Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

JENIS KORUPSI SESUAI UU TIPIKOR (UU no.31/1999 dan UU no.20/2001 TENTANG


KERUGIAN NEGARA, SUAP MENYUAP, PENGGELAPAN DALAM JABATAN,
PEMERASAN, PERBUATAN CURANG, BENTURAN KEPENTINGAN DALAM
PENGADAAN, GRATIFIKASI, DAN 30 BENTUK KORUPSI

DISUSUN OLEH :

SINTA PUSPITA SRS 220607144

JATI PRASETIANINGSIH 220607129

NURMA AMALIA ULFAH 220607138

YULI IDA ROYANI S 220607160

PROGRAM STUDI SARJANA KEBIDANAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

ABDI NUSANTARA

TAHUN 2023
Kebiasaan korupsi terlihat
begitu besar dan diluar
kontrol pemerintah.
Akan tetapi langkah untuk
memberantas korupsi ini
sering terhalang
berbagai masalah yang
kompleks. Namun semua
elemen bangsa harus bisa
menghentikan perbuatan
tercela terebut.
Di Indonesia segala upaya
telah dilakukan oleh
pemerintah untuk

1
memberantas korupsi akan
tetapi berdasarkan hasil
penelitian dan evaluasi
dari beberapa lembaga
memperlihatkan
kecenderungan yang sangat
memprihatinkan, umumnya
mereka memiliki
kesimpulan yang sama
bahwa Indonesia merupakan
Negara paling korup di
dunia. Korupsi di
Indonesia telah berkembang
dan mengakar pada
lembaga perwakilan

2
rakyat bahkan dalam sistem
peradilan pidana yaitu
kepolisian, kejaksaan
dan lembaga peradilan yang
seharusnya menjadi ujung
tombak bagi upaya
pemberantasan korupsi
justru dipandang oleh
banyak kalangan sebagai
institusi publik yang paling
korup dan paling banyak
melakukan
penyalahgunaan kewenangan BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korupsi merupakan salah satu penyakit masyarakat sama dengan jenis


kejahatan lain seperti pencurian yang sudah ada sejak manusia bermasyarakat di
atas bumi ini. Masalah utama yang dihadapi adalah meningkatnya korupsi itu seiring

3
dengan kemajuan kemakmuran dan teknologi. Bahkan pengalaman memperlihatkan
semakin maju pembangunan suatu bangsa semakin meningkat juga kebutuhan
mendorong orang untuk melakukan korupsi demi memenuhi segala kebutuhan hidup
yang ada. Pada dasarnya korupsi bisa dilakukan oleh siapa saja bahkan bisa
dilakukan oleh para aparat negara yang seharusnya memberantas tindak pidana
korupsi tersebut. Sejarah membuktikan bahwa hampir disetiap Negara dihadapkan
masalah korupsi. Persoalan korupsi tidak hanya terjadi pada pejabat publik yang
menyalahgunakan jabatannya dan kedudukannya untuk mendapat keuntungan
dengan mudah bagi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Korupsi dapat terjadi
bila ada peluang dan keinginan dalam waktu yang bersamaan, yaitu dapat dimulai
dari aspek mana saja berupa suap yang ditawarkan kepada seorang pejabat, pejabat
meminta atau bahkan memeras uang pelicin, orang yang menyuap menginginkan
jabatan atau sesuatu yang bukan haknya dan kasus suap pengadaan yang
mengabaikan peraturan.
Perbuatan korupsi bisa dilakukan dalam bentuk apapun mulai dari
pengadaan barang dan jasa yang menyalahi prosedur, penyalahgunaan wewenang,
suap, pemberian atau penerimaan gratifikasi, penggunaan dana yang tidak sesuai
dengan posting anggaran dan lain-lain yang semuanya itu mempunyai potensi
merugikan keuangan negara dan perekonomian negara. Pemberantasan korupsi
merupakan masalah paling mendesak yang harus dilakukan karena telah
menghambat kemajuan suatu bangsa. Kebiasaan korupsi terlihat begitu besar dan
diluar kontrol pemerintah. Akan tetapi langkah untuk memberantas korupsi ini
merupakan masalah yang komplek sehingga diharapkan semua elemen bangsa bisa
bekerja sama dalam bentuk apapun untuk menghentikan perbuatan merugikan
tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja jenis-jenis Korupsi?
2. Apa pola dari Korupsi?
3. Apa penyebab seseorang melakukan Tindakan Korupsi?
4. Apa saja bentuk korupsi?

