Anda di halaman 1dari 17

Tugas 2

Mata Kuliah Ilmu Perundang-Undangan

A. Jelaskan Implikasi Hukum Jika Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-


Undang Yang Ditetapkan Oleh Presiden Ditolak Atau Disetujui Oleh DPR!
Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (“PERPU”) sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 22
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) dan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 12/2011”). PERPU
sendiri memiliki jangka waktu yang terbatas (sementara) sebab secepat mungkin harus
dimintakan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”), yaitu pada masa persidangan
berikutnya. Apabila PERPU disetujui oleh DPR, akan dijadikan Undang-Undang (UU). Sedangkan,
apabila PERPU itu tidak disetujui (ditolak) oleh DPR, PERPU tersebut akan dicabut.
Hal ini sesuai dengan tugas dan wewenang DPR yang terdapat dalam Pasal 71 huruf b
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU
27/2009”), bahwa: “DPR mempunyai tugas dan wewenang memberikan persetujuan atau tidak
memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang
diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang.”
Perlu diketahui bahwa proses pembahasan PERPU apakah nantinya disetujui atau ditolak,
dilakukan oleh DPR melalui rapat paripurna sebagaimana yang diatur dalam Pasal 52 ayat (4) dan
ayat (5) UU 12/2011. Nantinya, DPR lah yang menentukan persetujuan atau penolakan suatu
PERPU tersebut melalui keputusan rapat paripurna. Dalam Pasal 272 Tata Tertib DPR mengenai
Tata Cara Pengambilan Keputusan diatur bahwa pengambilan keputusan dalam rapat DPR pada
dasarnya dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat. Namun, dalam hal cara
musyawarah untuk mufakat tidak terpenuhi, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
Begitupula saat pembahasan suatu PERPU, persetujuan atau penolakan PERPU itu dibuat dalam
bentuk Keputusan Rapat Paripurna DPR.
Dalam hal PERPU tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna (ditolak), maka
sebagai tindak lanjut dari dikeluarkannya Keputusan Rapat Paripurna DPR yang menolak PERPU
bersangkutan, PERPU tersebut harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (Pasal 52 ayat [5] UU
12/2011). Sedangkan berikut merupakan produk hukum yang dikeluarkan untuk menindaklanjuti
penolakan atas PERPU bersangkutan Pasal 52 ayat (6) dan ayat (7) UU 12/2011):
1. Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus dicabut dan harus
dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPR atau Presiden
mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang.
2. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatur segala akibat hukum
dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

Dari pasal-pasal disimpulkan bahwa secara hukum, DPR atau Presidenlah yang mengajukan
Rancangan Undang-Undang ("RUU") tentang pencabutan PERPU. RUU yang diajukan itu juga
mengatur segala akibat hukum dari pencabutan PERPU. Sebagai contoh, dalam UU No. 3 Tahun
2010 tentang Pencabutan PERPU No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 3/2010”). Dalam bagian
konsiderans UU ini dikatakan bahwa PERPU No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No.
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“PERPU 4/2009”) yang
diajukan oleh Presiden tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Rapat
Paripurna pada 4 Maret 2010. Kemudian, Presiden mengajukan RUU tentang pencabutan PERPU
4/2009. RUU tersebut disahkan dengan diterbitkannya UU 3/2010 yang mencabut dan
menyatakan PERPU 4/2009 tidak berlaku.

