Anda di halaman 1dari 24

Upaya Pemberantasan Korupsi

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi

Dosen Pengampu : Dra. Zainal Hidayat, M.Si

Kelompok 5 :

1. yolanda fricillia 14030117130046

2. Faridah Az Zahro 14020118120043

3. Ikang Maulana 14020116140046

4. Faza Salsabila Z R 14020118140115

5. Saputra Pratama 14030117140071

6. Riyana Afila 14020118120024

7. Elistriany intar M 14030117140091

8. Febriani Ratnasari 14020118120012

DEPARTEMEN ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Korupsi masih menjadi permasalahan sosial yang sulit diberantas. Korupsi


dapat merusak struktur pemerintahan. Selain itu dapat juga sebagai penghambat utama
terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan pada umumnya.

Hukum Pidana menjelaskan bahwa korupsi adalah suatu tindakan yang


memperkaya diri atau orang lain tanpa hak. Namun makna ini rupanya telah bergeser
kemana mana. Titik berat pemberantasan korupsi tidak lagi bertumpu pada
penyalahgunaan hak, melainkan bagaimana uang negara dapat bertambah. Akibatnya ,
korban berjatuhan sementara mereka yang menyalahgunakan haknya tetap bebas
berkeliaran. (Latah korupsi, Jurnal Hukum Pro Justitia Januari 2006).

Persoalan korupsi di Negara Indonesia terbilang kronis, bukan hanya


membudaya tetapi sudah membudidaya. Pengalaman pemberantasan korupsi di
Indonesia menunjukkan bahwa kegagalan demi kegagalan lebih sering terjadi
terutama terhadap pengadilan koruptor kelas kakap dibanding koruptor kelas
teri.

Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi Pasal 1 butir ke-3 dijelaskan bahwa pemberantasan tindak
pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak
pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ada yang mengatakan bahwa upaya yang paling tepat untuk memberantas
korupsi adalah menghukum seberat beratnya pelaku korupsi. Dengan demikian ,
bidang hukum khususnya hukum pidana akan dianggap sebagai jawaban yang paling
tepat untuk memberantas korupsi. Pada realitanya kita memiliki perangkat hukum
berupa peraturan perundang undangan. Selain itu kita juga memiliki lembaga dan
aparat baik berupa kepolisian,kejaksaan, dan pengadilan. Bahkan kita memiliki
lembaga independen yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Semua itu
dibentuk guna memberantas tindakan korupsi di Indonesia ini. Akan tetapi pada
kenyataanya korupsi masih marak terjadi.

Ada yang mengatakan bahwa bekal pendidikan, termasuk pendidikan agama.


Akan tetapi pada kenyataannya orang orang yang terkena kasus korupsi justru orang
orang yang berpendidikan bahkan yang taat beragama sekalipun. Kemudian ada yang
mengatakan dalam pemberantasan korupsi perlu adanya reformasi sistem,kelembagaan
dan pejabat publiknya. Ruang untuk korupsi diperkecil. Penting pula untuk mendirikan
lembaga independen yang dapat mencegah dan memberantas korupsi. Lembaga ini
harus mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya terhadap rakyat. Berdasarkan
pemaparan diatas maka kami akan membahas tentang “Upaya Pemberantasan
Korupsi”.

1.2 Rumusan masalah

1. Bagaimana konsep pemberantasan korupsi ?


2. Bagaimana upaya penanggulangan kejahatan (korupsi) dengan menggunakan
hukum pidana ?
3. Apa strategi dan upaya yang dilakukan dalam pemberantasan korupsi ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui konsep pemberantasan korupsi.
2. Untuk mengetahui upaya penanggulangan kejahatan (korupsi) dengan
menggunakan hukum pidana.
3. Untuk mengetahui strategi dan upaya yang dilakukan dalam pemberantasan
korupsi.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Korupsi

Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruption atau corruptus, yang
selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere,
suatu kata dalam bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun kebanyak
bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Belanda, yaitu corruptive
(korruptie), dapat atau patut diduga bahwa istilah korupsi berasal dari bahasa Belanda
dan menjadi bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”, yang mengandung arti perbuatan
korup, penyuapan.

