Anda di halaman 1dari 13

Bab I.

Pendahuluan

I.1. Latar Belakang


Peraturan Perundang – Undangan merupakan wujud dari politik hukum
institusi Negara dirancang dan disahkan senabagai Undang-Undang
pemberantasan tindak pidana korupsi. Tebah pilih. Begitu kira-kira pendapat
beberapa praktisi dan pengamat hukum terdapat gerak pemerintah dalam
menangani kasus korupsi Akhir-akhir ini.
Para pejabat Negara menjadikan kasus korupsi dijadikan senjata ampuh
dalam pidatonya, bicara seolah ia bersih, anti korupsi. Masyarakat melalui LSM
dan Ormas pun  tidak mau kalah, mengambil manfaat dari kampanye anti korupsi
di Indonesia. Lemahnya hukum di Indonesia dijadikan senjata ampuh para
koruptor untuk menghindar dari tuntutan. Kasus korupsi mantan Presiden Suharto,
contoh kasus korupsi yang yang tak kunjung memperoleh titik penyelesaian.
Padahal penyelesaian kasus-kasus korupsi Soeharto dan kroninya, dana BLBI dan
kasus-kasus korupsi besar lainnya akan mampu mentimulus program
pembangunan ekonomi di Indonesia.
Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus politisi
maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri
atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan
kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Indonesia telah memiliki landasan hukum dan membuat lembaga untuk
menanggulangi korupsi. Landasan hukum yan telah dibuat ialah:
- Undang-undang No. 3 Tahun 1971
- Undang-undang No. 31 Tahun 1999
- Undang-undang No. 20 Tahun 2001
- Undang-undang No. 30 Tahun 2002,
Sedangkan Lembaga yang telah didirikan antara lain Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Menurut Undang-undang No. 30 Tahun 2002, kewenangan
Komisi Pemberantas Korupsi meliputi tindak pidana yang meliputi :

1
a. Melibatkan aparat penega hukum, penyelenggara negara dan orang lain
yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum atau penyelenggara negara,
b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat dan/atau
c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000 (satu milyar
rupiah).
Selanjutnya dengan Undang-undang No. 30 Tahun 2002, Komisi
Pemberantasan Korupsi
1) Dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan
memperlakukan institusi yang telah ada sebagai “counterpartner” yang
kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara
efektif dan efisien.
2) Tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan
3) Berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada
dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism)
4) Berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah
ada dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang
dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.

I.2. Permasalahan
Dalam makalah singkat ini, penulis mencoaba memaparkan sebuah fakta
tentang korupsi di lihat dari sisi kriminologi. Mengingat hingga saat ini berbagai
kasus korupsi belum dapat dituntaskan sampai keakar-akarnya di pengadilan atau
dengan kata lain apakah yang menyebabkan para koruptor tersebut belum juga
dijerat oleh ketentuan hukum yang berlaku? Apakah karena konstruksi hukum
kita yang tidak sempurna? Ataukah karena law enforcement yang buruk oleh para
aparat penegak hukum?.

2
Bab II. Pembahasan

II.1. Korupsi dan Studi Kejahatan


Korupsi tidak akan pernah bisa kita pisahkan dari apa yang dinamakan
kekuasaan. Di mana ada kekuasaan, pasti ada korupsi. Hal ini telah menjadi
kodrat dari kekuasaan itu sendiri, yang menjadi “pintu masuk” bagi terjadinya
tindakan korupsi. Kekuasaan dan korupsi yang selalu berdampingan, layaknya
dua sisi mata uang, merupakan hakikat dari pernyataan yang disampaikan oleh
Lord Acton, dari Universitas Cambridge, “Power tends to corrupt, and absolute
power corrupt absolutely.
Sesuai dengan definisinya, korupsi sebagai prilaku yang menyimpang
merupakan suatu tindakan yang melanggar aturan etis formal yang dilakukan oleh
seseorang dalam posisi otoritas publik (penguasa). Korupsi cenderung dilakukan
oleh orang yang memiliki kuasa atau wewenang terhadap sesuatu. Apabila
seseorang tersebut tidak memiliki kuasa, kecil kemungkinan bagi dirinya untuk
melakukan korupsi. Namun, merupakan suatu kemustahilan bagi manusia yang
tidak memiliki sebuah ‘kekuasaan’. Selain itu, ciri paling utama dari korupsi
adalah tindakan tersebut dilakukan untuk kepentingan dan keuntungan pribadi
semata dan merugikan pihak lain di luar dirinya. Contoh paling mudah adalah
seorang mahasiswa yang bolos kuliah dan meminta temannya untuk mengisi buku
hadir. Sejatinya, ia telah melakukan korupsi karena ia memiliki kuasa terhadap
kehadiran dan ketidakhadiran dirinya di dalam kelas. Dia melakukan tindakan
tersebut untuk kepentingannya sendiri.
Melihat konteks kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, korupsi
kelas kakap, merupakan korupsi serius yang merugikan negara dan masyarakat
banyak. Korupsi yang dimaksud ini juga tidak lepas dari masalah kekuasaan. Para
pejabat publik telah dengan sengaja menyalahgunakan wewenangnya untuk
melakukan tindakan melanggar hukum untuk kepentingan pribadi. Seorang
pejabat publik yang memegang kekuasaan (memiliki wewenang) secara otomatis
memiliki daya untuk mempengaruhi kebijakan yang akan dikeluarkan. Sesuai
dengan sifat dari kekuasan (kekuasaan politik) itu, yaitu mengendalikan tingkah

3
laku manusia (masyarakat) secara koersif (memaksa) agar supaya masyarakat
bersedia tunduk kepada negara (pemerintah). Dalam hal ini, setiap kebijaksanaan
yang diberlakukan sejatinya merupakan sebuah ketentuan atau aturan yang sesuai
dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri. Dari sini lah peluang untuk
terjadinya tindakan korupsi besar sekali.
Menurut Don.C. Gibbons, studi mengenai kejahatan dan penjahat
menyangkut begitu banyak topic atau pertanyaan-pertanyaan, antara lain tentang
rumusan kejahatan serta perilaku menyimpang. (Soerjono Soekanto, 1981: 19).
Oleh sebab itu sebelum menentukan definisi dari suatu kejahatan penentuan
perspektif dan paradifma suatu kejahatan menjadi sangat penting. Seperti yang
diungkapkan oleh Michalowsky dalam Meier, yang dikutip Romli Atamsasmita,
bahwa perspektif dan paradigma mengenai suatu kejadian di sekitar kita
dipergunakan untuk mengamati dan menganalisis semua kejadian sebagai suatu
dwi tunggal. Pemahaman kritis terhadap setiap teori kriminologi seharusnya
dimulai dengan menyelidiki perspektif dan paradigma dasar yang menghasilkan
teori tersebut. (Romli Atmasasmita, 1995: 55).
Pada dasarnya antara perspektif dan paradigma mempunyait ujuan yang
sama, yakni menetapkan masalah yang harus diselidiki dan jalan keluar yang
harus ditempuh. Akan tetapi antara keduanya terdapat perbedaan. Perspektif
adalah cara pandang yang dapat dilihat dari berbagai segi terhadap suatu makna
dan penghayatan atas makna tersebut, sedangkan paradigma jauh lebih sempit
karena merupakan cara pandang yang bersifat khusus tentang suatu gejala. (W.J.S.
Purwadarminta, 1990: 642).
Kembali kepada studi tentang suatu kejahatan, para ahli kriminologi
biasanya menggunakan model paradigma trikhotomi. Pertama, paradigma
positivis yang mengacu pada perspektif consensus. Perspektif ini memiliki
landasan pemikiran terhadap hukum sebagai suatu kehendak masyarakat.
Pelanggaran hukum mencerminkan keunikan dalam masyarakat dan mereka yang
melanggar hukum mewakili kelompok yang unik.
Kedua, paradigma interaksionis mengacu kepada perspektif pluralis.
Perspektif ini memandang hukum sebagai suatu hasil ketidaksepakatan mengenai

4
perbedaan kepentingan dan nilai-nilai diantara anggota masyarakat. Paradigma
melahirkan labeling theory yang memandang setiap tindakan yang disebut
kejahatan dan mereka yang disebut penjahat adalah hasil dari kualitas reaksi
masyarakat terhadap keduanya.
Sedangkan paradigma yang ketiga adalah paradigma sosialis yang juga
mengacu pada perspektif pluralis tentang heterogenitas masyarakat dan
ketidaksepakatan yang terjadi di dalam masyarakat. Akan tetapi terdapat
perbedaan yang mendasar mengenai cara penyelesaian yang terbaik untuk
mengatasi ketidaksepakatan tersebut. Perspektif ini justru menegaskan bahwa cara
penyelesaian ketidaksepakatan adalah adanya pemaksaan kehendak melalui
hukum.
Dalam kaitannya dengan korupsi, paradigma positive dan perspektif
konsensus, memandang korupsi sebagai tingkah laku yang menyimpang dari
consensus yang telah disepakati bersama masyarakat yang diwakili parlemen dan
Negara yang diwakili pemerintah. Consensus tersebut dalam bentuk undang-
undang dan si koruptor adalah orang yang mewakili kelompok masyarakat yang
unik dan melanggar consensus tersebut.
Terhadap paradigma interaksionis dan perspektif pluralis, memandang
korupsi sebagai suatu kualitas reaksi masyarakat terhadap pebuatan yang
dikategorikan sebagai korupsi. Hanya saja disini tidak semua kualitas reaksi
masyarakat tersebut dapat dituangkan dalam rumusan yang lengkap dalam suatu
undang-undang. Dengan kata lain stigmatisasi masyarakat terhadap suatu
perbuatan yang dikategorikan sebagai korupsi tidak dapat dipenuhi seluruhnya
oleh Negara yang memberi label terhadap perbuatan tersebut dalam suatu undang-
undang.
Dalam konteks yang demikian terhadap kasus korupsi muncullah konsepsi
“Victim participation”, yakni suatu konsepsi yang menjelaskan bahwa pada
umumnya di dalam setiap kasus korupsi terkandung unsure keikutsertaan korban
di dalam membantu terjadinya korupsi. Dalam hal ini, Negara sebagai korban dari
perbuatan korupsi secara tidak langsung memberikan peluang bagi orang untuk
melakukan korupsi.

5
Sebagai contoh yang paling baik dalam menjelaskan victim presipitation
ini adalah “korupsi” (dalam tanda petik) yang dilakukan oleh mantan Presiden
Soeharto. Pengumpulan uang Negara yang dilakukan melalui berbagai yayasan,
kemudian bermacam-macam fasilitas yang digunakan untuk mempermudah bisnis
keluarga dan para kroninya dilakukan dalam bentuk aturan hukum. Biasanya
aturan tersebut dalam format peraturan pemerintah atau keputusan presiden yang
secara legal wajar bila dilakukan oleh seorang presiden. Dengan kata lain
“korupsi” yang dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto adalah “korupsi” secara
structural.
Secara teori sifat melawan hukum adalah satu kata yang mempunyai empat
makna. Keempat makna tersebut adalah sifat melawan hukum umum, sifat
melawan hukum khusus, sifat melawan hukum formal dan sifat melawan hukum
materiil. Sifat melawan hukum umum diartikan sebagai syarat umum untuk dapat
dipidana yang tersebut dalam rumusan pengertian perbuatan pidana. Sedangkan
sifat melawan hukum khusus ada kalanya kata “bersifat melawan hukum’
tercantum secara tertulis dalam rumusan delik. Artinya, sifat melawan hukum
merupakan syarat tertulis untuk dipidana.
Sementara sifat melawan hukum formal berarti semua bagian yang ditulis
dari rumusan delik telah dipenuhi dan sifat melawan hukum materiil berarti
melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh
pembentuk undang-undang. Dengan dicantumkan kata “Melawan hukum” dalam
rumusan pasal 2 ayat (1) undang-undang korupsi di atas, artinya tidak hanya sifat
melawan hukum materiil saja yang tercakup sebagaimana dituangkan dalam
penjelasan, namun juga sifat melawan hukum khusus.
Perbuatan pidana korupsi dalam pengertian tersebut diatas mempunyai
unsure “materiele wederechtelijkheid” pada penentuan segi positif dengan
pertimbangan ukuran “maatschappelijk onbetamelijk”. (Bambang Purnomo,
1984: 76). Putusan pengadilan yang menyangkut penerapan unsure melawan
hukum yang materiil sudah dapat dipastikan sukar sekali dilaksanakan dalam
perkara korupsi. Oleh karena itu, secara teori dalam delik materiil sebagaimana

6
rumusan pasal 2 ayat (1) undang-undang tersebut sifat melawan hukum materiil
termasuk dalam bukti dari realisasi rumusan delik.
Kembali kepada paradigma interaksionis dan perspektif pluralis, dengan
adanya sifat melawan hukum materiil dalam undang-undang korupsi, sebenarnya
memberi peluang kepada hakim untuk melakukan penemuan hukum dengan
menggunakan interprestasi sosilogis terhadap perbuatan-perbuatan yang dapat
dikategorikan sebagai korupsi kendatipunt idak tercantum secara eksplisit dalam
undang-undang. Interprestasi sosilogis ini dilakukan dengan menggali norma-
norma yang senantiasa tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat mengenai
sifat tercelanya suatu perbuatan.
Selanjutnya, terhadap paradigma yang terakhir yakni paradigma sosialis
dan perspektif pluralis tentang heterogenitas masyarakat, korupsi dipandang
sebagai suatu ketidaksepakatan dan untuk menyelesaikannya diperlukan
pemaksaan kehendak oleh pemegang kekuasaan melalui hukum. Dari paradigma
dan perpektif ini yang amat sangat dibutuhkan adalah law enforcement dari aparat
penegak hukum termasuk di dalamnya adalah kesiapan sarana dan prasarana.
Konstruksi hukum dalam bentuk aturan perundang-undangan hanya
merupakan suatu sub system yang adalah benda mati. Sedangkan law enforcement
yang lebih dititikberatkan pada aparat penegak hukum adalah makhluk hidup
yang selalu dinamis dalam mengikuti perkembangan zaman termasuk
perkembangan norma-norma dalam masyarakat beserta tuntutannya. Terhadap hal
terakhir yang disebut, baik pengacara, polisi, jaksa maupun hakim sebagai suatu
integrated criminal justice system dalam peradilan pidana harus lebih peka,
sehingga setiap kasus korupsi yang terjadi di Negara ini dapat dituntaskan sampai
ke akar-akarnya, jika ingin mengedepankan hukum sebagai panglima.

II.2. Berbagai Tipologi Korupsi Dalam Kriminologi


Para ahli di bidang kriminologi selalu menempatkan pembahasan tentang
kejahatan korupsi dalam hubungannya dengan kegiatan lembaga pemerintah,
sebagai factor proses politik yang menentukan perkembangan tingkah laku

7
criminal. Pendapat ini dikutip oleh Bambang Pornomo dari E.M.Lemert,
E.Kefauver, dan Sutherland.
Masih menurut Bambang Purnomo berbagai dugaan yang memungkinkan
terjadinya kejahatan korupsi berhubungan dengan kegiatan-kegiatan:
1. Kelemahan dalam kegiatan penegakan hukum.
2. mekanisme kegiatan dewan legislative.
3. Sistem kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana dan
pengusaha.
4. Sistem koneksi yang bersifat perorangan maupun kelompok di bidang
perbankan.
5. Penyelenggaraan pemilihan umum.
Sedangkan pendapat Benson yang dikutip oleh Pierce Beirne dan James
messesrchmidt, dua orang hali kriminologi dari Southern University, secara lebih
gambling menjelaskan sebagai berikut: “State corruption exist at city, state and
national levels and consisit of a wide range of state – directed activities – such as
purchasing goods ang services, regulation of commercials activity, zoning ang
land use, law enforcement ang so on (Simon and Eitzen, 1986) “Dengan kata lain
bila disikapi lebih arif dinyatakan “state corruption is illegal or un ethical use of
state authority for personal or political gain)”.
Masih menurut Pierce Beirne dan James Messesrchmidt, secara garis besar
membagi korupsi dalam dua bagian besar yaitu korupsi dalam bidang politik
(formal) dan korupsi dalam bidang ekonomi (materiil). Korupsi dalam bidang
politik seperti penggunaan fasilitas Negara bagi pribadi, kelompok atau kerabat,
kecurangan dalam pemilihan umum, intimidasi dan penjahatan bersuara dalam
badan legislative dan berbagai manipulasi yang menyangkut hajat hidup orang
banyak.
Sementara korupsi di bidang ekonomi seperti yang dikutip oleh
Encyklopedia Americana, halaman 22 adalah kegiatan pemberian hadiah,
penyuapan, manipulasi usaha yang menyangkut perekonomian dan keuangan
dengan akibat merugikan kepentingan umum atau Negara.

8
Berdasarkan kualifikasi berbagai kegiatan yang dapat menimbulkan
kejahatan korupsi, semakin jelas bagi kita bahwa korupsi selalu dan akan tetap
mempunyai hubungan dengan lembaga pemerintah dan kondisi politik. Bahkan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kekuasaan. Dari berbagai kegiatan
tersebut di atas, korupsi kemudian dibagi ke dalam empat tipe. Keempat tipe
tersebut adalah political bribery, political kickbacks, election fraund dan corrupt
compaign practices.
Political bribery adalah termasuk kegiatan di bidang legislative sebagai
badan pembentuk undang-undang. Secara politis badan tersebut dikendalikan oleh
suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum
sering berkaitan dengan aktivitas perusahaan tertentu. Para pengusaha berharap
anggota yang duduk di parlemen dapat membuat aturan yang menguntungkan
mereka.
Sebagai contoh adalah kasus Mantan Menteri Tenaga Kerja RI, Drs. Abdul
Latief mengenai pembuatan undang-undang ketenagakerjaan yang menggunakan
dana Jamsostek untuk “menyuap” anggota DPR. Undang-undang tersebut
terkesan berpihak kepada pengusaha sebagai imbalan atas dana kampanye yang
diberikan kepada partai tertentu dalam pemilihan umum 1997.
Akan tetapi political bribery juga menyangkut kegiatan pegawai-pegawai
pemerintah lainnya (state officials) sebagaimana yang diungkapkan Coleman :
“State officials, other than politician, are also in positions to accept bribes. The
police, for example, have a long history of involment in corruption at least 1980s,
alegion of investigative committees has consistenly unearthed susbstansial and
wide range forms of police bribery”.
Demikian juga yang dikemukakan oleh Boston Herald dengan mengutip
pendapat Shenon “ In the 1980s bribery in law enforcement once again came to
attentional. In 1988, for example seven Boston police detectives were convicted on
57 counts of bribery totaling $ 18,000 over an eight – year period. More over,
according to The New York Times, over law enforcement drug related bribery
cases before state and federal courts each year”.

9
Political kickbacks, yaitu kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan system
kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang
memberi peluang untuk mendatangkan banyak uang bagi pihak-pihak yang
bersangkutan termasuk di dalam korupsi tipe ini adalah pemberian kredit kepada
pengusaha, penarikan pajak dan lain sebagainya.
Election fraud adalah tipe korupsi yang bertalian langsung dengan
kecurangan-kecurangan dalam pemilihan umum. Kecurangan tersebut seperti
pemalsuan administrasi calon anggota legislative, kecurangan pada saat
perhitungan suara, memberikan sesuatu untuk mempengaruhi pelaksanaan hak
pilih yang semuanya itu berkaitan dengan uang atau sesuatu imbalan, termasuk di
dalamnya menjanjikan atau mengiming-imingi sesuatu. Perumpamaan kasus yang
termasuk dalam “korupsi” tipe ini adalah isu penerimaan uang 1,8 milliar Rupiah
oleh Menteri Hukum dan Perundang-Undangan, Prof. Fr. Yusril Ihza Mahendra
yang juga adalah ketua umum partai Bulan Bintang. Uang tersebut diberikan oleh
Habibie yang saat itu menjabat sebagai presiden tentunya dengan harapan agar
dalam sidang umum MPR nanti, partai yang dipimpin oleh Yusril dapat
mencalonkan kembali Habibie sebagai Presiden.
Corrupt compaign practices adalah praktek-praktek kampanye dengan
menggunakan fasilitas Negara maupun uang Negara. Dalam tipe ini biasanya
berkaitan langsung dengan si calon anggota legislative agar dapat terpilih melalui
daerah pemilihannya. Tidak jarang si calon tersebut mengadakan kolusi dengan
perusahaan-perusahaan setempat untuk membiayai berkampanye dengan suatu
imbalan manakala ia terpilih.

10
Bab III. Penutup
III.1. Kesimpulan
Dari paparan tersebut di atas penulis menyimpulkan bahwa:
1. Korupsi adalah kejahatan atau penyimpangan berupa pelanggaran hukum
yang dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-
besarnya demi kepentingan pribadi, di mana tindakan tersebut menimbulkan
kerugian yang besar bagi negara dan masyarakat.
2. Korupsi merupakan akibat dari sebuah situasi kondisi di mana seseorang
membutuhkan penghasilan lebih, atau merasa kurang terhadap apa yang dia
peroleh jika menjalankan usaha dengan cara-cara yang sah.
3. Korupsi merupakan tindakan yang tidak lepas dari pengaruh kekuasaan dan
kewenangan yang dimiliki oleh individu maupun kelompok, dan
dilaksanakan  baik sebagai kejahatan individu (professional) maupun sebagai
bentuk dari kejahatan korporasi (dilakukan denga kerjasama antara berbagai
pihak yang ingin mendapatkan keuntungan sehingga membentuk suatu
struktur organisasi yang saling melindungi dan menutupi keburukan masing-
masing).

III.2. Saran
1. Meskipun terkesan sebagai mimpi dan harapan yang muluk, memperbaiki
kesadaran seseorang dan mengembalikan rasa tanggung jawab moralnya
adalah salah satu cara yang paling ampuh untuk mencegah dan menghentikan
korupsi di negeri ini.
2. Pendidikan agama dan aksi memperkuat iman adalah metode yang mesti
ditingkatkan demi mendapatkan orang-orang yang memiliki hati nurani bersih
dan mau bekerja demi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.

11
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di Luar Kodifikasi
Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1984.

D. Schaffmeister, N.Keijzer, E.PH. Sutorius diterjemahkan oleh J.E. Sahetapy,


Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1995.

J. Robert Lilly, Francis T. Cullen, Richard A. Ball, Criminological Theory


Context And Consequences, Sage Publications, London, 1995.

Lidwina Inge M, Robertur De Deo; Sugeng W, 2009, Kisah Orang Dalam:


Sisi Empirik Pemberantasan Korupsi; Dalam Antonius Cahyadi &
Donny Danardono (Ed.): Sosiologi Hukum Dalam Perubahan,
Jakarta, Yayasan Obor Indonesia,

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987.

Montesquieu, Membatasi Kekuasaan : Telaah Kritis Mengenai Jiwa Undang-


Undang, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.

Petter Gottschalk, Categories of Financial Crime, 2010, Journal of Financial


Crime, Vol. 17. No. 4,

Romli Atmasasmita, Teori Dan Kapita Selekta Kriminologi, PT. Eresco,


Bandung, 1992.

Romli Atmasasmita, Kejahatan Kesusilaan Dan Pelecehan Seksual dalam


Perspektif Kriminologi Dan Victimologi, Dalam Pelecehan Seksual,
Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1995.

12
Soerjono Soekanto, Hengkie Liklikuwata, Mulyana W. Kusumah, Kriminologi
Suatu Pengantar, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982.

Topo Santoso & Eva Achjani Zulfa, 2010, Kriminologi, Jakarta, Rajawali
Pers,

13

Anda mungkin juga menyukai