Anda di halaman 1dari 13

EFEKTIVITAS ANCAMAN SANKSI PIDANA MATI BAGI

PENCEGAHAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Disusun oleh:

DR. MUDZAKIR, S.H., M.H

Dosen pada Fakultas Hukum


Universitas Islam Indonesia

MAKALAH

DISKUSI PUBLIK

DISELENGGARAKAN OLEH ISLAMIC LAW FORUM


KELUARGA MUSLIM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA, 19 DES 2010

MUDZAKKIR | PIDANA MATI BAGI KORUPTOR 1


EFEKTIVITAS PENGANCAMAN PIDANA MATI BAGI
PENCEGAHAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh:
Dr. Mudzakir, S.H., M.H

Dosen pada Fakultas Hukum


Universitas Islam Indonesia

Makalah disampaikan pada diskusi publik tentang “Sanksi Pidana Mati bagi
Pelaku Tindak Pidana Korupsi” yang diselengarakan oleh Islamic Law Forum
Keluarga Muslim Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, 19 Des 2010

A. PENDAHULUAN

Pada awalnya, dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971, tidak


ada ketentuan ancaman pidana mati terhadap pelaku tindak
pidana korupsi, kemudian setelah ada gerakan reformasi, undang-
undang tersebutdiganti dengan undang-undang yang baru yaitu
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang kemudian memasukkan ancaman
pidana mati ke dalam Pasal 2 ayat (2) dengan syarat-syarat
khusus.

Setelah ada kritik yang sangat tajam, karena Undang-undang 31


Tahun 1999 tersebut ternyata secara diam-diam tidak memuat
ketentuan peralihan. Hal ini menunjukkan keanehana yang luar
biasa, karena undang-undang lama dihapus diganti dengan
undang-undang baru yang tidak memuat ketetuan peralihan.
Akibat hukum yang terjadi, para pelaku tindak pidana korupsi yang
sedang diselidik, sedang disidik, dan yang sedang diperiksa di
pengadilan terpengaruh dengan undang-undang tersebut,
akibatnya para tersangka/terdakwa perkara tidak dilanjutkan
(‘dipetieskan’) dan hakim menjatuhkan putusan bebas dengan
alasan dasar hukum tindak pidananya dihapus. Sedangkan pelaku

MUDZAKKIR | PIDANA MATI BAGI KORUPTOR 2


tindak pidana korupsi yang belum dilakukan penyelidikan atau
penyidikan, merasa aman dan nyaman, karena undang-undangnya
dicabut dan tidak ada ketentuan peralihan.

Setelah mendapat kritik karena tidak ada ketentuan peralihan


tersebut, kemudian dibentuk Tim yang angota orang-orang yang
sama (sebagian besar dari Tim dari pembentukan Undang-undang
31 Tahun 1999) lahirlah Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan terhadap Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang di
dalamnya memuat ketentuan peralihan (catatan: hanya selisih 2
tahun setelah Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 terbit,
ketentuan peralihan tersebut aneh dan janggal). Dalam undang-
undang yang memuat perubahan dari undang-undang sebelumnya
tersebut memuat beberapa hal pokok mengenai:

1. Mencabut beberapa pasal KUHP (13 pasal KUHP) yang semula


dirujuk oleh undang-undang sebagai tindak pidana yang
diperberat dan normanya dipindahkan ke dalam Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2001 disertai dengan pemberatan
ancaman pidana dan sebagian mengubah norma hukum
pidananya.

2. Menambah norma hukum pidana baru yang memuat ketentuan:

a. Memperluas norma hukum yang berasal dari KUHP untuk


profesi tertentu yang semula ditujukan kepada pegawai
negeri.

b. Menambah norma baru berupa tindak pidana baru yang


sebelumnya tidak ada, yaitu tindak pidana gratifikasi.

3. Memperberat ancaman sanksi pidana dengan ancaman sanksi


yang terberat yaitu ancaman sanksi pidana mati (dimuat dalam
Pasal 2 ayat 2) untuk memberat ancaman sanksi pidana tindak
pidana yang dimuat dalam Pasal 2 ayat (1).

4. Menambah ketentuan peralihan yaitu peralihan antara Undang-


undang Nomor 3 Tahun 1971 dengan Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001.