Syed Hussen Alatas mendefinisikan bahwa korupsi merupakan suatu transaksi


yang tidak jujur yang dapat menimbulkan kerugian uang, waktu, dan tenaga dari pihak
lain. Definisi tentang korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek bergantung pada
disiplin ilmu yang dipergunakan, sehingga korupsi terbagi menjadi 4 (empat) jenis
sebagai berikut :

a. Discretionery corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya


kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat
sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para anggota organisasi.
b. Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan
bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu.
c. Mercenary corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk
memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan
kekuasaan.
d. Ideological corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun discretionery yang
dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.
Menurut Binawan korupsi saat ini sudah bergeser menjadi perkara moral.
Muatan moral itu menjadi jelas ketika unsur kesengajaan dalam penyalahgunaan
kekuasaan itu ditonjolkan, Karena itu pula, unsur agency lalu masuk dalam
perhitungan.

Korupsi di Indonesia telah berkembang dalam tiga tahap yang terdiri dari (1)
elitis, (2) endemik, dan (3) sistemik. Pada tahap elitis, korupsi masih menjadi patologi
sosial yang khas di lingkungan para elit/pejabat. Pada tahap endemik, korupsi mewabah
menjangkau masyarakat luas. Lalu di tahap sistemik, setiap individu di dalam sistem
terjangkit penyakit yang serupa. Menurut Djaja Ermansyah, korupsi di Indonesia telah
mencapai tahap sistematik karena telah mengakar di setiap lembaga atau institusi yang
berwenang.

Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak


sosial dan hak hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat
lagi digolongkan sebagai ordinary crimes atau kejahatan biasa melainkan telah menjadi
kejahatan luar biasa extra-ordinary crimes karena telah merusak keuangan negara dan
potensi ekonomi Negara, serta meluluhlantakkan pilar-pilar sosio budaya, moral,
politik, dan tatanan hokum dan keamanan nasional. Jadi, dalam upaya
pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dibutuhkan “cara-cara
yang bersifat extra-ordinary pula.

Adapun penyebab terjadinya korupsi di Indonesia, berdasarkan kajian dan


pengalaman di Indonesia menurut Abdullah Hehamahua (2006) ada 8 penyebab
terjadinya korupsi di Indonesia:

1. Sistem penyelenggaraan negara yang keliru,

2. Kompensasi PNS yang rendah,

3. Pejabat yang serakah,


4. Law enforcement tidak berjalan,

5. Hukum yang ringan terhadap koruptor

6. Pengawasan yang tidak efektif,

7. Tidak ada keteladanan pemimpin

8. Budaya masyarakat yang kondusif KKN

Korupsi di Indonesia memiliki tahapan yang telah berkembang dalam tubuh


negara ditunjukkan mulai dari terbentuknya negara pascakolonial (post-colonial state),
periode demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, Orde Baru, sampai setelah
berakhirnya Rezim Soeharto, berdasarkan kajian Hendardi (2005) setidaknya ada 13
tahap perkembangan korupsi di Indonesia.

Perkembangan yang dapat diketahui adalah : Pertama, penyimpangan atas


anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Kedua, rebutan pengelolaan
perusahaan asing yang telah dilakukan nasionalisasi. Ketiga, para birokrat, baik sipil
maupun militer terlibat dalam kolusi pemberian lisensi, proyek dan kredit, maupun
monopoli hinga proteksi BUMN. Keempat, lembaga militer maupun kepolisian
mengembangkan jaringan bisnis dengan pendanaan yang bersumber dari negara.
Kelima, pembiaran korupsi dalam tubuh birokrasi seiring meningkatnya jumlah APBN.
Keenam, dunia peradilan ikut terlibat korupsi. Ketujuh, birokrasi mengembangkan
dirinya secara komersial. Kedelapan, berbagai kelompok yang menikmati sistem korup
mengembangkan dirinya dalam kegiatan bisnis illegal. Kesembilan, Kesenjangan pusat
menimbulkan pergolakan daerah dan terorisme. Kesepuluh, pemilu telah menjadi ajang
perebutan kursi kekuasaan politik. Kesebelas, para politisi melakukan permainan
“politik dagang sapi”. Keduabelas, diduga adanya penyimpangan dalam pengelolaan
dana sosial. Ketigabelas, telah terjadi penyimpangan dalam pengelolaan SDA.
Dengan kompleksnya permasalahan korupsi karena berkembangnya korupsi di
Indonesia setiap waktu, maka dibutuhkan pengaturan khusus tindak pidana korupsi
dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang
khusus mengatur tentang tindak pidana korupsi sudah ada. Di Indonesia sendiri,
undang-undang tentang tindak pidana korupsi sudah 4 (empat) kali mengalami
perubahan. Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang korupsi,
yakni :

1. Undang-undang nomor 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan tindak pidana


korupsi,

2. Undang-undang nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana


korupsi,

3. Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana


korupsi,

4.Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-


undang pemberantasan tindak pidana korupsi.

