Anda di halaman 1dari 11

TUGAS 1

Hukum Persaingan Usaha HKUM4307


Nama : Alberto Jeri Weto
NIM : 042310231
Fakultas : HUKUM

TUGAS 1 HKUM4307

Berikanlah jawaban dan analisis anda atas beberapa pertanyaan berikut:

1. Jelaskanlah Urgensi Pentingnya persaingan dalam dunia usaha dan perlunya pengaturan
tentang praktik persaingan usaha di Indonesia?
2. Berikanlah pemahaman anda tentang monopoly by nature! Bagaimana menentukan bahwa
tidak ada praktik persaiangan usaha tidak sehat yang dilakukan?
3. Berikanlah pemahaman anda terkait metode pendekatan apa saja yang dapat digunakan
oleh KPPU dalam memeriksa perkara persaingan usaha? Berikanlah contoh kasus serta
dasar hukum yang konkrit!

Jawaban :

1. Jelaskanlah Urgensi Pentingnya persaingan dalam dunia usaha dan perlunya pengaturan
tentang praktik persaingan usaha di Indonesia?

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan


Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU 5/1999) lahir sebagai kelengkapan hukum yang
diperlukan dalam suatu perekonomian yang menganut mekanisme pasar. Di satu pihak,
undang-undang ini diperlukan untuk menjamin agar bersaing dalam perekonomian dapat
berlangsung tanpa hambatan. Namun di lain pihak, undang-undang ini berfungsi sebagai
rambu-rambu untuk memagari agar tidak terjadinya praktik yang tidak sehat maupun
tidak wajar dalam dunia bisnis di Indonesia. Keberadaan undang-undang ini disusun
berasaskan kepada demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara
pelaku usaha dan kepentingan masyarakat. Sehingga tujuan dari undang-undang ini
sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 3 yang dirumuskan sebagai berikut.

a.Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai


salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b.Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang
sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku
usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;
c.Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan
oleh pelaku usaha; dan;
d.Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha. Sebagaimana kita ketahui,
bahwa undang-undang ini juga dilahirkan di tengah kemelut krisis moneter yang
kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi dan krisis kepercayaan\ terhadap
pemerintah yang berkuasa saat itu.

Pihak IMF (International Monetary Fund) sebagai pemberi bantuan keuangan maupun
finance advice dalam rangka pemulihan perekonomian Indonesia menilai bahwa salah
satu instrument yang dapat memperbaiki keadaan perekonomian Indonesia adalah adanya
pengaturan tentang persaingan sehat (fair competition). Pihak Pemerintah Indonesia juga
melalui pihak terkait yang menangani perihal persaingan usaha tidak sehat seharusnya
dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU 5/1999) bertindak aktif dalam
mengawasi berbagai tindakan perilaku pelaku usaha yang dapat merugikan maupun
memberikan dampak yang luas bagi kesehatan persaingan bagi para pelaku usaha di
Wilayah hukum Indonesia. Indonesia dari sisi perwilayahan juga merupakan salah satu
negara yang memiliki wilayah luas termasuk wilayah laut maupun datar.

Tidak menutup kemungkinan juga memiliki banyak lapangan usaha serta berbagai
elemen terkait mata rantai maupun roda ekonomi yang bergerak secara cepat dan dinamis
didalamnya. Pemerintah Indonesia sendiri ternyata juga memiliki peran dalam
memunculkan pertumbuhan persaingan usaha tidak sehat yang mana adanya 2 (dua)
tindakan dari pihak pemerintah yang cenderung menimbulkan praktek bisnis atau usaha
yang tidak sehat, yaitu:

a.Menciptakan rintangan artifisial dan capital market. Pemerintah melalui regulasi dan
deregulasi menunjuk pelaku usaha tertentu saja yang dapat mengimpor atau mengekspor
suatu produk tertentu (barrier to entry). Dalam praktek kemudian dikenal istilah ekspor
yang diregulasi (regulated exports), ekspor yang diawasi (supervised exports) serta pajak
ekspor. Konsekuensi dari hal ini ialah menimbulkan praktek monopoli artifisial oleh
pelaku usaha yang telah ditunjuk oleh pemerintah atau suatu kegiatan usaha hanya bisa
dilakukan setelah mendapat persetujuan pemerintah, karenanya pelaku bisnis lainnya
tidak dapat melakukan atau memasuki usaha ini. Sebagai contoh kita ambil salah satunya
kasus kerja sama Bulog dengan PT. Bogasari Flour Mills dalam pengadaan tepung terigu
mulai dari industry hulu sampai hilir (diversifikasi produk instand food). PT. Bogasari
kemudian memang menjadi besar termasuk anakanak perusahaannya, seperti Indofood
maupun Sanmarufood Manufacturing sehingga diperkirakan telah menguasai pangsa
pasar 90% (sembilan puluh persen).

