Anda di halaman 1dari 11

TUGAS 2

MATA KULIAH HKUM4408 – HUKUM ISLAM DAN ACARA

PERADILAN AGAMA

Tutor Pembimbing: Lutfiyah Trini Hastuti, S.H., M.H./02002775

Nama : I Gede Beniadi Baswara


NIM : 042896584
UPBJJ UT : Jakarta

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TERBUKA

TANGERANG SELATAN

2021
TUGAS 2 HKUM4408

Kasus 1
I Made Gunawan adalah seorang abdi negara yang baik dan penganut agama yang taat. Dia
dikenal sebagai pribadi yang ramah dan sopan, hingga diketahui bahwa dia melakukan nikah
siri dengan kekasihnya, hal ini ditengarai tidak adanya restu dari orang tua kedua belah pihak,
perbedaan keyakinan menjadikan hubungan mereka ditentang pihak keluarga. I Made yang
beragaama Hindu dan kekasihnya yang beragama islam. Setahun berselang I made
memutuskan untuk menjadi seorang muallaf dan dilangsungkan pernikahan dan dicatatkan
berdasar perundang-undangan yang berlaku. Namun Dari tekanan pihak keluarga I made
pasca pernikahan, akhirnya I Made dan istrinya memutuskan untuk bercerai, saat ini diketahui
bahwa I made bersama istrinya dikaruniai 1 orang anak perempuan. Perceraian berlangsung
menegangkan oleh kedua belah pihak terkait hak asuh dari anak juga persoalan harta gono gini
yang mana I Made telah mewakafkan 1/3 bagian harta milik bersama untuk pembangunan
rumah ibadah 3 tahun sebelumnya tanpa sepengetahuan istrinya. Hingga berita ini diturunkan
sidang proses perceraian masih sementara bergulir. 
1. Berdasarkan kasus di atas apakah perbuatan (mewakafkan sebagian hartanya) I Made
memenuhi unsur-unsur wakaf? Berikan alasan anda secara jelas.
2. Berikan analisis anda terkait legalitas/keabsahan wakaf yang telah diberikan kepada wakif?
3. Dari contoh kasus di atas, apakah sudah terpenuhi syarat sebagai wakif? Kemukakan alasan
anda!

Kasus 2 
Seorang pengusah bernama Herwelis membeli sebuah lahan dan bangunan di jalan perintis
kemerdekaan seharga Rp. 10 M dengan 70% pembiayaan atau sekitar Rp. 7 M dibiayai bank
Syariah. Di tengah perjalanan, cicilannya bermasalah sehingga bank Syariah menyita lahan dan
bangunan dengan mendaftar gugatan ke pengadilan negeri makassar dan dimenangkan pihak
bank secara verstek atau putusan tidak dihadiri tergugat. Saat dilakukan pelelangan lahan dan
bangunan oleh pihak bank herwelis kemudian melayangkan gugatan terhadap putusan
pengadilan negari makassar.
Silahkan analisis kasus tersebut di atas kemudian kemukakan pendapat anda terhadap proses
penyelesaian sengketa yang ditempuh pihak perbankan, putusan verstek oleh pengadilan serta
gugatan herwelis terhadap putusan pengadilan?

JAWABAN

Kasus 1
I Made Gunawan adalah seorang abdi negara yang baik dan penganut agama yang taat. Dia
dikenal sebagai pribadi yang ramah dan sopan, hingga diketahui bahwa dia melakukan nikah
siri dengan kekasihnya, hal ini ditengarai tidak adanya restu dari orang tua kedua belah pihak,
perbedaan keyakinan menjadikan hubungan mereka ditentang pihak keluarga. I Made yang
beragaama Hindu dan kekasihnya yang beragama islam. Setahun berselang I made
memutuskan untuk menjadi seorang muallaf dan dilangsungkan pernikahan dan dicatatkan
berdasar perundang-undangan yang berlaku. Namun Dari tekanan pihak keluarga I made
pasca pernikahan, akhirnya I Made dan istrinya memutuskan untuk bercerai, saat ini diketahui
bahwa I made bersama istrinya dikaruniai 1 orang anak perempuan.
Perceraian berlangsung menegangkan oleh kedua belah pihak terkait hak asuh dari anak juga
persoalan harta gono gini yang mana I Made telah mewakafkan 1/3 bagian harta milik bersama
untuk pembangunan rumah ibadah 3 tahun sebelumnya tanpa sepengetahuan istrinya. Hingga
berita ini diturunkan sidang proses perceraian masih sementara bergulir.
1. Berdasarkan kasus di atas apakah perbuatan (mewakafkan sebagian hartanya) I Made
memenuhi unsur-unsur wakaf? Berikan alasan anda secara jelas!
Unsur-unsur atau disebut juga rukun wakaf, menurut para ulama dan dari perspektif
Kompilasi Hukum Islam terdiri dari 4 hal, yaitu:
a. orang yang berwakaf (wakif) sebagai subjek wakaf;
b. harta benda yang diwakafkan (maukuf) sebagai subjek wakaf;
c. penerima wakaf (nadzir) sebagai subyek wakaf;
d. pernyataan atau ikrar wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan sebagian harta
bendanya, yang hal ini dalam beberapa referensi ada yang menyebut sebagai shighat
atau sighah dan ada pula yang menyebutnya sebagai simauquf’alaih.