- Konsep Pemberantasan Korupsi

Tidak ada jawaban yang tunggal dan sederhana untuk menjawab mengapa
korupsi timbul dan berkembang demikian masif di suatu negara. Ada yang
menyatakan bahwa korupsi ibarat penyakit ‘kanker ganas’ yang sifatnya tidak hanya
kronis tapi juga akut. Ia menggerogoti perekonomian sebuah negara secara perlahan,
namun pasti. Penyakit ini menempel pada semua aspek bidang kehidupan
masyarakat sehingga sangat sulit untuk diberantas. Perlu dipahami bahwa
dimanapun dan sampai pada tingkatan tertentu, korupsi memang akan selalu ada dalam
suatu negara atau masyarakat.
Sebelum melangkah lebih jauh membahas upaya pemberantasan korupsi,
berikut pernyataan yang dapat didiskusikan mengenai strategi atau upaya
pemberantasan korupsi oleh Fijnaut dan Huberts (dalam Tim Penulis Buku Pendidikan
Anti Korupsi, 2017:90):

It is always necessary to relate anti-corruption strategies to characteristics of


the actors involved (and the environment they operate in). There is no single
concept and program of good governance for all countries and organizations,
there is no ‘one right way’. There are many initiatives and most are tailored to
specifics contexts. Societies and organizations will have to seek their own
solutions.

Dari pernyataan ini dapat dipahami bahwa sangat penting untuk


menghubungkan strategi atau upaya pemberantasan korupsi dengan melihat
karakteristik dari berbagai pihak yang terlibat serta lingkungan di mana mereka
bekerja atau beroperasi. Tidak ada jawaban, konsep atau program tunggal untuk
setiap negara atau organisasi. Ada begitu banyak strategi, cara atau upaya yang
kesemuanya harus disesuaikan dengan konteks, masyarakat maupun organisasi yang
dituju. Setiap negara, masyarakat mapun organisasi harus mencari cara mereka sendiri
untuk menemukan solusinya.

2.2 Upaya Penanggulangan Korupsi dengan Hukum Pidana


Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pemerintah
sampai saat ini masih terus bergulir, walaupun berbagai strategi telah dilakukan, tetapi
perbuatan korupsi masih tetap saja merebak di berbagai sektor kehidupan. Beberapa
kalangan berpendapat bahwa terpuruknya perekonomian Indonesia dalam beberapa
tahun terakhir ini, salah satu penyebabnya adalah korupsi yang telah merasuk ke
seluruh lini kehidupan yang diibaratkan seperti jamur di musim penghujan, tidak saja
di birokrasi atau pemerintahan tetapi juga sudah merambah ke korporasi termasuk
BUMN.
Upaya Penanggulangan Korupsi dengan Hukum Pidana telah diatur dalam
Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Secara yuridis-
formal pengertian tindak pidana korupsi

terdapat dalam Bab II tentang tindak pidana korupsi, ketentuan pasal 2 sampai
dengan pasal 20, Bab III tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak
pidana korupsi sesuai dengan ketentuan pasal 21 sampai dengan 24 UU PTPK.
Rumusan-rumusan yang terkait dengan pengertian tindak korupsi tersebut tentu
saja akan memberi banyak masukan dalam perumusan UU PTPK, sehingga sanksi
hukuman yang diancamkan dan ditetapkan dapat membantu memperlancar upaya
penanggulangan Tindak Pidana Korupsi. Beberapa tipe tindak pidana korupsi yang
lainnya, antara lain:
a) Tindak Pidana Korupsi Tipe Pertama
Tindak pidana korupsi tipe pertama terdapat dalam Pasal 2 UU PTPK
yang menyebutkan bahwa: Setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan denda paling
sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Dalam hal tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana
mati dapat dijatuhkan.

