagaimana permasalahan yang harus dijawab
di dalam penelitian hukum.
Masalah timbul karena adanya dua proposisi yang mempunyai hubungan, baik yang
bersifat fungsional, kausalitas, maupun yang satu menegaskan yang lain.
Isu hukum juga timbul karena adanya dua proposisi hukum yang saling berhubungan
satu terhadap lainnya. Oleh karena menduduki posisi yang sentral, salah dalam
mengidentifikasi isu hukum, akan berakibat salah dalam mencari jawaban atas isu
tersebut dan selanjutnya salah dalam melahirkan suatu argumentasi yang diharapkan
dapat memecahkan isu hukum tersebut.
Di dalam praktik hukum dalam permasalahan wacana di atas, potensi disharmonis
regulasi yang mengakibatkan apa yang disebut Richard Susskind sebagai hyper
regulations atau istilah yang kemudian populer disebut obesitas hukum. Selain
meningkatnya peran pengadilan dalam menentukan validitas setiap regulasi maupun
kebijakan negara, ternyata penyusunan regulasi yang dilakukan secara TSM (tidak
terstruktur dan tidak sistematis namun masif) merupakan bom waktu bagi
penyelenggaraan negara hukum yang demokratis.

2. Tiga teori hukum yang dapat digunakan dalam membahas wacana di atas:
1. Teori Negara Hukum
Gagasan Negara Hukum secara embrionik dikemukakan oleh Plato ketika ia
menulis Nomoi sebagai karya tulis ketiganya. Dalam Nomoi, Plato mengemukakan
bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah didasarkan pada pengaturan
(hukum) yang baik. Kemudian gagasan ini diperkuat oleh Aristoteles, yang
menuliskan dalam buku Politica. Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik
ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ada
tiga unsur pemerintahan yang berkonstitusi, yaitu:
a. Pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum;
b. Pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuan-
ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang
menyampingkan konvensi dan konstitusi;
c. Pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas
kehendak rakyat, bukan berupa paksaan tekanan yang dilaksanakan
pemerintahan.
2. Teori Perundang-Undangan
a. Pengertian Undang-Undang
Menurut A. Hamid S. Attamimi yang mengutip Juridish woordenboek, kata
perundang-undangan (wetgeving) mengandung dua macam arti, yaitu:
Pertama, proses pembentukan peraturan-peraturan negara dari jenis yang
tertinggi yaitu undang-undang (wet) sampai yang terendah yang dihasilkan
secara atribusi atau delegasi dari kekuasaan perundang-undangan
(wetgevendemacht). Kedua, keseluruhan produk peraturan-peraturan negara
tersebut. Oleh sebab itu, peraturan perundang-undangan merupakan
keseluruhan peraturan yang berhubungan dengan undang-undang dan
bersumber pada kekuasaan legislatif. Secara yuridis, menurut Pasal 1 angka 2
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, peraturan perundang-undangan adalah
peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan
dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang
melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
b. Proses Pembentukan Undang-Undang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan
Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, pengundangan.
Pergeseran atau pengalihan kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR yang
dihasilkan dari Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 20 ayat 1), setidaknya
mencatat beberapa hal: Pertama, dengan menggeser kekuasaan legislatif
dari Presiden ke DPR berarti memperkuat kedudukan dan fungsi DPR
sebagai lembaga legisatif. Kedua, ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan
bahwa Presiden berhak mengajukan RUU, berhadapan dengan kewajiban
konstitusional DPR dalam proses pembentukan undang-undang. Ketiga,
pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR membawa konsekuensi
peningkatan peran anggota DPR, khususnya dalam menggunakan hak
inisiatifnya untuk mengajukan RUU.
Pembentukan peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan
proses dan prosedur penyusunan dan pembentukan yang dilakukan melalui
tahapan-tahapan kegiatan terencana dan terkoordinasi. Sebagai proses, dalam
pelaksanaan kegiatannya melibatkan danmemerlukan kerja sama berbagai
pihak pemangku kepentingan (Stakeholder’s).
c. Materi Muatan Undang-Undang
Materi muatan yang diatur dalam undang-undang sangat luas, mencakup
berbagai aspek kehidupan. Tidak ada pembatasan yang tegas berkaitan
dengan materi muatan undang-undang, yaitu mengenai apa saja yang perlu
diatur dalam undang-undang dan bagaimana pengaturannya. Namun demikian,
A. Hamid S. Attamimi berpendapat bahwa dapat atau tidaknya ditentukan
materi muatan peraturan perundang-undangan negara tergantung pada sistem
pembentukan peraturan perundang-undangan serta latar belakang sejarah
dan sistem pembagian kekuasaan dari negara yang bersangkutan.
