Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

KORUPSI DAN TANTANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA

Mata kuliah : Pendidikan Anti Korupsi


Dosen : Drs. H. Maman T

Di susun oleh kelompok 8


 Syarofatul hasanah
 Nur hidayah

PROGRAM STUDI BAHASA INDONESIA


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM HAJI AGUS SALIM
KATA PENGANTAR

Bismillah
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT, serta sholawat salam tercurahkan
untuk junjungan Nabi besar Muhammad SAW. Kami bersyukur karena telah dapat
menyelesaikan makalah dengan judul “KORUPSI DAN TANTANGAN DEMOKRASI DI
INDONESIA “ ini sebagai tugas dari mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi.
Kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfa’at bagi orang lain
dan dapat di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari terutama bagi kaum pelajar,
karena sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang dapat memberikan manfa’at
kepada sesamanya. Apabila ada kesalahan dalam tulisan kami, kami memohon maaf,
karena segala kekurangan dan kesalahan adalah sebagian dari sifat manusia,
sedangkan segala kesempurnaan hanyalah milik Allah ‘azza wajalla saja. Akhir kata
kami ucapkan terima kasih.

Cikarang barat,10 Maret 2015

Penyusun
Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna
busuk,rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik,
baik politisi maupunpegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang
secara tidak wajar dan tidaklegal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan
kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.

Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut:

 perbuatan melawan hukum,
 penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
 memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
 merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, namun bukan semuanya, adalah

 memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),


 penggelapan dalam jabatan,
 pemerasan dalam jabatan,
 ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan
 menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk
keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya.
Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh
dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang
diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti
harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada
sama sekali.

Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat,
terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan
narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini
saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk
membedakan antara korupsi dan kejahatan.
Kondisi yang mendukung munculnya korupsi.

 Konsentrasi kekuasaan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung


kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
 Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
 Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari
pendanaan politik yang normal.
 Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
 Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
 Lemahnya ketertiban hukum.
 Lemahnya profesi hukum.
 Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
 Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.

Perbuatan –perbuatan yang dikelompokan sebagai korupsi diantaranya :


 
1.  Korupsi yang terkait dengan kerugian negara :
a.  Melawan hukum untuk memperkaya diri dan dapat merugikan Negara adalah Korupsi;
b.  Menyalagunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri dan dapar merugikan
keuangan negara adalah korupsi;
2.  Korupsi yang terkait dengan suap menyuap :
a.  Menyuap pegawai negeri adalah korupsi;
b.  Menyuap pegawai negeri karena jabatannya adalah korupsi;
c.  Pegawai negeri menerima suap adalah korupsi;
d.  Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya adalah
korupsi;
e.  Menyuap hakim adalah korupsi;
f.  Menyuap advokat adalah korupsi;
g.  Hakim dan advokat menerima suap adalah korupsi;
h.  Hakim menerima suap adalah korupsi;
i.  Advokat menerima suap adalah korupsi;
3.  Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan :
a.  Pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan adalah korupsi;
b.  Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi adalah korupsi;
c.  Pegawai negeri merusakkan bukti adalah korupsi;
d.  Pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti adalah korupsi;
4.  Korupsi yang terkait dengan perbuatan pemerasan :
a.  Pegawai negeri memeras adalah korupsi;
b.  Pegawai negeri memeras pegawai negeri yang lain adalah korupasi;
5.  Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang :
a.  Pemborong berbuat curang adalah korupsi;
b.  Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang adalah korupsi;
c.  Rekanan TNI/Polri berbuat curang adalah korupsi;
d.  Pengawas rekanan TNI/Polri berbuat curang adalah korupsi;
e.  Penerima barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang adalah korupsi;
f.  Pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan orang lain adalah
korupsi;
6.  Korupsi yang terkait dengan bentukan kepentingan dalam pengadaan :
7.  Korupsi yang terkait dengan gratifikasi :

Tantangan demokrasi di Indonesia

Istilah demokrasi berasal dari bahasa yunani  yang terdiri dari dua kata yaitu demos dan
kratos.Demos yang berarti rakyat dan kratos berarti pemerintahan.dan pengertian demokrasi
adalah suatu sistem pemerintahan dari rayat,oleh rakyat dan untuk rakyat. Sejarah demokrasi
berasal dari sistem yang berlaku di negara – negara kota (city state) yunani kuno.demokrasi di
tandai dengan munculnya Magna Charta tahun 1215 di inggris. Demokratisasi adalah
perubahan politik dari rezim otoritarian ke rezim demokratis, dan sekaligus sebagai tindakan
atau gerakan bersama membangun demokrasi. Dalam konteks ini, pemberdayaan politik sangat
terkait dengan demokratisasi sebagai sebuah gerakan atau tindakan membangun demokrasi.
Tantangan dan Harapan

Amartya Sen, penerima nobel bidang ekonomi menyebutkan bahwa demokrasi dapat
mengurangi kemiskinan. Pernyataan ini akan terbukti bila pihak legislatif menyuarakan
hak-hak orang miskin dan kemudian pihak eksekutif melaksanakan program-program yang
efektif untuk mengurangi kemiskinan. Sayangnya, dalam masa transisi ini, hal itu belum terjadi
secara signifikan.
Demokrasi di Indonesia terkesan hanya untuk mereka dengan tingkat kesejahteraan
ekonomi yang cukup. Sedangkan bagi golongan ekonomi bawah, demokrasi belum
memberikan dampak ekonomi yang positif buat mereka. Inilah tantangan yang harus dihadapi
dalam masa transisi. Demokrasi masih terkesan isu kaum elit, sementara ekonomi adalah
masalah riil kaum ekonomi bawah yang belum diakomodasi dalam proses demokratisasi. Ini
adalah salah satu tantangan terberat yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.
Demokrasi dalam arti sebenarnya terkait dengan pemenuhan hak asasi manusia.
Dengan demikian ia merupakan fitrah yang harus dikelola agar menghasilkan output yang baik.
Setiap manusia memiliki hak untuk menyampaikan pendapat, berkumpul, berserikat dan
bermasyarakat. Dengan demikian, demokrasi pada dasarnya memerlukan aturan main. Aturan
main tersebut sesuai dengan nilai-nilai Islam dan sekaligus yang terdapat dalam undang-
undang maupun peraturan pemerintah.
Di masa transisi, sebagian besar orang hanya tahu mereka bebas berbicara,
beraspirasi, berdemonstrasi. Namun aspirasi yang tidak sampai akan menimbulkan kerusakan.
Tidak sedikit fakta yang memperlihatkan adanya pengrusakan ketika terjadinya demonstrasi
menyampaikan pendapat. Untuk itu orang memerlukan pemahaman yang utuh agar mereka
bisa menikmati demokrasi.
Demokrasi di masa transisi tanpa adanya sumber daya manusia yang kuat akan
mengakibatkan masuknya pengaruh asing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini
adalah tantangan yang cukup berat juga dalam demokrasi yang tengah menapak. Pengaruh
asing tersebut jelas akan menguntungkan mereka dan belum tentu menguntungkan Indonesia.
Dominannya pengaruh asing justru mematikan demokrasi itu sendiri karena tidak
diperbolehkannya perbedaan pendapat yang seharusnya menguntungkan Indonesia. Standar
ganda pihak asing juga akan menjadi penyebab mandulnya demokrasi di Indonesia.
Anarkisme yang juga menggejala pasca kejatuhan Soeharto juga menjadi tantangan
bagi
demokrasi di Indonesia. Anarkisme ini merupakan bom waktu era Orde Baru yang meledak
pada saat ini. Anarkisme pada saat ini seolah-olah merupakan bagian dari demonstrasi yang
sulit dielakkan, dan bahkan kehidupan sehari-hari. Padahal anarkisme justru bertolak belakang
dengan hak asasi manusia dan nilai-nilai Islam.

Deputi Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz


mengatakan, konferensi tapi mencermati dan merumuskan tujuh tantangan proses
demokratisasi Indonesia ke depan.
"Pertama, dalam hal korupsi pemilu yang menjadi tantangan terbesar adalah penerimaan dana
illegal partai politik dan dana kampanye pemilu. Kedua, isu penegakan hukum pemilu adalah
pengaturan dan regulasi pemilu yang tidak sinkron dan tidak terbarukan," ujar Masykurudin di
Jakarta, Rabu (26/11/2014).

Tantangan ketiga, dalam hal integritas penyelenggara pemilu menyoal keterbukaan


penyelenggara Pemilu terhadap data dan proses pelaksanaan tahapan serta dukungan
partisipasi masyarakat yang menjadi kunci atas keberhasilan pelaksanaan Pemilu 2014.

Keempat, tantangan untuk isu konflik dan kekerasan adalah bentuk, aktor, korban, dan cara
kekerasan dalam pemilu semakin meluas. Kekerasan tidak lagi berbentuk fisik tetapi juga non-
fisik.

Kelima, proses Pemilu 2014 menghasilkan media yang terbelah antara yang pro pemerintah,
oposisi dan yang independen serta partisipasi warga yang meningkat secara signifikan dalam
isu demokrasi melalui teknologi internet.

Keenam, isu partisipasi politik warga masih dipahami sebagai kehadiran dalan forum politik
formal (misal memilih dalam pemilu). Ini terjadi akibat Orde Baru yang mewariskan sejumlah
masalah partisipasi politik warga yang akut: krisis demokrasi perwakilan, depolitisasi warga
(massa mengambang), cara-cara miliiteristik dalam membungkam suara warga, masih kuatnya
nilai dan sikap yang antipluralime, dan menjadikan warga sebagai obyek untuk kepentingan elit
(oligarki).

Terakhir, terkait keterbukaan informasi, yang menjadi tantangan adalah menyelenggarakan


sistem pengelolaan dan pelayanan informasi sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Nomor
14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
"Empat tahun berlalu, pada penerapan undang-undang tersebut KPU belum merespon dengan
membentuk aturan-aturan internal dalam mempersiapkan pelayanan informasi," paparnya.

Berdasarkan ketujuh tantangan yang telah diuraikan di atas, Konferensi Nasional Masyarakat
Sipil menyampaikan rekomendasi untuk penguatan dan peningkatan kualitas demokrasi
sebagai berikut.

Pertama, perlu membuat kodifikasi UU Pemilu yang pastinya diikuti dengan sinkronisasi dan
harmonisasi seluruh regulasi penyelenggaraan pemilu.

Kedua, mendukung pembatasan transaksi secara tunai dan menjadikan pengurus partai politik
sebagai subjek yang bisa dipidana melalui korupsi atas dana ilegal atau tidak sehat tersebut.

Ketiga, dibutuhkan sistem rekruitmen yang menghasilkan petugas pemilu yang mempunyai
pemahaman kepemiluan yang baik, mempunyai jiwa pelayanan, menjaga netralitas terutama ke
peserta Pemilu dan pemerintah, mempunyai kemampuan administrasi yang baik, memahami
secara cepat dan tepat teknis pelaksanaan pemilu serta terbuka terhadap masukan dari elemen
masyarakat.

Keempat, antisipasi terhadap potensi terjadinya kekerasan perlu dipikirkan terutama dengan
akan dilaksanakannya Pilkada tahun depan.

Kelima, untuk memperkuat demokrasi, media harus bersikap profesional, sedangkan warga
terus bersikap kritis dan partisipatif sehingga keduanya efektif sebagai penyeimbang dan
penekan lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Keenam, partisipasi politik warga membutuhkan kesepakatan perspektif yang pemaknaannya


adalah menghadirkan dan merepresentasikan kepentingan warga, yang tidak disediakan oleh
kekuatan politik formal (partai politik).

Untuk itu pendidikan politik harus berubah, menjadi pendorong utama partisipasi politik yang
menghadirkan dan merepresentasi kepentingan warga, serta tidak terbatas pada momen
pemilu.

"Pendalaman partisipasi politik warga membutuhkan peluang untuk menciptakan instrumen-


instrumen partisipasi politik alternatif, misalnya dalam wujud serikat-serikat, komunitas-
komunitas, dan forum-forum warga yang memperjuangkan kepentingan publik dan menuntut
keadilan distribusi sumberdaya. Partisipasi politik harus selalu berbasis pada koneksitas yang
nyata dengan warga/rakyat," imbuhnya.

Ketujuh, KPU harus segera menyelenggarakan sistem pengelolaan dan pelayanan informasi
sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik dengan mengesahkan PKPU mengenai pelayanan keterbukaan informasi
publik dan membuat SOP Pelayanan Informasi Publik.

Anda mungkin juga menyukai