MUDZAKKIR | PIDANA MATI BAGI KORUPTOR 3


Dicantumkannya ancaman pidana mati dalam Pasal 2 ayat (2)
tersebut pada mulanya memperoleh dukungan yang luas, dengan
harapan agar mencegah terjadinya tindak pidana korupsi dan agar
para pelaku lain tindak pidana korupsi dapat jera dan tidak timbul
niat jahatanya untuk melakukan tindak pidana korupsi. Adanya
ancaman pidana mati memang menimbulkan pro dan kontra,
tetapi untuk pelaku tindak pidana korupsi tidak demikian,
umumnya menyetujui adanya sanksi pidana mati dan kalangan
anti pidana mati, kurang memberi perhatian dan tidak tertarik
membaha ancaman pidana mati terhadap pelaku tindak pidana
korupsi.

Panitia meminta untuk membahas dua permasalahan yaitu

1. Bagaimana tanggapan HAM atas pidana mati bagi korupsi?


Dan melihat keadaan Indonesia yang semakin memburuk
tingkat korupsinya adakah prinsip-prinsip HAM memberi
celah untuk diterapkannya hukuman mati?
2. Adakah alternatif lain untuk pemberantasan korupsi yang
lebih baik selain hukuman mati?

Makalah ini tidak membahas mengenai pidana mati dilihat dari


perspektif persoalan hak asasi manusia dan konstitusi Undang-
Undang Dasar RI 1945, karena persoalan pidana mati pernah diuji
materiil di Mahkamah Konstitusi, dan hasilnya ancaman pidana
mati adalah konstusional dan tidak melanggar hak asasi manusia.
Fokus pembahasannya ditujukan mengenai pidana terkait dengan
efektivitasnya dalam pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi
sebagaimana dimuat dalam judul makalah ini.

B. ANCAMAN PIDANA MATI DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK


PIDANA KORUPSI

Ancaman pidana mati dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun


1999 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantsan Tindak Pidana Korupsi hanya
memuat 1 (satu) pasal yaitu dalam Pasal 2 ayat (2), selengkapnya
dikutip sebagai berikut:

MUDZAKKIR | PIDANA MATI BAGI KORUPTOR 4


Pasal 2

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan


perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud


dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati
dapat dijatuhkan.

Penjelasan Pasal 2 ayat (2):

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini


dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana
korupsi apabila tindak pidana tsb dilakukan pada waktu negara
dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang
berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai
pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara
dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Kemudian Penjelasan Pasal 2 ayat (2) diubah dengan Undang-


undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai berikut:

Pasal 2 ayat (2)

Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini


adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana
bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana
tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi
penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional,
penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas,
penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan
tindak pidana korupsi.
MUDZAKKIR | PIDANA MATI BAGI KORUPTOR 5
Perbedaan Penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang 31 Tahun
1999 dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001:

NO UU. 31 /1999 UU. 20/2001


01 Yang dimaksud dengan
"keadaan tertentu" dalam Yang dimaksud dengan
ketentuan ini dimaksudkan "keadaan tertentu" dalam
sebagai pemberatan bagi ketentuan ini adalah
pelaku tindak pidana keadaan yang dapat
korupsi dijadikan alasan
pemberatan pidana bagi
pelaku tindak pidana korupsi
yaitu

02 apabila tindak pidana tsb apabila tindak pidana


dilakukan: tersebut dilakukan terhadap
dana-dana yang
diperuntukkan bagi:
a. pada waktu negara dalam penanggulangan keadaan
keadaan bahaya sesuai bahaya,
dengan undang-undang
yang berlaku,
b. pada waktu terjadi bencana alam nasional,
bencana alam nasional,
c. atau pada waktu negara penanggulangan krisis
dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter,
ekonomi dan moneter.
d. penanggulangan akibat
kerusuhan sosial yang
meluas,
03 sebagai pengulangan tindak dan pengulangan tindak
pidana korupsi, pidana korupsi.

