Anda di halaman 1dari 275

BAB I

PENDAHULUAN

Tujuan Instruksional Umum


Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan
memperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai hukum
administrasi.

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan:
1. Adanya pemahaman mengenai pengertian hukum
administrasi.
2. Mengetahui latar belakang munculnya hukum
administrasi.
3. Mengetahui ruang lingkup hukum administrasi.
4. Memahami letak hukum administrasi dalam ilmu
hukum.
1.1. Pengertian Hukum Administrasi
Di dalam ilmu hukum, hukum administrasi termasuk dalam
hukum publik dan merupakan perpanjangan dari hukum tata
negara. Pada dasarnya sangat sulit untuk memberikan definisi
hukum administrasi yang dapat diterima semua pihak mengingat
hukum administrasi sangat luas dan berkembang mengikuti
penyelenggaraan suatu negara. Beberapa penulis menyebut
hukum administrasi dengan istilah hukum administrasi negara.
Lebih lanjut, sebagai pegangan diberikan beberapa definisi dari
para ahli sebagai berikut:
a. Oppen Heimer; “hukum administrasi adalah sebagai
suatu gabungan ketentuan-ketentuan yang mengikat
badan-badan yang tinggi maupun rendah apabila badan
itu menggunakan wewenangnya yang telah diberikan
oleh hukum tata negara.”
b. J.H.P.Beltefroid;“hukum administrasi adalah keseluruhan
aturan-aturan tentang cara bagaimana alat-alat pemerin
tahan dan badan-badan kenegaraan dan majelis-majelis
pengadilan tata usaha hendak memenuhi tugasnya.”
c. Logemann; “hukum administrasi adalah seperangkat dari
norma-norma yang menguji hubungan hukum Istimewa
yang diadakan untuk memungkinkan para pejabat
administrasi melakukan tugas mereka yang khusus.”
d. De La Bascecoir Anan; “hukum administrasi adalah
himpunan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi
sebab negara berfungsi/bereaksi dan peraturan-
peraturan mengatur hubungan-hubungan antara warga
negara dengan pemerintah.”
e. L.J. van Apeldoorn; “hukum administrasi adalah
keseluruhan aturan yang hendaknya diperhatikan para
pendukung kekuasaan penguasa yang diserahi tugas
pemerintahan itu.”
f. A.A.H. von Struiken; “hukum administrasi adalah
aturan-aturan yang menguasai tiap-tiap cabang kegiatan
penguasa sendiri.”

2
g. J.P. Hooykaas; “hukum administrasi adalah ketentuan-
ketentuan mengenai campur tangan dan alat-alat
perlengkapan negara dalam lingkungan swasta.”
h. W. Ivor Jennings; “hukum administrasi adalah hukum
yang berhubungan dengan administrasi negara, hukum
ini menentukan organisasi kekuasaan dan tugas-tugas
dari pejabat-pejabat administrasi.”
i. Marcel Waline; “hukum administrasi adalah
keseluruhan aturan-aturan yang menguasai kegiatan-
kegiatan alat-alat perlengkapan negara yang bukan alat
perlengkapan perundang-undangan atau kekuasaan
kehakiman menentukan luas dan batas-batas kekuasaan
alat-alat perlengkapan tersebut, baik terhadap warga
masyarakat maupun antara alat-alat perlengkapan itu
sendiri, atau pula keseluruhan aturan-aturan yang
menegaskan dengan syarat-syarat bagaimana badan-
badan tata usaha negara/administrasi memperoleh hak-
hak dan membebankan kewajiban-kewajiban kepada
para warga masyarakat dengan peraturan alat-alat
perlengkapannya guna kepentingan pemenuhan
kebutuhan umum.
j. E.Utrecht;“hukum administrasi adalah menguji
hubungan hukum istimewa yang diadakan agar
memungkinkan para pejabat pemerintahan negara
melakukan tugas mereka secara khusus;sehingga ciri
hukum administrasi:
 Menguji hubungan hukum istimewa
 Adanya para pejabat pemerintahan
 Melaksanakan tugas-tugas istimewa.
k. Prajudi Atmosoedirdjo; “hukum administrasi negara
adalah hukum mengenai operasi dan pengendalian dari
kekuasaan-kekuasaan administrasi atau pengawasan
terhadap penguasa-penguasa administrasi.
l. Bachsan Mustofa; “hukum administrasi negara adalah
sebagai gabungan jabatan-jabatan yang dibentuk dan
disusun secara bertingkat yang diserahi tugas
3
melakukan sebagian dari pekerjaan pemerintahan dalam
arti luas yang tidak diserahkan pada badan-badan
pembuat undang-undang dan badan-badan kehakiman.
Merujuk definisi para ahli di atas terlihat bahwa bidang
hukum administrasi sangat luas, banyak segi dan ragamnya.
Pemerintah adalah pengurus negara, pengurus negara adalah
keseluruhan dari jabatan di dalam negara yang mempunyai tugas
dan wewenang politik negara dan pemerintahan. Segala yang
dijalankan pemerintah adalah tugas negara dan tanggung jawab
dari alat-alat pemerintahan.
Berdasarkan uraian di atas dapat dirinci hukum administrasi
adalah hukum yang mengatur tentang kekuasaan pemerintah
(eksekutif) dalam menjalankan wewenang di dalam kedudukan,
tugas-tugas, dan fungsinya sebagai administrator negara.

1.2. Latar Belakang Munculnya Hukum Administrasi


Dilihat dari sejarahnya, sebelum abad 19 hukum administrasi
menyatu dengan hukum tata negara dan baru pada abad ke 19
hukum administrasi berdiri sendiri sebagai suatu disiplin ilmu
hukum tersendiri. Baron de Gerando adalah ilmuwan Perancis
yang pertama kali memperkenalkan hukum administrasi sebagai
ilmu hukum yang tumbuh langsung berdasarkan keputusan-
keputusan alat perlengkapan negara berdasarkan praktik
kenegaraan sehari-hari; dengan kata lain, keputusan raja dalam
menyelesaikan sengketa antara pejabat dan rakyat merupakan
kaidah hukum administrasi.
Pada awalnya, hukum administrasi atau hukum tata usaha
negara atau hukum tata pemerintahan di Belanda,disatukan dalam
hukum tata negara yang disebut staats en administratief recht.
Pada tahun 1946 Universitas Amsterdam mengadakan pemisahan
mata kuliah antara hukum tata negara dan hukum administrasi.
Tahun 1948 Universitas Leiden mengikuti jejak Universitas
Amsterdam memisahkan mata kuliah tersebut yang dilakukan
Kranenburg. Pada pertengahan abad 20 hukum administrasi
berkembang akibat tuntutan timbulnya negara hukum modern
(welfarestate) yang mengutamakan kesejahteraan rakyat. Hukum
administrasi di Belanda disebut administratief recht atau
bestuursrecht yang berarti lingkungan kekuasaan/administratif
4
diluar dari legislatif dan yudisial. Di Perancis disebut droit
administrative. Di Inggris disebut administrative law. Di Jerman
disebut verwaltung recht.
Berdasarkan uraian di atas, penyebutan istilah hukum
administrasi tidak perlu mencantumkan kata negara mengingat
yang dimaksud administratief recht atau bestuursrecht atau droit
administrative atau administrative law adalah hukum administrasi
negara; lebih lanjut penulis menyebut sebagai hukum administrasi
untuk penyebutan hukum administrasi negara.
Di Indonesia sebelum perang dunia kedua pada Rechts
hogeschool di Jakarta, hukum tata negara dan hukum administrasi
diberikan dalam satu mata kuliah staats en administratiefrecht
oleh Logemann sampai tahun 1941. Tahun 1946 di Universitas
Indonesia hukum tata negara dan hukum administrasi telah
diberikan secara tersendiri. Hukum tata negara diberikan oleh
Resink, hukum administrasi oleh Prins. Di Indonesia istilah untuk
hukum administrasi diantaranya:
1. E.Utrecht dalam buku Pengantar Hukum Administrasi pada
cetakan pertama memakai istilah Hukum Tata Usaha
Indonesia, pada cetakan kedua menggunakan istilah
Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, dan pada cetakan
ketiga menggunakan istilah Hukum Administrasi Negara
Indonesia.
2. Wirjono Projodikoro, dalam tulisan di majalah hukum tahun
1952 menggunakan istilah “Tata Usaha Pemerintahan”.
3. Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 14
tahun 1970 memakai istilah Hukum Tata Usaha Negara.
4. DjenalHaesen Koesoemaatmadja dalam buku Pokok-Pokok
Hukum Tata Usaha Negara, menggunakan istilah Hukum
Tata Usaha Negara agar sesuai dengan Undang-Undang
Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 14 tahun 1970.
5. Prajudi Atmosoedirdjo, dalam Musyawarah Nasional Persahi
tahun 1972 menggunakan istilah Peradilan Administrasi
Negara.
6. Surat Keputusan Menteri P dan K No. 0198/U/172 tanggal
30 Desember 1972 tentang Pedoman Kurikulum minimal
Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta, meggunakan istilah
5
Hukum Tata Pemerintahan (HTP).
7. Rapat Staf Dosen Fakultas Hukum Negeri seluruh
Indonesia bulan Maret 1973 di Cirebon memutuskan
menggunakan istilah Hukum Administrasi Negara dengan
alasan hukum administrasi negara pengertiannya lebih luas
dan sesuai perkembangan pembangunan dan kemajuan
Republik Indonesia.
8. TAP MPR Nomor II/1983 tentang GBHN memakai istilah
Hukum Tata Usaha Negara.
9. Surat Keputusan Mendikbud Nomor 31 tahun 1983 tentang
Kurikulum Inti Program Pendidikan Sarjana Hukum
menggunakan istilah Hukum Administrasi Negara.
10.W.F. Prins dalam buku Inhiding in het Administratif recht
van Indonesia, menggunakan istilah Hukum Tata Usaha
Negara Indonesia.
11.Philipus M.Hadjon buku Pengantar Hukum Administrasi
Indonesia menggunakan istilah Hukum Administrasi.1
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa istilah hukum
administrasi dan perkembangan hukum administrasi semakin luas
dan terus berkembang mengikuti dan memenuhi tuntutan negara/
masyarakat sehingga lapangan yang digalipun semakin luas dan
beraneka ragam. Hubungan antara pemerintah dan masyarakat
menjadi semakin jelas, tertata, terjamin dan terlindungi ketika
wewenang pemerintah dijalankan sesuai dengan wewenangnya.

1.3. Ruang Lingkup Hukum Administrasi


Ruang lingkup hukum administrasi menurut van Vallen
Hoven dalam buku: omtrek van het administratiefrecht, yang
dikenal dengan “residu theori” dapat dilihat dalam skema hukum
sebagai berikut:
a. Hukum Tata Negara/staatsrecht meliputi:
1. Pemerintah/bestuur
2. Peradilan/rechtopraak
3. Polisi/politie

1
Philipus M.Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,
Gadjahmada University Press, Yogyakarta, 2005, h.3
6
4. Perundang-undangan/regeling
b. Hukum Perdata/burgerlijk
c. Hukum Pidana/strafrecht
d. Hukum Administrasi/administratiefrecht meliputi:
1. Hukum Pemerintah/bestuur recht
2. Hukum Peradilan yang meliputi:
 Hukum Acara Pidana
 Hukum Acara Perdata
 Hukum Peradilan Administrasi Negara
e. Hukum Kepolisian
f. HukumProsesPerundang-undangan/Regelaarsrecht
Menurut Walther Burckharlt (Swiss), bidang-bidang pokok
Hukum Administrasi adalah:
a. Hukum Kepolisian
Kepolisian dalam arti sebagai alat administrasi
negara yang bersifat preventif;
b. Hukum Kelembagaan; administrasi wajib mengatur
hubungan hukum sesuai tugas penyelenggara
kesejahteraan rakyat, misal bidang pendidikan, rumah
sakit, tentang lalu lintas (laut, udara dan darat), Telkom,
BUMN, Pos, pemeliharaan fakir miskin, dan sebagainya.
c. Hukum Keuangan; aturan tentang keuangan negara,
misal pajak, bea cukai, peredaran uang, pembiayaan
negara dan sebagainya.
Prajudi Atmosoedirdjo menjelaskan bahwa ruang lingkup
Hukum Administrasi Negara adalah:
a. Hukum tentang dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum
daripada administrasi negara.
b. Hukum tentang organisasi dari administrasi negara.
c. Hukum tentang aktifitas-aktifitas dari administrasi negara
yang bersifat yuridis.
d. Hukum tentang sarana-sarana dari administrasi negara
terutama mengenai kepegawaian negara dan keuangan
negara.
e. Hukum administrasi pemerintahan daerah dan wilayah
yang dibagi menjadi:
1. Hukum Administrasi Kepegawaian
2. Hukum Administrasi Keuangan
7
3. Hukum Administrasi Materiil
4. Hukum Administrasi Perusahaan Negara
5. Hukum tentang Peradilan Administrasi Negara
Kusumadi Pudjosewojo, membagi bidang pokok yang
merupakan lapangan hukum tata usaha negara atau hukum
administrasi negara, sebagai berikut:
a. Hukum Tata Pemerintahan
b. Hukum Tata Keuangan
c. Hukum Hubungan Luar Negeri
d. Hukum Pertahanan Negara dan Keamanan Umum
van Vollenhoven mendeskripsikan hukum administrasi
sebagai keseluruhan ketentuan yang mengikat alat-alat
perlengkapan negara, baik tinggi maupun rendah, setelah alat-alat
itu akan menggunakan wewenang ketatanegaraan;yang dalam
bahasa aslinya adalah:
het administratiefrecht is dat complex van bepalingen,
waaraan hogere en lagere organen gebonden zijn, zodra ze
van hun reeds vaststaande, staatsrechttelijke bevoegheid
gebruik gaan maken.
Berdasarkan uraian di atas dapat dirinci bahwa ruang
lingkup hukum administrasi adalah hal-hal yang ada dan masuk
dalam obyek kajian hukum administrasi, sehingga hukum
administrasi merupakan suatu disiplin ilmu tersendiri di luar
legislatif dan yudisial.
1.4. Letak Hukum Administrasi Dalam Ilmu Hukum
Hukum administrasi sebagai disiplin ilmu tersendiri dapat
dilihat dalam “teori residu” van Vallenhoven yang membagi
seluruh materi hukum itu sebagai berikut:
a. Hukum Tata Negara (materiil)
1.Pemerintahan
2.Peradilan
3.Kepolisian
b. Hukum Perdata (materiil)
c. Hukum Pidana (materiil)
d. Hukum Pemerintahan
e. Hukum Peradilan:
1. Peradilan Tata Negara
8
2. Hukum Acara Perdata
3. Hukum Acara Pidana
4. Hukum Peradilan Tata Usaha Negara
Merujuk uraian di atas, dan uraian dalam halaman-halaman
sebelumnya terlihat bahwa letak hukum pemerintahan atau hukum
administrasi berdiri sendiri;sehingga eksistensi hukum administrasi
sangat penting karena sebagai norma yang memberi wewenang
dan sekaligus memberi batas wewenang dalam menjalankan
pemerintahan. Hukum administrasi membatasi tindakan pemerintah
di luar wewenangnya agar tidak bebas sepenuhnya dan tidak
menurut kehendaknya sendiri dalam menjalankan wewenang
dalam arti sewenang-wenang; dengan kata lain hukum administrasi
merupakan pembatasan kebebasan pemerintah. Sehingga unsur-
unsur hukum administrasi antara lain: (1) hukum mengenai
kekuasaan pemerintah; (2) hukum mengenai peran serta
masyarakat dalam pelaksanaan pemerintahan; (3) hukum
mengenai organisasi pemerintahan; (4) hukum mengenai
perlindungan hukum bagi masyarat. Mengingat hukum administrasi
sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri, lebih lanjut harus ditentukan
letak atau batasan, hubungan, serta fungsi antara hukum
administrasi dan beberapa cabang ilmu hukum lain seperti ilmu
pemerintahan atau ilmu administrasi negara, hukum tata negara,
hukum pidana, dan hukum perdata.

9
BAB II
HUBUNGAN DAN FUNGSI
HUKUM
Tujuan Instruksional Umum
Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan
memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai hubungan
dan fungsi hukum.

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan:
1. Adanya pemahaman hubungan hukum antara hukum
administrasi dan ilmu lain.
2. Memahami fungsi hukum administrasi.

10
2.1. Hubungan Hukum Administrasi dan Ilmu Lain
Mengingat hukum administrasi terus mengikuti dan memenuhi
tuntutan negara dan masyarakat, lebih lanjut diuraikan penjelasan
beberapa ahli yang turut membidani kelahiran hukum administrasi
diantaranya W.F. Prins, Romejn, Donner, van Vollenhoven, dan
Oppenheim.
W.F. Prins menjelaskan hukum administrasi merupakan
aanhangsel (embel-embel atau tambahan) dari hukum tata
negara. Romejn menjelaskan hukum tata negara menyinggung
dasar-dasar dari pada negara, dan hukum administrasi adalah
mengenai pelaksanaan tekniknya. Pendapat Romejn ini dapat
diartikan hukum administrasi adalah hukum yang melaksanakan
apa yang ditentukan hukum tata negara. Teori Dwi Praja dari
Donner menjelaskan hukum tata negara menetapkan tugas
(taakstelling), sedangkan hukum administrasi melaksanakan apa
yang ditentukan hukum tata negara (taakverwezenlijking). van
Vollenhoven menjelaskan bahwa secara teoretis hukum tata
negara adalah keseluruhan peraturan hukum yang membentuk
alat perlengkapan negara dan menentukan kewenangan alat
perlengkapan negara; hukum administrasi adalah keseluruhan
ketentuan yang mengikat alat-alat perlengkapan negara, baik
tinggi maupun rendah ketika alat itu menggunakan kewenangan
ketatanegaraan. Oppenheim menjelaskan bahwa hukum tata
negara memperhatikan negara dalam keadaan tidak bergerak
(staat in rust). Pada pihak lain hukum administrasi sebagai suatu
kelompok ketentuan-ketentuan yang mengikat badan-badan yang
tinggi maupun rendah bila badan-badan itu menggunakan
wewenangnya yang telah diberi oleh hukum tata negara. Hukum
administrasi menurut Oppenheim memperhatikan negara dalam
keadaan bergerak (staat in beweging).
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa ada pemisahan
antara hukum tata negara dan hukum administrasi. Bagi hukum
tata negara, hukum administrasi merupakan perpanjangan hukum
11
tata negara; dengan kata lain hukum administrasi melengkapi
hukum tata negara, disamping sebagai hukum instrumental
(instrumenteelrecht) juga menetapkan perlindungan hukum
terhadap keputusan-keputusan penguasa.

2.1.1. Hubungan Hukum Administrasi dan Ilmu Administrasi Negara


Bagi yang tidak memahami ilmu hukum akan menganggap
studi hukum administrasi sama dengan mempelajari administrasi
publik atau ilmu pemerintahan atau ilmu administrasi negara;
dengan demikian ada anggapan mempelajari hukum administrasi
akan berkisar pada hukum surat menyurat atau ketatausahaan
atau berkaitan dengan pengorganisasian badan pemerintahan.
Pemahaman ini keliru karena hukum administrasi bersangkut paut
dengan perundang-undangan dan fungsi pemerintahan; hukum
administrasi masuk kelompok hukum publik dan bukan
administrasi publik atau administrasi negara. Hukum administrasi
mengatur hubungan antara pemerintah dan masyarakat,
mengatur organisasi negara, dan berfungsi sebagai kontrol
tindakan pemerintah. Secara lebih rinci perbedaan antara hukum
administrasi dan ilmu administrasi negara sebagai berikut:
1. Hukum Administrasi
a. Merupakan bagian dari hukum publik yang berkenaan
dengan pemerintahan umum.
b. Peraturan yang berkenaan dengan cara bagaimana
organ pemerintah melaksanakan tugasnya.
c. Obyek kajiannya berkenaan dengan wewenang
pemerintah dalam menjalankan fungsi pemerintahan.
d. Jabatan pemerintahan sebagai obyek kajiannya.
e. Mengatur wewenang, tugas, fungsi dan tingkah laku
para pejabat administrasi.
f. Peraturan perundang-undangan adalah sumber hukum,
sebagai manifestasi dari hukum, sebagai produk hukum,
sebagai hukum.
g. Peraturan perundang-undangan adalah sebagai bentuk
perumusan kebijaksanaan atau kehendak negara adalah
sejalan dengan makin meluasnya campur tangan secara
langsung kedalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
2. Ilmu Administrasi Negara
12
a. Pendekatan ekologikal, organisasional, struktural,
fungsional, situasional, normatif dan interdisiplin.
b. Administrasi adalah aparatur penyelenggara dan
aktivitas penyelenggara kebijaksanaan, tugas-tugas,
kehendak-kehendak dan tujuan-tujuan pemerintah.
c. Memandang Undang-Undang, Peraturan Pemerintah
sebagai bentuk perumusan kebijaksanaan atau kehendak
negara yang harus dijunjung tinggi atau diselenggarakan
d. Merupakan cabang ilmu sosial yang melakukan studi
terhadap administrasi sebagai salah satu fenomena
masyarakat modern2
Merujuk uraian di atas, dapat dirinci bahwa:
1. Hukum administrasi memandang administrasi sebagai
aparatur penyelenggara serta aktivitas penyelenggara
undang-undang; dengan demikian penekanannya pada
aturan hukum.
2. Hukum administrasi dikaji berdasarkan hukum sehingga
studinya tentang hukum.
3. Ilmu administrasi negara memandang administrasi
sebagai fenomena sosial, yakni aparatur penyelenggara
dan aktivitas penyelenggara dalam melaksanakan
kebijaksanaan-kebijaksanaan, tugas, kehendak, dan
tujuan-tujuan pemerintah; dengan demikian penekanan
nya pada pelaksanaan atau kegiatan.
4. Ilmu administrasi negara dikaji berdasarkan ilmu
administrasi dan ilmu sosial sehingga studinya ilmu
sosial politik
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa hukum
administrasi penekanannya pada aturan hukum; hukum administrasi
berhubungan erat dengan kekuasaan dan aktivitas pemerintah;
ketika kekuasaan (tugas dan wewenang dijalankan), hukum
administrasi memberikan rambu-rambu terhadap penguasa;
sehingga hukum administrasi memiliki peran penting dan sebagai
instrumen pokok dalam menjalankan fungsi pemerintahan
terutama bagi negara yang menyatakan sebagai negara hukum;
sedangkan ilmu administrasi negara penekanannya pada
2
S. Prajudi Atmosudirdjo, Administrasi dan Managemen Umum, Ghalia
Indonesia, Jkt, cet. kesembilan, 1982, h. 39
13
pelaksanaan atau kegiatan pemerintahan; sehingga hubungan
atau persamaan hukum administrasi dan ilmu administrasi negara
adalah sama-sama mempunyai obyek kajian pemerintahan.

2.1.2. Hubungan Hukum Administrasi dan Hukum Tata Negara


Di dalam perkembangannya ada pemisahan antara hukum
administrasi dan hukum tata negara; namun diantara para ahli
masih ada perbedaan pendapat antara hukum administrasi dan
hukum tata negara. Pendapat tersebut dibagi dua kelompok.
Kelompok pertama menyatakan antara hukum administrasi dan
hukum tata negara tidak ada perbedaan yang prinsipil. Kelompok
kedua menyatakan antara hukum administrasi dan hukum tata
negara ada perbedaan yang prinsipil.
Kelompok pertama di antaranya Kranenburg, van der Pot
dan Vegting. Kranenburg berpendapat bahwa membedakan
kedua cabang ilmu pengetahuan itu secara tajam karena isi
maupun wataknya berlainan adalah tidak riil. Perbedaan itu
disebabkan karena pengaruh dan ajaran organis mengenai
negara (organische staats-theorie) yang timbul karena pembagian
dalam ilmu pengetahuan medis yang disebut anatomie dan
psychologie.3 Sistematik yang diambil dengan analogi kedua ilmu
pengetahuan medis itu tidak tepat, karena obyek yang diselidikinya
itu memang tidak sama. Perbedaan antara hukum administrasi
dan hukum tata negara tidak bersifat azasi dan hubungan antara
kedua ilmu pengetahuan itu dapat disamakan dengan hubungan
antara hukum perdata dan hukum dagang. Jika terjadi pemisahan
antara kedua hal itu hanya disebabkan karena kebutuhan akan
pembagian kerja yang timbul dari cepatnya pertumbuhan hukum
3
Kranenburg, R., Het Nederlandsch Staatsrecht. eente deel, zeede
durk, Haarlem H.D. Tjeenk Willink & Zoon. 1947, h. 14: Ik zou de iplitsing willen
verklaren alf een gevolg van de behoefte aan arbeidsverdeling bij de zeer inelle
uitgroei van het corporatieve recht der territoriale gemeerwchappen en de
noodzakelijkheid om zich de behandeling der itof te beperken tot iamenstelling. de
taak, bevogdheid en de functionerings-wijze van de belangrijkste organen i dan alt
staatrecht worden gedoceerd. terwijl de nadere en meer in I zonderheden
afdalende behandeling van bijzondere takken der tui rechtorgankatie onder het
adrhiniitratiefrecht werd gebracht”. Dalam halaman selanjutnya dijelaskan bahwa
“De onderacheiding Staatrecht en Adminiitratiefrecht dus niet principieel, maar
tenvoudig een van do matige arbeidiverdeling”.
14
korporatif dari masyarakat hukum teritorial dan juga disebabkan
karena perlu dibaginya materi yang diajarkan, sehingga hukum
tata negara meliputi susunan, tugas, wewenang dan cara badan-
badan itu menjalankan tugasnya, sedangkan bagian lain yang
lebih terperinci itu dimasukkan dalam hukum administrasi.
Perbedaan antara hukum tata negara dan hukum administrasi
bukan karena alasan yang prinsipil, akan tetapi sekedar untuk
kepentingan pembagian kerja. van der Pot juga tidak membedakan
secara tajam antara hukum administrasi dan hukum tata negara
dengan alasan bahwa perbedaan secara prinsipil tidak
menimbulkan suatu akibat hukum. Kalau juga diadakan suatu
perbedaan, itu hanya penting bagi ilmu pengetahuan hukum,
sehingga para ahli hukum mendapatkan suatu gambaran tentang
sistem yang bermanfaat.4 Begitu pula Vegting pada waktu
mengucapkan pidato jabatannya dengan judul “Plaats en aard
van het Administratiefrecht” seperti halnya Kranenburg dalam “Het
Algemene Nederlandsch Administratief recht”, Vegting menjelaskan
bahwa antara hukum tata negara dan hukum administrasi
mempunyai lapangan penyelidikan yang sama, perbedaannya
hanya terletak pada cara pendekatan yang dipergunakan oleh
masing-masing ilmu pengetahuan itu. Cara pendekatan yang
dilakukan hukum tata negara ialah untuk mengetahui organisasi
dari pada negara, serta badan-badan lainnya, sedangkan hukum
administrasi menghendaki bagaimana caranya negara serta
organ-organnya melakukan tugasnya. Ia tidak membedakan
hukum tata negara dan hukum administrasi karena pembatasan
wewenang (competentie afbakening) melainkan karena cara
bertindak negara sudah merupakan pembatasan wewenang juga.
Lebih lanjut Vegting menjelaskan, bahwa hukum tata negara
mempunyai obyek penyelidikan hal-hal yang pokok mengenai
organisasi dari negara, sedangkan bagi hukum administrasi obyek
penyelidikannya adalah mengenai peraturan-peraturan yang
bersifat teknis.5
4
van der Pot, C.W.. Nederlandsche Staatsrecht, 1960, h. 610
5
Vegting. W.G., Plaats en aard van het Adminitratiefrecht, pidato
inaugurasi Amsterdam 1946, juga “Het Algemeen Nederlandsch Administratief
recht”, I, 1954, h. 6-7, “Staats en adminitratiefrecht hebben een gemeens
chappelijk gebied van te bestuderen regelen, die echter, bij ene studie anders
benaderd worden dan bij de andere”.
15
Kelompok kedua yang menyatakan bahwa antara hukum
administrasi dan hukum tata negara ada perbedaan prinsipil
diantaranya adalah van Vollenhoven, Oppenheim, Logemann,
Stellinga. Kelompok ini melihat kedua ilmu pengetahuan itu dapat
dibagi secara tajam baik mengenai sistematika maupun isinya.
Hukum administrasi merupakan hukum tata negara dalam arti luas
dikurangi dengan hukum tata negara dalam arti sempit (disebut
teori “residu”). van Vollenhoven dalam tulisan pertamanya yang
berjudul “thorbecke en het administratief recht” mengartikan
hukum tata negara sebagai sekumpulan peraturan-peraturan
hukum yang menentukan badan-badan kenegaraan serta
memberi wewenang kepadanya, dan kegiatan suatu pemerintahan
modern adalah membagi-bagikan wewenang itu kepada badan-
badan dari yang tertinggi sampai yang terendah kedudukannya.
Oppenheim menjelaskan, rumusan hukum tata negara itu sama
dengan negara dalam keadaan tidak bergerak, sedangkan hukum
administrasi adalah sekumpulan peraturan hukum yang mengikat
badan-badan negara baik yang tinggi maupun yang rendah jika
badan-badan itu mulai menggunakan wewenangnya yang
ditentukan dalam hukum tata negara”. Menurut Oppenheim
perumusan ini dimisalkan seperti negara di dalam keadaan
bergerak.6 Dalam tulisannya yang lain, van Vollenhoven membagi
hukum tata negara dan hukum administrasi agak berlainan dari
tulisannya yang pertama.7 Ia berpendapat bahwa semua peraturan
hukum yang sejak berabad-abad lamanya itu tidak termasuk

6
van Vollenhoven, “Thorbecke en het Adminitratiefrecht” dalam J.
Oppenheims bundel (Nederlandsch Administratiefrecht), 1921, h. 21.
“Ter eener zijde windt men, als staatsrecht dat complex van rechts voorchriften
toekent, dat de werkzaamheden van een moderne over-heid distribueert over tal
van hoeger, en lagere organen, het houdt rich bezig naar Oppenheim’s woord,
meet de staat in rust Anderzijds staat alles Administratiefrecht dat complex van
bepalingen, waaraan hogere en lagere organen gebonden zijn, zoodra ze van hun
rec vaiUtaande UaaUrechtelijke bevoegheid gebruik gaan ma ken; t betreft naar
Oppenheim a verdere woord, de ttaat in beweging”.
7
van Vollenhoven, Omtrek van het Adminitratiefrecht, verhandeling
voorgedragen in de Koninklijke Academe van Weteiuchappen, h. 62, dan
“Venpreide Geachriften”,I, h. 88. “alle red dat niet finds eeuwen gelijkt it ale
materieel itaataecht, matrieel p vaatrecht of materieel staatrecht, krijgt op
natuuriijke wijze een welgevoed onderdak in het adminkitratiefrecht.

16
dalam hukum tata negara materiil, hukum perdata materiil dan
hukum pidana materiil, dimasukkan dalam hukum administrasi;
dengan demikian van Vollenhoven mengartikan hukum administrasi
meliputi seluruh kegiatan negara dalam arti luas, tidak hanya
terbatas pada tugas pemerintahan dalam arti sempit tetapi
meliputi tugas peradilan, polisi dan tugas membuat peraturan. van
Vollenhoven hukum administrasi dibagi dalam:
1. bestuursrecht (hukum pemerintahan),
2. justitierecht (hukum peradilan),
3. politierecht (hukum kepolisian), dan
4. regelaarsrecht (hukum perundang-undangan).
Lebih lanjut, van Vollenhoven membagi hukum administrasi
dalam dua pengertian yaitu:
1. Hukum administrasi dalam arti klasik, dan
2. Hukum administrasi dalam arti modern.
Pertanyaan yang muncul apa penyebab van Vollenhoven
berbeda pendapat dalam dua tulisannya itu. Pada perumusan
hukum administrasi dalam buku pertama van Vollenhoven masih
diliputi oleh suasana hidup negara yang menganut faham liberal
(liberale recht staatsgedachte) yang dipengaruhi faham Kant
dimana negara tidak boleh mencampuri kepentingan-kepentingan
individu, melainkan tugas negara hanya sebagai penjaga malam
(nachtwachter-staat) atau (l’etat gendarm); sedangkan pada
perumusan hukum administrasi buku kedua, van Vollenhoven
merubah perumusan untuk menyelenggarakan kepentingan rakyat
(wellvaartstaat-gedachte). Dalam buku kedua dijelaskan bahwa:
“badan-badan negara tanpa hukum tata negara itu lumpuh
bagaikan tanpa sayap, karena badan-badan itu tidak mempunyai
wewenang sehingga keadaannya tidak menentu. Sebaliknya
badan-badan negara tanpa adanya hukum administrasi menjadi
bebas tanpa batas karena mereka dapat berbuat menurut apa
yang mereka inginkan”. Di sini dapat diketahui maksud van
Vollenhoven pada buku pertama bahwa badan hukum
administrasi itu diadakan untuk mengekang pemerintah sesuai
dengan prinsip liberal yang hidup pada waktu itu, sedangkan pada
buku kedua ia bermaksud mengekang pemerintah agar jangan
bertindak sewenang-wenang dengan kekuasaannya, melainkan
memberi keleluasaan untuk menyelenggarakan kepentingan
17
rakyat, bahkan juga menentukan kewajiban-kewajiban kepada
rakyat sesuai dengan faham kesejahteraan yang dianut negara
(welvaart-staats-gedachte).8 Dalam rangka menyelenggarakan
kepentingan umum, ada kalanya negara harus melanggar hak
rakyat, misal melakukan penyitaan untuk kepentingan umum
(onteiguning ten algemene nutte). Dalam pembuatan jalan misalnya,
negara memerlukan tanah pembuatan jalan agar hubungan antar
dua tempat itu lebih lancar, maka negara terpaksa mengambil
sebagian tanah rakyat untuk kepentingan tersebut. Lazimnya,
penyitaan dilakukan dengan ganti rugi atau dapat juga pemerintah
memberi kompensasi lain sebagai konsekuensi kepada rakyat
atau badan hukum atas tanah yang dipergunakan untuk kepentingan
umum tersebut.
Logemann dalam buku “over de theorie van een stellig
staatsrecht” mengadakan perbedaan tajam antara hukum tata
negara dan hukum administrasi. Logemann bertitik tolak pada
sistematik hukum pada umumnya yang meliputi tiga hal, yaitu: (1)
ajaran tentang status (persoonsleer); (2) ajaran tentang lingkungan
(gebiedsleer); (3) ajaran tentang hubungan hukum (leer de
rechtsbetrekking). Berhubung hukum tata negara dan hukum
administrasi itu merupakan suatu macam hukum khusus (als
byzonder soort van recht) yang mempunyai obyek penyelidikan
hukum maka sistematika hukum pada umumnya itu dapat
diterapkan pula terhadap hukum tata negara dan hukum
administrasi. Sistematika dalam bukunya sebagai berikut:
1. Hukum tata negara dalam arti sempit meliputi:
 persoonsleer, mengenai persoon dalam arti hukum
yang meliputi hak dan kewajiban manusia, personifikasi,
pertanggunganjawab, lahir dan hilangnya hak dan
kewajiban tersebut, hak organisasi, batasaan-batasan
8
van Vollenhoven, “Staatorganen zonder staatsrecht is vleugellam, want
hun bevoegheid ontbreck of is onzeker Staatsorganen zonder Administratiefrecht
is vluegelvrij, want zij kunnen hun bevoegdheid niet zo toepassen als zii it lieftst
willen”, dalam buku “Staatrecht overstee”. Penjelasan tentang teori van
Vollenhoven ini dapat dilihat dalam Kontjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan
Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Alumni,
Bandung, 1978, h. 14; Amrah Mudimin, Beberapa Azas-Azas Dan Pengertian-
Pengertian Pokok tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni,
Bandung. 1980, h. 8-13, dan Djenal Hoesen Koesoemahatmadja, Pokok-Pokok
Hukum Tata Usaha Negara, Alumni, Bandung, 1979, h. 12-14
18
dan wewenang.
 gebiedsleer, menyangkut wilayah atau lingkungan di
mana hukum itu berlaku dan yang termasuk dalam
lingkungan itu adalah waktu, tempat dan manusia
atau kelompok dan benda.
2. Hukum administrasi meliputi ajaran mengenai hubungan
hukum (leer der rechtsbetrekkingen).
Menurut Logemann9, hukum tata negara mempelajari:
1. susunan dari jabatan-jabatan,
2. penunjukan mengenai pejabat-pejabat,
3. tugas dan kewajiban yang melekat pada jabatan itu,
4. kekuasaan dan wewenang yang melekat pada jabatan,
5. batas wewenang dan tugas dari jabatan terhadap
daerah dan orang-orang yang dikuasainya,
6. hubungan antar jabatan,
7. penggantian jabatan,
8. hubungan antara jabatan dan penjabat.10
Hukum administrasi mempelajari jenisnya, bentuk serta
akibat hukum yang dilakukan para penjabat dalam melakukan
tugasnya. Stellinga membedakan antara hukum tata negara dan
hukum administrasi secara tegas. Dalam pidatonya yang berjudul
“systematische staatsrechtstudie”, dikemukakan bahwa tidak
hanya di dalam hukum tata negara saja diadakan sistematik, tapi
juga dalam hukum administrasi. Dalam buku “Grondtrekken van
het Nederlandsch Administratiefrecht” adalah mencari perbedaan

9
Logemann, Over de theorie van een stelling Staatsrecht, Saksama,
Jakarta, 1954, h. 54, “Tot de penoondeer behoren dan, om samenn te vatten en
ann te vullen, niet het verwantschaps-en huwelijksrecht, maar wie de problemen
van de mens als plichtensubject (toerekenbaarheid, mondigheid, handeling
bevoegdheid), de personifikasi, de vertegen woordiging, onstaan en tenietgaan
van persoonlijkeheid, het organuatierecht, de competentie-afbakening, h. 59, “De
term “ge-bieg” word hier zoalc boven bleek, gebruik alt aanduding van de sfeer
waarbinnen de norm geldt, in abstracts zin met de vraag, op wclke wijze tijd,
ruimte, penoonengroep, als gedingibegrenzing van de a stelligrechtelijke norm
kunnen optreden”, h. 85, “mij achynt atgen-de wat aan de juridjche dogamatbche
pogingen tot ondec zwceft, met de ttof die naast de penooruleer en de handeling
vraagt, diu met de leer der rechUbetrekingcn, van een duidelijk aangewsaen
problemkring te mogen”
10
Lihat pula, Logemann, Het Staatrecht van Indonesie, het formele
system geverij W. van Hoeve Gravenhage, Bandung, h. 18
19
prinsipil antara hukum tata negara dan hukum administrasi, seperti
yang dilakukan gurunya van Vollenhoven. Stellinga 11 menjelaskan,
kebanyakan penyelidikan tentang hukum administrasi tidak
meliputi keseluruhannya melainkan hanya membicarakan
beberapa bagian tertentu saja. Bagian-bagian itu dibicarakan
secara terpisah yang hanya bersifat sebagai monographi. Ia baru
menjadi suatu sistematik, jika dalam sistematik itu bagian-bagian
tadi diletakkan pada tempat yang tepat; dengan kata lain hukum
administrasi tidak lagi merupakan kumpulan monographi,
melainkan merupakan sistematik yang menghubungkan bagian
satu dengan bagian lainnya yang masing-masing bagian itu
diletakkan dalam tempatnya yang tepat. Arti sistematik adalah
“waar de delen zijn juiste plaats vindt”. Logemann berpendirian
sama dengan Stellinga.12 Di samping itu juga terdapat hukum
administrasi yang berlaku bagi para individu dalam masyarakat
yang diperintah negara. Lebih lanjut Stelinga13 menjelaskan:
“orang harus bertitik tolak bahwa masih banyak hal lagi
yang diatur oleh hukum tata negara selain hanya wewenang
dan kewajiban alat-alat negara. Menurut hukum tata negara
seorang warga negarapun mempunyai wewenang dan
kewajiban dan peraturan hukum yang mengatur caranya
menjalankan wewenang dan kewajiban itu termasuk dalam
hukum administrasi.”
11
Stellinga J.R.. Syctematische Staatrechtstudie, h. 15 “de systema
tische studie schijnt ook ook voor het adminiitratiefrecht aangewezen”, idem
“Grondtrekken van het Administratiefrecht, h. 1 “de einige betekenis welke de
ondertcheid tussen staatrecht en administratief recht kan heben is een
wetenschappelijke beoefgening van het startrecht en het administratiefrecht dien
de grens tussen deze beide zo te behandelen krijgen welke door hun
overeemkonstige aard bijeen horen”, h. 3, “systematik akan tercapai “warner
inzicht bestaat ten annzien van de juiste plaatc welke zij in het kader van het
geheel innemen”.
12
Logemann, Over de theorie van een rteilig StaaUrecht, op cit, h. 2, “dat
het op te delven lytteem inderdaad sycteem it, zal namelijk be, wezen zijn, ale elk
problem daarui zjjn eigen plaats vanzelf vindt”.
13
Stellinga, Dr.J., Grondtrekkcn van het Nederlandtche Adminiitratief-
recht, op cit h. 13, “dan zal er voorU moeten uitgaan dat het staats-recht meer
omvat dan de bevoegdheden en verplichtingen van de Over-heidiorganen. Ook de
burger heeft zijn ftaaUrechtelijke bevoegdheden en verplichtingen. D regeU voor
het uitoefenen, ondencheidenlijk et nakomen daama-, ma ken eveneent een deel
van het admin utratief-recht uit”
20
Merujuk uraian yang dijelaskan kedua kelompok di atas,
dapat dirinci bahwa:
1. Kelompok yang berpendapat bahwa hukum tata negara dan
hukum administrasi tidak ada perbedaan yang prinsipil
diantaranya:
a. Kranenburg
Tidak ada perbedaan yang prinsipil antara hukum
tata negara dan hukum administrasi, perbedaannya
hanya terjadi dalam praktik dalam rangka tercapainya
suatu kemanfaatan saja. Hukum tata negara adalah
hukum mengenai struktur umum dari suatu
pemerintahan negara, sedang hukum administrasi
merupakan peraturan-peraturan yang bersifat khusus.
b. Vegting
c. Prins
Hukum tata negara mempelajari hal-hal yang
fundamental yang merupakan dasar-dasar dari
negara. Hukum administrasi menitik-beratkan kepada
hal-hal yang bersifat teknis yang selama ini kita tidak
berkepentingan hanya penting bagi para spesialis.
Kelompok ini berpendapat antara hukum tata negara dan
hukum administrasi tidak ada perbedaan prinsipil, titik berat
pembahasan hukum tata negara adalah hukum rangka dari
negara, sedangkan hukum administrasi adalah administrasi dari
negara; sehingga hukum administrasi merupakan hukum khusus
dari hukum tata negara.
2. Kelompok yang menyatakan antara hukum tata negara dan
hukum administrasi ada perbedaan prinsip, adalah:
a. Oppen Heim
Oppen Heim menjelaskan bahwa pokok bahasan
hukum tata negara adalah negara dalam keadaan
diam (strats in rust), dimana hukum tata negara
membentuk alat-alat perlengkapan negara dan
memberikan kepadanya wewenang serta membagi
tugas pekerjaan kepada alat-alat perlengkapan
negara; sedangkan hukum administrasi adalah

21
negara dalam keadaan bergerak (staats in beveging)
dimana hukum administrasi melaksanakan aturan-
aturan yang sudah ditetapkan hukum tata negara
baik ditingkat tinggi maupun ditingkat rendah.
b. van Vallenhoven
Hukum administrasi adalah semua peraturan-
peraturan hukum setelah dikurangi hukum-hukum
materiel tata negara, pidana dan perdata. Hukum
administrasi merupakan pembatasan dari kebebasan
pemerintah dalam melaksanakan tugasnya. Badan-
badan kenegaraan memperoleh kewenangan dari
hukumtata negara;dalam melaksanakan kewenangan
itu badan-badan kenegaraan harus berdasarkan
hukum administrasi.
c. Romeijn
Hukum tata negara mengatur dasar-dasar negara,
sedangkan hukum administrasi mengenai pelaksanaan
teknisnya.
d. Donner
Hukum tata negara menetapkan tugas, sedangkan
hukum administrasi melaksanakan tugas itu yang
telah ditentukan oleh hukum tata negara.
e. Logemann
Hukum tata negara merupakan suatu pelajaran
tentang kompetensi, sedangkan hukum administrasi
tentang perhubungan hukum istimewa. Hukum tata
negara mempelajari:
1. Jabatan-jabatan apa yang ada dalam susunan
suatu negara
2. Siapa yang mengadakan jabatan-jabatan itu
3. Cara bagaimana ditempati oleh pejabat
4. Fungsi jabatan-jabatan itu
5. Kekuasaan hukum jabatan-jabatan itu
6. Hubungan antara jabatan-jabatan
7. Dalam batas-batas manakah organ-organ
kenegaraan dapat melakukan tugasnya.
Merujuk uraian di atas, terlihat kedua kelompok mempunyai
persamaan yaitu mengakui ada perbedaan antara hukum
22
administrasi dan hukum tata negara. Penulis cenderung masuk
dalam kelompok kedua mengingat kelompok pertama secara
tersirat mengakui ada perbedaan diantara keduanya; sehingga
apabila dikelompokkan maka hukum tata negara fokus kajiannya:
1. Jabatan-jabatan apa yang ada dalam susunan suatu
negara
2. Siapa yang mengadakan jabatan-jabatan itu.
3. Cara bagaimana jabatan-jabatan itu ditempati oleh
pejabat
4. Fungsi jabatan-jabatan
5. Kekuasaan hukum jabatan-jabatan itu
6. Hubungan antara masing-masing jabatan
7. Dalam batas-batas manakah organisasi kenegaraan
dapat melakukan tugasnya.
Di sisi lain, hukum administrasi fokus kajiannya:
1. Jabatan pemerintahan
2. Sifat jabatan pemerintahan
3. Akibat tindakan jabatan
4. Kedudukan hukum jabatan
5. Kekuasaan hukum (tugas dan wewenang) jabatan
6. Pengisian jabatan
7. Pembatasan jabatan
8. Instrumen pengatur jabatan
9. Landasan yuridis kewenangan jabatan
Hukum administrasi dan hukum tata negara memuat aturan
aturan yang menguasai jalannya lingkaran politik dan pemerintahan.
Aturan-aturan mengenai organisasi pemerintahan, mengenai alat-
alatnya, pengendalian, tentang dipengaruhinya pihak penguasa
oleh masyarakat umum, dan perlindungan hakim. Hukum tata
negara memuat prinsip-prinsip dasar, aturan pokok dari tata tertib
hukum publik. Aturan-aturan pokok tersebut dapat ditemukan
dalam berbagai konsititusi (Undang-Undang Dasar). Hukum
administrasi juga mengenal aturan-aturan yang berkaitan dengan
proses politik dan pemerintahan. Hukum tata negara memberikan
tugas dan wewenang, fungsi, jabatan, badan-badan lembaga
pemerintahan, sedangkan hukum administrasi bekerja ketika
badan atau lembaga pemerintahan tersebut akan menjalankan
tugas dan wewenangnya; dengan demikian hukum administrasi
23
merupakan tindak lanjut dari hukum tata negara artinya tugas dan
wewenang, fungsi, jabatan badan administrasi dijalankan dan
diatur dalam hukum administrasi; sehingga hukum administrasi
adalah sebagai perpanjangan dari hukum tata negara atau hukum
khusus dari hukum tata negara.
Merujuk uraian di atas dapat dirinci bahwa:
1. Hukum tata negara memiliki hubungan yang sangat erat
dengan hukum administrasi.
2. Kajian terhadap hukum administrasi tanpa memasuki
hukum tata negara dan sebaliknya kajian terhadap
hukum tata negara tanpa memasuki lapangan hukum
administrasi adalah kajian yang tidak lengkap.
3. Hukum administrasi merupakan perpanjangan dari
hukum tata negara.
4. Hukum tata negara memperhatikan negara dalam
keadaan tidak bergerak (staat in rust); yang memberi
wewenang, membagi pekerjaan dan memberi bagian-
bagian kepada masing-masing badan baik yang tinggi
atau yang rendah; sedangkan hukum administrasi
memperhatikan negara dalam keadaan bergerak (staat
in beweging); yaitu ketentuan-ketentuan yang mengikat
badan-badan yang tinggi atau yang rendah bila badan-
badan itu menggunakan wewenangnya yang telah
diberikan oleh hukum tata negara.14
Berdasarkan keseluruhan uraian di atas dapat disimpulkan:
1. Hukum tata negara adalah hukum yang mengatur
tingkah laku negara atau alat perlengkapan negara.
2. Hukum administrasi adalah hukum yang mengatur
tingkah laku pemerintah mengingat hukum administrasi
mempelajari sifat bentuk dan akibat hukum yang timbul
karena perbuatan hukum yang dilakukan pejabat dalam
melaksanakan tugasnya.
2.1.3. Hubungan Hukum Administrasi dan Hukum Pidana
Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum publik terbagi
kedalam 3 (tiga) golongan hukum; (1) hukum tata negara; (2)

14
Oppenheim dalam E.Utrech, Pengantar Hukum Administrasi Republik
Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1986, h.72-73.
24
hukum tata usaha negara; (3) hukum pidana. Disisi lain dari
hukum publik di atas, ada hukum privat atau hukum perdata. 15
Masing-masing hukum publik memiliki bentuk hukum yang bersifat
materiel maupun formil. Hukum materiel (materieel recht) adalah
kaidah atau norma yang berisi perintah (gebod), larangan (verbod),
dispensasi/pembebasan (vrijstelling), izin/permisi (toesteming),
serta sanksi yang dibentuk dan bersifat memaksa untuk mengatur
kehidupan masyarakat. Hukum formil (formeel recht or pocesrecht)
adalah kaidah atau norma yang mengatur tentang bagaimana
cara menerapkan dan menegakkan hukum materiel atau sebagai
hukum acara; oleh karena itu hukum acara mempunyai arti
turunan, yang hanya dipergunakan untuk menjamin pelaksanaan
dari kaidah-kaidah materiel yang ada.
Dilihat dari rumusan bentuk hukum materiel dan hukum
formil, maka hukum administrasi materiel terletak diantara hukum
perdata dan hukum pidana16; dengan kata lain, diantara kedua
hukum tersebut terletak hukum administrasi, oleh karena itu
hukum administrasi dapat dikatakan sebagai hukum antara.
Contoh: Izin Mendirikan Bangunan; izin bangunan merupakan
salah satu lingkup kerja hukum administrasi yakni wewenang
administrasi untuk memberi izin bangunan kepada masyarakat. Di
dalam memberikan izin, penguasa memperhatikan segi-segi
keamanan dari bangunan yang direncanakan tersebut sehingga
pemerintah akan menentukan syarat-syarat keamanan. Individu
atau badan hukum yang setelah diberikan izinnya dan ternyata
tidak memenuhi syarat keamanan yang telah ditetapkan dapat
dikenakan sanksi administrasi, sanksi pidana dan sekaligus sanksi
perdata (kumulasi eksternal).
Hukum administrasi sebagai hukum antara bermula dari
perbuatan perdata (individu) atau badan hukum swasta yang
kemudian diwajibkan memenuhi persyaratan yang ditetapkan
pemerintah; dengan demikian dalam hal tidak dipenuhinya
15
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia,
PT.Eresco, Bandung, 1989, h.2-3.
16
Perbedaan antara hukum perdata dan hukum pidana dapat dilihat dari
sisi penegakkannya. Hukum perdata berisi norma-norma yang penegakkannya
dapat diserahkan kepada swasta; sedangkan hukum pidana berisi norma-norma
yang esensial bagi kehidupan masyarakat, sehingga penegakkannya diserahkan
kepada penguasa.
25
ketentuan tersebut dapat dikenakan sanksi pidana. W.F.Prins
menjelaskan, hampir setiap peraturan baru berdasarkan hukum
administrasi diakhiri dengan “in cauda venenum” (ada racun
diekor) dengan sejumlah ketentuan pidana. Romejn menjelaskan
hukum pidana dapat dipandang sebagai hukum pembantu atau
“hulprecht” bagi hukum tata pemerintahan karena penetapan
sanksi pidana merupakan satu sarana untuk menegakkan hukum
tata pemerintahan; sebaliknya peraturan-peraturan hukum di
dalam perundang-undangan administratif dapat dimasukkan pula
dalam lingkungan hukum pidana. E. Utrecht menjelaskan bahwa
hukum pidana memberi sanksi istimewa baik atas pelanggaran
kaidah hukum privat, maupun atas pelanggaran kaidah hukum
publik. Victor Situmorang menjelaskan bahwa “apabila ada kaidah
hukum administrasi negara yang diulang kembali menjadi kaidah
hukum pidana, atau apabila ada pelanggaran kaidah hukum
administrasi negara, sanksinya terdapat dalam hukum pidana”.
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa hukum adinistrasi
adalah hukum publik karena isi, sifat dan hubungan serta sumber
kepentingan yang dilindungi adalah masyarakat (rakyat), dan
mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat. Di dalam
lingkungan hukum publik, hukum administrasi berdampingan
dengan hukum tata negara, hukum pidana. Hukum administrasi
terbagi dua yaitu hukum administrasi umum (Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009
dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik) dan hukum
administrasi khusus; misalnya hukum ketenagakerjaan, hukum
agraria (hukum pertanahan), hukum lingkungan, dan lain-lain. Di
dalam jajaran hukum publik kedudukan hukum administrasi
adalah hukum antara karena berada diantara hukum privat
(perdata) dan hukum publik (pidana). Sanksi “in cauda venenum”
ditujukan kepada orang/badan hukum berkaitan dengan
pelaksanaan keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan oleh
badan/pejabat tata usaha negara yang dilanggar.
2.1.4. Hubungan Hukum Administrasi dan Hukum Perdata
Di dalam lapangan hukum, hukum digolongkan menjadi
hukum publik dan hukum privat. Hukum publik sebagai hukum
yang mengatur hubungan antara pemerintah dan masyarakat;
sedangkan hukum privat adalah hukum yang mengatur hubungan
26
antara individu dan individu atau individu dan badan hukum.
Pembedaan hukum publik dan hukum privat dipengaruhi oleh isi,
sifat, hubungan serta sumber kepentingan yang hendak dilindungi.
Paul Scholten sebagaimana dikutip Victor Situmorang
menjelaskan bahwa hukum administrasi merupakan hukum
khusus tentang organisasi negara dan hukum perdata sebagai
hukum umum. Pandangan ini mempunyai dua asas; pertama,
negara dan badan hukum publik lainnya dapat menggunakan
peraturan-peraturan dari hukum perdata, seperti peraturan-
peraturan hukum perjanjian; kedua, asas lex specialis derogaat
lex generalis, artinya hukum khusus mengesampingkan hukum
umum, apabila suatu peristiwa hukum diatur baik oleh hukum
administrasi maupun oleh hukum perdata, maka peristiwa itu
diselesaikan berdasarkan hukum administrasi sebagai hukum
khusus, tidak diselesaikan berdasarkan hukum perdata sebagai
hukum umum. Terjadinya hubungan antara hukum administrasi
dan hukum perdata apabila:
1. Saat atau waktu terjadinya adopsi atau pengangkatan
kaidahhukum perdata menjadi kaidah hukum administrasi;
2. Badan administrasi negara melakukan perbuatan-
perbuatan yang dikuasai oleh hukum perdata;
3. Suatu kasus dikuasai oleh hukum perdata dan hukum
administrasi maka kasus itu diselesaikan berdasarkan
ketentuan-ketentuan hukum administrasi.

2.2. Fungsi Hukum Administrasi


Hukum administrasi sebagai hukum publik akan melakukan
tindakan publik dalam mengatur dan mengendalikan masyarakat.
Disisi lain hukum administrasi juga membatasi dan mengendalikan
tindakan publik (tindakan pemerintah) itu sendiri. Fungsi hukum
administrasi menurut P. De Haan, memiliki tiga fungsi antara lain:
fungsi normatif (normative functie); fungsi instrumental
(instrumentele functie); dan fungsi jaminan (waarborgfunctie).17

17
dalam Philipus M. Hadjon, Analisis Terhadap RUU tentang
Administrasi Pemerintahan, makalah dalam Lokakarya RUU Administrasi
Pemerintahan dan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan
Daerah, Surabaya 15 Juni 2005, h.2-3
27
2.2.1. Fungsi Normatif Hukum Administrasi
Fungsi normatif (normative functie) yang meliputi fungsi
organisasi (pemerintah) dan instrumen pemerintahan. Penentuan
norma hukum administrasi dilakukan melalui tahap-tahap. Untuk
dapat menemukan normanya kita harus meneliti dan melacak
melalui serangkaian peraturan perundang-undangan. Artinya,
peraturan hukum yang harus diterapkan tidak begitu saja kita
temukan dalam undang-undang, tetapi dalam kombinasi
peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan tata usaha negara
yang satu dengan yang lain saling berkaitan. Pada umumnya
ketentuan undang-undang yang berkaitan dengan hukum
administrasi hanya memuat norma-norma pokok atau umum,
sementara periciannya diserahkan pada peraturan pelaksanaan.
Penyerahan ini dikenal dengan istilah terugtred atau sikap mundur
dari pembuat undang-undang; yang disebabkan:
1. Karena keseluruhan hukum tata usaha negara itu demikian
luasnya, sehingga tidak mungkin bagi pembuat undang-
undang untuk mengatur seluruhnya dalam undang-undang
formal;
2. Norma-norma hukum tata usaha negara itu harus selalu
disesuaikan dengan tiap perubahan-perubahan keadaan
yang terjadi sehubungan dengan kemajuan dan
perkembangan teknologi yang tidak mungkin selalu diikuti
oleh pembuat undang-undang dengan mengaturnya dalam
suatu undang-undang formal;
3. Di samping itu tiap kali diperlukan pengaturan lebih lanjut
hal itu selalu berkaitan dengan penilaian-penilaian dari segi
teknis yang sangat mendetail, sehingga tidak sewajarnya
harus diminta pembuat undang-undang untuk mengaturnya.
Akan lebih cepat dilakukan dengan pengeluaran peraturan-
peraturan atau keputusan-keputusan tata usaha negara
yang lebih rendah tingkatannya, seperti Keppres, Peraturan
Menteri, dan sebagainya.
Telah disebutkan bahwa setiap tindakan pemerintah dalam
negara hukum harus didasarkan pada asas legalitas. Hal ini
berarti ketika pemerintah akan melakukan tindakan, terlebih
dahulu harus mencari apakah legalitas tindakan tersebut
28
ditemukan dalam undang-undang. Jika tidak terdapat dalam
undang-undang, pemerintah mencari dalam berbagai peraturan
perundang-undangan terkait. Ketika pemerintah tidak menemukan
dasar legalitas dari tindakan yang akan diambil sementara
pemerintah harus mengambil tindakan, maka pemerintah
menggunakan kewenangan bebas yaitu dengan menggunakan
freies ermessen. Meskipun penggunaan freies ermessen
dibenarkan, tetapi harus dalam batas-batas tertentu. Menurut
Sjachran Basah pelaksanaan freies ermessen harus dapat
dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha
Esa, dan secara hukum berdasarkan batas-atas dan batas-
bawah. Batas-atas yaitu peraturan yang tingkat derajatnya lebih
rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkat
derajatnya lebih tinggi. Batas-bawah ialah peraturan yang dibuat
atau sikap-tindak administrasi negara (baik aktif maupun pasif),
tidak boleh melanggar hak dan kewajiban asasi warga.
Pelaksanaan freies ermessen harus memperhatikan asas-asas
umum pemerintahan yang baik.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirinci bahwa fungsi
normatif hukum administrasi yang meliputi fungsi organisasi
(pemerintah) dan instrumen pemerintahan adalah untuk mengatur
dan menentukan penyelenggaraan pemerintahan agar sesuai
dengan gagasan negara hukum yang melatarbelakanginya, yakni
negara hukum Pancasila.
2.2.2. Fungsi Instrumental Hukum Administrasi
Fungsi instrumental (instrumentele functie) yang meliputi
fungsi instrumental aktif dan fungsi instrumental pasif. Fungsi
instrumental aktif dalam bentuk kewenangan, instrumental pasif
dalam bentuk kebijaksanaan (beleid). Fungsi instrumental ini
diarahkan pada pencapaian tujuan pemerintahan, sehingga
mengandung asas efisiensi (dayaguna) dan asas efektifitas
(hasilguna). Pemerintah dalam melakukan berbagai kegiatannya
menggunakan instrumen yuridis seperti peraturan, keputusan,
peraturan kebijaksanaan, dan sebagainya. Dalam negara modern
yang menganut type welfare state, pemberian kewenangan yang
luas bagi pemerintah merupakan konsekuensi logis, termasuk
memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menciptakan
berbagai instrumen yuridis sebagai sarana untuk kelancaran
29
penyelenggaraan pemerintahan. Pembuatan instrumen yuridis
oleh pemerintah harus didasarkan pada wewenang yang diberikan
peraturan perundang-undangan; contoh: pembuatan keputusan.
Di dalam pembuatan keputusan, hukum administrasi menentukan
syarat materiel dan syarat formal, sebagai berikut:
a. Syarat-syarat material:
 alat pemerintahan yang membuat keputusan harus
berwenang;
 keputusan tidak boleh mengandung kekurangan-
kekurangan yuridis seperti penipuan, paksaan,
sogokan, kesesatan, dan kekeliruan;
 keputusan harus diberi bentuk sesuai dengan
peraturan dasarnya dan pembuatnya juga harus
memperhatikan prosedur membuat keputusan;
 isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi
dan tujuan peraturan dasarnya.
b. Syarat-syarat formal :
 syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan
persiapan dibuatnya keputusan dan berhubung
dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi;
 harus diberi bentuk yang telah ditentukan;
 syarat-syarat berhubung dengan pelaksanaan
keputusan itu dipenuhi;
 jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-
hal yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkan
nya keputusan itu tidak boleh dilupakan.
Berdasarkan uraian di atas dapat dirinci bahwa fungsi
instrumental (instrumentele functie) baik instrumental aktif dan
instrumental pasif serta persyaratan yang ditentukan dalam
hukum administrasi untuk penyelenggaraan pemerintahan akan
berjalan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan sejalan
dengan tuntutan negara berdasarkan atas hukum terutama
memberikan perlindungan hukum bagi warga masyarakat.
1.2.A. Fungsi Jaminan Hukum Administrasi
P. De Haan menjelaskan, fungsi jaminan (waarborgfunctie)
meliputi tiga jenis jaminan:

30
1. jaminan pemerintahan (besturlijk waarborgen) yang
menyangkut tentang aspek doelmatige dan democratie,
antara lain: keterbukaan (openbaarheid), inspraak dan
berbagai mekanisme pengawasan (controll);
2. perlindungan hukum (rechtsbescherming);
3. ganti rugi (de schadevergoeding).18
J.van der Hoeven dalam bukunya De Drie Dimensies van
het Bestuursrecht memaparkan tiga sisi hukum administrasi yaitu:
a. normativiteit; yaitu hukum tentang kekuasaan memerintah
(recht op de regermacht);
b. organisasi dan instrumental (de organizatie en
instrumentarium);
c. kedudukan hukum warganegara terhadap pemerintahan
(de rechtspositie van der tegenover het bestuur).
Merujuk keseluruhan uraian dari fungsi hukum administrasi
di atas dapat disimpulkan bahwa hukum administrasi berfungsi
sebagai norma yang mengatur lembaga dan kekuasaan
pemerintah dalam menjalankan pemerintahan; sebagai sarana
menjalankan pemerintahan melalui wewenang ataukebijaksanaan;
dan berfungsi menjamin warganegara atas tindakan pemerintah.

18
Ibid, h.2-3
31
BAB III
SUMBER-SUMBER HUKUM

Tujuan Instruksional Umum


Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan
memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai sumber-
sumber hukum.

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan:
1. Adanya pemahaman mengenai istilah sumber hukum.
2. Memahami pengertian sumber hukum.
3. Mengetahui macam-macam sumber hukum.
4. Mengetahui sumber hukum administrasi.

