Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

JENIS KORUPSI SESUAI UU TIPIKOR (UU no.31/1999 dan UU no.20/2001 TENTANG


KERUGIAN NEGARA, SUAP MENYUAP, PENGGELAPAN DALAM JABATAN,
PEMERASAN, PERBUATAN CURANG, BENTURAN KEPENTINGAN DALAM
PENGADAAN, GRATIFIKASI, DAN 30 BENTUK KORUPSI

DISUSUN OLEH :

SINTA PUSPITA SRS 220607144

JATI PRASETIANINGSIH 220607129

NURMA AMALIA ULFAH 220607138

YULI IDA ROYANI S 220607160

PROGRAM STUDI SARJANA KEBIDANAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

ABDI NUSANTARA

TAHUN 2023
Kebiasaan korupsi terlihat
begitu besar dan diluar
kontrol pemerintah.
Akan tetapi langkah untuk
memberantas korupsi ini
sering terhalang
berbagai masalah yang
kompleks. Namun semua
elemen bangsa harus bisa
menghentikan perbuatan
tercela terebut.
Di Indonesia segala upaya
telah dilakukan oleh
pemerintah untuk
memberantas korupsi akan
tetapi berdasarkan hasil
penelitian dan evaluasi
dari beberapa lembaga
memperlihatkan
kecenderungan yang sangat
memprihatinkan, umumnya
mereka memiliki
kesimpulan yang sama
bahwa Indonesia merupakan
Negara paling korup di
dunia. Korupsi di
Indonesia telah berkembang
dan mengakar pada
lembaga perwakilan
rakyat bahkan dalam sistem
peradilan pidana yaitu
kepolisian, kejaksaan
dan lembaga peradilan yang
seharusnya menjadi ujung
tombak bagi upaya
pemberantasan korupsi
justru dipandang oleh
banyak kalangan sebagai
institusi publik yang paling
korup dan paling banyak
melakukan
penyalahgunaan kewenangan BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korupsi merupakan salah satu penyakit masyarakat sama dengan jenis


kejahatan lain seperti pencurian yang sudah ada sejak manusia bermasyarakat di
atas bumi ini. Masalah utama yang dihadapi adalah meningkatnya korupsi itu seiring
dengan kemajuan kemakmuran dan teknologi. Bahkan pengalaman memperlihatkan
semakin maju pembangunan suatu bangsa semakin meningkat juga kebutuhan
mendorong orang untuk melakukan korupsi demi memenuhi segala kebutuhan hidup
yang ada. Pada dasarnya korupsi bisa dilakukan oleh siapa saja bahkan bisa
dilakukan oleh para aparat negara yang seharusnya memberantas tindak pidana
korupsi tersebut. Sejarah membuktikan bahwa hampir disetiap Negara dihadapkan
masalah korupsi. Persoalan korupsi tidak hanya terjadi pada pejabat publik yang
menyalahgunakan jabatannya dan kedudukannya untuk mendapat keuntungan
dengan mudah bagi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Korupsi dapat terjadi
bila ada peluang dan keinginan dalam waktu yang bersamaan, yaitu dapat dimulai
dari aspek mana saja berupa suap yang ditawarkan kepada seorang pejabat, pejabat
meminta atau bahkan memeras uang pelicin, orang yang menyuap menginginkan
jabatan atau sesuatu yang bukan haknya dan kasus suap pengadaan yang
mengabaikan peraturan.
Perbuatan korupsi bisa dilakukan dalam bentuk apapun mulai dari
pengadaan barang dan jasa yang menyalahi prosedur, penyalahgunaan wewenang,
suap, pemberian atau penerimaan gratifikasi, penggunaan dana yang tidak sesuai
dengan posting anggaran dan lain-lain yang semuanya itu mempunyai potensi
merugikan keuangan negara dan perekonomian negara. Pemberantasan korupsi
merupakan masalah paling mendesak yang harus dilakukan karena telah
menghambat kemajuan suatu bangsa. Kebiasaan korupsi terlihat begitu besar dan
diluar kontrol pemerintah. Akan tetapi langkah untuk memberantas korupsi ini
merupakan masalah yang komplek sehingga diharapkan semua elemen bangsa bisa
bekerja sama dalam bentuk apapun untuk menghentikan perbuatan merugikan
tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja jenis-jenis korupsi ?
2. Apa pola dari korupsi ?
3. Apa penyebab seseorang melakukan Tindakan korupsi ?
4. Apa saja bentuk korupsi?

