Anda di halaman 1dari 17

POLEMIK PENJATUHAN PIDANA MATI TERHADAP

PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA


PERSPEKTIF SOSIOLOGI KRIMINAL
Dosen pengampu : Dr. Rehnalemken Ginting, S.H., M.Hum.

Oleh :
Dewi Maesyaroh NIM S362302016

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2023

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat
dan hidayah-Nya, akhirnya penulis bisa menyelesaikan penyusunan makalah
dengan judul “Polemik Penjatuhan Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak
Pidana Korupsi Di Indonesia Perspektif Sosiologi Kriminal” dengan baik.
Makalah ini disusun guna memenuhi salah satu tugas ujian tengah semester mata
kuliah sosiologi kriminal. Makalah ini dapat terwujud berkat bantuan berbagai
pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih yang setulu-tulusnya
kepada:
1. Dr. Rehnalemken Ginting, S.H., M.Hum. selaku dosen pembimbing dalam
mata kuliah sistem peradilan pidana yang telah membimbing dengan
penuh kesabaran.
2. Kedua orang tua tercinta yang membimbing dan mendo’akan kami.
3. Rekan-rekan mahasiswa terutama semester 1 program studi magister ilmu
hukum konsentrasi hukum pidana ekonomi yang telah memberikan
masukan dan saran.
Demikianlah makalah ini kami susun, dengan segala kerendahan hati, penulis
berharap agar makalah ini dapat memberikan informasi bagi pembaca dan
bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan
bagi kita semua.

Surakarta, 15 April 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Tujuan Penulisan 3
BAB II PEMBAHASAN 4
2.1 Faktor Sosiologi Kriminal Mempengaruhi Penjatuhan Pidana Mati Bagi
Pelaku Tindak Pidana Korupsi ………….………………………….…..…..4
2.2 Penerimaan masyarakat terhadap pidana mati yang dijatuhkan bagi pelaku
tindak pidana korupsi……………………………………………………..…8

BAB III PENUTUP 12


3.1 Kesimpulan 12
3.2 Saran-Saran…………………………………………………………..….12
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….….…….13

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hukum adalah aturan yang melindungi kepentingan manusia dalam
masyarakat. Hukum juga diartikan sebagai seperangkat aturan baik yang
tertulis maupun tidak tertulis bersifat mengikat dan memaksa dan adanya
sanksi yang tegas bagi yang melanggarnya. Hukum bertujuan sebagai
perlindungan masyarakat terhadap kejahatan. Hukum pidana mengatur
tentang perbuatan apa yang dilarang dalam undang-undang yang memuat
ketentuan sanksi yang diberikan kepada pelaku pidana. Pidana adalah sebuah
penderitaan atau nestapa yang diberikan kepada pelaku kejahatan.
Sanksi pidana termuat dalam Pasal 10 KUHP dikenal dengan adanya dua
jenis pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok tersebut
meliputi pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan
pidana tutupan. Kemudian pidana tambahan meliputi pencabutan hak-hak
tertentu, penyitaan benda-benda tertentu dan pengumuman dari putusan
hakim. Perbuatan tindak pidana korupsi sendiri mempunyai sanksi hukum
yang dapat dikenakan terhadap pihak-pihak yang melakukannya. Mengingat
semakin merajalelanya tindak pidana korupsi di Indonesia. Maka tidak salah
jika hukuman mati diterapkan terhadap pelaku korupsi yang merugikan
keuangan dan perekonomian negara.
Indonesia adalah salah satu negara yang mengakui legalitas hukuman
mati sebagai salah satu sanksi dari pelaku tindak pidana. Hukuman mati
dinilai sebagai hukuman yang paling berat dan menakutkan. Salah satu tindak
pidana di Indonesia yang dapat dijatuhi hukuman pidana mati adalah pelaku
tindak pidana korupsi. Dalam sebuah website https://news.detik.com/berita/
Jaksa Agung ST Burhanuddin berpendapat penerapan hukuman mati bagi
kasus korupsi harus diperlukan karena fenomena korupsi di Indonesia
semakin menggurita, akut dan sistematik yang menjadi pandemi hukum di
setiap lapisan masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada ancaman hukuman yang
dapat memebrikan efek jera bagi koruptor.

