Anda di halaman 1dari 10

PROPOSAL

“ IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG ANTI KORUPSI DALAM LINGKUP


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ( DPR ) DAN KAITANNYA DENGAN
PENDEKATAN INSTITUSIONALISM”
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metodologi Ilmu Pemerintahan

Dosen Pengampu :
Robby Darwis Nasution, S.IP, M.A

Disusun Oleh :
Alvina Eka Rahmawati
( 21221998 )

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO
2022/2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Istilah korupsi berasal dari bahasa latin yakni corruptio. Dalam bahasa Inggris adalah
corruption atau corrupt, dalam bahasa Perancis disebut corruption dan dalam bahasa Belanda
disebut dengan coruptie. Agaknya dari bahasa Belanda itulah lahir kata korupsi dalam bahasa
Indonesia. Korup berarti busuk, buruk; suka menerima uang sogok (memakai kekuasaannya
untuk kepentingan sendiri dan sebagainya). Korupsi adalah perbuatan yang buruk (seperti
penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya). Upaya pemberantasan korupsi
sudah dilakukan sejak lama dengan menggunakan berbagai cara, sanksi terhadap pelaku
korupsi sudah diperberat, namun hampir setiap hari kita masih membaca atau mendengar
adanya berita mengenai korupsi. Berita mengenai operasi tangkap tangan (OTT) terhadap
pelaku korupsi masih sering terjadi. Korupsi berakibat sangat berbahaya bagi kehidupan
manusia, baik aspek kehidupan sosial, politik, birokrasi, ekonomi, dan individu. Jika korupsi
dalam suatu masyarakat telah merajalela dan menjadi makanan masyarakat setiap hari, maka
akibatnya akan menjadikan masyarakat tersebut sebagai masyarakat yang kacau, tidak ada
sistem sosial yang dapat berlaku dengan baik. Setiap individu dalam masyarakat hanya akan
mementingkan diri sendiri (self interest), bahkan selfishness. Tidak akan ada kerja sama dan
persaudaraan yang tulus. Fakta empirik dari hasil penelitian di banyak negara dan dukungan
teoritik oleh para saintis sosial menunjukkan bahwa korupsi berpengaruh negatif terhadap rasa
keadilan sosial dan kesetaraan sosial. Korupsi menyebabkan perbedaan yang tajam di antara
kelompok sosial dan individu baik dalam hal pendapatan, prestis, kekuasaan dan lain-lain.
Korupsi juga membahayakan terhadap standar moral dan intelektual masyarakat. Ketika
korupsi merajalela, maka tidak ada nilai utama atau kemulyaan dalam masyarakat. Theobald
menyatakan bahwa korupsi menimbulkan iklim ketamakan, selfishness, dan sinisism. Chandra
Muzaffar menyatakan bahwa korupsi menyebabkan sikap individu menempatkan kepentingan
diri sendiri di atas segala sesuatu yang lain dan hanya akan berpikir tentang dirinya sendiri
semata-mata. Jika suasana iklim masyarakat telah tercipta demikian itu, maka keinginan publik
untuk berkorban demi kebaikan dan perkembangan masyarakat akan terus menurun dan
mungkin akan hilang (Wicipto Setiadi, 2018).