C. Tujuan

4
1. Agar dapat mengetahui jenis-jenis korupsi
2. Agar dapat mengetahui pola dari korupsi
3. Agar dapat mengetahui penyebab seseorang melakukan tindakan korupsi
4. Agar dapat mengetahui bentuk korupsi

BAB II

PEMBAHASAN

Kata korupsi dalam KBBI adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara
(perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang
lain. Istilah ini diambil dari Bahasa Belanda “corruptie” (Setiadi, 2018). Bahaya yang timbul

5
akibat korupsi bagi kehidupan manusia sangat besar, bahkan korupsi disamakan dengan
kanker dalam darah yang membuat si pemilik tubuh dan harus terus melakukan pengobatan
secara rutin untuk tetap hidup. Sebenarnya apa yang menjadi penyebab utama korupsi?
Untuk menjawab pertanyaan ini, butuh kajian yang mendalam. Jika dibagi berdasarkan
skala dampak dan paparannya, maka korupsi dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu petty
corruption, grand corruption, dan political corruption. Mari kita bahas lebih detail mengenai
ketiga jenis korupsi ini:

Petty Corruption

Sesuai dengan namanya, petty corruption adalah korupsi skala kecil oleh pejabat
publik yang berinteraksi dengan masyarakat dan dianggap biasa . sekecil apapun, korupsi
tetaplah korupsi. Petty corruption tidak bisa dianggap sepele karena dapat membentuk
kebiasaan buruk dalam birokrasi dan telah merenggut hak-hak rakyat. Jika dibiarkan, para
pelaku korupsi kecil ini dapat berbuat lebih jauh dengan melakukan kejahatan yang lebih
besar lagi.
Jenis korupsinya seperti :
 pungutan liar
 gratifikasi
 penyuapan
 uang pelicin untuk memuluskan pelayanan publik atau birokrasi. Padahal, pelayanan
tersebut seharusnya murah atau bahkan gratis untuk masyarakat.   

Petty corruption dalam keseharian misalnya memberikan uang untuk mengurus surat-
surat kependudukan atau uang damai kepada polisi ketika ditilang. Korupsi kecil-kecilan ini
kadang terjadi terang-terangan, namun dianggap biasa dan penuh pemakluman dari
masyarakat.

Grand Corruption

Grand corruption atau biasa disebut korupsi kelas kakap adalah korupsi dengan nilai
kerugian negara yang fantastis, miliaran hingga triliunan rupiah. Korupsi kakap
menguntungkan segelintir orang dan mengorbankan masyarakat secara luas. 
KPK dalam Renstra 2011-2015 menjelaskan ada empat kriteria grand corruption.
1. Melibatkan pengambil keputusan terhadap kebijakan atau regulasi

6
2. Melibatkan aparat penegak hukum
3. Berdampak luas terhadap kepentingan nasional
4. Kejahatannya berlangsung sistemik dan terorganisir.

Grand corruption kadang muncul akibat ( kesepakatan ) kongkalikong antara pengusaha


dan para pengambil keputusan atau pembuat kebijakan untuk melakukan state capture.
Yang di maksud dengan State capture adalah korupsi sistemik yang terjadi ketika
kepentingan swasta memengaruhi pembuatan kebijakan untuk keuntungan mereka sendiri.
Grand corruption tidak hanya merugikan orang banyak dan dilakukan oleh pejabat publik,
tapi juga melanggar hak asasi manusia. korupsi bisa melanggar HAM. Misalnya, Korupsi e-
KTP yang telah melanggar hak-hak asasi masyarakat untuk memiliki kartu identitas. korupsi
proyek e-KTP tersebut dilakukan sejak 2011 dan membuat negara merugi hingga Rp2,3
triliun. Korupsi ini melibatkan tujuh orang yang kesemuanya telah divonis antara 6-15 tahun
penjara. Sementara kasus korupsi bantuan sosial (bansos) telah melanggar hak asasi
masyarakat untuk dapat hidup di saat krisis. Belum lagi pelanggaran hak asasi pada
tersedianya pendidikan yang layak, atau sarana kesehatan yang baik.