b.Memberikan privilege yang berlebihan kepada pelaku usaha tertentu. Tindakan


pemerintah dalam memberikan privilege hampir serupa modusnya dengan menciptakan
rintangan artifisial, dalam bentuk penciptaan Tata Niaga, supervised exports atau bentuk
pemberian lisensi tunggal pada pelaku usaha tertentu. Akibatnya, pelaku usaha tertentu
yang mendapat privilege menguasai suatu produk dan pangsa pasar yang menimbulkan
monopoli dan monopsonii karena pelaku usaha lain tidak dibenarkan untuk berpartisipasi
di pasar yang bersangkutan. Artinya, tidak ada persaingan yang sehat dalam perdagangan
yang diciptakan dengan dalih tata niaga tersebut. Salah satu contoh kasusnya ialah
pemberian privilege berupa insentif pajak dan cukai kepada PT. Timor Putra Nusantara
dan untuk mengimpor secara utuh mobil yang diberi merek Timor dari Korea Selatan,
dengan Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 1996 dan Instruksi Presiden Nomor 2
Tahun 1996 tersebut, PT. Timor Putra Nusantara diberi fasilitas pembebasan bea masuk
atas impor komponen yang belum dibuat dalam negeri. Tindakan pemerintah ini oleh
dunia Internasional dianggap telah melanggar ketentuan TRIM's (Trade Related
Investment Measures), sehingga Jepang, Uni Eropa, dan Amerika Serikat membawa
masalah Timor ini ke WTO sebagai badan yang berwenang melarang kebijakan investasi
yang menimbulkan distorsi dalam perdagangan.

Bahwa yang dinamakan persaingan tidak selamanya berkonotasi negatif dan dengan
dijalankan dengan perilaku-perilaku negatif yang justru menyebabkan kondisi persaingan
yang tidak kompetitif serta sehat, adakalanya persaingan menciptakan suatu hal yang
positif. Dari sisi manfaat, persaingan dalam dunia usaha merupakan sarana efektif guna
mencapai pendayagunaan sumber daya secara optimal. Dengan adanya rivalitas akan
cenderung menekan ongkos-ongkos produksi sehingga harga menjadi lebih rendah serta
kualitasnya semakin meningkat. Bahkan lebih dari itu persaingan dapat menjadi landasan
fundamental bagi kinerja di atas rata-rata untuk jangka panjang dan dinamakannya
keunggulan bersaing yang lestari (sustainable competitive advantage) yang dapat
diperoleh melalui tiga strategi generic, yakni keunggulan biaya, diferensiasi, dan fokus
biaya.

Dua hal yang menjadi unsur penting bagi penentuan kebijakan (policy objectives) yang
ideal dalam pengaturan persaingan di negara-negara yang memiliki undang- undang
persaingan adalah kepentingan umum (public interest) dan efisiensi ekonomi (economic
efficiency). Ternyata dua unsur penting tersebut (Pasal 3 (a)) juga merupakan bagian dari
tujuan diundangkannya UU No. 5 Tahun 1999 Pasal 2 dan 3 tersebut di atas
menyebutkan asas dan tujuan utama UU No. 5 Tahun 1999. Diharapkan bahwa peraturan
mengenai persaingan akan membantu dalam mewujudkan demokrasi ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 (Pasal 2) dan menjamin
sistem persaingan usaha yang bebas dan adil untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
serta menciptakan sistem perekonomian yang efisien (Pasal 3). Oleh karena itu, mereka
mengambil bagian pembukaan UUD 1945 dan demokrasi ekonomi, dan yang menuju
pada sistem persaingan bebas dan adil dalam pasal 3 Huruf a dan b UU No. 5 Tahun
1999. Hal ini menandakan adanya pemberian kesempatan yang sama kepada setiap
pelaku usaha dan ketiadaan pembatasan persaingan usaha, khususnya penyalahgunaan
wewenang di sektor ekonomi.