32
3.1. Istilah Sumber Hukum
Istilah sumber hukum mempunyai arti yang beraneka
ragam, tergantung dari sudut mana orang melihatnya. Bagi ahli
sejarah, sumber hukum mempunyai arti yang berbeda dengan
pendapat ahli kemasyarakatan. Sumber hukum menurut ahli
ekonomi tidak akan sama artinya dengan sumber hukum menurut
ahli hukum; demikian pula dengan ahli filsafat yang melihat
sumber hukum dari sudut filsafat. Paton menjelaskan, The term
sources of law has many meanings and its frequent cause of error
unless we scrutines carefully the particular meaning given to it any
particular text”.19
Istilah sumber hukum mempunyai banyak arti yang sering
menimbulkan kesalahan-kesalahan, kecuali kalau diteliti dengan
seksama mengenai arti tertentu yang diberikan kepadanya dalam
pokok pembicaraan tertentu pula. Untuk mengetahui sumber
hukum terlebih dahulu harus ditentukan dari sudut mana sumber
hukum itu dilihat, apakah dari sudut ilmu hukum, ilmu ekonomi,
filsafat atau ilmu kemasyarakatan. van Apeldoorn dalam buku
“Inleiding tot de studie van het Nederlandsrecht” menjelaskan
bahwa perkataan sumber hukum dipakai dalam arti sejarah,
kemasyarakatan, filsafat dan formil.20
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa istilah
sumber hukum antara ahli yang satu dan ahli yang lain akan
berbeda-beda karena mereka melihat dari sudut disiplin ilmunya
masing-masing.
3.2. Pengertian Sumber Hukum
         Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan
aturan-aturan yang mengikat dan memaksa. Apabila aturan-
aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi bagi pelanggarnya.
Makna segala sesuatu adalah faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap timbulnya hukum. Faktor-faktor yang merupakan sumber
kekuatan berlakunya hukum secara fomal artinya darimana
hukum itu dapat ditemukan, darimana asal mulanya hukum,
dimana hukum dapat dicari atau hakim untuk menemukan hukum,
19
Paton George Whitecross, Textbook of Jurisprudence, op cit. h. 140
20
Apeldoorn. Pengantar Ilmu Hukum, op cit, h. 72-75

33
sehingga dasar putusannya dapat diketahui bahwa suatu
peraturan tertentu mempunyai kekuatan mengikat atau berlaku
dan lain sebagainya. Aktivitas hukum administrasi yang mencakup
kegiatan administrasi negara yang bersifat nasional dan juga
internasional tentunya menjadikan sumber hukum administrasi
dapat berasal dari sumber hukum nasional berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan sumber
hukum internasional seperti perjanjian internasional antara
Indonesia dan negara lain, dan juga berupa konvensi internasional
yang telah diratifikasi. 
3.3. Macam-Macam Sumber Hukum
Algra membagi sumber hukum menjadi dua yaitu sumber
hukum materiil dan sumber hukum formil.
a. Sumber hukum materiel, ialah tempat dimana hukum itu
diambil. Sumber hukum materiil merupakan faktor yang
membantu pembentukan hukum, misalnya hubungan
sosial politik, situasi sosial ekonomi, pandangan
keagamaan dan kesusilaan, hasil penelitian ilmiah,
perkembangan internasional, keadaan geografis.
Contoh, seorang ahli ekonomi akan mengatakan bahwa
kebutuhan-kebutuhan ekonomi dalam masyarakat itulah
yang menyebabkan timbulnya hukum. Bagi ahli
kemasyarakatan (sosiolog) akan mengatakan bahwa
yang menjadi sumber hukum ialah peristiwa-peristiwa
yang terjadi di dalam masyarakat.
b. Sumber hukum formil adalah sumber hukum yang
dikenal dari bentuknya. Bentuknya itulah yang
menyebabkan hukum berlaku umum, diketahui dan
ditaati. Disinilah suatu kaidah memperoleh kualifikasi
sebagai kaidah hukum dan oleh yang berwenang ia
merupakan petunjuk hidup yang harus diberi
perlindungan.21
van Apeldoorn yang dikutip R. Soeroso22 membedakan
empat macam sumber hukum, yaitu:

21
E.Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Ichtisar, Jkt, h.133-134
22
R. Soeroso, 2005, h.118
34
a. Sumber hukum dalam arti sejarah, yaitu tempat kita
dapat menemukan hukumnya dalam sejarah atau dari
segi historis. Sumber hukum dalam arti sejarah dibagi
menjadi dua yaitu:
1. Sumber hukum yang merupakan tempat dapat
diketemukan atau dikenalnya hukum secara historis,
dokumen-dokumen kuno, lontar dan sebagainya.
2. Sumber hukum yang merupakan tempat pembentukan
undang-undang mengambil bahannya.
b. Sumber hukum dalam arti sosiologis (teleologis)
merupakan faktor-faktor yang menentukan isi hukum
positif, misalnya keadaan agama, pandangan agama,
dan sebagainya.
c. Sumber hukum dalam arti filosofis, dibagi menjadi dua:
1. Sumber isi hukum, disini ditanyakan isi hukum itu
asalnya dari mana. Ada tiga pandangan yang
mencoba menjawab tantangan pertanyaan ini yaitu:
Pandangan teoritis, yaitu pandangan bahwa isi
hukum berasal dari Tuhan
Pandangan hukum kodrat, yaitu pandangan
bahwa isi hukum berasal dari akal manusia
Pandangan mazhab historis, yaitu pandangan
bahwa isi hukum berasal dari kesadaran hukum
2. Sumber kekuatan mengikat dari hukum, mengapa
hukum mempunyai kekuatan mengikat, mengapa
kita tunduk pada hukum. Kekuatan mengikat dari
kaedah hukum bukan semata-mata didasarkan
pada kekuatan yang bersifat memaksa, tetapi
karena kebanyakan orang didorong oleh alasan
kesusilaan atau kepercayaan.
d. Sumber hukum dalam arti formil, yaitu sumber hukum
yang dilihat dari cara terjadinya hukum positif yang
menimbulkan hukum yang mengikat hakim dan
masyarakat. Isinya timbul dari kesadaran masyarakat.
Peraturan tentang tingkah laku harus dituangkan dalam
bentuk undang-undang, kebiasaan dan traktat atau
perjanjian antar negara.

35
Marhaenis23, membedakan sumber hukum menjadi:
a. Sumber hukum filosofis idiologis, ialah sumber hukum
yang dilihat dari kepentingan individu, nasional, atau
internasional sesuai dengan falsafah dan ideologi (way
of life) suatu negara; seperti: liberalisme, komunisme,
leninisme, pancasila.
b. Sumber hukum yuridis, merupakan penjabaran langsung
dari sumber hukum segi filosofis idiologis, yang diadakan
pembedaan antara sumber hukum formal dan sumber
hukum materiel.
1. Sumber Hukum Materiil, ialah sumber hukum yang
dilihat dari segi isinya; misal KUHP segi materiilnya
ialah mengatur tentang pidana umum, kejahatan,
dan pelanggaran. KUHPerdata dari segi materiilnya
mengatur tentang masalah orang sebagai subyek
hukum, barang sebagai obyek hukum, perikatan,
perjanjian, pembuktian, dan kadaluarsa.
2. Sumber Hukum Formal, adalah sumber hukum
dilihat dari segi yuridis dalam arti formal yaitu
sumber hukum dari segi bentuknya yang lazim
terdiri dari: Undang-Undang, Kebiasaan, Traktat,
Yurisprudensi, Traktat.
3.4. Sumber Hukum Administrasi
Menurut E. Utrecht sumber hukum formil hukum administrasi:
a. Undang-Undang/Hukum Administrasi Tertulis
Menurut Buys, undang-undang ini mempunyai dua arti:
1. Undang-Undang dalam arti formil, yaitu setiap keputusan
yang merupakan undang-undang karena cara
pembuatannya. Di Indonesia Undang-Undang dalam arti
formil ditetapkan presiden bersama DPR.
2. Undang-Undang dalam arti materiel, yaitu setiap
keputusan pemerintah yang menurut isinya mengikat
langsung setiap penduduk. Contoh: UUPA ditinjau dari
segi kekuatan mengikatnya undang-undang ini mengikat
setiap WNI di bidang agraria.

23
 Marhaenis, 1981, h. 46
36
Berdasarkan amandemen pertama UUD 1945 pada Pasal 5
ayat 1 ditentukan bahwa “Presiden berhak mengajukan rancangan
undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Dalam Pasal
20 ayat 1 ditentukan: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang
kekuasaan membentuk undang-undang”. Berdasarkan Pasal 20
ayat 2 ditentukan: “Setiap rancangan undang-undang dibahas
oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama”.
Adanya perubahan UUD 1945, kedudukan DPR merupakan
lembaga pemegang kekuasaan legislatif, sedangkan fungsi
inisiatif di bidang legislasi yang dimiliki Presiden tidak menempatkan
Presiden sebagai pemegang kekuasaan utama di bidang ini.
Perubahan ini sekaligus menegaskan bahwa UUD 1945 dengan
sungguh-sungguh menerapkan sistem pemisahan kekuasaan
legislatif, eksekutif, dan yudisial dimana sebelumnya fungsi
legislatif dan eksekutif tidak dipisahkan secara tegas dan masih
tumpang tindih.
Bentuk hukum peraturan daerah Provinsi, Kabupaten/ Kota,
dan Peraturan Desa, sama-sama merupakan bentuk peraturan
yang proses pembentukannya melibatkan peran wakil rakyat dan
kepala pemerintahan setempat. Khusus untuk tingkat desa,
meskipun tidak terdapat lembaga parlemen, sebagaimana diatur
dalam Pasal 209 dan Pasal 210 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dibentuk Badan
Permusyawaratan Desa, ditetapkan: “Badan Permusyawaratan
Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala
desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat”. Untuk
melaksanakan peraturan perundangan yang melibatkan peran
para wakil rakyat tersebut, maka kepala pemerintahan yang
bersangkutan juga perlu diberi wewenang untuk membuat
peraturan-peraturan yang bersifat pelaksanaan. Karena itu selain
Undang-Undang, Presiden juga berwenang mengeluarkan
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Demikian pula
Gubernur, Bupati, Walikota, dan Kepala Desa, selain bersama-
sama para wakil rakyat membentuk peraturan daerah dan
peraturan desa, juga berwenang mengeluarkan peraturan kepala
daerah sebagai pelaksanaan terhadap peraturan yang lebih tinggi
tersebut. Dari Undang-Undang Dasar 1945 ini mengalir peraturan-

37
perundang-undangan formil lainnya sesuai hirarkhi hukum saat ini
merujuk pada Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan.
1. Undang-Undang Dasar 1945
Sumber hukum formil dalam hukum administrasi Indonesia
tidak hanya terbatas pada sumber hukum tertulis. 24 Pancasila
sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang kemudian
menjadi falsafah negara, merupakan sumber hukum dalam arti
materiel yang tidak saja menjiwai tetapi harus dilaksanakan oleh
setiap aturan hukum. Pancasila merupakan alat penguji untuk
setiap aturan hukum yang berlaku, apakah bertentangan atau
tidak dengan Pancasila; aturan hukum yang bertentangan dengan
Pancasila tidak berlaku. Sumber hukum formil dalam hukum
administrasi Indonesia dapat dilihat pada Undang-Undang Dasar
1945. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber hukum, selain
merupakan hukum dasar tertulis yang mengatur masalah
kenegaraan, juga merupakan dasar ketentuan lainnya; contoh:
Pasal 19 menentukan bahwa susunan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) ditentukan dengan Undang-Undang. Penunjukan diatur
dengan Undang-Undang ini menyebabkan Undang-Undang Dasar
1945 menjadi sumber hukum.
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang sebagai sumber hukum dapat dilihat pada Undang-
Undang Dasar 1945 di dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat
(1) serta Pasal 22. Bentuk peraturan lain sebagai sumber hukum
yang sederajat dengan Undang-Undang ialah Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Sebenarnya dari
nama dan badan yang menetapkannya, tingkat Perpu ini di bawah
Undang-Undang. Tetapi karena bentuk peraturan ini dimaksud
sebagai pengganti Undang-Undang maka derajatnya sama
24
Penjelasan UUD 1945, Undang-Undang Dasar sebagian dari hukum
dasar. Undang-Undang Dasar suatu negara ialah hanya sebagian dari hukumnya
dasar Negara. Undang-Undang Dasar itulah hukum dasar yang tertulis, sedang
disampingnya Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak
tertulis ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik
penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis.

38
dengan Undang-Undang. Perpu ini ditetapkan Presiden dalam hal
kegentingan yang memaksa yang kalau ditetapkan dalam bentuk
Undang-Undang akan membutuhkan waktu lama, sedangkan
keadaan yang genting itu harus segera diatasi, sehingga kepada
Presiden diberikan hak untuk menetapkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang, dengan syarat bahwa Presiden harus
meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam sidang
berikutnya. Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat menyetujuinya
maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang itu
dijadikan Undang-Undang. Sebaliknya dalam hal Dewan Perwakilan
Rakyat menolaknya, Presiden harus mencabut Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut. Hal ini diatur di
dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945.
3. Peraturan Pemerintah
Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk
menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya, demikian
ketentuan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Peraturan Pemerintah diadakan untuk melaksanakan Undang-
Undang, sehingga tidak mungkin bagi Presiden untuk menetapkan
Peraturan Pemerintah sebelum ada Undang-Undangnya.
4. Peraturan Presiden
Dalam perkembangan ketatanegaraan25, hirarki aturan
hukum yang berlaku di Indonesia saat ini adalah Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan LNRI Tahun 2004 Nomor 53, TLN-RI
Nomor 4389. Secara berurutan berdasarkan ketentuan Pasal 7
ayat (1), hirarki aturan hukum tersebut: (a) UUD 1945; (b)
UU/Perpu; (c) PP; (d) Perpres; (e) Perda.
Merujuk ketentuan di atas dapat dilihat bahwa Peraturan
Presiden adalah peraturanperundang-undangan; penyebutan
Peraturan Presiden ini membawa konsekuensi semua Keputusan
Presiden yang pernah dikeluarkan sebelum dikeluarkannya
undang-undang ini harus dibaca Peraturan Presiden.
5. Peraturan Daerah

25
Yudhi Setiawan dan I Gusti Ngurah Wairocana, Analisis Hukum
Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004, Jurnal Yuridika, vol.21 No.3, Mei 2006,
h.333
39
Seperti halnya dengan Peraturan Presiden, Peraturan
Daerah adalah peraturanperundang-undangan. Dalam tingkatan
nya ada Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten/kota, kedua peraturan di atas kekuatan hukumnya
sama; namun karena perbedaan tingkatan, Peraturan Daerah
Kabupaten/kota harus sinkron dengan Peraturan Daerah Provinsi;
dengan kata lain dilarang bertentangan dengan Peraturan Daerah
Provinsi. Dalam hal terjadi pertentangan Peraturan Daerah
Kabupaten/kota harus dibatalkan.
b. Praktik administrasi negara (hukum administrasi yang
merupakan hukum kebiasaan)
 Utrecht menjelaskan: “hukum kebiasaan ialah kaidah-
kaidah yang biarpun tidak ditentukan badan-badan perundang-
undangan dalam suasana “werkelijkheid” (kenyataan) ditaati juga,
karena orang menerima kaidah-kaidah itu sebagai hukum dan
ternyata kaidah-kaidah tersebut dipertahankan oleh penguasa-
penguasa masyarakat lain yang tidak termasuk lingkungan badan-
badan perundang-undangan;26dengan demikian hukum kebiasaan
itu kaidah yang biarpun tidak tertulis dalam peraturan perundang-
undangan masih juga sama kuatnya dengan hukum tertulis.
Apalagi bilamana kaidah tersebut mendapat perhatian dari
pemerintah”. Sudikno menjelaskan, kebiasaan merupakan tindakan
menurut pola tingkah laku yang tetap, ajeg, lazim, normal atau
adat dalam masyarakat atau pergaulan hidup tertentu. 27 Perilaku
yang tetap atau ajeg ini merupakan perilaku manusia yang
diulang. Perilaku yang diulang ini mempunyai kekuatan mengikat.
Karena diulang oleh orang banyak maka mengikat orang-orang
lain untuk melakukan hal yang sama karenanya menimbulkan
keyakinan atau kesadaran bahwa hal itu memang patut dilakukan.
Tingkah laku kebiasaan atau adat adalah kepatutan dan bukan
semata-mata unsur terulang atau ajegnya tingkah laku. Karena
dirasakan patut inilah maka lalu diulang, dan patut tidaknya suatu
tingkah laku tadi bukan karena pendapat seseorang tetapi
pendapat masyarakat. Tidak semua kebiasaan mengandung
hukum yang baik dan adil. Belum tentu suatu kebiasaan atau adat

26
Utrecht,1966, h. 120-122
27
Sudikno,1986, h.82
40
istiadat itu pasti menjadi sumber hukum. Hanya kebiasan-
kebiasaan dan adat istiadat yang baik dan diterima masyarakat
yang sesuai dengan kepribadian masyarakat yang kemudian
berkembang menjadi hukum kebiasaan. Sebaliknya ada kebiasaan-
kebiasaan yang tidak baik dan ditolak masyarakat dan ini tentunya
tidak akan menjadi hukum kebiasaan masyarakat; contoh:
kebiasaan begadang, berpakaian seronok, dan sebagainya. Lebih
lanjut Sudikno menjelaskan, untuk timbulnya kebiasaan diperlukan
beberapa syarat yaitu:
1. Syarat materiil
Adanya perbuatan tingkah laku yang dilakukan secara
berulang-ulang (longa et invetarata consuetindo).
2. Syarat intelektual
Adanya keyakinan hukum dari masyarakat yang
bersangkutan (opinio necessitatis).
3. Syarat akibat hukum apabila hukum itu dilanggar
Di Indonesia kebiasaan diatur dalam BW:
a. Pasal 1339 BW menentukan:
“Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang
dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk
segala sesuatu yang menurut sifat perjanjiannya
diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-
undang”.
b. Pasal 1346 BW menentukan:
“Apa yang meragukan harus ditafsirkan menurut apa
yang menjadi kebiasaan dalam negeri atau di tempat
persetujuan telah dibuat”.
c. Pasal 1571 BW menentukan:
“Jika perjanjian sewa menyewa tidak dibuat tertulis,
maka perjanjian sewa menyewa tidak berakhir pada
waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak yang satu
memberitahukan kepada pihak lain bahwa ia hendak
menghentikan perjanjian dengan mengindahkan tenggang
waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat”.
Mengenai praktik administrasi sebagai sumber hukum
formil, dapat dikatakan bahwa praktik itu membentuk hukum
administrasi kebiasaan (hukum tidak tertulis). Hukum administrasi
kebiasaan dibentuk dan dipertahankan di dalam keputusan-
41
keputusan para pejabat administrasi. Sebagai sumber hukum
formil, sering sekali praktik administrasi berdiri sendiri
(zelfstandig) disamping undang-undang. Tidak jarang praktik
administrasi mengesampingkan (opzijzetten) peraturan
perundang-undangan yang telah ada.
R.Soeroso menjelaskan, kelemahan dari hukum kebiasaan:
1. hukum kebiasaan bersifat tidak tertulis dan oleh
karenanya tidak dapat dirumuskan secara jelas dan
umumnya sukar menggantinya.
2. bahwa hukum kebiasaan tidak menjamin kepastian
hukum dan sering menyulitkan beracara karena hukum
kebiasaan mempunyai sifat aneka ragam.28
c. Traktat
Dalam kamus Hukum Internasional tidak dibedakan antara
traktat dan perjanjian, bahkan traktat dan perjanjian adalah sama
artinya; namun menurut Bellefroid kedua hal itu mempunyai arti
yang berbeda. Traktat adalah perjanjian yang terikat pada bentuk
tertentu, sedangkan perjanjian tidak selalu terikat pada bentuk
itu.29 Traktat adalah suatu perjanjian antar negara yang dilakukan
oleh dua negara atau lebih. Akibat perjanjian ini ialah bahwa
pihak-pihak yang bersangkutan terikat pada perjanjian yang
mereka adakan itu. Hal ini disebut Pacta Sun Servada yang berarti
bahwa perjanjian mengikat pihak-pihak yang mengadakan atau
setiap perjanjian harus ditaati dan ditepati oleh kedua belah pihak.
Beberapa macam traktat (treaty) yaitu:
1. Traktat bilateral atau binasional atau twee zijdig
Apabila perjanjian dilakukan oleh dua negara. Contoh:
traktat antara pemerintah Indonesia dan pemerintah
Malaysia tentang Perjanjian ekstradisi menyangkut
kejahatan kriminal biasa dan kejahatan politik.
2. Traktat multilateral
28
R. Soeroso, 2005, h. 155
29
Bellefroid, J. H., Inleiding tot de rechtswetenachap in Nederland,
Dekker & van de Vegt. N.V. Nijmegen 1948 Utrecht, h. 107, stalen gun ook
overeenkomst aan, waarby de tractaatsvorm enkel esalleen door nota-wiselling of
door briefwisseling gesboten worden. Alworden die overeenkomst doorgaans niet
met de naam tractsten bestempeld toch staatn zij, van juridisch standpunt
beschouwd mettracten op een lijn”.

42
Perjanjian yang dilakukan oleh banyak negara. Contoh:
perjanjian kerjasama beberapa negara di bidang
pertahanan seperti NATO.  
3. Traktat kolektif atau traktat terbuka
Perjanjian yang dilakukan oleh beberapa negara atau
multilateral yang kemudian terbuka untuk negara lain
untuk terikat pada perjanjian tersebut. Contoh: perjanjian
dalam PBB dimana negara lain, terbuka untuk ikut
menjadi anggota PBB yang terikat pada perjanjian yang
ditetapkan PBB.
Pelaksanaan pembuatan traktat dapat dilakukan dalam
beberapa tahap dimana setiap negara mungkin saja berbeda,
tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
a. Tahap Perundingan
Tahap ini merupakan tahap yang paling awal biasa
dilakukan oleh negara-negara yang akan mengadakan
perjanjian. Perundingan dapat dilakukan secara lisan
atau tertulis atau melalui teknologi informasi lainnya.
Perundingan juga dapat dilakukan melalui utusan
masing-masing negara untuk bertemu dan berunding
baik melalui konferensi, kongres, muktamar atau sidang.
b. Tahap Penutupan
Tahap penutupan biasanya apabila tahap perundingan
telah tercapai kata sepakat, perundingan ditutup dengan
suatu naskah dalam bentuk teks tertulis yang dikenal
dengan istilah “Piagam Hasil Perundingan” atau “Sluitings-
Oorkonde”. Piagam penutupan ini ditandatangani masing-
masing utusan negara yang mengadakan perjanjian.
c. Tahap Pengesahan atau Ratifikasi
Persetujuan piagam hasil perundingan tersebut oleh
masing-masing negara (biasanya tiap negara menerapkan
mekanisme berbeda) dimintakan persetujuan 30 oleh
lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan untuk itu.
d. Tahap Pertukaran Piagam

30
Lihat Utrecht. E., Pengantar Dalam Hukum Indonesia, op. cit, h. 186,
sbb: 1. Penetapan, 2. Persetujuan masing-masing Dewan Perwakilan Rakyat dari
fihak bersangkutan, 3. ratifikasi, pengesahan oleh masing-masing Kepala Negara,
4. pelantikan atau pengumuman (afkondiging)
43
Pertukaran piagam dalam perjanjian bilateral maka
naskah piagam yang telah diratifikasi atau telah
disahkan oleh negara masing-masing dipertukarkan
antara kedua negara yang bersangkutan. Dalam traktat
kolektif atau terbuka peletakkan naskah piagam diganti
dengan peletakkan surat-surat piagam yang telah
disahkan masing-masing negara itu dalam dua
kemungkinan yaitu disimpan oleh salah satu negara
berdasarkan persetujuan bersama yang sebelumnya
dinyatakan dalam traktat atau disimpan dalam arsip
markas besar PBB yaitu pada Sekretaris Jenderal PBB.
Di Indonesia, tahap pertama adalah wewenang Presiden.
Presiden dalam rangka hubungan dengan luar negeri menentukan
perjanjian apa yang perlu diadakan dengan negara lain. Dalam hal
ini Dewan Perwakilan Rakyat sama sekali tidak turut campur
secara langsung, namun demikian kadang-kadang Dewan
Perwakilan Rakyat dapat pula menyatakan pendapatnya di muka
umum bahwa antara Republik Indonesia dan negara lain belum
waktunya diadakan perjanjian. Hal ini jelas akan berakibat jauh
terhadap Presiden. Berdasarkan azas kedaulatan rakyat dapat
dilihat bahwa tahap kedua yang terpenting, karena bagaimanapun
juga rakyat harus mengetahui setiap kegiatan Presiden yang
diadakan dengan negara lain sebab setiap perjanjian dengan
negara lain dapat berakibat langsung terhadap kehidupan rakyat
banyak. Wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat seyogyanya
harus mengetahui apakah suatu perjanjian akan menguntungkan
rakyat atau tidak. Sebagai contoh, pinjaman jangka panjang dari
luar negeri, atau bantuan pinjaman luar negeri; mengingat
menyangkut keuangan negara seyogyanya mendapat persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.
Traktat atau perjanjian merupakan sumber hukum materiel
dan sumber hukum formil hukum administrasi. Sebagai contoh,
perjanjian dwi kewarganegaraan pada masa Undang-Undang
Dasar Sementara 1950. Perjanjian yang mengatur dwi-
kewarganegaraan dulu merupakan sumber hukum formil hukum
administrasi, karena kewarganegaraan adalah merupakan salah
satu bagian dari hukum administrasi. Undang-Undang Dasar 1945
tidak membedakan antara istilah perjanjian dan traktat, hanya
44
dalam Pasal 11 ditentukan: istilah perjanjian dengan negara lain,
dan dalam kepustakaan wewenang ini disebut sebagai “diplomatic
power”, atau “foreign affairs” atau hubungan luar negeri”, atau
“kekuasaan diplomatik”.31 Dalam Pasal 11 Undang-Undang Dasar
1945 tidak diperinci lebih lanjut apakah semua perjanjian seperti
halnya dengan persetujuan termasuk di dalamnya (internasional
agreement); Ismail Sunny menjelaskan, hal-hal yang termasuk
dalam internasional agreement tidak memerlukan persetujuan dari
Dewan Perwakilan Rakyat.32
Dalam praktik ketatanegaraan yang dipakai sebagai dasar
untuk menjalankan Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 adalah
Surat Presiden kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
Royong tanggal 22 Agustus 1960 Nomor 2826/HK/1960. Dalam
surat ini dibedakan dua macam perjanjian internasional, yaitu:
1. perjanjian internasional yang memuat materi penting
(treaty).
2. perjanjian internasional yang memuat materi kurang
penting (agreement).
Perjanjian internasional yang memuat materi penting:
a. soal-soal politik dan soal-soal yang dapat
mempengaruhi haluan politik luar negeri negara,
seperti perjanjian persahabatan, persekutuan,
perubahan wilayah atau penetapan tapal batas;
b. ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya sehingga
mempengaruhi haluan politik luar negeri negara, dan;
c. soal-soal yang menurut Undang-Undang Dasar 1945
atau peraturan perundang-undangan hanya diatur
dengan Undang-Undang; contoh, kewarganegaraan.

31
C.F. Strong merangkai istilah “diplomatic power” dalam Modern Political
Constitutions, Sidwick & Jackson Limited London, 1963, h. 233, Bernard Schwartz
menyebut dalam pembahasan “foreign affairs”, American Constitutional Law,
Cambridge University Press, 1955, h. 102. Wolhoff memakai istilah “hubungan luar
negeri” dalam bukunya Pengantar Hukum Tata Negara Republik Indonesia,
Jakarta”, Timun Mas. 1960, h. 193. Ismail Sunny menyebutnya “kekuasaan
diplomatik”, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Nilam, Jakarta; 1966, h. 34, 83 dan
125. Wirjono Prodjodikoro menyebutnya “hubungan luar negeri”, Azas-azas Hukum
Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat. Jakarta, 1974. h. 67.
32
Ismail Sunny. Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, op. cit h. 83.

45
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa di luar
point-point di atas masuk kategori sebagai perjanjian internasional
yang kurang penting; namun mengingat materi dari internasional
agreement kadang-kadang menyangkut hajat hidup rakyat
banyak, persetujuan (international agreement) seyogyanya
mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
d. Yurisprudensi baik keputusan yang diberi kesempatan banding
(oleh hakim atau tidak ada banding oleh hukum administrasi)
Istilah yurisprudensi berasal dari yurisprudentia (bahasa
latin) yang berarti pengetahuan hukum (rechts geleerdheid). Kata
yurisprudensi sama dengan “yurisprudentie” (bahasa Perancis)
yaitu peradilan tetap atau bukan peradilan. yurisprudensi dalam
bahasa Inggris berarti teori ilmu hukum (algemeene rechtsleer:
General theory of law), untuk yurisprudensi dipergunakan istilah
Case Law atau Judge Made Law. Dalam praktik peradilan
yurisprudensi adalah keputusan hakim yang dijadikan pedoman
hakim lain dalam memutuskan kasus-kasus yang sama. Alasan
hakim mempergunakan putusan hakim lain adalah:
1. Pertimbangan Psikologis
Hal ini biasanya terutama pada keputusan Pengadilan
Tinggi dan Mahkamah Agung, biasanya untuk kasus-
kasus yang sama hakim di bawahnya secara psikologis
segan jika tidak mengikuti keputusan hakim di atasnya.
2. Pertimbangan Praktis
Didasarkan dalam kasus yang sudah pernah diputuskan
oleh hakim terdahulu dan sudah diperkuat pengadilan
tinggi atau MA akan lebih praktis apabila hakim
berikutnya memberikan putusan yang sama pula. Dalam
hal keputusan hakim yang tingkatannya lebih rendah
memberi keputusan yang menyimpang atau berbeda
dari keputusan yang lebih tinggi untuk kasus sama,
keputusan biasanya tidak dibenarkan/dikalahkan pada
waktu putusan itu dimintakan banding atau kasasi.
3. Pendapat yang sama
Pendapat yang sama terjadi karena hakim sependapat
dengan keputusan hakim yang terlebih dahulu untuk
kasus yang serupa atau sama.

46
e. Doktrin/pendapat para ahli hukum
Hakim dalam memutuskan perkara berdasarkan undang-
undang, perjanjian internasional dan yurisprudensi. Apabila ketiga
sumber di atas, belum dapat memberi semua jawaban mengenai
hukumnya, maka hukumnya dicari pada pendapat para sarjana
hukum; dengan demikian doktrin adalah pendapat para sarjana
hukum terkemuka yang besar pengaruhnya terhadap hakim dalam
mengambil keputusannya. Di Indonesia dalam hukum Islam
banyak ajaran Imam Syafi’i digunakan hakim pada pengadilan
agama dalam pengambilan putusan-putusannya.
f. Kebiasaan ketatanegaraan (convention) sebagai sumber
hukum administrasi
Dalam hukum dikenal kebiasaan ketatanegaraan (convention).
Kebiasaan ketatanegaraan ini dapat diterima dan dijalankan.
Bahkan seringkali kebiasaan ketatanegaraan ini dapat menggeser
peraturan-peraturan hukum yang tertulis. Sebagai contoh,
berdasarkan ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945,
Menteri Negara bertanggung jawab kepada Presiden, karena ia
pembantu Presiden. Dalam perkembangan ketatanegaraan di
tahun 1945 ternyata Menteri Negara yang seharusnya bertanggung
jawab kepada Presiden karena kebiasaan ketatanegaraan Menteri
Negara itu bertanggung jawab kepada Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat (semacam DPR). Hal ini terjadi karena
keluarnya Maklumat Wakil Presiden Nomor X tanggal 16 Oktober
1945; yang diikuti Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember
1945, dimana Komite Nasional Indonesia Pusat yang semula
membantu Presiden dalam menjalankan wewenangnya berdasarkan
Aturan Peralihan Pasal IV Undang-Undang Dasar 1945, menjadi
badan yang sederajat dengan Presiden, tempat Menteri Negara
bertanggung jawab. Hal ini terjadi dalam kabinet Syahrir I, II, dan
III, serta kabinet Amir Sjarifudin yang menggantikannya.
Kebiasaan ketatanegaraan ialah perbuatan dalam kehidupan
ketatanegaraan yang dilakukan berulang kali sehingga ia diterima
dan ditaati dalam praktik ketatanegaraan walaupun bukan hukum.
Di sini letak perbedaannya dengan ketentuan hukum yang sudah
tidak diragukan lagi keabsahannya. Pada masa Presiden Soekarno,
pidato ketatanegaraan diucapkan langsung dihadapan rakyat di
depan istana yang disebut “amanat 17 Agustus” dan dilaksanakan
47
setiap tanggal 17 Agustus dalam pertanggunganjawabnya sebagai
Pemimpin Besar Revolusi bukan sebagai Presiden. Perubahan
sistem pemerintahan presidensial menjadi parlementer di tahun
1945 pada hakekatnya tidak memperlakukan Pasal 17 Undang-
Undang Dasar 1945. Melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara Nomor III/MPRS/1963 ditetapkan Presiden
Soekarno diangkat menjadi Presiden seumur hidup. Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dapat digolongkan
kepada konvensi yang terjadi karena persetujuan bersama. Akibat
dari ketetapan tersebut Pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945
menjadi tidak berlaku. Ketetapan tersebut sebenarnya tidak
merubah Undang-Undang Dasar 1945, hanya saja menyebabkan
pasal tersebut tidak berlaku dalam praktik ketatanegaraan.
Ketetapan tersebut dicabut oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara Nomor XVIII/MPRS/1966. Setiap tanggal 16
Agustus Presiden mengucapkan pidato kenegaraan dalam sidang
di Dewan Perwakilan Rakyat. Pidato kenegaraan merupakan
laporan tahunan yang bersifat informasi dari Presiden karena
dalam laporan itu dimuat suatu rencana mengenai kebijaksanaan-
kebijaksanaan yang akan ditempuh. Pidato Presiden lain adalah
pidato keterangan Pemerintah tentang Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara pada minggu pertama bulan
Januari setiap tahunnya. Isinya berupa hasil-hasil kegiatan
nasional serta hasil penilaian tahun lalu dan rencana anggaran
pendapatan dan belanja negara untuk tahun akan datang.
Di Inggeris, kebiasaan ketatanegaraannya antara lain,
bahwa seorang menteri harus anggota parlemen. Hal ini terjadi
ketika Patrick Gordon Walker yang diangkat Partai Buruh Inggeris
sebagai menteri setelah pemilihan umum bulan Oktober 1964
harus memperoleh keanggautaan House of Commons. Untuk itu
ia ikut dalam pemilihan umum tambahan/susulan yang diadakan
setelah pemilihan umum. Contoh lain ialah bahwa Raja atau Ratu
akan mengangkat Ketua Partai yang menang dalam pemilihan
umum sebagai Perdana Menteri. 33 Konvensi-konvensi di Inggeris

33
Dicey, op. cit., h. 42. “The party who for the time being comand a
majority in The House of Commons, have (in general) a right to have their leader
placed in office. The most influential of these leaders ought (generally speaking) to
be the premier, or head of the Cabinet.”
48
banyak sekali dan dibedakan dari hukum konstitusi (Law of
Constitution) karena konvensi tidak dapat dipaksakan atau diakui
badan peradilan.34 Konvensi adalah kebiasaan (customs), praktik-
praktik (practices), azas-azas (maxims). Kabinet yang sudah tidak
mendapat kepercayaan dari Majelis Rendah (House of Commons)
akan meletakkan jabatannya. Raja harus mengesahkan setiap
rancangan Undang-Undang (bill), Majelis Tinggi (House of Lords)
tidak akan mengajukan rancangan Undang-Undang keuangan
(money bill). Betapapun pentingnya konvensi-konvensi itu berlaku
dalam kehidupan ketatanegaraan, namun karena ia bukan hukum,
maka pelanggaran yang terjadi terhadap konvensi-konvensi itu
tidak dihiraukan pengadilan. Konvensi ini sama dengan konvensi-
konvensi yang berasal dari pernyataan persetujuan pada masa
lalu telah didapat pada konferensi-konferensi Kerajaan Inggeris
(Imperial Conferences) yang mengatur hubungan antara Kerajaan
Inggeris dan dominion-dominion yang menetapkan cara-cara kerja
sama dan hubungan anggota-anggota commonwealth Inggeris,
dan yang menetapkan perundingan-perundingan antara mereka
dan negara-negara asing. Jennings menulis: “some of them, such
as thouse expressed in resolutions of the imperial Conferences,
are definite and clearly established”. Dengan kata lain tidak perlu
“the gradual crystalisation of practice”.35 Konvensi tidak selalu
merupakan ketentuan tidak tertulis yang timbul dari persetujuan
(agreement), tapi bisa saja berbentuk tertulis. Ia mungkin saja
merupakan persetujuan yang ditandatangani pemimpin-pemimpin
negara seperti: antara Wakil Presiden Republik Indonesia dan
Badan Pekerja pada tanggal 16 Oktober 1945 atau memorandum
yang dikeluarkan setelah pembicaraan antara Menteri-menteri
seperti Maklumat Pemerintah pada tanggal 14 Nopember 1945.

34
Dicey, op.cit, h. 417, “In an earlier part of this work stress was laid upon
the essential distinction between the law of the constitution, which consisting (as it
does) of rules enforced and recognised by the courts, makes up a body of laws in
the proper sense consisting (as they do) of customs, practices, maxims or precepts
which are not enforced or recognised by the courts, makes up a body not laws but
of constitutional or political ethics”. Selanjutnya dalam h. 420 dinyatakan “A
Ministry which is outvoted in the House of Commons is in mam cases bound to
retire from office”.
35
Ismail Sunny. Pergeseran kekuasaan Eksekutif h. 29, Lihat pula
Jennings, Law and the Constitution, h. 133.
49
Contoh seperti ini dalam konstitusi Inggeris adalah persetujuan
suatu perubahan dalam hukum yang mengenai penggantian
mahkota (succession) atau gelar raja memerlukan pengesahan
parlemen dari semua dominion, begitu pula parlemen Kerajaan
Inggeris sendiri. Konvensi-konvensi ini telah mencapai bentuk
yang lebih formil karena tercantum dalam bagian kedua dari
pendahuluan (preamble statute ot westminster). Preamble
menurut hukum administrasi Inggeris, tidak mempunyai akibat
hukum, keadaan itu hanya memperkuat konvensi.
Di Amerika Serikat, kebiasaan ketatanegaraannya antara
lain calon Presiden Amerika Serikat dan wakilnya dipilih konvensi
partai politik yang bersangkutan, kemudian dipilih rakyat. 36
Bernard Schwartz menjelaskan, konvensi ketatanegaraan telah
berkembang dalam hukum administrasi Amerika Serikat yang
sering kali sama artinya dengan pasal-pasal yang resmi dari
konstitusi.37 Bila Presiden Amerika Serikat menunjuk anggauta-
anggauta kabinetnya, menurut hukum ia praktis mempunyai
kekuasaan untuk menetapkan siapa yang disukainya. Tetapi oleh
konvensi ketatanegaraan, ia berusaha menjamin bahwa semua
penunjukannya tidak akan terdiri dari orang-orang dari negara
bagian sebelah Timur saja atau sebelah Barat saja. Ia akan
berusaha membicarakan penunjukan itu sedemikian rupa,
sehingga daerah-daerah dari Amerika Serikat yang dianggapnya
mempunyai arti politis yang penting akan memperoleh perwakilan.
Sukar untuk menyatakan ini dengan istilah suatu ketentuan (rule),

36
Barnes & Noble, American Government, h. 29-30, Through the
development of political parties, the election of the President has been changed
from the orginal plan of indirect choice by a small group of elections to a system of
nomination and election in which the whole country participates”. Lihat juga
Bernard Schwarts, American constutional Law, h. 92-93, “The nominating organ
of American parties has been a convention composed of representatives of the
member of the party”
37
Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta, 1965, C.V.
Calendra h. 29. Jellinek.Verfassungsanderung und Verfassungswandlung,
Eine staatsrechtlich pollitische Afhandlung. Berlin.Verslag von O. Haring, 1906.
h. 3. A.A.H. Struycken dalam pidato jabatannya membedakan antara “normale en
abnormale rechtsvorming.” Lihat Positiefrecht Rede uit gesproken by de
aanvaarding van het Hoogleeraarsambt aan de Universiteit van Amsterdam, op de
15 Oktober 1906. Amsterdam. Srheltema&Holkemai Boekhandel. 1906, h. 20-21.

50
mungkin tepat menyebut bahwa dengan konvensi ketatanegaraan
ia berusaha untuk mengintrodusir beberapa unsur federasi ke
dalam kabinetnya.38 Suatu konvensi mungkin akan menyebabkan
salah satu pasal dari Undang-Undang Dasar (konstitusi) menjadi
tidak berlaku. Dalam hal ini sesungguhnya konvensi tidak merubah
Undang-Undang Dasar hanya saja menyebabkan pasal tertentu
tidak dipakai dalam praktik ketatanegaraan. Berdasarkan
ketentuan Pasal 2 Konstitusi Amerika Serikat, Presiden dipilih oleh
pemilih-pemilih negara bagian, yang kemudian seluruh suara
pemilih ini dihitung oleh Presiden Senat, calon yang memperoleh
suara terbanyak terpilih sebagai Presiden; dengan demikian
pemilihan Presiden diadakan secara tidak langsung. Presiden
dipilih langsung oleh rakyat dari calon yang dipilih partai politik
yang bersangkutan dalam suatu konvensi partai.
Di Belanda, terjadinya sistem parlementer timbul akibat
perselisihan antara Pemerintah dan Parlemen tahun 1866-1868
masalah jajahan. Dalam perselisihan Parlemen mempergunakan
hak budgetnya untuk menolak rancangan anggaran pendapatan
dan belanja negara yang diajukan Menteri Keuangan pada waktu
itu. Sebenamya penolakan itu ada hubungannya dengan
perselisihan yang sedang mereka hadapi, karena penolakan itu
jatuhlah kabinet (verwerping van de begrooting om redenen daar
buiten gelegen). Sejak itu terjadi perubahan dalam sistem
Pemerintahan di Belanda yang semula menganut sistem
pertanggungan jawab menteri dengan fihak pemerintah yang
menang, jika terjadi perselisihan (overwicht van het kabinet),
setelah jatuhnya Pemerintah karena penolakan anggaran
pendapatan dan belanja negara, setiap kali ada perselisihan yang
timbul antara pemerintah dan parlemen, maka parlemen yang
menang dan kabinet harus berhenti. Sistem ini tidak diatur dalam
Undang-Undang Dasar Belanda, tapi timbul dan hidup sebagai
konvensi yang menggeser ketentuan dalam Undang-Undang
Dasarnya.39

38
Ismail Suny, Dalam kuliahnya tahun 1970. Selanjutnya mengenai
convention ini dapat dibaca Wade and Phillips “Constitutional Law”, 1975 dalam
Bab “Convention of the constitution, h. 79-96
39
Kranenburg, Met Nederlandsch Straatrecht.op.cit., h. 165-167
51
Telah dijelaskan perubahan sistem pemerintahan dimana
Menteri bertanggung jawab kepada Presiden menurut Undang-
Undang Dasar 1945, pada masa tahun 1945 telah berubah
menjadi pertanggungan jawab Menteri kepada Komite Nasional
Pusat, merupakan konvensi. A.G. Pringgodigdo menjelaskan,
bahwa pertanggungan jawab kepada Komite Nasional Indonesia
Pusat oleh menteri-menteri dan bukan kepada Presiden dilakukan
dengan mengubah Undang-Undang Dasar adalah tidak benar.
Perubahan itu sesungguhnya karena kebiasaan ketatanegaraan,
yang melengkapi hukum konstitusi. Dalam hal ini karena tidak ada
ketentuan yang mengharuskan pertanggunganjawab eksekutif
kepada Parlemen dan teks Undang-Undang Dasar 1945 tidak
melarang praktik itu.40 Bila kita hubungkan dengan Jellinek yang
membedakan Verfassungsanderung dan Verfassuhgswandlung
yaitu perubahan Undang-Undang Dasar yang dilakukan dengan
sengaja dengan cara yang disebut dalam Undang-Undang Dasar
itu untuk yang pertama, sedangkan Verfassungswandlung adalah
perubahan Undang-Undang Dasar dengan cara yang tidak
terdapat dalam Undang-Undang Dasar, tetapi melalui cara-cara
yang istimewa seperti revolusi, coup d’etat, convention dan
sebagainya, maka perubahan ke arah sistim parlementer itu terjadi
bukan karena diatur dalam Undang-Undang Dasar, melainkan
karena konvensi ketatanegaraan.

40
Ismail Sunny,op cit. h. 29, A.K. Pringgodigdo. Perubahan Kabinet, h. 69
52
BAB IV
PENYELENGGARAAN
PEMERINTAHAN

Tujuan Instruksional Umum


Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan
memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai
penyelenggaraan pemerintahan

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan:
1. Mengetahui ruang lingkup penyelenggaraan pemerintahan
daerah
2. Mengetahui hubungan antara pemerintah dan pemerintah
daerah.

53
4.1. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan dengan
berlandaskan 3 (tiga) asas yaitu: desentralisasi, dekonsentrasi,
dan tugas pembantuan. Desentralisasi adalah penyerahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dekonsentrasi
adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepala
instansi vertikal di wilayah tertentu. Tugas pembantuan adalah
penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari
pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta
dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan
tugas tertentu dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggung
jawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan.
Asas desentralisasi dituangkan di dalam Pasal 21, Pasal 22
dan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah untuk menyelenggarakan otonomi dengan
hak dan kewajiban sebagai berikut:
Ketentuan Pasal 21 mengatur hak daerah untuk:
a. mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya;
b. memilih pimpinan daerah;
c. mengelola aparatur daerah;
d. mengelola kekayaan daerah;
e. memungut pajak daerah dan retribusi daerah;
f. mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumberdaya alam
dan sumber daya lainnya yang berada di daerah;
g. mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah;
h. mendapatkan hak lainnya yang diatur di dalam peraturan
perundang-undangan.
Ketentuan Pasal 22 mengatur kewajiban daerah untuk:
a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan
kerukunan nasional, serta keutuhan NKRI;
b. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
c. mengembangkan kehidupan demokrasi;
d. mewujudkan keadilan dan pemerataan;
e. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
f. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
54
g. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
h. mengembangkan sistem jaminan sosial;
i. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
j. mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
k. melestarikan lingkungan hidup;
l. mengelola administrasi kependudukan;
m. melestarikan nilai sosial budaya;
n. membentuk dan menetapkan peraturan perundang-undangan
sesuai dengan kewenangannya; dan
o. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
Ketentuan Pasal 23 mengatur:
(1) Hak dan kewajiban daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 dan Pasal 22 diwujudkan dalam bentuk rencana
kerja pemerintahan daerah dan dijabarkan dalam bentuk
pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah yang dikelola
dalam sistem pengelolaan keuangan daerah.
(2)Pengelolaan keuangan daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan secara efisien, efektif, transparan,
akuntabel, tertib, adil, patut, dan taat pada peraturan
perundang-undangan.
Asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan serta dana
pelaksanaannya dituangkan di dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 7 tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
Ketentuan umum Pasal 1 angka 14-17 menentukan:
14.Dana dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN
yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah
yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam
rangka pelaksanaan dekonsentrasi, tidak termasuk dana
yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah.
15.Dana tugas pembantuan adalah dana yang berasal dari
APBN yang dilaksanakan oleh daerah dan desa yang
mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam
rangka pelaksanaan tugas pembantuan.
16.Dana tugas pembantuan provinsi adalah dana yang berasal
dari APBD provinsi yang dilaksanakan oleh kabupaten, atau
kota dan desa yang mencakup semua penerimaan dan
pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan
55
dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten,
atau kota, dan/atau desa.
17.Dana tugas pembantuan kabupaten/kota adalah dana yang
berasal dari APBD kabupaten/kota yang dilaksanakan oleh
desa yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran
dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan dari
pemerintah kabupaten, atau kota kepada desa.
Prinsip penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas
pembantuan ditetapkan di dalam Pasal 2-7, sedangkan ruang
lingkup dekonsentrasi dan tugas pembantuan ditetapkan di dalam
Pasal 8-10. Pengaturan penyelenggaraan dekonsentrasi yang
meliputi aspek pelimpahan urusan pemerintahan, tata cara
pelimpahan, tata cara penyelenggaraan, tata cara penarikan
pelimpahan ditetapkan di dalam Pasal 11-19. Pengelolaan dana
dekonsentrasi yang meliputi aspek prinsip pendanaan, perencanaan
dan penganggaran, penyaluran dan pelaksanaan, pengelolaan
barang milik negara hasil pelaksanaan dekonsentrasi ditetapkan
di dalam Pasal 20-29. Pertanggungjawaban dan pelaporan
dekonsentrasi yang meliputi aspek penyelenggaraan, pengelolaan
dana ditetapkan di dalam Pasal 30-34.
Pengaturan penyelenggaraan tugas pembantuan yang
meliputi aspek penugasan urusan pemerintahan, tata cara
penugasan, tata cara penyelenggaraan tugas pembantuan, tata
cara penghentian penugasan ditetapkan di dalam Pasal 35-47.
Pengaturan pengelolaan dana tugas pembantuan yang meliputi
aspek prinsip pendanaan, perencanaan dan penganggaran,
penyaluran dan pelaksanaan, pengelolaan barang milik negara
hasil pelaksanaan tugas pembantuan ditetapkan di dalam Pasal
48-58. Pertanggungjawaban dan pelaporan tugas pembantuan
yang meliputi aspek penyelenggaraan dan pengelolaan dana
ditetapkan di dalam Pasal 59-67. Pembinaan dan pengawasan,
koordinasi, pemeriksaan, dan sanksi yang berkaitan dengan
penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan ditetapkan
di dalam Pasal 68-75.
Berdasarkan uraian di atas terlihat Peraturan Pemerintah
Nomor 7 tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
dibuat untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah.
56
4.2. Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang ditetapkan tanggal 15 Oktober 2004 merupakan
hasil revisi dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 sesuai
amanat UUD 1945 Pasal 18 yang menentukan “Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah
provinsi dibagi atas kabupaten dan kota dan tiap-tiap provinsi,
kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang
diatur dengan undang-undang”. Di dalam UUD 1945 Pasal 18
ayat 2 ditentukan: “Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten
dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut azas otonomi dan tugas pembantuan”. Di dalam
penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ditentukan
bahwa: isi dan kandungan Pasal 18 UUD 1945 beserta
penjelasannya menjadi pedoman bagi Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 yang mengandung pokok-pokok pikiran, antara lain:
a. Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip
pembagian kewenangan berdasarkan azas dekonsentrasi
dan desentralisasi dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
b. Daerah yang dibentuk berdasarkan azas desentralisasi dan
dekosentrasi adalah daerah provinsi, sedangkan daerah
yang dibentuk berdasarkan azas desentralisasi adalah
daerah Kabupaten dan daerah kota. Daerah yang dibentuk
dengan azas desentralisasi berwenang untuk menentukan
dan melaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat.
Di dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004
pada prinsipnya penyelenggaraan pemerintahan daerah lebih
mengutamakan pelaksanaan azas desentralisasi disamping
menggunakan azas dekonsetrasi dan tugas pembantuan.
Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan
kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab dengan
prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan
dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman
daerah. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah
provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk
melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan
57
kepada gubernur sebagai wakil pemerintah. Pelaksanaan tugas
pembantuan dimungkinkan tidak hanya dari pemerintahan kepada
daerah tetapi juga pemerintahan dan daerah kepada desa yang
disertai dengan pembiayaan, sarana prasarana, sumber daya
manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Di dalam Pasal 1 ketentuan umum Undang-Undang Nomor
32 tahun 2004 ditentukan: Pemerintah daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah
dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud UUD 1945.
Pemerintahan daerah dapat berupa:
a. Pemerintah daerah provinsi, terdiri dari pemerintah daerah
provinsi dan DPRD provinsi.
Pemerintah daerah provinsi terdiri atas gubenur dan
perangkat daerah, yang meliputi sekretariat daerah, dinas
daerah, dan lembaga teknis daerah.
b. Pemerintah daerah kabupaten/kota, terdiri dari pemerintah
daerah kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota.
Pemerintahan daerah kabupaten/kota terdiri atas bupati/
walikota dan perangkat daerah yang meliputi sekretariat
daerah, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan,
dan kelurahan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 20 penyelenggaraan
pemerintahan berpedoman pada asas umum penyelenggaraan
negara yang terdiri atas:
a. asas kepastian hukum;
b. asas tertib penyelenggara negara;
d. asas kepentingan umum;
e. asas keterbukaan;
f. asas proporsionalitas;
g. asas profesionalitas;
h. asas akuntabilitas;
i. asas efisiensi; dan
j. asas efektivitas.
Dalam menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah
menggunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan
58
dekonsentrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan
daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan.
d.3. Pembentukan Daerah
Pembentukan daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk
meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat disamping sebagai sarana pendidikan
politik ditingkat lokal. pembentukan daerah harus mempertimbangkan
berbagai faktor seperti kemampuan ekonomi, potensi daerah, luas
wilayah, kependudukan, dan pertimbangan dari aspek sosial
politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan serta
pertimbangan dan syarat lain yang memungkinkan daerah itu
dapat menyelenggarakan dan mewujudkan tujuan dibentuknya
daerah dan diberikan otonomi daerah.
Ketentuan pembentukan daerah diatur di dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 4 ayat (1) yaitu”
pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) ditetapkan dengan undang-undang”. Dalam pembentukan
daerah harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain: syarat
administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Undang-Undang Dasar
1945 merupakan landasan untuk menyelenggarakan otonomi
dengan memberikan wewenang yang luas,nyata dan bertanggung
jawab kepada daerah. Di dalam Pasal 1 bagian 2 ditentukan:
“Pemerintah daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan
oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud Undang-Undang Dasar Tahun 1945 “.
d.3.1. Pembentukan Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten, Kota dan
Desa
Di dalam UUD 1945 Pasal 18 ayat (1) ditentukan: “Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota dan tiap-tiap
provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan daerah
yang diatur dengan undang-undang”. Pemerintah daerah diberi
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan rumah
tangganya sendiri. Di dalam menjalankan pemerintahan daerah
dimungkinkan pembentukan suatu daerah otonom baru, dengan
59
beberapa kriteria dan prosedur yang harus dipenuhi. Pembentukan
suatu daerah otonom baru bertujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat yang secara tidak langsung dapat meningkatkan
pendapatan daerah. Pembentukan suatu daerah otonom baru
tidak boleh mengakibatkan daerah induk tidak mampu lagi
melaksanakan otonomi daerahnya; dengan demikian baik daerah
yang dibentuk maupun daerah yang dimekarkan atau daerah
induk secara sendiri-sendiri dapat melaksanakan otonomi daerah
sesuai ketentuan yang berlaku.
d.3.2. Pemerintahan Daerah Provinsi
Di dalam UUD 1945 Pasal 18 ayat (5) dan UU Nomor 32
tahun 2004 Pasal 10 ayat (1) ditentukan pembagian urusan
pemerintahan bahwa pemerintahan daerah menyelenggarakan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ini ditentukan
menjadi urusan pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah pemerintahan
daerah menjalankan otonomi seluasluasnya untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi
dan tugas pembantuan. Urusan pemerintahan yang menjadi
urusan pemerintah meliputi:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
b. keamanan;
c. yustisi;
d. moneter dan fiskal nasional; dan
e. agama.
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah
menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian
urusan pemerintahan kepada perangkat pemerintah atau wakil
pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan
daerah dan/atau pemerintahan desa. Dalam urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan pemerintah di luar urusan pemerintahan,
pemerintah dapat:
a. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;
b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada
gubernur selaku wakil pemerintah; atau

60
c. menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah
dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas
pembantuan.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan
kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan
memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan merupakan pelaksanaan
hubungan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintahan
daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintahan
daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu
sistem pemerintahan.
Di dalam Pasal 13, urusan wajib yang menjadi kewenangan
pemerintahan daerah provinsi meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya
manusia potensial;
g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan
menengah termasuk lintas kabupaten/kota;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas
kabupaten/kota;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum
dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan
perundang-undangan.
Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi
urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk

61
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,
kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintahan daerah yang
disebut kepala daerah. Kepala daerah untuk provinsi disebut
gubernur. Di dalam Pasal 37, ditentukan bahwa gubernur yang
karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil pemerintah
di wilayah provinsi yang bersangkutan. Dalam kedudukannya,
gubernur bertanggung jawab kepada presiden, memiliki tugas dan
wewenang:
a. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan
daerah kabupaten/kota;
b. koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah
provinsi dan kabupaten/kota;
c. koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Pendanaan tugas dan wewenang gubernur dibebankan
kepada APBN. Kedudukan keuangan gubernur diatur dalam
peraturan pemerintah. Tata cara pelaksanaan tugas dan
wewenang gubernur diatur dalam peraturan pemerintah.
Ketentuan di atas ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 19 tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Tugas dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur
sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi.
Di dalam Pasal 2 peraturan ini ditegaskan kembali bahwa
gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai
wakil pemerintah di wilayah provinsi. Dalam kedudukannya
gubernur bertanggung jawab kepada presiden. Gubernur dilantik
oleh presiden. Dalam hal presiden berhalangan melantik
gubernur, menteri dalam negeri atas nama presiden melantik
gubernur. Pasal 3 peraturan ini menetapkan bahwa gubernur
sebagai wakil pemerintah memiliki tugas melaksanakan urusan
pemerintahan meliputi:
a. koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah
daerah provinsi dengan instansi vertikal, dan antarinstansi
vertikal di wilayah provinsi yang bersangkutan;
b. koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah
daerah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten/kota
di wilayah provinsi yang bersangkutan;
62
c. koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antar pemerintahan
daerah kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan;
e. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan
daerah kabupaten/kota;
f. menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara serta
memeliharakeutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
g. menjaga dan mengamalkan ideologi pancasila dan kehidupan
demokrasi;
h. memelihara stabilitas politik;
i. menjaga etika dan norma penyelenggaraan pemerintahan
di daerah; dan
j. koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Selain melaksanakan urusan pemerintahan, gubernur
sebagai wakil pemerintah juga melaksanakan urusan pemerintahan
di wilayah provinsi yang menjadi kewenangan pemerintah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 4 peraturan ini menetapkan bahwa gubernur sebagai
wakil pemerintah memiliki wewenang:
a. mengundang rapat bupati/walikota beserta perangkat
daerah dan pimpinan instansi vertikal;
b. meminta kepada bupati/walikota beserta perangkat daerah
dan pimpinan instansi vertikal untuk segera menangani
permasalahan penting dan/atau mendesak yang memerlukan
penyelesaian cepat;
c. memberikan penghargaan atau sanksi kepada bupati/
walikota terkait dengan kinerja, pelaksanaan kewajiban, dan
pelanggaran sumpah/janji;
d. menetapkan sekretaris daerah kabupaten/kota sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. mengevaluasi rancangan peraturan daerah tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, pajak daerah,
retribusi daerah, dan tata ruang wilayah kabupaten/kota;
f. memberikan persetujuan tertulis terhadap penyidikan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota;
g. menyelesaikan perselisihan dalam penyelenggaraaan
fungsi pemerintahan antar kabupaten/kota dalam satu
provinsi; dan
63
h. melantik kepala instansi vertikal dari kementerian dan
lembaga pemerintah nonkementerian yang ditugaskan di
wilayah provinsi yang bersangkutan.
d.3.3. Pemerintahan Daerah Kabupaten dan Kota
Pemerintahan daerah kabupaten dipimpin kepala daerah
yang disebut bupati, dimana sebagian besar wilayahnya adalah
daerah perdesaan, untuk pemerintahan daerah kota dipimpin
kepala daerah kota yang disebut walikota, dimana sebagian besar
wilayahnya adalah daerah perkotaan.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan
daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala
kabupaten/kota meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
b. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat;
c. penyediaan sarana dan prasarana umum;
d. penanganan bidang kesehatan;
e. penyelenggaraan pendidikan;
f. penanggulangan masalah sosial;
g. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
h. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
i. pengendalian lingkungan hidup;
j. pelayanan pertanahan;
k. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
l. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
m. pelayanan administrasi penanaman modal;
n. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
o. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan
perundang-undangan.
Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan
meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan
berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai
dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang
bersangkutan. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14 ayat
(1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

64
Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak:
a. mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya;
b. memilih pimpinan daerah;
c. mengelola aparatur daerah;
d. mengelola kekayaan daerah;
e. memungut pajak daerah dan retribusi daerah;
f. mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah;
g. mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah;
h. mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Selain hak, daerah mempunyai kewajiban:
a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan
kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
b. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
c. mengembangkan kehidupan demokrasi;
d. mewujudkan keadilan dan pemerataan;
e. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
f. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
g. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
h. mengembangkan sistem jaminan sosial;
i. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
j. mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
k. melestarikan lingkungan hidup;
l. mengelola administrasi kependudukan;
m. melestarikan nilai sosial budaya;
n. membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan
sesuai dengankewenangannya; dan
o. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
Hak dan kewajiban daerah sebagaimana dimaksud
diwujudkan dalam bentuk rencana kerja pemerintahan daerah dan
dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja, dan pembiayaan
daerah yang dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan daerah
yang dilakukan secara efisien, efektif, transparan, akuntabel,
tertib, adil, patut, dan taat pada peraturan perundang-undangan.

