Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

“PEMBERIAN PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA


PEGAWAI NEGERI SIPIL MELALUI SISTEM
PERADILAN TATA USAHA NEGARA”

Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Hukum Administrasi Negara
Dosen Pengampu :

KELOMPOK 3
Nama NIM
Hairiah Ulya S21901367

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM SULTAN ADAM


MAGISTER ILMU HUKUM
BANJARMASIN
2019
ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “ Pemberian Perlindungan Hukum Kepada Pegawai Negeri Sipil
Melalui Sistem Peradilan Tata Usaha Negara” Pada makalah ini saya banyak
mengambil dari berbagai sumber dan refrensi serta pengarahan dari berbagai pihak
.oleh sebab itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih sebesar-
sebesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah
ini.
Penyusunan menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari
sempurna, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun guna kesempurnaan laporan ini.
Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini
dapat bermanfaat untuk semua pihak yang membaca

Banjarmasin, November 2019

Penyusun
iii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................. i


Daftar Isi........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................1
1.3 Tujuan ....................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................3
BAB III PENUTUP ..........................................................................................9
3.1 Kesimpulan ............................................................................................9
3.2 Saran ......................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 10
4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara merupakan organisasi tertinggi di antara satu kelompok atau

beberapa kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu hidup di

dalam daerah tertentu, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat.1

Sebagai penganut paham negara kesejahteraan (welfare state) tentunya

Pemerintahan Negara Indonesia tampil aktif untuk ikut campur dalam berbagai

aspek kehidupan masyarakat.2 Salah satunya dalam tugas administrasi negara.

Tugas administrasi negara dalam welfare state ini menurut Lemaire dalam bukunya

Bachsan Mustafa adalah bestuurszorg yaitu menyelenggarakan kesejahteraan

umum.3 Menurut Budi Ispriyarso, untuk mencapai tujuan negara kesejahteraan

tersebut diperlukan berbagai sarana pendukung. Dalam hal ini salah satunya adalah

sarana hukum, khususnya Hukum Administrasi Negara dikenal dengan sistem

Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).4

Mengenai tugas negara dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, negara

harus memberikan perlindungan kepada penduduk dalam wilayah tertentu. Kedua,

1
Moh Mahfud MD, 2000, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia (Edisi Revisi), Penerbit RenakaCipta,
Jakarta, hlm. 64
2
Patuan Sinaga, 2004, Hubungan Antara Kekuasaan Dengan Pouvoir Discretionnere Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan, dalam S.F Marbun dkk., Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi
Negara, UII Press, Yogyakarta, hlm. 73.

3
Bachsan Mustafa, 1990, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.
40.

4
Bud Ispriyarso, 2004,Hubungan Fungsional Antara Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum Terhadap
Perkembangan Hukum Administrasi Negara dalam S.F Marbun dkk., Op.Cit, hlm. 19.
5

negara mendukung atau langsung menyediakan berbagai pelayanan kehidupan

masyarakat di bidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Ketiga, negara menjadi

wasit yang tidak memihak antara pihak-pihak yang berkonflik dalam masyarakat

serta menyediakan suatu sistem yudisial yang menjamin keadilan dasar dalam

hubungan kemasyarakatan.5 Tugas negara menurut paham modern sekarang ini

(dalam suatu Negara Kesejahteraan atau Social Service State), adalah

menyelenggarakan kepentingan umum untuk memberikan kemakmuran dan

kesejahteraan yang sebesar-besarnya berdasarkan keadilan dalam suatu Negara

Hukum.6

Indonesia sebagai negara hukum telah menjamin hak atas perlindungan

hukum terhadap rakyatnya seperti termaktub dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 D ayat (1) yang berbunyi “setiap orang

berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta

perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Hal ini juga dijadikan sebagai tujuan

pembentukan dan kedudukan suatu peradilan administrasi dalam suatu negara

terkait dengan falsafah negara yang dianutnya. Indonesia sebagai negara hukum,

hak dan kepentingan perseorangan dijunjung tinggi, untuk itu kepentingan

perseorangan harus seimbang dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan

umum. Itulah sebabnya tujuan pembentukan peradilan administrasi secara filosofis

adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan dan

masyarakat, sehingga tercapai keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan

5
Sri Pudyatmoko, 2009, Perizinan, Problem dan Upaya Pembenahan, PT. Gramedia Widiarsana Indonesia,
Jakarta, hlm.1.

6
Amrah Muslimin, 1985, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok Tentang Administrasi dan Hukum
Administrasi, Alumni, Bandung, hlm.110.
6

perseorangan dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum.

Hukum dan masyarakat bagaikan dua sisi mata uang, ubi societas ibi ius

(dimana ada masyarakat di sana ada hukum) keduanya tidak dapat dipisahkan.

Hukum yang tidak dikenal atau tidak sesuai dengan konteks sosialnya serta tidak

ada komunikasi yang efektif tentang tuntutan dan pembaharuannyaa bagi warga

negara tidak akan bekerja secara efektif.

Berlakunya hukum di masyarakat akan berakibat terjadinya perubahan

sosial pada masyarakat itu sendiri, sedangkan fungsi hukum bagi kehidupan

masyarakat menurut Soejono Dirjo Sisworoada 4 (empat) yaitu :

1. Fungsi hukum sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat. Hal ini
dimungkinkan karena sifat dan watak hukum yang memberi pedoman dan
petunjuk tentang bagaimana berperilaku di dalam masyarakat sehingga
masing-masing anggota masyarakat telah jelas apa yang harus diperbuat
dan apa yang tidak boleh diperbuat.
2. Fungsi hukum sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir
batin. Hal ni dimungkinkan karen sifat hukumyang mengikat, baik fisik
maupun psikologis.
3. Fungsi hukum sebagai sarana penggerak pembangunan hukum merupakan
alat bagi otoritas untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju.
4. Fungsi kritis dari hukum. Dewasa ini sedang berkembang suatu pandangan
bahwa hukum mempunyai fungsi kritis, yaitu daya kerja hukum tidak
semata-mata melakukan pengawasan pada aparatur pengawas, pada
aparatur pemerintah (petugas) dan aparatur penegak hukum termasuk di
dalamnya.7

Pemerintah memiliki kewenangan untuk membuat suatu produk hukum

sebagai salah satu alat untuk menjalankan pemerintahannya. Dalam menciptakan

suatu produk hukum telah terbagi dua jenis yaitu yang pertama berupa peraturan

(regeling) dan yang kedua berupa keputusan (beschikking). Suatu peraturan

(regeling) bersifat mengatur ketentuan-ketentuan umum dalam menjalankan suatu

7
Menurut Soejono Dirjo Sisworo dalam Muchsin dan Fadilah Putra, 2002, Hukum dan Kebijakan Publik,
Averroes Press, Malang, hlm. 19-20.
7

kebijakan atau pemerintahan. Sedangkan suatu keputusan (beschikking) lebih

bersifat konkret, individual dan final. bersifat konkret artinya objek yang

diputuskan dalam keputusan tata usaha negara tersebut tidak abstrak tetapi

berwujud tertentu atau dapat ditentukan. Bersifat individual artinya keputusan tata

usaha negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu, baik alamat maupun

hal yang dituju. Bersifat final artinya sudah definitif, dan karenanya dapat

menimbulkan akibat hukum tertentu.8

Dalam negara hukum, wewenang pemerintahan berasal dari peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Menurut R.J.H.M. Huisman yang

diterjemahkan dalam buku Ridwan, HR :

“Organ pemerintahan tidak dapat menganggap bahwa ia memiliki sendiri


wewenang pemerintahan. Kewenangan hanya diberikan oleh undang-
undang. Pembuat undang-undang dapat memberikan wewenang
pemerintahan tidak hanya kepada organ pemerintahan, tetapi juga terhadap
para pegawai (misalnya inspektur pajak, inspektur lingkungan, dan
sebagainya) atau terhadap badan khusus (seperti dewan pemilihan umum,
pengadilan khusus untuk perkara sewa tanah, atau bahkan terhadap badan
hukum privat”.9

Secara teoritik, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-

undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat.