Selaku asas dan tujuan, pasal 2 dan 3 tidak memiliki relevansi langsung terhadap pelaku
usaha, karena kedua pasal tersebut tidak menjatuhkan tuntutan konkret terhadap perilaku
usaha. Walaupun demikian, kedua pasal tersebut harus digunakan dalam interpretasi dan
penerapan setiap ketentuan dalam UU No.5 Tahun 1999. Peraturan persaingan usaha agar
diinterpretasikan sedemikian rupa sehingga tujuan-tujuan yang termuat dalam Pasal 2 dan
3 tersebut dapat dilaksanakan seefisien mungkin. Misalnya, schubungan dengan
penerimaan dan jangkauan dari rute of reason dalam rangka ketentuan tentang perjanjian-
perjanjian yang dilarang (Pasal 4-16), harus diperhatikan bahwa Pasal 2 dan 3 tidak
menetapkan tujuan-tujuan yang dilaksanakan dalam bidang sumber daya manusia
kebijakan struktural dan perindustrian. Dari sisi manfaat, persaingan dalam dunia usaha
adalah cara yang efektif unk mencapai pendayagunaan sumber daya secara optimal.
Dengan adanya rivalitas akan cenderung menekan ongkos-ongkos produksi sehingga
harga menjadi lebih rendah serta kualitasnya semakin meningkat. Bahkan lebih dari itu
persaingan dapa menjadi landasan fundamental bagi kinerja diatas rata-rata untuk
langkah panjang dan dinamakannya keunggulan bersaing yang lestari (sustainable
competitive advantage yang dapat diperoleh melalui tiga strategi generik, yakni
keunggulan biaya, diferensiasi, dan fokus biaya.

Persaingan dalam pasar dan mekanisme pasar dapat membentuk beberapa jenis pasar.
Ada yang disebut dengan pasar persaingan sempurna (perfect competition market), Pasar
monopoli, oligopoli, dan juga posisi dominan.

Dalam aktivitas bisnis dapat dipastikan terjadi persaingan (competition) dia antara pelaku
usaha. Pelaku usaha akan berusaha menciptakan, mengemas, serta memasarkan produk
yang dimiliki baik barang/jasa sebaik mungkin agar diminati dan dibeli oleh konsumen.
Persaingan dalam usaha dapat berimplikasi positif, sebaliknya, dapat menjadi negatif jika
dijalankan dengan perilaku negatif dan sistem ekonomi yang menyebabkan tidak
kompetitif.

2. Berikanlah pemahaman anda tentang monopoly by nature! Bagaimana menentukan bahwa


tidak ada praktik persaiangan usaha tidak sehat yang dilakukan?

Pada intinya Undang-Undang Anti Monopoli dirancang untuk mengoreksi tindakan-


tindakan dari kelompok pelaku ekonomi yang menguasai pasar. Karena dengan posisi
dominan maka mereka dapat menggunakan kekuatannya untuk berbagai macam
kepentingan yang menguntungkan pelaku usaha. Sehingga dengan lahirnya Undang-
Undang Anti Monopoli maka ada koridor-koridor hukum yang mengatur ketika terjadi
persaingan usaha tidak sehat antara pelaku-pelaku usaha.

Ditinjau lebih lanjut sebenarnya terjadinya suatu peningkatan konsentrasi dalam suatu
struktur pasar dapat disebabkan oleh beberapa hal yang dapat menimbulkan terjadinya
monopolistik di antaranya adalah pembangunan industri besar dengan teknologi produksi
massal (mass production) sehingga dengan mudah dapat membentuk struktur pasar yang
monopolistik dan oligopolistik, kemudian faktor yang lain adalah pada umumnya industri
atau usaha yang besar memperoleh proteksi efektif yang tinggi, bahkan melebihi rata-rata
industri yang ada kemudian faktor yang lain adalah industri tersebut memperoleh
kemudahan dalam mendapatkan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia
(SDM) yang lebih baik, dan dengan adanya berbagai usaha yang menghambat usaha baru.

Sebagai akibatnya pelaku usaha yang memiliki industri tersebut membentuk kelompok dan
dengan mudah memasuki pasar baru serta pada tahap selanjutnya akan melakukan
diversifikasi usaha dengan mengambil keuntungan dari kelebihan sumber daya manusia
dan alam serta keuangan yang berhasil dikumpulkan dari pasar yang ada.
Sehingga, pada tahap selanjutnya struktur pasar oligopolistik dan monopolistik tidak dapat
dihindarkan, akan tetapi bukan pula bahwa lahirnya direncanakan. Oleh sebab itu pada
negara-negara berkembang dan beberapa negara yang sedang berkembang struktur pasar
yang demikian perlu ditata atau diatur dengan baik, yang pada dasarnya akan
mengembalikan struktur pasar menjadi pasar yang lebih kompetitif. Salah satu cara dengan
menciptakan Undang-Undang Anti Monopoli sebagaimana dalam Undang- Undang Anti
Monopoli yang saat ini berlaku di Indonesaia, yang dimaksudkan untuk membubarkan
grup pelaku usaha yang telah menjadi oligopoli atau trust akan tetapi hanya ditekankan
untuk menjadi salah satu alat hukum untuk mengendalikan perilaku grup pelaku usaha
yang marugikan masyarakat konsumen.

