Anda di halaman 1dari 3

Capaian Pembelajaran : Pengangkutan udara

Indikator : pengangkutan udara

Pada tahun 2018, Pesawat Lion Air JT-610 rute Jakarta-Pangkal Pinang jatuh di Perairan
Karawang tepat setelah 13 menit mengudara. Jatuhnya pesawat ini dikarenakan adanya
kerusakan pada AOA sensor yang terpasang di pesawat.

Pertanyaannya :
a. Analisislah beberapa prinsip tanggung jawab dalam pengangkutan udara?

b. Analisislah apakah pengangkut dapat menolak bertanggung jawab atas kerugian?

c. Menurut saudara, apakah para korban dapat memperoleh ganti rugi dari pihak
maskapai?Analisislah!

Jawaban:
a. Menurut analisa saya, pada kasus Lion JT-610 merupakan prinsip tanggung jawab
hukum berdasarkan kesalahan (Based on Fault Liability), karena kelalaian pihak
maskapai terhadap kondisi kesehatan pesawat tersebut.
Tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan terdapat dalam Pasal 1365 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata. Pasal tersebut yang dikenal sebagai tindakan
melawan hukum (onrechtsmatigdaad) berlaku umum terhadap siapa pun juga,
termasuk perusahaan penerbangan. Menurut pasal tersebut setiap perbuatan
melawan hukum yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain mewajibkan
orang yang karena perbuatannya menimbulkan kerugian itu mengganti kerugian
(to compensate the damage). Berdasarkan kententuan tersebut setiap orang harus
bertanggung jawab secara hukum atas perbuatan sendiri artinya apabila orang
karena perbuataanya mengakibatkan kerugian kepada orang lain, maka orang
tersebut harus bertanggung jawab untuk membayar ganti kerugian yang diderita
oleh orang tersebut.. Menurut Pasal 1367 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
tanggung jawab hukum kepada orang yang menderita kerugian tidak hanya
terbatas kepada perbuatan sendiri, melainkan juga perbuatan karyawan, pegawai,
agen, perwakilannya apabila menimbulkan kerugian kepada orang lain, sepanjang
orang tersebut bertindak sesuai dengan tugas dan kewajiban yang dibebankan
kepada orang tersebut. Tanggung jawab atas dasar kesalahan harus memenuhi
unsur ada kesalahan, ada kerugian, yang membuktikan adalah korban yang
menderita kerugian, kedudukan tergugat dengan penggugat sama tinggi dalam
arti saling dapat membuktikan, bilamana terbukti ada kesalahan maka jumlah
ganti kerugian tidak terbatas. Apabila ada kesalahan, tetapi tidak mengakibatkan
kerugian, maka perusahaan tidak akan bertanggung jawab, demikian pula ada
kerugian tetapi tidak ada hubungannya dengan kesalahan pengangkutan, maka
perusahaan juga tidak akan bertanggungjawab.
b. Pada prinsipnya pengangkut dapat menolak bertanggung jawab atas kerugian asal dapat
membuktikan bahwa pengangkut tidak melakuakan kesalahan dan telah berusaha
mencegah/menghindarkan kerugian tersebut, lebih lengkapnya diatur dalam Pasal 29
KUHD. Menurut analisa saya pada kasus Lion JT-610 ini, jelas kesalahan berasal dari
pengangkut sendiri yang tidak mengetahui adanya kerusakan pada AOA sensor
pesawat dan membiarkan pesawat tersebut tetap beroperasi yang mana tindakan
tersebut dapat menimbulkan kerugian terhadap penumpang dan pihak maskapai tidak
melakukan pencegahan kerugian tersebut.
c. Menurut Pasal 1 angka 12 Permenhub 77/2011, kecelakaan pesawat (“kecelakaan”)
adalah peristiwa pengoperasian pesawat udara yang mengakibatkan kerusakan berat
pada peralatan atau fasilitas yang digunakan dan/atau korban jiwa atau luka serius.
Pengangkut yang mengoperasikan pesawat wajib bertanggung jawab atas kerugian
terhadap:
1. penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka;
2. hilang atau rusaknya bagasi kabin;
3. hilang, musnah, atau rusaknya bagasi tercatat;
4. hilang, musnah, atau rusaknya kargo;
5. keterlambatan angkutan udara; dan
6. kerugian yang diderita oleh pihak ketiga.
Adapun yang dimaksud dengan pengangkut adalah:
1. Badan usaha angkutan udara, yaitu badan usaha milik negara, badan usaha
milik daerah, atau badan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas atau
koperasi, yang kegiatan utamanya mengoperasikan pesawat udara untuk
digunakan mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos dengan memungut
pembayaran;
2. Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melakukan kegiatan
angkutan udara niaga berdasarkan ketentuan undang-undang tentang
penerbangan; dan/atau
3. Badan usaha selain badan usaha angkutan udara yang membuat kontrak
perjanjian angkutan udara niaga.
Dari uraian di atas sudah jelas bahwa para korban dapat memperoleh ganti rugi dari pihak
maskapai.

Sumber:
BMP HKUM4207 / HUKUM DAGANG DAN KEPAILITAN/ MODUL 10/ HUKUM
PENGANGKUTAN PADA UMUMNYA
https://www.kai.or.id/berita/13416/tanggung-jawab-hukum-maskapai-penerbangan.html
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5ffeaaa93ad40/ini-besaran-hak-korban-
ahli-warisnya-jika-terjadi-kecelakaan-pesawat

Anda mungkin juga menyukai