Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH

Pelaksanaan Kewenangan MK di dalam Pengujian Undang-


Undang Terhadap UUD 1945 atas Pemeriksaan Perkara
Nomor 27/PUU-XVII/2020 Tertanggal 23 Maret 2020

Dr. Ofis Ricardo, S.H., M.H

Disusun Oleh:
Yoga Manggala Wisnu
NPM : 201910115300
KELAS : 5A4

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS BHAYANGKARA
Abstrak

Permasalahan penulisan ini yaitu bagaimana melakukan pengujian


materiil UU nomor 12 tahun 1951 tentang senjata api terhadap UUD
1945. Hak uji materiil (HUM) adalah hak yang dimiliki oleh Mahkamah
Agung untuk menilai materi muatan suatu peraturan perundang-
undangan di bawah Undang-Undang terhadap perhaturan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Lingkup tugas dan wewenang
Mahkamah Agung ini sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 24A
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:“Mahkamah Agung
berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang, dan mempunyai
wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.”
Bersumber dari kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar
tersebut maka, dalam hal terdapat muatan suatu peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang yang diduga bertentangan dengan
undang-undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah
Agung. Kemudian melalui putusan HUM, MA menyatakan tidak sah
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
Adapun putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan
dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi
maupun berdasarkan permohonan keberatan langsung yang diajukan
kepada Mahkamah Agung. Implikasi hukum atas putusan tersebut adalah
peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah maka tidak lagi
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kata Kunci: Hak Uji Materiil; Pengujian Materiil
Abstract
The problem of this writing is how to conduct a material review of
Law No. 12 of 1951 regarding firearms against the 1945 Constitution.
The right to a judicial review (HUM) is a right owned by the Supreme
Court to assess the material content of a statutory regulation under the
Act against regulatory regulations. higher legislation. The scope of
duties and authorities of the Supreme Court is as regulated in Article 24A
paragraph (1) of the 1945 Constitution which reads: "The Supreme
Court has the authority to judge at the level of cassation, examine
statutory regulations under the law, and has other powers. provided for
by law."
Based on the authority granted by the Constitution, in the event that there
is content of a statutory regulation under the law which is suspected to be
contrary to the law, the review is carried out by the Supreme Court. Then
through the HUM decision, the Supreme Court declared that the laws
and regulations under the law were invalid on the grounds that they were
contrary to higher laws and regulations or that their formation did not
meet the applicable provisions.
The decision regarding the invalidity of the legislation can be taken
either in connection with the examination at the cassation level or based
on a direct objection request submitted to the Supreme Court. The legal
implication of the decision is that laws and regulations that are declared
invalid will no longer have binding legal force.
Keywords: Material Test Rights; Material Test
DAFTAR ISI
BAB I ........................................................................................................................................ 7
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 7
A. Latar Belakang ................................................................................................................. 7
BAB II..................................................................................................................................... 11
PEMBAHASAN ..................................................................................................................... 11
B. Pengertian dan Ruang Lingkup ...................................................................................... 11
C. Subyek dan Obyek Permohonan Hak Uji Materiil ......................................................... 12
D. Alasan Permohonan Hak Uji Materiil ........................................................................... 13
E. Prosedur Pengajuan Permohonan Hak Uji Materiil ....................................................... 13
F. Putusan HUM dan Pelaksanaannya ................................................................................ 15
G. Contoh-contoh Putusan tentang Uji Materiil ................................................................. 16
H. Kajian Teoretis Pengaturan Senjata Api dan Bahan Peledak ......................................... 23
I. Regulasi Pengelolaan Senjata Api dan Bahan Peledak ................................................... 24
J. Teori Pemidanaan dalam Pengaturan Senjata Api dan Bahan Peledak. .......................... 27
K. Asas-Asas Hukum Pengaturan Senjata Api dan Bahan Peledak.................................... 28
BAB III ................................................................................................................................... 31
PENUTUP .............................................................................................................................. 31
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-
Nya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa
kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun
materinya. Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih
jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-
hari. Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan
dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan
pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Bekasi, 27 Desember 2021

Yoga Manggala Wisnu


A. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengujian materiil terhadap UUD 1945


2. Apa saja dasar penilaian uji materiil oleh Mahkamah Agung
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 secara tegas menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Sebagai Negara hukum maka seluruh aspek dalam bidang kemasyarakatan,
kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senanatiasa berdasarkan
atas hukum.

Menurut Simorangkir1, “negara hukum diartikan sebagai suatu Negara yang


menerapkan prinsip legalitas, yaitu segala tindakan Negara melalui, berdasarkan dan
sesuai dengan hukum”. Hukum mempunyai kedudukan tertinggi agar supaya
pelaksanaan kekuasaan Negara tidak menyimpang dari Undang-Undang, dengan
demikian kekuasaan akan tunduk pada hukum, bukan sebaliknya.

Gustaf Radbruch, dalam konsep “Ajaran Prioritas Baku” mengemukakan ada


tiga ide dasar hukum atau tiga tujuan hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum. Keadilan merupakan hal yang utama dari ketiga hal itu tetapi tidak
berarti dua unsur yang lain dapat dengan serta merta diabaikan. Hukum yang baik
adalah hukum yang mampu mensinergikan ketiga unsur tersebut demi kesejahteraan
dan kemakmuran masyarakat. Menurut Radbruch: Keadilan yang dimaksud adalah
keadilan dalam arti sempit yakni kesamaan hak untuk semua orang didepan
pengadilan. Kemanfaatan atau finalitas menggambarkan isi hukum karena isi hukum
memang sesuai dengan tujuan yang mau dicapai oleh hukum tersebut, sedangkan
kepastian hukum dimaknai dengan kondisi di mana hukum dapat berfungsi sebagai
peraturan yang harus ditaati2.

Dari ketiga ide dasar hukum Gustaf Radbruch tersebut, kepastian hukum yang
menghendaki bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati
tentunya tidak hanya terhadap bagaimana peraturan tersebut dilaksanakan, akan tetapi

1
JCT Simorangkir, Hukum dan Konstitusi Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1983, hlm. 36.
2
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Jakarta, Kanisius, 1982, hlm. 162.
bagaimana norma-norma atau materi muatan dalam peraturan tersebut memuat
prinsip-prinsip dasar hukum. Peraturan perundang-undangan sebagai sebuah norma
(hukum) tertulis, dalam konteks negara hukum Indonesia menjadi landasan bagi
penyelenggaraan negara dan sebagai pedoman untuk menyelenggarakan
pemerintahan. Setiap produk peraturan perundang-undangan, haruslah sebagai
cerminan dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar.

Dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia, peraturan perundang-


undangan menempati urutan pertama dalam penerapan dan penegakan hukum.
Peraturan perundangundangan hanya dapat dikesampingkan oleh hakim apabila
penerapannya akan menyebabkan pelanggaran dasar-dasar keadilan atau tidak lagi
sesuai dengan realitas sosial, atau karena dalam masyarakat tertentu berlaku secara
nyata hukum lain diluar peraturan perundangundangan (seperti hukum adat dan
hukum agama).

Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung dan Mahkamah


Konstitusi memiliki kewenangan yang telah ditentukan dalam UUD 1945. Dari
kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
tersebut, salah satu kewenangannya yang menjadi perhatian adalah kewenangan
menguji Peraturan Perundang-undangan. Mahkamah Agung menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undangundang, sedangkan
Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar.
Mahkamah Agung sebagai lembaga yang melaksanakan Kekuasaan
Kehakiman adalah merupakan Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkungan
peradilan, dalam melaksanakan tugasnya adalah kekuasaan yang mandiri, bebas dari
pengaruh pemerintah (eksekutif), pengaruh pembuat undang-undang (legislatif)
maupun pengaruh luar lainnya serta melakukan pengawasan tertinggi atas
pelaksanaan peradilan sesuai dengan ketentuan UU No. 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 5 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14
tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Menurut Tap MPR RI No. III/MPR/1978 Jo.
UU No. 5 tahun 2004, Mahkamah Agung memiliki fungsi antara lain:

1. fungsi mengadili, yaitu memeriksa dan memutus perkara permohonan


Kasasi dan Peninjauan Kembali, sengketa mengadili dan perampasan kapal sing;

2. fungsi menguji peraturan perundang-undangan (judicial review), yaitu


untuk menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan lebih tinggi;

3. fungsi pengaturan, yaitu mengisi kekosongan hukum;

4. fungsi membina dan mengawasi Peradilan dan Hakim di bawalrnya serta


mengawasi Notaris dan Penasihat Hukum;

5. fungsi memberi nasehat hukum kepada Presiden dalam pemberian dan


penolakan grasi dan rehabiliasi sertra memberi pertimbangan hukum ke Lembaga
Tinggi Negara lainnya.

6. fungsi adminisfiatif, yaitu mengelola administasi, keuangan dan organisasi


itu sendiri.
Selain itu Mahkamah Agung mempunyai fungsi lain yang diatur oleh UU
tersendiri, seperti menetapkan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (UU No. 3 tahun
1999 tentang Pemilihan Umum), pengawas Partai Politik (UU No. 2 tahun 1999
tentang Partai Politik), menyelesaikan perselisihan antar daerah dalam konteks
otonomi (UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) dan lain sebagainya.
Makalah ini akan membahas salah satu fungsi Mahkamah Agung yang berkaitan
dengan fungsi menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU (Judicial review)
dalam rangka memenuhi permintaan Kepala Pusdiklat Teknis Peradilan Mahkamah
Agung RI untuk pelaksanaan Diklat Calon Hakim Peradilan Umum, Peradilan Agama
dan Peradilan TUN tahun anggaran 2006.
BAB II
PEMBAHASAN
B. Pengertian dan Ruang Lingkup
Judicial Review atau Hak Uji Materiil (disingkat HUM) pada prinsipnya
adalah suatu hak atau kewenangan yang dimiliki oleh lembaga Yudikatif untuk
melakukan pengujian mengenai sah atau tidaknya suatu peraturan perundang-
undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang tingkatnya lebih tinggi. Hak
uji materiil di Indonesia dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu:

1. Hak uji materiil atas Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar,


yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi (vide: UUD 1945 Amandemen ke-3
Pasal 24 C ayat I Jo. UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 10
ayat I huruf a);

2. Hak Uji Materiil terhadap peraturan perundang-undangan yang


tingkatannya lebih rendah atau di bawah Undang-Undang (seperti: Peraturan
Pemerintah, Kepufusan Presiden, Peraturan Daerah, dll.) terhadap peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, yang menjadi wewenang Mahkamah Agung
(vide: UUD 1945 Amandemen ke-3 Pasal 24 Ayat 1 Jo. UU No. 14 tahun 1985
tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 tahun 2004
Pasal 31, Jo. Peraturan Mahkamah Agung / PERMA No. 1 tahun 1993 sebagaimana
telah diubah dengan PERMA No. 1 tahun l999, terakhir dengan PERMA No. 1 tahun
2004). Menurut PERMA No. I tahun 2004 pasal I ayat (1), yang dimaksud dengan
hak uji materiil adalah “hak mahkamah agung untuk menilai materi muatan
peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap peraturan
perandang-undangan yang lebih tinggi.
Hak uji materiil jenis kedua ini yang akan dibahas dalam makalah ini.

C. Subyek dan Obyek Permohonan Hak Uji Materiil


Menurut PERMA No. 1 tahun 2004, disebutkan tentang siapa-siapa yang
dapat menjadi Pemohon dan Termohon HUM, yaitu:

a. Pemohon keberatan HUM adalah kelompok masyarakat atau perorangan


yang mengajukan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung atas berlakunya
suatu peraturan perundangundangan yang tingkatannya lebih rendah dari undang-
undang (pasal 1 ayat 4).

Mengenai kriteria atau syarat-syarat pemohon ternyata tidak ditentukan lebih


lanjut, misalnya apakah pemohon dari kelompok masyarakat harus berbadan hukum
(seperti hanya legal standing) atau tidak perlu berbadan hukum, serta tidak ditentukan
apakah pemohon harus mempunyai kepentingan yang dirugikan atau tidak dengan
obyek sengketa yang dimohon. Dari beberapa Putusan Mahkamah Agung mengenai
HUM, ternyata pemohon dari kelompok masyarakat tidak perluhanrs organisasi yang
berbadan hukum, seperti contohnya Putusan MA tanggal 23 2001 No. 03
P/HUM/2000, tentang permohonan uji materiil terhadap Peraturan Pemerintah (PP)
No. 19 tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(TGPTPK) yang diajukan oleh Indra sahnun Lubis, dkk. (para advokat/pengacara),
serta Putusan MA tanggal 9 September 2002 No. 05.G/HUM/l2001 tentang
permohonan uji materiil terhadap PP No. 110 tahun 2000 tentang kedudukan
keuangan DPRD, yang diajukan oleh Drs.Ec.H. Arwan Karsi MK, Ms., dkk di mana
para pemohon adalah menjabat selaku Ketua dan para Wakil Ketua DPRD Propinsi
Sumatera Barat;
b. Termohon adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 ayat 5), seperti Presiden untuk
Peraturan Presiden dan Peraturan Pemerintah, Kepala Daerah dan DPRD untuk Perda,
dll. Sedangkan yang menjadi obyek permohonan HUM adalah peraturan perundang-
undangan, yakni kaidah hukum tertulis yang mengikat umum di bawah undang-
undang (pasal 1 ayat 2). Yang dimaksud mengikat umum di adalah bukan bersifat
individual, karena peraturan (keputusan) yang bersifat individual ini bukan
merupakan kompetensi HUM oleh Mahkamah Agung, melainkan termasuk
kompetensi Peradilan TUN.