Political Corruption

Political corruption atau korupsi politik terjadi ketika pengambil keputusan politik
menyalahgunakan wewenangnya dengan memanipulasi kebijakan, prosedur, atau aturan
demi keuntungan diri atau kelompoknya. Keuntungan ini bisa berupa kekayaan, status, atau
mempertahankan jabatan.
Jenis-jenis political corruption adalah
 Penyuapan
 perdagangan pengaruh
 jual beli suara
 nepotisme
 pembiayaan kampanye. 

Seperti halnya grand corruption, political corruption melibatkan orang-orang di level


tinggi penyelenggaraan negara yang main mata dengan pengusaha dalam upaya state
capture. Padahal para pejabat ini seharusnya mewakili rakyat untuk menciptakan
kesejahteraan bagi mereka, namun berkhianat. Political corruption sangat berpotensi terjadi
ketika anggota legislatif juga merangkap sebagai pengusaha. Mereka kemudian
memanipulasi institusi politik untuk memengaruhi pemerintahan dan sistem politik demi

7
kepentingan perusahaannya. Undang-undang dan regulasi disalahgunakan, tidak dilakukan
secara prosedural, diabaikan, atau bahkan dirancang sesuai dengan kepentingan mereka. 
Korupsi politik juga telah merendahkan dan merusak iklim demokrasi dengan
memengaruhi pilihan rakyat menggunakan materi. Masyarakat seharusnya layak
mendapatkan wakil yang terpercaya di parlemen, bukannya orang-orang yang
mengandalkan uang untuk mendapatkan dukungan. Salah satu bentuk Political corruption
yang paling umum adalah money politic yang terjadi saat pemilu, yang di maksud dari
money politic adalah memberikan amplop berisi uang agar rakyat memilih mereka.
Masyarakat mesti menyadari, bahwa nilai uang itu tidak sepadan dengan kerugian yang
akan mereka alami jika politisi kotor duduk sebagai pengambil kebijakan. 
Sejak Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) diundangkan, terdapat berbagai
interpretasi atau penafsiran yang berkembang di masyarakat khususnya mengenai
penerapan Undang-undang tersebut terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan. Hal ini disebabkan Pasal 44 Undang-
undang tersebut menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan tidak berlaku sejak Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan, sehingga timbul suatu anggapan adanya kekosongan
hukum untuk memproses tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999.
Dua Factor yang sangat mempengaruhi seseorang dalam melakukan korupsi yaitu:
 Faktor internal adalah sikap dan sifat individu. Faktor internal sangat dipengaruhi
oleh kuat atau tidaknya nilai-nilai anti korupsi dalam diri seseorang. Maka dari itu,
perlu dilakukan penanaman nilai-nilai anti korupsi
 Faktor eksternal adalah pengaruh yang datang dari lingkungan atau pihak luar.

Berdasarkan hasil analisa yang dilakukan oleh Kemendagri, penyebab utama korupsi di
Indonesia adalah “celah” yang memuluskan niat jahat para koruptor. Celah ini bisa berbagai
macam jenisnya, dari sistem yang tidak transparan, politik yang berbiaya tinggi, hingga
terlalu berambisi untuk menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Penyebab lainnya yaitu
adanya kekurangan integritas pada setiap individu yang berada di pemerintahan. Ini
merupakan turunan dari kurangnya kesejahteraan para penyelenggara negara sehingga
mereka memilih jalur lain untuk meraup keuntungan lebih. Penyebab yang terakhir, lanjut
Kemendagri, adalah pimpinan yang mengukur prestasi bawahan dari loyalitas.Agar dapat
menjangkau berbagai modus penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara
yang semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana yang diatur dalam Undang-undang ini