B. Bagaimana Pendapat Saudara Mengenai Sistem Pemerintahan Yang Dianut


Oleh Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945?
Setiap negara pada dasarnya memiliki sistem untuk menjalankan kehidupan
pemerintahannya. Sistem tersebut sering disebut dengan sistem pemerintahan. Terdapat
beberapa macam sistem pemerintahan di dunia ini seperti halnya sistem pemerintahan
Presidensial dan perlementer. Kedua sistem pemerintahan yang ada dan berkembang saat ini tak
lepas dari kelebihan dan kekurangan masing-masing. Setiap negara idealnya perlu untuk
memahami karakteristik negaranya sebelum menerapkan sistem pemerintahan agar dalam
penyelenggarannya, pemerintah tidak akan memenuhi hambatan-hambatan yang besar.
Berikut merupakan beberapa kelebihan dan kelemahan sistem pemerintahan parlementer
dan Presidensial:
Kelebihan Sistem Pemerintahan Parlementer:
1. Pengaruh rakyat terhadap politik yang dijalankan sangat besar sehingga suara rakyat
sangat didengarkan oleh parlemen.
2. Dengan adanya parlemen sebagai perwakilan rakyat maka pengawasan pemerintah dapat
berjalan dengan baik.
3. Pembuat kebijakan bisa ditangani secara cepat sebab mudah terjadi penyesuaian
pendapat antara eksekutif dan legislatif. Hal ini disebabkan karena kekuasaan eksekutif
dan legislatif berada pada satu partai atau koalisi partai.
4. Sistem pertanggungjawaban dalam pembuatan dan juga pelaksanaan kebijakan publik
sangat jelas
Kelemahan Sistem Pemerintahan Parlementer:
1. Kabinet sering dibubarkan karena mendapat mosi tidak percaya parlemen.
2. Keberhasilan sangat sulit dicapai jika partai di negara tersebut sangat banyak.
3. Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman mereka
menjadi anggota dimanfaatkan dan menjadi bekal penting untuk menjadi Menteri atau
jabatan eksekutif lainnya.
Kelebihan Sistem Pemerintahan Presidensial:
1. Menteri tidak dapat dijatuhkan parlemen karena tanggung jawabnya berada kepada
Presiden.
2. Pemerintah mendapat keleluasaan dalam hal waktu karena tidak ada bayang-bayang
krisis kabinet.
3. Badan eksekutif lebih stabil kedudukannya sebab tidak tergantung pada parlemen.
4. Masa jabatan badan eksekutif lebih pasti dengan jangka waktu tertentu. Misalkan, masa
jabatan Presiden Amerika selama empat tahun, sedangkan Presiden Indonesia selama
lima tahun.
5. Penyusunan program kerja kabinet lebih mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa
jabatannya.
6. Legislatif buka tempat kaderisasi untuk jabatan-jabatan eksekutif sebab dapat diisi oleh
orang luar termasuk juga anggota parlemen sendiri.
Kelaman Sistem Pemerintahan Presidensial:
1. Pengawasan rakyat lemah.
2. Pengaruh rakyat dalam kebijakan politik negara kurang mendapat perhatian.
3. Kekuasaan eksekutif di luar pengawasan langsung badan legislative sehingga dapat
menimbulkan kekuasaan mutlak.
4. Sistem pertanggungjawaban kurang begitu jelas.
5. Pembuatan keputusan/kebijakan publik umumnya merupakan hasil tawar-menawar
antara eksekutif dan legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas dan memakan
waktu yang relatif lama.

Sejak tahun 1945, Indonesia sendiri pernah berganti sistem pemerintahan. Indonesia pernah
menerapkan kedua sistem pemerintahan yang telah dijelaskan sebeleumnya. Selain itu terjadi
pula perubahan pokok-pokok sistem pemerintahan sejak dilakukan amandemen pada UUD 1945.
Berdasarkan UUD 1945, Indonesia adalah negara yang menerapkan sistem pemerintahan
Presidensial. Namun, dalam perjalannya, Indonesia pernah menerapkan sistem pemerintahan
parlemen karena kondisi dan alasan yang ada pada waktu itu. Berikut merupakan sistem
pemerintahan Indonesia dari tahun 1945 sampai dengan sekarang:
1. Tahun 1945 – 1949:
Sistem pemerintahan: Presidensial
Semula sistem pemerintahan yang digunakan adalah Presidensial, tetapi sebab
kedatangan sekutu (agresi militer) dan berdasarkan Maklumat Presiden No. X tanggal 16
November 1945 terjadi pembagian kekuasaan dimana kekuasaan eksekutif dipegang
oleh Perdana Menteri, maka dari itu sistem pemerintahan Indonesia menjadi sistem
pemerintahan parlementer.
2. Tahun 1949 – 1950:
Sistem pemerintahan: quasy parlementer
Sistem pemerintahan Indonesia saat itu adalah serikat dengan konstitusi RIS sehingga
sistem pemerintahan yang digunakan adalah parlementer. Namun karena tidak
seluruhnya diterapkan, maka sistem pemerintahan saat itu disebut sebaga quasy
parlementer.
3. Tahun 1950 – 1959:
Sistem pemerintahan: parlementer
4. Tahun 1959 – 1966:
Sistem pemerintahan: Presidensial
Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 yang isinya mencakup:
a. Tidak berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945
b. Pembubaran Badan Konstitusional
c. Membentuk DPR sementara dan DPA sementara
5. Tahun 1966 – 1998:
Sistem pemerintahan: Presidensial

