Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Korupsi di Indonesia dapat dikatakan sudah membudaya. Budaya ini terlihat
dari maraknya kasus korupsi yang terjadi dimulai dari tingkat daerah sampai tingkat
pusat. Maka dari itu perlu pengaturan yang secara komprehensif mengatur tindak
pidana korupsi. Diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai lanjutan pengaturan dari Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1999. Ternyata dalam relatif singkat Undang-undang ini
berlaku menimbulkan masalah intepretasi berbeda dari para sarjana. Disamping
masalah ketentuan peralihan yang tidak dicantumkan secara eksplisit, masalah
pembuktian terbalik kembali diperbincangkan. Konsep pembuktian pembalikan beban
tidak dirumuskan secara tegas, sehingga diyakini mampu mengeliminasi tingkat
keparahan korupsi sebagaimana pengalaman yang telah diterapkan di Negara-negara
lain.1
Kemudian dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang tersebut dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Undang-Undang ini merupakan penyempurnaan untuk mewujudkan
pembuktian terbalik yang ditujukan terhadap terdakwa untuk membuktikan bahwa
dirinya tidak bersalah.
Pemberantasan korupsi di Indonesia dilaksanakan oleh KPK sesuai Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002. Namun ketika sebelum KPK berdiri pemberantasan
korupsi dilaksanakan oleh Polri dan Kejaksaan. Akan tetapi selama memberantas
korupsi, peran kedua lembaga tersebut masih kurang efektif dan efesien. 2 Maka upaya
pemberantasan korupsi diserahkan kepada sebuah lembaga yang independen yaitu
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) namun tidak menutup kewenangan dari
lembaga Polri dan Kejaksaan untuk memberantas korupsi. KPK didesain khusus
untuk memberantas korupsi di Indonesia dengan kewenangan yang khusus. Dan sejak
KPK berdiri pemberantasan korupsi di Indonesia mengalami kemajuan. Banyak
kasus-kasus korupsi besar terungkap yang tidak dapat dilakukan oleh pihak kepolisian
dan kejaksaan karena terkait kelembagaan negara seperti contoh kasus korupsi yang
dilakukan oleh menteri sebagai pejabat tinggi negara.
Tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan
hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak lagi dapat
digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan telah menjadi
kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes). Sehingga dalam upaya
pemberantasannya tidak dapat lagi dilakukan dengan cara upaya biasa, tetapi dituntut

1
Elwi Danil, Korupsi : Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, Jakarta: Raja Grafindo,
2011, hlm. 54
2
Pasal 6 UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

1
dengan cara-cara yang luar biasa (extra ordinary enforcement).3 Di dalam bukunya,
Romli Atmasasmita berpendapat bahwa dalam menangani pemberantasan korupsi
yang telah merupakan extra ordinary crimes perlu dibentuk suatu lembaga
pemberantasan korupsi:
“Korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatan yang merupakan kejahatan luar
biasa (extra ordinary crimes), sehingga tuntutan ketersediaan perangkat hukum yang
sangat luar biasa dan canggih serta kelembagaan yang menangani korupsi tersebut
tidak dapat dielakkan lagi. Kiranya rakyat Indonesia sepakat bahwa korupsi harus
dicegah dan dibasmi dari tanah air, karena korupsi sudah terbukti sangat
menyesengsarakan rakyat bahkan sudah mencapai pelanggaran hak-hak ekonomi dan
sosial rakyat Indonesia. Persoalan pemberantasan korupsi di Indonesia bukan hanya
persoalan hukum dan penegakan hukum semata-mata melainkan persoalan sosial dan
psikologi sosial yang sungguh parah dan sama parahnya dengan persoalan hukum,
sehingga wajib segera dibenahi secara simultan. Korupsi juga merupakan persoalan
sosial karena korupsi mengakibatkan tidak adanya pemerataan kesejahteraan dan
merupakan persoalan psikologi sosial karena korupsi merupakan penyakit sosial yang
sulit disembuhkan”.4

