Anda di halaman 1dari 243

BAB I

PENDAHULUAN

Tujuan Instruksional Umum

Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan memperoleh


pemahaman yang mendalam mengenai hukum administrasi negara.

Tujuan Instruksional Khusus

Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan:

1. Adanya pemahaman mengenai pengertian hukum administrasi


negara.
2. Mengetahui latar belakang munculnya hukum administrasi negara.
3. Mengetahui ruang lingkup hukum administrasi negara.
4. Memahami letak hukum administrasi negara dalam ilmu hukum.

1
BAB I

1.1. Pengertian Hukum Administrasi Negara

Di dalam ilmu hukum, Hukum Administrasi Negara termasuk dalam


hukum publik dan merupakan perpanjangan dari Hukum Tata Negara. Pada
dasarnya sangat sulit untuk memberikan definisi Hukum Administrasi
Negara yang dapat diterima semua pihak mengingat Hukum Administrasi
Negara sangat luas dan terus berkembang mengikuti arah penyelenggaraan
suatu negara; namun sebagai pegangan diberikan beberapa definisi dari para
ahli sebagai berikut:
a. Oppen Heimer; “Hukum Administrasi Negara adalah sebagai
suatu gabungan ketentuan-ketentuan yang mengikat badan-badan
yang tinggi maupun rendah apabila badan-badan itu menggunakan
wewenangnya yang telah diberikan oleh Hukum Tata Negara.”
b. J.H.P. Beltefroid; “Hukum Administrasi Negara adalah
keseluruhan aturan-aturan tentang cara bagaimana alat-alat
pemerintahan dan badan-badan kenegaraan dan majelis-majelis
pengadilan tata usaha hendak memenuhi tugasnya.”
c. Logemann; “Hukum Administrasi Negara adalah seperangkat
dari norma-norma yang menguji hubungan hukum Istimewa yang
diadakan untuk memungkinkan para pejabat administrasi negara
melakukan tugas mereka yang khusus.”
d. De La Bascecoir Anan; “Hukum Administrasi Negara adalah
himpunan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi sebab negara
berfungsi/bereaksi dan peraturan-peraturan itu mengatur
hubungan-hubungan antara warga negara dengan pemerintah.”
e. L.J. van Apeldoorn; “Hukum Administrasi Negara adalah
keseluruhan aturan yang hendaknya diperhatikan para pendukung

2
kekuasaan penguasa yang diserahi tugas pemerintahan itu.”
f. A.A.H. von Struiken; “ Hukum Administarsi Negara adalah
aturan-aturan yang menguasai tiap-tiap cabang kegiatan penguasa
sendiri.”
g. J.P. Hooykaas; “Hukum Administarsi Negara adalah ketentuan-
ketentuan mengenai campur tangan dan alat-alat perlengkapan
Negara dalam lingkungan swasta.”
h. W. Ivor Jennings; “Hukum Administarsi Negara adalah hukum
yang berhubungan dengan Administrasi Negara, hukum ini
menentukan organisasi kekuasaan dan tugas-tugas dari pejabat-
pejabat administrasi.”
i. Marcel Waline; “Hukum Administarsi Negara adalah
keseluruhan aturan-aturan yang menguasai kegiatan-kegiatan alat-
alat perlengkapan negara yang bukan alat perlengkapan
perundang-undangan atau kekuasaan kehakiman menentukan luas
dan batas-batas kekuasaan alat-alat perlengkapan tersebut, baik
terhadap warga masyarakat maupun antara alat-alat perlengkapan
itu sendiri, atau pula keseluruhan aturan-aturan yang menegaskan
dengan syarat-syarat bagaimana badan-badan tata usaha negara/
administrasi memperoleh hak-hak dan membebankan kewajiban-
kewajiban kepada para warga masyarakat dengan peraturan alat-
alat perlengkapannya guna kepentingan pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan umum.
j. E. Utrecht; “Hukum Administarsi Negara adalah menguji
hubungan hukum istimewa yang diadakan agar memungkinkan
para pejabat pemerintahan negara melakukan tugas mereka secara
khusus. Sehingga ciri-ciri Hukum Administarsi Negara adalah:
 Menguji hubungan hukum istimewa
 Adanya para pejabat pemerintahan

3
 Melaksanakan tugas-tugas istimewa.
k. Prajudi Atmosoedirdjo; “Hukum Administarsi Negara adalah
hukum mengenai operasi dan pengendalian dari kekuasaan-
kekuasaan administrasi atau pengawasan terhadap penguasa-
penguasa administrasi.
l. Bachsan Mustofa; “Hukum Administrasi Negara adalah sebagai
gabungan jabatan-jabatan yang dibentuk dan disusun secara
bertingkat yang diserahi tugas melakukan sebagian dari pekerjaan
pemerintahan dalam arti luas yang tidak diserahkan pada badan-
badan pembuat undang-undang dan badan-badan kehakiman.
Merujuk definisi para ahli di atas terlihat bahwa bidang hukum
administrasi negara sangat luas, banyak segi dan ragamnya. Pemerintah
adalah pengurus negara, pengurus negara adalah keseluruhan dari jabatan di
dalam negara yang mempunyai tugas dan wewenang politik negara dan
pemerintahan. Apa yang dijalankan pemerintah adalah tugas negara dan
merupakan tanggung jawab dari alat-alat pemerintahan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Hukum
Administrasi Negara adalah hukum mengenai pemerintah/eksekutif di dalam
kedudukannya, tugas-tugasnya, fungsi dan wewenangnya sebagai
administrator negara.

1.2. Latar Belakang Munculnya Hukum Administrasi Negara

Dilihat dari sejarahnya, sebelum abad 19 Hukum Administrasi Negara


menyatu dengan Hukum Tata Negara dan baru pada abad ke 19 Hukum
Administrasi Negara berdiri sendiri sebagai suatu disiplin ilmu hukum
tersendiri. Baron de Gerando adalah ilmuwan Perancis yang pertama kali
mempekenalkan ilmu hukum administrasi negara sebagai ilmu hukum yang
tumbuh langsung berdasarkan keputusan-keputusan alat perlengkapan
negara berdasarkan praktik kenegaraan sehari-hari; dengan kata lain,

4
keputusan raja dalam menyelesaikan sengketa antara pejabat dan rakyat
merupakan kaidah Hukum Administrasi Negara.
Pada awalnya, Hukum Administrasi Negara (HAN) atau Hukum Tata
Usaha Negara (HTUN) atau Hukum Tata Pemerintahan (HTP) di Belanda
disatukan dalam Hukum Tata Negara yang disebut Staats en Administratief
recht. Pada tahun 1946 di Universitas Amsterdam diadakan pemisahan mata
kuliah antara Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi. Tahun 1948
Universitas Leiden mengikuti jejak Universitas Amsterdam memisahkan
mata kuliah Hukum Tata Negara dan mata kuliah Hukum Administrasi
Negara oleh Kranenburg. Pertengahan abad 20 Hukum Administrasi Negara
berkembang pesat akibat tuntutan timbulnya negara hukum modern
(welfarestate) yang mengutamakan kesejahteraan rakyat. Hukum
Administrasi Negara di Belanda disebut Administratif recht atau
Bestuursrecht yang berarti lingkungan kekuasaan/administratif diluar dari
legislatif dan yudisial. Di Perancis disebut Droit Administrative. Di Inggris
disebut Administrative Law. Di Jerman disebut Verwaltung recht.
Di Indonesia sebelum perang dunia kedua pada Rechtshogeschool di
Jakarta Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara diberikan
dalam satu mata kuliah Staats en administratiefrecht oleh Logemann sampai
tahun 1941. Tahun 1946 di Universitas Indonesia Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara diberikan secara tersendiri. Hukum Tata
Negara diberikan oleh Resink, Hukum Administrasi Negara oleh Prins. Di
Indonesia banyak istilah untuk Hukum Administrasi Negara; diantaranya:
1) E.Utrecht dalam bukunya Pengantar Hukum Administrasi pada
cetakan pertama memakai istilah Hukum Tata Usaha Indonesia,
pada cetakan kedua menggunakan istilah Hukum Tata Usaha
Negara Indonesia, dan pada cetakan ketiga menggunakan istilah
Hukum Administrasi Negara Indonesia.
2) Wirjono Projodikoro, dalam tulisannya di majalah hukum tahun
1952, menggunakan istilah “Tata Usaha Pemerintahan”.

5
3) Djenal Haesen Koesoemaatmadja dalam bukunya Pokok-pokok
Hukum Tata Usaha Negara, menggunakan istilah Hukum Tata
Usaha Negara dengan alasan sesuai dengan Undang-undang Pokok
Kekuasaan Kehakiman Nomor 14 tahun 1970.
4) Prajudi Atmosoedirdjo, dalam Musyawarah Nasional Persahi tahun
1972 menggunakan istilah Peradilan Administrasi Negara.
5) W.F. Prins dalam bukunya Inhiding in het Administratif recht van
Indonesia, menggunakan istilah, Hukum Tata Usaha Negara
Indonesia.
6) Rapat Staf Dosen Fakultas Hukum Negeri seluruh Indonesia bulan
Maret 1973 di Cirebon memutuskan menggunakan istilah Hukum
Administrasi Negara dengan alasan Hukum Administrasi Negara
pengertiannya lebih luas dan sesuai dengan perkembangan
pembangunan dan kemajuan Negara Republik Indonesia kedepan.
7) Surat Keputusan Mendikbud tahun 1972 tentang Pedoman
Kurikulum minimal Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta,
meggunakan istilah Hukum Tata Pemerintahan (HTP).
8) Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 14 tahun
1970 dan TAP MPR Nomor II/1983 tentang GBHN memakai
istilah Hukum Tata Usaha Negara.
9) Surat Keputusan Mendikbud Nomor 31 tahun 1983 tentang
Kurikulum Inti Program Pendidikan Sarjana Hukum menggunakan
istilah Hukum Administrasi Negara.
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa Hukum Administrasi Negara
adalah ilmu yang luas dan terus berkembang mengikuti dan memenuhi
tuntutan negara/masyarakat sehingga lapangan yang digalipun semakin luas
dan beraneka ragam konsekuensinya hubungan antara pemerintah dan
masyarakat lambat laun semakin jelas dan tertata.

6
1.3. Ruang Lingkup Hukum Administrasi Negara

Isi dan ruang lingkup Hukum Administrasi Negara menurut van


Vallen Hoven dalam bukunya: Omtrek van het administratiefrecht, yang
kemudian dikenal dengan “Residu Theori”dapat dilihat dalam skema
hukum sebagai berikut:
a. Hukum Tata Negara/Staatsrecht meliputi:
1. Pemerintah/Bestuur
2. Peradilan/Rechtopraak
3. Polisi/Politie
4. Perundang-undangan/Regeling
b. Hukum Perdata/Burgerlijk
c. Hukum Pidana/Strafrecht
d. Hukum Administrasi Negara/administratief recht meliputi:
1. Hukum Pemerintah/Bestuur recht
2. Hukum Peradilan yang meliputi:
 Hukum Acara Pidana
 Hukum Acara Perdata
 Hukum Peradilan Administrasi Negara
e.Hukum Kepolisian
f. Hukum Proses Perundang-undangan/Regelaarsrecht.
Menurut Walther Burckharlt (Swiss), bidang-bidang pokok Hukum
Administrasi Negara adalah:
a. Hukum Kepolisian
Kepolisian dalam arti sebagai alat administrasi negara yang
bersifat preventif;
b. Hukum Kelembagaan; administrasi wajib mengatur hubungan
hukum sesuai dengan tugas penyelenggara kesejahteraan rakyat
misal dalam bidang pendidikan, rumah sakit, tentang lalu lintas
(laut, udara dan darat), Telkom, BUMN, Pos, pemeliharaan fakir

7
miskin, dan sebagainya.
c. Hukum Keuangan; aturan tentang keuangan negara, misal pajak,
bea cukai, peredaran uang, pembiayaan negara dan sebagainya.
Prajudi Atmosoedirdjo menjelaskan bahwa ruang lingkup Hukum
Administrasi Negara adalah:
a. Hukum tentang dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum daripada
administrasi negara.
b. Hukum tentang organisasi dari administrasi negara.
c. Hukum tentang aktifitas-aktifitas dari administrasi negara yang
bersifat yuridis.
d. Hukum tentang sarana-sarana dari administrasi negara terutama
mengenai kepegawaian negara dan keuangan negara.
e. Hukum administrasi pemerintahan daerah dan wilayah yang
dibagi menjadi:
1. Hukum Administrasi Kepegawaian
2. Hukum Administrasi Keuangan
3. HukumAdministrasi Materiil
4. Hukum Administrasi Perusahaan Negara
5. Hukum tentang Peradilan Administrasi Negara
Kusumadi Pudjosewojo, membagi bidang pokok yang merupakan
lapangan Hukum Tata Usaha Negara atau Hukum Adminsitrasi Negara,
yang diambil dari Undang-Undang Dasar Sementara, sebagai berikut:
a. Hukum Tata Pemerintahan
b. Hukum Tata Keuangan
c. Hukum Hubungan Luar Negeri
d. Hukum Pertahanan Negara dan Keamanan Umum
Berdasarkan uraian di atas dapat dirinci bahwa Hukum Adminsitrasi
Negara adalah sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri di luar legislatif dan
yudisial.

8
1.4. Letak Hukum Administrasi Negara Dalam Ilmu Hukum

Hukum Administrasi Negara sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri


dapat dilihat dalam teori Residu dari van Vallen Hoven yang membagi
seluruh materi hukum itu secara terperinci sebagai berikut:
a. Hukum Tata Negara (materiil)
1. Pemerintahan
2. Peradilan
3. Kepolisian
b. Hukum Perdata (materiil)
c. Hukum Pidana (materiil)
d. Hukum Pemerintahan
e. Hukum Peradilan
1. Peradilan Tata Negara
2. Hukum Acara Perdata
3. Hukum Acara Pidana
4. Hukum Peradilan Tata Usaha Negara
Merujuk uraian di atas, mengingat Ilmu Hukum Administrasi Negara
sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri, harus ditentukan letak atau batasan-
batasan serta hubungan-hubungan antara ilmu administrasi negara dan
beberapa cabang ilmu hukum lainnya seperti Hukum Tata Negara, Hukum
Perdata, Hukum Pidana dan Ilmu Pemerintahan.

9
BAB II
HUBUNGAN DAN FUNGSI
HUKUM

Tujuan Instruksional Umum

Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan memperoleh


pemahaman yang mendalam mengenai hukum administrasi negara.

Tujuan Instruksional Khusus

Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan:

1. Adanya pemahaman hubungan hukum administrasi negara dan Ilmu


lain.
2. Memahami fungsi hukum administrasi negara.

10
BAB II

2.1. Hubungan Hukum Administrasi Negara dan Cabang Ilmu Lain

Dalam perkembangannya, mengingat Ilmu Hukum Administrasi


Negara terus mengikuti dan memenuhi tuntutan negara dan masyarakat,
lebih lanjut diuraikan penjelasan beberapa sarjana yang turut membidani
kelahiran Hukum Administrasi Negara tersebut, diantaranya adalah W.F.
Prins, Romejn, Donner, van Vollenhoven, Oppenheim.
W.F. Prins menjelaskan bahwa Hukum Administrasi Negara
merupakan aanhangsel (embel-embel atau tambahan) dari hukum tata
negara. Romejn menjelaskan bahwa Hukum Tata Negara menyinggung
dasar-dasar dari pada negara, dan Hukum Administrasi Negara adalah
mengenai pelaksanaan tekniknya. Pendapat Romejn ini dapat diartikan
bahwa Hukum Administrasi Negara adalah hukum yang melaksanakan apa
yang telah ditentukan oleh Hukum Tata Negara. Teori Dwi Praja dari
Donner menjelaskan bahwa Hukum Tata Negara menetapkan tugas
(taakstelling), sedangkan Hukum Administrasi Negara melaksanakan apa
yang telah ditentukan oleh Hukum Tata Negara (taakverwezenlijking). Van
Vollenhoven menjelaskan bahwa secara teoretis Hukum Tata Negara adalah
keseluruhan peraturan hukum yang membentuk alat perlengkapan negara
dan menentukan kewenangan alat-alat perlengkapan negara tersebut,
sedangkan Hukum Administrasi Negara adalah keseluruhan ketentuan yang
mengikat alat-alat perlengkapan negara, baik tinggi maupun rendah ketika
alat-alat itu akan menggunakan kewenangan ketatanegaraan. Oppenheim
menjelaskan bahwa Hukum Tata Negara memperhatikan negara dalam
keadaan tidak bergerak (staat in rust). Pada pihak lain Hukum Administrasi
negara sebagai suatu kelompok ketentuan-ketentuan yang mengikat badan-
badan yang tinggi maupun rendah bila badan-badan itu menggunakan
wewenangnya yang telah diberi oleh hukum tata negara. Hukum

11
Administrasi negara menurut Oppenheim memperhatikan negara dalam
keadaan bergerak (staat in beweging).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam
perkembangannya ada pemisahan antara hukum tata negara dan hukum
administrasi negara. Bagi hukum tata negara, hukum administrasi negara
merupakan perpanjangan hukum tata negara; dengan kata lain hukum
administrasi negara melengkapi hukum tata negara, disamping sebagai
hukum instrumental (instrumenteel recht) juga menetapkan perlindungan
hukum terhadap keputusan-keputusan penguasa.
2.1.1. Hubungan antara Hukum Administrasi Negara dan Hukum Tata
Negara
Telah disebutkan dalam perkembangannya ada pemisahan antara
hukum administrasi negara dan hukum tata negara, namun di antara para
ahli hukum masih menyisakan perbedaan pendapat hubungan Hukum
Administrasi Negara dan Hukum Tata Negara. Secara garis besar pendapat
para ahli hukum itu dapat dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama
menyatakan Hukum Administrasi Negara dan Hukum Tata Negara tidak ada
perbedaan yang prinsipil. Kelompok kedua menyatakan Hukum
Administrasi Negara dan Hukum Tata Negara ada perbedaan yang prinsipil.
Kelompok pertama yang menyatakan bahwa Hukum Administrasi
Negara dan Hukum Tata Negara tidak ada perbedaan yang prinsipil di
antaranya adalah, Kranenburg, van der Pot dan Vegting. Kranenburg
berpendapat bahwa membedakan kedua cabang ilmu pengetahuan itu secara
tajam karena isinya maupun wataknya berlainan adalah tidak riil. Perbedaan
itu disebabkan karena pengaruh dan ajaran organis mengenai negara
(organische staats-theorie) yang timbul karena pembagian dalam ilmu
pengetahuan medis yang disebut anatomie dan psychologie. Sistematik yang
diambil dengan analogi kedua ilmu pengetahuan medis itu tidak tepat,
karena obyek yang diselidikinya itu memang tidak sama. Perbedaan antara
Hukum Administrasi Negara dan Hukum Tata Negara tidak bersifat azasi

12
dan hubungan antara kedua ilmu pengetahuan itu dapat disamakan dengan
hubungan antara Hukum Perdata dan Hukum Dagang. Jika terjadi
pemisahan antara kedua hal itu hanya disebabkan karena kebutuhan akan
pembagian kerja yang timbul dari cepatnya pertumbuhan hukum korporatif
dari masyarakat hukum teritorial dan juga disebabkan karena perlu
dibaginya materi yang diajarkan, sehingga Hukum Tata Negara meliputi
susunan, tugas, wewenang dan cara badan-badan itu menjalankan tugasnya,
sedangkan bagian lain yang lebih terperinci itu dimasukkan dalam Hukum
Administrasi Negara.1 Perbedaan antara Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara itu bukan karena alasan yang prinsipil, akan tetapi
sekedar untuk kepentingan pembagian kerja. van der Pot juga tidak
membedakan secara tajam antara Hukum Administrasi Negara dan Hukum
Tata Negara dengan alasan bahwa perbedaan secara prinsipil tidak
menimbulkan suatu akibat hukum. Kalau juga diadakan suatu perbedaan, itu
hanya penting bagi ilmu pengetahuan hukum, sehingga para ahli hukum
mendapatkan suatu gambaran tentang sistem yang bermanfaat.2 Begitu pula
Vegting pada waktu mengucapkan pidato jabatannya dengan judul “Plaats
en aard van het Administratiefrecht” seperti halnya Kranenburg dalam “Het
algemene Nederlandsch Administratiefrecht”, Vegting menjelaskan bahwa
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara mempunyai lapangan
penyelidikan yang sama, hanya perbedaannya terletak pada cara pendekatan
yang dipergunakan oleh masing-masing ilmu pengetahuan itu. Cara
pendekatan yang dilakukan Hukum Tata Negara ialah untuk mengetahui

1
Kranenburg, R., Het Nederlandsch Staatsrecht. eente deel, zeede durk, Haarlem
H.D. Tjeenk Wfllink & Zoon. 1947, hal 14: Ik zou de iplitsing wfllen verklaren alf een
gevolg van de behoefte aan arbeidsverdeling bij de zeer inelle uitgroei van het
corporatieve recht der territoriale gemeerwchappen en de noodzakelijkheid om zich de
behandeling der itof te beperken tot iamenstelling. de taak, bevogdheid en de
functionerings-wijze van de belangrijkste organen i dan alt staatrecht worden gedoceerd.
terwijl de nadere en meer in I zonderheden afdalende behandeling van bijzondere takken
der tui rechtorgankatie onder het adrhiniitratiefrecht werd gebracht”. Dalam halaman
selanjutya dijelaskan bahwa “De onderacheiding Staatrecht en Adminiitratiefrecht dus niet
principieel, maar tenvoudig een van do matige arbeidiverdeling”.
2
van der Pot, C.W.. Nederlandsche Staatsrecht, 1960. hal 610

13
organisasi dari pada negara, serta badan-badan lainnya, sedangkan Hukum
Administrasi Negara menghendaki bagaimana caranya negara serta organ-
organnya melakukan tugasnya. Ia tidak membedakan Hukum Tata Negara
dan Hukum Administrasi Negara karena pembatasan wewenang
(competentie afbakening) melainkan karena cara bertindaknya negara itu
sudah merupakan pembatasan wewenang juga. Lebih lanjut Vegting
menjelaskan, bahwa Hukum Tata Negara mempunyai obyek penyelidikan
hal-hal yang pokok mengenai organisasi dari pada negara, sedangkan bagi
Hukum Administrasi negara obyek penyelidikannya adalah mengenai
peraturan-peraturan yang bersifat teknis.3
Kelompok kedua yang menyatakan bahwa Hukum Administrasi
Negara dan Hukum Tata Negara ada perbedaan prinsipil diantaranya adalah
van Vollenhoven, Oppenheim, Logemann, Stellinga. Kelompok ini melihat
kedua ilmu pengetahuan itu menurut mereka dapat dibagi secara tajam baik
mengenai sistematika maupun isinya. Hukum Administrasi Negara
merupakan Hukum Tata Negara dalam arti luas dikurangi dengan Hukum
Tata Negara dalam arti sempit (disebut teori “residu”). van Vollenhoven
dalam tulisan pertamanya yang berjudul “Thorbecke en het administratief
recht” mengartikan Hukum Tata Negara sebagai sekumpulan peraturan-
peraturan hukum yang menentukan badan-badan kenegaraan serta memberi
wewenang kepadanya, dan bahwa kegiatan suatu pemerintahan modern
adalah membagi-bagikan wewenang itu kepada badan-badan dari yang
tertinggi sampai yang terendah kedudukannya. Oppenheim menjelaskan,
rumusan Hukum Tata Negara itu sama dengan negara dalam keadaan tidak
bergerak, sedangkan Hukum Administrasi Negara adalah sekumpulan
peraturan hukum yang mengikat badan-badan negara baik yang tinggi
maupun yang rendah jika badan-badan itu mulai menggunakan

3
Vegting. W.G., Plaats en aard van het Adminktratiefrecht, pidato inaugurasi
Amsterdam 1946, juga “Het Algemeen Nederlandsch Adminirtratiefrecht”, I, 1954, hal 6-7,
“Staats en adminktratiefrecht hebben een gemeenschappelijk gebied van te bestuderen
regelen, die echter, bij ene studie anders benaderd worden dan bij de andere”.

14
wewenangnya yang ditentukan dalam Hukum Tata Negara”. Menurut
Oppenheim perumusan ini dimisalkan seperti negara di dalam keadaan
bergerak.4 Dalam tulisannya yang lain, van Vollenhoven membagi Hukum
Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara agak berlainan dari tulisannya
yang pertama.5 Ia berpendapat bahwa semua peraturan hukum yang sejak
berabad-abad lamanya itu tidak termasuk dalam Hukum Tata Negara
materiil, hukum perdata materiil dan hukum pidana materiil, dimasukkan
dalam Hukum Administrasi Negara; dengan demikian van Vollenhoven
mengartikan Hukum Administrasi Negara meliputi seluruh kegiatan negara
dalam arti luas, tidak hanya terbatas pada tugas pemerintahan dalam arti
sempit tetapi meliputi tugas peradilan, polisi dan tugas membuat peraturan.
Menurut van Vollenhoven Hukum Administrasi Negara dibagi dalam:
1. bestuursrecht (hukum pemerintahan),
2. justitierecht (hukum peradilan),
3. politierecht (hukum kepolisian), dan
4. regelaarsrecht (hukum perundang-undangan).
Pendapat van Vollenhoven mengenai Hukum Administrasi Negara
dapat dibagi dalam dua pengertian yaitu:
1. Hukum Administrasi Negara dalam arti klasik, dan
2. Hukum Administrasi Negara dalam arti modern.

4
van Vollenhoven, “Thorbecke en het Adminittratiefrecht” dalam J. Oppenheims
bundel (Nederlandsch Administratiefrecht), 1921, hal 21.
“Ter eener zijde windt men, als staatsrecht dat complex van rechts voorchriften toekent,
dat de werkzaamheden van een moderne over-heid distribueert over tal van hoeger, en
lagere organen, het houdt rich bezig naar Oppenheim’s woord, meet de staat in rust
Anderzijds staat alles Administratiefrecht dat complex van bepalingen, waaraan hogere en
lagere organen gebonden zijn, zoodra ze van hun rec vaiUtaande UaaUrechtelijke
bevoegheid gebruik gaan ma ken; t betreft naar Oppenheim a verdere woord, de ttaat in
beweging”.
5
van Vollenhoven, Omtrek van bet Adminirtratiefrecht, verhandeling voorgedragen
in de Koninklijke Academe van Weteiuchappen, hal 62, dan “Venpreide Geachriften”,I,
haL 88. “alle red dat niet finds eeuwen gelijkt it ale materieel itaataecht, matrieel p
vaatrecht of materieel ctaatrecht, krijgt op natuuriijke wijze een welgevoed onderdak in het
adminkitratiefrecht.

15
Pertanyaan yang muncul apa yang menyebabkan van Vollenhoven
berbeda pendapat dalam dua tulisannya itu. Pada perumusan Hukum
Administrasi Negara dalam buku yang pertama van Vollenhoven masih
diliputi oleh suasana hidup negara yang menganut faham liberal (liberale
rechtstaatsgedachte) yang dipengaruhi faham Kant dimana negara tidak
boleh mencampuri kepentingan-kepentingan individu, melainkan tugas
negara hanyalah sebagai penjaga malam (Nachtwachter-staat) atau (L’etat
Gendarm); sedangkan pada perumusan Hukum Administrasi Negara dalam
arti yang kedua, van Vollenhoven merubah perumusan dalam arti untuk
menyelenggarakan kepentingan rakyat (wellvaartstaat-gedachte). Dalam
buku keduanya dijelaskan bahwa: “badan-badan negara tanpa hukum tata
negara itu lumpuh bagaikan tanpa sayap, karena badan-badan itu tidak
mempunyai wewenang sehingga keadaannya tidak menentu. Sebaliknya
badan-badan negara tanpa adanya hukum administrasi negara menjadi bebas
tanpa batas karena mereka dapat berbuat menurut apa yang mereka
inginkan”.6 Di sini dapat diketahui maksud van Vollenhoven pada buku
pertamanya bahwa badan Hukum Administrasi Negara itu diadakan untuk
mengekang pemerintah sesuai dengan prinsip liberal yang hidup pada waktu
itu, sedangkan pada buku keduanya ia tidak bermaksud hanya mengekang
pemerintah agar jangan bertindak sewenang-wenang dengan kekuasaannya,
melainkan memberi keleluasaan untuk menyelenggarakan kepentingan
rakyat, bahkan juga menentukan kewajiban-kewajiban kepada rakyat sesuai
dengan faham kesejahteraan yang dianut negara (welvaart-staats-gedachte).
Dalam menyelenggarakan kepentingan umum, ada kalanya negara harus

6
van Vollenhoven, “Staatorganen zonder staatsrecht is vleugellam, want hun
bevoegheid ontbreck of is onzeker Staatsorganen zonder Administratiefrecht is vluegelvrij,
want zij kunnen hun bevoegdheid niet zo toepassen als zii it lieftst willen”, dalam bukunya
“Staatrecht oversee”. Penjelasan tentang teori van Vollenhoven ini dapat dilihat dalam
karangan-karangan, Kontjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan
dan Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1978, hal 14; Amrah Mudimin,
Beberapa Azas-Azas Dan Pengertian-Pengertian Pokok tentang Administrasi dan Hukum
Administrasi, Alumni, Bandung. 1980, hal 8-13, dan Djenal Hoesen Koesoemahatmadja,
Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara, Alumni, Bandung, 1979, hal 12-14.

16
melanggar hak rakyat, misal melakukan penyitaan untuk kepentingan umum
(onteiguning ten algemene nutte). Dalam hal pembuatan jalan misalnya,
negara memerlukan tanah pembuatan jalan agar hubungan antar dua tempat
itu lebih lancar, maka negara terpaksa mengambil sebagian tanah rakyat
untuk kepentingan tersebut. Lazimnya, penyitaan dilakukan dengan ganti
rugi kepada rakyat yang bersangkutan. Dapat juga misalnya Pemerintah
memberi konsekuensi atas nama perusahaan-perusahaan (nutsbedrijven)
untuk kepentingan umum.
Logemann dalam bukunya “Over de theorie van een stellig
staatsrecht” mengadakan perbedaan tajam antara Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara. Untuk membedakannya ia bertitik tolak pada
sistematik hukum pada umumnya yang meliputi tiga hal, yaitu: (1) ajaran
tentang status (persoonsleer); (2) ajaran tentang lingkungan (gebiedsleer);
(3) ajaran tentang hubungan hukum (leer de rechtsbetrekking). Berhubung
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara itu merupakan suatu
macam hukum khusus (als byzonder soort van recht) yang mempunyai
obyek penyelidikan hukum maka sistematika hukum pada umumnya itu
dapat diterapkan pula terhadap Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara. Sistematika dalam bukunya sebagai berikut:
1. Hukum Tata Negara dalam arti sempit meliputi:
 Persoonsleer, mengenai persoon dalam arti hukum yang
meliputi hak dan kewajiban manusia, personifikasi,
pertanggungan jawab, lahir dan hilangnya hak dan kewajiban
tersebut, hak organisasi, batasaan-batasan dan wewenang.
 gebiedsleer, menyangkut wilayah atau lingkungan di mana
hukum itu berlaku dan yang termasuk dalam lingkungan itu
adalah waktu, tempat dan manusia atau kelompok dan benda.
2. Hukum Administrasi Negara meliputi ajaran mengenai hubungan
hukum (leer der rechtsbetrekkingen).

17
Menurut Logemann7, Hukum Tata Negara mempelajari:
1. susunan dari jabatan-jabatan,
2. penunjukan mengenai pejabat-pejabat,
3. tugas dan kewajiban yang melekat pada jabatan itu,
4. kekuasaan dan wewenang yang melekat pada jabatan,
5. batas wewenang dan tugas dari jabatan terhadap daerah dan orang-
orang yang dikuasainya,
6. hubungan antar jabatan,
7. penggantian jabatan,
8. hubungan antara jabatan dan penjabat.8

Hukum Administrasi Negara mempelajari jenisnya, bentuk serta akibat


hukum yang dilakukan para penjabat dalam melakukan tugasnya.
Stellinga membedakan Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi
Negara secara tegas. Dalam suatu pidatonya yang berjudul “Systematische
Staatsrechtstudie”, dikemukakan bahwa tidak hanya di dalam Hukum Tata
Negara saja diadakan sistematik, tapi juga demikian halnya dalam Hukum
Administrasi Negara.9 Dalam bukunya yang berjudul “Grondtrekken van het
Nederlandsch Administratiefrecht” adalah mencari perbedaan prinsipil
7
Logemann, Over de theorie van een stelling Staatsrecht, Saksama, Jakarta, 1954,
hal 54, “Tot de penoondeer behoren dan, om samenn te vatten en ann te vullen, niet het
verwantschaps-en huwelijksrecht, maar wie de problemen van de mens als plichtensubject
(toerekenbaarheid, mondigheid, handelingbevoegdheid), de personifikasi, de vertegen
woordiging, onstaan en tenietgaan van persoonlijkeheid, het organuatierecht, de
competentie-afbakening, hal 59, “De term “ge-bieg” word hier zoalc boven bleek, gebruik
alt aanduding van de sfeer waarbinnen de norm geldt, in abstracts zin met de vraag, op
wclke wijze tijd, ruimte, penoonengroep, als gedingibegrenzing van de a stelligrechtelijke
norm kunnen optreden”, hal. 85, “mij achynt atgen-de wat aan de juridjche dogamatbche
pogingen tot ondec zwceft, met de ttof die naast de penooruleer en de handeling vraagt, diu
met de leer der rechUbetrekingcn, van een duidelijk aangewsaen problemkring te mogen o
8
Logemann, Het Staatrecht van Indonesie, het formele systseem geverij W. van
Hoeve Gravenhage, Bandung, hal. 18.
9
Stellinga J.R.. Syctematische Staatrectatudie, hal 15 “de systema tische studie
schijnt ook ook voor het adminiitratiefrecht aangewezen”, idem “Grondtrekken van het
Administratiefrecht, hal. 1 “de einige betekenis welke de ondertcheid tussen staatrecht en
administratief recht kan heben is een wetenschappelijke beoefgening van het startrecht en
het administratiefrecht dien de grens tussen deze beide zo te behandelen krijgen welke door
hun overeemkonstige aard bijeen horen”, hal 3, “systematik akan tercapai “warner inzicht
bestaat ten annzien van de juiste plaatc welke zij in het kader van het geheel innemen”.

18
antara Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, seperti yang
sudah dilakukan gurunya yaitu van Vollenhoven. Stellinga menjelaskan
bahwa kebanyakan penyelidikan tentang Hukum Administrasi Negara tidak
meliputi keseluruhannya, melainkan hanya membicarakan beberapa bagian
tertentu saja. Bagian-bagian itu dibicarakan secara terpisah yang hanya
bersifat sebagai monographi. Ia baru menjadi suatu sistematik, jika dalam
sistematik itu bagian-bagian tadi diletakkan pada tempat yang tepat; dengan
kata lain Hukum Administrasi Negara tidak lagi merupakan kumpulan dari
monographi-monographi, melainkan merupakan sistematik yang
menghubungkan bagian satu dengan bagian lainnya, yang masing-masing
bagian itu diletakkan dalam tempatnya yang tepat. Arti sistematik adalah
“waar de delen zijn juiste plaats vindt”. Logemann berpendirian sama
dengan Stellinga.10 Di samping itu juga terdapat Hukum Administrasi
Negara yang berlaku bagi para individu dalam masyarakat yang diperintah
oleh Negara. Stelinga menjelaskan:
“orang harus bertitik tolak bahwa masih banyak hal lagi yang diatur
oleh Hukum Tata Negara selain hanya wewenang dan kewajiban alat-
alat negara. Menurut Hukum Tata Negara seorang warga negarapun
mempunyai wewenang dan kewajiban dan peraturan hukum yang
mengatur caranya menjalankan wewenang dan kewajiban itu termasuk
dalam Hukum Administrasi Negara.”11

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan oleh kedua kelompok di atas,


dapat dirinci bahwa:
1. Kelompok yang berpendapat bahwa Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara tidak ada perbedaan yang prinsipil diantaranya:
a. Kranenburg
10
Logemann, Over de theorie van een rteilig StaaUrecht, op cit, hal. 2, “dat het op
te delven lytteem inderdaad sycteem it, zal namelijk be, wezen zijn, ale elk problem daarui
zjjn eigen plaats vanzelf vindt”.
11
Stellinga, Dr.J., Grondtrekkcn van het Nederlandtche Adminiitratief-recht, op cit
hal 13, “dan zal er voorU moeten uitgaan dat het staats-recht meer omvat dan de
bevoegdheden en verplichtingen van de Over-heidiorganen. Ook de burger heeft zijn
ftaaUrechtelijke bevoegdheden en verplichtingen. D« regeU voor het uitoefenen,
ondencheidenlijk et nakomen daama-, ma ken eveneent een deel van het admin utratief-
recht uit”

19
Tidak ada perbedaan yang prinsipil antara Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara, perbedaannya hanya terjadi dalam
praktik dalam rangka tercapainya suatu kemanfaatan saja. Hukum
Tata Negara adalah hukum mengenai struktur umum daripada
suatu pemerintahan negara, sedangkan Hukum Administrasi
Negara merupakan peraturan-peraturan yang bersifat khusus.
b. Vegting
c. Prins
Hukum Tata Negara mempelajari hal-hal yang fundamental yang
merupakan dasar-dasar dari negara. Hukum Administrasi Negara
menitikberatkan kepada hal-hal yang bersifat teknis yang selama
ini kita tidak berkepentingan hanya penting bagi para spesialis.
Kelompok ini berpendapat antara Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara tidak ada perbedaan prinsipil, titik berat pembahasan
Hukum Tata Negara adalah hukum rangka dari negara, sedangkan Hukum
Administrasi Negara adalah administrasi dari negara; sehingga Hukum
Administrasi Negara merupakan hukum khusus dari Hukum Tata Negara.
2. Kelompok yang menyatakan antara Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara ada perbedaan prinsip, adalah:
a. Oppen Heim
Oppen Heim menjelaskan bahwa pokok bahasan Hukum Tata
Negara adalah negara dalam keadaan diam (Strats in rust), dimana
Hukum Tata Negara membentuk alat-alat perlengkapan negara dan
memberikan kepadanya wewenang serta membagi-bagikan tugas
pekerjaan kepada alat-alat perlengkapan negara; sedangkan Hukum
Administrasi Negara adalah negara dalam keadaan bergerak
(Staats ini beveging) dimana Hukum Administrasi Negara
melaksanakan aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh Hukum
Tata Negara baik ditingkat tinggi maupun ditingkat rendah.
b. van Vallen Hoven

20
Hukum Administrasi Negara adalah semua peraturan-peraturan
hukum setelah dikurangi hukum-hukum materiil Tata Negara,
Pidana dan Perdata. Hukum Administrasi Negara merupakan
pembatasan dari kebebasan pemerintah dalam melaksanakan
tugasnya. Badan-badan kenegaraan memperoleh kewenangan dari
Hukum Tata Negara, dalam melaksanakan kewenangan itu badan-
badan kenegaraan harus berdasarkan Hukum Administrasi Negara.
c. Romeiyn
Hukum Tata Negara mengatur dasar-dasar negara, sedangkan
Hukum Administrasi Negara mengenai pelaksanaan teknisnya.
d. Donner
Hukum Tata Negara menetapkan tugas, sedangkan Hukum
Administrasi Negara melaksanakan tugas itu yang telah ditentukan
oleh Hukum Tata Negara.
e. Logemann
Hukum Tata Negara merupakan suatu pelajaran tentang
kompetensi, sedangkan Hukum Administrasi Negara tentang
perhubungan hukum istimewa. Hukum Tata Negara mempelajari:
1. Jabatan-jabatan apa yang ada dalam susunan suatu negara
2. Siapa yang mengadakan jabatan-jabatan itu
3. Cara bagaimana ditempati oleh pejabat
4. Fungsi jabatan-jabatan itu
5. Kekuasaan hukum jabatan-jabatan itu
6. Hubungan antara jabatan-jabatan
7. Dalam batas-batas manakah organ-organ kenegaraan dapat
melakukan tugasnya.
Merujuk uraian di atas, sesungguhnya terlihat bahwa kedua kelompok
mempunyai persamaan yaitu mengakui ada perbedaan antara hukum
administrasi negara dan hukum tata negara. Dalam hal ini penulis cenderung
masuk dalam kelompok kedua mengingat kelompok pertama secara tersirat

21
mengakui ada perbedaan diantara keduanya;
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Hukum
Administrasi Negara merupakan hukum khusus atau perpanjangan dari
Hukum Tata Negara mengingat Hukum Administrasi Negara mempelajari
sifat bentuk dan akibat hukum yang timbul karena perbuatan hukum yang
dilakukan pejabat dalam melaksanakan tugasnya.
2.1.2. Hukum Administrasi Negara dan Hukum Pidana
Romeyn menjelaskan bahwa hukum Pidana dapat dipandang sebagai
bahan pembantu atau “hulprecht” bagi hukum tata pemerintahan, karena
penetapan sanksi pidana merupakan satu sarana untuk menegakkan hukum
tata pemerintahan, dan sebaliknya peraturan-peraturan hukum di dalam
perundang-undangan administratif dapat dimasukkan dalam lingkungan
hukum Pidana. E. Utrecht menjelaskan bahwa Hukum Pidana memberi
sanksi istimewa baik atas pelanggaran kaidah hukum privat, maupun atas
pelanggaran kaidah hukum publik yang ada. Victor Situmorang menjelaskan
bahwa “apabila ada kaidah Hukum Administrasi Negara yang diulang
kembali menjadi kaidah hukum pidana, atau dengan perkataan lain apabila
ada pelanggaran kaidah hukum Administrasi negara, maka sanksinya
terdapat dalam hukum pidana”.
2.1.3. Hukum Administrasi Negara dan Hukum Perdata
Paul Scholten sebagaimana dikutip Victor Situmorang menjelaskan
bahwa Hukum Administrasi Negara itu merupakan hukum khusus hukum
tentang organisasi negara dan hukum perdata sebagai hukum umum.
Pandangan ini mempunyai dua asas; pertama, negara dan badan hukum
publik lainnya dapat menggunakan peraturan-peraturan dari hukum perdata,
seperti peraturan-peraturan dari hukum perjanjian; kedua, asas Lex Specialis
derogaat Lex generalis, artinya hukum khusus mengesampingkan hukum
umum, apabila suatu peristiwa hukum diatur baik oleh Hukum Administrasi
Negara maupun oleh hukum Perdata, maka peristiwa itu diselesaikan
berdasarkan Hukum Administrasi negara sebagai hukum khusus, tidak

22
diselesaikan berdasarkan hukum perdata sebagai hukum umum. Terjadinya
hubungan antara Hukum Administrasi Negara dan Hukum Perdata apabila:
1. Saat atau waktu terjadinya adopsi atau pengangkatan kaidah
hukum perdata menjadi kaidah hukum Administrasi Negara;
2. Badan administrasi negara melakukan perbuatan-perbuatan yang
dikuasai oleh hukum perdata;
3. Suatu kasus dikuasai oleh hukum perdata dan hukum administrasi
negara maka kasus itu diselesaikan berdasarkan ketentuan-
ketentuan Hukum Administrasi Negara.
2.1.4. Hukum Administrasi Negara dan Ilmu Administrasi Negara;
Sebagaimana istilah administrasi, administrasi negara juga mempunyai
berbagai macam pengertian dan makna. Dimock dan Dimock menjelaskan,
sebagai suatu studi, administrasi negara membahas setiap aspek kegiatan
pemerintah yang dimaksudkan untuk melaksanakan hukum dan memberikan
pengaruh pada kebijakan publik (public policy); sebagai suatu proses,
administrasi negara adalah seluruh langkah-langkah yang diambil dalam
penyelesaian pekerjaan; dan sebagai suatu bidang kemampuan, administrasi
negara mengorganisasikan dan mengarahkan semua aktivitas yang
dikerjakan orang-orang dalam lembaga-lembaga publik. Kegiatan
administrasi negara tidak dapat dipisahkan dari kegiatan politik pemerintah;
dengan kata lain kegiatan-kegiatan administrasi negara bukanlah hanya
melaksanakan keputusan-keputusan politik pemerintah saja, melainkan juga
mempersiapkan segala sesuatu guna penentuan kebijaksanaan pemerintah,
dan juga menentukan keputusan-keputusan politik.

1.2. Fungsi Hukum Administrasi Negara

23
Menurut Philipus M. Hadjon, Fungsi Hukum Administrasi Negara
terbagi atas tiga kategori, diantaranya:
1.2.A. Fungsi Normatif Hukum Administrasi Negara
Penentuan norma Hukum Administrasi Negara dilakukan melalui
tahap-tahap. Untuk dapat menemukan normanya kita harus meneliti dan
melacak melalui serangkaian peraturan perundang-undangan. Artinya,
peraturan hukum yang harus diterapkan tidak begitu saja kita temukan
dalam undang-undang, tetapi dalam kombinasi peraturan-peraturan dan
keputusan-keputusan tata usaha negara yang satu dengan yang lain saling
berkaitan. Pada umumnya ketentuan undang-undang yang berkaitan dengan
Hukum Administrasi Negara hanya memuat norma-norma pokok atau
umum, sementara periciannya diserahkan pada peraturan pelaksanaan.
Penyerahan ini dikenal dengan istilah terugtred atau sikap mundur dari
pembuat undang-undang. Hal ini terjadi karena tiga sebab, yaitu:
a) Karena keseluruhan hukum tata usaha negara itu demikian
luasnya, sehingga tidak mungkin bagi pembuat undang-undang
untuk mengatur seluruhnya dalam undang-undang formal;
b) Norma-norma hukum tata usaha negara itu harus selalu
disesuaikan dengan tiap perubahan-perubahan keadaan yang
terjadi sehubungan dengan kemajuan dan perkembangan teknologi
yang tidak mungkin selalu diikuti oleh pembuat undang-undang
dengan mengaturnya dalam suatu undang-undang formal;
c) Di samping itu tiap kali diperlukan pengaturan lebih lanjut hal itu
selalu berkaitan dengan penilaian-penilaian dari segi teknis yang
sangat mendetail, sehingga tidak sewajarnya harus diminta
pembuat undang-undang yang harus mengaturnya. Akan lebih
cepat dilakukan dengan pengeluaran peraturan-peraturan atau
keputusan-keputusan tata usaha negara yang lebih rendah
tingkatannya, seperti Keppres, Peraturan Menteri, dan sebagainya.

24
Telah disebutkan bahwa setiap tindakan pemerintah dalam negara
hukum harus didasarkan pada asas legalitas. Hal ini berarti ketika
pemerintah akan melakukan tindakan, terlebih dahulu mencari apakah
legalitas tindakan tersebut ditemukan dalam undang-undang. Jika tidak
terdapat dalam undang-undang, pemerintah mencari dalam berbagai
peraturan perundang-undangan terkait. Ketika pemerintah tidak menemukan
dasar legalitas dari tindakan yang akan diambil, sementara pemerintah harus
segera mengambil tindakan, maka pemerintah menggunakan kewenangan
bebas yaitu dengan menggunakan freies Ermessen. Meskipun penggunaan
freies Ermessen dibenarkan, akan tetapi harus dalam batas-batas tertentu.
Menurut Sjachran Basah pelaksanaan freies Ermessen harus dapat
dipertanggungjawabkan, secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan
secara hukum berdasarkan batas-atas dan batas-bawah. Batas-atas yaitu
peraturan yang tingkat derajatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan yang tingkat derajatnya lebih tinggi. Sedangkan batas-
bawah ialah peraturan yang dibuat atau sikap-tindak administrasi negara
(baik aktif maupun pasif), tidak boleh melanggar hak dan kewajiban asasi
warga. Pelaksanaan freies Ermessen juga harus memperhatikan asas-asas
umum pemerintahan yang baik.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirinci bahwa fungsi normatif
Hukum Administrasi Negara adalah mengatur dan menentukan
penyelenggaraan pemerintahan agar sesuai dengan gagasan negara hukum
yang melatarbelakanginya, yakni negara hukum Pancasila.
1.2.B. Fungsi Instrumental Hukum Administrasi Negara
Pemerintah dalam melakukan berbagai kegiatannya menggunakan
instrumen yuridis seperti peraturan, keputusan, peraturan kebijaksanaan, dan
sebagainya. Dalam negara sekarang ini khususnya yang menganut type
welfare state, pemberian kewenangan yang luas bagi pemerintah merupakan
konsekuensi logis, termasuk memberikan kewenangan kepada pemerintah
untuk menciptakan berbagai instrumen yuridis sebagai sarana untuk

25
kelancaran penyelenggaraan pemerintahan. Pembuatan instrumen yuridis
oleh pemerintah harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku atau
didasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-
undangan. Hukum Administrasi Negara memberikan beberapa ketentuan
pembuatan instrumen yuridis, sebagai contoh mengenai pembuatan
keputusan. Di dalam pembuatan keputusan, Hukum Administrasi Negara
menentukan syarat material dan syarat formal, sebagai berikut:
a. Syarat-syarat material:
 Alat pemerintahan yang membuat keputusan harus berwenang;
 Keputusan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan
yuridis seperti penipuan, paksaan, sogokan, kesesatan, dan
kekeliruan;
 Keputusan harus diberi bentuk sesuai dengan peraturan
dasarnya dan pembuatnya juga harus memperhatikan prosedur
membuat keputusan;
 Isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan
peraturan dasarnya.
b. Syarat-syarat formal :
 Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan
dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya
keputusan harus dipenuhi;
 Harus diberi bentuk yang telah ditentukan;
 Syarat-syarat berhubung dengan pelaksanaan keputusan itu
dipenuhi;
 Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang
menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu
tidak boleh dilupakan.
Berdasarkan uraian di atas dapat dirinci bahwa persyaratan yang
ditentukan dalam hukum administrasi negara penyelenggaraan
pemerintahan akan berjalan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan

26
sejalan dengan tuntutan negara berdasarkan atas hukum, terutama
memberikan perlindungan hukum bagi warga masyarakat.
1.2.C. Fungsi Jaminan Hukum Administrasi Negara
Menurut Sjachran Basah, perlindungan terhadap warga diberikan
bilamana sikap tindak administrasi negara itu menimbulkan kerugian
terhadapnya. Perlindungan terhadap administrasi negara dilakukan terhadap
sikap tindaknya dengan baik dan benar menurut hukum, baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis; dengan kata lain, melindungi administrasi
negara dari melakukan perbuatan yang salah menurut hukum. Di dalam
negara hukum Pancasila, perlindungan hukum bagi rakyat diarahkan kepada
usaha-usaha untuk mencegah terjadinya sengketa antara pemerintah dan
rakyat, menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan rakyat secara
musyawarah serta peradilan merupakan sarana terakhir dalam usaha
menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan rakyat. Adanya Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, menurut Paulus E. Lotulung, sesungguhnya
tidak semata-mata memberikan perlindungan terhadap hak-hak
perseorangan, tetapi juga sekaligus melindungi hak-hak masyarakat yang
menimbulkan kewajiban-kewajiban bagi perseorangan. Hak dan kewajiban
perseorangan bagi warga masyarakat harus diletakan dalam keserasian,
keseimbangan, dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan
kepentingan masyarakat, sesuai dengan prinsip yang terkandung dalam
falsafah negara yaitu Pancasila. Berdasarkan pemaparan fungsi-fungsi
hukum administrasi negara ini, dapat disebutkan bahwa dengan menerapkan
fungsi-fungsi hukum administrasi negara akan tercipta pemerintahan yang
bersih sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum. Pemerintah
menjalankan aktifitas sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau
berdasarkan asas legalitas, dan ketika menggunakan freies Ermessen,
pemerintah harus memperhatikan asas-asas umum yang berlaku sehingga

27
dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum. Ketika pemerintah
menciptakan dan menggunakan instrumen yuridis, maka dengan mengikuti
ketentuan formal dan material penggunaan instrumen tersebut tidak akan
menyebabkan kerugian terhadap masyarakat. Dengan demikian, jaminan
perlindungan terhadap warga negarapun akan terjamin dengan baik.
Merujuk keseluruhan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi
normatif, fungsi instrumental, dan fungsi jaminan saling berkaitan satu sama
lain. Fungsi normatif yang menyangkut penormaan kekuasaan memerintah
berkaitan erat dengan fungsi instrumental yang menetapkan instrumen yang
digunakan oleh pemerintah untuk menggunakan kekuasaan memerintah dan
pada akhirnya norma pemerintahan dan instrumen pemerintahan yang
digunakan harus menjamin perlindungan hukum bagi rakyat.

BAB III
SUMBER-SUMBER HUKUM
28
Tujuan Instruksional Umum
Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan memperoleh
pemahaman yang mendalam mengenai hukum administrasi negara.

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan:
1. Adanya pemahaman mengenai istilah sumber hukum.
2. Memahami pengertian sumber hukum.
3. Mengetahui macam-macam sumber hukum.
4. Mengetahui sumber hukum administrasi negara.