Dalam kasus di atas, jika dilihat secara unsur atau rukunnya saja, menurut saya telah
memenuhi untuk dapat disebut sebagai wakaf, di mana orang yang berwakaf adalah I Made
dengan harta benda yang diwakafkan berupa 1/3 bagian harta yang bisa saja berupa tanah,
bangunan ataupun benda bergerak seperti uang, logam mulia dan lain-lain. Adapun
penerima wakafnya tentu saja salah satu pihak dari panitia pembangunan rumah ibadah
tersebut berdasarkan ikrar yang bisa dibuat baik secara lisan maupun tertulis. Dalam hal ini,
saya asumsikan bahwa rumah ibadah yang dimaksud adalah yang diperuntukkan bagi umat
muslim, yaitu masjid. Sebab, pada prinsipnya wakaf adalah sebagai bentuk mendekatkan diri
atau beribadah kepada Allah dalam pandangan Islam, sehingga jika misalkan rumah ibadah
tersebut berupa pura, gereja dan rumah ibadah selain untuk umat muslim tentunya tidak
memenuhi bentuk ibadah bagi umat muslim.

Adapun berdaskarkan perspektif hukum positif, dalam Pasal 6 UU Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf (UU Wakaf), juga diatur unsur-unsur wakaf yang pada prinsipnya keempat
syarat di atas adalah sama, hanya saja ditambahkan 2 unsur lain yaitu peruntukan harta
benda wakaf serta jangka waktu wakaf. Menurut pendapat saya, kedua hal tersebut pada
dasarnya dapat dimasukkan dalam ikrar wakaf yang dibuat oleh wakif dengan nadzir.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa wakaf yang dilakukan I Made tersebut pada
dasarnya telah memenuhi unsur-unsur atau rukun wakaf. Artinya, jika dilihat dari unsur atau
rukunnya saja, apa yang dilakukan I Made tersebut dapat disebut sebagai wakaf. Namun
demikian, dalam berwakaf ada syarat-syarat yang harus dipenuhi pada setiap unsur atau
rukun di atas, agar wakaf yang dilakukan menjadi sah.

2. Berikan analisis anda terkait legalitas/keabsahan wakaf yang telah diberikan kepada
wakif?
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa dalam berwakaf ada syarat-syarat yang
harus dipenuhi pada setiap unsur atau rukun di atas, agar wakaf yang dilakukan menjadi
sah. Dengan kata lain, meskipun secara unsur atau rukunnya sudah terpenuhi, belum tentu
suatu wakaf yang dilakukan dapat dikatakan sah, sebab untuk memenuhi legalitas atau
keabsahan wakaf harus dipenuhi syarat-syarat pada setiap rukunnya.
Mengacu pada UU Wakaf, persyaratan pada setiap rukun wakaf untuk memenuhi legalitas
atau keabsahan wakaf sebagai berikut:
a. orang yang berwakaf (wakif) sebagai subjek wakaf;
Dalam Pasal 8 UU Wakaf diatur bahwa untuk wakif perseorangan hanya dapat
melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan yaitu dewasa, berakal sehat, tidak
terhalang melakukan perbuatan hukum, serta pemilik sah harta benda wakaf.
b. harta benda yang diwakafkan (maukuf) sebagai subjek wakaf;
Harta benda yang diwakafkan ini dapat berupa benda tidak bergerak seperti hak atas
tanah, bangunan, tanaman dan lain-lain maupun benda bergerak seperti uang, logam
mulia, kendaraan, surat berharga, dan sebagainya. Adapun syarat untuk harta benda
wakaf ini hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah
yang diatur dalam Pasal 15 UU Wakaf.
c. penerima wakaf (nadzir) sebagai subjek wakaf;
Untuk nazhir perseorangan, persyaratannya diatur dalam Pasal 10 UU Wakaf, yaitu WNI,
beragama Islam, dewasa, amanah, mampu secara jasmani dan rohani, dan tidak
terhalang melakukan perbuatan hukum.
d. pernyataan atau ikrar wakif
Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 17 sampai dengan Pasal 21 UU Wakaf, yang pada
intinya mengatur bahwa ikrar wakaf dilaksanakan oleh wakif kepada nadzir di hadapan
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi,
di mana ikrar tersebut dapat dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan serta dituangkan
dalam akta ikrar wakaf. Saksi serta ikrar wakaf ini juga memiliki persyaratan tertentu
yang diatur dalam pasal-pasal selanjutnya.