C. Tujuan
1. Agar dapat mengetahui jenis-jenis korupsi
2. Agar dapat mengetahui pola dari korupsi
3. Agar dapat mengetahui penyebab seseorang melakukan tindakan korupsi
4. Agar dapat mengetahui bentuk korupsi
BAB II

PEMBAHASAN

UMUM

Kata korupsi dalam KBBI adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan,
organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Istilah ini diambil dari
Bahasa Belanda “corruptie” (Setiadi, 2018).
Bahaya yang timbul akibat korupsi bagi kehidupan manusia sangat besar, bahkan korupsi disamakan
dengan kanker dalam darah yang membuat si pemilik tubuh harus terus melakukan pengobatan untuk
tetap hidup.
Sebenarnya apa yang menjadi penyebab utama korupsi ? Untuk menjawab pertanyaan ini,
butuh kajian yang mendalam. Jika dibagi berdasarkan skala dampak dan paparannya, maka
korupsi dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu petty corruption, grand corruption, dan political
corruption. Petty corruption adalah korupsi kecil-kecilan yang banyak terjadi di tengah
masyarakat dan dianggap biasa, grand corruption adalah korupsi skala besar dengan
kerugian negara yang masif dan merugikan masyarakat luas, sementara political corruption
adalah korupsi menggunakan jalan politik yang terjadi secara sistematis untuk mengeruk
uang negara. Mari kita bahas lebih detail mengenai ketiga jenis korupsi ini:
Petty Corruption

Sesuai dengan namanya, petty corruption adalah korupsi skala kecil oleh pejabat publik
yang berinteraksi dengan masyarakat. Jenis korupsinya seperti pungutan liar, gratifikasi,
penyuapan, uang pelicin, atau pemerasan untuk memuluskan pelayanan publik atau
birokrasi. Padahal, pelayanan tersebut seharusnya murah atau bahkan gratis untuk
masyarakat.   

Petty corruption dalam keseharian misalnya memberikan uang untuk mengurus surat-surat
kependudukan atau uang damai kepada polisi ketika ditilang. Korupsi kecil-kecilan ini
kadang terjadi terang-terangan, namun dianggap biasa dan penuh pemakluman dari
masyarakat.

Wuryono Prakoso, Kepala Satuan Tugas Direktorat Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi
KPK, mengatakan sekecil apapun, korupsi tetaplah korupsi. Petty corruption, kata dia, tidak
bisa dianggap sepele karena dapat membentuk kebiasaan buruk dalam birokrasi dan telah
merenggut hak-hak rakyat. Jika dibiarkan, para pelaku korupsi kecil ini dapat berbuat lebih
jauh dengan melakukan kejahatan yang lebih besar lagi.

"Pelaku petty corruption merasa nyaman melakukannya karena nilai korupsinya dianggap
kecil dan tidak terdeteksi oleh pusat. Tapi walau kecil, telah merugikan masyarakat secara
langsung," kata Wuryono.

Masyarakat permisif dengan jenis korupsi ini, karena sudah dianggap biasa. Padahal
menurut Wuryono, masyarakat telah dicuri hak-haknya dengan memberikan uang pelicin
atau suap tersebut. 
"Masyarakat seharusnya menyadari bahwa hak-hak mereka telah dipotong dan dicuri.
Seharusnya hak-hak dasar, seperti pengurusan kartu identitas, itu gratis. Cara melawannya
adalah dengan menumbuhkan kesadaran bahwa korupsi itu berbahaya dan
menghancurkan," kata Wuryono.
Grand Corruption

Grand corruption atau biasa disebut korupsi kelas kakap adalah korupsi dengan nilai
kerugian negara yang fantastis, miliaran hingga triliunan rupiah. Korupsi kakap
menguntungkan segelintir orang dan mengorbankan masyarakat secara luas. 

KPK dalam Renstra 2011-2015 menjelaskan ada empat kriteria grand corruption. Pertama,
melibatkan pengambil keputusan terhadap kebijakan atau regulasi, kedua, melibatkan
aparat penegak hukum, ketiga, berdampak luas terhadap kepentingan nasional, dan
keempat, kejahatannya berlangsung sistemik dan terorganisir.