Monopoli yang terjadi karena dikehendaki oleh Undang-Undang (Monopoly by Law). Hal
ini terlihat dari pasal 33 UUD 1945 menghendaki adanya monopoli negara untuk
menguasai bumi dan air berikut kekayaan alam yang terkandung di dalamya, serta cabang-
cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak;

Monopoli yang lahir dan tumbuh secara alamiah karena didukung oleh iklim dan
lingkungan usaha yang sehat (Monopoly by Nature). Monopoli jenis ini lahir dari suatu
pelaku usaha atau perusahaan yang berhasil menciptakan efisiensi dalam produksinya
sehingga menurunkan biaya produksi dengan sangat tajam. Selain berhasil dalam efisiensi,
perusahaan atau pelaku usaha tersebut juga berperan alam kesejahteraan konsumen
sehingga hal ini lah yang membuat dia bisa dalam kondisi monopoli di suatu pasar tertentu.

Monopoly by law dalam perspektif undang-undang no. 5 tahun 1999 Undang-Undang


Antimonopoli dapat dan harus membantu dalam mewujudkan struktur ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 UUD 1945. Dalam penjelasan Pasal 33 ayat (1)
UUD 1945, yang menyatakan bahwa "Ekonomi diatur olch kerjasama berdasarkan prinsip
gotong royong", termuat pikiran demokrasi ekonomi, yang dimaksudkan kedalam Pasal 2
UU No. 5 Tahun 1999. Demokrasi ciri khasnya diwujudkan oleh semua anggota
masyarakat untuk kepentingan seluruh masyarakat, dan harus mengabdi kepada
kesejahteraan seluruh rakyat. Pikiran pokok tersebut termuat dalam pasal 2, yang dikaitkan
dengan huruf a dan huruf b dari pembukaannya, yang berbicara tentang pembangunan
ekonomi menuju kesejahteraan rakyat sesuai dengan UUD dan demokrasi ekonomi.
Disetujui secara umum bahwa negara harus menciptakan peraturan persiangan usaha untuk
dapat mencapai tujuan demokrasi ekonomi. Oleh karena terdapat tiga sistem yang
bertentangan dengan tujuan tersebut, yaitu:

1."Liberalisme perjuangan bebas", yang pada masa lalu telah melemahkan kedudukan
Indonesia dalam ekonomi internasional;

2.Sistem penganggaran belanja yang menghambat kemajuan dan perkembangan ekonomi

3.Sistem pengkonsentrasian kekuatan ekonomi, oleh karena segala monopoli akan


merugikan rakyat.
Monopoly by nature dalam perspektif undang-undang no. 5 tahun 1999 Natural
monopolypasal 3 adalah hal yang boleh dilakukan saat suatu perusahaan mampu menjadi
supplier dari barang atau jasa tertentu dengan biaya yang cenderung lebih murah
dibandingkan dengan pesaing Pun, jumlahnya bisa memenuhi kebutuhan semua pasar.
Perusahaan mampu memanfaatkan sumber daya yang terbatas sebaik dan seefisien
mungkin untuk memberikan harga murah kepada para konsumen. Tentunya, hal ini bisa
sangat menguntungkan dalam banyak kondisi.

Contoh sederhana lainnya adalah industri utilitas seperti air, minyak, gas, dan listrik ke
seluruh penjuru negeri. Naturalmonopoly adalah bisa terbentuk karena modal utama yang
diperlukan untuk memulai suatu usaha juga tidak kecil sehingga tak banyak perusahaan
yang mau memilih atau menjalani sektor usaha tersebut. Tidak hanya itu, sektor industri
ini telah diatur guna memastikan semua konsumen memperoleh harga dan pelayanan yang
tepat dan adil. Masyarakat pun bisa memperoleh manfaat dari monopoli alamiah yang
dimiliki perusahaan utilitas tadi. Inilah alasan utama mengapa sistem monopoli ini
diizinkan.