1
Hukuman pidana mati yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
menyatakan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat
dijatuhkan. Namun, meskipun ada peraturan yang mengatur hukuman mati
selama berlakunya undang-undang ini pemberian hukuman mati terhadap
koruptor belum pernah diterapkan di Indonesia.
Pidana dinilai sebagai materi dari suatu undang-undang yang memiliki
tujuan oleh pembentukannya. Tujuan pemidanaan pada hakekatnya berfungsi
sebagai perlindungan masyarakat dan perlindungan atau pembinaan terhadap
pelaku tindak pidana.1 Permasalahan yang timbul adalah tindak pidana
korupsi semakin merajalela dan adanya pergeseran tujuan pemidanaan yang
dianggap mencederai rasa keadilan masyarakat, maka pidana mati sebagai
sanksi paling berat dalam hukum pidana diterapkan kepada pelaku koruptor.
Disisi lain adanya perlindungan terhadap pemenuhan HAM terhadap setiap
warga negara, sebagian masyarakat berdalil penjatuhan sanksi pidana mati
dianggap melanggar hak-hak kemanusiaan. Perlindungan hak untuk hidup
dalam HAM menjadi bagian paling krusial dalam penjatuhan sanksi pidana
mati bagi koruptor.
Polemik hukuman mati (death penalty) bagi koruptor merupakan obyek
rutinitas kontroversial di Indonesia. Hukuman mati di Indonesia tidak
menjadi polemik kontroversial apabila pelaksanaannya segera dilakukan sejak
putusan berkekuatan tetap, sehingga terpidana tidak perlu menunggu
bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun. Tindak pidana korupsi sudah
dianggap sebagai serious crimes, karena itu diperlukan upaya pencegahan
dengan memberlakukan hukuman mati.2 Tindak pidana korupsi merupakan

1
Septa Candra, “Restorative Justice: Suatu Tinjauan Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Di
Indonesia (Restorative Justice: A Review of Criminal Law Reform in Indonesia),” Jurnal
Rechtsvinding 2, no. 2 (2013): 265.
2
Indriyanto Seno Adji, 2009, Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media, Jakarta, hlm.12.

2
kejahatan yang termasuk dalam extra ordinary crime yang dampaknya juga
sangat besar terhadap perekonomian negara.3
Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terdapat dalam website
https://dataindonesia.id/ terdapat 1261 kasus korupsi tercatat sejak tahun 2004
sampai dengan 3 januari 2022 dan kasusnya semakin bertambah setiap
tahunnya. Berdasarkan wilayahnya korupsi paling banyak terjadi di
pemerintah pusat yakni 409 kasus. Posisinya disusul oleh Jawa Barat dengan
118 kasus. Sebanyak 109 kasus korupsi terjadi di Jawa Timur. Kemudian ada
84 kasus korupsi yang terjadi di Sumatera Utara. Kasus korupsi yang terjadi
di Riau dan Kepulauan Riau serta DKI Jakarta masing-masing sebanyak 68
kasus dan 64 kasus. Di Sumatera Selatan ditemukan kasus korupsi sebanyak
55 kasus korupsi. Sementara, Jawa Tengah menduduki posisi kedelapan
dalam daftar ini. Tercatat ada 53 kasus korupsi yang ditangani KPK di Jawa
Tengah. Bertambahnya korupsi setaip tahunnya tidak hanya menimbulkan
bencana terhadap kehidupan ekonomi sosial yang berpengaruh terhadap
keberlangsungan bangsa dan negara pada umumnya. Dengan demikian negara
perlu menerapkan hukuman yang sesuai terhadap para pelaku koruptor.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana faktor sosiologi kriminal mempengaruhi penjatuhan pidana
mati bagi pelaku tindak pidana korupsi ?
2. Bagaimana penerimaan masyarakat terhadap pidana mati yang dijatuhkan
bagi pelaku tindak pidana korupsi ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor sosiologi kriminal
mempengaruhi penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis penerimaan masyarakat terhadap
pidana mati yang dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana korupsi.