Korupsi di Indonesia umumnya berupa penyalahgunaan wewenang, pembayaran fiktif,


kolusi/persekongkolan, biaya perjalanan dinas yang fiktif, suap/uang pelicin, pungutan liar,
penyalahgunaan fasilitas kantor, imbalan tidak resmi, pemberian fasilitas secara tidak adil,
bekerja tidak sesuai dengan ketentuan dan prosedur, tidak disiplin waktu, komisi atau transaksi
jual/beli yang tidak disetor ke Kas Negara menunda atau memperlambat pembayaran proyek,
pengumpulan dana taktis, penyalahgunaan anggaran, menerima hadiah, dan menerima
sumbangan (Umar et al., 2012). Menurut hasil survei Corruption Perceptions Index (CPI) yang
dilakukan Transparency Internasional (TI) tahun 2001, Indonesia memang termasuk satu di
antara 13 negara yang terkorup di dunia ini. Negara lainnya yaitu (disusun menurut abjad)
Azerbaijan, Bangladesh, Bolivia, Kamerun, Irak, Kenya, Nigeria, Pakistan, Rusia, Tanzania,
Uganda, dan Ukraina. Hasil polling online Transparency Internasional (TI) Indonesia per 31
Januari 2008 juga menunjukkan 79% responden setuju kalau Indonesia termasuk salah satu
dari 38 negara terkorup di dunia, dengan mana lembaga peradilan indonesia disetujui semua
responden sebagai institusi tertinggi tingkat korupsinya. Fenomena empirikal yang demikian,
dengan demikian tentunya dapat menjadi penguat bagi opini sebelumnya mengenai kondisi
korupsi di Indonesia (Hasyim Ali Imran, 2011). Korupsi sudah sangat meluas secara sistemik
merasuk ke semua sektor di berbagai tingkatan pusat dan daerah, di semua lembaga negara,
baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Oleh karenanya, korupsi digolongkan sebagai
kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Di Indonesia, secara kasat mata, kasus korupsi
merupakan konsumsi publik yang dapat diperoleh melalui berbagai media massa, baik cetak
maupun elektronik. Hampir tidak ada hari yang terlewatkan tanpa berita tentang kasus korupsi.
Secara tegas hal tersebut diakui dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001, bahwa korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya
merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat secara luas. Kondisi ini yang menjadi dasar bagi pemerintah untuk mengupayakan
berbagai upaya pemberantasan korupsi (Toule M., 2013).

Keprihatinan masyarakat akan kenyataan semakin merajalelanya korupsi dan ketidak-


percayaan terhadap lembaga yudikatif yang ada, maka pada tanggal 29 Desember 2003
dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi atau biasa dikenal dengan sebutan KPK. KPK
merupakan sebuah komisi yang dibentuk berdasarkan kepada Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan tujuan untuk
mengatasi, menanggulangi, dan memberantas korupsi. Sebelum KPK, orde lama memiliki
komisi yang juga bertujuan untuk memberantas korupsi, yaitu Panitia Retooling Aparatur
Negara atau disingkat paran. Pada masa orde baru, komisi serupa bernama Tim Pemberantasan
Korupsi yang diketuai Jaksa Agung. Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai
sejak kepemimpinan BJ Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Dibentuklah berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat
Negara (KPKPN), KKPU, atau lembaga ombudsman. Namun badan-badan tersebut berakhir
dengan dibentuknya KPK. Hal ini memposisikan KPK menjadi satu-satunya lembaga yang
dipercaya menangani masalah korupsi (Setyawati et al., 1800). Dalam bidang administrasi
negara telah dirumuskan beberapa asas-asas umum pemerintahan sebagai pedoman pelaksana
dari suatu aktifitas pemerintahan agar dapat mewujudkan pemerintahan yang baik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang bersih dan bebas KKN. Hal ini mengartikan pengejawantahan good governance hanya
mungkin ketika hukum administrasi berjalan dengan sebagaimana mestinya (Reichenbach et
al., 2019). Sampai saat ini, pemberantasan korupsi yang dilakukan lembaga penegak hukum
Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan belum mampu memberikan akibat yang
signifikan untuk mencegah apalagi memberantas korupsi. Hal ini dibuktikan dengan, terus
ditemukannya praktik korupsi di Indonesia. Penangkapan, dan penyidikan kasus-kasus korupsi
di Indonesia semakin bertambah baik di pusat maupun didaerah, di instansi pemerintahan dan
juga korporasi serta di dalam struktur pemerintahan terkecil yakni desa. Hal ini membuktikan
bahwa penegakan hukum dan penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia belum
berjalan efektif dan maksimal. Di era kepemimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi tahun ini,
diharapkan penegakan kasus korupsi dapat terus di maksimalkan. Selama ini, penegakan
hukum atas kasus korupsi di Indonesia menjangkau lembaga-lembaga negara, seperti lembaga
legislatif, eksekutif, yudikatif serta melibatkan juga sektor swasta. Korupsi yang melibatkan
lembaga-lembaga negara tersebut terkait dengan proses tender atas proyek-proyek di institusi
tersebut. Hal ini dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan seperti swasta yang
memiliki kepentingan untuk memenangkan tender atas proyek pemerintah yang kemudian
melobi para birokrat dan anggota legislatif untuk mendukung pihak swasta untuk mendapatnya.
Di dalam sistem pemerintahan dapat dikatakan bahwa korupsi memberikan dampak buruk
dalam tatanan demokrasi dan tata pemerintahan Indonesia. Korupsi telah menghambat sistem
pemerintahan berjalan dengan baik, sehingga akan berdampak pada pembangunan dan
kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan pengkajian mengenai status lembaga
Komisi Pemberantasan Korupsi saat ini dalam melaksanaan tugas dan fungsinya dalam
mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia (Simbolon, 2020)