D. Alasan Permohonan Hak Uji Materiil


Alasan yang dapat digunakan untuk permohonan HUM ada dua macam, yaitu:

1. materi muatan, ayat, pasal dan/atau bagian dari peraturan perundang


undangan yang dimohonkan HUM dianggap bertentangan dengan peraturan yang
lebih tinggi;

2. pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut tidak memenuhi


ketentuan yang berlaku, seperti asas-asas perundang-undangan yang dimuat dalam
UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

E. Prosedur Pengajuan Permohonan Hak Uji Materiil


Permohonan HUM terhadap peraturan perundang-undangan yang
tingkatannya lebih rendah atau di bawah undang-undang dapat diajukan dengan
membuat permohonan tertulis yang menyebutkan alasan-alasan sebagai dasar
keberatan dan ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya, serta membayar biaya
permohonan yang besarnya sudah ditentukan dalam peraturan tersendiri. Tenggang
waktu pengajuan permohonan adatatr 180 (seratus delapan puluh) hari sejak
ditetapkannya peraturan perundangundangan yang bersangkutan.

Adapun permohonan HUM dapat diajukan dengan dua cara yaitu:

a. Diajukan langsung ke Mahkamah Agung (MA)


- Dalam hal permohonan keberatan diajukan langsung ke MA, didaftarkan ke
kepaniteraan MA dan dibukukan datam buku register tersendiri dengan menggunakan
kode/nomor "...... P/HUM/Th -----";

- Panitera MA setelah memeriksa kelengkapan berkas, mengirim salinan


permohonan tersebut kepada Termohon setelah terpenuhi kelengkapan berkasnya;

- Termohon wajib mengirimkan/menyerahkan jawabannya kepada Panitera


MA dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya salinan permohonan
tersebut;

- Ketua Muda Bidang Tata Usaha Negara atas nama Ketua MA menetapkan
Majelis Hakim Agung yang akan memeriksa dan memutus permohonan keberatan
tentang HUM tersebut;

- Majelis Hakim Agung memeriksa dan memutus permohonan keberatan


tentang HUM tersebut dengan menerapkan ketentuan hukum yang berlaku bagi
perkara permohonan dengan waktu yang sesingkat singkatnya, sesuai dengan asas
peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

b. Diajukan Melalui Pengadilan Negeri / PTUN Setempat

- Bahwa permohonan HUM selain dapat diajukan langsung ke Mahkamah


Agung, menurut PERMA Nomor 1 tahun 1993 dapat diajukan melalui "Pengadilan
Tingkat Pertama", sedangkan menurut PERMA Nomor 1 tahun 2004 (pasal 2 ayat 1
huruf b) dapat diajukan melalui “Pengadilan Negeri" yang membawahi wilayah
hukum tempat kedudukan pemohon (dalam Surat Pengantar PERMA No. 1 tahun
2004, tertanggal 29 Maret 2004 No. MA/KUMDIL/30/III/K/2004 diteruskan kepada
Ketua Pengadilan Tinggi (umum) dan ketua PTTUN serta Ketua Pengadilan Negeri
dan Ketua PTUN di seluruh Indonesia). Dalam prakteknya, permohonan HUM dapat
diajukan baik melalui Pengadilan Negeri maupun PTUN yang wilayah hukumnya
meliputi kedudukan pemohon;
- Dalam hal permohonan keberatan diajukan melalui PN/PTUN, didaftarkan
pada kepaniteraan PN/PTUN dan dibukukan dalam buku register tersendiri dengan
menggunakan kode / nomor: ....., P/HUM/Th....../PN atau PTUN......, dengan
membayar biaya permohonan dan diberikan tanda terima;

- Panitera PN/PTUN setelah memeriksa kelengkapan berkas, mengirimkan


permohonan keberatan HUM kepada MA pada hari berikutnya setelah pendaftaran
(dan proses selanjutnya ditangani oleh MA).

F. Putusan HUM dan Pelaksanaannya


- Dalam hal MA berpendapat bahwa permohonan keberatan itu beralasan,
yaitu karena peraturan perundang-undangan yang dimohonkan HUM tersebut
bertentangan dengan uu atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka
permohonan HUM tersebut dapat dikabulkan dengan menyatakan bahwa peraturan
perundang-undangan yang dimohonkan HUM tersebut tidak sah dan tidak
mempunyai kekuatan mengikat untuk umum, serta memerintahkan kepada
instansi yang bersangkutan segera mencabutnya;

- Dalam hal MA berpendapat bahwa permohonan HUM tidak beralasan, maka


permohonan itu ditolak;

- Pemberitahuan isi putusan beserta salinan Putusan MA dikirimkan dengan


surat tercatat kepada para pihak, atau dalam hal permohonan diajukan melalui
PN/PTUN, maka penyerahan/pengiriman salinan putusan melalui PN/PTUN yang
bersangkutan;

- Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah Putusan diucapkan Panitera
MA mencantumkan petikan Putusan dalam Berita Negara dan dipublikasikan atas
biaya Negara;
- Dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari setelah Putusan MA dikirim
kepada Badan/Pejabat TUN yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan
tersebut ternyata tidak dilaksanakan, maka peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan demi hukum tidak mempunyai kekuatan hukum lagi;

- Terhadap Putusan HUlvI, tidak dapat diajukan Peninjauan Kembali (PK).

G. Contoh-contoh Putusan tentang Uji Materiil


Beberapa contoh Putusan Mahkamah Agung RI tentang uji materiil terhadap
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dapat dikemukakan di sini
antara lain sebagai berikut:

1. Putusan Mahkamah Agung RI (MARI) tanggal 23 Maret 2001 No. 03


P/HUM/2000, tentang permohonan uji materiil yang diajukan oleh para pemohon:
Indra Sahnun Lubis, S.H., dkk. terhadap Termohon: Pemerintah Presiden Rl terhadap
Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Putusan ini mengabulkan permohonan para
Pemohon dan menyatakan bahwa PP No. 19 tahun 2000 tidak sah dan tidak berlaku
untuk umum, dengan pertimbangan hukum yang intinya menyatakan bahwa
meskipun dari aspek sosiologis PP No. 19 tahun 2000 kemungkinan dapat diterima
karena doelmatigheid-nya sesuai dengan aspirasi masyarakat, namun dari aspek
yuridis (rechtmatigheid) dan filosofis PP tersebut sebagai secondary rule telah
bertentangan atau mengesampingkan ketentuan primary rule, yaitu UU No. 31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

2. Putusan MARI tanggal 31 Juli 2001 No. 08 P/HUM/2001 tentang


permohonan uji materiil yang diajukan oleh para pemohon: Persatuan Purnawirawan
Polri, terhadap Termohon: Presiden RI, dengan obyek gugatan berupa: 1). Keppres
No. 40 tahun 2001 tentang Pengangkatan Komjen Polisi Drs. Chaeruddin Ismail
menjadi Wakil Kapolri; 2). Keppres No. 41 tahun 2001 tentang penonaktifan Jend.
Pol. Drs Soerojo Bimantoro dari jabatan Kapolri serta pelimpahan tugas dan tanggung
jawab Kapolri kepada Wakapolri; 3). Keppres No. 77 ahun 2001 tentang Perubahan
atas Keppres No. 54 tahun 2001 tentang organisasi dan tata kerja Polri yang
mengadakan kembali jabatan Wakil Kapolri; 4). Keppres No. 49 tahun 2001 tentang
Pencabutan Penonaktifan/Pemberhentian dengan hormat Jend. Pol. Drs. Soerojo
Bimantoro sebagai Kapolri. Putusan ini mengabulkan permohonan untuk sebagian,
yaitu hanya menyatakan tidak sah dan tidak berlaku Keppres No. 77 tahun 2001,
dengan pertimbangan hukum yang intinya sebagai berikut:

- bahwa tentang Keppres No. 40 tahun 2001, No 41 tahun 2001 dan No. 49
tahun 2001 meskipun MA berpendapat bahwa KeppresKeppres tersebut bertentangan
dengan hukum dan ALJPB, namun karena bentuk dan isinya berupa Keputusan TUN
(kongkrit, individual dan final), maka bukan kewenangan uji materiil oleh MA
melainkan wewenang peradilan TUN. Sedangkan Keppres No. 77 tahun 2001 adalah
bersifat umum (regelend), tidak bersifat individual, maka termasuk wewenang uji
materiil oleh Mahkamah Agung;

- bahwa terbitnya Keppres No. 77 tahun 2001 untuk mengubah Keppres No.
54/Polri/2001 mengandung niat penyalahgunaan wewenang oleh Presiden, karena
bukan bertujuan untuk kepentingan organisasi Polri melainkan untuk melegitimasikan
Kepres No. 40 tahun 2001 dan Keppres No. 41 tahun 2001 sehingga bertentangan
dengan asas fairness dalam AUPB.

3. Putusan MARI tanggal 7 Pebruari 2002 No. 03 P/HUM/2001 tentang


permohonan hak uji materiil yang diajukan oleh para pemohon: Himpunan Sarang
Burung Walet Kalimanan Timur, dengan Termohon: Pemda/Bupati Berau, terhadap
Perda Kabupaten Berau No. 2 tahun 2001 tentang Pengelolaan dan Pengusahaan
Sarang Burung Walet. Pemohon mendalilkan bahwa Perda tenebut bertentangan
dengan PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Propinsi sebagai
Daerah Otonom, di mana kewenangan pemberian ijin pengelolaan burung walet
(collocalia) selama ini ada pada Diren Perlindungan Hutan dan Konservasi Dephut,
yang beralih pada Kabupten/Kota. Namun Perda Kabupaten Berau No. 2 tahun 2001
menyatakan bahwa segala ketentuan tentang penguasaan dan pengelolaan Goa Sarang
Burung Walet yang bertentangan dengan Perda tersebut dinyatakan tidak berlaku.
Permohonan ini dikabulkan dengan menyatakan bahwa Perda tersebut tidak sah dan
tidak berlaku untuk umum.
4. Putusan MARI tanggal 7 Maret 2002 No. 07/P/HUM/2001 tentang
permohonan uji materiil yang diajukan oleh para Pemohon: Ir. Djamaluddin
Suryohadikusumo, dkk., terhadap Termohon: Pemerintah R[, terhadap PP No. 14
tahun 2001 tentang Pengalihan Bentuk PERUM PERHUTANI menjadi PERSERO.
Permohonan ini dikabulkan dengan menyatakan PP No. 14 tahun 2001 tidak sah dan
tidak berlaku, dengan pertimbangan karena substansi/materi PP No. 14 tahun 2001
bertentangan dengan materi UU No. 9 tahun 1969 tentang Penetapan Perpu No. I
tahun 1069 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara menjadi UU, yaitu pada bentuk
PERUM adalah melaksanakan tugas publik di samping mendapatkan keuntungan,
sedangkan PERSERO melaksanakan tugas privat dan memupuk keuntungan.

5. Putusan MARI tanggal 9 septemb 2002 No. 05.G/HUM/2001 tentang


permohonan uji materiil yang diajukan Para Pemohon Drs.Ec.H. Arwan Karsi MK,
Ms dkk. (Ketua dan para wakil Ketua DPRD Propinsi sumatera Barat), terhadap PP
No. 110 tahun 2000 tentang kedudukan keuangan DPRD. Para Pemohon mendalilkan
batrwa PP tenebut bertentangan dengan UU No. 4 tahun 1999 tentang Susduk MPR,
DPR, DPRD pasal 34 ayat(2), (3), (5) serta UU No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah, Pasal 19 dan 2l yang mengatur tentang penentuan anggaran
DPRD adalah merupakan wewenang DPRD yang bersangkutan, bukan diatur dengan
PP. Permohonan ini dikabulkan dengan menyatakan batal PP No. 110 tahun 2000.

Dalam Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951


tentang Mengubah “ORDONNANTIE TIJDELIJKE BIJZONDERE
STRAFBEPALINGEN" (STBL. 1948 NO.17) Dan Undang-Undang R.I. Dahulu NR
8 Tahun 1948, Presiden Indonesia menetapkan perubahan terhadap Undang-Undang
tersebut dan menghasilkan keputusan:
Pasal 1:

(1) Barang siapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat,


menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan,
menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam
miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau
mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, munisi atau sesuatu bahan peledak,
dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman
penjara sementara setinggitingginya dua-puluh tahun.

(2) Yang dimaksudkan dengan pengertian senjata api dan amunisi termasuk
juga segala barang sebagaimana diterangkan dalam pasal 1 ayat 1 dari Peraturan
Senjata Api (Vuurwapenregeling : in-, uit-, doorvoer en lossing) 1936 (Stbl. 1937 No.
170), yang telah diubah dengan Ordonnantie tanggal 30 Mei 1939 (Stbl. No. 278),
tetapi tidak termasuk dalam pengertian itu senjata-senjata yang nyata-nyata
mempunyai tujuan sebagai barang kuno atau barang yang ajaib (merkwaardigheid),
dan bukan pula sesuatu senjata yang tetap tidak dapat terpakai atau dibikin
sedemikian rupa sehingga tidak dapat dipergunakan.

(3) Yang dimaksudkan dengan pengertian bahan-bahan peledak termasuk


semua barang yang dapat meledak, yang dimaksudkan dalam Ordonnantie tanggal 18
September 1893 (Stbl. 234), yang telah diubah terkemudian sekali dengan
Ordonnantie tanggal 9 Mei 1931 (Stbl. No. 168), semua jenis mesin, bom-bom, bom-
bom pembakar, ranjau-ranjau (mijnen), granat-granat tangan dan pada umumnya
semua bahan peledak baik yang merupakan luluhan kimia tunggal (enkelvoudige
chemische verbindingen) maupun yang merupakan adukan bahan-bahan peledak
(explosieve mengsels) atau bahanbahan peledak pemasuk (inleidende explosieven),
yang dipergunakan untuk meledakkan lain-lain barang peledak, sekedar belum
termasuk dalam pengertian munisi.
Pasal 2:

(1) Barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat,


menerima, mencoba memperolehnya, menyerahkan atau mencoba menyerahkan,
menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam
miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau
mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata
penusuk (slag-, steek-, of stootwapen), dihukum dengan hukuman penjara setinggi-
tingginya sepuluh tahun.