Coba amati berbagai laman media sosial, mesin pencari di internet, dan perusahaan ritel
yang bergerak secara daring. Sebut saja Google, Facebook, dan Amazon. Ketiga
perusahaan besar tersebut menjadi raja di dunia digital berbasis internet yang berhasil
membentuk monopoli alami untuk berbagai layanan online. Hal ini disebabkan karena
ketiganya memiliki aturan hukum yang jelas yang berkaitan dengan natural monopoly,
tidak seperti utilitas tradisional yang belum mempunyai payung hukum yang jelas terkait
hal tersebut.

3. Berikanlah pemahaman anda terkait metode pendekatan apa saja yang dapat digunakan
oleh KPPU dalam memeriksa perkara persaingan usaha? Berikanlah contoh kasus serta
dasar hukum yang konkrit!

1. Pendekatan Per Se Illegal

Pendekatan per se illegal adalah metode pendekatan yang menganggap setiap


perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai ilegal, tanpa pembuktian lebih lanjut
atau menyelidiki lebih dahulu dampak yang ditimbulkan oleh perjanjian atau
kegiatan usaha tersebut terhadap persaingan

Kegiatan yang dianggap sebagai per se illegal biasanya meliputi penetapan harga
secara kolusif atas produk tertentu serta pengaturan harga penjualan kembali
Pendekatan per se illegal ini dapat diketahui dari ketentuan pasal yang memuat kata
“dilarang” tanpa anak kalimat “yang dapat mengakibatkan”. Misalnya penyelidikan
terhadap beberapa perjanjian atau kegiatan usaha. Lantas, per se illegal pasal
berapa? Contohnya yaitu tentang perjanjian penetapan harga (Pasal 5 UU 5/1999),
penetapan harga diskriminasi (Pasal 6 UU 5/1999), boikot (Pasal 10 UU 5/1999),
perjanjian tertutup (Pasal 15 UU 5/1999), persekongkolan dalam menghambat
produk/pemasaran pesaing (Pasal 24 UU 5/1999 jo. Putusan MK No. 85/PUU-
XIV/2016), penyalahgunaan posisi dominan (Pasal 25 UU 5/1999), dan tentang
pemilikan saham mayoritas (Pasal 27 UU 5/1999).

2. Pendekatan Rule of Reason

Apa yang dimaksud dengan rule of reason? Pendekatan rule of reason adalah
pendekatan yang digunakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (“KPPU”) untuk
mengevaluasi akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu yang dilakukan pelaku
usaha, guna menentukan apakah perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat
menghambat atau mendukung persaingan. Dengan kata lain, pendekatan rule of
reason adalah pendekatan yang menggunakan analisis pasar serta dampaknya
terhadap persaingan, sebelum dinyatakan sebagai melanggar undang-undang.

Rule of reason dalam UU 5/1999 dapat diketahui dari ketentuan pasal-pasal yang
memuat frasa “yang dapat mengakibatkan” dan/atau “patut diduga”. Frasa-frasa
tersebut menyiratkan perlunya penelitian terlebih dahulu secara mendalam apakah
suatu tindakan dapat menimbulkan praktik monopoli yang bersifat menghambat
persaingan atau tidak. Misalnya tentang kartel yang diatur di dalam Pasal 11 UU
5/1999 dan ketentuan mengenai larangan penetapan harga di bawah harga pasar
dalam Pasal 7 UU 5/1999.

Aturan terkait hukum persaingan usaha di Indonesia dikenal adanya 2 (dua)


pendekatan, yakni pendekatan per se illegal dan pendekatan melalui rule of reason.
Kedua pendekatan tersebut telah lama diterapkan dalam bidang hukum persaingan
usaha untuk menilai apakah suatu kegiatan maupun perjanjian yang dilakukan oleh
pelaku usaha telah atau berpotensi untuk melanggar UU Antimonopoli. Kedua
pendekatan in pertama kali tercantum dalam beberapa suplemen terhadap Sherman
Act 1980, yang merupakan UU Antimonopoli AS, dan pertama kali
diimplementasikan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat pada 1899 (untuk per
se illegal) dan pada 1911 (untuk rule of reason) dalam putusan atas beberapa kasus
antitrust. Sebagai pioneer dalam bidang persaingan usaha, maka pendekatan-
pendekatan yang diimplementasikan di AS juga turut diimplementasikan oleh
negaranegara lainnya sebagai praktik kebiasaan (customary practice) dalam bidang
persaingan usaha. Pendekatan per se disebut juga per se illegal. per se rules, per se
doctrine dan juga per se violation. Larangan-larangan yang bersifat Per se adalah
larangan yang bersifat jelas, tegas, dan mutlak. Larangan ini bersifat tegas dan
mutlak disebabkan perilaku yang sangat mungkin merusak persaingan sehingga
tidak perlu lagi melakukan pembuktian akibat perbuatan tersebut. Tegasnya,
pendekatan per se melihat perilaku atau tindakan yang dilakukan adalah
bertentangan dengan hukum.