Grand corruption kadang muncul akibat kongkalikong antara pengusaha dan para
pengambil keputusan atau pembuat kebijakan untuk melakukan state capture. State capture
adalah korupsi sistemik yang terjadi ketika kepentingan swasta memengaruhi pembuatan
kebijakan untuk keuntungan mereka sendiri.

Salah satu contoh grand corruption adalah korupsi proyek e-KTP yang dilakukan sejak
2011, membuat negara merugi hingga Rp2,3 triliun. Korupsi ini melibatkan tujuh orang yang
kesemuanya telah divonis antara 6-15 tahun penjara. Salah satu tokoh prominen dalam
kasus ini adalah Mantan Ketua DPR Setya Novanto yang divonis penjara 15 tahun.

Menurut lembaga Transparency International, grand corruption tidak hanya merugikan orang
banyak dan dilakukan oleh pejabat publik, tapi juga melanggar hak asasi manusia.
Pernyataan ini diamini oleh Wuryono.

"Benar, korupsi bisa melanggar HAM. Korupsi e-KTP, misalnya, telah melanggar hak-hak
asasi masyarakat untuk memiliki kartu identitas. Sementara kasus korupsi bantuan sosial
(bansos) telah melanggar hak asasi masyarakat untuk dapat hidup di saat krisis. Belum lagi
pelanggaran hak asasi pada tersedianya pendidikan yang layak, atau sarana kesehatan
yang baik," ujar Wuryono.
Political Corruption

Political corruption atau korupsi politik terjadi ketika pengambil keputusan politik
menyalahgunakan wewenangnya dengan memanipulasi kebijakan, prosedur, atau aturan
demi keuntungan diri atau kelompoknya. Keuntungan ini bisa berupa kekayaan, status, atau
mempertahankan jabatan. Jenis-jenis political corruption adalah penyuapan, perdagangan
pengaruh, jual beli suara, nepotisme, atau pembiayaan kampanye. 

Seperti halnya grand corruption, political corruption melibatkan orang-orang di level tinggi
penyelenggaraan negara yang main mata dengan pengusaha dalam upaya state capture.
Padahal para pejabat ini seharusnya mewakili rakyat untuk menciptakan kesejahteraan bagi
mereka, namun berkhianat.

Political corruption sangat berpotensi terjadi ketika anggota legislatif juga merangkap
sebagai pengusaha. Mereka kemudian memanipulasi institusi politik untuk memengaruhi
pemerintahan dan sistem politik demi kepentingan perusahaannya. Undang-undang dan
regulasi disalahgunakan, tidak dilakukan secara prosedural, diabaikan, atau bahkan
dirancang sesuai dengan kepentingan mereka. 

Selain untuk memperkaya diri sendiri dan mempertahankan jabatan, Wuryono mengatakan,
political corruption juga biasa dilakukan untuk mengumpulkan dana bagi pemenangan
parpol atau dirinya pada pemilihan berikutnya. Uang hasil korupsi ini kemudian digunakan
untuk melakukan money politic, yaitu menyogok rakyat, agar bisa terpilih kembali.

"Akhirnya yang terjadi adalah sebuah lingkaran setan. Di sinilah pentingnya pendidikan
pemilu untuk memutus mata rantai korupsi ini. Banyak orang yang tidak sadar bahayanya
money politic," kata Wuryono.

Korupsi politik juga telah merendahkan dan merusak iklim demokrasi dengan memengaruhi
pilihan rakyat menggunakan materi. Masyarakat seharusnya layak mendapatkan wakil yang
terpercaya di parlemen, bukannya orang-orang yang mengandalkan uang untuk
mendapatkan dukungan. 

Salah satu bentuk money politic yang paling umum adalah memberikan amplop berisi uang
agar rakyat memilih mereka. Masyarakat mesti menyadari, bahwa nilai uang itu tidak
sepadan dengan kerugian yang akan mereka alami jika politisi kotor duduk sebagai
pengambil kebijakan. 

"Jangan mau menggadaikan hidup lima tahun hanya karena amplop. Analogi sederhananya,
jika kita menerima amplop berisi Rp500 ribu, berarti kita telah menggadaikan kehidupan kita
dengan hanya Rp100 ribu per tahun," kata Wuryono.

