DISUSUN OLEH :
KELOMPOK VI
1. ILHAM
2. KRISNA ANITA
3. JANUARIA A. KORISANO
4. JOLA LAHUMETEN
5. UDIRIYANTO
6. HAJRAH YAKOB
7. RIYAN
8. SYAMSUL MANSYUR
9. IRA BANNE RINGGI
10. NUR LOLA KATILI
11. ELVIN PAGILING
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
C. PEMBAHASAN
Korupsi telah dianggap sebagai hal yang biasa, dengan dalih “sudah
sesuai prosedur”. Koruptor tidak lagi memiliki rasa malu dan takut,
sebaliknya memamerkan hasil korupsinya secara demonstratif. Politisi tidak
lagi mengabdi kepada konstituennya. Partai politik bukannya dijadikan alat
untuk memperjuangkan kepentingan rakyat banyak, melainkan menjadi ajang
untuk mengeruk harta dan ambisi pribadi. Padahal tindak pidana korupsi
merupakan masalah yang sangat serius, karena tindak pidana korupsi dapat
membahayakan stabilitas dan keamanan Negara dan masyarakat,
membahayakan pembangunan sosial, politik dan ekonomi masyarakat,
bahkan dapat pula merusak nilai-nilai demokrasi serta moralitas bangsa
karena dapat berdampak membudayanya tindak pidana korupsi tersebut.
Sehingga harus disadari meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak
terkendali akan membawa dampak yang tidak hanya sebatas kerugian Negara
dan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan
bernegara. Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap
hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana
korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary
crimes) melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra-ordinarycrimes).
Sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan “secara
biasa”, tetapi dibutuhkan “cara-cara yang luar biasa” (extra-ordinary crimes).
Penyebab terjadinya korupsi di Indonesia menurut Abdullah
Hehamahua, berdasarkan kajian dan pengalaman setidaknya ada Tujuh
penyebab, yaitu sebagai berikut :
1. Sistem penyelenggaraan negara yang keliru : Sebagai negara yang baru
berkembang, seharusnya prioritas pembangunan di bidang pendidikan.
Tetapi selama puluhan tahun, mulai orde lama, orde baru, hingga
reformasi, pembangunan hanya difokuskan di bidang ekonomi. padahal
setiap negara yang baru merdeka, masih terbatas dalam memiliki SDM,
uang, manajemen, dan teknologi. Sehingga konsekuensinya semua
didatangkan dari luar negeri yang pada gilirannya menghasilkan
penyebab korupsi.
2. Kompensasi PNS yang rendah : Negara yang baru merdeka tidak
memiliki uang yang cukup untuk membayar kompensasi yang tinggi
kepada pegawainya. Apalagi Indonesia yang lebih memprioritaskan
bidang ekonomi membuat secara fisik dan kultural menmbulkan pola
konsumerisme, sehingga 90% PNS melakukan KKN.
3. Pejabat yang serakah : Pola hidup konsumerisme yang dilahirkan oleh
sistem pembangunan seperti di atas mendorong pejabat untuk menjadi
kaya secara instant. Hal ini menyebabkan lahirnya sikap serakah dimana
pejabat menyalahgunakan wewenang dan jabatannya, seperti melakukan
mark up proyek-proyek pembangunan.
4. Law Enforcement tidak berjalan : Para pejabat yang serakah dan PNS
yang KKN karena gaji yang tidak cukup, maka boleh dibilang penegakan
hukum tidak berjalan hampir diseluruh lini kehidupan, baik di instansi
pemerintahan maupun lembaga kemasyarakatan karena segalanya diukur
dengan uang. Hal ini juga menimbulkan kata-kata plesetan seperti, KUHP
(Kasih Uang Habis Perkara) atau Ketuhanan Yang Maha Esa (Keuangan
Yang Maha Kuasa).
5. Hukuman yang ringan terhadap koruptor : Adanya Law Enforcement
tidak berjalan dengan semestinya, dimana aparat penegak hukum bisa
dibayar. Maka, hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor sangat
ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera.Tidak ada keteladanan
pemimpin
6. Pengawasan yang tidak efektif : Dalam sistem manajemen yang modern
selalu ada instrumen yang disebut internal kontrol yang bersifat in build
dalam setiap unit kerja. Sehingga sekecil apapun penyimpangan akan
terdeteksi sejak dini dan secara otomatis pula dilakukan perbaikan. Tetapi
internal kontrol yang ada disetiap unit sudah tidak lagi berjalan dengan
semestinya karena pejabat atau pegawai terkait bisa melakukan tindakan
korupsi.
7. Tidak ada keteladanan pemimpin : Ketika resesi ekonomi 1997, keadaan
perekonomian Indonesia sedikit lebih baik daripada Thailand. Namun
pemimpin Thailand memberi contoh kepada rakyatnya dalam pola hidup
sederhana. Sehingga lahir dukungan moral dan material dari masyarakat
dan pengusaha. Maka dalam wktu singkat Thailand telah mengalami
recovery ekonominya. Di Indonesia tidak ada pemimpin yang bisa
dijadikan teladan sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara
mendekati jurang kehancuran.
