Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum merupakan alat rekayasa sosial. Hal ini berarti hukum bisa berfungsi

untuk mengendalikan masyarakat dan bisa juga menjadi sarana untuk melakukan

perubahan-perubahan dalam masyarakat. 1 Untuk menjalankan fungsi hukum sebagai

alat rekayasa sosial tersebut maka hukum harus bersifat terbuka terhadap dinamika

sosial yang terjadi dalam masyarakat.

Hukum bersifat terbuka berarti hukum harus selalu peka dan berinteraksi

dengan lingkungan sosial sehingga terjadi pertukaran informasi antara hukum dengan

lingkungan sosial tersebut.Dengan demikian, disamping hukum merupakan suatu

institusi normatif yang memberikan pengaruhnya terhadap lingkungannya, ia juga

menerima pengaruh serta dampak dari lingkungannya tersebut. 2

Keterbukaan hukum terhadap lingkungan sosial tersebut bertujuan agar

hukum selalu efektif dan efisien dalam menyikapi setiap perubahan sosial yang

terjadi dalam masyarakat mengingat sifat masyarakat yang senantiasa dinamis akibat

adanya interaksi sosial dalam rangka memenuhi kebutuhan masing-masing individu.

Dengan keterbukaan tadi, diharapkan hukum dapat mengimbangi perubahan sosial

tersebut.
1
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010) hal.189
2
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


Namun kenyataan yang sering terjadi adalah hukum seringkali tertinggal dari

kejadian sosial dalam masyarakat.Tertinggalnya hukum dari dinamika masyarakat

juga dinyatakan oleh R.Soeroso melalui uraiannya tentang pekerjaan pembuatan

undang-undang yang meliputi 2 (dua) aspek yaitu : 3

- Pembuat undang-undang hanya menerapkan aturan-aturan umum saja:

pertimbangan-pertimbangan tentang hal konkret diserahkan kepada hakim.

- Pembuat undang-undang selalu ketinggalan dengan kejadian-kejadian sosial

yang timbul di kemudian di dalam masyarakat, maka hakim sering menambah

undang-undang itu.

Ketertinggalan hukum dari kejadian yang timbul dalam masyarakat akan

menimbulkan suatu kesenjangan.Kesenjangan tersebut lama-kelamaan akan

mempengaruhi tingkah laku dan kesadaran hukum anggota-anggota masyarakat.

Kesenjangan tersebut akan mencapai tingkat sedemikian rupa, sehingga kebutuhan

akan perubahan ditandai oleh tingkah laku anggota-anggota masyarakat, yang tidak

lagi merasakan kewajiban-kewajiban yang dituntut oleh hukum, sebagai sesuatu yang

harus dijalankan. 4Keadaan tersebut tentu bertentangan dengan gagasan Von Savigny

(1799-1861) salah seorang pemuka ilmu sejarah hukum yang menyatakan bahwa

hukum merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat (volkgeist). 5

3
R.Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,2001), hal.110
4
Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hal.192
5
Jusmadi Sikumbang, Mengenal Sosiologi dan Sosiologi Hukum, (Medan: Pustaka Bangsa
Press, 2012), hal.203

Universitas Sumatera Utara


Ketertinggalan hukum (terutama hukum tertulis) terhadap perubahan sosial

masyarakat merupakan masalah yang harus disikapi secara serius oleh setiap

stakeholder di bidang hukum mengingat salah satu tujuan hukum adalah menjaga

ketertiban masyarakat. Secara sederhana dapat kita tarik analogi, kalau hukum tidak

dapat beradaptasi seiring perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat, bagaimana

mungkin hukum dapat menjaga ketertiban masyarakat tersebut? Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa hukum sangat dekat dan bahkan tidak dapat dipisahkan dari

kehidupan sosial masyarakat.

Salah satu bidang hukum yang paling dekat dengan kehidupan sosial adalah

hukum pidana. Hal ini dapat dilihat dari tujuan hukum pidana modern yaitu untuk

melindungi masyarakat dari kejahatan. 6 Kejahatan dalam hal ini tidak boleh dimaknai

begitu sempit sebatas rumusan delik yang tercantum dalam buku kedua KUHP

ataupun delik yang tercantum dalam keseluruhan perundang-undangan pidana di

Indonesia melainkan lebih mendasar sebagai suatu masalah sosial. Karena sebenarnya

saat terjadi kejahatan, keseimbangan dan keharmonisan dalam kehidupan sosial

masyarakat terganggu yang selanjtunya menimbulkangap ataupun kekacauan dalam

tatanan sosial masyarakat. Penerapan hukum pidana seyogyanya harus dapat

memperbaiki tatanan sosial masyarakat yang rusak akibat kejahatan tersebut.

Uraianyang dikemukakan di atas sudah cukup menggambarkan bahwa hukum

pidana harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan kebijakan sosial

6
Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Medan: USU Press, 2010) hal 12

Universitas Sumatera Utara


(social policy) berupa social welfare dan social defence. 7Dampak paling nyata dari

kedekatan hukum pidana dengan kebijakan sosial tersebut adalah hukum pidana harus

senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan kejahatan akibat interaksi

sosial dalam masyarakat..

Salah satu jenis kejahatan yang cukup menyita perhatian ilmu hukum pidana

adalah Tindak Pidana Narkotika. Narkotika semula ditujukan untuk kepentingan

pengobatan, namun dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,

khususnya teknologi obat-obatan maka jenis-jenis narkotika dapat diolah sedemikian

banyak seperti yang terdapat saat ini serta dapt pula disalahgunakan fungsinya yang

bukan lagi untuk kepentingan di bidang pengobatan, bahkan sudah mengancam

kelangsungan eksistensi generasi suatu bangsa. 8 Oleh karena itu tindak pidana

narkotika terbilang cukup unik karena pada apabila Narkotika digunakan dengan

dosis yang tepat dan dibawah pengawasan dokter anastesia atau dokter psikiater dapat

digunakan untuk kepentingan pengobatan atau penelitian sehingga berguna bagi

kesehatan fisik dan kejiwaan manusia, namun di sisi lain apabila disalahgunakan

dapat menimbulkan ketergantungan dan kerusakan mental bahkan fisik si

penyalahguna.

Bahaya lain dari tindak pidana penyalahgunaan narkotika ini adalah efeknya

yang dimensional, artinya tindak pidana Narkotika dapat menimbulkan tindak pidana

7
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana, 2007) hal.77
8
Moh.Taufik Makarao, Suhasril, Moh.Zakky A.S, Tindak Pidana Narkotika, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2003) hal.19

Universitas Sumatera Utara


lain. Efek adiktif dari narkotika tersebut menyebabkan tidak sedikit para pecandu

terpaksa melakukan tindak pidana lainnya seperti pencurian, penggelapan demi

mendapatkan uang untuk membeli narkotika tersebut. Selain dapat melatarbelakangi

berbagai tindak pidana, penyalahgunaan narkotika juga dapat membahayakan

keselamatan jiwa orang lain. Sebut saja kasus kecelakaan maut di tugu tani yang

merenggut hingga sembilan nyawa sebagai contohnya.

Tingkat penyalahgunaan narkotika di Indonesia tergolong masih sangat tinggi.

