Anda di halaman 1dari 9

HKUM4204-1

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 3

Nama Mahasiswa : NIZAM

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 044964675

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4202/Hukum Adat

Kode/Nama UPBJJ : FHISIP/Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Masa Ujian : 2022/23.2(2023.1)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN


KEBUDAYAAN UNIVERSITAS TERBUKA

1 dari 3
HKUM4204-1

NASKAH TUGAS MATA KULIAH


UNIVERSITAS TERBUKA
SEMESTER: 2022/23.2 (2023.1)

Fakultas : FHISIP/Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


Kode/Nama MK : HKUM4204/Hukum Adat
Tugas 3

No. Soal
1 Desa A merupakan sebuah desa yang memiliki tanah adat yang terus dilestarikan lebih dari 50 tahun oleh
masyarakat adatnya. Tanah adat digunakan masyarakat untuk keberlangsungan hidup masyarakatnya.
Disatu sisi 5 tahun kebelakang ada sebuah perusahaan membuka perkebunan sawit dengan izin dari
pemerintah daerah di tanah adat tersebut.

Pertanyaan:

1. Tentukan cara untuk mempertahankan hak ulayat atas tanah adat tersebut, agar tetap diakui sebagai
tanah adat!
2. Bagaimanankah untuk mendapatkan pengukuhan hak masyarakat adat atas tanah adat tersebut?

2 dari 3
HKUM4204-1

2 Seorang Pemuda Kena Sanksi Adat Rp1,8 Miliar Akibat Bunuh Gadis Setempat

Jakarta: MM, 21, dikenakan sanksi adat sekitar Rp1,8 miliar akibat membunuh gadis suku Dayak.
Peristiwa itu terjadi di Kelurahan Barong Tongkok, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, Senin 1
Februari 2021.

Lembaga Adat Besar Kabupaten Kutai Barat menjatuhkan sanksi adat berupa denda 4.120 antang atau
guci. Nilai itu setara Rp1,648 miliar, dengan rincian satu guci senilai Rp400 ribu.

Keputusan itu dibuat dalam sidang adat di Rumah adat Dayak Banuaq, Taman Budaya Sendawar, Kamis,
4 Februari 2021. Selain itu, MM juga harus membayar prosesi adat kematian suku Dayak Benuaq, Mapui,
dan Kenyau Kwangkai.

Biaya prosesi itu senilai Rp250 juta, sehingga total sanksi adat yang harus dibayar MM Rp1,898 miliar.

"Kami memberi waktu enam bulan terhitung sejak hari ini untuk menyelesaikannya," kata Manar
Dimansyah Gamas, Kepala Lembaga Adat Besar Kutai Barat, dikutip Selasa 9 Februari 2021.

Ancaman sanksi adat itu pun tak main-main. Jika MM tidak bisa membayar dalam kurun waktu yang telah
ditetapkan, maka akan berdampak luas. Dikhawatirkan bisa berdampak ke isu suku, ras, agama, dan
antargolongan (SARA).

Apesnya, tak hanya hukum adat yang didapatkan MM. Dia juga harus menjalani hukuman pidana dari
kepolisian.

MM dijerat Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. Subsider Pasal 338 dan Pasal 351 ayat 3
dengan ancaman hukuman mati atau seumur hidup.

Pasalnya MM dianggap melakukan pembunuhan berencana secara sadis. Dia membunuh gadis yang
diketahui berinisial MS, 20.

3 dari 3
HKUM4204-1

MM membunuh dalam kondisi korban hamil muda. MM membunuh lantaran korban menolak berhubungan
intim.

Awalnya, korban hendak meminjam uang Rp2 juta kepada pelaku pada 17 Januari 2021. Namun, MM
menawarkan pinjaman Rp600 ribu pada 1 Februari 2021.

Karena terdesak, MN menerima ajakan mengambil uang di kontrakan pelaku. Namun, korban ditipu
karena uang yang dijanjikan tidak ada dan justru diajak bersetubuh.