(2) Dalam pengertian senjata pemukul, senjata penikam atau senjata penusuk
dalam pasal ini, tidak termasuk barang-barang yang nyata-nyata dimaksudkan untuk
dipergunakan guna pertanian, atau untuk pekerjaanpekerjaan rumah tangga atau untuk
kepentingan melakukan dengan syah pekerjaan atau yang nyata-nyata mempunyai
tujuan sebagai barang pusaka atau barang kuno atau barang ajaib (merkwaardigheid).

Pasal 3: Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum Undang-undang Darurat ini


dipandang sebagai kejahatan.

Pasal 4:

(1) Bilamana sesuatu perbuatan yang dapat dihukum menurut Undang-undang


Darurat ini dilakukan oleh atau atas kekuasaan suatu badan hukum, maka penuntutan
dapat dilakukan dan hukuman dapat dijatuhkan kepada pengurus atau kepada
wakilnya setempat.

(2) Ketentuan pada ayat 1 dimuka berlaku juga terhadap badan-badan hukum,
yang bertindak selaku pengurus atau wakil dari suatu badan hukum lain.

Pasal 5:

(1) Barang-barang atau bahan-bahan dengan mana terhadap mana sesuatu


perbuatan yang terancam hukuman pada pasal 1 atau 2, dapat dirampas, juga
bilamana barang-barang itu tidak kepunyaan si-tertuduh.
(2) Barang-barang atau bahan-bahan yang dirampas menurut ketentuan ayat 1,
harus dirusak, kecuali apabila terhadap barang-barang itu oleh atau dari pihak Menteri
Pertahanan untuk kepentingan Negara diberikan suatu tujuan lain.

Pasal 6:

(1) Yang diserahi untuk mengusut perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum


berdasarkan pasal 1 dan 2 selain dari orang-orang yang pada umumnya telah ditunjuk
untuk mengusut perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, juga orang-orang, yang
dengan peraturan Undang-undang telah atau akan ditunjuk untuk mengusut
kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran yang bersangkutan dengan senjata
api, munisi dan bahan-bahan peledak.

(2) Pegawai-pegawai pengusut serta orang-orang yang mengikutinya


senantiasa berhak memasuki tempat-tempat, yang mereka anggap perlu dimasukinya,
untuk kepentingan menjalankan dengan saksama tugas mereka Apabila mereka
dihalangi memasuknya, mereka jika perlu dapat meminta bantuan dari alat kekuasaan.

Dengan menetapkan bahwa segala peraturan atau ketentuan-ketentuan dari


peraturan-peraturan yang bertentangan dengan Undang-undang Darurat ini tidak
berlaku.

Dapat di ambil kesimpulan bahwa penggunaan senjata tajam yang dipakai


dengan tujuan untuk pertanian, pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, syah pekerjaan
atau yang nyata-nyata mempunyai tujuan sebagai barang pusaka atau barang kuno
atau barang ajaib (merkwaardigheid) dikecualikan untuk digunakan dengan tanpa hak
yang diberikan oleh negara. Alat-alat tajam tersebut digunakan sebagaimana mestinya
untuk membantu pekerjaan-pekerjaan yang telah disebutkan diatas.

Untuk senjata api yang dalam Undang-undang disebutkan seperti senjata api
dan bagian-bagiannya, alat penyembut api dan bagian-bagiannya, mesiu dan bagian-
bagiannya seperti “patroonhulsen” , "slaghoedjes" dan lain-lainnya, bahan peledak,
termasuk juga benda-benda yang mengandung peledak seperti geranat tangan, bom
dan lain-lainnya wajib didaftarkan izin penggunaannya jika pemegang senjata api
tersebut bukan anggota Tentara atau Polisi.
Pendaftaran senjata api yang dipegang selain Tentara atau polisi harus
didaftarkan oleh Kepala Kepolisian Karesidenan (atau Kepala Kepolisian Daerah
Istimewa selanjutnya disebut Kepala Kepolisian Karesidenan saja) atau orang yang
ditunjukkannya.

Hukuman-hukuman bagi pelanggar pasal-pasal tersebut:

1. Barang siapa dengan sengaja :

a. tidak memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam pasal 2,


atau

b. sehabis waktu 16 hari terhitung mulai hari penutupan


pendaftaran mempunyai senjata api tidak dengan surat idzin tersebut
dalam pasal 9.

c. melanggar larangan tersebut dalam pasal 3 atau pasal 4,


dihukum penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun atau denda
sebanyak-banyaknya lima-belas ribu rupiah dan senjata apinya dapat
dirampas.

2. Barang siapa tidak memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam


pasal 12 dihukum kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda sebanyak-
banyaknya sembilan ratus rupiah dan senjata apinya dapat dirampas.

3. Perbuatan termuat dalam ayat 1 dianggap sebagai kejahatan.

4. Perbuatan termuat dalam ayat 2 dianggap sebagai pelanggaran.


H. Kajian Teoretis Pengaturan Senjata Api dan Bahan Peledak
Pengaturan pemakaian dan pemanfaatan senjata api dan bahan
peledak setiap negara memiliki pendekatan yang berbeda dan cenderung
bergantung sejauhmana senjata api dan bahan peledak tersebut
dimanfaatkan. Dalam konteks keamanan berkembang secara evolutif
sejumlah pendekatan, mulai negara harus berperan penuh hingga hanya
memposisikan negara sebatas sebagai pembuat regulasi saja tanpa harus
mencampuri aktivitas warga negara secara luas. Kondisi tersebut
mengharuskan warga negara mengamankan dirinya sendiri, selain negara
hanya menjalankan implementasi dan kewajibannya dalam bentuk yang
bersifat pelengkap saja. Proses tersebut pada derajat tertentu menegaskan
bagaimana negara dan publik memiliki kepentingan dan kewenangan
yang terbatas.

Keterbatasan tersebut pada konteks tertentu mengundang


perdebatan yang serius, bphn 20 khususnya pada bagaimana negara bisa
memberikan rasa aman, manakala publik justru diberikan kewenangan
untuk mengelola keamanannya dengan pendekatan yang bersifat
permanen. Sebab banyak contoh dan kejadian ketika negara memberikan
kewenangan kepada publik dengan salah satunya memberikan kebebasan
publik untuk memanfaatkan senjata api dan bahan peledak justru menjadi
ancaman tersendiri bagi publik lainnya di sisi yang lain.3

Berkaca pada sejumlah kasus penyalahgunaan senjata api dan


bahan peledak, dalam bentuk penembakan berlatar belakang dendam dan
kemarahan akibat kesehatan mental yang terganggu dan atau
3
Lihat misalnya Hahn, Robert. (et al). (2005). „Firearms Laws and the Reduction of Violence: A
Systematic Review‟. American Journal of Preventive Medicine, Vol. 28, Iss. 2,Suppl. 1. February, pp.
40–71. Lihat juga misalnya Burridge, Tom. (2010). ‗Finland Reviews Its Gun Laws after Mass
Shootings.„ BBC News. 16 August.
dimanfaatkan justru untuk melawan negara dalam bentuk aksi teror dan
pemberontakan, maka negara harus hadir dan tegas dalam mengatur
regulasi penggunaan senjata dan bahan peledak secara tegas. Hal tersebut
dimungkinkan karena negara harus hadir dalam berbagai aktivitas warga
negara untuk memastikan bahwa aktivitas tersebut tetap dalam kondisi
yang kondusif dan terjangkau oleh negara.

