Anda di halaman 1dari 9

Analisis Kasus dan Kebijakan Pembatasan akses Media masa Pemilu 2019

melalui Pendekatan Hukum dan HAM


Muhammad Zaky Gavicky 201910110311496
A. Pendahuluan
Hak Asasi Manusia atau disingkat HAM merupakan suatu kajian yang selalu
menarik tanpa ada batas waktunya. Sejalan dengan perkembangan zaman, isu tentang
HAM selalu diindikasikan dengan berbagai macam hal. Terlebih lagi jika dikaitkan
dengan penegakannya dalam hukum maupun lebih spesifiknya dalam hukum Islam. Hal
ini tidak terlepas dari posisi HAM dalam suatu negara yang bersandarkan hukum
maupun Islam itu sendiri.
Dalam tulisan ini penulis ingin lebih fokus untuk mendalami kondisi HAM yang
telah diakui di Indonesia seperti dirasakan pada saat ini. Indonesia sebagai negara
hukum sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 telah memberikan jaminan untuk menjunjung tinggi adanya hak-hak asas bagi
manusia. Beberapa poin terkait Hak Asasi Manusia yang diatur dalam UUD 1945
setidak-tidaknya ialah berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan, berhak berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan,
tulisan dan sebagainya, berhak untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah
menurut agamanya, berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara, dan
berhak mendapat pengajaran.
Berangkat dari sejarah Indonesia dimana sebelum diproklamasikannya
kemerdekaannya tidak terdapat nilai-nilai terkait hak-hak asasi manusia bahkan
dirampas dan dibuang jauh-jauh akibat dari penjajahan yang berlangsung dalam kurun
waktu sangat lama. Sebagai bentuk dari kemerdekaan daripada penjajahan tersebut
maka salah satu yang dinilai penting dan sudah selayaknya terjamin oleh negara ialah
hak-hak yang diperuntukkan masing-masing individu atau dikenal hak asasi manusia.
Bukan berarti jaminan tersebut hanya berdasarkan pada pengaturan-pengaturan yang
sudah ada, akan tetapi juga perlu adanya penegak hukum maupun HAM atas
pengaturan itu agar terciptanya suatu keadilan.
Pada 17 April 2019 Indonesia melangsungkan pesta demokrasi secara serentak
untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, anggota legislatif, dan
anggota DPD periode 2019-2014 secara serentak. Pemilihan umum ini dimenangkan
oleh pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin dengan perolehan suara 55,50%,
kemudian diikuti oleh pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno dengan
perolehan suara 44,50% (CNN Indonesia, 21 Mei 2019).
Pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin adalah petahana pada pemilu kali ini
karena berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menyebutkan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama
lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya
untuk satu kali masa jabatan.” Dengan demikian Joko Widodo berhak mengajukan
kembali sebagai calon Presiden Republik Indonesia Periode 2019-2024 dengan memilih
calon Wakil Presiden Ma’ruf Amin.
Pada tanggal 21 Mei 2019, Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU
RI) secara resmi telah mengumumkan hasil dari Pemilihan Umum yang memenangkan
pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, akan tetapi hasil dari pemilihan umum tersebut
tidak diterima baik oleh Badan Pemenangan pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga
Uno (BPN Prabowo-Sandi) karena dianggap adanya kecurangan, kesewenangan, dan
ketidakadilan, sehingga BPN Prabowo-Sandi melakukan upaya hukum dengan
mengajukan gugatan sengketa hasil Pemilihan Presiden pada tanggal 24 Mei 2019 di
Mahkamah Konstitusi (Umar Agus W, Tribunnews, 25 Mei 2019).
Dalil kecurangan, kesewenangan, dan ketidakadilan ini mengarah pada
pelanggaran yang bersifat sistematis, terstruktur, dan masif yang meliputi
penyalahgunaan birokrasi dan BUMN, penyalahgunaan penegakan hukum, diskriminasi
perlakukan, penyalahgunaan program kerja pemerintah dan/atau APBN, dan
pembatasan kebebasan pers. Kemudian disebutkan pula adanya kekacauan dalam
permohonan sistem informasi penghitungan suara KPU yang mengakibatkan banyaknya
kesalahan input data suara yang tidak sesuai dengan data (informasi) yang terdapat
pada Form C1 yang dipindai KPU sendiri di 34 provinsi. Oleh sebab itu, BPN Prabowo-
Sandi menilai KPU telah melakukan ketidaktelitian, ketidakprofesionalan, dan memiliki
aplikasi sistem perhitungan yang belum sempurna (Indra Komara, Detik, 14 Juni 2019).