Dalam sebuah berita, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia

Komjen Anang Iskandar menyebutkan, jumlah pengguna narkoba di Indonesia sudah

mencapai 4,9 juta lebih. 9 Penyalahgunaan tersebut tidak boleh dianggap enteng,

karena tidak sedikit penyalahgunaan tersebut berujung maut. Bahkan setiap tahunnya

korban meninggal akibat penyalahgunan narkotika tersebut mencapai angka 15.000

jiwa. 10Jumlah tersebut bukanlah jumlah yang sedikit dan apabila hal ini terus terjadi

maka penyalahgunaan narkotika tersebut akan menurunkan kualitas maupun kuantitas

Sumber Daya Manusia di Indonesia yang berujung pada melemahnya ketahanan

nasional.

Efek ketergantungan yang ditimbulkan oleh narkotika membuat orientasi

peredaran narkotika bergeser ke arah matrealistis dengan mencari sasaran pasar

global. Demi mengejar keuntungan materi, tindak pidana narkotika dimodifikasi

9
http://regional.kompas.com/read/2013/08/31/1620260/Jumlah.Pengguna.Narkoba.di.Ind
onesia.Capai. 4.9.Juta, diakses pada tanggal 06 Februari 2014 Pukul 12:29 WIB
10
http://www.sinarbnn.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id= 18:korban
meninggal-akibat-narkoba-15000-orang&catid=7:narkoba, diakses pada tanggal 06 Februari 2014
Pukul 12:36

Universitas Sumatera Utara


menjadi tindak pidana yang bersifat luar extraordinary (luar biasa), transnasional dan

terorganisir. Letak geografis Indonesia yang berada di jalur perdagangan

internasional serta potensi pariwisata Indonesia yang menyebabkan Indonesia

menjadi ladang subur dari peredaran Narkotika Internasional. Hal ini terbukti

daristatistik yang menunjukkan bahwa 70 persen narkotika yang beredar di di dalam

negeri merupakan kiriman dari luar negeri. 11

Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan juga membuat tindak pidana

narkotika sangat sulit untuk ditanggulangi. Berbagai modus operandi serta varian

narkotika jenis baru bermunculan dan menjadi tantangan bagi hukum pidana yang

merupakan ultimum remedium terhadap tindak pidana narkotika.

Sebut saja narkotika jenis baru Metilon (3,4 Metilendioksi Metkatinon) yang

akhir-akhir ini ramai diperbincangkan semenjak mencuatnya kasus Raffi Ahmad dan

ternyata tidak terdaftar dalam Lampiran Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika. Metilon (3,4 Metilendioksi Metkatinon)sendiri jika disalahgunakandapat

menyebabkan hilangnya nafsu makan, kejang, muntah, sakit kepala, perubahan warna

(discolorisation) pada kulit, hipertensi, hiper-refleksia, euforia, halusinasi, gelisah,

lekas marah, insomnia dan serangan panik.Pengguna kronis beresiko terkena

gangguan kepribadian, menderita infark miokard sampai kematian. Infark miokard

yaitu matinya sekelompok otot jantung karena penyumbatan mendadak dari arteri

11
http://www.pkni.org/peredaran-narkotika-di-indonesia-dikendalikan-jaringan-internasional/,
diakses pada tanggal 06 Februai 2014 pukul 12:52

Universitas Sumatera Utara


koroner.Hal ini biasanya disertai dengan nyeri dada luar biasa dan sejumlah

kerusakan jantung.

Permasalahan yang fundamentalterkait dengan metilon adalah Indonesia

menganut sistem hukum eropa kontinental atau sering juga disebut Civil Law yang

menitikberatkan pada kodifikasi peraturan perundang-undangan ataupun hukum

positif. Dalam konteks hukum pidana dalam sistem hukum eropa kontinental,

karakteristik utama hukum pidana terletak dalam “asas legalitas” yang tercantum

dalam Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Asas tersebut

umumnya dikenal dalam Bahasa Latin yang berbunyi “ Nullum delictum Nula Poena

Sine Previa Legi Poenalle”. Eddie O.S Hiariej mencoba menterjemahkan asas ini ke

dalam bahasa Indonesia yaitu:

“Tiada Perbuatan dapat dipidana kecuali atas dasar kekuatan ketentuan pidana

menurut ketentuan pidana menurut undang-undang yang sudah ada terlebih

dahulu”. 12

Jika ditelusuri sejarahnya, keberadaan asas legalitas ini sebenarnya bertujuan

untuk menjamin kepastian hukum dan persamaan hak warga negara dari kesewenang-

wenangan pemerintah. Karena itu, dampak konkrit dari asas legalitas adalah hukum

pidana di Indonesia sangat berpatokan dan bergantung kepada peraturan-perundangan

ataupun hukum tertulis.Maka untuk merumuskan kebijakan hukum pidana terhadap

tindak pidana narkotika haruslah berpatokan pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun

12
Eddy O.S.Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana (Jakarta:
Erlangga, 2009) hal.19

Universitas Sumatera Utara


2009 tentang Narkotika sebagai payung hukum terhadap pengaturan narkotika di

Indonesia.

Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

disebutkan pengertian Narkotika: Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari

tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat

menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi

sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang

dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-

Undang ini.

Uraian pasal tersebut secara tegas menyataka bahwa yang tergolong narkotika

hanyalah yang terdaftar dalam Undang-Undang tersebut dan yang tidak terdaftar

bukanlah narkotika secara yuridis. Dengan demikian apabila kita memandang secara

sempit dari perspektif asas legalitas maka metilon tidak dapat dikenakan penegakan

hukum pidana yang karena bukan merupakan narkotika sebagaimana dimaksud dan

terlampir dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Ketergantungan hukum pidana terhadap hukum tertulis sebagai konsekuensi

asas legalitas merupakan hal yang krusialmengingat betapa pesatnya perkembangan

dan perubahan dalam masyarakat dengan aneka kejahatannya. Apalagi hukum tertulis

itu sendiri cenderung kaku dan sulit melakukan adaptasi terhadap perubahan-

perubahan yang terjadi. 13Kekakuan tersebut dapat dilihat dalam Undang-Undang

Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang tidak mampu beradaptasi dan
13
Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hal 191.

Universitas Sumatera Utara


mengakomodir bahaya penyalahgunaan metilon yang berpotensi menimbulkan

dampak negatif narkotika pada umumnya.

Keberadaan mengenai metilon kian dilematis mengingat Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengharamkan para hakim

menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan

dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan

mengadilinya. 14 Konsekuensinya, para penegak hukumuntuk aktif dan tidak boleh

menutup mata terhadap perkara-perkara yang terjadi danmengganggu tatanan sosial

dalam masyarakatdengan dalih belum ada hukumnya.Demikian halnya

terhadapmetilon yang tidakdimasukkan dalam daftar narkotika dalam lampiran

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Kekosongan hukum

tersebuttidak bisa dijadikan alasan absennya kebijakan hukum pidana terhadap

Metilon.

Pada umumnya dalam menanggapi kekosongan hukum sebagaimana yang

terjadi terhadap katinon tersebut, ilmu hukum mengenal istilah penemuan hukum

(Rechtsvinding) yang lazim dipraktekkan oleh para penegak hukum. Menurut

Sudikno Mertukusumo penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh

hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk menerapkan peraturan

14
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman:
“ Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkanwajib untuk
memeriksa dan mengadilinya.”