Seiring dengan perkembangan kejahatan di Indonesia, mengingat bahwa


hukum pidana Indonesia merupakan peninggalan dari kolonial Belanda yakni Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang lebih kurang telah 69 tahun berlaku
dianggap tidak sesuai lagi dengan zaman. Telah banyak kejahatan yang diatur di luar
dari KUHP akibat tindak pidana yang mengalami perkembangan sehingga KUHP
yang lama tidak mampu lagi menampung. Oleh karena itu timbul keinginan untuk
melakukan pembaruan hukum pidana dengan membuat KUHP Nasional Indonesia.
Upaya pembaruan hukum pidana dalam pembentukan suatu Rancangan
Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional (RUU KUHP)
merupakan kebutuhan pokok masyarakat guna tercipta penegakan hukum yang adil.
Pembaharuan hukum pidana merupakan kebijakan yang menuntut agar dilakukannya
pembaruan dari semua aspek yang menyentuh segi-segi filosofis, yakni perubahan
atau orientasi terhadap asas-asas hingga ke tahap nilai-nilai yang melandasinya 5.
Sekarang Indonesia sedang mengupayakan melakukan pembaruan hukum pidana
dengan melakukan kodifikasi terhadap KUHP. Ada 3 alasan menurut Sudarto yang
menjadi urgensi untuk melakukan pembaharuan KUHP, yakni: Pertama, Alasan
Politis, sebagai negara yang merdeka, wajar bahwa negara Republik Indonesia apabila
memiliki KUHP sendiri yang bersifat nasional demi kebanggaan nasional. Kedua,
Alasan Sosiologis, KUHP harus mencerminkan nilai-nilai kebudayaan dari suatu
bangsa. Wvs belum sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Ketiga, Alasan Praktis,
didasarkan bahwa KUHP tersebut merupakan terjemahan dari bahasa belanda. Namun

3
Romli Atmasasmita sebagaimana dikutip Ermandsjah Djaja, Op.cit., hlm.11
4
Ibid, hlm. 28
5
M.Ali Zaidan, Menuju Pembaruan Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2015, hlm. 59

2
kenyataannya para sarjana hukum Indonesia yang mampu memahami bahasa Belanda
berikut asas-asasnya semakin sedikit.6
Berdasarkan ketiga alasan pembaharuan hukum tersebut maka pemerintah dan
para pakar pada saat ini sedang mengupayakan konsep RUU KUHP. Salah satu
konsep RUU KUHP ini memasukkan seluruh tindak pidana yang sebelumnya diatur
dengan undang-undang khusus kemudian dihimpun menjadi sebuah kodifikasi.
Dengan memasukkan konsep tindak pidana khusus ke dalam KUHP yang mendasari
kriteria tindak pidana yang bersifat umum (generic crimes, independent crimes),
antara lain :7 Merupakan perbuatan jahat yang bersifat independent (tidak mengacu
atau tergantung pada pelanggaran terlebih dahulu terhadap ketentuan hukum
administrasi dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan); Daya
berlakunya relative lestari, artinya tidak dikaitkan dengan masalah prosedur atau
proses administrasi (specifiec crime, administrative dependent crimes); dan Ancaman
hukumannya lebih dari 1 (satu) tahun pidana perampasan kemerdekaan
(penjara/kurungan).
Salah satu tindak pidana yang dimasukkan dalam konsep RUU KUHP adalah tindak
pidana korupsi. Urgensi para penyusun RUU KUHP memasukkan tindak pidana
korupsi kedalam RUU KUHP adalah agar ada satu sistem hukum pidana (baik hukum
pidana materil maupun hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan pidana) berlaku
bagi semua tindak pidana. Dalam KUHP, ada 2 pasal terkait ketentuan tentang Tindak
Pidana Korupsi yang menjadi permasalahan, yaitu : Pasal 2 dan Pasal 3 masuk dalam
tindak pidana korupsi tentang merugikan Negara. Delik dalam pasal 2 tentang
melawan hukum untuk memperkaya diri-sendiri dan dapat merugikan keuangan
Negara. Kemudian, delik dalam pasal 3 tentang menyalahgunakan kewenangan untuk
menguntungkan diri-sendiri atau merugikan keuangan Negara.
Para perumus RUU KUHP berniat memasukkan tindak pidana di luar KUHP
termasuk tindak pidana korupsi. Ketentuan tindak pidana korupsi yang secara
eksplisit diatur khusus dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bisa menjadi tindak pidana umum
apabila dimasukkan dalam RUU KUHP. Perubahan status tindak pidana khusus
menjadi tindak pidana umum berdampak pada proses peradilan terhadap tindak
pidana tersebut berlangsung sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku untuk
semua tindak pidana umum. Dalam hal ini hukum acara pidana terhadap tindak
pidana itu akan diatur dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang- Undang
Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang sama-sama sedang di bahas. Kemudian
hal tersebut juga berpotensi menimbulkan implikasi terhadap penegakan hukum
dalam melakukan penyidikan, penuntutan dan mengadili dalam undang-undang
khusus menjadi hilang dan lenyap. Perubahan sifat khusus menjadi umum dari tindak
pidana korupsi tersebut menurut hemat penulis berpotensi menimbulkan berbagai
permasalahan bagi penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia.