8
dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain. Korporasi secara "melawan hukum" dalam pengertian formil dan
materiil. Dengan perumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana
korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan
masyarakat harus dituntut dan dipidana.
Dalam Undang-undang ini, tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai
tindak pidana formil. Hal ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan rumusan secara
formil yang dianut dalam Undang-undang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan
kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap
dipidana. Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi, Undang-undang ini memuat ketentuan pidana yang
berbeda dengan Undang-undang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana minimum
khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan
pemberatan pidana. Selain itu Undang-undang ini memuat juga pidana penjara bagi pelaku
tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayar pidana tambahan berupa uang pengganti
kerugian negara. Undang-undang ini juga memperluas pengertian Pegawai Negeri, yang
antara lain adalah orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari Negara atau masyarakat.
Yang dimaksud dengan fasilitas adalah perlakuan istimewa yang diberikan dalam
berbagai bentuk, misalnya :
 Bunga pinjaman yang tidak wajar
 Harga yang tidak wajar
 Pemberian izin yang eksklusif
 Termasuk keringanan bea masuk atau pajak yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Dalam hal terjadi tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka presiden akan
membetuk tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung, sedangkan proses
penyidikan dan penuntutan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Hal ini dimaksudkan dalam rangka meningkatkan efisiensi waktu penanganan
tindak pidana korupsi dan sekaligus perlindungan hak asasi manusia dari tersangka atau
terdakwa. Untuk memperlancar proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak
pidana korupsi, Undang-undang ini mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau
hakim sesuai dengan tingkat penanganan perkara untuk dapat langsung meminta
keterangan tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa kepada bank dengan
mengajukan hal tersebut kepada Gubernur Bank Indonesia.

9
Di samping itu Undang-undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat
terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta
bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau
korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan
penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya. Undang-undang ini juga
memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat berperan serta untuk
membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan terhadap
anggota masyarakat yang berperan serta. Mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara
sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah
melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan
korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa.
Pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara
lain penerapan sistem pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan kepada
terdakwa. Untuk mencapai kepastian hukum, menghilangkan keragaman penafsiran, dan
perlakuan adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketentuan perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah yang berupa
petunjuk, dirumuskan bahwa mengenai "petunjuk" selain diperoleh dari keterangan saksi,
surat, dan keterangan terdakwa, juga diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi
yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
yang serupa dengan itu, tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic
data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili, dan dari
dokumen, yakni setiap rekaman data atau Informasi lainya. informasi yang dapat dilihat,
dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana,
baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam
secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda,
angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Ketentuan mengenai "pembuktian terbalik" perlu ditambahkan dalam Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan
yang bersifat "premium remidium" dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus
terhadap pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 atau terhadap
penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme, untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi. Pembuktian terbalik ini
diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi dan terhadap tuntutan perampasan
harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana sebagaimana

10
dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini. Dalam Undang-undang ini diatur pula
hak negara untuk mengajukan gugatan perdata terhadap harta benda terpidana yang
disembunyikan atau tersembunyi dan baru diketahui setelah putusan pengadilan
memperoleh kekuatan hukum tetap. Harta benda yang disembunyikan atau tersembunyi
tersebut diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Gugatan perdata
dilakukan terhadap terpidana dan atau ahli warisnya. Untuk melakukan gugatan tersebut,
negara dapat menunjuk kuasanya untuk mewakili negara.
Selanjutnya dalam Undang-undang ini juga diatur ketentuan baru mengenai maksimum
pidana penjara dan pidana denda bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp.
5.000.000,00 (lima juta rupiah).Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghilangkan rasa
kekurangadilan bagi pelaku tindak pidana korupsi, dalam hal nilai yang dikorup relatif kecil.
Di samping itu, dalam Undang-undang ini dicantumkan Ketentuan Peralihan. Substansi
dalam Ketentuan Peralihan ini pada dasarnya sesuai dengan asas umumhukum pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Dikutip dari buku Kapita Selekta dan Beban Biaya Sosial Korupsi, definisi korupsi telah
gamblang dijelaskan di dalam 13 pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, tindak pidana
korupsi dirumuskan ke dalam 30 jenis yang kemudian dikelompokkan lagi menjadi tujuh
tindak pidana korupsi. Ke-30 jenis korupsi ini sangat beragam, mulai dari korupsi kecil atau
petty corruption sampai korupsi kelas kakap atau grand corruption.