I. Regulasi Pengelolaan Senjata Api dan Bahan Peledak


Sejumlah negara cenderung menggunakan pendekatan regulasi
pengelolaan senjata api dan bahan peledak dengan pendekatan dan
berbagai alasan dan latar belakang. Namun secara umum ada empat
alasan pembuatan regulasi pengelolaan senjata api yang dalam perspektif
keamanan menjadi lebih masuk akal dan dipahami, yakni: Pertama,
bergantung bagaimana negara melihat ancaman atas teritorial dan warga
negaranya. Pada latar belakang yang pertama ini dipraktikkan oleh tiga
tipe negara yakni: [1] dipraktikkan di negara-negara dengan sejarah
konflik yang panjang serta instabilitas yang tinggi. Tipikal negara dengan
mendekati kegagalan, manajemen yang salah serta menuju jurang
kehancuran cenderung menggunakan alasan pendekatan ancaman karena
negara tidak lagi mampu menjaga keamanan warga negaranya secara
berkesinambungan. Negara-negara di Afrika, dan sejumlah negara
dengan sejarah konflik yang panjang mempraktikkan pendekatan dan
alasan tersebut. [2] dipraktikkan oleh negara dengan tingkat ancaman dari
luar negara yang meluas. Pada tipe negara kedua ini, regulasi terkait
dengan senjata api dan bahan peledak lebih menitikberatkan pada
harapan agar warga negaranya diminta atau tidak diminta oleh negara
untuk bersama-sama melakukan perlawanan atas upaya invasi dan atau
serangan kepada teritori dan obyek vital negara. [3] hal yang sama juga
dilakukan oleh negara dengan kontrol negara yang kuat serta kekuatan
militer yang baik, namun rawan oleh manuver dan ancaman yang bersifat
lintas negara. Negara melakukan mobilisasi dengan mudah apabila
serangan yang bersifat tiba-tiba dilakukan, setidaknya negara berharap
agar warganya dapat serta merta termobilisasi menjadi milisi dan mudah
diarahkan untuk kepentingan negara atas nama kedaulatan dan harga diri
bangsa. Hal ini termasuk juga melakukan perlawanan akan adanya
ancaman terorisme dan insujensi yang membuat negara harus melakukan
perlawanan semesta atas ancaman tersebut. Kedua, mengacu pada
kebijakan umum dan regulasi keamanan nasional. Dengan latar belakang
dan alasan yang kedua ini, negara tetap mempraktikkan regulasi atas
senjata api dan bahan peledak secara menyeluruh dengan tetap mengacu
pada tiga model terbuka, semi terbuka dan tertutup yang dapat juga
dipahami sebagai negara membebaskan warganya untuk memiliki dan
menggunakan senjata dan bahan peledak, negara membatasi pemanfaatan
dan penggunaan senjata api dan bahan peledak, serta yang ketiga adalah
melarang penggunaan senjata api dan bahan peledak secara bebas oleh
publik. Hal tersebut didasari atas apa yang menjadi prioritas dan
bagaimana mereka merumuskan ancaman dan kedewasaan warga
negaranya dalam memanfaatkan senjata api dan bahan peledak. Alasan
dan latar belakang kedua ini dirumuskan oleh negara dengan tingkat
kestabilaan politik dan keamanannya relatif baik. Sehingga apabila
mereka merumuskan salah satu dari tipe regulasi yang ada, maka dapat
dipastikan hal tersebut karena mengacu pada kebijakan umum dan
regulasi keamanan nasional. Ketiga, dilatarbelakangi oleh struktur dan
pola hubungan antar aktor keamanan. Tidak banyak negara merumuskan
kebijakan terkait dengan regulasi senjata api dan bahan peledak
dikarenakan alasan struktur dan pola hubungan antar aktor keamanan.
Namun sejumlah negara kerap kali terjebak oleh pola dan struktur aktor
keamanannya dalam mengatur regulasi senjata api dan bahan peledak.
Beberapa di antaranya justru terkait siapa yang menjadi aktor utama
dalam penindakan atas sejumlah permasalahan yang berbasis pada
regulasi senjata api dan bahan peledak. Keempat, perumusan kebijakan
dan regulasi senjata api dan bahan peledak dikarenakan struktur
pemerintahan dan bentuk negara. Di negara kesatuan dengan negara
federal praktik regulasi senjata api dan bahan peledak memiliki
perbedaan pada implementasinya. Sebagai gambaran misalnya Amerika
Serikat yang berbentuk negara federal tidak memiliki kebijakan umum
secara nasional terkait dengan penggunaan senjata api dan bahan peledak.
Basis regulasi ada di masing-masing negara bagian, sehingga dapat
dipastikan antara satu negara bagian dengan negara bagian lain memiliki
aturan yang tidak sama berhubungan dengan regulasi senjata api dan
bahan peledak. Sebaliknya misalnya negara dengan bentuk negara
kesatuan seperti Jepang yang mengintegrasikan pembatasan dan
pelarangan penggunaan senjata api dan bahan peledak secara nasional.4

4
Lebih lanjut misalnya lihat Zimring FE and Hawkins G. (1997). Crime is Not the Problem – Lethal
Violence in America. New York: Oxford University Press. Terutama Bab 3.
J. Teori Pemidanaan dalam Pengaturan Senjata Api dan Bahan
Peledak.

Dalam kajian hukum pidana terdapat beberapa anasir yang menjadi


perhatian, yakni:

1. Unsur tindak pidana, dalam hal ini perbuatan apa saja yang dilarang
dan dapat diancam dengan hukuman;

2. Unsur kesalahan dan pertanggungjawaban pidana, yang menentukan


bentuk kesalahannya: apakah berbentuk kesengajaan atau kelalaian.
Disamping itu berkaitan pula dengan subyek atau pelaku tindak pidana,
dimana telah terjadi perkembangan bahwa tindak pidana dapat pula
dilakukan oleh badan hukum - yang dalam UU lain digunakan
terminologi korporasi - yang dapat dimintai pertanggungjawaban secara
pidana; dan

3. Unsur sanksi yang diancamkan atas perbuatan tersebut, apakah


memenuhi asas subsidaritas (satu-satunya jalan mengingat hukum pidana
berfungsi sebagai ultimum remedium) dan proporsionalitas (seimbang
antara seriusnya perbuatan beserta akibat yang ditimbulkan dengan
pidana yang diancamkan dalam ketentuan perundang-undangan).
K. Asas-Asas Hukum Pengaturan Senjata Api dan Bahan Peledak.
Mengutip pendapat Paul Scholten, Hamid S Attamimi menyatakan
bahwa asas hukum (rechtsbeginsel) bukanlah sebuah aturan hukum
(rechtsregel). Hal ini karena muatan dalam asas hukum masih bersifat
terlalu umum.5 Senada dengan hal tersebut Noto Hamidjojo menyatakan
bahwa asasasas hukum tidak boleh dianggap sebagai suatu norma hukum
yang konkrit, melainkan perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau
petunjuk bagi hukum yang berlaku.6 Walaupun demikian, menurut
Scholten, aturan hukum tidak akan dapat dimengerti tanpa didasarkan
pada asas-asas hukum yang melingkupinya. Oleh karena itu asas-asas
hukum sangat penting dalam merumuskan suatu undang-undang. Dengan
kata lain asas-asas hukum akan menjadi payung untuk rumusan-rumusan
norma-norma yang akan dibentuk agar tidak tidak terjadi penyimpangan-
penyimpangan.

Mendasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 6 ayat (1) UU


No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, penyusunan aturan mengenai senjata api dan bahan peledak
didasarkan pada asas-asas:

5
A. Hamid Attamimi, Perananan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara, Suatu Studi analisis mengenai Keputusan Presiden yang berfungsi pengaturan
dalam kurun waktu PELITA I-PELITA IV, dalam `Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan:
Proses dan teknik Pembentukannya, Penerbit Kanisius, 2007, hal. 227.
6
Noto Hamidjojo, Soal-soal Pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975), hal. 33.
a. Asas pengayoman. Mendasarkan pada asas pengayoman,
pengaturan senjata api dan bahan peledak berfungsi untuk memberikan
perlindungan terhadap pihak-pihak yang terkait dalam proses perencanan
dan pengembangan senjata api dan bahan peledak sampai dengan
pemusnahannya. Selain itu, terciptanya ketentraman di dalam masyarakat
adalah salah satu tujuan dalam pengaturan senjata api dan bahan peledak.

b. Asas ketertiban dan kepastian hukum. Asas ini menjadi


pedoman dalam penyusunan aturan mengenai senjata api dan bahan
peledak, sehingga akan tercipta ketertiban di berbagai institusi yang
terkaitdengan senjata api dan bahan peledak melalui kepastian hukum
yang ditimbulkan akibat adanya pengaturan mengenai senjata api dan
bahan peledak. Sejalan dengan hal tersebut, kondisi ini akan memberikan
dampak pada munculnya ketertiban dan kepastian hukum di dalam
masyarakat.

c. Asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan. Keseimbangan,


keserasian dan keselarasan antara hak dan kewajiban negara dengan hak
dan kewajiban masyarakat menjadi asas yang harus dipedomani dalam
menyusun pengaturan mengenai senjata api dan bahan peledek.
Mendasarkan pada hal tersebut, maka kedudukan dan peranan masing-
masing pihak dalam hubungan tersebut harus jelas.

d. Asas keadilan. Sejalan dengan asas keseimbangan, keserasian


dan keselarasan diatas, maka akan muncul rasa keadilan yang
proporsional bagi pihak-pihak yang terkena dampak terkait pengaturan
senjata api dan bahan peledak. Selain asas-asas tersebut diatas,
penyusunan aturan mengenai senjata api dan bahan peledak juga
didasarkan pada asas-asas
a. Monopoli instrumen kekerasan oleh negara. Bahwa senjata api
dan bahan peledak adalah salah satu sarana atau instrumen untuk yang
dapat menimbulkan kerusakan apabila digunakan secara sewenang-
wenang oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu
keberadaan senjata api dan bahan peledak harus dikendalikan oleh
negara, baik dari segi penentuan batasan teknis senjata api dan bahan
peledak maupun dari segi penentuan pendekatan proses kendalinya.

b. Asas akuntabilitas. Bahwa penyelenggaraan pengaturan


mengenai senjata api dan bahan peledak dari proses perencanan dan
pengembangan senjata api dan bahan peledak sampai dengan
pemusnahannya harus dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi
proses maupun pembiayaannya;

c. Asas kepentingan nasional. Bahwa penyelenggaraan pengaturan


kegunaan senjata api dan bahan peledak harus mengutamakan
kepentingan nasional; dan

d. Asas koordinatif. Bahwa pengelolaan senjata api dan bahan


peledak perlu dilakukan koordinasi yang baik, karena masalah senjata
dan bahan peledak tidak dapat dilakukan hanya oleh satu institusi saja,
tetapi harus melibatkan berbagai instansi terkait sesuai dengan tugas
fungsi dan perannya.
BAB III
PENUTUP
Ada dua prinsip dalam uji materi yaitu uji formil dan uji materiil. Dalam
pengujian materiil, terjadi pengujian terhadap materi-materi yang mengandung
undang-undang tertentu. Setiap UU akan dilihat, direview dan diuji apakah ada dari
pasal-pasal atau ayat-ayatnya dalam UU Tersebut yang melanggar UUD 1945.
Pada pengujian formil, pengujian dilakukan untuk melihat apakah
pembentukan UU sudah sesuai secara aturan hukum dalam UU. Tata cara membuat
perundang-undangan termaktub dalam UU Nomor 11 tahun 2012 mengenai
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Indonesia mengalami perubahan yang bisa dibilang berlangsung cepat
khususnya dalam hal perundang-undangan. Seperti yang kita ketahui bahwa hukum
berusaha mencapai perkembangan yang berlangsung cepat tersebut, namun ternyata
dalam pelaksanaanya masyarakat belum siap terhadap hukum yang telah dibuat.
Padahal hukum mempunyai tugas menjaga ketertiban, keamanan, dan memberikan
keadilan bagi masyarakat. Perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat
berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, seiring dengan
berkembangnya zaman peraturan perundangundangan yang telah dibuat terkadang
perlu adanya pembetulan dan penyesuaian agar sesuai dengan kebutuhan hukum
masyarakat. Peraturan perundangundangan merupakan sarana penting untuk menjaga
hubungan yang antara warga masyarakat dengan Pemerintah untuk mewujudkan
tujuan bersama secara dinamis, tetapi tertib dan teratur. Bahwa, mengenai senjata api
dan/atau munisi Undang-Undang in casu UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951
sehinggga UU ini menjadi tidak efektif lagi diakibatkan segala sesuatu mengenai
senjata api, munisi dan bahan peledak disangkakan dengan norma tersebut sementara
belum pernah ada tersangka yang divonis atau setidaktidaknya dituntut oleh JPU
dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara
sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun sehingga dengan demikian UU a-quo
menjadi tidak memberikan perlindungan konstitusi secara maksimal sebagai akibat
Penyidik, Penuntut dan Hakim hanya menggunakan kepentingannya dalam
menerapkan norma tersebut dapat mengangkat perkara pidana yang telah divonis atau
masih dalam upaya hukum.
Bagaimana dengan norma kerugian pemohon hak uji materil?
Mahkamah Agung melalui putusan-putusannya mengembangkan pengaturan
yang menjadi tolok ukur menilai kapasitas pemohon hak uji materil.
Putusan Nomor 74 P/Hum/2014 tanggal 12 Februari 2015 Mahkamah Agung
menyatakan pemohon hak uji materil tidak mempunyai legal standing sehingga tidak
mempunyai kepentingan untuk mengajukan permohonan hak uji materil. Pemohon
dalam perkara ini adalah perseorangan yang mengajukan hak uji materil Peraturan
Daerah Provinsi Jawa Timur tentang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Provinsi
Jawa Timur terhadap Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun
2013. Pemohon mendalilkan memiliki hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal
28 D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yaitu hak untuk mendapatkan kepastian hukum
yang adil. Hak konstitusional Pemohon dinyatakan dirugikan dengan berlakunya
obyek hak uji materil.
Putusan Nomor 70 P/HUM/2013 tanggal 25 Februari 2014. Melalui putusan
ini Mahkamah Agung menyampaikan pendiriannya mengenai kapasitas pemohon hak
uji materil. Pemohon dikatakan mempunyai kepentingan hak uji materil sehingga
memiliki legal standing untuk mempersoalkan obyek permohonan, setiap pemohon
harus memenuhi lima kriteria yaitu:
1. Pemohon merupakan salah satu dari tiga kelompok subjek
hukum yang diatur dalam Pasal 31 A ayat (2) UU Mahkamah Agung;
2. Subjek hukum tersebut memang mempunyai hak;
3. Hak yang bersangkutan dirugikan oleh berlakunya peraturan
perundang-undangan dibawah undang-undang yang dipersoalkan;
4. Terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara
kerugian dimaksud dan berlakunya obyek permohonan yang dimohonkan
pengujian;
5. Apabila permohonan bersangkutan kelak dikabulkan, maka
kerugian yang bersangkutan tidak lagi atau tidak akan terjadi dengan
dibatalkannya peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang
dimaksud.