MUDZAKKIR | PIDANA MATI BAGI KORUPTOR 6


Hal yang perlu menjadi perhatian mengenai pencantuman
ancaman sanksi pidana mati dalam Pasal 2 ayat (2) ditinjau dari
teknik legal drafting hukum pidana:

1. Pasal 2 memuat tindak pidana umum dari tindak pidana


korupsi (delik genus) yang umumnya sebagai rumusan dasar
dari tindak pidana korupsi yang dimuat dalam undang-undang
ini atau sebagai delik yang bersifat khusus dari delik genus
tersebut yang memuat kaedah pemberatan dan pemeringan.
Tapi, ancaman pidana mati justru diancamkan hanya pada delik
genus saja, sedang delik khusus dari delik genus tersebut tidak
ada yang diancam dengan pidana mati.

Ancaman pidana Pasal 2 ayat (1) berupa pidana penjara


seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Sedangkan ancaman pidan mati dimuat dalam Pasal 2 ayat (2)


yaitu dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati
dapat dijatuhkan.

2. Pasal 3 seharusnya sebagai delik pemberatan, karena


pelakunya dalah pejabat dan orang yang memiliki kedudukan
yang menyalahgunakan kewenangan, kedudukan, atau sarana
yang ada padanya, justru ancaman pidananya diperingan dari
ancaman pidana yang dimuat dalam Pasal 2 ayat (1).

Ancaman pidana yang dimuat dalam Pasal 3 berupa pidana


penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau
denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

3. Tindak pidana lainnya ancaman pidananya leih ringan dari


anaman pidana yang dimuat dalam Pasal 2.

MUDZAKKIR | PIDANA MATI BAGI KORUPTOR 7


Perumusan ancaman pidana mati dalam Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor
20 Tahun 2001 tersebut jelas menimbulkan beberapa
permaslahan hukum baik dalam teknik pengancaman maupun
dalam praktek penegakan hukumnya yaitu

1. Ancaman pidana mati hanya ditujukan kepada tindak pidana


dimuat dalam Pasal 2 ayat (1) sebagai delik umum (genus),
sedangkan delik khusus sebagai pemberatan ancaman pidana
karena pelaku pejabat atau yang memiliki kedudukan justu
tidak diancam dengan pidana mati.

2. Ancaman pidana dirujuan kepada pelanggaran Pasal 2 ayat (1)


dengan syarat khusus sebagaimana dimuat dalam penjelasan
Pasal 2 ayat (2) adalah tidak mencerminkan konstruksi
pengancaman pidana mati yang tepat dan benar, yaitu
mengapa hanya ditujukan kepada dana yang dperuntukkan bagi
penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional,
penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas,
penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan
tindak pidana korupsi, mengapa tidak untuk dana-dana Negara
lain yang sesungguhnya dampaknya juga sama saja, yaitu
penderitaan yang dialami oleh rakyat.

3. Tidak dimasukkannya batas minimum nilai kerugian keuangan


Negara menimbulkan problem dalam pratek, karena korupsi Rp
100 juta terhadap dana yang diperuntukkan rehabilitasi
bencana nasional dapat dijatuhi pidana mati, sedangkan
terbukti korupsi Rp 4 trilyun dana yang dipergunakan untuk
rehabilitasi bencana alam local (bukan nasional) atau Rp 16
trilyun yang yang tidak peruntukkan untuk rehabilitasi keadaan
sebagaimana dimuat dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) tidak
bisa dan tidak boleh dijatuhi sanksi pidana mati.

4. Dalam praktek penegakan hukum tindak pidana korupsi justru


dana-dana yang amat sangat luar biasa besar yang hendak
dipergunakan untuk penanggulangan krisis ekonomi dan
moneter justru tidak dipandang sebagai tindak pidana korupsi
dengan dalih sebagai kebijakan dan keputusan berupa

MUDZAKKIR | PIDANA MATI BAGI KORUPTOR 8


kebijakan tidak dapat dipidanakan dengan alasan tidak ada
atau bukan sebagai perbuatan melawan hukum (contoh kasus
yang besar di Indonesia, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) dan Kasus Bank Century).

Bahkan dicantumkan katup pengaman sebagai bentuk


kekebalan hukum bagi pejabat pengambil keputusan dalam
Undang-undang Bank Indonesia Nomor 23 tahun 1999 dalam
pasal 45:

Pasal 45
Gubernur, Deputi Gubernur Senior, Deputi Gubernur,
dan/atau pejabat Bank Indonesia tidak dapat dihukum
karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang
sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang ini sepanjang dilakukan
dengan iktikad baik.