6
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung : Penerbit Alumni, 1981, hlm.70-71
7
Barda Nawawi Arief, RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana,
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Cetakan-4, 2009, hlm. 57

3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk
mengulasnya dan memberikan judul penulisan ini dengan : “KEBIJAKAN
PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM RANCANGAN
UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI”

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dimasukannya Delik Korupsi dalam “Konsep”


Kelompok kami setuju dengan dimasukannya delik korupsi dalam “Konsep”, karena
beberapa alasan, yang menurut kami antara lain :

1. Pembaharuan Hukum Pidana melalui “re-kodifikasi” Hukum Pidana Nasional


(KUHP)
Sebagaimana diketahui bersama bahwa kodifikasi di Indonesia banyak
dipengaruhi oleh kodifikasi yang ada di Nederland atau Belanda. Di Belanda
kodifikasi yang pertama terdapat pada tahun 1809 yang disebut Het Crimineel
wet boek voor het koninklijk Holand. Kodifikasi pada tahun tersebut berlangsung
lama karena pada tahun 1811 sampai dengan tahun 1813 Belanda diduduki oleh
Perancis sehingga diberlakukan Code Penal sampai tahun 1866. Sebenarnya
sejak kodifikasi yang pertama selama 73 tahun Belanda sudah mempersiapkan
rancangan peraturan hukum pidana yang selesai pada tahun 1881, dan
diundangkan baru tanggal 1 September 1886. Dan sering disebut Nederland Wet
boek van Strafrecht. Lalu dianut di Indonesia dan dinamakan KUHP pada tahun
1946.8 Perlu disadari bahwa masyarakat terus berkembang dan hukum harus tetap
bisa mengembangkan dirinya agar tidak tertinggal jauh dengan perkembangan
masyarakat. Sejak di dikeuarkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946,
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia telah berusia kurang
lebih 72 tahun dan perlu untuk dilakukan pembaharuan terhadap hukum pidana
(KUHP). Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya
melakukan peninjauan dan penilaian kembali (re-orientasi dan re-evaluasi) nilai-
nilai sosio-politik, sosio-filosofis dan sosio-kultural yang melandasai dan
memberi isi terhadap muatan normative dan substansi hukum pidana yang dicita-
citakan. Bukanlah merupakan pembaharuan (“reformasi”) hukum pidana appabila
orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan misalnya KUHP baru saran
dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan kolonial (WvS).9 Dengan
demikian dapat dilihat bahwa KUHP (WvS) sudah seharusnya dilakukan
pembaharuan yang berorientasi nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofis dan sosio-
kultural yang hidup di Indonesia.

2. Dilakukannya “re-kodifikasi” untuk menyatukan perkembangan tindak pidana


diluar KUHP.
Perkembangan perundang-undangan pidana di luar kodifikasi (KUHP) demikian
pesatnya sesuai dengan perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan dan
teknologi, sehingga memerlukan pengaturan baik melalui hukum perdata, hukum

8
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana – keterangan dari gambar, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta,
2013, hlm. 27
9
Nyoman Serikat Putra Jaya, Pembaharuan Hukum Pidana, PT. Pustaka Rizky Putra, Semarang,
2017, hlm. 1