BAB III

29
3.1. Istilah Sumber Hukum

Lazimnya membicarakan sumber hukum, terlebih dahulu akan


disampaikan tentang arti “sumber hukum”. Hal ini disebabkan istilah
sumber hukum mempunyai arti yang beraneka ragam, tergantung dari sudut
mana orang tersebut melihatnya. Bagi ahli sejarah, sumber hukum
mempunyai arti yang berbeda dari pendapat ahli kemasyarakatan. Begitu
pula sumber hukum menurut ahli ekonomi tidak akan sama artinya dengan
ahli hukum, demikian pula ahli filsafat yang melihat sumber hukum itu dari
sudut filsafat. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikatakan Paton, The term
sources of law has many meanings and its frequent cause of error unless we
scrutines carefully the particular meaning given to it any particular text”.12
Istilah sumber hukum mempunyai banyak arti yang sering
menimbulkan kesalahan-kesalahan, kecuali kalau diteliti dengan seksama
mengenai arti tertentu yang diberikan kepadanya dalam pokok pembicaraan
tertentu pula. Untuk mengetahui sumber hukum terlebih dahulu harus
ditentukan dari sudut mana sumber hukum itu dilihat, apakah dari sudut
ilmu hukum, ilmu ekonomi, filsafat atau ilmu kemasyarakatan. van
Apeldoorn dalam bukunya “Inleiding tot de studie van het Nederlandsrecht”
menjelaskan bahwa perkataan sumber hukum dipakai dalam arti sejarah,
kemasyarakatan, filsafat dan formil.13
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa istilah sumber
hukum antara ahli yang satu dan ahli yang lain akan berbeda-beda karena
mereka melihat dari sudut disiplin ilmunya masing-masing.

3.2. Pengertian Sumber Hukum


        

12
Paton George Whitecross, Textbook of Jurisprudence, op cit. hal. 140.
13
Apeldoorn. Pengantar Ilmu Hukum, op cit, hal. 72-75.

30
Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan
yang mengikat dan memaksa, sehingga apabila aturan-aturan itu dilanggar
akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya. Makna
segala sesuatu adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya
hukum. Faktor-faktor yang merupakan sumber kekuatan berlakunya hukum
secara fomal artinya darimana hukum itu dapat ditemukan, darimana asal
mulanya hukum, dimana hukum dapat dicari atau hakim menemukan
hukum, sehingga dasar putusannya dapat diketahui bahwa suatu peraturan
tertentu mempunyai kekuatan mengikat atau berlaku dan lain sebagainya.
Aktivitas Hukum Administrasi Negara yang mencakup kegiatan
administrasi negara yang bersifat nasional dan juga internasional sebagai
perkembangan global dewasa ini, tentunya menjadikan sumber hukum
administrasi negara dapat berasal dari sumber hukum nasional berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan sumber
hukum internasional seperti perjanjian internasional antara Indonesia dan
negara lain, dan juga berupa konvensi internasional yang telah diratifikasi.
 
3.3. Macam-Macam Sumber Hukum

Algra membagi sumber hukum menjadi dua yaitu sumber hukum


materiil dan sumber hukum formil.
a. Sumber Hukum Materiil, ialah tempat dimana hukum itu
diambil. Sumber hukum materiil merupakan faktor yang
membantu pembentukan hukum, misalnya hubungan sosial politik,
situasi sosial ekonomi, pandangan keagamaan dan kesusilaan, hasil
penelitian ilmiah, perkembangan internasional, keadaan geografis.
Sebagai contoh, seorang ahli ekonomi akan mengatakan bahwa
kebutuhan-kebutuhan ekonomi dalam masyarakat itulah yang
menyebabkan timbulnya hukum. Bagi ahli kemasyarakatan

31
(sosiolog) akan mengatakan bahwa yang menjadi sumber hukum
ialah peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat.
b. Sumber hukum arti formil adalah sumber hukum yang dikenal dari
bentuknya. Bentuknya itulah yang menyebabkan hukum berlaku
umum, diketahui dan ditaati. Disinilah suatu kaidah memperoleh
kualifikasi sebagai kaidah hukum dan oleh yang berwenang ia
merupakan petunjuk hidup yang harus diberi perlindungan.14
van Apeldoorn sebagaimana dikutip R. Soeroso15 membedakan empat
macam sumber hukum, yaitu:
a. Sumber hukum dalam arti sejarah, yaitu tempat kita dapat
menemukan hukumnya dalam sejarah atau dari segi historis.
Sumber hukum dalam arti sejarah dibagi menjadi dua yaitu:
1. Sumber hukum yang merupakan tempat dapat diketemukan
atau dikenalnya hukum secara historis, dokumen-dokumen
kuno, lontar dan sebagainya.
2. Sumber hukum yang merupakan tempat pembentukan undang-
undang mengambil bahannya.
b. Sumber hukum dalam arti sosiologis (teleologis) merupakan
faktor-faktor yang menentukan isi hukum positif, misalnya
keadaan agama, pandangan agama, dan sebagainya.
c. Sumber hukum dalam arti filosofis, dibagi menjadi dua yaitu:
1. Sumber isi hukum, disini ditanyakan isi hukum itu asalnya dari
mana. Ada tiga pandangan yang mencoba menjawab tantangan
pertanyaan ini yaitu:
 Pandangan teoritis, yaitu pandangan bahwa isi hukum
berasal dari Tuhan
 Pandangan hukum kodrat, yaitu pandangan bahwa isi
hukum berasal dari akal manusia

14
E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Ichtisar, Jakarta, hal. 133-134.
15
R. Soeroso (2005:118),

32
 Pandangan mazhab historis, yaitu pandangan bahwa isi
hukum berasal dari kesadaran hukum
2. Sumber kekuatan mengikat dari hukum, mengapa hukum
mempunyai kekuatan mengikat, mengapa kita tunduk pada
hukum. Kekuatan mengikat dari kaedah hukum bukan semata-
mata didasarkan pada kekuatan yang bersifat memaksa, tetapi
karena kebanyakan orang didorong oleh alasan kesusilaan atau
kepercayaan.
d. Sumber hukum dalam arti formil, yaitu sumber hukum yang dilihat
dari cara terjadinya hukum positif yang menimbulkan hukum yang
berlaku yang mengikat hakim dan masyarakat. Isinya timbul dari
kesadaran masyarakat. Peraturan tentang tingkah laku harus
dituangkan dalam bentuk undang-undang, kebiasaan dan traktat
atau perjanjian antar negara.
 Marhaenis16, membedakan sumber hukum menjadi dua yaitu sumber
hukum Filosofis Idiologis dan sumber hukum Yuridis.
a. Sumber Hukum Filosofis Idiologis, ialah sumber hukum yang
dilihat dari kepentingan individu, nasional, atau internasional
sesuai dengan falsafah dan ideologi (way of life) dari suatu negara;
seperti: liberalisme, komunisme, leninisme, Pancasila.
b. Sumber Hukum Yuridis, merupakan penjabaran langsung dari
sumber hukum segi filosofis idiologis, yang diadakan pembedaan
antara sumber hukum formal dan sumber hukum materiil.
1. Sumber Hukum Materiil, ialah sumber hukum yang dilihat dari
segi isinya; misalnya KUHP segi materiilnya ialah mengatur
tentang pidana umum, kejahatan, dan pelanggaran.
KUHPerdata, dari segi materiilnya mengatur tentang masalah
orang sebagai subyek hukum, barang sebagai obyek hukum,
perikatan, perjanjian, pembuktian, dan kadaluarsa.
16
 Marhaenis (1981:46)

33
2. Sumber Hukum Formal, adalah sumber hukum dilihat dari segi
yuridis dalam arti formal yaitu sumber hukum dari segi
bentuknya yang lazim terdiri dari: Undang-Undang, Kebiasaan,
Traktat, Yurisprudensi, Traktat.

3.4. Sumber Hukum Administrasi Negara

Menurut E. Utrecht sumber hukum formil dari Hukum Administrasi


Negara, ialah:
a. Undang-Undang/Hukum Administrasi Negara Tertulis
Menurut Buys, undang-undang ini mempunyai dua arti yakni:
1. Undang-Undang dalam arti formil, yaitu setiap keputusan yang
merupakan undang-undang karena cara pembuatannya. Di
Indonesia Undang-Undang dalam arti formil ditetapkan presiden
bersama DPR.
2. Undang-Undang dalam arti materiil, yaitu setiap keputusan
pemerintah yang menurut isinya mengikat langsung setiap
penduduk. Contoh: UUPA ditinjau dari segi kekuatan mengikatnya
undang-undang ini mengikat setiap WNI di bidang agraria.
Berdasarkan amandemen pertama UUD 1945 pada Pasal 5 ayat 1
ditentukan bahwa “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang
kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Dalam Pasal 20 ayat 1 ditentukan
bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk
undang-undang”. Berdasarkan Pasal 20 ayat 2 ditentukan bahwa “Setiap
rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”.
Adanya perubahan UUD 1945, kedudukan DPR jelas merupakan
lembaga pemegang kekuasaan legislatif, sedangkan fungsi inisiatif di bidang
legislasi yang dimiliki Presiden tidak menempatkan Presiden sebagai
pemegang kekuasaan utama di bidang ini. Perubahan ini sekaligus

34
menegaskan bahwa UUD 1945 dengan sungguh-sungguh menerapkan
sistem pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial dimana
sebelumnya fungsi legislatif dan eksekutif tidak dipisahkan secara tegas dan
masih bersifat tumpang tindih.
Bentuk hukum peraturan daerah Provinsi, Kabupaten/Kota, dan
Peraturan Desa, sama-sama merupakan bentuk peraturan yang proses
pembentukannya melibatkan peran wakil rakyat dan kepala pemerintahan
setempat. Khusus untuk tingkat desa, meskipun tidak terdapat lembaga
parlemen, sebagaimana diatur dalam Pasal 209 dan Pasal 210 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dibentuk
Badan Permusyawaratan Desa, ditetapkan bahwa “Badan Permusyawaratan
Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa,
menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat”. Untuk melaksanakan
peraturan perundangan yang melibatkan peran para wakil rakyat tersebut,
maka kepala pemerintahan yang bersangkutan juga perlu diberi wewenang
untuk membuat peraturan-peraturan yang bersifat pelaksanaan. Karena itu
selain Undang-Undang, Presiden juga berwenang mengeluarkan Peraturan
Pemerintah dan Peraturan Presiden. Demikian pula Gubernur, Bupati,
Walikota, dan Kepala Desa, selain bersama-sama para wakil rakyat
membentuk peraturan daerah dan peraturan desa, juga berwenang
mengeluarkan peraturan kepala daerah sebagai pelaksanaan terhadap
peraturan yang lebih tinggi tersebut. Dari Undang-Undang Dasar 1945 ini
mengalir peraturan-perundang-undangan formil lainnya sesuai hirarkhi
hukum saat ini merujuk Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan.

1. Undang-Undang Dasar 1945


Sumber hukum formil dalam Hukum Administrasi Negara Indonesia
tidak hanya terbatas pada sumber hukum tertulis. 17 Pancasila sebagai
17
Penjelasan UUD. 1945, Undang-Undang Dasar sebagian dari hukum dasar.

35
pandangan hidup bangsa Indonesia yang kemudian menjadi falsafah Negara,
merupakan sumber hukum dalam arti materill yang tidak saja menjiwai
tetapi harus dilaksanakan oleh setiap aturan hukum. Pancasila merupakan
alat penguji untuk setiap aturan hukum yang berlaku, apakah bertentangan
atau tidak dengan Pancasila, aturan hukum yang bertentangan dengan
Pancasila tidak berlaku. Sumber hukum formil dalam Hukum Administrasi
Negara Indonesia dapat dilihat pada Undang-Undang Dasar 1945. Undang-
Undang Dasar 1945 sebagai sumber hukum, selain merupakan hukum dasar
tertulis yang mengatur masalah kenegaraan, juga merupakan dasar ketentuan
lainnya, umpamanya Pasal 19 yang menentukan bahwa susunan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) ditentukan dengan Undang-Undang. Penunjukan
diatur dengan Undang-Undang ini menyebabkan Undang-Undang Dasar
1945 menjadi sumber hukum..
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
sebagai sumber hukum dapat dilihat dari Undang-Undang Dasar 1945 dalam
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) serta Pasal 22. Bentuk peraturan lain
sebagai sumber hukum yang sederajat dengan Undang-Undang ialah
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Sebenarnya dari
nama dan badan yang menetapkannya, tingkat Perpu ini di bawah Undang-
Undang. Tetapi karena bentuk peraturan ini dimaksud sebagai pengganti
Undang-Undang, maka derajatnya sama dengan Undang-Undang. Perpu ini
ditetapkan oleh Presiden dalam hal kegentingan yang memaksa yang kalau
ditetapkan dalam bentuk Undang-Undang akan membutuhkan waktu yang
cukup lama, sedangkan keadaan yang genting itu harus segera dapat diatasi,
sehingga kepada Presiden diberikan hak untuk menetapkan Peraturan

Undang-Undang Dasar suatu Negara ialah hanya sebagian dari hukumnya dasar Negara.
Undang-Undang Dasar itulah hukum dasar yang tertulis, sedang disampingnya Undang-
Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar
yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara meiskipun tidak
tertulis.

36
Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dengan syarat bahwa Presiden harus
meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam sidang berikutnya.
Kalau Dewan Perwakilan Rakyat menyetujuinya maka Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang itu dijadikan Undang-Undang.
Sebaliknya kalau Dewan Perwakilan Rakyat menolaknya, Presiden harus
mencabut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut. Hal ini
diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945.
3. Peraturan Pemerintah
Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan
Undang-Undang sebagaimana mestinya, demikian ketentuann Pasal 5 ayat
(2) Undang-Undang Dasar 1945. Peraturan Pemerintah diadakan untuk
melaksanakan Undang-Undang, sehingga tidak mungkin bagi Presiden
untuk menetapkan Peraturan Pemerintah sebelum ada Undang-Undangnya.
4. Peraturan Presiden

5. Peraturan Daerah

b. Praktik Administrasi Negara (Hukum Administrasi Negara yang


merupakan Hukum Kebiasaan)
 Utrecht menjelaskan: “Hukum kebiasaan ialah kaidah-kaidah yang
biarpun tidak ditentukan oleh badan-badan perundang-undangan dalam

37
suasana “werkelijkheid” (kenyataan) ditaati juga, karena orang menerima
kaidah-kaidah itu sebagai hukum dan telah ternyata kaidah-kaidah tersebut
dipertahankan oleh penguasa-penguasa masyarakat lain yang tidak termasuk
lingkungan badan-badan perundang-undangan.18 Dengan demikian hukum
kebiasaan itu kaidah yang biarpun tidak tertulis dalam peraturan perundang-
undangan masih juga sama kuatnya dengan hukum tertulis. Apalagi
bilamana kaidah tersebut mendapat perhatian dari pemerintah”.
Sudikno menjelaskan, kebiasaan merupakan tindakan menurut pola
tingkah laku yang tetap, ajeg, lazim, normal atau adat dalam masyarakat
atau pergaulan hidup tertentu.19 Perilaku yang tetap atau ajeg ini merupakan
perilaku manusia yang diulang. Perilaku yang diulang ini mempunyai
kekuatan mengikat. Karena diulang oleh orang banyak maka mengikat
orang-orang lain untuk melakukan hal yang sama karenanya menimbulkan
keyakinan atau kesadaran bahwa hal itu memang patut dilakukan. Tingkah
laku kebiasaan atau adat adalah kepatutan dan bukan semata-mata unsur
terulang atau ajegnya tingkah laku. Karena dirasakan patut inilah maka lalu
diulang, dan patut tidaknya suatu tingkah laku tadi bukan karena pendapat
seseorang tetapi pendapat masyarakat. Tidak semua kebiasaan mengandung
hukum yang baik dan adil. Belum tentu suatu kebiasaan atau adat istiadat itu
pasti menjadi sumber hukum. Hanya kebiasan-kebiasaan dan adat istiadat
yang baik dan diterima masyarakat yang sesuai dengan kepribadian
masyarakat yang kemudian berkembang menjadi hukum kebiasaan.
Sebaliknya ada kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik dan ditolak masyarakat
dan ini tentunya tidak akan menjadi hukum kebiasaan masyarakat, sebagai
contoh: kebiasaan begadang, berpakaian seronok, dan sebagainya. Lebih
lanjut Sudikno menjelaskan, untuk timbulnya kebiasaan diperlukan
beberapa syarat tertentu yaitu:
1. Syarat materiil

18
Utrecht (1966:120-122),
19
Sudikno (1986:82)

38
Adanya perbuatan tingkah laku yang dilakukan secara berulang-
ulang (longa et invetarata consuetindo).
2. Syarat intelektual
Adanya keyakinan hukum dari masyarakat yang bersangkutan
(opinio necessitatis).
3. Syarat akibat hukum apabila hukum itu dilanggar
Di Indonesia kebiasaan diatur pula dalam BW (Burgerlijk wet Boek):
1. Pasal 1339 BW menentukan:
“Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjiannya diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan
atau undang-undang”.

2. Pasal 1346 BW menentukan:


“Apa yang meragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi
kebiasaan dalam negeri atau di tempat persetujuan telah dibuat”.

3. Pasal 1571 BW menentukan:


“Jika perjanjian sewa menyewa tidak dibuat dengan tertulis, maka
perjanjian sewa menyewa tidak berakhir pada waktu yang
ditentukan, melainkan jika pihak yang satu memberitahukan
kepada pihak lain bahwa ia hendak menghentikan perjanjian
dengan mengindahkan tenggang waktu yang diharuskan menurut
kebiasaan setempat”.

Mengenai praktik administrasi negara sebagai sumber hukum formil,


dapat dikatakan bahwa praktik itu membentuk hukum administrasi negara
kebiasaan (hukum tidak tertulis). Hukum administrasi negara kebiasaan
dibentuk dan dipertahankan dalam keputusan-keputusan para pejabat
administrasi negara. Sebagai suatu sumber hukum formil, sering sekali
praktik administrasi negara itu berdiri sendiri (zelfstandig) disamping
undang-undang. Tidak jarang praktik administrasi negara mengesampingkan
(opzijzetten) peraturan perundang-undangan yang telah ada.
R. Soeroso menjelaskan, kelemahan dari hukum kebiasaan yaitu:

39
1. hukum kebiasaan bersifat tidak tertulis dan oleh karenanya tidak
dapat dirumuskan secara jelas dan umumnya sukar menggantinya.
2. bahwa hukum kebiasaan tidak menjamin kepastian hukum dan
sering menyulitkan beracara karena hukum kebiasaan mempunyai
sifat aneka ragam.20
c. Traktat
Dalam kamus Hukum Internasional tidak dibedakan antara traktat dan
perjanjian, bahkan traktat dan perjanjian adalah sama artinya; namun
menurut Bellefroid kedua hal itu mempunyai arti yang berbeda. Traktat
adalah perjanjian yang terikat pada bentuk tertentu, sedangkan perjanjian
tidak selalu terikat pada bentuk itu.21 Traktat adalah suatu perjanjian antar
negara yang dilakukan oleh dua negara atau lebih. Akibat perjanjian ini ialah
bahwa pihak-pihak yang bersangkutan terikat pada perjanjian yang mereka
adakan itu. Hal ini disebut Pacta Sun Servada yang berarti bahwa perjanjian
mengikat pihak-pihak yang mengadakan atau setiap perjanjian harus ditaati
dan ditepati oleh kedua belah pihak. Beberapa macam traktat (treaty) yaitu:
1. Traktat bilateral atau traktat binasional atau twee zijdig
Apabila perjanjian dilakukan oleh dua negara. Contoh: traktat
antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Malaysia tentang
Perjanjian ekstradisi menyangkut kejahatan kriminal biasa dan
kejahatan politik.

2. Traktat Multilateral
Perjanjian yang dilakukan oleh banyak negara. Contoh: perjanjian
kerjasama beberapa negara di bidang pertahanan seperti NATO.  

20
R. Soeroso (2005: 155)
21
Bellefroid, J. H., Inleiding tot de rechtswetenachap in Nederland, Dekker & van
de Vegt. N.V. Nijmegen 1948 Utrecht, hal. 107, stalen gun ook overeenkomst aan, waarby
de tractaatsvorm enkel esalleen door nota-wiselling of door briefwisseling gesboten
worden. Alworden die overeenkomst doorgaans niet met de naam tractsten bestempeld toch
staatn zij, van juridisch standpunt beschouwd mettracten op een lijn”.

40
3. Traktat Kolektif atau Traktat Terbuka
Perjanjian yang dilakukan oleh beberapa negara atau multilateral
yang kemudian terbuka untuk negara lain terikat pada perjanjian
tersebut. Contoh: perjanjian dalam PBB dimana negara lain,
terbuka untuk ikut menjadi anggota PBB yang terikat pada
perjanjian yang ditetapkan oleh PBB.
Pelaksanaan pembuatan traktat dapat dilakukan dalam beberapa tahap
dimana setiap negara mungkin saja berbeda, tetapi secara umum adalah
sebagai berikut:
1. Tahap Perundingan
Tahap ini merupakan tahap yang paling awal biasa dilakukan oleh
negara-negara yang akan mengadakan perjanjian. Perundingan
dapat dilakukan secara lisan atau tertulis atau melalui teknologi
informasi lainnya. Perundingan juga dapat dilakukan dengan
melalui utusan masing-masing negara untuk bertemu dan
berunding baik melalui suatu konferensi, kongres, muktamar atau
sidang.
2. Tahap Penutupan
Tahap penutupan biasanya apabila tahap perundingan telah tercapai
kata sepakat atau persetujuan, perundingan ditutup dengan suatu
naskah dalam bentuk teks tertulis yang dikenal dengan istilah
“Piagam Hasil Perundingan” atau “Sluitings-Oorkonde”. Piagam
penutupan ini ditandatangani masing-masing utusan negara yang
mengadakan perjanjian.
3. Tahap Pengesahan atau Ratifikasi
Persetujuan piagam hasil perundingan tersebut oleh masing-masing
negara (biasanya tiap negara menerapkan mekanisme yang

41
berbeda) dimintakan persetujuan22 oleh lembaga-lembaga yang
memiliki kewenangan untuk itu.
4. Tahap Pertukaran Piagam
Pertukaran piagam atau peletakkan piagam dalam perjanjian
bilateral maka naskah piagam yang telah diratifikasi atau telah
disahkan oleh negara masing-masing dipertukarkan antara kedua
negara yang bersangkutan. Dalam traktat kolektif atau terbuka
peletakkan naskah piagam diganti dengan peletakkan surat-surat
piagam yang telah disahkan masing-masing negara itu dalam dua
kemungkinan yaitu disimpan oleh salah satu negara berdasarkan
persetujuan bersama yang sebelumnya dinyatakan dalam traktat
atau disimpan dalam arsip markas besar PBB yaitu pada Sekretaris
Jenderal PBB.

Di Indonesia, tahap pertama adalah wewenang dari Presiden. Presiden


dalam rangka hubungan dengan luar negeri menentukan perjanjian apa yang
perlu diadakan dengan negara lain. Dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat
sama sekali tidak turut campur secara langsung, namun demikian kadang-
kadang Dewan Perwakilan Rakyat dapat pula menyatakan pendapatnya di
muka umum bahwa antara Republik Indonesia dan negara lain belum
waktunya diadakan perjanjian. Hal ini jelas akan berakibat jauh terhadap
Presiden. Berdasarkan azas kedaulatan rakyat dapat dilihat bahwa tahap
kedua yang terpenting, karena bagaimanapun juga rakyat harus mengetahui
setiap kegiatan Presiden yang diadakan dengan negara lain sebab setiap
perjanjian dengan negara lain dapat berakibat langsung terhadap kehidupan
rakyat banyak. Wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat seyogyanya harus
mengetahui apakah suatu perjanjian akan menguntungkan rakyat atau tidak.

22
Lihat juga Utrecht. E., Pengantar dalam Hukum Indonesia, op. cit, hal. 186, sbb:
1. Penetapan, 2. Persetujuan masing-masing Dewan Perwakilan Rakyat dari fihak
bersangkutan, 3. ratifikasi, pengesahan oleh masing-masing Kepala Negara, 4. pelantikan
atau pengumuman (afkondiging)

42
Sebagai contoh, pinjaman jangka panjang dari luar negeri, atau bantuan
pinjaman luar negeri; mengingat menyangkut keuangan negara, seyogyanya
mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Traktat atau perjanjian merupakan sumber hukum materil dan sumber
hukum formil Hukum Administrasi Negara. Sebagai contoh, perjanjian dwi
kewarganegaraan pada masa Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
Perjanjian yang mengatur dwi-kewarganegaraan dulu merupakan sumber
hukum formil Hukum Administrasi Negara, karena kewarganegaraan adalah
merupakan salah satu bagian dari Hukum Administrasi Negara. Undang-
Undang Dasar 1945 tidak membedakan antara istilah perjanjian dan traktat,
hanya dalam Pasal 11 ditentukan: istilah perjanjian dengan negara lain, dan
dalam kepustakaan wewenang ini disebut sebagai “diplomatic power”, atau
“foreign Affairs” atau hubungan luar negeri”, atau “kekuasaan diplomatik”.23
Dalam Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 tidak diperinci lebih lanjut
apakah semua perjanjian seperti halnya dengan persetujuan termasuk di
dalamnya (internasional agreement); namun Ismail Sunny menjelaskan, hal-
hal yang termasuk dalam internasional agreement tidak memerlukan
persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.24
Dalam praktik ketatanegaraan, yang dipakai sebagai dasar untuk
menjalankan Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 adalah Surat Presiden
kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong tanggal 22
Agustus 1960 Nomor 2826/HK/1960. Dalam surat ini dibedakan dua macam
perjanjian internasional, yaitu:

23
C.F. Strong merangkai istilah “diplomatic power” dalam Modern Political
Constitutions, Sidwick & Jackson Limited London, 1963, hal. 233, Bernard Schwartz
menyebut dalam pembahasan “foreign affairs”, American Constitutional Law, Cambridge
University Press, 1955, hal. 102. Wolhoff memakai istilah “hubungan luar negeri” dalam
bukunya Pengantar Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Jakarta”, Timun Mas. 1960,
hal. 193. Ismail Sunny menyebutnya “kekuasaan diplomatik”, Pergeseran Kekuasaan
Eksekutif, Nilam, Jakarta; 1966, hal. 34, 83 dan 125. Wirjono Prodjodikoro menyebutnya
“hubungan luar negeri”, Azas-azas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat. Jakarta,
1974. hal. 67.
24
Ismail Sunny. Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, op. cit hal. 83.

43
1. perjanjian internasional yang memuat materi penting (treaty).
2. perjanjian internasional yang memuat materi kurang penting
(agreement).
Perjanjian internasional yang memuat materi penting adalah:
1. soal-soal politik dan soal-soal yang dapat mempengaruhi haluan
politik luar negeri negara, seperti perjanjian persahabatan,
persekutuan, perubahan wilayah atau penetapan tapal batas;
2. ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya sehingga
mempengaruhi haluan politik luar negeri Negara, dan ;
3. soal-soal yang menurut Undang-Undang Dasar 1945 atau sistem
perundang-undangan kita hanya diatur dengan Undang-Undang,
seperti soal kewarganegaraan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa di luar point-
point di atas masuk kategori sebagai perjanjian internasional yang kurang
penting; namun mengingat materi dari internasional agreement kadang-
kadang menyangkut hajat hidup rakyat banyak, persetujuan (international
agreement) seyogyanya mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
d. Yurisprudensi baik keputusan yang diberi kesempatan banding (oleh
Hakim atau yang tidak ada banding oleh Administrasi negara)
Istilah yurisprudensi berasal dari kata yurisprudentia (bahasa latin)
yang berarti pengetahuan hukum (rechtsgeleerdheid). Kata yurisprudensi
sama artinya dengan kata “yurisprudentie” dalam bahasa Perancis, yaitu
peradilan tetap atau bukan peradilan. Kata yurisprudensi dalam bahasa
Inggris berarti teori ilmu hukum (algemeene rechtsleer: General theory of
law), untuk pengertian yurisprudensi dipergunakan istilah-istilah Case Law
atau Judge Made Law. Dari segi praktek peradilan yurisprudensi adalah
keputusan hakim yang selalu dijadikan pedoman hakim lain dalam
memutuskan kasus-kasus yang sama. Alasan hakim mempergunakan
putusan hakim yang lain (yurisprudensi) adalah:

44
1. Pertimbangan Psikologis
Hal ini biasanya terutama pada keputusan oleh Pengadilan Tinggi
dan Mahkamah Agung, biasanya untuk kasus-kasus yang sama
hakim di bawahnya secara psikologis segan jika tidak mengikuti
keputusan hakim di atasnya.
2. Pertimbangan Praktis
Pertimbangan praktis ini biasanya didasarkan karena dalam suatu
kasus yang sudah pernah dijatuhkan putusan oleh hakim terdahulu
apalagi sudah diperkuat atau dibenarkan oleh pengadilan tinggi
atau MA akan lebih praktis apabila hakim berikutnya memberikan
putusan yang sama pula. Di samping itu apabila keputusan hakim
yang tingkatannya lebih rendah memberi keputusan yang
menyimpang atau berbeda dari keputusan yang lebih tinggi untuk
kasus yang sama, keputusan tersebut biasanya tidak dibenarkan/
dikalahkan pada waktu putusan itu dimintakan banding atau kasasi.
3. Pendapat yang sama
Pendapat yang sama biasanya terjadi karena hakim yang
bersangkutan sependapat dengan keputusan hakim yang terlebih
dahulu untuk kasus yang serupa atau sama.
e. Doktrin/Pendapat para ahli Hukum Administrasi Negara
Hakim dalam memutuskan perkaranya berdasarkan undang-undang,
perjanjian internasional dan yurisprudensi. Apabila ketiga sumber di atas,
belum dapat memberi semua jawaban mengenai hukumnya, maka
hukumnya dicari pada pendapat para sarjana hukum atau ilmu hukum;
dengan demikian doktrin adalah pendapat para sarjana hukum terkemuka
yang besar pengaruhnya terhadap hakim dalam mengambil keputusannya.
Di Indonesia dalam hukum Islam banyak ajaran Imam Syafi’i digunakan
hakim pada pengadilan Agama dalam pengambilan putusan-putusannya.

45
f. Kebiasaan ketatanegaraan (Convention) sebagai sumber Hukum
Administrasi Negara
Dalam Hukum Administrasi Negara dikenal kebiasaan ketatanegaraan
(convention). Kebiasaan ketatanegaraan ini dapat diterima dan dijalankan.
Bahkan seringkali kebiasaan ketatanegaraan ini dapat menggeser peraturan-
peraturan hukum yang tertulis. Sebagai contoh, berdasarkan ketentuan Pasal
17 Undang-Undang Dasar 1945, Menteri Negara bertanggung jawab kepada
Presiden, karena ia adalah pembantu Presiden. Dalam perkembangan
ketatanegaraan Indonesia di tahun 1945 ternyata seorang Menteri Negara
yang bertanggung jawab kepada Presiden, karena kebiasaan ketatanegaraan
Menteri Negara itu bertanggung jawab kepada Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat — semacam DPR — Hal ini terjadi karena
keluarnya Maklumat Wakil Presiden Nomor X tanggal 16 Oktober 1945;
yang diikuti Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945, dimana
Komite Nasional Indonesia Pusat yang semula membantu Presiden dalam
menjalankan wewenangnya berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV Undang-
Undang Dasar 1945, menjadi badan yang sederajat dengan Presiden, tempat
Menteri Negara bertanggung jawab. Hal ini terjadi dalam kabinet Syahrir I,
II, dan III, serta kabinet Amir Sjarifudin yang menggantikannya.
Kebiasaan ketatanegaraan ialah perbuatan dalam kehidupan
ketatanegaraan yang dilakukan berulang kali sehingga ia diterima dan ditaati
dalam praktek ketatanegaraan walaupun ia bukan hukum. Di sinilah letak
perbedaannya dengan ketentuan hukum yang sudah tidak diragukan lagi
keabsahannya. Pada masa Presiden Soekarno, pidato ketatanegaraan
diucapkan langsung dihadapan rakyat di depan istana yang disebut “amanat
17 Agustus”. Pada tiap tanggal 17 Agustus dalam pertanggunganjawabnya
sebagai Pemimpin Besar Revolusi bukan sebagai Presiden. Perubahan
sistem pemerintahan presidensial menjadi parlementer di tahun 1945 pada
hakekatnya tidak memperlakukan Pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945.
Melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor

46
III/MPRS/1963 ditetapkan Presiden Soekarno diangkat menjadi Presiden
seumur hidup. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara ini
dapatlah digolongkan kepada konvensi yang terjadi karena persetujuan
bersama. Akibat dari ketetapan tersebut Pasal 17 Undang-Undang Dasar
1945 menjadi tidak berlaku. Ketetapan tersebut sebenarnya tidak merubah
Undang-Undang Dasar 1945, hanya saja menyebabkan pasal tersebut tidak
berlaku dalam praktek ketatanegaraan. Ketetapan tersebut kemudian dicabut
oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor
XVIII/MPRS/1966. Setiap tanggal 16 Agustus Presiden mengucapkan
pidato kenegaraan dalam sidang di Dewan Perwakilan Rakyat. Pidato
kenegaraan tersebut pada hakekatnya merupakan suatu laporan tahunan
yang bersifat informatoris dari Presiden karena dalam laporan itu juga
dimuat suatu rencana mengenai kebijaksanaan-kebijaksanaan yang akan
ditempuh. Pidato Presiden lain yang merupakan convention adalah pidato
keterangan Pemerintah tentang Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara pada minggu pertama bulan Januari setiap tahunnya. Isinya
berupa hasil-hasil kegiatan nasional serta hasil penilaian tahun lalu dan
rencana anggaran pendapatan dan belanja negara untuk tahun akan datang.
Di Inggeris, kebiasaan ketatanegaraannya antara lain, bahwa seorang
Menteri harus anggota parlemen. Hal ini terjadi ketika Patrick Gordon
Walker yang diangkat Partai Buruh Inggeris sebagai Menteri setelah
pemilihan umum bulan Oktober 1964 harus memperoleh keanggautaan
House of Commons. Untuk itu ia ikut dalam pemilihan umum tambahan/
susulan yang diadakan setelah pemilihan umum. Contoh lain ialah bahwa
Raja atau Ratu akan mengangkat Ketua Partai yang menang dalam
pemilihan umum sebagai Perdana Menteri.25 Konvensi-konvensi di Inggeris
banyak sekali dan ia dibedakan dari hukum konstitusi (Law of Constitution)

25
Dicey, op. cit., hal 42. “The party who for the time being comand a majority in
The House of Commons, have (in general) a right to have their leader placed in office. The
most influential of these leaders ought (generally speaking) to be the premier, or head of
the Cabinet.”

47
karena konvensi tidak dapat dipaksakan atau diakui badan peradilan.26
Konvensi adalah kebiasaan (customs), praktik-praktik (practices), azas-azas
(maxims). Suatu kabinet yang sudah tidak mendapat kepercayaan dari
Majelis Rendah (House of Commons) akan meletakkan jabatannya. Raja
harus mengesahkan setiap rancangan Undang-Undang (bill), Majelis Tinggi
(House of Lords) tidak akan mengajukan suatu rancangan Undang-Undang
keuangan (money bill). Betapapun pentingnya konvensi-konvensi itu berlaku
dalam kehidupan ketatanegaraan, namun karena ia bukan hukum, maka
pelanggaran yang terjadi terhadap konvensi-konvensi itu tidak dihiraukan
oleh pengadilan. Konvensi ini sama dengan konvensi-konvesi yang berasal
dari pernyataan persetujuan pada masa lalu telah didapat pada konperensi-
konperensi Kerajaan Inggeris (Imperial Conferences) yang mengatur
hubungan antara Kerajaan Inggeris dan Dominion-dominion yang
menetapkan cara-cara kerja sama dan hubungan anggota-anggota
commonwealth Inggeris, dan yang menetapkan perundingan-perundingan
antara mereka dan negara-negara asing. Jennings dalam menjawab
pertanyaannya sendiri menulis: “some of them, such as thouse expressed in
resolutions of the imperial Conferences, are definite and clearly
established”. Dengan kata lain tidak perlu “the gradual crystalisation of
practice”.27 Konvensi tidak selalu merupakan ketentuan yang tidak tertulis,
yang timbul dari persetujuan (agreement), tapi bisa saja berbentuk tertulis. Ia
mungkin saja merupakan persetujuan yang ditandatangani pemimpin-
pemimpin negara seperti: antara Wakil Presiden Republik Indonesia dan
Badan Pekerja pada tanggal 16 Oktober 1945 atau memorandum yang
26
Dicey, op.cit, hal. 417, “In an earlier part of this work stress was laid upon the
essential distinction between the law of the constitution, which consisting (as it does) of
rules enforced and recognised by the courts, makes up a body of laws in the proper sense
consisting (as thtj do) of customs, practices, maxims or precepts which are not enforctd or
recognised by the courts, makes up a body not laws but of constitutional or political
ethics”. Selanjutnya dalam hal. 420 dinyatakan “A Ministry which is outvoted in the House
of Commons is in mam cases bound to retire from office”.
27
Ismail Sunny. Pergeseran kekuasaan Eksekutif hal. 29, Lihat pula Jennings, Law
and the Constitution, hal. 133.

48
dikeluarkan setelah pembicaraan antara Menteri-menteri seperti Maklumat
Pemerintah pada tanggal 14 Nopember 1945. Contoh seperti ini dalam
konstitusi Inggeris adalah persetujuan yang dinyatakan bahwa suatu
perubahan dalam hukum yang mengenai penggantian Mahkota (succession)
atau gelar Raja memerlukan pengesahan Parlemen dari semua Dominion,
begitu pula dari Parlemen Kerajaan Inggeris sendiri. Bahkan konvensi-
konvensi ini telah mencapai bentuk yang lebih formil karena tercantum
dalam bagian kedua dari pendahuluan (preamble statute ot Westminster).
Preamble menurut Hukum Administrasi Negara Inggeris, tidak mempunyai
akibat hukum, keadaan itu hanya memperkuat konvensi.
Di Amerika Serikat, kebiasaan ketatanegaraannya antara lain seorang
calon Presiden Amerika Serikat dan wakilnya dipilih oleh konvensi partai
politik yang bersangkutan, untuk kemudian dipilih oleh rakyat.28 Bernard
Schwartz menjelaskan, konvensi ketatanegaraan telah berkembang dalam
Hukum Administrasi Negara Amerika Serikat yang sering kali sama artinya
dengan pasal-pasal yang resmi dari konstitusi. 29 Bila seorang Presiden
Amerika Serikat menunjuk anggauta-anggauta kabinetnya, menurut hukum
ia praktis mempunyai kekuasaan untuk menetapkan siapa yang disukainya.
Tetapi oleh konvensi ketatanegaraan, ia berusaha menjamin bahwa semua
penunjukannya tidak akan terdiri dari orang-orang dari negara bagian
sebelah Timur saja atau sebelah Barat saja. Ia akan berusaha membicarakan

28
Barnes & Noble, American Covernment, hal 29-30, Through the development of
political parties, the election of the President has been changed from the orginal plan of
indirect choice by a small group of elections to a system of nomination and election in
which the whole country participates”. Lihat juga Bernard Schwarts, American
constutional Law, hal. 92-93, “The nominating organ of American parties has been a
convention composed of representatives of the member of the party”
29
Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta, 1965, Penerbit C.V.
Calendra hal. 29. Jellinek.Verfassungsanderung und Verfassungswandlung, Eine
staatsrechtlich pollitische Afhandlung. Berlin. Verslag von O. Haring, 1906. hal. 3. Juga
A.A.H. Struycken dalam pidato jabatannya membedakan antara “normale en abnormale
rechtsvorming.” Lihat Positiefrecht Rede uit gesproken by de aanvaarding van het
Hoogleeraarsambt aan de Universiteit van Amsterdam, op de 15e Oktober 1906.
Amsterdam. Srheltema & Holkemai Boekhandel. 1906, hal. 20-21.

49
penunjukan itu sedemikian rupa, sehingga daerah-daerah yang terutama dari
Amerika Serikat yang dianggapnya mempunyai arti politis yang penting
akan memperoleh perwakilan. Sukar untuk menyatakan ini dengan istilah
suatu ketentuan (rule), namun mungkin tepat untuk menyebut bahwa dengan
konvensi ketatanegaraan ia berusaha untuk mengintrodusir beberapa unsur
federasi ke dalam kabinetnya.30 Suatu konvensi mungkin saja akan
menyebabkan salah satu pasal dari Undang-Undang Dasar (konstitusi)
menjadi tidak berlaku. Dalam hal ini sesungguhnya konvensi tidak merubah
Undang-Undang Dasar (Konstitusi) tersebut hanya saja menyebabkan pasal
tertentu tidak dipakai dalam praktek ketatanegaraan. Berdasarkan ketentuan
Pasal 2 Konstitusi Amerika Serikat, Presiden dipilih oleh pemilih-pemilih
negara bagian, yang kemudian seluruh suara pemilih ini dihitung oleh
Presiden Senat, calon yang memperoleh suara terbanyak terpilih sebagai
Presiden; dengan demikian pemilihan Presiden diadakan secara tidak
langsung. Presiden dipilih langsung oleh rakyat dari calon yang dipilih oleh
partai politik yang bersangkutan dalam suatu konvensi partai.
Di Belanda, terjadinya sistem parlementer di Belanda yang timbul
akibat perselisihan antara Pemerintah dan Parlemen tahun 1866-1868
masalah jajahan (koloni). Dalam perselisihan Parlemen mempergunakan hak
budgetnya untuk menolak rancangan anggaran pendapatan dan belanja
negara yang diajukan Menteri Keuangan pada waktu itu. Sebenamya
penolakan itu ada hubungannya dengan perselisihan yang sedang mereka
hadapi,karena penolakan itu jatuhlah kabinet (verwerping van de begrooting
om redenen daar buiten gelegen). Sejak itu terjadi perubahan dalam sistem
Pemerintahan di Belanda yang semula menganut sistem pertanggungan
jawab menteri dengan fihak Pemerintah yang menang, jika terjadi
perselisihan (overwicht van het kabinet), setelah jatuhnya Pemerintah karena

30
Ismail Suny, Dalam kuliahnya tahun 1970. Selanjutnya mengenai convention ini
dapat dibaca Wade and Phillips “Conctitutional how”, 1975 dalam Bab “Convention of the
constitution, hal 79-96.

50
penolakan anggaran pendapatan dan belanja negara, setiap kali ada
perselisihan yang timbul antara Pemerintah dan Parlemen, maka parlemen
yang menang dan kabinet harus berhenti. Sistem ini tidak diatur dalam
Undang-Undang Dasar Belanda, tapi timbul dan hidup sebagai konvensi
yang menggeser ketentuan dalam Undang-Undang Dasarnya.31
Telah dijelaskan bahwa perubahan sistem pemerintahan dimana
Menteri bertanggung jawab kepada Presiden menurut Undang-Undang
Dasar 1945, pada masa tahun 1945 telah berubah menjadi pertanggungan
jawab Menteri kepada Komite Nasional Pusat, merupakan konvensi. Sesuai
pendapat A.G. Pringgodigdo bahwa pertanggungan jawab kepada Komite
Nasional Indonesia Pusat oleh Menteri-menteri, dan bukan lagi kepada
Presiden dilakukan dengan mengubah Undang-Undang Dasar adalah tidak
benar. Tidak benar bahwa perubahan ini dinyatakan dengan “aturan tegas”
sebagai yang dijelaskan A.G. Pringgodigdo. Perubahan itu sesungguhnya
karena kebiasaan ketatanegaraan, yang melengkapi hukum konstitusi.
Dalam hal ini mungkin, karena tidak ada suatu ketentuan yang
mengharuskan pertanggunganjawab eksekutif kepada Parlemen dan teks
Undang-Undang Dasar 1945 tidak melarang praktek itu.32 Dan bila kita
hubungkan dengan faham Jellinek yang membedakan Verfassungsanderung
dan Verfassuhgswandlung yaitu perubahan Undang-Undang Dasar yang
dilakukan dengan sengaja dengan cara yang disebut dalam Undang-Undang
Dasar itu untuk yang pertama, sedangkan Verfassungswandlung adalah
perubahan Undang-Undang Dasar dengan cara yang tidak terdapat dalam
Undang-Undang Dasar, tetapi melalui cara-cara yang istimewa seperti
revolusi, coup d’etat, convention dan sebagainya, maka perubahan ke arah
sistim parlementer itu terjadi bukan karena diatur dalam Undang-Undang
Dasar, melainkan karena konvensi ketatanegaraan.

31
Kranenburg, Met Nederlandsch Straatrecht.op.cit.hal. 165-167.
32
Ismail Sunny. op cit. hal. 29, A.K. Pringgodigdo. Perubahan Kabinet, hal. 69.

51
BAB IV
SUSUNAN ORGANISASI
ADMINISTRASI NEGARA

Tujuan Instruksional Umum

Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan memperoleh


pemahaman yang mendalam mengenai hukum administrasi negara.

Tujuan Instruksional Khusus

Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan:

1. Mengetahui ruang lingkup organisasi pemerintah pusat.


2. Mengetahui ruang lingkup organisasi pemerintah daerah.
3. Mengetahui hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

52
BAB IV

4.1. Pengertian Organisasi Administrasi Negara

53
4.2. Organisasi Pemerintah Pusat

54
4.3. Organisasi Pemerintah Daerah

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah


yang ditetapkan tanggal 15 Oktober 2004 merupakan hasil revisi dari
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah sesuai dengan amanat UUD
1945 Pasal 18 yang menentukan “Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan
kota dan tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang”. Di dalam UUD
1945 Pasal 18 ayat 2 ditentukan: “Pemerintah daerah Provinsi, daerah
Kabupaten dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut azas otonomi dan tugas pembantuan”. Dalam penjelasan UU
Nomor 32 Tahun 2004 ditentukan bahwa: isi dan kandungan Pasal 18 UUD
1945 beserta penjelasannya menjadi pedoman bagi UU Nomor 32 Tahun
2004 yang mengandung pokok-pokok pikiran, antara lain:
a. Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip
pembagian kewenangan berdasarkan azas dekonsentrasi dan
desentralisasi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
b. Daerah yang dibentuk berdasarkan azas desentralisasi dan
dekosentrasi adalah daerah provinsi, sedangkan daerah yang
dibentuk berdasarkan azas desentralisasi adalah daerah Kabupaten
dan daerah kota. Daerah yang dibentuk dengan azas desentralisasi
berwenang untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan atas
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

Dalam penjelasan UU Nomor 32 tahun 2004 dijelaskan bahwa pada


prinsipnya penyelenggaraan pemerintahan daerah lebih mengutamakan
pelaksanaan azas desentralisasi disamping menggunakan azas dekonsetrasi

55
dan tugas pembantuan. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan
dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab
dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan
keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam
kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan
kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur
sebagai wakil pemerintah. Pelaksanaan tugas pembantuan dimungkinkan
tidak hanya dari pemerintahan kepada daerah tetapi juga dari Pemerintahan
dan Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana
prasarana, sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan
dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya.
Pemerintah Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Pemerintahan Daerah dapat berupa:
a. Pemerintah Daerah Provinsi, yakni terdiri dari Pemerintah Daerah
Provinsi dan DPRD Provinsi.
Pemerintah Daerah Provinsi terdiri atas Gubenur dan Perangkat
Daerah, yang meliputi Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, dan
Lembaga Teknis Daerah
b. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, yakni terdiri dari Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota dan DPRD Kabupaten/kota
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas Bupati/Walikota
dan Perangkat Daerah yang meliputi Sekretariat Daerah, Dinas
Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan, dan Kelurahan.
4.3.1. Pembentukan Daerah
Pembentukan daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan
pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat

56
disamping sebagai sarana pendidikan politik ditingkat lokal. Untuk itu maka
pembentukan daerah harus mempertimbangkan berbagai faktor seperti
kemampuan ekonomi, potensi daerah, luas wilayah, kependudukan, dan
pertimbangan dari aspek social politik, social budaya, pertahanan dan
keamanan serta pertimbangandan syarat lain yang memungkinkan daerah itu
dapat menyelenggarakan dan mewujudkan tujuan dibentuknya daerah dan
diberikan otonomi daerah.
Ketentuan pembentukan daerah ini diatur dalam UU Nomor 32 Tahun
2004 Pasal 4 ayat (1) yaitu” pembentukan daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan dengan undang-undang”. Dalam
pembentukan daerah harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain:
syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Undang-Undang Dasar
1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan otonomi
dengan memberikan kewewenang yang luas, nyata dan bertanggung kepada
daerah. Berdasarkan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dalam Pasal 1 bagian 2 ditentukan bahwa: “Pemerintah Daerah
adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan
DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud Undang-Undang Dasar Tahun 1945 “.
4.3.1.1. Pembentukan Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten, Kota dan
Desa
Dalam UUD 1945 Pasal 18, ditentukan: “Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota dan tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai
pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang”. Pemerintah
daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan
rumah tangganya sendiri. Dalam menjalankan pemerintahan daerah
dimungkinkan pembentukan suatu daerah otonom baru, dengan beberapa
kriteria dan prosedur yang harus dipenuhi. Pembentukan suatu daerah

57
otonom baru ber tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang
secara tidak langsung dapat meningkatkan pendapatan daerah. Pembentukan
suatu daerah otonom baru tidak boleh mengakibatkan daerah induk tidak
mampu lagi melaksanakan otonomi daerahnya; dengan demikian baik
daerah yang dibentuk maupun daerah yang dimekarkan atau daerah induk
secara sendiri-sendiri dapat melaksanakan otonomi daerah sesuai ketentuan
yang berlaku.
4.3.1.2. Pembentukan Daerah Menurut Sifatnya
Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus di daerah otonom
untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat
khusus dan untuk kepentingan nasional atau berskala nasional, misalnya
dalam kawasan cagar budaya, taman nasional, pengembangan industri
stategis, pengembangan teknologi tinggi seperti pengembangan teknologi
nuklir, peluncuran peluru kendali, pengembangan prasarana komunikasi,
transportasi, pelabuhan dan daerah perdagangan bebas, pangkalan militer,
serta wilayah eksploitasi, konsevasi bahan galian strategis, penelitian dan
pengembangan sumber daya nasional, laboratorium sosial, lembaga
pemasyarakatan spesifik. Pemerintah wajib mengikutsertakan pemerintah
daerah dalam pembentukan kawasan khusus tersebut. Ketentuan ini diatur
dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 9 ayat
(1) yaitu “Untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang
bersifat khusus bagi kepentingan nasional, pemerintah dapat menetapkan
kawasan khusus dalam wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota”.
4.3.1.3. Syarat-Syarat Pembentukan Daerah
Daerah dibentuk berdasarkan syarat-syarat sebagai berikut:
a. kemampuan ekonomi;
Kemampuan ekonomi sebagaimana dimaksud merupakan cerminan
hasil kegiatan usaha perekonomian yang berlangsung di suatu
Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota yang dapat diukur dari:
 produk domestik regional bruto (PDRB);

58
 penerimaan daerah sendiri.
b. potensi daerah;
Potensi daerah sebagaimana dimaksud merupakan cerminan
tersedianya sumberdaya yang dapat dimanfaatkan dan memberikan
sumbangan terhadap penerimaan daerah dan kesejahteraan
masyarakat yang dapat diukur dari:
 lembaga keuangan;
 sarana ekonomi;
 sarana pendidikan;
 sarana kesehatan;
 sarana transportasi dan komunikasi;
 sarana pariwisata;
 ketenagakerjaan.
c. sosial budaya;
Sosial budaya sebagaimana dimaksud merupakan cerminan yang
berkaitan dengan struktur sosial dan pola budaya masyarakat,
kondisi sosial budaya masyarakat yang dapat diukur dari:
 tempat peribadatan;
 tempat/kegiatan institusi sosial dan budaya;
 sarana olah raga
d. sosial politik;
Sosial politik sebagaimana dimaksud merupakan cerminan kondisi
sosial politik masyarakat yang dapat diukur dari:
 partisipasi masyarakat dalam berpolitik;
 organisasi kemasyarakatan.
e. jumlah penduduk;
Jumlah penduduk sebagaimana dimaksud merupakan jumlah
tertentu penduduk suatu Daerah.
f. luas daerah;

59
Luas daerah sebagaimana dimaksud merupakan luas suatu daerah.
g. pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi
Daerah.
Pertimbangan lain sebagaimana dimaksud merupakan pertimbangan
untuk terselenggaranya Otonomi Daerah yang dapat diukur dari:
 keamanan dan ketertiban;
 ketersediaan sarana dan prasarana pemerintahan;
 rentang kendali;
 Provinsi yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga)
Kabupaten dan atau Kota;
 Kabupaten yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga)
Kecamatan;
 Kota yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga)
Kecamatan.
4.3.1.4. Prosedur dan Tata Cara Pembentukan Daerah
Prosedur pembentukan daerah sebagai berikut:
a. ada kemauan politik dari pemerintah daerah dan masyarakat yang
bersangkutan
b. pembentukan daerah harus didukung penelitian awal yang
dilaksanakan oleh pemerintah daerah
c. usul pembentukan provinsi disampaikan kepada pemerintah melalui
menteri dalam negeri dan otonomi daerah dengan dilampirkan hasil
penelitian daerah dan persetujuan DPRD provinsi dan DPRD
kabupaten/kota yang berada dalam wilayah provinsi dimaksud,
yang dituangkan dalam keputusan DPRD.
d. usul pembentukan kabupaten/kota disampaikan kepada pemerintah
melalui menteri dalam negeri dan otonomi daerah melalui gubernur
dengan dilampirkan hasil penelitian daerah dan persetujuan DPRD

60
kabupaten/kota serta persetujuan DPRD provinsi yang dituangkan
dalam keputusan DPRD.
e. dengan memperhatikan usulan Gubernur, Menteri Dalam Negeri
dan Otonomi Daerah memproses lebih lanjut dan dapat
menugaskan Tim untuk melakukan observasi ke Daerah yang
hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada dewan pertimbangan
otonomi daerah.
f. berdasarkan rekomendasi pada huruf e, Ketua Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah meminta tanggapan para anggota
Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dan dapat menugaskan Tim
Teknis Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah ke
Daerah untuk melakukan penelitian lebih lanjut;
g. para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah memberikan
saran dan pendapat secara tertulis kepada Ketua Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah;
h. berdasarkan saran dan pendapat Dewan Pertimbangan Otonomi
Daerah, usul pembentukan suatu daerah diputuskan dalam rapat
anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;
i. apabila berdasarkan hasil keputusan rapat anggota Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah menyetujui usul pembentukan
Daerah, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah selaku Ketua
Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah mengajukan usul
pembentukan Daerah tersebut beserta Rancangan Undang-undang
Pembentukan Daerah kepada Presiden;
j. apabila Presiden menyetujui usul dimaksud, Rancangan Undang-
undang pembentukan Daerah disampaikan kepada DPR-RI untuk
mendapatkan persetujuan.
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 16 UU Nomor 129 tahun 2000
tentang persyaratan pembentukan dan kriteria, penghapusan, dan
penggabungan daerah.