Pokok-Pokok Sistem Pemerintahan Sebelum Dan Setelah Amandemen UUD 1945


Sebelum Amandemen
Pokok-pokok sistem pemerintahan Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum
diamandemen tertuang dalam penjelasan UUD 1945 tentang tujuh kunci pokok sistem
pemerintahan negara tersebut, sebagai berikut:
1. Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat)
2. Sistem konstitusional
3. Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat
4. Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi di bawah Majelis
Permusyawarahan Rakyat
5. Menteri negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab
kepada Dewan Perwakilan Rakyat
6. Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas

Pemerintahan order baru dengan tujuh kunci pokok di atas berjalan sangat stabil dan kuat.
Pemerintah memiliki kekuasaan yang besar. Akan tetapi, pemerintahan Presidensial yang
dijalankan pada era ini memiliki kelemahan pengawasan yang dilakukan oleh DPR, namun juga
memiliki kelebihan kondisi pemerintahan yang stabil.
Di akhir era order baru, muncul pergerakan untuk mereformasi sistem yang ada menuju
pemerintahan yang lebih demokratis. Untuk mewujudkan hal itu, banyak kalangan yang mulai
memahami bahwa dibutuhkan sebuah pemerintahan yang konstitusional (berdasarkan
konstitusi). Pemerintahan yang konstitusional sendiri merupakan pemerintahan yang
didalamnya terdapat pembatasan kekuasaan dan jaminan hak asasi. Menanggapai hal tersebut,
mulailah dilakukan amandemen pada UUD 1945 sebanyak empat kali, yakni pada tahun 1999,
2000, 2001, dan 2002. Berdasarkan konstitusi yang telah diamandemen ini diharapkan sistem
pemerintahan akan menjadi lebih demokratis.

Setelah Amandemen
Melalui proses amandemen yang telah diterapkan, berikut merupakan pokok-pokok sistem
pemerintahan Indonesia saat:
1. Bentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi daerah yang luas. Wilayah negara
terbagi dalam beberapa provinsi.
2. Bentuk pemerintahan adalah republik konstitusional, sedangkan sistem pemerintahan
Presidensial.
3. Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dan Wakil
Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket.
4. Kabinet atau menteri diangkat oleh Presiden dan bertanggungjawab kepada Presiden.
5. Parlemen terdiri atas dua bagian (bicameral), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan
Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Para anggota dewan merupakan anggota MPR. DPR
memiliki kekuasaan legislatif dan kekuasaan mengawasi jalannya pemerintahan.
6. Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Makamah Agung dan badan peradilan dibahwanya.
7. Sistem pemerintahan ini juga mengambil unsur-unsur dari sistem pemerintahan
parlementer dan melakukan pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan
yang ada dalam sistem pemerintahan Presidensial. Beberapa variasi dari sistem
pemerintahan Presidensial sebagai berikut:
a. Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul dari DPR. Jadi, DPR
tetap memiliki kekuasaan mengawasi Presiden meskipun secara tidak langsung.
b. Presiden dalam mengangkat pejabat negara perlu pertimbangan atau persetujuan
dari DPR.
c. Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan atau
persetujuan DPR.
d. Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undang-undang
dan hak budget (anggaran).

Dengan demikian, melalui amandemen UUD 1945, tercipta pula perubahan-perubahan baru
dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hal itu diperuntukan dalam memperbaiki sistem
Presidensial yang lama. Perubahan baru yang ada antara lain meliputi pula adanya pemilihan
secara langsung, sistem bicameral, mekanisme checks and balance, dan pemberian kekuasaan
yang lebih besar kepada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran.