65
Kepala daerah mempunyai tugas dan wewenang:
a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah
berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;
b. mengajukan rancangan Perda;
c. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan
bersama DPRD;
d. menyusun rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD
untuk dibahas dan ditetapkan bersama;
e. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
f. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan
dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan; dan
g. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan
peraturan perundangundangan
Dalam melaksanakan tugas dan wewenang, kepala daerah
dan wakil kepala daerah mempunyai kewajiban:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. meningkatkan kesejahteraan rakyat;
c. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat;
d. melaksanakan kehidupan demokrasi;
e. menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-
undangan;
f. menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah;
g. memajukan dan mengembangkan daya saing daerah;
h. melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik;
i. melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan
keuangan daerah;
j. menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di
daerah dan semua perangkat daerah;
k. menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan
pemerintahan daerah dihadapan Rapat Paripurna DPRD.
Selain mempunyai kewajiban sebagaimana dimaksud di
atas,kepala daerah mempunyai kewajiban juga untuk memberikan
laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah,
66
dan memberikan laporan keterangan pertanggung jawaban
kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan
pemerintahan daerah kepada masyarakat. Laporan penyelenggaraan
pemerintahan daerah kepada pemerintah disampaikan kepada
presiden melalui menteri dalam negeri untuk gubernur, dan
kepada menteri dalam negeri melalui gubernur untuk bupati/
walikota 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. Laporan digunakan
pemerintah sebagai dasar melakukan evaluasi penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan sebagai bahan pembinaan lebih lanjut
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan
ketentuan dimaksud diatur dalam Peraturan Pemerintah.
d.3.4. Pemerintahan Desa
Pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat
desa. Perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat
desa lainnya. Sekretaris desa diisi dari pegawai negeri sipil yang
memenuhi persyaratan. Kepala desa dipilih langsung oleh dan
dari penduduk desa warga negara Republik Indonesia yang syarat
selanjutnya dan tata cara pemilihannya diatur dengan perda yang
berpedoman kepada peraturan pemerintah. Calon kepala desa
yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan kepala desa
ditetapkan sebagai kepala desa.
Pemilihan kepala desa dalam kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang
diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat
yang ditetapkan dalam perda dengan berpedoman pada peraturan
pemerintah.Masa jabatan kepala desa adalah 6 (enam) tahun dan
dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan
berikutnya. Kepala desa terpilih dilantik oleh bupati/walikota paling
lambat 30 (tiga puluh) hari setelah pemilihan.
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa:
a. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak
asal-usul desa;
b. urusanpemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/
kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa;
c. tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi,
dan/atau pemerintah kabupaten/kota;
d. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan
perundang-perundangan diserahkan kepada desa.
67
Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi,
dan/atau pemerintah kabupaten/kota kepada desa disertai dengan
pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia.
Tugas dan kewajiban kepala desa dalam memimpin penyelenggaraan
pemerintahan desa diatur lebih lanjut dengan perda berdasarkan
peraturan pemerintah.
d.3.5. Pembentukan Daerah Menurut Sifatnya
Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus di daerah
otonom untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan
tertentu yang bersifat khusus dan untuk kepentingan nasional atau
berskala nasional, misalnya dalam kawasan cagar budaya, taman
nasional, pengembangan industri stategis, pengembangan teknologi
tinggi seperti pengembangan teknologi nuklir, peluncuran peluru
kendali, pengembangan prasarana komunikasi, transportasi,
pelabuhan dan daerah perdagangan bebas, pangkalan militer,
serta wilayah eksploitasi, konsevasi bahan galian strategis,
penelitian dan pengembangan sumber daya nasional, laboratorium
sosial, lembaga pemasyarakatan spesifik. Pemerintah wajib
mengikutsertakan pemerintah daerah dalam pembentukan kawasan
khusus tersebut. Ketentuan ini diatur dalam UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 9 ayat (1) yaitu “Untuk
menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat
khusus bagi kepentingan nasional, pemerintah dapat menetapkan
kawasan khusus dalam wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota”.
d.3.5.1. Syarat-Syarat Pembentukan Daerah
Daerah dibentuk berdasarkan syarat-syarat berikut:
a. Kemampuan Ekonomi;
Kemampuan ekonomi merupakan cerminan hasil kegiatan
usaha perekonomian yang berlangsung di suatu daerah
provinsi, kabupaten/kota yang dapat diukur dari:
 produk domestik regional bruto (PDRB);
 penerimaan daerah sendiri.
b. Potensi Daerah;
Potensi daerah merupakan cerminan tersedianya sumber
daya yang dapat dimanfaatkan dan memberikan sumbangan
terhadap penerimaan daerah dan kesejahteraan masyarakat
yang dapat diukur dari:

68
 lembaga keuangan;
 sarana ekonomi;
 sarana pendidikan;
 sarana kesehatan;
 sarana transportasi dan komunikasi;
 sarana pariwisata;
 ketenagakerjaan.
c. Sosial Budaya;
Sosial budaya merupakan cerminan yang berkaitan dengan
struktur sosial dan pola budaya masyarakat, kondisi sosial
budaya masyarakat yang diukur dari:
 tempat peribadatan;
 tempat/kegiatan institusi sosial dan budaya;
 sarana olah raga
d. Sosial Politik;
Sosial politik merupakan cerminan kondisi sosial politik
masyarakat yang dapat diukur dari:
 partisipasi masyarakat dalam berpolitik;
 organisasi kemasyarakatan.
e. Jumlah Penduduk;
Jumlah penduduk merupakan jumlah tertentu penduduk
suatu daerah.
f. Luas Daerah;
Luas daerah merupakan luas suatu daerah.
g. Pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya
otonomi daerah.
Pertimbangan lain merupakan pertimbangan untuk
terselenggaranya otonomi daerah yang dapat diukur dari:
 keamanan dan ketertiban;
 ketersediaan sarana dan prasarana pemerintahan;
 rentang kendali;
 Provinsi yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3
(tiga) Kabupaten dan atau Kota;
 Kabupaten yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3
(tiga) Kecamatan;
 Kota yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga)
Kecamatan.
69
d.3.5.2. Tujuan Pembentukan Daerah
Tujuan pembentukan daerah adalah untuk mendukung
peningkatan kesejahteraan rakyat, pelayanan masyarakat dan
peningkatan pemerintahan daerah. Untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui:
a. meningkatkan pelayanan masyarakat
b. percepatan pertumbuhan demokratis
c. percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian
daerah
d. percepatan pengelolaan daerah
e. peningkatan keamanan dan ketertiban
f. peningkatan hubungan antara pusat dan daerah.
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 2 UU Nomor
2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria, Penghapusan,
dan Penggabungan Daerah.
d.3.5.3. Prosedur dan Tata Cara Pembentukan Daerah
Prosedur pembentukan daerah sebagai berikut:
a. ada kemauan politik dari pemerintah daerah dan masyarakat
yang bersangkutan;
b. pembentukan daerah harus didukung penelitian awal yang
dilaksanakan oleh pemerintah daerah;
c. usul pembentukan provinsi disampaikan kepada pemerintah
melalui menteri dalam negeri dan otonomi daerah dengan
dilampirkan hasil penelitian daerah dan persetujuan DPRD
provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang berada dalam
wilayah provinsi yang dituangkan dalam keputusan DPRD;
d. usul pembentukan kabupaten/kota disampaikan kepada
pemerintah melalui menteri dalam negeri dan otonomi
daerah melalui gubernur dengan dilampirkan hasil
penelitian daerah dan persetujuan DPRD kabupaten/kota
serta persetujuan DPRD provinsi yang dituangkan dalam
keputusan DPRD;
e. dengan memperhatikan usulan gubernur, menteri dalam
negeri dan otonomi daerah memproses dan dapat
menugaskan tim untuk melakukan observasi ke daerah
yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada dewan
pertimbangan otonomi daerah;

70
f. berdasarkan rekomendasi pada huruf e, ketua dewan
pertimbangan otonomi daerah meminta tanggapan anggota
dewan pertimbangan otonomi daerah dan dapat menugaskan
tim teknis sekretariat dewan pertimbangan otonomi daerah
ke daerah untuk melakukan penelitian lebih lanjut;
g. para anggota dewan pertimbangan otonomi daerah
memberikan saran dan pendapat secara tertulis kepada
ketua dewan pertimbangan otonomi daerah;
h. berdasarkan saran dan pendapat dewan pertimbangan
otonomi daerah, usul pembentukan daerah diputuskan
dalam rapat anggota dewan pertimbangan otonomi daerah;
i. apabila berdasarkan hasil keputusan rapat anggota dewan
pertimbangan otonomi daerah menyetujui usul pembentukan
daerah. Menteri dalam negeri dan otonomi daerah selaku
ketua dewan pertimbangan otonomi daerah mengajukan
usul pembentukan daerah tersebut beserta rancangan
undang-undang pembentukan daerah kepada presiden;
j. apabila presiden menyetujui usul dimaksud, rancangan
undang-undang pembentukan daerah disampaikan kepada
DPR-RI untuk mendapatkan persetujuan.
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 16 UU Nomor 129 tahun
2000 tentang persyaratan pembentukan dan kriteria, penghapusan,
dan penggabungan daerah.
d.3.5.4. Susunan Pemerintah Daerah
a. Kepala Daerah
Dalam hal menjalankan kepemerintahan di daerah, dipimpin
Kepala Daerah sebagai badan eksekutif yang dibantu seorang
Wakil Kepala Daerah. (UU Nomor 32 tahun 2004 Pasal 24 ayat
(1) dan ayat (3) ). Gubernur dalam konteks otonomi daerah di
Indonesia adalah Kepala Daerah untuk daerah provinsi. Pada
dasarnya, pemerintah memiliki tugas dan wewenang memimpin
penyelenggaraan berdasarkan kebijakan yang ditetapkan
bersama DPRD. Gubernur dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat di provinsi setempat, sehingga Gubernur
bertanggung jawab kepada rakyat. Selain sebagai Kepala
daerah, Gubernur juga berkedudukan sebagai wakil pemerintah di
wilayah provinsi bersangkutan; sehingga Gubernur bertanggung
jawab kepada presiden. Kepala Daerah kabupaten disebut Bupati
71
sedangkan Kepala Daerah kota disebut Walikota. Gubernur bukan
atasan bupati atau walikota, namun sebatas membina, mengawasi
dan mengkoordinasi penyelenggarahan pemerintah daerah atau
Kota. Gubernur bukan kepanjangan tangan pemerintah pusat,
merupakan pemerintah independen dari provinsi yang dipilih
langsung oleh rakyat melalui pemilihan kepala daerah atau
pilkada. Gubernur memiliki tanggung jawab langsung kepada
dewan perwakilan daerah provinsi.
b. Perangkat Daerah
Perangkat Daerah adalah organisasi atau lembaga pada
pemerintah daerah yang bertanggung jawab kepada kepala
daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Pada daerah provinsi, perangkat daerah terdiri atas sekretariat
daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah dan lembaga teknis
daerah. Pada daerah kabupaten/kota, perangkat daerah terdiri
atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah,
lembaga teknis daerah, kecamatan dan kelurahan. Perangkat
daerah dibentuk daerah berdasarkan pertimbangan karakteristik,
potensi dan kebutuhan daerah. Organisasi perangkat daerah
ditetapkan dengan peraturan daerah setempat.
Sekretaris daerah adalah unsur pembantu pimpinan
pemerintah Daerah dipimpin sekretaris daerah. Sekretaris Daerah
bertugas membantu kepala daerah dalam menyusun kebijakan
dan mengkoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah.
Dalam pelaksanan tugas dan kewajiban, sekretaris daerah
bertanggung jawab kepada kepala Daerah. Sekretaris Daerah
diangkat dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan. Di
dalamhal sekretaris daerah berhalangan melaksanakan tugasnya,
tugas sekretaris daerah dilaksanakan oleh pejabat yang ditunjuk
oleh kepala daerah (lihat UU Nomor 32 tahun 2004 Pasal 121).
Sekretaris Daerah Provinsi merupakan unsur pembantu
pimpinan pemerintah provinsi yang dipimpin sekretaris Daerah,
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur dalam
melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan, administrasi,
organisasi dan tata laksana serta memberikan pelayanan
adminitrasi kepada seluruh perangkat daerah provinsi yang
diangkat dan diberhentikan presiden atas usulan Gubernur.
Sekretaris Daerah dibantu beberapa asisten.
72
Sekretariat Daerah kabupaten atau kota merupakan unsur
pembantu pimpinan pemerintah kabupaten/kota yang dipimpin
oleh sekretaris Daerah, berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada bupati atau walikota. Sekretariat Daerah kabupaten/kota
melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan, adminitrasi,
organisasi dan tata laksana serta memberikan pelayanan
adminitrasi kepada seluruh perangkat daerah kabupaten/kota.
Sekretaris Daerah kabupaten/kota diangkat dan diberhentikan
oleh Gubernur atau asisten masing-masing terdiri dari sebanyak-
banyaknya 4 (empat) bagian. Sekretaris Daerah karena
kedudukannya, sebagai pembina pegawai negeri sipil di
daerahnya (lihat Pasal 122). Perangkat daerah lainnya merujuk
Pasal 120 ditentukan di dalam Pasal 124-128 sebagai berikut:
Dinas daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah.
Dinas daerah dipimpin oleh kepala dinas yang diangkat dan
diberhentikan oleh kepala daerah dari pegawai negeri sipil yang
memenuhi syarat atas usul Sekretaris Daerah. Kepala dinas
daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui
Sekretaris Daerah.
Lembaga teknis daerah merupakan unsur pendukung tugas
kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan
daerah yang bersifat spesifik berbentuk badan, kantor, atau rumah
sakit umum daerah. Badan, kantor atau rumah sakit umum daerah
dipimpin oleh kepala badan, kepala kantor, atau kepala rumah
sakit umum daerah diangkat kepala daerah dari pegawai negeri
sipil yang memenuhi syarat atas usul Sekretaris Daerah. Kepala
badan, kantor, atau rumah sakit umum daerah bertanggung jawab
kepada kepala daerah melalui Sekretaris Daerah.
Kecamatan dibentuk di wilayah kabupaten/kota dengan
Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Kecamatan
dipimpin camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh
pelimpahan sebagian wewenang bupati atau walikota untuk
menangani sebagian urusan otonomi daerah. Camat juga
menyelenggarakan tugas umum pemerintahan meliputi:
a. mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat;
b. mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman
dan ketertiban umum;

73
c. mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan
perundang-undangan;
d. mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas
pelayanan umum;
e. mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan
di tingkat kecamatan;
f. membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau
kelurahan;
g. melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang
lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan
pemerintahan desa atau kelurahan.
Camat diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul sekretaris
daerah kabupaten/kota dari pegawai negeri sipil yang menguasai
pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Camat dalam
menjalankan tugas-tugasnya dibantu oleh perangkat kecamatan
dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Sekretaris
Daerah kabupaten/kota. Perangkat kecamatan bertanggung jawab
kepada camat yang pelaksanaannya ditetapkan dengan peraturan
bupati atau walikotadan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
Kelurahan dibentuk di wilayah kecamatan dengan Perda
berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Kelurahan dipimpin oleh
lurah yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan
dari Bupati/Walikota. Lurah mempunyai tugas:
a. pelaksanaan kegiatan pemerintahan kelurahan;
b. pemberdayaan masyarakat;
c. pelayanan masyarakat;
d. penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum; dan
e. pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum.
Lurah diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Camat dari
pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis
pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan tugas,
Lurah bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Camat.
Lurah dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh perangkat
kelurahan yang bertanggung jawab kepada Lurah. Untuk
kelancaran pelaksanaan tugas Lurah, dapat dibentuk lembaga
lainnya sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan dengan Perda
74
yang pelaksanaannya ditetapkan dengan peraturan bupati atau
walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Susunan organisasi perangkat daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dalam
Perda dengan memperhatikan faktor-faktor tertentu dan
berpedoman pada Peraturan Pemerintah.Pengendalian organisasi
perangkat daerah dilakukan oleh Pemerintah untuk provinsi dan
oleh Gubernur untuk kabupaten/kota dengan berpedoman pada
Peraturan Pemerintah.Formasi dan persyaratan jabatan perangkat
daerah ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah dengan
berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
c. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Dewan Perwakilan rakyat Daerah (DPRD), adalah sebuah
perwakilan rakyat di daerah yang terdiri atas anggota partai
politik peserta pemilihan umum yang dipilih berdasarkan hasil
pemilihan umum. DPRD merupakan lembaga perwakilan daerah
dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan
Daerah yang memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan
(Pasal 40-41). DPRD terdiri atas dua macam:
1. DPRD Provinsi, berada disetiap provinsi Indonesia.
Anggota DPRD provinsi berjumlah 35-100 orang.
2. DPRD kabupaten/kota, berada disetiap kabupaten/kota
indonesia. Anggota DPRD Kabupaten berjumlah 20-45 orang.
Masa jabatan anggota DPRD 5 tahun, dan berakhir pada
saat anggota DPRD yang baru mengucapkan sumpah/janji. DPRD
merupakan mitra kerja eksekutif (Pemerintah Daerah). Sejak
diberlakukannya UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, Kepala Daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD,
karena dipilih langsung oleh rakyat melalui Pilkada. Alat
kelengkapan DPRD terdiri atas: pimpinan, komisi, panitia
musyawarah, badan kehormatan, Panitia Anggaran, dan alat
kelengkapan lain yang diperlukan.
DPRD memiliki tugas dan wewenang:
a. membentuk perda yang dibahas dengan kepala daerah
untuk mendapat persetujuan bersama;
b. membahas dan menyetujui rancangan perda tentang APBD
bersama dengan kepala daerah;

75
c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda
dan peraturan perundangundangan lainnya, peraturan
kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam
melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja
sama internasional di daerah;
d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala
daerah/wakil kepala daerah kepada Presiden melalui
Menteri Dalam Negeri bagi DPRD provinsi dan kepada
Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD
kabupaten/kota;
e. memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan
jabatan wakil kepala daerah;
f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah
daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;
g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama
internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah;
h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala
daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
i. membentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah;
j. melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah;
k. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama
antar daerah dan dengan pihak ketiga yang membebani
masyarakat dan daerah.
Selain tugas dan wewenang di atas, DPRD melaksanakan
tugas dan wewenang lain yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan. DPRD mempunyai hak: interpelasi; angket; dan
menyatakan pendapat. Anggota DPRD mempunyai hak:
a. mengajukan rancangan Perda;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat;
d. memilih dan dipilih;
e. membela diri;
f. imunitas;
g. protokoler; dan
h. keuangan dan administratif.
Kedudukan protokoler dan keuangan pimpinan dan anggota
DPRD diatur dalam Peraturan Pemerintah.
76
Anggota DPRD mempunyai kewajiban:
a. mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati
segala peraturan perundang-undangan;
b. melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah;
c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional
serta keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia;
d. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah;
e. menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti
aspirasi masyarakat;
f. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan
pribadi, kelompok, dan golongan;
g. memberikan pertanggungjawaban atas tugas dan
kinerjanya selaku anggota DPRD sebagai wujud tanggung
jawab moral dan politis terhadap daerah pemilihannya;
h. menaati Peraturan Tata Tertib, Kode Etik, dan sumpah/janji
anggota DPRD;
i. menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan
lembaga yang terkait.
Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas DPRD
dibentuk sekretariat DPRD yang personilnya terdiri atas pegawai
negeri sipil. Sekretariat DPRD dipimpin seorang sekretaris DPRD
yang diangkat oleh kepala daerah atas usul pimpinan DPRD.
Berdasarkan UU Nomor 32 tahun 2004 Pasal 123, DPRD juga
diadakan kesekretariatan tersendiri. Sekretariat DPRD dipimpin
sekretaris DPRD yang diangkat dan diberhentikan oleh gubernur/
bupati/walikota dengan persetujuan DPRD. Sekretaris DPRD
mempunyai tugas:
a. menyelenggarakan administrasi kesekretariatan DPRD;
b. menyelenggarakan administrasi keuangan DPRD;
c. mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD; dan
d. menyediakan dan mengkoordinasi tenaga ahli yang
diperlukan oleh DPRD dalam melaksanakan fungsinya
sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.
Di dalam Pasal 123 ayat (4), (5), dan (6) ditentukan bahwa:
Sekretaris DPRD dalam menyediakan tenaga ahli sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf d wajib meminta pertimbangan
77
pimpinan DPRD. Sekretaris DPRD dalam melaksanakan tugasnya
secara teknis operasional berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada pimpinan DPRD secara administratif bertanggung
jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah. Susunan
organisasi sekretariat DPRD ditetapkan dalam peraturan daerah
berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Merujuk uraian di atas
terlihat sekretaris DPRD termasuk dalam perangkat daerah.
Di dalam konteks otonomi daerah, Walikota adalah Kepala
Daerah untuk daerah kota. Walikota sejajar dengan Bupati, yakni
Kepala Daerah untuk daerah kabupaten. Pada dasarnya, Walikota
memiliki tugas dan wewenang memimpin penyelenggaraan
daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD
Kota. Wali kota dipilih satu pasangan secara langsung oleh rakyat
dikota setempat. Walikota merupakan jabatan politis dan bukan
Pegawai Negeri Sipil.
Berdasarkan uraian di atas dapat dirinci bahwa Pemerintah
Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Wali kota, dan
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah
daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32
tahun 2004 Pasal 1 bagian 3.
4.4. Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah diatur di
dalam Pasal 15-18 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
diantaranya adalah:
a. Hubungan dalam bidang keuangan meliputi:
 pemberian sumber-sumber keuangan untuk menyelenggarakan
pemerintahan yang menjadi wewenang pemerintahan daerah;
 pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintahan
daerah;
 pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintahan
daerah.
 bagi hasil pajak dan nonpajak antara pemerintahan daerah
provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota;
 pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung
jawab bersama;

78
 pembiayaan bersama atas kerja sama antar daerah; dan
 pinjaman dan/atau hibah antar pemerintahan daerah.
b. Hubungan dalam bidang pelayanan umum meliputi:
 kewenangan, tanggung jawab, dan penentuan standar
pelayanan minimal;
 pengalokasian pendanaan pelayanan umum yang menjadi
kewenangan daerah; dan
 fasilitasi pelaksanaan kerja sama antar pemerintahan daerah
dalam penyelenggaraan pelayanan umum.
 pelaksanaan bidang pelayanan umum yang menjadi wewenang
daerah;
 kerja sama antar pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan
pelayanan umum; dan
 pengelolaan perizinan bersama bidang pelayanan umum.
c. Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya meliputi:
 kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan,
pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian;
 bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya;
 penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.
 pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya yang menjadi kewenangan daerah;
 kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya
alam dan sumber daya lainnya antarpemerintahan daerah;
 pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber
daya alam dan sumber daya lainnya.
 daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan
untuk mengelola sumber daya di wilayah laut;
 daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber
daya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai
dengan peraturan perundang-undangan;
 kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di
wilayah laut meliputi:
a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan
kekayaan laut;
b. pengaturan administratif;

79
c. pengaturan tata ruang;
d. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan
oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya
oleh pemerintah;
e. ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan
f. ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.
 kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 (dua
belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/
atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3
(sepertiga) wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/
kota.
 apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24
(dua puluh empat) mil,
 kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut
dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari
wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/
kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan
provinsi dimaksud.
 ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5)
tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil.
 pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut dalam
peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan keseluruhan uraian tentang pemerintah dan
pemerintahan daerah dapat disimpulkan bahwa:
Peraturan perundang-undangan baik Undang-Undang
Dasar, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah maupun undang-undang lainnya yang
berkaitan dengan pemerintahan daerah mengatur wewenang dan
batas wewenang dan segala hal yang berkaitan dengan
penyelenggaran pemerintahan tentang pemerintah dan
pemerintahan daerah. Undang-Undang tidak bisa dilaksanakan
apabila belum ada peraturan pemerintah atau peraturan presiden
untuk melaksanakannya. Peraturan pemerintah, baik Peraturan
Pemerintah Nomor 7 tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan ataupun peraturan pemerintah lainnya yang
telah ditetapkan berkaitan dengan pemerintahan daerah
80
menetapkan lebih rinci dan lebih konkrit agar dapat melaksanakan
undang-undang di atas; dengan demikian dalam satu undang-
undang sekalipun tidak menutup kemungkinan diatur dalam
beberapa peraturan pemerintah.
Pelanggaran peraturan perundang-undangan berakibat
hukum atas keputusan-keputusan yang dibuatnya. Akibat hukum
dapat berupa hukum perdata, hukum administrasi atau hukum
pidana atau kumulasi eksternal ketiganya tergantung pelanggaran
yang dibuatnya.

81
BAB V
KEPEMERINTAHAN
YANG BAIK
(GOOD GOVERNANCE)

Tujuan Instruksional Umum


Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan
memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai
kepemerintahan yang baik (good governance).

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan:
1. Adanya pemahaman mengenai pengertian asas-asas
umum pemerintahan yang baik.
2. Mengetahui perkembangan asas-asas umum
pemerintahan yang baik.
3. Mengetahui kedudukan asas-asas umum pemerintahan
yang baik

82
5.1. Konsep Good Governance
Konsep good governance berawal dari adanya kepentingan
lembaga-lembaga donor seperti PBB, Bank Dunia, ADB dan IMF
dalam memberikan bantuan pinjaman modal kepada negara-
negara yang sedang berkembang. Dalam perkembangan
selanjutnya good governance ditetapkan sebagai syarat bagi
negara yang membutuhkan pinjaman dana, sehingga good
governance digunakan sebagai standar penentu untuk mencapai
pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan.41 Hal tersebut dapat
dimaklumi karena konsep dan program lembaga-lembaga donatur
dunia berorientasi pada pengentasan kemiskinan, dan
kemiskinanmenjadi salah satu faktor penghambat berkembangnya
pembangunan dalam suatu negara. Beberapa konsep
governance diantaranya adalah:
1. UNDP (United Nations Development Program);
Governance is “the exercise of political, economic, and
administrative authority to manage a nation’s affairs at all
levels”; governance diartikan sebagai penggunaan atau
pelaksanaan politik, ekonomi dan administrasi untuk mengelola
masalah-masalah nasional pada semua tingkatan.
2. World Bank;
Governance is “the way state power is used in managing
economic and social resources for development society” cara
bagaimana kekuasaan negara digunakan untuk mengelola
sumber daya-sumber daya ekonomi dan sosial guna
pembangunan masyarakat. 42
3. LAN (Lembaga Administrasi Negara);
Governance adalah proses penyelenggaraan kekuasaan
negara dalam melaksanakan penyediaan public good and
service.43

41
Hafifah Sj. Sumarto, Inovasi, Partisipasi dan Good Governance,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2003, h.5
42
UNDP dalam Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, Fokus Media, det. Ketiga, Bandung, 2003, h.30
43
Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan, Akuntabilitas dan Good Governance, Jakarta, 2000,h.1
83
4. Pinto;
Governance adalah praktik penyelenggaraan kekuasaan dan
kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan urusan
pemerintahan secara umum dan pembangunan ekonomi pada
khususnya.44
5. Gani Rochman;
Governance adalah mekanisme pengelolaan sumber daya
ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sektor negara
dan sektor non pemerintah dalam suatu kegiatan kolektif 45
Merujuk konsep-konsep di atas dapat dirinci bahwa dalam
penyelenggaraan pemerintahan dikehendaki adanya akuntabilitas,
transparansi, terbuka dan bertanggungjawab sehingga good
governance mengandung makna suatu cara dan pelaksanaan
government yang baik dalam menjalankan pemerintahan. Tugas
dan wewenang pejabat administrasi secara teori adalah netral,
namun dalam pelaksanaannya sangat potensial untuk
disalahgunakan (detournement de pouvoir), digunakan dengan
sewenang-wenang (abus de droit) dan bahkan bertentangan
dengan hukum (onrechtmatige overheidsdaad).
Soewoto46 menjelaskan, suatu pemerintahan yang baik
(good governance) akan lahir dari suatu pemerintahan yang
bersih (clean governance), pemerintahan yang baik hanya dapat
terwujud manakala diselenggarakan oleh pemerintahan yang baik,
dan pemerintahan akan baik apabila dilandaskan pada
transparansi dan akuntabilitas; oleh karena itu bagaimana dapat
mewujudkan kondisi pemerintahan yang baik? Hal ini kiranya
kembali pada lembaga atau pejabat yang menerima tugas dan
tanggung jawab sebagai penyelenggara pemerintahan, termasuk
komunitas masyarakat dan organisasi non-pemerintah.

44
Pinto dalam Nisjar S. Karhi, Beberapa Catatan tentang “Good
Governance”, Jurnal Administrasi dan Pembangunan, vol 1 No. 2, 1997 dalam
Joko Widodo, Good governance, Insan Cendekia, Surabaya, 2001, h.18
45
Gani rochman dalam Joko Widodo, ibid.
46
Soewoto Mulyosudarmo, Tinjauan Yuridis Terhadap Kekuasaan
Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat, makalah dalam workshop
tentang Revitalisasi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Madiun, 18-19
April, 2000
84
5.2. Karakteristik Good Governance
Menurut UNDP, penyelenggaraan pemerintahan pada
dasarnya berorientasi pada 3 (tiga) elemen utama yakni
pemerintah atau negara (state), sektor swasta (private sector),
dan masyarakat (society). Sadu47 menambahkan 2 (dua) elemen
lagi yakni lembaga legislatif dan kalangan perguruan tinggi. Lebih
lanjut UNDP merumuskan karakteristik atau indikator
pemerintahan yang baik (good governance) yang dikutip Lembaga
Administrasi Negara (LAN) sebagai berikut:48
A. UNDP
1. Partisipasi (participation).
Setiap warganegara mempunyai hak dan kewajiban untuk
mengambil bagian dalam proses bernegara,
berpemerintahan serta bermasyarakat baik secara
langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi
yangmewakili kepentingannya. Partisipasi warganegara ini
dilakukan tidak hanya pada tahapan implementasi, akan
tetapi secara menyeluruh mulai dari tahapan penyusunan
kebijakan, pelaksanaan, evaluasi serta pemanfaatan hasil-
hasilnya;
2. Penegakan Hukum (rule of law).
Good Governance dilaksanakan dalam rangka
demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah
satu syarat kehidupan demokrasi adalah adanya
penegakan hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa
pandang bulu; langkah awal penciptaan good governance
adalah membangun sistem hukum yang sehat, baik
perangkat lunak (soft ware), perangkat kerasnya (hard
ware), maupun sumber daya manusia yang menjalankan
sistemnya (human ware).
3. Transparansi (transparancy).
47
Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Manajemen Pemerintahan Daerah,
Fokusmedia, det. Keempat, Bandung,2003, h.71
48
United Nations Development Programme (UNDP) dalam Sadu
Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, op.cit.
h.33-35 dan dalam Sedarmayanti, ibid, h.7-8
85
Keterbukaan adalah merupakan salah satu karakteristik
good governance terutama adanya semangat serba terbuka
dan akibat revolusi informasi. Keterbukaan mencakup
semua aspek aktifitas yang menyangkut semua
kepentingan publik;
4. Daya tanggap (responsiveness).
Responsiveness sebagai konsekuensi logis dari
keterbukaan, maka setiap komponen yang terlibat dalam
proses pembangunan good governance perlu memiliki daya
tanggap terhadap keinginan maupun keluhan setiap
stakeholders;
5. Consensus orientation.
Good Governance menjadi perantara kepentingan yang
berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan
yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan maupun prosedur;
6. Keadilan (equity).
Semua warganegara mempunyai kesempatan yang sama
untuk memperoleh kesejahteraan;
7. Effectiveness and efficiency.
Proses dan lembaga menghasilkan sesuai dengan apa
yang telah digariskan dengan menggunakan sumber yang
tersedia sebaik mungkin;
8. Akuntabilitas (accountability).
Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor
swasta, dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab
kepada publik dan lembaga stake holders. Akuntabilitas ini
tergantung pada organisasi tersebut untuk kepentingan
internal atau eksternal orgaisasi;
9. Visi strategis(strategic vision).
Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif god
governance dan pengembangan manusia yang luas serta
jauh kedepan sejalan dengan yang diperlukan untuk
pembangunan semacam ini;
B. Robert Hass
1. melaksanakan hak asasi manusia;
2. masyarakat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
politik;

86
3. melaksanakan hukum untuk melindungi kepentingan
masyarakat;
4. mengembangkan ekonomi pasar atas dasar tanggungjawab
kepada masyarakat;
5. orientasi politik pemerintah menuju pembangunan.49
C. Ganie Rochman
1. accountability;
2. kerangka hukum (rule of law);
3. informasi;
4. transparansi.
D. Bhatta
1. akuntabilitas (accountability);
2. transparansi (transparency);
3. keterbukaan (openness);
4. aturan hukum (rule of law).50
E. Meutia
1. Accountability; yang terdiri dari:
Political accountability, yakni adanya mekanisme
penggantian pejabat penguasa, tidak ada usaha untuk
membangun monoloyalitas secara sistematis, serta ada
definisi dan penanganan yang jelas terhadap terhadap
pelanggaran kekuasaan di bawah rule of law.
Public accountability yakni adanya pembatasan tugas yang
jelas dan efisien. Berkaitan dengan akuntabilitas ini Jabbra
dan Dwidevi mengemukakan adanya lima perspektif
akuntabilitas, yakni: akuntabilitas organisasi/administrasi;
akuntabilitas legal; akuntabilitas politik; akuntabilitas
profesional; dan akuntabilitas moral.51
2. Adanya suatu kerangka hukum dalam pembangunan;
Dari sudut aparat birokrasi, elemen ini berarti adanya
kejelasan dan pendidikan dari abdi negara terhadap sektor
swasta. Dari sudut masyarakat sipil, elemen ini berarti
adanya kerangka hukum yang diperlukan untuk menjamin

49
Robert Hass dalam Bintan R.Saragih, op.cit. h.5
50
Gani Rochman, Bhatta dalam Joko Widodo, op.cit, h.26
51
Jabbra dan Dwidevi dalam Sadu Wasistiono, Kapita Selekta
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, op.cit. h.58
87
hak-hak warganegara dalam menegakkan accountability
pemerintah;
3. Informasi, yakni bahwa informasi mengenai setiap aspek
kebijakan pemerintah dapat dijangkau oleh politik.
Keterbukaan informasi diharapkan akan menghasilkan
persaingan politik yang sehat, toleran, dan kebijakan dibuat
berdasarkan pada preferensi publik;
4. Transparansi, yakni adanya kebijakan terbuka bagi
pengawasan.
F. Wibisono
1. Pengelolaan sumber-sumber daya alam; kualitas
pemanfaatan sumber-sumber daya alam oleh negara
merupakan faktor esensial untuk menerangkan apaka
pembangunan yang dilakukan tergolong baik atau buruk.
Dengan melihat korelasi antara smber daya alam yang
dimiliki dengan kesejahteraan warganegaranya dapat
diketahui apakah negara telah atau belum mempraktikkan
good governance.
2. Integritas diri para politisi, para penegak hukum, dan elite
intelektual. Integritas dan kredibilitas para politisi, penegak
hukum, dan elite intelektual dapat menjadi ukuran melihat
apakah proses pemerintahan secara good, bad atau ugly.
Ketiga kalangan profesi tersebut harus merupakan tolok
banding (benchmark) model integritas.
3. Pluralisme dalam sistem politik dengan adanya pihak
oposisi yang efektif. Pluralisme dalam sistem politik
menggambarkan bahwa individu tidak terkooptasi dalam
sistem monoloyalitas, yang selain tidak sehat juga
menyalahi kodrat. Hal ini adalah manusiawi mengingat
secara fitrah manusia dilahirkan dengan berbagai keaneka
ragaman dalam ide, keinginan, kebutuhan, kemampuan,
dan level kebahagiaan, adanya pihak oposisi yang efektif
merupakan cermin adanya keinginan bersama untuk saling
sparing partner, mengontrol, dan bersaing memajukan
program yang lebih baik bagi pemanfaatan seluruh bangsa.
4. Media massa yang independen. Adanya media massa yang
independen merupakan cerminan dari kemerdekaan dasar
manusia. Independensi harus diartikan dalam tiga belah
88
pihak; independensi dari kepentingan pemerintah yang
berkuasa, indenpendensi dari pihak yang beroposisi, pada
independensi dari kepentingan pribadi.
5. Independensi lembaga peradilan. Lembaga peradilan harus
memiliki kewenangan penuh yang dapat menjangkau
seluruh warganegara tanpa kecuali dan tanpa diskriminasi.
6. Proses pelayanan publik yang efisien dengan standar
profesionalis yang tinggi dan menjunjung tinggi integritas.
Dengan melihat pelayanan publik dapat diketahui sebaik
dan seamburadul apa administrasi sebuah negara
dijalankan.
7. Adanya aturan anti korupsi yang jelas dan tegas. Aturan
anti korupsi yang dimaksud juga menyangkut upaya
mengungkap kekayaan pejabat pemegang kekuasaan dan
pengambilan keputusan. Aturan tidak hanya diterapkan
pada pejabat tinggi eksekutif, melainkan menyangkut juga
anggota legislatif dan badan-badan pelayanan.
Merujuk uraian para ahli di atas dapat dirinci bahwa
pemerintahan yang baik dapat terwujud apabila penyelenggaraan
pemerintahan dijalankan dengan efektif dan efisien; bebas dari
korupsi kolusi dan nepotisme; bertanggungjawab kepada publik,
menjaga hubungan yang seimbang antara pemerintah, sektor
swasta dan masyarakat, dan menjaga solidaritas pemerintah;
dengan demikian esensi dari good governance menekankan pada
kegiatan pemerintah yang kemudian secara konkret dirumuskan
kedalam asas-asas umum pemerintahan yang baik.
5.3. Good Governance dan Maladministrasi
Munculnya paradigma good governance di Indonesia dilatar
belakangi dengan semakin berkembangnya tuntutan kualitas
demokrasi dan hak asasi manusia dan semakin kurang efektifnya
pemerintahan, sehingga masyarakat tidak mentoleransi lagi
segala bentuk penyimpangan kepercayaan publik (abuse of public
trust) dan semakin menuntut tanggung jawab dan transparansi
dari pejabat publik.52 Untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang

52
Galang Asmara, Kedudukan dan Fungsi Lembaga Ombudsman
Ditinjau dari Sistem Pemerintahan dan Sistem Perlindungan Hukum Bagi
Rakyat Indonesia, disertasi, Univ. Airlangga, 2003, h.209
89
baik (good governance) di Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan
konsep negara demokrasi yang dipolakan dalam penyelenggaraan
negara di Indonesia. Konsep demokrasi ini sebagai salah satu
landasan utama mewujudkan pemerintahan yang baik, mengingat
pemerintahan dikatakan demokratis jika dalam penyelenggaraan
pemerintahannya senantiasa melibatkan rakyat, pembuatan suatu
keputusan melibatkan banyak unit politik, prosesnya transparan,
sehingga rakyat bisa mengontrol ataupun memasukkan inisiatif
lewat saluran yang disediakan oleh sistem politik.
Ditetapkannya negara Indonesia sebagai negara demokrasi
membuktikan bahwa founding fathers telah memikirkan dan
menghendaki adanya suatu penyelenggaraan pemerintahan yang
baik, pemerintahan demokrasi menempatkan rakyat sebagai
unsur utama dan yang berdaulat dalam negara Indonesia, dimana
rakyat sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi, maka dalam
konsep good governance rakyat memegang peranan penting
sebagai kontrol penyelenggaraan pemerintahan yang merupakan
salah satu institusi governance; yang menurut Sedarmayanti
institusi governance meliputi: state (negara atau pemerintah),
privat sector (sektor swasta dan dunia usaha), dan society
(masyarakat).53 Menempatkan rakyat sebagai salah satu institusi
dalam governance berorientasi pada teori terbentuknya suatu
negara, dimana salah satu unsur yang harus dipenuhi adalah
adanya rakyat. Penyelenggaraan pemerintahan demokrasi
mensyaratkan adanya keterlibatan rakyat dalam mengambil
keputusan, baik melalui wakil-wakil rakyat atau secara langsung
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (2) Batang Tubuh
Undang-Undang Dasar 1945.
Dikeluarkannya Ketetapan MPRRI No XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,Kolusi
dan Nepotisme adalah pijakan awal terwujudnya pemerintahan
yang bersih (clean governance) mengingat penyelenggaraan
negara di Indonesia selama ini dinilai telah terjadi praktik-praktik
yang menguntungkan sekelompok tertentu yang menyuburkan
korupsi, kolusi dan nepotisme yang melibatkan para pejabat
negara dan merusak sendi-sendi penyelenggaraan negara.

53
Sedarmayanti,op.cit, h.5
90
Tindakan konkret selanjutnya diundangkannya Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(L.N.R.I. Tahun 1999 Nomor 75). Di dalam Undang-undang ini
dipertimbangkan bahwa praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme
tidak hanya dilakukan antar penyelenggara negara, tetapi juga
antara penyelenggara negara dan pihak lain yang dapat merusak
sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
serta membahayakan eksistensi negara. Undang-undang ini
mengatur secara tegas kewajiban penyelenggara negara untuk
tidak melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme dalam
menyelenggarakan negara, lihat Pasal 5 ayat (1-7) yang mengatur
kewajiban penyelenggara negara, sehingga penyelenggara
negara yang tidak memenuhi kewajiban dimaksud dikenakan
sanksi,baik sanksi administrasi, perdata, pidana, maupun denda.
Di dalam undang-undang ini dirumuskan asas-asas umum
penyelenggaraan negara (the general priciple of organization
state) di dalam Pasal 3 yang meliputi:
1. asas kepastian hukum; adalah asas dalam negara hukum
yang mengutamakan landasan peraturan perundang-
undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
penyelenggara negara;
2. asas tertib penyelenggaraan negara; adalah asas yang
menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan kesimbangan
dalam pengendalian penyelenggaraan negara;
3. asas kepentingan umum; adalah asas yang mendahulukan
kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif,
dan selektif;
4. asas keterbukaan; adalah asas yang membuka diri terhadap
hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar,
jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara
dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi
pribadi, golongan, dan rahasia negara;
5. asas proporsionalitas; adalah asas yang mengutamakan
keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara
negara;

91
6. asas profesionalitas; adalah asas yang mengutamakan
keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
7. asas akuntabilitas; adalah asas yang menentukan bahwa
setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan
negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.54
Hubungan antar penyelenggara negara dilaksanakan
dengan mentaati norma-norma kelembagaan, kesopanan,
kesusilaan, dan etika yang berlandaskan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak pidana korupsi yang dirubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, adalah suatu upaya untuk
memfokuskan pemberantasan terhadap praktik korupsi, kolusi,
dan nepotisme;termasuk diundangkannya Undang-Undang Nomor
30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, bahwa praktik korupsi dalam penyelenggaraan negara
memiliki sanksi yang tegas demi terwujudnya pemerintahan yang
bersih (clean governance).
Untuk menunjang asas akuntabilitas seperti yang disebut di
atas, dikeluarkan Instruksi Presiden Nomor 7 tahun 1999 tentang
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) yang bertujuan
untuk mendorong terciptanya akuntabilitas instansi pemerintah
sebagai salah satu syarat terciptanya pemerintahan yang baik dan
terpercaya dengan sasaran:
1. menjadi instansi pemerintah yang akuntable sehingga dapat
beroperasi secara efisien, efektif dan responsive terhadap
aspirasi masyarakat dan lingkungannya;
2. terwujudnya transparansi instansi pemerintah;
3. terwujudnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan
pembangunan nasipnal;
4. terpeliharanya kepercayaanmasyarakat kepada pemerintah.
54
LIhat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, beserta
penjelasannya.
92
Sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun
1999, dikeluarkan KEPPRES RI Nomor 81 tahun 1999 tentang
Pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara
Negara. Komisi ini merupakan lembaga independen yang dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya bebas dari pengaruh
kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudisial; mempunyai fungsi
untuk memeriksa kekayaan pejabat penyelenggara negara dan
mencegah adanya praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme
dalam penyelenggaraan negara.
Langkah selanjutnya dikeluarkan Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
(Propenas) sebagai upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang
baik. Program ini berkaitan dengan program pengawasan terhadap
aparatur negara dan merupakan salah satu prioritas utama.
Pengawasan melibatkan peran dan partisipasi masyarakat secara
aktif untuk melakukan dan menjadi lembaga kontrol masyarakat
(control of society) terhadap penyelenggara negara agar bebas
dan bersih dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.
Pengawasan terhadap penyelenggara negara di Amerika
misalnya, negara ini mengefektifkan lembaga inspektorat Jenderal
di Kejaksaan Agung (US Department of Justice) dan di
Departemen Pertahanan sebagai lembaga yang independen.
Tidak bertanggung jawab kepada menteri-menteri melainkan
kepada parlemen (congress); namun demikian Inspektur Jenderal
sebagai penyelenggara administrasi negara.55 Di Uganda dan
Jepang, Inspektorat Jenderal sebagai institusi mandiri dan hanya
ada satu dalam negara yang bertugas mengawasi para
menteridan instansi publik dimana salah satu tugasnya adalah
menerima pengaduan terhadap tindakan penyelenggara
pemerintah yang disebut maladministrasi atau maladministrasi
leading to injustice.56 Di Indonesia ada lembaga Inspektorat
Jenderal yang kewenangannya melakukan pengawasan dan
melakukan inspeksi keseluruh komponen departemen terhadap
55
Anton Sujata, Peran Ombudsman Dalam Upaya Membangun Good
Governance, diskusi panel dengan tema “Mengkritisi dan Sosialisasi Konsep
Rancangan Undang-Undang Ombudsman”, diselenggarakan Ombudsman
Nasional bekerjasama dengan Forum Diskusi Hukum Bandung dan Fakultas
Hukum Universitas Pasundan, hotel Horison Bandung, 17 September 2001, h.2
56
ibid
93
sikap, perilaku petugas pemerintah di departemen. Lembaga
tersebut kedudukannya berada di bawah kepemimpinan Menteri,
sehingga eksistensinya kurang independen.
Sasaran pengawasan adalah sebagai upaya mencegah
agar dalam penyelenggaraan administrasi negara tidak terjadi
maladministrasi yang berakibat menimbulkan kerugian dan
ketidakadilan bagi masyarakat. Hal ini sejalan dengan rumusan
tujuan dan misi lembaga ombudsman yang antara lain
membangun dan menjamin terselenggaranya pemerintahan yang
baik (good governance) dengan mengawasi dan mengoreksi cara-
cara lembaga-lembaga pemerintah dalam memberi pelayanan
kepada masyarakat; agar pelayanan itu dilakukan dengan ramah,
sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan, tepat waktu, tanpa
meminta imbalan, dan sesuai dengan asas-asas umum yang
mendasar dan menghasilkan pemerintahan yang baik (algemene
beginselen van behoorlijk bestuur).57
Secara teori, pemerintah atau administrasi negara adalah
subjek hukum dan sebagai pendukung hak-hak dan kewajiban-
kewajiban (drager van de rechten en plichten) untuk melakukan
berbagai tindakan, baik tindakan nyata maupun tindakan hukum
(rechtshandelingen).Tindakan hukum menurut J.B.J.M. ten Berge:
“een rechtshandeling is gericht op het schepen van rechten of
plichten” (tindakan hukum adalah tindakan yang dimaksudkan
untuk menciptakan hak dan kewajiban).
Menurut Muchsan, unsur-unsur tindakan hukum adalah:
1. perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam
kedudukannya sebagai penguasa maupun sebagai alat
perlengkapan pemerintah (bestuursorganen) dengan
prakarsa dan tanggung jawab sendiri;
2. perbuatan tersebut dijalankan dalam rangka menjalankan
fungsi pemerintahan;
3. perbuatan tersebut dijalankan dalam rangka menjalankan
fungsi pemerintahan;
57
C.F.G Sunaryati Hartono dalam makalah berjudul “Komisi Ombudsman
di tengah Struktur Kelembagaan Negara Indonesia” dalam seminar Non-
Judicial Enforcement of Human Right and Good Governance: The
Ombudsman and The Human Right Commissions in a Comparative
Perspective, Kerjasama Universitas Airlangga-Universiteit Utrecht, Surabaya, 15-
17 April 2004, h.6-7
94
4. perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk
menimbulkan akibat hukum dibidang hukum administrasi;
5. perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka
pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat.58
Tindakan hukum dalam hukum administrasi dikenal dengan
istilah tindakan hukum administrasi. Tindakan hukum administrasi
(administratief rechts handeling) oleh H.J. Romeijn diartikan “een
administratieve rechshandeling is dan een wilsver klaring op het in
het leven reopen van een administrative orgaan, gericht
administratief recht“ (tindakan hukum administrasi adalah suatu
pernyataan kehendak yang muncul dari organ administrasi dalam
keadaan khusus, dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum
dalam hukum administrasi).59 Akibat hukum dimaksud seperti
penciptaan hubungan hukum baru, perubahan atau pengakhiran
hubungan hukum yang ada; dengan demikian subjek hukum
tindakan administrasi adalah organ administrasi, yakni organ dari
pemerintah selaku penyelenggara administrasi.
Beranjak dari kewenangan pemerintah untuk melakukan
tindakan hukum administrasi, konsekuensinya adalah apabila
kewenangan tersebut tidak dijalankan sesuai dengan kaidah atau
norma dan hukum yang berlaku maka telah terjadi penyimpangan,
penyalahgunaan wewenang atau maladministrasi.
Menelaah arti kata maladministrasi, kata dasar “mal” dalam
bahasa Latin “malum” artinya jahat (jelek). Kata “administrasi” asal
katanya administrare artinya melayani; dengan demikian
maladministrasi adalah pelayanan yang jelek; dengan pengertian
dasar tersebut, maladministrasi selalu dikaitkan dengan perilaku
dalam pelayanan, dalam hal ini pelayanan yang dilakukan oleh
pejabat publik. Dikaitkan dengan norma hukum administrasi,
maladministrasi masuk kategori norma perilaku aparat dalam
pelayanan publik. Dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bebas KKN,
istilah yang digunakan adalah perbuatan tercela.

58
Muchsan, Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi Negara
dan Peradilan Administrasi Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981,
h.18-19
59
H.J. Romijn, Administratiefrecht Hand-end Leerboek, Mooerman’s
Periodieke Pers .V., Den Haag, 1934, p.89
95
Secara teoritis, maladministrasi dapat terjadi akibat adanya
tindakan hukum pemerintah atau administrasi negara. Di dalam
negara hukum, setiap tindakan hukum pemerintah harus selalu
didasarkan pada asas legalitas (legaliteit beginsel) atau
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kategori maladministrasi, tindakan hukum dimaksud bertentangan
dengan kaidah atau norma dalam menjalankan pemerintahan
termasuk norma hukum; Soenaryati Hartono menjelaskan,
“maladministrasi” secara umum diartikan sebagai perilaku yang
tidak wajar (termasuk penundaan pemberian pelayanan); kurang
sopan dan tidak perduli terhadap masalah yang menimpa
seseorang disebabkan perbuatan penyalahgunaan kekuasaan,
termasuk penggunaan kekuasaan secara semena-mena atau
kekuasaan yang digunakan untuk perbuatan yang tidak wajar,
tidak adil, intimidatif atau diskriminatif, dan tidak patut didasarkan
seluruhnya atau sebagian atas ketentuan undang-undang atau
fakta tidak masuk akal, atau berdasarkan tindakan unreasoanable,
unjust, oppresive dan diskriminatif; sehingga menurut Soenaryati
Hartono, tindakan atau perilaku administrasi bukan sekedar
penyimpangan dari prosedur atau tata cara pelaksanaan tugas
pejabat atau aparat negara atau penegak hukum, tetapi juga
dapat merupakan perbuatan melanggar hukum (onrechtsmatige
overheidsdaad), detournement de pouvoir atau detournement de
procedure. Lebih lanjut Sunaryati Hartono merumuskan 20
substansi permasalahan yang menjadi kompetensi ombudsman
yang meliputi:
1. Penundaan berlarut;
2. Tidak menangani;
3. Persekongkolan;
4. Pemalsuan;
5. Diluar kompetensi;
6. Tidak kompeten (tidak mampu atau tidak cakap);
7. Penyalahgunaan wewenang;
8. Bertindak sewenang-wenang;
9. Permintaan imbalan uang/korupsi;
10. Kolusi dan nepotisme;
11.Penyimpangan prosedur;
12.Melalaikan kewajiban;

96
13.Bertindak tidak layak/tidak patut;
14.Penggelapan barang bukti;
15.Penguasaan tanpa hak;
16.Bertindak tidak adil;
17.Intervensi;
18.Nyata-nyata berpihak;
19.Pelanggaran undang-undang;
20.Perbuatan melawan hukum (bertentangan dengan
ketentuan yang berlaku dan kepatutan.60
Berdasarkan laporan Public Commissioner for Administration
(PCA) pada tahun 1993, tindakan-tindakan maladministrasi yang
lain, seperti:
1. Sikap kasar;
2. Keengganan memperlakukan pengadu sebagai insan yang
memiliki hak;
3. Menolak memberi jawaban atas pertanyaan yang
beralasan;
4. Melalaikan keharusan memberitahu pengadu akan hak-
haknya;
5. Dengan sengaja memberi nasihat yang menyesatkan atau
tidak lengkap;
6. Mengabaikan nasehat yang sah atau pertimbangan yang
membatalkan yang dapat menimbulkan perasaan tidak
enak pada pihak yang memberikan nasihat atau
pertimbangan tadi;
7. Menawarkan tidak ada pemulihan atau pemulihan yang
tidak proporsional;
8. Menunjukkan sikap prasangka atau alasan warna kulit,
seks, atau alasan lain;
9. Cacat prosedur;
10.Kegagalan managemen dalam memantau kepatuhan
melalui prosedur yang memadai;
11.Sikap sepihak.
Menurut “Klasifikasi Crossman” sebagaimana dikutip Anton
Sujata tindakan-tindakan maladministrasi antara lain:
1. Berprasangka;
60
Soenaryati Hartono, Panduan Investigasi untuk Ombudsman
Indonesia, Komisi Ombudsman Nasional, Jkt, 2003, h.6
97
2. Kelalaian;
3. Kurang peduli;
4. Keterlambatan;
5. Bukan wewenangnya;
6. Tindakan tidak layak;
7. Jahat;
8. Kejam;
9. Semena-mena.61
Dalam laporan tahunan Komisi Ombudsman (2003)
tindakan maladministrasi adalah: (1) penundaan berlarut; (2)
tindakan sewenang-wenang; (3) penyimpangan prosedur; (4)
tindakan yang kurang adil; (5) penyalahgunaan wewenang; (6)
permintaan imbalan; (7) melalaikan kewajiban; (8) perbuatan
maladministrasi lainnya.
Tindakan maladministrasi memiliki kaitan erat dengan sikap
dan perilaku penyelenggara administrasi negara (pemerintahan)
sebagai subyek hukum, yang secara teori pemerintah memiliki
kedudukan khusus (de overhead als bijzonder persoon) yaitu
sebagai satu-satunya pihak yang diserahi kewajiban untuk
mengatur dan menyelenggarakan kepentingan umum dimana
dalam rangka melaksanakan kewajiban ini kepada pemerintah
diberikan wewenang membuat peraturan perundang-undangan,
menggunakan paksaan pemerintah, atau menerapkan sanksi-
sanksi hukum, sehingga penyelenggara pemerintahan memiliki
pengaruh yang sangat dominan.
Apabila wewenang tersebut melekat suatu tanggung jawab
atau akuntabilitas kepada masyarakat, sehingga tindakan
maladministrasi sebagai tindakan bertentangan dengan kehendak
rakyat, maka tindakan maladministrasi sebagai tolok ukur
moralitas suatu pemerintahan, dimana pemerintahan dinilai baik
apabila tidak terjadi maladministrasi, dan dinilai buruk apabila
pemerintahan banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan yang
masuk pada rincian tindakan maladministrasi di atas. Tindakan
maladministrasi sangat bertentangan dengan konsep good
governance, karena esensi good governance sebagai kaidah etika
61
Cabinet Office, “The Ombudsman in Your Files” 1997,dalam Anton
Sujata, Ombudsman Indonesia Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang,
Komisi Ombudsman Nasional, Jkt, 2002, h.20
98
atau moral dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk
mewujudkan pemerintahan yang baik, sedangkan maladministrasi
nyata-nyata sebagai tindakan administrasi yang bertentangan
dengan etika atau moral dan hukum.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirinci maladministrasi
adalah suatu tindakan atau perilaku administrasi oleh
penyelenggara administrasi (pejabat publik) dalam proses
pemberian pelayanan umum yang menyimpang dan bertentangan
dengan kaidah atau norma serta hukum yang berlaku, atau
melaukan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir)
yang atas tindakan tersebut menimbulkan kerugian dan
ketidakadilan bagi masyarakat; dengan kata lain melakukan
kesalahan dalam penyelenggaraan administrasi.
5.4. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
Asas-asas umum pemerintahan yang baik (The General
Principles of Good Governance) adalah sekumpulan ketentuan-
ketentuan dasar yang harus dipenuhi oleh suatu penyelenggaraan
pemerintahan yang baik. Asas-asas umum pemerintahan yang
baik merupakan bagian dari hukum positif yang berlaku dan
mempunyai pengaruh pada penerapan peraturan perundang-
undangan ataupun peraturan kebijaksanaan(bleidsregel). Asas-
asas umum pemerintahan yang baik dipakai sebagai alasan
menggugat (beroepgronden) oleh masyarakat yang dirugikan oleh
keputusan yang dikeluarkan badan/pejabat tata usaha negara dan
dasar untuk menguji (toetsinggronden) keputusan tata usaha
negara oleh hakim (marginal toetsingrecht).
Pada tahun 1950 di Belanda dibentuk suatu komisi yang
bertujuan melindungi hukum bagi warga negara dari yang semula
hanya menjaga ketertiban dan keamanan untuk merealisasikan
kehendak negara dengan penyelenggaraan hukum. Komisi ini
dikenal dengan nama “komisi de monchi.” Komisi ini mengusulkan
beberapa asas yang harus dipenuhi untuk tercipta pemerintahan
yang baik sebagai berikut:
a. asas kepastian hukum (principle of legal law);
b. asas pemerintahan harus bertindak cermat (principle of
carefullness);
c. asas keseimbangan (principle of equality);

99
d. asas persamaan di dalam mengambil keputusan (principle
of proporsionality);
e. asas motivasi untuk setiap keputusan (principle of
motivatian);
f. asas tidak mencampuradukkan wewenang (principle of non
missive of competantion );
g. asas permainan yang layak (principle of fair play);
h. asas keadilan dan kewajaran dan asas pengharapan yang
wajar (principle of reasonableniss or prohibition of
arbitratinese);
i. asas kebijaksanaan (principle of wisdomnese);
j. asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal
(principle of undoing the consequentie of an nodleed
decition);
k. asas perlindungan atas pandangan hidup pribadi (principle
of protecting the personal way of life);
l. asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of
public service).
Lebih lanjut, beberapa ahli yang merumuskan asas-asas
umum pemerintahan yang baik (aupb) diantaranya adalah:
1. R. Crince Le Roy62
a. asas kepastian hukum (principle of legal certainty);
bahwa harus ada kepastian, suatu keputusan yang telah
dikeluarkan tidak dicabut secara semena-mena karena
telah memenuhi persyaratan formal dan syarat materil.
Asal penerbitan itu bukan karena paksaan atau kelalaian;
b. asas keseimbangan (principle of proporsionally);
bahwa dalam mengambil/menerbitkan suatu keputusan
harus ada keseimbangan antara hukuman yang
dijatuhkan dan bobot kesalahan yang dilakukan. Orang
yang terkena keputusan terlebih dahulu harus
didengarkan dan diberi kesempatan membela diri
sebelum keputusan dikeluarkan juga harus
dipertimbangkan antara kepentingan umum dan
kepentingan perorangan;

62
Disampaikan Solly Lubis dalam rangka Postgraduate Constitutional
and Administrasi Law Course di Fak. Hukum Univ. Airlangga, September 1984.
100
c. asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of
equality);
bahwa untuk kasus-kasus yang sama, keputusannya pun
harus sama;
d. asas bertindak cermat (principles of carefullness);
bahwa untuk mengeluarkan keputusan harus dilakukan
secara cermat dari badan/pejabat tata usaha negara yang
mengeluarkan keputusan tersebut. Persyaratan itu
meliputi persyaratan formal maupun persyaratan material.
e. asas motivasi untuk setiap keputusan (principles of
motivation);
bahwa untuk mengeluarkan keputusan harus dilandasi
suatu motivasi yang adil dan jelas serta dapat dimengerti;
f. asas tidak boleh mencampuradukkan kewenangan
(principle of non misuse of competence);
badan/pejabat tata usaha negara ketika mengeluarkan
suatu keputusan tidak boleh menyalahgunakan
wewenang tersebut dengan tujuan lain dari pemberian
wewenang itu (detournement de pouvoir);
g. asas permainan yang layak (fair play);
badan/pejabat tata usaha negara harus memberikan
kesempatan yang luas kepada warga negara untuk
mencari keadilan dan kebenaran; sehingga badan/pejabat
tata usaha negara harus memberikan keterangan/
informasi yang jelas, adil, tidak berat sebelah dan akurat.
h. asas keadilan dan kewajaran (principle of reasonableness
of prohibiton of arbitrariness);
bahwa untuk mengeluarkan keputusan, badan/pejabat
tata usaha negara harus bersikap wajar dan adil, tidak
boleh berlaku tidak wajar (willekeuring). Contoh:
Keputusan Kron (mahkota) tanggal 29 juni 1966
membatalkan keputusan Menteri yang menolak izin
tinggal seorang gadis Indonesia di Netherland karena
masalah asimilasi yang merupakan syarat bagi orang
asing yang ingin tinggal di Netherland. Sementara gadis
itu dapat berbahasa Belanda63

63
Radar, Edisi Maret-April 1988, h.15
101
i. Asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of
meeting raised expectation);
bahwa badan/pejabat tata usaha negara pejabat ketika
mengeluarkan suatu keputusan harus dapat memahami
hal-hal wajar yang akan timbul bersamaan dengan
dikeluarkannya keputusan tersebut.
j. asas peniadaan keputusan yang batal (principle of
undoing the consequences of unnulled decision);
badan/pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan
suatu keputusan yang kemudian dibatalkan instansi/
pejabat atasan atau pengadilan, maka badan/pejabat tata
usaha negara tersebut wajib merehabilitasi hak-hak
korban seperti keadaan semula sebelum keputusan
dikeluarkan dan membayar ganti rugi yang timbul.;
k. asas perlindungan atas pandangan hidup (principle of
protecting the personal way of life);
bahwa badan/pejabat tata usaha negara harus menjamin
hak untuk hidup sesuai dengan pandangan hidupnya. 64
2. Kuntjoro Purbopranoto menambahkan dua asas lagi yaitu:
a. asas kebijaksanaan (principle of sapiently);
b. asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of
public service). 65
3. A.M.Donner dan G.J.Wiarda
a. asas kejujuran (fair play); (het beginsel van fairplay)
b. asas kecermatan (zorgvuldigheid);
c. asas kemurnian dalam tujuan (zuiverheid van oogmerk);
d. asas keseimbangan (evenwichtigheid);
e. asas kepastian hukum (rechts zekerheid).66
64
Lihat R. Crince Le Roy dalam Paulus Effendie Lotulung, Himpunan
Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), Citra Aditya Bakti
Bandung, 1994, h.38-39
65
Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan
dan Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1979, h.29-30.
Catatan: pada saat asas-asas di atas diuraikan oleh R.Crince Le Roy
masih berdasarkan yurisprudensi pengadilan biasa bukan dari AROB karena
waktu itu Wet AROB baru mulai diterapkan pada tahun 1976.
66
A.M.Donner dan Wiarda dalam Jazim Hamidi, Penerapan Asas-Asas
Umum Penyelenggaraan Pemerintahan yang Layak (AAUPPL) di Lingkungan
Peradilan Administrasi, Citra Aditya Bakti,Bandung, 1999, h.31-32
102
4. A.D. Belifante
a. asas larangan bertindak sewenang-wenang;
b. asas larangan detournement de pouvoir;
c. asas kepastian hukum;
d. asas keseksamaan dan asas persamaan.
1. J.L.Veld dan N.S.J. Koeman67
a. asas larangan detournement de pouvoir;
b. asas larangan bertindak sewenang-wenang (willekeur);
c. asas persamaan (het gelijkheids beginsel);
d. asas kepastian hukum (rechtszekerheid);
e. asas harapan-harapan yang ditumbuhkan (gewekte
verwachtingen);
f. asas kejujuran (fair play);
g. asas kecermatan (zorgvuldigheid);
h. asas pemberian dasar perimbangan (motivering).
Di Belanda, dalam AROB 1976 asas dalam abbb meliputi;
a. asas pertimbangan (motiverings beginsel);
b. asas kecermatan (zorgvuldigheidsbeginsel);
c. asas kepastian hukum (rechtszekerheidsbeginsel);
d. asas kepercayaan atau asas menanggapi harapan yang
telah ditimbulkan (vertrouwensbeginsel of beginsel van op
gewekte verwachingen);
e. asas persamaan (gelijkheidsbeginsel);
f. asas keseimbangan (evenredigheidsbeginsel);
g. asas kewenangan (bevoegheidsbeginsel);
h. asas fair play (beginsel van fair play);
i. larangan detournement de pouvoir (het verbod van
detournement de pouvoir);
j. larangan bertindak sewenang-wenang (het verbod van
willekeur).68

67
J.L.Veld dan N.S.J. Koesman, ibid
68
Dalam Philipus M. Hadjon, Masalah Pertanahan Dalam Peradilan Tata
Usaha Negara, Jurnal Yuridika, h.9
103
2. G.H. Addink69
1. The principle of prohibition of misuse power or the
principle of prohibition of detournement de pouvoir
(specialiteits beginsel:
a. against the goal of the power;
b. an in correct goal;
c. appropriate use;
d. use consistent with the goal.
(asas larangan bertindak sewenang-wenang)
2. The principle of prohibition of arbitrarinees (the principle of
reasonablenees);
a. arbitrarinees=evident unreasonable(complete unsystematic);
b. visible unreasonable(balance of interest but not acceptable);
c. that cannot be done in reasonablenees (marginal
judicial review);
d. in fairness
(asas keadilan atau asas kewajaran)
3. The principle of legal certainty;
a. formal legal certainty (recognizable right and duties);
b. substansial legal certainty (durability of rules, order has
to be complied with, no infringe of rights without legal
base, prohibiton of retroactive effect.
(asas kepastian hukum)
4. The principle of confidence:
a. in general by policy-rules, directives or circulars;
b. concrete case in inspiring confidence; relevant
elements are: who, in what way, by which act and
aspects disposition.
(asas kepercayaan)
5. The principle of equality:
a. equality for the law;
b. equality of administration, elements: no predisposition,
no negative discrimination, no positive discrimination;
69
G.H. Addink dalam lampiran paper Philipus M.Hadjon, Konsep Dasar
Hukum Administrasi, ceramah tanggal 29 Maret 2004, Kantor Menpan.
104
c. equal spread of costs general interest.
(asas kesamaan)
6. The principle of proporsionality:
a. administrative sanctions (individual and general);
b. right balances between means and aims.
(asas proporsionalitas atau asas keseimbangan)
7. The principle of carefulnees:
a. substantial carefulnees (careful balance of interests);
b. formal carefulnees (steps in prodedure of ordering: 1)
treatment; 2) researching; 3) consultation; 4) publication.
(asas kehati-hatian)
8. The principle of reasonings:
a. substansial (bearing reason in relation to: facts,
interest and rules);
b. formal (recognizable reason by given/publication of
administratives).
(asas pertimbangan)
Merujuk uraian di atas, asas larangan bertindak sewenang-
wenang dimaknai sebagai asas specialiteits beginsel atau asas
spesialitas. Setiap kewenangan memiliki tujuan tertentu yakni arah
dan tujuan diberikannya wewenang (zuiverheid van oogmerk)
agar penyelenggaraan pemerintah selaras dan seimbang
sehingga tidak terjadi penyalahgunaan wewenang (detournement
de pouvoir. Tatiek Sri Djatmiati menjelaskan, asas specialiteits
beginsel merupakan onderdel dari asas legalitas (legaliteit
beginsel), asas specialiteits beginsel masih sejenis (serumpun)
dengan asas legalitas. Suatu permasalahan yang mendasar, di
dalam asas legalitas(legaliteit beginsel) tidak memperhitungkan
tujuan (specialitas) akan tetapi sebaliknya dalam asas specialitas
menekankan pada tujuan diberikannya wewenang. Disini terjadi
suatu persinggungan, sehingga pada tataran tertentu tindakan
pemerintah akan mengesampingkan asas legalitas karena adanya
peraturan yang berbeda yakni pada satu sisi suatu tindakan atau
tingkah laku harus disetujui dan disisi lain ada peraturan yang
melarang, sehingga pengambilan keputusan mempertimbangkan
kepentingan yang lain.70
70
Tatiek Srie Djatmiati, Prinsip Izin Usaha Industri di
105
Di dalam praktik di Indonesia, telah banyak yurisprudensi
menyangkut AUPB, yaitu; larangan penyalahgunaan wewenang;
larangan bertindak sewenang-wenang; larangan diskriminasi;
kecermatan; keseimbangan (proporsional). 71
Di Belanda disebut dengan algemene beginselen van
behoorlijk bestuur (abbb) dan telah diatur dalam undang-undang
yang disebut dengan algemene wet bestuursrecht (Awb) dan
dalam bahasa Inggerisnya diterjemahkan sebagai General
Administrative Law Act (GALA). Abbb sebagai hukum yang tidak
tertulis berubah menjadi aturan hukum tertulis karena masuk
dalam Awb (Algemene wet bestuursrecht) tahun 1994.
Di Inggeris di sebut dengan prinsip ultra vires. Ultra vires
adalah prinsip yang digunakan sebagai alat untuk mengontrol
tindakan pemerintah agar tidak keluar dari yang telah ditetapkan
parlemen. Prinsip ultra vires penekanannya pada aspek kepastian
hukum dan adanya supremasi parlemen; karena semua
kewenangan publik ditentukan melalui parlemen dengan
mempergunakan lembaga peradilan sebagai sarana
penegakannya. P.P. Craig menjelaskan, dalam perkembangannya,
prinsip ultra vires ditinggalkan karena mengandung kelemahan
karena kontrol yang seharusnya dilakukan parlemen terhadap
eksekutif dalam kenyataan menjadi sebaliknya. Pembuat undang-
undang yang seharusnya di tangan parlemen kemudian justru
menjadi hak prerogratif eksekutif dan pihak parlemen secara
diam-diam menyetujui kondisi ini. Di samping itu di dalam
kenyataan parlemen tidak memegang kekuasaan publik karena
banyak lembaga di luar parlemen yang melaksanakan sebagian
kewenangan publik’ Dalam perkembangannya, prinsip ultra vires
bergeser ke ‘A Right Based Approach’ yang menekankan pada
perlindungan hak asasi. Dengan demikian telah terjadi pergeseran
penekanan, dari penekanan kepastian hukum ke penekanan hak
asasi.72