Akan tetapi, apa yang disangkakan oleh pasangan calon nomor urut dua tersebut tidak
terbukti benar, hal ini sebagaimana dalam putusan perkara perselisihan hasil pemilihan
umum (PHPU) Nomor 01/PHPUPRES/XVII/2019 yang dalam pokok permohonan dan
menolak seluruh permohonan pemohon untuk seluruhnya (Al Araf Assadallah Marzuki,
S. H., 2020).
Pembatasan media sosial tersebut yang dilakukan oleh pemerintah banyak
dinilai oleh berbagai pihak telah menciderai demokrasi di dunia siber. Hal ini mengingat
demokrasi merupakan bentuk kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat untuk menyampaikan
aspirasinya dalam pemilihan umum dan pemilihan presiden. Padahal, sebelum
diselenggarakannya pemilihan umum 2019 pemerintah tidak pernah melakukan upaya
pembatasan media sosial guna untuk mencegah penyalahgunaan disinformasi.
Di Indonesia, berbagai tindakan anti sosial dan perilaku kejahatan tersebut
diantaranya kerap terjadi pada saat ajang kontestasi politik lima tahunan (pemilu),
khususnya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Fenomena black campaign, hoax
maupun hate speech, nyatanya telah menjadi pemandangan keseharian yang hadir
dalam ruang-ruang media sosial masyarakat. Pemilu bukan lagi sebagai pesta
demokrasi yang menyenangkan, justru menjadi ajang menebar kebencian dan fitnah ke
masyarakat. Akibatnya masyarakat mengalami polarisasi ke dua kutub yang saling
berseteru dan dalam keadaan-keadaan tertentu menimbulkan eskalasi ketegangan yang
mengarah kepada gangguan ketertiban dan keamanan negara. Dalam konteks ini,
negara melalui organ pemerintahan kerap mengambil tindakan tegas berupa
pembatasan penggunaan media sosial dengan cara memblokir (blocking), memfilter
(filtering), pengawasan (surveillance), meminta penghapusan konten (takedown
requests), melambatkan (throttling), atau mematikan layanan internet dan selular
(shutting down internet and mobile service). Bahkan dalam keadaan tertentu melakukan
penangkapan (arrests) (Siregar, 2019).
Persoalannya menjadi menarik manakala tindakan pemerintahan itu dikaitkan
dengan kebebasan berekspresi dari warga negara atas nama demokrasi yang secara
konstitusional telah dijamin oleh konstitusi. Pertanyaan yang patut diajukan, apakah
tindakan pembatasan penggunaan media sosial oleh pemerintah atas nama menjaga
kepentingan umum dapat dibenarkan. Pertanyaan yang demikian urgen untuk dijawab,
sebab dalam penyelenggaraan Pemilu tahun 2019, Bawaslu sebagai organ
penyelenggara pemilu yang mengemban tugas pengawasan pemilu telah
merekomendasikan pemblokiran dan penghapusan konten terhadap situs berkonten isu
SARA dan akun media sosial penyebar berita bohong, ujaran kebencian, atau kampanye
hitam. Hingga saat ini tercatat paling tidak ada sekitar 7 ribu akun ujaran kebencian dan
120 akun media sosial yang direkomendasikan untuk di-takedown.
Berdasarkan kerangka persoalan dan situasi yang dijelaskan di atas menjadikan
landasan penulis untuk menghadirkan ulasan-ulasan yang diupayakan komprehensif
menganalisis kasus beserta kebijakan pembatasan akses media yang pernah terjadi
pada masa Pemilu 2019 dengan menggunakan pendekatan hukum dan HAM.

B. Pembahasan
Sebelum masuk pada pembahasan yang berkenaan dengan kondisi HAM
Indonesia yang lebih spesifik penulis ingin memaparkan terlebih dahulu sejarah singkat
terkait perlindungan HAM yang diregulasikan dalam tubuh Indonesia.