Menurut Indroharto, pada atributif terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang

baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Pada delegasi

terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan Tata

Usaha Negara yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif

kepada Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu

8
Muchsan , 2007, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan PTUN, Liberty,
Yogyakarta hlm. 60.

9
Ridwan, H.R., 2003, Hukum Administrasi Negara,UII Press, Yogyakarta, hlm. 72-73.
8

didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang.10

Mengenai atribusi, delegasi dan mandat ini H.D. van Wijk/Willem

Konijnenbelt yang diterjemahkan dalam buku Ridwan Hr, mendefinisikan sebagai

berikut :

a. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat undang-


undang kepada organ pemerintahan.
b. Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ
pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.
c. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya
dijalankan oleh organ lain atas namanya.11

Dalam hal keputusan maupun peraturan yang dibuat oleh pemerintah

tentunya harus memenuhi syarat materiil dan syarat formil yang harus termaktub

dalam sebuah keputusan tersebut. Menurut Kuntjoro dalam membuat suatu

ketetapan oleh administrasi negara harus memenuhi syarat-syarat materiil dan

formal, sebagai berikut:

1. Syarat Materiil
a. Alat pemerintahan yang membuat keputusan harus mempunyai
kewenangan (berhak).
b. Dalam kehendak alat perlengkapan yang membuat keputusan tidak
boleh ada kekurangan yuridis (geen juridische gebreken in de
wilsvorning)
c. Keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam
peraturan yang menjadi dasarnya dan pembuatannya harus juga
memperhatikan prosedur membuat keputusan, bilamana prosedur
itu disebutkan dengan tegas dalam peraturan itu (rechtmatig)
d. Isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan yang
hendak dicapai.

10
Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Hlm. 97

11
Ridwan, H.R. Op.Cit., hlm. 74
9

2. Syarat Formil
a. Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan
dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya
keputusan itu harus dipenuhi;
b. Harus diberi bentuk yang telah ditentukan;
c. Syarat-syarat, berhubung dengan pelaksanaan keputusan itu di
penuhi;
d. Jangka waktu harus ditentukan, antara timbulnya hal-hal yang
menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu dan
tidak boleh dilupakan.12

Sebagai salah satu syarat materil, suatu produk hukum tidak boleh

mengalami kekurangan yuridis karena akan berpengaruh terhadap kekuatan produk

hukum itu ketika lahir. Dalam hal pembentukan suatu produk hukum baik yang

berupa keputusan (beschikking) atau pun dalam bentuk peraturan (regelling)

pemerintah yang berwenang harus membuat peraturan maupun keputusan itu harus

berdasarkan ketentuan dan amanah yang diberikan yaitu memenuhi rasa keadilan,

kemanfaatan, kepastian kepada masyarakat.

Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan bagian dari masyarakat dari sebuah

negara. Seperti tertuang pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 43 Tahun

1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-

Pokok Kepegawaian bahwa yang dimaksud Pegawai Negeri adalah setiap warga

negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat

oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau

diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Sebagai bagian dari sebuah negara, hubungan hukum

(rechts betrekking) antara Pegawai Negeri dengan negara merupakan hubungan

dinas publik. Hubungan dinas publik timbul semenjak

12
Arifien Sutrisno, Sikap Tindak Administrasi Negara Menurut Hukum yang Menimbulkan Kerugian dalam
Dimensi-Dimensi Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, hlm.285-286.
10

seseorang mengikat dirinya untuk tunduk pada perintah untuk melakukan suatu atau

beberapa macam jabatan tertentu.13 Hubungannya berkaitan dengan kedudukan

PNS dalam menjalankan tugasnya sebagai aparatur negara dan pemerintah. Pasal 3

ayat (1) Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999, mengatur kedudukan PNS yaitu

sebagai aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada

masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas

negara, pemerintah dan pembangunan. Rumusan kedudukan PNS didasarkan pada

pokok-pokok pikiran bahwa pemerintah tidak hanya menjalankan fungsi umum

pemerintah, tetapi juga harus mampu melaksanakan fungsi pembangunan atau

dengan kata lain pemerintah bukan hanya menyelenggarakan tertib pemerintahan,

tetapi juga harus mampu menggerakkan dan memperlancar pembangunan untuk

kepentingan rakyat.14

PNS sebagai aparatur negara mempunyai posisi sangat strategis dan peranan

menentukan dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan. Sebagai

aparatur negara, PNS berkewajiban menyelenggarakan tugas pemerintahan dan

pembangunan dengan penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, Undang-

Undang Dasar 1945, negara dan pemerintah. Untuk itu, PNS sebagai pelaksana

perundang-undangan wajib berusaha untuk taat pada setiap perundang-undangan

dalam melaksanakan tugas kedinasan. Pemberian tugas kedinasan kepada PNS pada

dasarnya merupakan kepercayaan dari atasan yang berwenang, dengan harapan

bahwa tugas itu akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Oleh karenanya, setiap

PNS wajib melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepadanya dengan

13
Muchsan, 1988, Pengangkatan Dalam Pangkat Pegawai Negeri Sipil, cetakan kedua, Liberty, Yogyakarta,
hlm. 9.

14
C.S.T. Kansil, 1979, Pokok-Pokok Hukum Kepegawaian Republik Indonesia, Pradnya Paramitha, Jakarta,
hlm. 38.
11

penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggungjawab. Namun dalam pelaksaan

tugasnya PNS kemungkinan banyak mengalami masalah dan sengketa yang

berkenaan dengan pekerjaannya. Sengketa kepegawaian menurut Sastro Djatmiko,

juga dapat timbul disebabkan penugasan oleh atasan dengan tugas tertentu,

percepatan dan pensiunan pegawai, izin perkawinan.15 Aparat negara juga tidak

hanya memiliki kewajiban mengabdi kepada negara namun juga berhak

mendapatkan perlindungan hukum apabila dalam pelaksanaan tugasnya PNS

mengalami kerugian atas hak-hak yang seharusnya ia dapatkan.

Dari sudut sejarah ide dibentuknya PTUN adalah untuk menyelesaikan

sengketa antara pemerintah dengan warga negaranya dalam penelitian ini

dikhususkan kepada PNS. Salah satu kewenangan absolut dari PTUN adalah

menyelesaikan sengketa kepegawaian. Pembentukan PTUN bertujuan mengkontrol

secara yuridis (judicial control) tindakan pemerintahan yang dinilai melanggar

ketentuan administrasi (mal administrasi) ataupun perbuatan yang bertentangan

dengan hukum (abuse of power). Eksistensi PTUN diatur dalam peraturan

perundang-undangan yang khusus yakni, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

Tentang PTUN yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun

2004 Tentang Perubahan Atas Undang-UndangNomor 5 Tahun 1986 Tentang

PTUN dirasa sudah memenuhi syarat untuk menjadikan lembaga PTUN yang

profesional guna menjalankan fungsinya melalui kontrol yudisialnya. Namun,

perlu disadari bahwa das sollen seringkali bertentangan dengan das sein, salah satu

contohnya terkait dengan pemberian perlindungan hukum kepada PNS, sistem

PTUN bisa dikatakan belum optimal.

Pembentukan Komisi Kepegawaian Negara sebagai lembaga yang menangani

masalah sengketa kepegawaian dan diharapkan dapat memperjuangkan hak-hak

15
Sastro Djatmiko, 1990, Hukum Kepegawaian di Indonesia , Djambatan, Jakarta, hlm. 48-52.
12

PNS, hingga saat ini belum terbentuk, walaupun keberadaan komisi tersebut telah

dituangkan dalam Pasal 13 ayat 4 Undang- Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok

Kepegawaian. Dimana pada pelaksanaannya dilaksanakan oleh Badan

Kepegawaian Negara (BAPEK).