3
Alfons Zakaria Muhammad Arif Pribadi, Lucky Endrawati, “Eksistensi Pidana Mati Dalam
Tindak Pidana Korupsi Terkait Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia,” Jurnal Mahasiswa
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (2015): hlm.5.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Faktor Sosiologi Kriminal Mempengaruhi Penjatuhan Pidana Mati Bagi


Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Menurut definisinya, korupsi sebagai perilaku penyimpangan adalah
aturan moral formal yang melanggar otoritas publik (penguasa). Korupsi
sering dilakukan oleh orang -orang dengan kekuasaan atau otoritas. Jika
seseorang tidak memiliki kekuatan, maka ia tidak mungkin menerapkan
korupsi. Sistem yang buruk memberikan kesempatan kepada pelaku untuk
melakukan korupsi. Jika berkaca dari negara-negara maju tindak pidana
korupsi jarang ditemukan karena tertatanya sistem dengan sangat baik.
Korupsi di Indonesia dari rezim ke rezim masih belum bisa diberantas
karenasmeakin mengakar dan dilakukan secara masif. Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) instansi yang memiliki wewenang dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi, melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi.
Strategi pemberantasan korupsi dilakukan melalui strategi preventif
(pencegahan), strategis detektif (pengusutan) dan strategi refresif (penjatuhan
pidana). Maka penjatuhan pidana mati bagi koruptor menjadi satu pilihan dari
beberapa pilihan dalam pemberantasan korupsi. Legalitas pemberian
hukuman mati terdapat dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UU
No. 20 Tahun 2001 Pasal 2 ayat (2) dimana pidana mati dapat dijatuhkan
kepada koruptor yang melakukan tindak pidana korupsi dalam keadaan
tertentu yaitu dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai
dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadinya bencana alam
nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi atau pada waktu negara
dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Keberadaan pidana mati bukan hanya menjadi sebuah permasalahan yang
terjadi di Indonesia namun juga terjadi di banyak Negara lainnya. Hal ini
dapat dilihat dari pendapat Von Henting yang secara terang-terangan menolak
mengenai keberadaan lembaga pidana mati. Beliau berpendapat, ada

4
pengaruh yang kriminogen dari pada pidana mati ini terutama sekali
disebabkan karena negara telah memberikan suatu contoh yang jelek dengan
pidana mati tersebut sebenarnya negara lah yang berkewajiban untuk
mempertahankan nyawa manusia, dalam keadaan yang bagaimanapun.4
Kaitannya dengan tindak pidana korupsi, tinjauan aspek sosiologi
kriminal sangat penting sebagai upaya untuk mengetahui penyebab utama
seseorang melakukan kejahatan dan faktor-faktor apa saja yang
mendukungnya. Sedangkan jika dilihat dari sudut hukum pidana maka hanya
akan terpaku pada konstruksi undang-undang yang memberikan defnisi
terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai korupsi dalam batasan-
batasan tertentu. Korupsi dan kekuasaan selalu berdampingan layaknya dua
sisi mata uang seperti yang disampaikan Lord Acton yaitu “Power Tends to
Corruupt and Absolute Power Corrupt Absolutely.”
Konteks Victim Participation menyebutkan dengan adanya kekuasaan ini
negara sebagai korban perbuatan korupsi secara tidak langsung memberikan
kesempatan kepada pelaku untuk melakukan korupsi. Kualifikasi kekuasaan
dapat menimbulkan korupsi semakin jelas bahwa korupsi selalu dan akan
mempunyai hubungan yang erat dengan kondisi politik dan lembaga
pemerintahan. Kewenangan yang diperoleh seseorang dimanfaatkan untuk
keuntungan pribadi dilakukan sebagai kejahatan individu atau dapat juga
dilakukan sebagai bentuk dari kejahatan korporasi dengan tujuan meraup
keuntungan yang sebesar-besarnya. Tindak korupsi yang terjadi merupakan
cerminan dari krisis kebijakan dan representasi rendahnya akuntabilitas
birokrasi publik.
Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan
pimpinan PT Trada Alam Minera Heru Hidayat bersalah melakukan korupsi
dan tindak pidana pencucian uang dalam kasus PT ASABRI. Dalam
putusannya Heru Hidayat dijatuhkan pidana dengan pidana nihil. Vonis nihil
diartikan sebagai tidak ada penambahan hukuman pidana penjara, lantaran

4
Djoko Prakoso & Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana
Mati di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hlm 127.