"Ada keinginan dari pelaku untuk menyetubuhi korban. Pada saat itu korban menolak, sehingga pelaku
merasa kecewa dan sakit hati," kata Kapolres Kutai Barat AKBP Irwan Yuli Prasetyo.

"Karena ditolak, pelaku mengambil pisau. Pelaku sudah berencana melakukan penganiayaan maupun
pembunuhan terhadap korban. Itu jadi pemicu. Pada saat pelaku mengambil pisau, pelaku melakukan
pengancaman. Di situ terjadi pergulatan," lanjut keterangan Irwan.

Sumber : https://regional.kompas.com/read/2021/02/16/05300051/pembunuh-gadis-20-tahun-di-kutai-
barat-didenda-adat-rp-18-m-diberi-waktu-6?page=all

Pertanyaan:

1. Berdasarkan kasus di atas, berikan pengertian perbuatan delik yang berkaitan dengan delik adat
pada peristiwa tersebut!
2. Kaitkan unsur-unsur hukum delik adat dari peristiwa di atas!

3 Tokoh Adat di Lampung Tewas Di Pinggir Jalan Dengan 37 Luka Tusukan

Lampung Tengah, lampung – Jauhari (75), seorang tokoh adat di Kabupaten Lampung Tengah, Lampung,
ditemukan tewas bersimbah darah dengan 37 luka tusukan di sejumlah bagian tubuhnya. Tubuhnya
terbaring kaku di pinggir jalan raya Desa Terbanggi Besar, Lampung Tengah, Lampung.

Jasad korban pertama kali ditemukan oleh pengendara yang melintas di jalan raya lintas Sumatera. Saksi
merasa curiga karena sebuah sepeda motor terparkir di pinggir jalan tanpa ada pemiliknya. Namun,
setelah saksi amati, tak jauh dari motor tersebut, saksi melihat seorang laki-laki yang telah berusia lansia
tergeletak dengan bersimbah darah.

Melihat kejadian tersebut, saksi langsung melapor kejadian tersebut ke pihak kepolisian terdekat.

“Saat itu sekitar jam 6 pagi, saya melihat motor terparkir dipinggir jalan dengan lampu sen kiri yang masih
menyala, dan korban tergeletak tak jauh dari motornya, liat kejadian itu saya langsung mencari kantor
polisi terdekat. “ Jelas Saksi mata, Hengki.

Tak berapa lama polisi langsung mendatangi tempat kejadian perkara (TKP) untuk melakukan olah TKP
dan meminta keterangan sejumlah saksi untuk mencari jejak pelaku.

Hasil pemeriksaa sementara, korban tewas dengan luka tusukan dibagian perut, dan luka sayatan di
punggung serta leher. Guna penyelidikan lebih lanjut, korban pun langsung dibawa ke Rumah Sakit
Bhayangkara untuk dilakukan otopsi guna mengungkap kematian korban.

Menurut keterangan pihak keluarga, sebelum kejadian naas yang dialami Jauhari, korban berangkat dari
rumah untuk menjemput cucunya dan mengantarnya ke sekolah. Namun, setelah beberapa jam korban

4 dari 3
HKUM4204-1

tak kunjung pulang ke rumah. Dan betapa terkejutnya pihak keluarga saat mendapat kabar dari pihak
kepolisian, jika tokoh adat tersebut menjadi korban pembunuhan dengan puluhan luka tusuk ditubuhnya.

“Tiap pagi biasanya beliau mengantar cucunya sekolah, dan biasanya langsung pulang, tapi hari itu kok
ga pulang-pulang, terus gak lama dapat kabar jika beliau jadi korban pembunuhan. “ Jelas Sapray Suherly,
keluarga korban.

Saat ini pihak kepolisan masih terus mendalami kasus pembunuhan tersebut, untuk mengetahui siapa
pelaku yang telah menghabisi nyawa kakek Jauhari.

