Dosen Pengampu :
Robby Darwis Nasution, S.IP, M.A
Disusun Oleh :
Alvina Eka Rahmawati
( 21221998 )
Salah satu lembaga negara yang sangat penting dan disorot oleh masyarakat adalah
DPR, lembaga negara yang keanggotaannyadipilih oleh rakyat melalui Pemilihan Umum yang
langsung, bebas dan rahasia. Anggota DPR merangkap jadi anggotanya MPR. DPR bersidang
sedikitnya sekali dalam setahun (Pasal 19 ayat 3). Hal ini mengandung pengertian , DPR boleh
bersidang lebih dari satu kali dalam setahun apabila dianggap perlu. Tugas dan wewenang DPR
adalah, memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang, memiliki fungsi legislatif,
anggaran dan pengawasan, mengajukan usul pemberhentian Presiden dan/atau wakil presiden,
menyetujui usul Presiden tentang menyatakan perang, perdamaian dengan negara lain
(Yusmiati, 2018). Akhir-akhir ini banyak berita mengenai beberapa kasus yang melibatkan
lembaga negara tersebut. Tindak korupsi terus bergulir, dan berkembang menjadi sangat
kompleks. Dari pemerintah tingkat desa sampai pejabat setingkat menteri tidak luput dari
‘penyakit bangsa’ ini. Siapa yang tidak mengenal Dewan Perwakilan Rakyat atau biasa
disingkat DPR, sebagai lembaga legislatif penyalur aspirasi rakyat, kebijakan yang ditetapkan
oleh para anggota dewan ini akan berpengaruh untuk rakyat. Tidak hanya keputusannya,
namun juga ‘perbuatannya’. Sudah menjadi hal yang diketahui publik, bahwa DPR merupakan
salah satu dari sekian banyak lembaga yang tersangkut kasus korupsi. Tidak sedikit anggota
dewan yang tertangkap, sebut saja, Saleh Djazit, seorang anggota dewan dari Partai Golkar. Ia
terjerat korupsi pengadaan 20 unit mobil pemadam kebakaran. Selain itu, ada Al Amin
Nasution dari fraksi PPP, ia terjerat dalam kasus suap sebesar Rp. 1.8 miliar untuk ijin kawasan
hutan lindung Bintan menjadi hak guna usaha di Kepulauan Riau. Selain kedua nama tersebut,
masih ada sederet nama lainnya, yaitu Hamka Yandhu, Sarjan Taher, dan Bulyan Royan. Ironi,
karena DPR yang idealnya berpihak kepada rakyat, malah menjerumuskan rakyatnya sendiri
kedalam kemiskinan dan penderitaan. Kini citra DPR memang tidak lagi baik, berbagai kasus
korupsi yang menimpa beberapa anggota dewan tersebut membuat masyarakat kehilangan
kepercayaannya terhadap DPR. Dan dari contoh kasus diatas bisa dikatakan bahwa kurangnya
pengimplementasian undang-undang anti korupsi dalam lingkup DPR sangat dibenarkan.
Secara jelas tindakan hukum yang dapat dilakukan sehingga seorang anggota DPR-RI
diberhentikan dalam jabatannya adalah karena terlibat dalam tindak pidana korupsi sebagai
suatu tindak pidana khusus. Hal ini sangat dijelaskan dalam Pasal 219 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dimana seorang anggota
DPR dapat diberhentikan sementara dari jabatannya karena menjadi terdakwa dalam tindak
pidana umum yang diancam lima tahun atau lebih atau mejadi terdakwa dalam tindak pidana
khusus yaitu tindak pidana korupsi. Dalam hal anggota DPR dinyatakan terbukti bersalah
karena melakukan tindak pidana sebagaimana disebutkan di atas berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPR yang bersangkutan
diberhentikan sebagai anggota DPR (Siburian et al., 2021).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana upaya pemerintah menindaklanjuti kasus korupsi dikalangan DPR?
2. Apa kaitan kasus korupsi dengan Pendekatan Institusionalism?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui upaya pemerintah dalam menangani kasus korupsi di kalangan
DPR
2. Untuk mengetahui kaitan kasus korupsi dengan Pendekatan Institusionalism
BAB II
A. LANDASAN TEORI
1. Pendekatan Institusionalisme
Pendekatan institusionalisme atau kelembagaan mengacu pada negara sebagai fokus
kajian utama. Setidaknya, hadir dua jenis atau pemisahan institusi negara, yakni negara
demokratis yang berada pada titik "pemerintahan yang baik" atau good governance dan negara
otoriter yang berada pada titik "pemerintahan yang jelek" atau bad governance dan kemudian
mengembang lagi dengan banyak varian yang memiliki sebutan nama yang berbeda-beda.
Namun, pada dasarnya jika dikaji secara krusial, struktur pemerintahan dari jenis-jenis institusi
negara tersebut tetap akan terbagi lagi menjadi dua yakni masalah selang "baik" dan "buruk".
Bahasan tradisional dalam pendekatan ini menyangkut ditengahnya sifat undang-undang
landasan, masalah kedaulatan, letak, dan kekuasaan resmi serta yuridis dari lembaga-lembaga
kenegaraan seperti parlemen. Dengan kata pautan, pendekatan ini mencakup unsur legal
maupun institusional. Pendekatan ini memperlihatkan bagaimana struktur seperti skema,
aturan, norma, dan rutin menjadi bentuk yang bersifat otoritatif untuk terjadinya perilaku
sosial”. Jadi dalam hal ini institusi bukan saja meliputi aturan, nilai, kebiasaan tertentu namun
juga harus dilihat adanya tindakan yang terjadi dan bagaimana tindakan itu diulang atau
direproduksi (Istiqomah, 2018). Setidaknya, hadir lima karakteristik atau kajian utama
pendekatan ini, yakni; pertama, legalisme (legalism) yang mengkaji bagian hukum yaitu
peranan pemerintah pusat dalam mengatur hukum. Kedua, strukturalisme yakni berfokus pada
perangkat kelembagaan utama atau menekankan pentingnya keberadaan struktur dan struktur
itu pun mampu menentukan perilaku seseorang. Ketiga, olistik (holism) yang menekankan
pada kajian sistem yang menyeluruh atau holistik alih-alih dalam memeriksa lembaga yang
"bersifat" individu seperti legislatif. Keempat, sejarah atau historicism yang menekankan pada
analisisnya dalam bagian sejarah seperti kehidupan sosial-ekonomi dan hukum budaya istiadat.
Kelima, nalisis normatif atau normative analysis yang menekankan analisisnya dalam bagian
yang normatif sehingga akan terfokus pada penciptaan good government.
2. Undang – undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas KKN
Undang-undang ini dibentuk di era Presiden BJ Habibie pada tahun 1999 sebagai
komitmen pemberantasan korupsi pasca tergulingnya rezim Orde Baru. Dalam UU no 28 tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN ini dijelaskan definisi soal
korupsi, kolusi dan nepotisme, yang kesemuanya adalah tindakan tercela bagi penyelenggara
negara. Dalam UU juga diatur pembentukan Komisi Pemeriksa, lembaga independen yang
bertugas memeriksa kekayaan penyelenggara negara dan mantan penyelenggara negara untuk
mencegah praktik korupsi. Bersamaan pula ketika itu dibentuk Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) dan Ombudsman. Namun, saat ini badan tersebut sudah digantikan dengan
KPK.
DAFTAR PUSTAKA
Hasyim Ali Imran. (2011). Konstruksi Media tentang Realitas Korupsi Anggota Parlemen.
Jurnal Studi Komunikasi Dan Media, 15(1), 19–52.
http://jurnal.kominfo.go.id/index.php/jskm/article/view/49
Reichenbach, A., Bringmann, A., Reader, E. E., Pournaras, C. J., Rungger-Brändle, E., Riva,
C. E., Hardarson, S. H., Stefansson, E., Yard, W. N., Newman, E. A., & Holmes, D.
(2019). KONSEP PENYELENGGARAAN TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK
(GOOD GOVERNANCE) BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 28
TAHUN 19991 Oleh : Florensia Manengal2. Progress in Retinal and Eye Research,
561(3), 7. https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/administratum/article/view/26979
Setyawati, D., Timur, P., & Setyawati, D. (1800). Deni Setyawati. 2008. Jurnalisme
Kontemporer, 45. http://e-journal.uajy.ac.id/2958/
Siburian, S. M. P., Sunarto, A., & Aisyah, A. (2021). Tindakan Hukum Terhadap Anggota Dpr-
Ri Karena Terlibat Kasus Korupsi. Jurnal Mutiara Hukum, 4(2), 1–14. http://e-
journal.sari- mutiara.ac.id/index.php/JMH/article/view/2608
Toule M., E. R. (2013). Eksistensi Ancaman Pidana Mati Dalam Undang-Undang Tindak
Pidana. Jurnal Hukum PRIORIS, 3(3), 1–8. https://e-
journal.trisakti.ac.id/index.php/prioris/article/view/370
Umar, H., Kementerian, I. J., Nasional, P., & Kebudayaan, D. (2012). Pengawasan Untuk
Pemberantasan Korupsi. Jurnal Akuntansi & Auditing, 8(2), 1–14.
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/akuditi/article/view/4351