5
hukuman yang diterima terdakwa dalam kasus sebelumnya jika diakumulasi
sudah mencapai batas maksimal yang diperbolehkan undang-undang. Dalam
website https://www.medcom.id/ Heru sebelumnya memang sudah dihukum
seumur hidup terhadap perkara PT Jiwasraya dengan kerugian negara
mencapai Rp16 triliun. Adapun dalam kasus PT ASABRI, kerugian negara
mencapai Rp22,7 triliun. Jika dilihat dari sosiologi kriminal, dengan jumlah
kerugian negara yang tidak sedikit dalam kasus ini sangat dimungkinkan
pelaku dijatuhi hukuman pidana mati.
Hukuman mati memang masih menjadi perdebatan. Tidak sedikit yang
kontra karena hukuman semacam itu melanggar hak hidup sebagai hak dasar
manusia. Bagi mereka, hanya Tuhan yang punya kuasa atas nyawa seseorang.
Bukan orang lain, siapa pun dia, apa pun alasannya. Namun jika dilihat dari
sudut pandang sosiologi kriminal hukuman mati kiranya ampuh sebagai
shock therapy dalam memberantas kejahatan tingkat tinggi termasuk korupsi.
Pidana mati merupakan salah satu jenis pidana yang paling berat bagi
pelaku tindak pidana. Legalitas hukuman mati terhadap koruptor sudah diakui
dalam undang-undang. Pidana mati jenis ini berupa menghilangkan nyawa
pelaku tindak pidana sebagai akibat dari perbuatan pidana yang dilakukannya.
Ketentuan pidana mati ini bersifat umum artinya dapat diterapkan baik dalam
tindak pidana yang diatur dalam KUHP maupun tindak pidana yang diatur di
luar KUHP kecuali peraturan tersebut mengatur berbeda. konsep due process
of law di negara hukum didasari atas konsep hukum tentang keadilan yang
fundamental. Dalam kasus korupsi impelementasi due process of Law dapat
dilakukan dengan menerapkan hukuam mati kepada pelaku tindak pidana
korupsi dalam keadaan tertentu.
Pemberian hukuman mati kepada pelaku tindak pidana korupsi didukung
oleh teori retributivisme. Teori retribusionisme berpendapat bahwa hukuman
mati itu sah untuk beberapa kejahatan yaitu kejahatankejahatan yang besar.
Kelompok ini berbeda dengan teori rehabilitasionisme, teori retributivisme
percaya bahwa tujuan utama dari hukuman mati adalah untuk menghukum.
Maka manusia yang bertanggung jawab secara rasional dan moral, dan

6
manusia tahu bahwa karena kejahatannya lebih baik dihukum. Sementara
hukuman mati merupakan usaha untuk melindungi orang-orang yang baik
dan terlebih bahwa maksud hukuman mati yang utama adalah menghalangi
kejahatan manusia.5
Prinsip Indonesia sebagai negara hukum akan terwujud dengan baik,
karena hukum tidak tunduk kepada kekuasaan. Pelaku korupsi biasanya
adalah mereka yang memiliki kekuasaan. Selama ini para koruptor cenderung
dihukum sangat ringan. Dengan melihat faktor-faktor maupun penyebab
seseorang melakukan tindak pidana korupsi, seharusnya hukuman mati bagi
koruptor tidak terbatas pada tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam
keadaan tertentu. Selama perbuatan menimbulkan kerugian keuangan
terhadap negara dalam jumlah yang sangat besar dan berdampak pada
pertumbungan dan perkembangan ekonomi negara maka hukuman mati
kepada pelaku tindak pidana korupsi dapat digunakan sebagai premium
remedium. 6
Sampai saat ini belum pernah para koruptor yang didakwa dengan
ancaman pidana mati yang kemudian menjadi pijakan bagi hakim untuk
menjatuhkan vonis mati. Hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana
korupsi apabila dilihat dari perspektif sosiologi kriminal yaitu :
1. Memperbaiki tananan kehidupan masyarakat karena dekadensi moral
mengakibatkan koruptor merasa bahwa korupsi itu lumrah karena
banyak yang telah melakukannya. Hancurnya keteraturan sosial dan
hilangnya nilai-nilai membuat korupsi menjadi hal yang dinormalkan
sehingga hukuman yang setimpal dapat menjadikan masyarakat
menjadi enggan melakukan korupsi.