Faktor internal adalah sikap dan sifat individu, sementara faktor eksternal adalah pengaruh yang
datang dari lingkungan atau pihak luar. Faktor internal sangat dipengaruhi oleh kuat atau tidaknya nilai-
nilai anti korupsi dalam diri seseorang. Maka dari itu, perlu dilakukan penanaman nilai-nilai anti korupsi
kepada warga negara Indonesia sebagai upaya pencegahan.
Berdasarkan hasil analisa yang dilakukan oleh Kemendagri, penyebab utama korupsi di Indonesia
adalah “celah” yang memuluskan niat jahat para koruptor. Celah ini bisa berbagai macam jenisnya, dari
sistem yang tidak transparan, politik yang berbiaya tinggi, hingga terlalu berambisi untuk menjadi
Aparatur Sipil Negara (ASN).
Penyebab lainnya yaitu adanya kekurangan integritas pada setiap individu yang berada di
pemerintahan. Ini merupakan turunan dari kurangnya kesejahteraan para penyelenggara negara
sehingga mereka memilih jalur lain untuk meraup keuntungan lebih.
Penyebab yang terakhir, lanjut Kemendagri, adalah pimpinan yang mengukur prestasi bawahan dari
loyalitas.

Agar dapat menjangkau berbagai modus penyimpangan keuangan negara


atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana
yang diatur dalam Undang-undang ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga
meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain.
korporasi secara "melawan hukum" dalam pengertian formil dan materiil. Dengan
perumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi
dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan
masyarakat harus dituntut dan dipidana.
Dalam Undang-undang ini, tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai
tindak pidana formil. Hal ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan rumusan
secara formil yang dianut dalam Undang-undang ini, meskipun hasil korupsi telah
dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke
pengadilan dan tetap dipidana.
Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi, Undang-undang ini memuat ketentuan pidana
yang berbeda dengan Undang-undang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman
pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana
mati yang merupakan pemberatan pidana. Selain itu Undang-undang ini memuat
juga pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayar
pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian negara.
Undang-undang ini juga memperluas pengertian Pegawai Negeri, yang antara lain
adalah orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang mempergunakan
modal atau fasilitas dari Negara atau masyarakat. Yang dimaksud dengan fasilitas
adalah perlakuan istimewa yang diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya bunga
pinjaman yang tidak wajar, harga yang tidak wajar, pemberian izin yang eksklusif,
termasuk keringanan bea masuk atau pajak yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Hal baru lainnya adalah dalam hal terjadi tindak pidana korupsi yang sulit
pembuktiannya, maka tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung,
sedangkan proses penyidikan dan penuntutan dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan dalam rangka
meningkatkan efisiensi waktu penanganan tindak pidana korupsi dan sekaligus
perlindungan hak asasi manusia dari tersangka atau terdakwa.
Untuk memperlancar proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak
pidana korupsi, Undang-undang ini mengatur kewenangan penyidik, penuntut
umum, atau hakim sesuai dengan tingkat penanganan perkara untuk dapat
langsung meminta keterangan tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa
kepada bank dengan mengajukan hal tersebut kepada Gubernur Bank Indonesia.
Di samping itu Undang-undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik yang
bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk
membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib
memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau
suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai
hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap
berkewajiban membuktikan dakwaannya.
Undang-undang ini juga memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada
masyarakat berperan serta untuk membantu upaya pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi, dan terhadap anggota masyarakat yang berperan serta