Berikut adalah daftar 30 jenis tindak pidana korupsi tersebut:


1. Menyuap pegawai negeri;
2. Memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya;
3. Pegawai negeri menerima suap;
4. Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya;
5. Menyuap hakim;
6. Menyuap advokat;
7. Hakim dan advokat menerima suap;
8. Hakim menerima suap;
9. Advokat menerima suap;
10. Pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan;
11. Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi;
12. Pegawai negeri merusakan bukti;
13. Pegawai negeri membiarkan orang lain merusakkan bukti;

11
14. Pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti;
15. Pegawai negeri memeras;
16. Pegawai negeri memeras pegawai negeri yang lain;
17. Pemborong membuat curang;
18. Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang;
19. Rekanan TNI/Polri berbuat curang;
20. Pengawas rekanan TNI/Polri berbuat curang;
21. Penerima barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang;
22. Pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan orang lain;
23. Pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya;
24. Pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak melaporkan ke KPK;
25. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi;
26. Tersangka tidak memberikan keterangan mengenai kekayaan;
27. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka;
28. Saksi atau ahli yang tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan
palsu;
29. Seseorang yang memegang rahasia jabatan, namun tidak memberikan keterangan
atau memberikan keterangan palsu;
30. Saksi yang membuka identitas pelapor.

Dari ke-30 jenis korupsi tersebut, diklasifikasikan lagi menjadi tujuh kelompok tindak
pidana korupsi, yaitu:  

 Kerugian Keuangan Negara

Secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau korporasi. Pelakunya memiliki tujuan menguntungkan diri sendiri serta
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada. Misalnya, seorang
pegawai pemerintah melakukan mark up anggaran agar mendapatkan keuntungan dari
selisih harga tersebut. Tindakan ini merugikan keuangan negara karena anggaran bisa
membengkak dari yang seharusnya. Jenis korupsi yang mengandung unsur kerugian
keuangan negara bisa kita temukan dalam Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Dalam kedua pasal tersebut ada frasa/kata “dapat” merugikan keuangan atau
perekonomian negara. Perdagangan pengaruh atau Trading of Influence terjadi saat pejabat
publik menawarkan diri atau menerima permintaan pihak lain untuk menggunakan pengaruh
politik dan jabatannya, agar melakukan mengintervensi keputusan tertentu. Perdagangan
Pengaruh telah disahkan dalam Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC) pada Oktober

12
2003 dan diratifikasi oleh Indonesia. Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh
kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan,
termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang
timbul karena :

 berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga


Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;
 berada dalam penguasaan, pengurusan, dan bertanggungjawaban Badan Usaha
Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan
yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak
ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.

Korupsi jenis ini sulit ditelurusi karena beda-beda tipis dengan proses lobi yang memang
dihalalkan dalam politik. Namun ada kata kunci untuk membedakan perdagangan pengaruh
dengan proses lobi: Transaksi keuntungan. Jika sudah ada transaksi dengan keuntungan
yang spesifik, maka korupsi terjadi. Contoh perdagangan pengaruh, seorang pengusaha
memberikan sejumlah besar uang kepada tokoh partai untuk membantu memuluskan
rencananya. Pengusaha ini tahu tokoh tersebut bisa mempengaruhi pembuatan kebijakan
karena anggota dewan adalah kader partainya. Frasa/kata “dapat” menunjukkan bahwa
merugikan keuangan dan perekonomian negara merupakan delik formil, Jadi gak perlu
dibuktikan negara rugi apa nggak. Intinya kalo sudah terpenuhi salah satu unsur seperti
perbuatan memperkaya atau menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, maka
gak perlu dibuktikan akibat kerugian negaranya.

Tindakan tersebut tertuang dalam undang-undang kuhp pasal :

Pasal 2

 Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
 Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Pasal 3

13
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling
sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah).

