Anda di halaman 1dari 4

Nama : Nopi Ayu Cahyanti

NIM : 040831309

UPBJJ-UT KENDARI

1. Jelaskan perbedaan materi muatan antara Peraturan Presiden dan Peraturan


Pemerintah!
 Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh
Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.

Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah materi untuk menjalankan Undang-Undang. Di


dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan bahwa Peraturan Pemerintah sebagai aturan
"organik" daripada Undang-Undang menurut hierarkinya tidak boleh tumpang tindih atau
bertolak belakang.

Peraturan Pemerintah ditandatangani oleh Presiden.

 Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden


untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam
menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.

Materi muatan Peraturan Presiden adalah materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau
materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.

2. Jelaskan alasan-alasan dimasukkannya kembali Ketetapan MPR dalam hierarki


peraturan perundang-undangan menurut UU Nomor 12 Tahun 2011!

Dimasukkannya kembali TAP MPR dalam tata urutan perundang-undangan dalam Undang-
undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan
bentuk penegasan bahwa produk hukum yang dibuat berdasarkan TAP MPR, masih diakui dan
berlaku secara sah dalam sistem perundang-undangan Indonesia. TAP MPR yang dimaksud
dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bisa djabarkan melalui penjelasan pasal tersebut
yang mengatakan bahwa, “Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang
Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun
2002, tanggal 7 Agustus 2003”. Dalam TAP MPR Nomor I/MPR/2003, telah diputuskan yang
mana saja TAP MPR(S) dari total 139 ketetapan sejak Tahun 1966 hingga 2002, yang masih
berlaku dan tidak berlaku lagi.

3. Jelaskan implikasi hukum ketika sebuah RUU yang sudah disetujui bersama oleh
Presiden dan DPR ternyata tidak ditandatangani oleh Presiden!

Setiap RUU yang sudah disahkan menjadi UU bisa dimohonkan pengujian meski tanpa tanda
tangan presiden setelah sudah melewati 30 hari sejak disahkan. Sebab, UU yang telah disetujui
bersama (DPR dan pemerintah) dan tidak ditandatangani presiden dalam waktu 30 hari secara
otomatis berlaku sebagai UU dan wajib diundangkan dalam lembaran negara sesuai Pasal 20
ayat (5) UUD Tahun 1945.

Menteri Hukum dan HAM yang mengesahkan dan memasukkanya dalam lembaran negara dan
juga memberi penomoran UU sesuai dengan urutan lembaran negara. Meski tanpa tanda tangan
Presiden,”

Pasal 20 ayat (5) UUD Tahun 1945 berbunyi “Dalam hal suatu RUU yang telah disetujui
bersama oleh DPR dan presiden tidak disahkan oleh presiden dalam waktu 30 hari sejak RUU
disetujui, RUU tersebut sah (otomatis) menjadi UU dan wajib diundangkan.”

Lain hal kalau pada akhirnya presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU
(Perppu) yang membatalkan substansi revisi UU MD3 ini. Akibatnya, uji materi UU Perubahan
Kedua atas UU MD3 ini bakal dinyatakan tidak dapat diterima karena kehilangan
objek (niet ontvankelijke verklaard/NO).  
“Objeknya hilang karena presiden menggantinya dengan Perppu. Apalagi yang mau diuji,
sehingga MK akan memutus tidak dapat diterima. Makanya, dalam proses pembentukan
UU bukan hanya memenuhi syarat materil (materi muatan), tetapi juga harus memenuhi syarat
formil (prosedur),” ujar pria yang kebetulan tesisnya (2005) di FH UII Yogyakarta berjudul
“Kontroversi Undang-Undang Tanpa Pengesahan Presiden” ini.
Dalam praktik, kata Fajar, ketika pengujian UU belum ditandatangani presiden sudah memasuki
sidang panel pendahuluan atau perbaikan biasanya Majelis Panel akan menanyakan apakah
Pemohon akan menunggu UU yang diuji memiliki nomor. “Jika tidak mau menunggu tidak apa-
apa, persidangan akan terus berlanjut ke tahap berikutnya (sidang pleno) hingga keluarnya
nomor UU yang diuji,” ujarnya.
“Pengalaman MK saat sidang perbaikan, (biasanya) UU yang diuji sudah masuk dalam lembaran
negara dan memiliki nomor UU (karena sudah ditandatangani presiden). Namun, apabila belum
masuk dalam lembaran negara dan belum memiliki nomor UU hingga proses uji materi
memasuki tahap akhir (putusan), maka pengujian UU ini akan kehilangan objek.”

4. Jelaskan alur pembentukan Undang-Undang!


Undang-undang Dasar 1945 pasal 20 ayat 1 menyebut bahwa, kekuasaan untuk membentuk UU
ada di Dewan Perwakilan Rakyat. Kemudian di pasal 20 ayat 2 disebutkan bahwa setiap
rancangan UU (RUU) dibahas oleh DPR bersama Presiden untuk mendapatkan persetujuan
bersama. 
Nah, untuk proses pembentukan undang-undang diatur dalam Undang-undang nomor 12 tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pasal 16 sampai 23, pasal 43 sampai
51 dan pasal 65 sampai 74. Berdasar ketentuan tersebut seperti inilah proses pembentukan
sebuah undang-undang. 
1. Sebuah RUU bisa berasal dari Presiden, DPR atau DPD. 
2. RUU yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga terkait. 
3. RUU kemudian dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) oleh Badan
Legislasi DPR untuk jangka waktu 5 tahun. 
4. RUU yang diajukan harus dilengkapi dengan Naskah Akademik kecuali untuk RUU Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), RUU penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) menjadi UU, serta RUU pencabutan UU atau pencabutan Perpu.
5. Pimpinan DPR mengumumkan adanya usulan RUU yang masuk dan membagikan ke seluruh
anggota dewan dalam sebuah rapat paripurna. 
6. Di rapat paripurna berikutnya diputuskan apakah sebuah RUU disetujui, disetujui dengan
perubahan atau ditolak untuk pembahasan lebih lanjut. 
7. Jika disetujui untuk dibahas, RUU akan ditindaklanjuti dengan dua tingkat pembicaraan. 
8. Pembicaraan tingkat pertama dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat
Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus. 
9. Pembicaraan tingkat II dilakukan di rapat paripurna yang berisi: penyampaian laporan tentang
proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil Pembicaraan Tingkat I; pernyataan
persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh
pimpinan rapat paripurna; dan pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang
mewakilinya.
10. Apabila tidak tercapai kata sepakat melalui musyawarah mufakat, keputusan diambil dengan
suara terbanyak
11. Bila RUU mendapat persetujuan bersama DPR dan wakil pemerintah, maka kemudian
diserahkan ke Presiden untuk dibubuhkan tanda tangan. Dalam UU ditambahkan kalimat
pengesahan serta diundangkan dalam lembaga Negara Republik Indonesia. 
12. Dalam hal RUU tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak RUU disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi Undang-Undang dan
wajib diundangkan.

Anda mungkin juga menyukai