Anda di halaman 1dari 8

DILEMA MANTAN NARAPIDANA KORUPSI

SEBAGAI CALON LEGISLATIF DAN SUARA


RAKYAT

DISUSUN OLEH

DEA MUTIARA ARDA


NIM : 18410561
PENDAHULUAN
BAB I
I. Latar Belakang

Jika kita berbicara tentang pemerintahan di Indonesia, maka yang terbesit dipikiran kita
adalah “Korupsi”. Korupsi berasal dari bahasa Latin yang bararti corruptio dari kata
kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok, adalah
tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam
tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalah gunakan kepercayaan publik yang
dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Korupsi bisa dikatakan telah
menjadi budaya bagi pemerintahan di negeri ini

Kontroversi terhadap mantan narapidana yang ingin mencalonkan diri sebagai calon
anggota Badan Legislatif yang terjadi belakangan ini pun menimbulkan pro kontra diantara
masyarakat, terlebih dirasa tidak adanya landasan hukum kuat yang melarang untuk para mantan
terpidana kasus korupsi dicabut hak poltiknya. Bahkan banyak dari para mantan narapidana kasus
korupsi yang merasa mereka berhak mendapatkan hak mereka untuk berpolitik sebagai warga
Negara yang sah dihadapan hukum dan pemerintahan.

Lantas apakah mereka berhak memiliki hak untuk mencalaonkan diri kedalam badan
legislatif? Dan apakah itu akan memberikan dampak yang positif? Atau mungkin bisa saja
sebaliknya.

II. Rumusan Masalah


 Adakah landasan hukum yang mengatur tentang mantan terpidana untuk berpolitik
lagi?
 Perlukan pencabutan hak politik terhadap mantan terpidana korupsi?
 Bagaimanakah pandangan masyarakat terhadap permasalahan ini

III. Tujuan penulisan


 Mengetahui lebih jauh bagaimana hak hak politik bagi mantan narapidana korupsi
 sah atau tidaknya status seorang mantan terpidana korupsi mencalonkan sebagai
anggota legislative
 Pandangan masyarakat terhadap UU pemilu No 7 Tahun 2017 yang berpihak
kepada mantan Napi
LANDASAN HUKUM
BAB II
Melihat kasus ini yang menjadi topic sensitive di masyarakat yang akhirnya menimbulkan
pro dan kontra, banyak yang menolak da nada pula sebagian yang mendukun dan tentunya dengan
mempertimbang kan dari segi aspek yuridis, sosiologis dan filosofi nya. Lantas bagaimana kah
status mantan terpidana kasus korupsi yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif?

Mengacu kepada Undang-undang Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2017di dalam pasal 240
ayat 1 disebutkan bahwa “seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama
lima tahun atau lebih, boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan pernah
berstatus sebagai narapidana kepada publik” jadi secara konstitusional para mantan terpidana
korupsi sah sah saja mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif terlebih juga sebagaimana
yang tertera di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di dalam pasal
28 D ayat 3 “Setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan” tentunnya mereka akan menginginkan hak mereka sebagai warga negera yang sah
di hadapan hukum dan pemerintahan

Sementara itu KPU yang menerbitkan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Pencalonan
Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota di dalam pasal 8 huruf (j) menyatakan
bahwa melarang mantan narapidana kasus korupsi untuk mencalonkan diri guna menciptakan
pemerintahan yang bersih dan bebas dari unsur Kolusi, Korupsi dan Nepotisme yang harus dimulai
dari Pemilu itu sendiri sebagai pondasi awal untuk memciptakan pemerintahan yang bersih dari
unsur KKN ini. Juga di dalam TAP MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme seorang penyelenggara Negara harus jujur, adil,
dan terpercaya serta mampu membebaskan diri dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.