Indonesia,Disertasi Universitas Airlangga, 2002, h.108-109


71
Lihat Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Good Governance
Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Perspektif Hukum Tata
Negara dan Hukum Administrasi), makalah dalam seminar di Univ.Warmadewa,
Denpasar 2002, h.4
72
Lihat I Gusti Ngurah Wairocana, “Good Governance”
(Kepemerintahan Yang Baik) dan Implementasinya di Dalam
106
Sebagai perbandingan, di Perancis dikenal “asas-asas
umum hukum publik” (principes generaux du droit publique) yang
terdiri atas:
1. asas persamaan (egalite);
2. asas larangan mencabut keputusan bermanfaat(intangibilite
de effects individuels des actes administratifs);
3. asas larangan berlaku surut (principe de non retroactive
des actes administratifs);
4. asas jaminan kebebasan masyarakat (garantie des lebertes
publiques);
5. asas keseimbangan (proportionnalite);
Philipus M.Hadjon menjelaskan: “kalau kita bandingkan
rincian asas-asas umum pemerintahan yang baik di Belanda
dengan asas umum hukum publik di Perancis kiranya tidak
relevan membandingkan dari segi kuantitas karena asas-asas
tersebut memang tidak dirinci dalam peraturan perundang-
undangan tetapi ditemukan oleh hakim melalui ‘rechtsvinding’. Hal
menarik yang nampak dalam asas-asas yang berkembang di
Perancis adalah asas nomor 2, 3, 4, di atas. Asas nomor 2 kalau
dibandingkan dengan Belanda kiranya dapat disejajarkan dengan
asas kepastian hukum.”
Sampai saat ini setiap keputusan tata usaha negara di
Indonesia selalu diakhiri klausule pengaman atau veiligheids
clausule dengan kalimat: “apabila dikemudian hari terdapat
kekeliruan dalam keputusan ini akan diperbaiki sebagaimana
mestinya”. Kalimat di atas dianggap sebagai jaminan untuk setiap
saat mencabut keputusan yang dianggap keliru. Kalimat di atas
sesungguhnya bertentangan dengan asas praduga “rechtmatig”
(vermoeden van rechtmatigheid; praesumptio iustae causa)
bahwa setiap tindakan pemerintah termasuk keputusan harus
dianggap ”rechmatig” sampai ada pembatalannya. Hal itu tidak
berarti tidak boleh mencabut keputusan yang keliru. Keputusan
yang keliru atau keputusan yang mengandung cacat dapat saja
dicabut dengan memperhatikan ketentuan hukum administrasi
baik tertulis maupun berupa asas-asas hukum. Wewenang untuk
mencabut keputusan yang keliru tidak tergantung pada klausule

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Bali, Disertasi Ilmu Hukum


Univ.Airlangga, 2005, h. 15
107
tersebut; dengan demikian klausula pengaman seperti di atas
tidak perlu ada.
Asas–asas umum pemerintahan yang baik dapat dibagi
atas asas-asas yang bersifat formal dan asas-asas yang bersifat
material (substansial). Asas-asas umum pemerintahan yang baik,
yang bersifat formal adalah:
a. asas kecermatan (principle of carefulness);
badan/pejabat tata usaha negara harus meneliti keputusan
yang perlu dikeluarkan untuk mengatasi suatu keadaan;
keadaan harus dipertimbangkan dengan cermat atas segala
hal yang mungkin timbul, dan kepentingan orang atau
badan hukum perdata yang akan terkena keputusan itu;
b. asas permainan yang layak (principle of fair a play);
warga negara harus diberikan kesempatan yang sama dan
seluas-luasnya mencari keadilan. Untuk itu diadakan
peradilan administrasi (administrati beroef) untuk menilai
suatu keputusan yang dikeluarkan badan/pejabat tata
usaha negara. Contoh: keputusan tersebut dikeluarkan
lebih disebabkan karena adanya komersialisasi jabatan
untuk kepentingannya sendiri dan orang lain yang pada
akhirnya merugikan pencari keadilan;
c. asas penyalahan proses (principle of detournement de
procedure);
pengambilan suatu keputusan harus dilakukan sesuai
dengan prosedur yang telah ditentukan. Contoh: untuk
mengeluarkan sertipikat atas sebidang tanah terlebih
dahulu harus ada surat ukur, diumumkan di papan
pengumuman, dan seterusnya. Pengadaan tanah untuk
kepentingan umum harus dilakukan melalui Panitia
Pengadaan Tanah dan dilakukan melalui musyawarah yang
diatur dengan Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 jo
Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006;
d. asas motivasi (principle of motivation);
badan/pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan suatu
keputusan harus memberikan motivasi yang jelas tentang
keputusan itu. Motivasi harus jelas dan dapat dimengerti
oleh umum dan adil. Suatu keputusan harus diberi
pertimbangan yang cukup dan diberi dasar hukum

108
dikeluarkannya keputusan tersebut sehingga masyarakat
mengerti alasan dikeluarkannya keputusan itu.
Asas-asas umum pemerintahan yang baik yang bersifat
materiel atau substansial, meliputi:
a. asas kepastian hukum (principle of legal security);
menurut asas ini suatu keputusan tata usaha negara yang
telah dikeluarkan tidak akan dicabut walau ada kesalahan;
ini untuk menjamin kepastian hukum. Pasal 55 UU Nomor 5
tahun 1986 jo UU Nomor 51 tahun 2009 memberikan
tenggang waktu selama 3 bulan (90 hari) bagi orang
perorangan atau Badan Hukum Perdata yang dirugikan
oleh keputusan tersebut untuk membatalkannya.Tenggang
waktu dihitung sejak keputusan dikeluarkan atau
disampaikan atau diketahui penggugat. Lewat tenggang
waktu tersebut, keputusan tata usaha negara tersebut tidak
dapat diganggu gugat;
b. asas kepercayaan (principle of protecting the personal way of life);
menurut asas ini suatu keputusan tidak boleh bertentangan
dengan pandangan hidup pribadi seseorang;
c. asas tidak menyalahgunakan wewenang (principle of
detournement de pouvoir);
menurut asas ini badan/pejabat tata usaha negara dilarang
mengeluarkan suatu keputusan dengan menyalahgunakan
wewenang yang ada padanya.
d. asas persamaan (principle of equality);
Menurut asas ini pemerintah dalam mengambil keputusan
terhadap dua kasus yang sama posisi kasusnya, maka
keputusannya harus sama pula. Demikian pula dalam
mengambil keputusan untuk menetapkan suatu hukuman
terhadap kesalahan yang sama harus dijatuhkan hukuman
yang sama. Dalam mengambil keputusan, dipertimbangkan
keseimbangan antara kepentingan umum dan kepentingan
perorangan. Contoh: terhadap pegawai yang akan dijatuhi
hukuman/sanksi terlebih dulu diberi kesempatan membela
diri. Demikian pula dalam hal untuk memberi, mengeluarkan
atau mencabut izin, terlebih dahulu harus diperhitungkan
kepentingan umum dan perorangan yang akan dirugikan.
Contoh: dalam kasus pelebaran jalan/pembebasan tanah,
109
yang mengakibatkan terjadi larangan kendaraan tertentu
melewati jalan tertentu, dan lain sebagainya;
e. asas tidak mencampuradukkan kewenangan/kecermatan
material (principle of non missive competence);
menurut asas ini suatu wewenang yang dimiliki tidak boleh
digunakan untuk kepentingan diri sendiri. Contoh: untuk
menerima upeti, uang suap, dan lain sebagainya; demikian
pula wewenang itu tidak boleh dipergunakan untuk tujuan
lain dari diberikannya wewenang tersebut.
f. asas tidak boleh bertindak sewenang-wenang (principle of
willekeur);
menurut asas ini badan/pejabat tata usaha negara tidak
boleh sewenang-wenang dalam mengeluarkan keputusan.
Contoh: untuk mengeluarkan keputusan, harus memenuhi
ketentuan formal dan material. Prosedur yang dikeluarkan
harus dilalui dan syarat yang dikeluarkan harus dilalui dan
syarat yang ditentukan terpenuhi.Tanpa pemenuhan hal itu
adalah tindakan sewenang-wenang;
g. asas keadilan dan pengharapan yang wajar (principle of
reasonableneess or prohibition of arbitranese);
menurut asas ini setiap orang/badan hukum yang
memenuhi persyaratan untuk hal tertentu harus
memperolehnya. Contoh: dalam hal memperoleh rumah
Perumnas ditentukan syarat-syarat tertentu. Lalu ada yang
memenuhi syarat tetapi tidak memperolehnya. Contoh lain:
dalam penerimaan Pegawai Negeri Sipil atau penerimaan
siswa/mahasiswa baru, yang lulus test yang diterima.
Dalam hal yang tidak lulus test diterima, ini bertentangan
dengan asas keadilan dan pengharapan yang wajar;
h. asas kebijaksanaan (principle of wisdom);
menurut asas ini segala keputusan pemerintah berupa
kebijaksanaan (freies ermessen) tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
moral dan kepatutan. Freies ermessen dalam bentuk
“coirerner oesi prevoir”, artinya, pemerintahan harus
menghindarkan kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul
akibat diterbitkannya suatu keputusan. Untuk itu sebelum
mengeluarkan suatu keputusan, harus mengetahui hal-hal

110
yang tidak diinginkan tersebut. Contoh: izin sudah diberikan
tetapi kemudian dicabut lagi;
i. asas keseimbangan (principle of proporsionality);
Menurut asas ini untuk pengambilan suatu keputusan harus
dilaksanakan secara proposional, berimbang dan sesuai
dengan tempat dan kondisinya.
j. asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal
(principle of un doing the concoquesis of un nolled decition);
menurut asas ini sedapat mungkin dicegah akibat-akibat
yang mungkin timbul sebagai konsekuensi pembatalan
terhadap suatu keputusan yang telah dikeluarkan. Dalam
hal keadaan tersebut harus terjadi, diusahakan sekecil
mungkin dampak yang ditimbulkan;
k. asas kepentingan umum (principle of public service);
menurut asas ini setiap pengeluaran suatu keputusan
seyogyanya merupakan pelayanan bagi kepentingan
umum. Suatu keputusan yang dikeluarkan tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan umum.
Indroharto mengutip F. H. Burkens dan van Der Bergh,
asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah:
a. asas-asas formal pembentukan keputusan, meliputi :
1. asas-asas kecermatan formal;
bahwa pada waktu mempersiapkan pembentukan suatu
keputusan, badan/pejabat tata usaha negara yang
mengeluarkan keputusan ini harus bersifat jujur. Harus
sudah diperoleh gambaran yang jelas mengenai: semua
faktor-faktor yang relevan, semua kepentingan yang
terkait dan semua kepentingan pihak ketiga;
2. asas fair play;
bahwa sebelum mengeluarkan suatu keputusan, badan/
pejabat tata usaha negara tidak boleh bersifat
menghalang-halangi kesempatan seseorang/badan
hukum perdata untuk memperoleh suatu keputusan
yang akan menguntungkan baginya.
b. asas-asas formal mengenai formulasi keputusan, meliputi:
1. asas pertimbangan;
bahwa suatu keputusan yang dikeluarkan, harus disertai
dengan pertimbangan yang memadai. Pertimbangan itu
111
akan menjadi jelas alasan dan dasar dikeluarkannya
keputusan dengan didukung fakta-fakta hukum yang
benar dan relevan serta mendukung keputusan tersebut.
2. asas kepastian hukum formal;
bahwa keputusan yang dikeluarkan harus jelas, tidak
berlaku surut dan hanya berlaku untuk keadaan-
keadaan setelah keputusan itu dikeluarkan;
c. asas-asas material mengenai isi keputusan, meliputi:
1. asas kepastian hukum material;
bahwa suatu keputusan tidak boleh berlaku surut,
karena hanya mengatur keadaan-keadaan setelah
keputusan itu dikeluarkan;
2. asas kepercayaan;
bahwa badan/pejabat tata usaha negara tidak boleh
mengingkari janji-janji yang telah menumbuhkan
harapan karena penerbitan suatu keputusan.
3. asas persamaan;
bahwa atas hal-hal atau keadaan yang sama harus
diperlakukan secara sama;
4. asas kecermatan material;
bahwa suatu keputusan yang dikeluarkan badan/pejabat
tata usaha negara tidak boleh menimbulkan kerugian
yang tidak perlu;
5. asas keseimbangan;
bahwa sanksi yang ditetapkan oleh keputusan badan/
pejabat tata usaha negara harus seimbang dengan
kesalahan yang dilakukan.
Berdasaran uraian di atas dapat disimpulkan bahwa asas-
asas umum pemerintahan yang baik dapat digunakan untuk
menilai keputusan tata usaha negara yang digugat. Dasar hukum
wewenang hakim peradilan tata usaha negara untuk menerapkan
asas-asas umum pemerintahan yang baik terhadap keputusan
tata usaha negara yang digugat adalah ketentuan 14 jo Pasal 27
Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo Undang-Undang
Nomor 35 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman; dengan demikian asas-asas
umum pemerintahan yang baik perlu dipahami, baik bagi badan/
112
pejabat tata usaha negara atau untuk kelancaran penanganan
perkara tata usaha negara untuk menghindarkan perbuatan
hukum yang merugikan warga.
Sikap tindak pejabat administrasi dalam menjalankan tugas
pemerintahan akan melahirkan suatu kebijaksanaan berupa
keputusan, agar keputusan dapat diterima sebagai keputusan yang
sah, van der Pot sebagaimana dikutip oleh Philipus M. Hadjon
bahwa ada empat syarat yang diajukan agar keputusan tersebut
sah, yaitu:
1. bevoegdheid (kewenangan) organ administrasi (negara) yang
membuat keputusan;
2. geen juridische gebreken in de wilsvorming (tidak ada
kekurangan yuridis dalam pembentukan kehendak);
3. vorm dan procedure yakni keputusan dituangkan dalam
bentuk yang telah ditetapkan dan dibuat menurut tata cara
yang telah ditetapkan;
4. isi dan tujuan keputusan sesuai dengan isi dan tujuan
peraturan dasar. 73
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa asas
legalitas dalam negara hukum dan sikap tindak pemerintahan
karena wewenang diskresi yang menyebabkan badan atau
pejabat tata usaha negara dapat melaksanakan fungsinya dalam
pemerintahan, dengan cara: (1) membentuk peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang dan membuat ketetapan
(beschikking); (2) menjalankan pemerintahan untuk mencapai
tujuan negara dengan melaksanakan perbuatan nyata.
Sebagai Contoh, Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia adalah Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK).
Pengaturan lembaga pemerintah non kementerian tidak mengatur
secara tegas mengenai wewenang, yang diatur adalah tugas dan
fungsi. Pertanyaannya produk hukum yang dikeluarkan Badan
Pertanahan Nasional tergolong peraturan perundang-undangan
atau peraturan kebijaksanaan (beleidsregel), hal inilah yang perlu
dianalisis terlebih dahulu. Berdasarkan ketentuan, produk hukum
yang dilahirkan adalah produk regulasi untuk menjalankan
kekuasaan regulasi.
73
Philipus M. Hadjon, Pengertian-Pengertian Dasar Tentang Tindak
Pemerintahan, Penerbit dan stensil, djumali, 1985, h.8 (III)
113
Kekuasaan regulasi adalah kekuasaan mengatur yang
diberikan kepada pemerintah untuk melaksanakan kekuasaan
legislasi atau untuk menjalankan segala sesuatu hal pokok yang
dituangkan dalam kekuasaan legislasi atau delegated legislation.
Fungsi regulasi kekuasaan eksekutif dapat dilihat dari; (a)
pendelegasian Undang-Undang (delegated legislation): (b)
peraturan kebijaksanaan. Peranan yang begitu besar mensyaratkan
setiap tindakan eksekutif atau pemerintahan harus lahir atas
wewenang yang sah, baik wewenang yang diperoleh melalui
atribusi, mandat dan delegasi. Dalam praktik, Peraturan
Pemerintah adalah aturan hukum untuk melaksanakan ketentuan
undang-undang. Dalam delegasi undang-undang perlu diperhatikan
prinsip delegatus non potest delegate, artinya sebuah aturan
hukum yang didelegasikan oleh aturan hukum yang lebih
tinggi adalah terlarang untuk didelegasikan ke aturan hukum
lain tanpa persetujuan yang mendelegasikannya. Contoh, Peraturan
Pemerintah yang mendapatkan delegasi dari Undang-Undang,
maka Peraturan Pemerintah terlarang untuk mendelegasikan
materinya kepada aturan hukum Keputusan Menteri atau
Peraturan Daerah. Dari segi teoretis ketatanegaraan wewenang
tata usaha negara dalam menjalankan fungsi administrasi
pemerintahan untuk bertindak atas inisiatif sendiri berbeda
dengan wewenang aturan hukum. Kebebasan bertindak
Pemerintah ini disebut peraturan kebijaksanaan yang dapat
berbentuk surat edaran (SE), petunjuk pelaksana (Juklak),
petunjuk teknis (Juknis) dan lain-lain. Fungsi regulasi kekuasaan
eksekutif dari perspektif teori hanya ada pada aturan hukum
Peraturan Pemerintah, selebihnya masuk dalam kualifikasi
peraturan kebijaksanaan. Penegasan peraturan kebijaksanaan
bukan aturan hukum sangat penting karena asas-asas pembatasan
dan pengujian terhadap aturan hukum tidak dapat diberlakukan
pada peraturan kebijaksanaan. Suatu peraturan kebijaksanaan
tidak dapat diuji secara wetmatigheid karena memang tidak ada
dasar aturan hukum untuk peraturan kebijaksanaan. Peraturan
kebijaksanaan dibuat berdasarkan diskresi dan ketiadaan
wewenang tata usaha negara membuat aturan hukum, baik secara
umum tidak berwenang maupun untuk objek bersangkutan tidak

114
berwenang mengatur. Perwujudan kebebasan bertindak oleh
pejabat tata usaha negara ini berdasarkan kewenangan bebas atau
kewenangan “tidak terikat“. Philipus M. Hadjon 74 menjelaskan:
"Apabila diperhatikan pandangan tersebut, maka kenyataannya
dalam praktik pemerintahan daerah, nampaknya peraturan
kebijaksanaan dalam bentuk keputusan yang dikeluarkan
oieh badan atau pejabat tata usaha negara kita dewasa ini
banyak yang bersifat mengatur dan bahkan mengikat warga
secara umum. Hal ini merupakan masalah karena badan atau
pejabat yang mengeluarkan keputusan tidak memiliki
kewenangan untuk mengatur lebih-lebih untuk mengikat
warga secara umum."
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirinci bahwa suatu
peraturan kebijaksanaan tidak dapat diuji secara wetmatigheid,
karena memang tidak akan ada dasar peraturan perundang-
undangan untuk keputusan membuat peraturan kebijaksanaan.
Peraturan kebijaksanaan dibuat berdasarkan diskresi dan
ketiadaan wewenang administrasi (negara) membuat peraturan
perundang-undangan. Baik karena secara umum tidak berwenang
maupun untuk obyek bersangkutan tidak berwenang mengatur.
Pengujian terhadap peraturan kebijaksanaan lebih diarahkan pada
doelmategheid sehingga batu ujinya adalah asas-asas umum
pemerintahan yang baik (AUPB). Jika terjadi sengketa atas dasar
peraturan kebijaksanaan, dan hakim peradilan tata usaha negara
menganggap telah terjadi pelanggaran oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota misalnya, sehingga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, batu ujinya adalah pelanggaran atas asas
kepercayaan (het vertrouwens beginsel), asas kejujuran atau
asas permainan yang layak (fair play) dari AUPB. Dasar pengujian
(toetsings gronden) yang diambil oleh hakim peradilan tata usaha
negara adalah ada tidaknya pelanggaran atas asas kepercayaan
(het vertrouwensbeginsel), asas kejujuran atau asas permainan
yang layak (fair play) dari AUPB tersebut, dalam pertimbangan
putusan harus disebutkan asas mana yang dilanggar.
Penjelasan di atas sesuai dengan JUKLAK Mahkamah
Agung Nomor 052/Td. TUN/III/1992, tanggal 24 Maret 1992.
JUKLAK tersebut berisi tentang:
74
Philipus M. Hadjon, h.152, (II)
115
I. tentang para pihak;
II. tentang obyek posita dan petitum gugatan;
III. tentang pemeriksaan persiapan;
IV. tentang pemeriksaan persiapan;
V. tentang diktum putusan;
VI. tentang lain-lain hal.
Dalam diktum putusan angka 1 tertulis:
Di dalam hal hakim mempertimbangkan adanya asas-asas
umum pemerintah yang baik sebagai alasan pembatalan
penetapan, maka hal tersebut tidak perlu dimasukan dalam
diktum putusannya, melainkan cukup dalam pertimbangan
putusan dengan menyebutkan asas mana dari asas-asas
umum pemerintahan yang baik yang dilanggar dan akhirnya
harus mengacu pada Pasal 53 ayat (2).
Sehingga dinyatakan keputusan tata usaha negara yang
digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
sebagaimana ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf a Undang-
Undang tahun 1986. Dalam hal ini ketentuan Pasal 53 ayat (2)
huruf a dapat digunakan secara terbatas, yaitu dalam hal terdapat
rumusan undang-undang tersamar (norma tersamar). Terhadap
rumusan undang-undang tersamar ”kewenangan bebas”
pemerintahan berupa kewenangan interpretasi. Terhadap
interpretasi itulah dapat diterapkan AUPB. Dengan demikian
dalam pertimbangan AUPB diterapkan melalui interpretasi
terhadap peraturan perundang-undangan namun dalam putusan
dinyatakan bahwa keputusan tata usaha negara yang digugat
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf b dan c yaitu adanya
unsur ”penyalahgunaan wewenang” dan ”tindakan sewenang-
wenang” hanya dapat diukur dari asas kepercayaan (het
vertrouwensbeginsel), asas kejujuran atau asas permainan yang
layak (fair play). Sehingga ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf c
terbuka kemungkinan untuk menampung AUPB. Dalam
pertimbangan, asas-asas itu digunakan untuk menilai namun
dalam diktum putusan bahwa keputusan tata usaha negara
yang digugat dinyatakan batal karena mengandung unsur
tindakan sewenang-wenang. Pengujian keputusan tata usaha
negara dalam kaitannya dengan Pasal 53 ayat (2) Undang-
116
Undang Nomor 5 Tahun 1986, dilakukan pengujian secara materiil
tidak hanya terbatas karena bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan sebagai hukum tertulis, tetapi juga karena
bertentangan dengan hukum tidak tertulis yaitu AUPB. 75 Ini berarti
pengujian keputusan yang merupakan peraturan kebijaksanaan
dapat dilakukan pengujian secara tidak langsung oleh hakim
peradilan tata usaha negara sebagai dasar penilaian
(toetsingsgronden). Dari uraian di atas diketahui bahwa pengujian
secara materiil peraturan kebijaksanaan oleh hakim peradilan tata
usaha negara menurut ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf b dan c
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Pasal 14 dan Pasal 27
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo Undang-Undang
Nomor 35 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman dilakukan dengan menerapkan
AUPB dengan mengacu kepada peraturan perundang-undangan.

75
Dasar hukum kewenangan P.TUN menerapkan AUPB adalah:
1.Ketentuan Pasal 14 jo. Pasal 27 UU Nomor 14 tahun 1970 Jo. UU Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
2.Ketentuan Pasal 16 jo Pasal 28 ayat (1): Pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadili suatu perkara (sengketa) yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa
dan mengadilinya” (asas: ius curia novit=pengadilan tahu hukum).
3.Ketentuan Pasal 28 ayat (1): “hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib
mengadili, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat.
4.Ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf b dan c Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 jo UU Nomor 51 tahun 2009 (sebagai norma pemerintah).
117
BAB VI
TINDAKAN PEMERINTAH

Tujuan Instruksional Umum


Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan
memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai tindakan
pemerintah.

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan:
1. Adanya pemahaman mengenai pengertian tindakan
pemerintah.
2. Mengetahui macam-macam tindakan pemerintah.
3. Mengetahui syarat keabsahan tindakan pemerintah
4. Mengetahui perbuatan melanggar hukum oleh
pemerintah

118
6.1. Pengertian Tindakan Pemerintah
Di dalam perbuatan pemerintah, ada dua hal yang perlu
dipahami yaitu: apa yang dimaksud dengan pemerintah dan apa
yang dimaksud dengan perbuatan pemerintah. Menurut Wirjono
Prodjodikoro, pemerintah dapat dibagi dalam arti luas dan dalam
arti sempit. Pemerintah dalam arti luas meliputi seluruh fungsi
kegiatan kenegaraan yaitu lembaga-lembaga kenegaraan yang
diatur oleh UUD 1945 maupun lembaga-lembaga yang diatur oleh
Undang-Undang. Pemerintah dalam arti sempit adalah Presiden/
eksekutif. Pemerintah dalam arti luas meliputi segala urusan yang
dilakukan negara dalam rangka penyelenggaraan kesejahteraan
rakyat dan kepentingan negara; sedangkan arti sempit adalah
menjalankan tugas eksekutif saja. Menurut Romijn, perbuatan
pemerintah yang merupakan ”bestuur handeling“ yaitu tiap-tiap
dari alat perlengkapan pemerintah. Menurut van Vallenhoven,
perbuatan pemerintah merupakan tindakan secara spontan atas
inisiatif sendiri dalam menghadapi keadaan dan keperluan yang
timbul tanpa menunggu perintah atasan, dan atas tanggung jawab
sendiri demi kepentingan umum.
Berdasarkan uraian para ahli di atas, dapat disimpulkan
bahwa perbuatan pemerintah merupakan tindakan hukum yang
dilakukan penguasa dalam menjalankan fungsi pemerintahan.
6.2. Macam-Macam Tindakan Pemerintah
Perbuatan pemerintah dapat digolongkan dalam:
1. Perbuatan pemerintah berdasarkan fakta (fiete logtie
handilugen); yaitu tindakan penguasa yang tidak mempunyai
akibat hukum; misal, Walikota mengundang masyarakat
untuk menghadiri upacara 17 agustus; Presiden menghimbau
masyarakat untuk hidup sederhana dan lain-lain.
2. Perbuatan pemerintah berdasarkan hukum (recht
handilugen); ialah tindakan penguasa yang mempunyai
akibat hukum; yang terdiri dalam dua golongan, yaitu:
a. Perbuatan pemerintah dalam lapangan hukum privat,
dimana penguasa mengadakan hubungan hukum
berdasarkan hukum privat.
Menurut Krobbe Kranenburg, Vegtig, Donner dan
Hassh, pejabat administrasi dalam menjalankan

119
tugasnya dalam hal tertentu dapat menggunakan
hukum privat, umpama perbuatan sewa-menyewa,
jual-beli tanah dan perjanjian-perjanjian lainnya.
b. Perbuatan pemerintah dalam lapangan hukum publik.
Perbuatan hukum dalam lapangan hukum publik
dibagi dua, yaitu:
 perbuatan hukum publik bersegi dua; yaitu adanya
dua kehendak/kemauan yang terikat, misalnya
dalam perjanjian/kontrak kerja.
 perbuatan hukum publik bersegi satu; yaitu
perbuatan yang dilakukan atas kehendak dari satu
pihak yaitu perbuatan dari pemerintah sendiri.
6.3. Syarat Keabsahan Tindakan Pemerintah
Pembuatan instrumen yuridis oleh pemerintah harus
didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku atau didasarkan
pada kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-
undangan. Hukum administrasi memberikan beberapa ketentuan
tentang pembuatan instrumen yuridis; Di dalam setiap pembuatan
keputusan, ditentukan syarat syarat sebagai berikut:
a. Syarat-syarat materiil:
 alat pemerintahan yang membuat keputusan harus
berwenang;
 keputusan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan
yuridis seperti penipuan, paksaan, sogokan, kesesatan, dan
kekeliruan;
 keputusan harus diberi bentuk sesuai dengan peraturan
dasarnya dan pembuatnya juga harus memperhatikan
prosedur membuat keputusan;
 isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan
tujuan peraturan dasarnya.
b. Syarat-syarat formil:
 syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan
dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara
dibuatnya keputusan harus dipenuhi;
 harus diberi dibentuk yang telah ditentukan;
 syarat-syarat berhubung dengan pelaksanaan keputusan
dipenuhi;
120
 jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal
yang menyebabkan dibuat dan diumumkannya keputusan
itu dan tidak boleh dilupakan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
penyelenggaraan pemerintahan akan berjalan sesuai dengan
aturan dan tuntutan hukum121untuk memberikan perlindungan
bagi warga masyarakat apabila persyaratan materiel maupun
formil dipenuhi dalam tindak pemerintahan.
6.4. Perbuatan Melanggar Hukum oleh Pemerintah
Menelaah putusan-putusan Mahkamah Agung yang
menyangkut kriteria perbuatan melanggar hukum oleh Pemerintah,
ditemukan dua putusan; yang pertama putusan Mahkamah Agung
dalam perkara Kasum dan yang kedua dalam perkara
Josopandojo. Di samping itu terdapat langkah Mahkamah Agung
untuk menegaskan rumusan kriteria perbuatan melanggar hukum
oleh penguasa; melalui Surat Edaran Mahkamah Agung dan
melalui kegiatan lokakarya tentang pembangunan hukum melalui
peradilan dengan hasil sebagai berikut:
a. Undang-Undang dan peraturan formal yang berlaku;
kriteria pertama; “rechtmatigheid” tindakan penguasa menurut
Mahkamah Agung adalah undang-undang dan peraturan-
peraturan formal yang berlaku.
b. Kepatutan yang harus diperhatikan oleh penguasa;
kriteria kedua; adalah kepatutan yang harus diperhatikan
oleh penguasa;
c. perbuatan kebijaksanaan penguasa;
kriteria ketiga; Mahkamah Agung menegaskan bahwa
perbuatan kebijaksanaan penguasa tidak termasuk
kompetensi pengadilan untuk menilainya.

121
BAB VII
INSTRUMEN
PEMERINTAH

Tujuan Instruksional Umum


Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan
memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai instrumen
pemerintah.

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan:
1. Adanya pemahaman mengenai pengertian instrumen
pemerintah.
2. Mengetahui macam-macam instrumen pemerintah.
3. Mengetahui kegunaan/fungsi instrumen pemerintah.

122
7.1. Pengertian Instrumen Pemerintah
Instrumen pemerintah adalah alat atau sarana yang
digunakan oleh pemerintah atau administrasi negara dalam
melaksanakan tugasnya. Instrumen pemerintahan merupakan
bagian dari instrumen penyelenggaraan negara secara umum
(pemerintahan dalam arti luas). Pada dasarnya, pelaksanaan
tugas penyelenggaraan negara di Indonesia dilakukan oleh 3
(tiga) lembaga (organ), yaitu eksekutif (pemerintah), legislatif, dan
yudisial. Dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan negara,
masing-masing organ negara diberikan wewenang mengeluarkan
“instrumen hukumnya”. Pemerintah sebagai salah satu organ
negara diberikan tugas untuk mengurus berbagai segi kehidupan
masyarakat; untuk itu pemerintah diberikan wewenang untuk
melakukan perbuatan administrasi melalui “instrumen hukum”.
7.2. Macam-Macam Instrumen Pemerintah
Perbuatan administrasi dapat dikelompokkan kedalam 3
(tiga) macam perbuatan yaitu:
 mengeluarkan peraturan perundang-undangan (regeling);
 mengeluarkan keputusan(beschikking);
 melakukan perbuatan Materiel;
Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, istilah keputusan digunakan secara bersamaan untuk
hal yang bersifat pengaturan (regeling) dan hal yang bersifat
penetapan (beschikking). Contoh: dulu ditemukan Keputusan
Presiden yang bersifat pengaturan dan juga ada Keputusan
Presiden yang bersifat penetapan; demikian pula ditingkat menteri
atau pejabat-pejabat lainnya. Diundangkannya Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 telah membedakan secara tegas antara
istilah peraturan dan keputusan. Berdasarkan undang-undang di
atas, peraturan yang bersifat pengaturan sebutannya adalah
peraturan, sedangkan yang bersifat penetapan adalah keputusan;
dengan demikian, yang termasuk dalam pengertian peraturan
perundang-undangan sebutannya adalah peraturan. Sehingga
setiap instansi apabila akan membuat hal yang bersifat mengatur
seharusnya menggunakan istilah peraturan, tidak menggunakan
istilah keputusan. Keputusan hanya digunakan untuk hal yang
123
sifatnya menetapkan saja, misalnya pengangkatan seseorang
dalam jabatan, kenaikan pangkat, penugasan dalam tugas
tertentu, dan sebagainya.
Tiga macam perbuatan di atas masing-masing dapat
dilakukan pengujian atau penilaian apakah perbuatan tersebut
bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan.
Untuk keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata
usaha negara, yang berwenang melakukan pengujian atau
penilaian adalah peradilan tata usaha negara. Untuk peraturan
perundang-undangan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat
tata usaha negara, pengujian atau penilaiannya dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi. Untuk perbuatan materiel, penilaian atau
pengujian perbuatan tersebut bertentangan tidaknya dengan
peraturan perundang-undangan diserahkan kepada peradilan
umum yang didasarkan pada penafsiran dari Pasal 1365 BW.
Lebih lanjut akan diuraikan secara lebih mendalam mengenai
keputusan tata usaha negara dan peraturan perundang-undangan
yang dikeluarkan badan atau pejabat tata usaha negara.
7.2.1. Peraturan Perundang-undangan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan, peraturan
perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh
lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat
secara umum. Berdasarkan pengertian tersebut, peraturan
perundang-undangan yang bersifat umum-abstrak dicirikan unsur-
unsur antara lain:
 Waktu, artinya tidak hanya berlaku pada saat tertentu saja.
 Tempat, artinya tidak hanya berlaku pada tempat tertentu
saja.
 Orang, artinya tidak hanya berlaku pada orang tertentu saja.
 Fakta hukum, artinya tidak hanya ditujukan pada fakta hukum
tertentu saja, tetapi untuk berbagai fakta hukum (perbuatan).
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menentukan
bahwa sumber hukum dari segala sumber hukum negara adalah
Pancasila. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan UUD
124
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus
dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam
peraturan perundang-undangan. UUD ini memuat hukum dasar
negara merupakan sumber hukum bagi pembentukan peraturan
perundang-undangan di bawah UUD; dengan demikian, semua
peraturan perundang-undangan harus bersumber pada UUD 1945
dan tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004,
susunan/hirarkhi perundang-undangan terdiri atas:
a. UUD
b. Undang-Undang/perpu
c. Peraturan pemerintah (PP)
d. Peraturan Presiden (Perpes)
e. Peraturan Daerah (Perda),yang meliputi:
1. Peraturan Daerah (PERDA) provinsi yang dibuat
dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama
dengan gubernur,dan perda kabupaten/kota yang
dibuat DPRDkabupaten/kota bersama bupati/walikota.
2. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat yang dibuat
badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama
dengan kepala desa atau nama lainnya.
Mengingat jenis peraturan perundang-undangan di atas
merupakan hirarkhi, maka kekuatan hukumnya sesuai dengan
hirarkhi. Hirarkhi adalah penjenjangan setiap jenis peraturan
perundang-undangan yang didasarkan pada asas: peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi menjadi dasar
bagi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Apabila
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dapat
dijadikan alasan untuk melakukan pengujian secara materiil
(judicial review).

125
Pertanyaan yang diajukan bagaimana kedudukan hukum
peraturan perundang-undangan lain yang sudah ada sebelum
undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
diundangkan namun tidak termasuk dalam jenis dan hirarkhi
peraturan perundang-undangan tersebut? Pertanyaan ini sering
diajukan karena jenis peraturan perundang-undangan dalam
undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
disebutkan secara limitatif. Jawaban terhadap pertanyaan di atas
jenis peraturan perundang-undangan di luar yang disebutkan
dalam undang-undang ini tetap diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dalam praktik, jenis peraturan perundang-undangan di luar
yang disebutkan dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh
MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
Badan Pemeeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala
badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh
Undang-Undang atau pemerintah atas perintah Undang-Undang,
DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/
Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Konsekuensi diundangkannya Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 adalah tidak lagi dikenal peraturan perundang-
undangan dengan sebutan keputusan; misalnya keputusan
presiden yang bersifat mengatur dan keputusan menteri yang
bersifat mengatur, karena semua yang sifatnya mengatur
(regeling) sebutannya adalah peraturan, sedangkan yang sifatnya
penetapan (beschikking) sebutannya adalah keputusan. Semua
keputusan yang sifatnya mengatur yang sudah ada sebelum
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, seperti: Keputusan
Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan
Bupati/Walikota atau keputusan pejabat lainnya, harus dibaca
peraturan sepanjang tidak bertentangan dengan pembentukan
peraturan perundang-undangan.

126
7.2.2. Keputusan Tata Usaha Negara
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, unsur utama dari keputusan tata usaha
negara adalah:
1. merupakan penetapan tertulis;
2. dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara;
3. merupakan tindakan hukum tata usaha negara yang
berdasarkan pada peraturan perundang-undangan;
4. bersifat konkret, individual, dan final;
5. menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata.
Secara teori, hubungan hukum publik senantiasa bersifat
sepihak atau bersegi satu; oleh karena itu hubungan hukum publik
berbeda dengan hubungan hukum keperdataan yang selalu
bersifat 2 (dua) pihak atau lebih, karena dalam hukum
keperdataan di samping ada kesamaan kedudukan, juga ada asas
otonomi yang berupa kebebasan pihak yang bersangkutan untuk
mengadakan hubungan hukum atau tidak dan kebebasan untuk
menentukan isi hubungan. Wujud dari pernyataan kehendak
sepihak, pembuatan dan penerbitan keputusan hanya berasal dari
pihak pemerintah, tidak tergantung pada pihak lain.
Penetapan tertulis maksudnya cukup ada hitam di atas
putih, bentuk tidak penting. Dalam praktik, keputusan tata usaha
negara ada juga yang tidak tertulis; konsekuensinya berdasarkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 keputusan yang tidak
tertulis tidak menjadi obyek sengketa tata usaha negara. Hal ini
disebabkan keputusan tidak tertulis sukar dijadikan pegangan,
sukar dibuktikan, dan mudah disangkal oleh salah satu pihak jika
timbul sengketa. Persyaratan tertulis terutama menunjuk pada isi,
bukan pada bentuk. Persyaratan tertulis diharuskan untuk
memudahkan segi pembuktian.
Badan atau pejabat tata usaha negara adalah badan atau
pejabat, baik di pusat maupun di daerah yang melakukan kegiatan
yang bersifat eksekutif. Dalam hal ini tidak dilihat siapa yang
melakukan kegiatan, tetapi sifat kegiatan tersebut. Merujuk
pengertian di atas, badan atau pejabat tata usaha negara sangat
127
beragam. Beragamnya badan atau pejabat tata usaha negara
menunjukkan bahwa pengertian badan atau pejabat tata usaha
negara memiliki cakupan yang sangat luas, yang berarti luas pula
pihak yang dapat diberikan wewenang pemerintahan untuk
membuat dan mengeluarkan keputusan.
Tindakan hukum tata usaha negara adalah tindakan dari
badan atau pejabat tata usaha negara yang bersumber pada
ketentuan hukum tata usaha negara yang dapat menimbulkan hak
dan kewajiban. Pembuatan dan penerbitan keputusan harus
didasarkan peraturan perundang-undangan atau harus didasarkan
pada wewenang pemerintahan yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan. Tanpa dasar wewenang, badan atau
pejabat tata usaha negara tidak dapat membuat dan menerbitkan
keputusan atau keputusan tersebut menjadi tidak sah.
Keputusan memiliki sifat norma hukum yang individual-
konkret dari norma hukum yang bersifat umum-abstrak. Untuk
menuangkan hal-hal yang bersifat umum dan abstrak ke dalam
peristiwa konkret, maka dikeluarkanlah keputusan yang akan
membawa peristiwa umum dapat dilaksanakan. Konkret berarti
obyek yang diputuskan dalam keputusan tersebut tidak abstrak,
tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. Individual artinya
keputusan tersebut tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu
baik alamat maupun hal yang dituju. Apabila yang dituju itu lebih
dari seorang, maka tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan
tersebut harus disebutkan satu per satu. Final artinya sudah
definitif dan oleh karena itu dapat menimbulkan akibat hukum.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
keputusan merupakan wujud konkret dari tindakan hukum tata
usaha negara. Tindakan hukum berarti tindakan yang
berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum tertentu.
Tindakan hukum adalah tindakan yang dimaksudkan untuk
menciptakan hak dan kewajiban; dengan demikian, tindakan
hukum tata usaha negara merupakan tindakan hukum yang
dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha negara untuk
menimbulkan akibat hukum tertentu, di bidang pemerintahan.

128
7.2.3. Peraturan Kebijaksanaan
Keberadaan peraturan kebijaksanaan tidak terlepas dari
kewenangan bebas dari pemerintah yang dikenal dengan freies
ermessen. Freies ermessen merupakan salah satu sarana yang
memberikan ruang gerak bagi pejabat atau badan administrasi
negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya
pada undang-undang. Freies ermessen diberikan kepada
pemerintah karena fungsi administrasi adalah menyelenggarakan
kesejahteraan umum, berbeda dengan fungsi yudisial yang
berfungsi menyelesaikan sengketa. Keputusan yang diambil
pemerintah lebih mengutamakan tujuan (doelmatigheid) dari pada
sesuai dengan hukum (rechmatigheid). Meskipun kepada
pemerintah diberikan ruang gerak kebebasan, namun dalam
kerangka negara hukum kebebasan tersebut tidak digunakan
tanpa batas. Batas-batas yang harus dipertimbangkan dalam
melakukan tindakan bebas tersebut antara lain: a) ditujukan untuk
melaksanakan tugas pelayanan publik; b) merupakan tindakan
yang aktif dari administrasi; c) tindakan tersebut dimungkinkan
oleh hukum; d) tindakan tersebut diambil atas inisiatif sendiri; e)
tindakan tersebut dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan
penting yang secara tiba-tiba; f) dapat dipertanggungjawabkan.
Freies ermessen muncul sebagai alternatif untuk mengisi
kekurangan dan kelemahan dalam penerapan asas legalitas. Bagi
negara welfare state, asas legalitas saja tidak cukup untuk dapat
berperan maksimal dalam melayani kepentingan masyarakat,
yang berkembang pesat sejalan dengan perkembangan ilmu dan
teknologi. Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan, freies
ermessen dilakukan administrasi dalam hal-hal sebagai berikut:
 Belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur
penyelesaian secara konkret atas suatu masalah, padahal
masalah tersebut menuntut penyelesaian yang segera;
 Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar berbuat
aparat pemerintah memberikan kebebasan sepenuhnya;
 Aparat pemerintah diberi kewenangan untuk mengatur
sendiri, yang sebenarnya merupakan kewenangan aparat
yang lebih tinggi tingkatannya.

129
Dalam praktik, peraturan kebijaksanaan diberi format dalam
berbagai bentuk dan jenis aturan, misalnya peraturan, keputusan,
instruksi, surat edaran, pedoman, petunjuk, pengumuman.
Mengenai kekuatan mengikat peraturan kebijaksanaan,
masyarakat yang terkena peraturan kebijaksanaan tersebut
secara tidak langsung terikat, karena tidak bisa berbuat lain
kecuali mengikutinya.
7.2.4. Instrumen Hukum Perdata
Pemerintah dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari
tampil dengan 2 (dua) kedudukan, yaitu sebagai wakil dari badan
hukum dan wakil dari jabatan pemerintahan. Sebagai wakil dari
badan hukum, kedudukan hukum pemerintah berbeda dengan
orang perseorangan atau badan hukum perdata pada umumnya,
yaitu diatur dan tunduk pada ketentuan hukum perdata dan dapat
melakukan tindakan hukum perdata. Penggunaan instrumen
hukum publik merupakan fungsi dasar dari organ pemerintahan
dalam menjalankan tugas pemerintahan; sedangkan penggunaan
instrumen hukum perdata merupakan konsekuensi dari paham
negara kesejahteraan yang menuntut pemerintah mengupayakan
kesejahteraan masyarakat. Dalam memenuhi tuntutan tersebut,
organ pemerintah tidak cukup jika hanya menggunakan instrumen
hukum publik, tetapi juga menggunakan instrumen hukum perdata
guna mencapai efektivitas dan efisiensi pelayanan terhadap
masyarakat. Meskipun pemerintah selaku wakil dari badan hukum
dapat melakukan tindakan hukum perdata, namun tidak seluruh
tindakan hukum perdata yang dapat dilakukan oleh manusia dapat
pula dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah, begitu juga badan
hukum pada umumnya tidak dapat melakukan hubungan perdata
yang berhubungan dengan hukum kekeluargaan seperti
perkawinan, perwalian, dan kewarisan.
Ada 2 (dua) kemungkinan kedudukan pemerintah dalam
menggunakan instrumen hukum perdata, yaitu:
1. Pemerintah dalam menggunakan instrumen hukum perdata
sekaligus melibatkan diri dalam hubungan hukum perdata
dengan kedudukan tidak berbeda dengan orang
perseorangan atau badan hukum perdata

130
2. Pemerintah dalam menggunakan Instrumen hukum perdata
tanpa menempatkan diri dalam kedudukan sejajar dengan
orang perseorangan atau badan hukum.
Bentuk instrumen hukum perdata yang lazim dipergunakan
pemerintah adalah perjanjian, antara lain dapat berbentuk:
1. perjanjian perdata biasa;
2. perjanjian perdata dengan syarat-syarat standar;
3. perjanjian mengenai pelaksanaan kewenangan publik;
4. Perjanjian mengenai kebijakan pemerintah.

131
BAB VIII
BENDA MILIK PUBLIK

Tujuan Instruksional Umum


Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan
memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai benda milik
publik.

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan:
1. Adanya pemahaman mengenai pengertian benda milik
publik.
2. Mengetahui macam-macam benda milik publik.
3. Mengetahui penggunaan dan pertanggungjawaban
benda milik publik.

132
8.1. Pengertian Benda Milik Publik
Di dalam ilmu hukum, subyek hukum terdiri atas:
a. Manusia
b. Badan Hukum
Subyek hukum badan hukum terdiri atas :
 Badan Hukum Publik
 Badan Hukum Privat
Badan hukum publik seperti negara, provinsi, kabupaten/
kota dan badan hukum publik lainnya dapat bertindak dalam
bidang hukum privat atau perdata dan mempunyai kekayaan
berupa benda-benda yang disebut benda publik. Negara sebagai
subyek hukum perdata dapat melakukan perbuatan hukum
perdata seperti menjual, menyewakan, mengurus dan
memanfaatkan benda-benda tersebut. Benda-benda publik
dibedakan dalam:
a. Benda-benda yang diperuntukan untuk umum atau publik
domein, yang termasuk benda tersebut adalah, jalan-jalan
umum, lapangan-lapangan terbuka, gedung-gedung umum,
dimana masyarakat umum secara bebas menikmatinya.
b. Benda-benda milik pemerintah sendiri yaitu benda yang
peruntukannya tidak untuk umum, misalnya rumah dinas,
gedung-gedung perkantoran, mobil-mobil Dinas, peralatan
kantor dan sebagainya.
8.2. Macam-Macam Benda Milik Publik
Di Belanda, pembuat undang-undang telah meletakkan
kejelasan bagi sekelompok barang-barang umum, yakni jalan-
jalan untuk selanjutnya kejelasan hanya terdapat pada patokan
putusan hoge raad selaku hakim perdata.Di Indonesia, wewenang
yang bersumber pada hak menguasai dari negara digunakan
untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti
kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat
dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan
makmur. Hak menguasai negara, dalam pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah swatantra dan masyarakat hukum
adat sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional menurut ketentuan-ketentuan peraturan
pemerintah (Pasal 2 ayat 4). Surat Keputusan Menteri Keuangan,
133
Nomor: kep-225/MK/V/4/1971 tanggal 13 april 1971 dimaksudkan
menetapkan penggolongan barang-barang milik negara/ kekayaan
negara, sebagai berikut:
a. Barang-barang tidak bergerak, antara lain:
 Tanah-tanah kehutanan, pertanian, perkebunan, lapangan
olah raga dan tanah-tanah yang belum dipergunakan,
jalan-jalan (tidak termasuk jalan daerah), jalan kereta api,
jembatan, terowongan, waduk, lapangan terbang, bangunan
irigasi, tanah pelabuhan, dan lain-lain tanah seperti itu.
 Gedung-gedung yang dipergunakan untuk kantor, pabrik-
pabrik, bengkel, sekolah, rumah sakit, studio, laboratorium,
dan lain-lain gedung seperti itu.
 Gedung-gedung tempat tinggal tetap atau sementara
seperti: rumah-rumah tempat tinggal, tempat istirahat,
asrama, pesanggarahan, bungalow, dan lain-lain gedung
seperti itu.
 Monumen-monumen seperti: monumen purbakala (candi-
candi), monumen alam, monumen peringatan sejarah, dan
monumen purbakala lainnya.
b. Barang-barang bergerak, antara lain:
 Alat-alat besar seperti: bulldozer, traktor, mesin pengebor
tanah, dan lain-lain alat besar seperti itu.
 Peralatan-peralatan yang berada dalam pabrik, bengkel,
studio, laboratorium, stasiun pembangkit tenaga listrik,
mesin-mesin, dinamo, generator, mikroskop, pemancar
radio, alat-alat pemotretan, alat-alat proyeksi, dan lain-lain.
 Peralatan kantor, seperti: mesin tik, mesin stensil, mesin
pembukuan, komputer, mesin jumlah, brankas, radio, jam,
kipas angin, almari, meja, kursi, dan lain-lain; sedangkan
inventaris kantor yang tidak seberapa harganya seperti
keranjang sampah tidak dimasukkan.
 Semua inventaris perpustakaan dan lain-lain inventaris
barang-barang bercorak kebudayaan.
 Alat-alat pengangkutan seperti: kapal terbang, kapal laut,
bus, truk, mobil, sepeda motor, scooter, sepeda, dan lain-lain.
 Inventaris perlengkapan rumah sakit, sanatorium, asrama,
rumah yatim, dan atau piatu.
134
c. Hewan-hewan, jenis hewan seperti sapi, kerbau, kuda, babi,
anjing, dan lain-lain.
d. Barang-barang persediaan, yakni barang-barang yang
disimpan dalam gudang veem atau di tempat penyimpanan
lainnya.
Surat Keputusan Menteri keuangan Nomor: Kep-225/MK/V/
4/1971 dimaksudkan melengkapi pelbagai lampiran yang memuat
petunjuk-petunjuk pengisian daftar inventaris barang. Seperti
halnya pemerintah pusat, pemerintah daerah juga memiliki barang
dan kekayaan. Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam instruksi presiden, nomor 3 tahun 1971. Pasal 63
ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan Daerah, memuat pengaturan dan penanganan
terhadap barang milik daerah yang digunakan untuk memenuhi
dan melayani kepentingan umum.
8.3. Penggunaan dan Pertanggungjawaban Benda Milik Publik
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961
tentang pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang
ada di atasnya, maka yang dapat mencabut hak-hak atas tanah
dan benda-benda yang ada di atasnya hanya Presidan RI, Pasal 1
menentukan:
”Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa
dan negara serta kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama dari dari rakyat, demikian pula
kepentingan pembangunan maka presiden dalam keadaan
yang memaksa setelah mendegar menteri agraria, menteri
kehakiman,dan menteri yang bersangkutan dapat mencabut
hak-hak atas dan benda-benda yang ada di atasnya.”
Di dalam keadaan sangat mendesak yang memerlukan
penguasaan tanah dan atau benda-benda yang bersangkutan
dengan segera, atas permintaan yang berkepentingan; Kepala
Inspeksi Agraria menyampaikan permintaan untuk melakukan
pencabutan hak kepada Menteri Agraria, 76 tanpa disertai taksiran
ganti rugi dari panitia penaksir dan jika perlu juga dengan tidak
76
Kepala Inspeksi Agraria saat ini bernama Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional; Menteri Agraria saat ini bernama Kepala Badan Pertanahan
Nasional.
135
menunggu diterimanya pertimbangan Kepala Daerah (Pasal 6
ayat 1). Pada bagian penjelasan umum Undang-Undang Nomor
20 tahun 1961 dikemukakan contoh-contoh yang dimaksudkan
dari keadaan yang sangat mendesak yakni terjadi wabah atau
bencana alam yang memerlukan penampungan para korbannya
dengan segera.

136
BAB IX
KEPUTUSAN TATA USAHA
NEGARA

Tujuan Instruksional Umum


Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan
memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai keputusan
tata usaha negara.

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan:
1. Adanya pemahaman mengenai pengertian keputusan
tata usaha negara.
2. Mengetahui syarat sahnya keputusan tata usaha negara.
3. Mengetahui macam-macam keputusan tata usaha
negara.
4. Memahami kekuatan hukum keputusan tata usaha
negara.
5. Memahami pencabutan keputusan tata usaha negara.

9.1. Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara


137
Di dalam bab sebelumnya telah disinggung tentang
keputusan tata usaha negara, namun dalam bab ini akan diulas
secara lebih mendalam. Keputusan tata usaha negara adalah
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan/pejabat tata
usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
bersifat konkrit, individual, final, yang menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hukum perdata (Pasal 1 angka 3
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor
51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Unsur-unsur keputusan tata usaha negara adalah:
a. Penetapan Tertulis
Penjelasan pasal tersebut istilah "penetapan tertulis"
menunjuk kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh
badan/pejabat tata usaha negara. Keputusan memang
diharuskan tertulis, namun diisyaratkan tertulis bukanlah
bentuk formatnya seperti surat keputusan pengangkatan
dan sebagainya. Persyaratan tertulis ini diharuskan untuk
kemudahan segi pembuktian; oleh karena itu memo atau
nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan
merupakan keputusan badan/pejabat tata usaha negara
apabila sudah jelas–jelas:
 badan/pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan;
 maksud dan mengenai hal apa isi tulisan;
 kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang
ditetapkan di dalamnya.
b. Dikeluarkan oleh badan/pejabat tata usaha negara.
Badan/pejabat tata usaha negara adalah badan/pejabat
dipusat dan di daerah yang melakukan kegiatan yang
bersifat eksekutif
c. Berisi tindakan hukum tata usaha negara berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Tindakan hukum tata usaha negara adalah perbuatan
hukum badan/pejabat tata usaha negara yang bersumber
pada suatu ketentuan hukum tata usaha negara yang dapat
menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain.
Peraturan perundang-undangan adalah semua peraturan
138
yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan
badan perwakilan rakyat bersama pemerintah baik di
tingkat pusat maupun ditingkat daerah, yang juga bersifat
mengikat secara umum.
d. Bersifat konkrit, individual dan final
Bersifat konkrit artinya, obyek yang diputuskan dalam
keputusan tata usaha negara tidak abstrak, tetapi berwujud,
tertentu atau dapat ditentukan; umpamanya keputusan
mengenai si A, izin usaha bagi si B, pemberhentian si A
sebagai pegawai. Bersifat individual artinya keputusan tata
usaha negara tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu
baik alamat maupun hal yang ditujukan. Kalau yang dituju
itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena
keputusan dicantumkan/dilampirkan. Umpamanya keputusan
tentang pembuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran
yang menyebutkan nama-nama orang yang terkena
keputusan tersebut. Bersifat final artinya sudah definitif dan
karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Keputusan
yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau
instansi lain belum bersifat final dan karenanya belum dapat
menimbulkan akibat hukum sehingga belum dapat
menimbulkan hak atau kewajiban pada pihak yang
bersangkutan. Umpamanya keputusan pengangkatan
seorang pegawai negeri memerlukan persetujuan dari
Badan Administrasi Kepegawaian Negara.
e. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata.
Menimbulkan akibat hukum artinya perbuatan hukum dalam
pembuatan keputusan tata usaha negara oleh badan/
pejabat tata usaha negara itu dapat menimbulkan hak atau
kewajiban pada seseorang atau badan hukum perdata.
Untuk memperjelas pengertian keputusan tata usaha
negara (beschikking, ketetapan atau decision) dapat dilihat
kedudukan keputusan tata usaha negara menurut ajaran
stufenbau des rechts dari Hans Kelsen, sistem hukum merupakan
suatu proses yang terus menerus. Dimulai dari yang abstrak
menjadi yang positif dan selanjutnya sampai menjadi nyata
(konkret); mulai dari proses relatif (relativerings process), ke
139
proses positif (positivering process) selanjutnya ke proses nyata
(concretering proces). Menurut Hans Kelsen semua norma hukum
itu merupakan suatu kesatuan dengan unsur piramida. Menurut
teori ini, dasar (legalitas) dari suatu norma ada pada norma yang
lebih tinggi tingkatannya. Dalam hal ini yang paling tinggi adalah
ursprungsnorm atau grundnorm; dari ursprungsnorm atau
grundnorm yang sifatnya masih relatif atau abstrak dijabarkan
kedalam norma positif (generallenorm); dari generallenorm
diindividualisasikan menjadi norma yang nyata (konkret) atau
concretenorm.77
Skema Teori Hans Kelsen
1

2 Keterangan Skema:
1. Ursprungnonn. atau Grundnorm.
3 2. Generallenorm
3. Concretenorm

Bachsan Mustafa78 membuat skema hirarkhi perundang-


undangan dengan mempola teori Hans Kelsen yang menunjukkan
kedudukan ketetapan atau KTUN (beschikking) sebagai berikut:

GN

GENERAL
TATA HUKUM UUD NORM
Undang- (mengikat umum)
Undang
Peraturan-

Peraturan INDIVIDUAL NORM


Ketetapan- (mengikat orang
Ketetapan mempunyal
Ketetapanfungsi untuk melaksanakan suatu
tertentu)
peraturan kedalam suatu hal yang nyata (konkret) tertentu. Kelsen

77

78

140
rnenyebut ketetapan itu sebagai individual norm. Norma yang
berlaku terhadap subyek hukum tertentu atau dengan perkataan
lain suatu norma yang mengikat subyek hukum tertentu. Pasal 1
angka 3 dan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, menginterpretasikan konsep Hans Kelsen
bahwa obyek sengketa tata usaha negara adalah keputusan tata
usaha negara yang memiliki kriteria (untuk dapat diuji melalui
peradilan tata usaha negara):
1. Secara substansi: merupakan penetapan tertulis yang
harus jelas;
 badan/pejabat tata usaha negara mana yang
mengeluarkannya;
 maksud serta mengenai hal apa isi penetapan tertulis itu:
 kepada siapa penetapan tertulis itu ditujukan dan apa
yang ditetapkan di dalamnya.
Persyaratan tertulis diajukan untuk kemudahan segi
pembuktian (mengenai bentuk/form keputusan tata usaha
negara tidak merupakan hal yang penting sejauh telah
mengandung kejelasan mengenai tiga hal di atas).
2. Dari segi pembuatannya; dikeluarkan oleh badan/pejabat
tata usaha negara dalam melaksanakan kegiatan yang
bersifat eksekutif (urusan pemerintahan).
3. Wujud materielnya: berisi tindakan hukum tata usaha
negara yaitu tindakan hukum administrasi yang melaksanakan
fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik
dipusat maupun di daerah.
4. Dari segi sifatnya: konkret, individual dan final.
5. Dari segi akibatnya: menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.
Hubungan antara peraturan dan ketetapan adalah bahwa
peraturan merupakan hukum in abstrakto atau general norm yang
sifatnya mengikat umum atau berlaku umum sedangkan tugasnya
adalah mengatur hal-hal yang umum atau hal-hal yang masih
abstrak. Agar peraturan dapat dilaksanakan haruslah dikeluarkan
ketetapan-ketetapan yang membawa peraturan ini kedalam
peristiwa konkret yang nyata tertentu. Ketetapan ini tugasnya
141
melaksanakan peraturan dalam peristiwa konkret tertentu maka
sifatnya menjadi mengikat subyek hukum tertentu, mengatur hal
konkret tertentu, karena itu ketetapan disebut hukum in concreto
atau individual norm. Untuk menentukan segi pengujian yuridis
terhadap keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan badan/
pejabat tata usaha negara dalam sengketa tata usaha negara
harus dilihat pula peraturan perundang-undangan yang mendasari
dikeluarkannya keputusan tata usaha negara. Misalnya, mengenai
penggunaan upaya administratif (Pasal 48 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, ditentukan untuk melihat
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar dikeluarkannya keputusan tata usaha negara yang
bersangkutan apakah terhadap keputusan tata usaha negara
tersebut terbuka atau tidak terbuka kemungkinan untuk ditempuh
suatu upaya administratif (penjelasan Pasal 48 ayat 1). Pasal 48
ayat 2 menentukan: pengadilan baru berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 jika seluruh upaya
administratif telah digunakan. Apabila seluruh prosedur dan
kesempatan seperti pada penjelasan ayat 1 telah ditempuh dan
pihak yang bersangkutan masih tetap belum merasa puas,
persoalannya dapat digugat dan diajukan ke pengadilan
(penjelasan Pasal 48 ayat 2). Konsideran yuridis setiap keputusan
(beschikking) menunjukkan peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar dikeluarkannya keputusan (beschikking). Untuk
menentukan pengujian yuridis terhadap keputusan (beschikking)
harus diperhatikan konsideran yuridis KTUN yang menjadi obyek
sengketa.

Kerangka Keputusan (beschikking)

142
SURAT KEPUTUSAN

Nama Jabatan (Misalnya : WALIKOTA ….)


Tentang
………………..

Menimbang : a. bahwa………………
b. bahwa……………… Konsiderans faktual

Mengingat : a. …………….........…
b. ………………........ Konsiderans yuridis

MEMUTUSKAN
Berisi: tindakan hukum tata usaha negara
Sifat : konkret, individual dan final

Menetapkan:
Pertama: ………......./…….. menimbulkan akibat hukum
Kedua : …………............. bagi yang dikenai keputusan
tata usaha negara (beschiking)

Ditetapkan di ……

TTD.

Nama Pejabat
(pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan)

143
Keputusan tata usaha negara sebagai tindakan pemerintah
yang dikeluarkan badan/pejabat tata usaha negara dalam skema
Philippus M. Hadjon79 sebagai berikut:

TINDAKAN PEMERINTAHAN (bestuurhandeling)

Tindakan materiel Tindakan hukum


(feitelijke handeling) (rechtsshandeling)

Tindakan hukum Tindakan hukum


privat publik

Berbagai pihak Sepihak

umum individual

abstrak konkret

Dari skema di atas, pengertian tindakan hukum tata usaha


negara termasuk dalam kelompok tindakan hukum publik yang
sifatnya sepihak dan diarahkan kepada sasaran individual. Kontrol
yudisial terhadap tindakan hukum tata usaha negara dengan
dilakukan pengujian (toetsing) terhadap keputusan tata usaha
negara (Pasal 1 angka 3, Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 49) oleh
peradilan tata usaha negara yang memiliki karakteristik sebagai
suatu external control, bersifat represif dan pada dasarnya hanya
menilai segi legalitas tindakan pemerintah dalam bidang hukum
publik seperti tampak pada skema di atas.
Disamping pengertian keputusan tata usaha negara
menurut Pasal 1 angka 3 dengan perkecualian tersebut dalam
Pasal 3. Di dalam praktik pemerintahan di Indonesia, sebuah
keputusan tata usaha negara lazimnya terdiri atas rangkaian
79

144
keputusan tata usaha negara, baik berupa rekomendasi maupun
surat pengantar atau surat pertimbangan. Apakah surat pengantar
dan lain-lain itu merupakan keputusan tata usaha negara harus
dipertimbangkan pada syarat final yaitu apakah sudah
menimbulkan akibat hukum. Tolok ukurnya adalah: apakah sudah
menimbulkan akibat hukum.
Di dalam kaitannya dengan hak gugat (Pasal 53 ayat 1
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor
51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, untuk
dapat dijadikan sebagai obyek sengketa tata usaha negara (yang
kemudian dapat dilakukan penilaian sesuai kompetensi absolut
peradilan administrasi) harus ada hubungan kausal antara
keputusan tata usaha negara dan kerugian/kepentingan lain.