Selanjutnya, dalam kasus di atas jika dianalisis dari persyaratan atas setiap rukun atau unsur
wakaf yang mengacu pada UU Wakaf tersebut, maka dapat saya asumsikan untuk syarat-
syarat pada unsur penerima wakaf (nadzir) dan ikrar wakaf telah dilakukan sesuai ketentuan,
sebab dalam kasus di atas juga tidak dijabarkan secara lebih rinci. Adapun untuk syarat-
syarat pada rukun orang yang berwakaf (wakif), dalam 3 syarat pertama yaitu dewasa,
berakal sehat serta tidak terhalang perbuatan hukum, I Made tentunya telah memenuhi
syarat. Sedangkan dalam syarat sebagai wakif yang keempat yaitu pemilik sah harta benda
wakaf, menurut pendapat saya tidak memenuhi ketentuan, yang hal ini juga berkaitan
dengan syarat pada rukun harta benda yang diwakafkan (maukuf), yang mana harta benda
wakaf ini hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah.

Penjelasannya adalah, harta benda yang diwakafkan I Made dalam kasus di atas merupakan
1/3 bagian harta milik bersama yang dilakukan tanpa sepengetahuan istrinya. Pasal 35 ayat
(1) UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 mengatur bahwa Harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama. Adapun Wakaf merupakan salah satu bentuk perbuatan
hukum, yang jika harta benda yang diwakafkan adalah milik bersama maka harus melalui
persetujuan antara suami dengan istri, yang hal ini diatur dalam pasal 36 UU Perkawinan.
Artinya, I Made bukan sepenuhnya sebagai pemilik sah dari harta benda yang diwakafkan
tersebut karena kepemilikan dan penguasaannya dilakukan secara bersama dengan istrinya.

Dengan demikian, dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa syarat sebagai wakif dan
harta benda yang diwakafkan (maukuf) oleh I Made tidak memenuhi ketentuan, sebab wakaf
yang dilakukan atas harta milik bersama tidak dilakukan atas persetujuan istrinya. Karena itu
wakaf yang dilakukan I Made menjadi tidak sah atau tidak memenuhi legalitas/keabsahan
wakaf. Adapun terkait syarat sebagai wakif oleh I Made secara rinci saya jabarkan dalam
jawaban nomor 3 di bawah, yang hal ini juga terkait dengan harta benda yang diwakafkan.
3. Dari contoh kasus di atas, apakah sudah terpenuhi syarat sebagai wakif? Kemukakan
alasan anda!
Menurut pendapat saya, syarat sebagai wakif dalam kasus di atas tidak terpenuhi, yang hal
ini ada kaitannya dengan kepemilikan harta benda yang diwakafkan sebagaimana telah
dijelaskan di atas. Adapun syarat sebagai wakif untuk perseorangan diatur baik dalam UU
Wakaf maupun dalam KHI sebagai berikut:
Ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU Wakaf mengatur bahwa wakif perseorangan hanya dapat
melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan:
a. Dewasa
b. Berakal Sehat
c. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum
d. pemilik sah harta benda wakaf
Adapun dalam Pasal 217 ayat (1) KHI, diatur bahwa apabila yang menjadi wakif itu orang
atau orang-orang, dipersyaratkan :
a. telah dewasa,
b. sehat akalnya,
c. oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, dan
d. dilakukan atas kehendak sendiri.