Menurut UUD 1945 Amandemen Pasal 1 ayat (3) : Indonesia ialah
Negara Hukum. Sebagaimana layaknya suatu negara hukum, maka
kepentingan masyarakat banyak harus mendapat perlindungan dari
pemerintah, seperti tersebut dalam Alinea IV UUD 1945 Amandemen :
”Untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia ” . Perlindungan tersebut selanjutnya merupakan
hak-hak warga negara yang diatur dan dijabarkan dalam dalam berbagai
peraturan perundang-undangan. Warga negara berhak untuk hidup aman,
damai, tenteram , terhindar dari berbagai tindak kejahatan. Bilamana terjadi
tindak kejahatan, maka aparat penegak hukum harus segera bertindak sesuai
kewenangan yang dimiliki. Dengan adanya tindakan oleh aparat penegak
hukum, diharapkan kejahatan tidak semakin meluas. Bilamana penegakan
hukum kurang baik seperti sekarang ini maka kejahatan semakin
berkembang, korupsi semakin marak, kasus suap terjadi dimana-mana,
penyalah gunaan narkotika, dan sebagainya hanya dapat dikendalikan dari
lembaga pemasyarakatan. Akhirnya, sebaik apapun peraturan perundang-
undangan yang ada pada akhirnya tergantung pada aparat penegak
hukumnya. Dalam proses penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi
terdapat suatu kenyataan adanya praktek penegakan hukum tebang pilih.
Tidak saja hal ini bertentangan dengan prinsiphukum, semua warga negara
memiliki hak untuk diperlakukan setara di depan hukum tetapi juga
diperlakukan secara tidak sama. Adapun yang menjadi sebab perlakukan
penagakan hukum aparat kepolisian dan kejaksaan bukan saja disebabkan
karena kasus korupsi sering dipandang sebagai kasus yang membawa
berkah', utamanya bagi pengacara, tetapi juga disebabkan karena keberadaan
Undang-undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang KPK. Sikap
dualisme dalam pemberantasan kejahatan korupsi sebagaimana diatur dalam
Undang- undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang KPK.
Beberapa alasan dan fakta dan bahwa tebang pilih dan perlakuan
tidak sama di depan hukum oleh penegak hukum dapat diajukan sebagai
berikut :
1. Praktek penegakan hukum tebang pilih terhadap terdakwa atau tersangka
terjadi ketika baik polisi, jaksa dan juga pihak kekuatan masyarakat,
sebagai gerakan masyarakat madani membiarkan pelaku kejahatan tidak
saja dengan bebas berkeliaran bahkan menjadi calon kepala daerah, tetapi
juga setelah mendapatkan keputusan hakim sekalipun mereka dapat
kembali menduduki jabatan publik tertentu. Hal ini biasanya terjadi
ketika terdakwa, tersangka atau terhukum dapat dijadikan sumber uang
oleh karena mereka mampu membayar oknum-oknum penegak hukum
yang nakal.
2. Perlakuan penegak hukum menjadi tidak setara atau tebang pilih
karenasifat dari Undang-undang KPK yang secara sengaja memuat
pengelompokan proses penegakan hukum ke dalam dua kategori.
Kategori pertama adalah korupsi yang menimbulkan kerugian negara di
bawah Rp 1 milyar diproses oleh Polisi dan Jaksa. Dalam model
penegakan kejahatan korupsi model ini dikesankan masyarakat bahwa
aparat penegak hukum, baik ditingkat pusat maupun tingkat daerah
memiliki ruang fleksibel untuk menunda-nunda penyelidikan dan
penyidikan. Akibatnya, pelaku kejahatan korupsi model ini
menampakkan bukan saja tidak adanya kepastian hukum dalam
penindakannya akan tetapi dengan penundaan tersebut mengundang
ketidak puasan bagi masyarakat.Sedangkan kategori korupsi kedua
adalah perbuatan seseorang yang telah menimbulkan kerugian negara di
atas Rp 1milyar yang kewenangan proses hukumnya melalui KPK.
Dalam kasus yang ditangani oleh KPK, dampaknya cukup membuat
guncangan yang menakutkan bagi terdakwa, tersangka dan terhukum.