Skema
KTUN Kerugian

sebab akibat

9.2. Syarat Sahnya Keputusan Tata Usaha Negara


van der Pot mengemukakan 4 (empat) syarat yang harus
dipenuhi agar ketetapan berlaku sebagai ketetapan yang sah:
a. Ketetapan harus dibuat oleh alat (organ) yang berkuasa
(bevoegd) membuatnya.
b. Karena ketetapan suatu pernyataan kehendak
(wilsverklaring), maka pembentukan kehendak itu tidak
boleh memuat kekurangan yuridis (geen juridische
gebreken in de wilsvorming)
c. Ketetapan sudah harus diberi bentuk (vorm) yang
ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasamya dan
pembuatnya harus memperhatikan cara (procedure)
membuat ketetapan bilamana cara itu ditetapkan dengan
tegas dalam peraturan dasar tersebut.
d. Isi dan tujuan ketetapan harus sesuai dengan isi dan
tujuan peraturan dasar.

145
Syarat-syarat ketetapan menurut van der Wel adalah:
a. Syarat-syarat materiel:
 Alat hukum yang membuat harus berkuasa.
 Dalam kehendak alat negara yang membuat ketetapan
tidak boleh ada kekurangan.
 Ketetapan harus berdasarkan suatu keadaan tertentu.
 Ketetapan harus dapat dilakukan dan tanpa melanggar
peraturan-peraturan lain, menurut ”isi dan tujuan‘’ sesuai
dengan peraturan lain yang menjadi dasar ketetapan itu.
b. Syarat-syarat formil:
 Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan
persiapan dibuatnya ketetapan dan berhubung dengan
cara dibuatnya ketetapan harus dipenuhi.
 Ketetapan harus diberi bentuk yang ditentukan.
 Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan
dilakukannya ketetapan harus dipenuhi.
 Jangka waktu yang ditentukan: antara timbulnya hal-hal
yang menyebabkan dibuatnya ketetapan dan
diumumkannya ketetapan itu, tidak boleh dilewati.
Menurut Utrecht, kekurangan sebagai akibat tidak
dipenuhinya ketetapan dapat menjadi sebab ketetapan tidak sah
(niet-rechtsgeldig). Akibat hukum dari tidak sahnya ketetapan
(beschikking) menyebabkan:
a. Ketetapan batal karena hukum (nietigheid van rechtswege)
Ini berarti akibat dari suatu perbuatan untuk sebagian atau
seluruhnya bagi hukum dianggap tidak ada (dihapuskan)
tanpa diperlukan suatu keputusan hakim atau keputusan
suatu badan pemerintahan lain yang berkompeten untuk
menyatakan batalnya sebagian atau seluruh akibat itu.
b. Ketetapan batal (nietig/absolut nietig)
Ini berarti bagi hukum perbuatan yang dilakukan tidak ada;
bagi hukum akibat perbuatan itu dianggap tidak pernah ada.
c. Ketetapan dapat dibatalkan (vernietigbaar)
Ini berarti bagi hukum perbuatan yang dilakukan dan
akibatnya dianggap tidak ada sampai waktu pembatalan
oleh hakim atau oleh suatu badan pemerintah lain yang
berkompeten (pembatalan itu diadakan karena perbuatan
tersebut mengandung kekurangan)
146
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor
51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
mengkonstruksikan akibat hukum dari tidak dipenuhinya
keabsahan (legality) terhadap keputusan tata usaha negara
berupa sanksi tidak sahnya keputusan tata usaha negara
(beschikking) dengan kemungkinan disertai sanksi ganti rugi dan/
atau rehabilitasi dengan merujuk Pasal 53 ayat (1), Pasal 120,
dan Pasal 121).
9.3. Macam-Macam Keputusan Tata Usaha Negara
Utrecht membedakan ketetapan (beschikking) atas:
a. Ketetapan positif dan negatif
Ketetapan positif menimbulkan hak/kewajiban bagi yang
dikenai ketetapan. Ketetapan negatif tidak menimbulkan
perubahan dalam kewajiban hukum yang telah ada.
Ketetapan negatif dapat berbentuk: pernyataan tidak
berkuasa (onbevoegd verklaring), pernyataan tidak diterima
(niet outvankelijk verklaring) atau penolakan (of Wijzing)
b. Ketelapan-deklaratur dan konstitutif
Ketetapan deklaratur hanya menyatakan bahwa hukumnya
demikian (rechsvastellende beschikking). Ketetapan
konstitutif adalah membuat hukum (rechtsheppend).
c. Ketetapan kilat dan ketetapan yang tetap (blijvend),
Menurut Prins, ada empat macam;
 Ketetapan kilat: ketetapan yang bermaksud mengubah
redaksi (teks) ketetapan lama;
 suatu ketetapan negatif;
 penarikan atau pembatalan suatu ketetapan;
 suatu pernyataan pelaksanaan (uitvoerbaar verklaring).
d. Dispensasi, izin (verguning), lisensi dan konsesi
 Dispensasi adalah keputusan yang memperkenan kan
dilakukannya suatu perbuatan yang pada umumnya
dilarang oleh para pembuat peraturan
 Izin (verguning) adalah keputusan yang memperke-
nankan dilakukannya perbuatan yang pada prinsipnya
tidak dilarang oleh pembuat peraturan.
147
 Lisensi adalah suatu macam izin yang istimewa yang
memperkenankan dijalankannya suatu perusahaan.
 Konsesi adalah keputusan yang memperkenan kan
dilakukannya perbuatan yang penting bagi umum.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang
menjadi dasar pengujian (toetsing) bagi peradilan tata usaha
negara ialah keputusan tata usaha negara (Pasal 1 angka 3)
ditambah dengan kategori-kategori keputusan tata usaha negara
yang diatur dalam Pasal 3 dan dikurangi Pasal 2 serta limitasi
Pasal 49, dan bila dirumuskan menjadi:

KTUN = (Pasal 1 angka 3 + Pasal 3) - (Pasal 2 + Pasal 49)


Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, menentukan: tidak termasuk dalam pengertian
keputusan tata usaha negara menurut undang-undang ini:
a. Keputusan tata usaha negara yang merupakan perbuatan
hukum perdata. Keputusan tata usaha negara yang
merupakan perbuatan hukum perdata, umpamanya,
keputusan yang menyangkut masalah jual beli yang
dilakukan antara instansi pemerintah dengan perseorangan
yang didasarkan pada ketentuan hukum perdata.
b. Keputusan tata usaha negara yang merupakan
pengaturan yang bersifat umum; yaitu pengaturan yang
memuat norma-norma hukum yang dituangkan dalam
bentuk kekuatan berlaku mengikat sernua orang.
c. Keputusan tata usaha negara yang masih memerlukan
persetujuan; keputusan yang untuk dapat berlaku masih
memerlukan persetujuan instansi lain atau instansi atasan.
Dalam kerangka pengawasan administratif yang bersifat
preventif dan keseragaman kebijaksanaan seringkali
peraturan yang menjadi dasar keputusan menentukan
bahwa sebelum berlakunya keputusan tata usaha negara
diperlukan persetujuan instansi atas lebih dahulu. Ada
kalanya peraturan dasar menentukan bahwa persetujuan
instansi lain diperlukan karena instansi lain tersebut akan
148
terlibat dalam akibat hukum yang akan ditimbulkan oleh
keputusan itu.
d. Keputusantata usaha negara yang dikeluarkan
berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
atau peraturan perundang undangan lain yang bersifat
hukum pidana. Keputusan tata usaha negara berdasarkan
ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
umpamanya dengan suatu tindakan pidana bersyarat yang
mewajibkan memikul biaya perawatan si korban selama
dirawat di rumah sakit; karena kewajiban itu merupakan
syarat yang harus dipenuhi oleh terpidana, jaksa menurut
Pasal 14 huruf d Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
ditunjuk mengawasi dipenuhi atau tidaknya syarat yang
dijatuhkan dalam pidana itu, lalu mengeluarkan perintah
kepada terpidana agar mengirimkan bukti pembayaran
biaya perawatan kepadanya. Keputusan tata usaha negara
berdasarkan ketentuan perundang-undangan lain yang
bersifat hukum pidana adalah seperti misal perintah jaksa
ekonomi untuk melakukan penyitaan barang-barang
terdakwa dalam perkara tindak pidana ekonomi. Penerapan
hukum terhadap ketiga macam keputusan tata usaha
negara hanya dapat dilakukan oleh peradilan umum.
e. Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan atas
dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keputusan yang dimaksud pada huruf e ini, umpamanya:
- Keputusan Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan
sertipikat tanah atas nama seseorang yang didasarkan
atas pertimbangan putusan pengadilan perdata yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, yang menjelaskan
bahwa tanah sengketa merupakan tanah negara dan tidak
berstatus tanah warisan yang diperebutkan para pihak.
- Keputusan serupa angka 1, tetapi didasarkan atas amar
putusan pengadilan perdata yang memperoleh kekuatan
hukum tetap.
- Keputusan pemecatan notaris oleh Menteri setelah
menerima usul Ketua Pengadilan Negeri, Pengadilan

149
Tinggi dan Mahkamah Agung atas dasar kewenangannya
menurut ketentuan Pasal 54 UU Nomor 2 Tahun 1986 jo
Undang-Undang Nomor 8 tahun 2004 tentang Peradilan
Umum.
f. Keputusan tata usaha negara mengenai tata usaha
Tentara Nasional Indonesia .
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum panitia pemilihan,
baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan
umum.
Di dalam klasifikasi keadaan dan persoalan tertentu
pengertian keputusan tata usaha negara (Pasal 1 angka 3)
diperluas pengertiannya oleh Pasal 3. Sehingga, tanpa secara
formal diterbitkan keputusan tata usaha negara menurut keadaan
dan persoalan yang diatur Pasal 3 disamakan dengan keputusan
tata usaha negara. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, menentukan:
a. Apabila badan atau pejabat tata usaha negara tidak-
mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi
kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan
keputusan tata usaha negara.
b. Jika suatu badan atau pejabat tata usaha negara tidak
mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka
waktu telah lewat, maka badan atau pejabat tata usaha
negara dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan
yang dimaksud. Badan atau pejabat tata usaha negara
yang menerima permohonan dianggap telah mengeluarkan
keputusan yang berisi penolakan permohonan tersebut
apabila tenggang waktu yang ditetapkan telah lewat dan
badan atau pejabat tata usaha negara itu bersikap diam,
tidak melayani permohonan yang telah diterimanya.
c. Dalam hal peraturan perundang-undangan bersangkutan
tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam ayat 2 maka setelah lewat jangka waktu empat bulan
sejak diterimanya permohonan, badan atau pejabat tata
usaha negara yang bersangkutan dianggap telah
mengeluarkan keputusan penolakan.
150
Berdasarkan alasan keadaan tertentu dalam Pasal 49
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor
51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
memberikan limitasi terhadap pengertian keputusan tata usaha
negara (Pasal 1 angka 3 dan Pasal 3) yang dapat diuji oleh
peradilan administrasi. Pasal 49 menentukan: Pengadilan tidak
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa
tata usaha negara tertentu dalam hal keputusan yang
disengketakan itu dikeluarkan:
a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana
alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan,
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum.
Kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara
atau kepentingan masyarakat bersama dan atau
kepentingan pembangunan sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Salah satu pengaturan mengenai
kepentingan umum dapat dilihat di dalam Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2005 jo Kepres Nomor 55
Tahun 1993 tentang Pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan unluk kepentingan umum berdasarkan
Keppres ini dibatasi untuk:
1. Kegiatan pembangunan yang dilakukan dan
selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan
untuk mencari keuntungan, dalam bidang-bidang
antara lain sebagai berikut:
 Jalan Umum, saluran pembuangan air:
 Waduk, bendungan dan bangunan perairan
lainnya termasuk saluran.irigasi;
 Rumah Sakit Umum dan Pusat Kesehatan
Masyarakat;
 Pelabuhan atau bandara udara atau terminal;
 Peribadatan.
 Pendidikan atau sekolahan;
 Pasar Umum atau Pasar INPRES;
 Fasilitas Pemakaman Umum;

151
 Fasilitas keselamatan umum seperti, antara lain
tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan
lain-lain bencana;
 Pos dan Telekomunikasi;
 Sarana Olah Raga;
 Stasiun penyiaran radio, televisi beserta sarana
pendukungnya;
 Kantor pemerintahan;
 Fasilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)
2. Kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum
selain dimaksud dalam angka 1 yang ditetapkan
dengan Perpres.
Berkaitan dengan keputusan tata usaha negara sebagai
dasar pengujian tindakan hukum tata usaha negara sekaligus
sebagai obyek sengketa tata usaha negara mengenai mekanisme
pengawasan yudisial dapat disebutkan sebagai berikut:
a. Pengawasan dilakukan dengan menguji
keabsahan keputusan tata usaha negara (Pasal 1 angka 3
dan Pasal 53 ayat 2 huruf a dan b Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5
tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang
dikeluarkan pejabat tata usaha negara (Pasal 1 angka 2)
oleh peradilan tata usaha negara dalam hal terjadi sengketa
tata usaha negara (Pasal l angka 4).
b. Bagi hakim tata usaha negara
pengertian penetapan tertulis (beschikking) merupakan
salah satu keputusan tata usaha negara yang berfungsi
sebagai instrumen yuridis pemerintahan dan digunakan
badan atau pejabat tata usaha negara dalam
melaksanakan tugas dibidang urusan pemerintahan sangat
penting artinya karena hanya penetapan tertulis saja yang
dapat digugat ke peradilan tata usaha negara.
c. Istilah “penetapan tertulis" terutama
menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk yang
dikeluarkan badan atau pejabat tata usaha negara
(penjelasan Pasal 1 ayat 3).

152
d. Jika badan atau pejabat tata usaha
negara tidak mengeluarkan keputusan dapat disamakan
dengan keputusan tata usaha negara menurut keadaan dan
persoalan yang diatur Pasal 3.
Penilaian (toetsing) terhadap keputusan tata usaha negara
hanya menyangkut aspek legalitas suatu keputusan tata usaha
negara (beschikking) sebagai instrumen yuridis pemerintahan;
dengan demikian tanggung gugat sehubungan dengan suatu
perbuatan hukum publik adalah pada pejabat (ambtsdrager) -
Lihat kembali skema - tindakan pemerintah bertuurshandeling--.
Garis pembeda antara perbuatan pemerintah berdasarkan hukum
publik dan perbuatan bukum privat dapat dilakukan dengan
menggunakan dasar untuk melakukan perbuatan hukum:
a. Dasar untuk melakukan perbuatan hukum publik adalah
adanya kewenangan yang berkaitan dengan suatu jabatan
(ambt). Jabatan melalui tiga sumber, yakni: atribusi,
delegasi dan mandat yang akan melahirkan kewenangan
(bevoegdheid, legal power, competence).
b. Dasar untuk melakukan perbuatan hukum privat adalah
adanya kecakapan bertindak (bekwamheid) dari subyek
hukum (orang/badan hukum perdata).
9.4. Kekuatan Hukum Keputusan Tata Usaha Negara
Suatu putusan dikatakan berkekuatan hukum tetap, apabila
terhadap putusan itu tidak lagi dapat dilakukan upaya hukum
biasa, seperti banding atau kasasi. Terhadap putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap dapat dilakukan eksekusi (Pasal 115
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor
51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Eksekusi berarti pelaksanaan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap. Maksudnya hal-hal yang diputuskan
dalam keputusan itu hukuman terhadap tergugat dilaksanakan
sebagai upaya memulihkan kerugian yang diderita penggugat.
Eksekusi terhadap putusan peradilan tata usaha negara diatur
dalam Pasal 116 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan

153
Kedua Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara. Proses pra eksekusi sebagai berikut:
a. Atas perintah ketua pengadilan tingkat pertama yang
memeriksa perkara memerintahkan panitera pengadilan
untuk menyampaikan salinan putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap kepada para pihak yang
berperkara melalui pos dengan surat tercatat, paling lambat
dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak
putusan itu berkekuatan hukum tetap, atau dalam hal bukan
keputusan pengadilan tingkat pertama sendiri sejak putusan
itu diterimanya.
b. Dalam waktu 4 (empat) bulan setelah putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap disampaikan kepada
tergugat tetapi tergugat tidak melaksanakan kewajibannya
(Pasal 97 ayat 9 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara), untuk mencabut
keputusan tata usaha negara tersebut karena tidak
mempunyai kekuatan hukum lagi.
c. Dalamhal ditetapkan bahwa tergugat harus melaksanakan
kewajibannya (Pasal 97 ayat 9 huruf b dan c Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara), untuk mencabut keputusan tata usaha negara
yang disengketakan dan menerbitkan keputusan tata usaha
negara yang baru atau menerbitkan keputusan tata usaha
negara dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-
Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, yaitu tidak mengeluarkan keputusan sedangkan itu
menjadi kewajibannya.
d. Jika tergugat masih tetap tidak mau melaksanakan, ketua
pengadilan mengajukan hal tersebut kepada atasan
tergugat menurut jenjang jabatan (Pasal 116 ayat 4).

154
e. Instansi atasan tergugat dalam waktu 2 (dua) bulan setelah
menerima pemberitahuan Ketua Pengadilan, harus
memerintahkan tergugat untuk melaksanakan putusan
pengadilan (Pasal 116 ayat 5).
f. Dalam hal instansi atasan tergugat tidak mengindahkan,
Ketua Pengadilan mengajukan masalah tersebut kepada
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah
tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut (tergugat)
melaksanakan putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap (Pasal 116 ayat 6 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Eksekusi putusan pengadilan tata usaha negara dapat
dalam beberapa bentuk, antara lain:
1. Mencabut keputusan tata usaha negara yang
dipersengketakan.
Pasal 116 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, memberi kesempatan kepada badan atau
pejabat tata usaha negara untuk secara sukarela melaksanakan
keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam
tenggang waktu paling lama selama 4 (empat) bulan sejak
putusan diterimanya. Apabila tenggang waktu tersebut melewati,
maka keputusan tata usaha negara yang baru atau keputusan tata
usaha negara yang bersengketa itu tidak mempunyai kekuatan
hukum dengan sendirinya. Apabila tergugat tidak bersedia untuk
mencabutnya. Terhitung sejak saat itu keputusan tata usaha
negara yang bersengketa itu tidak menimbulkan akibat hukum
lagi; oleh karena itu sebelum tenggang waktu 4 (empat) bulan
lewat sebaiknya badan atau pejabat tata usaha negara (tergugat)
mencabutnya. Keadaan ini sangat bermanfaat dalam melakukan
pendidikan sadar hukum bagi masyarakat karena badan atau
pejabat tata usaha negara sendiri secara sportif telah memberi
contoh tentang sadar hukum bagi masyarakat. Sebaliknya apabila
badan atau pejabat tata usaha negara tidak bersedia dengan
sukarela untuk melaksanakannya sangat merugikan bagi
155
penyadaran hukum masyarakat karena adanya contoh kurang
baik dari badan atau pejabat tata usaha negara yang dalam
kehidupan sehari-hari sebagai panutan masyarakat.
2.Mengeluarkan keputusan tata usaha negara baru.
Dalam hal pengadilan memutuskan agar badan atau
pejabat tata usaha negara (tergugat) mencabut keputusan tata
usaha negara yang disengketakan dan menerbitkan keputusan
tata usaha negara yang baru atau keputusan tata usaha negara
yang diminta (Pasal 116 jo Pasal 97 ayat 9 huruf b dan c. Pasal 3
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor
51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
menentukan bahwa badan atau pejabat tata usaha negara diberi
kebebasan selama 3 (tiga) bulan untuk mencabut keputusan tata
usaha negara yang disengketakan dan menerbitkan keputusan
tata usaha negara yang baru atau mengabulkan keputusan tata
usaha negara yang dimohonkan oleh penggugat secara sukarela.
Dalam hal badan atau pejabat tata usaha negara (tergugat) tidak
melaksanakan kewajibannya setelah lewat waktu 3 (tiga) bulan,
penggugat menyampaikan permasalahan itu kepada ketua
pengadilan agar memerintahkan tergugat untuk melaksanakan
putusan pengadilan tersebut. Apabila tidak juga dilaksanakan,
maka ketua pengadilan mengajukan hal tersebut kepada instansi
atasan tergugat menurut jenjang jabatan. Misalnya kalau tergugat
adalah Bupati, pertama persoalan diajukan kepada Gubernur,
kemudian kepada Menteri Dalam Negeri dan terakhir kepada
Presiden (Pasal 116 ayat 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara). Pertanyaan yang diajukan bagaimana kalau
juga tidak terlaksana mengingat di dalam Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 tidak menjelaskannya dengan rinci.
Untuk menjawab pertanyaan di atas dilakukan perubahan
atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 dan dikeluarkannya
UU Nomor 9 tahun 2004; di dalam UU Nomor 5 tahun 1986
ketentuan Pasal 116 ayat 6 diubah menjadi Pasal 116 ayat 4 UU
Nomor 9 tahun 2004 bahwa: “Dalam hal tergugat tidak bersedia
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh
156
kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan
dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang
paksa dan atau sanksi administratif.
Selanjutnya yang dimaksud “pejabat yang bersangkutan
dikenakan uang paksa dalam ketentuan ini adalah pembebanan
berupa pembayaran sejumlah uang yang ditetapkan oleh hakim
karena jabatannya yang dicantumkan dalam amar putusan pada
saat memutuskan mengabulkan gugatan penggugat” (penjelasan
Pasal 116 ayat 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara). Jika pejabat yang bersangkutan tidak
melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat 4 di atas, selanjutnya diumumkan pada media massa cetak
setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat 3 Pasal 116 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Ketentuan ganti rugi dalam
perkara tata usaha negara diatur dalam Pasal 120 jo Pasal 97
ayat (10) dan Pasal 117 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, adalah pembayaran sejumlah uang kepada
orang atau badan hukum perdata atas beban tata usaha negara,
karena adanya kerugian meterial yang diderita penggugat
(Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991). Ganti rugi menjadi
tanggungan tergugat yang untuk tingkat pusat dibebankan kepada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sedangkan
untuk daerah dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). Ganti rugi yang menjadi tanggungan
badan tata usaha lainnya menjadi beban keuangan yang dikelola
badan itu sendiri. Besarnya ganti rugi minimal Rp. 250.000,- (dua
ratus lima puluh ribu rupiah) dan maksimal Rp. 5.000.000,-(lima
juta rupiah). Proses pembayaran ganti rugi setelah ada putusan
berkekuatan hukum tetap, salinan putusan dikirimkan panitera
melalui pos dengan surat tercatat kepada penggugat dan

157
tergugat. Pengirim dilaksanakan paling lambat dalam waktu 3
(tiga) hari setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Tata cara pembayaran ganti rugi oleh Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)diatur Menteri Keuangan,
sedangkan pembayaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) diatur oleh Menteri Dalam Negeri. Tata cara
pembayaran oleh badan tata usaha negara lainnya diatur oleh
masing-masing pimpinan badan yang bersangkutan. Proses
pelaksanaan diatur, peradilan tata usaha negara mengirimkan
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap kepada penggugat
dan tergugat paling lambat dalam waktu 3 (tiga) hari setelah
putusan berkekuatan hukum tetap. Pengiriman dilakukan oleh
pengadilan yang menetapkan putusan itu sendiri. Apabila putusan
itu ditetapkan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atau
Mahkamah Agung, putusan tersebut juga dikirimkan kepada
Peradilan Tata Usaha Negara Tingkat Pertama yang memeriksa
perkara.
Penggugat dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari
setelah menerima salinan putusan itu (Pasal 7 PP No.41 Tahun
1991) mengajukan permintaan pelaksanaan putusan itu kepada
badan tata usaha negara (tergugat). Paling lambat dalam waktu
30 (tiga puluh) hari sejak menerima permintaan itu tergugat
(badan tata usaha negara) memberitahu penggugat (yang
mengajukan permintaan) perihal telah diterimanya permintaan
tersebut. Apabila tergugat tidak dapat melaksanakan pembayaran
dalam tahun anggaran yang sedang berjalan, maka pembayaran
ganti rugi dimasukkan dalam dan dilaksanakan dalam tahun
anggaran berikutnya. Terhadap pejabat tata usaha negara (Pasal
18 Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1991) yang
mengakibatkan timbulnya ganti rugi dapat dikenakan tindakan
administrasi sesuai peraturan yang berlaku.
Dalam hal adanya gugatan ganti rugi, sesuai jumlah yang
dirumuskan dalam Pelatihan Peningkatan Keterampilan Hakim
Peradilan Tata Usaha Negara II Tahun 1991 (Surat Mahkamah
Agung RI. Nomor: 052/Td.TUN/III/1992 tanggal 24 Maret 1992)
supaya secara tegas diuraikan dalam posita gugatan dan secara
tegas dimintakan dalam petitum, dengan berpedoman pada
ketentuan Peratuan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991.

158
Keputusan Menteri Keuangan RI No. 1129/KMK.01/1991
tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Rugi Pelaksanaan Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara (Pasal 1 huruf a) menenetapkan:
bahwa pembayaran ganti rugi adalah pembayaran sejumlah uang
kepada orang atau ahli waris atau badan hukum perdata, karena
adanya putusan pengadilan tata usaha negara yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap yang membebankan ganti rugi
kepada badan atau pejabat tata usaha negara; yang berhak atas
ganti rugi itu adalah orang perorangan atau ahli warisnya atau
badan hukum perdata yang oleh pengadilan tata usaha negara
dikabulkan gugatannya.
Untuk merealisir pencairan ganti rugi (Pasal 2 ayat 1) maka
pihak berhak mengajukan permohonan kepada PTUN untuk
membayar ganti rugi itu. Ketua PTUN atas dasar permohonan
yang berhak permohonan penyediaan dana kepada Menteri cq.
Sekretaris Jenderal atau Ketua Lembaga bersangkutan, yang
dikenakan ganti rugi, yang kemudian mengajukan permintaaan
penerbitan Surat Keputusan Otorisasi (SKO) kepada Menteri
Keuangan cq. Direktur Jenderal Anggaran, disertai dengan
putusan PTUN yang menjadi dasar permintaannya.
Atas permintaan itu Menteri Keuangan cq, Direktur Jenderal
Anggaran melakukan penelitian dalam menerbitkan Surat
Keputusan Otorisasi (SKO) atas beban bagian Pembiayaan dan
Perhitungan Anggaran Belanja Negara Rutin. Asli Surat Keputusan
Otorisasi (SKO) tersebut (Pasal 3), yang berhak mengajukan
permohonan pembayaran ganti rugi kepada Kantor Perbendaharaan
dan Kas Negara (KPKN) melalui badan tata usaha negara
setempat, dengan melampirkan:
 Surat Keputusan Otorisasi (SKO).
 Asli dan salinan/foto kopi petikan putusan PTUN.
Badan tata usaha negara (Pasal 1) mengajukan Surat
Perintah Pembayaran Langsung (SPPLS) kepada Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) menerbitkan Surat
Perintah Membayar Langsung (SPMLS) kepada yang berhak
(Pasal 4).Asli petikan putusan peradilan tata usaha negara setelah
dibubuhi cap, bahwa telah dilakukan pembayaran oleh Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) lalu dikembalikan
kepada yang berhak. Terhadap pejabat tata usaha negara (Pasal
159
5) yang karena kesalahannya atau kelalaiannya mengakibatkan
negara harus membayar ganti rugi dapat dikenakan sanksi
administratif sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 1991. Menteri Keuangan cq. Direktur Jenderal
Anggaran melakukan penatausahaan atas pembayaran ganti rugi
berdasarkan keputusan ini dan sekaligus melakukan pemantauan
upaya permintaan ganti rugi terhadap pejabat tata usaha tersebut.
Kompensasi adalah pembayaran-pembayaran sejumlah
uang kepada orang atas beban badan tata usaha negara karena
putusan pengadilan tata usaha negara dibidang kepegawaian
tidak dapat atau tidak sempurna dilaksanakan oleh badan tata
usaha negara (Pasal 1 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 43
Tahun 1991). Kompensasi diatur di dalam Pasal 117 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5
tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan
pelaksanaan nya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43
tahun 1991, Pasal 1 ayat 2 dan Pasal 9 sampai dengan Pasal 16.
Dalam hal tergugat tidak dapat melaksanakan kewajibannya yang
harus dilakukan (Pasal 97 ayat 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, berupa pencabutan keputusan tata
usaha negara yang bersangkutan dan menerbitkan keputusan tata
usaha negara dalam hal gugatan didasarkan Pasal 3 (Pasal 97
ayat 9 Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986) disebabkan
berubahnya keadaan setelah putusan pengadilan dijatuhkan dan/
atau memperoleh kekuatan hukum tetap maka tergugat wajib
memberitahukan kepada ketua pengadilan yang memutuskan
perkara itu (Pasal 116 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara) dan kepada penggugat. Dalam
waktu 30 (tiga puluh) hari setelah menerima pemberitahuan itu,
penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan
yang telah mengirimkan (memutus) putusan pengadilan yang

160
telah berkekuatan hukum tetap tersebut (Pasal 117 ayat 2
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor
51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, agar
tergugat dibebani kewajiban membayar sejumlah uang atau
kompensasi lain yang diinginkannya. Jadi disini ada kemungkinan
penggugat mengajukan kompensasi lain selain sejumlah uang,
misalnya pergantian jabatan lama dengan jabatan yang setingkat.
Setelah menerima permohonan penggugat tersebut, ketua
pengadilan memerintahkan memanggil penggugat dan tergugat
untuk mengusahakan tercapainya persetujuan tentang jumlah
uang atau kompensasi lain yang harus dibebankan kepada
tergugat. Apabila tidak dapat diperoleh kata sepakat (Pasal 117
ayat 4) mengenai jumlah uang atau kompensasi lain. Keputusan
itu dituangkan dalam penetapan disertai dengan pertimbangan
yang cukup. Terhadap penetapan ketua pengadilan itu penggugat
atau tergugat dapat mengajukan kepada Mahkamah agung untuk
ditetapkan kembali (Pasal 117 ayat 5 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara). Putusan Mahkamah Agung dapat
mengubah penetapan ketua pengadilan tentang jumlah uang atau
kompensasi lainnya. Ketua pengadilan (Pasal 119 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5
tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, wajib
mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap itu.
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 menetapkan
kembali tentang proses pelaksanaan kompensasi itu dalam Pasal
9 dengan menguraikan bahwa terhadap putusan pengadilan tata
usaha negara yang menyangkut rehabilitasi tidak dapat atau tidak
dapat dengan sempurna dilaksanakan, maka badan tata usaha
negara yang bersangkutan (tergugat) dalam tenggang waktu 30
(tiga puluh) hari sejak diterimanya putusan pengadilan
memberitahukan perihal tersebut kepada pengadilan tata usaha
negara yang memutus di tingkat pertama dengan tembusan
kepada penggugat. Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah

161
menerima pemberitahuan dari tergugat (Pasal 10 Peraturan
Pemerintah Nomor 43 tahun 1991), Penggugat dapat mengajukan
permohonan kepada ketua pengadilan tata usaha negara
memanggil tergugat (badan tata usaha negara) dan penggugat
untuk mengupayakan tercapainya kesepakatan bersama tentang
besarnya jumlah kompensasi. Apabila kesepakatan tidak dapat
tercapai, dengan mempertimbangkan kepentingan kedua belah
pihak menetapkan besarnya kompensasi. Apabila salah satu
pihak, apakah penggugat atau tergugat tidak menyetujui besarnya
kompensasi yang ditetapkan ketua pengadilan tata usaha negara
tersebut. Ketetapan Mahkamah Agung mengenai besarnya
kompensasi merupakan keputusan akhir (Pasal 13 ayat 2
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991) dan dalam
tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan tersebut,
dikirimkan kepada para pihak dan ketua pengadilan tata usaha
negara yang memutus tingkat pertama. Pasal 14 ayat 1 Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 menentukan: bahwa
kompensasi harus memperhatikan keadaan yang nyata dari
penggugat dan tergugat. Mengenai besarnya kompensasi itu tidak
akan berubah, sekalipun ada tenggang waktu antara tanggal
ditetapkannya dengan waktu pembayaran; dengan kata lain atas
kompensasi itu tidak dikenakan bunga.
Ketua pengadilan tata usaha negara, segera setelah
menerima Ketetapan Mahkamah Agung tentang besarnya
kompensasi meminta secara tertulis kepada tergugat (badan tata
usaha negara) untuk melaksanakan pembayaran kompensasi.
Tembusan surat permintaan diberitahukan kepada penggugat
(Pasal 14 PP No.43 Tahun 1991). Apabila pembayaran
kompensasi tidak dapat dilaksanakan oleh tergugat dalam tahun
anggaran yang sedang berjalan, maka pembayaran dimasukkan
dan dilaksanakan dalam tahun anggaran berikutnya. Salinan
putusan itu juga dikirimkan oleh pengadilan kepada badan tata
usaha negara yang dibebani kewajiban melaksanakan rehabilitasi
tersebut dalam waktu 3 (tiga) hari setelah putusan itu memperoleh
kekuatan hukum tetap (Pasal 121 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara. Putusan pengadilan yang berisi

162
rehabilitasi hanya ada pada sengketa tata usaha negara di bidang
kepegawaian saja. Rehabilitasi merupakan pemulihan hak
penggugat dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan
martabatnya sebagai pegawai negeri seperti semula sebelum
terbitnya keputusan tata usaha negara yang disengketakan
tersebut. Pemulihan hak-hak penggugat tersebut, termasuk juga
hak-haknya yang ditimbulkan oleh kemampuan, kedudukan dan
harkatnya sebagai pegawai negeri. Misalnya tunjangan jabatan,
atau hak-hak lainnya yang melekat pada kedudukan pegawai
negeri tersebut. Dalam hal haknya menyangkut suatu jabatan dan
pada waktu putusan pengadilan dan jabatan tersebut telah diisi
oleh pejabat lain, maka yang bersangkutan diangkat dalam
jabatan lain yang setingkat dengan jabatan semula. Akan tetapi
apabila hal itu tidak mungkin, maka yang bersangkutan akan
diangkat kembali pada kesempatan pertama setelah ada formasi
dalam jabatan yang setingkat, atau dapat juga ditempuh (Pasal
117 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-
Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, dengan memberinya ganti rugi dan kompensasi atas
jabatan tersebut.
9.5. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara
9.5.1. Bertentangan Dengan Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku
Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, menentukan bahwa dasar suatu gugatan
yang diajukan mengarah kepada alasan sebagaimana diatur
dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a, b dan c. Suatu Keputusan Tata
Usaha Negara dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku jika:
1. Keputusan tata usaha negara yang dipersengketakan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
bersifat prosedural/formal. Misalnya sebelum keputusan
pemberhentian terhadap seoarng pegawai dikeluarkan,
seharusnya pegawai tersebut diberi kesempatan untuk
membela diri. Akan tetapi apabila keputusan pemberhentian

163
dikeluarkan terlebih dahulu kepada pegawai itu tanpa diberi
kesempatan untuk membela diri, maka keputusan tata
usaha negara itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang bersifat prosedural/formal.
2. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang bersifat material/substansial.
Misalnya badan/pejabat tata usaha negara mengabulkan
penerbitan tentang suatu keputusan tata usaha negara
yang dimohonkan, padahal pengeluaran keputusan tersebut
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
bersifat material/substansial.
Contoh: suatu keputusan ditingkat administratif atau
menyatakannya tidak dapat diterima, padahal pengabulan
atau penolakan itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang bersifat material/subtansial.
3. Dikeluarkan oleh badan/pejabat tata usaha negara yang
tidak berwenang. Misalnya peraturan dasarnya telah
menunjukkan badan/pejabat tata usaha negara A yang
berwenang untuk mengeluarkan keputusan tata usaha
negara itu. Akan tetapi kemudian dikeluarkan oleh badan/
pejabat tata usaha negara B, maka keputusan tata usaha
negara yang telah dikeluarkan oleh badan/pejabat tata
usaha negara yang tidak berwenang berakibat keputusan
itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Keputusan tata usaha negara oleh badan/
pejabat tata usaha negara yang tidak berwenang
(onvoegheid) disebut keputusan yang cacat kewenangan
(bevoegheidsgebreken) yang dalam hal ini dapat meliputi:
 onbevoegdheid ratione materiae, yaitu apabila suatu
keputusan yang tidak ada dasarnya dalam peraturan
perundang-undangan atau apabila keputusan dikeluarkan
oleh badan/pejabat tata usaha negara yang tidak
berwenang.
 onbevoegdheid ratione loci, yaitu keputusan yang diambil
oleh badan/pejabat tata usaha negara menyangkut hal
yang berada di luar batas wilayahnya (geografis).
 onbevoegdheid ratione temporis, yaitu badan/pejabat
tata usaha negara belum berwenang atau tidak
164
berwenang lagi untuk mengeluarkan keputusan tata
usaha negara, misalnya karena jangka waktunya sudah
lampau atau menerapkan peraturan lain, sementara itu
sudah berlaku peraturan baru.
9.5.2. Penyalahgunaan Wewenang
Pasal 53 ayat (2) a, b, dan c Undang-Undang Nomor 9
tahun 2004 menentukan: suatu keputusan tata usaha negara
dikeluarkan berdasarkan penyalahgunaan wewenang, apabila
badan/pejabat tata usaha negara ketika mengeluarkan keputusan tata
usaha negara yang dipersengketakan telah menggunakan wewenangnya
untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang itu. Bahwa
penentuan suatu norma hukum dalam suatu peraturan, jelas dengan
tujuan dan maksud tertentu; oleh karena itu penerapan ketentuan itu
harus selalu sesuai dengan tujuan dan maksud khusus diadakannya
peraturan tersebut. Peraturan itu tidak dibenarkan untuk diterapkan guna
mencapai hal-hal diluar maksud tersebut. wewenang materiel badan/
pejabat tata usaha negara untuk mengeluarkan suatu keputusan tata
usaha negara terbatas pada ruang lingkup maksud bidang khusus
yang ditentukan dalam peraturan dasarnya. tindakan badan/pejabat
tata usaha negara yang melebihi maksud tersebut dalam mengeluarkan
suatu keputusan tata usaha negara adalah merupakan
penyalahgunaan wewenang. Misalnya badan/pejabat tata usaha
negara memberi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atas sebidang tanah.
Padahal dalam peraturan dasarnya tanah tersebut diperuntukan
sebagai jalur hijau. Tindakan badan/pejabat tata usaha negara
menerbitkan IMB merupakan penyalahgunaan wewenang dan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
9.5.3. Berbuat Sewenang-Wenang
Pasal 53 ayat (2) huruf c Undang-undang Nomor 9 tahun
2004 menentukan: Badan/Pejabat Tata Usaha Negara pada
waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan tata
usaha negara yang dipersengketakan setelah mempertimbangkan
semua kepentingan yang tersangkut dalam keputusan itu
seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak
pengambilan keputusan tersebut. Pengambilan atau tidak
pengambilan keputusan oleh badan/pejabat tata usaha negara
sebagai perberbuatan sewenang-wenang bertentangan dengan
165
asas-asas umum pemerintahan yang baik. Pasal 53 ayat (2) a, b,
dan c UU Nomor 9 tahun 2004 melarang badan/pejabat tata
usaha negara berbuat sewenang-wenang dalam mengeluarkan
atau tidak mengeluarkan suatu keputusan tata usaha negara.
Di dalam praktik adakalanya suatu peraturan dasar yang
memberikan wewenang kepada badan/pejabat tata usaha negara
mengatur secara rinci dan ketat apa yang harus dilaksanakan dan
mengikat badan/pejabat tata usaha negara dalam melakukan
urusan pemerintahan. Pengaturan yang demikian mengikat
badan/pejabat tata usaha negara sehingga dalam keadaan
demikian tinggal mengumpulkan fakta yang relevan dan
menerapkan peraturan perundang-undangan. Dalam hal timbul
sengketa mengenai keputusan yang dikeluarkan, petugas
pengadilan menjadi lebih mudah karena tinggal menguji segi
hukum keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan; apakah
fakta yang diajukan relevan dengan peraturan dasarnya sehingga
penerbitan keputusan yang dipersengketakan dapat dikategorikan
sebagai perbuatan sewenang-wenang sehingga bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam
praktik jarang sekali suatu keputusan dinilai berdasarkan asas-
asas hukum tidak tertulis. Akan tetapi apabila ketentuan tentang
tugas dan wewenang yang harus dilaksanakan dirumuskan
sedemikian rupa dalam peraturan dasarnya, dapat ditafsirkan
bahwa dalam pelaksanaannya badan/pejabat tata usaha negara
memiliki kelonggaran untuk menentukan kebijaksanaan. Wewenang
pengadilan menguji dari segi hukum keputusan tata usaha negara
tersebut dilakukan secara marginal, artinya pengujian hanya
dilakukan sampai batas tertentu saja.
Dalam suatu pemerintahan yang bebas, badan/pejabat tata
usaha negara hanya bertugas untuk mengumpulkan fakta yang
relevan, mempersiapkan/mengambil dan melaksanakan keputusan yang
bersangkutan dengan memperhatikan asas-asas hukum yang tertulis
serta dengan penuh kelonggaran menentukan sendiri isinya, cara
menyusun dan saat mengeluarkan keputusan itu. Pengujian dari segi
hukum yang dilakukan pengadilan terhadap keputusan tata usaha
negara terbatas pada penelitian (pasal 53 ayat 2 UU Nomor 9 tahun
2004 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 5 tahun 1986):

166
a. Apakah semua fakta yang relevan telah dikumpulkan, untuk itu
perlu dipertimbangkan dalam keputusan tata usaha negara yang
bersangkutan; misalnya dalam hal keputusan yang digugat
itu dikeluarkan atas dasar fakta yang kurang lengkap, maka
keputusan demikian terjadi atas kemauan sendiri, bukan atas
dasar hukum dan karenanya merupakan keputusan yang bersifat
sewenang-wenang.
b. Apakah badan/pejabat tata usaha negara mengeluarkan
keputusan itu telah mempersiapkan, memutuskan dan
melaksanakannya dengan memperhatikan semua asas-asas
yang berlaku? kalau tidak maka keputusan itu merupakan tindak
sewenang-wenang.
Misalnya keputusan mempensiunkan seorang pegawai negeri
dengan alasan kesehatan yang tidak dilengkapi dengan
pendapat Dewan Pertimbangan Kesehatan Pegawai
merupakan keputusan yang bersifat sewenang-wenang.
c. Apakah keputusan yang diambil juga akan sama dengan
keputusan yang digugat. Kalau hal-hal dalam point 1 dan 2
dipertimbangkan, sebab menurut asas hukum semua orang
sama kedudukannya di hadapan hukum. Misalnya Pasal 7 ayat
(2) UU Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian
Perburuhan; bahwa P4 D wajib menjadi perantara kearah
penyelesaian secara damai suatu perselisihan perburuhan,
dengan mengadakan perundingan "dengan pihak " yang
bersengketa. Apabila perdamaian tidak dapat dicapai, maka P4
D dapat melakukan tugasnya sebagai perantara. Dalam hal P4 D
melakukan tugasnya secara beratsebelah atau tidak jujur, maka
keputusan yang diambilnya itu dianggap sebagai keputusan
yang bersifat sewenang-wenang.

167
BAB X
PENEGAKAN HUKUM
Tujuan Instruksional Umum
Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan
memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai penegakan
hukum dalam hukum administrasi.

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan:
1. Adanya pemahaman mengenai pengertian penegakan
hukum.
2. Memahami ruang lingkup penegakan hukum
3. Memahami instrumen penegakan hukum.
4. Memahami perbedaan antara sanksi administrasi dan
sanksi pidana
5. Memahami tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab
pribadi atas tindak pemerintahan

168
10.1. Pengertian Penegakan Hukum

169
10.2. Ruang Lingkup Penegakan Hukum

170
10.3. Instrumen Penegakan Hukum
10.3.1. Pengawasan
Pengawasan merupakan upaya preventif untuk
memaksakan kepatuhan; misalnya: penyuluhan, pemantauan,
penggunaan kewenangan yang sifatnya pengawasan. Dari segi
kedudukan, kontrol terbagi menjadi kontrol intern dan kontrol
ekstern. Kontrol intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh
badan yang secara organisatoris/struktural masih termasuk dalam
lingkungan pemerintah; misalnya: pengawasan yang dilakukan
pejabat atasan terhadap bawahan. Secara hirarkhi bentuk kontrol
ini digolongkan dalam jenis kontrol teknis administrasi atau lazim
disebut ”built-in control.” Kontrol ekstern adalah pengawasan yang
dilakukanorgan atau lembaga-lembaga yang secara organisatoris/
struktural berada di luar pemerintah. Misalnya: kontrol sosial oleh
masyarakat melalui pers atau media massa. Kontrol politis oleh
lembaga perwakilan rakyat dalam bentuk hearing atau hak
bertanya anggota. Maurice Duverger mengartikan kontrol ekstern
sebagai kontrol yurisdiksionil, yaitu peraturan-peraturan hukum
yang menentukan hak-hak atau kekuasaan-kekuasaan yang
dalam pelaksanaannya diawasi dan dilindungi oleh organ-organ
pengadilan dari lembaga-lembaga dengan tujuan membatasi
kekuasaan Kepala Daerah serta mengendalikan lembaga politik
dan lembaga administrasi.80 Lebih lanjut Maurice Duverger
menjelaskan, suatu kontrol yurisdiksionil akan lebih sempurna jika
meliputi dua hal, yaitu:
 Kontrol atas sah tidaknya tindakan-tindakan
eksekutif agar tercegah timbulnya pelanggaran-
pelanggaran terhadap undang-undang.
 Kontrol agar undang-undang dan peraturan-
peraturan hukum lainnya tidak menyimpang dari undang-
undang dasar atau konstitusi.

80
dalam Soehino, Ilmu Negara, 1998, h. 271

171
Kontrol yurisdiksionil dimaksudkan agar tidak melanggar
undang-undang dasar atau konstitusi dan pernyataan hak-hak
asasi masyarakat. Peraturan-peraturan yang bertujuan membatasi
kekuasaan para penguasa akan tidak ada gunanya apabila tidak
disusun prosedur atau cara untuk menghukum pelanggaran-
pelanggaran atas peraturan-peraturan tersebut.
Dari segi waktu: kontrol a-priori bilamana pengawasan itu
dilaksanakan sebelum dikeluarkannya keputusan atau ketetapan
pemerintah. Kontrol a-posteriori bilamana pengawasan baru
dilaksanakan sesudah dikeluarkan keputusan atau ketetapan
pemerintah.
Dari segi obyek terbagi menjadi: (1) kontrol dari segi hukum
(rechtmatigheid); untuk menilai segi atau pertimbangan yang
bersifat hukumnya saja (segi legalitas) yaitu rechtmatigheid dari
perbuatan pemerintah; (2) Kontrol dari segi kemanfaatan
(doelmatigheid). untuk menilai benar tidaknya perbuatan
pemerintah dari segi atau pertimbangan kemanfaatannya.
10.3.2. Sanksi
Sebagaimana hukum-hukum yang lain, hukum administrasi
memiliki sanksi-sanksi jika ada suatu pelanggaran. Sanksi
merupakan bagian penutup yang penting di dalam hukum. Tidak
akan ada gunanya pemerintah menetapkan kewajiban-kewajiban
dan larangan-larangan bagi masyarakat tanpa menyertakan suatu
sanksi di dalamnya.Sanksi-sanksi ini memperkuat suatu instrumen
hukum sehingga hukum mempunyai kewibawaan. Keberadaan
sanksi akan menjaga kewibawaan badan atau pejabat penegak
peraturan perundang-undangan. Bagi pelaku pelanggaran suatu
aturan hukum, badan atau pejabat memiliki kewenangan untuk
menyelesaikan pelanggaran atas aturan yang berlaku; dengan
demikian sanksi merupakan upaya represif untuk memaksakan
kepatuhan. Sanksi dalam hukum administrasi memiliki akibat
hukum yang lebih berat jika dibandingkan dengan hukum-hukum
lainnya. Sanksi hukum perdata hanya dirasakan oleh orang yang
terlibat dalam suatu perkara saja. Sanksi hukum pidana dampak
atau akibat hukumnya hanya dirasakan oleh orang yang divonis
hakim karena melakukan tindak pidana. Inilah yang membedakan
hukum administrasi dengan hukum-hukum lainnya. Pelaksanaan
sanksi pemerintahan berlaku sebagai suatu beban (belastende
172
beschiking). Dalam menetapkannya harus memperhatikan azas
kecermatan dan azas pembelaan. Sanksi administrasi diterapkan
oleh pejabat tata usaha negara tanpa harus melalui proses
peradilan, namun terhadap sanksi administrasi bagi masyarakat
terbuka kemungkinan untuk diajukan banding pada hakim
administratif.
Telah disebutkan, sanksi merupakan bagian penutup yang
penting di dalam hukum juga dalam hukum administrasi. Tidak
ada gunamya memasukkan kewajiban atau larangan-larangan
bagi para warga di dalam peraturan perundang-undangan tata
usaha negara, manakala aturan-aturan tingkah laku itu tidak dapat
dipaksakan oleh tata usaha negara. Peran penting pemberian
sanksi di dalam hukum administrasi memenuhi hukum pidana.
Bagi pembuat peraturan penting untuk tidak hanya melarang
tindakan-tindakan yang tanpa disertai izin, tetapi juga terhadap
tindakan-tindakan yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang dapat dikaitkan pada suatu izin.
Merujuk uraian di atas dapat diuraikan bahwa sanksi adalah
upaya represif untuk memaksakan kepatuhan. Sanksi-sanksi
hukum administrasi yang khas antara lain:
a. paksaan pemerintahan (bestuursdwang);
b. penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan
(izin, pembayaran, subsidi);
c. pengenaan denda administratif;
d. pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom).
Bestuursdwang adalah tindakan-tindakan yang nyata dari
penguasa guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh
kaidah hukum administrasi atau melakukan apa yang seharusnya
ditinggalkan para warga karena bertentangan dengan undang-
undang. Sanksi-sanksi lain lebih berperan secara tidak langsung.
Penarikan kembali suatu keputusan (ketetapan) yang
menguntungkan tidak terlalu perlu didasarkan pada suatu
peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan sanksi pemerintah
berlaku sebagai suatu keputusan yang memberi beban. Suatu
keputusan (ketetapan) yang menguntungkan dapat ditarik kembali
sebagai sanksi:
a. yang berkepentingan tidak mematuhi pembatasan-
pembatasan, syarat-syarat atau ketentuan peraturan
173
perundang-undangan yang dikaitkan pada izin, subsidi,
atau pembayaran.
b. yang berkepentingan pada waktu mengajukan permohonan
untuk mendapat izin, subsidi, atau pembayaran telah
memberikan data yang tidak benar atau tidak lengkap,
hingga apabila data diberikan secara benar atau lengkap
maka keputusan akan berlainan.
Penarikan kembali suatu keputusan (ketetapan) pada
kenyataannya juga merupakan perbuatan keputusan/perbuatan
ketetapan. Penarikan kembali atas suatu keputusan tidak lain,
adalah suatu keputusan (ketetapan) baru yang menarik kembali
keputusan yang terdahulu. Sebagai suatu keputusan (ketetapan),
maka keputusan tersebut niscaya menimbulkan akibat hukum
bagi seorang warga atau badan hukum perdata yang dikenakan
keputusan (ketetapan) itu. Dalam hal seorang warga atau badan
hukum perdata merasa dirugikan oleh akibat hukum yang timbul
dari keputusan (ketetapan) penarikan kembali itu, maka ia berhak
mengajukan banding administrasi atau menggunakan upaya
hukum yang tersedia di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yakni dengan cara
membawakan permasalahannya ke peradilan tata usaha negara.
Pengenaan denda administratif menyerupai penggunaan
sanksi pidana. Bagi pengenaan denda administratif dan uang
paksa, mutlak harus atas dasar peraturan perundang-undangan.
Sanksi lain adalah sanksi administrasi yang diberlakukan
dalam hukum perpajakan. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan memberi
penamaan “sanksi administrasi”. Sanksi administrasi dikenakan
kepada wajib pajak yang terhutang setelah kepadanya
dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak. Ditentukan bahwa sanksi
administrasi berupa bunga, denda administrasi, dan kenaikan
tidak dapat dikreditkan dari jumlah pajak yang terhutang. Sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah
kekurangan pajak juga dimuat dalam Surat Ketetapan Pajak
Tambahan yang dikeluarkan Direktur Jenderal Pajak.
Sanksi regresif (regressieve sancties), adalah sanksi yang
dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan yang terdapat dalam
ketetapan sanksi ini ditujukan pada keadaan hukum semula
174
sebelum diterbitkannya ketetapan.Contoh sanksi regresif adalah
penarikan, perubahan, dan penundaan suatu ketetapan (de
intrekking, de wijziging, of de schorsing van een beschikking).
Sanksi reparatoir adalah sanksi yang dikenakan terhadap
pelanggaran norma hukum administrasi secara umum. Contoh
sanksi reparatoir adalah paksaan pemerintahan (bestuursdwang)
dan pengenaan uang paksa (dwangsom).
Sanksi punitif yaitu uitsluitend de sancties die ertoe
strekken om een pesoon te 'straffen' (sanksi ditujukan untuk
memberikan hukuman (straffen) pada seseorang). Contoh,
pengenaan denda administrasi (besmurs boete).
Sanksi kumulasi adalah penerapan sanksi secara bersama-
sama. Peraturan perundang-undangan hukum administrasi sering
tidak hanya memuat satu macam sanksi tetapi terdapat beberapa
macam sanksi yang diberlakukan secara kumulasi. Adakalanya
suatu ketentuan peraturan perundang-undangan tidak hanya
mengancam pelanggarnya dengan sanksi tapi juga pada saat
yang sama mengancam dengan sanksi administrasi. Penerapan
sanksi secara bersama-sama (sanksi kumulasi) antara hukum
administrasi dan hukum lainnya:
1. Kumulasi internal
Kumulasi internal merupakan penerapan dua atau lebih
sanksi administrasi secara bersama-sama.
Contoh: penghentian pelayanan administrasi dan/atau
pencabutan izin dan/atau pengenaan denda.
2. kumulasi eksternal
Kumulasi ekternal, sanksi administrasi dengan sanksi
pidana atau sanksi perdata.
Contoh: Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang
Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau
Kuasanya jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961, tidak
hanya mengancam pemakai tanah tanpa izin dengan sanksi
pidana kurungan selama-lamanya 3 bulan dan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp.5000,-, tapi juga memuat sanksi
administrasi yang memberi kewenangan kepada penguasa
daerah untuk melaksanakan pengosongan tanah dengan
disertai beban biaya dari pemakai tanah. Bagaimanapun

175
juga pengenaan sanksi-sanksi kumulasi akan menimbulkan
akibat hukum bagi warga yang dikenakan sanksi itu.

10.4. Perbedaan Antara Sanksi Administrasi dan Sanksi Pidana


Sanksi administrasi, sasaran ditujukan pada perbuatan,
sanksi pidana sasaran ditujukan pada pelaku. Salah satu upaya
pemaksaan hukum adalah pemberlakuan sanksi pidana terhadap
pelanggar mengingat sanksi pidana membawa serta akibat hukum
yang berpaut dengan kemerdekaan pribadi. Suatu sanksi pidana
tidak dapat dikenakan kepada pihak pelanggar dengan cara
penggunaan bedtuursdwang. Penegakan sanksi pidana
dilaksanakan menurut “due process of law” yang telah ditentukan
di dalam hukum acara pidana dan pengenaan sanksi itu hanya
dapat dinyatakan dalam suatu putusan hakim pidana.
Pemberlakuan sanksi pidana turut berperan pada penegakan dan
pentaatan kaidah hukum administrasi dan pada pelaksanaan
tugas-tugas pemerintahan.
Sifat sanksi administrasi adalah reparatoir-condemnatoir
yaitu pemulihan kembali pada keadaan semula dan memberikan
hukuman. Sifat sanksi pidana condemnatoir.
Prosedur sanksi administrasi dilakukan secara langsung
tanpa melalui peradilan. Prosedur sanksi pidana harus melalui
proses peradilan
Kebanyakan peraturan perundang-undangan di Belanda
memuat bagi para pengawas/pegawai pengusut mempunyai satu
atau lebih wewenang sebagai berikut:
 wewenang memasuki setiap tempat, kecuali rumah-rumah
kediaman;
 wewenang memasuki rumah-rumah kediaman dalam
keadaan-keadaan luar biasa dengan suatu kuasa khusus;
 wewenang menghentikan kendaraan dan memeriksa
muatannya;
 wewenang memeriksa barang-barang dagangan dan
mengambil contoh-contoh;
 wewenang memeriksa buku-buku dan surat-surat arsip;
 wewenang untuk meminta keterangan dan bantuan.

176
Bagi para pegawai pengusut memiliki wewenang berdasar
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, misalnya menyita
barang-barang. Menghalangi seorang pegawai pengawas atau
tidak memberikan bantuan merupakan perbuatan pidana.
Yurisprudensi Hakim-AROB mengharuskan beberapa
syarat bagi peringatan tertulis/perintah tertulis, sebagai berikut:
 Peringatan itu tidak dapat diadakan secara tanpa ikatan.
Badan pemerintah harus telah mempunyai niat yang tetap
yang jika perlu melaksanakan suatu bestuursdwang.
 Perintah tertulis/peringatan tertulis harus memuat perintah
yang jelas. Harus ditetapkan apa yang seharusnya
dilakukan warga yang mendapat surat pemberitahuan
guna mencegah pemerintah mengambil tindakan nyata.
 Surat perintah harus memuat ketentuan-ketentuan
peraturan perundang-undangan mana yang dilanggar.
 Harus ditentukan suatu jangka waktu perintah harus
dilaksanakan.
 Perintah harus ditujukan pada yang berkepentingan yang
menurut kenyataan memang juga mampu mengakhiri
pelanggaran itu.
 Eksplisit atau implisit harus nyata bahwa biaya-biaya
dalam hal tata usaha negara harus bertindak, akan
dibebankan pada pelanggar.
10.5. Tanggung jawab Jabatan dan Tanggung jawab Pribadi
Penyalahgunaaan wewenang tindak pemerintahan
menimbulkan pertanyaan sebagai tanggung jawab jabatan atau
tanggung jawab pribadi. Untuk menjawab pertanyaan di atas
harus dipilah terlebih dahulu dalam hal apa suatu tindak
pemerintahan menjadi tanggung jawab jabatan dan dalam hal apa
menjadi tanggung jawab pribadi.
1. Tanggung jawab jabatan berkenaan dengan legalitas
(keabsahan) tindak pemerintahan. Dalam hukum administrasi,
persoalan legalitas tindak pemerintahan berkaitan dengan
pendekatan terhadap kekuasaan pemerintahan.
2. Tanggung jawab pribadi berkaitan dengan pendekatan
fungsionaris atau pendekatan perilaku dalam hukum
administrasi. Tanggung jawab pribadi berkenaan dengan
177
maladministrasi dalam penggunaan wewenang maupun
public service.81
Pembedaan antara tanggung jawab jabatan dan tanggung
jawab pribadi atas tindak pemerintahan membawa konsekuensi
yang berkaitan dengan tanggung jawab pidana, tanggung gugat
perdata dan tanggung gugat tata usaha negara (TUN).
1. Tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab pribadi.
Dalam kaitan dengan tindak pemerintahan,
2. tanggung jawab pribadi seorang pejabat berhubung dengan
adanya maladministrasi.
3. Tanggung gugat perdata dapat menjadi tanggung gugat
jabatan berkaitan dengan perbuatan melanggar hukum oleh
penguasa. Tanggung gugat perdata menjadi tanggung
gugat pribadi apabila terdapat unsur maladministrasi.
4. Tanggung gugat TUN pada dasarnya adalah tanggung
gugat jabatan.
Menelaah arti kata maladministrasi, kata dasar mal dalam
bahasa Latin malum artinya jahat (jelek). Kata administrasi asal
katanya administrare artinya melayani. Dengan demikian
maladministrasi adalah pelayanan yang jelek. Dengan pengertian
dasar tersebut, maladministrasi selalu dikaitkan dengan perilaku
dalam pelayanan, dalam hal ini pelayanan yang dilakukan oleh
pejabat publik. Dikaitkan dengan norma hukum administrasi,
maladministrasi masuk kategori norma perilaku aparat dalam
pelayanan publik. Dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bebas KKN,
istilah yang digunakan adalah perbuatan tercela. Dalam laporan
tahunan Komisi Ombudsman (2003) disebutkan tindakan
maladministrasi adalah: (1) penundaan berlarut; (2) tindakan
sewenang-wenang; (3) penyimpangan prosedur; (4) tindakan
yang kurang adil; (5) penyalahgunaan wewenang; (6) permintaan
imbalan; (7) melalaikan kewajiban; (8) perbuatan maladministrasi
lainnya.
Dikatakan telah terjadi suatu faute personelle (kesalahan
pribadi), jika ada kesalahan pribadi seseorang yang merupakan
bagian dari pemerintahan. Kesalahan yang dilakukan tidak
81
Philipus M. Hadjon, Tanggung Jawab Jabatan dan Tanggung Jawab
Pribadi Atas Tindak Pemerintahan, makalah fak.hukum Univ.Airlangga, 2008
178
berkaitan dengan pelayanan publik tetapi menunjukkan kelemahan
orang tersebut, keinginan-keinginan atau nafsunya dan kurang
hati-hati atau kelalaian-kelalaiannya. Dalam kaitan dengan
tanggung gugat negara, karena adanya unsur faute personelle,
pegawai tersebut dapat digugat oleh seseorang yang dirugikan di
pengadilan umum (Ordinary Court) selaku pribadi dan bertanggung
gugat atas kesalahan sendiri. Faute de service terjadi karena
adanya kesalahan dalam penggunaan wewenang, dan hanya
berkaitan dengan pelayanan. Para pejabat publik melindungi diri
dengan alasan adanya prinsip separation of power yang melarang
pengadilan umum untuk menerima aduan atas tindakan
pemerintahan yang menyimpang. Bila terdapat pihak yang
dirugikan gugatan harus di ajukan ke Peradilan Administrasi. 82

82
Lihat Tatiek Sri Djatmiati, Kesalahan Pribadi dan Kesalahan Jabatan
dalam Tanggung Jawab dan Tanggung Gugat Negara, dalam Lokakarya
Fakultas Hukum Univ. Airlangga 28-30 Oktober 2008

179
BAB XI
PERLINDUNGAN HUKUM
Tujuan Instruksional Umum
Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan
memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai perindungan
hukum dalam hukum administrasi.

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan:
1. Adanya pemahaman mengenai pengertian perlindungan
hukum.
2. Mengetahui macam-macam sarana perlindungan
hukum.