 Suap-Menyuap

Korupsi jenis ini merupakan korupsi yang sering terjadi. Korupsi dengan tindakan berupa
pemberian uang atau menerima uang yang dilakukan oleh penyelenggara negara untuk
melakukan sesuatu yang melawan hukum. Penyuapan dalam politik tidak hanya untuk
memperkaya diri sendiri, tetapi juga untuk berkuasa atau mempertahankan pengaruhnya
dalam birokrasi publik. Jika berhasil berkuasa kembali, maka pelaku akan mengatur undang-
undang, peraturan, dan kebijakan yang dihasilkan agar berpihak kepada kepentingan
ekonomi dirinya semata. Suap politik misalnya terjadi ketika seorang politisi menyuap
lembaga penyelenggara pemilu untuk memenangkan dirinya dalam pilkada atau pemilu.
Kongkalikong ( kesepakatan ) antara politisi dan lembaga penyelenggara pemilu ini adalah
bentuk korupsi dalam sektor politik. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Aparatur
Sipil Negara,  penyelenggara negara, hakim, atau advokat dengan maksud supaya berbuat
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya. Suap menyuap bisa terjadi antar
pegawai maupun pegawai dengan pihak luar. Suap antarpegawai misalnya dilakukan untuk
memudahkan kenaikan pangkat atau jabatan. Sementara suap dengan pihak luar misalnya
ketika pihak swasta memberikan suap kepada pegawai pemerintah agar dimenangkan
dalam proses tender.

UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi gak cuma mengatur tentang larangan suap bagi
pegawai negeri dan penyelenggara negara, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga
mengatur larangan suap kepada hakim dan advokat, yang tertuang dalam pasal :

Pasal 5

Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana yaitu “barang siapa memberi sesuatu kepada seorang

14
pejabat karena atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban,
dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya” dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah).

Pasal 6

Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
210 Kitab Undang-undang Hukum Pidana “mengisyaratkan penyuapan terhadap hakim dan
penasihat hukumnya di pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima
puluh juta rupiah).

Pasal 11

Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
418 Kitab Undang-undang Hukum Pidana “Pegawai negeri yang menerima hadiah atau
perjanjian, sedang ia tahu atau patut dapat menyangka, bahwa apa ayng dihadiahkan atau
dijanjikan itu berhubungan dengan kekuasaan atau hak karena jabatannya”, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).Ps 12 huruf a, c, dan d (uu no 20 tahun
2001 tentang perubahan atas uu no 31 tahun 1999 ttg pemberantasan tindak pidana
korupsi)

Pasal 12

Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang hukum pidana terdiri dari :

 Pasal 419 “yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahuinya bahwa hadiah
atau janji itu diberikan untuk menggerakkannya supaya melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
 Pasal 420 “barang siapa menurut ketentuan undang-undang ditunjuk menjadi
penasihat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal
diketahui bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasihat tentang
perkara yang harus diputus oleh pengadilan itu “.

15
 Pasal 423 “Pegawai negeri yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya
memaksa orang lain untuk menyerahkan sesuatu, melakukan suatu pembayaran,
melakukan pemotongan terhadap suatu pembayaran atau melakukan suatu
pekerjaan untuk pribadi”
 Pasal 425 “seorang pejabat yang pada waktu menjalankan tugas, meminta,
menerima, atau memotong pembayaran; seolah-olah berhutang kepadanya, kepada
pejabat lainnya atau kepada kas umum, padahal diketahuinya bahwa tidak demikian
adanya”
 Pasal 435 “Seorang pejabat yang dengan langsung maupun tidak langsung sengaja
turut serta dalam pemborongan, penyerahan atau persewaan, yang pada saat
dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian, dia ditugaskan mengurus atau
mengawasinya “Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).B (uu no 20
tahun 2001 tentang perubahan atas uu no 31 tahun 1999 ttg pemberantasan tindak
pidana korupsi)

Pasal 13

Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat
kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh
pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

 Penggelapan Dalam Jabatan

Penggelapan dalam jabatan yang dimaksud dalam rumusan pasal-pasal UU


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merujuk kepada penggelapan dengan pemberatan,
yaitu penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memiliki pekerjaan atau jabatan.
Misalnya dengan jabatannya, seseorang pegawai negeri/penyelenggara negara melakukan
penggelapan dengan membuat laporan keuangan palsu, tentu saja untuk keuntungan diri
sendiri dan merugikan negara. Tertuang dalam pasal kuhp antara lain :

16
Pasal 8

Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
415 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 750.000.000,00 (tujuh
ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 9

Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
416 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 10

Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 417
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling banyak 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).

 Pemerasan

Ketentuan Pasal 12 huruf e UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan


bahwa pemerasan adalah tindakan/perbuatan yang dilakukan oleh pegawai
negeri/penyelenggara negara untuk maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa
seseorang untuk memberi sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan
potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

Ada lagi bentuk suap lainnya adalah pegawai negeri/penyelenggara negara pada saat
menjalankan tugas juga memeras pegawai negeri lainnya dengan cara meminta, menerima
atau memotong pembayaran dari pegawai negeri/penyelenggara negara lainnya. Ps 12
huruf e, f, g, h (uu no 20 tahun 2001 tentang perubahan atas uu no 31 tahun 1999 ttg
pemberantasan tindak pidana korupsi)

17
 Perbuatan curang

Korupsi jenis ini berlaku untuk pemborong, pengawas proyek, rekanan TNI/POLRI,
pengawas rekanan TNI/POLRI yang melakukan kecurangan dalam pengadaan barang atau
jasa, yang merugikan orang lain dan merugikan negara dan membahayakan keselamatan
negara saat perang. Tidak hanya seseorang yang melakukan perbuatan curang yang dapat
dijerat dengan kasus korupsi, bahkan seorang pengawas proyek, pengawas rekanan
TNI/POLRI yang membiarkan terjadinya perbuatan curang juga dapat dijerat dengan tindak
pidana korupsi. Salah satu kasus korupsi politik yang sering terjadi adalah jual beli suara
saat pemilihan. Cara ini dilakukan oleh politisi atau partai politik untuk memenangkan pemilu
dan mempertahankan kekuasaan mereka. Dengan cara jual beli suara yang umum adalah
"serangan fajar". Ini adalah istilah yang digunakan untuk praktik bagi-bagi uang oleh kader
partai kepada warga di pagi hari sebelum pencoblosan. Tindakan ini dilakukan untuk
mempengaruhi keputusan warga dalam memilih. Modus juga beli suara lainnya yang
diungkapkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) adalah memanfaatkan sisa surat suara tak
terpakai di TPS untuk dicoblos oleh oknum Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara
(KPPS) dan diberi kepada kubu yang memesan. Jual beli suara ini dapat berakibatnya
duduknya orang yang tidak tepat di kursi wakil rakyat. Anggota dewan yang melakukan jual
beli suara berpeluang besar korupsi untuk mengembalikan modal besar yang
dikeluarkannya pada pemilu.

 Benturan kepentingan dalam pengadaan

Korupsi politik lainnya adalah pembiayaan untuk parpol atau caleg selama kampanye.
Masih menjadi perdebatan apakah ini adalah pelanggaran pidana atau dukungan politik
semata. Namun istilah "tidak ada makan siang gratis" kiranya jadi salah satu jawabannya.
Pendanaan kampanye oleh pengusaha kepada seorang caleg bukannya tanpa sebab.
Walau mungkin tak ada transaksi secara tertulis, namun ada utang budi yang mesti dibayar
caleg kepada pendonor. Di antara bentuk "pelunasan utangnya" bisa jadi adalah pengaturan
kebijakan yang menguntungkan pengusaha atau manipulasi pemenangan tender
pengadaan barang dan jasa. Hal ini pada akhirnya akan memunculkan konflik kepentingan
yang menjadi salah satu penyebab korupsi.

Keberadaan korupsi politik jelas telah mencederai sistem demokrasi di Indonesia.


Korupsi politik juga akan menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik dan
penyelenggara pemilu. Selain itu, kualitas lembaga tinggi negara dan pemerintahan akan
menurun karena diduduki orang-orang yang berkuasa bukan karena kemampuan mereka,
tapi lantaran korupsi. Benturan kepentingan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah

18
adalah situasi dimana seorang pegawai negeri/penyelenggara negara, baik langsung
maupun tidak langsung sengaja turut serta dalam pengadaan barang/jasa. Dalam kasus-
kasus korupsi yang melibatkan keluarga terdekat dari penyelenggara negara, misalnya
seperti kasus korupsi yang menjerat Ratu Atut Chosiyah dan adik kandungnya Tubagus
Chaeri Wardana terkait korupsi pengadaan alat kesehatan. Pasal 12 huruf i (uu no 20 tahun
2001 tentang perubahan atas uu no 31 tahun 1999 ttg pemberantasan tindak pidana
korupsi)

 Gratifikasi

Gratifikasi merupakan jenis korupsi berupa pemberian hadiah. Bisa uang, barang,
bahkan sampai layanan sex. Gratifikasi ini mirip-mirip dengan suap. Dalam Pasal 12 huruf b
UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan bahwa setiap gratifikasi (pemberian
hadiah) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap sebagai pemberian
suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban
dan tugasnya dengan ketentuan:

 Kalo nilainya Rp10 juta atau lebih, maka penerima gratifikasi harus membuktikan
bahwa gratifikasi/hadiah tersebut bukan suap.
 Kalo nilainya kurang dari Rp10 juta, maka pembuktian bahwa gratifikasi tersebut
adalah suap dilakukan oleh penuntut umum.

Pasal 12 huruf b (uu no 20 tahun 2001 tentang perubahan atas uu no 31 tahun 1999 ttg
pemberantasan tindak pidana korupsi)

19
BAB III

PENUTUP

 KESIMPULAN

Tindak pidana korupsi semakin banyak terjadi dan memberikan dampak yang sangat
besar bagi individu maupun suatu negara sehingga membuat kita harus mengetahui jenis,
bentuk, dan penyebab mengapa orang melakukan tidakan korupsi. Hal yang perlu
ditekankan lagi kepada individu dan masyarakat bahwa akibat dari Tindakan tersebut sudah
dicantumkan dalam Undang-undang tindak pidana korupsi no.31 Tahun1999 dan Undang-
undang no.20 Tahun 2001. Semoga dengan terbentuknya makalah ini dapat membantu kita
semua dalam memilah perilaku dan Tindakan yang dapat menyebabkan Tindakan tersebut
sehingga kita tidak masuk dalam lingkaran Tindakan korupsi yang sudah terjadi

 SARAN

Perlu adanya suatu gerakan yang mendorong pelaksanaan sosialisasi lebih gencar agar
individu maupun masyarakat mengetahui Tindakan korupsi dan akibat dari korupsi dengan
cara menumbuhkan sedini mungkin perilaku patriotik sehingga generasi penerus bangsa
bangga dan mampu bilang tidak pada korupsi

20
REFERENSI

1. UU nomor 20 Tahun 2001


2. UU nomor 31 Tahun 1999
3. Aclc.kpk.go.id. (2022). Bentuk-bentuk korupsi politik yang perlu diketahui.
4. https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20220524-bentuk-bentuk-korupsi-
politik-yang-perlu-diketahui
5. https://www.hukumonline.com/klinik/a/bentuk-bentuk-korupsi-dan-aturannya-di-
indonesia-lt5e6247a037c3a
6. Ismail, Kajian Yuridis Terhadap Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Legalite: Jurnal
Perundang- Undangan dan Hukum Pidana Islam, Vol. 2, No. 2, 2018;
7. Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi: Buku Panduan Untuk
Memahami Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: KPK, 2006;
8. R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bogor: Politea, 1986;
9. Tim Garda Tipikor, Kejahatan Korupsi, Yogyakarta: Rangkang Education, 2016;
10. KBBI, korupsi diakses pada Jumat, 21 Oktober 2022, pukul 12.01 WIB;
11. KPK: Ayo Kenali dan Hindari 30 Jenis Korupsi Ini!, diakses pada Senin, 20 Juni
2022, pukul 18.05 WITA;
12. KPK: Pusat Edukasi Antikorupsi, diakses pada Senin, 20 Juni 2022, pukul 10.06
WITA.

21

Anda mungkin juga menyukai