Sejak Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3874) diundangkan, terdapat berbagai interpretasi atau penafsiran yang
berkembang di masyarakat khususnya mengenai penerapan Undang-undang tersebut terhadap
tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan.
Hal ini disebabkan Pasal 44 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa Undang-undang Nomor
3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan tidak berlaku sejak
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan, sehingga timbul suatu anggapan adanya
kekosongan hukum untuk memproses tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.
Di samping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas
sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar
biasa. Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang
khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan
kepada terdakwa.
Untuk mencapai kepastian hukum, menghilangkan keragaman penafsiran, dan perlakuan adil
dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketentuan perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah yang berupa petunjuk,
dirumuskan bahwa mengenai "petunjuk" selain diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan
keterangan terdakwa, juga diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan,
dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu
tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat
elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili, dan dari dokumen, yakni setiap rekaman
data atau Informasi …
informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa
bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun
yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf,
tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Ketentuan mengenai "pembuktian terbalik" perlu ditambahkan dalam Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan yang bersifat
"premium remidium" dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 atau terhadap penyelenggara negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, untuk tidak
melakukan tindak pidana korupsi.
Pembuktian terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi dan terhadap
tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal
16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini.
Dalam Undang-undang ini diatur pula hak negara untuk mengajukan gugatan perdata terhadap
harta benda terpidana yang disembunyikan atau tersembunyi dan baru diketahui setelah putusan
pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Harta benda yang disembunyikan atau
tersembunyi tersebut diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Gugatan
perdata dilakukan terhadap terpidana dan atau ahli warisnya. Untuk melakukan gugatan tersebut,
negara dapat menunjuk kuasanya untuk mewakili negara.
Selanjutnya dalam Undang-undang ini juga diatur ketentuan baru mengenai maksimum pidana
penjara dan pidana denda bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000,00
(lima juta rupiah). Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghilangkan rasa kekurangadilan bagi
pelaku tindak pidana korupsi, dalam hal nilai yang dikorup relatif kecil.
Di samping itu, dalam Undang-undang ini dicantumkan Ketentuan Peralihan. Substansi dalam
Ketentuan Peralihan ini pada dasarnya sesuai dengan asas umumhukum pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Dikutip dari buku Kapita Selekta dan Beban Biaya Sosial Korupsi, definisi korupsi telah
gamblang dijelaskan di dalam 13 pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, tindak pidana
korupsi dirumuskan ke dalam 30 jenis yang kemudian dikelompokkan lagi menjadi tujuh
tindak pidana korupsi. Ke-30 jenis korupsi ini sangat beragam, mulai dari korupsi kecil atau
petty corruption sampai korupsi kelas kakap atau grand corruption. Berikut adalah daftar 30
jenis tindak pidana korupsi tersebut:
 
1. Menyuap pegawai negeri;
2. Memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya;
3. Pegawai negeri menerima suap;
4. Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya;
5. Menyuap hakim;
6. Menyuap advokat;
7. Hakim dan advokat menerima suap;
8. Hakim menerima suap;
9. Advokat menerima suap; 
10. Pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan;
11. Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi;
12. Pegawai negeri merusakan bukti;
13. Pegawai negeri membiarkan orang lain merusakkan bukti;
14. Pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti;
15. Pegawai negeri memeras;
16. Pegawai negeri memeras pegawai negeri yang lain;
17. Pemborong membuat curang;
18. Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang;
19. Rekanan TNI/Polri berbuat curang;
20. Pengawas rekanan TNI/Polri berbuat curang;
21. Penerima barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang;
22. Pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan orang lain;
23. Pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya;
24. Pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak melaporkan ke KPK;
25. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi;
26. Tersangka tidak memberikan keterangan mengenai kekayaan;
27. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka;
28. Saksi atau ahli yang tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu;
29. Seseorang yang memegang rahasia jabatan, namun tidak memberikan keterangan atau
memberikan keterangan palsu;
30. Saksi yang membuka identitas pelapor.

Dari ke-30 jenis korupsi tersebut, diklasifikasikan lagi menjadi tujuh kelompok tindak pidana
korupsi, yaitu:  

Kerugian Keuangan Negara


Secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
korporasi. Pelakunya memiliki tujuan menguntungkan diri sendiri serta menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada. Misalnya, seorang pegawai pemerintah
melakukan mark up anggaran agar mendapatkan keuntungan dari selisih harga tersebut.
Tindakan ini merugikan keuangan negara karena anggaran bisa membengkak dari yang
seharusnya.

Jenis korupsi yang mengandung unsur kerugian keuangan negara bisa kita temukan dalam Pasal 2
dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam kedua pasal tersebut ada frasa/kata “dapat”
merugikan keuangan atau perekonomian negara.

Perdagangan pengaruh atau Trading of Influence terjadi saat pejabat publik menawarkan diri atau
menerima permintaan pihak lain untuk menggunakan pengaruh politik dan jabatannya, agar
melakukan mengintervensi keputusan tertentu. Perdagangan Pengaruh telah disahkan dalam
Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC) pada Oktober 2003 dan diratifikasi oleh Indonesia.

Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk
apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala
bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :
(a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat
lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;
(b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan bertanggungjawaban Badan Usaha
Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan
perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang
menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.

Dalam penyelidikannya, korupsi jenis ini sulit ditelurusi karena beda-beda tipis dengan proses lobi
yang memang dihalalkan dalam politik. Namun ada kata kunci untuk membedakan perdagangan
pengaruh dengan proses lobi: Transaksi keuntungan. Jika sudah ada transaksi dengan keuntungan
yang spesifik, maka korupsi terjadi.

Contoh perdagangan pengaruh, seorang pengusaha memberikan sejumlah besar uang kepada tokoh
partai untuk membantu memuluskan rencananya. Pengusaha ini tahu tokoh tersebut bisa
mempengaruhi pembuatan kebijakan karena anggota dewan adalah kader partainya.

Frasa/kata “dapat” menunjukkan bahwa merugikan keuangan dan perekonomian negara merupakan
delik formil, Jadi gak perlu dibuktikan negara rugi apa nggak. Intinya kalo sudah terpenuhi salah satu
unsur seperti perbuatan memperkaya atau menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi,
maka gak perlu dibuktikan akibat kerugian negaranya.

Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan
tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Pasal 3 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Suap-Menyuap

Penyuapan dalam politik tidak hanya untuk memperkaya diri sendiri, tetapi juga untuk berkuasa atau
mempertahankan pengaruhnya dalam birokrasi publik. Jika berhasil berkuasa kembali, maka pelaku
akan mengatur undang-undang, peraturan, dan kebijakan yang dihasilkan agar berpihak kepada
kepentingan ekonomi dirinya semata.

Suap politik misalnya terjadi ketika seorang politisi menyuap lembaga penyelenggara pemilu untuk
memenangkan dirinya dalam pilkada atau pemilu. Kongkalikong antara politisi dan lembaga
penyelenggara pemilu ini adalah bentuk korupsi dalam sektor politik. Memberi atau menjanjikan
sesuatu kepada Aparatur Sipil Negara,  penyelenggara negara, hakim, atau advokat dengan
maksud supaya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya. Suap
menyuap bisa terjadi antarpegawai maupun pegawai dengan pihak luar. Suap antarpegawai
misalnya dilakukan untuk memudahkan kenaikan pangkat atau jabatan. Sementara suap
dengan pihak luar misalnya ketika pihak swasta memberikan suap kepada pegawai
pemerintah agar dimenangkan dalam proses tender.

Korupsi jenis ini merupakan korupsi yang sering terjadi. Korupsi dengan tindakan berupa pemberian
uang atau menerima uang yang dilakukan oleh penyelenggara negara untuk melakukan sesuatu yang
melawan hukum.

Oh ya, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi gak cuma mengatur tentang larangan suap bagi
pegawai negeri dan penyelenggara negara, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga mengatur
larangan suap kepada hakim dan advokat.

Pasal 5 Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana

“barang siapa memberi sesuatu kepada seorang pejabat karena atau berhubung dengan
sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam
jabatannya” dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

, Pasal 6 Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana “mengisyaratkan
penyuapan terhadap hakim
dan penasihat hukumnya di pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus
lima puluh juta rupiah).

Pasal 11 Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 418 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana “Pegawai negeri yang menerima hadiah atau perjanjian, sedang
ia tahu atau patut dapat menyangka, bahwa apa ayng dihadiahkan atau dijanjikan itu
berhubungan dengan kekuasaan atau hak karena jabatannya”, , dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah).Ps 12 huruf a, c, dan d (uu no 20 tahun 2001 tentang perubahan atas uu no 31 tahun 1999 ttg
pemberantasan tindak pidana korupsi)

Pasal 12 Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 419 “yang
menerima hadiah atau janji, padahal diketahuinya bahwa hadiah atau janji itu
diberikan untuk menggerakkannya supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

1. , Pasal 420 “barang siapa menurut ketentuan undang-undang


ditunjuk menjadi penasihat untuk menghadiri sidang
pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui
bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi
nasihat tentang perkara yang harus diputus oleh pengadilan
itu., Pasal 423 Pegawai negeri yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa
orang lain untuk menyerahkan sesuatu, melakukan suatu
pembayaran, melakukan pemotongan terhadap suatu
pembayaran atau melakukan suatu pekerjaan untuk pribadi ,
Pasal 425 seorang pejabat yang pada waktu menjalankan tugas, meminta,
menerima, atau memotong pembayaran; seolah-olah berhutang kepadanya,
kepada pejabat lainnya atau kepada kas umum, padahal diketahuinya bahwa
tidak demikian adanya;

Seorang pejabat yang dengan langsung maupun tidak


, atau Pasal 435
langsung sengaja turut serta dalam pemborongan, penyerahan
atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk
seluruh atau sebagian, dia ditugaskan mengurus atau
mengawasinyaKitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah).B (uu no 20 tahun 2001 tentang perubahan atas uu no 31 tahun 1999 ttg
pemberantasan tindak pidana korupsi)

Pasal 13 Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat
kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi
hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak 150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah).
Penggelapan Dalam Jabatan

Penggelapan dalam jabatan yang dimaksud dalam rumusan pasal-pasal UU Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi merujuk kepada penggelapan dengan pemberatan, yaitu penggelapan yang dilakukan
oleh orang yang memiliki pekerjaan atau jabatan. Misalnya dengan jabatannya, seseorang pegawai
negeri/penyelenggara negara melakukan penggelapan dengan membuat laporan keuangan palsu,
tentu saja untuk keuntungan diri sendiri dan merugikan negara. Pasal 8 Setiap orang yang melakukan
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 415 Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)., Pasal 9 Setiap orang yang melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 416 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 250.000.000,00 (dua ratus lima
puluh juta rupiah). Pasal 10 Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 417 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) dan paling banyak 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).

Pemerasan

Ketentuan Pasal 12 huruf e UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan bahwa


pemerasan adalah tindakan/perbuatan yang dilakukan oleh pegawai negeri/penyelenggara negara
untuk maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan
menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberi sesuatu, membayar atau
menerima pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

Ada lagi bentuk suap lainnya adalah pegawai negeri/penyelenggara negara pada saat menjalankan
tugas juga memeras pegawai negeri lainnya dengan cara meminta, menerima atau memotong
pembayaran dari pegawai negeri/penyelenggara negara lainnya. Ps 12 huruf e, f, g, h (uu no 20 tahun
2001 tentang perubahan atas uu no 31 tahun 1999 ttg pemberantasan tindak pidana korupsi)

Perbuatan curang

Korupsi jenis ini berlaku untuk pemborong, pengawas proyek, rekanan TNI/POLRI, pengawas rekanan
TNI/POLRI yang melakukan kecurangan dalam pengadaan barang atau jasa, yang merugikan orang
lain dan merugikan negara dan membahayakan keselamatan negara saat perang.

Gak cuma seseorang yang melakukan perbuatan curang yang dapat dijerat dengan kasus korupsi,
bahkan seorang pengawas proyek, pengawas rekanan TNI/POLRI yang membiarkan terjadinya
perbuatan curang juga dapat dijerat dengan tindak pidana korupsi.

Salah satu kasus korupsi politik yang sering terjadi adalah jual beli suara saat pemilihan. Cara ini
dilakukan oleh politisi atau partai politik untuk memenangkan pemilu dan mempertahankan
kekuasaan mereka.

Salah satu jual beli suara yang umum adalah "serangan fajar". Ini adalah istilah yang digunakan untuk
praktik bagi-bagi uang oleh kader partai kepada warga di pagi hari sebelum pencoblosan. Tindakan
ini dilakukan untuk mempengaruhi keputusan warga dalam memilih.
Modus juga beli suara lainnya yang diungkapkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) adalah
memanfaatkan sisa surat suara tak terpakai di TPS untuk dicoblos oleh oknum Kelompok
Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan diberi kepada kubu yang memesan.

Jual beli suara ini dapat berakibatnya duduknya orang yang tidak tepat di kursi wakil rakyat. Anggota
dewan yang melakukan jual beli suara berpeluang besar korupsi untuk mengembalikan modal besar
yang dikeluarkannya pada pemilu.

Benturan kepentingan dalam pengadaan

Korupsi politik lainnya adalah pembiayaan untuk parpol atau caleg selama kampanye. Masih menjadi
perdebatan apakah ini adalah pelanggaran pidana atau dukungan politik semata. Namun istilah
"tidak ada makan siang gratis" kiranya jadi salah satu jawabannya.

Pendanaan kampanye oleh pengusaha kepada seorang caleg bukannya tanpa sebab. Walau mungkin
tak ada transaksi secara tertulis, namun ada utang budi yang mesti dibayar caleg kepada pendonor.
Di antara bentuk "pelunasan utangnya" bisa jadi adalah pengaturan kebijakan yang menguntungkan
pengusaha atau manipulasi pemenangan tender pengadaan barang dan jasa.