C. Jelaskan Perbedaan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dan Mahkamah


Agung Dalam Pengujian Peraturan Perundang-Undangan!
Ketika disahkannya UUD 1945 pertama kali, Mahkamah Agung dan macam-macam lembaga
peradilan di bawahnya merupakan satu-satunya kekuasaan kehakiman di Indonesia. Mahkamah
Agung menjadi lembaga yudikatif yang bertugas mengawasi penyelenggaraan negara, semua
yang memegang kekuasaan, dan semua warga negara di Indonesia. Lembaga ini juga berhak
memberi putusan hukuman atas semua pelanggaran hukum dan undang-undang yang terjadi.
Namun, sejak amandemen UUD 1945 terakhir tahun 2004, kekuasaan kehakiman di Indonesia
bertambah, salah satunya dengan didirikan Mahkamah Konstitusi. Berikut merupakan perbedaan
antar keduanya:
1. Waktu Berdirinya
a. Setelah disahkannya UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia, maka Mahkamah Agung
langsung didirikan keesokan harinya, yaitu tanggal 19 Agustus 1945. Meskipun dalam
pelaksanaannya, Mahkamah Agung selama beberapa tahun tidak berfungsi sesuai
yang diharapkan. karena kondisi Indonesia yang baru merdeka saat itu belum stabil.
b. Mahkamah Konstitusi baru didirikan saat masa reformasi, yaitu setelah amandemen
UUD 1945 yang mencantumkan adanya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga
kehakiman selain Mahkamah Agung. Tepatnya, lembaga peradilan ini berdiri 17
Agustus 2003.

2. Kewenangan Menurut UUD 1945


Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi meskipun sama-sama lembaga negara yang
diatur dalam pasal 24 UUD 1945 mempunyai wewenang yang berbeda. Wewenang
Mahkamah Agung menurut pasal 24A UUD 1945, yaitu:
a. Melaksanakan pengadilan pada tingkat kasasi. Artinya Mahkamah Agung merupakan
peradilan tertinggi yang di bawahnya ada peradilan lain, mulai dari peradilan umum,
peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan undang-undang.
b. Mahkamah Agung dapat menguji peraturan perundang-undangan yang berlaku di
bawah undang-undang dengan tetap memegang teguh undang-undang yang lebih
tinggi.
c. Mahkamah Agung dapat mempunyai kewenangan lain yang diatur kemudian oleh
undang-undang.
Wewenang Mahkamah Konstitusi menurut pasal 24C UUD 1945, yaitu:
a. Melaksanakan pengadilan pada tingkat pertama dan terakhir. Berarti tidak ada
peradilan lain yang berada di bawahnya.
b. Menguji Undang-Undang yang sudah berlaku atau yang masih dalam tahap
perencanaan terhadap Undang-Undang Dasar.
c. Memutuskan sengketa antar lembaga negara yang mendapat kewenangannya dari
UUD 1945.
d. Memutuskan pembubaran partai politik berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Pembubaran hanya dapat dilakukan apabila ideologi, asas, tujuan dan kehiatan partai
politik dinilai bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
e. Memutuskan dan mengadili perselisihan yang terjadi dari hasil pemilihan umum.