5
administrasi, maupun hukum pidana. pengaturan melalui hukum pidana, terhadap
sesuatu hal berarti hukum (sanksi) pidana dipanggil untuk mempertahankan
norma-norma hukum tertentu atau hukum (sanksi) pidana dipakai sarana untuk
mempertahankan norma-norma hukum perdata atau hukum administrasi,
sehingga terwujud dalam masyarakat. Perkembangan perundang-undangan diluar
KUHP ini sering disebut dengan nama Hukum Khusus.10 Dilihat dari pembagian
hukum pidana menurut “pada siapa” berlakunya hukum pidana maka Tindak
Pidana Korupsi termasuk dalam hukum pidana khusus karena hanya dikhususkan
bagi subjek hukum tertentu saja. Hal ini dapat dilihat dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian dalam
perkembangannya muncul ide untuk memasukan tindak pidana korupsi dalam
“Konsep”. Ide tersebut muncul menurut karena undang-udang (termasuk tindak
pidana korupsi) seperti11 “bangunan-bangunan kecil” di samping Rumah Induk;
atau “pohon-pohon kecil” disamping “pohon induk”. Juga merupakan produk
nasional, namun masih berada dalam naungan aturan umum KUHP (WvS)
sebagai “pohon/bangunan induk” buatan kolonial. Serta pertumbuhannya tidak
berrsistem (tidak berpola), tidak konsisten, (“seperti tumbuhan/bangunan liar”),
dan bahkan”menggerogoti/mencabik-cabik” sistem/bangunan induk.

3. Mengintegrasikan Tindak Pidana Korupsi dalam “Konsep”


Terintegrasi merupakan proses menyatukan perbedaan yang ada pada suatu
negara sehingga terciptanya keserasian dan keselarasan secara nasional. Langkah
seperti ini bersifat menyeluruh/ terpadu/ integral; mencakup samua aspek/
bidang; memiliki sistem/ berpola; dan penyusunan/ penataan ulang (re-
konstruksi/ re-formulasi) berorientasi pada kondisi dan perkembangan keijakan
nasional dan global. Melalui integrasi tersebut akan tercipta keserasian dan
keselarasan secara nasional. Terciptanya kedua hal dimaksud membuat
pembangunan hukum pidana nasional kedepannya akan leih baik lagi.

4. Proses “re-kodifikasi” tidak menghilangkan sifat khusus UU Tindak Pidana


Korupsi
Korupsi sebagai tindak pidana khusus, yang dimasukan kedalam “Konsep” tidak
akan mengurangi sifat khusus-nya. Kekhususan yang dimaksud berupa
menggunakan hukum acaranya sendiri, memiliki subjek hukum tersendiri dan
sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Dikatakan extraordinary
crime karena memiliki 7 parameter12 antara lain, dampak viktimisasi sangat luas
dan multi dimendi; bersifat transnasional terorganisasi dan didukung oleh
teknologi modern dibidang komunikasi dan informatika; delik tersebut
10
Nyoman Serikat Putra Jaya, Hukum Pidana Khusus, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, 2016, hlm. 1
11
Barda Nawawi Arief, Pro Kontra Delik Korupsi dalam RUU KUHP, Bahan Kuliah PPS Magister
Ilmu Hukum – FH Undip, Semarang, 2018
12
R.R. Suryawulan, R.KUHP dan Tindak Pidana Korupsi, Biro Hukum KPK, Semarang, 2018

6
merupakan predicate crimes tindak pidana pencucian uang; delik tersebut
memerlukan pengaturan hukum acara pidana yang bersifat khusus; delik
terseebut memerlukan lembaga-lembaga pendukung penegakan hukum yang
bersifat khusus dengan kewenangan luas; delik tersebut dilandasi oleh konvensi
internasional yang merupakan treaty based crimes; delik tersebut meurpakan
“super mala par se” (sangat jahat dan tercela) dan sangat dikutuk oleh masyarakat
(people condemnation) baik nasional maupun internasional

5. Memasukan delik pokok Tindak Pidana Korupsi dalam “Konsep”


Rumusan delik yang dimasukan dalam “Konsep” hanya yang disebut sebagai
Core Crimes, antara lain penentuan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5; Pasal 11 dan Pasal
13 UU Tindak Pidana Korupsi.

