7/Ags/2014
106
Lex et Societatis, Vol. II/No. 7/Ags/2014
6 41
Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, Rohim, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008, hlm. 289. Cimanggis Depok: Pena Mukti Media., hlm. 4 dan 5.
7 56
Ibid., hlm. 290. Wahyudi Kumorotomo, Op.Cit., hlm. 260.
107
Lex et Societatis, Vol. II/No. 7/Ags/2014
gunakan segenap supra struktur maupun korupsi tanpa pandang bulu. Pemerintah
infrastruktur politik dan pada saat yang dan masyarakat, melalui lembaga-
sama membenahi birokrasi sehingga lembaga yang ada, harus berani
lubang-lubang yang dapat dimasuki melakukan pembersihan di dalam tubuh
tindakan-tindakan korup dapat ditutup. aparat pemerintahan sendiri, yaitu
Suprastruktur politik adalah keseluruhan pembersihan terhadap aparatur-
lembaga penyelenggara negara yang aparatur yang tidak jujur.
mempunyai kewenangan hukum 3. Cara moralistik.
konstitusional yang bersumber dari UUD Faktor penting dalam persoalan korupsi
1945 seperti MPR, Presiden, DPR, DPA, adalah faktor sikap dan mental manusia.
BPK, MA, dan pemerintah daerah Oleh karena itu, usaha
beserta seluruh jajarannya. Dengan penanggulangannya harus pula terarah
demikian aparat pemerintah atau pada faktor moral manusia sebagai
administrasi negara merupakan aparat pengawas aktivitas-aktivitas tersebut.
pelaksana dari supra struktur politik, se- Cara moralistik dapat dilakukan secara
dangkan infrastruktur politik adalah umum melalui pembinaan mental dan
organisasi-organisasi kekuatan sosial moral manusia, khotbah-khotbah,
politik dan kemasyarakatan yang tidak ceramah, atau penyuluhan di bidang
mempunyai kewenangan hukum keagamaan, etika, dan hukum. Tidak
konstitusional tetapi dapat berperan kurang pentingnya adalah pendidikan
sebagai kelompok penekan. moral di sekolah-sekolah formal sejak
2. Cara abolisionistik. jenjang pendidikan dasar hingga
Cara ini berangkat dari asumsi bahwa perguruan tinggi dengan memasukkan
korupsi adalah suatu kejahatan yang pelajaran-pelajaran etika dan moral
harus diberantas dengan terlebih dahulu dalam kurikulum pendidikan. Semuanya
menggali sebab-sebabnya dan kemudian bertujuan untuk membina moral
penanggulangannya diarahkan pada individu supaya dia tidak mudah terkena
usaha-usaha menghilangkan sebab- bujukan korupsi dan penyalahgunaan-
sebab tersebut. Oleh karena itu, jalan penyalahgunaan kedudukan di mana
yang ditempuh dengan mengkaji pun dia berfungsi dalam masyarakat.
permasalahan-permasalahan yang
tengah dihadapi masyarakat, mem- B. Strategi Pemberantasan Korupsi Dalam
pelajari dorongan-dorongan individual Perspektif Hukum Administrasi Negara
yang mengarah ke tindakan korupsi, Strategi pemberantasan korupsi dalam
meningkatkan kesadaran hukum perspektif hukum administrasi negara
masyarakat, serta menindak orang- meliputi beberapa bidang perubahan, yakni
orang yang korup berdasarkan kodifikasi sebagai berikut:
hukum yang berlaku. Jadi dalam
menangkal korupsi kecuali 1. Kepemimpinan atau Pemerintahan yang
menggunakan titik tekan metode kuratif, Baik
cara ini juga diharapkan menjadi Bagi legislatif yang terpilih adalah pilar
perangkat preventif dengan menggugah utama sistem integritas nasional yang
ketaatan pada hukum. Hal yang perlu berlandaskan tanggung gugat demokrasi.
mendapat perhatian dalam hal ini ialah Tugasnya dalam bahasa sederhana,
bahwa hukum hendaknya ditegakkan mewujudkan kedaulatan rakyat melalui
secara konsekuen, aparat harus wakil-wakil yang dipilih untuk kepentingan
menindak siapa saja yang melakukan publik, memastikan bahwa tindakan
108
Lex et Societatis, Vol. II/No. 7/Ags/2014
109
Lex et Societatis, Vol. II/No. 7/Ags/2014
mereka tidak dapat lagi mengetahui lebih tertibnya. Tim ini pun tidak memuaskan
dahulu dengan pejabat mana dia harus dalam mencegah banyaknya korupsi.
berurusan. Bahkan pernah terjadi tim ini keliru
menafsirkan mis-management sebagai
4. Penegakan Hukum korupsi. Lalu pada tahun 1970, Presiden
Upaya memberantas korupsi melalui mengeluarkan dua buah keputusan
kodifikasi hukum, pertama-tama terlihat presiden yang tertuang dalam Keputusan
dari keluarnya Peraturan Penguasa Militer Presiden Nomor 13 Tahun 1970 untuk
No. Prt/PM/03/1957, No. Prt/ PM/06/1957, membentuk Komisi-4. Anggota-anggota
dan No. Prt/PM/O11/1957. Peraturan- Komisi-4 adalah Wilopo Kasimo, Prof. Ir.
peraturan ini berusaha memberi batasan Johannes, dan Anwar Tjokroaminoto.
korupsi dalam istilah hukum sekaligus Suara-suara masyarakat yang menuntut
memperbaiki kualitas hukum sebagai penindakan tegas terhadap para koruptor
pengatur interaksi antar manusia. Korupsi bisa diredakan, meskipun hukum positif
diberi batasan sebagai “Perbuatan- yang mengaturnya tetap belum terwujud.
perbuatan yang merugikan keuangan dan Kemudian dikeluarkan Undang-Undang
perekonomian negara”. Di sini dibedakan Nomor 3 Tahun 1971 tentang
antara “perbuatan korupsi pidana” dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
“perbuatan korupsi lainnya”. Kecuali itu, merupakan usaha merumuskan delik
terdapat pula peraturan No. Prt/ korupsi yang cukup lengkap dimiliki oleh
PEPERPU/013/1958 yang mengangkat para penegak hukum di Indonesia. Di dalam
masalah adanya kesulitan untuk undang-undang ini, perumusan delik
membuktikan terlebih dahulu bahwa korupsi dibuat lebih jelas dan dapat
terdakwa telah melakukan suatu kejahatan mencakup sebagian besar bentuk-bentuk
dan pelanggaran.10 korupsi yang ada, prosedur pemeriksaan
Pada tahun 1960 dikeluarkan peraturan disederhanakan, dan proses pembuktian
baru mengenai korupsi, yaitu Peraturan menjadi lebih mudah. 11 Kemudian Undang-
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971 diubah
Nomor 24 (PRP) Tahun 1960 tentang dengan UndangUndang Nomor 31 Tahun
Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Tindak Pidana Korupsi. Korupsi dirumuskan Pidana Korupsi, yang kemudian diubah
sebagai delik pidana bukan hanya dengan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
pernyataan-pernyataan yang abstrak 2001, terlebih dengan adanya sistem
moralistik. Muncul pengertian-pengertian pembuktian terbalik, yang akan
baru mengenai penyuapan aktif, memudahkan proses pembuktian perkara
pembuktian tindakan korupsi, di samping korupsi di pengadilan.
ketentuan-ketentuan mengenai hukum Selain itu dikeluarkan juga Undang-
acaranya memperkuat kedudukannya Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
peraturan ini kemudian diubah menjadi Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961. Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Keputusan Nomor 228 Tahun 1968, Dengan dikeluarkannya undang-undang ini,
Presiden mengambil inisiatif untuk diharapkan penyelenggara negara mampu
membentuk Tim Pemberantasan Korupsi menjalankan fungsi dan tugas-tugasnya
(TPA) yang diberi tugas untuk membantu secara sungguh-sungguh dan penuh
pemerintah dalam memberantas perbuatan
korupsi secepat-cepatnya dan setertib-
67
Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi ..., Op.
65
Ibid., hlm. 268-269. Cit., hlm. 270.
110
Lex et Societatis, Vol. II/No. 7/Ags/2014
111
Lex et Societatis, Vol. II/No. 7/Ags/2014
Mendirikan Kantor Kontraktor Jenderal hukum antar subjek hukum itu berjalan
akan membuka peluang bagi pengawasan secara harmonis, seimbang, dan adil,
independen atas kegiatan kontrak dalam arti setiap subjek hukum (baik
mengontrak yang dilakukan pemerintah warga negara maupun pejabat)
dan kinerjanya di bidang ini. mendapatkan apa yang menjadi haknya
Selain hal-hal tersebut, pers juga dan menjalankan kewajiban yang
berperan dalam upaya melakukan dibebankan kepadanya. Di sini hukum
pemberantasan korupsi. Kegiatan-kegiatan tampil sebagai aturan main dalam
pers mesti digalakkan tanpa sikap yang mengatur hubungan hukum tersebut.
berlebihan dari pihak pemerintah. Pers Hukum yang mengatur hubungan
yang diperlukan adalah pers yang mampu hukum antara pemerintah dan warga
mewakili aspirasi masyarakat, menemukan negara adalah Hukum Administrasi
berbagai bentuk penyimpangan Negara (HAN). Tindakan-tindakan
administratif, mampu menjadi sarana pejabat pemerintahan dapat menjadi
komunikasi timbal balik antara rakyat dan peluang munculnya perbuatan yang
pemerintah. Pers hendaknya bukan hanya bertentangan dengan hukum yang
menjadi corong bagi pernyataan- melanggar hak-hak warga negara,
pernyataan pejabat tetapi juga dapat seperti perbuatan korupsi. Di sini peran
menjadi alat kontrol bagi adanya Hukum Administrasi Negara sangat
penyelewengan-penyelewengan program penting dalam upaya untuk mencegah
pembangunan karena pengawasan dan terutama penyalahgunaan
pembangunan tidak mungkin sepenuhnya wewenang yang dilakukan oleh pejabat.
diserahkan kepada satuan-satuan 2. Strategi pemberantasan korupsi dalam
pengawas struktural maupun fungsional. perspektif hukum administrasi negara
meliputi beberapa bidang perubahan,
PENUTUP yakni sebagai berikut : kepemimpinan
A. Kesimpulan atau pemerintahan yang baik; program
1. Korupsi yang mengatasnamakan publik di mana perubahan akan
kebijakan publik, baik yang dikeluarkan program-program publik akan
dari lembaga legislatif, eksekutif, memperkecil insentif untuk memberi
maupun lembaga-lembaga pembuat suap dan memperkecil jumlah transaksi
keputusan yang ada di Badan Usaha dan memperbesar peluang bagi warga
Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha masyarakat untuk mendapatkan
Milik Daerah (BUMD) dan juga lembaga pelayanan publik; perbaikan organisasi
perbankan adalah modus operandi pemerintah di mana perlu perubahan
korupsi yang paling canggih saat ini. pada cara pemerintah menjalankan
Sebagai subjek hukum, selaku pemikul tugasnya sehari-hari; penegakan
hak-hak dan kewajiban, pejabat hukum. Menegakkan hukum memang
pemerintahan dapat melakukan penting, tetapi strategi yang hanya
tindakan-tindakan hukum berdasarkan berfokus pada penegakan hukum
kemampuan atau kewenangan yang hampir pasti akan gagal dengan
dimilikinya. Tindakan-tindakan hukum kemungkinan besar tidak akan dapat
pejabat pemerintahan dalam rangka menciptakan lingkungan etika yang
melayani atau mengatur warga negara menolak perilaku korupsi, oleh karena
merupakan awal dari adanya hubungan itu sangat diperlukan peran serta
hukum antara pejabat pemerintahan masyarakat dalam pemberantasan
dan warga negara. Agar hubungan korupsi di sektor publik. Tak kalah
112
Lex et Societatis, Vol. II/No. 7/Ags/2014
113
Lex et Societatis, Vol. II/No. 7/Ags/2014
114