3. Tugas Menurut UU Yang Mengaturnya


Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi mempunyai tugas sesuai yang termaktub
masing-masing lembaga. karena dalam pelaksaannya UUD 1945 diimplemetasikan ke
dalam UU yang mengatur segala sesuatunya lebih detil. Menurut pasal 28 ayat 1 UU No
3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, tugas Mahkamah Agung memberikan
keputusan atas:
a. Permohonan kasasi, Pengadilan kasasi adalah pengadilan yang bertingkat. Dan
Mahkamah Agung merupakan tingkat pengadilan yang tertinggi. Oleh karena itu, MA
dapat memecahkan atau membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-
pengadilan di bawahnya, apabila dianggap melakukan kesalahan dalam penerapan
hukum.
b. Kewenangan mengadili, Mahkamah Agung mempunyai kewenangan tingkat pertama
dan terakhir dalam sengketa kewenangan mengadili antara pengadilan di lingkungan
yang satu dengan pengadilan lain, dua pengadilan sama yang berbeda wilayah, dan
dua pengadilan tingkat banding.
c. Permohonan peninjauan kembali suatu pengadilan yang telah memperoleh
penetapan keputusan, baik oleh perorangan maupun kelompok. Pengujian peraturan
perundang-undangan yang telah ditetapkan dibawah undang-undang terhadap
undang-undang yang berlaku.
Sedangkan menurut pasal 10 ayat 1 UU No 8 tahun 2011 tentang Mahkamah
Konstitusitusi, tugas Mahkamah Konstitusi yaitu:
a. Melakukan pengujian terhadap undang-undang dasar yang telah berlaku ataupun
sedang dalam rancangan terhadap UUD 1945.
b. Memutuskan sengketa yang terjadi antara kewenangan sesama lembaga negara yang
telah mendapatkan kewenangan berdasarkan UUD 1945.
c. Memutuskan pembubaran partai politik sesuai dan berdasarkan undang-undang
yang berlaku.
d. Memutuskan sengketa yang terjadi antar partai politik, atau warga negara, atau calon
pimpinan, atau calon anggota legislatif terkait dengan hasil pemilihan umum.

4. Anggota Yang Dimiliki


a. Anggota Mahkamah Agung disebut Hakim Agung. Dan menurut UU No 5 tahun 2004
jumlah Hakim Agung maksimal sampai 60 orang. Hakim Agung ini, menurut UUD
1945 pasal 24A ayat 3, diajukan oleh Komisi Yudisial kepada DPR untuk dipilih dan
kemudian ditetapkan oleh Presiden. Seorang dapat diajukan menjadi Hakim Agung
apabila mempunyai kepribadian yang berintegritas tinggi, adil, tidak tercela,
professional, dan mempunyai pengalaman di bidang hukum. Tugas dan fungsi Hakim
Agung meliputi wilayah hukum dibawahnya.
b. Mahkamah Konstitusi hanya terdiri dari 9 orang, sudah termasuk Ketua Hakim
Konstitusi dan Wakil Ketua Hakim Konstitusi. Kesembilan Hakim Konstitusi tersebut
ditetapkan oleh Presiden RI, sesuai ketentuan UUD 1945 pasal 24C ayat 3. Pemilihan
diajukan oleh 3 lembaga; Presiden berhak mengajukan 3 orang Hakim Konstitusi,
Komisi Yudisial mengajukan 3 Hakim Konstitusi, dan DPR mengajukan 3 Hakim
Konstitusi. Dari kesembilan Hakim Konstitusi kemudian dipilih Ketua dan Wakil Ketua.
Syarat seseorang dapat diangkat menjadi Hakim Konstitusi adalah tidak mempunyai
masalah hukum, adil, dan seorang yang menguasai hukum dan ketatanegaraan dan
bukan seorang yang sedang menjabat sebagai pejabat negara atau terikat dengan
lembaga negara lain.

5. Kekuasaan Kehakiman
a. Mahkamah Agung memiliki kekuasaan kehakiman di bawahnya mulai dari tingkat
kotamadya / kabupaten, propinsi, sampai tingkat pusat yang berkedudukan di Ibu
Kota negara RI, Jakarta. Tingkat kehakiman di bawah Mahkamah Agung tersebut
terdiri dari peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan lingkungan
peradilan tata usaha negara. tingkatan pengadilan di bawah Mahkamah Agung,
antara lain pengadilan negeri, pengadilan tinggi, kejaksaan negeri, dan tugas
kejaksaan.
b. Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kekuasaan kehakiman cabang di bawahnya.
Oleh karena itu, MK tidak mempunyai putusan tingkat kasasi. Mahkamah Konstitusi
hanya ada satu dan bertempat di Ibu Kota Negara RI, Jakarta.

6. Sifat Keputusan Yang Dibuat


a. Keputusan yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi bersifat pertama dan
final. Artinya, keputusan yang dibuat MA tetap dan mengikat. Keputusan ini juga
tidak dapat dilakukan peninjauan ulang dalam bentuk apapun.
b. Sementara, keputusan yang telah ditetapkan Mahkamah Agung diajukan oleh
penuntut umum masih bisa diadakan peninjauan kembali dan naik banding dan dapat
diubah dengan keputusan Presiden berupa amnesti dan grasi. Keputusan yang
diajukan naik banding oleh pengadilan di bawahnya, merupakan perubahan hukum
biasa yang dilakukan oleh pengadilan di atasnya.
Apabila keputusan dinilai cacat hukum atau tidak sesuai dengan perundang-undangan
yang berlaku, maka keputusan bisa dibatalkan atau hukuman dikurangi. Sedangkan
peninjauan kembali merupakan perubahan hukum luar biasa yang dilakukan apabila ada
bukti baru. Sebaliknya, apabila keputusan yang diajukan banding atau ditinjau kembali
ternyata dinilai sudah sesuai dengan bukti dan perundang-undangan yang berlaku, maka
keputusan tetap bahkan hukuman bisa dinaikkan. Namun, semua ketetapan Mahkamah
Agung otomatis batal atau berkurang masa hukuman, apabila Presiden dengan berbagai
pertimbangan mengajukan amnesti dan atau grasi.
7. Hubungannya Dengan Lembaga Tinggi Negara Lain
Dalam hubungannya dengan lembaga tinggi negara lain, tugas dan wewenang
mahkamah Agung lebih luas dibandingkan dengan Mahkamah konstitusi. Hubungan
tersebut antara lain:
a. Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan / nasihat-nasihat
dalam bidang hukum kepada lembaga tinggi negara lain.
b. Mahkamah Agung dapat memberikan nasihat dan pertimbangan hukum kepada
Presiden atau kepala negara tentang pengajuan amnesti dan grasi yang dilakukan
oleh seseorang atau sekelompok orang. Nasihat itu dapat berupa usulan menerima
atau menolak grasi dengan berbagai pertimbangan.
Hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan lembaga negara lain, yaitu:
a. Mahkamah Konstitusi dapat memberikan nasihat dan pertimbangan apabila terjadi
proses pemberhentian Presiden.
b. Mahkamah Konstitusi dapat mengajukan usulan dan pengangkatan Hakim Konstitusi
kepada Presiden.
c. Mahkamah Konstitusi memberikan keputusan atas usulan DPR yang menghendaki
pemberhentian Presiden. Penghentian Presiden dan Wakil Presiden dapat diajukan
kepada Mahkamah Internasional apabila Presiden dan atau wakilnya dinilai
melakukan penghianatan, korupsi, dan tindakan tercela lain dan atau melakukan
perbuatan yang menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945.
d. Mahkamah Konstitusi dapat menyelesaikan dan memberikan keputusan apabila
terdapat sengketa antar lembaga negara yang sama-sama mendapatkan wewenang
dari UUD 1945.
e. Mahkamah Konstitusi dapat melakukan pengujian dan menyatakan bahwa ketetapan
Mahkamah Agung tidak mempunyai kekuatan hukum. Tetapi Mahkamah Konstitusi
tidak dapat melakukan pembatalan terhadap segala sesuatu yang telah diputuskan
oleh Mahkamah Agung.
8. Fungsi Secara Keseluruhan
Secara keseluruhan, fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir UUD 1945, pengawal
konsitusi, pengawal demokrasi, dan pelindung hak konstitusional warga negara. Fungsi
ini berkaitan dengan wewenangnya membubarkan partai politik, memutuskan hasil
pemilu, dan menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Sedangkan fungsi Mahkamah
Agung secara keseluruhan sebagai pelindung hak asasi warga negara, hal ini berkaitan
dengan wewenangnya dalam menyelesaikan perkara pidana, memutuskan tingkat
kasasi, dan memberikan nasihat hukum kepada lembaga negara. Tugas dan fungsi
Mahkamah Agung tersebut sangat penting bagi Bangsa Indonesia.
Selain beberapa perbedaan yang telah disebutkan dan diuraikan di atas, Mahkamah
agung dan Mahkamah Konstitusi mempunyai beberapa persamaan. Persamaan-
persamaan Mahkamah Agung dan Mahkamah konstitusi, antara lain:
a. Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga kehakiman di
Indonesia, seperti yang tercantum dalam Pasal 24 UUD 1945 hasil amandemen.
b. Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sama kedudukannya sebagai lembaga
yudikatif negara Indonesia.
c. Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi mempunyai lembaga yang independen
dan merdeka. Artinya kedua lembaga ini tidak dapat dipengaruhi oleh lembaga lain
dalam pengambilan setiap keputusannya.
d. Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara yang
bergerak dalam bidang hukum dan melaksanakan tugasnya berdasarkan UUD 1945
dan berpedoman pada Pancasila.
e. Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi mempunyai hak untuk menerima,
menolak, atau mengabulkan suatu perkara yang diadukan kepadanya.
f. Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dapat memberikan saran / usulan /
pendapat tentang masalah hukum kepada Presiden dan lembaga tinggi negara
lainnya.
g. Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sama-sama dapat melakukan Judicial
review, yaitu pengujian terhadap Undang-Undang yang sudah berlaku atas
permintaan / pengajuan perorangan atau lembaga.