b) Tindak Pidana Korupsi Tipe Kedua


Korupsi tipe kedua diatur dalam ketentuan pasal 3 UU PTPK yang
menyebutkan bahwa: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah).
c) Tindak Pidana Korupsi Tipe Ketiga
Korupsi tipe ketiga terdapat dalam ketentuan pasal 5, 6,7, 8, 9, 10, 11,
12, 12A, 12B, 12C dan 13 UU PTPK. Apabila dikelompokkan, korupsi tipe
ketiga dapat dibagi menjadi 4, yaitu:
1. Penarikan perbuatan yang bersifat penyuapan. paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling
sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
2. Penarikan perbuatan yang bersifat penggelapan, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak 750.000.000,00 (tujuh ratus lima
puluh juta rupiah).
3. Penarikan perbuatan yang bersifat kerakusan, dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
4. Penarikan perbuatan yang berkolerasi dengan pemborongan, leverensir
dan rekanan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling
sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).
d) Tindak Pidana Korupsi Tipe Keempat
Korupsi tipe keempat adalah tipe korupsi percobaan, pembantuan atau
permufakatan jahat serta pemberian kesempatan, sarana atau keterangan
terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang di luar wilayah
Indonesia (Pasal 15 dan Pasal 16 UU PTPK). Konkritnya, perbuatan
percobaan/poging sudah diintrodusir sebagai tindak pidana korupsi oleh karena
perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan
nasional yang menuntut efisiensi tinggi sehingga percobaan melakukan tindak
pidana korupsi dijadikan delik tersendiri dan dianggap selesai dilakukan.
Demikian pula mengingat sifat dari tindak pidana korupsi itu,
permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi meskipun masih
merupakan tindak persiapan sudah dapat dipidana penuh sebagai suatu tindak
pidana tersendiri. Tindak Pidana ini dipidana dengan pidana yang sama sebagai
pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3,
Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.

e) Tindak Pidana Korupsi Tipe Kelima Korupsi


Tipe kelima ini sebenarnya bukanlah bersifat murni tindak pidana
korupsi, tetapi tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi
sebagaimana diatur dalam Bab III Pasal 21 sampai dengan Pasal 24 UU PTPK.
Apabila dijabarkan, hal-hal tersebut adalah:
1. Dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara
langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para
saksi dalam perkara korupsi.
2. Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35,
atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau
memberi keterangan yang tidak benar.
3. Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429
atau Pasal 430 KUHP.
4. Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 (dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain
yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor).
Ketentuan mengenai sanksi pidana yang diatur dalam Bab III Pasal 21- 24 UU
PTPK tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
2. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
3. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah).
4. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau
denda paling banyak Rp 150.000.000,000 (seratus lima puluh juta
rupiah).
Ketentuan lain yang mengatur tentang tindak pidana korupsi yaitu:
1. Barangsiapa melakukan tindak pidana tersebut dalam KUHP yang
ditarik sebagai tindak pidana korupsi, yang berdasarkan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 rumusannya diubah dengan tidak
mengacu pasal-pasal dalam KUHP tetapi langsung menyebutkan unsur-
unsur yang terdapat dalam masing-masing Pasal KUHP.
2. Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

