Anda di halaman 1dari 15

PERAN MASYARAKAT DALAM

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI


Anastasia Reni Widyastuti1

Abstrak

Pemberantasan korupsi diyakini mampu menciptakan pemerintahan


yang bersih dan menciptakan rasa keadilan. Terciptanya
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi bukan
hanya tanggung jawab dari penyelenggara negara semata, melainkan
juga masyarakat dan semua komponen anak bangsa. Diperlukan peran
serta masyarakat untuk melakukan kontrol sosial terhadap praktik
penyelenggaraan pemerintahan. Masyarakat tidak hanya dijadikan objek
penyelenggaraan negara, tetapi harus dilibatkan juga sebagai subjek.

Peran serta masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk: a. Mencari,


memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi
tindak pidana korupsi; b. Menyampaikan saran dan pendapat secara
bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara
tindak pidana korupsi; c. Memperoleh perlindungan hukum; d.
Memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang
diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari; e. Memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan
memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana
korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana
korupsi.

Peran serta masyarakat diartikan sebagai peran aktif organisasi


masyarakat, perorangan, atau lembaga swadaya masyarakat dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Wujud peran
serta masyarakat dapat dilaksanakan dengan cara: a. Peran serta
melalui media; b. Peran serta melalui kegiatan-kegiatan langsung.

Kata Kunci: Masyarakat, Penanggulangan, Korupsi.

1
Penulis adalah Dosen tetap Fakultas Hukum Unika St. Thomas, Jl Setia Budi
479-F Tanjung Sari Medan-20132, Telp.: (061) 8210161. Fax: (061) 8213269.
No. HP: 0818243261, e-mail address: areniheru@yahoo.com.
PENDAHULUAN

Negara Indonesia dikenal secara luas sebagai salah satu negara

yang paling korup. Praktek korupsi telah meluas secara horizontal

maupun vertikal, berkembang terus menerus secara kuantitatif dan

kualitatif. Namun ironisnya sedikit sekali koruptor yang diadili dan

dijatuhi pidana. Korupsi itu jelas telah menghambat atau menggagalkan

upaya pembangunan di Indonesia, maka semua pihak mempunyai

keinginan agar korupsi dicegah atau diberantas secepat mungkin.

Korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatan yang disebut

sebagai extra-ordinary crime, sehingga tuntutan ketersediaan perangkat

hukum yang sangat luar biasa dan canggih serta kelembagaan yang

menangani korupsi tersebut tidak dapat dielakkan lagi. Persoalan

pemberantasan korupsi di Indonesia bukan hanya persoalan hukum

saja, melainkan juga persoalan sosial dan psikologi, sehingga wajib

dibenahi secara simultan. 2

Korupsi bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh

dunia. Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam preambul ke-4 United

Nations Convention Againts Corruption, tahun 2003 yang menyatakan:

“meyakini bahwa korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal,

melainkan suatu fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh

2
Romli Atmasasmita, 2003, Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti
Korupsi di Indonesia, Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, hlm. 25.
masyarakat dan ekonomi yang mendorong kerja sama internasional

untuk mencegah dan mengontrolnya secara esensial.3

Berbagai upaya melalui “law reform” dan “law enforcement” tidak

menunjukkan hasil yang maksimal. Ternyata hukum bukan obat yang

manjur untuk menanggulangi korupsi, ia hanya merupakan salah satu

strategi saja yang dapat dipilih untuk memberantas korupsi. Bahkan

para ahli hukum pidana banyak yang menyatakan bahwa hukum pidana

hanya mengatasi symptom korupsi saja, bukan mengatasi kausanya.

Kausa dari kejahatan pada umumnya, korupsi khususnya antara lain

adalah kebodohan, ketidak-tahuan, pesimisme dan ketidak-pedulian

yang akhirnya berdampak buruk pada bertambahnya kualitas dan

kuantitas kemiskinan dalam masyarakat.4

Penanggulangan korupsi, supaya berhasil penting sekali

melibatkan masyarakat sipil. Karena upaya apapun yang dilakukan

untuk mengembangkan strategi anti korupsi tanpa melibatkan

masyarakat sipil akan sia-sia karena umumnya negara yang peran serta

masyarakat sipilnya rendah, tingkat korupsinya akan tinggi (Pope:

2003). Ellie Keen menyatakan bahwa masyarakat sipil memiliki andil

yang cukup besar untuk terjadinya korupsi, sehingga keterlibatannya

dalam menanggulangi korupsi menjadi sangat esensial dan merupakan

suatu keharusan.5

3 Ermansjah Djaja, 2010, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,


Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 3.
4
Elwina S, Marcella, 2011, Pendidikan Anti Korupsi: Sebuah Langkah
Strategis Membangun Integritas Bangsa, Makalah dalam Seminar Nasional
Pendidikan Integritas di Semarang, 5 Juli 2011, hlm. 3.
5 Ibid. hlm. 3-4.
PENANGGULANGAN KORUPSI

Korupsi dalam Black’s Law Dictionary adalah “suatu perbuatan

yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan

yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak

lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk

mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang

lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.6

Pengertian korupsi dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, dikelompokan menjadi: (1) delik yang dapat

merugikan keuangan negara; (2) delik penyuapan; (3) delik penggelapan;

(4) delik pemerasan dalam jabatan; (5) delik yang berkaitan dengan

pemborongan, leveransir dan rekanan. Dengan memahami pengertian

korupsi, diharapkan pemberantasan korupsi dalam bentuk pencegahan

dan penindakan dapat diwujutkan, sehingga pemberantasan korupsi

tidak hanya memberikan efek jera, tetapi juga berfungsi sebagai daya

tangkal.

Sampai saat ini masih terdapat kecenderungan bahwa segala

permasalahan hanya dapat diselesaikan dengan undang-undang,

padahal hukum baru bermakna apabila dijalankan dan ditegakkan

dalam praktek secara nyata. Jika penerapan suatu peraturan

perundang-undangan tidak dilakukan secara integral dan tidak diikuti

upaya sistemik lainnya, terutama tindakan pencegahan, maka

6
Henry Cambell Black, 1990, Black’s Law Dictionary, Edisi VI, St. Paul
Minesota, West Publishing.
penegakan hukum tersebut masih kurang maknanya dalam upaya

pemberantasan korupsi.7

Harus kita sadari bahwa sanksi pidana saja tidak dapat menjamin

turunnya perilaku yang koruptif dari masyarakat. Perilaku yang koruptif

tersebut tumbuh subur karena dorongan dari masyarakat sendiri, yang

ingin mendapatkan pelayanan secara instan tanpa melalui prosedure

yang baku. Perilaku sebagian masyarakat yang demikian itu secara tidak

sadar telah menghancurkan integritas para petugas, penguasa atau

pihak-pihak yang berwenang.

Masalah penanggulangan korupsi melalui upaya pencegahan

dalam konferensi ketiga PBB di Doha tanggal 9 s/d 13 Nopember 2009

yang telah lalu, dari 4 resolusi yang dihasilkan ternyata masalah

pencegahan masih mendapat perhatian yang serius dari peserta

konferensi tersebut. Hal itu terlihat bahwa dari 4 resolusi yang

dihasilkan tersebut, masalah pencegahan ditempatkan pada urutan

kedua setelah kajian mekanisme penanggulangan tindak pidana

korupsi. Selanjutnya urutan ketiga pengembalian aset dan yang keempat

bantuan teknis.8

Korupsi terkait dengan berbagai permasalahan, tidak hanya

masalah hukum dan penegakannya, tetapi juga menyangkut masalah

moral/sikap mental, masalah pola hidup, budaya dan lingkungan sosial,

masalah kebutuhan ekonomi dan kesenjangan sosial-ekonomi, masalah

sistem ekonomi, masalah sistem politik, serta masalah mekanisme

7Marwan Effendy, 2012, Kapita Selekta Hukum Pidana, Jakarta,


Referensi, hlm. 6.
8 Ibid., hlm. 9.
pembangunan dan lemahnya birokrasi administrasi termasuk sistem

pengawasan di bidang keuangan dan pelayanan publik. Jadi kausa dan

kondisi yang bersifat kriminogen untuk timbulnya korupsi sangatlah

luas (multidimensi), antara lain bisa di bidang moral, sosial, ekonomi,

politik, budaya, birokrasi/administrasi.9

Upaya pemerintah untuk memberantas korupsi sudah dimulai

sejak tahun 1957 dengan membuat peraturan perundang-undangan

sebagai alat untuk memberantas korupsi, antara lain: 10

1. Peraturan Penguasa Militer untuk Daerah Kekuasaan Angkatan


Darat No. Prt/PM-06/1957 tanggal 9 April 1957 tentang
Pemberantasan Koropsi;
2. Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-08/1957 tentang
Penilikan Terhadap Harta Benda;
3. Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat No.
Prt/Peperpu/013/1958, 13 April 1958 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Penilikan
Harta Benda;
4. Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut No.
Prt/Z.I/I/7 tanggal 17 April 1958;
5. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 24 Tahun
1960 tanggal 9 Juni 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang menurut Undang-
undang No. 1 Tahun 1961 telah menjadi Undang-Undang dan
disebut Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960, sejak tanggal
1 Januari 1961;
6. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi;
7. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme;
8. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi;
9. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi;

9
Nyoman Serikat Putra Jaya, 2008, Beberapa Pemikiran Kearah
Pengembangan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm. 71.
10
Anwary, S, 2005, Quo Vadis Pemberantasan Korupsi Di Indonesia,
Jakarta, Institute of Socio-Economics And Political Studies People Message, hlm.
133-134.
10. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Di samping itu Pemerintah juga telah mengeluarkan:

1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2000

tanggal 5 April 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi;

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2000

tanggal 21 Agustus 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran

Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan

dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ternyata peraturan perundang-undangan tersebut belum

memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Masalah hukum yang

menjadi tuntutan adalah mengenai penegakan dan penerapannya, atau

law enforcement. Sesungguhnya hukum berperan untuk mengantarkan

masyarakat kepada kesejahteraan dalam hidupnya.11

Seorang filosof hukum aliran realisme bernama Wilhelm Lundsted

mengatakan bahwa hukum itu bukan apa-apa (law is nothing).12

Pendapat itu cukup masuk akal bagi Indonesia karena terbukti bahwa

dengan banyaknya aturan, ternyata juga makin banyak tuntutan. Secara

lengkap Wilhelm Lundsted kemudian menegaskan bahwa hukum baru

11 Jeremy Bentham, 2006, Teori Perundang-undangan (Prinsip-prinsip


Legalisasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana), Bandung, Nuansa, hlm. 26.
12
Antonius Sujata, 2000, Reformasi dalam Penegakan Hukum, Jakarta,
Penerbit Djambatan, hlm. 6.
memiliki makna setelah ditegakkan. Tanpa penegakan, hukum bukan

apa-apa.13

Satjipto Rahardjo menyatakan penegakan hukum adalah suatu

proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi

kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan

pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan

hukum. Penegakan hukum dimulai dari pembuatan sampai ke

pelaksanaan undang-undang tersebut. Keinginan-keinginan hukum

dilakukan melalui manusia, sehingga manusia yang menjalankan

penegakan hukum benar-benar menempati kedudukan yang penting

dan menentukan.14

Relevan dengan hal tersebut B.M. Taverne menyatakan: berikan

padaku hakim yang baik, jaksa yang baik serta polisi yang baik, maka

dengan hukum yang buruk sekalipun, saya bisa mendatangkan

keadilan. Artinya, bagaimanapun lengkapnya suatu rumusan undang-

undang, tanpa didukung aparatur penegak hukum yang baik, memiliki

moralitas dan integritas yang tinggi, maka hasilnya akan buruk. 15

PERAN MASYARAKAT DALAM PENANGGULANGAN KORUPSI

Pemberantasan korupsi diyakini mampu menciptakan

pemerintahan yang bersih dan menciptakan rasa keadilan. Terciptanya

penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi bukan

13Satjipto Rahardjo, 2007, Membedah Hukum Progresif, Jakarta,


Penerbit Buku Kompas, hlm. 6.
14
Satjipto Rahardjo, 2009, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis,
Yogyakarta, Genta Publishing hlm. 1-2.
15
Satjipto Rahardjo, 2007, Loc. Cit.
hanya tanggung jawab dari penyelenggara negara semata, melainkan

juga masyarakat dan semua komponen anak bangsa. Hal ini sejalan

dengan apa yang disampaikan M. Friedman bahwa ada 3 hal yang dapat

mempengaruhi bekerjanya atau tegaknya hukum, yaitu:

1. Substansi hukum, yaitu materi hukum yang berupa

peraturan-peraturan.

2. Struktur hukum, yaitu kelembagaan-kelembagaan yang

mendukung efektifitasnya hukum.

3. Budaya hukum, yaitu sikap mental dan prilaku masyarakat

terhadap kaidah-kaidah hukum yang ada.16

Diperlukan peran serta masyarakat untuk melakukan kontrol

sosial terhadap praktik penyelenggaraan pemerintahan. Masyarakat

tidak hanya dijadikan objek penyelenggaraan negara, tetapi harus

dilibatkan juga sebagai subjek. Peran serta masyarakat untuk turut

serta membantu pemerintah melakukan upaya pencegahan dan

pemberantasan korupsi sangat penting. Peran serta masyarakat dapat

diwujutkan dalam bentuk berikut ini:

a. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya

dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;

b. Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari,

memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah

terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang

menangani perkara tindak pidana korupsi;

Friedman, Lawrence M., 1975, The Legal System, A Social Perspective,


16

New York, Russel Sage Foundation, hlm. 11.


c. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung

jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak

pidana korupsi;

d. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang

laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam

waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;

e. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal: 1)

melaksanakan haknya sebagaimana tersebut di atas; 2)

diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di

sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Peran serta masyarakat diartikan sebagai peran aktif organisasi

masyarakat, perorangan, atau lembaga swadaya masyarakat dalam

pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Wujud peran

serta masyarakat dapat dilaksanakan dengan cara:

a. Peran serta melalui media: Koran, majalah, radio, dan televisi

merupakan sarana yang ampuh dalam mencegah dan

menanggulangi korupsi. Adanya dugaan kasus korupsi yang

terjadi di suatu lembaga pemerintah atau dugaan korupsi oleh

seorang pejabat negara dapat diberitakan melalui media. Oleh

lembaga berwenang, hasil pemberitaan dapat ditindaklanjuti.

Melalui media, warga juga dapat menyampaikan adanya

dugaan korupsi, kejadian korupsi, atau hal lain yang


berkaitan. Contohnya, dengan surat pembaca, kotak pos,

opini, kolom pembaca, atau kring telepon.

b. Peran serta melalui kegiatan-kegiatan langsung. Kegiatan

secara langsung dan terbuka oleh sekelompok orang berkaitan

dengan upaya penanggulangan korupsi disebut dengan

kegiatan langsung. Contohnya, unjuk rasa mendatangi

lembaga pemerintahan yang dituduh melakukan korupsi dan

demonstrasi ke lembaga ke KPK agar serius menangani suatu

kasus korupsi. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) sekarang

ini banyak sekali yang berkecimpung di bidang

penanggulangan korupsi. Secara aktif dan rajin mereka

melakukan kegiatan-kegiatan yang berintikan upaya

menanggulangi korupsi, seperti melaporkan adanya tindak

pidana korupsi oleh seorang pejabat, memberikan masukan

dan kritik terhadap penggunaan anggaran suatu departemen,

laporan dugaan korupsi suatu departemen, dan lain-lain.

Untuk menggalakan peran serta masyarakat dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi, pemerintah telah menerbitkan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 71 Tahun 2000

tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian

Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yang memuat antara lain:

1. Hak dan tanggung jawab masyarakat dalam mencari,

memperoleh, memberi informasi, saran dan pendapat.


2. Hak dan tanggung jawab masyarakat dalam memperoleh

pelayanan dan jawaban dari penegak hukum.

3. Hak dan tanggung jawab masyarakat dalam memperoleh

perlindungan hukum.

Dalam Peraturan Pemerintah itu juga disebutkan tentang tata cara

pemberian penghargaan sebagai berikut:

1. Setiap orang, organisasi masyarakat, lembaga swadaya

masyarakat yang telah berjasa dalam usaha membantu upaya

pencegahan atau pemberantasan tindak pidana korupsi

berhak mendapat penghargaan dapat berupa piagam atau

premi.

2. Besarnya premi ditetapkan paling banyak sebesar 2 permil

dari nilai kerugian uang negara yang dikembalikan.

3. Premi diberikan kepada pelapor setelah putusan pengadilan

yang memidana terdakwa memperoleh kekuatan hukum tetap.

Masalah peran serta masyarakat sebagaimana diuraikan di atas

diharapkan dapat membantu penegak hukum untuk mengungkap

adanya tindak pidana korupsi. Namun hal tersebut menemui banyak

hambatan di dalam prakteknya, sebagaimana yang telah terjadi baru-

baru ini di Sumatera Utara. Pada tanggal 6 Pebruari 2013, Polisi Daerah

Sumatera Utara (Poldasu) menetapkan tiga orang aktivis kemanusiaan

(Pastor Rantinus Manalu pejuang HAM, Ustad Sodiqin Lubis, dan Denis

Simalango Koordinator Gerakan Rakyat Menggugat/GERAM) sebagai

tersangka, karena dinilai melakukan pencemaran nama baik Bupati

Tapanuli Tengah, Raja Bonaran Situmorang.