Namun pemerintah telah berupaya memenuhi kebutuhan dengan membentuk suatu

lembaga yang khusus bertugas menangani sengketa kepegawaian, sebagaimana

dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009

tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN

yang menerangkan bahwa sengketa Tata Usaha Negara itu termasuk sengketa

kepegawaian berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku, hal ini

menunjukkan bahwa PTUN punya kewenangan absolut dalam menyelesaikan

sengketa kepegawaian. Juga diterangkan dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 43 Tahun 1999 bahwa sengketa kepegawaian diselesaikan melalui Peradilan

Tata Usaha Negara. Selain itu diterangkan pula bahwa selain PTUN, Badan

Pertimbangan Kepegawaian juga berhak menyelesaikan sengketa kepegawaian

sebagai akibat pelanggaran terhadap peraturan disiplin PNS sebagaimana tertuang

dalam Pasal 35 ayat (2) UU Nomor43 Tahun 1999 dan dipertegas pula dengan

dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan

Pertimbangan Kepegawaian sebagai pelaksana ketentuan Pasal 35 ayat (3) UU

Nomor 43 Tahun 1999.16

Tujuan dari sistem PTUN diantaranya yaitu melaksanakan fungsi teknis dan non-

teknis PTUN. Fungsi teknis terdiri dari menerima, memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan sengketa tata usaha negara, sedangkan fungsi non-teknis berupa

16
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Pertimbangan Kepegawaian.
13

administrasi peradilan yang mendukung atau menyediakan sarana prasarana dalam

pelaksanaan fungsi teknis.

Salah satu perkara yang ditangani oleh PTUN adalah sengketa Kepegawaian.

Perkara yang terjadi pada umumnya terkait persoalan kedudukan dan hak dari

seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS). Selain itu semakin banyaknya jumlah pegawai

yang ada di Indonesia pada kenyataanya tidak selalu diikuti dengan kualitas dan

kinerja yang baik. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya PNS yang dijatuhi

hukuman disiplin karena dianggap melanggar kewajiban dan larangan sesuai

Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS. PNS yang

merasa dijatuhi sanksi tidak sesuai dengan pelanggaran disiplin yang dilakukan,

berhak mengajukan upaya hukum ke badan lain yang tersedia. Mekanisme Upaya

Keberatan Penyelesaian sengketa kepegawaian, sebelum diajukan ke PTUN,

terlebih dahulu diajukan banding administratif.

Banding administratif yang dikemukakan di atas adalah banding

administratif yang diatur dalam Undang-Undang 43 Tahun 1999 tentang Pokok-

Pokok Kepegawaian yang kemudian dicabut oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun

2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Sengketa kepegawaian sebagai akibat

pelanggaran terhadap peraturan disiplin PNS diselesaikan melalui upaya banding

administratif melalui BAPEK sesuai Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 43

Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Banding administratif di sini

dapat diartikan sebagai pengajuan keberatan atas suatu hukuman disiplin yang

diajukan melalui saluran hirarki.

Upaya keberatan di bidang kepegawaian diatur dalam Peraturan Pemerintah

53 Tahun 2010 tentang Pengaturan Disiplin PNS. Beberapa pengertian yang perlu

ditegaskan dalam PP Nomor 53 Tahun 2010 ini yaitu mengenai upaya administratif,

keberatan dan banding administratif. Pasal 6 PP Nomor 53 Tahun 2010 menyatakan


14

bahwa upaya administratif adalah prosedur yang dapat ditempuh oleh PNS yang

tidak puas terhadap hukuman disiplin yang dijatuhkan kepadanya berupa keberatan

administratif atau banding administratif.

Pada Pasal 7 disebutkan pula bahwa keberatan administratif adalah upaya

administratif yang dapat ditempuh oleh PNS yang tidak puas terhadap hukuman

disiplin yang dijatuhkan oleh pejabat yang berwenang menghukum kepada atasan

pejabat yang berwenang menghukum. Sedangkan pada Pasal 8 disebutkan banding

administratif adalah upaya administratif yang dapat ditempuh oleh PNS yang tidak

puas terhadap hukuman disiplin berupa pemberhentian tidak dengan hormat sebagai

PNS yang djatuhkan oleh pejabat yang berwenang menghukum, kepada Badan

Pertimbangan Kepegawaian.

Penggunaan upaya administratif pada sengketa kepegawaian merupakan

satu hal yang dapat ditempuh oleh seorang PNS yang merasa kepentingannya

dirugikan atas suatu KTUN. Bentuk upaya administrasi dapat dilakukan hanya

berupa keberatan administratif, hanya berupa banding adminstratif, ataupun dalam

bentuk keduanya. Apabila putusan atau hasil dari upaya administratif yang

dilakukan belum memuaskan, maka penyelesaiannya dapat diupayakan melalui

gugatan ke PTUN, tapi apabila sudah melalui upaya banding administratif dan

hasilnya tidak memuaskan, maka dapat mengajukan gugatan ke Peradilan Tinggi

Tata Usaha Negara (PTTUN). Proses keberatan di bidang sengketa kepegawaian

tidak langsung ditangani oleh PTUN, namun terlebih dahulu diselesaikan melalui

proses yang mirip dengan peradilan dan dilakukan oleh tim atau seorang pejabat di

lingkungan pemerintahan.

Pihak yang dirugikan akibat dikeluarkannya KTUN (beschikking) dalam

upaya banding administratif, apabila merasa bahwa keputusan tersebut tidak

memenihi rasa keadilannya, maka pihak tersebut berhak mengajukan gugatan ke

PTUN sesuai dengan kompetensi absolute dan kompetensi relatif dari PTUN yang
15

bersangkutan. Landasan hukum untuk mengajukan gugatan ke PTUN adalah Pasal

53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang

terdiri dari 2 (dua) macam dasar gugatan, yaitu :

1. Keputusan Tata Usaha Negara tersebut bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku;

2. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan

Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik.

Apabila suatu KTUN yang dikeluarkan dalam bidang kepegawaian tersebut

bertentangan dengan peraturan perundangan dan asas-asas umum pemerintahan

yang baik maka KTUN tersebut dapat disengketakan oleh pihak yang merasa

dirugikan. Asas-asas umum pemerintahan yang baik harus menjadi pedoman bagi

penggunaan wewenang jabatan termasuk dalam diskresi Pejabat TUN, sehingga

sifatnya tidak tertulis dan senantiasa berkembang. Putusan hakim atas sengketa

TUN juga selayaknya berpedoman pada Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang

Baik.

Bagi pihak yang bersengketa dalam bidang kepegawaian tersebut, jika akan

melakukan gugatan ke PTUN , maka dapat dilakukan dengan dua macam cara, yaitu

gugatan tertulis dan gugatan lisan.17 Gugatan tertulis berisikan tuntutan dan

diajukan pada PTUN dengan tujuan agar keputusan TUN yang disengketakan

dinyatakan batal atau tidak sah secara hukum, dengan atau tanpa ganti rugii maupun

rehabilitasi dari pihak tergugat. Gugatan secara lisan oleh Undang- Undang PTUN

digunakan untuk mempermudah pihak yang merasa dirugikan yang tidak dapat

membuat gugatan secara tertulis. Gugatan lisan tersebut disampaikan pada panitera

17
Darwan Prinst, 1995, Strategi Menangani Perkara Tata Usaha Negara, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm
53.
16

pengadilan yang kemudian akan merumuskan gugatan tersebut dalam bentuk

tertulis.18

Proses pengadilan pada PTUN dalam menangani gugatan tersebut akan

sampai pada penyelesaian sengketa. Wujud akhirnya berupa putusan hakim yang

memiliki kekuatan hukum yang berupa gugatan diterima atau gugatan ditolak.

Apabila gugatan diterima, maka pihak badan atau Pejabat TUN yang menjadi pihak

tergugat harus melaksanakan putusan pengadilan dengan membatalkan atau

menarik kembali putusannya, sedangkan apabila gugatan ditoak maka PNS sebagai

pihak penggugat dalam hal ini tidak dapat meminta pembatalan keputusan yang

disengketakan. Apabila putusan pengadilan menyatakan gugatan ditolak, maka

pihak penggugat dalam hal ini dapat mengajukan banding ke PTTUN jika merasa

tidak puas dengan putusan tersebut.

