Anda di halaman 1dari 7

PERILAKU KOTOR KORUPTOR

DALAM AKSI KORUPSI


Metode Penulisan Ilmiah

Disusun Oleh: Ramadhani Nurul Azmi Salsabilla

NIM: 1912541038

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS UDAYANA

2019

i
A. Latar Belakang

Salah satu tindak kejahatan besar di dunia yang paling dibenci tidak lain tidak bukan
adalah tindakan korupsi. Korupsi bukan suatu hal yang tabu untuk didengar. Suatu
penyelewengan atau penyalahgunaan uang untuk keuntungan pribadi atau orang lain
merupakan penjelasan singkat mengenai korupsi. Setiap tahun tak mengenal siapa pelakunya,
dimana tempatnya, kapan waktunya pasti ada saja kasus korupsi yang menimpa suatu bangsa.
Tindak pidana korupsi tidak hanya dilakukan oleh penyelenggara negara, antar penyelenggara
negara, melainkan juga penyelenggara negara dengan pihak lain seperti keluarga, kroni dan
para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, serta membahayakan eksistensi negara. (Nyoman Serikat : 2005).

Indonesia pada saat ini setidaknya dihadapkan pada tiga permasalah utama, antara
lain: (1) tantangan dan mainstream globalisasi, (2) permasalahan-permasalahan internal
seperti korupsi, skandal Bank Century, rendahnya mutu pendidikan, kemiskinan, dll (3)
penjagaan agar ‘roh’ dan semangat reformasi tetap berjalan pada relnya. Permasalahan yang
pertama dan kedua lebih didominasi oleh eksekutif dan legislatif sementara permasalahan
ketiga hendaknya dijawab oleh setiap elemen masyarakat. (Tjipto Subadi, 2010:8). Oleh
karena penjelasan diatas, sudah selayaknya dikatakan bahwa korupsi merupakan
permasalahan besar internal negara yang ada di era globalisasi. Indonesia adalah negara yang
memiliki tingkat perkembangan korupsi cukup tinggi. Penanganan dalam kasus korupsi di
Indonesia dapat dikatakan belum cukup cepat. Berdasarkan jenis perkaranya, tindak pidana
korupsi dibagi menjadi 7 jenis. Adapun jenis perkara tindak pidana korupsi yakni pengadaan
barang dan jasa, perijinan, penyuapan, pungutan, penyalahgunaan anggaran, TPPU, serta
merintangi proses KPK.

Banyak sekali koruptor yang berkeliaran dengan berkedok bahwa dirinya seorang
perwakilan rakyat. Sesuai dengan pernyataan Romli Atmasasmita yang mengatakan bahwa
korupsi di Indonesia sudah seperti virus flu yang menyebar ke seluruh tubuh pemerintahan
sejak tahun 1960-an. Langkah-langkah pemberantasannya pun masih tersendat-sendat sampai
sekarang. Selanjutnya, dikatakan bahwa korupsi berkaitan pula dengan kekuasaan karena

1
dengan kekuasaan itu penguasa dapat menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan
pribadi, keluarga dan kroninya.1

Saat ini kasus tindak pidana korupsi merupakan kasus yang sangat menarik untuk
diulas lebih dalam lagi agar mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mengenai
tindakan tercela ini. Perbuatan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para koruptor
tersebut membuat rakyat menjadi resah dan gelisah serta menimbulkan kerugian bagi bangsa
dan negara. Tindakan buruk ini harusnya ditangani dengan berbagai cara, mulai dari cara
yang sederhana hingga cara-cara yang luar biasa. Tentunya terdapat banyak sekali tantangan
serta hambatan untuk menanggulangi adanya korupsi. Tantangan serta hambatan tersebut
ditujukan kepada lemahnya upaya dan koordinasi penegakkan hukum khususnya untuk
menangani tindakan pidana korupsi juga lemahnya Sumber Daya Manusia untuk
menanggulangi adanya tindakan korupsi.