180
11.1. Pengertian Perlindungan Hukum
Istilah perlindungan berasal dari kata “lindung” yang berarti
menjaga, merawat, memelihara, menyelamatkan, memberi
pertolongan, supaya terhindar dari mara bahaya. Imbuhan “per”
dan akhiran ”an” kata tersebut berubah menjadi “perlindungan”
yang berarti hal (perbuatan dan sebagainya) melindungi,
memperlindungi;83 dengan demikian perlindungan berasal dari
kata benda yang berarti tempat perlindungan. Dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga Pasal 1 butir ke-4 ditentukan bahwa
perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk
memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak
keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun
berdasarkan penetapan pengadilan. Lebih lanjut, beberapa
definisi hukum adalah sebagai berikut:
a. Sudikno Mertokusumo;
Hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan
atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama:
keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku
dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan
pelaksanaannya dengan suatu sanksi.84
b. S.M. Amin;
Hukum adalah kumpulan-kumpulan peraturan-peraturan
yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi itu disebut hukum
dan tujuan hukum itu adalah mengadakan ketatatertiban
dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan
ketertiban terpelihara.
c. J.C.T. Simorangkir dan Woeryono Sastropranoto;
Hukum itu peraturan-peraturan yang bersifat memaksa,
yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan
masyarakat yang dibuat oleh badan resmi yang berwajib,
83
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-3. Balai Pustaka. Jakarta. 2002
h. 674
84
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, 1999, h. 12
181
pelanggaran terhadap peraturan berakibatkan diambilnya
tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu.
d. M.H Tirtaatmidjaja;
Hukum ialah semua aturan (norma) yang harus diturut
dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan
hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika
melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri
sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan
kemerdekaannya, didenda dan sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas dapat dirinci bahwa hukum
meliputi beberapa unsur, yaitu:
a. peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam
pergaulan masyarakat;
b. peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang
berwajib;
c. peraturan itu bersifat memaksa;
d. sanksi terhadap pelanggaran peraturan adalah tegas.
Menurut Sjachran Basah, perlindungan terhadap warga
diberikan bilamana sikap tindak administrasi negara itu
menimbulkan kerugian terhadapnya. Perlindungan terhadap
administrasi negara dilakukan terhadap sikap tindaknya dengan
baik dan benar menurut hukum, baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis; dengan kata lain, melindungi administrasi negara
dari melakukan perbuatan yang salah menurut hukum. Di dalam
negara hukum Pancasila, perlindungan hukum bagi rakyat
diarahkan kepada usaha-usaha untuk mencegah terjadinya
sengketa antara pemerintah dan rakyat, menyelesaikan sengketa
antara pemerintah dan rakyat secara musyawarah serta peradilan
merupakan sarana terakhir dalam usaha menyelesaikan sengketa
antara pemerintah dan rakyat. Dikeluarkannya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sesungguhnya tidak
semata-mata memberikan perlindungan terhadap hak-hak
perseorangan, tetapi juga sekaligus melindungi hak-hak masyarakat
yang menimbulkan kewajiban kewajiban bagi perseorangan. Hak
dan kewajiban perseorangan bagi warga masyarakat harus
diletakan dalam keserasian, keseimbangan, dan keselarasan
182
antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat,
sesuai dengan prinsip yang terkandung dalam falsafah negara
yaitu Pancasila. Berdasarkan pemaparan fungsi-fungsi hukum
administrasi ini, dapat disebutkan bahwa dengan menerapkan
fungsi-fungsi hukum administrasi akan tercipta pemerintahan yang
bersih sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum. Pemerintah
menjalankan aktifitas sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau
berdasarkan asas legalitas, dan ketika menggunakan freies
ermessen harus memperhatikan asas-asas umum yang berlaku
sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum.
Ketika pemerintah menggunakan instrumen yuridis, maka dengan
mengikuti ketentuan formal dan material penggunaan instrumen
tersebut tidak akan menyebabkan kerugian terhadap masyarakat;
dengan demikian, jaminan perlindungan terhadap warga negara
akan terjamin dengan baik.
Merujuk uraian di atas, pengertian perlindungan dan
pengertian hukum di atas dapat disimpulkan bahwa perlindungan
hukum adalah suatu perbuatan yang sifatnya melindungi dan/atau
memberi pertolongan terhadap sipenderita yang haknya dirampas
atau dirugikan.
11.2. Macam-Macam Sarana Perlindungan Hukum
11.2.1. Perlindungan Hukum Preventif
Philipus M. Hadjon85 menjelaskan: upaya perlindungan
hukum secara preventif dilakukan untuk mencegah agar kejahatan
itu tidak terjadi, hal tersebut dapat dilakukan dengan cara
hukum183stic dan cara obolionistik. Perlindungan dengan cara
moralistik yaitu dengan cara mempertegas kekuatan mental dan
moral masyarakat agar tidak mudah untuk melakukan tindak
kekerasan. Cara moralistik ini bertujuan untuk mempertinggi
mental dan moral masyarakat terutama untuk tingkat pendidikan
yang rendah supaya tidak terjerumus kedalam tindak pidana.
Kegiatan ini dilakukan dengan cara memberikan penyuluhan,
penerangan, pembinaan agama, etika, intropeksi, dan
pengetahuan hukum yang sederhana mengenai larangan dan
sanksi pidana terhadap masyarakat yang melakukan tindak

85
Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT
Bina Ilmu, Surabaya, 1987, h. 2
183
pidana trafficking, agar masyarakat mengetahui bahwa tindakannya
tersebut merupakan pelanggaran hukum dan tidak dibenarkan
oleh agama. Perlindungan dengan cara obolionistik, yaitu dengan
jalan mencegah atau mengurangi faktor-faktor penyebab
timbulnya tindak pidana trafficking. Cara obolionistik bertujuan
agar tidak terjadi lagi tindak kekerasan dengan mencegah atau
mengurangi faktor penyebabnya. Proses perlindungan hukum
secara preventif ini harus didukung dengan penyuluhan hukum
disekolah-sekolah, universitas, PJTKI, penyuluhan dikampung,
juga mengadakan pendekatan terhadap tokoh masyarakat dan
alim ulama atau tokoh agama untuk ikut berpartisipasi menyebar-
luaskan kesadaran hukum pada masyarakat, sehingga masyarakat
yang ada akan menyadari bahwa perbuatanya itu melanggar
norma hukum yang berlaku.
11.2.2. Perlindungan Hukum Represif
Upaya perlindungan 184hukum secara represif yaitu berupa
penindakan terhadap pelaku kejahatan yang dilakukan atau
dilaksanakan sesudah kejahatan itu terjadi, diantaranya meliputi:
1. aparatkepolisian harus segera melakukan penangkapan,
penahanan dan penyitaan barang bukti apabila mendapatkan
laporan tentang adanya tindak pidana trafficking;
2. polisi harus mengadakan penyidikan secara tuntas
terhadap kasus yang terjadi;
3. pelaku ditindak dengan ketentuan Undang-undang yang
berlaku;
4. memanggil tersangka dan para saksi untuk diperiksa guna
memperoleh penjelasan dan keterangan yang akurat;
5. melimpahkan perkara tersebut ke Kejaksaan Negeri dan
dilanjutkan ke Pengadilan Negeri untuk melakukan proses
persidangan. 86

86
ibid.
184
BAB XII
PERADILAN ADMINISTRASI
Tujuan Instruksional Umum
Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan
memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai peradilan
administrasi.

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan:
1. Adanya pemahaman mengenai asas-asas peradilan
administrasi
2. Memahami karakteristik peradilan administrasi.
3. Mengetahui kompetensi peradilan administrasi.

185
12.1. Asas-Asas Peradilan Administrasi
Penjelasan Umum UU Nomor 5 Tahun 1986 menentukan
bahwa hukum acara yang digunakan pada peradilan tata usaha
negara mempunyai persamaan dengan hukum acara yang
digunakan pada peradilan umum untuk perkara perdata dengan
perbedaan antara lain:
a. Pada peradilan tata usaha negara, hakim berperan aktif
dalam proses persidangan guna memperoleh kebenaran
materiel dan untuk undang undang ini mengarah pada
ajaran pembuktian bebas.
b. Suatu gugatan tata usaha negara pada dasarnya tidak
bersifat menunda pelaksanaan keputusan tata usaha
negara yang disengketakan.
Spesifikasi hukum acara peradilan tata usaha negara
ditampakkan oleh asas asas yang menjadi landasan normatif-
operasional hukum acara peradilan tata usaha negara, yaitu:
a. Asas praduga rechmatig (vermeden van rechtmatigheid:
preasumtio iustae causa); setiap tindakan penguasa selalu
harus dianggap rechtsmatig sampai ada pembatalannya;
dengan asas ini gugatan tidak menunda pelaksanaan
keputusan tata usaha negara yang digugat (Pasal 67 ayat 1
UU Nomor 5 Tahun 1986)
b. Asas pembuktian bebas; hakim yang menetapkan beban
pembuktian. Hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 107
UU Nomor 5 Tahun 1986 yang masih dibatasi ketentuan
Pasal 100.
c. Asas keaktifan hakim (dominus litis); keaktifan dimaksud
untuk mengimbangi kedudukan para pihak karena tergugat
adalah pejabat tata usaha negara. Sebaliknya, penggugat
adalah orang atau badan hukum perdata penetapan asas
ini terdapat pada ketentuan Pasal 58, Pasal 63 ayat 1 dan
2, Pasal 80 dan Pasal 85.
d. Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum
mengikat (erga omnes); sengketa tata usaha negara adalah
sengketa hukum publik. Putusan pengadilan berlaku bagi
siapa saja tidak hanya yang bersengketa. Dalam rangka ini

186
ketentuan Pasal 85 tentang intervensi bertentangan dengan
asas ”erga omnes”.
Terdapat ciri-ciri khusus di dalam menilai atau melakukan
kontrol terhadap tindakan hukum pemerintahan dalam bidang
hukum pemerintahan dalam bidang hukum publik, yaitu:
a. Sifat atau karakteristik dari suatu keputusan tata usaha
negara mengandung asas presumtio iustae causa, yaitu
suatu keputusan tata usaha negara (beschikking) harus
selalu dianggap sah selama belum dibuktikan sebaliknya,
sehingga pada prinsipnya harus selalu dapat segera
dilaksanakan.
b. Asas perlindungan terhadap kepentingan umum atau publik
yang menonjol disamping perlindungan terhadap individu.
c. Asas ”selfrespect“ atau “self obidence” dari aparatur
pemerintah terhadap putusan-putusan peradilan administrasi
karena tidak dikenal adanya upaya pemaksa yang langsung
melalui juru sita, seperti halnya dalam prosedur perkara
perdata.
Mengenai perlindungan terhadap dua sisi: kepentingan
umum/publik dan kepentingan individu, di dalam Penjelasan
Umum UU Nomor 5 tahun 1986 angka 1 dijelaskan bahwa
disamping hak-hak perseorangan, masyarakat juga mempunyai
hak–hak tertentu. Tujuan peradilan tata usaha negara sebenarnya
tidak semata-mata memberikan perlindungan terhadap hak-hak
masyarakat. Ditinjau dari sudut pernyatan tersebut persoalan
selanjutnya adalah mekanisme untuk melakukan penyeimbangan
antara dua sisi kepentingan. Hal itu perlu ditransparasikan sebab
menyangkut segi ukuran obyektif pemberian keadilan secara
konsisten yang berkaitan dengan masalah kemandirian institusi
peradilan serta kebebasan hakim dalam memutus perkara. Untuk
mencapai tujuan tersebut selain beberapa asas sebagaimana
tersebut di atas, UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, juga menganut asas-asas sebagai berikut:
a. Asas Litis Domini
Bahwa peradilan tata usaha negara ingin mencapai
kebenaran yang benar; oleh karena itu hakim peradilan tata
usaha negara bersifat aktif, dan dapat menarik pihak ketiga
ke dalam perkara yang sedang berjalan.
187
b. Tidak ada gugat rekonvensi
Tergugat dalam peradilan tata usaha negara adalah
badan/pejabat tata usaha negara, sedang penggugat
adalah orang perorangan atau badan hukum perdata;
dengan demikian tidak dimungkinkan adanya gugat
rekonvensi dalam perkara tata usaha negara.
c. Tidak ada juru sita
Peradilan tata usaha negara tidak mengenal adanya sita
atas obyek sengketa, karena berupa keputusan tata usaha
negara. Konsekuensinya, dalam peradilan tata usaha
negara tidak dikenal juru sita melainkan panitera. Surat
panggilan sidangnya disampaikan oleh juru sita secara
langsung.
d. Panggilan sidang dengan surat tercatat (Pasal 64).
Panggilan sidang dalam peradilan tata usaha negara
dilakukan dengan surat tercatat. Ini berbeda dengan
peradilan perdata; yang disengketakan batal; dengan
demikian tidak perlu ada suatu eksekusi atas perkara itu
karena secara otomatis dinyatakan sudah batal.
e. Eksekusi otomatis (Pasal 116)
Obyek perkara dalam peradilan tata usaha negara adalah
menyangkut keputusan tertulis dari badan/pejabat tata
usaha negara. Putusan peradilan tata usaha negara dapat
menyatakan keputusan yang disengketakan batal; dengan
demikian tidak perlu ada suatu eksekusi atas perkara
karena secara otomatis dinyatakan batal.
f. Ada sifat tertutup.
Di dalam sidang peradilan tata usaha negara dikenal
adanya sidang tertutup, apabila menyangkut rahasia
negara.
g. Adanya acara cepat (Pasal 98), acara biasa (Pasal 70, 74,
75, 97, 100), acara singkat (Pasal 6).
h. Gugatan boleh disampaikan via pos.
Mahkamah Agung membolehkan gugatan disampaikan
melalui pos, setelah sampai di peradilan tata usaha negara
dicatat dalam buku pembantu, kemudian dihitung uang

188
mukanya dan setelah dikirim uang muka tersebut barulah
perkara diregister.
i. Penggugatnya orang perorangan/badan hukum perdata
(Pasal 53)
Penggugatnya dalam perkara adalah orang perorangan
atau badan hukum perdata sehingga tidak dikenal badan
hukum publik sebagai penggugat dalam perkara TUN.
j. Tergugatnya badan/pejabat tata usaha negara (Pasal 1
angka 6). Tergugat dalam sengketa tata usaha negara
adalah keputusan/penetapan tertulis yang dikeluarkan
badan/pejabat tata usaha negara.
k. Obyek gugatan keputusan/penetapnya tertulis (Pasal 1
angka 3).
l. Tenggang waktu menggugat 90 hari (Pasal 55)
Orang/badan hukum perdata yang dirugikan oleh suatu
keputusan/penetapan tertulis yang dikeluarkan badan/
pejabat tata usaha negara hanya dapat mengajukan
gugatan selama 90 hari sejak keputusan/penetapan
dikeluarkan, diterimanya atau diketahuinya. Lewat waktu
tersebut pengajuan gugatan menjadi daluarsa.
m. Dismissal proses (Pasal 62).
Di dalam peradilan tata usaha negara dikenal adanya
dismissal proses yaitu pemeriksaan administratif terhadap
suatu gugatan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
prinsip (asas) yang dianut oleh peradilan tata usaha negara
harus dipahami untuk memudahkan penanganan suatu perkara
peradilan tata usaha negara, baik sebagai penggugat maupun
sebagai tergugat; namun demikian, dalam hal sengketa tata
usaha negara tetap tidak boleh meninggalkan alasan-alasan yang
ada di dalam asas-asas umum pemerintahan yang baik.

189
12.2. Karakteristik Peradilan Administrasi
Ciri khas hukum acara peradilan tata usaha negara terletak
pada asas-asas hukum yang melandasinya, yaitu :
a. Asas praduga rechmatig (vermoeden van rechtmatigheid
=praesumptio iustae causa); asas ini mengandung makna
bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap
rechmatig sampai ada pembatalannya.
b. Asas pembuktian bebas; hakim yang menetapkan beban
pembuktian.
c. Asas keaktifan hakim (dominus litis); untuk mengimbangi
kedudukan para pihak karena tergugat adalah pejabat tata
usaha negara. Penggugat adalah orang atau badan hukum
perdata.
d. Asas putusan pengadilanmempunyai kekuatan mengikat
“erga omnes“. Sengketa tata usaha negara adalah
sengketa hukum publik; dengan demikian putusan
pengadilan tata usaha negara berlaku bagi siapa saja-tidak
hanya bagi para pihak yang bersengketa.
Peradilan tata usaha negara pada dasarnya menegakkan
hukum publik, yakni hukum administrasi sebagaimana ditegakkan
dalam Pasal 47 bahwa sengketa yang masuk kewenangan
peradilan tata usaha negara adalah sengketa tata usaha negara.
Peradilan tata usaha negara melalui UU Nomor 5 Tahun 1986
tidak hanya melindungi hak individu tetapi juga melindungi hak
masyarakat. Pasal-pasal yang menyangkut perlindungan hak-hak
masyarakat adalah Pasal 49, Pasal 55, dan Pasal 67.

190
12.3. Kompetensi Peradilan Administrasi
Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara terbagi atas
kompetensi absolut dan kompetensi relatif dengan uraian berikut:
a. Kompetensi Absolut
Thorbecke menjelaskan, berkaitan dengan kompetensi
peradilan tata usaha negara, bilamana pokok sengketa
(fundamentum petendi) terletak dilapangan hukum publik yang
berwenang memutuskan adalah hakim administrasi. Sebaliknya
menurut Buys, ukuran yang digunakan untuk menentukan
kewenangan mengadili hakim administrasi ialah pokok dalam
perselisihan (objectum litis). Bilamana yang dirugikan dalam hak
privatnya dan meminta ganti rugi (jadi objektum litis adalah hak)
privat, perkara harus diselesaikan hakim biasa. Kompetensi yang
dikemukakan Buys lebih sempit dibandingkan dengan kompetensi
Thorbecke. Menurut Buys walaupun pokok dalam perselisihannya
(obyectum litis) terletak di lapangan hukum publik, bila yang
dirugikan adalah hak privat sehingga perlu meminta ganti rugi,
maka yang berwenang mengadili adalah hakim biasa atau
pengadilan umum.87
Mengenai kewenangan mengadili dapat dibagi dalam
kekuasaan kehakiman atribusi (atributie van rechtsmacht) dan
kekuasaan kehakiman distribusi (distributie van rechtsmacht).
Atribusi kekuasaan kehakiman adalah kewenangan mutlak atau
kompetensi absolut ialah kewenangan badan keadilan didalam
memeriksa jenis perkara tertentu dan secara mutlak tidak dapat
diperiksa oleh badan pengadilan lain.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui kompetensi
peradilan tata usaha negara yang dianut Undang-Undang Nomor
5 tahun 1986 lebih sempit dibandingkan dengan kompetensi
peradilan tata usaha negara menurut Thorbacke dan Buys. Dalam
praktik, kompetensi absolut ini tergantung pada isi gugatan dan
nilai dari pada gugatan.

87
Muhjid M. Hoduir, 1985, Djoko Prakoso, 1988, dan Prins, 1978

191
Skema Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara

Pasal 47 sengketa TUN

Pasal 1.4 : timbul dari KTUN

KTUN ialah:
 Pasal 1.3
 Pengecualian (-) Pasal 2
 Pengecualian (+)Pasal 3

Berdasarkan skema di atas, dapat disimpulkan kompetensi


absolut peradilan tata usaha negara ialah memeriksa sengketa
tata usaha negara yang timbul sebagai akibat dikeluarkannya
keputusan tata usaha negara oleh badan atau pejabat tata usaha
negara kepada orang atau badan hukum perdata. Pasal 47
menentukan: peradilan bertugas dan berwenang memeriksa,
memutuskan dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara.
b. Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif (distribusi kekuasaan pengadilan
kewenangan nisbi) ialah bahwa sesuai asas “actor sequitur forum
rei” (yang berwenang adalah pengadilan tempat kedudukan
tergugat); dengan demikian pengadilan yang berwenang
mengadili sengketa tata usaha negara adalah peradilan tata
usaha negara yang daerah hukumnya tempat kedudukan
tergugat. Pasal 54 UU Nomor 5 tahun 1986 menentukan:
1. Gugatan sengketa tata usaha negara diajukan kepada
pengadilan yang berwenang; yang dimaksud dengan
“tempat kedudukan tergugat” adalah tempat kedudukan
secara nyata atau tempat kedudukan menurut hukum.
2. Apabila tergugat lebih dari satu badan atau pejabat tata
usaha negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah,
hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu badan
atau pejabat tata usaha negara.
192
3. Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam
daerah hukum pengadilan tempat kediaman tergugat, maka
gugatan diajukan kepengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman penggugat untuk selanjutnya
diteruskan kepada pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kedudukan tergugat berada di luar daerah
hukum pengadilan tempat kediaman pengugat; gugatan
dapat disampaikan kepada pengadilan tata usaha negara
tempat kediaman pengugat untuk diteruskan kepada
pengadilan yang bersangkutan. Tanggal diterimanya
gugatan oleh panitera pengadilan dianggap sebagai tanggal
diajukannya gugatan kepada pengadilan yang berwenang.
Panitera pengadilan berkewajiban memberikan petunjuk
secukupnya kepada penggugat mengenai gugatan penggugat.
Setelah gugatan ditandatangani penggugat, atau kuasanya,
atau dibubuhi cap jempol penggugat bagi yang tidak pandai baca
tulis dan dibayar uang muka biaya perkara, maka panitera yang
bersangkutan;
1. Mencatat gugatan tersebut dalam daftar perkara khusus itu.
2. Memberikan tanda bukti pembayaran uang muka biaya
perkara dan mencantumkan nomor register perkara yang
bersangkutan.
3. Meneruskan gugatan tersebut kepada pengadilan yang
bersangkutan.
4. Cara pengajuan gugatan di atas tidak mengurangi
kompetensi relatif pengadilan yang berwenang untuk
memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan gugatan
tersebut.
5. Dalam hal-hal tertentu sesuai sifat sengketa tata usaha
negara yang diatur dengan peraturan pemerintah, gugatan
dapat diajukan kepada pengadilan yang berwenang yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pengugat.
6. Apabila pengugat dan tergugat berkedudukan atau berada
di luar negeri gugatan diajukan kepada pengadilan di
Jakarta. Pengugat yang berada diluar negeri dapat
mengajukan gugatan dengan surat atau menunjuk seseorang
yang diberi kuasa yang berada di Indonesia.

193
7. Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan
penggugat di luar negeri, gugatan diajukan kepada
pengadilan ditempat kedudukan tergugat.
Mengingat ketentuan Pasal 54 tidak diubah atau tidak
diamandemen, maka tetap mengacu pada UU Nomor 5 tahun
1986.

194
BAB XIII
BEBERAPA
HASIL PENELITIAN

Tujuan Instruksional Umum


Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan
memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai hasil-hasil
penelitian hukum administrasi berdasarkan teori dan praktik.

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mempelajari buku teks ini peserta diharapkan:
1. Mengetahui dan memahami lebih mendalam mengenai
hukum administrasi dalam kasus Pembatalan Sertipikat
Hak Atas Tanah oleh Peradilan Tata Usaha Negara
dengan Alasan Cacat Wewenang
2. Mengetahui dan memahami lebih mendalam mengenai
hukum administrasi dalam kasus Pembatalan Sertipikat
Hak Atas Tanah oleh Peradilan Tata Usaha Negara
dengan Alasan Cacat Prosedur
3. Mengetahui dan memahami lebih mendalam mengenai
hukum administrasi dalam kasus Pembatalan Sertipikat
Hak Atas Tanah oleh Peradilan Tata Usaha Negara
dengan Alasan Cacat Subtansi

195
1. Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah oleh Peradilan Tata Usaha Negara
dengan Alasan Cacat Wewenang
Latar Belakang
Di dalam perkara ini badan atau pejabat tata usaha negara
adalah Badan Pertanahan Nasional yang menerbitkan sertipikat
hak milik tanah negara bekas hak eigendom berdasarkan
ketentuan konversi. Dalam rangka penegasan konversi maupun
pendaftaran hak miliknya adalah wewenang Kantor Pertanahan
setempat. Mengingat status tanah negara bekas hak eigendom,
seharusnya Kepala Kantor mempunyai wewenang dalam rangka
pendaftaran dan penerbitan sertipikat hak milik tersebut. Menurut
para penggugat tindakan atau perbuatan tergugat menerbitkan
sertipikat hak milik No. 295/Kps. kepada Sdr AJS bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni Pasal
53 ayat (2) huruf a UU No. 5 tahun 1986 dan tindakan tersebut
merupakan tindakan sewenang-wenang sebagaimana diatur
dalam ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf c UU No. 5 tahun 1986.
Tindak lanjut dari perkara ini adalah dikeluarkannya Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya dengan putusan No.
Reg. 01/G.TUN/1998/PTUN. SBY tanggal 15 September 1998,
dimana dalam amar pokoknya mengabulkan gugatan para
penggugat seluruhnya dengan menyatakan batal keputusan tata
usaha negara yang diterbitkan tergugat berupa sertipikat hak
tanah obyek sengketa dan terakhir beralih kepada pihak ketiga;
Memerintahkan kepada tergugat untuk mencabut sertipikat obyek
sengketa serta; memerintahkan tergugat untuk menyelesaikan
proses permohonan hak atas tanah negara dari penggugat dan
menerbitkan sertipikat haknya. Adanya pembatalan sertipikat hak
atas tanah yang berasal dari konversi bekas hak eigendom
menjadi hak milik oleh peradilan tata usaha negara dengan alasan
cacat wewenang ini menarik untuk diteliti; dengan menggunakan
metode penelitian normatif, isu hukum yang diajukan adalah:
1. Pertimbangan hukum hakim yang menjadi dasar yuridis
untuk memutuskan pembatalan keputusan tata usaha
negara yang berupa sertipikat hak atas tanah.
2. Ketentuan konversi bekas hak eigendom menjadi hak milik.
3. Wewenang badan atau pejabat tata usaha negara dalam
konversi hak eigendom menjadi hak milik.
196
Kerangka Pemikiran
Salah satu aspek utama sahnya suatu keputusan tata
usaha negara yang dikeluarkan badan atau pejabat tata usaha
negara adalah aspek wewenang; dengan kata lain, tindakan atau
perbuatan hukum badan atau pejabat tata usaha negara dalam
menerbitkan keputusan tata usaha negara sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dan berwenang untuk itu. 88 Makna arti
kompetensi atau wewenang secara umum dapat diartikan sebagai
suatu hak untuk bertindak atau suatu kekuasaan untuk membuat
keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab
kepada orang lain.89 Kewenangan adalah hak atau kekuasaan
yang dipunyai untuk melakukan sesuatu.90 Dalam pengertian
yuridis istilah wewenang atau kewenangan mempunyai makna
berbeda satu dengan yang lain. Wewenang adalah kemampuan
dalam arti “bevoegdheid atau competence”, sedangkan
kewenangan adalah kekuasaan atau “authority; gezag atau
yuridiksi”. Istilah kekuasaan itu sendiri bisa diartikan lain sebagai
“power”; “macht”; “pouvoir”, “puissance” (Perancis) yang artinya
secara sosiologis sebagai kemampuan untuk mempengaruhi
pihak lain agar mengikuti kehendaknya, baik secara sukarela
maupun dengan paksaan.91 Pada hakekatnya kekuasaan
mempunyai sifat netral, baik buruknya kekuasaan tergantung
kepada cara dan tujuan penggunaannya. Kekuasaan bisa
bersumber dari hukum, kekuatan (force), uang, kejujuran,
kharisma, moral dan senjata. Dalam Black’s Laws sebagai suatu
competence the capacity of an official body to do something.92
Dalam kerangka negara hukum setiap tindakan atau perbuatan
hukum yang dilakukan badan atau pejabat tata usaha negara
harus berdasarkan hokum; artinya bahwa semua tindakan badan
atau pejabat tata usaha negara harus berlandaskan pada
peraturan perundangan yang berlaku (asas legalitas). Peraturan

88
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum,
Gadjah Mada University Press, Jogjakarta, 2006, h. 83.
89
Departemen Pendidikan Nasional, h. 1272.
90
Ibid.
91
Surjono Sukanto, Sosiologis suatu pengantar, Rajawali, Jakarta,
1989, h.241.
92
Dalam Bryan A. Garner, Ed, h. 127.
197
perundang-undangan melahirkan wewenang atau sumber hukum
perbuatan atau tindakan badan atau pejabat tata usaha negara.
Hubungan negara hukum dengan asas legalitas oleh Philipus M
Hadjon93 dijelaskan: dalam negara hukum apabila penguasa ingin
meletakkan kewajiban di atas warga (masyarakat), wewenang itu
harus ditemukan dalam suatu undang-undang. Di dalamnya
merupakan suatu legitimasi yang demokratis; dengan kata lain
konsekuensi dari negara hukum adalah adanya asas “legalitas”
atau “rechtmatige van bestuur” artinya, semua tindakan yang
dilakukan badan atau pejabat tata usaha negara harus ada dasar
atau payung hukumnya yang melindungi tindakan tersebut.
Apabila tidak ada, maka tindakan tersebut dikategorikan sebagai
“tindakan tidak berdasarkan hukum artinya sewenang-wenang”. Di
dalam hukum ada beberapa sumber atau cara-cara tertentu yang
melahirkan wewenang yang dapat diperoleh badan atau pejabat
tata usaha negara yakni: atribusi (attribute competence), delegasi
(delegated competence) dan mandat (mandate competence).
Atribusi (attribute competence) merupakan sumber wewenang
yang diberikan oleh hukum (peraturan perundang-undangan)
pada lembaga (pemerintahan) yang sebelumnya tidak dipunyai.
Berdasarkan atribusi, badan atau pejabat tata usaha negara dapat
melakukan tindakan hukum; dengan kata lain atribusi merupakan
wewenang baru yang sebelumnya tidak ada atau belum dimiliki
oleh pemerintah. Wewenang yang diperoleh menjadikan tindakan
pemerintah sah dan mempunyai kekuatan mengikat umum karena
telah memperoleh persetujuan dari rakyat melalui wakilnya yang
kemudian dijabarkan dalam berbagai peraturan perundang-
undangan baik ditingkat pusat maupun tingkat daerah. Delegasi
merupakan pelimpahan wewenang yang dipunyai berdasarkan
atribusi kepada badan atau pejabat tata usaha negara yang lain.
Dilihat dari segi prosedur pelimpahannya, pelimpahan wewenang
terjadi dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintah
yang lain atas dasar peraturan perundang-undangan. Delegasi
selalu didahului adanya atribusi wewenang. Mandat, merupakan
pelimpahan wewenang berdasarkan peraturan perundang-
undangan dari badan atau pejabat tata usaha negara yang satu

93
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,
Gadjah Mada University Press, Jogjakarta, 1997, h. 130.
198
kepada badan atau pejabat tata usaha negara yang lain dalam
satu lingkungan dimana pelimpahan wewenang diperoleh
berdasarkan pelimpahan wewenang pendelegasian atributif.
Wewenang atributif dan delegasi mempunyai kedudukan yang
sangat penting untuk mengetahui badan atau pejabat tata usaha
negara pada saat mengeluarkan keputusan tata usaha negara
berdasarkan pada wewenang pendelegasian yang sah; yang
berarti keputusan yang dikeluarkan badan atau pejabat tata usaha
negara menjadi sah pula. Apabila terdapat kekurangan pada
wewenang yang menjadi dasarnya, dapat menjadi dasar bagi
peradilan tata usaha negara dalam batas wewenangnya untuk
mengeluarkan putusan pembatalan keputusan tata usaha negara.
Analisis Hukum
Kasus perkara konversi hak eigendom menjadi hak milik
sertipikat Hak Milik Nomor 295/Kapasan
Sumber data yang menjadi dasar analisis adalah kasus
sengketa antara Sdr. HT, dkk (89 orang) sebagai penggugat
melawan Kantor Pertanahan Kota Surabaya sebagai tergugat;
dan atas dasar dikeluarkannya putusan PTUN (PengadilanTata
Usaha Negara) Surabaya No.Reg.01/GTUN/1998/ PTUN.SBY
tanggal 15 September 1998; PTTUN (Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara) Surabaya No. Reg. 10/B. TUN/1999/PT.TUN. SBY
tanggal 22 Maret 1999; Putusan MARI (Mahkamah Agung
Republik Indonesia) No. reg. 167K/TUN/1999 tanggal 25
Nopember 1999; dan PK (Peninjauan Kembali) No. Reg. 60. PK/
TUN/2000 tanggal 26 maret 2002; Obyek sengketa adalah
sertipikat hak milik No. 295/Kel. Kps, atas nama AJS.
Posisi Kasus
Para penggugat mendalilkan bahwa mereka adalah
penghuni dan mendiami perkampungan Kps gang III Kecamatan
Smkrt Surabaya secara turun temurun sejak tahun 1893 pada
masa pemerintahan Hindia Belanda. Menurut pendapat mereka,
lokasi tanah yang didiami dan dihuni merupakan tanah berstatus
tanah negara bekas eigendom verponding No. 4644. Hal ini
dikuatkan keterangan Lurah Kps dan Surat Keterangan
Pendaftaran Tanah (SKPT) yang dikeluarkan Kantor Pertanahan
Kota Surabaya atas permohonan penggugat yang isinya
mengenai status tanah obyek sengketa tersebut merupakan tanah
199
dengan status tanah negara. Menurut dalil para penggugat proses
pengajuan permohonan hak milik atas tanah kepada tergugat
untuk menerbitkan sertipikat hak milik atas tanah yang dihuni atau
didiami tersebut sudah memenuhi persyaratan dan kewajiban
yang ditentukan. Sebelum proses permohonan pendaftaran hak
milik atas tanah terselesaikan (10 tahun dalam proses di tempat
tergugat) mereka mendapat panggilan dari pengadilan negeri
dalam kedudukan selaku tergugat di dalam kasus perkara perdata
dengan penggugatnya Sdr AJS selaku pemegang sertipikat hak
milik No. 295/Kps; dengan kata lain para penggugat baru tahu jika
obyek sengketa yang dihuni sudah terbit sertipikat pada saat
adanya panggilan oleh pengadilan negeri.
Menurut para penggugat tindakan atau perbuatan tergugat
bertentangan dengan peraturan peraturan perundang-undangan
yang berlaku yakni Pasal 53 ayat (2) huruf a UU No. 5 tahun 1986
dan tindakan tersebut merupakan tindakan sewenang-wenang
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf c UU
No. 5 tahun 1986. Sehingga dalam petitum gugatannya agar
pengadilan menyatakan sertipikat hak milik yang dikeluarkan
tergugat tidak sah dan batal demi hukum dan memerintahkan
tergugat mencabut sertipikat hak milik serta memerintahkan
tergugat untuk memproses dan menerbitkan sertipikat hak milik
atas nama para penggugat yang telah mendaftarkan tanahnya
sesuai permohonan yang diajukan pada tahun 1987;
Pertimbangan hukum Pengadilan Tata Usaha Negara
Surabaya pada pokoknya dalam kasus sengketa ini berpendapat
bahwa landasan hukum dalam penerbitan sertipikat berasal dari
bekas hak eigendom tersebut seharusnya tidak berdasarkan pada
ketentuan konversi menjadi hak milik pada tahun 1960 sebagai
mana diatur dalam ketentuan-ketentuan konversi Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1960 beserta peraturan pelaksanaannya. Adapun
fakta materiel yang ditemukan dalam pengadilan sebagai berikut:
Pertama, bahwa berdasarkan penelitian majelis hakim akta
Nomor 457 tersebut bukan cacatan penegasan konversi hak
eigendom yang dikonversikan menjadi hak milik oleh Kepala
Kantor Pendaftaran Tanah (KKPT) Surabaya (Pasal 3 PMA 2
tahun 1960), akan tetapi merupakan akta peralihan hak. Hal ini
dapat diketahui dari isinya masih menunjuk pada akta eigendom

200
tertentu tertulis atas nama pemilik asal. Apabila merupakan akta
eigendom dan pemegang haknya merupakan WNI tunggal maka
berdasarkan Pasal 3 PMA Nomor 2 tahun 1960 baik didalam
minut atau grosse aktenya akan dibubuhi catatan konversi, namun
di dalam akta tersebut tidak ada catatan tersebut; Kedua, apabila
hak eigendom tersebut merupakan hak barat yang belum diganti
menurut S. 1948–54 (ordonantie noodvoorzieningen), konversinya
menjadi hak milik menurut UUPA dilaksanakan oleh KKPT atas
permohonan pemegang haknya dengan membuat buku tanah dan
diberikan sertipikatnya (PP Nomor 10 tahun 1961 jo Pasal 1 dan 2
PMA 13 tahun 1961) atas nama KRH Abd, namun ternyata tidak
ada. Apabila aktanya tidak ada, yang bersangkutan dapat
mengajukan permohonan kepada Menteri Agraria untuk mendapat
pengakuan haknya yang dimohon konversinya (Pasal 4 ayat 1);
Ketiga, menurut majelis hakim, tanah obyek sengketa dengan
membandingkan surat ukur Nomor 457 tanggal 27 Nopember
1896 merupakan bekas tanah partikelir yang dihapus Belanda dan
tahun 1958 menjadi tanah yang dikuasai negara berdasarkan UU
Nomor 1 tahun 1958 tentang penghapusan tanah-tanah partikelir;
Keempat, bahwa dengan tidak ditariknya atau dibatalkannya
Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) oleh tergugat pada
saat tergugat menerbitkan sertipikat hak milik Nomor 295/Kps
tertanggal 8 Mei 1991 menunjukkan tidak adanya penegasan
konversi hak eigendom verponding Nomor 4644 menjadi hak milik
menurut ketentuan UUPA karena status tanah sejak semula
adalah tanah yang dikuasai negara; Kelima, dengan penerbitan
sertipikat hak milik atas nama KRH Abd dan dibalik nama kepada
AJS yang dilakukan oleh tergugat, sesungguhnya tergugat telah
melakukan tindakan yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Tidak ditariknya SKPT Nomor
1587/ 1987 oleh tergugat pada saat menerbitkan sertipikat hak
milik sedangkan sebelumnya para penggugat telah mengajukan
permohonan hak atas tanah negara kepada tergugat dengan
memenuhi semua persyaratannya, maka sesungguhnya tergugat
telah berbuat sewenang-wenang karena melanggar asas-asas
umum pemerintahan yang baik (AAUPB) khususnya asas
kepercayaan, kecermatan dan kepastian hukum;

201
Atas dasar pertimbangan hukum tersebut maka gugatan
para penggugat dikabulkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara
Surabaya dengan putusan No. Reg. 01/G.TUN/1998/PTUN. SBY
tanggal 15 September 1998; dalam amar putusannya pada
pokoknya mengabulkan gugatan para penggugat seluruhnya
dengan menyatakan batal keputusan tata usaha negara yang
diterbitkan tergugat berupa sertipikat hak tanah obyek sengketa
dan terakhir beralih kepada pihak ketiga; memerintahkan kepada
tergugat untuk mencabut sertipikat obyek sengketa serta;
memerintahkan kepada tergugat untuk menyelesaikan proses
permohonan hak atas tanah negara dari penggugat dan
menerbitkan sertipikat haknya.
Putusan pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya
dibatalkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di Surabaya
dengan alasan bahwa pengajuan gugatan oleh para penggugat
telah lewat waktu yang ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan sesuai putusan PTTUN No.Reg.10/B.TUN/1999/
PTTUN. Sby. tanggal 22 maret 1999.
Dalam tingkat Kasasi Mahkamah Agung berpendapat sama
dengan pengadilan tata usaha negara, dalam putusan MARI No.
Reg. 167.K/TUN/1999 tanggal 25 Nopember 1999, amar
putusannya: menyatakan batal dan memerintahkan kepada
tergugat untuk mencabut sertipikat hak milik tersebut serta;
memerintahkan kepada tergugat untuk menyelesaikan proses
permohonan hak atas tanah negara dari para penggugat dan
menerbitkan sertipikat haknya.
Demikian juga dalam putusan Peninjauan Kembali,
Putusan PK MARI No. 60 PK/TUN/2000, tanggal Maret 2002,
amar putusannya “menolak permohonan PK dari tergugat asal”.
Ketentuan konversi bekas hak eigendom menjadi hak milik
Lembaga konversi yang diatur di dalam UUPA pada
hakekatnya merupakan bentuk dari pengakuan negara terhadap
hak kepemilikan atas tanah yang telah ada untuk mewujudkan
unifikasi, kesederhaan, kesatuan dan kepastian hukum hak atas
tanah dalam menyelenggarakan pendaftaran tanah yang bersifat
“recht kadaster” bagi hak–hak atas tanah-tanah, sebagaimana
ketentuan Pasal 19 UUPA. Konversi, pada asasnya adalah untuk
mengkontruksi ulang hak atas tanah yang telah ada sebelumnya
202
baik menurut hukum barat maupun hukum adat diubah dan
disesuaikan dengan jenis atau macam-macam hak atas tanah
baru yang diciptakan UUPA; dengan kata lain bahwa hak-hak atas
tanah memberikan wewenang yang sama atau hampir sama
dengan suatu hak baru oleh UUPA, maka hak atas tanah tersebut
dikonversi menjadi hak atas tanah yang baru.
Berdasarkan ketentuan konversi,94 UUPA hak atas tanah
yang ada sebelumnya dikonversi menjadi hak atas tanah yang
baru yakni; pertama, hak eigendom, agrarisch eigendom, hak
milik (adat), yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe
desa, pesini, grant sultan, landerijen bezitrecht, altijddurende
erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir, hak gogolan yang
bersifat tetap, wewenang nganggo run temurun, dikonversi
menjadi hak milik (UUPA); kedua, hak erfpacht untuk perkebunan
besar dikonversi menjadi Hak Guna Usaha; ketiga, hak Opstal
dan hak Erfpacht untuk perumahan, dikonversi menjadi Hak Guna
Bangunan; keempat, vruchtgebruik, gebruik, grant controleur,
bruiken, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh,
pituwas, gogolan yang bersifat tidak tetap, hak eigendom
kepunyaan negara asing yang dipergunakan untuk gedung
kedutaan atau rumah kepala perwakilan dikonversi menjadi hak
pakai.

94
Konsep konversi (conversie, conversion) di dalam hukum merupakan
perubahan atau penyesuaian atau penegasan atau penggantian yang bertujuan
untuk menyeragamkan atau unifikasi dibidang hukum tertentu. Boedi Harsono
menyebutkan konversi itu berarti penggantian atau perubahan dan keputusan
konversi disebut “beschikking convertie”. Boedi Harsono, Op. cit, h. 93; lihat pula,
Effendi Perangin-angin, Hukum Agraria Indonesia, CV. Rajawali, Jakarta, 1989,
h. 145; pada zaman pemerintahan Hindia Belanda pernah dilakukan tindakan
konversi terhadap hak atas tanah yang tunduk hukum adat termasuk didalamnya
adalah hak ulayat dari lingkungan masyarakat hukum adat dikonversi dan
ditundukkan kepada suatu ketentuan yang baru yang mirip dengan hak atas tanah
hukum perdatanya Hindia Belanda yakni hak yang mirip dengan hak eigendom
menurut BW). Untuk tanah-tanah adat dengan hak perorangan atau pribadi yang
mereka sebut “individueel erfelijke bezitsrecht” dapat dikonversikan menjadi hak
atas tanah yang dinamakan “agraris eigendom” dengan mengajukan permohonan
kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat; demikian juga hak ulayat dikonversi
menjadi “agrarisch eigendomsrecht”. Konversi ini dengan persyaratan dan
kewajiban yang harus dipenuhi untuk mendapatkannya. Lihat, AP. Parlindungan,
Konversi Hak-hak Atas Tanah, Mandar Maju, Bandung, 1990, h.3.
203
Pada asasnya, konversi hak atas tanah yang lama (hak
barat atau adat) menjadi suatu hak atas tanah yang baru “karena
hukum” (van rechtswege). Artinya bahwa adanya suatu tindakan
atau perbuatan hukum tertentu dari badan atau pejabat tata usaha
negara mengenai hak atas tanah berubah atau disesuaikan
dengan ketentuan hukum hak atas tanah yang baru, sudah terjadi
konversi dengan sendirinya. Contoh: hak erfpacht perusahaan
perkebunan besar sejak tanggal 24 september 1960 menjadi Hak
Guna Usaha, dengan jangka waktu selama-lamanya 20 tahun.
Meskipun demikian perubahan hak atas tanah yang konversi
“karena hukum” ini baru akan terjadi melalui suatu proses tertentu
dari badan atau pejabat tata usaha negara yang merupakan
pernyataan penegasan. Pernyataan penegasan baru dapat
dilakukan apabila pemegang hak atas tanah telah memenuhi
syarat–syarat tertentu yang harus dipenuhi dalam jangka waktu
tertentu. Tindakan atau perbuatan hukum berupa pernyataan
penegasan dari badan atau pejabat tata usaha negara dalam ilmu
hukum disebut penetapan atau keputusan bersifat “deklaratur”
(declaratoir). Pada prinsipnya di dalam ketetapan atau keputusan
deklaratur yang dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha
negara mempunyai karakter hukum yang bersifat menegaskan
suatu keadaan hukum yang sudah ada. Artinya menegaskan hak
atas tanah yang dikonversi karena pemegang haknya memenuhi
persyaratan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan,
bukan membuat hukum baru yang sebelumnya tidak ada.
Exsistensi dari hak atas tanah memang sudah ada. Karakter
hukum penegasan hak atas tanah yang bersifat deklaratif ini
secara konsisten hanya terjadi terhadap konversi bekas tanah-
tanah yang tunduk kepada hukum adat (hak atas tanah adat),
untuk konversi hak atas tanah bekas hak barat (BW) berdasarkan
peraturan perundang-undangan konversi mempunyai perlakuan
yang agak berbeda. Apabila persyaratan tidak dipenuhi dalam
jangka waktu tertentu maka mempunyai akibat hukum terhadap
obyek hak atas tanah yang dikonversi.
Beberapa kemungkinan akan terjadi apabila pemegang
haknya tidak memenuhi syarat dan mendaftarkan haknya dalam
jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh peraturan perundang-
undangan; pertama, bagi subyek pemegang hak atas tanah yang

204
tidak memenuhi syarat yang ditentukan maka hak atas tanahnya
akan mengalami perubahan terhadap hak atas tanah yang
dipegangnya. Contoh: hak eigendom karena hukum menjadi hak
milik, namun karena subyek pemegang haknya tidak memenuhi
syarat yang ditentukan bagi pemegang hak milik maka haknya
akan berubah menjadi Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai;
kedua, apabila subyek pemegang haknya bukan warga negara
Indonesia maka hak milik atas tanah akan hapus dan tanahnya
akan dikuasai negara (tanah negara); ketiga, apabila pemegang
hak atas tanah tidak mendaftarkan pada waktu yang ditentukan
dimungkinkan hak tersebut akan berubah dan bahkan hapus
menjadi tanah yang dikuasai negara. Ketentuan konversi hak atas
tanah bekas hak barat yang sebelumnya tunduk kepada hukum
BW, diatur dalam PMA (Peraturan Menteri Agraria) No. 2 tahun
1960 (TLN. No. 2086), tentang Pelaksanaan beberapa ketentuan
Undang-Undang Pokok Agraria. Untuk tanah bekas hak adat dan
sejenis diatur dalam PMA No. 2 tahun 1962 (TLN No. 2508)
tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran bekas Hak-Hak
Indonesia.
Isu hukum: bagaimana mengetahui bahwa pemegangnya
WNI, dan persyaratan yang harus dipenuhi pemegang hak milik
atas tanah, meskipun diketahui bahwa konversi kepada hak atas
tanah yang baru berdasarkan UUPA adalah “karena hukum” dan
bagaimana upaya pencatatan atau pendaftaran haknya serta alat
bukti hak atas tanah.
Berkaitan dengan hak eigendom perorangan, di dalam
Pasal 1 ayat (1) Ketentuan Konversi UUPA :
Hak eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya
undang-undang ini sejak saat tersebut menjadi hak milik,
kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat
sebagai yang disebut dalam Pasal 21.
Ada dua muatan ketentuan Pasal 1 ayat (1) ini, dimana
keduanya saling kait mengait satu sama lainnya antara obyek dan
subyek haknya bahwa hak eigendom atas tanah karena hukum
dikonversi menjadi hak milik tanggal 24 september 1960 sejak
berlakunya UUPA apabila subyek dari pemegang memenuhi
syarat WNI (Warga Negara Indonesia) tunggal bukan orang asing.
Bila terpenuhi hubungan hukum antara subyek dan obyeknya,
205
masih ada satu kewajiban yang harus dilakukan oleh mereka yaitu
mencatatkan atau mendaftarkan hak tersebut untuk mendapatkan
tanda bukti hak yang baru berupa sertipikat hak milik (lihat Pasal
19 UUPA), dengan tata usaha administrasi pendaftaran hak atas
tanah yang diatur dalam PP No. 10 tahun 1961 jo PP No. 24
tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Untuk mengetahui penjabaran lebih lanjut mengenai
persyaratan pemegang hak eigendom yang dikonversi menjadi
hak milik sebagaimana diatur dalam Pasal I Konversi UUPA dan
Pasal 21 UUPA, dan tata usaha pencatatan atau pendaftaran
yang diatur dalam PMA No. 2 tahun 1960 (TLN No. 2086) tentang
Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Undang-Undang Pokok
Agraria. Peraturan ini ditetapkan tanggal 10 Oktober 1961, namun
ikatan hukum keberlakuannya “surut” sejak tanggal 24 september
1960. Persyaratan bagi pemegang hak eigendom (perorangan)
yang dapat dikonversi menjadi hak milik berdasarkan UUPA, di
dalam Peraturan Menteri Agraria ditetapkan: pada prinsipnya bagi
mereka yang dapat menunjukkan bukti kewarganegaraan
Indonesia tunggal (WNI tunggal) pada tanggal 24 september
1960 dan merupakan pemegang hak eigendom maka haknya
akan dikonversi menjadi hak milik. Secara administrasi konversi
hak eigendomnya menjadi hak milik akan dicatat oleh KKPT
(Kepala Kantor Pendaftaran Tanah) setempat pada akta asli atau
salinan (grosse) akta eigendomnya. Hal ini ditetapkan dalam
Pasal 3 Peraturan Menteri Agraria No. 2 tahun 1960:
Hak-hak eigendom yang pemiliknya berkewarganegaraan
Indonesia tunggal dicacat oleh KKPT (Kepala Kantor
Pendaftaran Tanah), baik pada aslinya maupun pada
grosse aktenya sebagai telah dikonversi menjadi hak milik.
Berdasarkan ketetapan Pasal 3 ini, ketetapan atau
keputusan penegasan perubahan hak eigendom menjadi hak milik
yang dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha negara dalam
hal ini KKPT setempat diwujudkan dengan pencatatan perubahan
tersebut dalam minuut atau grosse akta eigendom dengan bentuk
yang diatur dalam Pasal 18 PMA Nomor 2 tahun 1960, sebagai
berikut:

206
pencatatan konversi oleh KKPT dimaksud dalam pasal di
atas dilaksanakan dengan membubuhkan keterangan
dengan kata-kata sebagai berikut:
“berdasarkan pasal … ayat… ketentuan-ketentuan konversi
undang-undang pokok agraria dikonversi menjadi: hak …….
(isi: milik, guna usaha atau pakai), dengan jangka waktu...”

………….., tanggal…………….....

Kepala Kantor Pendaftaran Tanah


(tanda tangan dan cap jabatan)
Pencatatan penegasan konversi hak eigendom menjadi hak
milik dilakukan di dalam minuut/grosse akta eigendom; persoalan
hukumnya adalah bagaimana jika akta eigendom tersebut karena
sesuatu kejadian hilang. Dalam persoalan ini oleh KKPT konversi
ditangguhkan sampai ada ketentuan lebih lanjut dari Menteri
Agraria. Di dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 tahun 1960
(TLN No. 2142) tentang Penambahan Ketentuan Peraturan
Menteri Agraria Nomor 2 tahun 1960, menambahkan satu ayat
dalam Pasal 5 PMA Nomor 2 tahun 1960 yang menjadi ayat (2):
pencatatan konversi hak-hak eigendom yang aktanya pada
tanggal 24 september 1960 belum diganti menurut
ordonantie noodvoorzieningen (S. 1948-54) menjadi hak
milik atau hak guna bangunan ditangguhkan sampai ada
ketentuan lebih lanjut dari menteri agraria. Hak eigendom
itu akan dikonversi menjadi hak milik jika dipunyai oleh
pihak yang memenuhi syarat untuk menjadi pemilik dan
dipenuhi pula kewajiban yang disebut dalam Pasal 2; 95

95
Di dalam pasal tersebut disebutkan ordonantie noodvoorziening
overschrijving en teboekstelling (S. 1948 – 54). Peraturan ini merupakan peraturan
yang dikeluarkan pada masa kemerdekaan yang bertujuan untuk menggantikan
surat-surat hak tanah yang terdaftar menurut ketentuan BW yang hilang dimasa
kemerdekaan. Tata caranya mereka yang kehilangan surat-surat bukti hak
tersebut mengajukan kepada Pengadilan Negeri setempat dan dengan keputusan
Pengadilan negeri tersebut akan memerintahkan Kepala Kantor Pendaftaran
setempat untuk menerbitkan akta kedua; namun dengan berlakunya UUPA tidak
diberlakukan lagi. (lihat Surat edaran Departemen Agraria tanggal 26 Desember
1960, No. 1/8/19) lihat pula Komentar AP Parlindungan, Op.cit. h. 14.
207
Berkaitan dengan tanda bukti yang hilang, dalam Peraturan
Menteri Agraria Nomor 13 tahun 1961 (TLN. No. 2345) tentang
Pelaksanaan Konversi hak eigendom dan hak-hak lainnya yang
aktanya belum diganti. Di dalamnya merupakan jawaban atas alat
bukti hak (akta eigendom) yang hilang dengan mengajukan
permohonan penggantian alat bukti kepada Kepala Kantor
Pendaftaran Tanah. Hal ini merupakan penyelesaian hukum
karena dicabutnya ordonantie noodvoorziening overschrijving en
te boektelling (S. 1948-54) oleh UUPA. Bagi mereka yang
kehilangan bukti hak, untuk mendapatkan tanda bukti pengganti
dari Kantor Pendaftaran Tanah, ada dua kemungkinan yang
dilakukan oleh KKPT yaitu; pertama, atas permohonan tersebut
oleh KKPT dibuatkan buku tanah baru sebagaimana diatur dalam
PP No. 10 tahun 1961, dimana untuk Jawa dan Madura
diberlakukan pada tanggal 24 september 1961 dan untuk daerah
lain dimulai pada tanggal 1 Nopember 1961; dengan catatan
adanya keyakinan dari KKPT mengenai hak eigendom yang
dimohon penggantian dan konversinya terdapat cukup keterangan
yang dapat mendukung data obyek dan subyeknya dan
selanjutnya kepada yang berhak diberikan sertipikat hak yang
dikeluarkan KKPT. Ketetapan Pasal 1 dan 2 PMA 13 tahun 1961:
1. konversi hak eigendom atas tanah yang aktanya belum
diganti berdasarkan “ordonantie noodzieningen
overschrijving en teboektelling 1948 ( S. 1848-54)
menjadi salah satu hak menurut undang-undang pokok
agraria, dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pendaftaran
yang bersangkutan (selanjutnya disebut: KKPT), atas
permohonan yang berkepentingan, dengan membuat
buku tanah daripada haknya yang baru, menurut
ketentuan-ketentuan PP No. 10 tahun 1961 tentang
pendaftaran tanah (LN. 1961-28);
2. pembuatan buku tanah yang dimaksud dalam ayat 1
pasal ini dapat dilakukan:
a. untuk Jawa dan Madura sejak tanggal 24
September 1961, dan
b. untuk daerah-daerah lain sejak tanggal 1
Nopember 1961
Selanjutnya di dalam Pasal 2 ketentuan ini :
208
1. jika menurut pendapat KKPT, mengenai hak eigendom
yang dimohon konversi itu terdapat cukup keterangan
otentik, yang membuktikan keadaan hak tersebut,
demikian pula tanahnya yang empunya, maka
pembuatan buku tanah yang dimaksudkan dalam pasal
1 dapat segera dilakukan oleh KKPT;
2. kepada yang berhak diberikan sertipikat;
Kedua, jika menurut badan atau pejabat tata usaha negara
(KKPT) tidak cukup keterangan bukti-bukti yang mendukung maka
oleh KKPT diadakan pengumuman selama 2 bulan di dua mass
media. Setelah berakhir dan tidak adanya sanggahan dari pihak
lain yang berkepentingan maka tindakan hukum badan atau
pejabat tata usaha negara mengeluarkan buku tanah dan
sertipikatnya. Hal ini sesuai dengan ketetapan Pasal 3 ayat (1), (2)
dan (3) Peraturan Menteri Agraria No. 13 tahun 1961.
1.Jika menurut pendapat KKPT tidak terdapat cukup
keterangan otentik, sebagai yang dimaksudkan dalam
pasal 2 maka oleh KKPT diadakan pengumuman
mengenai permohonan konversi itu di dalam 2 surat
kabar yang tersiar didaerah yang bersangkutan.
pengumuman itu diulangi, sebulan setelah tanggal
pengumumannya yang pertama. Biaya pengumuman
tersebut dibayar oleh pemohon yang dimaksudkan
dalam Pasal 1.
2.Di dalam waktu 2 bulan sejak tanggal pengumuman yang
pertama, sebagai yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal
ini, maka yang berkepentingan dapat mengajukan
keberatan kepada KKPT disampaikan secara tertulis
dengan disertai alasan-alasannya;
3.Jika setelah jangka waktu tersebut pada ayat 2 pasal ini
ada diajukan keberatan ataupun keberatan yang
diajukan menurut pendapat KKPT tidak beralasan, maka
KKPT bertindak sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2;
Ketiga, apabila pada saat di dalam pengumuman atas
permohonan dimaksud ternyata ada sanggahan atau bantahan
dari pihak yang berkepentingan maka tindakan badan atau
pejabat tata usaha negara menangguhkan penyelesaian
209
permohonan tersebut. Hal tersebut ditetapkan dalam Pasal 3 ayat
(4) Peraturan Menteri Agraria No. 13 tahun 1961:
Jika di dalam jangka waktu tersebut ayat 2 pasal ini ada
yang mengajukan keberatan, yang menurut pendapat KKPT
cukup beralasan, maka KKPT tidak akan membuat buku
tanahnya, sebagai yang dimaksudkan dalam pasal 1,
sebelum soalnya diselesaikan oleh yang berkepentingan.
Jika soalnya diajukan oleh yang berkepentingan pada
pengadilan untuk mendapat keputusan, maka buku tanah
tersebut baru dibuatnya setelah diterimanya keputusan
pengadilan, yang mempunyai kekuatan untuk dijalankan;
Keempat, apabila tidak ada keterangan apapun yang dapat
dipakai bagi pihak yang mengajukan permohonan konversi atas
hak miliknya tetap saja dapat diajukan maka tindakan badan atau
pejabat tata usaha negara atas permohonan tersebut mengajukan
kepada Menteri Agraria guna mendapatkan pengakuan hak
setelah dilakukan pemeriksaan tanah oleh Panitia Pemeriksaan
Tanah (Keputusan Menteri Agraria No. SK. 113/Ka/196) dari
Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan. Hal tersebut sesuai
dengan ketetapan Pasal 4 PMA No. 13 tahun 1961:
1.jika menurut pendapat KKPT tidak terdapat keterangan
yang dapat dipakai sebagai dasar untuk melakukan
konversi yang dimohon itu maka oleh KKPT yang
berkepentingan dipersilahkan mengajukan permohonan
kepada menteri agraria untuk mendapat pengakuan
mengenai haknya yang dimohonkan konversi itu;
2.menteri agraria memberi keputusan mengenai
permohonan pengakuan hak, sebagai dimaksudkan di
dalam ayat 1 pasal ini, setelah mendengar pertimbangan
Panitia Pemeriksaan Tanah tersebut pada pasal 1
Keputusan Menteri Agraria No. SK.113/Ka/ 1961 tentang
Panitia-panitia Pemeriksaan Tanah dan Kepala Inspeksi
Agraria yang bersangkutan;
Permasalahan berhubungan dengan kewarganegaraan
Indonesia yang merupakan penentu apakah hak eigendom
tersebut dapat dikonversi menjadi hak milik sebagaimana diatur
dalam Pasal 21 UUPA. Pada prinsipnya bahwa hak eigendom
dikonversi menjadi hak milik apabila subyek pemegang haknya
210
adalah WNI tunggal, persoalannya sejak kapan mereka harus
membuktikan kewarganegaraannya. Hukum mengatur bahwa,
apabila dalam jangka waktu 6 bulan tidak dapat membuktikan
WNI tunggal maka akibat hukumnya obyek tersebut dikonversi
menjadi Hak Guna Bangunan dengan jangka waktu 20 tahun (lihat
pasal 4 PMA No. 2 tahun 1960). Di dalam pasal 2 PMA No. 2
tahun 1960 ditetapkan:
1.Orang-orang Warga Negara Indonesia yang pada tanggal
24 september 1960 berkewarganegaraan tunggal dan
mempunyai tanah dengan hak eigendom di dalam waktu
6 bulan sejak tanggal tersebut wajib datang pada Kepala
Kantor Pendaftaran Tanah (KKPT) yang bersangkutan
untuk memberikan ketegasan mengenai
kewarganegaraannya itu;
2.Bagi orang-orang Warga Negara Indonesia keturunan
asing penegasan mengenai kewarganegaraannya harus
dibuktikan dengan kewarganegaraan menurut Peraturan
Pemerintah No. 20 tahun 1959, Pasal IV Peraturan
Penutup dari Undang-Undang No. 62 tahun 1953 atau
bukti lainnya yang sah. Bagi orang-orang warga Negara
Indonesia lain cara pembuktian kewarganegaraannya
diserahkan kepada kebijaksanaan KKPT.
Di dalam asal 4 ditetapkan:
Hak-hak eigendom yang setelah jangka waktu 6 bulan
tersebut pada pasal 2 lampau pemiliknya tidak datang pada
KKPT atau yang pemiliknya tidak dapat membuktikan
bahwa berkewarganegaraan Indonesia tunggal, oleh KKPT
dicatat pada asli aktanya dan dikonversi menjadi hak guna
bangunan, dengan jangka waktu 20 tahun;
Pembuktian mengenai WNI tunggal ini bagi WNI turunan
Tionghoa sebagai satu-satunya bukti ditentukan dalam konversi
yang ditegaskan dengan surat kawat Departemen Agraria tanggal
13 Maret 1961 No. Unda 6/1/4, perihal bukti Kewarganegaraan. Di
dalam surat kawat dijelaskan bahwa bukti kewarganegaraan
keturunan Tionghoa satu-satunya ialah bukti kewarganegaraan
tunggal menurut PP No. 20 tahun 1959 yaitu surat pernyataan
penanggalan (penolakan) atau formulir C, bukan bukti yang

211
lainnya artinya bukti selain formulir C tidak diterima. Bagi Warga
Negara Indonesia, diatur dalam pasal 5 PMA 2 tahun 1960 :
mengenai hak-hak eigendom yang pemiliknya datang pada
KKPT di dalam waktu yang ditentukan, tetapi yang
dipersilahkan untuk meminta bukti kewarganegaraan pada
pengadilan negeri, maka pencatatan konversi hak
eigendom menjadi hak milik atau hak guna bangunan itu
ditangguhkan sampai ada keputusan dari pengadilan.
Sesuai dengan Surat Edaran Departemen Agraria tanggal
28 Nopember 1960 No. Unda 1/7/39 perihal kewarganegaraan
dalam rangka pelaksanaan konversi menurut PMA No. 2 tahun
1960, di dalam alinea dua dijelas bahwa bagi para Warga Negara
Indonesia bukan keturunan Tionghoa soal pembuktian mengenai
kewarganegaraan yang berhak diserahkan pada kebijaksanaan
petugas agraria yang bersangkutan (Kantor Pendaftaran Tanah
atau Kepala Pengawas Agraria, Kepala Inspeksi Agraria, Kepala
Agraria Daerah). Bagi mereka itu tidak ada peraturan tentang
pembuktian kewarganegaraan sebagaimana halnya dengan
kewarganegaraan Indonesia keturunan Tionghoa.
Berdasarkan ketentuan konversi UUPA, pernyataan
penegasan konversi perubahan hak eigendom menjadi Hak Milik
syaratnya adalah: pertama, subyek pemegang haknya adalah
WNI tunggal pada tanggal 24 september 1960, melaporkan
kewarganegaraannya dan mengajukan permohonan konversi hak
eigendomnya kepada badan atau pejabat tata usaha negara
setempat yang dibatasi oleh waktu; kedua, bukti kepemilikan akta
eigendomnya baik asli (minuut) atau salinannya (grosse) aktanya
diberikan catatan penegasan konversi yang dilakukan oleh badan
atau pejabat tata usaha negara dengan format yang ditentukan
(Pasal 18 PMA No. 2 tahun 1960); ketiga, apabila persyaratan
mengenai status kewarganegaraan dan waktu tidak dipenuhi
maka dapat dipastikan bahwa status tanahnya berubah menjadi
Hak Guna Bangunan, dimana pada tahun 1980 berdasarkan
Keppres No. 32 tahun 1979 jo PMDN No. 3 tahun 1979, menjadi
tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah negara
bekas hak eigendom; dengan demikian secara yuridis hubungan
hukum subyek dengan obyeknya menjadi hapus atau putus,
sehingga untuk bekas subyek pemegang haknya dalam
212
administrasi pertanahan disebut sebagai bekas pemegang hak,
sedang untuk obyeknya disebut tanah negara bekas hak.
Berdasarkan kontruksi hukum konversi hak eigendom
sebagaimana diuraikan dalam posisi kasus sengketa dapat
diketahui bahwa seandainya pemegang hak barat atas tanah
memenuhi syarat konversi pada tahun 1960 setidaknya dalam tata
administrasi di Kantor Pertanahan setempat setidaknya ada
catatan konversi dalam buku tanah dan atau tercatat juga dalam
akta eigendomnya. Seandainya akta tersebut hilang setidaknya
terdapat urutan kegiatan sebagaimana diatur dalam PMA No. 13
tahun 1961. Apabila seluruh ketatausahaan tersebut tidak ada
atau belum ditempuh maka dipastikan bahwa obyek sengketa
bukan tanah bekas eigendom, namun jika memang bekas
eigendom ada dua kemungkinan tanah tersebut; pertama, tanah
dengan hak eigendom yang menjadi obyek sengketa tersebut
terkena ketentuan UU No. 1 tahun 1958 tentang Penghapusan
Tanah Partikelir, sehingga telah hapus demi hukum menjadi tanah
negara sejak 1958, atau; kedua, hak eigendom berdasarkan
Pasal 4 PMA No. 2 tahun 1960 dikonversi menjadi Hak Guna
Bangunan disebabkan pemegang haknya tidak datang, atau tidak
memenuhi syarat WNI tunggal maka selanjutnya terkena
ketentuan Keppres No. 32 tahun 1979 jo PMDN No. 3 tahun 1979,
dimana terjadi perubahan status hukum atas tanah hak tersebut
menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau menjadi
tanah negara sejak tahun 1980; dengan demikian apabila tanah
negara ini dimohon maka berlaku ketentuan hukum yang
mengatur pemberian hak atas tanah negara.
Isu hukumnya apakah badan atau pejabat tata usaha
negara yang menerbitkan sertipikat hak milik No. 295/Kapasan,
berdasarkan ketentuan hukum telah sesuai dengan wewenangnya
dalam penerbitan hak milik tersebut. Terhadap isu hukum ini
berarti analisis kajiannya berkaitan dengan aspek wewenang dari
badan atau pejabat tata usaha negara dalam menerbitkan
keputusan tata usaha negara. Di dalam kasus sengketa ini
berhubungan dengan wewenang tergugat dalam menerbitkan
sertipikat hak milik obyek sengketa tersebut.
Wewenang Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mengenai
penegasan konversi hak eigendom menjadi hak milik.
213
Wewenang penerbitan sertipikat konversi merupakan
wewenang badan atau pejabat tata usaha negara berdasarkan
peraturan perundangan. Berdasarkan susunan struktur organisasi
kementerian agraria dan sejak berlakunya UUPA, ketentuan PP
No. 10 tahun 1961 jo PMA No. 2 tahun 1960 dan PMA No. 13
tahun 1961, penerbitan sertipikat berada dilingkungan Jawatan
Pendaftaran Tanah, dimana sesuai dengan struktur organisasinya
wewenang tersebut ada pada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah.
Berdasarkan Surat Direktorat Pendaftaran Departemen Agraria
tanggal 14 Juli 1965, No. 5159/65, perihal penandatanganan
sertipikat dan materai, disebutkan penandatanganan buku tanah
dan sertipikat harus dilaksanakan KKPT sendiri termasuk surat
ukur yang merupakan bagian dari sertipikat. Penandatanganan ini
tidak diperkenankan didelegasikan wewenang penandatanganan
kepada pejabat lain dalam lingkungan kantor tersebut.
Selanjutnya berdasarkan Keppres No. 170 tahun 1966,
Departemen Agraria ditiadakan dan masuk kedalam lingkungan
Departemen Dalam Negeri sebagai Direktorat Jenderal Agraria
dan Transmigrasi. Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri
No. 187 tahun 1970, jo. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 88
tahun 1972, penandatanganan sertipikat konversi dilakukan oleh
Kepala Sub Direktorat Daerah atas nama Bupati/Walikota.
Terbentuknya Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai
Lembaga Pemerintah Non Departeman, berdasarkan Keppres No.
26 tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional, tugas dan
wewenang pengelolaan administrasi di bidang pertanahan beralih
dari Departemen Dalam Negeri kepada BPN.96 Penertiban

96
BPN Sebagai lembaga non departemen merupakan lembaga yang
bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Lembaga pemerintah ini berada di
bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan mempunyai
kedudukan lebih rendah dari Departemen. Wewenang pembentukan lembaga
pemerintah non departemen tidak diatur secara tegas (eksplisit) dalam UUD’45
maupun peraturan perundang-undangan lainnya. sesuai dengan kedudukan, tugas
dan fungsinya (eksekutif), dasar dan wewenang Presiden membentuk lembaga
non departemen melekat dalam kedudukan dan kekuasaan Presiden sepanjang
pemegang dan penyelenggara pemerintah (pasal 4 ayat (1). Untuk kelancaran
pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, Presiden berwenang mengadakan atau
membentuk satuan-satuan pelaksana pemerintahan diluar Departeman.
Berdasarkan Pasal 4 UUD’45 disebutkan bahwa presiden memegang kekuasaan
pemerintahan. Dalam melaksanakan fungsinya sebagai kepala pemerintahan
214
sertipikat konversi beralih menjadi tugas dan wewenang kepada
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, sesuai dengan
susunan struktur Organisasai BPN (Keputusan KBPN 1 tahun
1989). Di dalam Peraturan KBPN No. 5 tahun 1989 tentang
kewenangan penandatanganan buku tanah dan sertipikat
ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota,
meskipun terjadi perubahan pimpinan yang semula Kepala Badan,
berdasarkan Keppres 44 ahun 1993, pimpinan BPN menjadi
setingkat menteri negara dan ada perubahan kembali pengelolaan
pertanahan dengan Perpres No. 10 tahun 2006 tentang Badan
Pertanahan Nasional jo KBPN RI No. 4 tahun 2006 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah dan Kantor
Pertanahan, urusan penandatanganan sertipikat tidak berubah
wewenangnya ada pada Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota. Demikian pula dengan berlakunya PP No. 24
tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Wewenang menerbitkan
sertipikat hak milik asal konversi berada pada Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/ Kota setempat. Hal ini ditegaskan di
dalam PMNA/KBPN No. 3 tahun 1997, tentang Ketentuan
Pelaksana Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah. Di dalam ketentuan pasal 88 PMNA/KBPN
No. 3 tahun 1997 pada pokoknya berisi bahwa Kepala Kantor
Pertanahan berdasarkan persetujuan pemohonnya menegaskan
konversinya menjadi hak milik, demikian juga dengan pengakuan
hak. Di dalam ketentuan Pasal 90 dan 92 Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala BPN bahwa penandatanganan buku tanah
dan sertipikat dilakukan Kepala Kantor Pertanahan setempat.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No.3 tahun 1999 tentang Pelimpahan
Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian
Hak atas Tanah Negara, di dalam Pasal 2 ditetapkan:
1. dengan peraturan ini kewenangan pemberian hak atas
tanah secara individual dan secara kolektif, dan
pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah

dengan sendirinya presiden juga sebagai kepala administrasi Negara. Philipus M.


