Anda di halaman 1dari 19

PUTUSAN PEMINDAIAN MELEBIHI TUNTUTAN

DALAM PERKARA KORUPSI POLITIK


(Kajian Putusan Nomor 1885K/PID.SUS/2015)

USULAN PENELITIAN SKRIPSI


Program Studi Hukum

Diajukan Oleh
LUSIANA ROSIYANTI
No.Pokok : 2018200014

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2021
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat

yang adil dan makmur. Selama ini korupsi lebih banyak dimaklumi oleh

berbagai pihak daripada memberantasnya, padahal tindak pidana korupsi

adalah salah satu jenis kejahatan yang dapat menyentuh berbagai kepentingan

yang menyangkut hak asasi, ideologi negara, perekonomian, keuangan negara,

moral bangsa, dan sebagainya, yang merupakan perilaku jahat yang cenderung

sulit untuk ditanggulangi.1

Harapan besar akan terwujudnya pencegahan dan pemberantasan

korupsi sebagaimana cita-cita luhur reformasi yang digelorakan elemen

bangsa saat itu, ternyata hanya tinggal harapan. Saat ini, tindak pidana korupsi

bukannya hilang terkikis oleh “taring” penegak hukum, akan tetapi oleh

banyak pengamat dan penggiat anti korupsi dinilai-nilai semakin menjadi-jadi.

Untuk itulah negara hadir sebagai penyelenggara pemerintahan dalam

menangani permasalahan tindak pidana korupsi,2

1
Ade Fajar Rezki, Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
2
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Dan Hukum Islam,, Diakses Pada Tanggal 1 Oktober pukul 14.12

1
2

Upaya untuk memberantas korupsi di Indonesia sebetulnya sudah

sangat banyak dilakukan, tetapi kenyataannya bukan berkurang malahan

korupsi seakan menyebar dengan merata sampai ke daerah, dan uang yang

dikorup bisa dalam jumlah yang juga sangat fantastis. Pola korupsi mulai dari

yang sederhana dan dengan modus yang canggih, dapat dilakukan baik dari

kalangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, hingga membuat keadaan

semakin sulit untuk memetakan dari mana dahulu untuk membersihkan

korupsi.3

Penghukuman merupakan salah satu strategi dalam mencegah korupsi,

namun tetap saja hal itu masih merupakan hal yang di anggap sepele oleh

pada tersangka kasus korupsi tersebut, korupsi bukanlah merupakan

penyimpangan perilaku namun merupakan tindakan yang direncanakan secara

matang dengan pehitungan untung dan rugi. Pelanggar yang memiliki status

terhormat ataupun kekuasaan, mereka akan dengan mudahnya menghindari

jeratan hukum dengan pola melemahkan sistem hukum itu sendiri, sehingga

orang lain hanya bisa melihat dan merasakan kerugian dari perkara korupsi itu

sendiri, namun tidak dapat membuktikan hal tersebut.4

Sudah bukan rahasia umum bahwa ongkos untuk berkompetisi dan

mendapatkan kekuasaan melalui mekanisme politik electoral sangat besar,

mulai dari mencari dukungan dan rekomendasi partai politik, hingga

3
Artidjo Alkostar (2009). Korelasi Korupsi Politik : 163).
4
Mulyadi, L. (2010). Seraut wajah putusan hakim dalam hukum acara pidana Indonesia. Bandung: Citra Adtya Bhakti.
3

mensosialisasikan dirinya saat kampanye, serta waktu pencoblosan (biaya

saksi di tiap tempat pemungutan suara). Komitmen untuk melunasi hutang

dukungan “ekonomi” tersebut akan terus “menghantui” pejabat yang berhasil

menduduki kekuasaan pemerintahan. Tak terelakkan tercipta perbuatan

korupsi politik dalam perjalanan hubungan transaksional (politik dan

ekonomi) yang penuh dengan konspirasi guna mengeruk keuntungan dengan

cara merugikan keuangan negara.

Munculnya korupsi politik berbanding lurus dengan lemahnya atau

tidak adanya kontrol terhadap praktik penyelenggaraan kekuasaan negara.