pada dasarnya, kedua lembaga hukum tertinggi di Indonesia ini mempunyai tugas,
wewenang, dan fungsi yang saling melengkapi. Dan tentu saja diharapkan dengan adanya
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, penyelenggaraan negara untuk mencapai
tujuan pembangunan nasional, yaitu masyarakat yang adil dan makmur, akan lebih
mudah tercapai.

D. DPR Dan Presiden Sering Disebut Positive Legislature Sedangkan Mahkamah


Konstitusi Dan Mahkamah Agung Disebut Negative Legislature. Jelaskan
Maksudnya!
Dalam praktik ketatanegaraan pasca reformasi Konstitusi, kita sering mendengar istilah
negative legislator. Istilah tersebut kali pertama diperkenalkan oleh Hans Kelsen dalam bukunya
General Theory of Law and State. Sebagai penggagas Mahkamah Konstitusi modern pertama di
dunia, Kelsen merujuk doktrin tersebut untuk membedakan kewenangan antara Mahkamah
Konstitusi dengan Parlemen di Austria.
Menurutnya, pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk memiliki kewenangan
sebagai negative legislator. Artinya, Mahkamah Konstitusi hanya dapat membatalkan undang-
undang dan tidak dapat mengambil kewenangan Parlemen dalam membuat undang-undang atau
peraturan. Sebaliknya, Parlemen disebutnya sebagai positive legislator karena memiliki
kewenangan aktif untuk membuat undang-undang.
Doktrin ini kemudian berkembang dan terus-menerus digunakan sebagai salah satu teori
pendukung dalam konteks pemisahan kekuasaan negara di Indonesia, khususnya antara
Mahkamah Konstitusi (MK) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan kata lain, kewenangan
MK ditafsirkan hanya terbatas membatalkan undang-undang, dan tidak untuk membuat undang-
undang atau ketentuan lain. Akan tetapi hal ini tidak sepenuhnya dapat dibenarkan.
Berdasarkan putusan-putusan yang dikeluarkan oleh MK lebih dari satu dekade terakhir,
nyatanya banyak Putusan MK yang murni tidak sekedar membatalkan undang-undang saja,
namun juga seringkali membuat norma dan ketentuan baru atas dasar penafsiran Konstitusi.
Pembuatan norma-norma dan ketentuan baru tersebut paling banyak diciptakan melalui konsep
konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) atau inkonstitusional bersyarat
(conditionally inconstitutional). Artinya, undang-undang yang telah diuji konstitusionalitasnya
dinyatakan oleh MK bertentangan atau tidak bertentangan dengan UUD 1945, apabila dalam
implementasi undang-undang atau peraturan pelaksanaannya tidak sesuai dengan penafsiran
atau rambu-rambu yang dibuat oleh MK dalam putusannya.
Berbagai Putusan MK yang secara nyata tak sejalan dengan doktrin negative legislator dapat
ditemukan, antara lain, pada Putusan “KTP Pemilu” (2009) yang membuat teknis peraturan
dalam penggunaan KTP dan Paspor untuk memilih dalam Pemilu; Putusan “Anak Luar Kawin”
(2010) yang menambah frasa pasal di dalam UU Perkawinan; Putusan “Masa Jabatan Jaksa
Agung” (2010) yang mengisi kekosongan ketentuan di dalam UU Kejaksaan; dan Putusan
“Pertanggungjawaban Pidana Anak” (2010) yang menaikan minimum batas usia dari delapan
tahun menjadi dua belas tahun.
Berdasarkan praktik dan fakta putusan selama ini, maka bertahan pada argumentasi bahwa