B. Bahan Penyusunan Delik-delik (kriminalisasi)


1. KUHP (WvS)
Konsep rancangan KUHP baru “Konse” disusun dengan bertolak pada 3 materi/
substansi/ masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu : 13
1) Masalah tindak pidana;
2) Masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana; dan
3) Masalah pidana dan pemidanaan
2. Konsep BAS tahun 1971
Proses penyusunan konsep, yang meliputi juga proses kriminalisasi dan
dekriminalisasi dalam konsep, tidak berangkat dari “titik nol”, artinya bukan tanpa
bahan. Prof. Barda Nawawi Arif, menyebutkan bahwa konsep kriminalisasi
berawal dari Tim Basaroedin yang telah menyusun Konsep Buku II (tentang
“Kejahatan”) dan Konsep Buku III (tentang “Pelanggaran”). konsep ini tersusun
pada tahun 1977 dan dikenal dengan sebutan Konsep BAS. Sistematika dan materi
konsep ini bersumber dari KUHP (WvS) yang berlaku dengan penyesuaian dan
penambahan beberapa delik baru. Konsep BAS inilah yang menjadi bahan utama
penyusunan Konsep 1979 oleh TPK periode Prof. Oemar Senoadji (periode 1979-
1980-1981/1982). Dalam periode TPK 1982-1986 yang diketuai Prof. Sudarto,
konsep ini pun diedit kembali menjadi Konsep 1984/1985 (dimuat dalam Laporan
Tim Jilid V). Dalam periode TPK 1986/1987 yang diketuai Prof. Roeslan Saleh,
konsep ini pun diedit kembali menjadi Konsep 1986/1987 (Jilil VII Laporan Tim).
Selanjutnya dalam periode TPK 1987-1992 yang diketuai oleh Prof. Mardjono
Reskodiputro, Konsep periode yang lalu diedit kembali berturut-turut menjadi
Konsep 1989/1990 (Laporan Tim Jilim XI), Konsep 1991/1992 s/d. revisi bulan
Maret 1990 (termuat dalam Jilid XIV A), dan Konsep 1991/1992 s/d. revisi bulan
Desember 1992 (termuat dalam Laporan Jilid XVII). Terakhir ada pula Konsep
1991/1992 s/d. revisi bulan Maret 1993 yang kemudian diserahkan kepada
Menteri Kehakiman.14
13
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyussunan
Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta, 2011, hlm. 79
14
Barda Nawawi Arief, Ibid, hlm. 232

7
Dari gambaran singkat di atas terlihat bahwa sumber penyusunan konsep yang ada
saat ini berasal dari Konsep BAS. Jadi, proses dan kebijakan kriminalisasi telah
dimulai sejak periode TPK Basaroeding. Konsep-konsep berikutnya hanya
melanjutkan dengan menyatukan “kejahatan” dan “pelanggaran” ke dalam satu
buku yaitu, menjadi Buku II yang berisi perumusan “tindak pidana”. Di samping
itu, juga diadakan perubahan dan penambahan delik-delik “baru”, baik yang
semula tidak ada di dalam dan di luar KUHP (WvS) maupun diambil dari delik-
delik yang sudah ada dan tersebar di luar KUHP.15
3. Undang-Undang diluar KUHP
Undang-undang di luar KUHP (antara lain dari Undan-Undang No. 1/1946
khususnya yang berhubungan dengan uang palsu, kabar bohong, dan penodaan
bendera kebangsaan; Undang-Undang No. 11 Pnps. 1963 tentang Subversi;
Undang-Undang No. 12/1951 tentang Senjata Api/ Senjata Tajam; Undang-
Undang No. 3 /1971 tentang Korupsi; dari Undang-Undang No. 7/1974 tentang
Perjudian; dari Undang-Undang No. 11/1980 tentang Suap; dan Undang-Undang
No. 4 Tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup).16
Dari bahan-bahan di atas, terjadi penambahan lagi dalam perkembangan penyusunan
“Konsep” sampai sekarang. Penambahan tersebut dipengaruhi oleh bertambahnya
perbuatan-perbuatan yang di kriminalisasi melalui undang-undang di luar KUHP
(WvS) baik itu undang-undang tindak pidana khusus, undang-undang yang berkaitan
denga tindak pidana maupun undang-undang yang memilik sanksi pidana di
dalamnya. Hal ini dapat dilihat sekarang dengan dimasukannya tindak pidana korupsi,
terorisme, kejahatan terhadap HAM, dan tindak pidana lingkungan hidup dalam
Konsep per-9 Juli 2018.