Sumber : https://www.tvonenews.com/berita/nasional/8401-tokoh-adat-di-lampung-tewas-di-pinggir-jalan-
dengan-37-luka-tusukan?page=2

Pertanyaan:

1. Berikan analisis Saudara perihal perbuatan membunuh terhadap eksistensi hukum adat di bidang
pidana!
2. Bagaimana ketentuan hukum adat dengan hukum pidana yang dapat diberikan apabila seseorang
menganiaya atau menghilangkan nyawa pada kasus kepala adat tersebut?

1. bagi masyarakat adat yang wilayah adatnya mencakup hutan dan lahan-lahan lain
yang dikelola dengan cara menggabungkan pengelolaan hutan dan budidaya pertanian-
hutan (wanatani), sistem tata guna dan penguasaan tanahnya mengandung aturan
bagaimana perempuan dan laki-laki dari berbagai kelompok sosial memanfaatkan tanah,
beragam lahan wanatani (ladang, kebun buah, kebun kayu, kebun tua, dan lain-lain),
beragam lahan hutan (hutan yang dapat dibuka secara terbatas, hutan yang dilindungi,
dan lain-lain), beragam tanaman di lahan-lahan tersebut, serta pepohonan berkayu dan
sumber daya hutan lainnya (air, sayuran hutan, tanaman obat, madu, rotan, dan lain-lain).
Di masing-masing wilayah, sistem tata guna dan penguasaan tanah, serta sistem
pengelolaan hutan dan lahan wanatani tersebut, memiliki nama dan mekanisme
tersendiri
(Siscawati, 2014). Klaim pemerintah atas hak ulayat mereka sebagai suatu bentuk
perampasan ruang hidup masyarakat. Tata kelola kepemilikan lahan yang senantiasa
masih dipercayai hingga saat ini. Hutan adat merupakan hutan yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum adat dimaknai sebagai ruang hidup masyarakat komunal. Penataan
ruang dimaknai sebagai intervensi positif atas kehidupan dan lingkungan dalam
meningkatkan kesejahteraan berkelanjutan. Secara lebih spesifik , penataaan ruang
memiliki manfaat sebagai berikut : Pertama optimalisasi pemenfaatan sumberdaya dalam
memenuhi produktivitas dan efisiensi. Kedua, distribusi sumberdaya guna terpenuhinya
pemerataan, keberimbangan, dan keadilan. Ketiga, menjaga keberlanjutan pembangunan.
Keempat, menciptakan kenyamanan ruang.

5 dari 3
HKUM4204-1

Adapun dukungan dan kewajiban yang dilakukan dalam memperjuangkan wilayah adat
tersebut adalah :

1.Bersedia mengikuti berbagai pertemuan atau kegiatan (diskusi, rapat, pemetaan, dll)
yang dilakukan di Kampung/Huta.
2.Bersedia mengikuti berbagai pertemuan kegiatan di luar kampong, misalnya audiensi
atau lobby ke pemerintah di tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi, maupun nasional
3.Bersedia menjadi tuan rumah (sibolahan amak) jika ada pertemuan-pertemuan kampung.
4.Bersedia memberikan dukungan moral dan tidak akan menjadikan organisasi sebagai
jalan mencari keuntungan sendiri.
5.Bersedia memberikan dukungan dana yang dibutuhkan untuk perjuangan jika
dibutuhkan dan sesuai dengan kesepakatan Bersama.

Adapun dukungan dan kewajiban yang dilakukan dalam memperjuangkan wilayah adat
tersebut adalah :

1. Bersedia mengikuti berbagai pertemuan atau kegiatan (diskusi, rapat, pemetaan, dll)
yang dilakukan di Kampung/Huta.
2. Bersedia mengikuti berbagai pertemuan kegiatan di luar kampong, misalnya audiensi
atau lobby ke pemerintah di tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi, maupun nasional
3. Bersedia menjadi tuan rumah (sibolahan amak) jika ada pertemuan-pertemuan kampung.
4. Bersedia memberikan dukungan moral dan tidak akan menjadikan organisasi sebagai
jalan mencari keuntungan sendiri.
5. Bersedia memberikan dukungan dana yang dibutuhkan untuk perjuangan jika
dibutuhkan dan sesuai dengan kesepakatan bersama.

2. Delik Adat adalah perbuatan-perbuatan yang mengandung sanksi dari masyarakat adat karena
memberikan reaksi dari masyarakat atau tidak sesuai dengan kebiasaan dan norma yang hidup
dan ada (eksis) pada masyarakat tersebut.
Berbeda dengan delik pidana terdapat unsure tambahan yakni perbuatan itu karena adanya hukum
yang dilanggar sekalipun hukum yang dimaksud juga mengenai norma kesopanan dan kesusilaan.

Ada beberapa macam delik adat yang dijabarkan oleh Hilman Hadikusuma Antropologi dan hukum
adat pada Fakultas Hukum Unila (1962-1979) :
1. Delik perbuatan yang menggangu keamanan, misalnya peristiwa kebakaran, perampokan,
pencurian, pembunuhan, penganiayaan.
2. Delik perbuatan yang menggangu ketertiban masyarakat, misalnya melakukan penghinaan,
menggangu kegiatan ibadah, mengganggu rumah penduduk, berjudi, mengganggu mayat,
memakan makanan yang diharamkan.

6 dari 3
HKUM4204-1

3. Delik perbuatan yang menggangu ketertiban pemerintahan, misalnya mengganggu para tetua
adat, kesalahan prosedur adat, berkaitan dengan martabat para pemimpin, pencatatan
kependudukan;
4. Delik melakukan perbuatan yang melanggar kesopanan dan kesusilaan, misalnya tidak sopan,
pelecehan terhadap perempuan, melakukan perzinahan, berkaitan dengan hal yang tidak boleh
dilakukan kepada istri orang;
5. Delik yang berhubungan dengan perjanjian, misalnya mengenai ingkar janji, merusak perjanjian,
hutang piutang, tentang menjalankan amanah dan titipan;
6. Delik yang menyangkut tanah termasuk tumbuhan dan hasil hutan, misalnya mengenai tanah
adat, pemanfaatan hutan bersama, hasil panen.
7. Delik yang menyangkut hewan ternak dan perikanan, misalnya cara penyembelihan hewan, cara
pemeliharaan ternak dan penangkapan hasil laut maupun sungai;

Menurut saya kasus diatas merupakan delik yang mengganggu keamanan, menggangu ketertiban
masyarakat, melanggar kesopanan dan kesusilaan,melanggar perjanjian.

3. Hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka hukum
tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan besar. Maka
setiap kali ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki
serta bukan manusia yang dipaksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum. (Rahardjo,
2009:5). Ungkapan dari almarhum Satjipto Rahardjo tersebut yang melandasi pemikiran
hukum progresif kiranya relevan dikaitkan dengan eksistensi asas legalitas dalam hukum
pidana dan eksistensi hukum pidana adat. Apakah makna asas legalitas dalam hukum pidana
sesuai dengan konteks bangsa Indonesia dan bagaimana kedudukan hukum pidana adat dalam
hukum positif Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu diulas terlebih dahulu
hakikat, makna dan sejarah asas legalitas.

Asas legalitas merupakan asas yang fundamental dalam hukum pidana karena asas ini
menentukan perbuatan-perbuatan mana saja yang dianggap sebagai perbuatan pidana. Asas ini
dalam hukum pidana Indonesia dikejawantahkan dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-
undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”.

