NIM : 040831309
UPBJJ-UT KENDARI
Materi muatan Peraturan Presiden adalah materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau
materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.
Dimasukkannya kembali TAP MPR dalam tata urutan perundang-undangan dalam Undang-
undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan
bentuk penegasan bahwa produk hukum yang dibuat berdasarkan TAP MPR, masih diakui dan
berlaku secara sah dalam sistem perundang-undangan Indonesia. TAP MPR yang dimaksud
dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bisa djabarkan melalui penjelasan pasal tersebut
yang mengatakan bahwa, “Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang
Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun
2002, tanggal 7 Agustus 2003”. Dalam TAP MPR Nomor I/MPR/2003, telah diputuskan yang
mana saja TAP MPR(S) dari total 139 ketetapan sejak Tahun 1966 hingga 2002, yang masih
berlaku dan tidak berlaku lagi.
3. Jelaskan implikasi hukum ketika sebuah RUU yang sudah disetujui bersama oleh
Presiden dan DPR ternyata tidak ditandatangani oleh Presiden!
Setiap RUU yang sudah disahkan menjadi UU bisa dimohonkan pengujian meski tanpa tanda
tangan presiden setelah sudah melewati 30 hari sejak disahkan. Sebab, UU yang telah disetujui
bersama (DPR dan pemerintah) dan tidak ditandatangani presiden dalam waktu 30 hari secara
otomatis berlaku sebagai UU dan wajib diundangkan dalam lembaran negara sesuai Pasal 20
ayat (5) UUD Tahun 1945.
Menteri Hukum dan HAM yang mengesahkan dan memasukkanya dalam lembaran negara dan
juga memberi penomoran UU sesuai dengan urutan lembaran negara. Meski tanpa tanda tangan
Presiden,”
Pasal 20 ayat (5) UUD Tahun 1945 berbunyi “Dalam hal suatu RUU yang telah disetujui
bersama oleh DPR dan presiden tidak disahkan oleh presiden dalam waktu 30 hari sejak RUU
disetujui, RUU tersebut sah (otomatis) menjadi UU dan wajib diundangkan.”
Lain hal kalau pada akhirnya presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU
(Perppu) yang membatalkan substansi revisi UU MD3 ini. Akibatnya, uji materi UU Perubahan
Kedua atas UU MD3 ini bakal dinyatakan tidak dapat diterima karena kehilangan
objek (niet ontvankelijke verklaard/NO).
“Objeknya hilang karena presiden menggantinya dengan Perppu. Apalagi yang mau diuji,
sehingga MK akan memutus tidak dapat diterima. Makanya, dalam proses pembentukan
UU bukan hanya memenuhi syarat materil (materi muatan), tetapi juga harus memenuhi syarat
formil (prosedur),” ujar pria yang kebetulan tesisnya (2005) di FH UII Yogyakarta berjudul
“Kontroversi Undang-Undang Tanpa Pengesahan Presiden” ini.
Dalam praktik, kata Fajar, ketika pengujian UU belum ditandatangani presiden sudah memasuki
sidang panel pendahuluan atau perbaikan biasanya Majelis Panel akan menanyakan apakah
Pemohon akan menunggu UU yang diuji memiliki nomor. “Jika tidak mau menunggu tidak apa-
apa, persidangan akan terus berlanjut ke tahap berikutnya (sidang pleno) hingga keluarnya
nomor UU yang diuji,” ujarnya.
“Pengalaman MK saat sidang perbaikan, (biasanya) UU yang diuji sudah masuk dalam lembaran
negara dan memiliki nomor UU (karena sudah ditandatangani presiden). Namun, apabila belum
masuk dalam lembaran negara dan belum memiliki nomor UU hingga proses uji materi
memasuki tahap akhir (putusan), maka pengujian UU ini akan kehilangan objek.”