Apabila dilihat dari ketentuan dalam kedua peraturan di atas, 3 syarat pertama sebagai wakif
memiliki kesamaan, yaitu telah dewasa, sehat akalnya, dan tidak terhalang untuk melakukan
perbuatan hukum. Dalam kasus di atas, I Made selaku wakif memang telah memenuhi ketiga
persyaratan tersebut. Walaupun dalam kasus tersebut tidak dijelaskan apakah pada saat
melakukan wakaf I Made masih beragama Hindu atau sudah muallaf, namun dalam
persyaratan sebagai wakif tidak ada ketentuan bahwa wakif harus beragama Islam. Terlebih
wakafnya juga diperuntukkan bagi pembangunan rumah ibadah umat Islam atau masjid.
Artinya, wakif diperbolehkan beragama Hindu atau agama lainnya. Hal ini sesuai dengan
pandangan dari para ulama madzhab Syafi’i dan Hanbali bahwa sepanjang wakaf tersebut
memiliki nilai qurbah atau ibadah dalam pandangan Islam maka dapat dibenarkan, sehingga
wakaf non-muslim untuk masjid diperbolehkan karena dalam pandangan Islam, hal tersebut
merupakan bentuk dari qurbah.

Namun demikian, syarat keempat dalam ketentuan UU Wakaf maupun KHI di atas yaitu
berupa pemilik sah harta benda wakaf dan dilakukan atas kehendak sendiri, menurut saya
tidak terpenuhi, yang hal ini berkaitan erat dengan harta benda wakaf yang dimiliki wakif.
Dalam kasus tersebut, I Made selaku wakif mewakafkan 1/3 bagian dari harta bersama
tanpa sepengetahuan istrinya. Berdasarkan ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan, bahwa
harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sehingga dalam hal
ini I Made bukan satu-satunya pemilik sah harta benda yang diwakafkan tersebut karena di
dalamnya juga terdapat hak istrinya. Artinya, I Made tidak serta merta dapat mewakafkan
sebagian harta bersama tersebut tanpa sepengetahuan istrinya, sebab segala perbuatan
hukum yang dilakukan terhadap harta bersama harus melalui persetujuan kedua belah pihak
sebagaimana diatur dalam Pasal 36 UU Perkawinan.
Dengan demikian, syarat wakif yang menyatakan bahwa wakaf dilakukan atas kehendak
sendiri ini mengandung asas kesukarelaan, sehingga jika harta bendanya merupakan harta
bersama, maka kehendak dari I Made untuk melakukan wakaf tersebut juga harus
didasarkan pada kesukarelaan atau persetujuan dari istrinya. Terlebih perkawinan antara I
Made dengan istrinya ternyata berujung dengan perceraian, sehingga belum tentu istrinya
juga memiliki kerelaan untuk mewakafkan sebagian harta bersama tersebut. Dengan kata
lain, persetujuan dari istri menurut saya juga merupakan syarat sebagai wakif sebelum
melakukan wakaf atas harta bersama, sebab jika terjadi hal-hal tidak terduga seperti
perceraian dalam kasus di atas dapat meminimalkan potensi sengketa harta gono gini, atau
dalam hal terjadi kematian dari pihak wakif tidak menimbulkan sengketa kewarisan dari ahli
warisnya. Sengketa atas harta benda wakaf tentunya dapat menyebabkan tujuan
fundamental untuk memanfaatkan harta benda wakaf dalam rangka ibadah serta memajukan
kesejahteraan umum menjadi tidak tercapai.

Kasus 2
Seorang pengusaha bernama Herwelis membeli sebuah lahan dan bangunan di jalan perintis
kemerdekaan seharga Rp10 M dengan 70% pembiayaan atau sekitar Rp7 M dibiayai bank
Syariah. Di tengah perjalanan, cicilannya bermasalah sehingga bank Syariah menyita lahan dan
bangunan dengan mendaftar gugatan ke pengadilan negeri Makassar dan dimenangkan pihak
bank secara verstek atau putusan tidak dihadiri tergugat. Saat dilakukan pelelangan lahan dan
bangunan oleh pihak bank herwelis kemudian melayangkan gugatan terhadap putusan
pengadilan negeri Makassar.
Silahkan analisis kasus tersebut di atas kemudian kemukakan pendapat anda terhadap
proses penyelesaian sengketa yang ditempuh pihak perbankan, putusan verstek oleh
pengadilan serta gugatan herwelis terhadap putusan pengadilan?
Proses penyelesaian sengketa yang ditempuh pihak perbankan
Dalam kasus tersebut di mana Herwelis memanfaatkan jasa pembiayaan sebesar 70% atau
sekitar Rp7M untuk pembelian lahan dan bangunan melalui bank syariah, maka dapat
dikatakan bahwa kegiatan tersebut termasuk dalam kegiatan ekonomi syariah, sebab
perbankan syariah tentunya menggunakan akad-akad syariah dalam menjual jasanya,
termasuk di dalamnya jasa pembiayaan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi
Syariah (PERMA 14/2016) jo. Pasal 1 ayat (1) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES),
disebutkan bahwa ekonomi syariah adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh orang
perorang, kelompok orang, badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum
dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat komersial dan tidak komersial menurut
prinsip syariah.

