Dosen Pembimbing:
CHOLIDAH, S.H., MH.
Disusun Oleh :
201610110311142
ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
Bagaimana pendapat anda (analisa menggunakan siracusa principles didukung dengan konvensi-
konvensi HAM terkait). Pilih salah satu diantara berikut!
Hak dipilih sebagai bagian dari hak pilih (hak pilih pasif) merupakan hak asasi
manusia yang dapat diimplementasikan dalam Pemilihan Umum yang demokratis. Oleh
karena itu setiap warga negara dalam menyalurkan dan menggunakan hak tersebut harus
bebas dari intervensi, intimidasi, dan diskriminasi serta bebas dari segala bentuk tindak
kekerasan yang dapat menghambat dan bahkan meniadakan hak tersebut.
Pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi serigkali memicu perdebatan yang
sangat panjang akibat pencabutan hak politik sebagai pidana tambahan. Konsekuensi dari
pencabutan hak politik ini berimbas pada hilangnya kesempatan para koruptor yang telah
selasai menjalani pidana. Hal ini menimbulkan gejolak karena negara Indonesia yang
menjamin adanya HAM tetapi tidak menjadi pertimbangan dalam menjatuhkan putusan
terhadap koruptor.
Pembatasan dan pengurangan hak-hak asasi manusia yang diatur di dalam Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik (KIHSP) diterjemahkan secara lebih detil di dalam
Prinsip-Prinsip Siracusa (Siracusa Principles). Di dalam Prinsip ini disebutkan bahwa
pembatasan hak tidak boleh membahayakan esensi hak. Semua klausul pembatasan harus
ditafsirkan secara tegas dan ditujukan untuk mendukung hak-hak. Semua pembatasan harus
ditafsirkan secara jelas dan dalam konteks hak-hak tertentu yang terkait. Prinsip ini
menegaskan bahwa pembatasan hak tidak boleh diberlakukan secara sewenang-wenang.1
Pembatasan dan pengurangan hak asasi manusia hanya bisa dilakukan jika memenuhi
kondisi-kondisi berikut:
7. Untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain (rights and freedom of
others).2
Dalam dunia politik, suatu negara demokrasi dengan konsep kedaulatan rakyat yang
diimplementasikan perwujudannya melalui Pemilu (dengan partai sebagai kendaraan politik)
untuk memilih para wakil di Parlemen atau Pemimpinnya guna menduduki jabatan Publik
(seperti Kepala Negara/ Pemerintahan, Kepala Daerah) akan menjadi sangat berbahaya jika
terpilih sosok berkepribadian korup yang akan menciptakan rezim korup & berakibat serta
berdampak pada krisis ekonomi, krisis pemerintahan, krisis hukum dan berujung pada krisis
kepercayaan. 3
1
The Siracusa Principles on The Limitation and Derogation Provisions In The International Covenant on Civil
2
Siracusa Principles, op.cit. (cat. 14)
3
Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 1261 K/Pid.Sus/2015, hlm 557
yang hampir sama namun dengan perluasan cakupan keterlibatan. Korupsi yang dilakukan
wakil rakyat terjadi dengan memanfaatkan kewenangan yang dimiliki dengan hak budgeting
sebagai lembaga legislatif. Namun pemanfaatan tersebut tidak dapat dikatakan bahwa
lembaganya yang korup. Karena dengan hak budgeting yang dimiliki, anggota DPRD
menginginkan tambahan pendapatan yang seolah-olah sah. Tambahan pendapatan dengan
menganggarkan dalam APBD, menjadi bentuk manipulasi anggaran.4
Menurut Artijo bahwa korupsi itu kejahatan yang multi effect. Berdampak negatif
kepada tubuh negara. Negara menjadi tidak sehat lagi. Koruptor itu juga merampas hak asasi
manusia, khususnya kesejahteraan rakyat. Rakyat Indonesia berhak untuk melihat masa
depan lebih baik. Koruptor ini membuat masa depan bangsa suram. Korupsi oleh politisi
sudah sistemik. Di dalam sistem politik Indonesia, siapa yang banyak uang, dialah yang
terpilih menjadi anggota DPR. Artinya, untuk terjun kedunia politik atau menjadi anggota
DPR, seseorang harus mengeluarkan banyak uang. Biaya politik yang tinggi berkosekuensi
hubungan transaksional.5
4
Putri Adityowati, http://m.tempo.co/read/news/2015/08/04/078689110/ini-9-napi-yangkini-jadi-calon-kepala-
daerah, diakses pada tanggal 22 Agustus 2017 diakses pada 18 April 2019 pukul 19.09 WIB
5
Ibid
6
Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Hukum Pidana,Bandun: Citra Aditya Bakti, hlm 128.
