Anda di halaman 1dari 5

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 3

Nama Mahasiswa : Florensia Kigo

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 030776728

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4310/Tindak Pidana Korupsi

Kode/Nama UPBJJ :UPBJJ 79 / KUPANG

Masa Ujian : 2021/22.1 (2021.2)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
JAWABAN

1. kualifikasi dari perbuatan dari pelaku tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan ancaman pidana mati.

 Merujuk pada Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, hukuman mati sebenarnya tercantum di awal undang-undang. Di Pasal 2 tentang Tindak
Pidana Korupsi, tercantum di ayat 2 bahwa: "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat
dijatuhkan."Dalam lampiran penjelasan pasal per pasal di undang-undang itu, dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan
bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada keadaan
tertentu.Pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku,
pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada
waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter." Keselamatan masyarakat merupakan
hukum tertinggi, maka yang korupsi dalam suasana bencana, tidak ada pilihan lain dalam
menegakkan hukum, yaitu tuntutannya pidana mati

 ketentuan pidana tersebut dibuat dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk
mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.UU Nomor 31 Tahun 1999 ini kemudian
direvisi oleh UU nomor 20 tahun 2001. Lampiran penjelasan mengenai Ayat 2 Pasal 2 pun
berubah. Namun substansinya masih tetap sama.Yang dimaksud dengan 'keadaan tertentu' dalam
ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak
pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang
diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan
akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan
pengulangan tindak pidana korupsi."
2. Faktor yang menyebabkan penegak hukum mengalami kesulitan dalam menerapkan pidana mati terhadap
pelaku tindak pidana korupsi.
 Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menentang wacana hukuman mati sebagai
pemberantasan korupsi di Indonesia. Mereka menegaskan penggunaan pidana mati tidak pernah
menjadi solusi akar masalah korupsi.ICJR sangat menentang keras wacana KPK ataupun aktor
pemerintah lainnya untuk menjatuhkan hukuman mati sebagai solusi pemberantasan korupsi,
terlebih pada masa pandemic Covod19
 Dalam hukum positif Indonesia kita mengenal dengan adanya hukuman mati atau pidana mati.
Dalam KUHP Bab II mengenai Pidana, pasal 10 menyatakan mengenai macam-macam bentuk
pidana, yaitu terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana mati termasuk jenis pidana
pokok yang menempati urutan yang pertama. Pidana mati merupakan pidana yang terberat karena
menyangkut nyawa. Pidana mati merupakan satu jenis pidana dalam usianya, setua usia kehidupan
manusia dan paling kontroversial dari semua sistem pidana, baik di negara-negara yang menganut
system Common law, maupun Negara yang menganut Civil Law. Mempersoalkan hukuman mati
dalam hukum pidana sebagai sarana mencapai tujuan dari hukum pidana itu sendiri, telah banyak
menimbulkan perdebatan antar sesama ahli hukum pidana, ada yang pro dan juga ada yang kontra
terhadap penggunaan sarana pidana mati sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum pidana
yaitu memberikan rasa aman, memberikan keadilan dan sebagainya.
 Faktor-faktor sehingga penerapan ancaman pidana mati tidak diterapkan dalam tindak pidana
korupsi yakni undang-undang20 sendiri dimana pembuat kebijakan legislatif kurang serius dalam
perumusan ancaman pidana mati terlihat dari adanya syarat yang menjadi alasan pemberatan
sehingga pidana mati dapat diterapkan. Hal tersebut dapat dilihat dari penjelasan pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001, yakni pemberatan tersebut dilakukan dalam keadaan
tertentu. Yang dimaksudkan dalam keadaan tertentu yakni : 1. Dilakukan terhadap dana-dana yang
diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya; Keadaan bahaya ini juga perlu penafsiran,
hal ini menambah ketidak jelasan dari undang-undang tersebut. 2. Bencana alam nasional; Bencana
nasional ini juga perlu penafsiran apakah bencana alam di suatu provinsi mempengaruhi provinsi
yang lain sehingga dapat dikatakan bencana nasional. 3. Penanggulangan akibat kerusuhan sosial
yang meluas Kerusuhan sosial yang meluas, kata meluas ini juga menjadi tidak jelas. 4.
Penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan; Krisis ekonomi dan moneter ini juga menjadi
hal yang tidak pasti, karena kapan suatu negara mengalami krisis ekonomi dan moneter. 5.
Pengulangan tindak pidana korupsi. Hal ini dapat diterima, karena pengulanggan (residivis) dalam
tindak pidana korupsi

3. Terhadap Menteri Sosial (Juliari Batubara) dan Menteri Kelautan dan Perikanan (Edy Prabowo)
dapatkah diterapkan sanksi pidana mati yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999
jo UU No. 20 Tahun 2001?, berikan argumentasi anda.