MK hanya berperan sebagai negative legislator sudah tidak terlalu relevan lagi. Kecuali, doktrin
ini sengaja dipertahankan secara teoritis, bukan praktis, sekadar untuk meminimalisir terjadinya
konflik kelembagaan. Bahkan, Maruarar Siahaan, mantan Hakim Konstitusi (2003-2010), dalam
tulisan Disertasi S3-nya pun “mengakui” bahwa telah menjadi kenyataan bahwa MK Indonesia
tidak hanya bertindak sebagai negative legislator, tetapi juga positive legislator. Berdasarkan
pengalamannya sebagai Hakim Konstitusi, putusan yang bernuansa positive legislator tersebut
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekacauan atau kebingungan sekaligus menciptakan
kepastian terhadap pelaksanaan hukum dalam keadaan yang mendesak.
Lebih dari itu, sejak MK Indonesia pertama kali membuat putusannya, secara tidak langsung
MK dapat dikatakan mengambil peran sebagai positive legislator. Alasannya, ketika MK
membatalkan secara keseluruhan UU Ketenagalistrikan (2002), namun pada saat yang
bersamaan MK juga menghidupkan kembali UU Ketenagalistrikan (1985) lama yang sebenarnya
telah dicabut oleh DPR dan Presiden (vide Putusan 001-021-022/ PUU-I/2003, hlm. 350). Hans
Kelsen tentu tidak memaksudkan bahwa peran MK sebagai negative legislator termasuk dapat
membangkitkan kembali undang-undang yang telah dicabut oleh Parlemen.
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa telah terjadi pergeseran doktrin terhadap Mahkamah
Konstitusi yang dahulu dipercaya hanya sebagai negative legislator, kini secara nyata dan dalam
keadaan tertentu juga telah bertindak sebagai positive legislator. Atau setidak-tidaknya,
Mahkamah Konstitusi dapat diposisikan sebagai temporary legislator. Artinya, perubahan atas
norma dan pasal di dalam undang-undang hanya bersifat sementara, sambil menunggu DPR dan
Pemerintah merevisi atau mengubah undang-undang yang telah diuji berdasarkan Putusan MK.

Sumber:
http://www.pustaka.ut.ac.id/lib/hkum4403-ilmu-perundang-undangan/

http://www.nttonlinenow.com/new-2016/2017/07/23/penerapan-perppu-dan-
permasalahannya-secara-konstitusional/

http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/3000-peraturan-pemerintah-pengganti-
undang-undang-dari-masa-ke-masa.html

https://www.kompasiana.com/arifudin.fh.uia/5636cd26f29273a805e163dc/konstitusionalitas-
presiden-dalam-membentuk-peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang?page=all

https://panmohamadfaiz.com/2007/03/18/sistem-ketatanegaraan-indonesia-pasca-
amandemen/

https://bulelengkab.go.id/detail/artikel/sistem-pemerintahan-indonesia-20

http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/715-civic-education-langkah-berikut-
setelah-perubahan-uud-negara-republik-indonesia-1945.html

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt518228f47a2e9/perbedaan-mahkamah-
agung-dengan-mahkamah-konstitusi/

https://geotimes.co.id/opini/mk-versus-ma-dan-problem-judicial-review/
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5c062fbc83162/mahkamah-konstitusi-sebagai-
negative-legislator-dan-positive-legislator/

http://jurnal.untidar.ac.id/index.php/literasihukum/article/download/754/pdf

Anda mungkin juga menyukai