Per se illegal sebuah pendekatan di mana suatu perjanjian atau kegiatan usaha
dilarang karena dampak dari perjanjian tersebut telah dianggap jelas dan pasti
mengurangi atau menghilangkan persaingan. Oleh karena itu, dalam pendekatan ini
pelaku usaha pelapor tidak perlu membuktikan adanya dampak suatu perjanjian
yang dibuat oleh pelaku usaha pesaingnya. Bukti yang diperlukan adalah bahwa
perjanjian yang dimaksud telah benar adanya atau bahwa kegiatan bisnis dimaksud
telah benar- benar dilakukan oleh pelaku usaha pesaingnya.

Pendekatan per se illegal harus memenuhi dua syarat, yakni pertama, harus
ditujukan lebih kepada "perilaku bisnis" daripada situasi pasar, karena keputusan
melawan hukum dijatuhkan tanpa disertai pemeriksaan lebih lanjut, misalnya
mengenai akibat dan hal-hal melingkupinya. Hal ini adalah adil jika perbuatan
ilegal tersebut merupakan tindakan sengaja oleh perusahaan, yang seharusnya dapat
dihindari. Kedua, adanya identifikasi secara cepat dan mudah mengenai praktik
atau batasan perilaku yang terlarang. Dengan perkataan lain, penilaian atas tindakan
dari perilaku baik di pasar maupun dalam proses pengadilan harus dapat ditentukan
dengan mudah. Meskipun demikian diakui bahwa terdapat perilaku yang terletak
dalam batas-batas yang tidak jelas antara perilaku terlarang dan perilaku yang sah.
Sebab penerapan per se illegal yang berlebih dapat menjangkau perbuatan yang
sebenarnya tidak merugikan bahkan mendorong persaingan.

Mengenai jenis perjanjian atau tindakan yang dikategorikan sebagai per se tidaklah
selalu sama di setiap tempat atau negara. Perbedaan ini disebabkan perbedaan
dalam menimbang takaran kepatutan dan keadilan serta kepastian dalam hukum.
Selain in perbedaan penetapan ini juga melihat tingkat efisiensi dan manfaat bagi
masyarakat. Pendekatan ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya
antara lain adalah pertama, terjadinya kepastian hukum terhadap suatu persoalan
hukum antimonopoli yang muncul. Ketika terjadi penetapan harga (price Fixing),
boycott, horizontal market division, dan ving arrangement dilakukan pelaku usaha,
maka hakim dapat menggunakan pendekatan ini secara langsung. Kedua, jika suatu
perjanjian atau perbuatan yang dilakukan yang hampir pasti merusak dan
merugikan persaingan, maka untuk apa lagi bersusah payah melakukan
pembuktian, tidak hanya memakan waktu, namun juga biaya yang mahal. Ketiga,
pendekatan per se lebih memudahkan hakim memutuskan perkara persaingan
usaha. Mengapa? Hukum persaingan mempunyai daya jangkau yang sangat luas
yang memberi kebebasan bagi hakim untuk menafsirkan secara "bebas" apakah
seorang dinyatakan telah melanggar atau menghambat persaingan. Karenanya,
menggunakan pendekatan ini membuat hakim lebih mudah sekaligus cepat
memutuskan perkara persaingan usaha.

Namun di sisi lain melakukan penerapan pendekatan per se secara berlebihan dapat
menjangkau perbuatan yang mungkin tidak merugikan atau bahkan mendorong
persaingan menjadi salah secara hukum. Sebab, terkadang pendekatan ini tidak
selalu akurat menghasilkan pandangan apakah suatu tindakan pelaku usaha benar-
benar tidak efisien dan merugikan konsumen. Tentunya hal ini menyebabkan
penerapan hukum persaingan usaha menjadi kontra-produktif.

Dalam UU No. 5 Tahun 1999, pendekatan per se biasanya digunakan pada pasal
yang menyatakan dengan kalimat "dilarang" tanpa kalimat tambahan "...yang dapat
mengakibatkan..." atau dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat, sebagaimana yang disyaratkan dalam pendekatan
Rule of Reason.

Apabila para pelaku usaha melakukan perjanjian dan kegiatan yang dilarang secara
per se, maka negara (dalam hal ini KPPU) cukup membuktikan bahwa telah terjadi
pelanggaran sesuai dengan jenis perjanjian atau perbuatannya. Pelaku usaha
dianggap telah melakukan perbuatan yang dilarang tanpa melihat akibat atau efek
yang ditimbulkan dari perbuatan.