2.3 Strategi Dan/Atau Upaya Pemberantasan Korupsi


Pemberantasan korupsi membutuhkan kesamaan pemahaman mengenai tindak
pidana korupsi itu sendiri. Dengan adanya persepsi yang sama, pemberantasan korupsi
bisa dilakukan secara tepat dan terarah bukan hanya menjadi slogan semata. Agar,
pemberantasan berjalan lebih efektif hendaknya ketiga strategi harus dilakukan secara
bersamaan.
Pertama, melakukan edukasi dan kampantye guna pelaku tidak mau melakukan
korupsi. Edukasi dan kampanye adalah strategi pembelajaran Pendidikan antikorupsi
dengan tujuan membangkitkan kesadaran masyarakat mengenai dampak korupsi,
mengajak masyarakat dari berbagai elemen untuk terlibat dalam Gerakan pemberatasan
korupsi sebagai reinkarnasi moral anak negeri seperti membuat pernyataan Pakta
Integeritas untuk diri pribadi sebagai bentuk janji pada ibu pertiwi jika dimasa depan
mendapat amanah untuk menjadi pemimpin baik dari tingkat terkecil sampai tingkat
nasional, maka akan mengedepankan nilai nilai luhur bangsa Indonesia dalam
menjalankan tugasnya dan tidak melakukan tindakan korupsi serta siap mendapatkan
sanksi sesuai hukum yang berlaku jika melanggarnya.
Kedua, Perbaikan sistem agar tidak bisa melakukan korupsi. Banyak sistem
yang diterapkan di Indonesia memberikan peluang tindak pidana korupsi. Sistem yang
baik dapat meminimalisir terjadinya tindak pidana korupsi. Maka dari itu diperlukan
perbaikan sistem, misalnya mendorong transparansi penyelenggara negara seperti yang
dilakukan KPK menerima pelaporan LHKPN dan juga gratifikasi, KPK atau akademisi
memberikan rekomendasi kepada Lembaga terkait untuk melakukan langkah langkah
perbaikan, memodernisasi pelayanan publik dengan online dan sistem pengawasan
yang terintegerasi agar lebih transparan dan efektif.
Ketiga, Strategi represif. Strategi represif adalah upaya penindakan hukum
untuk menyeret koruptor ke pengadilan. Hampir sebagian besar kasus korupsi
terungkap berkat adanya pengaduan masyarakat. Pengaduan masyarakat merupakan
salah satu sumber informasi yang sangat penting untuk diteruskan oleh KPK. Dalam
strategi ini, tahapan yang dilakukan adalah penanganan laporan pengaduan masyarakat
(KPK melakukan proses verifikasi dan penelaahan), penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, eksekusi.
Selain itu, Presiden Joko Widodo juga telah menandatangani Peraturan
Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi.
Dengan terbitnya Perpres 54/2018 ini, maka Perpres Nomor 55 Tahun 2012 tentang
Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun
2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014 dinyatakan sudah tak berlaku lagi.
Sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 Perpres 54/2018, bahwa fokus strategi nasional
pencegahan korupsi meliputi tiga hal. Yakni, perizinan dan tata niaga; keuangan
negara; serta penegakan hukum dan reformasi birokrasi. "Fokus Stranas PK (Strategi
Nasional Pencegahan Korupsi) sebagaimana dimaksud ayat (1) dijabarkan melalui
Aksi PK," bunyi Pasal 3 ayat (2) Peraturan Presiden.
Peraturan Presiden menyebutkan, perizinan dan tata niaga menjadi fokus
lantaran dua hal tersebut bersentuhan langsung dengan masyarakat dan pelaku usaha.
Pemerintah menilai, korupsi di sektor perizinan dapat menghambat kemudahan
berusaha dan investasi, pertumbuhan ekonomi hingga lapangan kerja. Sedangkan
korupsi di sektor tata niaga berdampak pada biaya ekonomi tinggi pada komoditas
pokok, sehingga menjadi beban terutama bagi masyarakat golongan ekonomi lemah.
Pada sektor perizinan dan tata niaga ini terdapat tantangan yang dapat dihadapi.
Tantangan tersebut adalah, terlalu banyak regulasi yang mengatur kewenangan
perizinan; kewenangan menerbitkan izin belum sepenuhnya dilimpahkan dari instansi
teknis ke PTSP baik di pusat maupun daerah; belum diberlakukannya standar Layanan
perizinan yang sama di seluruh daerah; masih terbatasnya pelibatan masyarakat untuk
mengawasi perizinan di tingkat pusat dan daerah; menguatnya praktik kartel dan
monopoli dalam tata niaga sektor strategis pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan
dan energy, rendahnya pelibatan pelaku usaha dalam pencegahan korupsi; dan belum
berkembangnya budaya pencegahan korupsi pada sektor swasta.
Fokus kedua terkait keuangan negara. Dalam Perpres disebutkan bahwa
pengelolaan keuangan negara pada prinsipnya menyangkut dua sisi utama yakni
penerimaan (revenue) dan belanja (expenditure). Alasan korupsi pada sisi penerimaan
negara menjadi fokus karena berdampak pada tidak tercapainya target penerimaan
negara serta pelayanan publik dan pembangunan menjadi tidak optimal serta tak tepat
sasaran. Sedangkan korupsi pada sisi belanja terutama pada proses perencanaan,
penganggaran, pengadaan barang dan jasa pemerintah. Jika pencegahan tidak
dilakukan, berdampak pada tidak tercapainya target pembangunan nasional. Tantangan
pada fokus ini antara lain masih adanya penyelewengan dan kriminalisasi petugas pada
sektor pajak dan non pajak; belum optimalnya kerjasama pertukaran data keuangan dan
perpajakan, belum terintegrasinya kebijakan, proses perencanaan, penganggaran dan
realisasi belanja negara; pengadaan barang dan jasa belum independen dan didukung
sumber daya manusia yang profesional; serta masih terbatasnya pelibatan masyarakat
dalam pengawasan pengelolaan keuangan negara di tingkat pusat maupun daerah.
Fokus ketiga yakni penegakan hukum dan reformasi birokrasi lantaran
keduanya sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan publik kepada negara. Tantangan
pada fokus ini antara lain, belum optimalnya koordinasi aparat penegak hukum dalam
penanganan perkara, khususnya pertukaran informasi dan data lintas aparat penegak
hukum; masih lemahnya adaptasi proses penegakan hukum pada era digital dengan
modus kejahatan yang semakin berkembang dan kompleks; masih terjadinya
penyelewengan dalam penegakan hukum. Kemudian, lemahnya independensi
pengawasan dan pengendalian internal pemerintah, inspektorat pada kementerian,
lembaga dan pemerintah daerah; lemahnya pengawasan sistem merit dalam manajemen
Aparatur Sipil Negara (ASN), belum meratanya kualitas keterbukaan informasi serta
partisipasi masyarakat dalam pengawasan layanan publik; dan belum terintegrasinya
system pengawasan pembangunan dan pemanfaatan program serta pembangunan desa.