Ketukan palu pimpinan sidang yang menetapkan Undang-Undang Nomor

5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) boleh saja sedikit memberi

nafas dan semangat baru bagi reformasi birokrasi dan manajemen kepegawaian di

Indonesia. Bukan berarti undang-undang ini mampu menjawab segala permasalah

yang kerap muncul dalam hal birokrasi. Tentu tidak mudah menuding jika undang-

undang ini dipengaruhi oleh kepentingan politik mengingat pelaksanaanya belum

dapat dioptimalkan karena Peraturan Pemerintah yang mendukung undang-undang

ini masih dalam proses. Namun ada beberapa hal yang signifikan perlu di amati

bersama dalam Undang-Undang ini, adanya hubungan hukum dengan politik tidak

dapat dipisahkan. Jika didasari pada das sein (kenyataan) dalam faktanya hukum

yang dikonsepkan dalam Undang- Undang yang dibuat oleh lembaga legislatif

maka hukum itu merupakan produk politik sebab merupakan kristalisasi,

formalisasi atau legalisasi dari kehendak- kehendak politik yang bersaing baik itu

18
Ibid.
17

melalui kompromi politik maupun melalui dominasi kekuatan politik yang terbesar.

Namun jika menggunakan das sollen (keinginan, keharusan) hukum seharusnya

sebagai dasar mencari kebenaran ilmiah dan memberi arti hukum di luar undang-

undang. Perubahan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 j.o Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian menjadi Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 2014 berimplikasi pada perubahan yang paling mendasar

yaitu tentang manajemen kepegawaian. Diharapkan dengan adanya Undang-

Undang No 5 Tahun 2014 ini manajemen kepegawaian di Indonesia lebih

berorientasi kepada profesionalisme sumber daya masyarakat aparatur (PNS), yang

bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat secara jujur, adil, dan merata

dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan, tidak

partisan dan netral, keluar dari pengaruh semua golongan dan partai politik dan

tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk

melaksanakan tugas pelayanan masyarakat dengan persyaratan yang demikian,

sumber daya manusia aparatur dituntut memiliki profesionalisme, memiliki

wawasan global, dan mampu berperan sebagai unsur perekat Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil

Negara (selanjutnya disingkat UU ASN) sebagai penganti Undang-Undang Nomor

43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian tersebut membawa perubahan

mendasar guna mewujudkan sumber daya aparatur yang profesional yaitu dengan

pembinaan karir PNS yang dilaksanakan atas dasar perpaduan antara sistem prestasi

kerja dan karir yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja yang pada hakekatnya

dalam rangka peningkatan pelayanan publik.

Pada UU ASN ini fokus terhadap pengembangan dan peningkatan profesi

sangat ditekankan, tetapi masalah hak dan kewajiban pegawai sangat kurang
18

khususnya perlindungan hukum bagi pegawai sangat

minim. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pembentukannya, tinjauan dari

undang-undang ini lebih kepada kebijakan administrasi publik bukan pada

kebijakan hukum publik.19 Dalam konteks hukum,kebijakan publik

seringkali disepadankan pemahamannya dengan konsep Freisses Ermessen

atau Pouvoir Discretionare yang berarti kebebasan bertindak dari administrasi

negara dalam melakukan tugas-tugas pelayanan publiknya. Sehingga dari

pemahaman ini, kebijakan publik lebih diposisikan sebagai penerjemahan praktis

atas idealitas-idealitas yang ada dalam sebuah produk hukum.20

Sebelum Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok

Kepegawaian dicabut, penyelesaian sengketa kepegawaian diatur dalam Pasal 35

Undang-Undang ini, yang berbunyi :

(1) Sengketa kepegawaian diselesaikan melalui Peradilan Tata Usaha Negara.

(2) Sengketa Kepegawaian sebagai akibat pelanggaran terhadap peraturan

disiplin Pegawai Negeri Sipil diselesaikan melalui upaya banding

administratif kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian.

(3) Badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ditetapkan dengan

peraturan pemerintah.

Setelah Undang-Undang ASN disahkan, penyelesaian sengketa pegawai

ASN diatur dalam Pasal 129 Undang-Undang ASN yang berbunyi :

(1) Sengketa Pegawai ASN diselesaikan melalui upaya administratif.

19
Wawancara dengan Prof. Dr. Muchsan, S.H. pada tanggal 5 April 2014 di Universitas Widya Mataram,
Yogyakarta.

20
Muchsin dan Fadilah Putra, op.cit, hlm. 7
19

(2) Upaya administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari

keberatan dan banding administratif.

(3) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan secara tertulis

kepada atasan pejabat yang berwenang menghukum dengan memuat

alasan keberatan dan tembusannya disampaikan kepada pejabat yang

berwenang menghukum.

(4) Banding administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan

kepada badan pertimbangan ASN.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya administratif dan badan

pertimbangan ASN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4)

diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok

Kepegawaian menyebutkan dalam ayat (1) bahwa PTUN berwenang dalam

menyelesaikan sengketa kepegawaian sedangkan dalam Undang-Undang ASN

tidak menyebutkan secara langsung tentang kewenangan PTUN dalam

menyelesaikan sengketa Pegawai ASN hanya menitik beratkan pada penyelesaian

sengketa melalui upaya Administratif yang pelaksanaannya akan diberlakukan

setelah ada peraturan pemerintah dibuat.

Dari uraian di atas terlihat bahwa cara penyelesaian sengketa kepegawaian

dapat ditempuh melalui dua jalur, pertama melalui PTUN untuk sengketa yang tidak

berhubungan dengan disiplin pegawai negeri dan kedua melalui BAPEK (sejak

diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 melalui Badan

Pertimbangan ASN, mengenai mekanisme dan tata kerja Badan Pertimbangan


20

ASN belum ada aturan lebih lanjut). Adanya perbedaan cara penyelesaian sengketa

kepegawaian seperti ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pihak yang

bersengketa. Mengingat kepegawaian rawan akan masalah sengketa kepegawaian,

maka harus dilakukan cara yang paling efektif dalam penyelesaian sengketa

kepegawaian sehingga kepastian hukum dan keadilan bagi pihak yang bersengketa

dapat dioptimalkan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah pelaksanaan sistem Peradilan Tata Usaha Negara dapat

memberikan perlindungan hukum kepada PNS secara optimal?

2. Kendala hukum apa yang menyebabkan belum mampunya sistem

Peradilan Tata Usaha Negara memberikan perlindungan hukum kepada

PNS ?

3. Langkah apa yang dapat ditempuh pemerintah dalam memberikan

perlindungan hukum yang optimal kepada PNS?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Tujuan Deskriptif

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan kiprah fungsi

PTUN dalam memberikan perlindungan hak kepada Pegawai Negeri Sipil

(PNS) yang dikenai hukuman disiplin.


21

2. Tujuan Kreaktif

Hasil penelitian ini bertujuan menganalisis kendala hukum yang

berupa kendala sistem peraturan perundang-undangan, kendala yang

berkaitan degan sinkronisasi dan harmonisasi perundang-undangan, serta

kendala yang berkaitan dengan eksekutor sehingga membuat fungsi PTUN

tidak mampu memberikan perlindungan hukum yang optimal bagi Pegawai

Negeri Sipil (PNS).

3. Tujuan Inovatif

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan baru

mengenai langkah apa yang seharusnya ditempuh untuk menyelesaikan

kendala hukum dalam pelaksanaan fungsi PTUN sehingga dapat

memberikan perlindungan hukum bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS)


BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Sengketa Kepegawaian

Sengketa Kepegawaian adalah sengketa/perselisihan yang timbul sebagai

akibat ditetapkannya Keputusan Tata Usaha Negara di bidang kepegawaian oleh

Badan atau Pejabat yang berwenang mengenai kedudukan, kewajiban, hak dan

pembinaan Pegawai Negeri Sipil (Soegeng Prijodarminto, 1993:12-13). Masalah

Sengketa Kepegawaian diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, yang menyatakan bahwa penyelesaian

sengketa di bidang kepegawaian dilakukan melalui peradilan untuk itu, sebagai

bagian dari Peradilan Tata Usaha Negara yang dimaksud dalam Undang-Undang

No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang No. 5 Tahun

1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Sengketa Kepegawaian merupakan

salah satu bagian dari sengketa tata usaha negara dan keputusan/penetapan di

bidang kepegawaian merupakan objek sengketa tata usaha negara dari Peradilan

Tata Usaha Negara.