Penetapan tiga aktivis sebagai tersangka tersebut, terkait

pengaduan Bupati ke Poldasu pada tanggal 17 September 2012. Bupati

melaporkan mereka terkait terbitnya iklan di Harian Rakyat Tapanuli

pada 8 September 2012, yang berisi sembilan poin kasus kecurangan

Bupati. Kemudian tanggal 10 September 2012, ketiga aktivis bersama

masyarakat melakukan unjuk rasa menuntut Bupati mundur. Anehnya

baru di bulan Pebruari kasus ini mencuat dan ketiga aktivis langsung

ditetapkan sebagai tersangka.

Hasil diskusi yang penulis laksanakan dengan melibatkan

beberapa orang mahasiswa menunjukkan bahwa kasus di atas dan

banyak kasus lain yang serupa akan membuat masyarakat menjadi

apatis dan tidak mau berperan di dalam upaya pencegahan dan

pemberantasan korupsi. Apabila pelaku korupsi adalah seorang pejabat

yang mempunyai hubungan dengan para penegak hukum. Masyarakat

berpikir untuk apa melaporkan kalau laporannya tidak ditindaklanjuti

dan bahkan bisa dianggap mencemarkan nama baik pejabat.

Walaupun sudah ada undang-undang yang mengatur masalah

peran serta masyarakat dan telah dibuat peraturan pemerintah tentang

tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian

penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana

korupsi. Masyarakat kurang percaya dengan niat pemerintah dan aparat

penegak hukumnya untuk melaksanakan peraturan pemerintah

tersebut. Hal yang sangat penting adalah perlu membangun

kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum.


KESIMPULAN

Peran serta masyarakat akan tidak ada artinya jika tidak

didukung oleh kualitas dan integritas institusi penegak hukum. Institusi

penegak hukum agar mempunyai kualitas dan integritas yang baik juga

perlu dukungan dari peran serta masyarakat. Masyarakat harus

membiasakan diri mengurus segala sesuatu melalui birokrasi yang

benar dan tidak mencari jalan pintas, masyarakat juga tidak perlu segan

dan takut untuk menegur institusi penegak hukum. Korupsi akan hilang

jika ada kerjasama antara masyarakat dan aparat penegak hukum, yang

mempunyai kualitas dan integritas yang tinggi..

Diharapkan ke depan perlahan-lahan stigma negatif masyarakat

terhadap kredibilitas institusi penegak hukum yang sudah terlanjur

terbentuk dapat dieliminasi dan tentunya tidak boleh dibiarkan

berlanjut. Upaya pemulihan kembali kredibilitas institusi penegak

hukum tersebut salah satunya dengan membangun kembali

kepercayaan masyarakat melalui peningkatan integritas aparaturnya.

DAFTAR PUSTAKA

Anwary, S, 2005, Quo Vadis Pemberantasan Korupsi Di Indonesia,

Jakarta, Institute of Socio-Economics And Political Studies

People Message.

Atmasasmita, 2003, Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi

di Indonesia, Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional

Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik

Indonesia.
Bentham, Jeremy, 2006, Teori Perundang-undangan (Prinsip-prinsip

Legalisasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana), Bandung,

Nuansa.

Black, Henry Cambell, 1990, Black’s Law Dictionary, Edisi VI, St. Paul

Minesota, West Publishing.

Djaja, Ermansjah, 2010, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,

Jakarta, Sinar Grafika.

Effendy, Marwan, 2012, Kapita Selekta Hukum Pidana, Jakarta,

Referensi.

Elwina S, Marcella, 2011, Pendidikan Anti Korupsi: Sebuah Langkah

Strategis Membangun Integritas Bangsa, Makalah dalam Seminar

Nasional Pendidikan Integritas di Semarang, 5 Juli 2011.

Friedman, Lawrence M., 1975, The Legal System, A Social Perspective,

New York, Russel Sage Foundation.

Jaya, Nyoman Serikat Putra, 2008, Beberapa Pemikiran Kearah

Pengembangan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti.

Rahardjo, Satjipto, 2007, Membedah Hukum Progresif, Jakarta, Penerbit

Buku Kompas.

-------------, 2009, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis,

Yogyakarta, Genta Publishing.

Sujata, Antonius, 2000, Reformasi dalam Penegakan Hukum, Jakarta,

Penerbit Djambatan.

Anda mungkin juga menyukai