Karena maraknya kasus korupsi yang ada di Indonesia sejak dulu maka dibuatlah
lembaga pemberantas korupsi dengan nama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diberi amanat melakukan
pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. KPK merupakan
lembaga negara yang bersifat independen, yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. KPK dibentuk bukan untuk mengambil alih
tugas pemberantasan korupsi dari lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Penjelasan
undang-undang menyebutkan peran KPK sebagai trigger mechanism, yang berarti
mendorong atau sebagai stimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga
yang telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien.2

Secara singkat, KPK memiliki beberapa tugas yakni koordinasi dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; supervisi terhadap instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; melakukan tindakan-tindakan
pencegahan tindak pidana korupsi; dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan
pemerintahan negara. Selain memiliki beberapa tugas, KPK juga berwenang untuk

1
Romli Atmasasmita. 2004. Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Aspek Internasional. Bandung:
Mandar Maju. Hal. 1
2
https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/sekilas-komisi-pemberantasan-korupsi (diakses pada tanggal 6
Desember 2017)

2
mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi; meminta
informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi; dan meminta laporan instansi terkait mengenai
pencegahan tindak pidana korupsi.

Tak hanya itu, pemerintah Indonesia juga mengesahkan peraturan perundang-


undangan terkait dengan KPK, antara lain Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Negera yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme,
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
kemudian berubah menjadi Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tindak Pidana Pencucian Uang,
Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dan
sebagainya. Peraturan perundang-undangan ini dibuat dengan tujuan agar terciptanya bangsa
yang bersih dari tindak pidana korupsi.

Dari sekian banyak peraturan perundang-undangan terkait tindak pidana korupsi,


masih banyak pula tindak pidana korupsi yang dilakukan. Semakin berkembangnya zaman
pada saat ini, semakin canggih koruptor melakukan tindak pidana korupsi dengan berbagai
macam cara atau metode. Laporan Tahunan KPK tahun 2018, menyatakan bahwa tahun 2018
bukanlah tahun yang membuat pihak KPK puas. Tak mudah menjadi lembaga yang bernas.
Apalagi serangan balik semakin ganas. Mungkin dari koruptor, atau pihak anonim yang
masih saja bebas. Maksudnya jelas: membuat gerak KPK terbatas, atau terpangkas. Namun
rasa takut tak pernah menjadi pilihan.3 Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW)
penindakan kasus korupsi pada 2018 lebih rendah dan menurun apabila dibandingkan dengan
tahun 2015 dan 2017. Pada 2018 tercatat hanya 454 kasus korupsi ditangani dan 1.087
tersangka. Hal tersebut diungkapkan oleh salah satu Staf Divisi Investigasi ICW, Wana
Alamsyah dalam keterangan tertulisnya.4

3
https://www.kpk.go.id/id/publikasi/laporan-tahunan, (diakses pada tanggal 17 Mei 2019)
4
https://nasional.kontan.co.id/news/icw-sebanyak-454-kasus-korupsi-ditangani-sepanjang-tahun-2018, (diakses
pada Jumat, 08 Februari 2019 / 15:32 WIB)

3
Beberapa kasus tindak pidana korupsi yang pernah terjadi dan ramai dibicarakan oleh
masyarakat di Indonesia adalah korupsi yang dilakukan oleh Gayus Halomoan
Partahanan Tambunan yang merupakan Pegawai Negeri Sipil di Direktorat Jenderal
Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Indonesia. Gayus mengungkapkan bahwa dirinya adalah
Pegawai Negeri Sipil golongan IIIA namun memiliki harta hingga milyaran rupiah. Kasus
korupsi Gayus Tambunan terjadi pada tahun 2011 yang awal dugaannya adalah Gayus
menggelapkan pajak yang melibatkan 149 perusahaan dan ditaksirkan dapat menyebabkan
kerugian negara hingga milyaran rupiah. Gayus menerima suap dari konsultan PT
Metropolitan Retailmart, Roberto Santonius, terkait kepengurusan keberatan pajak
perusahaan sejumlah Rp 925 juta. Tak hanya itu, Gayus juga terlibat dengan berbagai
perusahaan di Indonesia karena keberatan dengan nilai pajak yang telah ditentukan dan
menerima suap yang diberikan. Gayus Tambunan akhirnya dinyatakan bersalah dan terjerat
dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Ia juga telah gagal membuktikan
bahwa kekayaannya adalah murni dari kerja kerasnya, nyatanya seluruh harta Gayus
merupakan hasil dari tindak pidana korupsi yang dilakukannya.