Universitas Sumatera Utara


hukum umum pada peristiwa konkret. 15 Dalam penemuan hukum dikenal dua metode

yaitu Konstruksi Hukum dan Intrepetasi ( Penafsiran ).

Dalam penemuan hukum tersebut juga terdapat dua unsur penting yang harus

diperhatikan yaitu sumber hukum dan kedua adalah fakta. 16 Maka dalam melakukan

penemuan hukum untuk merumuskan kebijakan hukum pidana terhadap fakta

yaitu“penyalahgunaanmetilon” sangat penting mencari sumber-sumber hukum yang

dapat dijadikan bahan referensi para penegak hukum dalam melakukan penemuan

hukum tersebut.

Mengenai sumber hukum G.W Paton mengemukakan sebagai berikut :

“ The term sources of law has many meanings and is frequent causes of error
unless we scrutinize carefully the particular meaning given to it in any particular
text( Ada banyak arti dari istilah sumber hukum dan sering kali menjadi sebab
terjadinya kekeliruan – kekeliruan terkecuali jika kita teliti dengan seksama arti-arti
yang khusus yang diberikan terhadap istilah tersebut yang terdapat di dalam suatu
teks tertentu)” 17

Uraian menurut Paton tersebut telah menjelaskan bahwa tidak ada pengertian

resmi dari sumber hukum yang menyebabkan sering terjadinya kekeliruan baik dalam

dunia teori maupun praktik hukum. Sebelum melakukan penemuan hukum maka

haruslah dipahami apa sebenarnya sumber hukum yang diakui secara umum dalam

dunia teori maupun praktik hukum.

15
Eddy O.S Hiariej, Op.Cit, hal 56
16
Ibid
17
Syahruddin Husein, Pengantar Ilmu Hukum (Medan: Kelompok studi Hukum dan
Masyarakat, 1998) hal.52

Universitas Sumatera Utara


Achmad Ali mencoba merumuskan sumber hukum lebih sederhana yaitu :

Sumber hukum adalah tempat dimana kita menemukan hukum namun adakalanya

sumber hukum sekaligus merupakan hukum seperti keputusan hakim. 18Beritik tolak

dari pandangan tersebut maka dalam ilmu hukum sendiri dikenal lima sumber hukum

sebaga tempat dimana kita menemukan hukum yaitu:

1. Undang-Undang

2. Kebiasaan/adat

3. Traktat ( Perjanjian)

4. Jurisprudensi

5. Doktrina

Melihat sumber-sumber hukum yang dikemukakan di atas, maka dalam kasus

metilon, tidak dapat digunakan hanya satu sumber hukum yaitu Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyebabkan penyalahgunaan

metilon tidak dapat dikenakan penegakan hukum pidana. Hukum terhadap metilon

masih harus dicari dan ditemukan dari sumber-sumber hukum lainnya.

Metilon sebenarnya tidaklahsama sekali tidak diatur dalam Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Katinona yang merupakan senyawa induk

dari metilon telah termasuk dalam daftar Narkotika Golongan I Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Berdasarkan semua uraian di atas maka penulis terdorong untuk mengangkat

dan membahas ke dalam skripsi yang diberi judul: “KEBIJAKAN HUKUM

18
Liza Erwina, Pengantar Ilmu Hukum ( Medan: Pustaka Bangsa Press, 2012) hal.125

Universitas Sumatera Utara


PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA

DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG

NARKOTIKA(Analisis Mengenai Penyalahgunaan Metilon Salah Satu Senyawa

Turunan Katinona sebagai Tindak Pidana Narkotika).”

B. Perumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang permasalahan yang akan dibahas dalam

skripsi ini. Agar pembahasan dalam skripsi ini tidak menyimpang dari pokok materi

yang ada dan lebih terarah, maka penulis membatasi lingkup pembahasan dalam

skripsi ini dengan tujuan agar lebih mudah dipahami dan dimengerti.

Atas dasar itulah, Penulis membatasi ruang lingkup kajian permasalahan yang

ada sebagai berikut :

1. Bagaimana perkembangan kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana

narkotika di Indonesia?

2. Bagaimana penegakan hukum pidana terhadap penyalahgunaan narkotika jenis

Metilon ( 3,4 Metilendioksi Metkatinon) yang merupakan salah satu senyawa

turunan Katinona dalam kaitannya dengan asas legalitas ditinjau dari Undang-

Undang Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika?

Universitas Sumatera Utara


C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan perumusan masalah yang penulis kemukakan di atas, maka

tujuan dari penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui perkembangan kebijakan hukum pidana terhadap tindak

pidana Narkotika di Indonesia.

2. Untuk mengetahui penegakan hukum pidana terhadap penyalahgunaan narkotika

jenis Katinon dalam kaitannya dengan asas legalitas ditinjau dari Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan ini adalah:

1. Secara teoritis skripsi ini diharapkan akan memberikan masukan dan manfaat bagi

pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, dan ilmu hukum pidana

khususnya

2. Secara praktis skripsi ini ditujukan sebagai bahan masukan dan untuk

memberikan kontribusi pemikiran kepada aparatur penegak hukum dan

memberikan informasi kepada masyarakat serta mahasiswa mengenai kebijakan

hukum pidana terhadap penyalahgunaan katinon menurut Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009.

Universitas Sumatera Utara


E. Keaslian Penulisan

Penelitian ini adalah asli, sebab ide, gagasan pemikiran dalam penelitian ini

bukan merupakan hasil ciptaan atau hasil penggandaan dari karya tulis orang lain

yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu. Demikian penelitian ini dapat

dipertanggungjawabkan keasliannya dan belum pernah ada judul yang sama. Setelah

penulis melakukan browsing serta melalui tahap pemeriksaan oleh Perpustakaan

Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara/ Pusat Dokumentasi

dan Informasi Hukum Fakultas Hukum USU tertanggal 07 Oktober 2013. Jika di

kemudian hari ditemukan penelitian yang sama dan muncul permasalahan, maka

penulis bersedia untuk mempertanggungjawabkannya baik secara moral maupun

ilmiah. Dalam hal mendukung penelitian ini dipakai pendapat-pendapat para sarjana

yang diambil atau dikutip berdasarkan daftar referensi dari buku para sarjana yang

ada hubungannya dengan masalah dan pembahasan yang disajikan.