61
4.3.1.5. Tujuan Pembentukan Daerah
Tujuan pembentukan daerah adalah untuk mendukung peningkatan
kesejahteraan rakyat, pelayanan masyarakat dan peningkatan pemerintahan
daerah. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui:
a. meningkatkan pelayanan masyarakat
b. percepatan pertumbuhan demokratis
c. percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah
d. percepatan pengelolaan daerah
e. peningkatan keamanan dan ketertiban
f. peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 2 UU Nomor 129 tahun 2000
tentang persyaratan pembentukan dan kriteria, penghapusan, dan
penggabungan daerah
4.3.2. Susunan Pemerintah Daerah
a. Kepala Daerah
Dalam hal menjalankan kepemerintahan di daerah, dipimpin Kepala
Daerah sebagai bahan eksekutif yang dibantu oleh seorang Wakil Kepala
Daerah. (UU Nomor 32 tahun 2004 Pasal 24 ayat (1) dan ayat (3) ).
Kepala Daerah kabupaten disebut Bupati sedangkan Kepala daerah kota di
sebut Walikota. Gubernur dalam konteks otonomi daerah di Indonesia
adalah Kepala Daerah untuk Daerah provinsi. Pada dasarnya, pemerintah
memiliki tugas dan wewenang memimpin penyelenggaraan berdasarkan
kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD. Gubernur dipilih dalam satu
pasangan secara langsung oleh rakyat di provinsi setempat, sehingga dalam
hal ini Gubernur bertanggung jawab kepada rakyat. Selain sebagai Kepala
daerah, Gubernur juga berkedudukan sebagai wakil pemerintah di wilayah
provinsi yang bersangkutan; sehingga dalam hal ini Gubernur bertanggung
jawab kepada presiden. Gubernur bukan atasan bupati atau walikota,

62
namun sebatas membina, mengawasi dan mengkoordinasi
penyelenggarahan pemerintah daerah atau Kota. Gubernur bukan
merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat, merupakan
pemerintah independen dari provinsi yang dipilih langsung oleh rakyat
provinsi melalui pemilihan kepala daerah atau pilkada. Gubernur memiliki
tanggung jawab langsung kepada dewan perwakilan daerah provinsi.
b. Perangkat Daerah
Perangkat Daerah adalah organisasi atau lembaga pada pemerintah
daerah yang bertanggung jawab kepada kepala daerah dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pada daerah provinsi, perangkat
daerah terdiri atas sekretariat daerah, Dinas daerah dan lembaga teknis
daerah. Pada daerah kabupaten/kota, perangkat daerah terdiri atas sekretaris
daerah, Dinas daerah, lenbaga teknis daerah, kecamatan dan kelurahan.
Perangkat daerah dibentuk oleh masing-masing Daerah berdasarkan
pertimbangan karakteristik, potensi dan kebutuhan daerah. Organisasi
perangkat daerah di tetapkan dengan peraturan daerah setempat.
Sekretaris daerah adalah unsur pembantu pimpinan pemerintah
Daerah dipimpin sekretaris daerah. Sekretaris Daerah bertugas membantu
kepala daerah dalam menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan dinas
daerah dan lembaga teknis daerah. Dalam pelaksanan tugas dan kewajiban,
sekretaris daerah bertanggung jawab kepada kepala Daerah. Sekretaris
Daerah diangkat dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan.
c. Sekretaris Daerah Provinsi
Sekretaris Daerah merupakan unsur pembantu pimpinan pemerintah
provinsi yang dipimpin sekretaris Daerah, berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Gubernur dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan
pemerintahan, administrasi, organisasi dan tata laksana serta memberikan
pelayanan adminitrasi kepada seluruh perangkat daerah provinsi yang
diangkat dan diberhentikan presiden atas usulan Gubernur. Sekretaris
Daerah dibantu beberapa asisten.

63
d. Dewan Perwakilan rakyat Daerah (DPRD)
Dewan Perwakilan rakyat Daerah (DPRD), adalah sebuah perwakilan
rakyat di daerah yang terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan
umum (Pemilu) yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum. DPRD
juga berkedudukan sebagai lembaga pemerintahan Daerah yang memiliki
fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. DPRD terdiri atas dua macam:
1. DPRD Provinsi, berada disetiap provinsi Indonesia. Anggota
DPRD provinsi berjumlah 35-100 orang .
2. DPRD kabupaten/kota, berada disetiap kabupaten/kota indonesia.
Anggota DPRD kabupaten berjumlah 20-45 orang.
Masa jabatan anggota DPRD 5 tahun, dan berakhir pada saat
anggota DPRD yang baru mengucapkan sumpah/janji. DPRD merupakan
mitra kerja eksekutif (Pemerintah Daerah). Sejak diberlakukannya UU
Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah, kepala Daerah tidak
bertanggung jawab kepada DPRD, karena dipilih langsung oleh rakyat
melalui Pilkada. Alat kelengkapan DPRD terdiri atas: pimpinan, komisi,
panitia musyawarah, badan kehormatan, Panitia Anggaran, dan alat
kelengkapan lain yang diperlukan. Untuk mendukung kelancaran
pelaksanaan tugas DPRD di sekretariat DPRD yang personelnya terdiri atas
pegawai negeri sipil. Sekretariat DPRD dipinpin seorang sekretariat DPRD
yang diangkat oleh kepala Daerah atas usul pimpinan DPRD.
Sekretariat Daerah kabupaten atau kota merupakan unsur pembantu
pimpinan pemerintah kabupaten/kota yang dipimpin oleh sekretaris Daerah,
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati atau walikota.
Sekretariat Daerah kabupaten/kota bertugas dalam melaksanakan tugas
penyelenggaraan pemerintahan, adminitrasi, organisasi dan tata laksana
serta memberikan pelayanan adminitrasi kepada seluruh perangkat Daerah
kabupaten/kota. Sekretaris Daerah untuk kabupaten/kota diangkat dan

64
diberhentikan oleh Gubernur atau asisten masing-masing terdiri dari
sebanyak-banyaknya 4 (empat) bagian.
Dalam konteks otonomi Daerah di indonesia, Walikota adalah kepala
Daerah untuk Daerah kota. Seorang walikota sejajar dengan Bupati, yakni
kepala Daerah untuk Daerah kabupaten. Pada dasarnya, Walikota memiliki
tugas dan wewenang memimpin penyelenggaraan Daerah berdasarkan
kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD Kota. Wali kota dipilih satu
pasangan secara langsung oleh rakyat di kota setempat. Walikota merupakan
jabatan politis dan bukan Pegawai Negeri Sipil.
Berdasarkan uraian di atas dapat dirinci bahwa Pemerintah Daerah
adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pemerintah Daerah adalah Gubernur,
Bupati, atau Wali kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32
tahun 2004 Pasal 1 bagian 3.

4.4. Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

Hubungan Pemerintah Pusat dan daerah menurut Undang-Undang


Nomor 32 Tahun 2004 diantaranya adalah:
a. Hubungan dalam bidang keuangan meliputi:
 pemberian sumber-sumber keuangan untuk menyelenggarakan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah;
 pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintahan daerah; dan
 pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintahan daerah.
 bagi hasil pajak dan nonpajak antara pemerintahan daerah provinsi
dan pemerintahan daerah kabupaten/kota;
 pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab
bersama;

65
 pembiayaan bersama atas kerja sama antar daerah; dan
 pinjaman dan/atau hibah antar pemerintahan daerah.
b. Hubungan dalam bidang pelayanan umum meliputi:
 kewenangan, tanggung jawab, dan penentuan standar pelayanan
minimal;
 pengalokasian pendanaan pelayanan umum yang menjadi
kewenangan daerah;
 fasilitasi pelaksanaan kerja sama antar pemerintahan daerah dalam
penyelenggaraan pelayanan umum.
 pelaksanaan bidang pelayanan umum yang menjadi kewenangan
daerah;
 kerja sama antar pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan
pelayanan umum; dan
 pengelolaan perizinan bersama bidang pelayanan umum.
c. Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya meliputi:
 kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan,
pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian;
 bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya;
 penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.
 pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya yang menjadi kewenangan daerah;
 kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya antarpemerintahan daerah; dan
 pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya
alam dan sumber daya lainnya.

66
BAB V
ASAS-ASAS UMUM
PEMERINTAHAN YANG BAIK
Tujuan Instruksional Umum
Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan memperoleh
pemahaman yang mendalam mengenai hukum administrasi negara.

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan:
1. Adanya pemahaman mengenai pengertian Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik.
2. Mengetahui Perkembangan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang
Baik
3. Mengetahui Kedudukan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik

67
BAB V

5.1. Pengertian Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang baik.

Asas-asas umum pemerintahan yang baik, adalah sekumpulan


ketentuan-ketentuan dasar, yang harus dipenuhi oleh suatu penyelenggaraan
pemerintahan yang baik. Pentingnya asas-asas umum pemerintahan yang
baik ini karena merupakan bagian dari hukum positif yang berlaku dan
mempunyai pengaruh pada bidang penafsiran/penerapan peraturan
perundang-undangan, penentuan bleid (kebijaksanaan) berupa Geleonder
Bertuur dan Freies Ermessen yang dibuat dalam bentuk perundang-
undangan semu dan norma konkrit (nota-nota kebijaksanaan) dan
perencanaan (planning). Disamping itu asas-asas umum pemerintahan yang
baik juga penting sebagai dasar untuk menguji atau membatalkan Keputusan
Tata Usaha Negara dan dasar untuk menguji atau membatalkan Keputusan
Tata Usaha Negara oleh hakim (marginal toetsingrecht). Asas–asas umum
pemerintahan yang baik dapat dibagi atas asas-asas yang bersifat formal dan
asas-asas yang bersifat material (substansial). Asas-asas umum
pemerintahan yang baik, yang bersifat formal adalah sebagai berikut:
a. Asas kecermatan (Principle of Carefulness)
Menurut asas ini Pejabat/Badan Tata Usaha Negara harus terlebih
dahulu meneliti keputusan-keputusan apa yang perlu dikeluarkan untuk
mengatasi suatu keadaan. Untuk itu harus dipertimbangkan dengan cermat
segala hal yang mungkin timbul, atau kepentingan orang atau badan hukum
perdata yang akan terkena keputusan itu.
b. Asas Permainan yang layak (Principle of Fair a Play)

68
Menurut asas ini kepada warga negara harus diberikan kesempatan
yang sama dan seluas-luasnya mencari keadilan. Untuk itu diadakanlah
peradilan administrasi (administrati beroef) untuk menilai suatu keputusan
yang dikeluarkan Pejabat/Badan Tata Usaha Negara. Misalnya, suatu
keputusan dikeluarkan karena adanya komersialisasi jabatan atau pungutan
liar dan sebagainya,yang pada akhirnya merugikan pencari keadilan.
c. Asas penyalahan proses (Principle of Detournement De Procedure)
Menurut asas ini pengambilan suatu keputusan harus dilakukan sesuai
dengan prosedur yang telah ditentukan. Misalnya untuk mengeluarkan
sertipikat atas sebidang tanah terlebih dahulu harus ada surat ukur,
diumumkan di koran/papan pengumuman, dan seterusnya. Pengadaan tanah
untuk kepentingan pembangunan harus dilakukan dengan bantuan Panitia
Pengadaan Tanah yang dibentuk Gubenur KDH.Tk.1 dan pengadaan tanah
untuk kepentingan umum dilakukan melalui musyawarah yang diatur
dengan Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 jo Peraturan Presiden
Nomor 65 tahun 2006.
d. Asas Motivasi (Principle of Motivision)
Menurut asas ini Pejabat/Badan Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan suatu keputusan harus memberikan motivasi yang jelas
tentang keputusan itu. Motivasi harus jelas dan dapat dimengerti oleh umum
dan adil. Suatu keputusan harus diberi pertimbangan yang cukup dan diberi
dasar hukum dikeluarkannya keputusan tersebut, sehingga masyarakat
mengerti alasan-alasan dikeluarkannya keputusan itu.
Asas-asas umum pemerintahan yang baik, yang bersifat material
atau substansial, meliputi:
a. Asas Kepastian Hukum (Principle of Legal Security)
Menurut asas ini suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang telah
dikeluarkan tidak akan dicabut, walaupun ada kesalahan. Ini untuk
menjamin kepastian hukum, oleh karena itu Pasal 55 UU Nomor 5 tahun
1986 jo UU Nomor 51 tahun 2009 memberikan tenggang waktu selama 3

69
bulan (90 hari) bagi orang perorangan atau Badan Hukum Perdata yang
dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara untuk membatalkannya.
Tenggang waktu itu dihitung sejak keputusan dikeluarkan atau
disampaikan atau diketahui penggugat. Lewat tenggang waktu tersebut,
maka Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak dapat diganggu gugat.
b. Asas Kepercayaan (Principle of Protecting The Personal Way of Life)
Menurut asas ini suatu keputusan tidak boleh bertentangan dengan
kepercayaan atau pandangan hidup pribadi seseorang.
c. Asas Tidak Menyalahgunakan Wewenang (Principle of Detornement De
Pouvoir)
Menurut asas ini seorang pejabat/Badan Tata Usaha Negara dilarang
mengeluarkan suatu keputusan dengan menyalahgunakan suatu keputusan
dengan menyalahgunakan wewenang yang ada padanya.
d. Asas Persamaan Dalam Mengambil Keputusan (Principle of Equality)
Menurut asas ini terhadap beberapa kasus yang sama. Oleh karena itu
pemerintah dalam mengambil keputusan terhadap dua kasus yang sama
posisi kasusnya, maka keputusannya harus sama pula. Demikian juga ketika
mengambil keputusan untuk menetapkan suatu hukuman, maka terhadap
kesalahan yang sama harus dijatuhkan hukuman yang sama pula. Untuk
mengambil keputusan, dipertimbangkan keseimbangan antara kepentingan
umum dengan kepentingan perorangan. Misalnya terhadap pegawai yang
akan dijatuhi hukuman/sanksi terlebih dahulu diberi kesempatan membela
diri. Demikian juga halnya untuk memberi, mengeluarkan atau mencabut
izin. Terlebih dahulu harus diperhitungkan kepentingan umum dan
perorangan yang akan dirugikan. Misalnya dalam kasus pelebaran jalan/
pembebasan tanah,larangan kendaraan tertentu melewati jalan tertentu, dan
lain sebagainya.
e. Asas Tidak Mencampuradukkan Kewenangan/Kecermatan Material
(Principle of Non Missive Competence)

70
Menurui asas ini suatu wewenang yang dimiliki tidak boleh digunakan
untuk kepentingan diri sendiri. Misalnya untuk menerima upeti, uang suap,
uang semir dan lain sebagainya. Demikian juga wewenang itu tidak boleh
dipergunakan untuk tujuan lain dari diberikannya wewenang tersebut.
f. Asas tidak boleh bertindak sewenang-wenang yang dimiliki (Principle
of Willikeur)
Menurut asas ini Pejabat/Badan Tata Usaha Negara tidak boleh
sewenang-wenang dalam mengeluarkan suatu keputusan. Misalnya untuk
mengeluarkan suatu keputusan, harus memenuhi ketentuan formal dan
material. Prosedur-prosedur yang dikeluarkan harus dilalui dan syarat-syarat
yang dikeluarkan harus dilalui dan syarat-syarat yang ditentukan harus
terpenuhi.Tanpa pemenuhan hal tersebut adalah tindakan sewenang-wenang.
g. Asas Keadilan dan Pengharapan Yang Wajar (Principle of
Reasonableneess or Prohibition of Arbitranese)
Menurut asas ini setiap orang/badan hukum yang memenuhi
persyaratan untuk hal tertentu haruslah memperolehnya. Misalnya dalam hal
memperoleh rumah Perumnas ditentukan syarat-syarat tertentu. Lalu ada
orang yang memenuhi syarat tersebut tidak memperolehnya Demikian juga
misalnya dalam hal penerimaan Pegawai Negeri Sipil atau penerimaan
siswa/mahasiswa baru, ketentuannya yang lulus testing yang diterima.
Sementara yang tidak lulus testing diterima. Ini jelas bertentangan dengan
asas keadilan dan pengharapan yang wajar,
h. Asas Kebijaksanaan (Principle of Wisdom)
Menurut asas ini segala keputusan pemerintah berupa kebijaksanaan
(freies ermessen ) tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, moral dan kepatutan. Oleh karena itu freies
ermessen dalam bentuk “Coirerner Oesi Prevoir”, yang berarti
pemerintahan harus menghindarkan kesulitan-kesulitan, yang mungkin
timbul akibat diterbitkannya suatu keputusan., Untuk itu sebelum
mengeluarkannya suatu keputusan, maka pemerintahan harus mengetahui

71
hal-hal yang tidak diinginkan tersebut. Misalnya izin sudah diberikan tetapi
kemudian dicabut lagi.

i. Asas Keseimbangan (Principle of Proporsionality)


Menurut asas ini untuk pengambilan suatu keputusan harus
dilaksanakan secara proposional, berimbang dan sesuai dengan tempat dan
kondisinya.
j. Asas Meniadakan Akibat Suatu Keputusan Yang Batal (Principle of Un
doing The Concoquesis of Un Nolled Decition)
Menurut asas ini sedapat mungkin dicegah akibat-akibat yang
mungkin timbul sebagai konsekuensi pembatalan terhadap suatu keputusan
yang telah dikeluarkan. Dalam hal keadaan tersebut harus terjadi, maka
diusahakan sekecil mungkin dampak yang ditimbulkan.
k. Asas penyelenggara Kepentingan Umum (Principle of public Service)
Menurut asas ini setiap pengeluaran suatu keputusan seyogyanya
merupakan suatu pelayanan bagi kepentingan umum. Suatu Keputusan
yang dikeluarkan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum.
Indro Harto dengan mengutip pendapat F. H. Burkens dan van Der
Bergh menjelaskan, asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah:
a) Asas-asas formal mengenai pembentukan keputusan, meliputi :
1) Asas-Asas Kecermatan Formal
Bahwa pada waktu mempersiapkan pembentukan suatu keputusan,
instansi (pejabat/badan TUN) yang mengeluarkan keputusan ini
haruslah bersifat jujur. Untuk itu sebelumnya harus sudah
diperoleh gambaran yang jelas mengenai: semua faktor-faktor
yang relevan, semua kepentingan yang terkait dan semua
kepentingan pihak ketiga.
2) Asas Fair Play

72
Bahwa sebelum mengeluarkan suatu keputusan, pejabat/badan
TUN tidak boleh bersifat menghalang-halangi kesempatan
seseorang/badan hukum perdata untuk memperoleh suatu
keputusan yang akan menguntungkan baginya.

b) Asas-asas formal mengenai formulasi keputusan, meliputi:


1) Asas pertimbangan
Bahwa suatu keputusan yang dikeluarkan, harus disertai dengan
suatu pertimbangan yang memadai.Pertimbangan itu akan menjadi
jelas alasan dan dasar dikeluarkannya keputusan tersebut dengan
didukung oleh fakta-fakta hukum yang benar dan relevan serta
mendukung keputusan bersangkutan.
2) Asas kepastian hukum formal
Bahwa keputusan yang dikeluarkan harus jelas, tidak berlaku
surut dan hanya berlaku untuk keadaan-keadaan setelah keputusan
itu dikeluarkan.
c) Asas-asas material mengenai isi keputusan, meliputi:
1. Asas kepastian hukum material
Bahwa suatu keputusan tidak boleh berlaku surut, karena hanya
mengatur keadaan-keadaan setelah keputusan itu dikeluarkan.
2. Asas kepercayaan
Bahwa pejabat/badanTUN tidak boleh mengingkari janji-janji
yang telah menumbuhkan harapan karena penerbitan suatu
keputusan.
3. Asas persamaan
Bahwa atas hal-hal atau keadaan-keadaan yang sama harus
diperlakukan secara sama.
4. Asas kecermatan material
Bahwa suatu keputuasan yang dikeluarkan oleh pejabat/badan
TUN tidak boleh menimbulkan kerugian yang tidak perlu.

73
5. Asas keseimbangan
Bahwa saksi yang ditetapkan oleh keputusan pejabat/badanTUN ,
harus seimbang dengan kesalahan yang dilakukan.

Solly Lubis, mengutip pendapat Crince le Roy menguraikan asas-asas


umum pemerintahan yang baik sebagai berikut:
a. Asas kepastian hukum (Princple of Legal Security)
bahwa harus ada kepastian, suatu keputusan yang telah
dikeluarkan tidak dicabut secara semena-mena karena telah
memenuhi persyaratan formal dan syarat materil. Asal penerbitan
itu bukan karena paksaan ataupun kelalaian.
b. Asas keseimbangan (Princple of Equality)
bahwa dalam mengambil/menerbitkan suatu keputusan harus ada
keseimbangan antara hukuman yang dijatuhkan dengan bobot
kesalahan yang dilakukan. Orang yang terkena keputusan terlebih
dahulu harus didengarkan dan diberi kesempatan membela diri,
sebelum keputusan itu dikeluarkan juga harus dipertimbangkan
antara kepentingan umum dan kepentingan perorangan.
c. Asas kesamaan dalam menganbil keputusan (Principle of
Proporsional)
bahwa untuk kasus-kasus yang sama, keputusannya pun harus
sama pula.
d. Asas kecermatan (Princples of Carefulness)
bahwa untuk mengeluarkan suatu keputusan harus dilakukan
secara cermat. Pejabat/badanTUN yang mengeluarkan keputusan
tersebut. Persyaratan itu meliputi persyaratan formal maupun
persyaratan material.
e. Asas motivasi (Princples of Motivation)
bahwa untuk mengeluarkan suatu keputusan haruslah dilandasi
oleh suatu motivasi yang adil dan jelas serta dapat dimegerti.

74
f. Asas tidak menyalahgunakan wewenang
bahwa Pejabat/Badan TUN, ketika mengeluarkan suatu keputusan
tidak boleh menyalahgunakan wewenang tersebut dengan tujuan
lain dari pemberian wewenang itu (Detournement de Pouvoir).
g. Asas permainan yang wajar (Fair Play)
bahwa Pejabat/BadanTUN harus memberikan kesempatan yang
luas kepada warga negara untuk mencari keadilan dan kebenaran.
Oleh karenanya Pejabat/badanTUN harus memberikan keterangan/
informasi yang jelas, adil, tidak berat sebelah dan akurat.
h. Asas keadilan dan kewajaran
bahwa untuk mengeluarkan suatu keputusan tertentu, maka
pajabat/badan TUN yang berwewenang harus bersikap wajar dan
adil, tidak boleh berlaku tidak wajar (Willekeuring). Keputusan
Kron (mahkota) tanggal 29 juni 1966 yang membatalkan
keputusan Menteri yang menolak izin tinggal seorang gadis
Indonesia di Netherland karena masalah asimilasi yang merupakan
syarat bagi orang asing yang ingin bertempat tinggal di
Netherland. Sementara gadis itu dapat berbahasa Belanda33
i. Asas penanggapan harapan yang wajar
bahwa pejabat/badan TUN ketika mengeluarkan suatu keputusan
Tata Usaha Negara harus dapat memahami hal-hal yang wajar
akan timbul bersamaan dengan dikeluarkannya keputusan tersebut.
j. Asas peniadaan keputusan yang batal
bahwa pejabat/badan TUN yang mengeluarkan suatu Keputusan
Tata Usaha Negara, yang kemudian dibatalkan instansi/pejabat
atasan atau pengadilan, maka pejabat/badan TUN tersebut wajib
merehabilitasi hak-hak korban seperti keadaan semula sebelum
keputusan dikeluarkan dan membayar ganti rugi yang timbul.
k. Asas perlindungan
33
Radar, Edisi Maret-April 1988:15.

75
bahwa pejabat/badan TUN harus menjamin hak untuk hidup sesuai
dengan pandangan hidupnya.34
Pada tahun 1930 di Belanda dibentuk suatu komisi untuk melindungi
hukum bagi warga negaranya sehubungan perluasan yang semula hanya
menjaga ketertiban dan keamanan kemudian diperluas menjadi merealisasi
kehendak negara dengan penyelenggaraan hukum. Komisi ini dikenal
dengan komisi de monchi. De monchi mengusulkan beberapa asas yang
harus dipenuhi untuk terciptanya pemerintahan yang baik sebagai berikut:
a.Asas kepastian hukum (Principle of Legal Law);
b. Asas pemerintahan harus bertindak cermat (Principle of
Carefulness);
c.Asas keseimbangan (Principle of Equality);
d. Asas persamaan di dalam mengambil keputusan (Principle of
Proporsionality);
e.Asas motivasi untuk setiap keputusan (Principle of Motivatian);
f. Asastidak mencampuradukkan wewenang (Principle of Non Missive
of Competation );
g. Asas permainan yang layak (Principle of Fair Play);
h. Asas keadilan dan kewajaran dan asas pengharapan yang wajar
(Principle of Reasonableniss or Prohibition of Arbitratinese);
i. Asas kebijaksanaan (Principle of Wisdomnese);
j. Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal
(Principle of Undoing the Conseqwentie of An nodleed decition);
k. Asas perlindungan atas pandangan hidup pribadi (Principle of
Protecting The Personal Way of Life);
l. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (Principle of Public
service).

34
dikemukakannya dalam rangka Postgraduate Konstituonal and Administrasi law
Course di fakultas hukum Universitas Airlangga, September 1984.

76
Berdasaran uraian di atas dapat disimpulkan bahwa asas-asas umum
pemerintahan yang baik perlu dipahami, baik bagi pejabat/Badan Tata
Usaha Negara ataupun untuk kelancaran penanganan perkara Tata Usaha
Negara untuk menghindarkan perbuatan hukum yang merugikan warga.

5.2. Perkembangan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang baik.

77
5.3. Kedudukan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang baik.

78
BAB VI
TINDAKAN PEMERINTAHAN

Tujuan Instruksional Umum

Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan memperoleh


pemahaman yang mendalam mengenai hukum administrasi negara.

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan:
1. Adanya pemahaman mengenai pengertian Tindakan Pemerintahan.
2. Mengetahui Macam-Macam Tindakan Pemerintahan.
3. Mengetahui Syarat Keabsahan Tindakan Pemerintah
4. Mengetahui Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Pemerintah

79
BAB VI

6.1. Pengertian Tindakan Pemerintahan.

Dalam Perbuatan pemerintah ada dua hal yang perlu dipahami yaitu:
apa yang dimaksud dengan pemerintah dan apa yang dimaksud dengan
perbuatan pemerintah. Menurut Wirjono Prodjodikoro, pemerintah dapat
dibagi dalam arti luas dan dalam arti sempit. Pemerintah dalam arti luas
meliputi seluruh fungsi kegiatan kenegaraan yaitu lembaga-lembaga
kenegaraan yang diatur oleh UUD 1945 maupun lembaga-lembaga yang
diatur oleh Undang-Undang. Pemerintah dalam arti sempit adalah Presiden/
eksekutif. Menurut Kuntjoro Purbopranoto, pemerintah dalam arti luas
meliputi segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam rangka
penyelenggaraan kesejahteraan rakyat dan kepentingan negara, sedangkan
arti sempit adalah menjalankan tugas eksekutif saja. Menurut Romijn,
perbuatan pemerintah yang merupakan ”bestuur handling “ yaitu tiap-tiap
dari alat perlengkapan pemerintah. Menurut van Vallen Hoven, perbuatan
pemerintah merupakan tindakan secara spontan atas inisiatif sendiri dalam
menghadapi keadaan dan keperluan yang timbul tanpa menunggu perintah
atasan, dan atas tanggung jawab sendiri demi kepentingan umum.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perbuatan
pemerintah merupakan tindakan hukum yang dilakukan oleh penguasa
dalam menjalankan fungsi pemerintahan.

80
6.2. Macam-Macam Tindakan Pemerintahan

Perbuatan pemerintah dapat digolongkan dalam dua macam, yaitu :


a. Perbuatan pemerintah berdasarkan fakta (Fiete Logtie Handilugen)
yaitu tindakan penguasa yang tidak mempunyai akibat hukum; misalnya
Walikota mengundang masyarakat untuk menghadiri 17 agustus,
Presiden menghimbau masyarakat untuk hidup sederhana dan lain-lain.
b. Perbuatan pemerintah berdasarkan hukum (Recht Handilugen)
yaitu tindakan penguasa yang mempunyai akibat hukum, yang
digolongkan dalam dua golongan, yaitu:
1. Perbuatan pemerintah dalam lapangan hukum privat, dimana
penguasa mengadakan hubungan hukum berdasarkan hukum
privat.
2. Menurut Krobbe Kranenburg, Vegtig, Donner dan Hassh, bahwa
pejabat administrasi Negara dalam menjalankan tugasnya dalam
hal-hal tertentu dapat menggunakan hukum privat, umpamanya
perbuatan sewa-menyewa, jual-beli tanah dan perjanjian-perjanjian
lainnya.
3. Perbuatan pemerintah dalam lapangan Hukum Publik .
Perbuatan hukum dalam lapangan Hukum Publik ada dua macam:
a) Perbuatan Hukum Publik bersegi dua, yaitu adanya dua
kehendak/ kemauan yang terikat, misalnya dalam
perjanjian/kontrak kerja.
b) Perbuatan Hukum Publik bersegi satu, yaitu perbuatan yang

81
dilakukan atas kehendak dari satu pihak yaitu perbuatan dari
pemerintah itu sendiri.

6.3. Syarat Keabsahan Tindakan Pemerintah

Pembuatan instrumen yuridis oleh pemerintah harus didasarkan pada


ketentuan hukum yang berlaku atau didasarkan pada kewenangan yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Hukum Administrasi Negara
memberikan beberapa ketentuan tentang pembuatan instrumen yuridis; Di
dalam setiap pembuatan keputusan, ditentukan syarat syarat sebagai berikut:
a. Syarat-syarat materiil:
 Alat pemerintahan yang membuat keputusan harus berwenang;
 Keputusan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan yuridis
seperti penipuan, paksaan, sogokan, kesesatan, dan kekeliruan;
 Keputusan harus diberi bentuk sesuai dengan peraturan dasarnya dan
pembuatnya juga harus memperhatikan prosedur membuat
keputusan;
 Isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan
peraturan dasarnya.
b. Syarat-syarat formil:
 Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan
dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya
keputusan harus dipenuhi;
 Harus diberi dibentuk yang telah ditentukan;
 Syarat-syarat berhubung dengan pelaksanaan keputusan dipenuhi;

82
 Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang
menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu dan tidak
boleh dilupakan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan
pemerintahan akan berjalan sesuai dengan aturan 83okum dan sejalan
dengan tuntutan 83okum83 83okum untuk memberikan perlindungan bagi
warga masyarakat apabila persyaratan materiil maupun formil dipenuhi
dalam tindak pemerintahan.
6.4. Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Pemerintah

Menelaah putusan-putusan Mahkamah Agung yang menyangkut


kriteria perbuatan melanggar hukum oleh Pemerintah, ditemukan dua
putusan; yang pertama putusan Mahkamah Agung dalam perkara Kasum
dan yang kedua dalam perkara Josopandojo. Di samping itu terdapat
langkah Mahkamah Agung untuk menegaskan rumusan kriteria perbuatan
melanggar hukum oleh penguasa; melalui Surat Edaran Mahkamah Agung
dan melalui kegiatan lokakarya tentang Pembangunan Hukum melalui
Peradilan dengan hasil sebagai berikut:
a. Undang-Undang dan peraturan formal yang berlaku
Kriteria pertama; “rechtmatigheid” tindakan penguasa menurut
Mahkamah Agung adalah undang-undang dan peraturan-peraturan
formal yang berlaku.
b. Kepatutan yang harus diperhatikan oleh penguasa
Kriteria kedua; adalah kepatutan yang harus diperhatikan oleh
penguasa
c. Perbuatan kebijaksanaan penguasa
Kriteria ketiga; Mahkamah Agung menegaskan bahwa perbuatan
kebijaksanaan penguasa tidak termasuk kompetensi pengadilan
untuk menilainya.

83
BAB VII
INSTRUMEN PEMERINTAHAN

Tujuan Instruksional Umum

Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan memperoleh


pemahaman yang mendalam mengenai hukum administrasi negara.

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan:
1. Adanya pemahaman mengenai pengertian instrumen pemerintahan.
2. Mengetahui macam-macam instrumen pemerintahan.
3. Mengetahui kegunaan/fungsi instrumen pemerintahan.

84
BAB VII

7.1. Pengertian Instrumen Pemerintahan

Instrumen pemerintahan adalah alat atau sarana yang digunakan oleh


pemerintah atau administrasi negara dalam melaksanakan tugasnya.
Instrumen pemerintahan merupakan bagian dari instrumen penyelenggaraan
negara secara umum (pemerintahan dalam arti luas). Pada dasarnya,
pelaksanaan tugas penyelenggaraan negara di Indonesia dilakukan oleh 3
(tiga) lembaga (organ), yaitu eksekutif (pemerintah), legislatif, dan yudisial.
Dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan negara, masing-masing organ
negara tersebut diberikan kewenangan untuk mengeluarkan “instrumen
hukumnya”. Pemerintah sebagai salah satu organ negara diberikan tugas
untuk mengurus berbagai segi kehidupan masyarakat. Untuk itu pemerintah
diberikan kewenangan untuk melakukan perbuatan administrasi negara
(TUN) melalui “instrumen hukum” tersebut.

7.2. Macam-Macam Instrumen Pemerintahan

Perbuatan administrasi negara (TUN) dapat dikelompokkan kedalam 3


(tiga) macam perbuatan yaitu:

85
 Mengeluarkan peraturan perundang-undangan(Regeling)
 Mengeluarkan keputusan(Beschikking)
 Melakukan perbuatan Materiil
Sebelum diundangkannya UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, istilah keputusan digunakan
secara bersamaan untuk hal yang bersifat pengaturan (regeling) dan hal
yang bersifat penetapan (beschikking). Sebagai contoh, dulu ditemukan
Keputusan Presiden yang bersifat pengaturan dan juga ada Keputusan
Presiden yang bersifat penetapan. Begitu juga ditingkat menteri atau
pejabat-pejabat lainnya. Diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 dibedakan secara tegas antara istilah peraturan dan keputusan.
Berdasarkan undang-undang di atas, peraturan yang bersifat pengaturan,
sebutannya adalah peraturan, sedangkan yang bersifat penetapan adalah
keputusan. Dengan demikian, yang termasuk dalam pengertian peraturan
perundang-undangan sebutannya adalah peraturan. Oleh karena itu, setiap
instansi apabila akan membuat hal yang bersifat mengatur seharusnya
menggunakan istilah peraturan, tidak lagi menggunakan keputusan.
Keputusan hanya digunakan untuk hal yang sifatnya menetapkan saja,
misalnya pengangkatan seseorang dalam jabatan, kenaikan pangkat,
penugasan dalam tugas tertentu, dan sebagainya.
Tiga macam perbuatan di atas masing-masing dapat dilakukan
pengujian atau penilaian apakah perbuatan tersebut bertentangan atau tidak
dengan peraturan perundang-undangan. Untuk keputusan yang dikeluarkan
oleh badan atau pejabat TUN, yang berwenang melakukan pengujian atau
penilaian adalah peradilan TUN. Untuk peraturan perundang-undangan
yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN, pengujian atau penilaiannya
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Untuk perbuatan materiil, penilaian
atau pengujian perbuatan tersebut bertentangan atau tidak dengan peraturan
perundang-undangan diserahkan kepada peradilan umum (perdata) yang
didasarkan pada penafsiran dari Pasal 1365 BW. Di bawah ini akan

86
diuraikan secara lebih mendalam mengenai keputusan TUN dan peraturan
perundang-undangan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN.
a. Peraturan Perundang-undangan
Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan peraturan perundang-undangan, Peraturan perundang-
undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau
pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Berdasarkan
pengertian tersebut, peraturan perundang-undangan yang bersifat umum-
abstrak dicirikan unsur-unsur antara lain:
 Waktu, artinya tidak hanya berlaku pada saat tertentu saja
 Tempat, artinya tidak hanya berlaku pada tempat tertentu saja,
 Orang, artinya tidak hanya berlaku bagi orang tertentu saja,
 Fakta hukum, artinya tidak hanya ditujukan pada fakta hukum
tertentu saja, tetapi untuk berbagai fakta hukum (perbuatan) yang
dapat berulang-ulang.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan menentukan bahwa sumber hukum dari
segala sumber hukum negara adalah Pancasila. Penempatan Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan
Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus
dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan. UUD ini
memuat hukum dasar negara merupakan sumber hukum bagi pembentukan
peraturan perundang-undangan di bawah UUD; dengan demikian, semua
peraturan perundang-undangan harus bersumber pada UUD 1945 dan tidak
boleh bertentangan dengan UUD 1945. Menurut UU Nomor 10 Tahun
2004,Susunan/Hierarki perundang-undangan terdiri atas:

87
a. UUD
b. Undang-Undang/perpu
c. Peraturan pemerintah (PP)
d. Peraturan Presiden (Perpes)
e. Peraturan Daerah (Perda),yang meliputi:
1) Peraturan Daerah (PERDA) provinsi yang dibuat oleh
dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan
gubernur,dan perda kabupaten/kota yang dibuat oleh DPRD
kabupaten/kota bersama bupati/walikota]
2) Peraturan Desa/peraturan yang setingkat yang dibuat oleh
badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan
kepala desa atau nama lainnya
Jenis peraturan perundang-undangan di atas merupakan hirarkhi, maka
kekuatan hukumnya adalah sesuai dengan hierarki tersebut. Hirarkhi adalah
penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan
pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi menjadi dasar bagi
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Apabila antara peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, konsekuensinya dapat dijadikan
alasan untuk melakukan pengujian secara materiil (judicial review).
Pertanyaan yang diajukan adalah bagaimana kedudukan hukum
peraturan perundang-undangan lain yang sudah ada sebelum undang-undang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diundangkan namun tidak
termasuk dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan tersebut?
Pertanyaan ini sering diajukan karena jenis peraturan perundang-undangan
dalam undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
disebutkan secara limitatif. Jawaban terhadap pertanyaan di atas adalah jenis
peraturan perundang-undangan di luar yang disebutkan dalam undang-

88
undang ini tetap diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.
Dalam praktik, jenis peraturan perundang-undangan di luar yang
disebutkan dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan antara
lain peraturan yang dikeluarkan oleh MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeeriksa Keuangan, Bank Indonesia,
Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk
oleh UU atau pemerintah atas perintah UU, DPRD Provinsi, Gubernur,
DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Konsekuensi diundangkannya UU Nomor 10 Tahun 2004 ini adalah
tidak lagi dikenal peraturan perundang-undangan dengan sebutan keputusan,
misalnya keputusan presiden yang bersifat mengatur dan keputusan menteri
yang bersifat mengatur, karena semua yang sifatnya mengatur (regeling)
sebutannya adalah peraturan, sedangkan yang sifatnya penetapan
(beschikking) sebutannya adalah keputusan. Semua keputusan yang sifatnya
mengatur yang sudah ada sebelum UU Nomor 10 Tahun 2004, seperti:
Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan
Bupati/Walikota atau keputusan pejabat lainnya, harus dibaca peraturan
sepanjang tidak bertentangan dengan pembentukan peraturan perundang-
undangan.
b. Keputusan Tata Usaha Negara
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, unsur utama dari
Keputusan TUN adalah: 1) merupakan penetapan tertulis, 2) dikeluarkan
oleh badan atau pejabat TUN, 3) merupakan tindakan hukum TUN yang
berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, 4) bersifat konkret,
individual, dan final, 5) menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata.

89
Secara teori, hubungan hukum publik senantiasa bersifat sepihak atau
bersegi satu. Oleh karena itu, hubungan hukum publik berbeda halnya
dengan hubungan hukum keperdataan yang selalu bersifat 2 (dua) pihak
atau lebih, karena dalam hukum keperdataan di samping ada kesamaan
kedudukan, juga ada asas otonomi yang berupa kebebasan pihak yang
bersangkutan untuk mengadakan hubungan hukum atau tidak dan kebebasan
untuk menentukan isi hubungan tersebut. Sebagai wujud dari pernyataan
kehendak sepihak, pembuatan dan penerbitan keputusan hanya berasal dari
pihak pemerintah, tidak tergantung pada pihak lain.
Penetapan tertulis maksudnya cukup ada hitam di atas putih, bentuk
tidak penting. Dalam praktik, Keputusan Tata Usaha Negara ada juga yang
tidak tertulis, konsekuensinya berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak tertulis tidak menjadi obyek
sengketa Tata Usaha Negara. Hal ini disebabkan Keputusan Tata Usaha
Negara tidak tertulis sukar dijadikan pegangan, sukar dibuktikan, lagi pula
mudah disangkal oleh salah satu pihak jika timbul sengketa. Persyaratan
tertulis terutama menunjuk pada isi, bukan pada bentuk. Persyaratan tertulis
diharuskan hanya untuk memudahkan segi pembuktian.
Badan atau pejabat tata usaha negara adalah badan atau pejabat, baik
di pusat maupun di daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif.
Dalam hal ini tidak dilihat siapa yang melakukan kegiatan, tetapi sifat
kegiatan tersebut. Merujuk pengertian di atas, badan atau pejabat tata usaha
negara sangat beragam. Beragamnya badan atau pejabat tata usaha negara
menunjukkan bahwa pengertian badan atau pejabat tata usaha negara
memiliki cakupan yang sangat luas, yang berarti luas pula pihak yang dapat
diberikan wewenang pemerintahan untuk membuat dan mengeluarkan
keputusan.
Tindakan hukum tata usaha negara adalah tindakan dari badan atau
pejabat tata usaha negara yang bersumber pada ketentuan hukum tata usaha
negara yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban. Pembuatan dan

90
penerbitan keputusan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan
atau harus didasarkan pada wewenang pemerintahan yang diberikan oleh
peraturan perundang-undangan. Tanpa dasar kewenangan, badan atau
pejabat tata usaha negara tidak dapat membuat dan menerbitkan keputusan
atau keputusan tersebut menjadi tidak sah.
Keputusan memiliki sifat norma hukum yang individual-konkret dari
norma hukum yang bersifat umum-abstrak. Untuk menuangkan hal-hal yang
bersifat umum dan abstrak ke dalam peristiwa konkret, maka dikeluarkanlah
keputusan yang akan membawa peristiwa umum dapat dilaksanakan.
Konkret berarti obyek yang diputuskan dalam keputusan tersebut tidak
abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. Individual artinya
keputusan tersebut tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat
maupun hal yang dituju. Apabila yang dituju itu lebih dari seorang, maka
tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan tersebut harus disebutkan satu
per satu. Final artinya sudah definitif dan oleh karena itu dapat
menimbulkan akibat hukum.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keputusan
merupakan wujud konkret dari tindakan hukum TUN. Tindakan hukum
berarti tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat
hukum tertentu. Tindakan hukum adalah tindakan yang dimaksudkan untuk
menciptakan hak dan kewajiban; dengan demikian, tindakan hukum TUN
merupakan tindakan hukum yang dilakukan oleh badan atau pejabat TUN
untuk menimbulkan akibat hukum tertentu, di bidang pemerintahan.
c. Peraturan Kebijaksanaan
Keberadaan peraturan kebijaksanaan tidak terlepas dari kewenangan
bebas dari pemerintah yang dikenal dengan freies Ermessen. Freies
Ermessen merupakan salah satu sarana yang memberikan ruang gerak bagi
pejabat atau badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa
harus terikat sepenuhnya pada undang-undang. Freies Ermessen diberikan
kepada pemerintah karena fungsi pemerintah atau administrasi negara

91
adalah menyelenggarakan kesejahteraan umum, berbeda dengan fungsi
yudisial yang berfungsi menyelesaikan sengketa. Keputusan yang diambil
pemerintah lebih mengutamakan pencapaian tujuan (doelmatigheid) dari
pada sesuai dengan hukum (rechmatigheid). Meskipun kepada pemerintah
diberikan ruang gerak kebebasan, namun dalam kerangka negara hukum
kebebasan tersebut tidak digunakan tanpa batas. Batas-batas yang harus
dipertimbangkan dalam melakukan tindakan bebas tersebut antara lain: a)
ditujukan untuk melaksanakan tugas pelayanan publik; b) merupakan
tindakan yang aktif dari administrasi negara; c) tindakan tersebut
dimungkinkan oleh hukum; d) tindakan tersebut diambil atas inisiatif
sendiri; e) tindakan tersebut dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan
penting yang secara tiba-tiba; f) dapat dipertanggungjawabkan.
Freies Ermessen muncul sebagai alternatif untuk mengisi kekurangan
dan kelemahan dalam penerapan asas legalitas. Bagi negara welfare state,
asas legalitas saja tidak cukup untuk dapat berperan secara maksimal dalam
melayani kepentingan masyarakat, yang berkembang pesat sejalan dengan
perkembangan ilmu dan teknologi. Dalam praktik penyelenggaraan
pemerintahan, freies Ermessen dilakukan oleh administrasi negara dalam
hal-hal sebagai berikut:
 Belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur
penyelesaian secara konkret atas suatu masalah, padahal masalah
tersebut menuntut penyelesaian yang segera;
 Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar berbuat aparat
pemerintah memberikan kebebasan sepenuhnya;
 Aparat pemerintah tersebut diberi kewenangan untuk mengatur
sendiri, yang sebenarnya merupakan kewenangan aparat yang lebih
tinggi tingkatannya.
Dalam praktik, peraturan kebijaksanaan diberi format dalam berbagai
bentuk dan jenis aturan, misalnya peraturan, keputusan, instruksi, surat
edaran, pedoman, petunjuk, pengumuman. Mengenai kekuatan mengikat

92
peraturan kebijaksanaan, masyarakat yang terkena peraturan kebijaksanaan
tersebut secara tidak langsung terikat, karena tidak bisa berbuat lain kecuali
mengikutinya.
d. Instrumen Hukum Keperdataan
Pemerintah dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari tampil dengan 2
(dua) kedudukan, yaitu sebagai wakil dari badan hukum dan wakil dari
jabatan pemerintahan. Sebagai wakil dari badan hukum, kedudukan hukum
pemerintah berbeda dengan orang perseorangan atau badan hukum perdata
pada umumnya, yaitu diatur dan tunduk pada ketentuan hukum keperdataan
dan dapat melakukan tindakan hukum keperdataan. Penggunaan instrumen
hukum publik merupakan fungsi dasar dari organ pemerintahan dalam
menjalankan tugas pemerintahan, sedangkan penggunaan instrumen hukum
perdata merupakan konsekuensi dari paham negara kesejahteraan yang
menuntut pemerintah untuk mengupayakan kesejahteraan masyarakat.
Dalam memenuhi tuntutan tersebut, organ pemerintah tidak cukup jika
hanya menggunakan instrumen hukum publik, tetapi juga menggunakan
instrumen keperdataan terutama guna mencapai efektivitas dan efisiensi
pelayanan terhadap masyarakat. Meskipun pemerintah selaku wakil dari
badan hukum dapat melakukan tindakan hukum keperdataan, namun tidak
seluruh tindakan hukum keperdataan yang dapat dilakukan oleh manusia
dapat pula dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah, begitu juga badan
hukum pada umumnya tidak dapat melakukan hubungan keperdataan yang
berhubungan dengan hukum kekeluargaan, seperti perkawinan, perwalian,
dan kewarisan.
Ada 2 (dua) kemungkinan kedudukan pemerintah dalam menggunakan
instrumen hukum keperdataan, yaitu:
1. Pemerintah menggunakan instrumen hukum keperdataan sekaligus
melibatkan diri dalam hubungan hukum keperdataan dengan
kedudukan yang tidak berbeda dengan orang perseorangan atau
badan hukum perdata

93
2. Pemerintah menggunakan Instrumen hukum keperdataan tanpa
menempatkan diri dalam kedudukan yang sejajar dengan orang
perseorangan atau badan hukum.
Bentuk instrumen hukum keperdataan yang lazim dipergunakan oleh
pemerintah adalah perjanjian, yang antara lain dapat berbentuk:
1. Perjanjian perdata biasa;
2. Perjanjian perdata dengan syarat-syarat standar;
3. perjanjian mengenai pelaksanaan kewenangan publik;
4. Perjanjian mengenai kebijakan pemerintah.

BAB VIII
BENDA MILIK PUBLIK

Tujuan Instruksional Umum

Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan memperoleh


pemahaman yang mendalam mengenai hukum administrasi negara.

Tujuan Instruksional Khusus

Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan:

1. Adanya pemahaman mengenai pengertian benda milik publik


2. Mengetahui macam-macam benda milik publik
3. Mengetahui penggunaan dan pertanggungjawaban benda milik
publik

94
BAB VIII

8.1. Pengertian Benda Milik Pubik

Dalam ilmu hukum, subyek hukum terdiri atas:


a. Manusia
b. Badan Hukum
Subyek hukum Badan Hukum terdiri atas :
a. Badan Hukum Publik
b. Badan Hukum Privat
Badan hukum publik seperti Negara, Provinsi, Kabupaten/Kota dan
Badan Hukum Publik lainnya dapat bertindak dalam bidang hukum Pivat
atau Perdata dan mempunyai kekayaan berupa benda-benda yang disebut
benda publik. Negara sebagai subyek hukum perdata dapat melakukan
perbuatan hukum perdata seperti menjual, menyewakan, mengurus dan
memanfaatkan benda-benda tersebut. Benda-benda publik dibedakan dalam:
a. Benda-benda yang diperuntukan untuk umum atau publik Domein,
yang termasuk benda tersebut adalah, jalan-jalan umum, lapangan-
lapangan terbuka, gedung-gedung umum, dimana masyarakat
umum secara bebas menikmatinya.

95
b. Benda-benda milik pemerintah sendiri yaitu benda yang
peruntukannya tidak untuk umum, misalnya rumah dinas, gedung-
gedung perkantoran, mobil-mobil Dinas, peralatan kantor dan
sebagainya.

8.2. Macam-Macam Benda Milik Publik

Di Belanda, pembuat undang-undang telah meletakkan kejelasan bagi


sekelompok barang-barang umum, yakni jalan-jalan untuk selanjutnya
kejelasan hanya terdapat pada patokan putusan hoge raad selaku hakim
perdata. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara
tersebut digunakan untuk mencapai kemakmuran rakyat yang sebesar-
besarnya. Dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan
makmur. Hak menguasai negara itu, pelaksanaannya dapat dikuasakan
kepada daerah swatantra dan masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan
dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-
ketentuan peraturan pemerintah (Pasal 2 ayat 4). Surat Keputusan Menteri
Keuangan, Nomor: kep-225/MK/V/4/1971 tanggal 13 april 1971
dimaksudkan menetapkan penggolongan barang-barang milik negara/
kekayaan negara, sebagai berikut ini:
a. Barang-barang Tidak Bergerak, antara lain:
 Tanah-tanah kehutanan, pertanian, perkebunan, lapangan olah raga
dan tanah-tanah yang belum dipergunakan, jalan-jalan (tidak
termasuk jalan daerah), jalan kereta api, jembatan, terowongan,
waduk, lapangan terbang, bangunan-bangunan irigasi, tanah
pelabuhan, dan lain-lain tanah seperti itu.
 Gedung-gedung yang dipergunakan untuk kantor, pabrik-pabrik,
bengkel, sekolah, rumah sakit, studio, laboratorium, dan lain-lain

96
gedung seperti itu.
 Gedung-gedung tempat tinggal tetap atau sementara seperti : rumah-
rumah tempat tinggal, tempat istirahat, asrama, pesanggarahan,
bungalow, dan lain-lain gedung seperti itu.
 Monumen-monumen seperti: monumen purbakala (candi-candi),
monumen alam, monumen peringatan sejarah, dan monumen
purbakala lainnya.
b. Barang-Barang Bergerak, antara lain :
 Alat-alat besar seperti: Bulldozer, traktor, mesin pengebor tanah, dan
lain-lain alat besar seperti itu.
 Peralatan-peralatan yang berada dalam pabrik, bengkel, studio,
laboratorium, stasiun pembangkit tenaga listrik, mesin-mesin,
dinamo, generator, mikroskop, alat-alat pemancar radio, alat-alat
pemotretan, alat-alat proyeksi, dan lain-lain.
 Peralatan kantor, seperti: mesin tik, mesin stensil, mesin pembukuan,
komputer, mesin jumlah, brankas, radio, jam, kipas angin, almari,
meja, kursi, dan lain-lain; sedangkan inventaris kantor yang tidak
seberapa harganya seperti keranjang sampah tidak dimasukkan.
 Semua inventaris perpustakaan dan lain-lain inventaris barang-
barang bercorak kebudayaan.
 Alat-alat pengangkutan seperti: kapal terbang, kapal laut, bus, truk,
mobil, sepeda motor, scooter, sepeda, dan lain-lain.
 Inventaris perlengkapan rumah sakit, sanatorium, asrama, rumah
yatim, dan atau piatu.
c. Hewan-hewan, jenis hewan seperti sapi, kerbau, kuda, babi, anjung, dan
lain-lain.
d. Barang-barang persediaan, yakni barang-barang yang disimpan dalam
gudang veem atau di tempat penyimpanan lainnya.
Surat Keputusan Menteri keuangan Nomor: Kep-225/MK/V/4/1971

97
dimaksudkan melengkapi pelbagai lampiran yang memuat petunjuk-
petunjuk pengisian daftar inventaris barang.Seperti halnya pemerintah pusat,
pemerintah daerah juga memiliki barang dan kekayaan. Pasal 1 Keputusan
Menteri Keuangan, sebagaimana dimaksud dalam instruksi presiden, nomor
3 tahun 1971. Pasal 63 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974, tentang
pokok-pokok pemerintahan daerah memuat pengaturan dan penanganan
terhadap barang milik daerah yang digunakan untuk memenuhi dan
melayani kepentingan umum.