harus dibalas dengan pidana yang merupakan suatu bencana atau kerugian yang seimbang
dengan kesengsaraan yang diakibatkan oleh si pembuat kejahatan. Kedua,teori pembalasan
subjektif, yang berorientasi pada penjahatnya. Menurut teori ini kesalahan si pembuat
kejahatanlah yang harus mendapat balasan. Apabila kerugian atau kesengsaraan yan besar
disebabkan oleh kesalahan yang ringan, maka si pembuat kejahatan sudah seharusnya dijatuhi
pidana yang ringan.7
Korupsi yang merugikan kepentingan orang banyak seharusnya tidak dapat ditolerir
dalam menjatuhkan putusan pemidanaan. Eksploitasi kekuasaan adalah perbuatan yang kejam
dan sangat mengingkari kepercayaan masyarakat terhadap elit politik yang dipilih langsung
oleh rakyat. Adanya amanah dalam mengemban kekuasaan semestinya dipahami sebagai
sakralisasi kepercayaan yang dilimpahkan kepada elit politik yang dipilih langsung oleh
masyarakat. Integritas dan keterbukaan elit politik menjadi cermin yang baik untuk
masyarakat agar terhindar dari praktik korupsi politik.
Penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih sebagai wakil
rakyat dan hak untuk menjabat sebagai pengurus suatu partai politik sangatlah dimungkinkan
berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 10 huruf b angka 1 KUHPidana.
Hal ini dimaksudkan agar seseorang yang telah di vonis bersalah melakukan tindak pidana
Korupsi dan tindak pidana Pencucian Uang tidak lagi diberi kesempatan untuk memegang
jabatan publik yang rentan terhadap perbuatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN),
sehingga dengan penjatuhan pidana tambahan dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku
tindak pidana Korupsi dan tindak pidana Pencucian Uang. Ada beberapa contoh kasus di
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di mana pelaku yang telah di vonis bersalah
melakukan tindak pidana Korupsi, namun setelah ke luar dari penjara, tetap memegang
jabatan publik seperti menjadi Bupati dan sebagainya. Hal ini sungguh sangat mencederai
rasa keadilan masyarakat.
Walaupun pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu untuk memilih dan
dipilih dalam jabatan publik kepada terpidana korupsi yang telah dinyatakan terbukti bersalah,
7
A. Fuad Usfa, Pengantar Hukum Pidana,Malang : Universitas Muhammadiyah Malang, 2004, hlm 145.
dengan sendirinya akan terseleksi secara alamiah di masyarakat. Masyarakat sudah cerdas
dalam menilai seseorang untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik, dan dengan
sendirinya bagi terpidana korupsi akan tereleminir sendiri dalam menentukan hak-haknya
tertentu. Oleh sebab itu, pencabutan hak politik layak untuk dipertimbangkan berdasarkan
jenis pidana yang dilakukan. Namun, kita tidak boleh menampik bahwa emosi publik yang
memuncak akibat keuangan negara digerogoti oleh koruptor telah menjadikan pertimbangan
mendasar oleh hakim guna memastikan perbuatan korupsi tidak akan terjadi dikemudian hari.
Pencabutan hak politik menjadi jalan tengah untuk melakukan tindakan pencegahan dalam
rangka meminimalisir perbuatan korupsi di Indonesia.
Pencabutan hak politik terpidana korupsi menjadi wajar karena mereka yang
dipercaya rakyat, tetapi justru mengkhianati kepercayaan yang diberikan. Putusan Pengadilan
Tipikor yang mencabut hak politik sebagai pidana tambahan untuk tidak memilih dan dipilih
dalam jabatan publik atau jabatan yang dipilih rakyat, memang diatur dalam Pasal 18 Ayat (1)
huruf d UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi).
Hal itu juga ditegaskan dalam KUHPidana sebagai aturan umum, bahwa hak memilih
dan dipilih bisa dicabut. Pencabutan hak tertentu seperti "hak untuk dipilih dan dipilih dalam
jabatan publik", sejatinya bisa menjadi salah satu cara untuk memberikan efek jera sekaligus
menimbulkan rasa takut bagi calon koruptor yang memiliki kehendak melakukan perbuatan
korupsi di kemudian hari. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi pun mengancam
"pembayaran uang pengganti" yang jumlahnya paling banyak sesuai dengan jumlah uang
atau harta benda yang diperoleh dari korupsi. Sayangnya, ketentuan ini bisa diganti
(subsidair)dengan penjara yang ternyata sangat rendah, jika selama satu bulan tidak mampu
dibayar dan tidak ada harta benda terdakwa yang dapat disita untuk membayar uang
pengganti hasil korupsi. Pencabutan hak politik pada dasarnya sebagai hukuman tambahan
selain hukuman pokok dan denda. Putusan itu menyebabkan terpidana kehilangan hak
politiknya untuk memilih dan dipilih, termasuk hak untuk menduduki jabatan publik.
8
https://www.kompasiana.com/hidayat21/5a896379cbe52311c4434413/analisis-yuridis-pencabutan-hak-politik-
terpidana-korupsi-dalam-perspektif-hak-asasi-manusia?page=all diakses pada 19 April 2019 pukul 10.19 WIB