Adapun terhadap pembiayaan pembelian tanah tersebut, dengan demikian terdapat hak
tanggungan di dalamnya. Berdasarkan Undang-undang tentang Hak Tanggungan Nomor 4
Tahun 1996 (UUHT), hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas
tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Sederhananya, lahan dan
bangunan yang dibeli Herwelis dengan pembiayaan dari bank syariah tersebut dijadikan
sebagai jaminan atas hutangnya kepada pihak bank.
Dalam perjalanannya, Herwelis sebagai debitur mengalami permasalahan dalam pembayaran
cicilannya, sehingga pihak bank syariah menyita lahan dan bangunan tersebut. Berdasarkan
ketentuan Pasal 6 UUHT, apabila debitur cidera janji, maka pemegang Hak Tanggungan
pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui
pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Artinya
telah terjadi perkara atau sengketa ekonomi syariah, di mana Herwelis melakukan wanprestasi
atau cedera janji terkait pembayaran cicilannya sehingga pihak bank syariah mengajukan
gugatannya kepada PN Makassar hingga keluarnya putusan verstek untuk mengeksekusi lahan
dan bangunan tersebut untuk dijual secara lelang.

Dikutip dari artikel pada laman resmi Badan Peradilan Agama MA, memang selama ini, perihal
hak tanggungan dan fidusia berdasarkan akad syariah, belum ada kejelasan mengenai
lingkungan peradilan mana yang berwenang menerima, memeriksa dan memutus perkara,
serta melaksanakan putusannya. Ketentuan dalam Pasal 55 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah (UU Perbankan Syariah) sebenarnya mengatur upaya penyelesaian
sengketa dilakukan melalui lingkungan Peradilan Agama vide Pasal 49 dan penjelasan pasal 49
huruf i UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama yang saat ini telah diubah dengan UU Nomor 50 Tahun 2009 (UU Peradilan
Agama).

Namun demikian, terhadap pengajuan gugatan bank syariah ke lingkungan peradilan umum
(pengadilan negeri) di atas, menurut pendapat saya terdapat 2 asumsi terkait waktu terjadinya
kasus sengketa tersebut. Hal ini dikarenakan terhadap lembaga mana yang berwenang
mengadili sengketa ekonomi syariah, terdapat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor
93/PUUX/2012 yang merupakan hasil judicial review atas salah satu pasal dalam UU
Perbankan Syariah. Sebagaimana dijelaskan dalam modul 5 HKUM 4408 (hal. 5.24 – 5.25)
dalam amar putusannya, MK menegaskan bahwa penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan
Syariah bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Adapun Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah mengatur kemungkinan upaya penyelesaian
sengketa perbankan syariah dapat dilakukan sesuai isi akad, yang dalam penjelasan pasalnya
disebutkan bahwa salah satu upayanya dapat dilakukan melalui pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum, yang kemudian dibatalkan oleh MK melalui putusannya tersebut.

Karena itu, 2 asumsi terkait waktu terjadinya sengketa tersebut apakah sebelum adanya
putusan MK atau setelah adanya putusan MK, sebab putusan MK tidak berlaku surut. Artinya,
jika sengketa antara Herwelis dengan bank syariah terjadi sebelum adanya putusan MK
tersebut, maka menurut saya bank syariah dalam membuat akad masih diperbolehkan
memasukkan pilihan upaya penyelesaian sengketanya (choice forum) melalui peradilan umum
sesuai dengan ketentuan dalam UU Perbankan Syariah. Dan peradilan umum, dalam hal ini
Pengadilan Negeri Makassar, dengan demikian juga berwenang untuk menerima, memeriksa
dan memutus perkara, serta melaksanakan putusannya. Namun dalam hal terjadinya sengketa
dalam kasus di atas setelah adanya putusan MK, dengan demikian apabila bank syariah
memasukkan choice forum dalam salah satu klausul akadnya melalui peradilan umum maka
akad tersebut harus dinyatakan batal demi hukum, dan PN Makassar juga tidak memiliki
kewenangan untuk mengadili perkara tersebut.
Putusan MK tersebut menegaskan bahwa penyelesaian sengketa ekonomi syariah untuk
selanjutnya tetap menjadi kewenangan absolut atau mutlak dari Peradilan Agama,
sebagaimana telah diatur dalam ketentuan UU Peradilan Agama dan juga ketentuan Pasal 55
ayat (1) UU Perbankan. Sengketa ekonomi syariah dapat terjadi baik karena adanya
wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Hal ini juga diperkuat dengan diterbitkannya
PERMA 14/2016, terutama dalam Pasal 13 yang mengatur bahwa pelaksanaan putusan
perkara ekonomi syariah, hak tanggungan dan fidusia berdasarkan akad syariah dilakukan oleh
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa, dalam hal terjadi suatu perkara
atau sengketa ekonomi syariah yang dalam kasus ini perbankan syariah atau pembiayaan
syariah setelah adanya putusan MK tersebut, maka penyelesaian sengketa yang terjadi jika
ditempuh upaya litigasi seharusnya dilakukan melalui lembaga peradilan agama, bukan
peradilan umum. Dengan demikian, proses penyelesaian sengketa yang ditempuh pihak
perbankan syariah dalam kasus di atas telah sesuai dengan ketentuan apabila kasus tersebut
memang terjadi sebelum adanya putusan MK. Namun dalam hal terjadinya kasus setelah
adanya putusan MK, maka pihak bank syariah seharusnya menyelesaikannya melalui
Pengadilan Agama, bukan Pengadilan Negeri.

Putusan verstek oleh Pengadilan

Putusan verstek merupakan putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim tanpa hadirnya


tergugat dan tanpa alasan yang sah meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut.
Putusan verstek ini merupakan pengecualian dari acara persidangan biasa sebagai akibat
ketidakhadiran tergugat atas alasan yang tidak sah. Verstek diatur dalam Pasal 125 HIR/149
RBg, acara istimwea dalam perkara verstek ini dilakukan apabila dalam hari-hari sidang
selanjutnya tergugat tidak pernah hadir, meskipun ia telah dipanggil dengan resmi dan patut.
Artinya, Dalam hal Tergugat tidak hadir pada sidang pertama, maka dilakukan pemanggilan
kedua secara patut, dan dalam hal Tergugat tidak hadir pada sidang kedua, maka hakim
memutus perkara tersebut secara verstek.

Dalam kasus tersebut, berarti putusan verstek akhirnya dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri
Makssar setelah Herwelis tidak hadir dua kali secara berturut-turut dalam pemanggilan sidang
tanpa alasan yang sah. Putusan verstek ini juga dikeluarkan karena nilai gugatan materiilnya
lebih dari Rp200 juta jika dilihat dari pembiayaan oleh bank syariah senilai Rp7 Miliar. Artinya
persidangan dilakukan dengan acara biasa sesuai ketentuan peraturan perundangan yang
berlaku. Dalam acara biasa, penggugat dan tergugat memang tidak wajib menghadiri setiap
persidangan secara langsung (impersonal). Apabila bank sebagai penggugat tidak hadir dalam
sidang pertama, maka tidak menggugurkan gugatan yang diajukan. Karena itu, ketidakhadiran
Herwelis dalam sidang pertama juga diperbolehkan, dan kemudian setelah ketidakhadiran pada
sidang kedua, akhirnya dikeluarkan putusan verstek. Dalam acara verstek, Herwelis sebagai
tergugat dianggap ingkar menghadiri persidangan tanpa alasan yang sah dan dianggap
mengakui sepenuhnya secara murni dan bulat semua dalil gugatan penggugat.
Berbeda halnya jika nilai gugatan materiilnya di bawah Rp200 juta, yang penyelesaiannya
dilakukan dengan cara sederhana sesuai ketentuan Praturan Mahkamah Agung RI Nomor 2
Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana (PERMA 2/2015) atau biasa
dikenal dengan istilah small claims court. Dalam gugatan sederhana, di mana penggugat dan
tergugat wajib menghadiri setiap persidangan secara langsung, meski punya kuasa hukum,
yang memberikan konsekuensi gugurnya gugatan jika penggugat tidak hadir pada sidang
pertama.

Dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah yang diatur dalam PERMA 14/2016 juga diatur
mengenai gugatan sederhana dengan mengikuti PERMA 2/2015 dan juga gugatan dengan
acara biasa sesuai ketentuan yang berlaku. Adapun putusan verstek terdapat dalam
penyelesaian gugatan melalui acara biasa, yang dapat terjadi baik di lingkungan peradilan
umum maupun dalam lingkungan peradilan agama.

Dengan demikian, dalam kasus putusan verstek terhadap Herwelis oleh PN Makassar di atas,
menurut saya kembali lagi dengan asumsi waktu terjadinya. Jika memang terjadi sebelum
adanya putusan MK, maka bank syariah boleh mengajukan gugatan sesuai ketentuan Pasal 6
UUHT, dan putusan verstek PN Makassar tersebut sah serta mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Artinya, pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan tetap dapat dilakukan oleh
lembaga yang berwenang, dalam hal ini Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
(KPKNL). Pada dasarnya tidak semua gugatan yang diajukan ke KPKNL sebelum pelaksanaan
lelang dapat secara langsung membatalkan pelaksanaan lelang, hanya gugatan yang diajukan
pihak ketiga dan berkaitan dengan barang jaminan saja yang dapat menunda pelaksanaan
lelang. Lelang yang akan dilaksanakan hanya dapat dibatalkan dengan permintaan Penjual
atau berdasarkan penetapan atau putusan dari lembaga peradilan yang disampaikan secara
tertulis dan harus sudah diterima oleh Pejabat Lelang paling lambat sebelum lelang dimulai
(djkn.kemenkeu.go.id).

Namun, apabila terjadinya kasus tersbut setelah adanya putusan MK, menurut pendapat saya
seharusnya putusan PN seharusnya menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima (niet
ontvankelijke verklaard) karena cacat hukum atau cacat formil. Hal ini dikarenakan kedudukan
hukum (legal standing) dari bank syariah selaku penggugat dalam perkara ekonomi syariah
tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Pihak PN Makassar dengan demikian juga tidak
berwenang untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara, serta melaksanakan putusan
atas gugatan perkara ekonomi syariah. Dengan kata lain kompetensi absolut Pengadilan Negeri
tidak berwenang mengadili sengketa perkara ekonomi syariah, sehingga dalam hal PN
Makassar tetap memutus perkara tersebut secara verstek untuk melakukan eksekusi terhadap
lahan dan bangunan milik Herwelis, maka putusannya tidak mempunyai kekuatan hukum.

Gugatan terhadap putusan verstek


Gugatan yang dilakukan Herwelis terhadap putusan verstek oleh PN Makassar tersebut
merupakan upaya hukum dalam bentuk perlawanan (verzet). Sesuai Pasal 129 HIR/153 RBg.,
Tergugat/ Para Tergugat yang dihukum dengan verstek berhak mengajukan verzet atau
perlawanan dalam waktu 14 (empat belas) hari terhitung setelah tanggal pemberitahuan
putusan verstek itu kepada Tergugat semula jika pemberitahuan tersebut langsung
disampaikan sendiri kepada yang bersangkutan. Jadi verzet ini seperti upaya banding dalam
putusan pengadilan biasa, namun dalam bentuk perlawanan atas putusan verstek.
Verzet jika dihubungkan dengan putusan verstek mengandung pengertian bahwa tergugat
berupaya melawan putusan verstek, atau tergugat mengajukan perlawanan terhadap
putusan verstek dengan tujuan agar putusan itu dilakukan pemeriksaan ulang secara
menyeluruh. Tujuan verzet adalah untuk memberi kesempatan kepada tergugat membela
kepentingannya atas kelalaian menghadiri persidangan di waktu yang lalu. Perlawanan (verzet)
terhadap verstek diajukan dan diperiksa dengan acara biasa, sama halnya dengan gugatan
perdata, yaitu dengan membuat gugatan disertai bukti-bukti yang cukup agar majelis hakim
melakukan pemeriksaan secara menyeluruh dan membuat putusan yang seadil-adilnya.

Perkara verzet sedapat mungkin dipegang oleh Majelis Hakim yang telah menjatuhkan putusan
verstek. karena itu, dalam kasus tersebut gugatan atas putusan verstek oleh PN Makassar juga
harus diajukan Herwelis kepada Ketua PN Makassar. Apabila pihak bank syariah sebagai
penggugat asal (terlawan) tidak hadir dalam pemeriksaan perkara verzet, maka pemeriksaan
dilanjutkan secara Contradictoir. Namun apabila pelawan dalam hal ini Herwelis yang tidak
hadir, maka Hakim menjatuhkan putusan verstek untuk kedua kalinya. Terhadap putusan
verstek yang dijatuhkan kedua kalinya ini tidak dapat diajukan perlawanan (verzet), tetapi bisa
diajukan upaya hukum banding (Pasal 129 ayat (5) HIR dan Pasal 153 ayat (5) RBg).