C. Sumber Bahan dalam Kebijakan Melakukan Perubahan dan Penyusunan Delik-Delik


Adapun sumber bahan dalam kebijakan melakukan perubahan dan penyusunan delik-
delik baru diambil antara lain dari :
a. Masukan berbagai pertemuan ilmiah (simposium/seminar/lokakarya? Yang berarti
juga berbagai kalangan masyarakat luas.
b. Masukan dari beberapa hasil penelitian dan pengkajian mengenai perkembangan
delik-delik khusus dalam masyarakat dan perkembangan Iptek.
c. Masukan dari pengkajian dan pengamatan bentuk-bentuk serta dimensi baru
kejahatan dalam pertemuan-pertemuan/kongres internasional.
d. Masukan dari berbagai konvensi internasional (baik yang telah diratifikasi
maupun yang belum diratifikasi).
e. Masukan dari hasil pengkajian perbandingan berbagai KUHP asing.
Berbagai sumber bahan yang dikemukakan di atas, sudah barang tentu dalam
pengkajiannya diseleksi dan diorientasikan juga pada nilai-nilai filosofis, sosiopolitik
serta kepentingan/ tujuan nasional yang melatarbelakangi kebijakan pembaharuan
dekriminalisasi yang pernah dirumuskan dalam Pasal V Undang-Undang No.1 Tahun
1946 juga diperhatikan. Ukuran dekriminalisasi (dalam menyeleksi peraturan hukum
15
Barda Nawawi Arief, Ibid, hlm. 232
16
Barda Nawawi Arief, Ibid, hlm. 232

8
pidana yang sudah ada) yang disebutkan dalam Pasal V itu; ialah apabila peraturan
yang sudah ada itu : tidak dapat dijalankan; bertentangan dengan kedudukan RI
sebagai negara merdeka; atau tidak mempunyai arti lagi.17
Patut dicatat, bahwa dalam usaha melakukan reevaluasi, reorientasi dan
penyeleksian sumber-sumber bahan di atas memang harus diakui tidaklah mudah.
Terkadang karena terkendala waktu, pembahasan menjadi tidak tuntas, dan malahan
bisa terjadi perbedaan pendapat.

D. Perbandingan KUHP yang mengatur Tindak Pidana Korupsi


Menurut Rene David, perbandingan hukum merupakan ilmu yang setua ilmu
hukum itu sendiri, namun perkembangannya sebagai ilmu pengetahuan baru pada
abad-abad terakhir ini. Demikian pula Adolf F. Schnitzer mengemukakan, bahwa baru
pada abad ke-19 perbandingan hukum itu berkembang sebagai cabang khusus dari
ilmu hukum. Perekembangan pada abad ke-19 itu terutama terjadi di Eropa
(khususnya Jerman, Perancis, Inggris), dan Amerika.18
Perbandingan hukum pidana menunjukan bahwa terdapat perbedaan-perbedaan
yang kemudian dapat saling dipelajari dan atau di ikuti untuk pengembangan hukum
pidana kedepan. Di bawah ini terdapat beberapa contoh KUHP dari negara-negara
eropa yang juga memasukan delik korupsi ke dalam KUHP mereka. Antara lain :

1. KUHP Perancis
Title III. VIOLATION OF THE AUTHORITY OF THE STATE
 CHAPTER II. – OFFENCES AGAINST THE GOVERNMENT
COMMITED BY CIVIL SERVANTS
o Section I. – abuse of authority directed against the public
administration
o Section II. – of abuse authority commited against individuals
o Section III. – breaches to the duty of honesty
 Passive corruption and trafficking in influence by persons
holding public office
 CHAPTER III. – OFFENCES AGAINST THE PUBLIC
ADMINISTRATION COMMITED BY PRIVATE PERSON
o Section I - active corruption and trafficking in influence commited by
private persons

2. KUHP Jerman
 CHAPTER THIRTEEN : CRIME AGAINST SEXUAL SELF-
DETERMINATION
o Section 180b trafficking in human beings
o Section 181 serious trafficking in human beings

17
Barda Nawawi Arief, Ibid, hlm. 233
18
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, PT. RajaGrrafindo Persada, Jakarta, 2011,
hlm. 1

9
 CHAPTER SIXTEEN : CRIMES AGAINST LIFE
o Section 220a genocide
 CHAPTER EIGHTEEN : CRIMES AGAINST PERSONAL FREEDOM
o Section 236 trafficking children
 CHAPTER TWENTY-ONE : ACCESSORY AFTER THE FACT AND
RECEIVING STOLEN PROPERTY
o Section 261 money laundering
 CHAPTER TWENTY-SEVEN : DAMAGING PROPERTY
o Section 303a alteration of data
o Section 303b computer sabotage
 CHAPTER TWENTY-NINE : CRIMES AGAINST THE
ENVIRONMENT
Dapat dilihat bahwa dalam KUHP Perancis tindak pidana korupsi atau tindak
pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi diatur dalam Chapter II dan
Chapter III KUHP mereka sedangkan, KUHP Jerman hanya dirumuskan dalam
Section 261 dalam Chapter Twenty One tentang Accessory After The Fact and
Receiving Stolen Property. Indonesia sebagai negara yang sementara dalam
proses pembaharuan KUHP perlu untuk melihat juga perbandingan-perbandingan
KUHP dengan negara lain agara dapat menyusun pembaharuan KUHP dengan
baik dan sesuai dengan nilai-nilai yang diakuia secara internasional tanpa
mengurangi atau bahkan menghilangkan nilai-nilai asli milik bangsa Indonesia.
Untuk hal demikian maka perlu dilakukan perbandingan kemudian penyesuaian
yang proporsional agar KUHP yang baru dapat diberlakukan dengan baik dan
maksimal.

BAB III
PENUTUP

10
Dari pembahahan yang telah dijabarkan di atas, kemi dapat menarik kesimpulan sebagai
berikut :

1. Dimasukannya delik korupsi dalam “Konsep” betujuan untuk mengintegrasikan


hukum pidana dalam pembarantasan tindak pidana korupsi. Dan perlu juga di ketahui
bahwa rumusan delik korupsi yang dimasukan hanya rumusan utama dari tindak
pidana korupsi. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 2, 3, 5, dan Pasal 11 Undang-
Undang Tindak Pidana Korupsi.

2. Komisi Pemberantasan Korupsi tetap memiliki tugas dan kewenangan yang sama
seperti dalam Undang-Undang KPK dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
a. Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi.
2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi.
3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi.
4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
b. Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi
berwenang :
1. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana
korupsi;
2. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
3. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi
kepada instansi yang terkait;
4. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
5. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana
korupsi.

Hal demikian berdasarkan pertimbangan antara lain :

1. bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang
belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak
pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan
berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara,
perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional;

11
2. bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum
berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi;
3. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perlu
dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan
tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi;

3. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan


masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia
yang adil, makmur, dan sejahtera tersebut, perlu secara terus menerus ditingkatkan usaha-
usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana
korupsi pada khususnya. Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang,
aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya makin
meningkat, karena dalam kenyataan adanya pembuatan korupsi telah menimbulkan
kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya
krisis di berbagai sidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu
semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
kepentingan masyarakat. Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk
mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, Undang-undang ini memuat ketentuan
pidana yang berbeda dengan Undang-undang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman
pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang
merupakan pemeratan pidana. Selain itu, Undang-undang ini memuat juga pidana penjara 
bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayar pidana tambahan berupa
uang pengganti kerugian negara.

4. Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khsusus yang diatur dalam undang-
undang hukum pidana yang khusus, yaitu undang-undang No. 31 tahun 1999 kemudian
diubah menjadi Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor
20 Tahun 2001). Ciri-ciri hukum pidana khusus, terutama, yaitu menyimpang dari asas-
asas yang diatur dalam undang-undang hukum pidana umum. Hukum pidana umum dibagi
dua, yaitu formil dan materil. Sehingga hukum pidana khusus dapat memiliki dua macam
penyimpangan, yaitu penyimpangan secara formil dan materil. Hukum pidana umum dari
sudut materil mengenai tindak pidana korupsi diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP). Dan, peraturan umum dari sudut formil mengenai tindak pidana korupsi
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam hal ini maka
berlaku adagium lex specialis derogat legi generalis (ketentuan khusus menyingkirkan

12
ketentuan umum).

13

Anda mungkin juga menyukai