Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan,
memutarbalik atau menyogok.[1] Era reformasi yang sedang berjalan di Indonesia di warisi oleh banyak
sekali persoalan yang terjadi di era sebelumnya.Salah satu persoalan yang membutuhkan perhatian serius
adalah persoalan di bidang hukum, terutama masalah korupsi. Hal ini disebabkan karena di bidang ini
persoalan yang ada terus menumpuk. Kasus-kasus korupsi di era sebelumnya yang masih belum
terselesaikan ditambah oleh banyaknya kasus korupsi yang justru terjadi di era reformasi ini.[ 2] Isu
korupsi di Indonesia sampai saat ini belum membawa pada titik terang bebas dari korupsi, tetapi malah
sebaliknya korupsi menjadi merajalela. Praktik korupsi tidak lagi hanya sebatas kejahatan struktural dan
pelanggaran moral, tapi lebih dari itu, korupsi telah menciptakan banalitas korupsi. Banal, sama artinya
menjadikan korupsi sebagai sesuatu yang lumrah, biasa, wajar, bahkan menjadi prinsip penggerak
kehidupan sehari-hari.
Korupsi telah mengakar dan cenderung diterima oleh masyarakat. Saat ini telah muncul situasi tidak
adanya lagi budaya malu untuk melakukan korupsi, serta salah persepsi dan salah pengertian akan
dampak negatif korupsi terhadap perkembangan politik, ekonomi dan sosial.[ 3] Demikian korupsi yang
ada di Indonesia bukan lagi menggejala, tetapi telah membudaya ke semua lapisan masyarakat, dari
pejabat tinggi (pusat) hingga para pejabat di daerah-daerah. Perbuatan atau fenomena korupsi tidak hanya
sekadar merugikan bangsa dan negara, tetapi juga merusak masyarakat secara umum dan tindak pidana
korupsi sebagai bentuk pengkhianatan amanat rakyat, yang dapat mengancam moral generasi penerus
bangsa, yang mengganggu stabilitas nasional, kredibilitas dan merusak citra bangsa ini di mata
internasional. [4]
Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka peluang adanya hukuman mati bagi koruptor, namun
sebenarnya Indonesia telah memiliki aturan pidana mati bagi koruptor. Aturan itu tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tepatnya pada Pasal 2 ayat 2. Bunyi pasal
tersebut adalah “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam
keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. Berdasarkan hal tersebut maka pidana mati dapat
diterapkan namun tindak korupsi tersebut dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu. Ancaman pidana
mati tersebut selama disahkannya Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak
pernah diterapkan sehingga hanya sebagian kecil masyarakat yang mengetahui bahwa terdapat ancaman
pidana mati dalam tindak pidana korupsi. Maka dari itu tidak jarang masyarakat Indonesia yang menuntut
untuk menghukum mati para koruptor. Melihat hal tersebut maka perlu dikaji lebih lanjut mengenai
keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan dapat diterapkannya pidana mati bagi pelaku korupsi.

2. Rumusan Masalah
 Bagaimana penerapan Hukum Mati bagi pidana koruptor di Indonesia?
 Apa kekurangan dan kelebihan dalam penerapan Hukuman Mati koruptor?

3. Tujuan Penulisan
 Untuk memenuhi tugas perkuliahan
 Mengetahui kekurangan dan kelebihan dalam penerapan Hukuman Mati koruptor
 Mengetahui bagaimana penerapan Hukuman Mati bagi pidana koruptor di Indonesia

4. Manfaat Penulisan
 Mengetahui sejauh mana harapan masyarakat dalam pelaksanaan Hukuman Mati koruptor di
Indonesia
 Sebagai referensi dan bahan bacaan bagi masyarakat

5. Metode Penulisan
Makalah ini menggunakan metode penelitian kuantitatif yang bersifat deskritif, data dikumpulkan
melalui Teknik Trigulasi atau gabungan, kemudian dianalisi secara kualitatif dengan sifat riset dan juga
analisa. Metode ini akan melakukan eksplorasi terhadap suatu kejadian atau aktivitas untuk selanjutnya
diteliti melalui observasi. Dan juga menggunakan metode penelitian sosial yang mana mengikuti banyak
fenomena sosial yang terjadi saat ini. Mengumpulkan banyak sumber lalu menganalisanya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Penerapan Hukuman Mati bagi Pidana Koruptor di Indonesia