Hadjon, op.cit, h. 92-93;

215
dilimpahkan sebagian kepada kepala kantor wilayah
BPN atau Kepala kantor Pertanahan kabupaten/kota
2. pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah
dalam peraturan ini meliputi pula kewewenangan untuk
menegasan bahwa tanah yang akan diberikan dengan
sesuatu hak atas tanah adalah tanah negara;
3. dalam hal tidak ditentukan secara khusus dalam pasal
atau ayat yang bersangkutan, maka pelimpahan
kewenangan yang ditetapkan dalam peraturan ini hanya
meliputi kewenangan mengenai hak atas tanah Negara
yang sebagian kewenangan menguasai dari negara
tidak dilimpahkan kepada instansi atau badan lain
dengan hak pengelolaan.
Kewenangan Kepala Kantor untuk memberikan keputusan
hak milik diatur dalam Pasal 3, Pasal 4 berkaitan dengan
pemberian Hak Guna Bangunan dan Pasal 5 kewenangan untuk
memberikan Hak Pakai. Untuk pemberian hak milik atas tanah
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota memberi keputusan
mengenai pemberian hak milik atas tanah pertanian yang luasnya
tidak lebih 20.000 m2, untuk tanah non pertanian yang luasnya
tidak lebih dari 2000 m2, kecuali mengenai tanah bekas Hak Guna
Usaha; disamping itu pemberian hak milik atas tanah dalam
rangka pelaksanaan program: a. transmigrasi; b. redistribusi; c.
Konsolidasi; d. pendaftaran tanah secara massal baik dalam
rangka pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik maupun
sporadik (Pasal 3). Dalam Pasal 4 merupakan kewenangan
Kepala Kantor Pertanahan untuk menerbitkan keputusan Hak
Guna Bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 2000
m2, Hak Pakai (Pasal 5) untuk tanah pertanian yang luasnya tidak
lebih dari 2 ha, non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2000
m2 dan semua pemberian hak pakai atas tanah hak pengelolaan;
Dalam Pasal 6 mengatur mengenai perubahan hak atas tanah
merupakan kewenangan Kepala Kantor Pertanahan, kecuali
Perubahan Hak Guna Usaha menjadi hak lain. Selanjutnya
kewenangan Kantor Wilayah BPN Provinsi diatur dalam Pasal 7,
8, 9 dan 10 sebagai berikut: Pasal 7, berhubungan dengan
pemberian keputusan hak milik yang berasal dari tanah-tanah
negara atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 ha; atas
216
tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 5000 m2,
kecuali yang kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan
kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3; Dalam Pasal 8 kewenangan Kepala
Kantor Wilayah BPN Provinsi memberikan keputusan yang
berkaitan dengan pemberian Hak Guna Usaha atas tanah negara
yang luasnya tidak lebih dari 200 ha; Pasal 9 peraturan Menteri ini
mengatur mengenai kewenangan Kepala Kantor Wilayah BPN
Provinsi memberi keputusan mengenai pemberian Hak Guna
Bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 150.000 m2,
kecuali yang kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan
kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Dalam Pasal
10 kewenangan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi dalam
rangka memberikan keputusan mengenai Hak Pakai atas tanah
negara: pemberian hak pakai atas tanah pertanian yang luasnya
lebih dari 2 ha, tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari
150.000 m2 kecuali kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan
kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5; Selanjutnya Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN menetapkan pemberian hak atas tanah yang
diberikan secara umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 :
1. Menteri Negara Agraria/KBPN memberi keputusan
mengenai pemberian dan pembatalan hak atas tanah
yang tidak dilimpahkan kewenangannya kepada Kepala
Kantor Wilayah BPN Provinsi atau Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud
dalam Bab II dan Bab III
2. Menteri Negara Agraria/KBPN memberi keputusan
mengenai pemberian dan pembatalan hak atas tanah
yang telah dilimpahkan kewenangannya kepada Kepala
Kantor Wilayah BPN Provinsi atau Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud
bab II dan III apabila atas laporan Kepala Kantor
Wilayah BPN provinsi hal tersebut diperlukan
berdasarkan keadaan di lapangan.
Kesimpulan
1. Berdasarkan ketentuan konversi dan ketentuan yang
mengatur kewenangan badan atau pejabat tata usaha
217
negara untuk menerbitkan keputusan tata usaha negara
dapat diketahui pertama, tanah obyek sengketa adalah
tanah bekas hak eigendom yang karena hukum
berstatus tanah yang dikuasai oleh negara bekas tanah
partikelir yang terkena ketentuan UU No. 1 tahun 1958,
bukan tanah bekas eigendom untuk dikonversikan
menjadi hak milik. Tindakan tergugat menerbitkan
sertipikat menjadi cacat hukum sehingga berdasarkan
putusan pengadilan tata usaha negara harus dibatalkan.
Kedua, tindakan hukum tergugat dalam menerbitkan
sertipikat hak milik tanah obyek sengketa oleh
pengadilan tata usaha negara merupakan tindakan atau
perbuatan hukum yang diklasifikasikan sebagai
melampaui wewenangnya.
2. Pemegang hak barat atas tanah memenuhi syarat
konversi pada tahun 1960 setidaknya ada catatan
konversi dalam buku tanah dan atau tercatat juga dalam
akta eigendomnya. Seandainya akta tersebut hilang
setidaknya terdapat urutan kegiatan sebagaimana diatur
dalam PMA No. 13 tahun 1961. Apabila seluruh
ketatausahaan tersebut tidak ada atau belum ditempuh
maka dipastikan bahwa obyek sengketa bukan tanah
bekas eigendom. Mencermati ketentuan perundang-
undangan pertanahan dan fakta materiel yang terungkap
dalam pengadilan bersangkutan menunjukan; pertama,
bahwa dapat diketahui obyek sengketa tersebut adalah
tanah yang berstatus tanah negara atau tanah yang
dikuasai langsung oleh negara bekas hak eigendom
yang terkena ketentuan UU No. 1 tahun 1958 tentang
tanah Partikelir; kedua, bahwa penerbitan sertipikat hak
milik berdasarkan ketentuan penegasan konversi
sebagaimana diatur dalam ketentuan PMA No. 2 tahun
1960 oleh tergugat merupakan cacat hukum berkaitan
dengan aspek wewenang dalam penerbitan sertipikat
hak milik atas tanah obyek sengketa tersebut; ketiga,
bahwa sesuai dengan ketentuan hukum pertanahan
mengingat status hukum atas obyek sengketa dan luas
tanah obyek sengketa yang terungkap di pengadilan

218
yaitu tanah negara bekas eigendom yang terkena
ketentuan UU No. 1 tahun 1958, maka seharusnya
ketentuan hukum yang mendasari penerbitan sertipikat
hak atas tanahnya berdasarkan ketentuan PMDN No. 6
tahun 1972 yang diganti PMNA/KBPN No. 9 tahun 1999.
3. Dengan mengingat luas tanah obyek sengketa, maka
berdasarkan ketentuan PMNA/KBPN No. 3 tahun 1999
tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan
Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah
Negara, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 13 dari
peraturan menteri ini, merupakan wewenang Kepala
Badan Pertanahan Nasional; dengan demikian tindakan
atau perbuatan hukum pejabat tata usaha negara dalam
hal ini tergugat mendaftar dan menerbitkan sertipikat hak
milik atas tanah obyek sengketa berdasarkan ketentuan
konversi hak, dapat dikategorikan sebagai cacat
wewenang, sebagaimana Pasal 53 ayat (2) a, UU No.
5 tahun 1986, yaitu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

2. Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah oleh Peradilan Tata Usaha Negara
dengan Alasan Cacat Prosedur
Latar Belakang
Dalam konsep hukum publik, wewenang merupakan suatu
konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum administrasi. 97
Wewenang dalam arti yuridis adalah suatu kemampuan yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk
menimbulkan akibat-akibat hukum98 Setiap kebijakan atau tindak
pemerintahan harus bersumber atau bertumpu atas kewenangan
yang sah, baik dari sumber atribusi, delegasi maupun mandat.
Pemerintahan yang bersih atau rechtmategheid van bestuur
adalah asas keabsahan tindak pemerintahan yang memiliki tiga
fungsi; (1) bagi aparat pemerintah berfungsi sebagai norma
pemerintahan (bestuur normen); (2) bagi masyarakat berfungsi
sebagai dasar alasan mengajukan gugatan terhadap tindak
pemerintahan (beroep gronden); dan (3) bagi hakim berfungsi
97
Hadjon, 1998, h. 90
98
Indroharto, 1991, h. 68
219
sebagai dasar pengujian suatu tindak pemerintahan (toetsings
gronden). Ruang lingkup keabsahan tindak pemerintahan meliputi:
kewenangan, prosedur dan substansi99 Kewenangan lahir atas;
atribusi, delegasi, mandat, serta dibatasi oleh isi (materi), wilayah
dan waktu. Prosedur berdasarkan asas negara hukum, yaitu
berupa perlindungan hukum bagi masyarakat; asas demokrasi
yaitu pemerintah harus terbuka, sehingga ada peran serta
masyarakat; asas instrumental, yaitu efisiensi dan efektifitas, tidak
berbelit-belit serta perlu deregulasi. Substansi bersifat mengatur
dan mengendalikan apa (sewenang-wenang/legalitas ekstern) dan
untuk apa (penyalahgunaan wewenang, melanggar Undang-
Undang/legalitas intern). Setiap tindak pemerintahan disyaratkan
harus bertumpu atas kewenangan yang syah yang diperoleh dari
sumber; atribusi, delegasi dan mandat.
Aspek prosedur hukum merupakan salah satu syarat
penting yang harus dipenuhi oleh suatu keputusan atau ketetapan
yang diterbitkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara.
Dalam Pasal 53 ayat (2) a Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986
jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara yang disahkan pada tanggal 29 Oktober 2009
menentukan salah satu alasan yang dapat digunakan dalam
gugatan adalah keputusan tata usaha negara yang digugat
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Di dalam penjelasan pasalnya ditentukan bahwa suatu
keputusan tata usaha negara dapat dinilai bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila yang
bersangkutan (keputusan) itu bertentangan dengan ketentuan–
ketentuan dalam peraturan peraturan perundang-undangan yang
bersifat “prosedural”; dengan demikian aspek prosedur hukum
merupakan salah satu yang menjadi dasar putusan peradilan tata
usaha negara untuk membatalkan sertipikat hak atas tanah
disebabkan bahwa badan atau pejabat tata usaha negara telah
melakukan perbuatan hukum mengeluarkan keputusan atau
ketetapan karena adanya kesalahan yang bersifat “prosedur
hukum” dalam penerbitannya. Ditemukannya kesalahan dalam
prosedur menjadi alasan pengadilan dalam putusannya untuk
99
Hadjon, h. 2005
220
menyatakan “batal” (nietig) keputusan tersebut. Soehino
menjelaskan, yang dimaksud dengan prosedur atau formal dari
sebuah keputusan antara lain:
berhubungan dengan tatacara atau prosedur atau proses
pembentukan ketetapan administrasi, dimulai dari
persiapan sampai terbentuknya ketetapan administrasi,
harus sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan.
Ketetapan administrasi harus dituangkan dalam bentuk
sebagaimana telah ditetapkan dalam peraturan yang
menjadi dasar hukum dibentuknya ketetapan administrasi
itu. Syarat-syarat yang berkaitan dengan pelaksanaan
ketetapan administrasi itu harus dipenuhi. Jangka waktu
ditetapkan antara adanya hal-hal atau keadaan yang
menyebabkan dibentuknya ketetapan administrasi dan
diberikannya ketetapan administrasi itu kepada yang
mengajukan permohonan untuk mendapatkan ketetapan
administrasi itu, tidak boleh dilampaui.100
Lebih lanjut dijelaskan, setidaknya ada empat aspek yang
harus dipertimbangkan dalam suatu keputusan tata usaha negara
yakni: berhubungan dengan proses syarat-syarat yang ditentukan
oleh perundang-undangan, berhubungan dengan bentuk
keputusan, syarat pelaksanaan keputusan, dan jangka waktunya.
Menurut van der Pot, sebagaimana dikutip Soehino, tata cara dan
prosedur menjadi syarat yang bersifat menentukan atau
“bestaansvoorwaarde” tergantung dari pada yang ditentukan
dalam hukum positif yang bersangkutan, demikian juga halnya
mengenai cara pelaksanaan ketetapan administrasi; apabila suatu
keputusan tidak memenuhi prosedur hukum dan cara
pembuatannya maka keputusan tersebut menjadi batal karena
tidak memenuhi prosedur hukum atau syarat formal; dan menurut
penjelasan Pasal 53 UU Nomor 5 tahun 1986 bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bertitik tolak dari latar belakang di atas, terlihat bahwa
tidak semua pemberian hak atas tanah mendapat prosedur yang
sama dalam pensertipikatannya meski obyeknya sama berstatus
tanah negara. Prosedur berbeda juga berlaku untuk tanah adat/
100
Soehino. 2000. Asas-Asas Hukum Tata Usaha Negara. Liberty.
Jogjakarta, h. 101-102.
221
yasan untuk mendapatkan sertipikat hak atas tanah; dengan
menggunakan metode penelitian normatif, rumusan masalah yang
diajukan adalah “prosedur hukum pensertipikatan hak atas tanah
redistribusi dan akibat hukum sertipikat hak atas tanah redistribusi
yang dibatalkan oleh putusan pengadilan tata usaha negara.

Kerangka Teori
Prosedur merupakan salah satu aspek keabsahan atas
suatu tindak pemerintahan. Kesalahan dalam prosedur berakibat
keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan cacat sehingga
dinyatakan tidak sah dan dapat dibatalkan. Ketetapan yang batal
dapat dibedakan yakni: ketetapan yang batal karena hukum, batal
dan dapat dibatalkan. 3 (tiga) ketetapan tidak sah tersebut adalah:
1. ketetapan yang batal karena hukum (nietigheid van
rechtswege);
2. ketetapan yang batal (nietig, juga: batal absolut,
absoluut nietig);
3. ketetapan yang dapat dibatalkan (vernietigbaar).101
S.F. Marbun menjelaskan, ketetapan yang “batal karena
hukum” adalah suatu ketetapan yang isinya menetapkan adanya
akibat suatu perbuatan itu untuk sebagian atau seluruhnya bagi
hukum dianggap tidak ada, tanpa diperlukan keputusan
pengadilan atau badan/pejabat tata usaha negara yang
berwenang menyatakan batalnya ketetapan tersebut, jadi
ketetapan itu batal sejak dikeluarkan.
Utrecht tidak setuju menggunakan istilah “batal karena
hukum”, sebab istilah itu akan menimbulkan kesan seolah-
oleh kebatalan berlaku dengan sendirinya, tanpa perantara
atau tanpa keputusan hakim atau instansi yang berwenang,
padahal hakim atau instansi atasan merupakan instansi
yang berwenang mengambil putusan. suatu keputusan
yang dinyatakan batal karena hukum, akan berakibat
keputusan yang dibatalkan itu berlaku surut, terhitung mulai
sejak tanggal dikeluarkan keputusan yang dibatalkan itu.
Keadaan dikembalikan kepada keadaan semula sebelum
dikeluarkan keputusan (tidak sah ex-tunc) dan akibat

101
E. Utrecht, Op. cit, h. 109.
222
hukum yang telah ditimbulkan oleh keputusan itu dianggap
tidak pernah ada.102
“Batal” (nietig) merupakan suatu tindakan atau perbuatan
hukum yang dilakukan berakibat suatu perbuatan dianggap tidak
ada. Utrecht menjelaskan:
dalam pengertian ilmu hukum yang diterima secara umum
dalam praktik berarti bahwa bagi hukum perbuatan yang
dilakukan tidak ada, bagi hukum akibat perbuatan itu
dianggap tidak pernah ada. 103
Pengertian “dapat dibatalkan” (vernietigbaar) merupakan
suatu tindakan Badan atau Tata Usaha Negara dapat dibatalkan
karena diketahui perbuatan itu mengandung kekurangan. Utrecht
menjelaskan:
pembatalan bagi hukum perbuatan yang dilakukan dan
akibatnya dianggap ada sampai waktu pembatalan oleh
hakim atau oleh suatu badan pemerintah lain yang
berkompeten (pembatalan diadakan karena pembuatan
tersebut mengandung sesuatu kekurangan). Bagi hukum,
perbuatan tersebut ada sampai waktu pembatalannya,
menjadi sah (terkecuali dalam hal undang-undang
menyebut beberapa bagian akibat itu tidak sah). Setelah
pembatalan maka perbuatan itu tidak ada dan–bila
mungkin–diusahakan supaya akibat yang telah terjadi itu
semuanya atau sebagiannya hapus.104
Lebih lanjut SF Marbun, menjelaskan:
102
Lihat Marbun SF, 2003, Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif
di Indonesia, UII Press, Jogyakarta, h. 108
103
Utrecht memberikan contoh A mengadakan perjanjian dengan B.
perjanjian itu diadakan tanggal 1 Pebruari 1954. Tanggal 1 april 1954 oleh hakim
diadakan pembatalan (vernietiging) perjanjian karena mengandung beberapa
kekurangan “essentieel” (perjanjian itu tidak memuat beberapa essentialia) (Pasal
1320 BW). Perjanjian itu bagi hukum dianggap tidak pernah ada, akibat perjanjian
bagi hukum dianggap tidak pernah ada; sehingga segala sesuatu diadakan antara
1 Pebruari 1954 dan tanggal 1 April 1954 harus dihapuskan. Status hukum kedua
belah pihak pada tanggal 1 April harus dikembalikan pada status hukum mereka
sebelum tanggal 1 pebruari 1954 seakan-akan perjanjian itu tidak pernah diadakan
dan disebut “batal mutlak ”(absoluut nietig). Utrecht, Pengantar Hukum
Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1986, h. 110.
104
Dalam Utrecht, h. 111.
223
Suatu keputusan baru dapat dinyatakan batal setelah
pembatalan oleh hakim atau instansi yang berwenang
membatalkan, dan pembatalan tidak berlaku surut. Jadi
bagi hukum perbuatan dan akibat hukum yang ditimbulkan
dianggap sah sampai dikeluarkan keputusan pembatalan
(ex-nunc) kecuali undang-undang menentukan lain.105
Seirama dengan penjelasan di atas, Philipus M. Hadjon
menjelaskan, pembatalan keputusan yang tidak sah dari tindakan
pemerintah berupa ”nietigheid van rechtswege” (batal karena
hukum), ”nietig” (batal) atau ”vernietigbaar” (dapat dibatalkan).
Pembatalan keputusan tata usaha negara atas tindakan
pemerintah merupakan hukum administrasi maka berpedoman
pada asas vermoeden van rechmatigheid. Artinya keputusan
organ pemerintah tersebut hanya dapat dibatalkan (vernietigbaar)
dan bukan batal atau batal karena hukum. Menurut Stellinga,
keputusan pemerintah selalu tidak boleh dianggap batal karena
hukum.106 Lebih lanjut dijelaskan, suatu keputusan tidak pernah
boleh dianggap batal karena hukum, baik dalam hal keputusan itu
dapat digugat dimuka hakim administrasi atau banding
administrasi, maupun dalam hal kemungkinan untuk menggugat
dan untuk memohon banding itu tidak digunakan, demikian juga
dalam hal kedua kemungkinan tersebut tidak ada. Dalam
vernietigbaar, perbuatan hukum adalah sah sampai dinyatakan
batal. Perbedaan nietig, van rechswegenietig dan verniegbaar
seperti tabel di bawah: 107

van rechtswege
Uraian nietig vernietiegbaar
nieteg

105
SF. Marbun, 1986, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Jogyakarta,
h. 47
106
Dalam Utrecht, h. 115-116
107
Philipus M. Hadjon (2), 1985, Pengertian-Pengertian Dasar Tentang
Tindak Pemerintahan, Djumali: penerbit dan stensil, h. 8
224
Sejak kapan
ex tunc108 ex tunc ex nunc109
batal
Putusan/kept. Mutlak harus ada
Tindakan Sifat putusan/kept: Tanpa perlu ada putusan/kept
pembatalan Konstatering/deklaratur putusan/kept Sifat putusan/kept:
konstitutif

R. Soetojo Prawirohamidjojo menjelaskan, suatu perbuatan


hukum yang dapat dibatalkan adalah suatu perbuatan yang
mengandung cacat. Selama pihak yang berkepentingan dengan
pembatalan itu tidak pernah menyatakan bahwa karena cacat ini
perbuatan itu dipandang sebagai tidak sah “onrechtmatig“, maka
tidak bisa dikatakan adanya pembatalan vernietiging; 110 dengan
kata lain, ketika ada gugatan dan kemudian gugatan telah
mempunyai kekuatan hukum tetap terhitung sejak saat keputusan
tata usaha negara itu dinyatakan batal (nietig). Dalam bukunya
yang lain Philipus M. Hadjon menjelaskan, pemerintahan yang
bersih atau rechtmategheid van bestuur adalah asas keabsahan
tindak pemerintahan yang memiliki tiga fungsi; (1) bagi aparat
pemerintah berfungsi sebagai norma pemerintahan (bestuur
normen); (2) bagi masyarakat berfungsi sebagai alasan
mengajukan gugatan terhadap tindak pemerintahan (beroep
gronden); (3) bagi hakim berfungsi sebagai dasar pengujian suatu
tindak pemerintahan (toetsings gronden). Ruang lingkup
keabsahan meliputi: kewenangan, prosedur dan substansi 111.
Telah disebutkan bahwa salah satu karakteristik atau prosedur
pensertipikatan hak atas tanah redistribusi atau yang berasal dari
obyek landreform adalah adanya Surat Keputusan Panitia
Landreform dengan kode A. Sebagai contoh, Surat Keputusan
Panitia Landreform Daerah Tingkat II Badung tanggal 21 Pebruari
1963 Nomor A/XX/202/57. Kode “A” merupakan kode yang
memberikan petunjuk bahwa tanah obyek landreform tersebut
108
ex tunc: secara harfiah “ex tunc“ berarti sejak waktu (dulu) itu. Dalam
konteks ini, “ex tunc“ berarti perbuatan dan akibatnya dianggap tidak pernah ada.
109
ex nunc: secara harfiah “ex nunc” berarti sejak saat sekarang. Ex nunc”
berarti perbuatan dan akibatnya dianggap ada sampai saat pembatalannya
110
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Keabsahan Perbuatan Hukum, Airlangga.
majalah Fakultas Hukum Universitas Airlangga, tanpa tahun
111
Philipus M. Hadjon (1), h. 90
225
berasal dari tanah–tanah adat/yasan yang terkena ketentuan
kelebihan maksimum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 56/prp/1960 (LN 1960 Nomor 174) tentang Penetapan
Luas Tanah Pertanian. Untuk mengetahui luas maksimum disuatu
daerah kepemilikan tanah pertanian didasarkan Keputusan
Menteri Agraria Nomor SK.978/ Ka/1960 (TLN Nomor 2143)
tentang Penegasan Luas Maksimum Tanah Pertanian, yang
berlaku sejak tanggal 1 Januari 1961. Contoh, luas maksimum
kepemilikan tanah pertanian di daerah Kabupaten Badung
berdasarkan daftar lampiran keputusan Menteri Agraria ini untuk
tanah sawah 7,5 ha, dan untuk tanah kering seluas 9 ha.
Sehingga apabila seseorang memiliki luas tanah pertanian di atas
luas maksimum yang ditentukan akan terkena ketentuan
kelebihan maksimum. Hal tersebut didasarkan ketentuan Pasal 3
Undang-Undang Nomor 56/prp/1960 dan diwajibkan melaporkan
kepada badan atau pejabat tata usaha negara setempat dalam
jangka waktu 3 (tiga) bulan, sebagaimana uraian berikut:
orang-orang dan kepala keluarga yang anggota-anggota
keluarganya menguasai tanah pertanian yang jumlahnya
melebihi luas maksimum wajib melaporkan hal itu kepada
Kepala Agraria daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan
di dalam waktu 3 bulan sejak dimulai berlakunya peraturan
ini, kalau dipandang perlu maka jangka waktu tersebut
dapat diperpanjang oleh Menteri Agraria.
Berdasarkan ketentuan di atas, terlihat bahwa kewajiban
untuk melaporkan tentang keberadaan tanah pertanian yang
melebihi batas maksimum tidak selalu orang yang menguasai
tanah tersebut akan tetapi bisa orang lain. Bagi tanah-tanah
pertanian yang ternyata diketahui sebagai/merupakan tanah
kelebihan maksimum maka bagian tanah-tanah yang merupakan
kelebihan maksimum dikuasai negara atas dasar Surat Keputusan
Menteri Agraria No. Sk 409/Ka/1961 tentang Pernyataan
Penguasaan oleh Pemerintah Atas Bagian-Bagian Tanah yang
Merupakan Kelebihan Dari Luas Maksimum; menetapkan:
1. menyatakan bahwa bagian–bagian tanah yang
merupakan kelebihan dari luas maksimum, sebagai
tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

226
2. menyerahkan untuk menetapkan bagian yang menjadi
hak pemilik dan bagian-bagian tanah yang dikuasai
langsung oleh pemerintah sub 1 kepada Panitia
Landreform Daerah Tingkat II/Kotapraja yang dibantu
oleh Panitia kecamatan dan desa.
Adanya tindakan hukum dari badan/pejabat tata usaha
negara maka “karena hukum” tanah pertanian yang terkena
kelebihan maksimum berdasarkan penetapan Panitia Landreform
Daerah status hukumnya berubah bukan lagi merupakan tanah
yasan/adat, tetapi menjadi tanah yang dikuasai oleh negara
(tanah negara). Tanah-tanah ini dikenal dengan sebutan tanah
negara obyek landreform yang akan diredistribusikan kepada
penggarapnya sesuai ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961
(TLN. Nomor 2322), tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan
Pemberian Ganti Rugi; ditetapkan dibagikan kepada para petani
yang mengerjakan tanah tersebut dengan hak milik yang
memenuhi syarat dan kewajiban yang ditentukan dalam Peraturan
Pemerintah tersebut. Apabila berdasarkan ketentuan yang berlaku
calon penerima hak memenuhi persyaratan yang ditentukan maka
badan atau pejabat tata usaha negara yang berwenang
menerbitkan keputusan tata usaha negara berbentuk Surat
Keputusan Pemberian Hak atau Surat Keputusan Redistribusi
Tanah.112 Secara lebih rinci prosedur hukum pemberian Surat
Keputusan Pemberian Hak Milik Atas Tanah yang berasal dari
obyek landreform sebagai berikut:
1. Dikeluarkannya Surat Keputusan Panitia Landreform
yang menyatakan bahwa tanah dimaksud adalah tanah
yang terkena ketentuan landreform
2. Diterbitkannya Surat Keputusan Pemberian Hak atau
Surat Keputusan Redistribusi Tanah untuk diberikan
kepada penerima hak atas tanah.
3. Begitu surat keputusan diterbitkan, maka sejak saat itu
status tanah negara berubah menjadi tanah hak milik,
tanpa harus memenuhi persyaratan dan kewajiban
sebagaimana ditentukan dalam surat keputusan
pemberian haknya. Kecuali dalam hal pengajuan
112
Yudhi Setiawan (1), Loc.cit. h. 24-25
227
permohonan sertipikat hak atas tanah harus memenuhi
persyaratan dan kewajiban sebagaimana ditentukan
dalam surat keputusan pemberian haknya.
4. Kekuatan hukum surat Keputusan pemberian hak milik
atas tanah redistribusi/obyek landreform tidak batal
dengan sendirinya karena tidak adanya klausula yang
menentukan kalimat “batal dengan sendirinya” bilamana
penerima hak milik tidak memenuhi persyaratan dan
kewajiban yang dimaksud dalam surat keputusan,
kecuali dicabut atau dibatalkan.
Karakter berbeda terdapat pada surat keputusan pemberian
hak milik atas tanah negara pada umumnya secara lebih rinci
sebagai berikut:
1. Di dalam Surat Keputusan Pemberian Hak Milik Atas
Tanah Negara selalu dicantumkan klausula yang berisi
syarat-syarat, kewajiban dan jangka waktu yang harus
dipenuhi oleh penerima hak atas tanah.
2. Tidak dipenuhinya persyaratan dan kewajiban serta
jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam surat
keputusan maka pemberian hak milik atas tanah
tersebut akan batal dengan sendirinya.
Sifat karakter deklaratif diperoleh dari ketetapan tertulis
yang bersifat menegaskan karena pemegang hak atas tanah
memenuhi persyaratan administratif yang ditentukan peraturan
perundangan yang berlaku dengan ciri karakter113 berikut:
Pertama, obyek dari sertipikat hak atas tanah adalah tanah
yang secara yuridis diakui keberadaannya dan lahir didasarkan
instrumen hukum yang diatur dalam ketentuan konversi. Tanah
dimaksud adalah tanah adat/yasan yang diperoleh secara turun
temurun. Secara operasional dan tata usaha administratif
pendaftarannya diatur dalam:
a. Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 tahun 1960 tentang
Pelaksanaan Beberapa Ketentuan-Ketentuan Undang-
Undang Pokok Agraria.

113
Boedi Djatmiko Hadiatmodjo, h. 7
228
b. Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 tahun
1962 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran
Bekas Hak Indonesia Atas Tanah.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 jo
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
d. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997.
Di dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 tahun 1960
dan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 tahun
1962, mengatur pengakuan penegasan terhadap hak kepemilikan
atas tanah baik yang berasal dari hak barat maupun hak adat/
yasan yang pada tanggal 24 September 1960 dikonversi menjadi
hak-hak berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria melalui
proses penetapan pengakuan yang dikeluarkan oleh negara.
Konsepsi Undang-Undang Pokok Agraria mengakui adanya hak
kepemilikan keperdataan dari hak-hak atas tanah yang telah ada
dan dipunyai atau dihaki masyarakat yang sudah ada sebelum
terbitnya Undang-Undang Pokok Agraria. Sesuai dengan
konsepsinya, fungsi ketetapan tertulis yang berupa pernyataan
penegasan dari badan atau pejabat tata usaha negara merupakan
bentuk penegasan keberadaan dari hak atas tanah yang sudah
ada; sedangkan sertipikat hak atas tanah merupakan suatu
dokumen tertulis yang dibuat dan dikeluarkan oleh badan atau
pejabat tata usaha negara sebagaimana diatur dalam sistem
administrasi pendaftaran tanah baik yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 jo Peraturan Pemerintah Nomor
24 tahun 1997 mempunyai fungsi administrasi bahwa adanya
bidang-bidang tanah hak atas tanah dan pemegang hak atas
bidang tanah yang terdaftar dalam sistem administrasi pertanahan
sebagai bukti adanya bidang–bidang tanah dan pemegangnya
yang sudah didaftarkan. Badan atau pejabat tata usaha negara
dalam hal ini Kantor Pertanahan mengeluarkan surat tanda bukti
sekaligus dapat digunakan sebagai alat pembuktian bagi
pemegang hak atas tanah yang disebut sertipikat hak atas tanah.
Dikeluarkannya sertipikat hak atas tanah tersebut berarti negara
memberikan jaminan kepastian hukum bagi pemegang haknya.

229
Sebaliknya, jaminan kepastian hukum menjadi tidak ada apabila
adanya cacat dalam penerbitan sertipikat hak atas tanahnya.
Kedua, ciri sertipikat hak atas tanah bersifat deklaratif sifat
sengketanya masuk dalam wilayah peradilan perdata. Dalam
kasus-kasus gugatan keperdataan yang menjadi pokok gugatan
selalu berkaitan dengan keabsahan atau kebenaran dari hak-hak
keperdataan dari pemegang sertipikat hak seperti dalam kasus
perkara: warisan, hibah, tukar menukar, maupun jual-beli. Para
pihak yang berperkara harus membuktikan kebenaran atau
keabsahan hak dan alat bukti hak termasuk sertipikat hak atas
tanah yang mereka miliki; sertipikat hak atas tanah bukan obyek
utama gugatan, pokok gugatan adalah kebenaran atau keabsahan
pemegang hak atas tanah yang merupakan isu pokoknya. Dalam
kasus perdata yang menjadi tergugat utama bukan badan atau
pejabat tata usaha negara yang menerbitkan sertipikat hak atas
tanah, namun para pihak yang berperkara. Badan atau pejabat
tata usaha negara berposisi sebagai tergugat selanjutnya atau
sebagai pihak turut tergugat, bukan tergugat utama (kesatu).
Ketiga, akibat hukum atas pembatalan sertipikat haknya,
status tanah kembali kepada pemegang hak semula sebelum
terjadinya sertipikat.
Sertipikat hak atas tanah yang berkarakter konstitutif
merupakan sertipikat hak atas tanah yang diterbitkan sebagai
tanda bukti hak yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata
usaha negara yang berupa ketetapan tertulis yang diterbitkan
dengan tujuan untuk menghubungkan hubungan hukum yang
sebelumnya tidak ada dan karena ketetapan tertulis tersebut
hubungan hukum menjadi ada. Ketetapan tertulis yang yang
dikeluarkan badan atau pejabat tata usaha negara disebut “surat
keputusan” merupakan alat bukti lahirnya hubungan hukum yaitu
“hak” antara seseorang atau badan hukum sebagai pemegang
hak atas tanah dengan tanahnya. Keputusan dari badan atau
pejabat tata usaha negara tersebut merupakan alat bukti
“mutlak”114 lahirnya sesuatu hak atas tanah; dan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 merupakan landasan yuridis
terbitnya sertipikat hak atas tanah; dengan demikian tanpa adanya

114
Philipus M. Hadjon (3), 2002, Pengantar Hukum Administrasi,
Gadjahmada University Press, Yogyakarta, h. 144.
230
keputusan tersebut tidak mungkin terjadi hubungan hukum antara
seseorang atau badan hukum dengan tanahnya. Berdasarkan
keputusan dari badan atau pejabat tata usaha negara inilah
pemegang hak atas tanah dapat meminta diterbitkan tanda bukti
haknya yang berupa sertipikat hak. Karakter yuridis dari sertipikat
hak atas tanah yang bersifat konstitutif adalah sebagai berikut:
Pertama, sertipikat haknya lahir dari keputusan badan atau
pejabat tata usaha negara yang diberikan wewenang untuk itu,
dalam hal ini Kantor Pertanahan.
Kedua, obyek dari sertipikat hak atas tanah yang bersifat
konstitutif berasal dari tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh
negara atau tanah negara. Tanah negara ini bisa berasal dari
tanah negara bebas artinya belum ada sesuatu hak yang melekat
di atasnya, tanah-tanah bekas tanah hak barat karena hukum
menjadi tanah negara; bisa juga berasal dari pelepasan atau
pembebasan hak.
Ketiga, karakter sertipikat hak atas tanah yang terbit dari
ketetapan “konstitutif”, dalam hal dibatalkannya surat keputusan
pemberian hak yang menjadi dasar terbitnya sertipikat hak atas
tanah berakibat hukum batalnya hak atas tanah; dan tanahnya
kembali kepada status semula yaitu tanah yang dikuasai negara.
Keempat, sengketa sertipikat hak atas tanah yang bersifat
konstitutif masuk wilayah peradilan tata usaha negara dan badan
atau pejabat tata usaha negara dalam posisi tergugat utama.
A. Kerangka Pemikiran
1. Prosedur pensertipikatan hak atas tanah redistribusi.
Prosedur pensertipikatan hak atas tanah redistribusi yang
menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan dapat dibatalkan oleh
pengadilan tata usaha negara apabila suatu ketetapan atau
keputusan yang dibuat oleh badan atau pejabat tata usaha negara
cacat baik dari segi kewenangan, prosedur atau substansi
sehingga dinyatakan tidak sah yang menurut Pasal 53 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, ketetapan atau keputusan
tersebut dinyatakan sebagai “keputusan yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Prosedur
hukum pemberian surat keputusan pemberian hak milik atas
tanah redistribusi atau yang berasal dari obyek landreform adalah:

231
a. Dikeluarkannya Surat Keputusan Panitia Landreform
yang menyatakan bahwa tanah dimaksud adalah tanah
yang terkena ketentuan landreform.
b. Diterbitkannya Surat Keputusan Pemberian Hak atau
Surat Keputusan Redistribusi Tanah untuk diberikan
kepada penerima hak atas tanah.
c. Begitu surat keputusan diterbitkan, maka sejak saat itu
status tanah negara berubah menjadi tanah hak milik,
tanpa harus memenuhi persyaratan dan kewajiban
sebagaimana ditentukan dalam surat keputusan
pemberian haknya. Kecuali dalam pengajuan
permohonan sertipikat hak atas tanah harus memenuhi
persyaratan dan kewajiban sebagaimana ditentukan
dalam surat keputusan pemberian haknya.
d. Kekuatan hukum surat Keputusan pemberian hak milik
atas tanah obyek landreform tidak batal dengan
sendirinya karena tidak adanya klausula yang
menentukan kalimat “batal dengan sendirinya” bilamana
penerima hak milik tidak memenuhi persyaratan dan
kewajiban yang dimaksud dalam surat keputusan,
kecuali dicabut atau dibatalkan.
Dalam hal dinyatakan bahwa badan atau pejabat tata usaha
negara tersebut tidak berwenang (onbevoegheid), di dalam
konsepsinya ada 3 (tiga) kemungkinan; pertama, tidak berwenang
“onbevoegheid rational materiale”. Tidak berwenang karena
materi atau persoalan yang dimuat dalam keputusan tidak bagian
kewenangan dari badan atau pejabat yang membuat (kompetensi
absolute). Menurut Marbun keputusan semacam ini dapat
berakibat “batal” (nietig) atau “batal demi hukum”, sehingga akibat
keputusan yang batal tersebut berlaku surut sampai sejak tanggal
dikeluarkan keputusan yang batal itu dan keadaan dikembalikan
kepada keadaan semula sebelum dikeluarkannya keputusan yang
batal itu (ex tunc). Keputusan yang dibatalkan itu dinyatakan “tidak
sah” maka segala akibat hukum yang ditimbulkan oleh keputusan
itu dianggap tidak pernah ada. Apabila keputusan itu dibatalkan
maka akibat hukum yang pernah timbul karena dikeluarkannya
keputusan dianggap dan diakui pernah ada sampai pada saat
keputusan itu dibatalkan; kedua, tidak berwenang “onbevoegheid
232
ratione loci” adalah keputusan yang dibuat oleh badan atau
pejabat tata usaha negara yang tidak berwenang membuatnya,
karena melampaui atau diluar ruang lingkup wilayah (resort)
wewenang badan atau pejabat tata usaha negara tersebut, maka
keputusan itu akan berakibat “batal” (nietig atau vernietigbaar) dan
hal ini berkaitan dengan “kompetensi relative”; ketiga, tidak
berwenang “onbevoegheid ratione tempori”; adalah suatu
keputusan yang dibuat oleh badan atau pejabat tata usaha negara
yang tidak berwenang karena telah lewat waktu yang ditentukan
oleh peraturan Perundang-Undangan.115
Pembatalan sertipikat hak atas tanah diatur dalam
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun
1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan
Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara dan
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun
1999 tentang Tata cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas
Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
2. Akibat hukum sertipikat yang dibatalkan oleh putusan
pengadilan tata usaha negara.
Akibat hukum suatu sertipikat yang dibatalkan oleh putusan
pengadilan tata usaha negara harus ditelusuri apakah sertipikat
tersebut berkarakter deklaratif atau berkarakter konstitutif.
Sertipikat yang berkarakter deklaratif merupakan sertipikat hak
yang lahir dari suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan badan
atau pejabat tata usaha negara yang diberikan wewenang untuk
itu. Sertipikat yang berkarakter konstitutif merupakan sertipikat
hak atas tanah yang diterbitkan sebagai tanda bukti hak yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang
berupa ketetapan tertulis dengan tujuan untuk menghubungkan
hubungan hukum yang sebelumnya tidak ada menjadi ada.
Ketetapan tertulis yang dikeluarkan disebut “surat keputusan”
merupakan alat bukti lahirnya hubungan hukum yaitu “hak” antara
seseorang atau badan hukum sebagai pemegang hak atas tanah
dengan tanahnya.
Hasil Penelitian

115
Lihat Marbun, h. 104-105
233
Prosedur hukum pemberian Surat Keputusan Pemberian
Hak Milik Atas Tanah yang berasal dari obyek landreform adalah
dikeluarkannya Surat Keputusan Panitia Landreform yang
menyatakan bahwa tanah dimaksud adalah tanah yang terkena
ketentuan landreform. Langkah selanjutnya adalah diterbitkannya
Surat Keputusan Pemberian Hak atau Surat Keputusan
Redistribusi Tanah untuk diberikan kepada penerima hak atas
tanah sepanjang penggarap tanah telah memenuhi syarat yang
ditentukan dalam PP Nomor 224 tahun 1961 Pasal 8 (delapan)
yaitu penggarap yang mengerjakan tanah tersebut. Begitu surat
keputusan diterbitkan, sejak saat itu status tanah negara berubah
menjadi tanah hak milik tanpa harus memenuhi persyaratan dan
kewajiban sebagaimana ditentukan dalam surat keputusan
pemberian haknya. Kecuali dalam hal pengajuan permohonan
sertipikat hak atas tanah harus memenuhi persyaratan dan
kewajiban sebagaimana ditentukan dalam surat keputusan
pemberian hak nya. Kekuatan hukum surat Keputusan pemberian
hak milik atas tanah redistribusi/obyek landreform tidak batal
dengan sendirinya karena tidak ada klausula yang menentukan
kalimat “batal dengan sendirinya” bilamana penerima hak milik
tidak memenuhi persyaratan dan kewajiban yang dimaksud
dalam surat keputusan, kecuali dicabut atau dibatalkan. Setelah
penerima hak menerima surat keputusan redistribusi tanah dan
telah memenuhi syarat-syarat, kewajiban dan jangka waktu yang
harus dipenuhi, badan atau pejabat tata usaha negara dalam hal
ini Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota menerbitkan keputusan
tata usaha negara berbentuk sertipikat hak atas tanah.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa dilanggarnya
prosedur hukum yang harus dipenuhi atas suatu keputusan atau
ketetapan yang diterbitkan oleh badan atau pejabat tata usaha
negara maka keputusan tersebut menjadi tidak sah karena tidak
memenuhi prosedur hukum atau syarat formal; dan menurut
penjelasan Pasal 53 UU No. 5 tahun 1986 jo UU Nomor 51 tahun
2009 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pelanggaran prosedur yang dilakukan oleh badan atau
pejabat tata usaha negara dalam penerbitan sertipikat hak atas
tanah menjadi titik tolak atau memberi peluang untuk terjadinya
gugatan dari pihak-pihak yang dirugikan atas penerbitan sertipikat

234
hak atas tanah tersebut dan mengajukan gugatannya melalui
Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana kasus yang terjadi
di Denpasar; yang diuraikan di bawah.
A. Studi Kasus
Para penggugat mendalilkan bahwa pemilik tanah obyek
perkara yang berasal dari Ni Gusti AS berdasarkan atas SK
Panitia Landreform Daerah Tingkat II Badung tanggal 21 Pebruari
1963 Nomor A/XX/202/57 atas nama wajib lapor I Gusti Adi
termasuk sebagai tanah yang dipilih untuk tetap dimiliki dan
menjadi bagian dari I Gusti NMM sebagai salah satu dari delapan
unit keluarga wajib lapor tersebut; Berdasarkan Keputusan
Menteri Negara Agraria/KBPN No.9-XI-1998 tanggal 20 Juli 1998,
sertipikat hak milik tanah obyek perkara dibatalkan atas
permohonan pihak ketiga yakni. DL, Dkk., dan atas dasar surat
keputusan pembatalan tersebut tergugat menerbitkan sertipikat
hak milik Nomor 3395/Pemecutan Kaja, atas nama DL, dkk.
Tindakan tergugat I dan II menurut penggugat bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
bertentangan dengan larangan berbuat sewenang-wenang; dan
bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik
(AUPB) sebagaimana Pasal 53 ayat 2 a dan c UU No. 5 tahun
1986. Berdasarkan hal tersebut, penggugat mengajukan gugatan
yang pada pokoknya memohon agar pengadilan untuk:
1. memerintahkan kepada tergugat I untuk menunda
pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)
yang disengketakan khususnya sertipikat hak milik
Nomor 3395/Pemecutan Kaja atas nama DL, dkk,
sampai ada putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap;
2. menyatakan batal atau tidak sah SK Menteri Negara
Agraria/KBPN Nomor 9-XI- 1998 dan Surat Keputusan
Kepala Kantor Pertanahan Kota Denpasar berupa
pengumuman tentang pembatalan sertipikat tanggal 31
Agustus 1998 Nomor 630. 61-1627 Denpasar dan
sertipikat hak milik Nomor 3395/ Pemecutan Kaja, atas
nama DL dkk.;
3. memerintahkan kepada tergugat I untuk mencabut SK
Kepala Kantor Pertanahan Kota Denpasar berupa
235
pengumuman tentang pembatalan sertipikat Nomor 630.
61-1627–Dps tanggal 31 Agustus 1998 dan sertipikat
hak milik Nomor 3395/Pemecutan Kaja an. DL dkk.
4. memerintahkan kepada tergugat II mencabut SK Menteri
Negara Agraria/KBPN Nomor 9-XI-1998 tanggal 20 Juli
1998.
1. Pertimbangan hukum Peradilan Tata Usaha Negara
Denpasar
Bahwa pada pokoknya berpendapat bahwa tergugat tidak
terbukti telah melakukan tindakan atau perbuatan hukum yang
melanggar ketentuan Pasal 53 ayat (2) sub a Undang -Undang
Nomor 5 tahun 1986.

Dasar pertimbangan hukumnya:


Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 2 dan 3 dan Pasal 55
ayat (3) serta Pasal 52 ayat (1) PP Nomor 24 tahun 1997; dan
menimbang meskipun terjadi sengketa atas tanah hak yang
menyangkut mengenai data fisik dan yuridis sepanjang tidak ada
catatan di dalam buku tanah sebagaimana Pasal 30 ayat 1 huruf
c, d dan e PP No. 24 tahun 1997 tidak ada halangan untuk
menerbitkan sertipikat. Berdasarkan pertimbangan hukum
tersebut, terbitnya sertipikat hak milik Nomor 3395, atas nama
DL, dkk tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan baik yang bersifat prosedural, substansial dan
wewenang sesuai Pasal 53 ayat (2) sub a UU Nomor 5 tahun
1986. Tidak terbuktinya melanggar peraturan perundang-
undangan dengan sendirinya tidak terdapat ada unsur sewenang-
wenang dari tergugat I dan II di dalam mengeluarkan obyek
sengketa; Atas dasar pertimbangan hukum tersebut, putusan
PTUN, No. Reg. 25/G/1998/ PTUN. Denpasar, tanggal 28 April
1999, dalam amar putusannya: menolak gugatan penggugat
seluruhnya.
2. Pertimbangan hukum Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara
Surabaya
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar
dikuatkan Putusan PTTUN No. Reg. 82/B/TUN/1999/PT.TUN.
Surabaya, tanggal 4 Agustus 1999, dengan amar putusannya:
236
menguatkan putusan PTUN, No. 25/G/1998/PTUN. Denpasar,
tanggal 29 April 1999;
3. Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung
Dalam tingkat Kasasi, Mahkamah Agung pertimbangan
hukumnya berbeda pendapat dengan putusan pengadilan
sebelumnya, bahwa:
a. Termohon kasasi telah menerbitkan Surat pembatalan
sertipikat hak milik No. 129/Desa Pemecutan Kaja. an. I
Gusti NMM menjadi an. LSP, hanya atas dasar
kesimpulan–kesimpulan dan fakta-fakta saja yang
disampaikan DL, salah satu an. LSP, yang mendapat
kuasa dari saudaranya;
b. Bahwa sebenarnya terdapat suatu sengketa pemilikan
obyek perkara antara para pemohon kasasi/penggugat
dengan LSP;
c. Bahwa untuk dapatnya membatalkan sertipikat hak milik
dalam perkara ini, seharusnya tergugat I, II
mendasarkan kepada suatu putusan dari pengadilan
umum yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
tentang siapa pemilik obyek perkara tersebut;
Atas dasar pertimbangan di atas, Mahkamah Agung dalam
putusan MARI Nomor Reg. 370 K/TUN/1999 tanggal 12 Oktober
2001, memutuskan:
a. Menyatakan batal atau tidak sah surat keputusan
pembatalan dari Menteri Agraria/KBPN dan Surat
Keputusan Kepala Kantor Pertanahan kota Denpasar
dan pembatalan sertipikat hak milik No. 3395/
Pemecutan Kaja atas nama DL;
b. Memerintahkan kepada tergugat I untuk mencabut Surat
Keputusan Kepala kantor Pertanahan Kota Denpasar
dan pembatalan sertipikat hak milik No. 3395/
Pemecutan Kaja, atas nama DL
c. Memerintahkan kepada tergugat II untuk mencabut
Surat Keputusan Pembatalan Menteri Agraria/KBPN;
4. Pertimbangan Hukum Peninjauan kembali (PK)
Dalam Putusan Peninjauan kembali Mahkamah agung PK
No. Reg. 39 K/TUN/2002 tanggal 17 Maret 2004; amarnya:

237
Menolak permohonan peninjauan kembali dari pemohon
peninjauan kembali I dan II; dengan unsur-unsur sebagai berikut:
a. Bahwa tanah obyek hak milik No. 129 tersebut asalnya
adalah milik Ni. Gusti ABS, pipil No. 159, Persil No. 8a,
yang dalam rangka landreform dilaporkan oleh wajib
lapor I Gusti Adi yang selanjutnya ditindaklanjuti oleh
Keputusan Panitia Landreform Daerah Tingkat II Badung
tanggal 21 Pebruari 1963 No. A/XX/202/57. Di dalamnya
ditetapkan terdiri 8 unit keluarga yaitu: I Gusti Adi, dkk;
Berdasarkan dalil tersebut unit keluarga I Gusti NMM
ditetapkan berhak atas tanah sawah seluas 3 ha dan
tanah kering seluas 5,400 ha. Untuk I Gusti Ngurah
Made sendiri memperoleh tanah yang letaknya di Subak
Tanggulaji, pipil 159, persil 8a, seluas 3.200 m2. Dari
riwayat tanah obyek sengketa tersebut menunjukkan
bahwa obyek sengketa adalah tanah obyek landreform.
Hal yang tidak terlihat dalam kasus sengketa ini adalah
bukti adanya pembagian atas tanah yang berupa surat
keputusan dan kutipan surat keputusan pemberian hak
milik yang merupakan prosedur dan dasar penerbitan
sertipikat hak milik (dalam hal ini DL dkk);
b. Apabila tidak ada bukti kutipan surat keputusan
pemberian hak milik atas tanah, berarti berdasarkan
ketentuan landreform status tanah tersebut masih
merupakan tanah dengan status hukum tanah negara
obyek landreform yang belum terbagi; dengan status
tanah yang masih merupakan tanah negara tergugat
tidak berwenang untuk menerbitkan sertipikat hak milik
sebelum ada keputusan pemberian hak atas tanahnya
yang merupakan prosedur hukum dan sebagai alas hak
untuk dapat terbitnya sertipikat hak milik. Berarti terdapat
cacat yuridis berkaitan dengan aspek prosedur hukum
yang dilakukan tergugat dalam menerbitkan sertipikat
hak milik atas tanah obyek sengketa.
B. Analisis Hukum Kasus Perkara Pembatalan Sertipikat Hak
Milik Nomor 129/Desa Pemecutan Kaja
Kasus perkara yang diangkat dalam tulisan ini adalah kasus
AASO, dkk, (para penggugat) melawan Kantor Pertanahan Kota
238
Denpasar (tergugat I), Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional (tergugat II). Putusan Pengadilan yang
terkait PTUN Denpasar Nomor Reg. 25/G/TUN/PTUN.Dps,
tanggal 28 April 1999; PTTUN Surabaya Nomor Reg. 82/B/TUN/
1999/PT.TUN. SBY, tanggal 4 Agustus 1999; Putusan MARI
Nomor Reg. 370 K/TUN/1999, tanggal 2 Oktober 2001; dan PK
MARI Nomor 39 PK/TUN/2002, tanggal 17 Maret 2004. Obyek
perkara adalah tanah obyek landreform berasal dari tanah (adat)
yang terkena ketentuan undang-undang kelebihan maksimum
sertipikat hak milik Nomor 129/Pemecutan Kaja, atas nama I
Gusti NMM, terbit tanggal 23 Desember 1965, yang dibatalkan
berdasarkan Keputusan Menteri Negara Agraria/ KBPN tanggal
20 Juli 1998 No. 9-XI-1998.
Dalam kasus perkara ini persoalan hukum yang dianalisis
adalah bahwa tergugat dalam menerbitkan sertipikat hak milik
atas tanah perkara tersebut cacat hukum dalam prosedur. Hal
tersebut disebabkan penerbitan sertipikat hak atas tanah DL dkk
tidak mengikuti prosedur yang ditetapkan karena status tanahnya
obyek landreform; Prosedur hukum penerbitan sertipikatnya harus
melalui surat keputusan pemberian hak atas tanah atau surat
keputusan redistribusi dan telah memenuhi persyaratan dan
kewajiban sebagaimana ditentukan dalam surat keputusan
pemberian haknya yang kemudian dipakai sebagai alas hak
dalam penerbitan sertipikatnya. Dalam kasus ini penerbitan
sertipikat atas nama DL dkk melalui permohonan konversi sebagai
aturan yang harus ditempuh untuk mensertipikatkan hak atas
tanah yang berasal dari tanah adat/yasan; dengan kata lain
permohonan sertipikat atas nama DL dkk tidak sesuai dengan
prosedur hukum yang telah digariskan sehingga membuka
peluang untuk diganggu gugat atas keputusan yang telah
dikeluarkan berupa sertipikat tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, pembatalan sertipikat hak atas
tanah oleh pengadilan tata usaha negara dengan alasan cacat
yuridis dalam prosedur lebih disebabkan penerbitan sertipikat hak
atas tanah DL dkk tidak mengikuti prosedur yang ditetapkan untuk
tanah negara yang berasal dari obyek landreform dimana
tahapannya adalah:

239
1. dikeluarkannya Surat Keputusan Panitia Landreform
yang menyatakan bahwa tanah dimaksud adalah tanah
yang terkena ketentuan landreform;
2. diterbitkannya Surat Keputusan Pemberian Hak atau
Surat Keputusan Redistribusi Tanah untuk diberikan
kepada penerima hak atas tanah berdasarkan PP
Nomor 224 tahun 1961 Pasal 8 (delapan) yaitu
penggarap yang mengerjakan tanah tersebut;
3. setelah penerima hak menerima surat keputusan
redistribusi tanah dan telah memenuhi syarat-syarat,
kewajiban dan jangka waktu sebagaimana ditentukan
dalam surat keputusan pemberian hak, Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota menerbitkan Keputusan Tata Usaha
Negara berbentuk Sertipikat hak Atas Tanah.
D. Akibat Hukum Sertipikat Hak Atas Tanah Redistribusi
yang Dibatalkan oleh Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara
Akibat hukum sertipikat yang dibatalkan oleh putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan kajian tentang akibat
dari adanya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang amar
putusannya berisi pembatalan keputusan pemberian hak atas
tanah yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang diperkarakan; Dalam kasus ini keadaan lebih
disebabkan ada kesalahan prosedur hukum dalam keputusan
pemberian hak atas tanahnya sehingga bertentangan dengan
undang-undang yang berlaku yang diketemukan dalam sidang
pengadilan yang dituangkan dalam pertimbangan hukumnya
terkait dengan adanya cacat hukum dalam aspek wewenang,
prosedur dan substansinya sehingga terjadi error in re atau
kesalahan dalam keputusan pemberian hak atas tanah
sebagaimana terlihat dalam kasus perkara yang diungkap di atas.
Dalam ajaran ilmu hukum suatu keputusan adalah sah
menurut hukum (rechmatig) sehingga keputusan tersebut
mempunyai kekuatan hukum untuk dilaksanakan (rechtskracht).
Sebaliknya apabila suatu keputusan tidak memenuhi persyaratan
maka menurut hukum keputusan tersebut menjadi tidak sah (niet
rechtsgeldige beschikking) yang berakibat hukum “batal” (nietig),
dapat dibatalkan” (vernietigbaar), atau batal karena hukum
240
(nietigheid van rechtswege). Ruang lingkup keabsahan tindak
pemerintahan meliputi wewenang, prosedur dan substansi;
dengan kata lain ketiga aspek tersebut merupakan landasan
hukum untuk dapat dikatakan suatu ketetapan atau keputusan
tersebut sah menurut hukum. Aspek wewenang dalam hal ini
bahwa pejabat yang mengeluarkan ketetapan tersebut memang
mempunyai kewenangan sesuai ketentuan yang berlaku untuk itu.
Aspek prosedur, berarti bahwa keputusan tersebut dikeluarkan
sesuai dengan tatacara yang disyaratkan dan bertumpu kepada
asas keterbukaan pemerintah. Aspek substansi, menyangkut
subyek dan obyek yang tercantum dalam keputusan sehingga
tidak ada “error in re”116 atau tidak ada kesalahan.
Akibat hukum sertipikat yang dibatalkan oleh putusan
pengadilan tata usaha negara harus dilihat dahulu apakah
sertipikat yang dibatalkan tersebut berkarakter deklaratif atau
konstitutif. Sertipikat hak atas tanah yang berkarakter deklaratif
merupakan sertipikat hak yang lahir dari suatu penetapan tertulis
yang dikeluarkan badan atau pejabat tata usaha negara yang
diberikan wewenang untuk itu. Sifat karakter deklaratif diperoleh
dari ketetapan tertulis yang bersifat menegaskan karena
pemegang hak atas tanah memenuhi persyaratan administratif
yang ditentukan oleh peraturan perundangan yang berlaku;
dengan kata lain, ciri khas di dalam keputusan yang deklaratif
pada hakekatnya hanya menegaskan hubungan hukum yang
pada dasarnya sudah ada. Hak kepemilikan antara subyek yang
menguasai dengan obyek (tanahnya) oleh hukum diakui
keberadaannya; sehingga keputusan deklaratif bukan syarat
mutlak, dimana hubungan hukum masih dapat dibuktikan dengan
alat bukti perolehan hak kepemilikan (keperdataan ) yang lain,
sebagaimana diatur dalam PP No. 24 tahun 1997 jo PMNA/No.3
tahun 1997. Konsekuensi yuridis dari keputusan tata usaha
negara yang berkarakter deklaratif, sertipikat hak atas tanah yang
diterbitkan berfungsi sebagai tanda bukti kepemilikan. Sebaliknya,
sertipikat hak atas tanah yang berkarakter konstitutif merupakan
sertipikat hak atas tanah yang diterbitkan sebagai tanda bukti hak
yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang

116
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah
Mada University Press, Jogjakarta, 2005, h.83
241
berupa ketetapan tertulis dengan tujuan menghubungkan
hubungan hukum yang sebelumnya tidak ada dan karena
ketetapan tertulis hubungan hukum menjadi ada. Ketetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha
negara disebut “surat keputusan” merupakan alat bukti lahirnya
hubungan hukum yaitu “hak” antara seseorang atau badan hukum
sebagai pemegang hak atas tanah dengan tanahnya. Keputusan
dari badan atau pejabat tata usaha negara tersebut merupakan
alat bukti “mutlak” lahirnya sesuatu hak atas tanah; dan atas dasar
keputusan ini sesuai ketentuan PP 24 tahun 1997 merupakan
landasan yuridis lahir atau terbitnya sertipikat hak atas tanah;
dengan demikian tanpa adanya keputusan tersebut tidak mungkin
terjadi hubungan hukum antara seseorang atau badan hukum
dengan tanahnya. Berdasarkan keputusan dari badan atau
pejabat tata usaha negara inilah pemegang hak atas tanah dapat
meminta diterbitkan tanda bukti haknya berupa sertipikat.
Konsekuensi yuridis dari keputusan tata usaha negara yang
berkarakter konstitutif, sertipikat hak atas tanah yang diterbitkan
berfungsi sebagai tanda bukti kepemilikan.
Sesuai dengan konstruksi hukum dari sertipikat yang
berkarakter yuridis yang bersifat konstitutif, bilamana terjadi
sengketa maka sebagaimana hukum acara yang diatur dalam UU
Nomor 5 tahun 1986 jo UU Nomor 9 tahun 2004 merupakan
wilayah hukum dari peradilan tata usaha negara seperti yang
terlihat dari kasus-kasus yang ada. Di dalam kasus-kasus
sengketa tersebut yang menjadi obyek gugatan dan dasar
putusan dari pengadilan tata usaha negara adalah keabsahan dari
surat keputusan pemberian hak atas tanah yang diterbitkan badan
atau pejabat tata usaha negara yang berfungsi sebagai bukti
perolehan hak atas tanah dalam hal ini sertipikat hak atas tanah.
Dalam kasus sengketa yang diputus oleh pengadilan tata
usaha negara di dalam putusan dinyatakan bahwa bukti perolehan
hak kepemilikan atas tanah terbukti dalam pertimbangan
hukumnya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku karena adanya error in re berhubungan dengan
salah satu aspek wewenang, prosedur atau substansi. Akibat
hukumnya bukti perolehan hak atas tanah yang berupa surat
keputusan pemberian hak atas tanah menjadi tidak sah atau batal

242
yang dalam wujudnya berupa sertipikat hak atas tanah. Adanya
pembatalan terhadap bukti kepemilikan hak atas tanah maka isu
hukumnya adalah bagaimana dengan status hukum dari sertipikat
hak atas tanahnya.
Telah dikemukakan konstruksi hukum suatu keputusan
konstitutif adalah hubungan hukum antar subyek dan obyek
(tanah) baru akan terbangun dan sah menurut hukum manakala
adanya keputusan konstitutif; dengan kata lain secara a contrario
bilamana hubungan hukum dicabut maka sudah barang tentu
obyeknya akan kembali kepada keadaan semula sebelum adanya
keputusan; dengan kata lain ciri khas karakter keputusan yang
bersifat konstitutif, berfungsi sebagai jembatan lahirnya suatu
hubungan hukum yang secara yuridis sebelumnya dianggap oleh
hukum belum ada antara subyek hukum dan obyeknya dalam hal
ini adalah tanah. Sifat hubungan hukum yang ada antara subyek
dan obyeknya menurut hukum hanya terbatas berupa hubungan
fisik, atau hubungan penguasaan. Hubungan hukum antara
subyek dan obyek baru terjadi dengan adanya suatu perbuatan
atau tindakan hukum dari badan dan pejabat tata usaha negara
yakni keputusan tata usaha negara yang berupa surat keputusan
pemberian hak atas tanah. Surat keputusan tersebut berfungsi
sebagai instrumen bukti kepemilikan hak atas tanah dan sekaligus
sebagai dasar alas hak untuk dapatnya terbit sertipikat hak
kepemilikan atas tanah yang merupakan keputusan tata usaha
negara, berfungsi sebagai tanda bukti dan alat bukti kepemilikan
hak atas tanah. Pengaturan perolehan hak kepemilikan atas tanah
yang lahir dari keputusan konstitutif diatur dalam peraturan
perundangan antara lain: Keppres Nomor 32 tahun 1979, PMDN
Nomor 5 tahun 1973 jo PMDN Nomor6 tahun 1972, selanjutnya
dicabut oleh PMNA/KBPN Nomor 9 tahun 1999 jo PMNA/KBPN
Nomor 3 tahun 1999. Keseluruhan peraturan tersebut diatas
materinya mengatur ketentuan hukum mengenai penguasaan,
peruntukan, penggunaan, pemanfaatan atas tanah yang dikuasai
oleh negara secara langsung atau tanah-tanah negara.
Melihat konstruksi hukum dari karakter sertipikat hak atas
tanah yang bersifat konstitutif dan dengan mengingat peraturan
hanya dimungkinkan bahwa hak milik atas tanah yang
berdasarkan pada keputusan tata usaha negara yang bersifat

243
konstitutif berasal dari tanah-tanah yang tidak atau belum dilekati
oleh suatu hak atas tanah di atasnya. Dalam pengertian hukum
tanah (UUPA) adalah tanah-tanah berstatus hukum tanah yang
dikuasai langsung oleh negara atau disebut “tanah negara”.
Berdasarkan ketentuan hukum dan ajaran hukum tersebut maka
dengan dibatalkannya keputusan pemberian hak atas tanah yang
berupa sertipikat maka sebagai konsekuensi yuridis status hukum
dari tanah yang dikuasai oleh subyek hukum berdasarkan
keputusan tata usaha negara tersebut berubah kembali kepada
bentuk status hukum semula sebelum terbit keputusan tata usaha
negara yakni merupakan tanah yang dikuasai langsung oleh
negara atau disebut tanah negara. Akibat hukum adanya
pembatalan sertipikat hak atas tanah oleh pengadilan tata usaha
negara berakibat pada batalnya keputusan pemberian hak yang
berupa sertipikat hak atas tanah dan berakibat hukum terhadap
status hukum obyek haknya.
Merujuk uraian di atas yang perlu ditelusuri terlebih dahulu
apakah sertipikat yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional
dalam penelitian ini berkarakter deklaratif atau konstitutif. Setelah
ada kejelasan maka dapat diketahui akibat hukum atas terjadinya
pembatalan sertipikat tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, keputusan yang dikeluarkan
Badan Pertanahan Nasional merupakan keputusan yang sah
mengikat apabila memenuhi ketiga aspek hukum; pertama, BPN
merupakan badan atau pejabat tata usaha negara yang diberikan
wewenang untuk menerbitkan keputusan pemberian hak atas
tanah; kedua, dalam menerbitkan Surat Keputusan yang menjadi
dasar terbitnya sertipikat hak atas tanah sudah sesuai prosedur;
ketiga, sudah sesuai dengan substansi yang menjadi dasar terbit
sertipikat hak atas tanah dalam kaitannya dengan subyek, obyek,
maksud dan tujuan. Sebaliknya, pembatalan keputusan dapat
dilakukan apabila salah satu aspek hukum di atas tidak terpenuhi.
Dalam Pasal 53 ayat (2) UU. Nomor 5 tahun 1986
ditentukan alasan gugatan dan sekaligus pengujian oleh hakim
pengadilan terhadap keputusan tata usaha negara adalah:
1. seseorang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata
usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis

244
kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan
agar keputusan tata usaha negara itu dinyatakan batal
atau tidak sah, dengan atau disertai tuntutan ganti rugi
dan atau direhabilitasi;
2. alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:
a. keputusan tata usaha negara yang digugat itu
bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
b. badan atau pejabat tata usaha negara pada waktu
mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnya
untuk tujuan lain dari maksud diberikannya
wewenang tersebut;
c. badan atau pejabat tata usaha negara pada waktu
mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan
sebagaimana dalam ayat (1) setelah
mempertimbangkan semua kepentingan yang
tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak
sampai pada pengambilan keputusan tersebut.
Berdasarkan ketentuan di atas, keputusan tata usaha
negara dapat digugat dalam hal; pertama, bahwa keputusan tata
usaha negara tersebut bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam penjelasan diuraikan:
1. keputusan tata usaha negara itu bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan yang bersifat prosedural atau formal;
2. bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang bersifat material atau substansi;
3. keputusan tata usaha negara dikeluarkan oleh badan
atau pejabat tata usaha negara yang tidak berwenang;
ada tiga macam bentuk tidak berwenang (onbevoegd
heid)yaitu: onbevoegdheid ratione materiae (kompetensi
absolut), onbevoegdheid ratione loci (kompetensi relatif)
dan onbevoegdheid ratione temporis (tidak berwenang
dari segi waktu).