Dalam Putusan Nomor 70 P/HUM/2013 tersebut Pemohon hak uji materil


mendalilkan memiliki hak atas peraturan perpajakan yang kondusif, berkeadilan dan
jelas. Hak pemohon tersebut dirugikan dengan berlakunya obyek hak uji materil yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 tentang Perubahan Keempat atas
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001. Obyek hak uji materil dinyatakan
bertentangan dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Mahkamah Agung dalam
perkara ini menyatakan pemohon memiliki kepentingan sehingga mempunyai legal
standing sebagai pemohon hak uji materil.
Melalui Putusan Nomor 49 P/HUM/2017 tanggal 02 Oktober 2017
Mahkamah Agung menguraikan kembali persyaratan kapasitas pemohon hak uji
materil. Pemohon hak uji materil harus menjelaskan mengenai dua hal yaitu:
(a).Kedudukannya sebagai pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
ayat (2) UU Mahkamah Agung;
(b).Ada tidaknya hak pemohon yang dirugikan sebagai akibat berlakunya
peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Mahkamah Agung menyatakan Pemohon perkara ini memiliki legal standing
mengajukan hak uji materil. Dalam permohonannya Pemohon mendalilkan adanya
hubungan sebab akibat yang pada akhirnya mengakibatkan Pemohon akan mengalami
kerugian yang nyata karena terancam kehilangan mata pencaharian akibat berlakunya
obyek hak uji materil. Melalui Putusan ini Mahkamah Agung memperluas hubungan
sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya obyek pemohonan hak
uji materil sampai kepada hubungan sebab akibat tidak langsung.
Dalam perkara uji materiil tentang penggunaan senjata ini dapat disimpulkan
bahwa munculnya perubahan peraturan penggunaan senjata api terhadap Undang-
undang 1945 untuk melindungi masyarakat dan memberikan keamanan di lingkungan
masyarakat.
Dengan dibatasinya penggunaan senjata tajam atau senjata api, masyarakat
dapat lebih aman dari ancaman.
DAFTAR PUSTAKA

Lumbanraja, H. 2018. Hak Uji Materil, Tujuan, Aturan dan 5 Kriteria Menentukan
Kapasitas Pemohon. Diakses pada 27 Desember 2021.
https://www.larasonline.com/ulasan/Hak-Uji-Materil--Tujuan--Aturan-dan-5-
Kriteria-Menentukan-Kapasitas-Pemohon

Abdullah, H. Ujang. HAK UJI MATERIIL DI BAWAH UNDANG-UNDANG. Diakses


pada 27 Desember 2021. https://ptun-palembang.go.id/upload_data/HUM.pdf

Nursobah, A. 2021. Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di Bawah Undang-


Undang. Diakses pada 27 Desember 2021.
https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/prosedur-berperkara/hak-uji-
materiil-ppu
Admin DSLA. 04 Desember. Pentingnya Menggandeng Firma Hukum untuk Uji
Materi. Diakses pada 27 Desember 2021. https://www.dslalawfirm.com/uji-materi/
DPN SBMI. 2019. BELAJAR MENGENAL JUDICIAL REVIEW ATAU UJI MATERI
DI MAHKAMAH KONSTITUSI. Diakses pada 27 Desember 2021.
https://sbmi.or.id/belajar-mengenal-judicial-review-atau-uji-materi-di-
mahkamah-konstitusi/
Prayogo, R. Tony 2016, „Penerapan Asas Kepastian Hukum Dalam Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil Dan
Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/Pmk/2005 Tentang
Pedoman Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang‟, Jurnal Legilasi
Indonesia, Vol. 13 N0. 02 - Juni 2016 : 191 – 193.
Department of Public Information, “Small Arms: United Nations Conference on the
Illicit Trade in Small Arms and Light Weapons in All Its Aspects”.. Maret
2001.
Duff, Antony and David Garland, “A Reader on Punishment”, Oxford: Oxford
University Press, 1994.
Hamidjojo, Noto, ―Soal-soal Pokok Filsafat Hukum”, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1975.
Indrati, Maria Farida, ―Ilmu Perundang-Undangan: Proses dan teknik
Pembentukannya”, Penerbit Kanisius, 2007.
Karp, Aaron. ‗Completing the Count: Civilian Firearms.‟ In Small Arms Survey.
Small Arms Survey 2007: Guns and the City”. Cambridge:
CambridgeUniversity Press. 2007.
Kramer, Katherine. ―Legal Controls on Small Arms and Light Weapons in
Southeast Asia”. (2001) Small Arms Survey.
Mahmud, M.D, Moh., ―Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi”,
Jakarta: 2006. Packer, Herbert L. ―The Limits of The Criminal Sanction”,
California: Stanford University Press, 1968
Salman, Otje, ―Beberapa Aspek Sosiologi Hukum”, Bandung: 1993.
Samosir, Djisman, ―Fungsi Pidana penjara dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia,‖
Bandung: Binacipta, Cetakan pertama, 1994.
Cook PJ & Cole TB. ―Strategic Thinking About Gun Markets & Violence‖. Journal
of American Medical Association. (1996).
Hahn, Robert. (et al). ―Firearms Laws and the Reduction of Violence: A Systematic
Review‖ American Journal of Preventive Medicine, Vol. 28, (2005). Iss.
2,Suppl. 1. February
Harkrisnowo, Harkristuti, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap
Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia (Pidato Orasi pada Upacara
Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Hukum Pidana FHUI), Depok, 8 Maret
2003.
International Crisis Group. “Illicit Arms in Indonesia. Policy Briefing”. No 109.
Jakarta/Brussels, 6 September 2010.

Anda mungkin juga menyukai