Jika melihat kepada pasal 1 ayat 3 di dalam UUD 1945 “Negara Indonesia adalah Negara
hukum” tentu masih sah sah saja untuk para mantan terpidana korupsi ini mencalonkan diri sebaai
anggota legislative. Lantas bagaimanakah kasus ini jika dilihat dari segi sosiologis? Koalisi
Masyarakat Sipil menolak dengan tegas keputusan Bawaslu dan anggota DPR untuk memberikan
ruang bagi mantan terpidana kasus korupsi untuk mendaftarkan diri sebagai calon anggota
legislatif. Pernyataan menolak dengan tegas untuk para mantan koruptor maju menjadi calon
anggota legislatif ditunjukan dengan membuat petisi “Tolak Koruptor Nyaleg” yang sebelumnya
diunggah melalui situs change.org dan telah didukung oleh lebih dari 249 ribu orang. Masyarakat
tentu menginginkan yang lebih berkualitas dengan menjungjung tinggi integritas yang tinggi dan
tidak menilai integritas pemilu ditentukan oleh 3 hal, yaitu penyelenggara, pemilih dan peserta
sehingga keputusan KPU yang melarang mantan narapidana korupsi menjadi Caleg adalah tepat.
Menurut nya tidak sedikit peserta Pemilu yang pernah terbukti terlibat tindak pidana korupsi atau
mantan narapidana korupsi. Bahkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat
terdapat sedikitnya 59 anggota DPR/DPRD yang terpilih dalam Pemilu 2014 berstatus hukum
tersangka, terdakwa atau terpidana korupsi. Dan dari jumlah tersebutnterdsapat pula mantan napi
korupsi yang terpilih menjadi anggota legislatif. Titi berpandangan KPU tetap bias mengesahkan
larangan mantan napi korupsi untuk menjadi caleg karena KPU adalah sebuah lembaga yang
mandiri dan independen untuk penyusunan regulasi dan mempunyai kewajiban moral dalam
menjaga integritas Pemilu. Masyarakat menginginkan struktur pemerintahan yang bersih, dengan
dibatalkannya SK PKPU ini oleh Bawaslu tentunnya akan semakin memudarkan kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintahan di negeri ini.

4 putusan MK yang menjadi acuan dalam pebuatan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilu yang memperbolehkan mantan narapidana mengajukan diri sebagai calon anggota
legislative dengan syarat mengumumkan dirinya pernah dipidana menjadi landasan hukum yang
kuat untuk mencabut PKPU Nomor 20 Tahun 2018 sesuai dengan tingkatan hukum yang
menyatakan “lex Superiori Derogat Legi Inferiori” hukum tinggi lebih diutamakan berlakunya dari
pada hukum rendah. Mengingat Undang-Undang ringkatannya lebih tinggi dibanding Peraturan
yang dibuat oleh KPU ini secara konstitusional. Tetapi dengan adanya UU pemilu pasal 240 ayat 1
tersebut tidakkah itu telah mencederai Pemilu di Negara ini? Tidakkah itu bertentangan dengan
Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang KKN menyatakan menciptakan pemerintahan yang bersih
dan bebas KKN juka tidak sesuai dengan Nawacita Presiden Jokowi-JK? Rakyat telah menyatakan
bahwa mereka menolak untuk para mantan terpidana korupsi ini masuk menjadi calon anggota
legislatif, pemerintahan seharusnya juga mengikuti UUD 1945 di dalam pas 1 ayat 2 “kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya menurut Undang-Undang Dasar” tetapi jika
undang undang yang ada cenderung memihak segelintir orang dan mengabaikan suara rakyat
banyak, seharusnya itu bertentangan dengan Undang-undang dasar dan mencederai pasal 1 ayat 2
di dalam UUD 1945.
PEMBAHASAN
BAB III
Survei Global Corruption Barometer yang dilakukan Transparency International sejak
pertengahan 2015 sampai awal 2017 menunjukkan, DPR merupakan lembaga terkorup (54%). Data
Kemendagri menyitir kurang lebih 3.169 anggota DPRD se-Indonesia pernah tersangkut kasus korupsi
sepanjang 2004-2014, bahkan dari 2004 hingga Maret 2018 KPK telah memproses 202 anggota DPR(D)
yang tersangkut korupsi.