2. Penyelesaian Sengketa Kepegawaian

Sengketa kepegawaian merupakan keadaan yang tidak dikehendaki oleh

setiap Pegawai Negeri Sipil, tetapi harus diselesaikan sesuai dengan peraturan

perundang undangan yang berlaku, sehingga yang bersangkutan memperoleh

penyelesaian secara adil dan obyektif.Apabila satu pihak belum merasa puas atas

keputusan dari pejabat yang berwenang menghukum, maka dia dapat mengajukan

upaya administratif,apabila belum memperoleh apa yang diharapkan, selanjutnya

dapat menempuh jalan mengajukan keberatan kepada badan peradilan yang lebih
tinggi, yaitu mengajukan keberatan melalui BAPEK, Peradilan Tata Usaha Negara

atau mengajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung.

3. Permasalahan Sengketa Kepegewaian

Penyebab sengketa kepegawaian bagi pegawai negeri sipil dapat

dikemukakan sebagai berikut:

Kesalahan penulisan identitas PNS, Masalah penggajian yang tidak sesuai dengan

system penggajian, Masalah Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan yang keliru

oleh Pejabat penilai, Masalah penjatuhan hukuman disiplin yang dilakukan atasan,

yang tidak sesuai dengan berat ringannya pelanggaran disiplin yang diperbuat,

Masalah cuti, Masalah kenaikan pangkat yang selalu ditunda-tunda, Masalah

pensiun. Upaya hukum yang dapat ditempuh oleh Pegawai Negeri sipil akibat

penjatuhan sanksi disiplin terhadap dirinya sebagai berikut :

a. Keberatan

b. Banding

c. Gugatan

4. Analisis Kasus

Masalah Sengketa Kepegawaian di atur dalam : Pasal 35 UndangUndang

Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, yang menyatakan

penyelesaian sengketa di bidang kepegawaian dilakukan melalui peradilan untuk

itu, sebagai bagian dari Peradilan Tata Usaha Negara, Undang Undang No. 51

Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986

tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010

tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Sengketa Kepegawaian merupakan salah

satu bagian dari sengketa Tata Usaha Negara (TUN) dan keputusan/penetapan di
bidang kepegawaian merupakan objek dari Peradilan Tata Usaha Negara

(PERATUN). Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, merumuskan

pengertian Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang

Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum perdata dengan Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat

dikeluarkannya keputusan TUN. Keputusan Tata Usaha Negara merupakan

penetapan tertulis yang dilakukan oleh Negara atau pejabat yang berwenang, berisi

tindakan hukum berdasarkan praturan perundangundangan bersifat konkrit,

individual dan final. Adapun yang menjadi penyebab sengketa kepegawaian bagi

pegawai negeri sipil dapat dikemukakan sebagai berikut (Hadjon, Philipus.

2008:27):

a. kesalahan penulisan identitas PNS seperti nama, tanggal lahir, NIP, pangkat

atau jabatan, kesalahan dalam keputusan kenaikan pangkat, kesalahan

dalam keputusan pengangkatan dalam jabatan struktural dan fungsional,

ketidakpuasan PNS dalam keputusan penjatuhan hukuman disiplin.

b. Masalah penggajian yang tidak sesuai dengan system penggajian atau tidak

berdasarkan pada beban tugas yang dipikulnya, yang merupakan tanggung

jawabnya maupun sistem penggajian yang tidak sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

c. Masalah Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan yang keliru oleh Pejabat

penilai dalam hal ini atau langsung dari Pegawai Negeri Sipil yang

bersangkutan.

d. Masalah penjatuhan hukuman disiplin yang dilakukan atasan, yang tidak

sesuai dengan berat ringannya pelanggaran disiplin yang diperbuat.

e. Masalah cuti yang disebabkan adanya permintaan cuti dari Pegawai Negeri

Sipil yang merupakan haknya sebagai Pegawai Negeri Sipil yang tidak
diloloskan oleh atasan karena semata-mata alasan demi kepentingan dinas

yang mendesak.

f. Masalah kenaikan pangkat yang selalu ditunda-tunda hanya semata mata

alasan prestasi kerja ataupun disiplin yang dimiliki oleh Pegawai Negeri

Sipil yang bersangkutan masih kurang

g. Masalah pensiun, terjadi akibat seretnya pembayaran uang pensiun atas

jasa-jasa dari pengabdian yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil yang

bersangkutan ataupun adanya anggapan dari atasan bahwa ahli waris dari

penerima pensiun tidak mesti diterimanya.

Penjelasan Pasal 48 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986

mengungkapkan bahwa yang dimaksudkan dengan upaya administratif adalah

suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seorang atau badan hukum perdata

apabila ia tidak puas terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara, yang

dilaksanakan dilingkungan pemerintah sendiri. Upaya Administratif itu terdiri

dari (Tedy Sudrajat, 2008:129) :

a. Keberatan, yakni jika penyelesaiannya harus dilakukan sendiri oleh Badan

atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan itu.

b. Banding, yakni apabila penyelesaiannya dilakukan oleh instansi atasan atau

instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan. Adapun

yang menjadi syarat untuk mengajukan keberatan kepada Badan

Pertimbangan Kepegawaian adalah : Pegawai Negeri Sipil yang

bersangkutan berpangkat Pembina Gol.Ruang IV/a kebawah. Pegawai

Negeri Sipil tersebut dijatuhi hukuman disiplin yang berupa pemberhentian

dengan hormat, tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil

atau pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri

Sipil.Untuk itu akan diungkapkan pola kerja dan cara penyelesaian sengketa
kepegawaian,yang berkaitan dengan Badan Pertimbangan Kepegawaian.

Perlu ditetapkan hal tersebut karena dalam kenyataannya cara penyelesaian

sengketa kepegawaian oleh Badan Pertimbangan Kepegawaian kurang

mendukung perlindungan hukum bagi Pegawai Negeri Sipil, antara lain

terlihat dalam hal sebagai berikut :

a. Putusan Badan Pertimbangan Kepegawaian didasarkan juga pada

kebijaksanaan,sehingga masih diwarnai oleh unsur subyektifitas.

b. Pemeriksaan dalam sidang hanya dilakukan terhadap berkas

perkara, tidak terhadap Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dan

pejabat yang berwenang sebagai para pihak dalam sengketa tersebut.

Di lain pihak berkas perkara sering tidak lengkap dikirim oleh

instansi yang bersangkutan.

Upaya terakhir yang bisa dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil terhadap

keputusan Penjatuhan hukuman disiplin adalah mengajukan gugatan

melalui Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Didalam UU. 9 Tahun

2004 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun1986

tentang Peradilann Tata Usaha Negara, dinyatakan dalam Pasal 48

sebagai berikut (R. Wiyono, 2009:109) :


SENGKETA TATA USAHA NEGARA DAN KEPUTUSAN

TATA USAHA NEGARA

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang

No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sengketa TUN adalah sengketa yang

timbul antara orang atau Badan Hukum perdata baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat

dikeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan Keputusan Tata Usaha Negara menurut

ketentuan pasal 1 angka (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang No. 9 Tahun

2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh

Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final yang

menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Dari rumusan pasal

tersebut, ternyata Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan dasar lahirnya sengketa Tata

Usaha Negara mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1. Penetapan tertulis;

2. Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara;

3. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara;

4. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

5. Bersifat konkrit, individual dan final;

6. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Ke-6 (enam) elemen tersebut bersifat komulatif, artinya untuk dapat disebut Keputusan

Tata Usaha Negara yang dapat disengketakan di Pengadilan Tata Usaha Negara harus memenuhi

keseluruhan elemen tersebut. Jenis-jenis Keputusan Tata Usaha Negara/ KTUN (Beschikking)

menurut doktrin (pendapat/ teori para pakar administrasi Negara) terdapat berbagai rumusan,

antara lain menurut P. De Haan (Belanda), 4 dalam bukunya : “Bestuursrecht in de Sociale