Lemahnya kontrol ini dapat ditimbulkan karena kondisi sosial ekonomi dan

pendidikan masyarakat yang tidak memadai. Selain itu juga dapat muncul

karena praktik kekuasaan politik itu sendiri yang opresif dan menyimpang

dari norma moral dan hukum yang adil. Keberadaan praktik kekuasaan yang

korup ini melalui budaya politik selalu berupaya mendapatkan legitimasi

sosial politik.5

Memang untuk masalah putusan pemidanaan melebihi tuntutan adalah

sesuatu yang umum terjadi di mana atas pertimbangan dan keyakinan hakim

menjatuhkan vonis melebihi apa yang dimohonkan oleh jaksa penuntut

umum, asalkan pidana yang dijatuhkan tersebut masih dalam koridor undang-

undang. Artinya hakim dapat memutus lebih tinggi dari tuntutan jaksa

5
Pramono, A. (2013, Januari). Kekuasaan & hukum dalam perkuatan pemberantasan korupsi. Jurnal
MMH, 42(1), 105-113
4

penuntut umum, namun tidak boleh melebihi batasan maksimum ancaman

pidana yang ditentukan oleh undang-undang. Selain itu juga tidak

diperkenankan memberikan putusan pemidanaan yang jenis pidananya

(strafsoort) tidak ada acuannya dalam KUHP.6

B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang Masalah yang di paparkan sebelumnya, maka

Penulis merumuskan Identifikasi Permasalahan sbb:

a. Pemberian sanksi seberat-beratnya pada pelaku pelaku korupsi

politik.

b. Pemberian putusan pemidanaan yang sesuai terhadap para pelaku

tindak pidana korupsi politik.

2. Pembatasan Masalah

Setelah menguraikan latar belakang dan identifikasi masalah dalam

penelitian ini, penulis membatasi dalam pembahasan penelitian ini agar

tidak menyimpang dari pembahasan, Maka yang dibahas terbatas hanya

pada penuntutan dan pemidanaan kasus korupsi politik.

C. Rumusan Masalah
6
Patiro, Y.M. (2013). Antara perintah jabatan & kejahatan jabatan pegawai negeri sipil. Bandung: Keni Media.
5

1. Bagaimanakah eksistensi korupsidalam perundang-undangan Indonesia ?

2. Bagaimanakah praktik pemidanaan terhadap pelaku korupsi politik ?

3. Bagaimanakah filosofi putusan pemidanaan melebihi perkara korupsi

politik ?

D. Tujuan Penelitian

Maksud dan tujuan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Mengkaji dan menganalis eksistensi korupsi politik dalam perundang-

undangan di Indonesia.

2. Praktik pemidanaan terhadap pelaku korupsi politik.

E. Landasan Teori dan Landasan Konsepsional

1. Landasan Teori

Tindak pidana korupsi, disamping sudah diakui sebagai masalah

nasional juga sudah diakui pula sebagai masalah internasional. Tindak

pidana korupsi telah terjadi secara meluas, dan dianggap pula telah menjadi

suatu penyakit yang sangat parah yang tidak hanya merugikan keuangan

negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial

dan ekonomi masyarakat, menggerogoti demokrasi, merusak aturan

hukum, dan memundurkan pembangunan 7

Roben Hoddes mendefinisikan korupsi politik sebagai

penyalahgunaan kekuasaan oleh pemimpin politik dengan mengakumulasi

kekuasaan dan kekayaan serta untuk keuntungan pribadi (Transparancy


7
Mappise, S. (2015). Logika hukum pertimbangan putusan hakim. Jakarta: Kencana.
6

Internasional, 2004).Korupsi ini berbeda dengan korupsi birokrasi atau

korupsi kecil-kecilan dalam pelayanan publik karena pelakunya adalah

pejabat politik yang terpilih melalui pemilihan umum yang mendapatkan

otoritas untuk mengalokasikan sumberdaya publik dan bertanggungjawab

mewakili kepentingan publik. Bahkan, dalam perjalanannya, korupsi

menjadi ganjalan setelah reformasi konstitusi, khususnya korupsi yang

dilakukan di sektor publik, karena pelakunya mempunyai kekuasaan di

daerah. 8

Korupsi politik mencakup berbagai aspek yang berkaitan dengan

kekuasaan, karena figur sentral dari korupsi politik adalah subyek hukum

yang memiliki kekuasaan politik, menerima amanat dari rakyat, memiliki

mandat konstitusional dan hukum untuk menegakkan demokrasi dan

keadilan di berbagai aspek kehidupandan penghidupan rakyat. Korupsi

politik mengindikasikan ada penyalahgunaan amanat, mandat,

kewenangan yang dipercayakan oleh rakyat selaku pemegangkekuasaan

tertinggi didalam negara demokrasi.9 Korupsi politik dilakukan oleh

pelaku dengan menyalahgunakan kewenangan, sarana dan kesempatan

yang melekat kepada kedudukan dan posisi sosial politik yang ada

padanya. Penyalahgunaan posisi strategis pelaku korupsi politik

8
Alkostar, A. (2008 Januari). Mengkritisi fenomena korupsi di parlemen. Jurnal Hukum, 15(1), 1-13.
9
Adji, I.S. (2009). Korupsi & penegakan hukum. Jakarta: Diadit Media.
7

berdampak pada bidangpolitik, ekonomi, hukum dan pendidikan sosial

yang negatif bagi rakyat.

2. Landasan Konsepsional

a. Korupsi

Istilah korupsi memiliki etimologi aslinya dalam bahasa latin

yaitu corrumpere11 yang berarti merusak atau menghacurkan.

Menurut Heidenheimer12 istilah ini memiliki sejarah yang digunakan

dalam berbagai cara yang berbeda. Pada masa kuno, korupsi terkait

dengan penyuapan, sedangkan pada masa kini analisis telah begeser

pada fokus tentang perbedaan perilaku amoral dan illegal diantara

pemimpin politik. Pada tahun 74 sebelum Masehi, Markus Tulluis

Cicero Advokat Roma terkemuka, menggunakan istilah corrumpere

untuk menggambarkan tindakan melakukan penilaian untuk

menentukan keinginan seseorang13 Pada saat ini Beberapa perluasan

dari definisi korupsi telah dirumuskan pada banyak kamus. Tiga arti

korupsi yang paling terkait dengan penelitian ini didefinisikan dalam

Oxford English Dictionary sebagai:10

1. Tindakan illegal: Korupsi mengungkapkan bahwa

khususnya orang dalam otoritas menunjukkan perilaku tidak

jujur atau illegal.

10
J. Murray, J. Simpson, dan E. Weiner, The Oxford English Dictionary. Oxford, United Kingdom, Clarendon Press, 1989.
8

2. Tindakan yang Tidak Patut. Korupsi merupakan tindakan

atau akibat yang membuat seseorang berubah dari standar

perilaku bermoral menjadi amoral.

3. Merusak Sesuatu. Korupsi mengungkapkan perubahan atau

dirubah secara progresif kepada keburukan.

Keterlibatan pejabat negara dalam korupsi juga ditekankan

dalam definisi alternatif, dimana korupsi dilihat sebagai “suatu bentuk

pertukaran sosial rahasia melalui suatu kekuasaan politik atau

administratif untuk kepentingan pribadi dari satu bentuk atau bentuk

lainnya, dari pengaruh yang mereka laksanakan dalam kebaikan

mandate mereka atau fungsi mereka.26 Singkatnya, hampir setiap

definisi (atau lebih konseptual) korupsi memiliki focus utama terhadap

negara dan politik dan suatu perspektif yang berorientasikan

kebutuhan.11

Banyaknya modus yang terjadi di bidang korupsi politik

membutuhkan suatu analisis yang mendalam dan berkesinambungan

sehingga aparat penegak hukum maupun masyarakat dapat mengetahui

cara-cara yang dilakukan oleh koruptor politik untuk mencapai tujuan yang

diharapkannya. 12

11
de Sardan J.P.Olivier, A Moral Economy of Corruption in Afrika, in The Journal of Modern
African Studies, Vol. 37, No.1, 1999, hlm. 49.
12
Alkostar, A. (2008 Januari). Mengkritisi fenomena korupsi di parlemen. Jurnal Hukum, 15(1), 8
9

Dengan berbagai sumber daya dan pengaruh politiknya, pelaku

korupsi di bidang politik akan dapat mengkalkulasikan dengan cermat

berbagai kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi terkait dengan

tindak pidana korupsi di bidang politik yang akan dilakukannya untuk

menutupi agar korupsi di bidang politik itu tidak diketahui oleh aparat

penegak hukum. Kondisi ini menunjukkan bahwa korupsi di bidang

politik telah meluas, sistematis dan dengan cara-cara yang semakin

kompleks. Oleh karena itu, jika mengacu pada pedapat Syed Hussein

Alatas maka saat ini Indonesia sedang menghadapi fase penyakit

korupsi yang meluas. Dalam kacamata sosio-yuridis, Satjipto Rahardjo

mengelaborasi bahwa oleh bangsa Indonesia, korupsi yang meluas

dinamakan extra ordinary crime. Dan kita tidak berhenti pada

pemberian nama yang menyeramkan itu, tetapi juga mengandung

makna memberantas dengan cara yang sesuai dengan keparahan

korupsi. Dalam konteks ini Satjipto Rahardjo juga memaparkan bahwa

salah satu keberantakan yang parah dan kini sedang menjadi pusat

perhatian adalah korupsi.13

Tentang korupsi politik, Encyclopedia Americana

menjelaskan: “political corruption concern the illegal pursuit or

misuse of public office. Electoral corruption includes purchase of

13
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 16 No.1 - Maret 2019 : 59-75 diakses 20 september 2021 pukul 16.03
10

votes with money, promises of office or special favors, coercion,

intimidation, and interference with freedom of election.” Konsep ini

menerangkan adanya pemisahan antara korupsi politik dan korupsi

electoral. Di mana korupsi politik memberi perhatian kepada pencarian

yang tidak sah atau menyalahgunakan jabatan pemerintahan,

sedangkan korupsi electoral atau korupsi pemilihan umum meliputi

pembelian suara pemilih dengan uang, menjanjikan jabatan atau

kemudahan fasilitas, hadiah khusus, paksaan, intimidasi dan campur

tangan pada pemilihan umum yang bebas. Kendatipun ada nuansa

perbedaan antara korupsi politik dan korupsi pemilihan umum, namun

ada dampak yang sama dari akibat yang ditimbulkannya yaitu dampak

politis. Keadaan politik yang bermasalah inilah yang merupakan salah

satu elemen dari korupsi politik14

F. Kerangka Pemikiran

Terdapat perbedaan pendekatan untuk mendefinisikan korupsi politik.

Dalam konsep klasik istilah korupsi politik dimaknai sebagai hubungan

permasalahan antara sumber-sumber kekuasaan dan hak-hak moral

penguasa. Lord Acton mengkaitkan permasalahan korupsi politik dengan

penyalahgunaan sifat kekuasaan pemerintah monarchi yang lalim pada

saat itu.15 Perhatian terbesar Lord Acton yaitu pada sifat ambisi korupsi
14
Alkostar, A. (2008a Januari). Mengkritisi fenomena korupsi di parlemen. Jurnal Hukum, 16(1),
15
Patiro, Y.M. (2013). Antara perintah jabatan & kejahatan jabatan pegawai negeri sipil. Bandung: Keni Media.
11

dalam kedudukan sebagai penguasa. Ia menyatakan bahwa semua

kekuasaan cenderung korupsi dan kekuasaan mutlak maka korupsi absolut

terjadi.

Perdebatan mengenai korupsi politik pada masa kini sangat erat

kaitannya dengan permasalahan institusional dan perilaku. Pada dasarnya

korupsi politik dalam perspektif baru ini dianggap diangap terkait dengan

dampak yang dapat terjadi pada negara dan ekonomi dan bentuk-bentuk

berbeda yang dapat diasumsikan.

Keterlibatan pejabat negara dalam korupsi juga ditekankan dalam

definisi alternatif, dimana korupsi dilihat sebagai “suatu bentuk pertukaran

sosial rahasia melalui suatu kekuasaan politik atau administratif untuk

kepentingan pribadi dari satu atau bentuk lainnya, dari pengaruh yang

mereka laksanakan dalam kebaikan mandate mereka atau fungsi

mereka.26 Singkatnya, hampir setiap definisi (atau lebih konseptual)

korupsi memiliki focus utama terhadap negara dan politik dan suatu

perspektif yang berorientasikan kebutuhan.16

G. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Pada penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif

yaitu sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif

16
Jurnal Yudisial Vol.12 1 April 2019 (39-59) diakses 19 September 2021 pukul 16.01
12

berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang

dapat diamati.

Kata kualitatif merujuk pada penekanan proses dan makna yang tidak

dikaji secara ketat atau belum diukur dari segi kuantitas, jumlah, intensitas

atau frekuensinya. Pendekatan ini merupakan proses penelitian dan

pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu

fenomena sosial dan masalah yang terdapat pada kehidupan manusia. Pada

pendekatan kualitatif, penekanan pada sifat realitas yang terbangun secara

sosial, hubungan erat peneliti dengan subjek yang diteliti.

2. Jenis Penelitian

Pada penelitian ini penulis menggunakan dua metode yakni penelitian

normatif dan penelitian empiris. Penelitian normatif untuk memperoleh

data sekunder Untuk memperoleh data tersebut, akan dilakukan

inventarisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

pemberantasan korupsi di Indonesia serta dilengkapi dengan data-data lain

yang berasal dari hasil kajian atau pendapat pakar dalam berbagai literatur

yang ada baik berupa buku, makalah seminar, surat kabar, internet dan

bahan-bahan kepustakaan lainnya, dan juga penulis menggunakan

penelitian empiris untuk memperoleh data primer. Pengumpulan data

primer ini dilakukan dengan melakukan wawancara baik secara langsung

maupun tidak langsung kepada pihak-pihak yang dianggap mengetahui


13

tentangproses dan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Untuk itu,

akan dilakukan wawancara atau pengamatan.17

3. Spesifikasi Penelitian

Penulisan penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu menggambarkan,

menguraikan, dan memaparkan secara jelas hal-hal yang berkaitan dengan

permasalahan yang hendak diungkapkan yang didukung dengan teori

hukum dan perubahan sosial kemudian teori efektifitas hukum yang

berkaitan dengan tema penulisan.18

4. Metode dan Pengumpulan Data

Penulisan penelitian ini menggunakan Data yang telah diperoleh baik

melalui penelitian normatif maupun penelitian empiris selanjutnya

dilakukan editing() untuk memeriksa apakah data tersebut layak atau valid

untuk dilanjutkan kemudian serta untuk menjamin apakah data tersebut

sudah dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan kenyataan, untuk

selanjutnya dianalisis untuk memperoleh suatu kesimpulan.dan juga

menggunakan metode penelitian kualitatif dikarenakan proses

17
Ibid,
18
Sri Mamudji, dkk, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Badan Penerbit Fakultas Hukum
14

pengambilan data yang paling tepat adalah dengan cara observasi

lapangan atau dokumen terkait.19

5. Analisis Data

Berdasarkan judul skripsi, maka teknik analisis data yang digunakan yaitu

dengan menggunakan metode deskriptif-analitis(), yaitu suatu metode

penulisan yang menggunakan data atau fakta yang ada dengan

menggambarkan setiap aspeknya sebagaimana adanya.20

H. Analisa Data

Seluruh data yang terkumpul dianalisis menggunakan analisis

deskriptif kualitatif kemudian disajikan secara deskriftif yaitu menjelaskan,

menguraikan, dan menggambarkan sesuai dengan permasalahan penelitian

hukum. 21

Penelitian-penelitian kualitatif yakni penelitian-penelitian tersebut

harus mampu menjelaskan secara cukup rinci tentang metode-metode dan

prosedur-prosedur untuk memungkinkan peniruan (replikasi) penelitian.

19
Dr. Farida Nugrahani, M.Hum. METODE PENELITIAN KUALITATIF, dalam Penelitian Pendidikan Bahasa, Surakrta
2014, Hlm. 8.
20
M. Burhan Bungin, “Peneliti Kualitatif”, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, Hlm. 6.
21
Hartono, 2002, Bagaimana Menulis Tesis “Petunjuk Komprehensif tentang Isi dan Proses”. Malang,
UUM Press. Hal. 78
15

Sedangkan, penelitian kualitatif adalah deskriptif. Data deskriptif

adalah data yang dikumpulkan lebih mengambil bentuk kata-kata atau gambar

daripada angka-angka. Hasil penelitian tertulis berisi kutipan-kutipan dari data

untuk mengilustrasikan dan menyediakan bukti presentasi.22

I. Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri dari 5 bab yang saling berangkai dari bab satu ke bab

lainnya. Adapun sistematika penulisan ini diuraikan sebagai berikut:

BAB I : Merupakan bab yang memuat pendahuluan yang meliputi latar

belakang, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penlitian,

metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Dalam bab ini akan membahas mengenai pengertian Tindak

Pidana Korupsi

BAB III : Dalam bab ini akan membahas tentang bagaimanai Eksistensi

Pengaturan Korupsi Politik dalam Perundang-Undangan

Indonesia

BAB IV : Dalam bab ini penulis akan menganalisa berdasarkan rumusan

masalah yang telah disusun.

BAB V : Bab ini merupakan bab akhir dalam penulisan hukum ini

dimana berisi kesimpulan dan pembahasan bab sebelumnya

22
Emzir, 2010, Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data, Jakarta, PT RajaGrafindo, Hal. 3
16

dan berisikan saran penulis dalam menanggapi permasalahn

yang diteliti.
17

DAFTAR PUSTAKA

(SEMENTARA)

Ade Fajar Rezki, Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999

Adji, I.S. (2009). Korupsi & penegakan hukum. Jakarta: Diadit Media

Alkostar, A. (2008 Januari). Mengkritisi fenomena korupsi di parlemen. Jurnal

Hukum, Vol 15-16, No.1

de Sardan J.P.Olivier, A Moral Economy of Corruption in Afrika, in The Journal of

Modern African Studies, Vol. 37, No.1, 1999, hlm. 49

Dr. Farida Nugrahani, M.Hum. METODE PENELITIAN KUALITATIF, dalam

Penelitian Pendidikan Bahasa, Surakrta 2014, Hlm. 8.

Emzir, 2010, Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data, Jakarta, PT Raja

Grafindo, Hal. 3

Hartono, 2002, Bagaimana Menulis Tesis “Petunjuk Komprehensif tentang Isi dan

Proses”. Malang, UUM Press. Hal. 78

Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 16 No.1 - Maret 2019 : 59-75 diakses 20

september 2021 pukul 16.03


18

Jurnal Yudisial Vol.12 1 April 2019 (39-59) diakses 19 September 2021 pukul 16.01

Mappise, S. (2015). Logika hukum pertimbangan putusan hakim. Jakarta: Kencana.

M. Burhan Bungin, “Peneliti Kualitatif”, Kencana Prenada, Jakarta, 2007, Hlm. 6.

Mulyadi, L. (2010). Seraut wajah putusan hakim dalam hukum acara pidana

Indonesia. Bandung: Citra Adtya Bhakti.

Patiro, Y.M. (2013). Antara perintah jabatan & kejahatan jabatan pegawai negeri

sipil. Bandung: Keni Media.

Pramono, A. (2013, Januari). Kekuasaan & hukum dalam perkuatan pemberantasan

korupsi. Jurnal MMH, 42(1), 105-113

Sri Mamudji, dkk, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Badan Penerbit Fakultas

Hukum

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Dan Hukum Islam,, Diakses Pada Tanggal 1

Oktober pukul 14.12

Anda mungkin juga menyukai