Sejak tahun 1908 jauh sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, konsep
pemikiran HAM telah dikenal oleh bangsa Indonesia yang bisa dilihat dari lahirnya Budi
Utomo, yakni timbulnya kesadaran akan pentingnya pembentukan suatu negara atau
bangsa melalui berbagai tulisan dalam suatu majalah. Konsep HAM yang terkemuka
adalah konsep-konsep mengenai hak atas kemerdekaan yang berarti hak sebagai
bangsa merdeka yang bebas menentukan nasib sendiri. Tak hanya itu, HAM bidang sipil
seperti hak bebas dari diskriminasi dalam segala bentuknya dan hak untuk
mengeluarkan pikiran dan pendapat mulai juga diperbincangkan. Bahkan konsep
mengenai hak untuk turut serta dalam pemerintahan telah dikemukakan oleh Budi
Utomo.
Selanjutnya, pemikiran tentang demokrasi asli bangsa Indonesia yang
diantaranya dikemukakan Hatta, makin mempertajam anggapan bahwa HAM telah
dikenal dan bukanlah hal baru bagi bangsa Indonesia. Perkembangan pemikiran HAM
menyentuh hingga masa-masa perancangan UUD oleh BPUPKI.
Hak asasi barulah mendapatkan tempat yang penting utamanya pada masa
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) tahun 1949 dan UUDS 1950, yang
keduanya memuat HAM secara terperinci. Faktor yang mendorong diantaranya adalah
lahirnya Declaration of Human Right (DUHAM) 1948 dan perubahan KRIS 1949 melalui
UU Federal Nomor 7 tahun 1950.
Perubahan dari KRIS 1949 menuju UUDS 1950 tidak bisa dilepaskan kepada
masa-masa berikutnya. Masa dimana UUDS 1950 berlaku hingga berujung pada 1959
ini memiliki impact yang signifikan terhadap semangat pemikiran hingga aktualisasi
HAM. Poin terpenting pada masa-masa berlakunya UUDS tersebut adalah bahwa
semua partai dengan pandangan ideologis yang berbeda-beda sepakat bahwa HAM
harus dimasukkan dalam bab khusus yang mempunyai kedudukan sentral dalam batang
tubuh UUD (Kusniati, 2011).
Periode selanjutnya yaitu setelah berlakunya UUD 1945 di periode kedua
merupakan pasang surut dari kondisi sebelumnya. Disebutkan dalam catatan sejarah
bahwa Demokrasi yang semula parlementer menjadi sistem politik demokrasi terpimpin
yang tidak memberikan keleluasaan ataupun kebebasan dalam berserikat, berkumpul,
dan mengeluarkan pikiran dengan tulisan. Di bawah naungan demokrasi terpimpin,
pemikiran tentang HAM dihadapkan pada pembatasan yang ketat oleh kekuasaan,
sehingga mengalami kemunduran, kondisi yang berbanding terbalik dengan kondisi
sebelumnya.
Pemberontakan G30SPKI pada tahun 1966 dengan segala bentuk chaos
mengantarkan Indonesia kembali pada situasi dan keadaan tidak adanya perlindungan
HAM. Faktor utama penyebab kondisi tersebut adalah pemikiran para elite kekuasaan
terhadap HAM. Pada saat yang sama Indoneisa sedang memacu pembangunan
ekonomi dengan menggunakan slogan “pembangunan”. Dari adanya pembangunan
tersebut, segala upaya pemajuan dan perlindungan HAM tersudutkan atas dalih sebagai
penghambat. Sehingga berbagai produk hukum yang dikeluarkan cenderung membatasi
serta menyempitkan HAM.
Demokrasi sebagai tatanan politik adalah model yang tepat untuk mengelola
kehidupan kenegaraan. Demokrasi menyediakan ruang bagi warga negara untuk
mengekspresikan pikirannya secara bebas. Bahkan dalam catatan (Fishkin, 2009)
warga dimungkinkan mendapat referensi untuk turut ambil bagian dalam penentuan
kebijakan-kebijakan publik, melalui ketersediaan informasi yang berkualitas. Pada titik
ini, demokrasi tidak semata dimaknai sebagai demokrasi perwakilan, namun lebih dari
itu demokrasi telah mengalami diferensiasi menuju demokrasi yang berbasis pada
ekspresi ruang publik. Demokrasi yang berakar pada ruang publik ini oleh Habermas
disebut sebagai demokrasi deliberatif. Bagi Hebermas, demokrasi harus memiliki
dimensi deliberatif, yaitu setiap pengambilan keputusan harus disahkan terlebih dahulu
dalam diskursus publik. Hal itu dimaksudkan untuk menciptakan hukum yang sah.