8.3. Penggunaan dan Pertanggungjawaban Benda Milik Publik

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961 tentang


pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya, maka
yang dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di
atasnya hanya Presidan RI, Pasal 1 menentukan:
”Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara
serta kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari
dari rakyat, demiian pula kepentingan pembangunan maka presiden
dalam keadaan yang memaksa setelah mendegar menteri agraria,
mentri kehakiman, dan menteri yang bersangkutan dapat mencbut hak-
hak atas dan benda-benda yang ada diatasnya.”

Dalam keadaan yang sangat mendesak yang memerlukan penguasaan


tanah dan atau benda-benda yang bersangkutan dengan segera, atas
permintaan yang berkepentingan; Kepala Inspeksi Agraria menyampaikan
permintaan untuk melakukan pencabutan hak kepada Menteri Agraria,35
tanpa disertai taksiran ganti rugi dari panitia penaksir dan jika pelu juga
dengan tidak menunggu diterimanya pertimbangan Kepala Daerah (Pasal 6
ayat 1). Pada bagian penjelasan umum Undang-Undang Nomor 20 tahun

35
Kepala Inspeksi Agraria saat ini bernama Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional; Menteri Agraria saat ini bernama Kepala badan Pertanahan Nasional.

98
1961 dikemukakan contoh-contoh yang dimaksudkan dari keadaan yang
sangat mendesak itu yakni terjadi wabah atau bencana alam yang
memerlukan penampungan para korbannya dengan segera.

BAB IX
KEPUTUSAN TATA USAHA
NEGARA

Tujuan Instruksional Umum

Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan memperoleh


pemahaman yang mendalam mengenai hukum administrasi negara.

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan:
1. Adanya pemahaman mengenai pengertian Keputusan Tata Usaha
Negara.
2. Mengetahui Syarat Sahnya Keputusan Tata Usaha Negara.
3. Mengetahui Macam-Macam Keputusan Tata Usaha Negara.
4. Memahami Kekuatan Hukum Keputusan Tata Usaha Negara
5. Memahami Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara

99
BAB IX

9.1. Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara

Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) adalah penetapan tertulis yang


dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum tata usaha
negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
bersifat konkrit, individual, final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang
Nomor 9 tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986). Unsur-
unsur pengertian istilah KTUN ialah:
a. Penetapan Tertulis
Penjelasan pasal tersebut istilah "penetapan tertulis" menunjuk kepada
bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN. Keputusan itu
memang diharuskan tertulis, namun diisyaratkan tertulis bukanlah bentuk
formatnya seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya.
Persyaratan tertulis ini diharuskan untuk kemudahan segi pembuktian. Oleh
karena itu memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan
merupakan Keputusan Badan/Pejabat TUN apabila sudah jelas – jelas:

100
 Badan/Pejabat TUN mana yang mengeluarkan;
 Maksud dan mengenai hal apa isi tulisan;
 Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan
didalamnya.
b. Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN
Badan/Pejabat TUN adalah-Badan/Pejabat dipusat dan di daerah yang
melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif
c. Berisi tindakan Hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan
perundang-undangan.

Tindakan hukum TUN adalah perbuatan hukum Badan/Pejabat TUN


yang bersumber pada suatu ketentuan hukum Tata Usaha Negara yang dapat
menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain. Peraturan perundang-
undangan adalah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum
yang dikeluarkan oleh badan perwakilan rakyat bersama pemerintah baik di
tingkat pusat maupun ditingkat daerah, yang juga bersifat mengikat secara
umum.
d. Bersifat konkrit, individual dan final
Bersifat konkrit artinya, obyek yang diputuskan dalam KTUN itu tidak
abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, umpamanya
keputusan mengenai si A, izin usaha bagi si B, Pemberhentian si A sebagai
pegawai. Bersifat individual artinya KTUN tidak ditujukan untuk umum,
tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang ditujukan. Kalau yang dituju itu
lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan
dicantumkan/dilampirkan. Umpamanya keputusan tentang pembuatan atau
pelebaran jalan dengan lampiran yang menyebutkan nama-nama orang yang
terkena keputusan tersebut. Bersifat final artinya sudah definitif dan
karenanya dapat menimbulkan akibat hukum, Keputusan yang masih
memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat

101
final dan karenanya belum dapat menimbulkan akibat hukum belum dapat
menimbulkan hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan.
Umpamanya keputusan pengangkatan seorang pegawai negeri memerlukan
persetujuan dari Badan Administrasi Kepegawaian Negara.
e. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Menimbulkan akibat hukum artinya perbuatan hukum yang
diwujudkan dalam pembuatan KTUN oleh Badan/Pejabat TUN itu dapat
menimbulkan hak atau kewajiban pada seseorang atau badan hukum
perdata.

Untuk memperjelas pengertian KTUN (beschikking, Ketetapan atau


decision) dapat dilihat kedudukan KTUN menurut ajaran Stufenbau des
Rechts dari Hans Kelsen, Sistem hukum merupakan suatu proses yang terus
menerus. Dimulai dari yang abstrak menjadi yang positif dan selanjutnya
sampai menjadi nyata (konkret). Mulai dari proses relatif (relativerings
process), ke proses positif (positivering process) selanjutnya ke proses nyata
(concretering proces). Menurut Hans Kelsen semua norma hukum itu
merupakan suatu kesatuan dengan unsur piramida. Menurut teori ini, dasar
(legalitas) dari suatu norma ada pada norma yang lebih tinggi tingkatannya.
Dalam hal ini yang paling tinggi adalah apa yang dinamakan
Ursprungsnorm atau Grundnorm. Dari Ursprungsnorm atau Grundnorm
yang sifatnya masih relatif atau abstrak itu diturunkan (dijabarkan) kedalam
norma positif yang disebut Generallenorm. Selanjutnya, dari
Generallenorm diindividualisasikan menjadi norma yang nyata (konkret)
atau concretenorm.36
Skema dari teori Hans Kelsen tersebut sebagai berikut:

Keterangan Skema:
1
1. Ursprungnonn. atau Grundnorm.
2
36

102
2. Generallenorm
3. Concretenorm

Bachsan Mustafa37 membuat skema hierarkhi perundang-undangan


dengan mempola teori Hans Kelsen yang menunjukkan kedudukan
ketetapan atau KTUN (beschikking) sebagai berikut:

GN

UUD GENERAL NORM


(mengikat umum)
TATA HUKUM
Undang-Undang

Peraturan-Peraturan

INDIVIDUAL NORM
Ketetapan-Ketetapan (mengikat orang tertentu)

Ketetapan mempunyal fungsi untuk melaksanakan suatu peraturan


kedalam suatu hal yang nyata (konkrit) tertentu. Kelsen rnenyebut ketetapan
itu sebagai individual norm, norma yang berlaku terhadap subyek hukum
tertentu atau dengan perkataan lain suatu norma yang mengikat subyek
hukum tertentu. Pasal 1 angka 3 dan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 9
tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 menginterpretasikan
konsep Hans Kelsen bahwa obyek sengketa TUN adalah KTUN yang
memiliki kriteria (untuk dapat diuji melalui PTUN):
1) Secara substansi: merupakan penetapan tertulis yang harus jelas;
 Badan/Pejabat Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkannya;
 Maksud serta mengenai hal apa isi penetapan tertulis itu:

37

103
 Kepada siapa penetapan tertulis itu ditujukan dan apa yang
ditetapkan didalamnya.
Persyaratan tertulis diajukan untuk kemudahan segi pembuktian
(mengenai bentuk/form KTUN tidak merupakan hal yang
penting sejauh telah mengandung kejelasan mengenai ketiga hal
di atas).
2) Dari segi pembuatannya; dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Tata
Usaha Negara dalam rangka melaksanakan kegiatan yang bersifat
eksekutif (urusan pemerintahan).
3) Wujud materilnya: berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yaitu
tindakan hukum Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi
untuk menyelenggarakan urusan Pemerintahan baik dipusat maupun
didaerah.
4) Dari segi sifatnya: konkrit, individual dan final.
5) Dari segi akibatnya: menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata.
Hubungan antara peraturan dengan ketetapan adalah bahwa peraturan
merupakan hukum in abstrakto atau general norm yang sifatnya mengikat
umum atau berlaku umum sedangkan tugasnya adalah mengatur hal-hal
yang umum atau hal-hal yang masih abstrak. Agar peraturan ini dapat
dilaksanakan haruslah dikeluarkan ketetapan-ketetapan yang membawa
peraturan ini kedalam peristiwa konkret yang nyata tertentu. Ketetapan ini
tugasnya melaksanakan peraturan dalam peristiwa konkret tertentu maka
sifatnya menjadi mengikat subyek hukum tertentu, mengatur hal konkret
tertentu, karena itu ketetapan ini disebut hukum in concreto atau individual
norm. Untuk menentukan segi pengujian yuridis terhadap KTUN yang
dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dalam sengketa TUN
harus dilihat pula peraturan perundang-undangan yang mendasari
dikeluarkannya KTUN. Misalnya, mengenai penggunaan upaya
administratif (Pasal 48 Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 Jo Undang-

104
Undang Nomor 5 tahun 1986) ditentukan untuk melihat ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya KTUN
yang bersangkutan apakah terhadap KTUN tersebut terbuka atau tidak
terbuka kemungkinan untuk ditempuh suatu upaya administratif (penjelasan
Pasal 48 ayat 1). Pasal 48 ayat 2 menentukan: pengadilan baru berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 jika seluruh upaya administratif telah
digunakan. Apabila seluruh prosedur dan kesempatan seperti pada
penjelasan ayat 1 telah ditempuh dan pihak yang bersangkutan masih tetap
belum merasa puas, barulah persoalannya dapat digugat dan diajukan ke
Pengadilan (penjelasan Pasal 48 ayat 2). Konsideran yuridis setiap
keputusan (beschikking) menunjukkan peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar dikeluarkannya keputusan (beschikking). Untuk menentukan
pengujian yuridis terhadap keputusan (beschikking) harus diperhatikan
konsideran yuridis KTUN yang menjadi obyek sengketa.

Kerangka Keputusan (beschikking)

SURAT KEPUTUSAN
Nama Jabatan (Misalnya : WALIKOTA KDH….)
Tentang
………………..

Menimbang : a. bahwa………………
Konsiderans faktual
b. bahwa………………

Mengingat : a. …………….........…
b. ………………........ Konsiderans yuridis

105
MEMUTUSKAN
Berisi: tindakan hukum TUN
Sifat : konkrit, individual dan final
Menetapkan:
Pertama: ………......./…….. diktum

Kedua : …………............. menimbulkan akibat hukum bagi


yang dikenai KTUN (beschiking)

Ditetapkan di ……
TTD.
Nama Pejabat (Pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan).

KTUN sebagai tindakan pemerintah yang dikeluarkan Badan/Pejabat


Tata Usaha Negara dalam skema Philippus M. Hadjon38 sebagai berikut:

TINDAKAN PEMERINTAHAN (bestuurhandeling)

Tindakan materiil Tindakan hukum


(feitelijke handeling) (rechtsshandeling)

Tindakan hukum privat Tindakan hukum publik

Berbagai pihak Sepihak

umum individual

abstrak konkrit
Dari skema di atas, pengertian tindakan hukum tata usaha negara
termasuk dalam kelompok tindakan hukum publik yang sifatnya sepihak
dan diarahkan kepada sasaran yang individual. Kontrol yudisial terhadap
tindakan hukum tata usaha negara dengan dilakukan pengujian (toetsing)
terhadap KTUN (Pasal 1 angka 3, Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 49) oleh PTUN

38

106
yang memiliki karakteristik sebagai suatu external control, bersifat represif
dan pada dasarnya hanya menilai segi legalitas tindakan Pemerintah dalam
bidang hukum publik seperti tampak pada skema di atas.
Disamping pengertian KTUN menurut Pasal 1 angka 3 dengan
perkecualian tersebut dalam Pasal 3, dalam praktik pemerintahan kita,
sebuah KTUN lazimnya terdiri atas rangkaian KTUN, baik berupa
rekomendasi maupun surat pengantar atau surat pertimbangan. Apakah surat
pangantar dan lain-lain itu merupakan KTUN harus dipertimbangkan pada
syarat final yaitu apakah sudah menimbulkan akibat hukum. Tolok ukurnya
adalah: apakah sudah menimbulkan akibat hukum.
Dalam kaitannya dengan hak gugat (Pasal 53 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 9 tahun 2005), untuk dapat dijadikan sebagai obyek sengketa TUN
(yang kemudian dapat dilakukan penilaian sesuai dengan kompetensi
absolut Peradilan Admiistrasi) harus ada hubungan kausal antara KTUN
dengan kerugian/kepentingan lain.

Skema
KTUN Kerugian

sebab akibat

9.2. Syarat Sahnya Keputusan Tata Usaha Negara

van der Pot mengemukakan 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi agar
ketetapan dapat berlaku sebagai ketetapan yang sah, yaitu:
a. Ketetapan harus dibuat oleh alat (organ) yang berkuasa (bevoegd)
membuatnya.

107
b. Karena ketetapan suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring),
maka pembentukan kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan
yuridis (geen juridische gebreken in de wilsvorming)
c. Ketetapan sudah harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam
peraturan yang menjadi dasamya dan pembuatnya harus juga
memperhatikan cara (procedure) membuat ketetapan bilamana
cara itu ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut.
d. Isi dan tujuan ketetapan harus sesuai dengan isi dan tujuan
peraturan dasar.

Van der Wel membagi syarat-syarat dalam dua golongan, yaitu:


a. Syarat-syarat materiil:
 Alat 108okum108 yang membuat ketetapan harus berkuasa
 Dalam kehendak alat negara yang membuat ketetapan tidak
boleh ada kekurangan.
 Ketetapan harus berdasarkan suatu keadaan (situasi) tertentu.
 Ketetapan harus dapat dilakukan dan tanpa melanggar
peraturan-peraturan lain, menurut ”isi dan tujuan ‘’sesuai
dengan peraturan lain yang menjadi dasar ketetapan itu.
b. Syarat-syarat formil:
 Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan
dibuatnya ketetapan dan berhubung dengan cara dibuatnya
ketetapan harus dipenuhi.
 Ketetapan harus diberi bentuk yang ditentukan.
 Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan dilakukannya
ketetapan harus dipenuhi.
 Jangka waktu yang ditentukan: antara timbulnya hal-hal yang
menyebabkan dibuatnya ketetapan dan diumumkannya
ketetapan itu, tidak bolech dilewati.

108
Menurut Utrecht, kekurangan sebagai akibat tidak dipenuhinya
ketetapan dapat menjadi sebab ketetapan tidak sah (niet-rechtsgeldig).
Akibat hukum dari tidak sahnya ketetapan (beschikking) menyebabkan:
a.Ketetapan batal karena hukum (nietigheid van rechtswege)
Ini berarti akibat dari suatu perbuatan untuk sebagian atau
seluruhnya bagi hukum dianggap tidak ada (dihapuskan) tanpa
diperlukan suatu keputusan hakim atau keputusan suatu badan
pemerintahan lain yang berkompeten untuk menyatakan batalnya
sebagian atau seluruh akibat itu.

b.Ketetapan batal (neitig/absolut noetig)


Ini berarti bagi hukum perbuatan yang dilakukan tidak ada; bagi
hukum akibat perbuatan itu dianggap tidak pernah ada.
c.Ketetapan dapat dibatalkan (vernietigbaar)
Ini berarti bagi 109okum perbuatan yang dilakukan dan akibatnya
dianggap tidak ada sampai waktu pembatalan oleh hakim atau oleh
suatu badan pemerintah lain yang berkompeten (pembatalan itu
diadakan karena perbuatan tersebut mengandung kekurangan)
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004
mengkonstruksikan akibat hukum dari tidak dipenuhinya keabsahan
(legality) terhadap KTUN berupa sanksi batal atau tidak sahnya KTUN
(beschikking) dengan kemungkinan disertai sanksi ganti rugi dan/atau
rehabilitasi dengan merujuk Pasal 53 ayat (1), Pasal 120, dan pasal 121).

9.3. Macam-Macam Keputusan Tata Usaha Negara

Utrecht membedakan ketetapan (beschikking) atas:


a. Keletapan positif dan negatif

109
Ketetapan positif menimbulkan hak/kewajiban bagi yang dikenai
ketetapan. Ketetapan negatif tidak menimbulkan perubahan dalam
kewajiban hukum yang telah ada. Ketetapan negatif dapat
berbentuk: pernyataan tidak berkuasa (onbevoegd verklaring),
pernyataan tidak diterima (niet outvankelijk verklaring) atau suatu
penolakan (of Wijzing )
b. Ketelapan-deklaratur dan konstitutif
Ketetapan deklaratur hanya menyatakan bahwa hukumnya
demikian (rechsvastellende beschikking). Ketetapan konstitutif
adalah membuat hukum (rechtsheppend).

c. Ketetapan kilat dan ketetapan yang tetap (blijvend),


Menurut Prins, ada empat macam;
 Ketetapan kilat: ketetapan yang bermaksud mengubah redaksi
(teks) ketetapan lama;
 suatu ketetapan negatif;
 penarikan atau pembatalan suatu ketetapan;
 suatu pernyataan pelaksanaan (uitvoerbaar verklaring)
d. Dispensasi, izin (verguning), lisensi dan konsesi
 Dispensasi adalah keputusan yang memperkenankan
dilakukannya suatu perbuatan yang pada umumnya dilarang
oleh para pembuat peraturan
 Izin (verguning) adalah keputusan yang memperkenankan
dilakukannya perbuatan yang pada prinsipnya tidak dilarang
oleh pembuat peraturan.
 Lisensi adalah suatu macam izin yang istimewa yang
memperkenankan dijalankannya suatu perusahaan (Prins).
 Konsesi adalah keputusan yang memperkenankan
dilakukannya perbuatan yang penting bagi umum.

110
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang menjadi
dasar pengujian (toetsing) bagi PTUN ialah KTUN (Pasal 1 angka 3)
ditambah dengan kategori-kategori KTUN yang diatur dalam pasal 3 dan
dikurangi Pasal 2 serta limitasi Pasal 49, dan bila dirumuskan menjadi:

KTUN = (Pasal 1 angka 3 + pasal 3) - (Pasal 2 + Pasal 49)

Pasal 2 UU Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Pasal 2


UU Nomor 5 tahun 1986 menentukan: bahwa tidak termasuk dalam
pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum
perdata. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan
hukum perdata, umpamanya.keputusan yang menyangkut masalah
jual beli yang dilakukan antara instansi pemerintah dengan
perseorangan yang didasarkan pada ketentuan hukum perdata.
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang
bersifat umum; yaitu pengaturan yang membuat norma-norma
hukum yang dituangkan dalam bentuk kekuatan berlaku mengikat
sernua orang.
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan
persetujuan; yaitu keputusan yang untuk dapat berlaku masih
memerlukan persetujuan instansi lain atau instansi atasan.
Dalam kerangka pengawasan administratif yang bersifat preventif
dan keseragaman kebijaksanaan seringkali peraturan yang
menjadi dasar keputusan menentukan bahwa sebelum berlakunya
Keputusan Tata Usaha Negara diperlukan persetujuan instansi atas
lebih dahulu. Ada kalanya peraturan dasar menentukan bahwa
persetujuan instansi lain diperlukan karena instansi lain tersebut
akan terlibat dalam akibat hukum yang akan ditimbulkan oleh
keputusan itu.

111
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan
ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang
undangan lain yang bersifat hukum pidana. Keputusan Tata Usaha
Negara berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana umpamanya dengan suatu tindakan pidana bersyarat yang
mewajibkan memikul biaya perawatan si korban selama dirawat di
rumah sakit; karena kewajiban itu merupakan syarat yang harus
dipenuhi oleh terpidana, maka jaksa yang menurut Pasal 14 huruf
d Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ditunjuk mengawasi
dipenuhi atau tidaknya syarat yang dijatuhkan dalam pidana itu,
lalu mengeluarkan perintah kepada terpidana agar segera
mengirimkan bukti pembayaran biaya perawatan kepadanya.
Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan ketentuan perundang-
undangan lain yang bersifat hukum pidana adalah seperti misal
perintah jaksa ekonomi untuk melakukan penyitaan barang-barang
terdakwa dalam perkara tindak pidana ekonomi. Penerapan hukum
terhadap ketiga macam Keputusan Tata Usaha Negara tersebut
hanya dapat dilakukan oleh peradilan umum.
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil
pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Keputusan Tata Usaha Negara
yang dimaksud pada huruf e ini, umpamanya:
1) Keputusan Badan Pertanahan Nasional yang mengeluarkan
sertipikat tanah atas nama seseorang yang didasarkan atas
pertimbangan putusan pengadilan perdata yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, yang menjelaskan bahwa
tanah sengketa tersebut merupakan tanah negara dan tidak
berstatus tanah warisan yang diperebutkan para pihak.

112
2) Keputusan serupa angka 1, tetapi didasarkan atas amar
putusan pengadilan perdata yang memperoleh kekuatan hukum
tetap.
3) Keputusan pemecatan seorang notaris oleh Menteri, setelah
menerima usul Ketua Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi
dan Mahkamah Agung atas dasar kewenangannya menurut
ketentuan Pasal 54 UU Nomor 2 Tahun 1986 jo Undang-
Undang Nomor 8 tahun 2004 tentang Peradilan Umum.
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara
Nasional Indonesia .
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum panitia pemilihan, baik di
pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.
Dalam klasifikasi keadaan dan persoalan tertentu pengertian KTUN
(Pasal 1 angka 3) diperluas pengertiannya oleh Pasal 3. Sehingga, tanpa
secara formal diterbitkan KTUN menurut keadaan dan persoalan yang diatur
oleh Pasal 3 disamakan dengan KTUN. Pasal 3 UU Nomor 9 tahun 2004 Jo
UU Nomor 5 tahun 1986 menentukan:
a.Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak-mengeluarkan
keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal
tersebut disamakan dengan KTUN.
b. Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak
mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu
telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dianggap
telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud. Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menerima permohonan
dianggap telah mengeluarkan keputusan yang berisi penolakan
permohonan tersebut apabila tenggang waktu yang ditetapkan
telah lewat dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara itu bersikap
diam, tidak melayani permohonan yang telah diterimanya.

113
c.Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak
menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat 2
maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya
permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.
Berdasarkan alasan keadaan tertentu dalam Pasal 49 Undang-Undang
Nomor 9 tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 memberikan
limitasi terhadap pengertian KTUN (Pasal 1 angka 3 dan Pasal 3) yang
dapat diuji oleh Peradilan Administrasi. Pasal 49 menentukan: Pengadilan
tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa TUN
tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan:
a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana
alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum
peraturan perundang-undangan yang berlaku. kepentingan umum
adalah kepentingan bangsa dan negara atau kepentingan
masyarakat bersama dan atau kepentingan pembangunan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu
pengaturan mengenai kepentingan umum berkaitan dengan
masalah pertanahan dapat dilihat dalam Peraturan Presiden Nomor
36 Tahun 2005 Jo Kepres Nomor 55 Tahun 1993 tentang
Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan unluk
kepentingan umum berdasarkan Keppres ini dibatasi untuk:
1) Kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya
dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari
keuntungan, dalam bidang-bidang antara lain sebagai berikut:
 Jalan Umum, saluran pembuangan air:

114
 Waduk, bendungan dan bangunan perairan lainnya termasuk
saluran.irigasi;
 Rumah Sakit Umum dan Pusat Kesehatan Masyarakat;
 Pelabuhan atau bandara udara atau terminal;
 Peribadatan.
 Pendidikan atau sekolahan;
 Pasar Umum atau Pasar INPRES;
 Fasilitas Pemakaman Umum;
 Fasilitas keselamatan umum seperti, antara lain tanggul
penanggulangan bahaya banjir, lahar dan lain-lain bencana;
 Pos dan Telekomunikasi;
 Sarana Olah Raga;
 Stasiun penyiaran radio, televisi beserta sarana
pendukungnya;
 Kantor pemerintahan;
 Fasilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)
2) Kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum selain
dimaksud dalam angka 1 yang ditetapkan dengan Perpres.
Berkaitan dengan KTUN sebagai dasar pengujian tindakan hukum tata
usaha negara sekaligus sebagai obyek sengketa TUN mengenai mekanisme
pengawasan yudisial dapat disebutkan sebagai berikut:
a. Pengawasan dilakukan dengan menguji
keabsahan KTUN (Pasal 1 angka 3 dan Pasal 53 ayat 2 huruf a
dan b UU Nomor 9 tahun 2004) yang dikeluarkan pejabat TUN
(Pasal 1 angka 2) oleh PTUN dalam hal terjadi sengketa TUN
(Pasal l angka 4).
b. Bagi hakim TUN pengertian Penetapan tertulis
(beschikking) yang merupakan salah satu keputusan TUN yang
berfungsi sebagai instrumen yuridis pemerintahan yang digunakan

115
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam melaksanakan tugas
kewajibannya dibidang urusan pemerintahan sangat penting
artinya, karena hanya penetapan tertulis saja yang dapat digugat ke
PTUN.
c. Istilah “Penetapan Tertulis" terutama menunjuk
kepada isi dan bukan kepada bentuk yang dikeluarkan oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara (penjelasan Pasal 1 ayat 3).
d. Jika Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak
mengeluarkan keputusan dapat disamakan dengan KTUN menurut
keadaan dan persoalan yang diatur pasal 3.
Penilaian (toetsing) terhadap KTUN hanya menyangkut aspek
legalitas dari suatu KTUN (beschikking) sebagai instrumen yuridis
pemerintahan; dengan demikian tanggung gugat sehubungan dengan suatu
perbuatan hukum publik adalah pada pejabat (ambtsdrager) - Lihat kembali
skema - tindakan pemerintah bertuurshandeling--. Garis pembeda antara
perbuatan pemerintah berdasarkan hukum publik dan perbuatan bukum
privat dapat dilakukan dengan menggunakan dasar untuk melakukan
perbuatan hukum:
a. Dasar untuk melakukan perbuatan bukum publik adalah adanya
kewenangan yang berkaitan dengan suatu jabatan (ambt). Jabatan
melalui tiga sumber, yakni: atribusi, delegasi dan mandat akan
melahirkan kewenangan (bevoegdheid, legal power, competence).
b. Dasar untuk melakukan perbuatan hukum privat adalah adanya
kecakapan bertindak (bekwamheid) dati subyek hukum (orang/
badan hukum perdata).

9.4. Kekuatan Hukum Keputusan Tata Usaha Negara

Suatu putusan dikatakan telah berkekuatan hukum tetap, apabila


terhadap putusan itu tidak lagi dapat dilakukan upaya hukum biasa, seperti

116
banding atau kasasi. Terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap
dapat dilakukan eksekusi (Pasal 115 UU Nomor 9 tahun 2004 tentang
Perubahan atas UU Nomor 5 tahun 1986). Eksekusi berarti pelaksanaan
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Maksudnya hal-hal
yang diputuskan dalam keputusan itu berupa hukuman terhadap tergugat
dilaksanakan sebagai upaya memulihkan kerugian yang diderita Penggugat.
Eksekusi terhadap putusan Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal
116 UU Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 5 tahun
1986. Adapun proses pra eksekusi itu sendiri adalah sebagai berikut:
a. Atas perintah Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang
memeriksa perkara memerintahkan Panitera Pengadilan untuk
menyampaikan salinan putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap kepada para pihak yang berperkara melalui pos
dengan surat tercatat, paling lambat dalam tenggang waktu 14
(empat belas) hari terhitung sejak putusan itu berkekuatan hukum
tetap, atau dalam hal itu bukan Keputusan Pengadilan Tingkat
Pertama sendiri sejak putusan itu diterimanya.
b. Dalam waktu 4 (empat) bulan setelah putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap disampaikan kepada Tergugat akan
tetapi Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya (Pasal 97 ayat 9
huruf a UU Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU
Nomor 5 tahun 1986), untuk mencabut Keputusan Tata Usaha
Negara tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
c. Dalam hal ditetapkan, bahwa Tergugat harus melaksanakan
kewajibannya (Pasal 97 ayat 9 huruf b dan c UU Nomor 9 tahun
2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 5 tahun 1986) untuk
mencabut Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan dan
menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru, atau
menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan
didasarkan pada Pasal 3 UU Nomor 9 tahun 2004 tentang

117
Perubahan atas UU Nomor 5 tahun 1986, yaitu tidak
mengeluarkan keputusan sedangkan itu menjadi kewajibannya.
d. Jika Tergugat masih tetap tidak mau melaksanakannya, Ketua
Pengadilan mengajukan hal tersebut kepada instansi atasan
tergugat menurut jenjang jabatan (Pasal 116 ayat 4).
e. Instansi atasan tergugat dalam waktu 2 (dua) bulan setelah
menerima pemberitahuan Ketua Pengadilan, harus sudah
memerintahkan pejabat tersebut (tergugat) untuk melaksanakan
putusan pengadilan (Pasal 116 ayat 5).
f. Dalam hal instansi atasan tergugat tidak mengindahkan hal itu,
maka Ketua Pengadilan mengajukan masalah tersebut kepada
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk
memerintahkan pejabat tersebut (tergugat) melaksanakan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut (Pasal
116 ayat 6 UU Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU
Nomor 5 tahun 1986).
Eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dalam
beberapa bentuk, antara lain:
a. Mencabut Keputusan Tata Usaha Negara yang dipersengketakan.
Pasal 116 UU Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU
Nomor 5 tahun 1986 memberi kesempatan kepada Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara untuk secara sukarela melaksanakan Keputusan Pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap dalam tenggang waktu paling lama
selama 4 (empat) bulan sejak putusan itu diterimanya. Apabila tenggang
waktu tersebut melewati, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang baru
atau Keputusan Tata Usaha Negara yang bersengketa itu tidak mempunyai
kekuatan hukum dengan sendirinya. Apabila tergugat tidak bersedia untuk
mencabutnya. Terhitung sejak saat itu Keputusan Tata Usaha Negara yang
bersengketakan itu tidak menimbulkan akibat hukum lagi. Oleh karena itu
sebelum tenggang waktu 4 (empat) bulan itu lewat sebaiknya Badan atau

118
Pejabat Tata Usaha Negara (tergugat) mencabutnya. Keadaan ini sangat
bermanfaat dalam melakukan pendidikan sadar hukum bagi masyarakat
karena Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sendiri secara sportif telah
memberi contoh tentang sadar hukum bagi masyarakat. Sebaliknya apabila
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak bersedia dengan sukarela untuk
melaksanakannya sangat merugikan bagi penyadaran hukum masyarakat
karena adanya contoh kurang baik dari Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara, yang dalam kehidupan sehari-hari sebagai panutan masyarakat.
b. Menerbitkan/mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara baru.
Dalam hal pengadilan memutuskan agar Badan atu Pejabat Tata Usaha
Negara (tergugat) mencabut Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru
atau Keputusan Tata Usaha Negara yang diminta (Pasal 116 jo. Pasal 97
ayat 9 huruf b dan c. Pasal 3 UU Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan
atas UU Nomor 5 tahun 1986). Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
bersangkutan diberi kebebasan selama 3 (tiga) bulan untuk mencabut
Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan tersebut dan menerbitkan
Keputusan Tata Usaha Negara yang baru atau mengabulkan Keputusan Tata
Usaha Negara yang dimohonkan oleh Penggugat secara sukarela. Dalam hal
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (tergugat) tidak melaksanakan
kewajibannya, setelah lewat waktu 3 (tiga) bulan Penggugat menyampaikan
permasalahan itu kepada Ketua Pengadilan agar memerintahkan tergugat
untuk melaksanakan putusan pengadilan tersebut. Apabila tidak juga
dilaksanakan, maka Ketua pengadilan mengajukan hal tersebut kepada
instansi atasan tergugat menurut jenjang jabatan. Misalnya kalau tergugat
adalah Bupati, maka pertama persoalan diajukan kepada Gubernur,
kemudian kepada Menteri Dalam Negeri dan terakhir kepada Presiden
(Pasal 116 ayat 6 UU Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU
Nomor 5 tahun 1986). Pertanyaan yang diajukan bagaimana kalau juga tidak

119
terlaksanamengingat UU No.5 Tahun 1986 tidak menjelaskannya, lalu
bagaimana dengan UU Nomor 9 tahun 2004?
Untuk menjawab pertanyaan di atas ada beberapa cara yang dapat
dilakukan diantaranya adalah diubahnya UU Nomor 5 tahun 1986 dan
dikeluarkannya UU Nomor 9 tahun 2004, maka ketentuan Pasal 116 ayat
6 UU Nomor 5 tahun 1986 diubah menjadi “Dalam hal Tergugat tidak
bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan
upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan atau sanksi
administratif (Pasal 116 ayat 4 UU Nomor 9 tahun 2004) “. Selanjutnya
yang dimaksud “Pejabat yang bersangkutan dikenakan uang paksa dalam
ketentuan ini adalah pembebanan berupa pembayaran sejumlah uang yang
ditetapkan oleh hakim karena jabatannya yang dicantumkan dalam amar
putusan pada saat memutuskan mengabulkan gugatan penggugat”
(penjelasan Pasal 116 ayat 4 UU Nomor 9 tahun 2004 tentang perubahan
Atas UU Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Jika
pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan putusan pengadilan
sebagaimana dimaksud pada ayat 4 di atas, selanjutnya diumumkan pada
media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 Pasal 116 UU Nomor 9
tahun 2004 ini. Ketentuan tentang ganti rugi dalam perkara Tata Usaha
Negara diatur dalam Pasal 120 jo. Pasal 97 ayat (10) dan Pasal 117 UU
Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 5 tahun 1986,
adalah pembayaran sejumlah uang kepada orang atau badan hukum perdata
atas beban Tata Usaha Negara, karena adanya kerugian meterial yang
diderita Penggugat (PP Nomor 43 Tahun 1991). Ganti rugi tersebut menjadi
tanggungan tergugat yang untuk tingkat pusat dibebankan kepada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sedangkan untuk daerah
dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Sementara ganti rugi yang menjadi tanggungan Badan Tata Usaha lainnya

120
menjadi beban keuangan yang dikelola oleh Badan itu sendiri. Besarnya
ganti rugi minimal Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) dan
maksimal Rp. 5.000.000,-(lima juta rupiah). Adapun proses pembayaran
ganti rugi tersebut adalah setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka
salinan putusan itu dikirimkan oleh Panitera melalui pos dengan surat
tercatat kepada Penggugat maupun Tergugat. Pengirim itu dilaksanakan
paling lambat dalam jangka waktu 3 (tiga) hari setelah putusan memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Tata cara pembayaran ganti rugi oleh Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) diatur oleh Menteri Keuangan, sedangkan
pembayaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) diatur
oleh Menteri Dalam Negeri. Sementara tata cara pembayaran oleh Badan
Tata Usaha Negara lainnya diatur oleh masing-masing pimpinan badan yang
bersangkutan. Proses pelaksanaan diatur, bahwa PTUN mengirimkan
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap kepada Penggugat dan
Tergugat paling lambat dalam waktu 3 (tiga) hari setelah putusan itu
berkekuatan hukum tetap. Pengiriman dilakukan oleh Pengadilan yang
menetapkan putusan itu sendiri. Apabila putusan itu ditetapkan oleh
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) atau Mahkamah Agung
(MA), maka putusan tersebut juga dikirimkan kepada PTUN Tingkat
Pertama yang memeriksa perkara.
Penggugat dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah
menerima salinan putusan itu (Pasal 7 PP No.41 Tahun 1991) mengajukan
permintaan pelaksanaan putusan itu kepada Badan Tata Usaha Negara
(tergugat). Paling lambat dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak menerima
permintaan itu Tergugat (Badan Tata Usaha Negara) memberitahu
Penggugat (yang mengajukan permintaan) perihal telah diterimanya
permintaan tersebut. Apabila Tergugat tidak dapat melaksanakan
pembayaran dalam tahun anggaran yang sedang berjalan, maka pembayaran
ganti rugi dimasukkan dalam dan dilaksanakan dalam tahun anggaran

121
berikutnya. Sementara terhadap Pejabat Tata Usaha Negara (Pasal 18 PP
No.43 tahun 1991) yang mengakibatkan timbulnya ganti rugi tersebut dapat
dikenakan tindakan Administrasi sesuai peraturan yang berlaku.
Dalam hal adanya gugatan ganti rugi, sesuai jumlah yang dirumuskan
dalam Pelatihan Peningkatan Keterampilan Hakim Peradilan Tata Usaha
Negara II Tahun 1991 (Surat Mahkamah Agung RI. No: 052/Td.TUN/III/
1992, tanggal 24 Maret 1992) supaya secara tegas diuraikan dalam posita
gugatan dan secara tegas dimintakan dalam petitum, dengan berpedoman
pada ketentuan PP No.43 Tahun 1991.
Keputusan Menteri Keuangan RI No. 1129/KMK.01/1991 tentang
Tata Cara Pembayaran Ganti Rugi Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara (Pasal 1 huruf a) menentukan, bahwa pembayaran ganti rugi
adalah pembayaran sejumlah uang kepada orang atau ahli waris atau badan
hukum perdata, karena adanya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang membebankan ganti rugi
kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Yang berhak atas ganti rugi
itu adalah orang perorangan atau ahli warisnya atau badan hukum perdata,
yang oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dikabulkan gugatannya.
Untuk merealisir pencairan ganti rugi tersebut (Pasal 2 ayat 1) maka
pihak berhak mengajukan permohonan kepada PTUN untuk membayar
ganti rugi itu. Ketua PTUN atas dasar permohonan yang berhak
permohonan penyediaan dana kepada Menteri cq. Sekretaris Jenderal atau
Ketua Lembaga bersangkutan, yang dikenakan ganti rugi, yang kemudian
mengajukan permintaaan penerbitan Surat Keputusan Otorisasi (SKO)
kepada Menteri Keuangan cq. Direktur Jenderal Anggaran, disertai dengan
putusan PTUN yang menjadi dasar permintaannya.
Atas permintaan itu Menteri Keuangan cq, Direktur Jenderal
Anggaran melakukan penelitian dalam menerbitkan Surat Keputusan
Otorisasi (SKO) atas beban bagian Pembiayaan dan Perhitungan Anggaran
Belanja Negara Rutin. Asli Surat Keputusan Otorisasi (SKO) tersebut (Pasal

122
3), yang berhak mengajukan permohonan pembayaran ganti rugi kepada
Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) melalui Badan Tata Usaha
Negara setempat, dengan melampirkan:
 Surat Keputusan Otorisasi (SKO).
 Asli dan salinan/foto kopi petikan putusan PTUN.
Badan Tata Usaha Negara (Pasal 1) mengajukan Surat Perintah
Pembayaran Langsung (SPPLS) kepada Kantor Perbendaharaan dan Kas
Negara (KPKN) menerbitkan Surat Perintah Membayar Langsung (SPMLS)
kepada yang berhak (Pasal 4). Asli petikan putusan PTUN setelah dibubuhi
cap, bahwa telah dilakukan pembayaran oleh Kantor Perbendaharaan dan
Kas Negara (KPKN) lalu dikembalikan kepada yang berhak. Terhadap
Pejabat Tata Usaha Negara (Pasal 5) yang karena kesalahannya atau
kelalaiannya mengakibatkan negara harus membayar ganti rugi, dapat
dikenakan sanksi administratif sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 PP Nomor 43 Tahun 1991.
Menteri Keuangan cq. Direktur Jenderal Anggaran melakukan
penatausahaan atas pembayaran ganti rugi berdasarkan keputusan ini dan
sekaligus melakukan pemantauan upaya permintaan ganti rugi terhadap
Pejabat Tata Usaha tersebut.
Kompensasi adalah pembayaran-pembayaran sejumlah uang kepada
orang atas beban Badan Tata Usaha Negara oleh karena putusan Pengadilan-
pengadilan Tata Usaha Negara dibidang kepegawaian tidak dapat atau tidak
sempurna dilaksanakan oleh Badan Tata Usaha Negara (Pasal 1 ayat 2 PP
Nomor 43 Tahun 1991). Kompensasi diatur dalam Pasal 117 UU Nomor 9
tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 5 tahun 1986 dan
pelaksanaannya diatur dalam PP Nomor 43 tahun 1991, Pasal 1 ayat 2 dan
Pasal 9 sampai dengan Pasal 16. Dalam hal tergugat tidak dapat
melaksanakan kewajibannya yang harus dilakukan (Pasal 97 ayat 8 UU
Nomor 9 tahun 2004 tentang perubahan atas UU Nomor 5 tahun 1986),

123
berupa Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan
menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan
Pasal 3 (Pasal 97 ayat 9 UU Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan atas
UU Nomor 5 Tahun 1986) disebabkan berubahnya keadaan setelah putusan
pengadilan dijatuhkan dan/atau memperoleh kekuatan hukum tetap maka
tergugat wajib memberitahukan hal itu kepada Ketua Pengadilan yang
memutuskan perkara itu (Pasal 116 ayat 1 UU Nomor 9 tahun 2004 tentang
Perubahan atas UU Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara) dan kepada Penggugat. Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah
menerima pemberitahuan itu, Penggugat dapat mengajukan permohonan
kepada Ketua Pengadilan yang telah mengirimkan (memutus) putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut (Pasal 117 ayat 2
UU Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 5 tahun 1986),
agar Tergugat dibebani kewajiban membayar sejumlah uang atau
kompensasi lain yang diinginkannya. Jadi disini ada kemungkinan
Penggugat mengajukan kompensasi lain selain sejumlah uang, misalnya
pergantian jabatan lama dengan jabatan yang setingkat.
Setelah menerima permohonan Penggugat tersebut, Ketua pengadilan
memerintahkan memanggil Penggugat dan Tergugat untuk mengusahakan
tercapainya persetujuan tentang jumlah uang atau kompensasi lain yang
harus dibebankan kepada tergugat. Apabila tidak dapat diperoleh kata
sepakat (Pasal 117 ayat 4) mengenai jumlah uang atau kompensasi lain.
Keputusan itu dituangkan dalam penetapan disertai dengan pertimbangan
yang cukup. Terhadap penetapan Ketua Pengadilan itu Penggugat atau
Tergugat dapat mengajukan kepada Mahkamah agung untuk ditetapkan
kembali (Pasal 117 ayat 5 UU Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan atas
UU Nomor 5 tahun 1986). Putusan Mahkamah Agung dapat mengubah
penetapan Ketua Pengadilan tentang jumlah uang atau kompensasi lainnya.
Ketua Pengadilan (Pasal 119 UU Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan

124
atas UU Nomor 5 tahun 1986) wajib mengawasi pelaksanaan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap itu.
PP Nomor 43 Tahun 1991 menegaskan kembali tentang proses
pelaksanaan kompensasi itu dalam Pasal 9 dengan menguraiakan bahwa
terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang menyangkut
rehabilitasi tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna dilaksanakan,
maka Badan Tata Usaha Negara yang bersangkutan (tergugat) dalam
tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya putusan pengadilan
memberitahukan perihal tersebut kepada Pengadilan Tata Usaha Negara
yang memutus di tingkat pertama dengan tembusan kepada Penggugat.
Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah menerima pemberitahuan dari
tergugat (Pasal 10 PP Nomor 43 tahun 1991), Penggugat dapat mengajukan
permohonan kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara memanggil
tergugat (Badan Tata Usaha Negara) dan Penggugat untuk mengupayakan
tercapainya kesepakatan bersama tentang besarnya jumlah kompensasi.
Apabila kesepakatan tidak dapat tercapai, dengan mempertimbangkan
kepentingan kedua belah pihak menetapkan besarnya kompensasi. Apabila
salah satu pihak, apakah Penggugat atau Tergugat tidak menyetujui
besarnya kompensasi yang ditetapkan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara
tersebut. Ketetapan Mahkamah Agung mengenai besarnya kompensasi
merupakan Keputusan Akhir (Pasal 13 ayat 2 PP No.43 Tahun 1991) dan
dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan tersebut, dikirimkan
kepada para pihak dan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara yang memutus
tingkat pertama. Pasal 14 ayat 1 PP No.43 Tahun 1991 menentukan, bahwa
kompensasi itu haruslah dengan memperhatikan keadaan yang nyata dari
Penggugat dan Tergugat. Mengenai besarnya kompensasi itu tidak akan
berubah, sekalipun ada tenggang waktu antara tanggal ditetapkannya dengan
waktu pembayaran. Atau dengan kata lain atas kompensasi itu tidak
dikenakan bunga.

125
Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara, segera setelah menerima
Ketetapan Mahkamah Agung tentang besarnya kompensasi meminta secara
tertulis kepada Tergugat (Badan Tata Usaha Negara) untuk melaksanakan
pembayaran kompensasi tersebut. Tembusan surat permintaan itu
diberitahukan kepada Penggugat (Pasal 14 PP No.43 Tahun 1991). Apabila
pembayaran kompensasi tidak dapat dilaksanakan oleh Tergugat dalam
tahun anggaran yang sedang berjalan, maka pembayaran dimasukkan dan
dilaksanakan dalam tahun anggaran berikutnya. Salinan putusan itu juga
dikirimkan oleh Pengadilan kepada Badan Tata Usaha Negara yang
dibebani kewajiban melaksanakan rehabilitasi tersebut dalam waktu 3 (tiga)
hari setelah putusan itu memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 121 UU
Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 5 tahun 1986).
Putusan pengadilan yang berisi rehabilitasi hanya ada pada sengketa Tata
Usaha Negara di bidang kepegawaian saja. Rehabilitasi merupakan
pemulihan hak Penggugat dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan
martabatnya sebagai Pegawai Negeri seperti semula sebelum terbitnya
Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan tersebut. Pemulihan hak-
hak Penggugat tersebut, termasuk juga hak-haknya yang ditimbulkan oleh
kemampuan, kedudukan dan harkatnya sebagai Pegawai Negeri. Misalnya
tunjangan jabatan, atau hak-hak lainnya yang melekat pada kedudukan
Pegawai Negeri tersebut. Dalam hal haknya menyangkut suatu jabatan dan
pada waktu putusan pengadilan dan jabatan tersebut telah diisi oleh pejabat
lain, maka yang bersangkutan diangkat dalam jabatan lain yang setingkat
dengan jabatan semula. Akan tetapi apabila hal itu tidak mungkin, maka
yang bersangkutan akan diangkat kembali pada kesempatan pertama setelah
ada formasi dalam jabatan yang setingkat, atau dapat juga ditempuh (Pasal
117 UU Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 5 Tahun
1986) dengan memberinya ganti rugi dan kompensasi atas jabatan tersebut.

9.5. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara

126
a. Keputusan TUN Bertentangan Dengan Peraturan Perundang-
undangan Yang Berlaku
Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 tahun 2004 tentang
Perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1986, telah mentkan bahwa dasar suatu
gugatan yang diajukan mengarah kepada alasan sebagaimana diatur dalam
Pasal 53 ayat (2) huruf a, b dan c Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004.
Suatu Keputusan Tata Usaha Negara dinilai bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku jika:
1) Keputusan Tata Usaha Negara yang dipersengketakan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat
prosedural/formal. Misalnya sebelum keputusan pemberhentian
terhadap seoarng pegawai dikeluarkan, seharusnya pegawai
tersebut diberi kesempatan untuk membela diri. Akan tetapi
apabila keputusan pemberhentian dikeluarkan terlebih dahulu
kepada pegawai itu tanpa diberi kesempatan untuk membela diri,
maka keputusan tata Usaha Negara itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural/formal.
2) Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang bersifat material/substansial. Misalnya
Pejabat/Badan Tata Usaha Negara telah mengabulkan penerbitan
tentang suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang dimohonkan,
padahal mengeluarkan keputusan tersebut bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang bersifat material/substansial.
Contoh lain, suatu keputusan ditingkat administratif atau
menyatakannya tidak dapat diterima, padahal pengabulan atau
penolakan itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang bersifat material/subtansial.
3) Dikeluarkan oleh pejabat/Badan Tata Usaha Negara yang tidak
berwenang. Misalnya peraturan dasarnya telah menunjukkan

127
pejabat/Badan Tata Usaha Negara A yang berwenang untuk
mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara itu. Akan tetapi
kemudian dikeluarkan oleh pejabat/Badan Tata Usaha Negara B,
maka keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkan oleh
pejabat/Badan Tata Usaha Negara yang tidak berwenang berakibat
keputusan itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Keputusan Tata Usaha Negara oleh pejabat/Badan
Tata Usaha Negara yang tidak berwenang (Onvoegheid) disebut
keputusan yang cacat kewenangan (Bevoegheidsgebreken) yang
dalam hal ini dapat meliputi:
 Onbevoegdheid Ratione Materiae, yaitu apabila suatu
keputusan yang tidak ada dasarnya dalam peraturan
perundang-undangan atau apabila keputusan dikeluarkan oleh
pejabat/ Badan Tata Usaha Negara yang tidak berwenang.
 Onbevoegdheid Ratione Loci, yaitu keputusan yang diambil
oleh Pejabat/Badan Tata Usaha Negara tersebut menyangkut
hal yang berada diluar batas wilayahnya (Geografis).
 Onbevoegdheid Ratione Temporis, yaitu Pejabat/Badan Tata
Usaha Negara belum berwenang atau tidak berwenang lagi
untuk mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara, misalnya
karena jangka waktunya sudah lampau atau menerapkan
peraturan lain, sementara itu sudah berlaku peraturan baru.
b. Penyalahgunaan Wewenang
Pasal 53 ayat (2) a, b, dan c Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004
menentukan: suatu keputusan Tata Usaha Negara dikeluarkan berdasarkan
penyalahgunaan wewenang, apabila Pejabat/Badan Tata Usaha Negara ketika
mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang dipersengketakan telah
menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya
wewenang itu. Bahwa penentuan suatu norma hukum dalam suatu peraturan,

128
jelas dengan tujuan dan maksud tertentu. Oleh karena itu penerapan ketentuan
itu harus selalu sesuai dengan tujuan dan maksud khusus diadakannya peraturan
tersebut. Dengan demikian peraturan itu tidak dibenarkan untuk diterapkan, guna
mencapai hal-hal diluar maksud tersebut. Dari wewenang material Pejabat/Badan
Tata Usaha Negara, untuk mengeluarkan suatu Keputusan Tata Usaha Negara
terbatas pada ruang lingkup maksud bidang khusus yang ditentukan dalam
peraturan dasarnya. Oleh karena itu tindakan Pejabat/Badan Tata Usaha Negara
yang melebihi maksud tersebut dalam mengeluarkan suatu Keputusan Tata Usaha
Negara, adalah merupakan penyalahgunaan wewenang. (Darwan Prins, 1995 :
75). Misalnya seorang Pejabat/Badan Tata Usaha Negara memberi Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) atas sebidang tanah. Padahal dalam peraturan dasarnya tanah
tersebut diperuntukan sebagai jalur hijau. Tindakan Pejabat/Badan Tata Usaha
Negara menerbitkan IMB itu adalah merupakan penyalahgunaan wewenang dan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Berbuat Sewenang-Wenang
Pasal 53 ayat (2) huruf c Undang-undang Nomor 9 tahun 2004
menentukan: Pejabat/Badan Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan
atau tidak mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang
dipersengketakan, setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang
tersangkut dalam keputusan itu, seharusnya tidak sampai pada pengambilan
atau tidak pengambilan keputusan tersebut. Oleh karena itu pengambilan
atau tidak pengambilan keputusan oleh Pejabat/Badan Tata Usaha Negara
sebagai berbuatan sewenang-wenang bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik. Pasal 53 ayat (2) a, b, dan c UU Nomor 9 tahun
2004 melarang Pejabat/Badan Tata Usaha Negara berbuat sewenang-
wenang dalam mengeluarkan atau tidak mengeluarkan suatu Keputusan Tata
Usaha Negara.
Dalam praktik adakalanya suatu peraturan dasar yang memberikan
wewenang kepada Pejabat/Badan Tata Usaha Negara mengatur secara rinci
dan ketat apa yang harus dilaksanakan dan mengikat Pejabat/Badan Tata

129
Usaha Negara dalam melakukan urusan pemerintahan. Pengaturan yang
demikian mengikat Pejabat/Badan Tata Usaha Negara, sehingga dalam
keadaan demikian tinggal mengumpulkan fakta yang relevan dan
menerapkan peraturan perundang-undangan. Dala hal timbul sengketa
mengenai keputusan yang dikeluarkan, petugas Pengadilan menjadi lebih
mudah karena tinggal menguji segi hukum Keputusan Tata Usaha Negara
yang dikeluarkan, apakah fakta yang diajukan relevan dengan peraturan
dasarnya sehingga penerbitan keputusan yang dipersengketakan itu dapat
dikategorikan sebagai perbuatan sewenang-wenang sehingga bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam praktik jarang
sekali suatu keputusan dinilai berdasarkan asas-asas hukum tidak tertulis.
Akan tetapi apabila ketentuan tentang tugas dan wewenang yang harus
dilaksanakan dirumuskan sedemikian rupa dalam peraturan dasarnya,
sehingga dapat ditafsirkan bahwa dalam pelaksanaannya Pejabat/Badan Tata
Usaha Negara memiliki kelonggaran untuk menentukan kebijaksanaan.
Oleh karena itu wewenang Pengadilan sewaktu menguji dari segi hukum
Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dilakukan secara marginal. Artinya
pengujian hanya dilakukan sampai batas tertentu saja.
Dalam suatu pemerintahan yang bebas, Pejabat/Badan Tata Usaha
Negara hanya bertugas untuk mengumpulkan fakta yang relevan,
mempersiapkan/mengambil dan melaksanakan keputusan yang bersangkutan dengan
memperhatikan asas-asas hukum yang tertulis, serta dengan penuh kelonggaran
menentukan sendiri isinya, cara menyusun dan saat mengeluarkan keputusan itu.
Oleh karena itu, pengujian dari segi hukum yang dilakukan oleh Pengadilan
terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara terbatas pada penelitian (pasal 53
ayat 2 UU Nomor 9 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor
5 tahun 1986).
a. Apakah semua fakta yang relevan telah dikumpulkan, untuk itu perlu
dipertimbangkan dalam Keputusan Tata Usaha Negara yang
bersangkutan, misalnya dalam hal keputusan yang digugat itu

130
dikeluarkan atas dasar fakta yang kurang lengkap, maka keputusan
demikian terjadi atas kemauan sendiri, bukan atas dasar hukum dan
karenanya merupakan keputusan yang bersifat sewenang-wenang.
b. Apakah Pejabat/Badan Tata Usaha Negara yang mengeluarkan
Keputusan Tata Usaha Negara itu, telah mempersiapkan, memutuskan
dan melaksanakannya telah memperhatikan semua asas-asas yang
berlaku ? kalau tidak maka keputusan itu bertindak sewenang-wenang.
Misalnya keputusan mempensiunkan seorang Pegawai Negeri dengan
alasan kesehatan yang tidak dilengkapi dengan pendapat Dewan
Pertimbangan Kesehatan Pegawai merupakan keputusan yang bersifat
sewenang-wenang.
c. Apakah keputusan yang diambil juga akan sama dengan keputusan
yang digugat. Kalau hal-hal dalam point 1 dan 2 dipertimbangkan?
Sebab menurut asas hukum semua orang sama kedudukannya di
hadapan hukum. Misalnya Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun
1957 tentang penyelesaian perburuhan, bahwa P4 D wajib
memberikan perantara kearah penyelesaian secara damai suatu
perselisihan perburuhan, dengan mengadakan perundingan "dengan pihak
" yang bersengketa. Apabila perdamaian tidak dapat dicapai, barulah P4
D dapat dilakukan dengan cara berat sebelah atau tidak jujur maka
keputusan yang diambilnya itu dianggap sebagai keputusan yang
bersifat sewenang-wenang.39

39
Prinst Darwan, 1995 : 75 - 78

131
BAB X
PENEGAKAN HUKUM

Tujuan Instruksional Umum

Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan memperoleh


pemahaman yang mendalam mengenai hukum administrasi negara.