Rechtsstaat”, (Philipus M. Hadjon; 2002) dikelompokkan sebagai berikut :4 1. KTUN Perorangan

dan Kebendaan (Persoonlijk en Zakelijk); ¾ KTUN perorangan adalah keputusan yang diterbitkan

kepada seseorang berdasarkan kualitas pribadi tertentu, dimana hak yang timbul tidak dapat

dialihkan kepada orang lain. Contoh : SK PNS, SIM,dsb. ¾ KTUN kebendaan adalah keputusan yang

diterbitkan berdasarkan kualitas kebendaan atau status suatu benda sebagai obyek hak, dimana

hak yang timbul dapat dialihkan kepada orang lain. Contoh : Sertipikat Hak atas Tanah, BPKP/STNK

kendaraan bermotor, dsb. 2. KTUN Deklaratif dan Konstitutif (Rechtsvastellend en

Rechtsscheppend); ¾ KTUN deklaratif adalah keputusan yang sifatnya menyatakan atau

menegaskan adanya hubungan hukum yang secara riil sudah ada. Contoh : Akta Kelahiran, Akta

Kematian, dsb. ¾ KTUN konstitutif adalah keputusan yang menciptakan hubungan hukum baru

yang sebelumnya tidak ada, atau sebaliknya memutuskan hubungan hukum yang ada. Contoh :

Akta Perkawinan, Akta Perceraian, dsb 3. KTUN Bebas dan Terikat (Vrij en Gebonden); ¾ KTUN

bebas adalah keputusan yang didasarkan atas kebebasan bertindak (Freis Ermessen/

Discretionary Power) dan memberikan kebebasan bagi pelaksananya untuk melakukan penafsiran

atau kebijaksanaan. Contoh : SK Pemberhentian PNS yang didasarkan hukuman disiplin yang telah

diatur secara jelas dan rinci di dalam perundang-undangan. 4 Philipus M. Hadjon,

SH.,Prof.,DR.,Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajag Mada University Press, 2002,

Hal.143-145 5 4. KTUN yang member beban dan yang menguntungkan (Belastend en

Begunstigend); ¾ KTUN yang member beban adalah keputusan yang memberikan kewajiban.

Contoh : SK tentang Pajak, Restribusi, dll ¾ KTUN yang menguntungkan adalah keputusan yang

memberikan keuntungan bagi pihak yang dituju. Contoh : SK pemutihan pembayaran pajak yang

telah kadaluwarsa. 5. KTUN Seketika dan Permanen (Einmaligh en Voortdurend). ¾ KTUN seketika

adalah keputusan yang masa berlakunya hanya sekali pakai. Contoh : Surat ijin pertunjkan

hiburan, music, olahraga, dll ¾ KTUN pemanen adalah keputusan yang masa berlakunya untuk

selama-lamanya, kecuali ada perubahan atau peraturan baru. Contoh : Sertipikat Hak Miik

Sedangkan menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang No. 9 Tahun 2004

tentang Peradilan Tata Usaha Negara: 1. Keputusan Tata Usaha Negara Positif (Pasal 1 angka (3));
Yaitu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi

tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang

atau Badan Hukum Perdata. 2. Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif (Pasal 3 angka (1)) Yaitu

keputusan Tata Usaha Negara yang seharusnyadikeluarkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha

Negara menurut kewajibannya tetapi ternyata tidak diterbitkan, sehingga menimbulkan kerugian

bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata. 6 Contoh : Dalam kasus kepegawaian, seorang atasan

berkewajiban membuat DP3 atau mengusulkan kenaikan pangkat bawahannya, tetapi atasannya

tidak melakukan. 3. Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif Negatif (Pasal 3 ayat (2)) Yaitu keputusan

Tata Usaha Negara yang dimohonkan seseorang atau Badan Hukum Perdata, tetapi tidak

ditanggapi atau tidak diterbitkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan.

Sehingga dianggap bahwa Badan/Pejabat Tata Usaha Negara telah mengeluarkan keputusan

penolakan (negatif). Contoh : Pemohon IMB, KTP, Sertipikat, dsb apabila dalam jangka waktu yang

ditentukan tidak dijawab/diterbitkan, maka dianggap jelas-jelas menerbitkan keputusan Tata

Usaha Negara yang menolak. Dalam praktek administrasi pemerintahan terdapat beberapa KTUN

yang berpotensi menimbulkan sengketa Tata Usaha Negara, yaitu antara lain : 1) Keputusan

tentang perijinan; Secara yuridis suatu ijin adalah merupakan persetujuan yang diberikan

pemerintah (Badan/Pejabat TUN) kepada seseorang atau Badan Hukum Perdata untuk melakukan

aktivitas tertentu. Menurut Philipus M. Hadjon5 tujuan diadakannya perijinan pada pokoknya

adalah untuk : a. Mengarahkan atau mengendalikan aktivitas tertentu (missal : ijin prinsip, IMB,

ijin pertambangan, ijin pengusahaan hutan, ijin berburu, dsb); b. Mencegah bahaya atau

gangguan (missal : gangguan/ Hinder Ordanatie, amdal, dsb); c. Melindungi obyek tertentu (missal

: ijin masuk obyek wisata, cagar budaya, dsb); d. Distribusi benda atau barang langka (missal : ijin

trayek, ijin perdagangan satwa langka, dsb); 5 Philipus M. Hadjon, SH.,Prof.,DR., Pelaksanaan

Otonomi Daerah Berkaitan dengan Perijinan yang Rawan Gugatan, Makalah Temu Ilmiah HUT

PERATUN XIII, Medan, 2004. 7 e. Seleksi orang atau aktivitas tertentu (missal : SIM, ijin memiliki

senjata api, ijin penelitian, dsb). 2) Keputusan tentang status hukum, hak dan kewajiban; ¾ Status
hukum perorangan atau badan hukum, misalnya akta kelahiran, akta kematian, akta

pendirian/pembubaran badan hukum, KTP, Ijasah, sertipikat (Tanda Lulus Ujian), dll. ¾ Hak/

kewajiban perorangan atau badan hukum terhadap suatu barang atau jasa, misalnya

pemberian/pencabutan hak atas tanah, hak untuk melakukan pekerjaan, dsb. 3) Keputusan

tentang kepegawaian. ¾ Keputusan tentang mutasi PNS, dimana pegawai yang dimutasi

keberatan karena merasa dirugikan, menghambat karier atau karena mutasi itu dianggap sebagai

hukuman disiplin terselubung; ¾ Keputusan tentang hukuman disiplin PNS, dimana pegawai yang

bersangkutan menganggap hukuman itu tidak sesuai dengan prosedur atau tidak adil; ¾

Keputusan tentang pemberhentian PNS, misalnya dalam rangka perampingan pegawai atau

likuidasi suatu instansi, dsb. Menurut ketentuan pasal 35 Undang-Undang No. 43 Tahun 1999

tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian: 1)

Sengketa kepegawaian diselesaikan melalui Peradilan Tata Usaha Negara; 2) Sengketa

kepegawaian sebagai akibat pelanggaran terhadap peraturan disiplin PNS diselesaikan melalui

upaya banding administratif kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEG). 3. PENGERTIAN

UPAYA ADMINISTRASI Menurut Penjelasan pasal 48 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo Undang-

Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, upaya administratif adalah

merupakan prosedur yang ditentukan dalam suatu peraturan perundang-undangan untuk 8

menyelesaikan suatu sengketa Tata Usaha Negara yang dilaksanakan dilingkungan pemerintah

sendiri (bukan oleh badan peradilan yang bebas), yang terdiri dari : a. Prosedur keberatan; b.