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak Pidana dalam hukum pidana Indonesia berasal dari Bahasa Belanda

yaitu Strafbaar feit. Hal ini dikarenakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Indonesia berasal dari WvS ( Wetboek van Strafrecht ) yang merupakan kodifikasi

Universitas Sumatera Utara


peraturan perundang-undangan hukum pidana di Belanda. 19 Dalam perkembangannya

timbul permasalahan dalam penterjemahannya karena perbedaan pendapat oleh para

ahli dikarenakan dalam WvS sendiri tidak diberi penjelasan resmi tentang apa yang

dimaksud Strafbaar feit ini. Di Negeri Belanda sendiri pemakaian istilah “feit”

dikarenakan istilah itu meliputi perbuatan (handelen) dan juga pengabaian (nalaten)

. 20

Dalam perkembangan ilmu hukum di Indonesia sendiri terdapat beberapa

istilah yang lazim digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit yaitu :

1. Tindak Pidana, dalam dunia hukum Indonesia dewasa ini, istilah inilah yang

paling lazim digunakan dan bisa dikatakan istilah resmi dalam hukum pidana

Indonesia. Dikatakan resmi karena beberapa peraturan perundang-undangan

Indonesia menggunakan istilah tindak pidana tersebut, seperti dalam Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang. Pemakaian istilah tindak

pidana ini secara resmi telah membuatnya mendapat posisi yang sangat kuat

dalam kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Namun pemakaian istilah tindak

pidana ini juga mendapat kritikan dari beberapa ahli dikarenakan istilah tindak

menggambarkan suatu gerakan/tindakan yang aktif secara jasmaniah oleh

19
Andi Hamzah, Pengantar Azas-azas Hukum Pidana ( Jakarta: Rineka Cipta, 2008) hal.86
20
Ibid hal.87

Universitas Sumatera Utara


manusia, sementara dalam hukum pidana Indonesia terdapat delik pasif

(Ommisionis) seperti yang diatur dalam Pasal 164 KUHP.

2. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum seperti : Mr. R. Tresna,

Mr. Drs. HJ van Schravendijk, Utrecht. Istilah ini juga pernah dipakai secara

resmi dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950. 21

Utrecht menyalin dan menterjemahkan langsung istilah Strafbaar feit menjadi

peristiwa pidana. 22 Mengenai pemakaian istilah peristiwa pidana ini Moeljatno

mengatakan bahwa pemakaian istilah “peristiwa pidana” ini kurang tepat

dikarenakan peristiwa itu merupakan pengertian yang konkret, yang hanya

menunjuk pada suatu kejadian tertentu saja, misalnya matinya orang. 23

3. Delik, berasal dari kata “delictum” dalam bahasa latin. Istilah ini dipakai oleh

Utrecht, Zainal Abidin. Moeljatno dalam bukunya juga pernah menggunakan

istilah ini yang berjudul “ Delik-Delik Percobaan dan Delik-Delik Penyertaan”.

Andi Hamzah juga menggunakan istilah ini dalam bukunya Asas-Asas Hukum

Pidana karena menganggap istilah ini lebih netral. 24

4. Pelanggaran Pidana, dipakai oleh Mr.M.H Tirtaamidjaja dalam bukunya Pokok-

Pokok Hukum Pidana.

5. Perbuatan yang boleh hukum dipergunakan oleh Mr.Karni dan Schravendik.

21
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)
hal.68
22
Andi Hamzah, Op.Cit., hal 86.
23
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana ( Jakarta: Rineka Cipta, 2008) hal.60
24
Andi Hamzah, Op.Cit., hal 88.

Universitas Sumatera Utara


6. Perbuatan yang dapat dihukum pernah digunakan secara resmi dalam Undang-

Undang No.12/Drt/1951 tentang senjata api dan bahan peledak.

7. Perbuatan pidana digunakan oleh Moeljatno. Moeljatno menyatakan pemakaian

kata “perbuatan” karena merupakan suatu pengertian yang abstrak yang menunjuk

kepada dua keadaan konkret: pertama, adanya kejadian yang tertentu, kedua

adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu. 25

8. Perbuatan yang kriminal yang diusulkan oleh A.Z Abidin karena “perbuatan

pidana” yang dipakai oleh Moeljatno kurang tepat karena baik kata “perbuatan”

dan “pidana” tidak ada hubungan logis antara keduanya.

Melihat penjelasan di atas maka paling tidak sedikitnya ada delapan istilah

hasil terjemahan dari Strafbaar feit. Dalam skripsi ini penulis menggunakan istilah

“tindak pidana” karena istilah ini telah mendapat posisi yang sangat kuat dalam

kesadaran dan budaya hukum masyarakat Indonesia akibat dari penggunaannya

secara resmi dengan berkala dan berulang-ulang dalam berbagai peraturan

perundang-undangan pidana di Indonesia. Terlebih lagi dalam Pasal (1) angka (18)

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga menggunakan istilah

“Tindak Pidana Narkotika”.

Meskipun istilah Tindak Pidana ini lazim dipakai dalam berbagai peraturan

perundang-undangan resmi, tak satupun dari peraturan perundang-undangan tersebut

memberikan defenisi tentang apa yang dimaksud dengan tindak pidana itu sendiri.

Oleh karena itu para ahli mencoba merumuskannya yang hasilnya memunculkan dua
25
Moeljatno, Op.Cit, hal 60.

Universitas Sumatera Utara


aliran dalam ilmu hukum pidana terkait dengan pemaknaan dan pendefenisian tindak

pidana yaitu :

1. Aliran Dualistis yaitu aliran yang memisahkan antara dilarangnya suatu

perbuatan (criminal act atau actus reus) dengan dapat dikenakannya

pertanggungjawaban pidana (pertanggungjawaban pidana atau mens

rea)terhadap si pelaku. Aliran ini menyatakan bahwa pertanggungjawaban

pidana bukanlah unsur dari tindak pidana tetapi merupakan suatu syarat dapat

atau tidaknya si pelaku dipidana. 26 Secara sederhana dapat diambil kesimpulan

bahwa aliran ini beranggapan bahwa pertanggung jawaban pidana terpisah

dengan tindak pidana. Beberapa ahli yang beraliran ini memberikan defenisi

tindak pidana sebagai berikut :

a. Pompe merumuskan tindak pidana sebagai “ tindakan yang menurut suatu

rumusan Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat

dihukum “ dan ditambhakannya lagi menurut teori Straafbar feit itu adalah

perbuatan, yang bersifat melawan hukum yang dilakukan dengan kesalahan

(schuld) dan diancam pidana. Dalam hukum positif, sifat melawan hukum (

wederrechtelijkheid) dan kesalahan ( schuld ) bukanlah syarat mutlak adanya

tindak pidana ( Strafbaar feit). 27 Bahkan untuk menjatuhkan pidana pun harus

disertai dengan adanya orang yang dapat dipidana.

26
Mohammad Eka Putra, Op.Cit, hal 83.
27
Ibid. hal 81

Universitas Sumatera Utara


b. Vos menyatakan bahwa tindak pidana ( Strafbaar feit ) merupakan suatu

kelakuan manusia yan diancam oleh Undang-Undang

c. R. Tresna menyatakan bahwa peristiwa pidana itu merupakan sesuatu

perbuatan atau rangkaian manusia yang bertentangan dengan Undang-Undang

atau peraturan-peraturan lainnya dan terhadap perbuatan mana diadakan

tindakan penghukuman. 28

d. Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana sebagai perbuatan yang

dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi)

yang berupa pidana tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. 29

2. Aliran monistis, aliran ini berpandangan tidak memisahkan antara perbuatan

dengan unsur-unsur yang melekat pada diri orangnya ( pertanggungjawaban).