5
Nomor April and Daniel Sutoyo, “Tinjauan Teologis Terhadap Wacana Penerapan Hukuman
Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia,” Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani
3, no. 2 (2019): 179.
6
Daud Munasto, “Kebijakan Hukuman Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dikaji Dalam
Perspektif Sosiologi Hukum Abstrak Abstract Tindak Pidana Korupsi Yang Popular Disebut
Sebagai Penyalahgunaan Kekuasaan Untuk Keuntungan Pribadi Pada Dasarnya Merupakan
Masalah Keadilan,” Widya Pranata Hukum 4, no. 1 (2022): 28.

7
2. Hukuman mati sebagai sarana pencegahan umum untuk memberikan
penjeraan kepada orang lain di luar pelaku agar tidak melakukan
kejahatan.
3. Hukuman mati sebagai pencegahan khusus dimaksudkan agar pelaku
menjadi jera untuk tidak mengulangi tindak pidana lagi.
4. Hukuman buka hanya persoalan hukum pidana, namun bersifat
kriminal yang berkaitan dengan ekonomi, politik, sosiologis dan
psikologis.
5. Hukuman mati dapat dijadikan sebagai alternative pemidanaan untuk
memperbaiki tatanan kekuasaan agar para pelaku kejahatan dapat
menjunjung tinggi kejujuran dan aturan perundang-undangan.
Pelaksanaan pidana mati bagi pelaku kejahatan, seharusnya bukanlah
termasuk pelanggaran dibidang hak asasi manusia, mengingat pada dasarnya
para koruptor telah menyengsarakan rakyat secara perlahan yaitu dengan
mengambil hak-hak rakyat secara tidak sah. Akhirnya rakyat menjadi
menderita akibat kemiskinan, kelaparan, kurangnya biaya pendidikan dan
kesehatan. Semula banyak pihak menduga bahwa hukuman mati hanya
sekedar gertakan demi menimbulkan efek jera dan tidak pernah benar-benar
dilaksanakan. Pada kenyataannya banyak terpidana mati di Indonesia yang
tidak semua benarbenar di eksekusi. Ada yang dirubah hukumannya menjadi
seumur hidup, ada yang mendapat grasi dari Presiden, ada pula yang
kemudian bebas setelah menjalani hukuman penjara puluhan tahun. Hukuman
mati bagi para koruptor dapat dipertegas dengan tidak memberi toleransi
toleransi bagi pejabat negara yang merugikan keuangan negara dengan
jumlah yang tidak sedikit. Hukuman terberat layak meraka dapatkan agar
negara tidak lagi terus merugi karena oknum yang menyeleweng dengan
dasar kepentingan pribadi.
2.2 Penerimaan Masyarakat Terhadap Pidana Mati Yang Dijatuhkan Bagi
Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Penjatuhan hukuman mati masih menuai pro dan kontra di masyarakat.
Meski banyak pihak yang menentangnya beberapa pihak tetap mendukung

8
pelaksanaan hukuman mati tersebut. Argumentasi menolak atau menghapus
hukuman mati (abolisionis) dengan berdalil pengingkaran terhadap hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaaan apapun seperti termuat
dalam pasal 28I ayat (1) UUD 1945 bahwa “Hak untuk hidup adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Bertahannya hukuman mati di Indonesia (retentionist) dikarenakan sejumlah
pihak mendukung argument perlindungan korban, penanggulangan kejahatan,
normatif dan lainnya. Mereka menyatakan bahwa hukum jangan hanya
berpihak pada HAM pelaku kejahatan tetapi juga pada HAM korban.
Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada setiap individu dari
awal kelahiranya dan hanya akan hilang saat meninggal dunia. Mengai Hak
Asasi Manusia secara kodrati bersifat universal harus di lindungi, dihormati,
dipertahankan, tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun.
Hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada harkat martabat manusia
sebagai anugrah ilahi dan bersifat suci.7 Pada dasarnya sebagai negara hukum
terlihat dalam konstitusi Indonesia sangat memperhatikan Hak Asasi
Manusia. Dalam pembukaan maupun batang tubuh telah ditemukan
pengakuan perlindungan Hak Asasi Manusia.
Jika hanya membaca Pasal 28I ayat (1) itu saja, maka memang terkesan
konstitusi “melarang hukuman mati” tetapi begitu jika dibaca secara lengkap
Pasal 28I ayat (1) maupun Pasal 28J ayat (2) maka dapatlah ditarik suatu
kesimpulan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, tetapi
pelaksanaan hak tersebut harus dibatasi bahwa pelaksanaan semua hak
tersebut haruslah sesuai dengan undang-undang, pertimbangan moral, sesuai
dengan nilai agama dan sesuai dengan keamanan serta ketertiban umum.