Demikian juga dalam Pasal 29 Peraturan Pemerintah Pengganti


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2008
Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan

Pasal 29

Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan/atau


pihak yang melaksanakan tugas sesuai Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tidak dapat
dihukum karena telah mengambil keputusan atau
kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang ini.

Perpu tersebut kemudian ditolak oleh DPR, maka tidak bisa


menjadi undang-undang.

Dalam kaitannya dengan BLBI, perbah diterbitkan produk


hukum Presiden yaitu R & D (Release & Discharge) bagi
pengemplang dana BLBI yang berjanji mau mengembalikan
dana yang dikemplangnya.

MUDZAKKIR | PIDANA MATI BAGI KORUPTOR 9


5. Dalam praktek hukum di Indonesia belum pernah ada pelaku
tindak pidana korupsi yang terbukti bersalah dijekana sanksi
ancaman pidana mati. Bahkan terhadap ancaman sanksi
pidana lain, umumnya sekitar ancaman pidana minimum
khusus ditambah sedikiti dan amat jarang dikenakan sanksi
yang berat, melebihi 10 tahun penjara.

C. EFEKTIVITAS ANCAMAN PIDANA MATI

Membahas efektivitas ancaman pidana mati dalam undang-


undang tindak pidana korupsi terlebih dahulu dijelaskan mengenai
pengertian efektivitas.

Efektivitas dalam hukum pidana dan dalam ilmu social atau


ekonomi berbeda, maka hendaknya membahas mengenai
efektivitas menggunakan para meter hukum pidana. Menurut
doktrin hukum pidana yang dimaksud dengan hukum itu efektif
dibedakan menjadi tiga (3) hal yaitu:

1. Yuridis:

Apabila suatu hukum diberlakukan atau diundangkan dalam


lembaran Negara dan dinyatakan berlaku sebagai hukum.

2. Filosofis:

Suatu hukum itu dinyatakan berlaku efektif apabila hukum


tersebut mendasarkan kepada landasan filosofis Negara yang
memuat nilai yang sesuai dengan nilai yang hendak ditegakkan
dalam penyelenggaran Negara. Jika suatu norma hukum
tersebut, meskipun secara yuridis berlaku efektif, tetapi jika
muatan materinya bertentangan dengan nilai filosofis, tidak
berlaku efektif. Bahkan, keberlakuan hukum tersebut dapat
dibatalkan keberlakuannya sebagai norma hukum oleh
Mahkamah Konstitusi setelah melalaui pengujian secara
materiil (judicial review).

3. Empirik/sosiologis:

MUDZAKKIR | PIDANA MATI BAGI KORUPTOR 10


Efektivitas keberlakuan hukum dikuru dari aspek empiric atau
sosiologis, yaitu apakah hukum tersebut benar-benar ditaati
oleh masyarakat secara nyata/faktual dan apakah jika ada
orang yang melanggar hukum, sanksi hukumnya benar-benar
ditegakkan kepada pelanggar hukum tersebut atau tidak.

Dalam sejarah penegakan hukum pidana di Indonesia, tidak


pernah ada pelaku tindak pidana korupsi yang dijatuhi pidana mati
karea melanggar Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun
2001 tentang Pemberantsan Tindak Pidan Korupsi.

Pertanyaan yang dijaukan adalah apakah ancaman sanksi pidana


mati yang dimuat dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20
tahun 2001 tentang Pemberantsan Tindak Pidan Korupsi telah
berlaku secara efektif?

D. SUATU PEMIKIRAN PADA MASA DATANG

Usulan suatu pemikiran di masa datang:

1. Adanya ancaman sanksi pidana mati yang diancamkan


terhadap tindak pidana korupsi dengan syarat-syarat khusus
tersebut merupakan bentuk ancaman yang sudah tepat. Oleh
sebab itu, perlu dipertahankan model perumusan ancaman
pidana mati yang demikian ini.

2. Syarat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)


dan penjelasannya tersebut masih belum tegas dan jelas,
semestinya syarat khusus tersebut tegas, jelas, dan pasti tidak
memberikan ruang untuk melakukan interpretasi yang luas
atau mengambang.