Prosedur banding administratif; Berdasarkan rumusan penjelasan pasal 48 tersebut maka upaya

administratif merupakan sarana perlindungan hukum bagi warga masyarakat (orang

perorangan/badan hukum perdata) yang terkena Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking)

yang merugikannya melalui Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilingkungan pemerintah itu

sendiri sebelum diajukan ke badan peradilan. 4) DASAR HUKUM UPAYA ADMINISTRASI Dalam

pasal 48 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo UndangUndang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan

Tata Usaha Negara, disebutkan sebagai berikut : 1) Dalam hal suatu Badan/Pejabat Tata Usaha

Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk


menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka sengketa Tata

Usaha Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia; 2)

Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha

Negara sebagaimana dimaksud ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah

digunakan. 5) BENTUK UPAYA ADMINISTRASI DAN CARA PENGUJIANNYA Berdasarkan penjelasan

pasal 48 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara, bentuk upaya administrasi ada 2 (dua) yaitu : 1. Banding

administrasi; 2. Keberatan 9 Ad : 1) Banding administrasi; Apabila penyelesaian sengketa Tata

Usaha Negara tersbut dilakukan oleh instasi lain dari Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang

menerbitkan Keptusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan. Contoh : ¾ Keputusan Badan

Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK) berdasarkan No. 30 Tahun 1980 tentang Disiplin PNS; ¾

Keputusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) berdasar Undang-Undang

No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perburuhan dan Undang-Undang No. 12 Tahun 1964

tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta; ¾ Keputusan Gubernur, berdasar

pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Gangguan, Staasblad 1926 No. 226; ¾ Keputusan Panitia Tenaga

Kerja Migas di lingkungan Departemen Pertambangan bagi perusahaan minyak dan gas bumi

(PERTAMINA); ¾ Komisi Banding Paten berdasarkan PP No. 31 Tahun 1995, sehubungan dengan

adanya Undang-Undang No. 6 Tahun 1989 tentang Paten; ¾ Komisi Banding Merek berdasarkan

PP No. 32 Tahun 1995, sehubungan dengan adanya Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 tentang

Merek; ¾ Majelis Pertimbangan Pajak sebagai banding administrasi perpajakan; ¾ Dengan

berkembangnya perusahaan-perusahaan milik Negara dari PERJAN dan PERUM menjadi PERSERO

(BUMN) tersebut membuat ketentuan sendiri tentang operasional, kepegawaian, dll. 2).

Keberatan ; Apabila penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus dilakukan sendiri

oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara

tersebut. 10 Contoh : ¾ Pasal 27 Undang-Undang No. 9 Tahun 1994 tentang ketentuanKetentuan

Umum Perpajakan; ¾ Pemberian hukuman disiplin sedang dan berat (selain pemberhentian

dengan hormat dan tidak dengan hormat bagi (PNS). Pengujian (Toetsing) dalam upaya
administrasi berbeda dengan pengujian di Peradilan Tata Usaha Negara. Di Peradilan Tata Usaha

Negara pengujiannya hanya dari segi penerapan hukum sebagaimana ditentukan pasal 53 ayat (2)

huruf (a) dan (b) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang No.

5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu apakah keputusan Tata Usaha Negara

tersebut diterbitkan dengan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

dan melanggar Asas-Asas Umum Pemerintah Yang Baik (AAUPB), sedangkan pada prosedur upaya

administrasi, pengujiannya dilakukan baik dari segi penerapan hukum maupun dari segi

kebijaksanaan oleh instansi yang memutus, sehingga pengujiannya dilakukan secara lengkap. Sisi

positif upaya administrasi yang melakukan penilaian secara lengkap suatu Keputusan Tata Usaha

Negara baik dari segi Legalitas (Rechtmatigheid) maupun aspek Opportunitas (Doelmatigheid),

para pihak tidak dihadapkan pada hasil keputusan menang atau kalah (Win or Loose) seperti

halnya di lembaga peradilan, tapi denganpendekatan musyawarah. Sedangkan sisi negatifnya

dapat terjadi pada tingkat obyektifitas penilaian karena Badan/Pejabat tata Usaha Negara yang

menerbitkan Surat Keputusan kadang-kadang terkait kepentingannya secara langsung ataupun

tidak langsung sehingga mengurangi penilaian maksimal yang seharusnya ditempuh.6 Tidak

semua peraturan dasar penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara mengatur mengenai upaya

administrasi, oleh karena itu adanya 6 Soemaryono, SH dan Anna Erliyana, SH.,MH, Tuntunan

Praktek Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Pramedya Pustaka, Jakarta, 1999, hal.8. 11

ketentuan pasal 48 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo UndangUndang No. 9 Tahun 2004

tentang Peradilan Tata Usaha Negara merupakan aspek prosedural yang sangat penting yang

berkaitan dengan kompetensi atau wewenang untuk mengadii sengketa Tata Usaha Negara.

Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 2 tahun 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan

Ketentuan Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,

disebutkan : IV.1. Yang dimaksud Upaya Adiministratif adalah : a. Pengajuan surat keberatan

(Bezwaarscriff Beroep) yang diajukan kepada Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang

mengeluarkan Keputusan (Penetapan/ Beschikking) semula; b. Pengajuan banding administratif

(administratif Beroep) yang ditujukan kepada atasan Pejabat atau instansi lain dari Badan/Pejabat
Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan yang berwenang memeriksa ulang keputusan

Tata Usaha Negara yang disengketakan. IV.2. a. Apabila peraturan dasarnya hanya menentukan

adanya upaya administratif berupa peninjauan surat keberatan, maka gugatan terhadap

Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan diajukan kepada pengadilan Tata Usaha Negara;

b. Apabila peraturan dasarnya menentukan adanya upaya adiministratif berupa surat keberatan

dan atau mewajibkan surat banding administratif, maka gugatan terhadap Keputusan Tata Usaha

Negara yang telah diputus dalam tingkat banding administratif diajukan langsung kepada

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam tingkat pertama yang berwenang. Ketentuan tersebut

sesuai pula dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 48 ayat (2) yang menyatakan “pengadilan

baru berwenang memeriksa, menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana 12

dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan “ jo

ketentuan pasal 51 ayat (3) ditentukan bahwa dalam hal suatu sengketa dimungkinkan adanya

administratif maka gugatan langsung ditujukan kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara

apabila keputusannya merupakan keputusan banding administratif. Berdasarkan ketentuan-

ketentuan tersebut maka dapat dibuat bagan “Proses Penyelesaian Upaya Administrasi” sebagai

berikut : 6. PENUTUP Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai

berikut :7 1. Apakah suatu sengketa Tata Usaha Negara harus diselesaikan melalui upaya

administrasi atau tidak, adalah tergantung pada 7 Soemaryono, SH dan Anna Erliyana, SH.,MH,

Loc.Cit., Hal.7 Sengketa Tata Usaha Negara Upaya Administrasi Banding Administratif

(Administratief Beroep) Keberatan Administratif (Administratief Bezwaar) MA.RI PTUN PT.TUN 13

peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara

tersebut 2. Istilah upaya administratif hanya ada dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1986 jo

Undang-Undang No 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sedangkan peraturan

perundangundangan memakai istilan yang bermacam-macam; 3. Untuk membedakan apakah

sengketa harus diselesaikan melalui banding administratif atau keberatan dapat dilihat dari

pejabat atau instansi yang berwenang menyelasaikannya; a. Apabila diselesaikan oleh instansi

atasan Pejabat yang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut atau instansi yang
lainnya dari Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara,

maka penyelesaiannya tersebut disebut dengan “BANDING ADMINISTRATIF”; b. Apabila

diselesaikan instansi atau Pejabat yang mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara tersebut,

penyelesaian tersebut disebut dengan “KEBERATAN”. 4. Cara pengujian penyelesaian melalui

upaya administratif adalah dilakukan secara lengkap dalam arti dari segi hukum dan

kebijaksanaan, sedangkan pengujian di Pengadilan hanya dari segi hukumnya saja; 5. Dalam hal

masih tidak puas terhadap penyelesaian melalui upaya administratif, maka dapat ditempuh upaya

antara lain : a. Setelah melalui upaya administratif maka dapat diajukan gugatan ke Pengadilan

Tinggi Tata Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat pertama; b. Setelah melalui upaya

keberatan, maka dapat diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. 14 DAFTAR PUSTAKA Indro

harto, SH, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II, Edisi

Baru, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994. Soemaryono, SH dan Anna Erliyana, SH.,MH.,

Tuntutan Praktek Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Pramedya Pustaka, Jakarta, 1999.

Philipus M. Hadjon, SH.,Prof.,DR., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia ( Introduction to The

Indonesian Administratif Law), Gadjah Mada University Press, 2002. , Pelaksanaan Otonomi

Daerah Berkaitan Dengan Perijinan Yang Rawan Gugatan, Makalah Temu Ilmiah HUT PERATUN

XIII, Medan, 2004. Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UndangUndang No. 5 Tahun 1986

tentang Peradilan Tata Usaha Negara. SEMA RI No. 2 Tahun 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan

Beberapa Ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian permasalahan yang telah dibahas, maka dapat ditarik

kesimpulan yakni sebagai berikut :

1. Berdasarkan hukum positif di Indonesia, penyelesaian sengketa kepegawaian

mengenal 2 (dua) sistem penyelesaian yaitu melalui Badan Pertimbangan

Kepegawaian (BAPEK) dan melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Khusus untuk sengketa-sengketa tata usaha negara yang harus diselesaikan

terlebih dahulu melalui upaya administrasi maka Pengadilan Tinggi TUN dapat

memeriksa, memutus dan menyelesaikannya sebagai badan peradilan tingkat

pertama dan terhadap putusan PT.TUN tersebut tidak tersedia upaya hukum
banding melainkan langsung mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah

Agung. Sistem peradian Tata Usaha Negara di Indonesia dapat dikatakan telah

memberikan perlindungan hukum kepada PNS namun belum optimal

dikarenakan adanya kendala yuridis dalam pelaksanaan putusan yang

dikeluarkan oleh PTUN.

2. Kendala Yuridis yang dihadapai oleh PTUN dalam penyelesaian sengketa

kepegawaian berkaitan dengan :

a. Kendala yang diakibatkan oleh Sistem Perundang-Undangan yang

mengatur tentang penyelesaian sengketa kepegawaian, antara lain :

1. Tidak diaturnya kewajiban pelaporan pelaksanaan putusan inkrah oleh

tergugat.

2. Adanya peluang yang dibuka oleh Undang-Undang Nomor 5 tahun

1986 dengan memberikan kewenangan kepada badan lain melalui

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2011 tentang BAPEK dalam

menyelesaikan sengketa kepegawaian melalui upaya administratif.

3. Tenggang Waktu pengajuan Gugatan yang singkat.

4. Dalam hal ganti rugi, adanya dasar hukum yang membuka peluang

memperbolehkan tergugat untuk mengulur-ngulur waktu dalam

pembayaran ganti rugi.

5. Terbukanya peluang terjadinya sengketa baru akibat tidak adanya

peraturan yang mengatur tata cara pengembalian posisi kepegawaian

penggugat.

b. Kendala yang diakibatkan oleh Sinkronisasi dan Harmonisasi peraturan

perundangan

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN tidak


menyebutkan eksistensi PTUN dalam menyelesaiakan sengketa

kepegawaian hanya mengatur sampai pada tahap banding

administratif saja.

2. Lahirnya Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang

Administrasi Pemerintahan yang mengatur secara materil

penyelenggaraan administrasi pemerintahan tidak diikuti


dengan revitalisasi undang-undang PTUN serta pembentukan

peraturan pelaksananya sehingga beracara dalam peradilan tata

usaha negara tidak berjalan optimal.

a. Kendala dalam proses eksekusi putusan.

1. Dalam peradilan tata usaha negara tidak dikenal adanya lembaga

lain yang membantu dalam pengawasan pelaksanaan keputusan

inkrah bagi tergugat.

2. Eksekusi ganti rugi yang rumit .

3. Tidak sempurnanya pelaksanaan putusan peradilan akibat

penyelesaian sengketa memakan waktu yang cukup lama.

1. Langkah yang dapat ditempuh pemerintah dalam memberikan perlindungan

hukum yang optimal kepada PNS berupa:

a. Upaya Untuk mengatasi Kendala yang diakibatkan oleh Sistem

Perundang-Undangan yang mengatur tentang penyelesaian sengketa

kepegawaian dengan cara :

1. Dikehendakinya keaktifan hakim TUN dalam menggali AAUPB yang

selaras dengan pancasila.

2. Adanya perbaikan dalam hal menghadapi kendala dari aspek

perundang-undangan. Hal tersebut yang berkaitan dengan mekanisme

pengaturan upaya paksa, sanksi uang paksa dan sanksi administrasi

lainnya yang di tujukan bagi pejabat tata usaha negara. Diperluasnya

kewenangan PTUN dirasa perlu untuk menampung system

penyelesaian ganti rugi dengan


pemberian ganti rugi yang memenuhi rasa keadilan masyarakat tidak

sekedar mempertimbangkan ganti rugi secara legal formil dalam

peraturan perundangan yg masih mengacu pada PP 43 Tahun 1991.

b. Upaya Untuk Mengatasi Kendala yang diakibatkan oleh Sinkronisasi dan

Harmonisasi peraturan perundangan dengan dilaksanakanya revitalisasi

undang-undang PTUN terkait dengan lahirnya UU ASN dan UU

Administrasi Pemerintahan.

c. Upaya untuk mengatasi Kendala dalam proses eksekusi putusan yaitu

dengan:

1. Upaya pengoptimalam perlindungan hukum Penggugat sebagai pencari

keadilan dapat dilakukan dengan pengoptimalan penerapan sanksi

administratif sebagai upaya paksa terhadap Pejabat TUN dalam

pelaksanaan Putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap.

2. Sanksi tegas merupakan jalan satu-satunya sarana efektif memaksa

orang-orang yang berada dibalik jabatan untuk patuh terhadap hukum.

Bila memungkinkan, dibentuknya suatu lembaga yang bertanggung

jawab kepada Presiden khusus menangani masalah pelaksanaan putusan

PTUN. Lembaga ini akan efektif dan berfungsi karena akan mengurus

tingkah laku pejabat seIndonesia yang berpotensi membangkang

terhadap putusan PTUN, namun kewenangan tersebut tidak menjadi

prioritas Presiden.
3.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan diatas, maka saran yang dapat

diberikan antara lain :

1. Lebih diperhatikannya penerpan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik

bagi pejabat TUN yeng membuat KTUN, agar KTUN yang dibuat tidak

merugikan hak-hak dan kepentingan orang lain, dengan demikian sengketa

yang ditimbulkan dari adanya pelanggaran hak-hak orang lain khususnya di

bidang kepegawaian dapat diminimalisir.

2. Dibuatnya revisi mekanisme pelaksanaan penyelesaian sengketa kepegawaian

oleh pemerintah, mengingat penyelesaian sengketa kepegawaian seperti yang

tercantum pada Pasal 129 UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN hanya

mencantumkan tentang penyelesaian melalui upaya administratif (keberatan

administratif dan banding administratif) saja. Seharusnya penyelesaian

sengketa kepegawaian akan lebih efektif dan dapat memberikan perlindungan

hukum bagi para pencari keadilan apabila diberlakukannya upaya administratif

juga melalui PTUN, seperti yang tercantum dalam pasal 35 UU Nomor 43

Tahun 1999. Adanya penegasan kembali pada UU Nomor 5 Tahun 2014

tentang keterlibatan PTUN secara langsung dalam penyelesaian sengketa

kepegawaian. Adanya pembagaian mekanisme penyelesaian sengketa

kepegawaian
yang berkaitan dengan sistem merit dapat diselesaikan melalui upaya

administrasi saja mengingat UU ASN ini adalah Undang-Undang profesi,

namun sengketa lain yang tidak berkaitan dengan sistem merit upaya

penyelesaiannya diberlakukan dua mekanisme yaitu upaya administrasi

(keberatan administrasi) dan apabila belum puas, maka pihak yang merasa

dirugikan dapat mengajukan gugatan ke PTUN sebagai tingkat pertama.

3. Revitalisasi Undang-Undang PTUN terkait dengan lahirnya Undang- Undang

Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebagai Undang-

Undang yang mengatur PTUN secara materiil.

4. Adanya suatu regulasi yang jelas yang mengatur tentang eksekusi putusan

PTUN yang sudah mempunyai kekuatan hukum, dengan tujuan agar

meningkatkan kepatuhan yuridis bagi badan/pejabat TUN yang dikenai

putusan PTUN mengingat pada PTUN tidak mengenal adanya pihak

eksekutor putusan.

5. Adanya pengawasan yang optimal dari PTUN terhadap badan/pejabat TUN

yang dikenai putusan PTUN dengan mewajibkan pihak yang dikenai putusan

PTUN tersebut melaporkan jalannya pelaksanaan putusan. Diharapkan

dengan adanya mekanisme pelaporan pelaksanaan putusan tersebut dapat

menjadi suatu sarana kontrol bagi badan/pejabat TUN yang dikenai putusan

PTUN.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai