Kelompok 5 :
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Ada yang mengatakan bahwa upaya yang paling tepat untuk memberantas
korupsi adalah menghukum seberat beratnya pelaku korupsi. Dengan demikian ,
bidang hukum khususnya hukum pidana akan dianggap sebagai jawaban yang paling
tepat untuk memberantas korupsi. Pada realitanya kita memiliki perangkat hukum
berupa peraturan perundang undangan. Selain itu kita juga memiliki lembaga dan
aparat baik berupa kepolisian,kejaksaan, dan pengadilan. Bahkan kita memiliki
lembaga independen yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Semua itu
dibentuk guna memberantas tindakan korupsi di Indonesia ini. Akan tetapi pada
kenyataanya korupsi masih marak terjadi.
PEMBAHASAN
Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruption atau corruptus, yang
selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere,
suatu kata dalam bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun kebanyak
bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Belanda, yaitu corruptive
(korruptie), dapat atau patut diduga bahwa istilah korupsi berasal dari bahasa Belanda
dan menjadi bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”, yang mengandung arti perbuatan
korup, penyuapan.
Korupsi di Indonesia telah berkembang dalam tiga tahap yang terdiri dari (1)
elitis, (2) endemik, dan (3) sistemik. Pada tahap elitis, korupsi masih menjadi patologi
sosial yang khas di lingkungan para elit/pejabat. Pada tahap endemik, korupsi mewabah
menjangkau masyarakat luas. Lalu di tahap sistemik, setiap individu di dalam sistem
terjangkit penyakit yang serupa. Menurut Djaja Ermansyah, korupsi di Indonesia telah
mencapai tahap sistematik karena telah mengakar di setiap lembaga atau institusi yang
berwenang.
Tidak ada jawaban yang tunggal dan sederhana untuk menjawab mengapa
korupsi timbul dan berkembang demikian masif di suatu negara. Ada yang
menyatakan bahwa korupsi ibarat penyakit ‘kanker ganas’ yang sifatnya tidak hanya
kronis tapi juga akut. Ia menggerogoti perekonomian sebuah negara secara perlahan,
namun pasti. Penyakit ini menempel pada semua aspek bidang kehidupan
masyarakat sehingga sangat sulit untuk diberantas. Perlu dipahami bahwa
dimanapun dan sampai pada tingkatan tertentu, korupsi memang akan selalu ada dalam
suatu negara atau masyarakat.
Sebelum melangkah lebih jauh membahas upaya pemberantasan korupsi,
berikut pernyataan yang dapat didiskusikan mengenai strategi atau upaya
pemberantasan korupsi oleh Fijnaut dan Huberts (dalam Tim Penulis Buku Pendidikan
Anti Korupsi, 2017:90):
terdapat dalam Bab II tentang tindak pidana korupsi, ketentuan pasal 2 sampai
dengan pasal 20, Bab III tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak
pidana korupsi sesuai dengan ketentuan pasal 21 sampai dengan 24 UU PTPK.
Rumusan-rumusan yang terkait dengan pengertian tindak korupsi tersebut tentu
saja akan memberi banyak masukan dalam perumusan UU PTPK, sehingga sanksi
hukuman yang diancamkan dan ditetapkan dapat membantu memperlancar upaya
penanggulangan Tindak Pidana Korupsi. Beberapa tipe tindak pidana korupsi yang
lainnya, antara lain:
a) Tindak Pidana Korupsi Tipe Pertama
Tindak pidana korupsi tipe pertama terdapat dalam Pasal 2 UU PTPK
yang menyebutkan bahwa: Setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan denda paling
sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Dalam hal tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana
mati dapat dijatuhkan.
Secara garis besar upaya penanggulangan kejahatan dapat dibagi menjadi dua
yakni melalui jalur penal (dengan menggunakan jalur pidana) dan jalur non penal
(diselesaikan diluar hukum pidana dengan sarana-sarana non-penal). Secara kasar
menurut Barda Nawwi Arief, upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur penal
lebih menitikberatkan pada sifatnya repressive (penumpasan atau penindasan atau
pemberantasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non-penal lebih
menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan). Dikatakan secara kasar, karena
tindakan represif juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas. (Nawawi
Arief:2008).
Sifat preventif memang bukan menjadi fokus kerja aparat penegak hukum.
Namun untuk pencegahan korupsi sifat ini dapat ditemui dalam salag satu tugas dari
Komisi Pemberantas Korupsi yang memiliki Deputi Bidang Pencegahan yang di
dalamnya terdapat Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat. Sasaran dari
upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur non-penal adalah menangani faktor-
faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan dalam hal ini korupsi, yakni berpusat
pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi baik politik, ekonomi, maupun sosial yang
secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhkan kejahatan
korupsi. Dengan ini, upaya non-penal seharusnya menjadi kunci atau memiliki posisi
penting atau dalam istilah yang digunakan oleh Barda Nawawi Arief memiliki posisi
strategis dari keseluruhan politik kriminal.
Upaya yang kedua adalah upaya penal dengan memanggil atau menggunakan
hukum pidana atau dengan menghukum atau memberi pidana atau memberikan
penderitaan atau nestapa bagi pelaku korupsi.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
3.2 SARAN
Nanang T. Puspito, Marcella Elwina S., Indah Sri Utari, Yusuf Kurniadi. Pendidikan
Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi. Jakarta : Kemendikbud
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b58670a46155/ini-dia-3-
fokus-strategi-nasional-pencegahan-korupsi/
Sina, La. 2008. Dampak dan Upaya Pemberantasan Serta Pengawasan Korupsi di
Alatas, Syed Hussein.1987. Korupsi : Sifat, Sebab dan Fungsi. Jakarta : LP3ES