Hal yang perlu dibuktikan, apakah telah terjadi suatu perjanjian yang dilarang.
Pembuktiannya tidak harus disertai dengan adanya perjanjian tertulis, tetapi cukup
dengan kesepakatan lisan atau kecenderungan adanya kesepakatan. Kegiatan yang
dianggap sebagai per se illegal biasanya meliputi penetapan harga secara kolusif
atas produk tertentu, serta pengaturan harga penjualan kembali. Namun dalam
pendekatan rule of reason diperlukan analisa ekonomi untuk mengetahui apakah
perbuatan tersebut menghambat atau mendorong persaingan. Jenis Perilaku yang
digolongkan sebagai per se illegal adalah perilaku - perilaku dalam dunia usaha
yang hampir selalu bersifat anti persaingan, dan hampir selalu tidak pernah
membawa manfaat sosial. Pendekatan per se illegal ditinjau dari sudut proses
administratif adalah mudah. Hal ini disebabkan karena metode ini membolehkan
pengadilan untuk menolak melakukan penyelidikan secara rinci, yang biasanya
memerlukan waktu lama dan biaya yang mahal guna mencari fakta di pasar yang
bersangkutan. Sementara. Pendekatan rule of reason adalah kebalikan per se illegal.
Dalam pendekatan ini hukuman terhadap perbuatan yang dituduhkan melanggar
hukum persaingan harus mempertimbangkan situasi dan kondisi kasus. Karenanya,
perbuatan yang dituduhkan tersebut harus diteliti lebih dahulu, apakah perbuatan
itu telah membatasi persaingan secara tidak patut. Untuk itu, disyaratkan bahwa
penggugat dapat menunjukkan akibat yang ditimbulkan dari perjanjian, kegiatan,
dan posisi dominan yang telah menghambat persaingan atau menyebabkan
kerugian.

Dengan kata lain, teori rule of reason mengharuskan pembuktian, mengevaluasi


mengenai akibat perjanjian, kegiatan, atau posisi dominan tertentu guna
menentukan apakah perjanjian atau kegiatan tersebut menghambat atau mendukung
persaingan. "Dalam melakukan pembuktian harus melihat seberapa jauh tindakan
yang merupakan anti persaingan tersebut berakibat kepada pengekangan
persaingan di pasar Dalam teori rule of reason sebuah tindakan tidak secara
otomatis dilarang, meskipun perbuatan yang dituduhkan tersebut kenyataannya
terbukti telah dilakukan. Dengan demikian, pendekatan ini memungkinkan
pengadilan untuk melakukan interpretasi terhadap undang-undang dan juga
interpretasi pasar.

Hambatan persaingan usaha yang berkaitan dengan perjanjian tujuan utamanya


tidak terkena penerapan ketentuan hukum antimonopoli, atau perjanjian yang
disertai manfaat pro persaingan yang mengimbangi kerugian terhadap persaingan
usaha yang terjadi, serta perlu untuk mencapai keuntungan pro persaingan tersebut
(reasonably necessary restraints), harus dikecualikan dari larangan kolusif.
Penerapan asas ini didasarkan pada hukum sebab akibat, di mana tindakan pelaku
usaha secara langsung maupun tidak langsung telah berakibat merugikan pelaku
usaha lainnya dan/atau masyarakat konsumen pada umumnya. Selain bersifat
antipersaingan, juga mempunyai alasan pembenaran yang menguntungkan dari
pertimbangan sosial, keadilan maupun efek yang ditimbulkannya serta juga unsur
maksud (intent).