Munculnya ide pemikiran demokrasi deliberatif tidak lepas dari cara berpikir
komunitarian. (Pierre, 2000) menulis “In some ways ideas about deliberative democracy
comprise a subset of communitarian thinking. The basic idea of creating a locus for
making decisions at a low level of aggregation appears compatible with communitarian
thinking.“ Hal mendasar dari bekerjanya demokrasi deliberatif ini adalah adanya
pelibatan publik dalam pengambilan keputusan melalui debat dan dialog terbuka
(involving the public in making decisions through open debate and dialogue). Dengan
lain perkataan, sumber legitimasi bukanlah ditentukan oleh kehendak individu,
melainkan pada konsensus yang diperoleh melalui permusyawarahtan itu sendiri. Pada
titik ini, resiprositas menjadi prinsip utama dari demokrasi deliberatif. Dengan sendirinya,
negara tidak lagi menentukan hukum dan berbagai kebijakan politik lainnya dalam ruang
tertup yang nyaman (splendid isolation), melainkan semua civil society memainkan
pengaruh yang signifikan dalam proses pembentukan hukum dan kebijakan politik itu
(Fatkhurohman, 2011).
Watak demokrasi deliberatif yang berakar pada ruang publik ini pada dasarnya
berkorelasi dengan kebebasan sipil (civil libierties). Menurut Frank Bealey, elemen
kebebasan sipil meliputi kebebasan untuk mengemukakan pendapat (freedom of
expression), kebebasan pers (freedom of press), kebebasan untuk berserikat (freedom
of assembly), dan kebebasan untuk berkeyakinan/beribadah (freedom of worship)
(Maswadi Rauf dkk., 2012). Bagi negara-negara demokrasi modern, setiap warga
negara dijamin untuk mengekspresikan kebebasan sipil yang disandangnya, tanpa
intimidasi dan ancaman. Kebebasan berekspresi merupakan hak dasar manusia yang
harus dipenuhi dan dihormati. Bahkan telah menjadi patokan universal yang tertuang
dalam Universal Declaration of Human Rights, dimana “Everyone has the right to
freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinion without
interference and to seek, receive, and impart information and ideas through any media
and regardless of frontiers.”
Meskipun kebebasan berekspresi dalam tataran implementasinya tidak sedikit
yang mendapatkan ancaman, baik itu yang berasal dari pemegang otoritas kekuasaan
(supreme coercive authority) karena dipandang akan mengganggu hegemoni politik
kekuasaan, maupun yang berasal dari sesama masyarakat sipil – disebut John Stuart
Mill sebagai “tyranny of the majority” – namun yang dapat dipastikan bahwa demokrasi
selalu menyediakan ruang bagi warga negara untuk mengekspresikan haknya secara
bebas, termasuk ikut dalam proses pembentukan hukum dan kebijakan-kebijakan
publik. Hanya saja harus diakui, bagaimana setiap individu warga negara menuangkan
ekspresi kebebasan sipilnya ini, dalam praktiknya sangat bergantung dengan kebijakan
yang ditetapkan oleh negara sebagai pemegang otoritas kekuasaan.
Hal yang patut dipertanyakan lebih lanjut, apakah alasan penegakan hukum atau
alasan ketertiban umum dan keamanan nasional dapat dijadikan sebagai argumen
justifikasi terhadap tindakan pembatasan penggunaan media online atau media sosial.
Bukankah tindakan pembatasan tersebut bertentangan secara diametral dengan
kebebasan berekspresi bagi warga negara. Untuk menjawab hal tersebut, penulis
memulai dengan pernyataan bahwa sebuah negara disebut demokratis jika ia
menyediakan sebuah ruang publik yang “netral” bagi setiap warga negara untuk
menyampaikan pendapatnya, gagasannya, bahkan mengkritik kekuasaan. Pilihan atas
sistem demokrasi yang demikian dengan sendirinya tentu mensyaratkan terjaminnya
kebebasan berekspresi.
Pembatasan akses Media masa Pemilu 2019 melalui Pendekatan Hukum
Kebebasan berekspresi merupakan elemen yang penting dalam demokrasi.
Kebebasan berekspresi merupakan hak warga negara yang mencakup kebebasan
untuk menyampaikan opini, pandangan atau gagasan tanpa adanya intervensi/campur
tangan, hak untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi, melalui media
apapun, tanpa memandang batasbatas wilayah. Kebebasan berekspresi ini dapat dilihat
dari dua acara, yakni; hak untuk mengakses, menerima, dan menyebarkan informasi
dan hak mengekspresikan diri melalui medium apapun. Bahkan dalam pandangan kritis
(Selian, 2018), kebebasan berekspresi merupakan menjadi salah satu elemen yang
penting dalam berlangsungnya demokrasi serta partisipasi publik dalam melaksanakan
haknya secara efektif baik dalam hal partisipasinya dalam pengambilan sebuah
kebijakan publik atau dalam hal pemungutan suara. Apabila masyarakat tidak memiliki
kebebasan untuk mengemukakan pendapatnya atau menyalurkan aspirasinya maka
dapat dikatakan bahwa proses demokrasi dalam suatu negara tidak berjalan baik serta
dapat menimbulkan suatu pemerintahan yang otoriter.
Benar bahwa kebebasan berekspresi khususnya kebebasan untuk
mengemukakan pendapat, termasuk dalam media internet ini telah diakui secara
universal dalam Universal Declaration of Human Rights UDHR). Di dalam UDHR
disebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan
pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat
gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan keterangan
dan pendapat dengan cara apapun dan dengan baik memandang batas batas”. Akan
tetapi kebebasan berekspresi tersebut tidaklah bersifat mutlak. Dalam UDHR sendiri
dikatakan bahwa kebebasan berekspresi itu tidak berarti bebas sebebasbebasnya.
Kebebasan berekspresi pun mempunyai batasan. Pasal 19 ayat (2) UDHR menyatakan:
In the exercise of his rights and freedom, everyone shall be subject to such
limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition
and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements
of morality, public order, and the welfare in democratic society.
Dengan demikian, setiap orang memiliki kebebasan berekspresi untuk
menyampaikan opini, pandangan atau gagasan, hak untuk mencari, menerima, dan
menyampaikan informasi melalui media apapun, sepanjang tidak bertentangan dengan
batasan-batasan yang ditentukan oleh hukum. Dalam konteks ini, hukum menjadi
pembatas bagi kebebasan berekspresi. Hukum disini dimaknai sebagai undang-undang
sebagai terjemahan dari konstitusi yang merupakan resultante dan kristalisasi dari
kehendak rakyat. Tujuan pembatasan tersebut tidak lain adalah untuk mengamankan
pengakuan dan penghormatan terhadap ekspresi hak-hak dan kebebasan orang lain.
Selain itu juga untuk memenuhi persyaratan moral yang adil, ketertiban umum, dan
kesejahteraan dalam tatanan masyarakat demokratis. Disamping undang-undang
sebagai pembatas, kebebasan berekspresi juga dibatasi oleh nilai moralitas yang hidup
dan berkembang dalam masyarakat. Nilai moralitas merupakan spirit yang membuat
kebebasan berekspresi itu tetap terpelihara. Nilai moralitas menuntun bagaimana warga
masyarakat itu seharusnya berperilaku.
Pemaknaan kebebasan berekspresi atas nama kebebasan sipil (civil libierties)
bukanlah dalam makna yang sebebas-bebasnya seperti yang diagungkan di negara-
negara Barat, melainkan menghendaki kebebasan berekspresi yang bertanggung jawab
(responsible freedom of expression). Dalam makna yang demikian, setiap warga negara
bebas untuk mengekspresikan hak-hak sipilnya, namun dilakukan dalam batas-batas
yang dipersyaratkan oleh hukum positif yang berlaku dalam negara dan nilai-nilai moral
yang hidup dan bersemi dalam kehidupan masyarakat politik. Dengan lain perkataan,
setiap warga negara bebas mengemukakan pendapatnya dalam ruang-ruang publik,
termasuk dengan menggunakan media sosial sebagai sarana komunikasi, namun
ekspresi kebebasan tersebut hendaknya diwujudkan dengan cara-cara yang tidak
melanggar asas dan norma hukum serta tidak bertentangan dengan nilai-nilai
kesusilaan, kesopanan dan kepatutan yang telah melembaga dalam kehidupan sosial
masyarakat. Hak atas akses dan menggunakan internet harus dijamin untuk semua dan
tidak boleh menjadi subjek setiap pembatasan kecuali dinyatakan oleh hukum,
diperlukan dalam masyarakat yang demokratis untuk melindungi keamanan nasional,
ketertiban umum, kesehatan dan moral publik, atau untuk melindungi hak-hak dan
kebebasan orang lain.
Pemikiran yang demikian sesungguhnya juga telah menjadi standar tuntutan
bagi warga negara Indonesia dalam konstitusi, sebagaimana yang tertulis dalam Pasal
28 J ayat (2) UUD 1945, sebagai berikut:
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-
mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis”
Pasal 29J ayat (2) UUD 1945 memberikan pembatasan terhadap kebebasan
berekspresi warga negara. Namun pembatasan tersebut harus dilakukan dengan
undang-undang. Tujuannya adalah untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis. Pembatasan sebagaimana tertuang dalam Pasal 28J itu
mencakup sejak Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945. Oleh karenanya, hal
yang perlu ditekankan di sini bahwa hak-hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945
tidak ada yang bersifat mutlak. Pikiran yang demikian juga diatur dalam ketentuan Pasal
73 UU HAM, yang pada dasarnya mengatur pembatasan ekspresi kebebasan hak asasi
manusia.
Pada titik inilah pembatasan penggunaan media internet atau media sosial
menemukan justifikasinya. Dalam dimensi filosofis, setiap orang bisa saja
mengekspresikan pendapatnya sebebas-bebasnya melalui media sosial, namun harus
diingat bahwa kebebasan ekspresi seseorang juga dibatasi oleh kebebasan ekspresi
orang lain. Setiap warga negara pada hakikatnya memiliki hak dan kebebasan
berekspresi yang tidak dirampas oleh warga negara lain. Untuk menjamin perlindungan
dan penghormatan terhadap hak setiap warga negara, maka negara wajib hadir dalam
bentuk melakukan pembatasan terhadap penggunaan media online atau media sosial,
sepanjang diperintahkan oleh undang-undang. Oleh karena itu, tindakan pemerintah
yang demikian bukanlah diartikan sebagai tindakan pemerintah yang sewenang-wenang
atau otoriter, melainkan dapat dipandang sebagai tindakan yang absah menurut hukum.
Menjadi berbeda manakala tindakan pembatasan penggunaan media online atau media
sosial itu dilakukan pemerintah tanpa dasar hukum yang jelas. Hal demikian sejalan
dengan ajaran hukum administrasi pemerintahan, dimana berbagai tindakan pemerintah
hanya memiliki keabsahan menurut hukum manakala tindakan tersebut didasarkan pada
adanya kewenangan pemerintahan yang bersumber dari undang-undang. Dengan lain
perkataan, yang menjadi ukuran justifikasi terhadap pembatasan penggunaan media
online atau media sosial adalah apakah tindakan pembatasan tersebut merupakan
tindakan yang diperintahkan undang-undang atau tidak. Jika dilakukan atas dasar
perintah undang-undang, maka tindakan pembatasan tersebut merupakan tindakan
pemerintahan yang absah di mata hukum, sehingga dengan sendirnya dapat
dipertanggungjawabakan secara hukum.
Pembatasan akses Media masa Pemilu 2019 melalui Pendekatan HAM
Sekarang melalui kacamata HAM, apakah tindakan yang dilakukan oleh
pemerintah dapat dikatakan telah sesuai dengan prinsip demokrasi di dunia siber.