Data lain dirilis Kontras (14/10/2014), sedikitnya 160 anggota DPR periode 2014-2019 yang lolos di DPR,
76 anggota di antaranya diduga korupsi, 63 terperiksa korupsi, 16 tersangka korupsi dan 5 terdakwa
korupsi. Presiden Joko Widodo dalam acara Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi bahkan pernah
buka-bukaan mengatakan: 122 anggota DPR sudah di penjara karena korupsi. Jadi tak heran jika
DPR(D) masuk dalam jajaran penyumbang jumlah koruptor nomor 3 di KPK. Asumsinya adalah kalau
napikor itu dibiarkan melenggang ke Senayan, peluang terjadinya reproduksi korupsi semakin besar
beranak-pinak dan menjadi virus bahaya bagi atmosfir demokrasi dan pemerintahan. Hak pemilih untuk
mendapatkan caleg yang berkualitas secara moral dan kapablitas pun tak terjamin lagi.

Adanya PKPU yang dikeluarkan oleh Pemilu sebenanya sudah bagus untuk menciptakan pemerintahan
yang bersih dari Korupsi, asumsinya adalah kalau napikor itu dibiarkan melenggang ke Senayan, peluang
terjadinya reproduksi korupsi semakin besar beranak-pinak dan menjadi virus bahaya bagi atmosfir
demokrasi dan pemerintahan. Hak pemilih untuk mendapatkan caleg yang berkualitas secara moral dan
kapablitas pun tak terjamin lagi. Dari sudut pandang masyarakat awam pun tentu banyak yang
mendukung keputusan KPU yang juga selaras dengan pemikirian masyarakat karna mereka yang dulunya
pernah terkena pidana hukum korupsi memiliki peluang lebih besar untuk melakukannya kembali
karena telah mengetahui konsekuensi yang dirasa sangat ringan untuk hal hal yang dirasa merugikan
Negara dan kepentingan masyarakat. Setidaknya lebih baik mengobati dari pada mencegah. Jika ini
dibiarkan, dikhawatirkan kasus korupsi di masa depan semakin merajalela karena tidak menimbulkan
efek jera bagi para koruptor dan dan memberikan efek yang tidak baik bagi generasi masyarakat bangsa
kedepannya di masa depan. Pemerintah harus mengkaji lebih dalam tentang UU pemilu tersebut karna
tidak sesuai dengan integritas dan moral yang selama ini sangat dijunjung tinggi oleh bangsa kita. Para
mantan napi korupsi ini cenderung bersembunyi dengan dalih HAM maka bagaimana dengan larangan
bagi mantan napi korupsi untuk mencalonkan diri bagi capres dan cawapres berdasarkan UU Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilu di dalam pasal 169 huruf (d)? berarti seharusnya juga melanggar hak
memilih dan dipilih. Perkataan dari Dharmawati Dareho caleg dari partai Demokrat yang juga mantan
terpidana korupsi di dalam forum ILC mengatakan keputusan PKPU ini telah mencabik cabik harapannya
sebagai anak bangsa, mematikan hak nya serta mempertanyakan apa kesalahan nya kepada Negara ini.
Dari kasus ini juga membuktikan bahwa telah hilangnya budaya mau di negeri ini. Sebenarnya PKPU
yang dibuat oleh KPU sangat bagus dengan tujuan salah satunya menciptakan pemilu yang bersih dari
syara KKN tetapi disatu sisi kita juga tidak bias menyalahkan pemerintah yang menolak karena mereka
hanya menjalankan apa yang ada di Undang_undang yang berlaku mengingat Negara kita adalah Negara
hukum jadi tidak bias seenaknya mengambil keputusan tanpa memperhatikan hukum yang berlaku di
negeri ini. Tetapi jika undang undang yang sudah ada bertentangan dengan PKPU yang didukung oleh
suara rakyat tidakkah eksistensi undang undang pemilu perlu dipertanyakan? Seharusnya undang-
undang yang ada tidak bertentang dengan pancasila dan UUD 1945 yang bersumber dari norma-norma
yang ada di masyarakat. Jika dirasa ada yang tidak benar seharusnya DPR yang bertugas membuat UU
bergerak cepat untuk mengkaji kembali UU yang sudah ada, sehingga lebih memihak kepada hakikat
hidup orang banyak, terlebih kasus korupsi sudah mendarah daging di negeri ini jika dibiarkan dan
mereka tetap mendapatkan hak politik mereka tentunya tidak akan memberikan efek yang jera bagi
para koruptor dalam hal merugikan Negara dan tentunya berdampak ke pada masyarakat luas. Kita
memiliki banyak anak bangsa yang berprestasi, terbebas dari korupsi lantas kenapa masih
mempertahankan orang orang yang sudah jelas terbukti pernah merugikan Negara. Seharusnya kita
berkaca kepada Negara Negara lain seperti Jepang, Korea Selatan, Tiongkok,dsb yang menerapkan
hukum yang sangat keras dan tidak memberi kesempatan para koruptor di dalam pemerintahan
kembali, yang membuat mereka masih mempunyai budaya malu karna mengetahui bahwa tindakan
mereka merugikan Negara bukan seperti Negara ini yang terkesan memanjakan para mantan koruptor
dengan dalih HAM tetapi mengabaikan hakikat hidup orang banyak. Pemerintah bekerja untuk rakyat,
seharusnya lebih berhati hati dalam mengambil keputusan.
KESIMPULAN
BAB IV
Keputusan pemerintah untuk mengimplementasikan pasal 1 ayat 3 hampir tepat tetapi
pemerintah juga perlu memperhatikan aspek aspek yang ada dimasyarakat dan akibat akibat yang
timbul bagi Negara, pengimplementasian TAP MPR NO XI/MPR/1998 tentang KKN juga tidak akan
terlaksana dengan baik jika undang-undang ini terus dibiarkan. Pemerintah diharapkan oleh masyarakat
untuk mengkaji kembali aspek aspek hukum yang bertentangan dengan aspek normative masyarakat
dan diharapkan bias mengembalikan citra pemerintah serta membebaskan negeri ini dari para koruptor.
Dan tentunya undang undang yang ada telah dikaji oleh pihak yang berwenang dan dengan
memegang teguh Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan
harus mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita cita hukum yang meliputi suasana
kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia

Keputusan KPU untuk melarang nya dengan berpegang teguh terhadap PKPU juga kurang kuat
mengingat di dalam UUD 1945 memberikan hak asasi dan mencabutnya harus lah berdasarkan UU, KPU
diharapkan tidak gegabah dalam mengambil keputusan sehingga nantinya akan berbenturan dengan
system perundang-undangan yang ada di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

http://bodohtapisemangat.blogspot.com/2015/03/makalah-tentang-korupsi_43.html

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20140916170157-12-3480/pencabutan-hak-politik-
koruptor-berlaku-selamanya?

https://rappler.idntimes.com/christian-simbolon/pro-kontra-larangan-napi-koruptor-jadi-calon-
legislatif/full

https://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi

https://kumparan.com/@kumparannews/putusan-ma-mantan-koruptor-boleh-nyaleg-
1536927226643193954?ref=rel

https://www.suaramerdeka.com/news/baca/100223/kemendagri-ingatkan-kpu-tentang-pasal-
240-uu-pemilu

https://m.merdeka.com/peristiwa/menkumham-cari-cara-agar-larangan-koruptor-jadi-caleg-tak-
tabrak-uu.html

https://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/yang-mendukung-dan-menolak-mantan-napi-
korupsi-jadi-caleg-cLkN?espv=1

https://news.okezone.com/amp/2018/09/02/606/1944721/masyarakat-ramai-tolak-putusan-
bawaslu-loloskan-eks-napi-korupsi-nyaleg

Anda mungkin juga menyukai