Wacana ini banyak menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat, antara pro dan kontra mereka
mempunyai argument masing-masing. Bagaimana pun koruptor adalah manusia yang juga mempunyai
hak asasi manusia, hak untuk hidup. Memang koruptor melakukan kesalahan yang merugikan banyak orang. Tapi
semua orang melakukan kesalahan, dan semua orang dapat memperbaikinya. Manusia bisa melakukan
kekhilafan, begitu juga dengan orang yangmelakukan korupsi. Berikut beberapa alasan hukuman mati itu
tidak boleh :
1. Pro Hukuman Mati bagi Koruptor
Pengadilan harus menjunjung tinggi asas kepastian hukum dan keadilan. Sebab, koruptor adalah
pengkhianat negara yang merusak sistem perekonomian Indonesia dan berdampak fatal pada
pembangunan. Koruptor adalah pelaku pelanggaran HAM berat sehingga pantas dihukum mati.
karena menginginkan pidana mati berlaku dalam hukum positif Indonesia, namun dengan syarat
pengadilan di Indonesia telah bersih. Kedua hal tersebut bertentangan, sebab pada kenyataannya
pengadilan Indonesia saat ini belum dapat dikatakan bersih karena masih ada makelar-makelar kasus
yang berkeliaran dari pengadilan yang satu ke pengadilan yang lain. Dengan demikian, pidana mati
seharusnya dihapuskan dari hukum positif Indonesia saat ini, dan dimunculkan kembali kelak ketika
pengadilan Indonesia telah bersih. epat atau lambat pidana mati akan dihapuskan. Selain itu, salah
apabila dikatakan pidana mati adalah pidana yang paling efektif. Pidana mati itu gagal memberikan
efek jera, karena berdasarkan kenyataan kini korupsi masih merajalela dan sulit diberantas meski
sudah ada pidana mati. Bahkan presiden kita juga menegaskan bahwa pidana mati tidak efektif.
Selain itu, pidana mati bagi koruptor juga hanya untuk hal-hal tertentu saja dan sulit dijatuhkan bagi
kasus-kasus yang ada. pidana mati dari segi teoritis dan filosofis bahwa pidana mati masih berlaku
secara yuridis formal. Tidak benar bahwa pidana mati melanggar HAM. Bahkan MK sendiri
menyatakan hal tersebut. Juga UU Peradilan HAM No. 26 tahun 2000 mencantumkan pidana mati.
DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat masih membuat berbagai produk legislasi yang
mencantumkan hukuman mati sebagai pidananya. Dengan kata lain, rakyat pun masih menginginkan
adanya pidana mati Secara garis besar, ada tiga teori mengapa kita membutuhkan pidana mati.
Pertama, teori pembalasan, yakni untuk menyeimbangkan hak-hak dalam masyarakat. Kedua, teori
perbaikan sebagai upaya represif. Ketiga, teori efek jera sebagai upaya preventif agar terjadi
penurunan tingkat kriminalitas dan perbuatan jahat dapat diberantas.