Tindak pidana korupsi kedua yang terjadi dan ramai dibicarakan adalah kasus korupsi
e-KTP oleh pejabat Kementerian Dalam Negeri dan petinggi Dewan Perwakilan DPR.
Mereka adalah Sugiharto, Irman, Andi Narogong, Markus Nari, Anang Sugiana dan Setya
Novanto. Proyek e-KTP yang dilakukan pada 2011 dan 2012 awalnya diawasi oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan berjalan lancar. Kementrian Dalam Negeri
Republik Indonesia telah menyiapkan dana sebesar 6 triliun dan program Nomor Induk
Kependudukan (NIK) nasional dan dana senilai Rp 258 milyar untuk biaya pembuatan e-KTP
berbasis NIK pada 2010 untuk seluruh kabupaten/kota se-Indonesia. Pada 2011 pengadaan e-
KTP ditargetkan untuk 6,7 juta penduduk sedangkan pada 2012 ditargetkan untuk sekitar 200
juta penduduk Indonesia.

Setya Novanto yang merupakan seorang politikus asal Jawa Barat dari salah satu
partai politik di Indonesia yaitu partai Golongan Karya (GolKar) dan menjabat sebagai Ketua
DPR RI pada masa periode 2014-2019, siapa sangka menjadi salah satu tersangka dibalik
kasus korupsi proyek kerja e-KTP pada tahun 2017. Pada tanggal 10 November 2017, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka dan
menahannya pada tanggal 19 November 2017. Sesuai dengan Undang-Undang No. 17 tahun

4
2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) Pasal 244 Ayat (1) Anggota DPR
diberhentikan sementara karena: a.) Menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum
yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun; atau b.) Menjadi
terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus. Ayat (2) Dalam hal anggota DPR dinyatakan
terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
anggota DPR yang bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPR. Dengan adanya pasal
dalam undang-undang tersebut maka Setya Novanto mengundurkan dirinya sebagai Ketua
DPR pada tanggal 8 Desember 2017 karena kasus korupsi.

Bagaimana dengan proses pidana bagi para koruptor? Tentunya bervariasi. Putusan
pengadilan pada umumnya masih jauh di bawah batas maksimum dari pidana yang ditetapkan
dalam undang-undang. Hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan terkait kasus korupsi
menerapkan pidana yang cukup jauh di bawah ketentuan maksimum pidana dalam Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lebih jauh lagi, pengadilan dalam
menjatuhkan putusan pemberian sanksi pidana kepada para koruptor, ternyata memberikan
hukuman yang berbeda-beda antara pelaku yang satu dengan pelaku yang lain. Dengan kata
lain, terjadi suatu disparitas pemidanaan, yaitu penerapan pidana yang tidak sama terhadap
tindak pidana yang sama.5

Unsur terpenting saat ingin menegakkan proses hukum agar berjalan dengan lancar
adalah bagaimana cara seseorang menjunjung tinggi sebuah kebenaran serta kejujuran.
Sebenarnya penegakan hukum dalam kasus korupsi harusnya dimulai dari masyarakat dengan
bantuan aparat penegak hukum serta peraturan-peraturan hukum yang ada. Seseorang harus
mendisiplinkan diri sendiri sebelum mulai untuk melancarkan penegakkan hukum. Indonesia
adalah negara hukum. Segala sesuatu telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan
harus ditepati dengan benar. Hukuman yang diberikan kepada koruptor harusnya sesuai
dengan apa yang diperbuat.

Berdasarkan latar belakang mengenai kasus tindak pidana korupsi yang masih kerap
terjadi di Indonesia, maka dalam tulisan ini akan membahas bagaimana perkembangan
korupsi pada awalnya hingga bagaimana solusi yang bisa diterapkan untuk menanggulangi
adanya penyalahgunaan yang dapat merugikan suatu negara.

5
Sigid Suseno dan Nella Sumika Putri. 2013. Hukum Pidana Indonesia: Perkembangan dan Pembaharuan.
Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal. 88

5
A. Rumusan Masalah
1. Bagaimana seseorang dapat dikatakan menjadi seorang koruptor?
2. Bagaimana perkembangan korupsi di Indonesia sejak awal kehidupan berbangsa dan
bernegara?
3. Apa sajakah teori-teori penyebab yang mendukung seseorang melakukan korupsi?
4. Apakah peran KPK sudah sesuai dengan fungsi pembuatannya?

Anda mungkin juga menyukai