A. Pembentukan Lembaga Anti Korupsi


1. Memperbaiki kinerja Lembaga peradilan baik dari tingkat kepolisian ,
kejaksaan, pengadilan dan Lembaga Permasyarakatan. Pengadilan
adalah jantungnya penegakan hukum yang harus bersikap imparsial
(tidak memihak), jujur dan adil begitu juga Lembaga yang lainnya.
2. Kinerja lebaga audit seperti Inspektorat Jenderal harus ditingkatkan.
Lembaga ini masih memiliki kekurangan dalam mencegah tindakan
korupsi pada pejabat negeri.
3. Reformasi birokrasi dan reformasi pelayanan publik adalah salah satu
cara untuk mencegah korupsi. Salah satu cara untuk menghindari
praktek suap menyuap dalam rangka pelayanan publik adalah dengan
mengumumkan secara resmi biaya yang harus dikeluarkan oleh
seseorang untuk mengurus suatu hal seperti mengurus paspor, mengurus
SIM, SIU atau IMB. Asas transparansi dikedepankan
4. Memantau dan memperbaiki kinerja pemerintah daerah. Saat ini,
kemungkinan terjadi tindakan korupsi bukan hanya di pemerintah pusat
saja, tetapi bisa terjadi di Pemerintah Daerah, diperlukan monitoring dan
laporan pertanggungjawaban yang akuntabel dan transparansi.
5. Masyarakat sipil, akademisi, media harus mengawal setiap pembuatan
kebijakan guna melihat apakah kebijakan tersebut sesuai kepentingan
rakyat atau tidak.
B. Pencegahan Korupsi di Sektor Publik
1. Mewajibkan pejabat publik untuk melaporkan dan mengumumkan
jumlah kekayaan yang dimiliki baik sebelum maupun sesudah menjabat.
2. Untuk kontrak pekerjaan atau pengadaan barang baik di pemerintahan
pusat, daerah maupun militer, salah satu cara untuk memperkecil
potensi korupsi adalah dengan melakukan lelang atau penawaran secara
terbuka.
3. Korupsi juga banyak terjadi dalam perekuitan pegawai negeri dan
anggota militer baru. Korupsi, kolusi dan nepotisme sering terjadi dalam
kondisi ini. Sebuah sistem yang transparan dan akuntabel dalam hal
perekuitan pegawai negeri dan anggota militer juga perlu
dikembangkan.
4. Selain sistem perekuitan, sistem penilaian kinerja pegawai negeri yang
menitikberatkan pada proses (proses oriented) dan hasil kerja akhir
(result oriented) perlu dikembangkan. Untuk meningkatkan budaya
kerja dan motivasi kerja pegawai negeri, bagi pegawai negeri yang
berprestasi perlu diberi instentif yang sifatnya positif.