 Pelaku korupsi anggaran penanganan bencana Covid-19 dengan tuntutan hukuman mati.
Keselamatan masyarakat merupakan hukum tertinggi, maka yang korupsi dalam suasana
bencana, tidak ada pilihan lain dalam menegakkan hukum, yaitu tuntutannya pidana
mati,Pidana mati dalam tindak pidana korupsi hanya ditujukan pada jenis tindak pidana kerugian
keuangan Negara, hal itupun diterapkan bila ada pemberatan. Ketentuan mengenai pidana mati
dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2).

 Pada Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa substansi dari Pasal 2 ayat
(2) tetap yang mengalami perubahan hanya dalam penjelasan pasalnya saja. Dalam undang-
undang ini yakni keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak
pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang
diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan
akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan
pengulangan tindak pidana korupsi.

4. Pembuktian bahwa ada pengetatan terhadap hak remisi narapidana kasus korupsi

 alam revisi PP No 99/2012 adalah terkait pelonggaran remisi bagi narapidana korupsi, narkoba,
terorisme, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta
kejahatan transnasional terorganisasi lainnya. Dalam hal ini, PP No 99/2012 memperketat syarat
pemberian remisi bagi narapidana kejahatan luar biasa. Untuk narapidana korupsi, misalnya,
yang bersangkutan haruslah menyandang status justice collaborator(JC) atau pelaku yang bekerja
sama dengan penegak hukum dalam membongkar kasus korupsi. Tanpa adanya status JC, pelaku
atau narapidana kasus korupsi tidak berhak mendapatkan remisi atau pengurangan hukuman.  
 Pada prinsipnya, penanganan kasus korupsi harus dilakukan secara paripurna. Semua aktor yang
terlibat harus diproses secara hukum dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun, pada
praktiknya, upaya membongkar kasus korupsi yang bersifat kompleks dan rumit dalam
pembuktian sering kali terganjal banyak hambatan. Karena itu, keberadaan JC menjadi penting
sebagai salah satu pintu masuk membongkar kasus korupsi dan menjerat aktor yang terlibat. 
 
 Dalam konteks pemidanaan, kejahatan korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa harus
dihukum dengan hukuman yang berat. Remisi yang notabene adalah upaya mengurangi hukuman
narapidana jelas tidak sejalan dengan semangat pemberatan pidana bagi pelaku korupsi. Karena
itu, pengetatan remisi bagi narapidana korupsi menjadi sesuatu yang logis dilakukan. Pengetatan
tersebut dikecualikan bagi narapidana yang mau bekerja sama dengan penegak hukum untuk
membongkar kasus korupsi lebih luas. Pengetatan pemberian remisi tidak menghapuskan hak
mendapatkan pengurangan hukuman bagi narapidana korupsi. Pengetatan merupakan
konsekuensi logis adanya perbedaan karakter jenis kejahatan yang dilakukan narapidana,
perbedaan sifat berbahayanya kejahatan yang dilakukan, dan akibat yang ditimbulkan oleh tindak
pidana yang dilakukan narapidana. 

5. kebijakan diberlakukannya pengetatan hak remisi bagi narapidana kasus korupsi.

 Remisi itu diberikan berdasar pada dua kriteria remisi jangka panjang, yaitu berkelakuan
baik selama di penjara dan telah menjalani pemidanaan setidaknya enam bulan. Pasal 34
paragraf (3) Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2006 menentukan bahwa remisi dapat
diberikan setelah narapidana menjalani sepertiga masa tahanan. Korupsi adalah kejahatan
luar biasa sebagaimana United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)
mengklasifikasikan korupsi sebagai kejahatan HAM atau kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pemidanaan maksimal semestinya diberikan kepada pelakunya, tanpa remisi. Mereka telah
merugikan keuangan Negara yang berujung pada kerugian jutaan warga Negara, sehingga
mereka tidak boleh diistimewakan. Mereka semestinya dimiskinkan dan mendapat sanksi
sosial, bukan mendapat keistimewaan selama di penjara. Pemidanaan tersebut harusnya
tidak hanya menjadi pelajaran bagi si narapidana, tetapi juga menjadi pelajaran bagi jutaan
warga negara di luar tembok penjara. Pencabutan dan/atau pengetatan pemberian remisi
untuk narapidana korupsi adalah kebijakan yang tepat untuk diterapkan.

Anda mungkin juga menyukai