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan:
1. Adanya pemahaman mengenai pengertian penegakan hukum.
2. Mengetahui ruang lingkup penegakan hukum
3. Memahamiinstrumen penegakan hukum.

132
BAB X

10.1. Pengertian Penegakan Hukum

133
10.2. Ruang Lingkup Penegakan Hukum

134
10.3. Instrumen Penegakan Hukum

1. Pengawasan
Pengawasan merupakan upaya preventif untuk memaksakan
kepatuhan; misalnya: penyuluhan, pemantauan, penggunaan kewenangan
yang sifatnya pengawasan. Dari segi kedudukan, kontrol terbagi menjadi
kontrol intern dan kontrol ekstern. Kontrol intern adalah pengawasan yang
dilakukan oleh badan yang secara organisatoris/struktural masih termasuk
dalam lingkungan pemerintah; misalnya: pengawasan yang dilakukan
pejabat atasan terhadap bawahan. Secara hirarkhi bentuk kontrol ini
digolongkan dalam jenis kontrol teknis administrasi atau lazim disebut
”built-in control.” Kontrol ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh
organ atau lembaga-lembaga yang secara organisatoris/struktural berada di
luar pemerintah. Misalnya: kontrol sosial oleh masyarakat melalui pers atau
media massa termasuk pula dalam kontrol ini. Kontrol politis oleh lembaga-
lembaga perwakilan rakyat dalam bentuk hearing atau hak bertanya pada

135
anggota. Maurice Duverger mengartikan kontrol ekstern sebagai kontrol
yurisdiksionil, yaitu peraturan-peraturan hukum yang menentukan hak-hak
atau kekuasaan-kekuasaan yang dalam pelaksanaannya diawasi dan
dilindungi oleh organ-organ pengadilan dari lembaga-lembaga dengan
tujuan membatasi kekuasaan Kepala Daerah serta mengendalikan lembaga
politik dan lembaga administrasi.40 Lebih lanjut Maurice Duverger
menjelaskan, suatu kontrol yurisdiksionil akan lebih sempurna jika meliputi
dua hal, yaitu:
 Kontrol atas sah tidaknya tindakan-tindakan eksekutif agar
tercegah timbulnya pelanggaran-pelanggaran terhadap undang-
undang.
 Kontrol agar undang-undang dan peraturan-peraturan
hukum lainnya tidak menyimpang dari undang-undang dasar atau
konstitusi.
Kontrol yurisdiksionil dimaksudkan agar tidak melanggar undang-
undang dasar atau konstitusi dan pernyataan hak-hak asasi masyarakat.
Peraturan-peraturan yang bertujuan membatasi kekuasaan para penguasa
akan tidak ada gunanya apabila tidak disusun prosedur atau cara untuk
menghukum pelanggaran-pelanggaran atas peraturan-peraturan tersebut.
Dari segi waktu: Kontrol a-priori adalah bilamana pengawasan itu
dilaksanakan sebelum dikeluarkannya keputusan atau ketetapan pemerintah.
Kontrol a-posteriori bilamana pengawasan baru dilaksanakan sesudah
dikeluarkan keputusan atau ketetapan pemerintah.
Dari segi obyek terbagi menjadi: (1) kontrol dari segi hukum
(rechtmatigheid); untuk menilai segi atau pertimbangan yang bersifat
hukumnya saja (segi legalitas) yaitu rechtmatigheid dari perbuatan
pemerintah; (2) Kontrol dari segi kemanfaatan (doelmatigheid). untuk

40
dalam Soehino, Ilmu Negara, 1998, hal. 271

136
menilai benar tidaknya perbuatan pemerintah dari segi atau pertimbangan
kemanfaatannya.
2. Sanksi
Sebagaimana hukum-hukum yang lain, Hukum Administrasi Negara
memiliki sanksi-sanksi jika ada suatu pelanggaran. Sanksi merupakan
bagian penutup yang penting di dalam hukum. Tidak akan ada gunanya
pemerintah menetapkan kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan bagi
masyarakat tanpa menyertakan suatu sanksi di dalamnya. Adanya sanksi-
sanksi ini memperkuat suatu instrumen hukum sehingga hukum mempunyai
kewibawaan. Keberadaan sanksi akan menjaga kewibawaan badan atau
pejabat penegak peraturan perundang-undangan. Bagi pelaku pelanggaran
suatu aturan hukum badan atau pejabat memiliki kewenangan untuk
menyelesaikan suatu pelanggaran atas aturan yang berlaku; dengan
demikian sanksi merupakan upaya represif untuk memaksakan kepatuhan.
Sanksi dalam Hukum Administrasi Negara memiliki akibat hukum
yang lebih berat jika dibandingkan dengan hukum-hukum lainnya. Sanksi
Hukum Perdata hanya dirasakan oleh orang yang terlibat dalam suatu
perkara saja. Sanksi Hukum Pidana dampak atau akibat hukumnya hanya
dirasakan oleh orang yang telah divonis oleh hakim karena melakukan
tindak pidana. Inilah yang membedakan Hukum Administrasi dengan
hukum-hukum lainnya. Pelaksanaan suatu sanksi pemerintahan berlaku
sebagai suatu beban (belastende beschiking). Dalam menetapkannya harus
memperhatikan azas kecermatan dan azas pembelaan. Sanksi administrasi
diterapkan oleh pejabat taat usaha negara tanpa harus melalui proses
peradilan, namun terhadap sanksi administrasi bagi masyarakat terbuka
kemungkinan untuk diajukan banding pada hakim administratif.
Telah disebutkan, sanksi merupakan bagian penutup yang penting di
dalam hukum juga dalam hukum administrasi. Tidak ada gunamya
memasukkan kewajiban atau larangan-larangan bagi para warga di dalam
peraturan perundang-undangan tata usaha Negara, manakala aturan-aturan

137
tingkah laku itu tidak dapat dipaksakan oleh tata usaha Negara. Peran
penting pada pemberian sanksi di dalam hukum administrasi memenuhi
hukum pidana. Bagi pembuat peraturan penting untuk tidak hanya melarang
tindakan-tindakan yang tanpa disertai izin, tetapi juga terhadap tindakan-
tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
dapat dikaitkan pada suatu izin.
Sanksi-sanksi hukum administrasi yang khas antara lain:
a. Paksaan pemerintahan (bestuursdwang);
b. Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan
(izin, pembayaran, subsidi);
c. Pengenaan denda administratif;
d. Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom)
Bestuursdwang adalah tindakan-tindakan yang nyata dari penguasa
guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah hukum
administrasi atau melakukan apa yang seharusnya ditinggalkan oleh para
warga karena bertentangan dengan undang-undang. Sanksi-sanksi lainnya
lebih berperan secara tidak langsung. Penarikan kembali suatu keputusan
(ketetapan) yang menguntungkan tidak terlalu perlu didasarkan pada suatu
peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan suatu sanksi pemerintah
berlaku sebagai suatu keputusan yang memberi beban.
Terdapat dua hal yang terhadapnya suatu keputusan (ketetapan) yang
menguntungkan dapat ditarik kembali sebagai sanksi:
a. yang berkepentingan tidak mematuhi pembatasan-pembatasan,
syarat-syarat atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang
dikaitkan pada izin, subsidi, atau pembayaran.
b. yang berkepentingan pada waktu mengajukan permohonan untuk
mendapat izin, subsidi, atau pembayaran telah memberikan data
yang sedemikian tidak benar atau tidak lengkap, hingga apabila
data itu diberikan secara benar atau lengkap maka keputusan akan
berlainan.

138
Penarikan kembali suatu keputusan (ketetapan) pada kenyataannya
juga merupakan perbuatan keputusan/perbuatan ketetapan. Penarikan
kembali atas suatu keputusan tidak lain, adalah suatu keputusan (ketetapan)
baru yang menarik kembali (dan masyarakat tidak berlakunya lagi)
keputusan yang terdahulu. Sebagai suatu keputusan (ketetapan), maka
keputusan tersebut niscaya menimbulkan akibat hukum yang baru bagi
seorang warga atau badan hukum perdata yang dikenakan keputusan
(ketetapan) itu. Dalam hal seorang warga atau badan hukum perdata merasa
dirugikan oleh akibat hukum yang timbul dari keputusan (ketetapan)
penarikan kembali itu, maka ia berhak mengajukan banding administrasi
atau menggunakan upaya hukum yang tersedia di dalam Undang-Undang
Nomor 5, Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yakni dengan
cara membawakan permasalahannya ke peradilan tata usaha negara.
Pengenaan denda administratif menyerupai penggunaan suatu sanksi
pidana. Bagi pengenaan denda administratif dan uang paksa, mutlak harus
atas dasar peraturan perundang-undangan yang tegas.
Sanksi lain adalah sanksi administrasi yang dikenal dan (diberlakukan)
dalam hukum perpajakan. Undang-undang Nomor 6, Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan memberi penamaan terhadap
sanksi dimaksud dengan penyebutan sederhana, yakni sanksi administrasi.
Sanksi administrasi dikenakan kepada wajib pajak yang terhutang setelah
kepadanya dikeluarkan suatu Surat Ketetapan Pajak. Ditetapkan pula bahwa
sanksi administrasi berupa bunga, denda administrasi, dan kenaikan tidak
dapat di kreditkan dari jumlah pajak yang terhutang. Sanksi administrasi
berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak juga dimuat
dalam Surat Ketetapan Pajak Tambahan yang dikeluarkan oleh Direktur
Jenderal Pajak. Sanksi regresif (regressieve sancties), adalah sanksi yang
dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
ketetapan sanksi ini ditujukan pada keadaan hukum semula sebelum
diterbitkannya ketetapan. Contoh dari sanksi regresif adalah penarikan,

139
perubahan, dan penundaan suatu ketetapan (de intrekking, de wijziging, of
de schorsing van een beschikking).Sanksi reparatoir adalah sanksi yang
dikenakan terhadap pelanggaran norma hukum administrasi secara umum.
Contoh dari sanksi reparatoir adalah paksaan pemerintahan
(bestuursdwang) dan pengenaan uang paksa (dwangsom).Sanksi punitif
yaitu uitsluitend de sancties die ertoe strekken om een pesoon te 'straffen'
(sanksi yang semata-mata ditujukan untuk memberikan hukuman (straffen)
pada seseorang). Contoh, pengenaan denda administrasi (besmursboete).
Sanksi kumulasi adalah penerapan sanksi secara bersama-sama. Peraturan
perundang-undangan hukum administrasi sering tidak hanya memuat satu
macam sanksi tetapi terdapat beberapa macam sanksi yang diberlakukan
secara kumulasi. Adakalanya suatu ketentuan peraturan perundang-
undangan tidak hanya mengancam pelanggarnya dengan sanksi tapi juga
pada saat yang sama mengancamnya dengan sanksi administrasi. Penerapan
sanksi secara bersama-sama (sanksi kumulasi) antara hukum administrasi
dan hukum lainnya:
1. kumulasi internal
Kumulasi internal merupakan penerapan dua atau lebih sanksi
administrasi secara bersama-sama, misal penghentian pelayanan
administrasi dan/atau pencabutan izin dan/atau pengenaan denda.
2. kumulasi eksternal
Kumulasi ekternal, sanksi administrasi dengan sanksi pidana atau
sanksi perdata.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian
Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya (yang kemudian berdasar
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 disahkan menjadi undang-undang)
tidak hanya mengancam seorang pemakai tanah tanpa izin dengan sanksi
pidana berupa pidana berupa kurungan selama-lamanya 3 bulan dan atau
denda sebanyak-banyaknya Rp.5000,-. Tapi pada saat yang sama memuat

140
pula sanksi administrasi yang memberi kewenangan kepada penguasa
daerah untuk melaksanakan pengosongan tanah dengan disertai beban biaya
dari pemakai tanah yang bersangkutan. Bagaimanapun juga pengenaan
sanksi-sanksi yang kumulasi akan menimbulkan akibat hukum bagi warga
yang dikenakan sanksi itu.
Perbedaan antara sanksi administrasi dan sanksi pidana
1. sanksi administrasi, sasaran ditujukan pada perbuatan
sanksi pidana sasaran ditujukan pada pelaku.
Salah satu upaya pemaksaan hukum itu adalah melalui pemberlakuan
sanksi pidana terhadap pihak pelanggar mengingat sanksi pidana
membawa serta akibat hukum yang berpaut dengan kemerdekaan
pribadi. Suatu sanksi pidana tidak dapat dikenakan kepada pihak
pelanggar dengan cara penggunaan bedtuursdwang. Penegakan sanksi
pidana dilaksanakan menurut “due process of law” yang telah ditentukan
di dalam kaidah hukum acara pidana dan pengenaan sanksi itu hanya
dapat dinyatakan dalam suatu putusan hakim pidana. Pemberlakuan
sanksi pidana turut berperan pada penegakan dan pentaatan kaidah-
kaidah hukum administrasi dan pada pelaksanaan tugas-tugas
pemerintahan.
2. Sifat sanksi administrasi adalah reparatoir-condemnatoir yaitu
pemulihan kembali pada keadaan semula dan memberikan hukuman.
Sifat sanksi pidana condemnatoir.
3. Prosedur sanksi administrasi dilakukan secara langsung tanpa melalui
peradilan. Prosedur sanksi pidana harus melalui proses peradilan
Kebanyakan peraturan perundang-undangan di Belanda memuat bagi
para pegawai pengawas/pegawai pengusut mempunyai satu atau lebih
kewenangan sebagai berikut:
 Kewenangan memasuki setiap tempat, kecuali rumah-rumah
kediaman.

141
 Kewenangan memasuki rumah-rumah kediaman dalam keadaan-
keadaan luar biasa dengan suatu kuasa khusus.
 Kewenangan menghentikan kendaraan dan memeriksa muatannya.
 Kewenangan memeriksa barang-barang dagangan dan mengambil
contoh-contoh.
 Kewenangan memeriksa buku-buku dan surat-surat arsip.
 Kewenangan untuk meminta keterangan dan bantuan.
Bagi para pegawai pengusut memiliki kewenangan berdasar Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, misalnya menyita barang-barang.
Menghalangi seorang pegawai pengawas atau tidak memberikan bantuan
senantiasa merupakan perbuatan pidana tersendiri.
Yurisprudensi Hakim-AROB mengharuskan beberapa syarat bagi
peringatan tertulis/perintah tertulis, sebagaimana berikut ini :
 Peringatan itu tidak dapat di adakan secara tanpa ikatan. Badan
pemerintah harus telah mempunyai niat yang tetap, yang jika perlu
melaksanakan suatu bestuursdwang.
 Perintah tertulis/peringatan tertulis harus memuat perintah yang
jelas. Harus ditetapkan apa yang seharusnya dilakukan oleh warga
yang mendapat surat pemberitahuan guna mencegah pemerintah
mengambil tindakan-tindakan nyata.
 Surat perintah harus memuat ketentuan-ketentuan peraturan
perundang-undangan man yang dilanggar.
 Harus ditentukan suatu jangka waktu perintah harus dilaksanakan.
 Perintah harus ditujukan pada yang berkepentingan yang menurut
kenyataan memang juga mampu mengakhiri pelanggaran itu.
 Eksplisit atau implisit harus nyata bahwa biaya-biaya dalam hal tata
usaha Negara harus bertindak, akan dibebankan pada pelanggar.

142
BAB XI
PERLINDUNGAN HUKUM

Tujuan Instruksional Umum

Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan memperoleh


pemahaman yang mendalam mengenai hukum administrasi negara.

Tujuan Instruksional Khusus

Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan:

1. Adanya pemahaman mengenai pengertian perlindungan hukum.


2. Mengetahui macam-macam sarana perlindungan hukum.

143
BAB XI

11.1. Pengertian Perlindungan Hukum

Sebelum membahas pengertian perlindungan hukum, terlebih dahulu


akan dipaparkan pengertian perlindungan. Kata perlindungan berasal dari
kata “lindung” yang berarti menjaga, merawat, memelihara,
menyelamatkan, memberi pertolongan, supaya terhindar dari mara bahaya.
Dengan imbuhan “per” dan akhiran ”an” kata tersebut berubah menjadi
“perlindungan” yang berarti hal (perbuatan dan sebagainya) melindungi,
memperlindungi.41 Dengan demikian kata perlindungan berasal dari kata
benda yang berarti tempat perlindungan. Dalam perundang-undangan lain,
seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pasal 1 butir ke-4 telah dirumuskan
bahwa perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan
rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat,
41
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-3. Balai Pustaka. Jakarta. 2002;hal, 674.

144
lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik
sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
Setelah kita mengetahui pengertian perlindungan maka untuk lebih
melengkapi materi ini akan penulis berikan beberapa definisi hukum dari
beberapa Sarjana Hukum sebagai pegangan :
a. Sudikno Mertokusumo;
Hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau
kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama : keseluruhan
peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu
kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya
dengan suatu sanksi.42
b. S.M. Amin;
Hukum adalah kumpulan-kumpulan peraturan-peraturan yang
terdiri dari norma dan sanksi-sanksi itu disebut hukum dan tujuan
hukum itu adalah mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan
manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara.
c.J.C.T. Simorangkir dan Woeryono Sastropranoto;
Hukum itu ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang
menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat
yang dibuat oleh badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana
terhadap peraturan-peraturan tadi berakibatkan diambilnya
tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu.
d. M.H Tirtaatmidjaja;
Hukum ialah semua aturan (norma) yang harus diturut dalam
tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan
ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan
itu akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang
akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya.

42
Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Liberty. Yogyakarta.
1999; hal, 12.

145
Dari beberapa perumusan tentang hukum yang diberikan para sarjana
tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan, bahwa hukum itu meliputi
beberapa unsur, yaitu:
a. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan
masyarakat;
b. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib;
c. Peraturan itu bersifat memaksa;
d. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.
Dari pengertian perlindungan dan beberapa pengertian hukum di atas
maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa perlindungan hukum adalah suatu
perbuatan yang sifatnya melindungi dan/atau memberi pertolongan terhadap
si penderita yang dikarenakan haknya dirampas atau dirugikan.

11.2. Macam-Macam Perlindungan Hukum

Dalam perspektif hukum, Philipus M. Hadjon43 membedakan


perlidungan hukum bagi rakyat kedalam dua hal, yaitu:
a. Perlindungan 146okum yang preventif;
Upaya perlindungan 146okum secara preventif dilakukan untuk
mencegah agar kejahatan itu tidak terjadi, hal tersebut dapat dilakukan
dengan cara 146okum moralistic dan cara obolionistik. Perlindungan dengan
cara moralistik, yaitu dengan cara mempertegas kekuatan mental dan moral
masyarakat agar tidak mudah untuk melakukan tindak kekerasan. Cara
moralistik ini bertujuan untuk mempertinggi mental dan moral masyarakat
terutama untuk tingkat pendidikan yang rendah supaya tidak terjerumus
kedalam tindak pidana. Kegiatan ini dilakukan dengan cara memberikan
penyuluhan, penerangan, pembinaan agama, etika, intropeksi, dan
pengetahuan hukum yang sederhana mengenai larangan dan sanksi pidana
terhadap masyarakat yang melakukan tindak pidana trafficking, agar
43

146
masyarakat mengetahui bahwa tindakannya tersebut merupakan pelanggaran
hukum dan tidak dibenarkan oleh agama. Perlindungan dengan cara
obolionistik, yaitu dengan jalan mencegah atau mengurangi faktor-faktor
penyebab timbulnya tindak pidana trafficking. Cara obolionistik bertujuan
agar tidak terjadi lagi tindak kekerasan dengan mencegah atau mengurangi
faktor penyebabnya. Proses perlindungan hukum secara preventif ini harus
didukung dengan penyuluhan hukum disekolah-sekolah, universitas, PJTKI,
penyuluhan dikampung, juga mengadakan pendekatan terhadap tokoh
masyarakat dan alim ulama atau tokoh agama untuk ikut berpartisipasi
menyebarluaskan kesadaran hukum pada masyarakat, sehingga masyarakat
yang ada akan menyadari bahwa perbuatanya itu melanggar norma hukum
yang berlaku.
b. Perlindungan 147okum yang represif.
Upaya perlindungan 147okum secara represif yaitu berupa penindakan
terhadap pelaku kejahatan yang dilakukan atau dilaksanakan sesudah
kejahatan itu terjadi, diantaranya meliputi:
1) Aparat kepolisian harus segera melakukan penangkapan,
penahanan dan penyitaan barang bukti apabila mendapatkan
laporan tentang adanya tindak pidana trafficking;
2) Polisi harus mengadakan penyidikan secara tuntas terhadap kasus
yang terjadi;
3) Pelaku ditindak dengan ketentuan Undang-undang yang belak;
4) Memanggil Tersangka dan para saksi untuk diperiksa guna
memperoleh penjelasan dan keterangan yang akurat;
5) Melimpahkan perkara tersebut ke Kejaksaan Negeri dan
dilanjutkan ke Pengadilan Negeri untuk melakukan proses
persidangan. 44

44
Philipus M Hadjon. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. PT Bina Ilmu.
Surabaya. 1987;hal.2.

147
BAB XII
PERADILAN ADMINISTRASI
NEGARA

Tujuan Instruksional Umum

Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan memperoleh


pemahaman yang mendalam mengenai hukum administrasi negara.

Tujuan Instruksional Khusus

Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan:

1. Adanya pemahaman mengenai asas-asas peradilan administrasi


negara
2. Memahami karakteristik peradilan administrasi negara

148
3. Mengetahui kompetensi peradilan administrasi negara

BAB XII

12.1. Asas-Asas Peradilan Administrasi Negara

Penjelasan Umum UU Nomor 5 Tahun 1986 menentukan bahwa


hukum acara yang digunakan pada Peradilan Tata Usaha Negara
mempunyai persamaan dengan hukum acara yang digunakan pada peradilan
umum untuk perkara perdata dengan beberapa perbedaan antara lain:
a. Pada PTUN hakim berperan aktif dalam proses persidangan guna
memperoleh kebenaran material dan untuk undang undang ini
mengarah pada ajaran pembuktian bebas.
b. Suatu gugatan Tata Usaha Negara pada dasarnya tidak bersifat
menunda pelaksanaan KTUN yang disengketakan.
Spesifikasi hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara ditampakkan
oleh asas asas yang menjadi landasan normatif-operasional hukum acara
Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu:

149
a. Asas praduga rechmatig (vermeden van rechtmatigheid:
preasumtio iustae causa). Asas ini mengandung makna bahwa
setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap rechtsmatege
sampai ada pembatalanya. Dengan asas ini, gugatan tidak menunda
pelaksanaan KTUN yang digugat (Pasal 67 ayat 1 UU Nomor 5
Tahun 1986)
b. Asas pembuktian bebas. Hakim yang menetapkan beban
pembuktian. Hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 107 UU
Nomor 5 Tahun 1986, yang masih dibatasi ketentuan Pasal 100.
c. Asas keaktifan hakim (dominus litis), keaktifan dimaksudkan
untuk mengimbangi kedudukan para pihak karena tergugat adalah
pejabat TUN. Sebaliknya, penggugat adalah orang atau badan
hukum perdata penetapan asas ini antara lain terdapat pada
ketentuan Pasal 58, Pasal 63 ayat 1 dan 2, Pasal 80 dan Pasal 85.
d. Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum mengikat
(“erga omnes”). Sengketa TUN adalah sengketa hukum publik
.Dengan demikian putusan pengadilan TUN berlaku bagi siapa
saja tidak hanya pihak yang bersengketa. Dalam rangka ini
kiranya ketentuan Pasal 85 tentang intervensi bertentangan dengan
asas ”erga omnes”.
Terdapat ciri-ciri khusus di dalam menilai atau melakukan kontrol
terhadap tindakan hukum pemerintahan dalam bidang hukum pemerintahan
dalam bidang hukum publik, yaitu:
a. Sifat atau karakteristik dari suatu keputusan TUN mengandung
asas presumtio iustae causa, yaitu bahwa suatu keputusan TUN
(beschikking) harus selalu di anggap sah selama sebelum
dibuktikan sebaliknya sehingga pada prinsipnya harus selalu dapat
segera dilaksanakan.

150
b. Asas perlindungan terhadap kepentingan terhadap kepentingan
umum atau publik yang menonjol disamping perlindungan
terhadap indivu.
c. Asas” selfrespect “ atau “self obidence” dari aparatur pemerintah
terhadap putusan-putusan peradilan administrasi, karena tidak
dikenal adanya upaya pemaksa yang langsung melalui juru sita,
seperti halnya dalam prosedur perkara perdata.
Mengenai perlindungan terhadap dua sisi: kepentingan umum/publik
dan kepentingan individu, disebutkan dalam Penjelasan Umum UU Nomor
5 tahun 1986 angka 1 bahwa disamping hak-hak perseorangan, masyarakat
juga mempunyai hak–hak tertentu. Tujuan Peradilan Tata Uaha Negara
sebenarnya tidak semata-mata memberikan perlindungan terhadap hak-hak
masyarakat. Ditinjau dari sudut pernyatan tersebut persoalan selanjutnya
adalah mengenai mekanisme untuk melakukan penyeimbangan antara dua
sisi kepentingan tersebut. Hal itu perlu ditransparasikan sebab menyangkut
segi ukuran obyektif pemberian keadilan secara konsisten yang berkaitan
pula dengan masalah kemandirian institusi peradilan serta kebebasan hakim
dalam memutus perkara. Untuk mencapai tujuan tersebut selain beberapa
asas sebagaimana tersebut di atas, UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, juga menganut asas-asas sebagai berikut:
a. Asas Litis Domini
Bahwa PTUN ingin mencapai kebenaran yang benar. Oleh karena
itu hakim dalam PTUN bersifat aktif, dan dapat menarik pihak
ketiga ke dalam perkara yang sedang berjalan.
b. Tidak ada gugat rekonvensi
Tergugat dalam PTUN adalah pejabat atau badan TUN, sedang
penggugat adalah orang perorangan atau badan hukum
perdata.Dengan demikian tidak dimungkinkan adanya gugat
rekonvensi dalam perkara TUN.
c. Tidak ada Juru Sita

151
Peradilan Tata Usaha Negara tidak mengenal adanya sita atas
obyek sengketa, karena khayalan berupa KTUN. Konsekuensinya,
maka dalam PTUN tidak dikenal juru sita melainkan panitera.
Surat panggilan sidangnya disampaikan oleh juru sita secara
langsung.
d. Panggilan sidang dengan surat tercatat (pasal 64).
Panggilan sidang dalam PTUN dilakukan dengan surat tercatat.
Ini berbeda dengan peradilan perdata.yang disengketakan
batal.Dengan demikian tidak perlu ada suatu eksekusi atas perkara
itu,karena secara otomatis dinyatakan sudah batal.
e. Eksekusi otomatis (pasal 116)
Sebagaimana sudah diketahui, bahwa obyek perkara dalam PTUN
adalah menyangkut keputusan tertulis dari pejabat/badan TUN.
Sementara putusan PTUN dapat menyatakan keputusan yang
disengketakan batal. Dengan demikian tidak perlu ada suatu
eksekusi atas perkara itu, karena secara otomatis dinyatakan batal.
f. Ada sifat tertutup.
Bahwa dalam sidang PTUN dikenal adanya sidang tertutup,
apabila menyangkut rahasia negara.
g. Adanya acara cepat (Pasal 98), acara biasa (Pasal 70, 74, 75, 97,
100), acara singkat (Pasal 6).
Dalam sidang PTUN dikenal adanya sidang tertutup, apabila
menyangkut rahasia negara.
h. Gugatan boleh disampaikan via pos.
MA membolehkan gugatan TUN disampaikan melalui pos, setelah
sampai di PTUN dicatat dalam buku pembantu, kemudian dihitung
uang mukanya dan setelah dikirim uang muka tersebut barulah
perkara diregister.
i. Penggugatnya orang perorangan/badan hukum perdata (Pasal
53)

152
Penggugatnya dalam perkara adalah orang perorangan atau badan
hukum perdata, sehingga tidak dikenal badan hukum publik
sebagai penggugat dalam perkara TUN.
j. Tergugatnya pejabat/badan TUN (Pasal 1 angka 6).
Sebagai tergugat dalam sengketa TUN adalah keputusan/
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat/badan TUN.
k. Obyek gugatan keputusan/penetapnya tertulis (Pasal 1 angka 3).
Obyek gugatan dalam perkara TUN adalah keputusan/penetapan
tertulis atau yang dinamakan dengan keputusan /penetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh pejabat/badan TUN.
l. Tenggang waktu menggugat 90 hari (Pasal 55)
Orang/badan hukum perdata yang dirugikan oleh suatu
keputusan/penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat/badan
TUN hanya dapat mengajukan gugatan selama 90 hari, sejak
keputusan/penetapan dikeluarkan, diterimanya atau diketahuinya.
Lewat waktu tersebut pengajuan gugatan menjadi daluarsa.

m. Dismissal proses (pasal 62).


Berbeda dengan badan-badan peradilan lainnya, dalam PTUN
dikenal adanya dismissal proses yaitu pemeriksaan administratif
terhadap suatu gugatan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa prinsip (asas)
yang dianut oleh PTUN harus dipahami untuk memudahkan penanganan
suatu perkara TUN, baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat;
namun demikian, dalam hal sengketa Tata Usaha Negara tetap tidak boleh
meninggalkan alasan-alasan yang ada di dalam asas-asas umum
pemerintahan yang baik.

12.2. Karakteristik Peradilan Administrasi Negara

153
Ciri khas hukum acara peradilan tata usaha negara terletak pada asas-
asas hukum yang melandasinya, yaitu :
a. Asas Praduga Rechmatig (vermoeden van rechtmatigheid=
praesumptio iustae causa). Asas ini mengandung makna bahwa
setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap rechmatig sampai
ada pembatalannya.
b. Asas Pembuktian Bebas. Hakim yang menetapkan beban
pembuktian.
c. Asas Keaktifan Hakim (dominus litis). Untuk mengimbangi
kedudukan para pihak karena tergugat adalah pejabat tata usaha
negara. Penggugat adalah orang atau badan hukum perdata.
d. Asas Putusan Pengadilan mempunyai kekuatan mengikat “erga
omnes“. TUN adalah sengketa hukum publik; dengan demikian
putusan pengadilan TUN berlaku bagi siapa saja-tidak hanya bagi
para pihak yang bersengketa.
Peradilan Tata Usaha Negara pada dasarnya menegakkan hukum
publik, yakni hukum administrasi sebagaimana ditegakkan dalam Undang-
Undang PTUN Pasal 47 bahwa sengketa yang termasuk lingkup
kewenangan PTUN adalah sengketa tata usaha negara. Peradilan Tata
Usaha Negara melalui UU Nomor 5 Tahun 1986 tidak hanya melindungi
hak individu tetapi juga melindungi hak masyarakat. Pasal-pasal yang
langsung menyangkut perlindungan hak-hak masyarakat adalah Pasal 49,
Pasal 55, dan Pasal 67.

12.3. Kompetensi Peradilan Administrasi Negara

Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara terbagi atas :


a. Kompetensi Absolut
Thorbecke menjelaskan, berkaitan dengan kompetensi Peradilan Tata
Usaha Negara, bilamana pokok sengketa (fundamentum petendi) terletak

154
dilapangan hukum publik yang berwenang memutuskannya adalah Hakim
Administrasi. Sebaliknya menurut Buys, ukuran yang digunakan untuk
menentukan kewenangan mengadili hakim Administrasi Negara ialah pokok
dalam perselisihan (objectum litis). Bilamana yang bersangkutan dirugikan
dalam hak privatnya dan oleh karena itu meminta ganti rugi (jadi objektum
litis adalah suatu hak) privat, maka perkara yang bersangkutan harus
diselesaikan oleh Hakim biasa. Kompetensi sebagai mana dikemukakan
oleh Buys ini lebih sempit dibandingkan dengan kompetensi Thorbecke.
Menurut Buys walaupun pokok dalam perselisihannya (obyectum litis)
terletak di lapangan hukum publik, bila yang dirugikan adalah hak privat
sehingga perlu meminta ganti rugi, maka yang berwenang mengadili adalah
Hakim biasa atau Pengadilan Umum.45
Mengenai kewenangan mengadili dapat dibagi dalam kekuasaan
kehakiman atribusi (atributie van rechtsmacht) dan kekuasaan kehakiman
distribusi (distributie van rechtsmacht). Atribusi kekuasaan kehakiman
adalah kewenangan mutlak atau kompetensi absolut ialah kewenangan
badan keadilan didalam memeriksa jenis perkara tertentu dan secara mutlak
tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa kompetensi
Peradilan Tata Usaha Negara yang dianut UU Nomor 5 tahun 1986 lebih
sempit dibandingkan dengan kompetensi Peradilan Usaha Usaha Negara
menurut Thorbacke dan Buys. Dalam praktik, kompetensi absolut ini
tegantung pada isi gugatan dan nilai dari pada gugatan.
Skema berikut ini dapat memperjelas pengertian mengenai kompetensi
absolut Peradilan Tata Usaha Negara.

Skema Kompetensi Absolut PTUN

Pasal 47 sengketa TUN

45
Muhjid M. Hoduir, 1985, Djoko Prakoso, 1988, dan Prins, 1978.

155
Pasal 1.4 : timbul dari KTUN

KTUN ialah:
 Pasal 1.3
 Pengecualian (-) Pasal 2
 Pengecualian (+)Pasal 3

Berdasarkan skema di atas, dapat disimpulkan kompetensi absolut


PTUN ialah memeriksa sengketa TUN yang timbul sebagai akibat
dikeluarkannya KTUN oleh Badan atau Pejabat TUN antara orang atau
Badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN Pasal 47
menentukan bahwa Peradilan Bertugas dan berwenang memeriksa,
memutuskan dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.

b. Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif (distribusi kekuasaan pengadilan kewenangan
nisbi) ialah bahwa sesuai asas “Actor sequitur Forum Rei” (yang berwenang
adalah pengadilan tempat kedudukan tergugat), maka pengadilan yang
berwenang mengadili adalah sengketa TUN ialah PTUN yang daerah
hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat (Pasal 54 ayat 1). Pasal 54
UU Nomor 5 tahun 1986 menentukan:
1) Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada pengadilan
yang berwenang; yang dimaksud dengan “tempat kedudukan
tergugat” adalah tempat kedudukan secara nyata atau tempat
kedudukan menurut hukum.
2) Apabila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukumnya

156
meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara.
3) Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam daerah
hukum pengadilan tempat kediaman tergugat, maka gugatan
diajukan kepengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman pengugat untuk selanjutnya diteruskan kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan
tergugat berada di luar daerah hukum pengadilan tempat kediaman
pengugat, gugatan dapat disampaikan kepada Pengadilan Tata
Usaha Negara tempat kediaman pengugat untuk diteruskan kepada
Pengadilan yang bersangkutan. Tanggal diterimannya gugatan oleh
panitera pengadilan tersebut dianggap sebagai tanggal diajukannya
gugatan kepada pengadilan yang berwenang. Panitera pengadilan
tersebut berkewajiban memberiakn petunjuk secukupnya kepada
penggugat mengenai gugatan pengugat tersebut.
Setelah gugatan itu ditandatangani penggugat, atau kuasanya, atau
dibubuhi cap jempol pengugat yang tidak pandai baca tulis, dan dibayar
uang muka biaya perkara, maka panitera yang bersangkutan;
1) Mencatat gugatan tersebut dalam daftar perkara khusus itu.
2) Memberikan tanda bukti pembayaran uang muka biayaperkara dan
mencantumkan nomor register perkara yang bersangkutan.
3) Meneruskan gugatan tersebut kepada pengadilan yang
bersangkutan.
Cara pengajuan gugatan tersebut diatas tidak mengurangi
kompetensi relatif pengadilan yang berwenanguntuk memeriksa,
memutuskan, dan menyelesaikan gugatan tersebut.
4) Dalam hal-hal tertentu sesuai sifat sengketa tata usaha negara yang
bersangkutan yang diatur dengan peraturan pemerintahan, gugatan
dapat diajukan kepada pengadilan yang berwenang yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman pengugat.

157
5) Apabila pengugat dan tergugat berkedudukan atau berada di luar
negeri gugatan diajukan kepada Pengadilan di jakarta. Pengugat
yang berada diluar negeri dapat mengajukan gugatan dengan surat
atau menunjuk seseorang yang diberi kuasa yang berada di
Indonesia.
6) Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat di
luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan ditempat
kedudukan tergugat.
Mengingat ketentuan Pasal 54 tidak diubah atau tidak diamandemen,
sehingga tetap mengacu pada UU Nomor 5 tahun 1986.

BAB XIII
BEBERAPA HASIL PENELITIAN

Tujuan Instruksional Umum

Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan memperoleh


pemahaman yang mendalam mengenai hukum administrasi negara.

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan:

158
1. Mengetahui dan memahami mengenai Pembatalan Sertipikat Hak
Atas Tanah Oleh Peradilan Tata Usaha Negara Dengan Alasan Cacat
Wewenang
2. Mengetahui dan memahami mengenai Pembatalan Sertipikat Hak
Atas Tanah Oleh Peradilan Tata Usaha Negara Dengan Alasan Cacat
Prosedur
3. Mengetahui dan memahami mengenai Pembatalan Sertipikat Hak
Atas Tanah Oleh Peradilan Tata Usaha Negara Dengan Alasan Cacat
Subtansi

BAB XIII

Beberapa Hasil Penelitian

1. Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah Oleh Peradilan Tata Usaha


Negara Dengan Alasan Cacat Wewenang

Latar Belakang
Dalam kasus perkara ini Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam
hal ini Badan Pertanahan Nasional menerbitkan sertipikat hak milik tanah
negara bekas hak eigendom berdasarkan ketentuan konversi. Dalam rangka
penegasan konversi maupun pendaftaran hak miliknya adalah kewenangan
dari Kantor Pertanahan setempat. Mengingat status tanah negara bekas hak

159
eigendom, seharusnya Kepala Kantor mempunyai wewenang dalam rangka
pendaftaran dan penerbitan sertipikat hak milik tersebut. Menurut para
penggugat tindakan atau perbuatan tergugat sertipikat hak milik No.
295/Kps. kepada Sdr AJS bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku yakni Pasal 53 ayat (2) huruf a UU No. 5 tahun
1986 dan tindakan tersebut merupakan tindakan sewenang-wenang
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf c UU No. 5
tahun 1986. Tindak lanjut dari perkara ini adalah dikeluarkannya Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya dengan putusan No. Reg.
01/G.TUN/1998/ PTUN. SBY, tanggal 15 September 1998, dimana dalam
amar pokoknya mengabulkan gugatan para penggugat seluruhnya dengan
menyatakan batal Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan oleh
tergugat berupa sertipikat hak tanah obyek sengketa dan terakhir beralih
kepada pihak ketiga; Memerintahkan kepada tergugat untuk mencabut
sertipikat obyek sengketa serta; memerintahkan kepada tergugat untuk
menyelesaikan proses permohonan hak atas tanah negara dari penggugat
dan menerbitkan sertipikat haknya. Adanya pembatalan sertipikat hak atas
tanah yang berasal dari konversi bekas hak eigendom menjadi hak milik
oleh peradilan tata usaha negara dengan alasan cacat wewenang menarik
untuk diteliti; dengan menggunakan metode penelitian normatif, isu hukum
yang diajukan adalah:
1. Pertimbangan hukum hakim yang menjadi dasar yuridis untuk
memutuskan pembatalan keputusan tata usaha negara yang berupa
sertipikat hak atas tanah.
2. Ketentuan konversi bekas hak eigendom menjadi hak milik.
3. Wewenang Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam konversi
hak eigendom menjadi hak milik

Kerangka Pemikiran

160
Salah satu aspek utama sahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara
yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah aspek
wewenang; dengan kata lain, tindakan atau perbuatan hukum Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara dalam menerbitkan Keputusan Tata Usaha
Negara sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan berwenang untuk itu. 46
Makna arti kompetensi atau wewenang secara umum dapat diartikan sebagai
suatu hak untuk bertindak atau suatu kekuasaan untuk membuat keputusan,
memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain.47
Kewenangan adalah hak atau kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan
sesuatu.48 Dalam pengertian yuridis istilah wewenang atau kewenangan
mempunyai makna yang berbeda satu dengan yang lain. Wewenang adalah
kemampuan dalam arti “bevoegdheid atau competence”, sedangkan
kewenangan adalah kekuasaan atau disebut “authority; gezag atau
yuridiksi”. Istilah kekuasaan itu sendiri bisa diartikan lain sebagai “power”;
“macht”; “pouvoir”, “puissance” (Perancis) yang artinya secara sosiologis
disebut sebagai kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain agar mengikuti
kehendaknya, baik secara sukarela maupun dengan paksaan. 49 Pada
hakekatnya kekuasaan mempunyai sifat netral, baik buruknya kekuasaan
tergantung kepada cara dan tujuan penggunaannya. Kekuasaan bisa
bersumber dari hukum, kekuatan (force), uang, kejujuran, kharisma, moral
dan senjata. Dalam Black’s Laws sebagai suatu competence the capacity of
an official body to do something.50 Dalam kerangka negara hukum setiap
tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara harus berdasarkan hukum. Artinya bahwa semua
tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara haruslah berlandaskan pada
peraturan perundangan yang berlaku (asas legalitas). Peraturan perundang-
46
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gadjah
Mada University Press, Jogjakarta, 2006, h. 83.
47
Departemen Pendidikan Nasional, h. 1272.
48
Ibid.
49
Surjono Sukanto, Sosiologis suatu pengantar, Rajawali, Jakarta, 1989, 241;
50
Dalam Bryan A. Garner, Ed, h. 127.

161
undangan melahirkan wewenang atau sumber hukum perbuatan atau
tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Hubungan negara hukum
dengan asas legalitas oleh Philipus M Hadjon 51 dijelaskan bahwa dalam
negara hukum apabila penguasa ingin meletakkan kewajiban di atas warga
(masyarakat), maka kewenangan itu harus ditemukan dalam suatu undang-
undang. Di dalamnya merupakan suatu legitimasi yang demokratis. Dengan
kata lain konsekuensi dari negara hukum adalah adanya asas “legalitas” atau
“rechtmatige van Bestuur” yang artinya semua tindakan yang dilakukan
oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara harus ada dasar atau payung
hukumnya yang melindungi tindakan tersebut. Apabila tidak ada, maka
tindakan tersebut akan dikategorikan sebagai “tindakan tidak berdasarkan
hukum artinya sewenang-wenang”. Dalam hukum ada beberapa sumber atau
cara-cara tertentu yang melahirkan wewenang yang dapat diperoleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yakni: atribusi (attribute competence),
delegasi (delegated competence) dan mandat (mandate competence).
Atribusi (attribute competence) merupakan sumber wewenang yang
diberikan oleh hukum (peraturan perundang-undangan) pada lembaga
(pemerintahan) yang sebelumnya tidak dipunyainya. Berdasarkan atribusi,
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dapat melakukan tindakan hukum;
dengan kata lain atribusi merupakan wewenang baru yang sebelumnya tidak
ada atau belum dimiliki oleh pemerintah. Wewenang yang diperoleh
menjadikan tindakan pemerintah sah dan mempunyai kekuatan mengikat
umum karena telah memperoleh persetujuan dari rakyat melalui wakilnya
yang kemudian dijabarkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan
baik ditingkat pusat maupun tingkat daerah. Delegasi merupakan
pelimpahan wewenang yang telah dipunyai berdasarkan atribusi kepada
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang lain. Dilihat dari segi prosedur
pelimpahannya, pelimpahan wewenangnya terjadi dari suatu organ

51
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada
University Press, Jogjakarta, 1997, h. 130.

162
pemerintahan kepada organ pemerintah yang lain atas dasar peraturan
perundang-undangan. Suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu
atribusi wewenang. Mandat, merupakan pelimpahan wewenang
berdasarkan peraturan perundang-undangan dari satu organ atau badan atau
pejabat tata usaha negara yang satu kepada badan atau pejabat tata usaha
negara yang lain dalam satu lingkungan badan atau pejabat tata usaha
negara dimana pelimpahan wewenang yang diperoleh badan atau pejabat
tata usaha negara itu berdasarkan pelimpahan wewenang pendelegasian
atributif. Wewenang atributif dan delegasi mempunyai kedudukan yang
sangat penting untuk mengetahui suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara pada saat mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan
pada wewenang pendelegasian yang sah yang berarti keputusan yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menjadi sah pula.
Sehingga apabila terdapat suatu kekurangan pada wewenang yang menjadi
dasarnya, dapat menjadi dasar alasan bagi Pengadilan (hakim) Tata Usaha
Negara dalam batas wewenangnya untuk mengeluarkan putusan pembatalan
Keputusan Tata Usaha Negara.

Analisis Hukum
Kasus perkara konversi hak eigendom menjadi hak milik sertipikat
Hak Milik Nomor 295/Kapasan
Sumber data yang menjadi dasar analisis adalah kasus sengketa antara
Sdr. HT, dkk (89 orang) sebagai penggugat melawan Kantor Pertanahan
Kota Surabaya sebagai tergugat; dan atas dasar dikeluarkannya putusan
PTUN (PengadilanTata Usaha Negara) Surabaya No.Reg.01/GTUN/1998/
PTUN.SBY tanggal 15 September 1998; PTTUN (Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara) Surabaya No. Reg. 10/B. TUN/1999/PT.TUN. SBY tanggal
22 Maret 1999; Putusan MARI (Mahkamah Agung Republik Indonesia) No.
reg. 167K/TUN/1999 tanggal 25 Nopember 1999; dan PK (Peninjauan

163
Kembali) No. Reg. 60. PK/TUN/2000 tanggal 26 maret 2002; Obyek
sengketa adalah sertipikat hak milik No. 295/Kel. Kps, atas nama AJS.
Posisi Kasus
Para penggugat mendalilkan bahwa mereka adalah penghuni dan
mendiami perkampungan Kps gang III Kecamatan Smkrt Surabaya secara
turun temurun sejak tahun 1893 pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Menurut pendapat mereka, lokasi tanah yang didiami dan dihuni
merupakan tanah yang berstatus tanah negara bekas Eigendom Verponding
No. 4644. Hal ini dikuatkan keterangan Lurah Kps dan Surat Keterangan
Pendaftaran Tanah (SKPT) yang dikeluarkan Kantor Pertanahan Kota
Surabaya atas permohonan penggugat yang isinya mengenai status tanah
obyek sengketa tersebut merupakan tanah dengan status tanah negara.
Menurut dalil para penggugat proses pengajuan permohonan hak milik atas
tanah kepada tergugat untuk menerbitkan sertipikat hak milik atas tanah
yang dihuni atau didiami tersebut sudah memenuhi persyaratan dan
kewajiban yang ditentukan. Sebelum proses permohonan pendaftaran hak
milik atas tanah terselesaikan (10 tahun dalam proses di tempat tergugat)
mereka dapat panggilan dari Pengadilan Negeri dalam kapasitasnya selaku
tergugat di dalam kasus perkara perdata dengan penggugatnya adalah Sdr
AJS selaku pemegang sertipikat hak milik No. 295/Kps; dengan kata lain
para penggugat baru tahu jika obyek sengketa yang dihuni sudah terbit
sertipikat pada saat adanya panggilan oleh pengadilan negeri.
Menurut para penggugat tindakan atau perbuatan tergugat
bertentangan dengan peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku
yakni Pasal 53 ayat (2) huruf a UU No. 5 tahun 1986 dan tindakan tersebut
merupakan tindakan sewenang-wenang sebagaimana diatur dalam ketentuan
Pasal 53 ayat (2) huruf c UU No. 5 tahun 1986. Sehingga dalam petitum
gugatannya agar pengadilan menyatakan sertipikat hak milik yang
dikeluarkan tergugat adalah tidak sah dan batal demi hukum dan
memerintahkan mencabut sertipikat hak milik serta memerintahkan tergugat

164
untuk memproses dan menerbitkan sertipikat hak milik atas nama para
penggugat yang telah mendaftarkan tanahnya sesuai permohonan yang
diajukan pada tahun 1987;
Pertimbangan hukum Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya pada
pokoknya dalam kasus sengketa ini berpendapat bahwa landasan hukum
dalam penerbitan sertipikat berasal dari bekas hak eigendom tersebut
seharusnya tidak berdasarkan pada ketentuan konversi menjadi hak milik
pada tahun 1960 sebagai mana diatur dalam ketentuan-ketentuan konversi
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 beserta peraturan pelaksanaannya.
Adapun fakta materiil yang ditemukan dalam pengadilan sebagai berikut:
Pertama, bahwa berdasarkan penelitian majelis hakim akta Nomor 457
tersebut bukanlah cacatan penegasan konversi hak eigendom yang
dikonversikan menjadi hak milik oleh Kepala kantor Pendaftaran Tanah
(KKPT) Surabaya (Pasal 3 PMA 2 tahun 1960), akan tetapi merupakan akta
peralihan hak. Hal ini dapat diketahui dari isinya masih menunjuk pada akta
eigendom tertentu tertulis atas nama pemilik asal. Apabila merupakan akta
eigendom dan pemegang haknya merupakan WNI tunggal maka
berdasarkan Pasal 3 PMA Nomor 2 tahun 1960 baik didalam minut atau
grosse aktenya akan dibubuhi catatan konversi, namun di dalam akta
tersebut tidak ada cacatan tersebut; Kedua, apabila hak eigendom tersebut
merupakan hak barat yang belum diganti menurut S. 1948–54 (Ordonantie
Noodvoorzieningen), maka konversinya menjadi hak milik menurut UUPA
dilaksanakan oleh KKPT atas permohonan pemegang haknya dengan
membuat buku tanah dan diberikan sertipikatnya (PP Nomor 10 tahun 1961
jo. Pasal 1 dan 2 PMA 13 tahun 1961) atas nama KRH Abd, namun ternyata
tidak ada. Apabila aktanya tidak ada, yang bersangkutan dapat mengajukan
permohonan kepada Menteri Agraria untuk mendapat pengakuan haknya
yang dimohon konversinya (Pasal 4 ayat 1); Ketiga, menurut Majelis
Hakim, tanah obyek sengketa dengan membandingkan surat ukur Nomor
457 tanggal 27 Nopember 1896 merupakan bekas tanah partikelir yang

165
dihapus Belanda dan pada tahun 1958 menjadi tanah yang dikuasai negara
berdasarkan UU Nomor 1 tahun 1958 tentang penghapusan tanah-tanah
partikelir; Keempat, bahwa dengan tidak ditariknya atau dibatalkannya
Surat keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) oleh tergugat pada saat
tergugat menerbitkan sertipikat hak milik Nomor 295/Kps tertanggal 8 Mei
1991 menunjukkan tidak adanya penegasan konversi hak eigendom
verponding Nomor 4644 menjadi hak milik menurut ketentuan UUPA
karena status tanah sejak semula adalah tanah yang dikuasai negara;
Kelima, dengan penerbitan sertipikat hak milik atas nama KRH Abd dan
dibalik nama kepada AJS yang dilakukan oleh tergugat, sesungguhnya
tergugat telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Tidak ditariknya SKPT Nomor 1587/
1987 oleh tergugat pada saat menerbitkan sertipikat hak milik tersebut
sedangkan sebelumnya para penggugat telah mengajukan permohonan hak
atas tanah negara kepada tergugat dengan memenuhi semua persyaratannya,
maka sesungguhnya tergugat telah berbuat sewenang-wenang karena
melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) khususnya
asas kepercayaan, kecermatan dan kepastian hukum;
Atas dasar pertimbangan hukum tersebut maka gugatan para
penggugat dikabulkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya dengan
putusan No. Reg. 01/G.TUN/1998/PTUN. SBY tanggal 15 September
1998; dalam amar putusannya pada pokoknya mengabulkan gugatan para
penggugat seluruhnya dengan menyatakan batal Keputusan Tata Usaha
Negara yang diterbitkan oleh tergugat berupa sertipikat hak tanah obyek
sengketa dan terakhir beralih kepada pihak ketiga; memerintahkan kepada
tergugat untuk mencabut sertipikat obyek sengketa serta; memerintahkan
kepada tergugat untuk menyelesaikan proses permohonan hak atas tanah
negara dari penggugat dan menerbitkan sertipikat haknya.
Putusan pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya dibatalkan oleh
pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di Surabaya dengan alasan bahwa

166
pengajuan gugatan oleh para penggugat telah lewat waktu yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan sesuai putusan PTTUN No.Reg.10/
B.TUN/1999/PTTUN. Sby. tanggal 22 maret 1999.
Sebaliknya dalam tingkat Kasasi Mahkamah Agung berpendapat sama
dengan Pengadilan Tata Usaha Negara, dalam putusan MARI No. Reg.
167.K/TUN/1999 tanggal 25 Nopember 1999, Amar putusannya pada
pokoknya: menyatakan batal dan memerintahkan kepada tergugat untuk
mencabut sertipikat hak milik tersebut serta; memerintahkan pula kepada
tergugat untuk menyelesaikan proses permohonan hak atas tanah negara dari
para penggugat dan menerbitkan sertipikat haknya.
Demikian juga dalam putusan Peninjauan Kembali, Putusan PK
MARI No. 60 PK/TUN/2000, tanggal Maret 2002, amar putusannya
“menolak permohonan PK dari tergugat asal”.
Ketentuan konversi bekas hak eigendom menjadi hak milik
Lembaga konversi yang diatur didalam UUPA pada hakekatnya
merupakan bentuk dari pengakuan negara terhadap hak kepemilikan atas
tanah yang telah ada untuk mewujudkan unifikasi, kesederhaan, kesatuan
dan kepastian hukum hak atas tanah dalam menyelenggarakan pendaftaran
tanah yang bersifat “recht kadaster” bagi hak–hak atas tanah-tanah,
sebagaimana perintah Pasal 19 UUPA. Konversi, pada asasnya adalah
untuk mengkontruksi ulang hak atas tanah yang telah ada sebelumnya baik
menurut hukum barat maupun hukum adat diubah dan disesuaikan dengan
jenis atau macam-macam hak atas tanah baru yang diciptakan oleh UUPA.
Dengan kata lain bahwa hak-hak atas tanah memberikan wewenang yang
sama atau hampir sama dengan suatu hak baru oleh UUPA, maka hak atas
tanah tersebut dikonversikan menjadi hak atas tanah yang baru.

167
Berdasarkan ketentuan konversi,52 UUPA hak atas tanah yang ada
sebelumnya dikonversi menjadi hak atas tanah yang baru yakni; pertama,
hak eigendom, agrarisch eigendom, hak milik (adat), yasan, andarbeni, hak
atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant sultan, landerijen bezitrecht,
altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir, hak gogolan
yang bersifat tetap, wewenang nganggo run temurun, dikonversikan menjadi
hak milik (UUPA); kedua, hak erfpacht untuk perkebunan besar dikonversi
menjadi Hak Guna Usaha; ketiga, hak Opstal dan hak Erfpacht untuk
perumahan, dikonversi menjadi Hak Guna Bangunan; keempat,
vruchtgebruik, gebruik, grant controleur, bruiken, ganggam bauntuik,
anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, gogolan yang bersifat tidak tetap,
hak eigendom kepunyaan negara asing yang dipergunakan untuk gedung
kedutaan atau rumah kepala perwakilan dikonversi menjadi hak pakai.
Pada asasnya, konversi hak atas tanah yang lama (hak barat ataupun
adat) menjadi suatu hak atas tanah yang baru “Karena Hukum” (van
rechtswege). Artinya bahwa adanya suatu tindakan atau perbuatan hukum
tertentu dari badan atau pejabat tata usaha negara mengenai hak atas tanah
berubah atau disesuaikan dengan ketentuan hukum hak atas tanah yang
baru, sudah terjadi konversi dengan sendirinya. Sebagai contoh, hak

52
Konsep konversi (conversie, conversion) dalam hukum adalah merupakan
perubahan atau penyesuaian atau bisa dikatakan penggantian yang bertujuan untuk
menyeragamkan atau unifikasi dibidang hukum tertentu. Menurut Boedi Harsono
menyebutkan bahwa konversi itu berarti penggantian atau perubahan dan keputusan
konversi disebut sebagai “Beschikking convertie”. Boedi Harsono, Op. cit, h. 93; lihat pula,
Effendi Perangin-angin, Hukum Agraria Indonesia, CV. Rajawali, Jakarta, 1989, h. 145;
pada jaman pemerintahan Hindia Belanda pernah dilakukan tindakan konversi terhadap hak
atas tanah yang tunduk hukum adat termasuk didalamnya adalah hak ulayat dari lingkungan
masyarakat hukum adat dikonversi dan ditundukkan kepada suatu ketentuan yang baru
yang mirip dengan hak atas tanah hukum perdatanya Hindia Belanda yakni hak yang mirip
dengan hak Eigendom menurut BW). Untuk tanah-tanah adat dengan hak perorangan atau
pribadi yang mereka sebut sebagai “individueel erfelijke bezitsrecht” dapat dikonversikan
menjadi hak atas tanah yang dinamakan “ agraris eigendom” dengan mengajukan
permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat. Demikian juga hak ulayat
dikonversikan menjadi yang dinamakan “agrarisch eigendomsrecht”. Konversi ini sudah
barang tentu dengan persyaratan dan kewajiban yang harus dipenuhi untuk
mendapatkannya. Lihat, AP. Parlindungan, Konversi Hak-hak Atas Tanah, Mandar
Maju, Bandung, 1990, h.3.

168
erfpacht perusahaan perkebunan besar sejak tanggal 24 september 1960
menjadi Hak Guna Usaha, dengan jangka waktu yang ditentukan selama-
lamanya 20 tahun. Meskipun demikian perubahan hak atas tanah yang
konversi “karena hukum” ini baru akan terjadi melalui suatu proses tertentu
dari badan atau pejabat tata usaha negara yang merupakan pernyataan
penegasan. Pernyataan penegasan baru dapat dilakukan apabila pemegang
hak atas tanah telah memenuhi syarat–syarat tertentu yang harus dipenuhi
dalam jangka waktu tertentu. Tindakan atau perbuatan hukum berupa
pernyataan penegasan dari badan atau pejabat tata usaha negara tersebut
dalam ilmu hukum disebut sebagai suatu penetapan atau keputusan yang
bersifat “deklaratur” (declaratoir). Pada prinsipnya di dalam ketetapan atau
keputusan deklaratur yang dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha
negara mempunyai karakter hukum yang bersifat menegaskan suatu keadaan
hukum yang sudah ada. Artinya menegaskan hak atas tanah yang dikonversi
karena pemegang haknya memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh
peraturan perundang-undangan, bukan membuat hukum baru yang
sebelumnya tidak ada. Exsistensi dari hak atas tanah memang sudah ada,
karakter hukum penegasan hak atas tanah yang bersifat deklaratif ini secara
konsisten hanya terjadi terhadap konversi bekas tanah-tanah yang tunduk
kepada hukum adat (hak atas tanah adat), untuk konversi hak atas tanah
bekas hak barat (BW) berdasarkan peraturan perundangan konversi
mempunyai perlakuan yang agak berbeda. Apabila persyaratan tersebut
tidak dapat dipenuhi dalam jangka waktu tertentu maka mempunyai akibat
hukum terhadap obyek hak atas tanah yang dikonversi tersebut.
Beberapa kemungkinan yang akan terjadi apabila pemegang haknya
tidak memenuhi syarat dan mendaftarkan haknya dalam jangka waktu
tertentu yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yaitu;
pertama, bagi subyek pemegang hak atas tanah yang tidak memenuhi
syarat yang ditentukan maka hak atas tanahnya akan mengalami perubahan
terhadap hak atas tanah yang dipegangnya. Sebagai contoh: hak eigendom

169
karena hukum menjadi hak milik, namun karena subyek pemegang haknya
tidak memenuhi syarat yang ditentukan bagi pemegang hak milik maka
haknya akan berubah menjadi Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai; kedua,
apabila subyek pemegang haknya bukan warga negara Indonesia maka hak
milik atas tanah tersebut akan hapus dan tanahnya akan dikuasai negara
(tanah negara); ketiga, apabila pemegang hak atas tanah tidak mendaftarkan
pada waktu yang ditentukan dimungkinkan hak tersebut akan berubah dan
bahkan hapus menjadi tanah yang dikuasai negara. Ketentuan konversi hak
atas tanah bekas hak barat yang sebelumnya tunduk kepada hukum BW,
diatur dalam PMA (Peraturan Menteri Agraria) No. 2 tahun 1960 (TLN. No.
2086), tentang Pelaksanaan beberapa ketentuan Undang-Undang Pokok
Agraria. Untuk tanah bekas hak adat dan sejenis diatur dalam PMA No. 2
tahun 1962 (TLN No. 2508) tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran
bekas Hak-Hak Indonesia.
Isu hukumnya bagaimana untuk mengetahui bahwa pemegangnya
WNI, dan persyaratan yang harus dipenuhi pemegang hak milik atas tanah,
meskipun diketahui bahwa konversi kepada hak atas tanah yang baru
berdasarkan UUPA adalah “karena hukum” dan bagaimana upaya
pencatatan atau pendaftaran haknya serta alat bukti hak atas tanah.
Berkaitan dengan hak eigendom perorangan, di dalam Pasal 1 ayat (1)
Ketentuan Konversi UUPA :
Hak eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya undang-
undang ini sejak saat tersebut menjadi hak milik, kecuali jika yang
mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang disebut dalam
Pasal 21.

Ada dua muatan ketentuan Pasal 1 ayat (1) ini, dimana keduanya
saling kait mengait satu sama lainnya antara obyek dan subyek haknya yaitu
dapat dibaca bahwa hak eigendom atas tanah karena hukum dikonversi
menjadi hak milik tanggal 24 september 1960 sejak berlakunya UUPA,
apabila subyek dari pemegang memenuhi syarat WNI (Warga Negara

170
Indonesia) tunggal bukan orang asing. Bila terpenuhi hubungan hukum
antara subyek dan obyeknya, masih ada satu kewajiban yang harus
dilakukan oleh mereka yaitu mencatatkan atau mendaftarkan hak tersebut
untuk mendapatkan tanda bukti hak yang baru berupa sertipikat hak milik
(lihat Pasal 19 UUPA), dengan tata usaha administrasi pendaftaran hak atas
tanah yang diatur dalam PP No. 10 tahun 1961, atau PP No. 24 tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah.
Untuk mengetahui penjabaran lebih lanjut mengenai persyaratan
pemegang hak eigendom yang dikonversi menjadi hak milik sebagaimana
diatur dalam Pasal I Konversi UUPA dan Pasal 21 UUPA, dan tata usaha
pencatatan atau pendaftarannya diatur dalam PMA No. 2 tahun 1960 (TLN
No. 2086) tentang Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Undang-Undang Pokok
Agraria. Peraturan ini ditetapkan pada tanggal 10 Oktober 1961, namun
ikatan hukum keberlakuannya “surut” sejak tanggal 24 september 1960.
Persyaratan bagi pemegang hak eigendom (perorangan) yang dapat
dikonversikan menjadi hak milik berdasarkan UUPA, di dalam Peraturan
Menteri Agraria ini ditentukan: bahwa pada prinsipnya bagi mereka yang
dapat menunjukkan bukti kewarganegaraan Indonesia tunggal (WNI
Tunggal) pada tanggal 24 september 1960 dan mereka merupakan
pemegang hak eigendom maka haknya akan dikonversikan menjadi hak
milik. Secara administrasi konversi hak eigendomnya menjadi hak milik
akan dicatat oleh KKPT (Kepala Kantor Pendaftaran Tanah) setempat pada
akte asli atau salinan (Grosse) akta eigendomnya. Hal ini ditetapkan dalam
Pasal 3 PMA No. 2 tahun 1960:
Hak-hak eigendom yang pemiliknya terbukti berkewarganegaraan
Indonesia tunggal dicacat oleh KKPT (Kepala Kantor Pendaftaran
Tanah), baik pada aslinya maupun pada grosse aktenya sebagai telah
dikonversi menjadi hak milik.

Berdasarkan ketetapan Pasal 3 ini, ketetapan atau keputusan


penegasan perubahan hak eigendom menjadi hak milik yang dilakukan oleh

171
badan atau pejabat tata usaha negara dalam hal ini KKPT setempat
diwujudkan dengan pencatatan perubahan tersebut dalam minuut atau
grosse akte eigendom dengan bentuk yang diatur dalam Pasal 18 PMA
Nomor 2 tahun 1960, sebagai berikut:
pencatatan konversi oleh KKPT dimaksud dalam pasal-pasal diatas
dilaksanakan dengan membubuhkan keterangan dengan kata-kata
sebagai berikut:
“berdasarkan pasal …… ayat… ketentuan-ketentuan konversi undang-
undang pokok agraria dikonversi menjadi : hak ……. (isi: milik, guna
usaha atau pakai)……, dengan jangka waktu…………..”

………….., tanggal…………………..
Kepala Kantor Pendaftaran Tanah
(tanda tangan dan cap jabatan)

Pencatatan penegasan konversi hak eigendom menjadi hak milik


dilakukan di dalam minuut/grosse akte eigendom persoalan hukumnya
adalah bagaimana jika akta eigendom tersebut karena sesuatu kejadian
hilang. Dalam persoalan tersebut oleh KKPT konversinya ditangguhkan
sampai ada ketentuan lebih lanjut dari Menteri Agraria. Hal ini disebutkan
dalam PMA Nomor 5 tahun 1960 (TLN No. 2142) tentang penambahan
ketentuan Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 tahun 1960, menambahkan
satu ayat dalam Pasal 5 PMA Nomor 2 tahun 1960 yang menjadi ayat (2):
pencatatan konversi hak-hak eigendom yang aktanya pada tanggal 24
september 1960 belum diganti menurut Ordonantie
Noodvoorzieningen (S. 1948-54) menjadi hak milik atau hak guna
bangunan ditangguhkan sampai ada ketentuan lebih lanjut dari menteri
agraria. Hak eigendom itu akan dikonversi menjadi hak milik jika
dipunyai oleh pihak yang memenuhi syarat untuk menjadi pemilik dan
dipenuhi pula kewajiban yang disebut dalam pasal 2; 53
53
Di dalam pasal tersebut disebutkan Ordonantie Noodvoorziening overschrijving
en teboekstelling (S. 1948 – 54), peraturan ini merupakan peraturan yang dikeluarkan pada
masa kemerdekaan yang bertujuan untuk menggantikan surat-surat hak tanah yang terdaftar
menurut ketentuan BW yang hilang dimasa kemerdekaan. Tata caranya mereka yang
kehilangan surat-surat bukti hak tersebut mengajukan kepada Pengadilan Negeri setempat
dan dengan keputusan Pengadilan negeri tersebut akan memerintahkan Kepala Kantor
Pendaftaran setempat untuk menerbitkan akte kedua. Namun dengan berlakunya UUPA
tidak diberlakukan lagi. (lihat Surat edaran Departemen Agraria tanggal 26 Desember 1960,

172
Berkaitan dengan tanda bukti yang hilang, dalam PMA Nomor 13
tahun 1961 (TLN. No. 2345) tentang Pelaksanaan Konversi hak eigendom
dan hak-hak lain-lainnya yang aktanya belum diganti. Di dalamnya
merupakan jawaban atas alat bukti hak (akta eigendom) yang hilang yakni
dengan mengajukan permohonan penggantian alat bukti tersebut kepada
Kepala Kantor Pendaftaran Tanah setempat. Hal ini merupakan
penyelesaian hukum dikarenakan dicabutnya Ordonantie noodvoorziening
overschrijving en te boektelling (S. 1948-54) oleh terbitnya UUPA. Bagi
mereka yang kehilangan bukti hak, untuk mendapatkan tanda bukti
pengganti dari Kantor Pendaftaran Tanah, ada dua kemungkinan yang
dilakukan oleh KKPT yaitu; pertama, atas permohonan tersebut oleh
KKPT dibuatkan buku tanah baru sebagaimana diatur dalam PP No. 10
tahun 1961, dimana untuk Jawa dan Madura diberlakukan pada tanggal 24
september 1961 dan untuk daerah lain dimulai pada tanggal 1 Nopember
1961. Dengan catatan adanya keyakinan dari KKPT mengenai hak
eigendom yang dimohon penggantian dan konversinya terdapat cukup
keterangan yang dapat mendukung data obyek dan subyeknya dan
selanjutnya kepada yang berhak diberikan sertipikat hak yang dikeluarkan
KKPT. Ketetapan Pasal 1 dan 2 PMA 13 tahun 1961:
(1) konversi hak eigendom atas tanah yang aktanya belum diganti
berdasarkan “ordonantie noodzieningen overschrijving en
teboektelling 1948 ( S. 1848-54) menjadi salah satu hak menurut
undang-undang pokok agraria, dilaksanakan oleh Kepala Kantor
Pendaftaran yang bersangkutan (selanjutnya disebut: KKPT), atas
permohonan yang berkepentingan, dengan membuat buku tanah
daripada haknya yang baru, menurut ketentuan-ketentuan PP No.
10 tahun 1961 tentang pendaftaran tanah (LN. 1961-28);
(2) pembuatan buku tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini
dapat dilakukan:
a. untuk Jawa dan Madura sejak tanggal 24 september 196, dan
b. untuk daerah-daerah lainnya sejak tanggal 1 Nopember 1961
Selanjutnya di dalam Pasal 2 ketentuan ini :

No. 1/8/19) lihat pula Komentar AP Parlindungan, Op.cit. h. 14.

173
(1) jika menurut pendapat KKPT, mengenai hak eigendom yang
dimohon konversi itu terdapat cukup keterangan otentik, yang
membuktikan keadaan hak tersebut, demikian pula tanahnya
yang empunya, maka pembuatan buku tanah yang dimaksudkan
dalam pasal 1 dapat segera dilakukan oleh KKPT;
(2) kepada yang berhak diberikan sertipikat;

Kedua, jika menurut badan atau pejabat tata usaha negara (KKPT)
tidak cukup keterangan bukti-bukti yang mendukung maka oleh KKPT
diadakan pengumuman dilakukan selama 2 bulan di dua mass media.
Setelah berakhir dan tidak adanya sanggahan dari pihak lain yang
berkepentingan maka tindakan hukum badan atau pejabat tata usaha negara
mengeluarkan buku tanah dan sertipikatnya. Hal ini sesuai dengan ketetapan
Pasal 3 ayat (1), (2) dan (3) PMA No. 13 tahun 1961.
(1) Jika menurut pendapat KKPT tidak terdapat cukup keterangan
otentik, sebagai yang dimaksudkan dalam pasal 2 maka oleh
KKPT diadakan pengumuman mengenai permohonan konversi itu
didalam 2 surat kabar yang tersiar didaerah yang bersangkutan.
pengumuman itu diulangi, sebulan setelah tanggal
pengumumannya yang pertama. Biaya pengumuman tersebut
dibayar oleh pemohon yang dimaksudkan dalam pasal 1.
(2) Di dalam waktu 2 bulan sejak tanggal pengumuman yang
pertama, sebagai yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal ini, maka
yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada KKPT
disampaikan secara tertulis dengan disertai alasan-alasannya;
(3) Jika setelah jangka waktu tersebut pada ayat 2 pasal ini ada
diajukan keberatan ataupun keberatan yang diajukan menurut
pendapat KKPT tidak beralasan, maka KKPT bertindak sebagai
yang dimaksud dalam pasal 2;

Ketiga, apabila pada saat di dalam pengumuman atas permohonan


dimaksud ternyata ada sanggahan atau bantahan dari pihak yang
berkepentingan maka tindakan badan atau pejabat tata usaha negara
menangguhkan penyelesaian permohonan tersebut dan disarankan untuk
diselesaikan oleh yang bersangkutan melalui Pengadilan setempat. Hal
tersebut ditetapkan dalam Pasal 3 ayat (4) PMA No. 13 tahun 1961:

174
Jika didalam jangka waktu tersebut ayat 2 pasal ini ada yang
mengajukan keberatan, yang menurut pendapat KKPT cukup
beralasan, maka KKPT tidak akan membuat buku tanahnya, sebagai
yang dimaksudkan dalam pasal 1, sebelum soalnya diselesaikan oleh
yang berkepentingan. Jika soalnya diajukan oleh yang
berkepentingan pada pengadilan untuk mendapat keputusan, maka
buku tanah tersebut baru dibuatnya setelah diterimanya keputusan
pengadilan, yang mempunyai kekuatan untuk dijalankan;

Keempat, apabila tidak ada keterangan apapun yang dapat dipakai


bagi pihak yang mengajukan permohonan konversi atas hak miliknya tetap
saja dapat diajukan maka tindakan yang dilakukan oleh badan atau pejabat
tata usaha negara atas permohonan tersebut mengajukan kepada Menteri
Agraria guna mendapatkan pengakuan hak setelah dilakukan pemeriksaan
tanah oleh sebuah Panitia Pemeriksaan Tanah (Keputusan Menteri Agraria
No. SK. 113/Ka/196) dari Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan. Hal
tersebut sesuai dengan ketetapan Pasal 4 PMA No. 13 tahun 1961:
(1) jika menurut pendapat KKPT tidak terdapat keterangan yang
dapat dipakai sebagai dasar untuk melakukan konversi yang
dimohon itu maka oleh KKPT yang berkepentingan
dipersilahkan mengajukan permohonan kepada menteri agraria
untuk mendapat pengakuan mengenai haknya yang dimohonkan
konversi itu;
(2) menteri agraria memberi keputusan mengenai permohonan
pengakuan hak, sebagai yang dimaksudkan didalam ayat 1 pasal
ini, setelah mendengar pertimbangan Panitia Pemeriksaan Tanah
tersebut pada pasal 1 Keputusan Menteri Agraria No. SK.113/Ka/
1961 tentang Panitia-panitia Pemeriksaan Tanah dan Kepala
Inspeksi Agraria yang bersangkutan;

Permasalahan selanjutnya berhubungan dengan kewarganegaraan


Indonesia yang merupakan penentu apakah hak eigendom tersebut dapat
dikonversi menjadi hak milik sebagaimana diatur dalam pasal 21 UUPA.
Pada prinsipnya bahwa hak eigendom dikonversi menjadi hak milik apabila
subyek pemegang haknya adalah WNI tunggal, persoalannya sejak kapan
mereka harus membuktikan kewarganegaraannya. Hukum mengatur bahwa,
apabila dalam jangka waktu 6 bulan tidak dapat membuktikan WNI tunggal

175
maka akibat hukumnya obyek tersebut dikonversi menjadi Hak Guna
Bangunan dengan jangka waktu 20 tahun (lihat pasal 4 PMA No. 2 tahun
1960). Di dalam pasal 2 PMA No. 2 tahun 1960 ditetapkan:
(1) Orang-orang Warga Negara Indonesia yang pada tanggal 24
september 1960 berkewarganegaraan tunggal dan mempunyai
tanah dengan hak eigendom didalam waktu 6 bulan sejak tanggal
tersebut wajib datang pada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah
(selanjutnya dalam peraturan ini disingkat : KKPT) yang
bersangkutan untuk memberikan ketegasan mengenai
kewarganegaraannya itu;
(2) Bagi orang-orang Warga Negara Indonesia keturunan asing
penegasan mengenai kewarga negaraannya harus dibuktikan
dengan kewarganegaraan menurut Peraturan Pemerintah No. 20
tahun 1959, pasal IV Peraturan Penutup dari Undang-Undang No.
62 tahun 1953 atau bukti lainnya yang sah. Bagi orang-orang
warga Negara Indonesia lainnya cara pembuktian kewarga
negaraannya diserahkan kepada kebijaksanaan KKPT yang
bersangkutan;
Selanjutnya di dalam pasal 4 ditetapkan:
Hak-hak eigendom yang setelah jangka waktu 6 bulan tersebut pada
pasal 2 lampau pemiliknya tidak datang pada KKPT atau yang
pemiliknya tidak dapat membuktikan, bahwa berkewarganegaraan
Indonesia tunggal, oleh KKPT dicatat pada asli aktanya dikonversi
menjadi hak guna bangunan, dengan jangka waktu 20 tahun;

Pembuktian mengenai WNI tunggal ini bagi WNI turunan Tionghoa


sebagai satu-satunya bukti ditentukan dalam ketentuan konversi yang
ditegaskan dengan surat kawat Departemen Agraria tanggal 13 Maret 1961
No. Unda 6/1/4, perihal bukti Kewarganegaraan. Didalam surat kawat
tersebut dijelaskan bahwa bukti kewarganegaraan keturunan Tionghoa satu-
satunya ialah bukti kewarganegaraan tunggal menurut PP No. 20 tahun 1959
yaitu surat pernyataan penanggalan (penolakan) atau formulir C, bukan
bukti yang lainnya artinya bukti selain formulir C tidak diterima. Bagi
Warga Negara Indonesia, diatur dalam pasal 5 PMA 2 tahun 1960 :
mengenai hak-hak eigendom yang pemiliknya datang pada KKPT
didalam waktu yang ditentukan, tetapi yang dipersilahkan untuk
meminta bukti kewarganegaraan pada Pengadilan Negeri, maka

176
pencatatan konversi hak eigendom menjadi hak milik atau hak guna
bangunan itu ditangguhkan sampai ada keputusan dari Pengadilan
tersebut;
Sesuai dengan Surat Edaran dari Departemen Agraria tanggal 28
Nopember 1960 No. Unda 1/7/39 perihal kewarganegaraan dalam rangka
pelaksanaan konversi menurut PMA No. 2 tahun 1960, di dalam alinea dua
dijelas bahwa bagi para Warga Negara Indonesia bukan keturunan Tionghoa
soal pembuktian mengenai kewarganegaraan yang berhak diserahkan pada
kebijaksanaan petugas agraria yang bersangkutan (Kantor Pendaftaran
Tanah atau Kepala Pengawas Agraria, Kepala Inspeksi Agraria, Kepala
Agraria Daerah). Bagi mereka itu tidak ada peraturan tentang pembuktian
kewarganegaraan sebagaimana halnya dengan kewarganegaraan Indonesia
keturunan Tionghoa.
Berdasarkan ketentuan konversi UUPA maka, pernyataan penegasan
konversi perubahan hak eigendom menjadi Hak Milik syaratnya adalah:
pertama, subyek pemegang haknya adalah WNI tunggal pada tanggal 24
september 1960, melaporkan kewarganegaraannya dan mengajukan
permohonan konversi hak eigendomnya kepada badan atau pejabat tata
usaha negara setempat yang dibatasi oleh waktu; kedua, bukti kepemilikan
akte eigendomnya baik asli (minuut) atau salinannya (grosse) aktenya
diberikan cacatan penegasan konversi yang dilakukan oleh badan atau
pejabat tata usaha negara dengan format yang ditentukan (Pasal 18 PMA
No. 2 tahun 1960); ketiga, apabila persyaratan mengenai status
kewarganegaraan dan waktu tersebut tidak dipenuhi maka dapat dipastikan
bahwa status tanahnya berubah menjadi Hak Guna Bangunan, dimana pada
tahun 1980 berdasarkan Keppres No. 32 tahun 1979 jo PMDN No. 3 tahun
1979, menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah negara
bekas hak eigendom. Dengan demikian secara yuridis hubungan hukum
subyek dengan obyeknya menjadi hapus atau putus, sehingga untuk bekas
subyek pemegang haknya dalam administrasi pertanahan disebut sebagai

177
bekas pemegang hak, sedang untuk obyeknya disebut dengan sebutan tanah
negara bekas hak.
Berdasarkan kontruksi hukum konversi hak eigendom sebagaimana
diuraikan dalam posisi kasus sengketa dapat diketahui bahwa seandainya
pemegang hak barat atas tanah memenuhi syarat konversi pada tahun 1960
setidaknya dalam tata administrasi di Kantor Pertanahan setempat
setidaknya ada cacatan konversi dalam buku tanah dan atau tercatat juga
dalam akte eigendomnya. Seandainya akte tersebut hilang setidaknya
terdapat urutan kegiatan sebagaimana diatur dalam PMA No. 13 tahun
1961. Apabila seluruh ketatausahaan tersebut tidak ada atau belum
ditempuh maka dipastikan bahwa obyek sengketa tersebut bukan tanah
bekas eigendom, namun jika memang bekas eigendom ada dua
kemungkinan tanah tersebut; pertama, tanah dengan hak eigendom yang
menjadi obyek sengketa tersebut terkena ketentuan UU No. 1 tahun 1958
tentang penghapusan tanah partikelir, sehingga telah hapus demi hukum
menjadi tanah negara sejak 1958, atau; kedua, hak eigendom tersebut
berdasarkan pasal 4 PMA No. 2 tahun 1960 dikonversi menjadi Hak Guna
Bangunan disebabkan pemegang haknya tidak datang, atau tidak memenuhi
syarat WNI tunggal maka selanjutnya terkena ketentuan Keppres No. 32
tahun 1979 jo PMDN No. 3 tahun 1979, dimana terjadi perubahan status
hukum atas tanah hak tersebut menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh
negara atau menjadi tanah negara sejak tahun 1980. Dengan demikian
apabila tanah negara ini dimohon maka berlakulah ketentuan hukum yang
mengatur pemberian hak atas tanah negara.
Isu hukum nya apakah badan atau pejabat tata usaha negara yang
telah menerbitkan sertipikat hak milik No. 295/kapasan, berdasarkan
ketentuan hukum telah sesuai dengan kewenangannya dalam penerbitan hak
milik tersebut. Terhadap isu hukum ini berarti analisis kajiannya berkaitan
dengan aspek wewenang dari badan atau pejabat tata usaha negara dalam
menerbitkan keputusan tata usaha negara. Di dalam kasus sengketa ini

178
berhubungan dengan wewenang tergugat dalam menerbitkan sertipikat hak
milik obyek sengketa tersebut.
Wewenang Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mengenai
penegasan konversi hak eigendom menjadi hak milik.
Wewenang penerbitan sertipikat konversi merupakan wewenang dari
badan atau pejabat tata usaha negara berdasarkan peraturan perundangan.
Berdasarkan susunan struktur organisasi kementerian agraria dan sejak
berlakunya UUPA, maka ketentuan PP No. 10 tahun 1961 jo. PMA No. 2
tahun 1960 dan PMA No. 13 tahun 1961, penerbitan sertipikat berada
dilingkungan Jawatan Pendaftaran Tanah, dimana sesuai dengan struktur
organisasinya wewenang tersebut ada pada Kepala Kantor Pendaftaran
Tanah (KKPT). Berdasarkan Surat Direktorat Pendaftaran Departemen
Agraria tanggal 14 Juli 1965, No. 5159/65, perihal penandatanganan
sertipikat dan materai, disebutkan bahwa penandatanganan buku tanah dan
sertipikat harus dilaksanakan oleh KKPT sendiri termasuk surat ukur yang
merupakan bagian dari sertipikat. Penandatanganan ini tidak diperkenankan
didelegasikan wewenang penandatanganan kepada pejabat lain dalam
lingkungan kantor tersebut. Selanjutnya berdasarkan Keppres No. 170 tahun
1966, Departemen Agraria ditiadakan dan masuk kedalam lingkungan
Departemen Dalam Negeri sebagai Direktorat Jenderal Agraria dan
Transmigrasi. Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 187 tahun
1970, jo. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 88 tahun 1972,
penandatanganan sertipikat konversi dilakukan oleh Kepala Sub Direktorat
Daerah atas nama Bupati/Walikota. Dengan terbentuknya Badan Pertanahan
Nasional (BPN) sebagai Lembaga Pemerintah Non Departeman,
berdasarkan Keppres No. 26 tahun 1988 tentang Badan Pertanahan
Nasional, tugas dan wewenang pengelolaan administrasi di bidang
pertanahan beralih dari Departemen Dalam Negeri kepada BPN. Penertiban
sertipikat konversi beralih menjadi tugas dan wewenang kepada Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, sesuai dengan susunan struktur

179
Organisasai BPN (Keputusan KBPN 1 tahun 1989). Di dalam Peraturan
KBPN No. 5 tahun 1989 tentang kewenangan penandatanganan buku tanah
dan sertipikat ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota, meskipun terjadi perubahan pimpinan yang semula Kepala
Badan, berdasarkan Keppres 44 ahun 1993, pimpinan BPN menjadi
setingkat menteri negara dan ada perubahan kembali pengelolaan
pertanahan dengan Perpres No. 10 tahun 2006 tentang Badan Pertanahan
Nasional Jo. KBPN RI No. 4 tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kantor Wilayah dan Kantor Pertanahan, urusan penandatanganan sertipikat
tidak berubah wewenangnya ada pada Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota. 54 Demikian pula dengan berlakunya PP No. 24 tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah. Wewenang menerbitkan sertipikat hak milik
asal konversi berada pada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
setempat. Hal ini ditegaskan di dalam PMNA/KBPN No. 3 tahun 1997,
tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah. Didalam ketentuan pasal 88 PMNA/KBPN No.
3 tahun 1997, pada pokoknya berisi bahwa Kepala Kantor Pertanahan
berdasarkan persetujuan pemohonnya menegaskan konversinya menjadi hak
milik, demikian juga dengan pengakuan hak. Dalam ketentuan pasal 90 dan
92 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN pada pokoknya bahwa

54
BPN Sebagai lembaga non departemen merupakan lembaga yang bertanggung
jawab langsung kepada Presiden. Menurut Philipus M. Hadjon, Lembaga pemerintah ini
berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden yang mempunyai
kedudukan lebih rendah dari sebuah Departemen. Dikatakan bahwa wewenang
pembentukan lembaga pemerintah non departemen tidak diatur secara tegas (eksplisit )
dalam UUD’45 maupun peraturan perundang-undangan lainnya. sesuai dengan kedudukan,
tugas dan fungsinya (eksekutif), dasar dan wewenang Presiden membentuk lembaga non
departemen melekat dalam kedudukan dan kekuasaan Presiden sepanjang pemegang dan
penyelenggara pemerintah (pasal 4 ayat (1). Demi kelancaran pelaksanaan tugas-tugas
pemerintahan, Presiden berwenang mengadakan atau membentuk satuan-satuan pelaksana
pemerintahan diluar Departeman. Berdasarkan pasal 4 UUD’45 disebutkan bahwa presiden
memegang kekuasaan pemerintahan. Dalam melaksanakan fungsinya sebagai kepala
pemerintahan dengan sendirinya presiden juga sebagai kepala administrasi Negara. Philipus
M. Hadjon, et.al, op.cit, h. 92-93;

180
penandatanganan buku tanah dan sertipikat dilakukan Kepala Kantor
Pertanahan setempat.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
(PMNA/KBPN) No.3 tahun 1999, tentang Pelimpahan Kewenangan
Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas Tanah Negara.
Di dalam Pasal 2 peraturan ini ditetapkan:
(1) dengan peraturan ini kewenangan pemberian hak atas tanah
secara individual dan secara kolektif, dan pembatalan keputusan
pemberian hak atas tanah dilimpahkan sebagian kepada kepala
kantor wilayah BPN atau Kepala kantor Pertanahan kabupaten/
kota
(2) pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah dalam
peraturan ini meliputi pula kewewenangan untuk menegasan
bahwa tanah yang akan diberikan dengan sesuatu hak atas tanah
adalah tanah negara;
(3) dalam hal tidak ditentukan secara khusus dalam pasal atau ayat
yang bersangkutan, maka pelimpahan kewenangan yang
ditetapkan dalam peraturan ini hanya meliputi kewenangan
mengenai hak atas tanah Negara yang sebagian kewenangan
menguasai dari negara tidak dilimpahkan kepada instansi atau
badan lain dengan hak pengelolaan.

Kewenangan Kepala Kantor untuk memberikan keputusan hak milik


diatur dalam Pasal 3, Pasal 4 berkaitan dengan pemberian Hak Guna
Bangunan dan Pasal 5 kewenangan untuk memberikan Hak Pakai. Untuk
pemberian hak milik atas tanah Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota
memberi keputusan mengenai pemberian hak milik atas tanah pertanian
yang luasnya tidak lebih 20.000 m2, untuk tanah non pertanian yang luasnya
tidak lebih dari 2000 m2, kecuali mengenai tanah bekas Hak Guna Usaha;
disamping itu pemberian hak milik atas tanah dalam rangka pelaksanaan
program: a. transmigrasi; b. redistribusi; c. Konsolidasi; d. pendaftaran
tanah secara massal baik dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah
secara sistematik maupun sporadik (Pasal 3). Dalam Pasal 4 merupakan
kewenangan Kepala Kantor Pertanahan untuk menerbitkan keputusan Hak

181
Guna Bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 2000 m2, Hak
Pakai (Pasal 5) untuk tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 ha, non
pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2000 m2 dan semua pemberian hak
pakai atas tanah hak pengelolaan; Dalam Pasal 6 mengatur mengenai
perubahan hak atas tanah merupakan kewenangan Kepala Kantor
Pertanahan, kecuali Perubahan Hak Guna Usaha menjadi hak lain.
Selanjutnya kewenangan Kantor Wilayah BPN Provinsi diatur dalam Pasal
7, 8, 9 dan 10 sebagai berikut: Pasal 7, berhubungan dengan pemberian
keputusan hak milik yang berasal dari tanah-tanah negara atas tanah
pertanian yang luasnya lebih dari 2 ha; atas tanah non pertanian yang
luasnya tidak lebih dari 5000 m2, kecuali yang kewenangan pemberiannya
telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3; Dalam Pasal 8 kewenangan Kepala
Kantor Wilayah BPN Provinsi memberikan keputusan yang berkaitan
dengan pemberian Hak Guna Usaha atas tanah negara yang luasnya tidak
lebih dari 200 ha; Pasal 9 peraturan Menteri ini mengatur mengenai
kewenangan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi memberi keputusan
mengenai pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah yang luasnya tidak
lebih dari 150.000 m2, kecuali yang kewenangan pemberiannya telah
dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Dalam
Pasal 10 kewenangan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi dalam rangka
memberikan keputusan mengenai Hak Pakai atas tanah negara: pemberian
hak pakai atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 ha, tanah non
pertanian yang luasnya tidak lebih dari 150.000 m2 kecuali kewenangan
pemberiannya telah dilimpahkan kepada Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5; Selanjutnya Menteri
Negara Agraria/Kepala BPN menetapkan pemberian hak atas tanah yang
diberikan secara umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 :
(1) Menteri Negara Agraria/KBPN memberi keputusan mengenai
pemberian dan pembatalan hak atas tanah yang tidak

182
dilimpahkan kewenangannya kepada Kepala Kantor Wilayah
BPN Provinsi atau Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
sebagaimana dimaksud dalam Bab II dan Bab III
(2) Menteri Negara Agraria/KBPN memberi keputusan mengenai
pemberian dan pembatalan hak atas tanah yang telah
dilimpahkan kewenangannya kepada Kepala Kantor Wilayah
BPN Provinsi atau Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
sebagaimana dimaksud bab II dan III apabila atas laporan Kepala
Kantor Wilayah BPN provinsi hal tersebut diperlukan
berdasarkan keadaan di lapangan.
Kesimpulan
1. Berdasarkan ketentuan konversi dan ketentuan yang mengatur
kewenangan badan atau pejabat tata usaha negara untuk
menerbitkan keputusan tata usaha negara dapat diketahui pertama,
tanah obyek sengketa adalah tanah bekas hak eigendom yang
karena hukum berstatus tanah yang dikuasai oleh negara bekas
tanah partikelir yang terkena ketentuan UU No. 1 tahun 1958,
bukan tanah bekas eigendom untuk dikonversikan menjadi hak
milik. Tindakan tergugat menerbitkan sertipikat menjadi cacat
hukum sehingga berdasarkan putusan pengadilan tata usaha negara
harus dibatalkan. Kedua, tindakan hukum tergugat dalam
menerbitkan sertipikat hak milik tanah obyek sengketa oleh
pengadilan tata usaha negara merupakan tindakan atau perbuatan
hukum yang diklasifikasikan sebagai melampaui kewenangannya.
2. Pemegang hak barat atas tanah memenuhi syarat konversi pada
tahun 1960 setidaknya ada cacatan konversi dalam buku tanah dan
atau tercatat juga dalam akte eigendomnya. Seandainya akte
tersebut hilang setidaknya terdapat urutan kegiatan sebagaimana
diatur dalam PMA No. 13 tahun 1961. Apabila seluruh
ketatausahaan tersebut tidak ada atau belum ditempuh maka
dipastikan bahwa obyek sengketa tersebut bukan tanah bekas
eigendom. Mencermati ketentuan perundang-undangan pertanahan

183
dan fakta materiil yang terungkap dalam pengadilan bersangkutan
menunjukan; pertama, bahwa dapat diketahui obyek sengketa
tersebut adalah tanah yang berstatus tanah negara atau tanah yang
dikuasai langsung oleh negara bekas hak eigendom yang terkena
ketentuan UU No. 1 tahun 1958 tentang tanah Partikelir; kedua,
bahwa penerbitan sertipikat hak milik berdasarkan ketentuan
penegasan konversi sebagaimana diatur dalam ketentuan PMA No.
2 tahun 1960 oleh tergugat merupakan cacat hukum berkaitan
dengan aspek wewenang dalam penerbitan sertipikat hak milik
atas tanah obyek sengketa tersebut; ketiga, bahwa sesuai dengan
ketentuan hukum pertanahan mengingat status hukum atas obyek
sengketa dan luas tanah obyek sengketa yang terungkap di
pengadilan yaitu tanah negara bekas eigendom yang terkena
ketentuan UU No. 1 tahun 1958, maka seharusnya ketentuan
hukum yang mendasari penerbitan sertipikat hak atas tanahnya
berdasarkan ketentuan PMDN No. 6 tahun 1972, yang diganti oleh
PMNA/KBPN No. 9 tahun 1999.
3. Dengan mengingat luas tanah obyek sengketa, maka berdasarkan
ketentuan PMNA/KBPN No. 3 tahun 1999 tentang Pelimpahan
Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian
Hak Atas Tanah Negara, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 13
dari peraturan menteri ini, merupakan kewenangan dari Kepala
Badan Pertanahan Nasional. Dengan demikian tindakan atau
perbuatan hukum Pejabat Tata Usaha Negara dalam hal ini tergugat
mendaftar dan menerbitkan sertipikat hak milik atas tanah obyek
sengketa berdasarkan ketentuan konversi hak, dapat dikategorikan
sebagai cacat wewenang, sebagaimana Pasal 53 ayat (2) a, UU
No. 5 tahun 1986, bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

184
2. Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah Oleh Peradilan Tata Usaha
Negara Dengan Alasan Cacat Prosedur

Latar Belakang
Dalam konsep hukum publik, wewenang merupakan suatu konsep inti
dalam hukum tata negara dan hukum administrasi. 55 Wewenang dalam arti
yuridis adalah suatu kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-
undangan yang berlaku untuk menimbulkan akibat-akibat hukum 56 Setiap
kebijakan atau tindak pemerintahan harus bersumber atau bertumpu atas
kewenangan yang sah, baik dari sumber atribusi, delegasi maupun
mandat. Pemerintahan yang bersih atau Rechtmategheid Van Bestuur
adalah asas keabsahan tindak pemerintahan yang memiliki tiga fungsi; (1)
bagi aparat pemerintah berfungsi sebagai norma pemerintahan (bestuur
normen); (2) bagi masyarakat berfungsi sebagai alasan mengajukan gugatan
terhadap tindak pemerintahan (beroep gronden); dan (3) bagi hakim
berfungsi sebagai dasar pengujian suatu tindak pemerintahan (toetsings
gronden). Ruang lingkup keabsahan tindak pemerintahan meliputi:
kewenangan, prosedur dan substansi57 Kewenangan lahir atas; atribusi,
delegasi, mandat, serta dibatasi oleh isi (materi), wilayah dan waktu.
Prosedur berdasarkan asas negara hukum, yaitu berupa perlindungan hukum
bagi masyarakat; asas demokrasi yaitu pemerintah harus terbuka, sehingga
ada peran serta masyarakat; asas instrumental, yaitu efisiensi dan efektifitas,
tidak berbelit-belit serta perlu deregulasi. Substansi bersifat mengatur dan
mengendalikan apa (sewenang-wenang/legalitas ekstern) dan untuk apa
(penyalahgunaan wewenang, melanggar Undang-Undang/legalitas intern).
Setiap tindak pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan
yang syah yang diperoleh dari sumber; atribusi, delegasi dan mandat.

55
(Hadjon, 1998: 90)
56
(Indroharto, 1991: 68).
57
(Hadjon, 2005).

185
Aspek prosedur hukum merupakan salah satu syarat penting yang
harus dipenuhi oleh suatu keputusan atau ketetapan yang diterbitkan oleh
badan atau pejabat tata usaha negara. Dalam Pasal 53 ayat (2) a Undang-
Undang Nomor 5 tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara yang disahkan pada tanggal 29 Oktober 2009
menentukan salah satu alasan yang dapat digunakan dalam gugatan adalah
keputusan tata usaha negara yang digugat bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Di dalam penjelasan pasalnya
ditentukan bahwa suatu keputusan tata usaha negara dapat dinilai
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila
yang bersangkutan (keputusan) itu bertentangan dengan ketentuan–
ketentuan dalam peraturan peraturan perundang-undangan yang bersifat
“Prosedural”. Dengan demikian aspek prosedur hukum merupakan salah
satu yang menjadi dasar putusan peradilan tata usaha negara untuk
membatalkan sertipikat hak atas tanah disebabkan bahwa badan atau pejabat
tata usaha negara telah melakukan perbuatan hukum mengeluarkan
keputusan atau ketetapan karena adanya kesalahan yang bersifat
“prosedur hukum” dalam penerbitannya, artinya keputusan badan atau
pejabat tata usaha negara tersebut bertentangan dengan perundang-undangan
yang berlaku. Ditemukannya kesalahan dalam prosedur menjadi dasar
alasan pengadilan dalam putusannya untuk menyatakan “batal” (nietig)
keputusan tersebut. Soehino menjelaskan, yang dimaksud dengan prosedur
atau formal dari sebuah keputusan antara lain:
berhubungan dengan tatacara atau prosedur atau proses pembentukan
ketetapan administrasi, dimulai dari persiapan sampai terbentuknya
ketetapan administrasi, harus sesuai dengan syarat-syarat yang
ditentukan. Ketetapan administrasi harus dituangkan dalam bentuk
sebagaimana telah ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasar
hukum dibentuknya ketetapan administrasi itu . Syarat-syarat yang
berkaitan dengan pelaksanaan ketetapan administrasi itu harus
dipenuhi. Jangka waktu ditetapkan antara adanya hal-hal atau keadaan

186
yang menyebabkan dibentuknya ketetapan administrasi dan
diberikannya ketetapan administrasi itu kepada yang mengajukan
permohonan untuk mendapatkan ketetapan administrasi itu, tidak
boleh dilampaui.58

Lebih lanjut dijelaskan, setidaknya ada empat aspek yang harus


dipertimbangkan dalam suatu keputusan tata usaha negara yakni:
berhubungan dengan proses syarat-syarat yang ditentukan oleh perundang-
undangan, berhubungan dengan bentuk keputusan, syarat pelaksanaan
keputusan dan jangka waktunya. Menurut van der Pot, sebagaimana
dikutip Soehino, tata cara dan prosedur menjadi syarat yang bersifat
menentukan atau “bestaansvoorwaarde” tergantung dari pada yang
ditentukan dalam hukum positif yang bersangkutan, demikian juga halnya
mengenai cara pelaksanaan ketetapan administrasi. Dengan demikian
apabila suatu keputusan tidak memenuhi prosedur hukum dan cara
pembuatannya maka keputusan tersebut menjadi batal karena tidak
memenuhi prosedur hukum atau syarat formal; dan menurut penjelasan
Pasal 53 UU Nomor 5 tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun
2009, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bertitik tolak dari latar belakang di atas, terlihat bahwa tidak semua
pemberian hak atas tanah mendapat prosedur yang sama dalam
pensertipikatannya meski obyeknya sama berstatus tanah negara. Prosedur
berbeda juga berlaku untuk tanah adat/yasan untuk mendapatkan sertipikat
hak atas tanah; dengan menggunakan metode penelitian normatif, rumusan
masalah yang diajukan adalah “prosedur hukum pensertipikatan hak atas
tanah redistribusi dan akibat hukum sertipikat hak atas tanah redistribusi
yang dibatalkan oleh putusan pengadilan tata usaha negara.