KPK jauh lebih tegas dan dipandang sebagai lembaga penegak hukum
paling dipercayai di negeri ini.D alam teori hukum pidana, bahwa sanksi
hukum yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan tidak saja dipandang
sebagai hukum yang menimbulkan penderitaan secara fisik dan psikis
dan dibatasi kebebasan hak-hak keperdataan dan hak politik, tetapijuga
diharapkan agar pelaku kejahatan merasa jera atau kapok sehingga tidak
berkehendak melakukan kembali. Terdakwa kasus korupsi hanya dijatuhi
hukuman percobaan. Alhasil dengan vonis tersebut, terdakwa korupsi
tidak perlu lagi menjalani hukuman di penjara. Pemberantasan korupsi di
Indonesia mengalami kemunduran, umumnya mereka dijatuhi vonis satu
tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Jumlah bahwa adanya
kecenderungan bagi para hakim untuk menjatuhkan hukuman terhadap
terdakwa korupsi sesuai batas minimal hukuman yang ditentukan
Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Dalam upaya pemberantarasan korupsi KPK menyusun rencana
strategis meliputi :
1. Strategi berdasarkan waktu (strategi jangka pendek, strategi jangka
menengah, dan strategi jangka panjang)
2. Strategi berdasarkan tugasnya (strategi pembangunan kelembagaan,
strategi pencegahan, strategi penindakan, dan strategi penggalangan
keikutsertaan masyarakat).
a. Strategi jangka pendek KPK, yakni strategi yang segera dapat
memberi manfaat, meliputi penindakan, membangun nilai etika,
membangun sistem pengendalian terhadap lembaga pemerintahan
agar menjadi lebih efisien dan profesional.
b. Strategi jangka menengah, yakni strategi yang secara sistematis
mampu mencegah tindak pidana korupsi, meliputi kegiatan
membangun proses perbankan, penganggaran, pengadaan dan
infrastruktur informasi di instansi pemerintah yang mendorong
efisiensi dan efektivitas, memotivasi terciptanya kepemimpinan yang
efisien dan efektif, serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pengambilan keputusan pemerintah serta meningkatkan akses
masyarakat terhadap pemerintahan.
c. Strategi jangka panjang, yang diharapkan dapat mengubah persepsi
dan budaya masyarakat, mencakupi aktivitas membangun dan
mendidik masyarakat untuk menangkal korupsi yang terjadi di
lingkungannya, membangun tata pemerintahan yang baik sebagai
bagian penting dalam sistem pendidikan nasional, dan membangun
sistem kepegawaian (perekrutan, penggajian, penilaian kinerja dan
pengembangan) yang berkualitas.
Tujuan strategi pembangunan kelembagaan adalah terbentuknya
suatu lembaga KPK yang efektif. Untuk mencapai tujuan tersebut,
aktivitas yang dilakukan meliputi penyusunan struktur organisasi, kode
etik, rencana strategis, rencana kinerja, anggaran, prosedur operasi standar,
dan penyusunan sistem manajemen SDM, rekrutmen penasihat dan
pegawai serta pengembangan pegawai, penyusunan manajemen keuangan,
penyusunan teknologi informasi pendukung, penyediaan fasilitas dan
peralatan, dan penyusunan mekanisme pengawasan internal. Strategi
pencegahan bertujuan membangun sistem pencegahan tindak pidana
korupsi yang handal. Aktivitas yang dilakukan meliputi peningkatan
efektivitas sistem pelaporan kekayaan penyelenggara negara, penyusunan
sistem pelaporan gratifikasi dan sosialisasi, penyusunan sistem pelaporan
pengaduan masyarakat dan sosialisasi, pengkajian dan penyampaian saran
perbaikan atas sistem administrasi pemerintahan dan pelayanan
masyarakat yang berindikasikan korupsi, penelitian dan pengembangan
teknik dan metode yang mendukung pemberantasan korupsi.
Strategi penindakan memiliki tujuan untuk meningkatkan penyelesaian
perkara tindak pidana korupsi. Untuk itu, ada lima hal yang dilakukan,
yaitu:
1. pengembangan sistem dan prosedur peradilan pidana korupsi yang
ditangani langsung oleh KPK
2. penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi oleh KPK
3. pengembangan mekanisme, sistem, dan prosedur supervisi oleh KPK
atas penyelesaian perkara korupsi yang dilaksanakan oleh kepolisian
dan kejaksaan
4. identifikasi kelemahan undang-undang dan konflik antar undang-
undang yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi
5. Pemetaan aktivitas-aktivitas yang berindikasikan korupsi.
Penggalangan keikutsertaan masyarakat bertujuan terbentuknya suatu
keikutsertaan dan partisipasi aktif dari segenap komponen bangsa dalam
memberantas korupsi. Lima aktivitas berikut merupakan langkah untuk
menggalang partisipasi
masyarakat, yaitu:
1. kerjasama dengan lembaga-lembaga publik, lembaga-lembaga
kemasyarakatan, sosial, keagamaan, profesi, dunia usaha, swadaya
masyarakat, dan perumusan peran masing-masing dalam pemberantasan
korupsi,
2. kerjasama dengan mitra pemberantasan korupsi di luar negeri secara
bilateral maupun multilateral,
3. kampanye antikorupsi nasional secara terintegrasi untuk membentuk
budaya antikorupsi,
4. Pengembangan database profil korupsi, dan
5. Pengembangan dan penyediaan akses informasi korupsi kepada publik.
D. KESIMPULAN