Aliran ini tidak secara tegas memisahkan antara unsur tindak pidana dengan

syarat untuk dapat dipidananya si pelaku sebagaimana yang dilakukan oleh

aliran dualistis. 30 Dengan demikian, aliran ini memasukkan syarat dapat

dipidananya si pelaku ke dalam unsur dari suatu tindak pidana. Berikut beberapa

ahli yang berpandangan monistis :

a. J.E Jonkers merumuskan peristiwa pidana ialah : perbuatan yang melawan

hukum ( wederrechtelijk ) yang berhubungan dengan kesengajaan atau

kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggunjawabkan. 31

28
Ibid
29
Moeljatno, Op.Cit, hal 37.
30
Adami Chazawi, Op.Cit, hal.76
31
Ibid hal.75

Universitas Sumatera Utara


b. Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa tindak pidana merupakan suatu

perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana 32

c. H.J van Schravendijk merumuskan perbuatan yang boleh dihukum adalah

kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehingga

kelakuan itu diancam dengan hukum asal dilakukan oleh seorang yang karena

itu dapat dipersalahkan. 33

d. J. Baumann merumuskan bahwa tindak pidana merupakan perbuatan yang

memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan

kesalahan. 34

e. J.E Jonkers memberikan Strafbaar feit menjadi dua pengertian yaitu dalam

pengertian pendek adalah suatu kejadian ( feit ) yang diancam pidana oleh

undang-undang. Dan dalam pengertian panjang dan lebih mendalam strafbaar

feit adalah suatu kelakuan yang melawan hukum ( wederrechtelijkheid )

berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat

dipertanggungjawabkan. Ditambahkannya lagi sifat melawan hukum

merupakan unsure tersembunyi dari tiap peristiwa pidana, namun tidak dapat

dipertanggungjawabkan merupakan alasan umum untuk dibebaskan dari

pidana. Kesengajaan dan kesalahan selalu merupakan unsur dari kejahatan.

32
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia ( Bandung : Eresco, 1969).
33
Adami Chazawi, Op.Cit hal.75
34
Mohammad Eka Putra,Op.Cit hal.85

Universitas Sumatera Utara


Jonkers berpendapat bahwa peristiwa pidana selalu ditinjau dalam

hubungannya dengan si pelaku. 35

Di antara kedua aliran tersebut sebenarnya tidak dapat ditentukan mana yang

lebih benar. Pada dasarnya perbedaan tersebut timbul dari perbedaan sudut pandang.

Aliran dualistis memandang dari sudut abstrak dalam memberikan pengertian

mengenai tindak pidana dengan langsung membayangkan orang yang dapat dipidana

tetapi hanya memandang tindak pidana sebagai perbuatan dan akibat sifat

dilarangnya. Jika perbuatan tersebut telah dilakukan (konkrit) barulah orangnya

ataupun pelakunya dilihat dapat atau tidak dijatuhi pidana. 36

Sedangkan aliran monistis memandang sebaliknya,strafbaar feit sebagai hal

yang konkrit dengan membayangkan strafbaar feit tidak dapat dipisahkan dari

pelakunya. Oleh karena itu unsur mengenai orangnya tidak dapat dipisahkan dan

dimasukkan dalam unsur tindak pidana.

Perbedaan pemahaman ini sebenarnya mengantarkan kita kepada suatu

kesimpulan pemahaman bahwa strafbaar feit itu mengarah pada dua arti yaitu

menunjuk kepada perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang dan

menunjuk kepada perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan kesalahan oleh

orang yang dapat dipertanggungjawabkan.

Banyak ahli berpendapat bahwa perbedaan pemahaman ini hanya penting

dibicarakan dalam dunia teori saja, tapi sebenarnya perbedaan ini sebenarnya dapat

35
Ibid.
36
Adami Chazawi, Op.Cit hal.76

Universitas Sumatera Utara


mempengaruhi dunia praktek hukum. Berikut contohnya yang dikemukakan oleh

A.Z. Abidin :

Perempuan A berselisih dengan perempuan C. Untuk melampiaskan


dendamnya, maka A membuat sehingga seorang laki-laki bernama B melakukan
pemerkosaan terhadap C. Lelaki yang dipilih oleh A tidak mampu bertanggung jawab
berdasarkan pasal 44 KUHPidana ( sakit jiwa ). Berarti bahwa ada satu unsur atau
dua unsure delik yang tidak terbukti yaitu kemampuan bertanggung jawab dan/atau
kesengajaan (dolus). Menurut pemeriksaan dokter psikiater ( keterangan ahli ), B
memang sakit jiwa. Kalau hakim mau konsekuen pada pandangan monistis, sudah
tentu dia membebaskan atau melepaskan dari segala tuntutan baik B yang menjadi
pembuat materiil dan A sebagai aktor intelektual. 37

Akibat paling nyata dari perbedaan pandangan kedua aliran ini sebenarnya

dapat dilihat dalam dunia praktek hukum saat proses pembuktian jika saja para juris

mau konsekuen berpegangan pada salah satu aliran. Pada umumnya sekarang para

terdakwa yang dihadapkan ke muka persidangan dianggap sudah cakap hukum dan

tidak perlu diadakan pembuktian mengenai dapat tidaknya diberikan

pertanggungjawaban pidana terhadap si terdakwa kecuali salah satu pihak

mendalilkan adanya alasan si terdakwa tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban.

Hal ini sebenarnya berkaitan dengan asas “siapa yang mendalilkan dia yang

membuktikan”.

Dari pengalaman dunia praktek tersebut sebenarnya dapat ditarik kesimpulan

bahwa dunia praktek hukum di Indonesia secara “tidak sengaja” atau dapat dikatakan

secara “tidak langsung” cenderung menganut pandangan dualistis karena

pertanggungjawaban pidana tidak serta-merta masuk ke dalam unsur suatu tindak

pidana dan oleh karenanya tidak menjadi suatu keharusan untuk dibuktikan dalam
37
Mohammad Eka Putra, Op.Cit. hal 82

Universitas Sumatera Utara


suatu proses peradilan. Pembuktian itu baru dilaksanakan jika terdapat keragu-raguan

ataupun didalilkan oleh salah satu pihak dan persoalan mengenai

pertanggungjawaban ini barulah menjadi hal yang penting ketika pidana hendak

dijatuhkan. 38 Pembuktian mengenai pertanggungjawaban tersebut sebenarnya murni

didasarkan pada asas geen straf zonder schuld atau yang lazim dalam bahasa

Indonesia disebut tiada pidana tanpa kesalahan dan sama sekali tidak dipengaruhi

pada pandangan aliran monistis.

Berbeda halnya jika para praktisi hukum di Indonesia konsekuen pada

pandangan monistis yang menganggap pertanggungjawaban merupakan salah satu

unsur mutlak yang masuk ke dalam unsur tindak pidana. Jika berpandangan

demikian, maka sudah pastilah setiap kasus harusnya melakukan pembuktian

terhadap dapat tidaknya si pelaku dikenakan pertanggungjawaban tanpa harus terlebih

dahulu menemukan keragu-raguan atau didalilkan salah satu pihak.

Melihat potensi pengaruh tersebut sebenarnya ilmu hukum pidana di

Indonesia sudah memberikan reaksi dan berusaha menentukan sikap melalui pasal 11

rancangan konsep KUHPidana baru yang menyebutkan: 39

1. Tindak Pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang

oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang

dan diancam dengan pidana.

38
Ibid,hal.87
39
Ibid hal.88

Universitas Sumatera Utara


2. Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan

diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus bersifat melawan

hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.

3. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada

pembenar.

Berdasarkan uraian pasal tersebut dapat diambil kesimpulan sebenarnya ilmu

hukum pidana Indonesia sudah mulai mengarah pada aliran dualistis. Bahkan lebih

tegas dalam pasal 37 Konsep KUHPidanabaru tahun 2006/2007 disebutkan bahwa

pengertian tindak pidana tidak termasuk pertanggungjawaban pidana. 40

Semua uraian dan penjelasan di atas mengarah kepada suatu kesimpulan

bahwa secara sederhana yang dimaksud dengan tindak pidana adalah:

a. Perbuatan baik secara pasif maupun aktif.

b. Dilarang dalam suatu rumusan yang tercantum dalam peraturan perundang-

undangan dan diancam dengan sanksi pidana.

c. Mengandung sifat melawan hukum dalam artinya yang formil dan materiil. 41

40
Pertanggungjawaban pidana menurut pasal 36 Konsep KUHPidana baru adalah
diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindak pidana, secara subjektif kepada seseorang yang
memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu. Lihat Ibid hal.83
41
Menurut Barda Nawawi Arief dengan menegaskan bahwa setiap tindak pidana dianggap
selalu bertentangan dengan hukum, konsep berpendirian bahwa sifat melawan hukum merupakan
unsure mutlak dari tindak pidana. Artinya, walaupun dalam perumusan delik tidak dirumuskan secara
tegas adanya unsur melawan hukum , namun delik itu harus selalu dianggap bersifat melawan hukum.
Jadi perumusan formal dalam undang-undang hanya merupakan ukuran formal ataupun objektif untuk
menyatakan suatu perbuatan bersifat melawan hukum. Ukuran formal/objektif itu masih harus diuji

Universitas Sumatera Utara


2. Pengertian Penyalahgunaan Narkotika

Sebelum memahami mengenai pengertian penyalahgunaan narkotika maka

perlu terlebih dahulu dikemukakan apa yang dimaksud dengan narkotika untuk

menghindari pembiasan makna mengenai penyalahgunaan narkotika.

Narkotika berasal dari bahasa Inggris “Narcotics” yang berarti obat bius dan

memiliki kesamaan arti dengan kata “Narcosis” dalam bahasa Yunani yang berarti

menidurkan atau membiuskan, maka secara umum narkotika dapat diartikan sebagai

suatu zat yang dapat menimbulkan perubahan perasaan, suasana

pengamatan/penglihatan karena zat tersebut mempengaruhi syaraf pusat. 42

Namun ada juga pengertian yang lebih memfokuskan kepada pengaruh dari

narkotika tersebut dengan merumuskannya sebagai sejenis zat apabila dipergunakan

akan membawa efek pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai, yaitu:

a. mempengaruhi kesadaran

b. memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia berupa

penenang, perangsang, halusinasi (pemakainya tidak mampu membedakan antara

khayalan dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat).

secara materiil, apakah ada alasan pembenar atau tidak, dan apakah perbuatan itu benar-benar
bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Apabila perbuatannya secara materiil tidak
bersifat melawan hukum, maka tidak dapat dikatakan ada tindak pidana dan oleh karena itu, tidak
dapat dipidana. Dengan ketentuan demikian, terlihat disini adanya keseimbangan antara patokan
formal ( melawan hukum formal/kepastian hukum ) dan patokan materiil ( melawan hukum
materiil/nilai keadilan. Lihat Ibid hal.89
42
Kusno Adi, Kebijakan Kriminal dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika oleh
Anak (Malang : UMM Press, 2009 ) hal.12

Universitas Sumatera Utara


Beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia juga turut mencoba

memberikan pengertian terhadap narkotika tersebut antara lain :

a. Menurut Verdoovende Middelen Ordonantie Staatblaad 1972 No.278 jo.No.536

yaitu “bahan-bahan yang terutama mempunyai efek kerja pembiusan, atau yang

dapat menurunkan kesadaran. Di samping menurunkan kesadaran juga

menimbulkan gejala-gejala fisik dan mental lainnya apabila dipakai secara terus-

menerus dan liar dengan akibat antara lain terjadinya ketergantungan pada bahan-

bahan tersebut”.

b. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Narkotika adalah :

1) bahan-bahan yang disebut pada angka 2 sampai dengan angka 13;

2) garam-garam dan turunan-turunan dari Morfina dan Kokain

3) bahan lain, baik alamiah, sintetis maupun semi sintetis yang belum disebutkan

yang dapat dipakai sebagai pengganti Morfina atau Kokaina yang ditetapkan oleh

Menteri Kesehatan sebagai narkotika, apabila penyalahgunaannya dapat

menimbulkan akibat ketergantungan yang meninggikan seperti Morfina atau

Kokaina;

4) campuran-campuran dan sediaan-sediaan yang mengandung bahan yang tersebut

dalam huruf a, b, dan c.

c. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika,

narkotika adalah Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau

bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetisyang dapat menyebabkan

Universitas Sumatera Utara


penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang

dibedakan ke dalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-

undang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan KeputusanMenteri Kesehatan.

Dalam Undang-Undang tersebut narkotika dibagi ke dalam tiga golongan yaitu :

1) Golongan I : Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan

pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta

mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

2) Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai

pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan atau tujuan

pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi

mengakibatkan ketergantungan.

3) Golongan III adalah narkotika yang khasiat pengobatan dan banyak digunakan

dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta

mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

d. Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Narkotika

adalah Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanamanatau bukan

tanaman, baik sintetis maupun semisintetis,yang dapat menyebabkan penurunan

atau perubahankesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampaimenghilangkan rasa

nyeri, dan dapat menimbulkanketergantungan, yang dibedakan ke dalam

golongan-golongansebagaimana terlampir dalam Undang-Undangini. Adapun

Universitas Sumatera Utara


dasar pembagian golongan-golongan tersebut menurut penjelasan Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah :

1) Golongan I : Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan

pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta

mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

2) Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai

pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan atau tujuan

pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi

mengakibatkan ketergantungan.

3) Golongan III adalah narkotika yang khasiat pengobatan dan banyak digunakan

dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta

mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ini terdapat

hal baru terkait pengertian narkotika karena pengertian narkotika dalam Undang-

Undang tersebut mencakup psikotropika Golongan I dan Golongan II yang dulunya

terlampir dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. 43

Hal tersebut dapat dilihat dari Pasal 153 Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 yang menyatakan :
Dengan berlakunya Undang-Undang ini:
a) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika(Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor67, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor3698); dan;

43
AR Sujono, Bony Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika (Jakarta : Sinar Grafika, 2011 ) hal.67

Universitas Sumatera Utara


b) Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I danGolongan II
sebagaimana tercantum dalam LampiranUndang-Undang Nomor 5 Tahun 1997
tentang Psikotropika(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997
Nomor10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor3671) yang
telah dipindahkan menjadi Narkotika GolonganI menurut Undang-Undang
ini,dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Sementara dari sudut pandang farmakologis medis, narkotika adalah obat

yang dapat menghilngkan (terutama) rasa nyeri yang berasal dari daerah visceral dan

yang dapat menibulkan efek stupor ( bengong, masih sadar teteapi harus digertak )

serta adiksi. 44

Maka berdasarkan penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa narkotika

merupakan zat atau obat yang jika digunakan dapat menimbulkan efek :

a. Depresant yaitu mengendurkan atau mengurangi aktivitas atau kegiatan susunan

syaraf pusat, sehingga dipergunakan untuk menenangkan syaraf seseorang untuk

dapat tidur.

b. Stimulant yaitu meningkatkan keaktifan susunan syaraf pusat, sehingga

merangsang dan meningkatkan kemampuan fisik seseorang.

c. Halusinogen yaitu menimbulkan perasaan-perasaan yang tidak riil atau khayalan-

khayalan yang menyenangkan.

d. Adiktif/kecanduan

e. Kerusakan organ tubuh manusia akibat penggunaan yang berlebihan.