245
Kedua, badan atau pejabat tata usaha negara pada waktu
mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud
diberikannya wewenang disebut “penyalahgunaan wewenang” (de
tournament de pouvoir). Alasan dalam penjelasan otentik ini
dalam praktik sulit dibuktikan karenanya jarang digunakan.
Kalau kita kaitkan dengan alasan butir (a) kiranya dasar ini
dalam gugatan dapat saja dikatakan bahwa KTUN yang
dikeluarkan itu bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Di negeri Belanda dengan AROB
menunjukkan bahwa dasar ini jarang digunakan karena sulit
pembuktiannya. Oleh karena itu dalam gugatan sering
menggunakan dasar seperti tersebut dalam butir 3. 117
Ketiga, dalam penjelasan pasal ini dinyatakan bahwa dasar
pembatalan sering disebut “larangan berbuat sewenang-wenang
(willekeur) merupakan konsep yang sulit diukur.
Dewasa ini dalam perundang-undangan di Belanda konsep
willekeur digeser oleh konsep “kennelik onredelijk” yang
lebih operasional sehingga terukur. Dalam rumusan Pasal
53 ayat (2) huruf c tersebut operasional penjelasan yang
mengartikan rumusan itu sebagai “larangan berbuat
sewenang-wenang justru membuat rumusan yang
operasional–terukur menjadi sulit/tidak terukur. Kalau kita
bandingkan dengan ketentuan Wet AROB di Belanda,
nampaknya ada kesamaan untuk huruf a,b,c, sedangkan
huruf d tidak terdapat dalam Pasal 53 ayat 2.118
Pada awal perkembangan di bidang pertanahan, pemberian
hak atas tanah yang berasal dari obyek landreform ada pada
Menteri Agraria. Penjelasan di atas didasarkan Keputusan Menteri
Agraria Nomor SK. 112/Ka/61 tentang Pembagian Tugas
Wewenang Agraria, wewenang pemberian hak milik atas tanah
negara ada pada Menteri Agraria. Dalam Pasal 14 ayat (3) PP No.
224 tahun 1961 ditetapkan: pemberian hak milik pada ayat 2 pasal
ini dilakukan dengan Surat Keputusan Menteri Agraria atau

117
Philipus M. Hadjon (4), Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah
Mada University Press, Jogjakarta, 1997, h. 327
118
Philipus M. Hadjon, Ibid, 327
246
pejabat yang ditunjuk olehnya dan seterusnya. Sebaliknya,
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria
Nomor SK. XIII/17/Ka/1962 (TLN. No. 2512) tentang Penunjukan
Pejabat yang dimaksudkan dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah
Nomor 224 tahun 1961, menetapkan penyimpangan dari
ketentuan PMA Nomor SK. 112/Ka/1961, yang menunjuk pada
Kepala Inspeksi Agraria sebagai pejabat tata usaha negara yang
diberi wewenang memberikan hak milik atas tanah dalam rangka
pelaksanaan landreform, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal
14 PP Nomor 224 tahun 1961; dengan kata lain ada
pendelegasian wewenang. Di dalam penetapan kedua, huruf b:
Pemberian hak milik kepada petani yang mendapat
pembagian tanah disatu daerah tingkat II dilakukan
bersama dalam satu surat keputusan. Pemberian kutipan
dapat dilakukan oleh Kepala Agraria Daerah.
Kata “dapat” dalam ketentuan ini bisa diartikan dapat
dilakukan oleh Kepala Inspeksi atau bisa juga dilimpahkan kepada
Kepala Kantor Agraria Daerah, dimana kutipan surat keputusan ini
merupakan tanda bukti bagi penerima hak milik atas tanah negara
obyek landreform. Atas dasar surat keputusan pemberian hak
milik tersebut para pemegang hak milik setelah memenuhi syarat
dan kewajiban yang ditentukan dalam PP Nomor 224 tahun 1961
diwajibkan mendaftarkan hak miliknya. Dalam perkembangan di
bidang pertanahan dewasa ini karena adanya perubahan struktur
organisasi tugas dan wewenang sebagaimana diatur berdasarkan
PMNA/KBPN Nomor 3 tahun 1999, kewenangan didelegasikan
kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat,
termasuk pendaftaran hak milik atas tanahnya.
Selanjutnya dalam peraturan perundang-undangan alasan
yang menjadi dasar gugatan apabila keputusan Tata Usaha
Negara tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan, penyalahgunaan wewenang, sewenang-wenang, dan
bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik,
Sebagaiman diatur dalam Pasal 53 (1) UU Nomor 5 tahun 1986
jo. UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU
Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Kesimpulan

247
1. Tidak diikutinya prosedur hukum pemberian hak atas
tanah obyek landreform merupakan salah satu dasar
bagi peradilan tata usaha negara untuk membatalkan
sertipikat hak atas tanah disebabkan badan atau pejabat
tata usaha negara telah melakukan perbuatan hukum
mengeluarkan keputusan yang bersifat “salah prosedur”
dalam penerbitannya, sehingga keputusan badan atau
pejabat tata usaha negara bertentangan dengan
perundang-undangan yang berlaku. Ditemukannya
kesalahan prosedur menjadi dasar atau alasan
pengadilan dalam putusannya untuk menyatakan “batal”
(nietig) atas keputusan tersebut.
2. Akibat hukum sertipikat hak atas tanah redistribusi yang
dibatalkan oleh putusan pengadilan tata usaha negara di
dalam putusan dinyatakan bahwa bukti perolehan hak
kepemilikan atas tanah terbukti bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku karena
adanya salah prosedur berakibat bukti perolehan hak
atas tanah yang berupa surat keputusan pemberian hak
atas tanah atau sertipikat hak atas tanah redistribusi
tersebut menjadi tidak sah atau batal. Dibatalkannya
keputusan pemberian hak atas tanah yang berupa
sertipikat maka sebagai konsekuensi yuridis status
hukum dari tanah yang dikuasai oleh subyek hukum
berdasarkan keputusan tata usaha negara tersebut
berubah, kembali kepada bentuk status hukum semula
yakni merupakan tanah yang dikuasai langsung oleh
negara atau disebut juga tanah negara.
Saran
1. Setiap pembuatan keputusan tata usaha negara harus
dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah digariskan.
Apabila ketentuan mengenai prosedur hukum tidak
mendapat perhatian oleh Badan atau pejabat tata usaha
negara, akan berakibat dapat diganggu gugat atas
keputusan yang telah dikeluarkan.
2. Mengingat status tanah redistribusi menjadi tanah yang
dikuasai langsung oleh negara atau disebut juga tanah
negara, pengajuan pensertipikatan tanah redistribusinya
248
harus melalui tahapan; pertama, dikeluarkannya Surat
Keputusan Panitia Landreform yang menyatakan bahwa
tanah dimaksud adalah tanah yang terkena ketentuan
landreform; kedua, diterbitkannya Surat Keputusan
Pemberian Hak atau Surat Keputusan Redistribusi
Tanah untuk diberikan kepada penerima hak atas tanah
berdasarkan PP Nomor 224 tahun 1961 Pasal 8
(delapan) yaitu penggarap yang mengerjakan tanah
tersebut; ketiga, setelah penerima hak menerima surat
keputusan redistribusi tanah dan telah memenuhi syarat-
syarat, kewajiban dan jangka waktu sebagaimana
ditentukan dalam surat keputusan pemberian haknya,
badan atau pejabat tata usaha negara dalam hal ini
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota menerbitkan
keputusan tata usaha negara berbentuk sertipikat hak
atas tanah.

3. Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah oleh Peradilan Tata Usaha Negara
dengan Alasan Cacat Substansi
Latar Belakang
Pembatalan sertipikat hak atas tanah oleh peradilan tata
usaha negara dengan alasan cacat substansi adalah pembatalan
keputusan penerbitan sertipikat hak atas tanah yang dikeluarkan
badan atau pejabat tata usaha negara yang diketahui ada
kesalahan substansial sehingga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Kesalahan yang bersifat
substansi berarti suatu kesalahan yang bersifat pokok dalam
penerbitan keputusan pemberian hak atas tanah yang menjadi
dasar terbitnya sertipikat hak. Dalam konsep hukum administrasi,
salah satu aspek penting sahnya keputusan yang dikeluarkan oleh
badan atau pejabat tata usaha negara adalah aspek substansi
seperti subjek, objek, isi dan tujuannya. Lingkup substansial
berhubungan dengan isi dan tujuan sebagaimana isi dan tujuan
peraturan dasar tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan lain atau peraturan yang lebih tinggi dalam penerbitan
keputusan atau ketetapan tersebut. Soehino menjelaskan:
isi serta tujuan ketetapan administrasi harus sesuai dan isi
serta tujuan peraturan yang memuat aturan-aturan hukum
249
inabstrakto dan unpersonal yang menjadi dasar hukum,
serta memberi wewenang khusus kepada alat
perlengkapan administrasi negara untuk dapat melakukan
suatu perbuatan hukum yang berupa pembentukan aturan
hukum inkonkrito terhadap hal-hal atau keadaan konkret 119.
Dikemukakan Philipus M. Hadjon bahwa salah satu aspek
sahnya suatu keputusan atau ketetapan yang dikeluarkan badan
atau pejabat tata usaha negara adalah aspek substansif, artinya
obyek keputusan tidak ada error in re120. Jika ternyata terbukti
adanya error in re maka sesuai ketentuan Pasal 53 ayat 2 UU
Nomor 5 tahun 1986 jo UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua UU Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, keputusan dibatalkan karena bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dengan
menggunakan metode penelitian normatif, hasil penelitian ini
berupaya mengungkap dan menganalisis pembatalan sertipikat
hak atas tanah oleh peradilan tata usaha negara dengan alasan
cacat yuridis berkaitan dengan aspek substansi.
Bertitik-tolak dari uraian di atas, isu hukum nya “apakah
pengadilan dalam memutus perkara ini telah mempertimbangkan
aspek substansi terbitnya keputusan yang menjadi dasar terbitnya
sertipikat hak atas tanah yang menjadi obyek perkara”.
Analisis Hukum
Kasus perkara hak pakai nomor 39/ kel. Drm.
Berkaitan dengan pembatalan sertipikat hak atas tanah oleh
pengadilan tata usaha negara dengan alasan adanya cacat
substansi, topik kajiannya adalah studi kasus perkara penerbitan
sertipikat hak pakai nomor 39/Kel. Drm. Pokok perkaranya adalah:
penggugat mendalilkan menguasai obyek perkara berdasarkan
jual beli dari pengurus yayasan pengelola berdasarkan akta
otentik (Notaris-PPAT) tahun 1989. Tergugat menerbitkan
sertipikat hak pakai atas tanah obyek perkara atas nama
Pemerintah Daerah, dimana sebagian dari luas tanah obyek
119
Soehino, Asas-Asas Hukum Tata Usaha Negara, Liberty, Jogjakarta,
2000, h. 119.
120
Philipus M. Hadjon, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum,
Gajah Mada University Press, Jogyakarta, 2006, h.83.

250
perkara yang diterbitkan sertipikat hak pakai adalah tanah yang
dikuasai oleh penggugat yang diperolehnya berdasarkan jual beli
dengan yayasan pengelola tanah obyek perkara. Pertimbangan
hukum yang menjadi dasar putusan pengadilan adalah surat
keputusan tata usaha negara in litis tidak sesuai dengan
kenyataan yang sebenarnya, karenanya menjadi cacat hukum
melanggar asas kecermatan dan asas pertimbangan dari asas-
asas umum pemerintahan yang baik. Kasus perkara antara PT.
SKA dalam hal ini selaku penggugat melawan Kepala Kantor
Pertanahan Kota Surabaya selaku tergugat. Putusan yang terkait
dengan kasus perkara ini adalah putusan PTUN Nomor Reg.
34/PUT.TUN/1995/PTUN.Sby tanggal 31 Agustus 1995; PTTUN
Nomor Reg.90/B/1995/PT.TUN.Sby tanggal 25 Januari 1996;
Putusan MARI tanggal Nomor reg. 165 K/TUN/1996, tanggal 28
Oktober 1999; dan PK Nomor Reg. 23 PK/TUN/2001 tanggal 29
Mei 2002. Obyek perkara adalah tanah negara berstatus bekas
tanah eigendom, tercatat atas nama de stade Gemeente
Soerabaja (sic), bersertipikat hak pakai No. 39/Kel. Drm, atas
nama Pemerintah Daerah setempat yang terbit berdasarkan
keputusan pemberian hak pakai atas tanah negara yang
diterbitkan oleh tergugat.
Posisi kasus, dalam fundamentum petendi pada pokoknya
penggugat mendalilkan adalah pemilik sah atas bangunan seluas
± 3500m2 yang berdiri di atas sebidang tanah seluas ± 7.500m2
berdasarkan akta jual beli tanggal 25 Mei 1989 Nomor 32 dan
diperbaiki berdasarkan akta tanggal 11 Mei 1995 Nomor 6 dari
yayasan pengelola tanah obyek perkara. Bahwa pada saat
transaksi jual beli tanggal 25 Mei 1989 pihak penjual menyatakan
bahwa tanah dimana gedung tersebut berdiri statusnya adalah
Hak Pakai Nomor 17, namun kemudian dilakukan pembetulan
berdasarkan akta tanggal 11 Mei 1995 Nomor 6 karena pada
kenyataannya saat terjadi jual beli tanah a quo statusnya adalah
tanah negara bekas eigendom Nomor 12324; Bahwa pada tahun
1993 terbit sertipikat hak pakai nomor 39/Kel. Drm atas nama
Pemerintah Daerah setempat seluas 25.780 m2 berdasarkan
surat keputusan tergugat I tanggal 10 Mei 1995 Nomor 070/
HP/35/1993. Bahwa tergugat I dan II dalam menerbitkan
keputusan tata usaha negara aquo bertentangan dengan Keppres

251
Nomor 32 tahun 1979 jo. PMDN Nomor 3 tahun 1979 dan PMDN
Nomor 5 tahun 1973 dengan alasan status hukum obyek sengketa
adalah tanah eigendom bukan tanah partikelir.Menurut penggugat
penerbitan sertipikat hak pakai cacat hukum baik prosedural
maupun subtansial, serta tidak mempertimbangkan kepentingan
yang tersangkut yaitu hak prioritas penggugat selaku penghuni
atau pemilik gedung dan tidak pernah memberitahukan adanya
proses penerbitan sertipikat, tidak minta izin pada saat
pengukuran, tidak diumumkan; karenanya bertentangan dengan
Pasal 53 ayat 2 huruf a dan b UU Nomor 5 tahun 1986 sebatas
mengenai tanah seluas ± 7.500 m2 yang dikuasai penggugat.
Berdasarkan dalil-dalil gugatan tersebut maka penggugat dalam
petitum gugatannya memohon agar pengadilan memutuskan:
menyatakan surat keputusan pemberian hak pakai tidak sah dan
batal demi hukum sebatas tanah yang dikuasai penggugat seluas
± 7.500m2 karena bertentangan dengan Keppres Nomor 32 tahun
1979 jo. PMDN Nomor 3 tahun 1979 dan PMDN Nomor 5 tahun
1973; dan menyatakan sertipikat hak pakai atas nama Pemerintah
Daerah, surat ukur tanggal 11 April 1991 Nomor 259/S/1991 luas
25.780m2 tidak sah dan batal demi hukum sebatas tanah seluas ±
7.500m2 yang dikuasai penggugat.
Dalam pertimbangan hukumnya pengadilan tata usaha
negara berpendapat yang pada pokoknya: bahwa peralihan
perpindahan dan penyerahan yayasan pengelola obyek perkara
berdasarkan pada akta notaris tanggal 25 Mei 1989 Nomor 32 dan
akta tanggal 11 Mei 1995 Nomor 6 atas tanah seluas 7.500 m2
yang merupakan sebagian dari sebidang tanah negara bekas
eigendom verponding Nomor 12324; Bahwa dengan fakta-fakta di
atas sudah cukup meyakinkan kalau pertimbangan surat
keputusan tata usaha negara in litis tidak sesuai dengan
kenyataan yang sebenarnya, oleh karenanya menjadi cacat
hukum melanggar asas kecermatan dan asas pertimbangan/
motivasi dari asas-asas umum pemerintahan yang baik;
menimbang bahwa surat keputusan tergugat I dan revisinya cacat
hukum maka surat keputusan in litis harus dibatalkan; dan
karenanya sertipikat hak pakai yang diterbitkan oleh tergugat II
berdasarkan surat keputusan tergugat I harus dibatalkan maka
sertipikat hak pakai sebatas seluas 7.500 m2 yang dikuasai oleh

252
penggugat harus dinyatakan batal pula; Berdasarkan
pertimbangan hukum tersebut pengadilan tata usaha negara
Surabaya dengan Putusannya, No.Reg. 34/PUT.TUN/1995/
PTUN. SBY tanggal 31 Agustus 1995, dalam amar putusan pada
pokoknya: menyatakan batal surat keputusan tergugat mengenai
pemberian hak pakai kepada Pemerintah Daerah setempat
sebatas untuk seluas 7.500 m2 yang dikuasai penggugat; dan
menyatakan batal sertipikat obyek perkara atas nama Pemerintah
Daerah setempat, surat Ukur tanggal 11 April 1991 Nomor 259/
S/1991 sebatas luas 7.500 m2 yang dikuasai oleh penggugat;
Dalam tingkat banding Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara menguatkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
sebelumya, sebagaimana dalam putusan PTTUN Surabaya
Nomor Reg. 90/B/1995/PTTUN. SBY tanggal 31 Agustus 1995
yang menyatakan pada pokoknya menguatkan putusan PTUN
tanggal 31 Agustus 1995 Nomor 34/PUT.TUN/ 1995/PTUN. Sby.
Dalam tingkat Kasasi Mahkamah Agung dalam
pertimbangan hukumnya berpendapat sebaliknya dengan
Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tata Tinggi
Usaha Negara, sebagai berikut: jual beli bangunan antara
penggugat dengan yayasan pengelola harus ditafsirkan tidak
meliputi hak atas tanah, karena berdasarkan asas pemisahan hak
tanah yang dianut hukum agraria, pemilik bangunan belum tentu
pemilik tanah; sejak semula tanah ex eigendom adalah milik
pemerintah yang setelah tanggal 24 september 1960 sebagai
bekas pemegang hak atas tanah mempunyai hak prioritas untuk
mengajukan permohonan hak atas tanah, sedang penggugat tidak
mengajukan permohonan hak atas tanah.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas maka sertipikat
hak pakai atas nama Pemerintah Daerah setempat yang telah
diterbitkan oleh tergugat ternyata tidak bertentangan dengan
hukum karena Pemerintah Daerah setempat sebagai pemohon
hak atas tanah dari bekas hak atas tanah barat yang langsung
dikuasai negara mempunyai hak prioritas karena berstatus bekas
pemegang hak atas tanah barat dan tergugat sebagai pejabat
yang berwenang sudah memproses permohonan sesuai
ketentuan hukum yang berlaku, sedangkan penggugat sekedar
pemilik gedung/bangunan saja. Berdasarkan pertimbangan hukum

253
tersebut maka dalam Putusan MARI No. Reg. 165 K/TUN/1996,
tanggal 28 Oktober 1999, dalam amar putusan pada pokoknya:
mengabulkan permohonan kasasi dan membatalkan putusan
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang menguatkan Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara Sby.
Dalam peninjauan kembali Mahkamah Agung dalam
pertimbangan hukumnya menguatkan pertimbangan hukum yang
menjadi dasar putusan kasasi MARI Nomor Reg. 165 K/TUN/1996
tanggal 28 Oktober 1999. Mahkamah Agung dalam Peninjauan
Kembali berpendapat bahwa, terdapat kekeliruan hukum yang
nyata yaitu pertimbangan Pemerintah Daerah Sby sebagai
pemohon hak baru atas tanah bekas hak barat yang langsung
dikuasai negara mempunyai hak prioritas karena sebagai bekas
pemegang hak atas tanah barat dan tergugat sebagai pejabat
yang berwenang sudah memproses permohonan sesuai
ketentuan hukum yang berlaku. Pertimbangan yang bertentangan
dengan Keppres Nomor 32 tahun 1979 dan PMDN Nomor 3
tahun 1979 dan PMDN Nomor 5 tahun 1973 adalah sesuai
dengan peraturan tersebut yang harus diberikan prioritas untuk
mengajukan permohonan hak kepada Badan Pertanahan
Nasional adalah orang atau badan hukum yang secara de facto
menguasai persil/tanah tersebut dalam hal ini adalah pemohon
Peninjauan Kembali apalagi ternyata pemohon Peninjauan
Kembali sudah memiliki bangunan di atas tanah tersebut yaitu
berupa Gedung Olah Raga;
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Putusan
Peninjauan Kembali MARI Nomor Reg. 23.PK/TUN/2001, tanggal
2 Mei 2002 dalam amar putusannya mengabulkan permohonan
Peninjauan Kembali dari pemohon penggugat asal dan
membatalkan putusan MARI tanggal 28 Oktober 1999 Nomor
165K/TUN/1996 yang membatalkan putusan PTTUN tanggal 25
Januari 1996 Nomor 90/B/1995/PT.TUN. Sby yang menguatkan
Putusan PTUN tanggal 31 Agustus 1995 Nomor 34/G.TUN/1995/
PTUN. Sby; menyatakan batal Surat Keputusan Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur tanggal
10 Pebruari 1993 Nomor 070/HP/35/1993 mengenai pemberian
hak pakai kepada Pemerintah Daerah setempat sebatas luas
7.500 m2 yang dikuasai oleh penggugat asal; serta menyatakan

254
batal sertipikat hak pakai obyek perkara atas nama Pemerintah
Daerah Sby, surat ukur tanggal 11 April 1991 Nomor 259/S/1991
sebatas luas 7.500 m2 yang dikuasai penggugat;
Pengaturan tanah negara bekas eigendom verponding nomor
12324. tercatat atas nama de stade (sic) gemeente surabaja .
Istilah tanah negara dalam konteks peraturan perudang-
undangan pertanahan merupakan tanah yang dikuasai langsung
oleh negara. Makna yang terkandung di dalamnya adalah tanah-
tanah yang di atasnya tidak dilekati oleh sesuatu hak atas tanah.
Dalam konsep hukum tanah yang dikuasai langsung oleh negara
disebut “tanah negara” dan dapat ditemukan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 8 tahun 1953 (LN. 1953 No. 14) tentang
Penguasaan Tanah-Tanah Negara. Di dalam Pasal 1 dari
Peraturan pemerintah ini menetapkan bahwa yang dimaksud
dengan istilah tanah negara adalah tanah yang dikuasai penuh
oleh negara (Pasal 1a). Sesudah berlakunya UUPA, istilah tanah
negara ini diganti menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh
negara. Hal ini berdasarkan pertimbangan politik hukum yang ada
pada saat itu. Dijelaskan di dalam penjelasan umum UUPA bahwa
Negara Republik Indonesia berpendirian bukanlah pemilik tanah.
Negara adalah organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat atau
bangsa bertindak sebagai badan penguasa yang diberikan
wewenang untuk mengelola asset bangsa yang berupa
sumberdaya alam termasuk tanah. Sesuai dengan pendirian
tersebut maka perkataan “menguasai“ lebih tepat dari pada
“memiliki”. Sehingga pengertian tanah negara bukan tanah milik
(domein) negara, akan tetapi tanah yang dikuasai negara atau
disebut juga tanah negara.
Dilihat dari terjadinya atau asal usulnya, keberadaan tanah
negara ini dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis. Setiap jenis
tanah negara mempunyai sifat karakter yuridis yang berbeda-
beda. Pertama, tanah negara bebas (vrij lands domein), tanah
negara jenis ini merupakan tanah negara sejak dari semula belum
ada hak atas tanah yang melekat di atasnya; misalnya tanah-
tanah hutan belantara, tanah “timbul” atau tanah muncul yang
berasal dari endapan lumpur baik dipantai maupun di sungai-
sungai (aanslibing); Kedua, tanah negara bekas hak, yaitu tanah-
tanah negara yang berasal dari tanah-tanah yang semula ada hak
255
yang melekat di atasnya disebabkan karena adanya suatu
tindakan atau perbuatan hukum tertentu, bisa karena pencabutan,
pembebasan, pelepasan menjadi tanah negara. Dalam Pasal 11,
Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1953 ditetapkan bahwa
untuk tanah yang dikuasai oleh departemen tertentu yang berasal
dari pembebasan (pembelian) apapun haknya semula, menjadi
tanah negara yang kemudian dimohonkan haknya oleh
departemen yang bersangkutan. Di dalam ketetapan Pasal 11:
Tanah-tanah yang dibeli atau dibebaskan dari hak rakyat
oleh suatu departemen, jawatan atau daerah swatantra
dalam rangka menyelenggarakan/pelaksanaan kepentingan
nya menjadi “tanah negara” pada saat terjadinya
pembelian/pembebasan tersebut, dalam arti penguasaan
atas tanah tersebut ada pada Menteri Dalam Negeri dan
oleh Menteri Dalam Negeri akan diserahkan kepada
departemen yang bersangkutan.
Pasal 18 UUPA merupakan ketentuan hukum pencabutan
hak atas tanah yang dipunyai baik seseorang maupun badan
hukum yang dilakukan oleh negara untuk kepentingan umum.
Sehingga dengan adanya pencabutan, maka tanah tersebut
menjadi tanah negara, di dalam ketentuan Pasal 18:
Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa
dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak
atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian
yang layak dan menurut cara yang diatur undang–undang.
Ketiga, tanah negara yang karena ketentuan hukum
menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau menjadi
tanah negara. Model tanah negara jenis ini dapat ditemukan
dalam Undang-Undang Darurat Nomor 8 tahun 1954 (LN. 1954
Nomor 65) tentang penyelesaian soal pemakaian tanah-tanah
perkebunan oleh rakyat. Undang-Undang Darurat ini menjadi
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1961 (LN. 1961, Nomor 3). Di
dalam undang-undang ini mengatur tanah-tanah perkebunan yang
diduduki oleh rakyat pada masa kemerdekaan. Berdasarkan
undang-undang ini bagian-bagian perkebunan yang telah diduduki
rakyat harus dilepaskan oleh pemegang haknya menjadi tanah
yang dikuasai langsung oleh negara. Ketentuan Pasal 7:

256
1. dengan tidak menunggu selesainya soal penetapan
penggantian kerugian termaksud dalam Pasal 10, maka
sejak tanggal surat keputusan bersama tersebut pada
Pasal 5,6, dan 9, tanah perkebunan yang soalnya telah
diselesaikan menurut ketentuan dalam Pasal 7 ataupun
yang haknya telah dibatalkan atau dicabut menurut
ketentuan dalam Pasal 9 menjadi tanah negara, bebas
dari segala hak yang membebaninya.
2. Tanah perkebunan yang telah menjadi tanah negara
yang bebas tersebut di atas dapat diberikan dengan
sesuatu hak kepada rakyat dan penduduk yang
memenuhi syarat, menurut ketentuan yang diadakan
oleh Menteri Agraria.
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1958 (LN 1958 Nomor 2)
tentang Penghapusan tanah Partikelir, mengatur penghapusan
tanah-tanah partikelir, dimana di dalamnya masuk tanah hak
eigendom yang luasnya melebihi 10 Bouw milik perorangan atau
badan usaha. Tanah-tanah tersebut hapus demi hukum dan
menjadi tanah negara, di dalam Pasal 3 ditentukan:
Sejak mulai berlakunya undang-undang ini demi
kepentingan umum hak-hak pemilik beserta hak-hak
pertuanannya atas semua tanah-tanah partikelir hapus dan
tanah-tanah bekas tanah partikelir itu karena hukum
seluruhnya serentak menjadi tanah negara.
Di dalam Undang-Undang Nomor 86 tahun 1958 (LN 1958,
No. 162) tentang nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik
Belanda yang berada di dalam wilayah Republik Indonesia. Di
dalam Pasal 1 ditentukan bahwa: perusahaan-perusahaan
Belanda yang berada di wilayah Republik Indonesia yang akan
ditetapkan dengan peraturan pemerintah dikarenakan
nasionalisasi, dinyatakan menjadi milik penuh Negara Republik
Indonesia. Ketentuan Pasal 21 ayat 3 jo Pasal 27 UUPA
mengatur jangka waktu hak milik atas tanah yang dipunyai oleh
warga negara asing harus dilepaskan kepada yang lebih berhak
yaitu Warga Negara Indonesia. Jika tidak dilakukan maka
tanahnya demi hukum menjadi tanah yang dikuasai negara.
Ketentuan tersebut sebagai berikut:

257
Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-Undang ini
memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau
percampuran harta karena perkawinan, demikian pula
warga Negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan
setelah berlakunya Undang-Undang ini kehilangan
kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu didalam
jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut
atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka
waktu tersebut lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak
tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada
negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang
membebaninya tetap berlangsung.
Pasal 34 dan 40 UUPA mengatur hapusnya hak guna
usaha dan hak guna bangunan yaitu pada waktu haknya telah
berakhir, dengan berakhirnya hak tersebut maka tanahnya
menjadi tanah negara kecuali dilakukan perpanjangan jangka
waktu atau pembaharuan haknya oleh bekas pemegang haknya.
Pasal III ayat (2) Ketentuan Konversi UUPA, pengaturan tentang
hak erfpacht untuk pertanian kecil menjadi hapus menjadi tanah
negara, ketentuan Pasal III:
Hak erfpacht untuk pertanian kecil yang ada pada mulai
berlakunya Undang-Undang ini, sejak saat tersebut hapus
dan selanjutnya diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan
yang diadakan oleh Menteri Agraria.
Di dalam Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1979
tentang pokok-pokok kebijaksanaan dalam rangka pemberian hak
baru atas tanah asal konversi hak barat. Keputusan ini mengatur
mengenai tanah bekas hak barat yang dikonversi menurut
ketentuan konversi UUPA sejak 24 september 1980 berakhir
jangka waktu haknya, dinyatakan sebagai tanah yang dikuasai
langsung oleh negara. Di dalam Pasal 1 ini mengatur hak-hak
yang oleh ketentuan konversi diubah haknya menjadi hak menjadi
hak lain. Pertama, hak eigendom yang disebabkan tidak
memenuhi syarat penegasan konversinya sebagaimana diatur
dalam PERMENAG. Nomor 2 tahun 1960 diubah menjadi hak
guna bangunan untuk perumahan atau hak guna usaha untuk
tanah pertanian, dengan jangka waktu selama 20 tahun. Pasal 1
menetapkan:
258
Tanah hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai
asal konversi hak barat yang menurut ketentuan Undang-
Undang Nomor 5 tahun 1960 berakhir masa berlakunya
selambat-lambatnya pada tanggal 24 september 1980,
pada saat berakhirnya hak yang bersangkutan menjadi
tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Merujuk uraian di atas, terlihat bahwa kontruksi hukum
tanah negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh negara,
dapat dibedakan tanah negara yang bebas maupun yang berasal
dari tanah-tanah yang sebelumnya dilekati oleh sesuatu hak atas
tanah, baik itu hak barat maupun hak adat yang disebabkan suatu
perbuatan hukum ataupun ketentuan hukum menjadi tanah
negara serta menjadi tanah negara karena hukum. Persoalan
hukumnya adalah bagaimana dengan status hukum tanah-tanah
yang dikuasai instansi pemerintah dengan hak eigendom.
Di dalam Surat Departemen Agraria tanggal 1 Maret 1962,
Nomor Ka.3/1/1, perihal: status tanah Kotapraja/Kabupaten yang
dimilikinya berdasar Undang-Undang Pokok Agraria; Surat
tersebut menjelaskan mengenai tanah yang dikuasai instansi
pemerintah dalam hal ini adalah Kotamadya atau Kabupaten yang
menguasai tanah hak eigendom yang dikaitkan dengan tanah
partikelir dan konversi setelah berlakunya UUPA. Pertama,
Bilamana tanah eigendom tersebut luasnya lebih dari 10 Bouw (1
bouw = 7.500 m2) bisa dipastikan bahwa tanah tersebut terkena
ketentuan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1958 tentang
penghapusan tanah partikelir, konsekuensi yuridisnya adalah
menjadi tanah negara sejak tahun 1958. Jika diperlukan oleh yang
bersangkutan maka akan diberikan oleh Menteri Hak Penguasaan
(beheer) dengan surat keputusan pemberian hak; Kedua,
sebaliknya apabila luasnya kurang dari 10 bouw, berdasarkan
ketentuan konversi diubah menjadi hak guna bangunan sejak 24
september 1960 yang akan berlangsung 20 tahun berarti hak
tersebut akan berakhir jangka waktunya tahun 1980; Ketiga,
dalam surat tersebut memberikan solusi lain yaitu dimohonkan
dengan hak penguasaan (beheer). Secara lengkap isi surat
departemen agraria sebagai berikut:

259
Mengenai tanah-tanah yang sebelum berlakunya Undang-
Undang Pokok Agraria dipunyai Kotapraja-kotapraja/Kabupaten-
Kabupaten dengan hak eigendom:
a. Kalau hak eigendom itu terkena oleh Undang-undang
tentang penghapusan tanah-tanah partikelir, maka tanah
yang bersangkutan akan diberikan dengan surat
keputusan Menteri Agraria dengan hak penguasaan
(beheer) kepada kotapraja yang dulunya mempunyai
hak eigendom tersebut.
b. Jika mengenai tanah-tanah eigendom yang kecil-kecil
yang tidak terkena oleh undang-undang tentang
penghapusan tanah-tanah partikelir, berdasarkan
undang-undang pokok agraria, hak eigendom itu telah
dikonversi menjadi hak guna bangunan. Oleh karena
tanah-tanah yang demikian itu umumnya sudah dibebani
pula dengan hak erfpacht atau opstal, maka seyogyanya
diubah menjadi hak penguasaan (beheer) yang
penegasannya diselenggarakan dengan keputusan
Menteri Agraria (ketentuan konversi Undang-Undang
Pokok Agraria Pasal 1 ayat 5).
Isu hukum sehubungan Surat Departemen Agraria ini, apa
yang dimaksud dengan hak penguasaan dan pengaturannya. Hak
penguasaan ini merupakan bagian dari hak menguasai dari
negara yang mana penguasaannya dilimpahkan kepada instansi
atau badan hukum tertentu yang memenuhi syarat. Sebutan hak
penguasaan atau beheer ini diterjemahkan “hak pengelolaan”.
Berdasarkan PERMENAG Nomor 9 tahun 1965, Isi dan tujuan
dari pemberian hak pengelolaan diatur dalam Peraturan Menteri
Agraria dan PERMENAG Nomor 1 tahun 1966, wajib didaftarkan.
Berkaitan dengan status tanah obyek perkara, dengan
mencermati penjelasan Surat Departemen Agraria bukan
berstatus tanah negara bekas tanah partikelir mengingat luasnya
tidak melebihi dari 10 bouw. Status tanah sengketa tersebut
adalah tanah negara bekas hak eigendom yang tercatat atas
nama instansi pemerintah sebagaimana dalil tergugat dan alat
bukti yang dilampirkan tergugat. Di dalam Surat Keputusan
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa
Timur tersebut, terdapat catatan penegasan bahwa tanah bekas
260
hak eigendom verponding Nomor 12324, surat ukur tanggal 28
Agustus 1926 Nomor 191 seluas 25.798 m2, atas nama De stade
Gemeente Soerabaja (sic) terletak di jalan Ind. Sby. Berdasarkan
penjelasan Surat Departemen Agraria, tanah tersebut dikonversi
menjadi hak guna bangunan dan seharusnya diajukan hak
penguasaan atau hak pengelolaan dan didaftarkan agar status
hukumnya menjadi jelas. Mengingat bahwa status hukumnya
menjadi hak guna bangunan karena ketentuan konversi maka
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1979, dengan
mengingat jangka waktu haknya berakhir, menjadi tanah yang
dikuasai langsung oleh negara atau tanah negara. Pertanyaan
selanjutnya adalah, dasar atau landasan hukum apa saja yang
harus dipenuhi dalam penerbitan keputusan pemberian hak atas
tanah negara bekas eigendom yang tercatat atas nama de Stade
gemeente Surabaja, agar tidak terjadi error in re. untuk menjawab
isu hukum tersebut berarti kajian analisisnya berkaitan dengan
aspek substansi dari keputusan pemberian hak atas tanah negara
bekas eigendom Pemerintah Daerah Surabaya.121
Aspek substansif keputusan pemberian hak atas tanah
negara bekas eigendom tercatat atas nama de stade
gemeente soerabaja (sic).
Pada hakekatnya semua tanah negara dapat diajukan
permohonan sesuatu hak tertentu oleh pihak-pihak yang
berkepentingan atas tanah tersebut. Berdasarkan ketentuan
hukum, ada aspek substansi yang harus dipenuhi baik itu subyek
hukum yang mengajukan permohonan pemberian haknya, obyek
tanah (berkaitan dengan status hukumnya) maupun bagi badan
atau pejabat tata usaha negara dalam rangka melakukan tindakan
hukum menerbitkan keputusan pemberian hak atas tanah yang
dimohon haknya. Tujuannya agar keputusan tersebut tidak
menyalahi ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum dapatnya
diterbitkan keputusan sesuai dengan isi dan tujuannya. Apabila
aspek substansif ini tidak terpenuhi berakibat batal keputusan dan
penerbitan sertipikatnya. Dikaitkan dengan posisi kasus sengketa,
Isu hukumnya adalah aspek substansi apa saja yang harus

121
Lihat Boedi Djatmiko Hadiatmodjo, Pembatalan Sertipikat Hak Atas
Tanah dan Akibat Hukumnya, disertasi Univ. Airlangga, 2007, h.131-139
261
dipenuhi agar tidak terjadi error in re dalam pembuatan keputusan
dan penerbitan sertipikat; dan apakah telah terjadi error in re.
Mengingat waktu terjadinya kasus sengketa, melihat subyek
dan status hukum obyek sengketa, merupakan titik tolak analisis
kajian aspek substansi dalam kasus sengketa ini. Aspek substansi
yang diatur dalam dalam Keputusan Presiden Nomor 32 tahun
1979 tentang pokok-pokok kebijaksanaan dalam rangka
pemberian hak baru atas tanah asal konversi hak-hak barat. Di
dalam keputusan presiden ini prinsip-prinsip substantif yang
diatur: Pertama, pada prinsipnya tanah-tanah hak barat asal
konversi hak baru sejak tanggal 24 september 1980 menjadi
tanah negara. Tanah negara bekas konversi hak barat yang telah
menjadi tanah negara ditata kembali penggunaan, penguasaan
dan kepemilikannya dengan memperhatikan: tata guna tanah,
sumberdaya alam dan lingkungan hidup, keadaan beban dan
penduduk, rencana pembangunan daerah, kepentingan bekas
pemegang hak dan penggarap tanah/penghuni bangunan. Hal
tersebut ditetapkan dalam Pasal 1 Keputusan Presiden:
1. tanah hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak
pakai asal konversi hak barat, yang jangka waktunya
akan berakhir selambat-lambatnya pada tanggal 24
september 1980, sebagaimana yang dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960, pada saat
berakhirnya hak yang bersangkutan menjadi tanah yang
dikuasai langsung oleh negara;
2. tanah-tanah tersebut ayat (1) ditata kembali
penggunaan, penguasaan dan pemilikannya dengan
memperhatikan:
a. masalah tata guna tanahnya;
b. sumber daya alam dan lingkungan hidup;
c. keadaan kebun dan penduduknya;
d. rencana pembangunan di daerah;
e. kepentingan-kepentingan bekas pemegang hak dan
penggarap tanah/penghuni bangunan.
Kedua, pada prinsipnya yang ditetapkan dalam keputusan
presiden ini, bahwa bekas pemilik dapat mengajukan hak baru,
apabila memenuhi syarat dan dipergunakan sendiri, kecuali tanah-
tanah tersebut diperlukan untuk proyek-proyek pembangunan
262
untuk kepentingan umum. Apabila memang diperlukan untuk
proyek kepentingan umum maka bagi bekas pemegang haknya
diberikan ganti kerugian. Hal tersebut ditetapkan dalam Pasal 2
dan 3. Di dalam Pasal 2 ditetapkan:
Kepada bekas pemegang hak yang memenuhi syarat dan
mengusahakan atau menggunakan sendiri tanah/
bangunan, akan diberikan hak baru atas tanahnya, kecuali
apabila tanah tersebut diperlukan untuk proyek-proyek
pembangunan bagi penyelenggaraan kepentingan umum.
Selanjutnya dalam Pasal 3 :
Kepada bekas pemegang hak yang tidak diberikan hak baru
karena tanahnya diperlukan untuk proyek pembangunan,
maka diberikan ganti rugi yang besarnya akan ditetapkan
oleh suatu Panitya Penafsir.
Ketiga, pada prinsipnya kepada rakyat yang menduduki
dan menjadikan perkampungan atas tanah bekas konversi hak
barat diberikan prioritas untuk diberikan hak baru atas tanah. Hal
tersebut ditetapkan di dalam Pasal 4 dan 5 Keputusan Presiden
ini. Di dalam Pasal 4:
Tanah-tanah hak guna usaha asal konversi hak barat yang
sudah diduduki oleh rakyat dan ditinjau dari sudut tata guna
tanah dan keselamatan lingkungan hidup lebih tepat
diperuntukkan untuk pemukiman atau kegiatan usaha
pertanian akan diberikan hak baru kepada rakyat yang
mendudukinya.
Di dalam Pasal 5:
Tanah-tanah perkampungan bekas hak guna bangunan dan
hak pakai asal konversi hak barat yang telah menjadi
perkampungan atau diduduki rakyat, akan diberikan
prioritas kepada rakyat yang mendudukinya, setelah
dipenuhinya persyaratan-persyaratan yang menyangkut
kepentingan bekas pemegang hak tanah.
Keempat, pada prinsipnya tanah negara bekas konversi
hak barat yang sebelumnya dikuasai oleh perusahaan negara,
perusahaan daerah atau badan-badan negara akan diberikan
pembaharuan hak. Hal tersebut ditetapkan di dalam Pasal 6 :

263
Hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai asal
konversi hak barat yang dimiliki oleh perusahaan milik
negara, perusahaan daerah serta badan-badan negara
diberi pembaharuan hak atas tanah yang bersangkutan
dengan memperhatikan Pasal 1.
Melihat materi Keputusan Presiden, maka secara substansi
subyek hukum prioritas untuk dapat mengajukan permohonan
sesuatu hak atas tanah asal konversi hak barat ini adalah:
1. Prioritas pertama ada pada negara, dengan catatan bila
diperlukan untuk proyek-proyek yang berhubungan
dengan kepentingan umum (Pasal 2 dan Pasal 3);
2. Prioritas kedua adalah bekas pemegang hak atas tanah
negara bekas hak barat tersebut. Bekas Pemegang hak
termasuk perusahan-perusahan milik negara dan derah
atau badan-badan negara yang masih dikuasai (dimiliki)
untuk tanah tersebut dengan pembaharuan hak; dengan
cacatan memperhatikan masalah tata guna tanah,
sumberdaya alam dan lingkungan hidup, keadaan kebun
dan penduduknya, rencana pembangunan di daerah dan
kepentingan bekas pemegang haknya dan penggarap/
penghuninya (Pasal 3, 6 dan 1).
3. Prioritas ketiga adalah rakyat penggarap dan penghuni
tanah negara bekas hak barat tersebut akan diberikan
hak baru yang memenuhi syarat (Pasal 4 dan 5).
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1979,
secara substansi yang mendapatkan prioritas adalah bekas
pemegang hak eigendom tertulis atas nama de Stade gemeente
Soerabaja.(sic). Sebaliknya, posisi penggugat dalam kasus
sengketa ini adalah dengan menelaah atau mengkaji ketentuan
pasal-pasal dalam Keputusan Presiden tersebut berada pada
posisi ketiga, yaitu sebagai penghuni atau penggarap atas tanah
negara bekas eigendom, dan secara substantif tanah negara tidak
bisa diperjualbelikan. Untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah
harus mengajukan permohonan pemberian hak atas tanah
kepada badan atau pejabat tata usaha negara yang berwenang
memberikannya. Untuk menerbitkan keputusan yang bersifat
konstitutif, badan atau pejabat tata usaha negara berkewajiban

264
memperhatikan ketentuan yang secara substantif mengatur hal
tersebut, dalam hal ini adalah Keputusan presiden.
Berdasarkan uraian kasus posisi dan pertimbangan hukum
dalam putusan pengadilan baik dari tingkat pertama, banding,
kasasi maupun peninjauan kembali dapat dilihat bahwa yang
menjadi obyek sengketa berstatus bekas tanah hak barat yang
dikuasai langsung oleh negara atau tanah negara yang terkena
ketentuan Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1979. Penggugat
yang menguasai tanah dan bangunan (sebagian) melalui jual beli
dengan yayasan mengelola obyek sengketa diputuskan oleh
pengadilan tetap diberikan hak menguasai sebatas tanah dan
gedung (sebagian). Sebaliknya tergugat dihukum untuk
membatalkan keputusan pemberian hak yang menjadi dasar
terbitnya sertipikat.122 Kelemahan putusan pengadilan tingkat
pertama, tingkat banding, tingkat Mahkamah Agung atau dalam
Peninjauan kembali adalah tidak mencantumkan asas apa yang
dilanggar dalam AUPB oleh keputusan tata negara tersebut walau
telah ditentukan berdasarkan Juklak Mahkamah Agung Nomor
052/Td.TUN/III/ 1992 tanggal 24 Maret 1992 bahwa:
Di dalam hal hakim mempertimbangkan adanya asas-asas
umum pemerintahan yang baik sebagai alas an pembatalan
penetapan, hal tersebut tidak perlu dimasukkan dalam
dictum putusannya, melainkan cukup dalam pertimbangan
putusan dengan menyebutkan asas mana dari asas-asas
umum pemerintahan yang baik yang dilanggar dan akhirnya
harus mengacu pada Pasal 53 ayat (2)123
Kesimpulan
Berdasarkan keseluruhan analisis dari studi kasus yang
dilakukan di atas, sampailah pada kesimpulan bahwa pembatalan
sertipikat hak atas tanah oleh peradilan tata usaha negara
dengan alasan cacat substansi adalah pembatalan keputusan
penerbitan sertipikat hak atas tanah yang dikeluarkan badan atau
pejabat tata usaha negara yang diketahui ada kesalahan
substansial sehingga bertentangan dengan perundangan yang
122
Ibid
123
Lihat dalam Yudhi Setiawan, Instrumen Hukum Campuran
(gemeenschapelijkrecht) Dalam Konsolidasi Tanah, P.T.Rajagrafindo Persada,
Jakarta, 2009, h. 247-248
265
berlaku. Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur mengenai
substansi berkaitan dengan prioritas yang dapat diberikan sesuatu
hak atas tanah dan dengan mencermati pertimbangan hukum
dalam kasus perkara di atas, namun demikian masih terlihat
bahwa dalam pertimbangan hukumnya putusan pengadilan tata
usaha negara belum atau tidak melakukan kajian hukum
pertanahan yang berkaitan dengan aspek substansi.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
A, Siti Soetami, 1997, Hukum Administrasi Negara, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Ali, Farid, 1997, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses
Legislatif Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.
Harsono, Boedi, 1971, Undang-Undang Pokok Agraria, Bagian
Pertama, jilid kedua, Djambatan, Jakarta,
_____, 1980, Beberapa Analisis Tentang Hukum Agraria,
bagian 3, Era study Club, Jakarta,
Hadjon, Philipus M., 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di
Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya.
_____,1997, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah
Mada University Press, Yogjakarta.
_____, 2006, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum,
Gajah Mada University Press, Yogyakarta,

266
Indroharto. 1991, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta.
HR, Ridwan, 2002, Hukum Administrasi Negara, UII Press,
Yogyakarta
Muchsan, 1982, Pengantar Hukum Administrasi Negara
Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
Marbun SF dan Moh. Mahfud MD, 1987. Pokok-Pokok Hukum
Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta.
M, Nata Saputra, 1988, Hukum Administrasi Negara, CV
Rajawali, Jakarta
Mertokusumo, Sudikno, 1996, Mengenal Hukum, Suatu
Pengantar, Liberty, Yogyakarta.
Poerbopranoto, Kuntjoro, 1978. Beberapa Catatan Hukum Tata
Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara,
Alumni, Bandung.
Parlindungan, AP.,1990, Konversi Hak-hak Atas Tanah, Mandar
Maju, Bandung,
_____,1999, Pendaftaran Tanah di Indonesia (berdasarkan PP
24 tahun 1997) di lengkapi dengan peraturan Pejabat
Pembuat Akta Tanah ( PP. 38 tahun 1998), Mandar Maju,
Bandung
Perangin-angin, Effendi,1989, Hukum Agraria Indonesia, CV.
Rajawali, Jakarta
Sukanto, Surjono,1989, Sosiologis Suatu Pengantar, Rajawali,
Jakarta
Soehino, 2000, Asas-asas Hukum Tata Usaha Negara, Liberty,
Yogjakarta
Setiawan, Yudhi, 2009, Instrumen Hukum Campuran
(gemeenschapelijkrecht) Dalam Konsolidasi Tanah,
P.T.Rajagrafindo Persada, Jakarta
Utrecht, E, 1986. Pengantar Hukum Administrasi Republik
Indonesia, Surabaya : Pustaka Tinta Mas.

Jurnal/Tesis/Disertasi
267
Djatmiati,Tatiek Sri, Kesalahan Pribadi dan Kesalahan Jabatan
dalam Tanggung Jawab dan Tanggung Gugat Negara,
dalam Lokakarya Fakultas Hukum Univ. Airlangga 28-30
Oktober 2008
Hadjon, Philipus, M., 1998. Tentang Wewenang Pemerintahan
(bestuursbevoegheid), Pro justitia. Tahun XVI Nomor 1
Januari 1998
______,2008, Tanggung Jawab Jabatan dan Tanggung Jawab
Pribadi Atas Tindak Pemerintahan, makalah fakultas
hukum Universitas Airlangga
Hadiatmodjo, Boedi Djatmiko, 2007, Pembatalan Sertipikat Hak
Atas Tanah dan Akibat Hukumnya, disertasi Universitas
Airlangga
Soetojo, Prawirohamidjojo,R.tanpa tahun. Keabsahan Perbuatan
Hukum. Airlangga. majalah Fakultas Hukum Universitas
Airlangga

DAFTAR ATURAN HUKUM

Undang-Undang Dasar
Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen Kesatu, Kedua, Ketiga
dan Keempat) Tahun 2002
Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia 1986
Nomor 77 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3344);
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilam
Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 35 Tambahan Lembaran Negara

268
Republik Indonesia Nomor 4380 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4437)
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.
Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran
Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961
Nomor 28);
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah (Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3696);
Peraturan Presiden
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2006
tentang Badan Pertanahan Nasional;
Keputusan Presiden
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor. 26 tahun 1988,
tentang Badan Pertanahan Nasional;
Peraturan Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah non
Departemen
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 tentang
Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah;

269
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor. 5 Tahun 1973 tentang
Ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas
Tanah;
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1979 tentang
Ketentuan Mengenai Permohonan dan Pemberian Hak
Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak Barat;
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah;
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor. 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan
Kewenangan dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak
Atas Tanah Negara;
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tatacara Pemberian
dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak
Pengelolaan;

Lain-Lain
Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat, Himpunan Peraturan
Perundang-Undangan Pertanahan 1988-1998, Proyek
Pengembangan hukum pertanahan, Jakarta, 1998;
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2002;
Himpunan Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia tahun 1969-1991, Mahkamah Agung RI, 1993

270
GLOSARIUM

APHT : Akta Pemberian Hak Tanggungan


AUPB : Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
Awb : Algemene wet bestuursrecht
BPHTB : Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
BPN : Badan Pertanahan Nasional
BW : Burgerlijk Wetboek
HT : Hak Tanggungan
HAT : Hak Atas Tanah
HMSRS : Hak Milik atas Satuan Rumah Susun
KANTAH : Kantor Pertanahan
KKPT : Kepala Kantor Pendaftaran Tanah
LNRI : Lembaran Negara Republik Indonesia
LPND : Lembaga Pemerintah Non Departemen
MARI : Mahkamah Agung Republik Indonesia
271
PBB : Pajak Bumi dan Bangunan
PMPA : Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria
PENPRES : Penetapan Presiden.
PERMENAG : Peraturan Menteri Negara Agraria
PERPRES : Peraturan Presiden
PPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah
PPh : Pajak Pertambahan Hasil
PPn : Pajak Pertambahan Nilai
SEMA : Surat Edaran Mahkamah Agung
SKB : Surat Keputusan Bersama
SKMHT : Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
SHM : Sertipikat Hak Milik
SHGB : Sertipikat Hak Guna Bangunan
SHP : Sertipikat Hak pakai
SHPL : Sertipikat Hak Pengelolaan
SHMSRS : Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun
SPPT : Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang
TLNRI : Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
TPNBP : Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak
UUPA : Undang-Undang Pokok Agraria
UUP3 : Undang-Undang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan

INDEKS

A M
A.A.H. von Struiken Marcel Waline
Administratif recht Maxims
Aanhangsel Mandat
Administrati beroef
Aturan Hukum N
Agraria Nachtwachter-staat
Air Negara mengatur tanah
Absentee
Atribusi O
Azas Kebangsaan Oppen Heimer
Adatrecht Onbevoegdheid

272
A Contrario Onrechtmatig
Anggaduh Onbevoegdheid ratione
Altijddurende Erfpacht materiae
Andarbeni Onteiguning ten algemene
Alternative Dispute Resolution nutte
Overlapping
B
Bachsan Mustofa P
Baron de Gerando Prajudi Atmosoedirdjo
Bestuursrecht Philipus M. Hadjon
Burgerlijk Politierecht
Bagir Manan Prins
Boedi Djatmiko Hadiatmodjo Public policy
Boedi Harsono Paulus E. Lotulung
Berstuursbevoegdheid Pacta Sun Servada
Beheersdaad Principle of Carefulness
Beschikking Principle of Fair a Play
Badan Pertanahan Nasional Principle of Detournement De
Bumi Procedure
Bruiklen Principle of Motivision
Bengkok Principle of Legal Security
Besluit Principle of Protecting The
C Personal Way of Life
C. van Vollenhoven Principle of Equality
Competentie afbakening Principle of Non Missive
Convention Competence
Principle of Willikeur
D Principle of Reasonableneess
De La Bascecoir Anan Prohibition of Arbitranese
Doelmatigheid Principle of Wisdom
Dimas Pratama Putra Setiawan Principle of Proporsionality
Dikuasai Negara Principle of Un doing The
Delegasi Concoquesis of Un Nolled
Dualisme hukum tanah Decition
Daerah Swapraja Principle of public Service
De tournement de pouvoir Pertanahan
Pancasila
E Prosedur

273
E. Utrecht Pengakuan Terhadap Hak
Ulayat
F Persamaan Hak Warga Negara
Freies Ermessen Atas Tanah
Fungsi Sosial Atas Tanah Peraturan Presiden
Premis Mayor
G Premis Minor
Geistlichenhintergrund Presumptio Iustae Causa
Gelijk oversteken
Gebruik Q
Grant controleur
Ganggam bauntuik
Grant Sultan R
Rechtopraak
H Regeling
Henry Campbell Black Residu Theori
Hindia Belanda Regelaarsrecht
Hukum Pertanahan Rechtmatigheid
Hukum agraria barat R. Soeroso
Hukum agraria adat Redistribusi Tanah
Hukum antar golongan Rakyat
Hukum Adat Recht kadaster
Hak Menguasai Negara
Hak Milik S
Hak Guna Usaha Staats en Administratief recht.
Hak Guna Bangunan Staatsrecht
Hak Pakai Strafrecht
Hak Sewa Staat in rust
Hak Membuka Tanah Staat in beweging
Hak memungut hasil hutan Stellinga
Hak Eigendom Substansi
Hak Opstal Sanctionering
Hak Erfpacht Sanggan
Hak Gebruik
Hak atas druwe T
Hak gogolan Twee zijdig
Hipotik Tanah
Transaksi tanah

274
I
Inlandsch Bezit U
Undang-Undang Dasar 1945
J Undang-Undang
J.H.P. Beltefroid
J.P. Hooykaas V
Justitierecht van Apeldoorn
Judicial review van vollenhoven
Vruchtgebruik
K
Kranenburg W
Konversi W. Ivor Jennings
Kantor Pertanahan Kabupaten welfarestate
Kantor Pertanahan Kota Wewenang

L X
Logemann Y
L.J. van Apeldoorn Yurisprudentia
Lex Specialis derogaat Lex Yudhi Setiawan
generalis Yasan
Landreform
Z
Zona sawah konversi

275

Anda mungkin juga menyukai