2. Kontra Hukuman Mati bagi Koruptor


Sudah menjadi rahasia umum, korupsi adalah tindak kriminal yang sering menjadi pilihan bagi para
petinggi negara kita. Tindak kriminal tentunya sangat merugikan masyarakat awamIndonesia. Pajak
dan uang lainnya yang sudah diserahkan kepada negara malahdisalahgunakan. Lebih-lebih, para
koruptor tersebut mendapat status hukuman yang kurang jelas dan tidak membuat jera. Hal-hal seperti
inilah yang menyebabkan keluarnya opini untuk memberi hukuman mati bagi para koruptor.Kami di
sini berdiri sebagai pihak yang tidak setuju dengan pemberian hukuman mati bagikoruptor tersebut.
Berikut alasan-alasan yang memperkuat pernyataan kami atas tak setujunya penjatuhan hukuman
mati bagi koruptor. Lebih baik beri para koruptor hukuman penjara dengan jangka waktu yang sesuai
dengan undang-undang yang berlaku. Dan tentunya sita semua hartanya, minimal sebesar yang
dikorupsinya. Uang rakyat kembali, koruptor diharapkan jera, dan tak ada pertumpahan darah.
Pemerintah sangat diharapkan untuk sangat tegas dalam melakukan hal ini. Sehingga koruptor benar-
benar dibuat jera dengan lamanya hukuman di penjara yang tentunya merupakan penjara biasa yang
tanpa fasilitas apa pun, tercoreng nama baik dan keluarganya, dan hilangnya sebagian besar hartanya.
[5]
B. Kekurangan dan Kelebihan dalam Penerapan Hukuman Mati Koruptor
Indonesia merupkan negara hukum yang siapapun tidak boleh membantah hal tersebut, dengan dasar
pasal 1 ayat (3) UUD 1945 jelas bahwa Indonesia merupakan negara denagn penegakkan hukum, bukan
lagi the rule of law atau rechtstaat. Indonesia telah mengadopsi atau mencampurkan antara keduanya
dengan adanya keadilan administrasi yang berdiri sendiri dan tidak memopah lainnya dengan menjamin
penyetaraan ras ataupun penyamrataan data berada didepan hukum, telah tertulis dalam pasal 27 ayat (1)
Tahun 1945. Hukum pidana sendiri mempunyai istilah dan banyak pengertian. Orang melanggar
peraturan ini akan dikenakan hukuman sesuatu yang telah ia kerjakan sebelumnya yaitu merupakan
kejahatan. Dan segala peraturan yang berkaitan dengan kejahatan ataupun pelanggaran mutlak diatur oleh
Hukum Pidana. Hukum pidana sendiri artinya mengatur hubungan antara warga masyarakat dengan
memfokuskan kepada kepentingan umum. Terkain dengan penjatuhan hukuman atau pengenaan pidana,
tentu tidak lain adalah mengenai sanksi pidana. Dalam beberapa hal pidana memiliki beberapa jenis
sanksi pidana yang telah idatur pada pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).[ 6]
Menurut pakar sosiologi, Robertus Robert menilai bahwasannya tindakan hukum mati untuk para
koruptor bukan menjadi solusi atas tingginya angka kejahatan. Hukum mati hanya sebagai bentuk
kekeran yang dilakukan oleh negara yang akan menular pada masyarakat. Kegagalan berfikir kritis atau
kesalahan logika berfikir masyarakat dalam menyikapi bebagai persoalan sosial yang sudah jelas sedang
dilalui oleh masyarakat. Namun, melihat keadaan Indonesia saat ini yang ekstensitas ekonominya
menurun dikarenakan covid-19 dan mencuat desas desus korupsi dana bantuan sosial Jabodetabek.
Terkait dengan hukum mati bagi pelaku korupsi, ICW atau Koordinator Indonesia Corruption Watch turut
memberikan sejumlah pandangannya. Dengan reaksi ataupun respon yang ditampilkan oleh masyarakat
agar para koruptor tersebut dihukum mati yang merupkan kekecewaan mendalam atas upaya yang telah
dilakukannya upaya pemberantas korupsi yang tidak berjalan efektif. Ada beberapa negara yang masih
menggunakan teori hukum mati untuk para koruptor, diantaranya Myanmar, Laos, Korea Utara, Thailand,
Irak, China, Vietnam, dan Maroko. Negara tersebut hukum mati menjadi suatu meredam konstelasi serta
ketegangan antarelite di politburo yang kemudian menjadikan suatu isu korupsi dan hukum mati sebagai
alat untuk menjatuhkan lawan lainnya. Namun, apabila merujuk pada peringkat teratas negara yang dapat
dikatakan bersih dari tindakan korupsi iduduki oleh Denmark dan disusul oleh Selandia baru serta
Finlandia, singapura dan Swedia. Dan berbanding arah dengan negara tersebut, peringkat terbawah
berdasarkan data yang sama ditempati oleh Siria, Sudan Selatan, Yaman, Somalia, dan Korea Utara.
Namun dengan negara-negara yang skor CPI nya tergolong tinggi dan bersih dari skandal rumor korupsi
malah tidak memiliki atau penerapan praktik hukum mati. Maka dari fakta tersebut pemangku
kepentingan Indonesia mengambil kesimpulan bahwasannya hukum mati bukanlah cara terakhir untuk
memberantas dan mencabut praktik korupsi hingga ke akarnya. Negatifnya lagi, jika sanksi hukum mati
bagi koruptor dijatuhkan maka akan sulit menemukan pelaku koruptor lainnya mengingat koruptor
mempunyai banyak sinyal ke Lembaga lainnya.
Dalam sebuah negara hukum sudah dipastikan bahwa yang memerintah adalah hukum, bukan
manusia juga negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Jika dilihat dalam upaya yang
menimbulkan suatu bahaya, pelaku kejahatan korupsi memang sudah sepantasnya untuk dihukum mati.
Yang dikarenakan kejahatan ini menyebabkan kehancuran yang hebat bagi kelangsungan hidup warga
negara dan bangsa. Orangtua hingga cucu bangs aini akan menderita dan menanggung akibat dari
kejahatan tersebut. Secara yuridus formal, penerapan hukum mati di indonesia memang tertera. Hukum
mati bagi seorang pelaku kejahatan korupsi akan memberisuatu efek jera sehingga memberi pelajaran
bagi orang lain untuk tidak melakukan hal serupa. Mahkamah Agung sendiri pernah mengatakan bahwa
hukuman mati tidaklah bertentangan dengan UUD, dalam kasus pengujian Undang-Undang Narkotika
pasal 28A, dan Pasal 281 ayat (1) 1945. [ 7] Penjatuhan hukum mati sendiri terjadi karena seseorang
menjalankan hak asasinya orang dengan orang yang bersangkutan telah melanggar hak asasi orang lain
itu sendiri dalam lingkup lingkungannya. Namun ada beberapa hal positif dalam penerapan tindak hukum
mati bagi para koruptor, dengan missal orang-orang akan menjadi takut untuk melakukan tindakan
tersebut apabila tau hukumannya sangat berat, maka pastilah orang-orang akan menghindari pemerlakuan
tersebut. Lalu memberi penyadaran bagi orang yang mencoba melakukan korupsi, hukum di negara
Indonesia sendiri dikarenakan negara hukum akan menjadi lebih ditakuti maka da mpaknya baik
pemerintah maupun masyaraktnya akan lebih taat dan tidak melakukan yang melanggar hukum, dan
terakhir, menambah kesejahteraan rakyat, dengan otomatis jika persentase pidana korupsi menurun maka
rakyat akan sejahtera dan terbantu dengan hak-hak yang sudah ditetapkan.
Menurut Abdul Fickar pakar hukum pidana, suatu hal yang membuat seorang koruptor jera bukanlah
hukuman mati, namun dengan dihilangkannya kekayaan tersebut, terkait dengan korupsi dengan artian
luas adalah penyuapan ataupun penggelapan dana. Pelaku korupsi dengan sanksi dihilangkannya harta
yang ia miliki atau memiskinkan sang pelaku. Dengan pendekatan asset recovery, yakni semua akses nara
pidana koruptor harus ditutup agar jera. Dengan tidak boleh mempunyai perusahaan, atau kartu kredit,
tidak boleh jadi pimpinan perusahaan, dan dicabut hal politiknya. Ini akan lebih menjerakan pidana napi
koruptor. Namun ada beberapa faktor terkait penerapan hukum mati dengan beberapa alasan untuk
memvonis hukum mati dalam keadaan tertentu. Dalam ketentuan ini yang dimaksud sebagai pemberatan
bagi pelaku tindak korupsi yakni apabila tindak pidan tersebut melakukannya pada waktu negara dalam
keadaan krisis sesuai dengan undang-undnag yang telah diterapkannya. Pasal 2 ayat (2), yang diatur
tentang ancaman hukum mati. Pelaku korupsi dalam suasan bencana alam dan keadaan tertentu akan
dijatuhkan hukuman mati. Dengan artian masih ada beberapa hal bisa menjatuhkan hukuman mati bagi
koruptor dengan keadaan tertentu. Juga pada seseorang yang pernah menjadi pidana koruptor namun
melakukan kejahatan yang sama lagi yakni korupsi, maka layaklah ia diberi hukum mati dikarenakan efek
hukuman yang tidak jera. Dalam pemberantas tindak pidana korupsi, upaya represi juga sangat diperlukan
ketegasan sebagai efek jera. Pemiskinan koruptor dengan melakukan perampasan aset sang koruptor
melalui asset tracing, sehingga penegakkan hukum tidak sekedar pemidaan daban tetapi juga bagaiman
kerugian keuangan negara yang telah dirugikan dapat dipulihkan secara maksimal. Kajian terhadap
pelaksaan hukum pidana mati, khususnya para pelaku tindakan korupsi masih perlu diperdalam.
Menginngat belum ada satupun keputusan yang menerapkan pemidanaan hukum mati koruptor ini telah
tertulis sejak 1999 dalam Undang-undang No.31 31 tahun 1999 yakni tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang kini telah diubah oleh Undang-Undang No.20 Tahun 2001. Dengan sikap Hukum
yang keras dan disiplin, sanksi pidana mempunyai tempat otoritas penuh dalam suatu permaslahan
pemberantasan korupsi dengan efek jera. [8]
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Korupsi merupakan kejahatan serius yang sampai saat ini masih melanda dan terjadi di Indonesia.
Korupsi di Indonesia sudah tidak lagi dilakukan secara perorangan, melainkan sudah dilakukan secara
kolektif, terorganisir dan sistematis. Menurut Undang-undang tindak pidana korupsi dapat dijatuhi
hukuman mati dengan kondisi tertentu dimana dalam hal ini menimbulkan banyak pro dan kontra.

Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, saran yang dapat saya berikan adalah mematuhi dan menaati hukum yang
berlaku di negara Indonesia, memperjelas dan mempertegas hukum yang telah tercantum dalam Undang-
udang sehingga para pelaku kriminal khususnya koruptor mempuyai efek jera dan diharapkan setelahnya
Indonesia menjadi negara yang bersih dari korupsi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Fockema, andreae S.J., 1951, rechtsgeleerd handwoordenboek, groningen – djakarta : Bij


J. B. Wolter Uitgeversmaatschappij N.Vsebagaimana dikutip andi Hamzah, 1984,
Korupsi di Indonesiamasalah dan pemecahannya, Gramedia Pustaka Utama.

2. Hamzah Andi, dkk, 2004, Pengkajian Masalah Hukum Penanggulangan Tindak Pidana
Korupsi, Badan PembinaanHukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI.

3. Salama, Nadiatus. “Motif Dan Proses Psikologis Korupsi.” Jurnal Psikologi 41, no. 2 (December
23, 2014): 149. Accessed June 20, 2023. https://journal.ugm.ac.id/jpsi/article/view/6946

4. Santoso, Budi. “Pemberantasan Korupsi Di Indonesia.” Jurnal Ketahanan Nasional 10, no. 2
(2005): 55–61. Accessed June 20, 2023. https://jurnal.ugm.ac.id/jkn/article/view/22958

5. https://www.scribd.com/doc/40680588/Paper-Korupsi-Kontra-dalam-Penjatuhan-Hukuman-Mati-
bagi-Koruptor

6. https://www.hukumonline.com/berita/a/hukuman-mati-bagi-koruptor-perlukah-hol7486/

7. muhammadarzyad.blogspot.com

8. https://bahasan.id/pro-kontra-hukuman-mati/

9. Oksidelfa Yanto, Penjatuhan Pidana Mati Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Keadaan
Tertentu, 27 maret 2017.

10. https://www.gatra.com/news-530464-hukum-pakar-hukum-ugm-tegaskan-uu-membolehkan-
koruptor-dihukum-mati-tapi.html

Anda mungkin juga menyukai