Seperti yang dikemukakan oleh Krabbe bahwa soal-soal politiklah yang
menentukan lingkup materi muatan undang-undang (wet).
3. Teori Hierarki Norma Hukum
Hans Kelsen mengatakan norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis
dalam suatu susunan yang hierarkis, dimana norma yang di bawah berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya
sampai akhirnya “regressus” ini berhenti pada suatu norma yang tertinggi yang
disebut norma dasar (Grundnorm). Norma dasar (Grundnorm) merupakan norma
tertinggi yang berlakunya tidak berdasar dan tidak bersumber pada norma yang
lebih tinggi lagi tetapi berlakunya secara pre supposed, yaitu ditetapkan lebih
dahulu oleh masyarakat.
Dalam tata urutan norma hukum, Hans Kelsen dalam bukunya General Theory
of Law and State (1945) menurut Stufentheorie bahwa hukum mengatur
pembentukannya sendiri karena norma hukum yang satu menentukan cara untuk
membuat norma hukum lainnya, dan sampai derajat tertentu juga menentukan isi
norma lainnya yaitu, norma hukum yang lebih rendah, ditentukan oleh norma
hukum lain yang lebih tinggi lagi dan rangkaian pembentukan hukum (regressus) ini
diakhiri oleh suatu norma dasar tertinggi. Dengan demikian, bagaimana
undang-undang terbentuk dan apa isi dari undang-undang ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan di atasnya yang lebih tinggi, yaitu konstitusi
(Staatsgrundgesetz).
3. Sebelum menjalankan penelitian, kita perlu mengetahui cara mengumpulkan data
yang dibutuhkan. Apakah itu berupa data primer, seperti wawancara. Apakah itu berupa
data sekunder, contohnya studi pustaka atau bahan bacaan. Bahan hukum pun
beragam dan kita bisa menggabungkannya. Perlu dipisahkan antara bahan hukum dan
bahan umum untuk memudahkan dalam pengumpulan dan pengolahan data nantinya.
Apa saja bahan hukum yang bisa digunakan sebagai data? Pertama, bahan hukum
primer, misal peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan perjanjian
internasional.
Kedua, bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer. Sebagai contoh, rancangan undang-undang, hasil-hasil
penelitian, dan hasil karya dari kalangan hukum.
Ketiga, bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia,
dan indeks kumulatif.
Berikut bahan hukum yang dapat digunakan dalam penelitian tersebut di atas:
a. Bahan Hukum Primer:
1) Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
3) Undang-Undang Nomor 15 tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
4) Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan atas
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang- ndangan
5) Peraturan Menteri Hukum & HAM Nomor 20 Tahun 2015 Jo. Permenkumham
Nomor 40 Tahun 2016 tentang Tata Cara dan Prosedur Pengharmonisasian,
Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-
undangan
b. Bahan Hukum Sekunder:
Inche Sayuna, Harmonisasi dan Sinkronisasi Hukum Surat Kuasa Membebankan
Hak Tanggungan (SKMHT) Ditinjau Dari Otentisitas Akta Menurut
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Tesis, Surakarta:
Universitas Sebelas Maret.
Risky Dian Novita Rahayu Rochim, Harmonisasi Norma-Norma Dalam Peraturan
Perundang-Undangan tentang Kebebasan Hakim, Jurnal Ilmiah, Malang:
Universitas Brawijaya.
Suhartono, Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Dalam Pelaksanaan
Anggaran Belanja Negara (Solusi Penyerapan Anggaran Belanja Negara
Yang Efisien, Efektif Dan Akuntabel), Tesis, Jakarta: Universitas Indonesia.
Moh. Hasan Wargakusumah dalam Novianti, Analisis Terhadap Pembuatan
Perjanjian Kerjasama Internasional (Studi di Provinsi Bali), Jakarta: P3DI
Setjen DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika, 2012, hal. 105.
Novianto M. Hantoro, Sinkronisasi dan Harmonisasi Pengaturan Mengenai Peraturan
Daerah, Serta Uji Materi Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun
2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029,
Jakarta: P3DI Setjen DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika.
A.A. Oka Mahendra, Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi-peraturan-perundang-
undangan.html
c. Bahan Hukum Tersier:
https://jdih.setneg.go.id/Ebook tentang Panduan Analisis Rancangan Peraturan
Perundang-undangan
https://kamushukum.web.id

Anda mungkin juga menyukai