Salah satu lembaga negara yang sangat penting dan disorot oleh masyarakat adalah
DPR, lembaga negara yang keanggotaannyadipilih oleh rakyat melalui Pemilihan Umum yang
langsung, bebas dan rahasia. Anggota DPR merangkap jadi anggotanya MPR. DPR bersidang
sedikitnya sekali dalam setahun (Pasal 19 ayat 3). Hal ini mengandung pengertian , DPR boleh
bersidang lebih dari satu kali dalam setahun apabila dianggap perlu. Tugas dan wewenang DPR
adalah, memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang, memiliki fungsi legislatif,
anggaran dan pengawasan, mengajukan usul pemberhentian Presiden dan/atau wakil presiden,
menyetujui usul Presiden tentang menyatakan perang, perdamaian dengan negara lain
(Yusmiati, 2018). Akhir-akhir ini banyak berita mengenai beberapa kasus yang melibatkan
lembaga negara tersebut. Tindak korupsi terus bergulir, dan berkembang menjadi sangat
kompleks. Dari pemerintah tingkat desa sampai pejabat setingkat menteri tidak luput dari
‘penyakit bangsa’ ini. Siapa yang tidak mengenal Dewan Perwakilan Rakyat atau biasa
disingkat DPR, sebagai lembaga legislatif penyalur aspirasi rakyat, kebijakan yang ditetapkan
oleh para anggota dewan ini akan berpengaruh untuk rakyat. Tidak hanya keputusannya,
namun juga ‘perbuatannya’. Sudah menjadi hal yang diketahui publik, bahwa DPR merupakan
salah satu dari sekian banyak lembaga yang tersangkut kasus korupsi. Tidak sedikit anggota
dewan yang tertangkap, sebut saja, Saleh Djazit, seorang anggota dewan dari Partai Golkar. Ia
terjerat korupsi pengadaan 20 unit mobil pemadam kebakaran. Selain itu, ada Al Amin
Nasution dari fraksi PPP, ia terjerat dalam kasus suap sebesar Rp. 1.8 miliar untuk ijin kawasan
hutan lindung Bintan menjadi hak guna usaha di Kepulauan Riau. Selain kedua nama tersebut,
masih ada sederet nama lainnya, yaitu Hamka Yandhu, Sarjan Taher, dan Bulyan Royan. Ironi,
karena DPR yang idealnya berpihak kepada rakyat, malah menjerumuskan rakyatnya sendiri
kedalam kemiskinan dan penderitaan. Kini citra DPR memang tidak lagi baik, berbagai kasus
korupsi yang menimpa beberapa anggota dewan tersebut membuat masyarakat kehilangan
kepercayaannya terhadap DPR. Dan dari contoh kasus diatas bisa dikatakan bahwa kurangnya
pengimplementasian undang-undang anti korupsi dalam lingkup DPR sangat dibenarkan.
Secara jelas tindakan hukum yang dapat dilakukan sehingga seorang anggota DPR-RI
diberhentikan dalam jabatannya adalah karena terlibat dalam tindak pidana korupsi sebagai
suatu tindak pidana khusus. Hal ini sangat dijelaskan dalam Pasal 219 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dimana seorang anggota
DPR dapat diberhentikan sementara dari jabatannya karena menjadi terdakwa dalam tindak
pidana umum yang diancam lima tahun atau lebih atau mejadi terdakwa dalam tindak pidana
khusus yaitu tindak pidana korupsi. Dalam hal anggota DPR dinyatakan terbukti bersalah
karena melakukan tindak pidana sebagaimana disebutkan di atas berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPR yang bersangkutan
diberhentikan sebagai anggota DPR (Siburian et al., 2021).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana upaya pemerintah menindaklanjuti kasus korupsi dikalangan DPR?
2. Apa kaitan kasus korupsi dengan Pendekatan Institusionalism?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui upaya pemerintah dalam menangani kasus korupsi di kalangan
DPR
2. Untuk mengetahui kaitan kasus korupsi dengan Pendekatan Institusionalism
BAB II
A. LANDASAN TEORI
1. Pendekatan Institusionalisme
Pendekatan institusionalisme atau kelembagaan mengacu pada negara sebagai fokus
kajian utama. Setidaknya, hadir dua jenis atau pemisahan institusi negara, yakni negara
demokratis yang berada pada titik "pemerintahan yang baik" atau good governance dan negara
otoriter yang berada pada titik "pemerintahan yang jelek" atau bad governance dan kemudian
mengembang lagi dengan banyak varian yang memiliki sebutan nama yang berbeda-beda.
Namun, pada dasarnya jika dikaji secara krusial, struktur pemerintahan dari jenis-jenis institusi
negara tersebut tetap akan terbagi lagi menjadi dua yakni masalah selang "baik" dan "buruk".
Bahasan tradisional dalam pendekatan ini menyangkut ditengahnya sifat undang-undang
landasan, masalah kedaulatan, letak, dan kekuasaan resmi serta yuridis dari lembaga-lembaga
kenegaraan seperti parlemen. Dengan kata pautan, pendekatan ini mencakup unsur legal
maupun institusional. Pendekatan ini memperlihatkan bagaimana struktur seperti skema,
aturan, norma, dan rutin menjadi bentuk yang bersifat otoritatif untuk terjadinya perilaku
sosial”. Jadi dalam hal ini institusi bukan saja meliputi aturan, nilai, kebiasaan tertentu namun
juga harus dilihat adanya tindakan yang terjadi dan bagaimana tindakan itu diulang atau
direproduksi (Istiqomah, 2018). Setidaknya, hadir lima karakteristik atau kajian utama
pendekatan ini, yakni; pertama, legalisme (legalism) yang mengkaji bagian hukum yaitu
peranan pemerintah pusat dalam mengatur hukum. Kedua, strukturalisme yakni berfokus pada
perangkat kelembagaan utama atau menekankan pentingnya keberadaan struktur dan struktur
itu pun mampu menentukan perilaku seseorang. Ketiga, olistik (holism) yang menekankan
pada kajian sistem yang menyeluruh atau holistik alih-alih dalam memeriksa lembaga yang
"bersifat" individu seperti legislatif. Keempat, sejarah atau historicism yang menekankan pada
analisisnya dalam bagian sejarah seperti kehidupan sosial-ekonomi dan hukum budaya istiadat.
Kelima, nalisis normatif atau normative analysis yang menekankan analisisnya dalam bagian
yang normatif sehingga akan terfokus pada penciptaan good government.

2. Undang – undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas KKN

Undang-undang ini dibentuk di era Presiden BJ Habibie pada tahun 1999 sebagai
komitmen pemberantasan korupsi pasca tergulingnya rezim Orde Baru. Dalam UU no 28 tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN ini dijelaskan definisi soal
korupsi, kolusi dan nepotisme, yang kesemuanya adalah tindakan tercela bagi penyelenggara
negara. Dalam UU juga diatur pembentukan Komisi Pemeriksa, lembaga independen yang
bertugas memeriksa kekayaan penyelenggara negara dan mantan penyelenggara negara untuk
mencegah praktik korupsi. Bersamaan pula ketika itu dibentuk Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) dan Ombudsman. Namun, saat ini badan tersebut sudah digantikan dengan
KPK.
DAFTAR PUSTAKA

Hasyim Ali Imran. (2011). Konstruksi Media tentang Realitas Korupsi Anggota Parlemen.
Jurnal Studi Komunikasi Dan Media, 15(1), 19–52.
http://jurnal.kominfo.go.id/index.php/jskm/article/view/49

Istiqomah, N. (2018). Analisis Implementasi Government Finance Statistics di Indonesia:


Pendekatan Teori Institusional. Indonesian Treasury Review Jurnal Perbendaharaan
Keuangan Negara Dan Kebijakan Publik, 3(2), 22. https://doi.org/10.33105/itrev.v3i2.66

Reichenbach, A., Bringmann, A., Reader, E. E., Pournaras, C. J., Rungger-Brändle, E., Riva,
C. E., Hardarson, S. H., Stefansson, E., Yard, W. N., Newman, E. A., & Holmes, D.
(2019). KONSEP PENYELENGGARAAN TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK
(GOOD GOVERNANCE) BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 28
TAHUN 19991 Oleh : Florensia Manengal2. Progress in Retinal and Eye Research,
561(3), 7. https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/administratum/article/view/26979

Setyawati, D., Timur, P., & Setyawati, D. (1800). Deni Setyawati. 2008. Jurnalisme
Kontemporer, 45. http://e-journal.uajy.ac.id/2958/

Siburian, S. M. P., Sunarto, A., & Aisyah, A. (2021). Tindakan Hukum Terhadap Anggota Dpr-
Ri Karena Terlibat Kasus Korupsi. Jurnal Mutiara Hukum, 4(2), 1–14. http://e-
journal.sari- mutiara.ac.id/index.php/JMH/article/view/2608

Simbolon, N. Y. (2020). Politik Hukum Penanganan Korupsi oleh Komisi Pemberantasan


Korupsi Pasca Disahkannya Undang-undang No. 19 Tahun 2019. Jurnal Mercatoria,
13(2), 21. https://doi.org/10.31289/mercatoria.v13i2.3740

Toule M., E. R. (2013). Eksistensi Ancaman Pidana Mati Dalam Undang-Undang Tindak
Pidana. Jurnal Hukum PRIORIS, 3(3), 1–8. https://e-
journal.trisakti.ac.id/index.php/prioris/article/view/370

Umar, H., Kementerian, I. J., Nasional, P., & Kebudayaan, D. (2012). Pengawasan Untuk
Pemberantasan Korupsi. Jurnal Akuntansi & Auditing, 8(2), 1–14.
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/akuditi/article/view/4351

Wicipto Setiadi. (2018). KORUPSI DI INDONESIA (Penyebab, Bahaya, Hambatan dan


Upaya Pemberantasan, Serta Regulasi). Jurnal Legislasi Indonesia, 6(1), 1–14.
https://www.academia.edu/download/84652614/234-822-1-PB.pdf
Yusmiati, Y. (2018). Kelembagaan Negara Republik Indonesia Menurut Undang-Undang
Dasar 1945. NUSANTARA : Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 4(1), 7.
https://doi.org/10.31604/jips.v4i1.2018.62-56

Anda mungkin juga menyukai