Asas legalitas dirumuskan pertama kali oleh Johan Anselm von Feuerbach dalam bukunya yang
berjudul Lehrbuch des peinlichen recht (1801) melalui adagium nullum delictum nulla poena sine
praevia lege poenali. Menurut Machteld Boot dengan mengutip pendapat Jescheck dan Weigend,
ada empat syarat yang terkandung dalam asas legalitas yakni: Pertama, tidak ada perbuatan
pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang sebelumnya. Kedua, tidak ada perbuatan pidana,
tidak ada pidana tanpa undang-undang tertulis. Ketiga, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada

7 dari 3
HKUM4204-1

pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas. Keempat, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada
pidana tanpa undang-undang yang ketat (Hiariej, 2016: 77-79).

Berdasarkan uraian diatas maka penentuan ada tidaknya perbuatan pidana harus didasarkan pada
undang-undang atau hukum tertulis sesuai dengan frasa “kekuatan aturan pidana dalam
perundang-undangan” dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP itu sendiri. Tegasnya, pemidanaan
berdasarkan hukum adat tidak dimungkinkan karena adanya asas legalitas tersebut.

Pemidanaan berdasarkan hukum tidak tertulis tidak mungkin dilakukan disebabkan asas legalitas
lahir untuk menjawab ketidakpastian hukum akibat kesewenang-wenangan penguasa. Pada zaman
Romawi dahulu dikenal adanya crimine extra ordinaria yang berarti kejahatan-kejahatan yang tidak
disebut dalam undang-undang. Di antara crimine extra ordinaria ini adalah crimen stellionatus yang
secara letterlijk artinya perbuatan jahat atau durjana. Ketika hukum Romawi kuno diterima di Eropa
Barat pada abad pertengahan, crimine extra ordinaria ini diterima oleh raja-raja yang berkuasa dan
cenderung menggunakan hukum pidana itu sewenang-wenang menurut kehendak dan kebutuhan raja.
(Moeljatno, 2015: 26).

Hans Kelsen menyatakan prinsip nulla poena sine lege, nullum crimen sine lege tersebut adalah
ekspresi legal positivism dalam hukum pidana. Senada dengan Hans Kelsen, Simons menyatakan
legal positivisme lebih menjamin kepada kepastian hukum. Jika dilihat dari situasi dan kondisi
lahirnya asas legalitas, maka sulit dinafikan bahwa asas tersebut adalah untuk melindungi
kepentingan individu sebagai ciri utama tujuan hukum pidana menurut aliran klasik. (Hiariej, 2016:
64-65)

Eksistensi hukum pidana adat sebagai yang hidup dalam masyarakat dalam hukum positif Indonesia
sudah diakui oleh Pasal 5 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menyatakan Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Tindak pidana adat sebagaimana substansi pengaturan dari hukum pidana adat, secara yuridis formal
baru mempunyai dasar hukum semenjak dikeluarkan serta diundangkannya UU Darurat Nomor 1
Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan
dan Acara Pengadilan Sipil. Semenjak dikeluarkannya Undang-Undang a quo maka pemidanaan
menurut hukum yang hidup dalam masyarakat (hukum adat) dimungkinkan. Mahkamah Agung pun
mengakui eksistensi tindak pidana adat ini melalui putusan-putusannya, misalnya Putusan MA No.
195/K/Kr/1978

apabila ketentuan Pasal 5 ayat 3 sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951
dihubungkan dengan Pasal 1 ayat 1 KUHP maka ditemukan adanya pergeseran prinsip yang
dianut selama ini oleh hukum pidana. Lebih lanjut dikatakannya, untuk dapat dipidana suatu
perbuatan seseorang tidak harus perbuatan itu diancam pidana dulu oleh KUHP atau perundang-
8 dari 3
HKUM4204-1

undangan lainnya, tapi walaupun undang-undang belum atau tidak mengancam perbuatan itu,
apabila ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis menganggap perbuatan itu sebagai
perbuatan tercela, maka tidak ada alasan bagi hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atas
dilakukannya perbuatan

9 dari 3

Anda mungkin juga menyukai