C. Upaya Pemberantasan Korupsi

Permasalahan korupsi masih menjadi perbincangan di Indonesia, karena sampai


saat ini pemberantasan korupsi masih sangat sulit untuk diberantas. Pemberantasan
korupsi tidak akan dapat diatasi oleh para penegak hukum saja, tetapi harus didukung
oleh berbagai pihak yaitu mulai dari penegak hukum sendiri KPK, Kejaksaan Agung,
Kepolisian, Advokat dan yang paling penting adalah dukungan masyarakat.
Pemerintah Indonesia juga telah berkomitmen untuk memberantas beberapa kasus
korupsi yang ada di Indonesia. Berbagai peraturan perundang-undangan tentang
pemberantasan korupsi telah ditetapkan, tetapi selalu dinyatakan tidak berhasil dalam
memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya.
Pemberantasan korupsi diperlukan adanya pengawasan ketat terhadap
penyelenggaraan negara dan komponen masyarakat yang menggunakan keuangan
negara. Untuk menghidahi terjadinya penyalahgunaan kewenangan dari pemerintah,
maka perlu peran dan pengawasan dalam pemberantasan korupsi. Sehingga diperlukan
berbagai upaya untuk mengatasi berbagai kasus korupsi di Indonesia, sebagai berikut :
1. Upaya Pencegahan (Preventif), merupakan suatu tindakan pengendalian sosial yang
dilakukan untuk mencegah atau mengurangi kemungkinan terjadinya hal-hal yang
tidak diinginkan di masa datang. Pencegahan yang dapat dilakukan anatara lain :
a. Menanamkan semangat nasional yang positif dengan mengutamakan
pengabdian pada bangsa dan negara melalui pendidikan formal,
informasi, dan agama.
b. Para pejabat selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada
jaminan masa tua.
c. Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada
jaminan masa tua.
d. Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur dan disiplin kerja yang
tinggi.
e. Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggung
jawab etis tinggi dan dibarengi sistem kontrol yang efisien.
f. Berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi organisasi
pemerintahan melalui penyederhanaan jumlah departemen beserta
jabatan dibawahnya.
2. Upaya Penindakan (Kuratif), yaitu upaya penindakan yang dilakukan kepada
mereka yang terbukti melanggar dengan diberikan peringatan, dilakukan
pemecatan tidak terhormat dan dihukum pidana. Beberapa contoh penindakan
yang dilakukan oleh KPK :
a. Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple
Rostov Rusia milik Pemda NAD (2004).
b. Menahan Konsul Jendral RI Johor Baru, Malaysia, EM. Ia diduga
melakukan pungutan liar dalam pengurusan dokumen keimigrasian.
c. Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada
Pemda DKI Jakarta (2004).
d. Dugaan penyalahgunaan jabatan dalam pembeliaan tanah yang
merugikan keuangan negara Rp 10 milyar lebih (2004).
e. Kasus korupsi dan penyuapan anggota KPU kepada tim audit BPK
(2005).
3. Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa
a. Menciptakan lingkungan bebas dari korupsi di Kampus.
b. Hal ini terutama dimulai dari kesadaran masing-masing mahasiswa
yaitu menanamkan didalam diri mereka sendiri bahwa mereka tidak
boleh melakukan tindakan korupsi walaupun hal itu hanya tindakan
sederhana, misalnya terlambat datang ke kampus, menitipkan absen
kepada teman jika tidak masuk. Memang hal tersebut kelihatan sepele
tetapi berdampak fatal pada pola pikir dan dikhawatirkan akan menjadi
kebiasaan.
c. Memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang bahaya melakukan
korupsi
d. Upaya mahasiswa ini misalnya memberikan penyuluhan kepada
masyarakat mengenai bahaya melakukan tindakan korupsi karena pada
nantinya akan mengancam dan merugikan kehidupannya sendiri. Serta
menghimbau agar masyarakat ikut serta dalam menindaklanjuti dan
berperan aktif dalam memberantas tindakan korupsi yang terjadi
disekitar lingkungan mereka.
e. Menjadi alat pengontrol terhadap kebijakan pemerintah
f. Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan
kontrol sosial terkait dengan kepentingan publik.
g. Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh
4. Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
a. Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah organisasi non pemerintah
yang mengawasi dan melaporkan kepada publik mengenai korupsi di
Indonesia dan terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki komitmen
untuk memberantas korupsi melalui usaha pemberdayaan rakyat untuk
terlibat melawan praktik korupsi.
b. Transparency International (TI) adalah organisasi internasional yang
bertujuan memerangi korupsi politik dan didirikan di Jerman sebagai
organisasi nirlaba sekarang menjadi organisasi non pemerintah yang
bergerak menuju organisasi yang demoratik. Publikasi tahunan oleh TI
yang terkenal adalah laporan korupsi global.

Sedangkan kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal


dengan istilah politik kriminal atau criminal policy oleh G.Peter Hoefnagels dibedakan
sebagai berikut (Nawawi Arief : 2008) :

1. Kebijakan penerapan hukum pidana (criminal law application)


2. Kebijakan pencegahan tanpa hukum pidana (prevention without
punishment)
3. Kebijakan untuk mempengarhi pandangan masyarakat mengenai
kejahatan dan pemidanaan lewat mass media atau media penyuluhan,
pendidikan dan lain-lain.

Secara garis besar upaya penanggulangan kejahatan dapat dibagi menjadi dua
yakni melalui jalur penal (dengan menggunakan jalur pidana) dan jalur non penal
(diselesaikan diluar hukum pidana dengan sarana-sarana non-penal). Secara kasar
menurut Barda Nawwi Arief, upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur penal
lebih menitikberatkan pada sifatnya repressive (penumpasan atau penindasan atau
pemberantasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non-penal lebih
menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan). Dikatakan secara kasar, karena
tindakan represif juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas. (Nawawi
Arief:2008).