Kerangka Teori

58
Soehino. 2000. Asas-Asas Hukum Tata Usaha Negara. Liberty. Jogjakarta, h. 101-
102.

187
Prosedur merupakan salah satu aspek keabsahan atas suatu tindak
pemerintahan. Kesalahan dalam prosedur berakibat keputusan tata usaha
negara yang dikeluarkan cacat sehingga dinyatakan tidak sah dan dapat
dibatalkan. Ketetapan yang batal dapat dibedakan yakni: ketetapan yang
batal karena hukum, batal dan dapat dibatalkan. 3 (tiga) ketetapan tidak sah
tersebut adalah:
1. ketetapan yang batal karena hukum ( nietigheid van rechtswege);
2. ketetapan yang batal ( nietig, juga: batal absolut, absoluut nietig);
3. ketetapan yang dapat dibatalkan (vernietigbaar).59

S.F. Marbun menjelaskan, ketetapan yang “batal karena hukum”


adalah suatu ketetapan yang isinya menetapkan adanya akibat suatu
perbuatan itu untuk sebagian atau seluruhnya bagi hukum dianggap tidak
ada, tanpa diperlukan keputusan pengadilan atau Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang berwenang menyatakan batalnya ketetapan tersebut, jadi
ketetapan itu batal sejak dikeluarkan. Batal karena hukum suatu ketetapan
tidak secara otomatis artinya tidak diperlukan suatu tindakan pembatalan
dari Pengadilan maupun Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Utrecht tidak setuju menggunakan istilah “batal karena hukum”, sebab
istilah itu akan menimbulkan kesan seolah-oleh kebatalan berlaku
dengan sendirinya, tanpa perantara atau tanpa keputusan hakim atau
instansi yang berwenang, padahal hakim atau instansi atasan
merupakan instansi yang berwenang mengambil putusan. suatu
keputusan yang dinyatakan batal karena hukum, akan berakibat
keputusan yang dibatalkan itu berlaku surut, terhitung mulai sejak
tanggal dikeluarkan keputusan yang dibatalkan itu. Keadaan
dikembalikan kepada keadaan semula sebelum dikeluarkan keputusan
(tidak sah ex-tunc) dan akibat hukum yang telah ditimbulkan oleh
keputusan itu dianggap tidak pernah ada.60

“Batal” (nietig) merupakan suatu tindakan atau perbuatan hukum


yang dilakukan berakibat suatu perbuatan dianggap tidak ada. Utrecht
menjelaskan:

59
E. Utrecht, Op. cit, h. 109.
60
Lihat Marbun SF, 2003, Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif di
Indonesia, UII Press, Jogyakarta, h. 108

188
dalam pengertian ilmu hukum yang diterima secara umum dalam
praktek berarti bahwa bagi hukum perbuatan yang dilakukan tidak
ada, bagi hukum akibat perbuatan itu dianggap tidak pernah ada. 61

Pengertian “dapat dibatalkan” (vernietigbaar) merupakan suatu


tindakan Badan atau Tata Usaha Negara dapat dibatalkan karena diketahui
perbuatan itu mengandung kekurangan. Utrecht menjelaskan:
pembatalan bagi hukum perbuatan yang dilakukan dan akibatnya
dianggap ada sampai waktu pembatalan oleh hakim atau oleh suatu
badan pemerintah lain yang berkompeten (pembatalan diadakan
karena pembuatan tersebut mengandung sesuatu kekurangan). Bagi
hukum, perbuatan tersebut ada sampai waktu pembatalannya, menjadi
sah (terkecuali dalam hal undang-undang menyebut beberapa bagian
akibat itu tidak sah). Setelah pembatalan maka perbuatan itu tidak ada
dan–bila mungkin–diusahakan supaya akibat yang telah terjadi itu
semuanya atau sebagiannya hapus.62

Lebih lanjut SF Marbun, menjelaskan:


Suatu keputusan baru dapat dinyatakan batal setelah pembatalan oleh
hakim atau instansi yang berwenang membatalkan, dan pembatalan
tidak berlaku surut. Jadi bagi hukum perbuatan dan akibat-akibat
hukum yang ditimbulkan dianggap sah sampai dikeluarkan keputusan
pembatalan (ex-nunc) kecuali undang-undang menentukan lain.63

Seirama dengan penjelasan di atas, Philipus M. Hadjon menjelaskan,


pembatalan keputusan yang tidak sah dari tindakan pemerintah berupa
”nietigheid van rechtswege” (batal karena hukum), ”nietig” (batal) atau
”vernietigbaar” (dapat dibatalkan). Pembatalan keputusan tata usaha negara
61
Dalam bukunya, Utrecht memberikan contoh A. mengadakan perjanjian dengan B.
perjanjian itu diadakan pada tanggal 1 Pebruari 1954. pada tanggal 1 april 1954 oleh hakim
diadakan pembatalan (vernietiging) perjanjian itu, karena mengandung beberapa
kekurangan “essentieel” (perjanjian itu tidak memuat beberapa essentialia) (Pasal 1320
KUH Perdata). Perjanjian itu bagi hukum dianggap tidak pernah ada, jadi, akibat perjanjian
itu dengan sendirinya bagi hukum dianggap tidak pernah ada. Segala sesuatu yang karena
perjanjian itu diadakan antara 1 Pebruari 1954 dan tanggal 1 April 1954 harus dihapuskan,
atau dengan kata lain: status hukum kedua belah pihak pada tangal 1 April harus
dikembalikan pada status hukum mereka sebelum tanggal 1 pebruari 1954, seakan-akan
perjanjian itu tidak pernah diadakan. Jadi, seluruh akibat perjanjian itu dihapuskan. Oleh
sebab itu “batal” dapat juga disebut “batal mutlak ”(absoluut nietig). Utrecht, Pengantar
Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1986, h. 110.
62
Dalam Utrecht, h. 111.
63
SF. Marbun, 1986, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Jogyakarta, h. 47

189
atas tindakan pemerintah merupakan hukum administrasi maka berpedoman
pada asas vermoeden van rechmatigheid. Artinya keputusan organ
pemerintah tersebut hanya dapat dibatalkan (vernietigbaar) dan bukan batal
atau batal karena hukum. Menurut Stellinga, keputusan pemerintah selalu
tidak boleh dianggap batal karena hukum.64 Lebih lanjut dijelaskan, Suatu
keputusan tidak pernah boleh dianggap batal karena hukum, baik dalam hal
keputusan itu dapat digugat dimuka hakim administrasi atau banding
administrasi, maupun dalam hal kemungkinan untuk menggugat dan untuk
memohon banding itu tidak digunakan, demikian juga dalam hal kedua
kemungkinan tersebut tidak ada. Dalam vernietigbaar, perbuatan hukum
adalah sah sampai dinyatakan batal. Perbedaan nietig, van rechswegenietig
dan verniegbaar seperti tabel di bawah: 65
Uraian Nietig van rechtswege Nieteg vernietiegbaar
66
Sejak kapan batal Ex tunc Ex tunc Ex nunc67
Putusan/ kept. Mutlak harus ada
Tindakan Sifat putusan/kept: Tanpa perlu ada putusan/kept
pembatalan Konstatering/ putusan/kept. Sifat putusan/
deklaratur kept: konstitutif

R. Soetojo Prawirohamidjojo menjelaskan, suatu perbuatan hukum


yang dapat dibatalkan adalah suatu perbuatan yang mengandung cacat.
Selama pihak yang berkepentingan dengan pembatalan itu tidak pernah
menyatakan bahwa karena cacat ini perbuatan itu dipandang sebagai tidak
sah “onrechtmatig“, maka tidak bisa dikatakan adanya pembatalan
vernietiging; 68 dengan kata lain, ketika ada gugatan dan kemudian gugatan
telah mempunyai kekuatan hukum tetap terhitung sejak saat keputusan tata
64
Dalam Utrecht, h. 115-116
65
Philipus M. Hadjon (2), 1985, Pengertian-Pengertian Dasar Tentang Tindak
Pemerintahan, Djumali: penerbit dan stensil, h. 8
66
ex tunc: secara harfiah “ex tunc“ berarti sejak waktu (dulu) itu. Dalam konteks ini,
“ex tunc“ berarti perbuatan dan akibatnya dianggap tidak pernah ada.
67
ex nunc: secara harfiah “ex nunc” berarti sejak saat sekarang. Dalam konteks ini,
ex nunc” berarti perbuatan dan akibatnya dianggap ada sampai saat pembatalannya
68
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Keabsahan Perbuatan Hukum, Airlangga. majalah
Fakultas Hukum Universitas Airlangga, tanpa tahun

190
usaha negara itu dinyatakan batal (nietig). Dalam bukunya yang lain
Philipus M. Hadjon menjelaskan, pemerintahan yang bersih atau
rechtmategheid van bestuur adalah asas keabsahan tindak pemerintahan
yang memiliki tiga fungsi; (1) bagi aparat pemerintah berfungsi sebagai
norma pemerintahan (bestuur normen); (2) bagi masyarakat berfungsi
sebagai alasan mengajukan gugatan terhadap tindak pemerintahan (beroep
gronden); (3) bagi hakim berfungsi sebagai dasar pengujian suatu tindak
pemerintahan (toetsings gronden). Ruang lingkup keabsahan meliputi:
kewenangan, prosedur dan substansi69. Telah disebutkan bahwa salah satu
karakteristik atau prosedur pensertipikatan hak atas tanah redistribusi atau
yang berasal dari obyek landreform adalah adanya Surat Keputusan Panitia
Landreform dengan kode A. Sebagai contoh, Surat Keputusan Panitia
Landreform Daerah Tingkat II Badung tanggal 21 Pebruari 1963 Nomor
A/XX/202/57. Kode “A” merupakan kode yang memberikan petunjuk
bahwa tanah obyek landreform tersebut berasal dari tanah–tanah adat/yasan
yang terkena ketentuan kelebihan maksimum sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 56/prp/1960 (LN 1960 Nomor 174) tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian. Untuk mengetahui luas maksimum disuatu
daerah kepemilikan tanah pertanian didasarkan Keputusan Menteri Agraria
Nomor SK.978/ Ka/1960 (TLN Nomor 2143) tentang Penegasan Luas
Maksimum Tanah Pertanian, yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 1961.
Sebagai contoh, untuk luas maksimum kepemilikan tanah pertanian
didaerah Kabupaten Badung berdasarkan daftar lampiran keputusan Menteri
Agraria ini untuk tanah sawah 7,5 ha, dan untuk tanah kering seluas 9 ha.
Sehingga apabila seseorang memiliki luas tanah pertanian di atas luas
maksimum yang ditentukan akan terkena ketentuan kelebihan maksimum.
Hal tersebut didasarkan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor
56/prp/1960 dan diwajibkan melaporkan kepada Badan atau Pejabat Tata

69
Philipus M. Hadjon (1), h. 90

191
Usaha Negara setempat dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan, sebagaimana
uraian berikut:
orang-orang dan kepala keluarga yang anggota-anggota keluarganya
menguasai tanah pertanian yang jumlahnya melebihi luas maksimum
wajib melaporkan hal itu kepada Kepala Agraria daerah
Kabupaten/Kota yang bersangkutan di dalam waktu 3 bulan sejak
dimulai berlakunya peraturan ini, kalau dipandang perlu maka jangka
waktu tersebut dapat diperpanjang oleh Menteri Agraria.

Berdasarkan ketentuan di atas, terlihat bahwa kewajiban untuk


melaporkan tentang keberadaan tanah pertanian yang melebihi batas
maksimum tidak selalu orang yang menguasai tanah tersebut akan tetapi
bisa orang lain. Bagi tanah-tanah pertanian yang ternyata diketahui sebagai/
merupakan tanah kelebihan maksimum maka bagian tanah-tanah yang
merupakan kelebihan maksimum dikuasai negara atas dasar Surat
Keputusan Menteri Agraria No. Sk 409/Ka/1961 tentang pernyataan
penguasaan oleh pemerintah atas bagian-bagian tanah yang merupakan
kelebihan dari luas maksimum. Keputusan ini menetapkan:
1. menyatakan bahwa bagian–bagian tanah yang merupakan
kelebihan dari luas maksimum, sebagai tanah-tanah yang dikuasai
langsung oleh negara.
2. menyerahkan untuk menetapkan bagian yang menjadi hak pemilik
dan bagian-bagian tanah yang dikuasai langsung oleh pemerintah
sub 1 kepada Panitia Landreform Daerah Tingkat II/Kotapraja yang
dibantu oleh Panitia kecamatan dan desa.

Adanya tindakan hukum dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
maka “karena hukum” tanah pertanian yang terkena kelebihan maksimum
berdasarkan penetapan Panitia Landreform Daerah status hukumnya
berubah bukan lagi merupakan tanah yasan/adat, tetapi menjadi tanah yang
dikuasai oleh negara (tanah negara). Tanah-tanah ini dikenal dengan sebutan
tanah negara obyek landreform yang akan diredistribusikan kepada
penggarapnya sesuai ketentuan yang berlaku.

192
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 (TLN.
Nomor 2322), tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti
Rugi; ditetapkan dibagikan kepada para petani yang mengerjakan tanah
tersebut dengan hak milik yang memenuhi syarat dan kewajiban yang
ditentukan dalam Peraturan Pemerintah tersebut. Apabila ternyata
berdasarkan ketentuan yang berlaku calon penerima hak memenuhi
persyaratan yang ditentukan maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang berwenang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara berbentuk
Surat Keputusan Pemberian Hak atau Surat Keputusan Redistribusi Tanah. 70
Secara lebih rinci prosedur hukum pemberian Surat Keputusan Pemberian
Hak Milik Atas Tanah yang berasal dari obyek landreform sebagai berikut:
1. Dikeluarkannya Surat Keputusan Panitia Landreform yang
menyatakan bahwa tanah dimaksud adalah tanah yang terkena
ketentuan landreform
2. Diterbitkannya Surat Keputusan Pemberian Hak atau Surat
Keputusan Redistribusi Tanah untuk diberikan kepada penerima
hak atas tanah.
3. Begitu surat keputusan diterbitkan, maka sejak saat itu status tanah
negara berubah menjadi tanah hak milik, tanpa harus memenuhi
persyaratan dan kewajiban sebagaimana ditentukan dalam surat
keputusan pemberian haknya. Kecuali dalam hal pengajuan
permohonan sertipikat hak atas tanah harus memenuhi persyaratan
dan kewajiban sebagaimana ditentukan dalam surat keputusan
pemberian haknya.
4. Kekuatan hukum surat Keputusan pemberian hak milik atas tanah
redistribusi/obyek landreform tidak batal dengan sendirinya karena
tidak adanya klausula yang menentukan kalimat “batal dengan
sendirinya” bilamana penerima hak milik tidak memenuhi

70
Yudhi Setiawan (1), Loc.cit. h. 24-25

193
persyaratan dan kewajiban yang dimaksud dalam surat keputusan,
kecuali dicabut atau dibatalkan.
Karakter berbeda terdapat pada surat keputusan pemberian hak milik
atas tanah negara pada umumnya secara lebih rinci sebagai berikut:
1. Di dalam Surat Keputusan Pemberian Hak Milik Atas Tanah
Negara selalu dicantumkan klausula yang berisi syarat-syarat,
kewajiban dan jangka waktu yang harus dipenuhi oleh penerima
hak atas tanah.
2. Tidak dipenuhinya persyaratan dan kewajiban serta jangka waktu
sebagaimana ditentukan dalam surat keputusan maka pemberian
hak milik atas tanah tersebut akan batal dengan sendirinya.
Sifat karakter deklaratif diperoleh dari ketetapan tertulis yang bersifat
menegaskan karena pemegang hak atas tanah memenuhi persyaratan
administratif yang ditentukan peraturan perundangan yang berlaku dengan
ciri karakter71 berikut:
Pertama, obyek dari sertipikat hak atas tanah adalah tanah-tanah yang
secara yuridis diakui keberadaannya dan lahir didasarkan pada instrumen
hukum yang diatur dan ditentukan dalam ketentuan konversi dalam hal ini
Undang-Undang Pokok Agraria. Tanah dimaksud adalah tanah adat/yasan
yang diperoleh secara turun temurun. Secara operasional dan tata usaha
administratif pendaftarannya diatur dalam:
a. Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 tahun 1960 tentang
Pelaksanaan Beberapa Ketentuan-Ketentuan Undang-Undang
Pokok Agraria.
b. Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 tahun 1962
tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak Indonesia
Atas Tanah.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 jo Peraturan
Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
71
Boedi Djatmiko Hadiatmodjo, h. 7

194
d. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 tahun 1997.

Di dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 tahun 1960 dan


Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 tahun 1962, di dalamnya
mengatur tentang pengakuan penegasan terhadap hak kepemilikan atas
tanah baik yang berasal dari hak barat maupun hak adat/yasan yang pada
tanggal 24 September 1960 dikonversi menjadi hak-hak berdasarkan
Undang-Undang Pokok Agraria melalui proses penetapan pengakuan yang
dikeluarkan oleh negara. Konsepsi Undang-Undang Pokok Agraria
mengakui adanya hak kepemilikan keperdataan dari hak-hak atas tanah
yang telah ada dan dipunyai atau dihaki oleh masyarakat yang sudah ada
sebelum terbitnya Undang-Undang Pokok Agraria. Sesuai dengan
konsepsinya, fungsi ketetapan tertulis yang berupa pernyataan penegasan
dari badan atau pejabat tata usaha negara merupakan bentuk penegasan
keberadaan dari hak atas tanah yang sudah ada; sedangkan sertipikat hak
atas tanah merupakan suatu dokumen tertulis yang dibuat dan dikeluarkan
oleh badan atau pejabat tata usaha negara sebagaimana diatur dalam sistem
administrasi pendaftaran tanah baik yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 jo Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun
1997 mempunyai fungsi administrasi bahwa adanya bidang-bidang tanah
hak atas tanah dan pemegang hak atas bidang tanah yang terdaftar dalam
sistem administrasi pertanahan sebagai bukti adanya bidang–bidang tanah
dan pemegangnya yang sudah didaftarkan. Badan atau pejabat tata usaha
negara dalam hal ini Kantor Pertanahan mengeluarkan surat tanda bukti
sekaligus dapat digunakan sebagai alat pembuktian bagi pemegang hak atas
tanah yang disebut sertipikat hak atas tanah. Dikeluarkannya sertipikat hak
atas tanah tersebut berarti negara memberikan jaminan kepastian hukum
bagi pemegang haknya. Sebaliknya, jaminan kepastian hukum menjadi tidak
ada apabila adanya cacat dalam penerbitan sertipikat hak atas tanahnya.

195
Kedua, ciri sertipikat hak atas tanah bersifat deklaratif sifat
sengketanya masuk dalam wilayah peradilan perdata. Dalam kasus-kasus
gugatan keperdataan yang menjadi pokok gugatan selalu berkaitan dengan
keabsahan atau kebenaran dari hak-hak keperdataan dari pemegang
sertipikat hak seperti dalam kasus perkara: warisan, hibah, tukar menukar,
maupun jual-beli. Para pihak yang berperkara harus membuktikan
kebenaran atau keabsahan hak dan alat bukti hak termasuk sertipikat hak
atas tanah yang mereka miliki; dengan kata lain sertipikat hak atas tanah
bukan obyek utama gugatan, yang menjadi pokok gugatan adalah kebenaran
atau keabsahan pemegang hak atas tanah yang merupakan isu pokoknya.
Dalam kasus perdata yang menjadi tergugat utama bukan badan atau pejabat
tata usaha negara yang menerbitkan sertipikat hak atas tanah, namun para
pihak yang berperkara. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara berposisi
sebagai tergugat selanjutnya atau sebagai pihak turut tergugat, bukan
tergugat utama (kesatu).
Ketiga, Akibat hukum atas pembatalan sertipikat haknya, status tanah
kembali kepada pemegang hak semula sebelum terjadinya sertipikat.
Sertipikat hak atas tanah yang berkarakter konstitutif merupakan
sertipikat hak atas tanah yang diterbitkan sebagai tanda bukti hak yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berupa
ketetapan tertulis yang diterbitkan dengan tujuan untuk menghubungkan
hubungan hukum yang sebelumnya tidak ada dan karena ketetapan tertulis
tersebut hubungan hukum menjadi ada. Ketetapan tertulis yang yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara disebut “surat
keputusan” merupakan alat bukti lahirnya hubungan hukum yaitu “hak”
antara seseorang atau badan hukum sebagai pemegang hak atas tanah
dengan tanahnya. Keputusan dari badan atau pejabat tata usaha negara
tersebut merupakan alat bukti “mutlak”72 lahirnya sesuatu hak atas tanah;

72
Philipus M. Hadjon (3), 2002, Pengantar Hukum Administrasi, Gadjahmada
University Press, Yogyakarta, h. 144.

196
dan atas dasar keputusan ini sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun
1997 merupakan landasan yuridis lahir atau terbitnya sertipikat hak atas
tanah; dengan demikian tanpa adanya keputusan tersebut tidak mungkin
terjadi hubungan hukum antara seseorang atau badan hukum dengan
tanahnya. Berdasarkan keputusan dari badan atau pejabat tata usaha negara
inilah pemegang hak atas tanah dapat meminta diterbitkan tanda bukti
haknya yang berupa sertipikat hak. Karakter yuridis dari sertipikat hak atas
tanah yang bersifat konstitutif adalah sebagai berikut:
Pertama, sertipikat haknya lahir dari keputusan badan atau pejabat
tata usaha negara yang diberikan wewenang untuk itu, dalam hal ini Kantor
Pertanahan.
Kedua, obyek dari sertipikat hak atas tanah yang bersifat konstitutif
berasal dari tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah
negara. Tanah negara ini bisa berasal dari tanah negara bebas artinya belum
ada sesuatu hak yang melekat di atasnya, tanah-tanah bekas tanah hak barat
karena hukum menjadi tanah negara; bisa juga berasal dari pelepasan atau
pembebasan hak.
Ketiga, karakter dari sertipikat hak atas tanah yang terbit dari
ketetapan “konstitutif”, dalam hal dibatalkannya surat keputusan pemberian
hak yang menjadi dasar terbitnya sertipikat hak atas tanah berakibat hukum
batalnya hak atas tanah; dan tanahnya kembali kepada status semula yaitu
tanah yang dikuasai negara.
Keempat, sengketa sertipikat hak atas tanah yang bersifat konstitutif
masuk wilayah peradilan tata usaha negara dan badan atau pejabat tata
usaha negara dalam posisi sebagai tergugat utama.
A. Kerangka Pemikiran
1. Prosedur pensertipikatan hak atas tanah redistribusi.
Prosedur pensertipikatan hak atas tanah redistribusi yang menyimpang
dari ketentuan yang telah ditetapkan dapat dibatalkan oleh pengadilan tata
usaha negara apabila suatu ketetapan atau keputusan yang dibuat oleh Badan

197
atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut cacat baik dari segi kewenangan,
prosedur atau substansi sehingga dinyatakan tidak sah yang menurut Pasal
53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, ketetapan atau keputusan
tersebut dinyatakan sebagai suatu “keputusan yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Prosedur hukum pemberian
Surat Keputusan Pemberian Hak Milik Atas Tanah Redistribusi atau yang
berasal dari obyek landreform sebagai berikut:
a. Dikeluarkannya Surat Keputusan Panitia Landreform yang
menyatakan bahwa tanah dimaksud adalah tanah yang terkena
ketentuan landreform.
b. Diterbitkannya Surat Keputusan Pemberian Hak atau Surat
Keputusan Redistribusi Tanah untuk diberikan kepada penerima
hak atas tanah.
c. Begitu surat keputusan diterbitkan, maka sejak saat itu status tanah
negara berubah menjadi tanah hak milik, tanpa harus memenuhi
persyaratan dan kewajiban sebagaimana ditentukan dalam surat
keputusan pemberian haknya. Kecuali dalam pengajuan
permohonan sertipikat hak atas tanah harus memenuhi persyaratan
dan kewajiban sebagaimana ditentukan dalam surat keputusan
pemberian haknya.
d. Kekuatan hukum surat Keputusan pemberian hak milik atas tanah
obyek landreform tidak batal dengan sendirinya karena tidak
adanya klausula yang menentukan kalimat “batal dengan
sendirinya” bilamana penerima hak milik tidak memenuhi
persyaratan dan kewajiban yang dimaksud dalam surat keputusan,
kecuali dicabut atau dibatalkan.

Dalam hal dinyatakan bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
tersebut tidak berwenang (onbevoegheid), di dalam konsepsinya ada 3 (tiga)
kemungkinan; pertama, tidak berwenang “Onbevoegheid rational

198
materiale”. Tidak berwenang karena materi atau persoalan yang dimuat
dalam keputusan tidak merupakan bagian dari kewenangan dari Badan atau
Pejabat yang membuat (kompetensi absolute). Menurut Marbun keputusan
semacam ini dapat berakibat “batal” (nietig) atau “batal demi hukum”,
sehingga akibat keputusan yang batal tersebut berlaku surut sampai sejak
tanggal dikeluarkan keputusan yang batal itu dan keadaan dikembalikan
kepada keadaan semula sebelum dikeluarkannya keputusan yang batal itu.
(ex tunc). Keputusan yang dibatalkan itu dinyatakan “tidak sah” maka
segala akibat hukum yang ditimbulkan oleh keputusan itu dianggap tidak
pernah ada. Apabila keputusan itu dibatalkan maka akibat hukum yang
pernah timbul karena dikeluarkannya keputusan dianggap dan diakui pernah
ada sampai pada saat keputusan itu dibatalkan; kedua, tidak berwenang
“Onbevoegheid ratione loci” adalah keputusan yang dibuat oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang membuatnya, karena
melampaui atau diluar ruang lingkup wilayah (resort) yang merupakan
wilayah wewenang Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut, maka
keputusan itu akan berakibat “batal” (nietig atau vernietigbaar) dan hal ini
berkaitan dengan “kompetensi relative”; ketiga, tidak berwenang
“Onbevoegheid ratione tempori”. Adalah suatu keputusan yang dibuat oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang karena telah
lewat waktu yang ditentukan oleh peraturan Perundang-Undangan.73
Pembatalan sertipikat hak atas tanah diatur dalam Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan
kewenangan pemberian dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah
negara dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun
1999 tentang Tata cara pemberian dan pembatalan hak atas tanah negara dan
hak pengelolaan.
2. Akibat hukum sertipikat yang dibatalkan oleh putusan pengadilan
tata usaha negara.
73
Lihat Marbun, h. 104-105

199
Akibat hukum suatu sertipikat yang dibatalkan oleh putusan
pengadilan tata usaha negara harus ditelusuri terlebih dahulu apakah
sertipikat tersebut berkarakter deklaratif atau berkarakter konstitutif.
Sertipikat hak atas tanah yang berkarakter deklaratif merupakan sertipikat
hak yang lahir dari suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan Badan atau
Pejabat Tata Usaha negara yang diberikan wewenang untuk itu. Sertipikat
hak atas tanah yang berkarakter konstitutif merupakan sertipikat hak atas
tanah yang diterbitkan sebagai tanda bukti hak yang dikeluarkan oleh badan
atau pejabat tata usaha negara yang berupa ketetapan tertulis yang
diterbitkan dengan tujuan untuk menghubungkan hubungan hukum yang
sebelumnya tidak ada dan karena ketetapan tertulis tersebut hubungan
hukum menjadi ada. Ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau
pejabat tata usaha negara disebut “surat keputusan” merupakan alat bukti
lahirnya hubungan hukum yaitu “hak” antara seseorang atau badan hukum
sebagai pemegang hak atas tanah dengan tanahnya.
Hasil Penelitian
Prosedur hukum pemberian Surat Keputusan Pemberian Hak Milik
Atas Tanah yang berasal dari obyek landreform adalah dikeluarkannya Surat
Keputusan Panitia Landreform yang menyatakan bahwa tanah dimaksud
adalah tanah yang terkena ketentuan landreform. Langkah selanjutnya
adalah diterbitkannya Surat Keputusan Pemberian Hak atau Surat
Keputusan Redistribusi Tanah untuk diberikan kepada penerima hak atas
tanah sepanjang penggarap tanah telah memenuhi syarat yang ditentukan
dalam PP Nomor 224 tahun 1961 sebagaimana dalam Pasal 8 (delapan)
yaitu penggarap yang mengerjakan tanah tersebut. Begitu surat keputusan
diterbitkan, maka sejak saat itu status tanah negara berubah menjadi tanah
hak milik, tanpa harus memenuhi persyaratan dan kewajiban sebagaimana
ditentukan dalam surat keputusan pemberian haknya. Kecuali dalam hal
pengajuan permohonan sertipikat hak atas tanah harus memenuhi
persyaratan dan kewajiban sebagaimana ditentukan dalam surat keputusan

200
pemberian hak nya. Kekuatan hukum surat Keputusan pemberian hak milik
atas tanah redistribusi/obyek landreform tidak batal dengan sendirinya
karena tidak adanya klausula yang menentukan kalimat “batal dengan
sendirinya” bilamana penerima hak milik tidak memenuhi persyaratan dan
kewajiban yang dimaksud dalam surat keputusan, kecuali dicabut atau
dibatalkan. Setelah penerima hak menerima surat keputusan redistribusi
tanah dan telah memenuhi syarat-syarat, kewajiban dan jangka waktu yang
harus dipenuhi, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam hal ini Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara
berbentuk Sertipikat Hak Atas Tanah.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa dilanggarnya prosedur
hukum yang harus dipenuhi atas suatu keputusan atau ketetapan yang
diterbitkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara maka keputusan
tersebut menjadi tidak sah karena tidak memenuhi prosedur hukum atau
syarat formal; dan menurut penjelasan Pasal 53 UU No. 5 tahun 1986 jo.
UU Nomor 51 tahun 2009 bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Pelanggaran prosedur yang dilakukan oleh badan
atau pejabat tata usaha negara dalam penerbitan sertipikat hak atas tanah
menjadi titik tolak atau memberi peluang untuk terjadinya gugatan dari
pihak-pihak yang dirugikan atas penerbitan sertipikat hak atas tanah tersebut
dan mengajukan gugatannya melalui Pengadilan Tata Usaha Negara
sebagaimana kasus yang terjadi di Denpasar; yang diuraikan di bawah.

A. Studi Kasus
Para penggugat mendalilkan bahwa pemilik tanah obyek perkara yang
berasal dari Ni Gusti AS berdasarkan atas SK Panitia Landreform Daerah
Tingkat II Badung tanggal 21 Pebruari 1963 Nomor A/XX/202/57 atas
nama wajib lapor I Gusti Adi termasuk sebagai tanah yang dipilih untuk
tetap dimiliki dan menjadi bagian dari I Gusti NMM sebagai salah satu dari
delapan unit keluarga wajib lapor tersebut; Berdasarkan Keputusan Menteri

201
Negara Agraria/KBPN No.9-XI-1998 tanggal 20 Juli 1998, sertipikat hak
milik tanah obyek perkara dibatalkan atas permohonan pihak ketiga yakni.
DL, Dkk., dan atas dasar surat keputusan pembatalan tersebut tergugat
menerbitkan sertipikat hak milik Nomor 3395/Pemecutan Kaja, atas nama
DL, dkk.
Tindakan tergugat I dan II menurut penggugat bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; bertentangan dengan larangan
berbuat sewenang-wenang; dan bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik (AUPB) sebagaimana Pasal 53 ayat 2 a dan c UU
No. 5 tahun 1986. Berdasarkan hal tersebut, penggugat mengajukan gugatan
yang pada pokoknya memohon agar pengadilan untuk:
1. memerintahkan kepada tergugat I untuk menunda pelaksanaan
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang disengketakan
khususnya sertipikat hak milik Nomor 3395/Pemecutan Kaja atas
nama DL, dkk, sampai ada putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap;
2. menyatakan batal atau tidak sah SK Menteri Negara
Agraria/KBPN Nomor 9-XI- 1998 dan Surat Keputusan Kepala
Kantor Pertanahan Kota Denpasar berupa pengumuman tentang
pembatalan sertipikat tanggal 31 Agustus 1998 Nomor 630. 61-
1627 Denpasar dan sertipikat hak milik Nomor 3395/ Pemecutan
Kaja, atas nama DL dkk.;
3. memerintahkan kepada tergugat I untuk mencabut SK Kepala
Kantor Pertanahan Kota Denpasar berupa pengumuman tentang
pembatalan sertipikat Nomor 630. 61-1627–Dps tanggal 31
Agustus 1998 dan sertipikat hak milik Nomor 3395/Pemecutan
Kaja atas nama DL dkk.
4. memerintahkan kepada tergugat II mencabut SK Menteri Negara
Agraria/KBPN Nomor 9-XI-1998 tanggal 20 Juli 1998.

202
1. Pertimbangan hukum Peradilan Tata Usaha Negara Denpasar
Bahwa pada pokoknya berpendapat bahwa tergugat tidak terbukti telah
melakukan tindakan atau perbuatan hukum yang melanggar ketentuan Pasal
53 ayat (2) sub a Undang -Undang Nomor 5 tahun 1986.
Dasar pertimbangan hukumnya:
Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 2 dan 3 dan Pasal 55 ayat (3) serta
Pasal 52 ayat (1) PP Nomor 24 tahun 1997; dan menimbang meskipun
terjadi sengketa atas tanah hak yang menyangkut mengenai data fisik dan
yuridis sepanjang tidak ada catatan di dalam buku tanah sebagaimana Pasal
30 ayat 1 huruf c, d dan e PP No. 24 tahun 1997 tidak ada halangan untuk
menerbitkan sertipikat. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut,
terbitnya sertipikat hak milik Nomor 3395, atas nama DL, dkk tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan baik yang bersifat
prosedural, substansial dan wewenang sesuai Pasal 53 ayat (2) sub a UU
Nomor 5 tahun 1986. Tidak terbuktinya melanggar peraturan perundang-
undangan dengan sendirinya tidak terdapat ada unsur sewenang-wenang
dari tergugat I dan II di dalam mengeluarkan obyek sengketa; Atas dasar
pertimbangan hukum tersebut, putusan PTUN, No. Reg. 25/G/1998/ PTUN.
Denpasar, tanggal 28 April 1999, dalam amar putusannya: menolak
gugatan penggugat seluruhnya.

2. Pertimbangan hukum Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara


Surabaya
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar dikuatkan oleh
Putusan PTTUN No. Reg. 82/B/TUN/1999/PT.TUN. Surabaya, tanggal 4
Agustus 1999, dengan amar putusannya: menguatkan putusan PTUN, No.
25/G/1998/PTUN. Denpasar, tanggal 29 April 1999;

3. Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung

203
Dalam tingkat Kasasi, Mahkamah Agung pertimbangan hukumnya
berbeda pendapat dengan putusan pengadilan sebelumnya, bahwa:
a. Termohon kasasi telah menerbitkan Surat pembatalan sertipikat
hak milik No. 129/Desa Pemecutan Kaja. an. I Gusti NMM
menjadi an. LSP, hanya atas dasar kesimpulan–kesimpulan dan
fakta-fakta saja yang disampaikan oleh DL, salah satu an. LSP,
yang mendapat kuasa dari saudaranya;
b. Bahwa sebenarnya terdapat suatu sengketa pemilikan obyek
perkara antara para pemohon kasasi/penggugat dengan LSP;
c. Bahwa untuk dapatnya membatalkan sertipikat hak milik dalam
perkara ini, seharusnya tergugat I, II mendasarkan kepada suatu
putusan dari pengadilan umum yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap tentang siapa pemilik obyek perkara tersebut;
Atas dasar pertimbangan di atas, Mahkamah Agung dalam putusan
MARI Nomor Reg. 370 K/TUN/1999 tanggal 12 Oktober 2001,
memutuskan:
a. Menyatakan batal atau tidak sah surat keputusan pembatalan dari
Menteri Agraria/KBPN dan Surat Keputusan Kepala Kantor
Pertanahan kota Denpasar dan pembatalan sertipikat hak milik No.
3395/Pemecutan Kaja atas nama DL;
b. Memerintahkan kepada tergugat I untuk mencabut Surat
Keputusan Kepala kantor Pertanahan Kota Denpasar dan
pembatalan sertipikat hak milik No. 3395/Pemecutan Kaja, atas
nama DL
c. Memerintahkan kepada tergugat II untuk mencabut Surat
Keputusan Pembatalan Menteri Agraria/KBPN;

4. Pertimbangan Hukum Peninjauan kembali (PK)


Dalam Putusan Peninjauan kembali Mahkamah agung PK No. Reg.
39 K/TUN/2002 tanggal 17 Maret 2004; amarnya: Menolak permohonan

204
peninjauan kembali dari pemohon peninjauan kembali I dan II; dengan
unsur-unsur sebagai berikut:
a. Bahwa tanah obyek hak milik No. 129 tersebut asalnya adalah
milik Ni. Gusti ABS, pipil No. 159, Persil No. 8a, yang dalam
rangka landreform dilaporkan oleh wajib lapor I Gusti Adi yang
selanjutnya ditindaklanjuti oleh Keputusan Panitia Landreform
Daerah Tingkat II Badung tanggal 21 Pebruari 1963 No.
A/XX/202/57. Di dalamnya ditetapkan terdiri 8 unit keluarga
yaitu: I Gusti Adi, dkk; Berdasarkan dalil tersebut unit keluarga I
Gusti NMM ditetapkan berhak atas tanah sawah seluas 3 ha dan
tanah kering seluas 5,400 ha. Untuk I Gusti Ngurah Made sendiri
memperoleh tanah yang letaknya di Subak Tanggulaji, pipil 159,
persil 8a, seluas 3.200 m2. Dari riwayat tanah obyek sengketa
tersebut menunjukkan bahwa obyek sengketa adalah tanah obyek
landreform. Hal yang tidak terlihat dalam kasus sengketa ini
adalah bukti adanya pembagian atas tanah yang berupa surat
keputusan dan kutipan surat keputusan pemberian hak milik yang
merupakan prosedur dan dasar penerbitan sertipikat hak milik
(dalam hal ini DL dkk);
b. Apabila tidak ada bukti kutipan surat keputusan pemberian hak
milik atas tanah, berarti bahwa berdasarkan ketentuan landreform
status tanah tersebut masih merupakan tanah dengan status hukum
tanah negara obyek landreform yang belum terbagi; dengan status
tanah yang masih merupakan tanah negara maka tergugat tidak
berwenang untuk menerbitkan sertipikat hak milik sebelum ada
keputusan pemberian hak atas tanahnya yang merupakan prosedur
hukum dan sebagai alas hak untuk dapat terbitnya sertipikat hak
milik. Berarti terdapat cacat yuridis berkaitan dengan aspek
prosedur hukum yang dilakukan tergugat dalam menerbitkan
sertipikat hak milik atas tanah obyek sengketa.

205
B. Analisis Hukum Kasus Perkara Pembatalan Sertipikat Hak Milik
Nomor 129/Desa Pemecutan Kaja
Kasus perkara yang diangkat dalam tulisan ini adalah kasus AASO,
dkk, (para penggugat) melawan Kantor Pertanahan Kota Denpasar (tergugat
I), Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (tergugat II).
Putusan Pengadilan yang terkait PTUN Denpasar Nomor Reg.
25/G/TUN/PTUN.Dps, tanggal 28 April 1999; PTTUN Surabaya Nomor
Reg. 82/B/TUN/1999/PT.TUN. SBY, tanggal 4 Agustus 1999; Putusan
MARI Nomor Reg. 370 K/TUN/1999, tanggal 2 Oktober 2001; dan PK
MARI Nomor 39 PK/TUN/2002, tanggal 17 Maret 2004. Obyek perkara
adalah tanah obyek landreform berasal dari tanah (adat) yang terkena
ketentuan undang-undang kelebihan maksimum sertipikat hak milik Nomor
129/Pemecutan Kaja, atas nama I Gusti NMM, terbit tanggal 23 Desember
1965, yang dibatalkan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Agraria/
KBPN tanggal 20 Juli 1998 No. 9-XI-1998.
Dalam kasus perkara ini persoalan hukum yang dianalisis adalah
bahwa tergugat dalam menerbitkan sertipikat hak milik atas tanah perkara
tersebut cacat hukum dalam prosedur. Hal tersebut disebabkan penerbitan
sertipikat hak atas tanah DL dkk tidak mengikuti prosedur yang ditetapkan
karena status tanahnya adalah obyek landreform; dengan demikian prosedur
hukum penerbitan sertipikatnya harus melalui Surat Keputusan Pemberian
Hak Atas Tanah atau Surat Keputusan Redistribusi dan telah memenuhi
persyaratan dan kewajiban sebagaimana ditentukan dalam surat keputusan
pemberian haknya yang kemudian dipakai sebagai alas hak dalam
penerbitan sertipikatnya. Dalam kasus ini penerbitan sertipikat atas nama
DL dkk melalui permohonan konversi sebagai aturan yang harus ditempuh
untuk mensertipikatkan hak atas tanah yang berasal dari tanah adat/yasan;
dengan kata lain permohonan sertipikat atas nama DL dkk tidak sesuai
dengan prosedur hukum yang telah digariskan sehingga membuka peluang

206
untuk diganggu gugat atas keputusan yang telah dikeluarkan berupa
sertipikat tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, pembatalan sertipikat hak atas tanah oleh
pengadilan tata usaha negara dengan alasan cacat yuridis dalam prosedur
lebih disebabkan penerbitan sertipikat hak atas tanah DL dkk tidak
mengikuti prosedur yang ditetapkan untuk tanah negara yang berasal dari
obyek landreform dimana tahapannya adalah:
1. dikeluarkannya Surat Keputusan Panitia Landreform yang
menyatakan bahwa tanah dimaksud adalah tanah yang terkena
ketentuan landreform;
2. diterbitkannya Surat Keputusan Pemberian Hak atau Surat
Keputusan Redistribusi Tanah untuk diberikan kepada penerima
hak atas tanah berdasarkan PP Nomor 224 tahun 1961 Pasal 8
(delapan) yaitu penggarap yang mengerjakan tanah tersebut;
3. setelah penerima hak menerima surat keputusan redistribusi tanah
dan telah memenuhi syarat-syarat, kewajiban dan jangka waktu
sebagaimana ditentukan dalam surat keputusan pemberian haknya,
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam hal ini Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota menerbitkan Keputusan Tata Usaha
Negara berbentuk Sertipikat hak Atas Tanah.

D. Akibat Hukum Sertipikat Hak Atas Tanah Redistribusi yang


Dibatalkan oleh Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Akibat hukum sertipikat yang dibatalkan oleh putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara merupakan kajian tentang akibat dari adanya putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara yang amar putusannya berisi pembatalan
keputusan pemberian hak atas tanah yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang diperkarakan; Dalam kasus ini keadaan
tersebut lebih disebabkan adanya kesalahan prosedur hukum dalam
keputusan pemberian hak atas tanahnya sehingga bertentangan dengan

207
undang-undang yang berlaku yang diketemukan dalam sidang pengadilan
yang dituangkan dalam pertimbangan hukumnya terkait dengan adanya
cacat hukum dalam aspek wewenang, prosedur dan substansinya sehingga
terjadi error in re atau kesalahan dalam keputusan pemberian hak atas tanah
sebagaimana yang terlihat dalam kasus perkara yang diungkap di atas.
Dalam ajaran ilmu hukum suatu keputusan adalah sah menurut
hukum (rechmatig) sehingga keputusan tersebut mempunyai kekuatan
hukum untuk dilaksanakan (rechtskracht). Sebaliknya apabila suatu
keputusan tidak memenuhi persyaratan maka menurut hukum keputusan
tersebut menjadi tidak sah (niet rechtsgeldige beschikking) yang berakibat
hukum “batal” (nietig), dapat dibatalkan” (vernietigbaar), atau batal karena
hukum (nietigheid van rechtswege). Ruang lingkup keabsahan tindak
pemerintahan meliputi wewenang, prosedur dan substansi; dengan kata lain
ketiga aspek tersebut merupakan landasan hukum untuk dapat dikatakan
suatu ketetapan atau keputusan tersebut sah menurut hukum. Aspek
wewenang dalam hal ini bahwa pejabat yang mengeluarkan ketetapan
tersebut memang mempunyai kewenangan sesuai ketentuan yang berlaku
untuk itu. Aspek prosedur, berarti bahwa keputusan tersebut dikeluarkan
sesuai dengan tatacara yang disyaratkan dan bertumpu kepada asas
keterbukaan pemerintah. Aspek substansi, menyangkut subyek dan obyek
yang tercantum dalam keputusan sehingga tidak ada “error in re”74 atau
tidak ada kesalahan.
Akibat hukum sertipikat yang dibatalkan oleh putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara harus dilihat dahulu apakah sertipikat yang dibatalkan
tersebut berkarakter deklaratif atau konstitutif. Sertipikat hak atas tanah
yang berkarakter deklaratif merupakan sertipikat hak yang lahir dari suatu
penetapan tertulis yang dikeluarkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang diberikan wewenang untuk itu. Sifat karakter deklaratif diperoleh dari

74
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada
University Press, Jogjakarta, 2005, h.83

208
ketetapan tertulis yang bersifat menegaskan karena pemegang hak atas tanah
memenuhi persyaratan administratif yang ditentukan oleh peraturan
perundangan yang berlaku; dengan kata lain, ciri khas di dalam keputusan
yang deklaratif pada hakekatnya hanya menegaskan hubungan hukum yang
pada dasarnya sudah ada. Hak kepemilikan antara subyek yang menguasai
dengan obyek (tanahnya) oleh hukum diakui keberadaannya; sehingga
keputusan deklaratif bukan syarat mutlak, dimana hubungan hukum masih
dapat dibuktikan dengan alat bukti perolehan hak kepemilikan
(keperdataan ) yang lain, sebagaimana diatur dalam PP No. 24 tahun 1997
jo PMNA/No.3 tahun 1997. Konsekuensi yuridis dari Keputusan Tata Usaha
Negara yang berkarakter deklaratif, sertipikat hak atas tanah yang
diterbitkan berfungsi sebagai tanda bukti kepemilikan. Sebaliknya, sertipikat
hak atas tanah yang berkarakter konstitutif merupakan sertipikat hak atas
tanah yang diterbitkan sebagai tanda bukti hak yang dikeluarkan oleh badan
atau pejabat tata usaha negara yang berupa ketetapan tertulis dengan tujuan
menghubungkan hubungan hukum yang sebelumnya tidak ada dan karena
ketetapan tertulis tersebut hubungan hukum menjadi ada. Ketetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara disebut “surat
keputusan” merupakan alat bukti lahirnya hubungan hukum yaitu “hak”
antara seseorang atau badan hukum sebagai pemegang hak atas tanah
dengan tanahnya. Keputusan dari badan atau pejabat tata usaha negara
tersebut merupakan alat bukti “mutlak” lahirnya sesuatu hak atas tanah; dan
atas dasar keputusan ini sesuai ketentuan PP 24 tahun 1997 merupakan
landasan yuridis lahir atau terbitnya sertipikat hak atas tanah; dengan
demikian tanpa adanya keputusan tersebut tidak mungkin terjadi hubungan
hukum antara seseorang atau badan hukum dengan tanahnya. Berdasarkan
keputusan dari badan atau pejabat tata usaha negara inilah pemegang hak
atas tanah dapat meminta diterbitkan tanda bukti haknya berupa sertipikat.
Konsekuensi yuridis dari Keputusan Tata Usaha Negara yang berkarakter

209
konstitutif, sertipikat hak atas tanah yang diterbitkan berfungsi sebagai
tanda bukti kepemilikan.
Sesuai dengan konstruksi hukum dari sertipikat yang berkarakter
yuridis yang bersifat konstitutif ini, bilamana terjadi sengketa maka
sebagaimana hukum acara yang diatur dalam UU Nomor 5 tahun 1986 jo
UU Nomor 9 tahun 2004, merupakan wilayah hukum dari Peradilan Tata
Usaha Negara, seperti yang terlihat dari kasus-kasus yang ada. Di dalam
kasus-kasus sengketa tersebut yang menjadi obyek gugatan dan dasar
putusan dari Pengadilan Tata Usaha Negara adalah keabsahan dari Surat
Keputusan Pemberian hak atas tanah yang diterbitkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang berfungsi sebagai bukti perolehan hak atas
tanah dalam hal ini sertipikat hak atas tanah.
Dalam kasus sengketa yang diputus oleh Pengadilan Tata Usaha
Negara di dalam putusan dinyatakan bahwa bukti perolehan hak
kepemilikan atas tanah terbukti dalam pertimbangan hukumnya
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku karena
adanya error in re berhubungan dengan salah satu aspek wewenang,
prosedur atau substansi. Akibat hukumnya bukti perolehan hak atas tanah
yang berupa surat keputusan pemberian hak atas tanah menjadi tidak sah
atau batal yang dalam wujudnya berupa Sertipikat Hak Atas Tanah. Adanya
pembatalan terhadap bukti kepemilikan hak atas tanah maka isu hukumnya
adalah bagaimana dengan status hukum dari sertipikat hak atas tanahnya.
Sebagaimana yang dikemukakan bahwa konstruksi hukum suatu
keputusan konstitutif adalah hubungan hukum antar subyek dan obyek
(tanah) baru akan terbangun dan sah menurut hukum manakala adanya
keputusan konstitutif. Dengan kata lain secara a contrario bilamana
hubungan hukum tersebut dicabut maka sudah barang tentu obyeknya akan
kembali kepada keadaan semula sebelum adanya keputusan tersebut,
Dengan kata lain bahwa cirri khas karakter keputusan yang bersifat
konstitutif, berfungsi sebagai jembatan lahirnya suatu hubungan hukum

210
yang secara yuridis sebelumnya dianggap oleh hukum belum ada antara
subyek hukum dengan obyeknya dalam hal ini adalah tanah; dengan kata
lain bahwa sifat hubungan hukum yang ada antara subyek dan obyeknya
menurut hukum hanya terbatas berupa hubungan fisik, atau hubungan
penguasaan. Hubungan hukum antara subyek dan obyek baru terjadi dengan
adanya dengan adanya suatu perbuatan atau tindakan hukum dari Badan dan
Pejabat Tata Usaha Negara yakni Keputusan Tata Usaha Negara yang
berupa Surat Keputusan pemberian hak atas tanah, berdasarkan surat
keputusan tersebut berfungsi sebagai instrumen bukti kepemilikan hak atas
tanah dan sekaligus sebagai dasar alas hak untuk dapatnya terbit sertipikat
hak kepemilikan atas tanah yang merupakan perwujudan dari keputusan
Tata Usaha Negara, berfungsi sebagai tanda bukti dan alat bukti
kepemilikan hak atas tanah. Pengaturan perolehan hak kepemilikan atas
tanah yang lahir dari keputusan konstitutif diatur dalam beberapa peraturan
perundangan antara lain: Keppres Nomor 32 tahun 1979, PMDN Nomor 5
tahun 1973 jo PMDN Nomor6 tahun 1972, yang selanjutnya dicabut oleh
PMNA/KBPN Nomor 9 tahun 1999 jo PMNA/KBPN Nomor 3 tahun 1999.
Keseluruhan peraturan tersebut diatas materinya mengatur ketentuan hukum
mengenai penguasaan, peruntukan, penggunaan, pemanfaatan atas tanah
yang dikuasai oleh negara secara langsung atau tanah-tanah negara.
Melihat konstruksi hukum dari karakter sertipikat hak atas tanah yang
bersifat konstitutif dan dengan mengingat peraturan hanya dimungkinkan
bahwa hak milik atas tanah yang berdasarkan pada Keputusan Tata Usaha
Negara yang bersifat konstitutif berasal dari tanah-tanah yang tidak atau
belum dilekati oleh suatu hak atas tanah di atasnya. Dalam pengertian
hukum tanah (UUPA) adalah tanah-tanah berstatus hukum tanah yang
dikuasai langsung oleh negara atau biasa disebut dengan “Tanah Negara”.
Dengan demikian berdasarkan ketentuan hukum dan ajaran hukum tersebut
maka dengan dibatalkannya keputusan pemberian hak atas tanah yang
berupa sertipikat maka sebagai konsekuensi yuridis status hukum dari tanah

211
yang dikuasai oleh subyek hukum berdasarkan keputusan Tata Usaha
Negara tersebut berubah, kembali kepada bentuk status hukum semula
sebelum terbit keputusan Tata Usaha Negara, yakni merupakan tanah yang
dikuasai langsung oleh negara atau disebut juga tanah negara. Dengan kata
lain dapat disimpulkan bahwa akibat hukum adanya pembatalan sertipikat
hak atas tanah oleh Pengadilan Tata Usaha Negara berakibat pada batalnya
keputusan pemberian hak yang berupa sertipikat hak atas tanah dan
berakibat hukum juga terhadap status hukum terhadap obyek haknya.
Merujuk uraian di atas yang perlu ditelusuri terlebih dahulu apakah
sertipikat yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional dalam penelitian ini
berkarakter deklaratif atau konstitutif. Setelah ada kejelasan maka dapat
diketahui akibat hukum atas terjadinya pembatalan sertipikat tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, keputusan yang dikeluarkan Badan
Pertanahan Nasional (BPN) merupakan keputusan yang sah mengikat
apabila memenuhi ketiga aspek hukum; pertama, BPN merupakan Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang diberikan wewenang untuk
menerbitkan keputusan pemberian hak atas tanah; kedua, dalam
menerbitkan Surat Keputusan yang menjadi dasar terbitnya sertipikat hak
atas tanah sudah sesuai prosedur; ketiga, sudah sesuai dengan substansi
yang menjadi dasar terbitnya sertipikat hak atas tanah dalam kaitannya
dengan subyek, obyek, maksud dan tujuan. Sebaliknya, pembatalan
keputusan dapat dilakukan apabila salah satu aspek hukum di atas tidak
terpenuhi.
Dalam Pasal 53 ayat (2) UU. Nomor 5 tahun 1986 dirumuskan alasan
gugatan dan sekaligus pengujian oleh hakim pengadilan terhadap keputusan
Tata usaha Negara (KTUN) sebagai berikut:
(1) seseorang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha
negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan
yang berwenang yang berisi tuntutan agar keputusan tata usaha

212
negara itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau disertai
tuntutan ganti rugi dan atau direhabilitasi;
(2) alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:
a. keputusan tata usaha negara yang digugat itu
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
b. badan atau pejabat tata usaha negara pada waktu
mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan
lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut;
c. badan atau pejabat tata usaha negara pada waktu
mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan
sebagaimana dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan
semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu
seharusnya tidak sampai pada pengambilan keputusan
tersebut.

Berdasarkan ketentuan di atas, keputusan tata usaha negara dapat


digugat dalam hal; pertama, bahwa keputusan tata usaha negara tersebut
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam
penjelasan diuraikan:
1. keputusan tata usaha negara itu bertentangan dengan ketentuan-
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat
prosedural atau formal;
2. bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang bersifat material atau substansi;
3. keputusan tata usaha negara dikeluarkan oleh badan atau pejabat
tata usaha negara yang tidak berwenang; dan apabila dikaitkan
dengan kompetensi jabatan maka ada tiga macam bentuk tidak
berwenang (onbevoegdheid) yaitu: onbevoegdheid ratione
materiae (kompetensi absolut), onbevoegdheid ratione loci
(kompetensi relatif) dan onbevoegdheid ratione temporis (tidak
berwenang dari segi waktu).

213
Kedua, badan atau pejabat tata usaha negara pada waktu
mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah
menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya
wewenang yang disebut “penyalahgunaan wewenang” (de tournament de
pouvoir). Alasan yang dikemukakan dalam penjelasan otentik ini dalam
praktik sulit dibuktikan karenanya jarang digunakan.
Kalau kita kaitkan dengan alasan butir (a) kiranya dasar ini dalam
gugatan dapat saja dikatakan bahwa KTUN yang dikeluarkan itu
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengalaman di negeri Belanda dengan AROB nya menunjukkan
bahwa dasar ini jarang sekali digunakan karena sulit pembuktiannya.
Oleh karena itu dalam gugatan sering menggunakan dasar seperti
tersebut dalam butir 3.75

Ketiga, dalam penjelasan pasal ini menyatakan bahwa dasar


pembatalan sering disebutkan “larangan berbuat sewenang-wenang
(willekeur) merupakan konsep yang sulit diukur. Philipus M. Hadjon
menjelaskan:
Dewasa ini dalam perundang-undangan di Belanda konsep willekeur
digeser oleh konsep “kennelik onredelijk” yang lebih operasional
sehingga terukur. Dalam rumusan Pasal 53 ayat (2) huruf c tersebut
operasional penjelasan yang mengartikan rumusan itu sebagai
“larangan berbuat sewenang-wenang justru membuat rumusan yang
operasional–terukur menjadi sulit/tidak terukur. Kalau kita bandingkan
dengan ketentuan Wet AROB di Belanda, nampaknya ada kesamaan
untuk huruf a,b,c, sedangkan huruf d tidak terdapat dalam Pasal 53
ayat 2.76

Pada awal perkembangan di bidang pertanahan, pemberian hak atas


tanah yang berasal dari obyek landreform ada pada Menteri Agraria.
Penjelasan di atas didasarkan Keputusan Menteri Agraria Nomor SK.
112/Ka/61, tentang Pembagian Tugas Wewenang Agraria, bahwa
wewenang pemberian hak milik atas tanah negara ada pada Menteri Agraria.
Dalam Pasal 14 ayat (3) PP No. 224 tahun 1961 ditegaskan pula bahwa:
75
Philipus M. Hadjon (4), Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada
University Press, Jogjakarta, 1997, h. 327
76
Philipus M. Hadjon, Ibid, 327

214
pemberian hak milik tersebut pada ayat 2 pasal ini dilakukan dengan Surat
Keputusan Menteri Agraria atau pejabat yang ditunjuk olehnya dan
seterusnya. Sebaliknya, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian dan
Agraria Nomor SK. XIII/17/Ka/1962 (TLN. No. 2512) tentang Penunjukan
Pejabat yang dimaksudkan dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor
224 tahun 1961, menetapkan penyimpangan dari ketentuan PMA Nomor
SK. 112/Ka/1961, yang menunjuk pada Kepala Inspeksi Agraria sebagai
Pejabat Tata Usaha Negara yang diberi wewenang memberikan hak milik
atas tanah dalam rangka pelaksanaan landreform, sebagaimana dimaksudkan
dalam Pasal 14 PP Nomor 224 tahun 1961; dengan kata lain ada
pendelegasian wewenang. Dalam penetapan kedua, huruf b :
Pemberian hak milik kepada petani yang mendapat pembagian tanah
disatu daerah tingkat II dilakukan bersama dalam satu surat keputusan.
Pemberian kutipan dapat dilakukan oleh Kepala Agraria Daerah.

Kata “dapat” dalam ketentuan ini bisa diartikan dapat dilakukan oleh
Kepala Inspeksi atau bisa juga dilimpahkan kepada Kepala Kantor Agraria
Daerah, dimana kutipan surat keputusan ini merupakan tanda bukti bagi
penerima hak milik atas tanah negara obyek landreform. Atas dasar surat
keputusan pemberian hak milik tersebut para pemegang hak milik setelah
memenuhi syarat dan kewajiban yang ditentukan dalam PP Nomor 224
tahun 1961 diwajibkan mendaftarkan hak miliknya tersebut. Dalam
perkembangan di bidang pertanahan dewasa ini karena adanya perubahan
struktur organisasi tugas dan wewenang dari badan atau pejabat tata usaha
negara sebagaimana diatur berdasarkan PMNA/KBPN Nomor 3 tahun 1999,
kewenangan tersebut didelegasikan kepada Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota setempat, termasuk pendaftaran hak milik atas tanahnya.
Selanjutnya dalam peraturan perundang-undangan alasan yang
menjadi dasar gugatan apabila keputusan Tata Usaha Negara tersebut
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, penyalahgunaan
wewenang, sewenang-wenang, dan bertentangan dengan asas-asas umum

215
pemerintahan yang baik, Sebagaiman diatur dalam Pasal 53 (1) UU Nomor
5 tahun 1986 jo. UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU
Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
E. Kesimpulan
1. Tidak diikutinya prosedur hukum pemberian hak atas tanah obyek
landreform merupakan salah satu dasar bagi peradilan tata usaha
negara untuk membatalkan sertipikat hak atas tanah disebabkan
badan atau pejabat tata usaha negara telah melakukan perbuatan
hukum mengeluarkan keputusan yang bersifat “salah prosedur”
dalam penerbitannya, dalam artian keputusan badan atau pejabat
tata usaha negara bertentangan dengan perundang-undangan yang
berlaku. Ditemukannya kesalahan prosedur menjadi dasar atau
alasan pengadilan dalam putusannya untuk menyatakan “batal”
(nietig) atas keputusan tersebut.
2. Akibat hukum sertipikat hak atas tanah redistribusi yang dibatalkan
oleh putusan pengadilan tata usaha negara yang di dalam putusan
dinyatakan bahwa bukti perolehan hak kepemilikan atas tanah
terbukti bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku karena adanya salah prosedur berakibat bukti perolehan
hak atas tanah yang berupa surat keputusan pemberian hak atas
tanah atau sertipikat hak atas tanah redistribusi tersebut menjadi
tidak sah atau batal. Dibatalkannya keputusan pemberian hak atas
tanah yang berupa sertipikat maka sebagai konsekuensi yuridis
status hukum dari tanah yang dikuasai oleh subyek hukum
berdasarkan keputusan tata usaha negara tersebut berubah, kembali
kepada bentuk status hukum semula yakni merupakan tanah yang
dikuasai langsung oleh negara atau disebut juga tanah negara.

F. Saran

216
1. Setiap pembuatan keputusan tata usaha negara harus dilakukan
sesuai dengan prosedur yang telah digariskan. Apabila ketentuan
mengenai prosedur hukum tidak mendapat perhatian oleh Badan
atau pejabat tata usaha negara, akan berakibat dapat diganggu gugat
atas keputusan yang telah dikeluarkan.
2. Mengingat status tanah redistribusi tersebut menjadi tanah yang
dikuasai langsung oleh negara atau disebut juga tanah negara, maka
pengajuan pensertipikatan tanah redistribusinya harus melalui
tahapan; pertama, dikeluarkannya Surat Keputusan Panitia
Landreform yang menyatakan bahwa tanah dimaksud adalah tanah
yang terkena ketentuan landreform; kedua, diterbitkannya Surat
Keputusan Pemberian Hak atau Surat Keputusan Redistribusi Tanah
untuk diberikan kepada penerima hak atas tanah berdasarkan PP
Nomor 224 tahun 1961 Pasal 8 (delapan) yaitu penggarap yang
mengerjakan tanah tersebut; ketiga, setelah penerima hak menerima
surat keputusan redistribusi tanah dan telah memenuhi syarat-syarat,
kewajiban dan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam surat
keputusan pemberian haknya, Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara dalam hal ini Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara berbentuk Sertipikat hak
Atas Tanah.
3. Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah Oleh Peradilan Tata Usaha
Negara Dengan Alasan Cacat Substansi

Latar Belakang
Pembatalan sertipikat hak atas tanah oleh peradilan tata usaha negara
dengan alasan cacat substansi adalah pembatalan keputusan penerbitan
sertipikat hak atas tanah yang dikeluarkan badan atau pejabat tata usaha
negara yang diketahui ada kesalahan substansial sehingga bertentangan
dengan perundangan yang berlaku. Kesalahan yang bersifat substansial

217
berarti suatu kesalahan yang bersifat pokok dalam penerbitan keputusan
pemberian hak atas tanah yang menjadi dasar terbitnya sertipikat hak.
Dalam konsep hukum administrasi, salah satu aspek penting sahnya suatu
keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara
adalah aspek substansi seperti subjek, objek, isi dan tujuannya. Lingkup
substansial berhubungan dengan isi dan tujuan sebagaimana isi dan tujuan
peraturan dasar tidak bertentangan dengan peraturan perundangan lain
ataupun peraturan yang lebih tinggi dalam penerbitan keputusan atau
ketetapan tersebut. Soehino menjelaskan:
isi serta tujuan ketetapan administrasi harus sesuai dan isi serta tujuan
peraturan yang memuat aturan-aturan hukum inabstrakto dan
unpersonal yang menjadi dasar hukum, serta memberi wewenang
khusus kepada alat perlengkapan administrasi negara untuk dapat
melakukan suatu perbuatan hukum yang berupa pembentukan aturan
hukum inkonkrito terhadap hal-hal atau keadaan konkret77.
Dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon bahwa salah satu aspek sahnya
suatu keputusan atau ketetapan yang dikeluarkan badan atau pejabat tata
usaha negara adalah aspek substansif, artinya obyek keputusan tidak ada
error in re78. Jika ternyata terbukti adanya error in re maka sesuai
ketentuan Pasal 53 ayat 2 UU Nomor 5 tahun 1986 jo. UU Nomor 51
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, keputusan dibatalkan karena bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Merujuk uraian di atas, dengan menggunakan metode penelitian
normatif, hasil penelitian ini berupaya mengungkap dan menganalisis
pembatalan sertipikat hak atas tanah oleh peradilan tata usaha negara
dengan alasan cacat yuridis berkaitan dengan aspek substansi.
Bertitik-tolak dari uraian di atas, isu hukum nya “apakah pengadilan
dalam memutus perkara ini telah mempertimbangkan aspek substansi
77
Soehino, Asas-Asas Hukum Tata Usaha Negara, Liberty, Jogjakarta, 2000, h. 119.
78
Philipus M. Hadjon, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada
University Press, Jogyakarta, 2006, h.83.

218
terbitnya keputusan yang menjadi dasar terbitnya sertipikat hak atas tanah
yang menjadi obyek perkara”.
Analisis Hukum
Kasus perkara hak pakai nomor 39/ kel. Drm.
Berkaitan dengan pembatalan sertipikat hak atas tanah oleh
pengadilan tata usaha negara dengan alasan adanya cacat substansi, topik
kajiannya adalah studi kasus perkara penerbitan sertipikat hak pakai nomor
39/Kel. Drm. Pokok perkaranya adalah: penggugat mendalilkan menguasai
obyek perkara berdasarkan jual beli dari pengurus yayasan pengelola
berdasarkan akta otentik (Notaris-PPAT) tahun 1989. Tergugat menerbitkan
sertipikat hak pakai atas tanah obyek perkara atas nama Pemerintah Daerah,
dimana sebagian dari luas tanah obyek perkara yang diterbitkan sertipikat
hak pakai tersebut adalah tanah yang dikuasai oleh penggugat yang
diperolehnya berdasarkan jual beli dengan yayasan pengelola tanah obyek
perkara. Adapun pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan
pengadilan adalah bahwa surat keputusan tata usaha negara in litis tidak
sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya, oleh karenanya menjadi cacat
hukum melanggar asas kecermatan dan asas pertimbangan dari asas-asas
umum pemerintahan yang baik. Kasus perkara antara PT. SKA dalam hal ini
selaku penggugat melawan Kepala Kantor Pertanahan Kota Surabaya selaku
tergugat. Putusan yang terkait dengan kasus perkara ini adalah putusan
PTUN Nomor Reg. 34/PUT.TUN/1995/PTUN.Sby tanggal 31 Agustus
1995; PTTUN Nomor Reg.90/B/1995/PT.TUN.Sby tanggal 25 Januari
1996; Putusan MARI tanggal Nomor reg. 165 K/TUN/1996, tanggal 28
Oktober 1999; dan PK Nomor Reg. 23 PK/TUN/2001 tanggal 29 Mei 2002.
Obyek perkara adalah tanah negara berstatus bekas tanah eigendom, tercatat
atas nama de stade Gemeente Soerabaja (sic), bersertipikat hak pakai No.
39/Kel. Drm, atas nama Pemerintah Daerah setempat yang terbit
berdasarkan Keputusan Pemberian Hak Pakai atas tanah negara yang
diterbitkan oleh tergugat.

219
Posisi kasus, dalam fundamentum petendi pada pokoknya penggugat
mendalilkan adalah pemilik sah atas bangunan seluas ± 3500m2 yang
berdiri di atas sebidang tanah seluas ± 7.500m2 berdasarkan akta jual beli
tanggal 25 Mei 1989 Nomor 32 dan diperbaiki berdasarkan akta rektifikasi
tanggal 11 Mei 1995 Nomor 6 dari yayasan pengelola tanah obyek perkara.
Bahwa pada saat transaksi jual beli tanggal 25 Mei 1989 pihak penjual
menyatakan bahwa tanah dimana gedung tersebut berdiri statusnya adalah
Hak Pakai Nomor 17, namun kemudian dilakukan pembetulan berdasarkan
akta tanggal 11 Mei 1995 Nomor 6 karena pada kenyataannya saat terjadi
jual beli tanah a quo statusnya adalah tanah negara bekas eigendom Nomor
12324; Bahwa pada tahun 1993 terbit sertipikat hak pakai nomor 39/Kel.
Drm atas nama Pemerintah Daerah setempat seluas 25.780 m2 berdasarkan
surat keputusan tergugat I tanggal 10 Mei 1995 Nomor 070/HP/35/1993.
Bahwa tergugat I dan II dalam menerbitkan keputusan tata usaha negara
aquo jelas bertentangan dengan Keppres Nomor 32 tahun 1979 jo. PMDN
Nomor 3 tahun 1979 dan PMDN Nomor 5 tahun 1973 dengan alasan bahwa
status hukum obyek sengketa adalah tanah eigendom bukan tanah partikelir
maka menurut penggugat penerbitan sertipikat hak pakai cacat hukum baik
prosedural maupun subtansial, serta tidak mempertimbangkan kepentingan
yang tersangkut yaitu hak prioritas penggugat selaku penghuni atau pemilik
gedung dan tidak pernah memberitahukan adanya proses penerbitan
sertipikat, tidak minta izin pada saat pengukuran, tidak diumumkan;
karenanya bertentangan dengan Pasal 53 ayat 2 huruf a dan b UU Nomor 5
tahun 1986 sebatas mengenai tanah seluas ± 7.500 m2 yang dikuasai
penggugat. Berdasarkan dalil-dalil gugatan tersebut maka penggugat dalam
petitum gugatannya memohon agar pengadilan memutuskan yang pada
pokoknya: menyatakan surat keputusan pemberian hak pakai tidak sah dan
batal demi hukum sebatas tanah yang dikuasai penggugat seluas ± 7.500m2
karena bertentangan dengan Keppres Nomor 32 tahun 1979 jo. PMDN
Nomor 3 tahun 1979 dan PMDN Nomor 5 tahun 1973; dan menyatakan

220
sertipikat hak pakai atas nama Pemerintah Daerah, surat ukur tanggal 11
April 1991 Nomor 259/S/1991 luas 25.780m2 tidak sah dan batal demi
hukum sebatas tanah seluas ± 7.500m2 yang dikuasai penggugat.
Dalam pertimbangan hukumnya pengadilan tata usaha negara
berpendapat yang pada pokoknya: bahwa peralihan perpindahan dan
penyerahan yayasan pengelola obyek perkara berdasarkan pada akta notaris
tanggal 25 Mei 1989 Nomor 32 dan akta tanggal 11 Mei 1995 Nomor 6 atas
tanah seluas 7.500 m2 yang merupakan sebagian dari sebidang tanah negara
bekas eigendom verponding Nomor 12324; Bahwa dengan fakta-fakta di
atas sudah cukup meyakinkan kalau pertimbangan surat keputusan tata
usaha negara in litis tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya, oleh
karenanya menjadi cacat hukum melanggar asas kecermatan dan asas
pertimbangan/motivasi dari asas-asas umum pemerintahan yang baik;
menimbang bahwa surat keputusan tergugat I dan revisinya cacat hukum
maka surat keputusan in litis harus dibatalkan; dan karenanya sertipikat hak
pakai yang diterbitkan oleh tergugat II berdasarkan surat keputusan tergugat
I harus dibatalkan maka sertipikat hak pakai sebatas seluas 7.500 m2 yang
dikuasai oleh penggugat harus dinyatakan batal pula; Berdasarkan
pertimbangan hukum tersebut pengadilan tata usaha negara Surabaya
dengan Putusannya, No.Reg. 34/ PUT.TUN/1995/PTUN. SBY, tanggal 31
Agustus 1995, dalam amar putusan pada pokoknya: menyatakan batal surat
keputusan tergugat mengenai pemberian hak pakai kepada Pemerintah
Daerah setempat sebatas untuk seluas 7.500 m2 yang dikuasai penggugat;
dan menyatakan batal sertipikat obyek perkara atas nama Pemerintah
Daerah setempat, surat Ukur tanggal 11 April 1991 Nomor 259/S/1991
sebatas luas 7.500 m2 yang dikuasai oleh penggugat;
Dalam tingkat banding Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
menguatkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara sebelumya,
sebagaimana dalam putusan PTTUN Surabaya Nomor Reg. 90/B/1995/
PTTUN. SBY tanggal 31 Agustus 1995 yang menyatakan pada pokoknya

221
menguatkan putusan PTUN tanggal 31 Agustus 1995 Nomor 34/PUT.TUN/
1995/PTUN. Sby.
Dalam tingkat Kasasi Mahkamah Agung dalam pertimbangan
hukumnya berpendapat sebaliknya dengan Pengadilan Tata Usaha Negara
dan Pengadilan Tata Tinggi Usaha Negara, sebagai berikut: jual beli
bangunan antara penggugat dengan yayasan pengelola harus ditafsirkan
tidak meliputi hak atas tanah, karena berdasarkan asas pemisahan hak tanah
yang dianut hukum agraria, pemilik bangunan belum tentu pemilik tanah;
sejak semula tanah ex eigendom tersebut adalah milik pemerintah, yang
setelah tanggal 24 september 1960 sebagai bekas pemegang hak atas tanah
mempunyai hak prioritas untuk mengajukan permohonan hak atas tanah,
sedang penggugat tidak mengajukan permohonan hak atas tanah.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas maka sertipikat hak pakai
atas nama Pemerintah Daerah setempat yang telah diterbitkan oleh tergugat
ternyata tidak bertentangan dengan hukum karena Pemerintah Daerah
setempat sebagai pemohon hak atas tanah dari bekas hak atas tanah barat
yang langsung dikuasai negara mempunyai hak prioritas karena berstatus
sebagai bekas pemegang hak atas tanah barat dan tergugat sebagai pejabat
yang berwenang sudah memproses permohonan sesuai ketentuan hukum
yang berlaku, sedangkan penggugat sekedar pemilik gedung/bangunan saja.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut maka dalam Putusan MARI No.
Reg. 165 K/TUN/1996, tanggal 28 Oktober 1999, dalam amar putusan pada
pokoknya: mengabulkan permohonan kasasi dan membatalkan putusan
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang menguatkan Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara Sby.
Dalam peninjauan kembali Mahkamah Agung dalam pertimbangan
hukumnya menguatkan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan
kasasi MARI Nomor Reg. 165 K/TUN/1996 tanggal 28 Oktober 1999.
Mahkamah Agung dalam Peninjauan Kembali berpendapat bahwa, terdapat
kekeliruan hukum yang nyata yaitu pertimbangan Pemerintah Daerah Sby

222
sebagai pemohon hak baru atas tanah bekas hak barat yang langsung
dikuasai negara mempunyai hak prioritas karena sebagai bekas pemegang
hak atas tanah barat dan tergugat sebagai pejabat yang berwenang sudah
memproses permohonan sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Pertimbangan yang bertentangan dengan Keppres Nomor 32 tahun 1979
dan PMDN Nomor 3 tahun 1979 dan PMDN Nomor 5 tahun 1973 adalah
sesuai dengan peraturan tersebut yang harus diberikan prioritas untuk
mengajukan permohonan hak kepada Badan Pertanahan Nasional adalah
orang atau badan hukum yang secara de facto menguasai persil/tanah
tersebut dalam hal ini adalah pemohon Peninjauan Kembali apalagi ternyata
pemohon Peninjauan Kembali sudah memiliki bangunan di atas tanah
tersebut yaitu berupa Gedung Olah Raga;
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Putusan Peninjauan
Kembali MARI Nomor Reg. 23.PK/TUN/2001, tanggal 2 Mei 2002 dalam
amar putusannya mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali dari
pemohon penggugat asal dan membatalkan putusan MARI tanggal 28
Oktober 1999 Nomor 165K/TUN/1996 yang membatalkan putusan PTTUN
tanggal 25 Januari 1996 Nomor 90/B/1995/PT.TUN. Sby yang menguatkan
Putusan PTUN tanggal 31 Agustus 1995 Nomor 34/G.TUN/1995/PTUN.
Sby; menyatakan batal Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur tanggal 10 Pebruari 1993 Nomor
070/HP/35/1993 mengenai pemberian hak pakai kepada Pemerintah Daerah
setempat sebatas luas 7.500 m2 yang dikuasai oleh penggugat asal; serta
menyatakan batal sertipikat hak pakai obyek perkara atas nama Pemerintah
Daerah Sby, surat ukur tanggal 11 April 1991 Nomor 259/S/1991 sebatas
luas 7.500 m2 yang dikuasai penggugat;
Pengaturan tanah negara bekas eigendom verponding nomor 12324.
tercatat atas nama de stade (sic) gemeente surabaja .
Istilah tanah negara dalam konteks peraturan perudang-undangan
pertanahan merupakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Makna

223
yang terkandung di dalamnya adalah tanah-tanah yang di atasnya tidak
dilekati oleh sesuatu hak atas tanah. Dalam konsep hukum tanah yang
dikuasai langsung oleh negara disebut “tanah negara” dan dapat ditemukan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1953 (LN. 1953 No. 14)
tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara. Di dalam Pasal 1 dari Peraturan
pemerintah ini menetapkan bahwa yang dimaksud dengan istilah tanah
negara adalah tanah yang dikuasai penuh oleh negara (Pasal 1a). Sesudah
berlakunya UUPA, istilah tanah negara ini diganti menjadi tanah yang
dikuasai langsung oleh negara. Hal ini berdasarkan pertimbangan politik
hukum yang ada pada saat itu. Dijelaskan di dalam penjelasan umum UUPA
bahwa Negara Republik Indonesia berpendirian bukanlah pemilik tanah.
Negara adalah organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat atau bangsa
bertindak sebagai badan penguasa yang diberikan wewenang untuk
mengelola asset bangsa yang berupa sumberdaya alam termasuk tanah.
Sesuai dengan pendirian tersebut maka perkataan “menguasai“ lebih tepat
dari pada “memiliki”. Sehingga pengertian tanah negara bukan tanah milik
(domein) negara, akan tetapi tanah yang dikuasai negara atau disebut juga
tanah negara.
Dilihat dari terjadinya atau asal usulnya, keberadaan tanah negara ini
dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis. Setiap jenis tanah negara
mempunyai sifat karakter yuridis yang berbeda-beda. Pertama, tanah
negara bebas (vrij lands domein), tanah negara jenis ini merupakan tanah
negara sejak dari semula belum ada hak atas tanah yang melekat di atasnya;
misalnya tanah-tanah hutan belantara, tanah “timbul” atau tanah muncul
yang berasal dari endapan lumpur baik dipantai maupun di sungai-sungai
(aanslibing); Kedua, tanah negara bekas hak, yaitu tanah-tanah negara yang
berasal dari tanah-tanah yang semula ada hak yang melekat di atasnya
disebabkan karena adanya suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu,
bisa karena pencabutan, pembebasan, pelepasan menjadi tanah negara.
Dalam Pasal 11, Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1953 ditetapkan

224
bahwa untuk tanah yang dikuasai oleh departemen tertentu yang berasal dari
pembebasan (pembelian) apapun haknya semula, menjadi tanah negara yang
kemudian dimohonkan haknya oleh departemen yang bersangkutan.
Ketetapan Pasal 11 sebagai berikut:
Tanah-tanah yang dibeli atau dibebaskan dari hak rakyat oleh suatu
departemen, jawatan atau daerah swatantra dalam rangka
menyelenggarakan/ pelaksanaan kepentingannya menjadi “Tanah
Negara” pada saat terjadinya pembelian/pembebasan tersebut, dalam
arti bahwa penguasaan atas tanah tersebut ada pada Menteri Dalam
Negeri dan oleh Menteri Dalam Negeri akan diserahkan kepada
departemen yang bersangkutan.

Pasal 18 UUPA merupakan ketentuan hukum pencabutan hak atas


tanah yang dipunyai baik seseorang maupun badan hukum yang dilakukan
oleh negara untuk kepentingan umum. Sehingga dengan adanya pencabutan,
maka tanah tersebut menjadi tanah negara, penjelasan di atas sesuai dengan
ketentuan Pasal 18:
Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara
serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat
dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara
yang diatur dengan Undang–undang.
Ketiga, tanah negara yang karena ketentuan hukum menjadi tanah
yang dikuasai langsung oleh negara atau menjadi tanah negara. Model tanah
negara jenis ini dapat ditemukan dalam Undang-Undang Darurat Nomor 8
tahun 1954 (LN. 1954 Nomor 65) tentang penyelesaian soal pemakaian
tanah-tanah perkebunan oleh rakyat. Undang-Undang Darurat ini menjadi
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1961 (LN. 1961, Nomor 3). Di dalam
undang-undang ini mengatur tanah-tanah perkebunan yang diduduki oleh
rakyat pada masa kemerdekaan. Berdasarkan undang-undang ini bagian-
bagian perkebunan yang telah diduduki rakyat harus dilepaskan oleh
pemegang haknya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Ketentuan Pasal 7:
(1) dengan tidak menunggu selesainya soal penetapan penggantian
kerugian termaksud dalam Pasal 10, maka sejak tanggal surat

225
keputusan bersama tersebut pada Pasal 5,6, dan 9, tanah
perkebunan yang soalnya telah diselesaikan menurut ketentuan
dalam Pasal 7 ataupun yang haknya telah dibatalkan atau dicabut
menurut ketentuan dalam Pasal 9 menjadi tanah negara, bebas
dari segala hak yang membebaninya.
(2) Tanah perkebunan yang telah menjadi tanah negara yang bebas
tersebut di atas dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada rakyat
dan penduduk yang memenuhi syarat, menurut ketentuan yang
diadakan oleh Menteri Agraria.
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1958 (LN 1958 Nomor 2) tentang
Penghapusan tanah Partikelir, mengatur penghapusan tanah-tanah partikelir,
dimana di dalamnya masuk tanah hak eigendom yang luasnya melebihi 10
Bouw milik perorangan atau badan usaha. Tanah-tanah tersebut hapus demi
hukum dan menjadi tanah negara, di dalam Pasal 3 ditentukan:
Sejak mulai berlakunya undang-undang ini demi kepentingan umum
hak-hak pemilik beserta hak-hak pertuanannya atas semua tanah-tanah
partikelir hapus dan tanah-tanah bekas tanah partikelir itu karena
hukum seluruhnya serentak menjadi tanah negara.
Di dalam Undang-Undang Nomor 86 tahun 1958 (LN 1958, No. 162)
tentang nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda yang berada di
dalam wilayah Republik Indonesia. Di dalam Pasal 1 ditentukan bahwa:
perusahaan-perusahaan Belanda yang berada di wilayah Republik Indonesia
yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah dikarenakan
nasionalisasi, dinyatakan menjadi milik penuh Negara Republik Indonesia.
Ketentuan Pasal 21 ayat 3 jo Pasal 27 UUPA mengatur jangka waktu hak
milik atas tanah yang dipunyai oleh warga negara asing harus dilepaskan
kepada yang lebih berhak yaitu Warga Negara Indonesia. Jika tidak
dilakukan maka tanahnya demi hukum menjadi tanah yang dikuasai negara.
Ketentuan tersebut sebagai berikut:
Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-Undang ini
memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau
percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga Negara
Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-
Undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu
didalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau

226
hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut
lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena
hukum dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-
hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.
Pasal 34 dan 40 UUPA mengatur hapusnya hak guna usaha dan hak
guna bangunan yaitu pada waktu haknya telah berakhir, dengan berakhirnya
hak tersebut maka tanahnya menjadi tanah negara kecuali dilakukan
perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan haknya oleh bekas
pemegang haknya. Pasal III ayat (2) Ketentuan Konversi UUPA, pengaturan
tentang hak erfpacht untuk pertanian kecil menjadi hapus menjadi tanah
negara, ketentuan Pasal III:
Hak erfpacht untuk pertanian kecil yang ada pada mulai berlakunya
Undang-Undang ini, sejak saat tersebut hapus dan selanjutnya
diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan yang diadakan oleh Menteri
Agraria.
Di dalam Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1979 tentang pokok-
pokok kebijaksanaan dalam rangka pemberian hak baru atas tanah asal
konversi hak barat. Keputusan ini mengatur mengenai tanah bekas hak barat
yang dikonversi menurut ketentuan konversi UUPA sejak 24 september
1980 berakhir jangka waktu haknya, dinyatakan sebagai tanah yang dikuasai
langsung oleh negara. Di dalam Pasal 1 ini mengatur hak-hak yang oleh
ketentuan konversi diubah haknya menjadi hak menjadi hak lain. Pertama,
hak eigendom yang disebabkan tidak memenuhi syarat penegasan
konversinya sebagaimana diatur dalam PERMENAG. Nomor 2 tahun 1960
diubah menjadi hak guna bangunan untuk perumahan atau hak guna usaha
untuk tanah pertanian, dengan jangka waktu selama 20 tahun. Pasal 1
menetapkan:
Tanah hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai asal
konversi hak barat yang menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 5
tahun 1960 berakhir masa berlakunya selambat-lambatnya pada
tanggal 24 september 1980, pada saat berakhirnya hak yang
bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

227
Merujuk uraian di atas, terlihat bahwa kontruksi hukum tanah negara
atau tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dapat dibedakan tanah
negara yang bebas maupun yang berasal dari tanah-tanah yang sebelumnya
dilekati oleh sesuatu hak atas tanah, baik itu hak barat maupun hak adat
yang disebabkan suatu perbuatan hukum ataupun ketentuan hukum menjadi
tanah negara serta menjadi tanah negara karena hukum. Persoalan
hukumnya adalah bagaimana dengan status hukum tanah-tanah yang
dikuasai instansi pemerintah dengan hak eigendom.
Di dalam Surat Departemen Agraria tanggal 1 Maret 1962, Nomor
Ka.3/1/1, perihal: status tanah Kotapraja/Kabupaten yang dimilikinya
berdasar Undang-Undang Pokok Agraria; Surat tersebut menjelaskan
mengenai tanah yang dikuasai instansi pemerintah dalam hal ini adalah
Kotamadya atau Kabupaten yang menguasai tanah hak eigendom yang
dikaitkan dengan tanah partikelir dan konversi setelah berlakunya UUPA.
Pertama, Bilamana tanah eigendom tersebut luasnya lebih dari 10 Bouw (1
bouw = 7.500 m2) bisa dipastikan bahwa tanah tersebut terkena ketentuan
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1958 tentang penghapusan tanah partikelir,
konsekuensi yuridisnya adalah menjadi tanah negara sejak tahun 1958. Jika
diperlukan oleh yang bersangkutan maka akan diberikan oleh Menteri Hak
Penguasaan (beheer) dengan surat keputusan pemberian hak; Kedua,
sebaliknya apabila luasnya kurang dari 10 bouw, berdasarkan ketentuan
konversi diubah menjadi hak guna bangunan sejak 24 september 1960 yang
akan berlangsung 20 tahun berarti hak tersebut akan berakhir jangka
waktunya tahun 1980; Ketiga, dalam surat tersebut memberikan solusi lain
yaitu dimohonkan dengan hak penguasaan (beheer). Secara lengkap isi surat
departemen agraria sebagai berikut:
Mengenai tanah-tanah yang sebelum berlakunya Undang-Undang
Pokok Agraria dipunyai Kotapraja-kotapraja/Kabupaten-Kabupaten dengan
hak eigendom:

228
a. Kalau hak eigendom itu terkena oleh Undang-undang tentang
penghapusan tanah-tanah partikelir, maka tanah yang bersangkutan
akan diberikan dengan surat keputusan Menteri Agraria dengan hak
penguasaan (beheer) kepada kotapraja yang dulunya mempunyai
hak eigendom tersebut.
b. Jika mengenai tanah-tanah eigendom yang kecil-kecil yang tidak
terkena oleh undang-undang tentang penghapusan tanah-tanah
partikelir, maka sebagai diketahui berdasarkan ketentuan-ketentuan
konversi undang-undang pokok agraria, hak eigendom itu telah
dikonversi menjadi hak guna bangunan. Oleh karena tanah-tanah
yang demikian itu umumnya sudah dibebani pula dengan hak
erfpacht atau opstal, maka seyogyanya diubah menjadi hak
penguasaan (beheer) yang penegasannya diselenggarakan dengan
keputusan Menteri Agraria (ketentuan konversi Undang-Undang
Pokok Agraria Pasal 1 ayat 5).
Isu hukum sehubungan Surat Departemen Agraria ini adalah, apa yang
dimaksud dengan hak penguasaan dan pengaturannya. Hak penguasaan ini
merupakan bagian dari hak menguasai dari negara yang mana
penguasaannya dilimpahkan kepada instansi atau badan hukum tertentu
yang memenuhi syarat. Sebutan hak penguasaan atau beheer ini selanjutnya
diubah dan diterjemahkan menjadi “Hak Pengelolaan”. Berdasarkan
PERMENAG Nomor 9 tahun 1965, Isi dan tujuan dari pemberian hak
pengelolaan ini selanjutnya diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan
PERMENAG Nomor 1 tahun 1966, wajib didaftarkan.
Berkaitan dengan status tanah obyek perkara, dengan mencermati
penjelasan Surat Departemen Agraria bukan berstatus tanah negara bekas
tanah partikelir mengingat luasnya tidak melebihi dari 10 bouw. Status
tanah sengketa tersebut adalah tanah negara bekas hak eigendom yang
tercatat atas nama instansi pemerintah sebagaimana dalil tergugat dan alat
bukti yang dilampirkan tergugat. Di dalam Surat Keputusan Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur tersebut, terdapat
cacatan tentang penegasan bahwa tanah bekas hak eigendom verponding
Nomor 12324, surat ukur tanggal 28 Agustus 1926 Nomor 191 seluas
25.798 m2, atas nama De stade Gemeente Soerabaja (sic) terletak di jalan

229
Ind. Sby. Berdasarkan penjelasan Surat Departemen Agraria, tanah tersebut
dikonversi menjadi hak guna bangunan dan seharusnya diajukan hak
penguasaan atau hak pengelolaan dan didaftarkan agar status hukumnya
menjadi jelas. Mengingat bahwa status hukumnya menjadi hak guna
bangunan karena ketentuan konversi (karena hukum) maka berdasarkan
ketentuan Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1979, dengan mengingat
jangka waktu haknya berakhir karena hukum, dengan demikian menjadi
tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah negara. Pertanyaan
selanjutnya adalah, dasar atau landasan hukum apa saja yang harus dipenuhi
dalam penerbitan keputusan pemberian hak atas tanah negara bekas
eigendom yang tercatat atas nama de Stade gemeente Surabaja, agar tidak
terjadi error in re. untuk menjawab isu hukum tersebut berarti kajian
analisisnya berkaitan dengan aspek substansi dari keputusan pemberian hak
atas tanah negara bekas eigendom Pemerintah Daerah Surabaya.79
Aspek substansif keputusan pemberian hak atas tanah negara bekas
eigendom tercatat atas nama de stade gemeente soerabaja (sic).
Pada hakekatnya semua tanah negara dapat diajukan permohonan
sesuatu hak tertentu oleh pihak-pihak yang berkepentingan atas tanah
tersebut. Berdasarkan ketentuan hukum, ada aspek substansi yang harus
dipenuhi baik itu subyek hukum yang mengajukan permohonan pemberian
haknya, obyek tanah (berkaitan dengan status hukumnya) maupun bagi
badan atau pejabat tata usaha negara dalam rangka melakukan tindakan
hukum menerbitkan keputusan pemberian hak atas tanah yang dimohon
haknya. Tujuannya agar keputusan tersebut tidak menyalahi ketentuan
hukum yang menjadi dasar hukum dapatnya diterbitkan keputusan sesuai
dengan isi dan tujuannya. Apabila aspek substansif ini tidak terpenuhi
berakibat batal keputusan dan penerbitan sertipikatnya. Dikaitkan dengan
posisi kasus sengketa, Isu hukumnya adalah aspek substansi apa saja yang
79
Lihat Boedi Djatmiko Hadiatmodjo, Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah dan
Akibat Hukumnya, disertasi Univ. Airlangga, 2007, h.131-139

230
harus dipenuhi agar tidak terjadi error in re dalam pembuatan keputusan
dan penerbitan sertipikat; dan apakah telah terjadi error in re.
Mengingat waktu terjadinya kasus sengketa, melihat subyek dan status
hukum obyek sengketa, merupakan titik tolak analisis kajian aspek substansi
dalam kasus sengketa ini. Aspek substansi yang diatur dalam dalam
Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1979 tentang pokok-pokok
kebijaksanaan dalam rangka pemberian hak baru atas tanah asal konversi
hak-hak barat. Di dalam keputusan presiden ini prinsip-prinsip substantif
yang diatur: Pertama, pada prinsipnya tanah-tanah hak barat asal konversi
hak baru sejak tanggal 24 september 1980 menjadi tanah negara. Tanah
negara bekas konversi hak barat yang telah menjadi tanah negara ditata
kembali penggunaan, penguasaan dan kepemilikannya dengan
memperhatikan: tata guna tanah, sumberdaya alam dan lingkungan hidup,
keadaan beban dan penduduk, rencana pembangunan daerah, kepentingan
bekas pemegang hak dan penggarap tanah/penghuni bangunan. Hal tersebut
ditetapkan dalam Pasal 1 Keputusan Presiden:
(1) tanah hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai asal
konversi hak barat, yang jangka waktunya akan berakhir
selambat-lambatnya pada tanggal 24 september 1980,
sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5
tahun 1960, pada saat berakhirnya hak yang bersangkutan
menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara;
(2) tanah-tanah tersebut ayat (1), ditata kembali penggunaan,
penguasaan dan pemilikannya dengan memperhatikan:
a. masalah tata guna tanahnya;
b. sumber daya alam dan lingkungan hidup;
c. keadaan kebun dan penduduknya;
d. rencana pembangunan di daerah;
e. kepentingan-kepentingan bekas pemegang hak dan penggarap
tanah/penghuni bangunan.
Kedua, pada prinsipnya yang ditetapkan dalam keputusan presiden
ini, bahwa bekas pemilik dapat mengajukan hak baru, apabila memenuhi
syarat dan dipergunakan sendiri, kecuali tanah-tanah tersebut diperlukan
untuk proyek-proyek pembangunan untuk kepentingan umum. Apabila

231
memang diperlukan untuk proyek kepentingan umum maka bagi bekas
pemegang haknya diberikan ganti kerugian. Hal tersebut ditetapkan dalam
Pasal 2 dan 3. Di dalam Pasal 2 ditetapkan:
Kepada bekas pemegang hak yang memenuhi syarat dan
mengusahakan atau menggunakan sendiri tanah/bangunan, akan
diberikan hak baru atas tanahnya, kecuali apabila tanah-tanah tersebut
diperlukan untuk proyek-proyek pembangunan bagi penyelenggaraan
kepentingan umum.
Selanjutnya dalam Pasal 3 :
Kepada bekas pemegang hak yang tidak diberikan hak baru karena
tanahnya diperlukan untuk proyek pembangunan, maka diberikan
ganti rugi yang besarnya akan ditetapkan oleh suatu Panitya Penafsir.
Ketiga, pada prinsipnya kepada rakyat yang menduduki dan
menjadikan perkampungan atas tanah bekas konversi hak barat diberikan
prioritas untuk diberikan hak baru atas tanah. Hal tersebut ditetapkan di
dalam Pasal 4 dan 5 Keputusan Presiden ini. Di dalam Pasal 4:
Tanah-tanah hak guna usaha asal konversi hak barat yang sudah
diduduki oleh rakyat dan ditinjau dari sudut tata guna tanah dan
keselamatan lingkungan hidup lebih tepat diperuntukkan untuk
pemukiman atau kegiatan usaha pertanian akan diberikan hak baru
kepada rakyat yang mendudukinya.
Di dalam Pasal 5:
Tanah-tanah perkampungan bekas hak guna bangunan dan hak pakai
asal konversi hak barat yang telah menjadi perkampungan atau
diduduki rakyat, akan diberikan prioritas kepada rakyat yang
mendudukinya, setelah dipenuhinya persyaratan-persyaratan yang
menyangkut kepentingan bekas pemegang hak tanah.
Keempat, pada prinsipnya tanah negara bekas konversi hak barat
yang sebelumnya dikuasai oleh perusahaan negara, perusahaan daerah atau
badan-badan negara akan diberikan pembaharuan hak. Hal tersebut
ditetapkan di dalam Pasal 6 :
Hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai asal konversi hak
barat yang dimiliki oleh perusahaan milik negara, perusahaan daerah
serta badan-badan negara diberi pembaharuan hak atas tanah yang
bersangkutan dengan memperhatikan Pasal 1.

232
Melihat materi Keputusan Presiden tersebut maka secara substansi
subyek hukum yang mendapatkan prioritas untuk dapat mengajukan
permohonan sesuatu hak atas tanah asal konversi hak barat ini adalah:
1. Prioritas pertama ada pada negara, dengan cacatan bila diperlukan
untuk proyek-proyek yang berhubungan dengan kepentingan umum
(Pasal 2 dan Pasal 3);
2. Prioritas kedua adalah bekas pemegang hak atas tanah negara bekas
hak barat tersebut. Bekas Pemegang hak tersebut termasuk di
dalamnya perusahan-perusahan milik negara dan derah atau badan-
badan negara yang masih dikuasai (dimiliki) untuk tanah tersebut
dengan pembaharuan hak; dengan cacatan memperhatikan masalah
tata guna tanah, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, keadaan
kebun dan penduduknya, rencana pembangunan di daerah dan
kepentingan bekas pemegang haknya dan penggarap/penghuninya
(Pasal 3, 6 dan 1).
3. Prioritas ketiga adalah rakyat penggarap dan penghuni tanah negara
bekas hak barat tersebut dan akan diberikan hak baru yang
memenuhi syarat (Pasal 4 dan 5).
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1979, setelah
mengkaji kasus sengketa secara substansi yang mendapatkan prioritas
adalah bekas pemegang hak eigendom tertulis atas nama de Stade
gemeente Soerabaja.(sic). Sebaliknya, posisi penggugat dalam kasus
sengketa ini adalah dengan menelaah atau mengkaji ketentuan pasal-pasal
dalam Keputusan Presiden tersebut berada pada posisi ketiga, yaitu sebagai
penghuni atau penggarap atas tanah negara bekas eigendom, dan secara
substantif tanah negara tidak bisa diperjualbelikan. Untuk memperoleh
sesuatu hak atas tanah harus mengajukan permohonan pemberian hak atas
tanah kepada badan atau pejabat tata usaha negara yang berwenang
memberikannya. Untuk menerbitkan keputusan yang bersifat konstitutif,
badan atau pejabat tata usaha negara berkewajiban memperhatikan
ketentuan yang secara substantif mengatur hal tersebut, dalam hal ini adalah
Keputusan presiden.
Berdasarkan uraian kasus posisi dan pertimbangan hukum dalam
putusan pengadilan baik dari tingkat pertama, banding, kasasi maupun

233
peninjauan kembali dapat dilihat bahwa yang menjadi obyek sengketa
berstatus bekas tanah hak barat yang dikuasai langsung oleh negara atau
tanah negara yang terkena ketentuan Keputusan Presiden Nomor 32 tahun
1979. Penggugat yang menguasai tanah dan bangunan (sebagian) melalui
jual beli dengan yayasan mengelola obyek sengketa diputuskan oleh
pengadilan tetap diberikan hak menguasai sebatas tanah dan gedung
(sebagian). Sebaliknya tergugat dihukum untuk membatalkan keputusan
pemberian hak yang menjadi dasar terbitnya sertipikat.80 Kelemahan putusan
pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, tingkat Mahkamah Agung atau
dalam Peninjauan kembali adalah tidak mencantumkan asas apa yang
dilanggar dalam AUPB oleh keputusan tata negara tersebut walau telah
ditentukan berdasarkan Juklak Mahkamah Agung Nomor 052/Td.TUN/III/
1992 tanggal 24 Maret 1992 bahwa:
Di dalam hal hakim mempertimbangkan adanya asas-asas umum
pemerintahan yang baik sebagai alas an pembatalan penetapan, maka
hal tersebut tidak perlu dimasukkan dalam dictum putusannya,
melainkan cukup dalam pertimbangan putusan dengan menyebutkan
asas mana dari asas-asas umum pemerintahan yang baik yang
dilanggar dan akhirnya harus mengacu pada Pasal 53 ayat (2)81
Kesimpulan
Berdasarkan keseluruhan analisis dari studi kasus yang dilakukan di
atas, sampailah pada kesimpulan bahwa pembatalan sertipikat hak atas
tanah oleh peradilan tata usaha negara dengan alasan cacat substansi adalah
pembatalan keputusan penerbitan sertipikat hak atas tanah yang dikeluarkan
badan atau pejabat tata usaha negara yang diketahui ada kesalahan
substansial sehingga bertentangan dengan perundangan yang berlaku.
Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur mengenai substansi berkaitan
dengan prioritas yang dapat diberikan sesuatu hak atas tanah dan dengan
mencermati pertimbangan hukum dalam kasus perkara di atas, namun
demikian masih terlihat bahwa dalam pertimbangan hukumnya putusan
80
Ibid
81
Lihat Yudhi Setiawan, Instrumen Hukum Campuran (gemeenschapelijkrecht)
Dalam Konsolidasi Tanah, P.T.Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2009, h. 247-248

234
pengadilan tata usaha negara belum atau tidak melakukan kajian hukum
pertanahan yang berkaitan dengan aspek substansi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
A, Siti Soetami, 1997, Hukum Administrasi Negara, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang.
Ali, Farid, 1997, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif
Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.
Harsono, Boedi, 1971, Undang-Undang Pokok Agraria, Bagian Pertama,
jilid kedua, Djambatan, Jakarta,
_____, 1980, Beberapa analisis tentang hukum agraria, bagian 3, Era study
Club, Jakarta,
Hadjon, Philipus M., 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia,
Bina Ilmu, Surabaya.

235
_____,1997, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada
University Press, Yogjakarta.
_____, 2006, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta,
Indroharto. 1991, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
HR, Ridwan, 2002, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta
Muchsan, 1982, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Liberty,
Yogyakarta.
Marbun SF dan Moh. Mahfud MD, 1987. Pokok-Pokok Hukum
Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta.
M, Nata Saputra, 1988, Hukum Administrasi negara, CV Rajawali, Jakarta
Mertokusumo, Sudikno, 1996, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta.
Poerbopranoto, Kuntjoro, 1978. Beberapa Catatan Hukum Tata
Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung.
Parlindungan, AP.,1990, Konversi Hak-hak Atas Tanah, Mandar Maju,
Bandung,
_____,1990, Konversi Hak-hak Atas Tanah, Mandar Maju, Bandung
_____,1999, Pendaftaran Tanah di Indonesia (berdasarkan PP 24 tahun
1997) di lengkapi dengan peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah
( PP. 38 tahun 1998), Mandar Maju, Bandung
Perangin-angin, Effendi,1989, Hukum Agraria Indonesia, CV. Rajawali,
Jakarta
Sukanto, Surjono,1989, Sosiologis suatu pengantar, Rajawali, Jakarta
Soehino, 2000, Asas-asas Hukum Tata Usaha Negara, Liberty, Yogjakarta
Setiawan, Yudhi, 2009, Instrumen Hukum Campuran (gemeenschapelijk
recht) Dalam Konsolidasi Tanah, P.T.Rajagrafindo Persada, Jakarta
Utrecht, E, 1986. Pengantar Hukum Administrasi Republik Indonesia,
Surabaya : Pustaka Tinta Mas.

Jurnal/Tesis/Disertasi
Hadjon, Philipus, M., 1998. Tentang Wewenang Pemerintahan
(bestuursbevoegheid), Pro justitia. Tahun XVI Nomor 1 Januari 1998

236
Hadjon, Philipus, M. 2005. Sistem Peradilan dan Perlindungan Hukum
Bagi Rakyat. materi kuliah S3 Ilmu Hukum Pascasarjana UNAIR.
Surabaya.
Hadiatmodjo, Boedi Djatmiko, 2007, Pembatalan Sertipikat Hak Atas
Tanah dan Akibat Hukumnya, disertasi Univ. Airlangga
Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional, Abstrak Peraturan/
Ketentuan Bidang Pertanahan, Kantor Menteri Negara
Agraria/Badan Pertanahan Nasional Proyek Pengembangan Hukum
Pertanahan tahun anggaran 1993-1994 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, Pustaka Yustisia, Jogyakarta, 2006;
Soetojo, Prawirohamidjojo,R. tanpa tahun. Keabsahan Perbuatan Hukum.
Airlangga. majalah Fakultas Hukum Universitas Airlangga

DAFTAR ATURAN HUKUM

Undang-Undang Dasar
Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen Kesatu, Kedua, Ketiga dan
Keempat) Tahun 2002

Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia 1986, Nomor 77,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3344);
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilam Tata Usaha

237
Negara. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004, Nomor.
35, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor. 4380,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004, Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4389)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara;

Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961, Nomor 28);
Peraturan Pemerintah Nomor. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Nomor 3696);

Peraturan Presiden
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor. 10 tahun 2006 tentang
Badan Pertanahan Nasional;

Keputusan Presiden
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor. 26 tahun 1988, tentang
Badan Pertanahan Nasional;

Peraturan Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah non Departemen


Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor. 6 Tahun 1972, tentang
Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah;

238
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor. 5 Tahun 1973, tentang Ketentuan
Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah;
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor. 3 Tahun 1979 tentang Ketentuan
Mengenai Permohonan dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal
Konversi Hak Barat;
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor. 3 tahun 1997, tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor. 3 Tahun 1999, tentang Pelimpahan Kewenangan dan
Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara;
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor. 9 Tahun 1999, tentang Tatacara Pemberian dan Pembatalan
Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan;

Lain-Lain
Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat, Himpunan Peraturan Perundang-
Undangan Pertanahan 1988-1998, Proyek Pengembangan hukum
pertanahan, Jakarta, 1998;
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2002;
Himpunan Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
tahun 1969-1991, Mahkamah Agung RI, 1993

GLOSARIUM

APHT : Akta Pemberian Hak Tanggungan


AUPB : Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
Awb : Algemene wet bestuursrecht
BPHTB : Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
BPN : Badan Pertanahan Nasional
BW : Burgerlijk Wetboek
JUKLAK : Petunjuk Pelaksanaan
JUKNIS : Petunjuk Teknis
HT : Hak Tanggungan
HAT : Hak Atas Tanah
HMSRS : Hak Milik atas Satuan Rumah Susun
KANWIL BPN : Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional

239
KANTAH : Kantor Pertanahan
KKPT : Kepala Kantor Pendaftaran Tanah
KUHPER : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
LNRI : Lembaran Negara Republik Indonesia
LPND : Lembaga Pemerintah Non Departemen
MARI : Mahkamah Agung Republik Indonesia
MENAG : Menteri Agraria
PBB : Pajak Bumi dan Bangunan
PMPA : Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria
PENPRES : Penetapan Presiden.
PERMENAG : Peraturan Menteri Negara Agraria
PERPRES : Peraturan Presiden
PPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah
PPh : Pajak Pertambahan Hasil
PPn : Pajak Pertambahan Nilai
SEMA : Surat Edaran Mahkamah Agung
SKB : Surat Keputusan Bersama
SKMHT : Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
SHM : Sertipikat Hak Milik
SHGB : Sertipikat Hak Guna Bangunan
SHP : Sertipikat Hak pakai
SHPL : Sertipikat Hak Pengelolaan
SHMSRS : Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun
SPPT : Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang
TLNRI : Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
TPNBP : Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak
UUPA : Undang-Undang Pokok Agraria
UUP3 : Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan

INDEKS

A M
A.A.H. von Struiken Marcel Waline
Administratif recht Maxims
Aanhangsel Mandat
Administrati beroef
Aturan Hukum N
Agraria Nachtwachter-staat
Air Negara mengatur tanah
Absentee
Atribusi O
Azas Kebangsaan Oppen Heimer

240
Adatrecht Onbevoegdheid
A Contrario Onrechtmatig
Anggaduh Onbevoegdheid ratione materiae
Altijddurende Erfpacht Onteiguning ten algemene nutte
Andarbeni Overlapping
Alternative Dispute Resolution
P
B Prajudi Atmosoedirdjo
Bachsan Mustofa Philipus M. Hadjon
Baron de Gerando Politierecht
Bestuursrecht Prins
Burgerlijk Public policy
Bagir Manan Paulus E. Lotulung
Boedi Djatmiko Hadiatmodjo Pacta Sun Servada
Boedi Harsono Principle of Carefulness
Berstuursbevoegdheid Principle of Fair a Play
Beheersdaad Principle of Detournement De
Beschikking Procedure
Badan Pertanahan Nasional Principle of Motivision
Bumi Principle of Legal Security
Bruiklen Principle of Protecting The Personal
Bengkok Way of Life
Besluit Principle of Equality
Principle of Non Missive Competence
C Principle of Willikeur
C. van Vollenhoven Principle of Reasonableneess
Competentie afbakening Prohibition of Arbitranese
Convention Principle of Wisdom
Principle of Proporsionality
Principle of Un doing The
D Concoquesis of Un Nolled Decition
De La Bascecoir Anan Principle of public Service
Doelmatigheid Pertanahan
Dimas Pratama Putra Setiawan Pancasila
Dikuasai Negara Prosedur
Delegasi Pengakuan Terhadap Hak Ulayat
Dualisme hukum tanah Persamaan Hak Warga Negara Atas
Daerah Swapraja Tanah
De tournement de pouvoir Peraturan Presiden
Premis Mayor
E Premis Minor
E. Utrecht Presumptio Iustae Causa

F Q

241
Freies Ermessen
Fungsi Sosial Atas Tanah
R
G Rechtopraak
Geistlichenhintergrund Regeling
Gelijk oversteken Residu Theori
Gebruik Regelaarsrecht
Grant controleur Rechtmatigheid
Ganggam bauntuik R. Soeroso
Grant Sultan Redistribusi Tanah
Rakyat
H Recht kadaster
Henry Campbell Black
Hindia Belanda S
Hukum Pertanahan Staats en Administratief recht.
Hukum agraria barat Staatsrecht
Hukum agraria adat Strafrecht
Hukum antar golongan Staat in rust
Hukum tanah administrasi Staat in beweging
Hukum tanah swapraja Stellinga
Hukum tanah Indonesia Substansi
Hukum agama Sanctionering
Hukum Adat Sanggan
Hak Menguasai Negara
Hak Milik T
Hak Guna Usaha Twee zijdig
Hak Guna Bangunan Tanah
Hak Pakai Transaksi tanah
Hak Sewa
Hak Membuka Tanah
Hak memungut hasil hutan U
Hak Eigendom Undang-Undang Dasar tahun 1945
Hak Opstal Undang-Undang
Hak Erfpacht
Hak Gebruik V
Hak atas druwe Van Apeldoorn
Hak gogolan Vruchtgebruik
Hipotik
Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah W
W. Ivor Jennings
I welfarestate
Inlandsch Bezit Wewenang

J X

242
J.H.P. Beltefroid
J.P. Hooykaas
Justitierecht Y
Judicial review Yurisprudentia
Yudhi Setiawan
K Yasan
Kranenburg
Kewajiban Pemegang Hak Atas Z
Tanah Zona sawah konversi
Konversi
Kantor Pertanahan Kabupaten
Kantor Pertanahan Kota

L
Logemann
L.J. van Apeldoorn
Lex Specialis derogaat Lex
generalis
Landreform
Land

243

Anda mungkin juga menyukai