3. Pidana mati ditujukan kepada pelaku resivis tersebut, kurang


tepat, karena umumnya pelaku tindak pidana korupsi setelah
dinyatakan bersalah diberhentikan dari jabatannya dan
menjabat lagi, sedangkan pelaku tindak pidana korupsi
umumnya adalah pejabat. Jika ia melakukan tindak pidana

MUDZAKKIR | PIDANA MATI BAGI KORUPTOR 11


korupsi, tentu saja kedudukannya tidak sebagai pejabat,
misalnya suap atau pelaku peserta dengan pejabat. Hal yang
perlu diperhatikan adalah pengulangan yang dimuat dalam
penjelasan Pasal 2 ayat (2) tersebut ditujukan kepada
pengulangan Pasal 2 ayat (2) atau ayat (1), atau pengulangan
terhadap semua tindak pidana korupsi yang dimuat dalam
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang
Pemberantsan Tindak Pidan Korupsi? Jika pengulangan dalam
arti luas, berarti rumusan tersebut tidak adil atau bertentangan
dengan hak asasi manusia.

4. Karena tindak pidana korupsi berkaitan erat dengan keuangan


Negara dan perekonomian Negara yang hendak dipergunakan
untuk mensejahterakan rakyat Indonesia, maka nilai atau
jumlah kerugian keuangan Negara atau perekonomian sebagai
batas (nisab) khusus bagi perumusan pengancaman pidana
yang berat dan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana
korupsi, yang besaran batas (nisab) ditentukan berdasarkan:

a. Peruntukan dana untuk kepentingan sebagaimana yang


dirumuskan dalam Penjelasan pasal 2 ayat (2), besaran
nisabnya lebih rendah; dan

b. Keungan Negara atau perekonomian Negara atau dana


Negara untuk umum (pembangunan kesejahteraan
rakyat), besaran nisabnya lebih tinggi.

Jadi, ancaman pidana tidak hanya ditujukan kepada dana yang


diperuntukkan kepada dana yang dimuat dalam Penjelasan
pasal 2 ayat (2) saja, tetapi juga semua keuangan Negara
lainnya, tetapi yang membedakan adalah besaran batas nilai
kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara (nisab).

5. Perlu dipkirkan juga mengenai bentuk ancaman sanksi berupa


pengembalian uang Negara atau perkenomian Negara dengan
cara membayar kembali kepada Negara dan Negara
menggunakannnya sesuai dengan peruntukannya. Bisa juga
pelaku melakukan perbuatan tertentu untuk memulihkan

MUDZAKKIR | PIDANA MATI BAGI KORUPTOR 12


kembali dampak kejahatan korupsi yang ditimbulkan akibat
perbuatannya.

E. PENUTUP

Uraian tersebut menunjukkan bahwa perumusan ancaman sanksi


pidana mati sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 2 ayat (2)
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi masih jauh dari harapan bangsa Indonesia
yang hendak melakukan pemberantsan tindak pidana korupsi.

Atas dasar pertimbangan perumusan norma ancaman pidana mati


dan praktek pengakan hukum dan sinkronisasi perumusan norma
dan kebijakan dalam praktek penegakan hukum, sebaiknya
dimasa akan datang perumusan normanya lebih tegas, jelas dan
lugas, mempersempit ruang interpretasi dan pilihan bagi aparat
penegak hukum, dan ancaman pidana yang berat dan ancaman
pidana diperlukan syarat-syarat khusus dan batasan besaran nilai
kerugian di bidang keungan Negara atau perekonomian Negara
(nisab), sekaligus sebagai batasaan tindak pidana korupsi sebagai
kejahatan biasa, berat, dan sangat berat dengan tindak pidan
korupsi yang termasuk kategori kejahatan yang luar biasa (extra
ordinary crimes).

Semoga Allah swt selalu memberi petunjuk kepada kita untuk


menemukan kebenaran-Nya dan melaksanakan kebenaran
tersebut tersebut dalam bidang pekerjaan kita masing-masing,
amin.

Yogyakarta, 19 Desember 2010

Dr. Mudzakkir, S.H., M.H.

MUDZAKKIR | PIDANA MATI BAGI KORUPTOR 13

Anda mungkin juga menyukai