Sifat preventif memang bukan menjadi fokus kerja aparat penegak hukum.
Namun untuk pencegahan korupsi sifat ini dapat ditemui dalam salag satu tugas dari
Komisi Pemberantas Korupsi yang memiliki Deputi Bidang Pencegahan yang di
dalamnya terdapat Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat. Sasaran dari
upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur non-penal adalah menangani faktor-
faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan dalam hal ini korupsi, yakni berpusat
pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi baik politik, ekonomi, maupun sosial yang
secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhkan kejahatan
korupsi. Dengan ini, upaya non-penal seharusnya menjadi kunci atau memiliki posisi
penting atau dalam istilah yang digunakan oleh Barda Nawawi Arief memiliki posisi
strategis dari keseluruhan politik kriminal.

Upaya yang kedua adalah upaya penal dengan memanggil atau menggunakan
hukum pidana atau dengan menghukum atau memberi pidana atau memberikan
penderitaan atau nestapa bagi pelaku korupsi.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Korupsi merupakan suatu transaksi yang tidak jujur yang dapat


menimbulkan kerugian uang, waktu, dan tenaga dari pihak lain. Perbuatan tindak
pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak hak
ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan
sebagai ordinary crimes atau kejahatan biasa melainkan telah menjadi kejahatan
luar biasa extra-ordinary crimes karena telah merusak keuangan negara dan potensi
ekonomi Negara, serta meluluhlantakkan pilar-pilar sosio budaya, moral, politik,
dan tatanan hokum dan keamanan nasional. Jadi, dalam upaya pemberantasannya
tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dibutuhkan “cara-cara yang bersifat
extra-ordinary pula.

Upaya dari pemerintah sendiri untuk menanggulangi tindak pidana korupsi


masih terus dilakukan sampai sekarang. Pemerintah sudah mengeluarkan hukum
pidana yang mengatur tentang tindak pidana korupsi dalam Undang Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun hal tersebut tidak
menyurutkan para pelaku korupsi untuk tidak berbuat tindakan korupsi. Korupsi
sudah menjadi ‘budaya’ di Indonesia. Upaya pemberantasan korupsi dapat
dilakukan dengan beberapa cara, yaitu yang pertama memberikan edukasi kepada
masyarakat khusus nya generasi muda dengan memberikan pembelajaran
Pendidikan Anti Korupsi di sekolah atau di tempat pembelajaran lainnya, agar para
generasi muda sadar dan paham terhadap dampak yang terjadi jika korupsi terus
menerus dilakukan. Yang kedua adalah perbaikan sistem, tidak sedikit tindak
pidana korupsi yang dilakukan karena sistem yang cacat atau tidak sempurna. Oleh
karena itu penting diadakan nya perbaikan sistem. Yang ketiga, memproses pelaku
tindak pidana korupsi ke pengadilan. Pelaku tindak pidana korupsi yang tertangkap
harus diberikan hukuman yang setimpal agar memberikan efek jera kepada pelaku
korupsi tersebut.

3.2 SARAN

Untuk memberantas tindak pidana korupsi dibutuhkan aturan-aturan yang


jelas guna meminimalisir kasus tersebut. Perbaikan sistem yang sudah pernah
dijalankan dan dikelola juga dapat dilakukan agar tindakan korupsi semakin
menjadi. Aparat hukum yang diberikan wewenang atau tugas untuk mengatasi
masalah korupsi harus tegas dan adil dalam memutus perkara korupsi. Tidak boleh
ada aparatur negara yang memandang siapa yang menjadi koruptor. Seorang
koruptor yang bersalah dan harus dijatuhi hukuman yang sesuai dengan undang-
undang yang berlaku. Jika perlu diberikan hukuman seberat-berat nya agar para
pelaku korupsi merasa jera.
DAFTAR PUSTAKA

Nanang T. Puspito, Marcella Elwina S., Indah Sri Utari, Yusuf Kurniadi. Pendidikan
Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi. Jakarta : Kemendikbud
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b58670a46155/ini-dia-3-
fokus-strategi-nasional-pencegahan-korupsi/
Sina, La. 2008. Dampak dan Upaya Pemberantasan Serta Pengawasan Korupsi di

Indonesia. Jurnal Hukum Pro Justitia. 26(1): 39-40.

Alatas, Syed Hussein.1987. Korupsi : Sifat, Sebab dan Fungsi. Jakarta : LP3ES

Binawan, Andang.2006.Korupsi Kemanusiaan : Menafsirkan Korupsi (dalam)


Kemanusiaan. Jakarta : Penerbit Buku Kompas

Djaja, Ermansyah.2010. Memberantas Korupsi Bersama KPK. Jakarta : Sinar Grafika

Rafi, Abu Fida’ Abdur.2006. Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Jakarta :


Republika

Tim Penulis Buku Anti Korupsi.2017. Pendidikan Anti-Korupsi untuk Perguruan


Tinggi. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI

Anda mungkin juga menyukai