Anda di halaman 1dari 4

Diskusi.

Selasa, 20 September 2022, 21:27


Jumlah balasan: 14
Berikan tanggapan anda dari hasil pemikiran dan analisis sendiri dengan
berpedoman pada Modul 2 HKUM4303 dan Buku Referensi lain yang
relevan. DILARANG: menyalin jawaban teman, Copy paste dari Internet/sumber
lain. Jangan lupa mencantumkan sumber yang anda jadikan rujukan. Apabila
terdapat jawaban yang sama dan hasil copy paste, maka diberikan nilai 0.

Asas-asas atau prinsip-prinsip perseroan sebagaimana diuraikan dalam Modul 2


BMP merupakan asas-asas yang berasal dari hukum asing, khususnya sistem
hukum Anglo Saxon atau Common Law yang mempengaruhi pengaturan hukum
perseroan kita yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.

Perang Dunia II telah mendorong banyaknya perubahan dalam dunia


perekonomian, termasuk asas-asas atau prinsip-prinsip perseroan sebagai
pelaku penting dalam kegiatan ekonomi, baik ekonomi nasional maupun
internasioal. Asas-asas atau prinsip-prinsip perseroan sebagaimana diuraikan
dalam Modul 2 BMP merupakan asas-asas yang berasal dari hukum asing,
khususnya sistem hukum Anglo Saxon atau Common Law yang mempengaruhi
pengaturan hukum perseroan kita yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas. Asas dan prinsip perseroan tersebut menandakan
dimulainya era perseroan modern dalam bidang ekonomi di Negara Indonesia.

Di Indonesia, prinsip piercing the corporate veil telah diterapkan dalam mengadili


suatu perkara terkait perseroan terbatas. Salah satunya dalam kasus antara
Bank Perkembangan Asia dan PT. Djaya Tunggal. Kasus bermula pada saat
Bank Perkembangan Asia memberikan pinjaman kredit kepada PT. Djaya
Tunggal. Perjanjian kredit tersebut diberikan dengan jaminan tanah HGB No. 39
dan tanah HGB No. 40 berikut bangunan pabrik atas nama PT. Djaya Tunggal.
Ketika seluruh pinjaman kredit tersebut jatuh tempo, ternyata debitor PT Djaya
Tunggal tidak dapat membayar semua pinjamannya kepada Bank tersebut,
dengan alasan perusahaan PT. Djaya Tunggal telah berhenti beroperasi dan
menderita kerugian 75% (tujuh puluh lima persen) sehingga PT. Djaya Tunggal
menyatakan dirinya tidak mampu lagi membayar hutangnya kepada Bank
tersebut, debitor dalam keadaan insolvensi.

Ternyata pengurus PT. Bank Perkembangan Asia, pemberi kredit (kreditor)


adalah sama dengan pengurus PT. Djaya Tunggal sebagai penerima kredit
(debitor). Secara diam-diam presiden komisaris PT. Djaya Tunggal telah
mengalihkan hak kepemilikan dua bidang tanah yang dijadikan jaminan kredit
tersebut kepada pihak ketiga Jahya Paedjokerto dengan Akta Notaris/PPAT
Samadi No. 12, tanggal 5 Maret 1986. Ternyata kemudian Notaris/PPAT Samadi
tersebut telah habis masa jabatannya, sehingga akta pemilikan hak tersebut
menjadi persoalan keabsahannya.

Bank kemudian meminta kepada Kantor Agraria untuk memblokir pengeluaran


sertifikat kedua bidang tanah, HGB No. 39 dan HGB No. 40 yang telah menjadi
jaminan kredit Bank yang hutangnya belum dibayar oleh debitor PT. Djaya
Tungal tersebut. Setelah diteliti ternyata kedua sertifikat HGB tersebut telah
habis masa berlakunya. Dan pada saat itu atas permohonan pihak ketiga (Jahya)
yang memperoleh hak dari presiden komisaris, pihak Kantor Agraria sedang
memproses penerbitan sertifikat baru kedua bidang tanah HGB tersebut yang
habis masa berlakunya dan masih terikat sebagai jaminan hutang PT Djaya
Tunggal kepada Bank Perkembangan Asia. Kekalutan yang melada Bank
Perkembangan Asia ini menyebabkan persoalannya ditangani oleh Bank
Indonesia dengan mengubah susunan pengurus Bank Perkembangan Asia
tersebut.

Karena merasa dirugikan dalam masalah pinjaman kredit belum dibayar oleh
direktur PT. Djaya Tunggal (wanprestasi); dan pelepasan dua bidang tanah
sertifikat HGB No. 39 dan No. 40 yang terikat sebagai jaminan kreditnya PT.
Djaya Tunggal oleh salah seorang pengurusnya (Lee Darmawan) merupakan
perbuatan yang melawan hukum, maka pihak PT. Bank Perkembangan Asia
mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri.

Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung berpendapat bahwa pengurus PT. Djaya


Tunggal adalah sama dengan pengurus PT. Bank Perkembangan Asia sebelum
Bank tersebut diambil alih oleh Bank Indonesia karena kalah dalam kliring.
Pemberian kredit oleh PT. Bank Perkembangan Asia kepada PT. Djaya Tunggal
tersebut, merupakan kredit yang diberikan kepada perusahaan yang didirikan
dan termasuk PT. Bank Perkembangan Asia sendiri. Pemberian kredit dari Bank
kepada PT. Djaya Tunggal, suatu perusahaan yang dimiliki oleh Bank tersebut,
menimbulkan dugaan adanya persengkongkolan dan itikad buruk. Kasus yang
demikian itu menurut ajaran hukum termasuk sebagai : extension de passip atau
"Piercing the Corporate" (Lefting The Corporate Veil) yakni pembatalan
pertanggungjawaban terbatas (limited liability) dari suatu Perseroan Terbatas
(PT) dapat dibebankan kepada para pengurusnya, apabila tindakan hukum yang
mereka lakukan untuk dan atas nama PT tersebut mengandung
persengkongkolan secara itikad buruk yang menimbulkan kerugian kepada pihak
lain. Dalam kasus ini, Mahkamah Agung menilai Pengurus PT Bank
Perkembangan Asia dan sekaligus juga pengurus PT. Djaya Tunggal dengan
bersekongkol dan beritikad buruk, meminjamkan uang kepada perusahaannya
sendiri tanpa credit analysis dan benda jaminannya diketahui sudah habis masa
waktunya. Kerugian yang diderita oleh Bank tidak hanya dibebankan kepada PT.
Djaya Tunggal saja, akan tetapi meliputi para pengurusnya secara tanggung
renteng.
1. Menurut Anda, seberapa jauh asas-asas hukum perseroan yang berasal
dari hukum asing tersebut mempengaruhi pengaturan hukum perseroan
kita?
2. Apakah pemberlakuan sistem Anglo Saxon ke dalam hukum perseroan
kita menemukan kendala ketika sebelumnya kita sudah terlebih dahulu
memberlakukan KUHDagang yang menganut sistem hukum Eropa
Kontinental.

Berikan Argumentasi Anda dan perkuat dengan dasar hukum dan sumber
referensi yang valid. Tuliskan sumber referensi yang Anda gunakan. Jangan asal
copy paste, parafrasekan dengan baik menggunakan bahasa Anda sendiri.
Plagiasi akan mengurangi nilai

Jawab :
1. Menurut saya, asas-asas hukum perseroan yang berasal dari hukum asing tersebut
mempengaruhi pengaturan hukum perseroan kita adalah, di mana pada kasus di atas
prinsip piercing the corporate veil telah diterapkan dalam mengadili suatu perkara.
Piercing the Corporate Veil dapat diartikan sebagai penerobosan dari prinsip tanggung
jawab pemegang saham yang terbatas sehingga menjadi pertanggung jawaban tidak
terbatas. Sehingga di mana prinsip badan hukum, seperti tanggung jawab pemegang
saham yang terbatas sesuai dengan modal yang dia setorkan, terpisah harta kekayaan
badan hukum dengan harta kekayaan pemegang saham, menjadi tidak berlaku lagi.
Sehingga sebagaimana Undang - Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas, Pasal 3 berbunyi,
(1) Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan
yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan
melebihi saham yang dimiliki.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila:
a. persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
b. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan
itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi;
c. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh Perseroan; atau
d. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara
melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan
Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.

2.Pemberlakuan sistem Anglo Saxon ke dalam hukum perseroan kita menemukan


kendala ketika sebelumnya kita sudah terlebih dahulu memberlakukan KUH Dagang
yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental, adalah :
Sistem Anglo Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi,
yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan
hakim-hakim selanjutnya. Sistem ini dikenal sebagai Common Law. Sedangkan Sistem
Eropa Kontinental mengenal sistem peradilan administrasi atau peraturan perundang-
undangan.
Kendala yang terjadi adalah di mana Sistem Anglo Saxon dan sistem Eropa Kontinental
berjalan bersamaan karena perbedaan terletak pada sumber hukum, namun dengan
sejalannya dengan waktu, hal tersebut akan beradaptasi di masyarakat demi kenyamanan
dan kelancaran dalam hidup bermasyarakat.
Beberapa prinsip korporasi dari sistem Anglo Saxon antara lain;
- Corporate Ratification
- Fiduciary Duty
- Corporate Opportunity
- Bussiness Judgeent Rule
- Self Dealing
- Ultra Vures
- Pierce the Corporate Veil
Sistem hukum yang digunakan di Indonesia dalam perkembangannya beberapa prinsip
hukum pada sistem Anglo Saxon mulai diterapkan asasnya dan disahkan dalam peraturan
perundang-undangan, selain daripada itu yuriprudensi atau sistem Anglo Saxon
dipergunakan dengan syarat :
- Putusan atas peristiwa hukum yang belum jelas peraturannya.
- Putusan telah berkekuatan hukum tetap.
- Putusan berulang kali dijadikan dasar hukum untuk memutus perkara sama.
- Putusan telah memenuhi rasa keadilan masyarakat.
- Putusan telah dibenarkan oleh Mahkamah Agung.

Sumber
Suryanti dkk, 2022, Buku Materi Pokok (BMP), “ Hukum Perusahaan”, Tangerang
selatan :Universitas Terbuka
Undang - Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

Anda mungkin juga menyukai