Kemudian, apabila verzet diterima dan putusan verstek dibatalkan, maka pekerjaan
menjalankan putusan verstek menjadi tertunda. Dengan kata lain, jika lelang eksekusi atas
lahan dan bangunan yang menjadi objek Hak Tanggungan dalam perkara tersebut belum
dilaksanakan, maka putusan verzet dapat membatalkan lelang apabila disampaikan secara
tertulis dan sudah diterima oleh Pejabat Lelang paling lambat sebelum pelaksanaan lelang
dimulai. Namun apabila gugatan verzet tidak diterima, maka akan memperkuat putusan verstek.
Selanjutnya, terhadap putusan verzet tersebut kedua belah pihak berhak untuk mengajukan
upaya banding ke pengadilan tinggi.

Sama halnya dengan putusan verstek, verzet ini terdapat dalam penyelesaian gugatan melalui
acara biasa, yang dapat terjadi baik di lingkungan peradilan umum maupun dalam lingkungan
peradilan agama. Dengan demikian, kembali lagi jika kasus tersebut diasumsikan terjadi
sebelum adanya putusan MK, maka gugatan verzet oleh Herwelis yang diajukan ke PN
Makassar dapat dikatakan telah sesuai dengan ketentuan, karena PN masih mempunyai
kewenangan untuk mengadili perkara ekonomi syariah sesuai ketentuan Pasal 55 ayat (2) UU
Perbankan jika memang dikehendaki sesuai akad oleh kedua belah pihak.

Namun apabila kasus tersebut terjadi setelah berlakunya putusan MK, maka terhadap putusan
verstek oleh PN Makassar tidak mempunyai kekuatan hukum, sehingga Herwelis tidak dapat
mengajukan upaya verzet. Karena itu, kedua belah pihak selanjutnya dapat menyelesaikan
perkara tersebut sesuai ketentuan dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah baik melalui
upaya non litigasi seperti mediasi atau arbitrase maupun upaya litigasi yang tentunya dilakukan
melalui lembaga peradilan agama sebagai pihak yang memiliki kompetensi absolut dalam
menerima, mengadili, dan memutus perkara ekonomi syariah.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Demikian jawaban saya atas kedua kasus dalam Tugas 2 HKUM 4408 ini. Jawaban tersebut
merupakan pendapat pribadi yang didasarkan pada referensi sebagaimana tercantum di
bawah. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan kata/istilah dalam agama
Islam. Mohon bimbingan Ibu Tutor. Terima kasih.
Referensi:

Umam, Khotibul (2015). Buku Materi Pokok HKUM 4408 Hukum Islam dan Acara Peradilan
Agama Modul 4 – 6. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka. Diakses melalui tautan
https://www.pustaka.ut.ac.id/lib/hkum4408-hukum-islam-dan-acara-peradilan-agama/
pada tanggal 26 November 2021.

Dzuluqy, Suryati. Jurnal “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Secara Litigasi: Studi Kasus
Perkara Nomor 175/Pdt.G/2016/PA.Tmk di Pengadilan Agama Kota Tasikmalaya”.
Diakses melalui tautan https://www.pta-bandung.go.id/artikelanda/20190616-
penyelesaian-sengketa-ekonomi-syariah-secara-ligitasi.pdf pada tanggal 26 November
2021.

Pradhana, Yoga. (2016). Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol. 5 No. 1
(2016): “Perlindungan Hukum Terhadap Ahli Waris Karena Pewaris Mewakafkan Satu-
satunya Harta Warisan Ditinjau Berdasarkan Hukum Islam”. Diakses melalui tautan
https://journal.ubaya.ac.id/index.php/jimus/article/download/2808/2142/ pada tanggal
26 November 2021.

Yambo, Esa Putra. (2018). Jurnal Lex Privatum Vol. VI/No. 10/Des/2018 “Perwakafan Dalam
Perspektif Sistem Hukum Islam. Diakses melalui tautan
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/viewFile/25849/25491 pada
tanggal 26 November 2021.

https://islam.nu.or.id/bahtsul-masail/hukum-wakaf-dari-non-muslim-323Fb diakses pada tanggal


26 November 2021.

https://badilag.mahkamahagung.go.id/seputar-ditjen-badilag/seputar-ditjen-badilag/membedah-
perma-tata-cara-penyelesaian-perkara-ekonomi-syariah diakses pada tanggal 26 November
2021.

https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-samarinda/baca-artikel/12786/Gugatan-dalam-
Pelaksanaan-Lelang-Hak-Tanggungan-oleh-KPKNL.html diakses pada tanggal 26 November
2021.

https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/12769/Putusan-Verstek-dan-Upaya-Hukum-
Kita.html diakses pada tanggal 26 November 2021.

http://www.pa-ambarawa.go.id/index.php/layanan-hukum/info-masyarakat/hak-perlawanan-
atas-putusan-verstek diakses pada tanggal 26 November 2021.

Anda mungkin juga menyukai