Dengan asas rule of reason ini dapat diketahui akibat yang tercipta karens tindakan
atau perjanjian yang mengakibatkan persaingan tidak sehat dan praktik monopoli
sehingga merugikan pihak lain. Dalam substansi UU No. 5 Tahun 1999 umumnya
mayoritas menggunakan pendekatan rule of reason. Penggunaan rule of reason
tergambar dalam konteks kalimat yang membuka alternatif interpretasi bahwa
tindakan tersebut harus dibuktikan dulu akibatnya secara keseluruhan dengan
memenuhi unsur-unsur yang ditentukan dalam undang-undang apakah telah
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli ataupun praktik persaingan tidak sehat.
Untuk melihat atau membuktikan bahwa telah terjadi persekongkolan yang
menghambat perdagangan atau persaingan dapat dilihat dari kondisi yang ada.
Alasan (reason) yang sah untuk melarang suatu perjanjian atau kegiatan berbeda-
beda antar satu negara dengan negara lainnya tergantung dari tujuan hukum
persaingan yang berlaku. Apabila tujuannya adalah tercapainya efisiensi (ekonomi)
seperti di Amerika Serikat, maka praktik bisnisnya misalnya integrasi vertikal tidak
akan dilarang apabila integrasi tersebut terbukti menghasilkan produk yang lebih
efisien ketimbang tidak terintegrasi. Demikian juga apabila hukum persaingan yang
berlaku di suatu negara mempunyai tujuan non-ekonomi, maka alasan (reason)
non- ekonomi dapat digunakan dalam melarang suatu kegiatan usaha. Alasan non-
ekonomi tentu saja berbeda-beda antara satu negara dengan negara lain tergantung
pada tujuan pembangunan ekonominya."

Dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1999 rule of reason ini menyiratkan bahwa
perlu penelitian yang mendalam tentang suatu kegiatan apakah berdampak
terjadinya praktik monopoli. Namun belum seluruh pasal Undang-Undang dapat
mengklarifikasikan secara jelas kegiatan yang termasuk dalam per se dan rule of
reason.

Dalam pendekatan hukum persaingan ini, peran hakim sangat menentukan


keputusan sangatlah vital, apakah perkara masuk dalam per se dan rule of reason,
karena disebabkan praktik bisnis monopoli sering mengalami perubahan implikasi
dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik. Secara umum pandangan dasar
keputusan hakim menekankan pada efisiensi ekonomi perlindungan pengusaha
kecil, atau perlindungan konsumen. Dalam UU No. 5 tahun 1999, pendekatan rule
of reason biasanya ditandai dengan kalimat "mengakibatkan terjadinya..."
Pendekatan rule of reason UU No. 5 Tahun 1999 mempunyai kekhasan sebah
tercakup dalam unsur "praktik monopoli" dan " persaingan usaha tidak sehat".
Terdapat 2 aspek "dampak/hasil" dan "cara"dijalankannya kegiatan. Pada aspek
dampak dapat terjadi dua hal, terjadinya penghambatan terhadap persaingan dan
merugikan kepentingan umum. Menghambat persaingan merupakan salah satu
unsur praktik monopoli maupun persaingan usaha tidak sehat. Untuk menentukan
satu perjanjian ekonomi yang dilarang ditentukan telah terjadinya penghambatan
persaingan. Hal ini dalam UU No. 5 tahun 1999 tidak menjelaskan tentang
hambatan persaingan. Hambatan persaingan adalah hambatan untuk masuk ke
pasar dan penyalahgunaan kekuatan monopoli serta terhambatnya efisiensi. Aspek
" dampak/hasil" yg lainnya adalah merugikan kepentingan umum yang termasuk
unsur praktik monopoli. Pada aspek cara, UU No. 5 tahun 1999 melarang
perjanjian/kegiatan dilakukan dengan cara tidak jujur/melawan hukum, yang
termasuk dalam persaingan usaha tidak sehat.

Kelebihan pendekatan rule of reason, menggunakan analisis ekonomi untuk


mencapai efisiensi guna mengetahui dengan pasti apakah suatu tindakan pelaku
usaha memiliki implikasi kepada persaingan. Sehingga dengan akurat menetapkan
suatu tindakan pelaku usaha efisien atau tidak. Namun ini membutuhkan waktu
yang panjang dalam membuktikan perjanjian, kegiatan, dan posisi tidak sehat dan
menghambat persaingan usaha. Pendekatan ini menjadikan kepastian hukum lama
didapat, dan terkadang hasil yang di dapatkan berbeda dengan aslinya.

Pendekatan ini memungkinkan pengadilan melakukan interpretasi terhadap UU


seperti mempertimbangkan faktor - faktor kompetitif dan menetapkan layak atau
tidaknya suatu hambatan perdagangan. Hal ini disebabkan karena perjanjian-
perjanjian maupun kegiatan usaha yang termasuk dalam UU Antimonopoli tidak
semuanya dapat menimbulkan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat
atau merugikan masyarakat. Sebaliknya, perjanjianperjanjian maupun
kegiatankegiatan tersebut dapat juga menimbulkan dinamika persainga usaha yang
sehat. Oleh karenanya, pendekatan ini digunakan sebagai penyaring untuk
menentukan apakah mereka menimbulkan praktek monopoli atau persaingan usaha
yang tidak sehat atau tidak.

Anda mungkin juga menyukai