Menurut hemat penulis apa yang dilakukan oleh pemerintah tidak sepenuhnya benar
dan tidak sepenuhnya salah. Hal ini dikarenakan berdasarkan regulasi yang ada,
pemerintah diberikan wewenang untuk melakukan pemblokiran atau memutus akses
sementara. Akan tetapi pembatasan media sosial tersebut haruslah dilihat terlebih
dahulu sejauh mana urgensi pembatasan media sosial tersebut diberlakukan, mengingat
masih banyak masyarakat yang membutuhkan media sosial untuk mendapatkan
informasi, pendidikan, bersilaturahmi dengan keluarga, untuk tujuan ekonomi, dan lain-
lain. Jika pun pembatasan tersebut didasarkan atas kekhawatiran pemerintah karena
adanya ancaman yang dapat membahayakan kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, harusnya ketika pemerintah mengeluarkan pendapat tersebut harus
dibuktikan terlebih dahulu dengan membuat pemberitahuan kepada masyarakat atas
bahaya tersebut. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dengan memerhatikan segala perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh pejabat
publik harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian pembatasan akses media sosial dapat dikatakan tidak mencerminkan
keadilan kepada masyarakat, pada dasarnya keadilan dibuat untuk melindungi
kepentingan masyarakat dan dibuat tidak sepihak, melainkan harus adanya persetujuan
dari masyarakat yang dimaksud. Padahal dalam konsiderans Peraturan Menteri Kominfo
No. 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif menyebutkan
bahwa internet merupakan salah satu media perwujudan hak asasi manusia untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi yang dilaksanakan secara tertib dan
bertanggung jawab dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

C. Penutup
Dari apa yang telah disampaikan di atas, terkait dengan permasalahan
demokrasi di ruang siber yang meliputi penyebaran berita hoaks, independensi pers,
dan hingga munculnya pembatasan media sosial yang dilakukan oleh pemerintah.
Adapun konstruksi penulis tawarkan untuk menguatkan demokrasi di ruang siber. Yaitu:

Pertama, berita hoaks sering kali muncul dari media daring yang tidak terdaftar,
artinya media tersebut lahir tanpa mekanisme proses pendirian badan usaha
sebagaimana mestinya. Sebagai contoh untuk mendirikan portal media berita dengan
domain .com tidak memerlukan persyaratan seperti SIUP, TDP, Akta Pendirian badan
usaha, melainkan hanya dengan KTP saja sudah bisa mendaftarkan domain tersebut,
Kemudahan dalam membuat website inilah yang menjadi salah satu penyebab dalam
penyebaran hoaks, seharusnya untuk mendirikan media berita online diperlukannya
suatu izin pendirian badan usaha pers.
Kedua, terhadap media berita daring yang tidak terdaftar di Dewan Pers
seharusnya oleh pemerintah bukan hanya dilakukan pemblokiran atas media tersebut,
tetapi juga menjatuhkan pidana denda terhadap media berita yang menyalahi aturan
tesebut.
Ketiga, dalam ketentuan Pidana UndangUndang Nomor 40 Tahun 1999 tentang
Pers tidak ada sanksi tegas, yaitu pidana denda bagi media daring yang melanggar kode
etik pers.
Daftar Pustaka

Al Araf Assadallah Marzuki, S. H. (2020). Penguatan demokrasi cyber di Indonesia


pasca pemilu 2019. Masyarakat Indonesia.
Fatkhurohman. (2011). Mengukur Kesamaan Paham Demokrasi Deliberatif, Demokrasi
Pancasila Dan Demokrasi Konstitusional. Jurnal Konstitusi, 43.
Fishkin, J. S. (2009). When the people speak: Deliberative democracy & public
consultation. New York: NY: Oxford University Press.
Kusniati, R. (2011). Sejarah Perlindungan Hak Hak Asasi Manusia dalam Kaitannya
dengan Konsepsi Negara Hukum. INOVATIF| Jurnal Ilmu Hukum, 88.
Maswadi Rauf dkk. (2012). Indeks Demokrasi Indonesia 2010 Kebebasan yang
Bertanggung Jawab dan Substansial: Sebuah Tantangan. Jakarta: Badan Pusat
Statistik.
Pierre, J. &. (2000). Governance, politics and the state. New York: NY: St. Martin’s Press.
Selian, D. &. (2018). Kebebasan Berekspresi di Era Demokrasi: Catatan Penegakan Hak
Asasi Manusia. Lex Scientia Law Review, 193.
Siregar, F. E. (2019). Mengawasi Media Sosial dalam Proses Pemilu 2019. In BAWASLU
(p. 171). TIM PENYUSUN.

Anda mungkin juga menyukai