Hal ini pada akhirnya akan memunculkan konflik kepentingan yang menjadi salah satu penyebab
korupsi.

Keberadaan korupsi politik jelas telah mencederai sistem demokrasi di Indonesia. Korupsi politik juga
akan menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik dan penyelenggara pemilu.
Selain itu, kualitas lembaga tinggi negara dan pemerintahan akan menurun karena diduduki orang-
orang yang berkuasa bukan karena kemampuan mereka, tapi lantaran korupsi.

Benturan kepentingan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah adalah situasi dimana seorang
pegawai negeri/penyelenggara negara, baik langsung maupun tidak langsung sengaja turut serta
dalam pengadaan barang/jasa.

Benturan kepentingan ini sering kita lihat dalam kasus-kasus korupsi yang melibatkan keluarga
terdekat dari penyelenggara negara, misalnya seperti kasus korupsi yang menjerat Ratu Atut
Chosiyah dan adik kandungnya Tubagus Chaeri Wardana terkait korupsi pengadaan alat kesehatan.

Ps 12 huruf i (uu no 20 tahun 2001 tentang perubahan atas uu no 31 tahun 1999 ttg pemberantasan
tindak pidana korupsi)

Gratifikasi

Gratifikasi merupakan jenis korupsi berupa pemberian hadiah. Bisa uang, barang, bahkan sampai
layanan sex. Gratifikasi ini mirip-mirip dengan suap.

Dalam Pasal 12 huruf b UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan bahwa setiap gratifikasi
(pemberian hadiah) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap sebagai pemberian
suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya
dengan ketentuan:
Kalo nilainya Rp10 juta atau lebih, maka penerima gratifikasi harus membuktikan bahwa
gratifikasi/hadiah tersebut bukan suap.

Kalo nilainya kurang dari Rp10 juta, maka pembuktian bahwa gratifikasi tersebut adalah suap
dilakukan oleh penuntut umum.

Ps 12 huruf b (uu no 20 tahun 2001 tentang perubahan atas uu no 31 tahun 1999 ttg pemberantasan
tindak pidana korupsi)

Undang2nya kan ada 2

Jadi setiap pasal juga beda, cth :

Pasal 2 penulisannya uu no 31 tahun 1999 ttg pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana
telah diubah dengan uu no 20 tahun 2001 tentang perubahan atas uu no 31 tahun 1999 ttg
pemberantasan tindak pidana korupsi

Karena : pasal 2 ada di uu lama, di uu baru gak menyebutkan adanya perubahan, tp dalam penulisan
uu harus menjelaskan uu sampai dengan terakhir di ubah (gaada di uu baru)

Ps 12 huruf a penulisanya uu no 20 tahun 2001 tentang perubahan atas uu no 31 tahun 1999 ttg
pemberantasan tindak pidana korupsi

BAB III

KESIMPULAN

REFERENSI

1. UU nomor 20 Tahun 2001


2. UU nomor 31 Tahun 1999

1 . Aclc.kpk.go.id. (2022). Bentuk-bentuk korupsi politik yang perlu diketahui.


https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20220524-bentuk-bentuk-korupsi-politik-
yang-perlu-diketahui

2. https://www.hukumonline.com/klinik/a/bentuk-bentuk-korupsi-dan-aturannya-di-indonesia-
lt5e6247a037c3a
1. Ismail, Kajian Yuridis Terhadap Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Legalite:
Jurnal Perundang- Undangan dan Hukum Pidana Islam, Vol. 2, No. 2, 2018;
2. Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi: Buku
Panduan Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: KPK, 2006;
3. R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bogor: Politea, 1986;
4. Tim Garda Tipikor, Kejahatan Korupsi, Yogyakarta: Rangkang Education,
2016;
5. KBBI, korupsi diakses pada Jumat, 21 Oktober 2022, pukul 12.01 WIB;
6. KPK: Ayo Kenali dan Hindari 30 Jenis Korupsi Ini! , diakses pada Senin, 20
Juni 2022, pukul 18.05 WITA;
7. KPK: Pusat Edukasi Antikorupsi, diakses pada Senin, 20 Juni 2022, pukul
10.06 WITA.

Anda mungkin juga menyukai