7
Randlom Naning , Cita Dan Citra Hak Asasi Manusia Indonesia. Jakarta : Lembaga krimonologi
UI. hlm 25.

9
Dengan demikian dikecualikannya jaminan hak yang terdapat dalam Pasal
28I ayat (1) itu dimungkinkan jika berdasarkan undang-undang.
Romli Atmasasmita berpendapat bahwa sanksi hukuman pidana mati
dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi tidak efektif. Sebab, sejak
Undang-undang tersebut diundangkan, sampai sekarang belum ada satupun
pelaku tindak pidana korupsi yang dikenakan hukuman mati. Semestinya
Indonesia fokus pada pencegahan dan tidak lagi melakukan cenderung
menyosialisasikan pidana mati kepada pelaku tindak pidana korupsi.
Atmasasmita berpendapat sebaiknya Indonesia mulai mencontoh Cina yang
tidak lagi menerapkan hukuman mati pada terdakwa korupsi tapi sudah mulai
untuk melakukan pencegahan agar korupsi tidak terus terjadi. 8 Kontra
terhadap eksitensi pidana mati juga disampaikan oleh Prof. Dr. Sudarto, SH
yang menyatakan bahwa hilangnya nyawa manusia berarti hilangnya nyawa
manusia itu sendiri. Kekeliruan dari pengadilan selalu dapat terjadi, dan kalau
hal ini terjadi dalam penjatuhan hukuman mati, maka tidak ada kemungkinan
lain sama sekali untuk memperbaiki.9
Pendapat lain menyampaikan bahwa hukuman mati tetap diperlukan
dan tidak perlu dihapuskan dengan didasari pada pertimbangan. Dengan
memberikan hukuman mati pada pelaku kejahatan yang melakukan tindakan
yang sangat keji, dapat memberikan efek jera yang lebih kuat dibandingkan
hukuman lainnya. Beberapa orang mempertahankan hukuman mati karena
dianggap secara efektif memberikan efek pencegahan pada pelaku tindak
kriminal dilakukan dengan memperkuat sistem peradilan pidana dan
memberikan keadilan.
Marjono Reksodiputro adalah tokoh pembaharuan hukum pidana yang
memberikan dukungan pemberian hukuman mati melalui pendapatnya yang
menyatakan hukuman mati dapat mengurangi kejahatan. Dan penghapusan
hukuman mati tidak dapat dibuktikan bahwa pidana mati itu tidak efektif.
Dalam sistem peradilan pidana harus diberikan pemidanaan yang tepat
8
ICJR, Politik Kebijakan Hukuman Mati Di Indonesia Dari Masa Ke Masa, Icjr, vol. 1 (Jakarta
Selatan: Institute for Criminal Justice Reform, 2017).
9
Ibid., hlm. 11.

10
sebagai upaya perlindungan terhadap masyarakat. Marjono Reksodiputro
berpendapat bahwa bisa saja hukum pidana yang ada belum melindungi
masyarakat secara menyeluruh namun hanya melindungi sebagian kelompok
saja.10 Mantan wakil ketua Mahkamah Agung R. Santoso Pedjosoebroto juga
berpendapat pidana mati adalah senjata pamungkas akhir dalam keadilan.11
Kecenderungan para ahli yang setuju pidana mati tetap dipertahankan
eksistensinya, umumnya didasarkan pada alasan konvensional yaitu
kebutuhan pidana mati sangat dibutuhkan guna menghilangkan orang-orang
yang dianggap membahayakan kepentingan umum atau Negara dan dirasa
tidak dapat diperbaiki lagi, sedangkan mereka yang kontra terhadap pidana
mati lazimnya menjadikan alasan pidana mati bertentangan dengan hak asasi
manusia dan merupakan bentuk pidana yang tidak dapat lagi diperbaiki
apabila setelah eksekusi dilakukan diemukan kesalahan atas vonis yang
dijatuhkan hakim.
Diantaranya pidana lainnya hukuman mati adalah cara pemidanaan
sadis akan mencegah banyak orang untuk membunuh karena gentar akan
hukuman yang sangat berat. Jika pada hukuman penjara, penjahat bisa saja
tidak jera dan bisa juga mengulangi perbuatannya setelah mereka keluar dari
penjara. Hukuman mati yang diberikan kepada pelaku kejahatan dinilai akan
memutus perilaku jahat seseorang dan hukum semestinya dapat menjalankan
fungsinya sebagai alat untuk memelihara kehidupan yang luas. Hukuman
mati bagi pelaku tindak pidana korupsi harus tetap diberlakukan dengan
rumusan yang tepat. Dengan pertimbangan sosiologi kriminal yang baik,
seseorang yang menyebabkan kerugian keuangan negara berskala besar
melalui tindak pidana korupsi dapat dihukum mati.

10
Marjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana (Melihat Kepada Kejahatan Dan Penegakan
Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi), Jakarta : Pusat Pelatihan Keadilan Dan Pengabdian Hukum
Universitas Indonesia, 2007, hlm. 2.
11
Ibid

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Faktor sosiologi kriminal mempengaruhi penjatuhan pidana mati bagi
pelaku tindak pidana korupsi dikarenakan sosiologi kriminal melihat
tindak pidana korupsi dari berbagai faktor ataupun penyebab orang
melakukan tindak pidana korupsi. Fenomena korupsi di Indonesia
semakin meluas dan sistematik perlu hukuman mati yang secara
legalitas dinilai ideal memberikan efek jera bagi koruptor.
2. Penerimaan masyarakat terhadap pidana mati yang dijatuhkan bagi
pelaku tindak pidana korupsi menuai pro dan kontra. Hukuman mati
pada pelaku kejahatan yang melakukan tindakan dapat memberikan
efek jera yang lebih kuat dibandingkan hukuman lainnya. Namun, disisi
lain menolak dan mendukung penghapusan hukuman dengan berdalil
pengingkaran terhadap hak asasi manusia.
3.2 Saran-Saran
1. Bagi aparat penegak hukum pemberian sanksi hukuman mati bagi
pelaku tindak pidana korupsi harus tetap diberlakukan dengan rumusan
yang tepat.
2. Bagi masyarakat pemahaman mengenai pidana mati kepada koruptor
dapat dipergunakan sebagai sarana preventif memelihara tatanan
kehidupan yang luas untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi.

12
DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Djoko Prakoso & Nurwachid. 1984. Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai
Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Indriyanto Seno Adji. 2009. Korupsi dan Penegakan Hukum. Jakarta : Diadit
Media.
Marjono Reksodiputro. 2007. Sistem Peradilan Pidana (Melihat Kepada
Kejahatan Dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi). Jakarta :
Pusat Pelatihan Keadilan Dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia.
Randlom Naning. Cita Dan Citra Hak Asasi Manusia Indonesia. Jakarta :
Lembaga krimonologi UI.
Tim ICJR. 2017. Politik Kebijakan Hukuman Mati di Indonesia dari Masa ke
Masa, Jakarta : Institute For Criminal Justice Reform (ICJR).
Jurnal Nasional :
April, Nomor, and Daniel Sutoyo. “Tinjauan Teologis Terhadap Wacana
Penerapan Hukuman Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Di
Indonesia.” Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani 3, no. 2 (2019): 171–
198.

Candra, Septa. “Restorative Justice: Suatu Tinjauan Terhadap Pembaharuan


Hukum Pidana Di Indonesia (Restorative Justice: A Review of Criminal Law
Reform in Indonesia).” Jurnal Rechtsvinding 2, no. 2 (2013): 263–277.

ICJR. Politik Kebijakan Hukuman Mati Di Indonesia Dari Masa Ke Masa. Icjr.
Vol. 1. Jakarta Selatan: Institute for Criminal Justice Reform, 2017.

Muhammad Arif Pribadi, Lucky Endrawati, Alfons Zakaria. “Eksistensi Pidana


Mati Dalam Tindak Pidana Korupsi Terkait Pembaharuan Hukum Pidana Di
Indonesia.” Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
(2015): 1–20.

Munasto, Daud. “Kebijakan Hukuman Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Dikaji Dalam Perspektif Sosiologi Hukum Abstrak Abstract Tindak Pidana

13
Korupsi Yang Popular Disebut Sebagai Penyalahgunaan Kekuasaan Untuk
Keuntungan Pribadi Pada Dasarnya Merupakan Masalah Keadilan.” Widya
Pranata Hukum 4, no. 1 (2022): 24–38.

14

Anda mungkin juga menyukai