44
Hari Sasangka, Narkotika dan psikotropika dalam Hukum Pidana untuk mahasiswa dan
praktii serta penyuluh masalah narkoba (Bandung : Mandar Maju, 2003) hal.35

Universitas Sumatera Utara


Setelah memahami mengenai pengertian narkotika maka selanjutnya barulah

akan dikemukakan mengenai pengertian penyalahgunaan narkotika. Penyalahgunaan

narkotika terjadi melalui sebuah proses. Diawali dari tahapan coba-coba (

experimental use ) kemudian ke tahap memaki narkotika untuk senang-senang lalu

apabila tidak berhenti akan memasuki tingkatan pemakaian situasional yaitu memakai

narkotika dalam keadaaan tertentu seperti tegang, kecewa, sedih dan lain sebagainya

dan pada akhirnya memasuki tahap penyalahgunaan narkotika karena

ketergantugan. 45

Secara umum pengertian mengenai penyalahgunaan narkotika dapat

digolongkan yaitu :

a. Menurut kaidah bahasa, Penyalahgunaan berarti proses, cara, perbuatan

menyalahgunakan; penyelewengan. 46 Sedangkan menyalahgunakan berarti

melakukan sesuatu tidak sebagaimana mestinya, menyelewengkan. 47 Dengan

demikian penyalahgunaan narkotika adalah proses atau cara menggunakan

narkotika dengan tidak sebagaimana mestinya/fungsinya atau dapat dikatakan

penyelewengan narkotika.

b. Menurut beberapa peraturan perundang-undangan :

1) Menurut Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997

Penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa

45
AR Sujono, Bony Daniel, Op.Cit hal.6.
46
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal.983
47
Ibid

Universitas Sumatera Utara


sepengetahuan dan pengawasan dokter dengan demikian penyalahgunaan

narkotika adalah penggunaan narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan

dokter.

2) Menurut Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009:

“Penyalahguna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau

melawan hukum.”

Dengan demikian penyalahgunaan narkotika menurut Undang-Undang Nomor

35 Tahun 2009 dapat diartikan sebagai perbuatan menggunakan narkotika

secara tanpa hak atau melawan hukum.Tanpa hak atau melawan hukum disini

mencakup pengertian melawan hukum dalam arti formil maupun dalam

artinya yang materiil. Dalam arti formil berarti penyalahgunaan narkotika

tersebut tidak memiliki izin ( baik terhadap yang subjek maupun objek yang

dikenai penyalahgunaan narkotika ) sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Sedangkan dalam arti materiil penyalahgunaan

narkotika tersebut berarti tidak hanya bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku ( hukum tertulis) tetapi lebih hakiki

dimaknai bertentangan dengan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam

masyarakat.

c. Menurut para ahli ditinjau dari metode penyalahgunaan narkotika dan akibatnya :

1) Dari metodenya penyalahgunaan obat dapat dikategorikan menjadi 2 yaitu: 48

a) Misuse yaitu mempergunakan obat yang tidak sesuai dengan fungsinya.


48
Hari Sasangka, Op.Cit hal 20

Universitas Sumatera Utara


b) Overuse yaitu penggunaan obat yang tidak sesuai dengan aturan atau

berlebihan.

2) Dari akibatnya Kusno Adi mengemukakan sebagai berikut :

“Penyalahgunaan narkotika adalah pola penggunaan narkotika yang patologik

sehingga mengakibatkan hambatan dalam fungsi sosial. Hambatan fungsi

sosial dapat berupa kegagalan untuk memenuhi tugasnya bagi keluarga atau

teman-temannya akibat perilaku yang tidak wajar dan ekspresi perasaan agresif

yang tidak wajar, dapat pula membawa akibat hukum karena kecelakaan lalu

lintas akibat mabuk atau tindak criminal demi mendapatkan uang untuk

membeli narkotika.” 49

3. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan

Kebijakan Penanggulangan kejahatan sering disebut juga politik kriminal

(criminal policy ). Istilah politik, politiek dalam Bahasa Belandaatau politics dalam

Bahasa Inggris dipakai dalam berbagai arti. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa

politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam satu sistem politik (atau negara)

yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan

tujuan-tujuan itu. 50 Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dikatakan bahwa politik

criminal merupakan ilmu untuk menanggulangi kejahatan dan merupakan usaha yang

rasional dari masyarakat sebagai reaksi mereka atas kejahatan.

49
KusnoAdi, Op.Cit hal.19
50
M.Hamdan, Politik Hukum Pidana, ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997) hal.2

Universitas Sumatera Utara


Sudarto pernah mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal yaitu: 51

a. Dalam arti sempit ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari

reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana.

b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk

di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi

c. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen) ialah keseluruhan

kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi,

yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

Marc Ancel merumuskan kebijakan penanggulangan kejahatan dari sudut

pandang yang berbeda dan mengarah kepada peran sosial kemasyarakatan yaitu : “

the rational organization of the control of crime by society” 52. Senada dengan beliau

G.Peter Hoefnagles juga mengemukakan bahwa ” Criminal Policy is the rational

organization of the social reaction to crime “ 53

Kebijakan penanggulangan kejahatan memang sangat dekat dunia sosial

mengingat kejahatan merupakan masalah sosial dan masalah kemanusiaan. Pada

hakikatnya, kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan merupakan bagian

integral dari upaya perlindang masyarakat ( social defence ) dan upaya mencapai

kesejahteraan masyarakat ( social welfare ).

51
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana ( Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru ) , (Jakarta : Kencana, 2008) hal.1
52
Ibid
53
TeguhPrasetyo, Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan
Kriminalisasi dan Dekriminalisasi ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005 ) hal.13

Universitas Sumatera Utara


Perumusan tujuan kebijakan penanggulangan kejahatan tersebut pernah pula

dinyatakan dalam salah satu laporan kursus latihan ke-34 yang diselenggarakan di

Tokyo tahun 1973 :

“Most of group members agreed some discussion that protection of the society

could be accepted as the final goal of criminal policy. Although not the ultimate aim

of society, which might perhaps be described by terms like happiness citizen. A

wholesame and cultural living, social welfare or equality. “ 54

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari

kebijakan penanggulangan kejahatan adalah “ perlindungan masyarakat untuk

mencapai kesejahteraan rakyat”. 55 Oleh karena itu mustahil rasanya mencapai tujuan

tersebut jika hanya mengandalkan penerapan/penegakan hukum pidana semata.

Kebijakan penanggulangan kejahatan harus melihat pada akar lahirnya persoalan

kejahatan dari persoalan sosial, sehingga kebijakan sosial sangat penting untuk

dilaksanakan. 56

Hoefnagles juga megemukakan hal yang senada bahwa kebijakan

penanggulangan kejahatan tindak pidana ( kejahatan ) dapat ditempuh dengan tiga

cara, yaitu 57:

a. Criminal law application ( penerapan hukum pidana )

54
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai… Op.Cit hal.2
55
Ibid
56
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy Pendekatan integral Penal Policy dan Non Penal
Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan (Medan : Pustaka Bangsa Press, 208 ) hal.51
57
Teguh Prasetyo, Abdul Hakim Barkatullah, Op.Cit. hal.36

Universitas Sumatera Utara


b. Prevention without punishment ( pencegahan tanpa penghukuman)

c. Influencing views of society on crime and punishment ( mempengaruhi pandangan

masyarakat terhadap kejahatan dan penghukuman/pemidanaan)

Berdasarkan uraian di atas secara sederhana dapat disimpulkan bahwa

kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal) dapat ditempuh melalui 2

(dua) carayang harus saling dipadukan dan harmonis yaitu:

a. Upaya penal atau sering disebut dengan politik hukum pidana merupakan upaya

penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana. Sudarto

memberikan defenisi politik hukum pidana mengandung arti bagaimana

mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana

yang baik. 58 Maka melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan

pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik,

dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna.

b. Upaya Non-penal yaitu penanggulangan kejahatan tanpa menggunakan atau

menerapkan hukum pidana.

G. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang akan ditempuh dalam memperoleh data-data

atau bahan-bahan dalam penelitian meliputi :

58
M.Hamdan, Op.Cit hal.20

Universitas Sumatera Utara


1. Jenis Penelitian

Seperti penulisan dalam penyusunan dan penulisan karya tulis ilmiah yang

harus berdasarkan fakta-fakta dan data-data yang benar dan layak dipercaya,

demikian halnya dalam menyusun dan menyelesaikan penulisan penelitian ini sebagai

sebuah karya tulis ilmiah juga menggunakan pengumpulan data secara ilmiah

(metodologi), guna memperoleh data-data yang diperlukan dalam penyusunannya

sesuai dengan yang telah direncanakan semula yaitu menjawab permasalahan yang

telah diuraikan sebelumnya.

Metode penulisan yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan

penelitian hukum normatif (yuridis normatif) yang dilakukan dan ditujukan pada

norma-norma hukum yang berlaku. Dalam penelitian ini, metode yuridis normatif

yang digunakan adalah norma-norma hukum nasional maupun perjanjian-perjanjian

internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia.

2. Jenis Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Adapun

data sekunder yang dimaksud adalah sebagai berikut :

a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan

ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yang relevan dengan masalah

Universitas Sumatera Utara


penelitian, yakni berupa Peraturan Perundang-undangan, Perjanjian Internasional

yaitu:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP);

2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Convention on

Psychotropic Substances 1971 (Konvensi Psikotropika 1971);

4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Convention Against

Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988 (Konvensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Peredaran Gelap Narkotika dan

Psikotropika 1988);

5) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika;

6) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;

7) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

8) Surat Edaran Mahkamah Agung ( SEMA ) Nomor 04 Tahun 2010 tentang

Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika

ke dalam Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial;

9) Presiden Nomor 6 Tahun 1971 kepada Kepala Badan Koordinasi Intelijen

Nasional untuk menanggulangi 6 (enam) pokok permasalahan nasional.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan, tulisan-tulisan atau

karya-karya para ahli hukum dalam buku-buku teks, tesis, disertasi, jurnal, makalah,

surat kabar, majalah, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah

penelitian.

Universitas Sumatera Utara


c. Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan

keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder seperti kamus hukum, kamus bahasa, ensiklopedia, dan lain-lain.

3. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan

(Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang

digunakan dalam penelitian ini antara lain berasal dari buku-buku koleksi pribadi

maupun pinjaman dari perpustakaan, makalah, jurnal serta artikel baik yang diambil

dari media cetak maupun media elektronik.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut :

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang

relevan dengan objek penelitian.

b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak maupun

elektronik, dan peraturan perundang-undangan.

c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan.

d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang

menjadi objek penelitian.

Universitas Sumatera Utara


4. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat atau daerah yang dipilih sebagai tempat

pengumpulan data di lapangan untuk menemukan jawaban atas masalah. Lokasi yang

digunakan dalam penelitian ini adalah perpustakaan sesuai dengan metode “ Library

Research” yang digunakan dalam penelitian ini.

5. Analisis Data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa

secara perspektif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode

deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan,

sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber

yang berhubungan dengan topik penelitian ini, sehingga diperoleh kesimpulan

Dalam hal mendukung penelitian ini dipakai pendapat-pendapat para sarjana

yang diambil atau dikutip berdasarkan daftar referensi dari buku para sarjana yang

ada hubungannya dengan masalah dan pembahasan yang disajikan.

H. Sistematika Penulisan

Universitas Sumatera Utara


Secara sistematis penelitian ini dibagi dalam beberapa bab dan tiap-tiap bab

dibagi atas sub bab yang dapat diperinci sebagai berikut :

Bab I : Merupakan Bab Pendahuluan yang isinya meliputi: Latar

Belakang Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan,

Keaslian Penulisan. Selanjutnya Tinjauan Kepustakaan yang

menguraikan: Pengertian Tindak Pidana, Pengertian

Penyalahgunaan Narkotika dan Kebijakan Penanggulangan

Kejahatan. Pada bagian akhir bab ini berisi tentang Metode

Penelitian dan Sistematika Penulisan.

Bab II : Bab ini membahas tentang perkembangan kebijakan hukum

pidanaterhadap Tindak Pidana Narkotika di Indonesia.Bab ini

menguraikan tentang perkembangan peraturan hukum tentang

Narkotika di Indonesia yang ada di dalam Konvensi

Internasional yang diratifikasi oleh Indonesia maupun dalam

berbagai Undang-Undang tentang Narkotika yang pernah

berlaku di Indonesia dari persepektif kebijakan hukum pidana.

Bab III : Bab ini membahas tentang penegakan hukum pidana terhadap

penyalahgunaan narkotika jenis katinon dalam kaitannya dengan

asas legalitas ditinjau dari undang-undang nomor 35 tahun 2009.

Bab ini menguraikan tentang penggolongan Narkotika di dalam

Universitas Sumatera Utara


Undang-Undang 35 tahun 2009 tentang Narkotika, struktur

kimia dan dampak penyalahgunaan metilon sebagai senyawa

turunan dari katinonaserta penegakan hukum pidana terhadap

penyalahgunaan metilon yang merupakan senyawa turunan dari

katinona dalam kaitannya dengan asas legalitas ditinjau dari

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.

Bab IV : Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang merupakan bab

terakhir. Pada bagian kesimpulan akan diuraikan kesimpulan-

kesimpulan dari pembahasan yang dilakukan pada bab-bab

sebelumnya, yang merupakan jawaban terhadap permasalahan

yang diajukan dalam penulisan ini. Pada bagian saran akan

diuraikan saran-saran yang merupakan hasil rekomendasi dari

penulisan ini.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai